Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(1): 1-12
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado (Glauconome sp) di Perairan Teluk Staring Desa Ranooha Raya Kabupaten Konawe Selatan [Study on Density and Distribution of Lahubado (Glauconome sp) in Staring Bay of Ranooha Raya, South Konawe]
Abdul Rajab1, Bahtiar2 dan Salwiyah3 1
Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782 2 Surel:
[email protected] 3 Surel:
[email protected] Diterima: 4 Maret 2016; Disetujui : 11 Juli 2016
Abstrak Teluk Staring merupakan perairan semi terbuka yang memiliki potensi bivalvia yang tinggi salah satunya yaitu Glauconome sp yang dikenal dengan nama lokal kerang Lahubado. Di Indonesia, penelitian tentang sumberdaya ini masih sangat jarang dilakukan. Penelitian mengenai organisme ini baru dilakukan di Sumatera Utara tentang studi ekologi (Glauconome virens) di ekosistem mangrove Belawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan dan distribusi kerang lahubado (Glauconome sp) di Perairan Teluk Staring Desa Ranooha Raya Kabupaten Konawe Selatan berdasarkan keberadaan kondisi vegetasi mangrove. Pengambilan sampel kerang dilakukan sekali sebulan selama 3 bulan dari bulan Mei sampai Juli 2015 dengan menggunakan metode transek kuadrat 1x1 m2. Hasil penelitian diperoleh kepadatan kerang lahubado berkisar 3,5 – 19,77 ind/m2. Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun III berkisar 14,55 ind/m2 – 19,77 ind/m2, kemudian stasiun II berkisar 11,16 ind/m2 – 17,83 ind/m2 dan terendah pada stasiun I berkisar 3,5 ind/m2 – 11,16 ind/m2. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan pola distribusi kerang Lahubado di perairan Teluk Staring adalah mengelompok dengan nilai Id >1 yaitu berkisar 1,31 – 1,93. Hasil pengukuran parameter lingkungan di perairan Teluk Staring masih menunjukkan kisaran normal yang menunjang kehidupan kerang Lahubado (Glauconome sp) dengan nilai suhu berkisar 29 – 33 0C, salinitas 29 – 33 ppt, pH air berkisar 6 – 7, pH substrat berkisar 5,8 – 7, bahan organik substrat berkisar 5,19 – 13,52. Tekstur substrat di perairan Teluk Staring didominasi pasir halus dan lumpur. Kata Kunci : Kepadatan, distribusi, Glauconome sp, Teluk Staring
Abstract Staring bay is a semi-open waters that having high bivalve potential. Once of them is Glauconome sp., which is known as Lahubado (local name). In Indonesia, research or study on Glauconome sp is very limited. Study on this organism had been done in North Sumatera regarding ecological study at mangrove ecosystem of Belawan. The purpose of this study was to know the density and distribution of Lahubado (Glauconome sp) according to mangrove vegetation condition. Samples were taken monthly for 3 months from May to July 2015 using the quadrat transect method of 1 m x 1 m. The result of study showed that the density of Lahubado ranged 3.50 – 19.77 ind/m2. The highest density was found at station III ranging 14.55 – 19.77 ind/m2, followed by station II of 11.16 – 17.83 ind/m2, while the lowest was found at station I ranging 3.50 – 11.16 ind/m2. The Chi-square test showed that distribution pattern of Lahubado was clumped distribution (Id > 1) ranging 1.31 – 1.93. The result of environmental parameters measured was in normal condition which still supports the life of Lahubado. There parameters was temperature of 29 – 33 0C, salinity of 29 – 33 ppt, water pH of 6 – 7, substrate pH of 5.8 – 7.0 and organic content of substrate of 5.19 – 13.52. The substrate texture was dominated by sand and clay. Keywords: Density, distribution, Glauconome sp, Staring Bay
Pendahuluan Teluk Staring merupakan perairan semi
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk melakukan berbagai aktivitas yang meliputi :
terbuka yang berada di wilayah Desa Ranooha Raya
kegiatan
budidaya
Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan
udang/ikan, perikanan tangkap dan transportasi laut.
Provinsi Sulawesi Tenggara. Keberadaan Teluk ini
Kegiatan
tersebut
rumput
laut,
merupakan
pertambakan
kegiatan
utama
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
masyarakat yang bermukim di sekitar teluk yang
(Glauconome virens Linnaeus, 1767) di ekosistem
menjadi sumber mata pencaharian untuk mendukung
mangrove Belawan (Machrizal, 2014). Namun di
perekonomian sehari-hari.
beberapa Negara tentangga seperti Malaysia dan
Di sisi lain, Teluk Staring menyimpan potensi
Thailand telah dilakukan penelitian pada organisme
sumberdaya hayati bivalvia. Bivalvia yang ada di
ini. Printrakoon (2008), menginformasikan distribusi
teluk ini menyebar merata di seluruh ekosistem
G.virens yang dijumpai pada kawasan hutan
mangrove maupun daerah di luar dari ekosistem
mangrove di daerah Teluk Thailand.
mangrove (daerah pasang surut). Salah satu jenis
(2009), mengukur kandungan logam berat pada
bivalvia
G.virens yang hidup di daerah intertidal Peninsular
yang
sering
ditemukan
dan
sering
Yap et al.,
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat karena
Malaysia.
bernilai
“lahubado”
melaporkan tentang keberadaan G.virens sebagai
Di beberapa Negara tetangga
jenis bivalva yang dapat dikonsumsi di kawasan
Glauconome virens merupakan komoditi ekspor yang
hutan mangrove Sarawak, Malaysia. Berdasarkan
dijual dalam keadaan segar dan kering di pasar-pasar
hal tersebut di atas, perlu adanya informasi dasar
Malaysia, Jepang, Hong Kong dan Philipina
tentang
(Davidson, 1976). Kerang lahubado (Glauconome
distribusinya di perairan Teluk Staring untuk
sp) dimanfaatkan sebagai sumber protein, sama
mendukung upaya konservasi sumberdaya ini.
ekonomis
(Glauconome sp.).
yaitu
kerang
Selain itu, kerang
G.
virens
mengenai
kepadatan
dan
Kerang “lahubado” (Glauconome sp) di
halnya dengan kerang hijau, kerang darah dan jenisjenis kerang pada umumnya.
