STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA
FERRY DEVIDSON MAITINDOM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
Ferry Devidson Maitindom NIM B 054050021
ABSTRACT Taeniasis/cysticercosis due to T. solium infection is one of the most serious public health problem in Jayawijaya Regency-Papua. This survey was carried out to study prevalence of cysticercosis in pigs that were slaughtered and sold in Jibama Market of Wamena-Jayawijaya. Association between the porcine cysticercosis prevalence and pig farming practices and environmental sanitation in pig producer districts was also examined in this survey. Results of the survey showed that 77.1% of pigs slaughtered in Jibama Market was infected by Cysticercus cellulosae. Such high prevalence of cysticercosis in pig meat market may play important role in taeniasis transmission among people in Jayawijaya, as this study also revealed that most of peoples consumed raw (4.8%) or undercooked meat (44.8%). Majority of families in villages owned pigs (65.7%) which were free ranged pigs. This traditional farming system provide an opportunity for pigs to pick up T. solium eggs/gravid proglottids shed through feces of the infected peoples. Habit of local people (86.1%) to defecate in backyards due to lack of latrine facilities is of important in contamination of T. solium eggs/gravid proglottids in environment. This study also found significance association between prevalence of porcine cysticercosis and farm management system and possession of latrine facilities. Keywords : Cysticercosis, pig, jibama market, Jayawijaya
RINGKASAN
FERRY DEVIDSON MAITINDOM. Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan R ROSO SOEJOEDONO. Infeksi cacing pita babi (Taenia solium) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat serius yang dihadapi masyarakat Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Ternak babi di Provinsi Papua merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Selama ini studi tentang peran babi dalam transmisi taeniasis dan sistiserkosis pada manusia dan hewan di Jayawijaya jarang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua dan mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian dilakukan terhadap 35 ekor babi yang dipotong di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Babi tersebut terdiri dari 25 babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babi-babi tersebut merupakan babi lokal. Kisaran berat babi yang diperiksa diperkirakan antara 30 – 150 kg. Dari kista yang ditemukan di dalam daging babi yang diamati, dibuat preparat skoleks untuk selanjutnya diidentifikasi secara mikroskopik di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan secara deskriptif di lapangan, sebagai usaha untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mendukung terjadinya sistiserkosis, dilakukan dengan metode kuesioner, checklist dan wawancara. Kuesioner disebarkan di daerah endemis taeniasis, yaitu di Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Hom-hom dan Wamena Kota. Wawancara juga dilakukan dengan petugas Puskesmas di masing-masing distrik, daerah-daerah asal babi yang ditemukan terinfeksi Cysticercus cellulosae. Data yang diperoleh dari Pasar Jibama, dianalisis secara statistik. ”Point Prevalence Rate” digunakan untuk menentukan tingkat kejadian tersebut. Analisis kasus penyakit dan hubungan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi digunakan analisis chi square dan regresi linier serta di dukung dengan analisis kasus penyakit secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 ekor babi yang diperiksa, 27 ekor (77.1%) terinfeksi Cysticercus cellulosae. Dari 27 ekor babi yang terinfeksi 3 diantaranya tidak memiliki sumber dan asalnya yang jelas, sehingga penelusuran kasus lebih diarahkan ke daerah asal babi yang jelas sumbernya seperti disebutkan di atas. Dari hasil survei didapati bahwa daerah-daerah tersebut masih endemis dengan taeniasis dan sitiserkosis sehingga masih ada hubungannya dengan kasus kejadian pada babi. Hasil pengamatan secara deskriptif terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi-babi yang di sembelih di Pasar Jibama diperoleh kepemilikan babi pribadi (62.8%), kolektif (2.8%), tidak memiliki (34.3%); sistem peternakan babi tidak dikandangkan (96.6%), dikandangkan (3.4%); sanitasi lingkungan kandang yang kotor (93.7%), bersih
(6.3%), sanitasi lingkungan di luar kandang, kotor (97.1%), bersih (2.8%); sanitasi lingkungan berdsarkan kepemilikan jamban keluarga, milik kolektif (4.6%), pribadi (14.3%), tidak memiliki (81.1%), kebiasaan melakukan defikasi di sembarangan tempat masih ditemui dan higiene perorangan sangat buruk. Sedangkan pola makan atau mengkonsumsi protein hewani bervariasi daging babi (75.4%), ikan (8.0%), ayam (5.2%), daging lainnya (11.4%). Sistem pengolahan makan, menggunakan alat masak (53.1%), bakar (42.3%), dan mentah (4.6%). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih ditemukan adanya kejadian sistiserkosis pada babi-babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Sedangkan hasil survei di daerah asal babi menunjukkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat (sistem pengolahan dan konsumsi makanan, sistem defikasi) sangat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya – Papua. Keadaan ini akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan mutu komoditi daging babi sebagai bahan pangan masyarakat dan merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat. Kata kunci : Cysticercosis, babi, pasar Jibama, Jayawijaya.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA
FERRY DEVIDSON MAITINDOM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis : Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Nama
: Ferry Devidson Maitindom
NIM
: B054050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
drh. Fadjar Satrija, MSc. Ph.D Ketua
drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.