Kemudian Hamli et al., (2012),
perairan Teluk Staring diduga telah mengalami
Glauconome sp juga mempunyai fungsi ekologis
tekanan ekologi.
yang sangat penting. Lubang-lubang yang dijadikan
pengambilan kerang yang terus menerus dan
habitat oleh G.virens dapat membantu masuknya
degradasi lingkungan di sekitar perairan Teluk
oksigen
Staring.
ke
dalam
substrat
hutan
mangrove
(Machrizal, 2014).
hutan
Kawasan hutan mangrove Teluk Staring
Hal
ini
disebabkan oleh
Penebangan hutan mangrove, konversi mangrove
pemukiman
menjadi
menyebabkan
pertambakkan penurunan
dan
kualitas
merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi
lingkungan di sekitar Teluk. Sementara itu, secara
sumberdaya Glauconome sp.
Kerang lahubado
ekologis kerang “lahubado” berfungsi membantu
tersebut dipanen/diambil dan dikonsumsi oleh
masuknya oksigen ke dalam substrat melalui lubang
penduduk. Penduduk mengambil kerang lahubado
yang dibuatnya.
langsung dari alam dengan menggunakan beberapa alat
sederhana
tembilang.
Glauconome sp di perairan Teluk Staring yang
Pengambilan yang terus menerus dan konversi hutan
disebabkan oleh terbatasnya kajian yang berkaitan
mangrove menjadi lahan tambak diduga akan
dengan kerang ini, sedangkan tekanan ekologi yang
menyebabkan penurunan kepadatan populasi dari
sangat tinggi dapat mengganggu organisme tersebut.
kerang ini, sementara pada kawasan ini belum ada
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai
informasi
kepadatan dan distribusi Glauconome sp di perairan
yang
yaitu
parang
mengkaji
dan
Mengingat belum ada informasi mengenai
tentang
kerang
Glauconome sp. Di Indonesia, kajian penelitian
Teluk
tentang sumberdaya ini masih sangat
jarang
diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengelolaan
dilakukan. Penelitian mengenai organisme ini baru
sumberdaya bivalvia khususnya Glauconome sp dan
dilakukan di Sumatera Utara tentang studi ekologi
ekosistem mangrove secara berkelanjutan.
2
Staring
sehingga
hasil
dari penelitian
Abdul Rajab et al.
Penentuan
Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk
menganalisa
stasiun
kepadatan
ini dan
bertujuan untuk distribusi
kerang
Staring sebulan sekali selama tiga bulan mulai
“lahubado” (Glauconome sp) berdasarkan vegatasi
bulan Mei – Juli 2015. Pengukuran kandungan
mangrove. Pengambilan sampel dilakukan sekali
bahan organik dan tipe substrat dilakukan di
sebulan selama tiga bulan, pada saat air surut di setiap
Laboratorium Pengujian Fakultas Perikanan dan
stasiun
Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari.
dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat 1x1
Penentuan stasiun dilakukan secara purposif sampling. Lokasi pengambilan sampel dipilih dengan
rona
Pengambilan
organisme
m2. Setiap sampel yang terambil dihitung jumlahnya dalam satuan ind./m2.
lingkungan
Pengambilan sedimen dilakukan dengan
kondisi vegetasi, substrat, topografi pantai serta
menggunakan pipa paralon yang ditancapkan ke
aktivitas masyarakat yang terdapat disekitar lokasi.
dalam sedimen pada setiap stasiun pengamatan,
Oleh karena itu, stasiun penelitian ditetapkan
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang
sebanyak 3 stasiun yang masing-masing stasiun
telah diberi
dibagi menjadi 3 sub stasiun. Sub stasiun 1
didapatkan dikeringkan. Setelah sampel sedimen
berjarak 50 meter dari garis pantai, sub stasiun 2
kering kemudian ditimbang sebanyak 500 gr
berjarak 100 meter tegak lurus garis pantai dan sub
menggunakan timbangan digital. Untuk mengetahui
stasiun 3 berjarak 150 meter tegak lurus garis
fraksi sedimen di lokasi penelitian, dilakukan analisis
pantai. Stasiun pengamatan tersebut yaitu :
fraksi
Stasiun I
mempertimbangkan
pengamatan.
0
: terletak pada posisi 04 08’20,3” LS dan 122039’52,7” BT
sedimen
Selanjutnya
dengan
substrat
menggunakan
yang
metode
penyaringan bertingkat. Butiran yang telah tersaring pada mata saringan diambil kembali dan ditimbang
dalam ekosistem mangrove, Stasiun II
label.
0
beratnya untuk mengetahui presentase ukurannya.