Tanggal ujian : 09 September 2008.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh.Fadjar Satrija, MSc., Ph.D dan drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi KMV yang telah banyak memberi saran dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS, Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D beserta staf yang telah berkenaan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan laboratorium selama pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Sulaiman, Bapak Agus Harianto yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium dan kelengkapan administrasi. Terima kasih yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada ayah handa dan ibunda kekasih yang dengan setia memberikan motivasi dan doa yang tak putusputusnya bagi penulis dalam mengikuti studi di IPB sampai dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Saudara Rully Pongsikabe, ST yang dengan kerelahan membantu dan memotivasi penulis dalam studi, keluarga besar Maitindom yang dengan setia mendukung pelaksanaan studi dari penulis dan Pemda Provinsi Papua serta Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang mendukung pelaksanaan studi (Tugas Belajar) di IPB sampai dengan selesai. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman Program Studi KMV angkatan 2005 yang telah banyak membantu dan memberi motivasi.
Akhirnya penulis hanya bisa mengatakan “Syukur bagi-Mu Tuhan yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya hingga mencapai keberhasilan”.
Bogor, September 2008.
Ferry Devidson Maitindom
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua pada tanggal 11 Mei 1974 dari ayah Elisama Maitindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis merupakan putra ke lima dari delapan bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) II Ardipura IV Jayapura Selatan dan lulus tahun 1989. Pendidikan menengah ditempuh di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Jayapura Selatan (1989-1991) dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Jayapura di Kecamatan Sarmi (1991-1994). Pada tahun 1995 penulis masuk Program Diploma Tiga Kesehatan Lingkungan (D3 Kesling) Akademi Kesehatan Terpadu Jayapura dan lulus tahun 1998. Selanjutnya pada bulan Juli 1999 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang diperbantukan pada Sub Dinas Bina Penyehatan Lingkungan (Subdin BPL),
Dinas Kesehatan
Provinsi Irian Jaya. Setelah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pada Subdin BPL Dinkes Provinsi Irian Jaya,
penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada Program Sarjana (S1) Jurusan Teknik dan Manajemen Lingkungan pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Sains dan Teknologi Jayapura (ISTJ) dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPsIPB).
Penulis berharap dengan mengikuti program S2 ini akan memberikan
kontribusi yang bermanfaat demi menyelamatkan masyarakat Papua dari masalah kesehatan masyakat akibat penyakit sumber binatang.
Bogor, September 2008
Ferry Devidson Maitindom NIM B 054050021
DAFTAR ISI Halaman xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiv
PENDAHULUAN .......................................................................................... Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. Hipotesis Penelitian ................................................................................
1 1 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Biologi Taenia solium ............................................................................ Taeniasis/Sistiserkus pada Manusia ....................................................... Sistiserkosis pada Babi ........................................................................... Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya .................................................. Kondisi Taeniasis dan Sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya ..............
4 4 6 9 11 14
BAHAN DAN METODE ............................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ Desain Penelitian .................................................................................... Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi ...................................... Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan ...................... Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk ............ Analisis Data ..........................................................................................
17 17 17 18 19 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... Prevalensi Sistiserkosis pada Babi ....................................................... Pola Makan Masyarakat Jayawijaya ...................................................... Kondisi Peternakan Babi ........................................................................ Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia ..................................
21 21 25 26 30
SIMPULAN ....................................................................................................
35
SARAN ..........................................................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
36
LAMPIRAN ...................................................................................................
40
DAFTAR TABEL Halaman 1. Daerah asal dan jumlah babi yang di periksa di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua selama pengamatan ( 28 Juli – 18 Agustus 2007) .....
22
2. Sistem pengolahan makanan oleh masyarakat lokal menurut hygiene makanan berdasarkan lima distrik di Kabupaten Jayawijaya ……………
25
3. Kepemilikan ternak babi yang dikelola masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya ……………………………………………………………….
27
4. Sistem peternakan babi yang dikelola masyarakat Kabupaten Jayawijaya ……………………………………………………………….
27
5. Sanitasi lingkungan peternakan pada lima distrik di Kabupaten Jayawijaya ……………………………………………………………….
28
6. Sanitasi lingkungan menurut pemilikan jamban keluarga dan sistem defikasi penduduk lokal Kabupaten Jayawijaya ………………………
29
7. Prevalensi kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis menurut tahun 2002 .................................................................................................
31
8. Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis berdasarkan informasi Gereja Katolik di Wamena tahun 2002 ………….....................
32
9. Kasus penyakit taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang diobati menurut Puskesmas tahun 2002/2003 …………..........................
33
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b)Rostelum, (c) Uterus .........................................................
4
2. Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis ............................................................................
6
3. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ………..
17
4. Bagan alir penelitian ………………….....................................................
18
5. Sistiserkus (panah) yang ditemukan pada hati dan daging babi yang disembelih di Pasar Jibama - Wamena .....................................................
21
6. Skoleks Cysticercus cellulosae yang terdiri dari empat buah alat pengisap (sucker) ......................................................................................
23
7. Kait pada rostelum dari skoleks Cysticercus cellulosae............................
23
8. Situasi jual beli babi di tanah lapang sekitar Pasar Jibama Wamena (A,B), penyembelihan babi (C) dan potongan daging babi yang siap dijual (D) ...................................................................................................
24
9. Pola konsumsi daging di Kabupaten Jayawijaya ......................................
26
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kuesioner Penelitian ..................................................................................
40
2. Tabel data iklim di Kabupaten Jayawijaya selama Januari – Juli Tahun 2007 ……………………………………………………………………...
44
3. Dokumentasi Kegiatan di Pasar Jibama Kondisi Kehidupan Masyarakat Lokal Secara Tradisional ………………………………….......................
45
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. M Agatha Winny K Sanjaya, MS
PENDAHULUAN Latar Belakang Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Taeniasis adalah infeksi cacing pita dewasa Taenia solium dalam usus halus manusia. Infeksi stadium larva atau metacestoda (sistiserkus) pada inang antara menyebabkan sistiserkosis. Cysticercus cellulosae adalah bentuk metacestoda dari T.solium pada babi. Adanya sistiserkus pada otot-otot babi akan menyebabkan degradasi sel-sel disekitarnya. Apabila jumlah parasit itu cukup banyak maka sebagian atau seluruh karkas babi tersebut harus dimusnahkan, karena akan menjadi sumber penularan T.solium pada manusia (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Manusia juga dapat menderita sistiserkosis apabila menelan telur atau proglotida Taenia yang mengkontaminasi makanan atau melalui proses autoinfeksi. Kasus taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia ditemukan terutama di empat provinsi yaitu Sumatra Utara, Bali, Papua dan Papua Barat. Dari keempat provinsi tersebut, jumlah kasus pada manusia paling banyak ditemukan di Provinsi Papua sehingga penyakit ini
merupakan salah satu masalah serius dalam bidang
kesehatan masyarakat yang dihadapi Provinsi Papua (Margono et al. 2001). Penyebaran kasus tersebut di Provinsi Papua meliputi Kabupaten Jayawijaya, Paniai, serta
beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya (Yahukimo,
Tolikara dan Pegunungan Bintang) (Subahar et al. 2000; Wandra et al. 2003; Dinkes Kab. Jayawijaya 2006). Studi tentang taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya lebih banyak dilakukan pada manusia sebagai inang definitif dari cacing tersebut. Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2004) dari 356 orang penduduk Kabupaten Jayawijaya yang diperiksa, 4 orang menderita taeniasis dan 124 orang sistiserkosis. Pada tahun 2005 dilaporkan, bahwa dari 38 orang yang diperiksa 12 orang ditemukan terinfeksi taeniasis (Dinkes Papua 2005). Di sisi
2
lain studi tentang peran babi dalam transmisi penyakit ini belum pernah dilakukan. Selama ini belum pernah ada catatan dan laporan secara sistematik kepada Dinas Peternakan Provinsi Papua tentang kejadian sistiserkosis yang terjadi setiap tahun pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Ternak babi di Provinsi Papua, khususnya bagi masyarakat Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya, merupakan salah satu komoditas unggulan dan memiliki nilai adat dan budaya yang sangat tinggi. Hampir sebagian besar masyarakat Jayawijaya beternak babi secara turun-temurun sejak dahulu kala. Kepemilikan babi juga dijadikan sebagai alat pengukur kekayaan (status sosial) seseorang, sehingga semakin banyak babi yang dimiliki seseorang berarti semakin tinggi status sosialnya di tengah masyarakat (Pattiselano 2005). Program pengendalian taeniasis/sistiserkosis pada manusia tidak akan efektif tanpa diikuti upaya pemutusan siklus hidup Taenia solium. Stadium larva (Cysticercus cellulosae) dalam daging babi merupakan sumber infeksi bagi manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi serta kondisi faktor-faktor lain seperti sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat di Kabupaten Jayawijaya.