: terletak pada posisi 04 08’17,7” LS
Sampel sedimen yang diambil dari setiap
dan 122039’52,1” BT agak jauh dari
stasiun dikeringkan selama beberapa minggu untuk
vegetasi mangrove (antara vegetasi
menghilangkan kadar airnya sehingga diperoleh berat
mangrove dengan pemukiman
konstan, kemudian dihaluskan.
masyarakat),
Pengukuran bahan organik dilakukan dengan 0
stasiun III : terletak pada posisi 04 08’15,6” LS 0
menimbang 0,5 gr contoh substrat ukuran < 0,5 mm
dan 122 39’51,8” BT, tidak ada
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml.
vegetasi mangrove.
Selanjutnya menambahkan 5 ml kalium dikromat 1 M, lalu dikocok. Menambahkan 7,5 ml asam sulfat pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30 menit. Mengencerkan dengan air bebas ion, biarkan dingin dan diimpitkan. Keesokan harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Kemudian dibuat nilai standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5.000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
contoh (Sulaeman dkk., 2005).
3
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
Parameter lingkungan yang diukur selama penelitian meliputi suhu, salinitas, pH air, pH
Hasil dan Pembahasan Parameter Lingkungan
substrat, tipe substrat dan bahan organik substrat.
Paramteter lingkungan yang dikur selama
Pengukuran sifat fisika-kimia air dilakukan pada
penelitian yaitu suhu, salinitas, pH air, pH substrat,
setiap stasiun bersamaan dengan pengambilan
tekstrur substrat dan bahan organik substrat. Hasil
sampel.
pengukuran pengukuran parameter lingkungan suhu
Kepadatan populasi diartikan dengan jumlah
perairan berkisar 29 – 33 0C, salinitas berkisar 29 –
individu per satuan luas (Brower et al., 1977)
33 ppt, pH air berkisar 6 – 7, pH substrat berkisar
dengan rumus sebagai berikut :
5,8 – 7 (Gambar 2.).
D=
𝑛𝑖
Hasil pengukuran suhu perairan selama
…………(1)
𝐴
penelitian berkisar 29 – 33 0C. Stasiun I dan II suhu
D = kepadatan (indi/m2),
Keterangan :
ni = jumlah individu spesies,
perairan berkisar 29 – 31 0C dan stasiun III berkisar 30 – 33 0C. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
A = luas total (m2). Pola sebaran kerang “lahubado” ditentukan dengan menghitung indeks dispersi Morisita (Krebs, 1972)
perbedaan nilai suhu yang signifikan di setiap stasiun (Gambar 2a.). Hasil pengukuran salinitas selama penelitian
dengan rumus berikut : n(∑si=1 X²−N)
Id =
N(N−1)
mulai dari bulan Mei – Juli berkisar 29 – 33 ppt.
………….(2)
Nilai salinitas tertinggi terukur pada bulan Juli
Keterangan :
berkisar 31 – 33 ppt dan terendah pada bulan Mei
Id = indeks dispersi Morisita,
dengan kisaran nilai 29 – 30 ppt (Gambar 2b.).
n = jumlah plot pengambilan contoh,
Hasil pengukuran pH air selama penelitian
N = jumlah individu dalam n plot,
hampir sama yaitu menunjukkan nilai rata-rata
X = jumlah individu pada setiap plot,
berkisar 6 – 7. Nilai pH air stasiun I pada bulan
dengan kriteria Id < 1 : Pola dispersi seragam, Id =
Mei – Juni sebesar 7 mengalami penurunan pada
1 : Pola dispersi acak, Id > 1 : Pola dispersi
bulan Juli sebesar 6. Nilai pH air stasiun II pada
mengelompok.
bulan Mei sebesar 6 dan mengalami peningkatan
Untuk menguji kebenaran nilai indeks di
pada bulan Juni – Juli sebesar 7. Nilai pH air
atas, digunakan suatu uji statistik, yaitu sebaran
stasiun III pada bulan Mei – Juni sebesar 7 dan
chi-kuadrat dengan selang kepercayaan 95% (α =
pada bulan Juli nilainya turun menjadi 6 (Gambar
0.05) dengan rumus berikut :
2c.).
2
X =
n ∑si=1 X²) N
- N …………(3)
Hasil pengukuran pH substrat selama
Kadar C-organik (%) = ppm kurva x 10 500-1 x fk
penelitian berkisar 5,8 – 7 dengan pH tertinggi
…………………..(4)
ditemukan pada bulan Juli dan terendah pada bulan
Keterangan :
Mei. Nilai pH substrat pada stasiun I berkisar 6,1
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva
– 6,9, stasiun II berkisar 6 – 7 dan satsiun III berkisar
dengan
nilai pH substrat di semua stasiun tidak ada
pembacaannya
setelah
dikoreksi blanko fk
= faktor koreksi kadar air (Sulaeman dkk., 2005)
4
5,8 – 7. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan antara kadar deret standar
perbedaan yang signifikan (Gambar 2d.).
Abdul Rajab et al.
sehingga cahaya matahari langsung diserap oleh
pH air
8
badan air. Suhu tertinggi ditemukan pada stasiun III
7 6
I
yang
disebabkan
II
mangrove yang menghalangi cahaya sehingga
III
badan air terpapar langsung oleh cahaya matahari. Kisaran suhu
5 Mei
Juni
Juli
tidak
terdapatnya
vegetasi
di perairan Teluk Staring masih
normal dan dapat mendukung keberadaan bivalvia. Hal ini didukung oleh Suryanto et al., (2002) menyatakan bahwa suhu yang optimum untuk
Suhu ( 0C )
34 32
mendukung kehidupan bivalvia berkisar 28 – 32 0C.
I II III
30 28
Rangan (1996), suhu perairan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
26 Mei
Juni
distribusi suatu organisme. Keberadaan jenis dan
Juli
Salinitas (ppt)
keadaan seluruh kehidupan komunitas pantai dan muara
34 32
I II III
30 28 26
sungai
Juni
Juli
bervariasi
dengan
berubahnya suhu. Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air. Apabila suhu naik maka akan mengakibatkan peningkatan
Mei
cenderung
aktivitas
sehingga kebutuhan
metabolism
oksigen
juga
akuatik, meningkat.
Litaay dkk., (2014) dalam penelitiannya bahwa pH substrat
8
pada suhu perairan 31 – 38 0C masih bisa ditolerir I II III
7 6
oleh bivalvia.
Hal ini disebabkan bentuk
morfologi dari bivalvia yang pada umumnya memiliki cangkang sehingga dapat
bertahan
sampai pada suhu tertentu yang cukup tinggi.
5 Mei
Juni
Selanjutnya
Juli
Clark
(1974)
menyatakan
bahwa organisme yang bersifat Sessile seperti Gambar 2.
Parameter Kualitas Perairan (Suhu, Salinitas, pH air dan pH subtract)
kelas Bivalvia yang terdapat dalam kawasan vegetasi hutan mangrove cenderung memiliki
Suhu merupakan salah satu faktor yang
toleransi terhadap suhu yang berkisar 30 – 40 0C.
mempengaruhi kehidupan organisme perairan
Hal ini disebabkan organisme tersebut memiliki
terutama
cangkang yang tebal dan bersifat membenamkan
mempengaruhi
proses
aktivitas
metabolisme. Kisaran suhu perairan Teluk Staring 0
selama penelitian berkisar 29 – 33 C.
diri dalam substrat.
Suhu
Hasil pengukuran salinitas di perairan
terendah terukur pada bulan Mei sedangkan suhu
Teluk Staring diperoleh nilai salinitas berkisar
tertinggi terukur pada bulan Agustus. Rendahnya
29 – 33 ppt. Nilai salinitas tertinggi terukur pada
suhu perairan pada bulan Mei disebabkan oleh
bulan Juli berkisar 31 – 33 ppt dan terendah pada
cuaca mendung pada saat
bulan Mei dengan kisaran nilai 29 – 30 ppt.
pengukuran dan
sedangkan cuaca terik terjadi pada bulan Juli
Rendahnya
nilai
salinitas
pada
bulan
Mei
5
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
disebabkan oleh cuaca mendung pada saat
tinggi dan tergolong produktif karena memiliki
pengukuran sehingga proses penguapan tidak
kisaran pH yang dapat mendorong pembongkaran
terjadi sedangkan cuaca terik pada bulan Juni –
bahan organik yang ada dalam perairan menjadi
Juli sehingga proses penguapan terjadi secara
mineral-mineral.
Hal ini tidak berbeda jauh hasil
Syafriel (2008) bahwa nilai pH 6 – 7
penelitian Kharisma dkk., (2012), salinitas perairan
kisaran ini cenderung bersifat asam sampai netral.
di Semarang bagian timur selama penelitian
Hal ini hubungannya dengan bahan organik, tipe
berkisar 27 – 31,3 ppt. Kisaran salinitas ini masih
substrat dan kandungan oksigen. Kisaran nilai
mendukung
tersebut masih mendukung kelangsungan hidup
sempurna.
pertumbuhan
bivalvia.
Widasari
(2013) menyatakan bahwa rata-rata salinitas
bagi
sebesar 25 – 30 ppt merupakan nilai salinitas yang
Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa
sesuai dengan habitat kerang.
Nilai kisaran
pH substrat yang dibutuhkan oleh moluska
salinitas tersebut kerang dapat bertahan hidup.
berkisar 5,7 – 8,4. Hasri (2004), nilai pH yang
Sebagian besar bivalvia dapat hidup dengan baik
berkisar 7 – 7,5 merupakan nilai yang baik untuk
pada kisaran salinitas 5 – 35 ‰. Kerang kalandue
pertumbuhan moluska, krustasea dan mangrove.
(Polymesoda erosa) di Teluk Kendari ditemukan
Kerang kalandue (Polymesoda erosa) di Teluk
pada kisaran salinitas 21,3 – 35 ‰ (Akbar dan
Kendari ditemukan pada pH 6 – 7 (Akbar, 2013).
Jabil, 2013).
makrozoobentos.
Selanjutnya
Hasil pengukuran bahan organik substrat
Derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan
organisme
yang
berperan
sebagai
faktor
selama penelitian berkisar 5,19 – 13,52 (Tabel 2). Hasil
yang
diperoleh
menunjukkan
bahwa
pembatas. Nilai pH sangat berpengaruh pada
kandungan bahan organik substrat termasuk tinggi
adaptasi organisme perairan, pH di perairan
yang sangat dibutuhkan oleh organisme bivalvia
dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, suhu dan
sebagai sumber makanan. Bahan organik substrat
terdapatnya ion-ion. Nilai pH air yang diperoleh di
tertinggi diperoleh pada stasiun III yaitu berkisar
lokasi selama penelitian berkisar 6 – 7 sedangkan
8, 41 – 13,52 dengan nilai rata-rata 10,59
pH substrat berkisar 5,8 – 7. Nilai pH air maupun
sedangkan nilai terendah pada stasiun II berkisar
substrat di perairan Teluk Staring berada dalam
6,10 – 7,10 dengan nilai rata-rata 6,58 dan stasiun
kondisi normal dan tergolong cukup mendukung
I berkisar 5,19 – 9,23 dengan nilai rata-rata 7,23
pertumbuhan bivalvia. Hal ini didukung oleh
(Tabel 1.).