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. 2. Mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah Provinsi Papua, dan khususnya Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dalam rangka pemberantasan penyakit sistiserkosis pada babi dan menusia serta taeniasis solium pada manusia di Kabupaten Jayawijaya Papua.
3
Hipotesis Penelitian 1. Ditemukan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. 2. Kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, famili Taenidae dan genus Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al. 2003). Cacing dewasa berukuran panjang 3–5 meter kemungkinan dapat juga mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) memiliki rostelum dengan dua baris kait (Gambar 1). Proglotid gravid panjangnya 10–12 mm dan lebarnya 5 – 6 mm dan memiliki uterus dengan jumlah cabang 7 – 16 (Soulsby 1982). Setiap proglotida gravid berisi kira-kira 30.000 – 50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter 26 – 34 µm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki enam kait (embrio hexacanth) (Gandahusada et al. 2000; Soulsby 1982).
a
c
b
Gambar 1 Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b) Rostelum, (c) Uterus (Sumber: http://home.austarnet.com.au/wormman/ paraimg/tsoliscp.jpg).
5
Daur hidup Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin & Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 – 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin & Kandun 2000). Sewaktu-waktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (Ilsoe et al. 1990). Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan babi yang merupakan induk semang antara T. solium. Di dalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir).
Selanjutnya onkosfir tersebut menembus
dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ-organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paruparu, hati, ginjal. Kista muda terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimakan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan (Soulsby 1982). Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan subkutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al. 1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut (Gambar 2). Sumber kontaminasi parasit ini dapat berupa tinja manusia yang mengandung parasit, tangan kotor penderita taeniasis, dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena muntahan telur ke dalam lambung akibat adanya anti peristaltik (Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990).
6
Gambar 2 Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis (Sumber : Murrell, Feyer & Dubey 1986 diacu dalam Soejoedono 2004).
Taeniasis/Sistiserkosis pada Manusia Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa pada manusia dikenal dengan nama taeniasis solium. Disamping sebagai induk semang definitif, manusia juga dapat bertindak sebagai induk semang antara bila terinfeksi stadium larva yang menyebabkan sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000). Distribusi geografik Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolitan, terutama di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di Eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat China, India, Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara-negara Islam yang melarang pemeliharaan dan konsumsi babi. Kasus taeniasis/sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia antara lain Irian Jaya (Papua), Bali dan Sumatra Utara.
Infeksi penyakit ini juga sering di alami oleh para
transmigran yang berasal dari daerah-daerah tersebut (Gandahusada et al. 2000). Ditambahkan oleh Chin dan Kandun (2000) penyakit yang disebabkan cacing pita
7
ini, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Di samping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan kebiasaan melakukan defikasi
di
sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekwensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik. Patologi dan gejala klinik Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri hulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Pemeriksaan ulas darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Gejala klinis pada manusia biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin & Kandun 2000; Gandahusada et al. 2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Kalsifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala, namun sewaktu-waktu dapat menyebabkan pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al. 2000).
8
Diagnosa Diagnosa taeniasis solium dilakukan dengan pemeriksaan tinja secara makroskopik dan mikroskopik untuk menemukan proglotidan dan/atau telur dalam tinja penderita taeniasis. Kendala dari metode diagnosa ini adalah kesulitan dalam membedakan bentuk telur dari berbagai spesies Taenia dengan telur cacing pita lain seperti Echinococcus yang secara morfologi sangat mirip. Diagnosa sistiserkosis subkutis dapat dilakukan dengan teknik biopsi. Sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi diberbagai bagian tubuh termasuk otot dan otak dapat dideteksi dengan sinar X. Teknik pencitraan lain seperti
computerized
tomographic (CT) scan juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi sistiserkus dalam jaringan otak. Berbagai uji serologis telah digunakan untuk mendiagnosa
penderita
sistiserkosis,
diantaranya
enzyme-linked
immunoelectrotransfer blot (EITB), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji hemaglutinasim dan uji pengikatan komplemen (CFT = complement fixation test) (CFSPH 2005). Pengobatan Pengobatan penderita taeniasis solium dapat diobati dengan berbagai jenis antelmintika seperti prazikuantel, niklosamid, buklosamid, atau mebendazol. Dalam beberapa kasus sistiserkosis mungkin dapat diobati dengan albendazol dan prazikuantel. Pembendahan dapat digunakan untuk mengangkat sistiserkus dari mata, ventrikel serebrum, dan sumsum tulang belakang mengingat pemberian antelmintika dapat memperparah gejala klinis yang timbul (CFSPH 2005). Pencengendalian Tindakan pengendalian meliputi pengobatan terhadap orang tertular, pendidikan masyarakat, kesehatan/kebersihan lingkungan, dan pemeriksaan daging secara seksama di rumah potong hewan. Daging yang tertular sistiserkus harus disingkirkan atau mengalami pembekuan dengan suhu di bawah - 10 °C atau dimasak dengan suhu di atas 60°C. Perlu dicermati bahwa pemeriksaan karkas di RPH tidak 100% mendeteksi sistiserkus, meskipun dapat menyingkirkan sebagian besar jaringan tertular (Soeharsono 2002; Soejoedono 2004).
9
Epidemiologi Kebiasaan hidup masyarakat yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peran penting dalam penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Tingkat kejadian penyakit ini tinggi pada orang-orang bukan pemeluk agama Islam, penganut ajaran Yahudi, Advent Hari ke-tujuh, dan Saksi Yehova, yang biasanya mengkonsumsi daging babi (Schnurrenberger & Hubbert 1991; Gandahusada et al. 2000). Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan lingkungan (sanitasi) dan higiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun Cysticercus cellulosae. Disamping Provinsi Papua kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak ditemukan di Provinsi Bali dan Sumatera Utara yang memiliki populasi penduduk non muslim yang tinggi. Kasus taeniasis/sistiserkosis di Provinsi Bali disebabkan oleh Taenia solium dan Taenia saginata, sedangkan di Sumatera Utara kasus ini disebabkan oleh Taenia asiatica (Wandra et al. 2006b). Margono et al. (2001) mengungkapkan data serologis positif sistiserkosis (13.5%) penderita epilepsi, serta (12.6%) kasus asimptomatik di Bali. Wandra et al. (2006a) dalam studi epidemiologi di 3 desa di Bali pada tahun 2002 dan 2004 menemukan prevalensi taeniasis bervariasi antara 1.1% - 27.5%. Namun dalam studi itu hanya ditemukan satu kasus sistiserkosis diantara penduduk ketiga desa tersebut.
Sistiserkosis pada Babi Cacing pita dari daging babi telah diketahui sejak Hippocrates, atau bahkan mungkin sudah sejak masa Nabi Musa. Pada masa itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi. Gessner (1558) dan Rumler (1856) merupakan ilmuwan yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva T. solium. Istilah ”sistiserkus” pertama kali digunakan oleh Zeder pada tahun 1830, yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti ”gelembung yang mempunyai ekor” (Grove 1990). Kejadian sistiserkosis pada babi telah dikenal lama di berbagai belahan dunia. Adanya penyakit ini di Indonesia ditunjukkan dengan telah adanya istilah
10
atau nama dalam bahasa daerah untuk gangguan parasit tersebut, seperti ”beberasan” di daerah Bali, ”manisan” di Tapanuli dan ”banasan” di Tanah Toraja (Direktorat Kesehatan Hewan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping Cysticercus cellulosae terdapat beberapa jenis sistiserkus lain yang dapat dijumpai pada daging babi, diantaranya adalah Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus atau kista hydatida (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Dari ketiga jenis sistiserkus tersebut, yang sangat berbahaya bagi manusia adalah Cysticercus cellulosae dan kista Echinococcus karena keduanya bersifat zoonosis (CFSPH 2005). Cysticercus cellulosae disamping dapat dijumpai pada babi, juga dapat ditemukan pada manusia, domba dan anjing (Soulsby 1982). Ukuran Cysticercus cellulosae bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Pada umur 20 hari gelembung atau kista berukuran sebesar kepala jarum pentul, umur 60 hari sebesar kacang tanah. Skoleks mulai tampak pada umur 110 hari dan besarnya tetap hingga dewasa, tetapi sudah menjorok ke dalam gelembung. Di dalam organ, Cysticercus cellulosae dapat hidup bertahuntahun tetapi bila terjadi degradasi lemak atau pengapuran jaringan sekitarnya, parasit itu segera mati (LBN-LIPI 1983; Direktorat Jenderal Peternakan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Menurut Soulsby (1982) Cysticercus cellulosae mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 x 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9 – 10 minggu. Sementara itu Dharmawan (1990) mengemukakan sistiserkus matang berbentuk kista bujur yang jernih dengan ukuran diameter kira-kira 10 x 5 mm. Sistiserkus memiliki skoleks keruh yang menonjol ke dalam. Skoleks mempunyai empat batil isap dan satu lingkaran kait-kait (Cheng 1986; Dharmawan 1990). Pada pemeriksaan postmortem di RPH, Cysticercus cellulosae dapat ditemukan pada otot lidah, otot diafragma, otot antar tulang rusuk, otot perut, otot daerah pipi dan otot jantung (Wilson 1980; LBN-LIPI 1983; Dharmawan 1990). Disamping lewat pemeriksaan kesehatan daging yang biasa dilakukan di Rumah Potong Hewan, di negara-negara yang telah maju telah diintroduksi penggunaan cara-cara diagnostik dengan menggunakan teknik ELISA (Kumar & Ganur 1978; Ris et al. 1987; Dharmawan 1990).