Nybakken (1992), bahwa umumnya pH air laut
Hasil analisis tekstur substrat menggunakan
sedikit basa, bervariasi antara 7,5 – 8,4. pH
metode saringan bertingkat diperoleh substrat di
merupakan faktor pembatas bagi organisme yang
perairan Teluk Staring didominasi pasir halus dan
hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang
lumpur (Tabel 2.).
tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003), menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Selanjutnya Odum (1993), perairan dengan pH 6 ‒ 9 merupakan perairan dengan kesuburan
6
Abdul Rajab et al.
Tabel 1. Tekstur substrat di setiap stasiun penelitian
Tekstur (%) Stasiun
Sub Stasiun
I
II
III
1
pasir kasar 8,19
pasir sedang 4,28
pasir halus 35,26
pasir sangat halus 21,19
2
5,94
2,11
30,80
30,05
31,10
3
6,00
3, 48
35,52
24,53
30, 47
1
5,34
2.73
42,89
23,33
25.70
2
5,92
2,92
37,84
17,64
35,68
3
6,82
6,70
38,30
16,06
32,11
1
3,82
5,39
35,96
27,09
27,74
2
4,57
3,88
43,66
13,71
34.18
3
9,23
6, 41
34, 49
13,92
35,95
lumpur 31,09
Tabel 2. Hasil analisis bahan organik substrat menggunakan spektrofotometer
Sub Stasiun/Stasiun
Bahan Organik (%) I
II
III
1
9,23
7,01
8, 41
2
5,19
6.10
9.85
3
7,27
6,62
13.52
Tipe substrat sangat menentukan penyebaran bivalvia yang hidup dan membenamkan diri di dalam
kelompok hewan pemakan suspensi, penggali, dan pemakan deposit.
substrat, sehingga sering disebut sebagai faktor
Mathlubi (2006) bahwa jenis substrat dan
pendukung kehidupan organisme dasar perairan.
ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang
Karakteristik sedimen dapat mempengaruhi distribusi,
mempengaruhi
kelimpahan dan keberhasilan reproduksi bivalvia.
organisme makrozoobentos. Semakin halus tekstur
bahan
organik
dan
penyebaran
Hasil pengukuran substrat di perairan Teluk
substrat maka semakin besar kemampuannya untuk
Staring diperoleh tipe substrat yang tidak bervariasi
menjebak bahan organik, selain itu makrobenthos yang
yaitu pasir halus sampai lumpur. Tipe substrat pasir
mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung
halus dan lumpur merupakan habitat yang disukai oleh
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak
bivalvia. Hal ini berhubungan dengan kemampuan
yang merupakan daerah yang mengandung bahan
substrat dalam merangkap bahan organik yang
organik yang tinggi.
dibutuhkan oleh bivalvia sebagai sumber makanan.
Ukuran butir sedimen mempengaruhi kandungan
Selain itu, dalam keadaan seperti ini memudahkan
bahan organik dalam sedimen atau dapat dikatakan
bivalvia dalam membenamkan diri ke dalam substrat.
semakin kecil ukuran partikel sedimen semakin besar
Hal ini didukung oleh Woodin (1976) menjelaskan
kandungan
bahwa bivalvia lebih cenderung terdapat melimpah pada
Kushartono, 2009). Ukuran partikel yang lebih halus
perairan pesisir pantai yang memiliki sedimen lumpur
mendorong lebih tingginya populasi bakteri. Dengan
dan sedimen lunak, karena bivalvia merupakan
kelimpahan bakteri yang lebih tinggi maka proses
bahan
organiknya
(Riniatsih
dan
7
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat sehingga
Kelimpahan
menghasilkan bahan organik yang lebih besar.
dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat sehingga
Hasil analisa kandungan bahan organik sedimen
bakteri
yang
tinggi
maka
proses
menghasilkan bahan organik yang lebih besar.
perairan Teluk Staring, dapat diketahui bahwa pada
Kemudian Trisnawaty dkk., (2013), kandungan
Teluk Staring memiliki kandungan bahan organik yang
bahan organik pada sedimen menunjukkan banyaknya
tidak bervariasi dan tidak terdapat perbedaan yang
bahan organik hasil dekomposisi jasad dari organisme
signifikan. Nilai kandungan bahan organik substrat
yang telah mati, serasah (dedaunan) maupun bahan-
berkisar 5,19 – 13,52.
bahan organik yang terbawa oleh arus air yang
Kandungan bahan organik substrat tertinggi
kemudian mengendap ke dasar perairan yang menjadi
diperoleh pada stasiun III yaitu dengan nilai rata-rata
sumber makanan bagi makrozoobentos.
10,59 sedangkan nilai terendah pada stasiun II dengan
bahan organik yang terdapat di perairan lebih kurang
nilai rata-rata 6,58 dan stasiun I dengan nilai rata-rata
90% berasal dari vegetasi mangrove (Nontji, 1993).
7,23.