11
Cysticercus tenuicollis merupakan bentuk larva cacing pita Taenia hydatigena yang cacing dewasanya hidup dalam usus halus anjing, kadangkadang pada kucing atau karnivora lainnya (Soulsby 1982). Larva ini merupakan cacing gelembung yang terbesar dari genus Taenia, dengan diameter mencapai 7 – 8 cm (Wilson 1980; Dunn 1978; Dharmawan 1990). Parasit ini bermigrasi menembus jaringan hati untuk menuju ke selaput peritonium (Georgi 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping pada babi, hewan lain seperti domba, kambing dan sapi dapat menjadi induk semang antara Taenia hydatigena (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Cysticercus tenuicollis yang matang panjangnya dapat mencapai 6 cm (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista ini mengandung cairan encer dan berisi sebuah skoleks putih yang melipat ke bagian lehernya (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista Echinococcus adalah bentuk larva (metacestoda) dari cacing pita Echinococcus spp. Ada empat spesies dari genus ini yang telah diketahui yaitu Echinococcus granulosus, merupakan spesies yang pathogen dari keempat spesies yang ada (Soulsby 1982). Cacing dewasa berparasit di dalam usus halus anjing, serigala, anjing ajag, anjing hutan, kadang-kadang pada kucing dan karnivora lainnya (Acha & Szyfres 1980; Dharmawan 1990). Sedangkan metacestodanya yang dikenal dengan nama hydatida atau kista Echinococcus ditemukan tersebar pada beberapa hewan seperti babi, domba, sapi, kuda dan kadang-kadang dapat berakibat fatal pada manusia (Soulsby 1982). Kista Echinococcus umumnya berdiameter sekitar 5 – 10 cm. Namun pernah ditemukan kista ini pada manusia berukuran 50 cm dan mengandung sekitar 16 liter cairan (Soulsby 1982).
Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya Masyarakat kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku-suku yang besar dan mendiami daerah Kabupaten Jayawijaya sebagai masyarakat asli daerah itu adalah suku Dani, Lani dan Yaly (Petocz 1987; WI 2007). Babi merupakan hewan yang mempunyai kedudukan penting bagi masyarakat pedalaman terutama
masyarakat
Dani-Lembah. Dalam adat
masyarakat Dani-Lembah, babi adalah harta untuk membayar maskawin,
12
menyelesaikan masalah adat, serta syarat untuk ritual pengobatan dan upacaraupacara adat (Kosasih 1996). Masyarakat di pedalaman Pegunungan Tengah Papua mempunyai kebiasaan memelihara babi tanpa dikandangkan, sehingga ternak tersebut berkeliaran ke mana-mana. Babi yang berkeliaran tersebut sering juga mengkonsumsi tinja manusia. Hal ini dikarenakan, masyarakat sering melakukan defikasi di sembarang tempat, terutama di ladang atau kebun sekitarnya. Jika tinja manusia tersebut mengandung telur cacing pita atau Taenia solium, maka secara otomatis babi tersebut telah mengkonsumsi telur cacing Taenia solium sehingga dalam tubuhnya akan mempunyai kista atau sistiserkus (Anonim 2001). Sistem defikasi yang tidak saniter ini akan menjadi media pencemar bagi tanah, air dan tanaman sekitarnya. Padahal
masyarakat setempat biasa mengkonsumsi air mentah,
mengambil sayuran dan umbi-umbian seperti ubi jalar (Ipomea batatas), kentang, ketela pohon, talas, wortel, kol, sawi, kacang tanah dari daerah sekitarnya. Proyek percontohan peternakan babi di Jayawijaya pernah dilakukan melalui kerjasama South Australia Research and Development (SARD), International Potato Center (IPC), Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya (Distnak), Balai Penelitian Ternak (Balitnak), dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan model kandang babi yang mudah dibangun dan memenuhi syarat kesehatan ternak. Penggunaan model kandang yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan mencegah babi berkeliaran sehingga mengurangi resiko terjadinya kontak antara babi dan telur /proglotida cacing pita dalam tinja manusia (Cargil et al. 2007). Masyarakat setempat biasanya memasak daging babi menggunakan cara ”bakar batu”. Suhu yang dihasilkan dari proses bakar batu ini tidak cukup tinggi sehingga apabila pemanasan dilakukan tidak cukup lama, maka daging tersebut masih setengah matang. Bila daging babi itu mengandung sistiserkus maka daging setengah matang tersebut akan menjadi sumber penularan infeksi cacing pita. Pada kegiatan ”bakar batu”, biasanya daging babi yang telah masak akan diletakkan di atas tanah dengan beralaskan daun-daunan atau rumput-rumputan.