Kandungan
Tingginya nilai bahan organik substrat pada
stasiun III disebabkan stasiun ini terdapat di dekat
Kepadatan dan Distribusi
pemukiman warga sehingga diduga mendapatkan
Hasil pengukuran kepadatan kerang Lahubado
masukkan bahan organik dari limbah rumah tangga di
di setiap stasiun menunjukkan perbedaan yang tidak
sekitar lokasi penelitian. Stasiun I terdapat dalam
signifikan. Kepadatan kerang pada setiap bulan di
ekosistem mangrove yang diduga bahan organik pada
semua stasiun mengalami peningkatan kecuali stasiun
stasiun ini berasal dari dekomposisi serasah daun dan
I pada bulan Juli mengalami penurunun (Gambar 3).
ranting mangrove. Stasiun II memiliki kandungan bahan
terletak antara stasiun I dan III yang memiliki vegetasi mangrove yang sedikit dan jauh dari pemukiman sehingga pasukan bahan organik tidak terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanti et al., (2013) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa tingginya
20
Kepadatan (ind/m2)
organik terendah yang diduga disebabkan stasiun II
15 I 10
II III
5 0 Mei
Juni
Juli
kandungan bahan organik disebabkan oleh vegetasi mangrove sebagai penyumbang bahan organik dari
Gambar 3. Kepadatan kerang Lahubado berdasarkan stasiun penelitian
serasah pohon mangrove akan membentuk partikelHasil pengukuran nilai indeks distribusi
partikel organik dalam sedimen. Selain itu, tingginya bahan organik substrat
kerang lahubado selama penelitian di setiap stasiun
disebabkan oleh kondisi perairan yang tergenang
ditemukan mengelompok. Berdasarkan Hasil uji Chi-
sehingga partikel-partikel yang berukuran kecil mudah
Square menunjukkan pola distribusi kerang lahubado
mengendap di dasar perairan serta tekstur substrat pasir
pada semua stasiun adalah mengelompok dengan
halus dan berlumpur. Riniatsih dan Kushartono (2009),
nilai Id >1 yaitu berkisar 1,31 – 1,93.
ukuran butir sedimen mempengaruhi kandungan bahan
Hasil pengukuran kepadatan kerang Lahubado
organik dalam sedimen atau dapat dikatakan semakin
(Glauconme sp) di perairan Teluk Staring diperoleh
kecil ukuran partikel sedimen semakin besar kandungan
kepadatan tertinggi
bahan organiknya. Ukuran partikel yang lebih halus
kemudian stasiun II dan terendah ditemukan pada
mendorong
stasiun I. Nilai rata-rata kepadatan tertinggi stasiun I
8
lebih
tingginya
populasi
bakteri.
ditemukan di
stasiun
III,
Abdul Rajab et al.
terdapat pada bulan Juni sebesar 11,16 ind/m2 dan 2
terendah terdapat pada bulan Mei sebesar 3,5 ind/m .
kelimpahan dan penyebaran hewan makrobenthos dan hubungan tersebut sangat nyata.
Nilai rata-rata kepadatan kerang lahubado tertinggi
Kepadatan tertinggi yang terdapat di stasiun
stasiun II terdapat pada Juli sebesar 17,83 ind/m2 dan
III juga dipengaruhi oleh tidak terdapatnya vegetasi
terendah terdapat pada bulan Mei sebesar 11,16
mangrove di stasiun ini. Hal ini berhubungan
2
ind/m . Nilai rata-rata kepadatan tertinggi stasiun III 2
dengan kemampuannya membenamkan diri dalam
terdapat pada bulan Juli sebesar 19,77 ind/m dan
substrat dan lebih banyaknya ruang yang dapat
terendah terdapat pada bulan Mei sebesar 14,55
ditempati tanpa terganggu atau bersaing dengan
2
ind/m .
akar-akar jeruju mangrove. Hal ini sesuai dengan
Tingginya kepadatan kerang Lahubado pada
hasil penelitian Machrizal dkk., (2014) bahwa
stasiun III disebabkan kandungan bahan organik
kepadatan
substrat yang lebih tinggi dari stasiun lainnya (Tabel 3).
mangrove Belawan dipengaruhi oleh akar-akar
Habonaran dkk., (2015) menyatakan bahwa bahan
jeruju mangrove.
organik substrat
mempengaruhi kepadatan dan
menyebabkan persaingan ruang antara G. virens
kelimpahan makrozoobentos. Lebih lanjut dalam
dengan akar mangrove dan kondisi dasar mangrove
hasil penelitiannya bahwa pengaruh bahan organik
yang ditutupi oleh vegetasi jeruju, serta sistem
sedimen terhadap
perakaran Soneratia sp yang memiliki akar pensil
kelimpahan
makrozoobenthos
adalah 82,4% dan koefisien relasi r adalah 0,90.
Glauconome
virens
di
ekosistem
Jeruju akar mangrove ini
menyebabkan sulitnya G. virens dalam membuat
Suwondo dkk., (2012), tingginya kepadatan
liang, mengingat kerang ini banyak ditemukan
bivalvia pada mangrove di pantai cermin disebabkan
dalam substrat dengan kedalaman 10 – 30 cm. Pada
kandungan bahan organik substrat yang lebih tinggi
daerah yang bervegetasi cenderung lebih tinggi
dari stasiun lainnya dan jenis substrat
yang
memiliki kepadatan Polymesoda erosa yang tinggi
berlumpur. Hamidah, (2000), menyatakan bahwa
pula bila dibandingkan dengan vegetasi rendah.
bahan organik menjadi sumber makanan bagi
Vegetasi yang tinggi memberikan habitat yang baik
bivalvia. Jenis bivalvia merupakan jenis yang
bagi perkembangan kerang P. erosa.
banyak ditemukan pada substrat yang berlumpur (Dahuri, 2004).
mendukung keberadaan bivalvia selain ketersediaan
Taqwa dkk., (2014) menyatakan bahwa tinggi rendahnya
kandungan
substrat/sedimen
Kondisi fisika dan kimia perairan sangat
bahan
akan
organik
kemampuan
biota untuk
dapat
beradaptasi
terhadap
terhadap kondisi fisik lingkungan yang selalu
kehidupan biota tersebut. Dalam penelitiannya hasil
berubah bahkan terhadap tekanan ekologis seperti
uji regresi berganda antara substrat dasar dan
pemangsaan oleh organisme lain bahkan dalam
kandungan bahan organik dalam substrat/sedimen
memperebutkan hidup tempat demi kelangsungan
dengan
hidupnya.