13
Rendahnya kebersihan lingkungan (sanitasi) membuka kemungkinan terjadinya pencemaran telur cacing pada alas daun tersebut (Anonim 2001). Sistem sanitasi umum dan higiene perorangan di daerah inipun sangat buruk. Menurut Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2006), Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu daerah yang memiliki status kesehatan lingkungan (sanitasi) terendah di Propinsi Papua. Sebagian besar (98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat lokal di daerah tersebut memiliki higiene perorangan yang buruk. Menurut laporan ini juga bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya higiene perorangan mereka adalah faktor iklim. Suhu di Lembah Balliem yang dingin (14-15°C) mempengaruhi frekwensi masyarakat untuk membersihkan dirinya (mandi, cuci tangan dan gosok gigi) secara normal. Di sebagian besar penduduk di Lembah Balliem tidak menganggap higiene perorangan sebagai hal yang penting. Selain itu, sistem pengolahan makanan yang masih tradisional dan kurang memenuhi syarat kesehatan menjadi media yang potensial dalam penyebaran penyakit ini. Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu pusat keramaian yang terletak di pertengahan antara Distrik Kurulu, Kampung Walesi, dan Kampung Hom-Hom. Letaknya yang sangat strategis memberikan kontribusi bagi perekonomian di Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya. Pasar Jibama juga merupakan pasar terbesar diantara pasar-pasar yang ada di Kota Wamena dimana masyarakat setempat dapat menjual hasil bumi mereka. Daging babi adalah salah satu bahan pangan asal hewan yang dijual di pasar ini. Daging babi ini berasal dari ternak masyarakat lokal suku-suku yang tinggal di Lembah Balliem. Disamping ternak babi, babi hasil buruan masyarakat juga di jual di pasar ini, meskipun kebanyakan dalam bentuk daging asap. Pemotongan babi biasanya dilakukan langsung di lingkungan pasar yang tidak jauh dari lokasi penjualan, mengingat daerah ini belum ada Rumah Potong Hewan (RPH). Untuk mendapatkan daging babi yang segar, masyarakat biasanya langsung membeli di pasar. Daging babi yang dijual di pasar sampai saat ini belum dapat
14
dipastikan kesehatannya. Hal ini disebabkan belum adanya manajemen pengawasan kesehatan ternak dan daging babi di Kabupaten Jayawijaya. Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyebaran taeniasis melalui daging yang dijual di pasar.
Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Penyakit cacing pita ini diperkirakan masuk pertama kali ke derah Paniai dan Pegunungan Jayawijaya bagian Barat dalam tahun 1970 (Gunawan et al. 1975). Kemudian penyakit ini menyebar ke wilayah timur pegunungan tengah sampai Lembah Balliem. Hal tersebut termuat dalam laporan Subianto pada Rapat Kerja Kesehatan Provinsi Irian Jaya 1978 di Jayapura, yang melaporkan kejadian taeniasis 9.8% dari penduduk Lembah Balliem (Wamena dan sekitarnya) yang disurvei (Gunawan 1983). Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi, Kecamatan Wamena menemukan bahwa 11 orang (10.8%) dari jumlah total 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita. Berdasarkan jumlah tersebut 10 orang (9.8%) mengalami kejang-kejang dan 2 diantaranya mempunyai nodul. Seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang-kejang (Indarto et al. 1983). Pada tahun 1993 dilakukan survei tentang taeniasis/sistiserkosis, dan cacing usus lainnya terhadap warga delapan paroki di seluruh Lembah Balliem. Survei ini didorong oleh laporan kematian beberapa tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai pada saat serangan epilepsi. Hasil survei menemukan 48.0% dari 537 orang dewasa pernah mengalami serangan epilepsi dimana 26.5% merupakan penderita sistiserkosis. Hal ini menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan data tahun 1977 yang mencatat kejadian sistiserkosis dan epilepsi pada masing-masing 2% dan 14% penduduk (Handali et al. 1997). Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu penderita sedang tidur di malam hari. Kondisi ini
sering
mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai. Honai adalah bentuk rumah adat suku Dani, Yali dan Lani di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan sebagai tempat