kelimpahan
berpengaruh
dalam
makanan, unsur hara dan bahan organik maupun
hewan
makrozoobenthos
didapatkan nilai korelasi (r) sebesar 1 dengan
Pola distribusi merupakan susunan dari
keeratan hubungan kedua variabel sangat kuat,
anggota-anggota populasi dalam suatu habitat.
karena nilai r bernilai 1 dan nilai determinasi (R2)
Distribusi
yang didapat adalah 1,00 yang berarti bahwa
penyebaran spesies dalam suatu komunitas dan
kandungan bahan organik dalam sedimen dan
untuk mengetahui tingkat kesukaan suatu organisme
substrat
terhadap habitatnya (Efriyeldi, 1997).
dasar
sangat
berpengaruh
terhadap
digunakan
untuk
mengetahui
pola
9
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
Pola distribusi kerang Lahubado (Glauconome
tersebut sesuai untuk kehidupan organisme tersebut.
sp) yang diperoleh selama penelitian di perairan
Tipe distribusi yang mengelompok sangat ditentukan
Teluk Staring di semua stasiun menunjukkan pola
oleh kelimpahan rata-rata yang tertangkap pada saat
distribusi mengelompok (Id > 1), yang masing-
pengambilan sampel. Pengelompokkan yang terjadi
masing stasiun I – III yairu berkisar 1,37 – 1,79, 1,54
sebagai respon terhadap kondisi lingkungan (fisika,
– 1,93, 1,32 – 72. Tipe distribusi yang mengelompok
kimia, air dan sedimen).
diduga sangat ditentukan oleh kepadatan rata-rata yang tertangkap
pada
saat
sampel,
bahwa penyebaran secara acak jarang terjadi di alam
pengelompokkan yang terjadi sebagai respon terhadap
dan dapat terjadi apabila lingkungan sangat seragam
kondisi lingkungan parameter air maupun ketersedian
dan tidak ada kecenderungan untuk mengelompok.
makanan dan habitatnya. Machrizal dkk., (2014) hasil
Penyebaran yang mengelompok besar kemungkinan
penelitiannya di ekosistem mangrove Belawan kerang
disebabkan
Glauconome
distribusi
lingkungan yang mendukung kehidupan organisme
mengelompok dan acak dengan Id masing-masing
bivalvia sehingga membatasi spesies tertentu untuk
stasiun I – III yaitu 0,64, 0,95 dan 1,42. Lebih lanjut
menyebar secara seragam atau acak di semua tingkatan
dijelaskan bahwa perbedaan ini diduga disebabkan
pengambilan
oleh karakter lingkungan yang berbeda. Stasiun I dan
penyebaranya seragam disebabkan oleh kondisi
II memiliki karakteristik lingkungan yang hampir sama
lingkungan di suatu areal hampir sama dan diduga
yaitu substrat dasar dipenuhi perakaran nipah,
karena adanya kompetisi antar individu yang sangat
sehingga G. virens sulit membuat lubang, sama halnya
hebat dalam pembagian ruang makanan (Efriyeldi,
dengan stasiun II yang substratnya dipenuhi perakaran
1997).
virens
pengambilan
Sementara itu, Effendi (1999) menyatakan
memiliki
pola
karena
contoh.
adanya
perbedaan
Organisme
yang
faktor
pola
jeruju. Pola yang berbeda terjadi pada stasiun III, hal ini
karena
stasiun
ini
memiliki
karakteristik
lingkungan yang berbeda dari stasiun I dan II. Stasiun
Simpulan dan Saran Simpulan
ini merupakan daerah hutan mangrove dengan vegetasi
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini
heterogen dan tidak banyak ditumbuhi vegetasi bawah
adalah sebagai berikut :
seperti jeruju, sehingga dasar mangrove lebih terbuka,
1.
Kepadatan kerang lahubado (Glauconome sp) di
dan lebih mempermudah kerang dalam membenamkan
perairan Teluk Staring berkisar 3,5 – 19,77
diri ke dalam substrat.
ind/m2.
Pola distribusi kerang lahubado di perairan
2.
Kerang lahubado (Glauconome sp) di perairan
Teluk Staring tidak jauh berbeda dengan hasil
Teluk Staring mempunyai pola penyebaran
penelitian Yunus dkk., (2015) tentang distribusi
mengelompok dengan nilai Id >1 yaitu berkisar
bivalvia di muara Sungai Kawal yaitu semua bivalvia
1,31 – 1,93.
yang ditemukan sebanyak 5 jenis memiliki pola distribusi mengelompok.
3.
Kepadatan kerang lahubado (Glauconome sp) di perairan
Teluk
Staring
dipengaruhi
oleh
Menurut Rudi (1999) bahwa pola penyebaran
tingginya kandungan bahan organik substrat dan
mengelompok menandakan bahwa hewan tersebut
tidak adanya akar jeruju dari vegetasi mangrove
hanya dapat hidup pada habitat tertentu saja dengan
yang memudahkan kerang membenamkan diri ke
kondisi lingkungan yang cocok.
dalam substrat.
Tipe distribusi
mengelompok disebabkan karena keadaan lingkungan
10
Abdul Rajab et al.
Daftar Pustaka Akbar, Jalil. 2013. Studi Morfomotrik Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) di Hutan Mangrove Teluk Kendari. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari Brower JE, Zar JH. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology. Iowa : Brown Publishing Dubuque. Clark,
J. 1974. Coastal Ecosystem Ecological Consideration for Managementof the Coastal Zone. The Conservation Faundation.Washington D. C.
Dahuri R, Putra NS, Zairion M, Sulistiono. 1993. Metode dan Teknik Analisis Biota Perairan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian. IPB. Bogor. 207 hal. Dahuri R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. Penerbit Pradnya Paramita. Davidson A. 1976. Seafood of South-East Asia. Federal Publications, Singapore. 366 pp. Doddy S. 1998. Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat Kerang Darah (Anadara maculosa, Linnaeus 1758) di Perairan Teluk Kontania Seram Barat Maluku. IPB. 80 hlm. Effendi H. 1999. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 41 hal. Efriyeldi 1997. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Keterkaitannya dengan Karakteristik Sedimen di Perairan Muara Sungai Banten Tengah, Bengkalis. Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor. Habonaran J, Nasution S, Thamrin. 2015. Diversity of Macrozoobenthos In Kuala Indragiri Coastal Water Riau Province. Marine Sciense, Faculty of Fisheries and Marine Sciense Riau University, Pekanbaru, Riau Province
Hamidah A. 2000. Keragaman dan Kelimpahan Moluska di Bagian Utara Danau Kerinci Jambi. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor Hamli MH, Idris MK, Hena A, Wong SK. 2012. Taxonomic Study of Edible Bivalve from Selected Division of Sarawak, Malaysia. International Journal of Zoological Research, 8 (1): 52 – 58. Hutabarat S dan Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 123 – 124 pp. Kharisma D, Adhi SC, Ria Azizah TN. 2012. Kajian Ekologis Bivalvia di Perairan Semarang Bagian Timur pada Bulan Maret-April 2012. Journal of Marine Research, 1(2): 216 – 225 Litaay Magdalena, Darusalam, Priosambodo D. 2014. Struktur Komunitas Bivalvia di Kawasan Mangrove Perairan Bontolebang Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional MIPA Bandung Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. University of British Columbia Harper, Inc. New York. Machrizal R, Wahyuningsih H, dan Jumilawaty E. 2014. Kepadatan dan Pola Distribusi (Glauconome virens, Linnaeus 1767) di Ekosistem Mangrove Belawan. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 19 (2): 201-216 Machrizal R. 2014. Studi Ekologi (Glauconome virens Linnaeus, 1767) di Ekosistem Mangrove Belawan. Program Pascasarjana. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan Mathlubi 2006. Studi Karakteristik Kerupuk Kijing Taiwan (Anadonta woodiana). Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 67 hal. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman
M,
Koesoebiono,
Bengen
DG,
11
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lahubado
Hutomo M dan Sukardjo S. Gramedia, Jakarta. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Printrakoon C. 2008. Distribution of Molluscs in Mangroves at Six Sites in The Upper Gulf of Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology. Supplement, (18) : 247 – 257. Rangan JK. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda pada Zona Hutan Mangrove Perairan Pulau Kulu, Kabupaten. Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm. Riniatsih, Ita, Kushartono EW. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Vol. 14(1):50 – 59 Rudi E. 1999. Beberapa Aspek Ekologi, Morfologi dan Makanan Kerang Tahu (Meretrix meretrix) di Teluk Miskam, Panimbang, Selat Sunda, Jawa Barat Tesis. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman, Suparto, Eviyarti. 2005. Petunjuk Teknis Analisi Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Suryanto dan Utojo. 2002. Pertumbuhan Tiram pada Penyebaran yang Berbeda-Beda. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Susanti., Fajri, Nur EL, Putra, Ridwan. Manda. 2013. Community of Bivalves in Mangrove Area Mesjid Lama Village, Talawi Sub-district Batubara Regency, Sumatera Utara Province. Faculty of Fisheris and Marine Science, University of Riau Suwondo, Febrita Elya., Siregar N. 2012. Kepadatan dan Distribusi Bivalvia Pada Mangrove Di Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Biogenesis, 9(1): 113-121 Syafriel, 2008. Struktur Komunitas dan Komposisi Jenis serta Penyebaran Makrozoobentos di
12
Kawasan Hutan Mangrove. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. Taqwa RN, Muskananfola MR, Ruswahyuni. 2014. Studi Hubungan Substrat Dasar dan Kandungan Bahan Organik dalam Sedimen Dengan Kelimpahan Hewan Makrobenthos di Muara Sungai Sayung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of Maquares, 3(1): 125 – 133 Trisnawaty FN, Emiyarti, dan Afu LOA. 2013. Hubungan Kadar Logam Berat Merkuri (Hg) pada Sedimen dengan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3 : 68 – 80 Widasari FN. 2013. Pengaruh Pemberian Tetraselmis Chuii dan Skeletonema Costatum terhadap Kandungan EPA dan DHA pada Tingkat Kematangan Gonad Kerang Totok (Polymesoda Erosa). Journal of Marine Research, 2(1): 15 – 24. Woodin SA. 1976. Abdul Larval Interactions in Dense Infaunal. Asesemblages: Pattern of abudance. Jour. Mar. Res, 43(1):25 – 4. Yap CK, Razeff SMR, Edward FB, Tan SG. 2009. Heavy Metal Concentrations (Cu, Fe, Ni and Zn) in The Clam, Glauconome virens, Collected From The Northern Intertidal Areas of Peninsular Malaysia. Malays. Appl. Biol., 38(1) : 29 – 35. Yunus A, Irawan H, Idris, Fadliyah. 2015. Struktur Komunitas Bivalvia di Perairan Muara Sungai Kawal. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UMRAH Riau.