15
tinggal. Pada tahun 1973-1976 tercatat 257 kasus luka bakar di Desa Obano Kabupaten Jayawijaya (Margono et al. 2006). Studi lain oleh Wandra et al. (2000) memperlihatkan pada 1991-1995 ditemukan 1.120 kasus luka bakar di Distrik Asologaima yang berpenduduk 15. 939 jiwa. Pada awal 1996, Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Kabupaten Jayawijaya melaporkan jumlah kasus neurosistiserkosis sebanyak 3.632 kasus yang tersebar di 15 Kecamatan. Terbanyak berada di Kecamatan Makki, Wamena, Assologaima, Karubaga, Hom-Hom dan Kurulu. Angka ini merupakan angka kumulatif (kasus baru dan lama) yang dikumpulkan sejak tahun 1993 (Anonim 2001). Berdasarkan catatan dari Puskesmas Asologaima pada tahun 1991 ditemukan 4 kasus epilepsi (0.3%) dan 217 kasus luka bakar (1.6%) dari 13.334 penduduk enam kampung di Kecamatan Asologaima. Data tahun 1995 menunjukkan adanya 145 kasus epilepsi (0.83%) dan 452 kasus luka bakar (2.58%) dari 17.493 penduduk (Wandra et al. 2000). Menurut Simanjuntak et al. (1997) hampir 50.0% kasus tersangka taeniasis atau sistiserkosis di sekitar Wamena menunjukkan gejala epilepsi. Hasil survei bersama antara Subdit Zoonosis Depkes RI, serta Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Desa Woogi Kecamatan Assologaima dan Desa Home Lama Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya pada Februari 1996 menemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis diantara penduduk kedua desa tersebut. Dari 22 orang penduduk Desa Woogi yang diperiksa terdapat 13 penderita sistiserkosis dan 9 orang lainnya pernah mengalami serangan epilepsi. Di Desa Home Lama terdapat 5 orang penderita taeniasis dan
2 orang penderita sistiserkosis serta 2 orang lainnya
mempunyai gejala epilepsi dari 9 orang penduduk yang diperiksa (Subdit Zoonosis Depkes RI, Dinkes Prov.Irja & Dinkes Kab.Jayawijaya 1996). Upaya penanggulangan pernah dilakukan pada beberapa tahun yang silam, namun sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini, perhatian Pemerintah Provinsi Papua terhadap penyakit taeniasis dan sistiserkosis sangat rendah. Hal ini menyebabkan morbiditas penyakit taeniasis dan sistiserkosis meningkat cukup
16
tinggi di daerah endemis termasuk Kabupaten Jayawijaya (Dinkes Kab.Jayawijaya 2006).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan September 2007. Pengambilan sampel daging babi dan survei lapangan dilakukan di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya dan beberapa distrik di Kabupaten Jayawijaya yaitu Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Wamena Kota, dan Kampung Hom-Hom (Gambar 3). Identifikasi spesies sistiserkus yang diisolasi dari sampel daging dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Gambar 4).
Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua
Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama penelitian untuk
mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi dilakukan melalui pemeriksaan karkas dan organ viseral terhadap 35 ekor babi yang disembelih dan dijual dagingnya di Pasar Jibama Wamena pada minggu pertama dan kedua Agustus 2007. Sebelum babi-babi tersebut disembelih dilakukan pencatatan mengenai asal dan jenis babi, jenis kelamin serta berat badannya. Sistiserkus yang ditemukan pada pemeriksaan tersebut diawetkan untuk identifikasi jenis sistiserkus. Pada tahap kedua penelitian dilakukan penelusuran terhadap pola konsumsi pangan,
18
kepemilikan dan pengelolaan peternakan babi, serta sanitasi lingkungan di wilayah distrik asal babi yang dijual di Pasar Jibama (Distrik Wamena Kota, Hom-Hom, Kurulu, Kurima dan Pugima). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner dengan 35 keluarga responden di setiap distrik.
Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi Pengamatan untuk mengetahui keberadaan sistiserkus pada babi yang disembelih di Pasar Jibama Wamena dilakukan terhadap karkas dan organ-organ viseral lainnya segera setelah proses penyembelihan berlangsung. Pada pengmatan ini dilakukan insisi (sayatan) terhadap otot-otot yang dianggap menjadi predileksi dari Cysticercus cellulosae seperti otot masseter, otot lidah, otot antar tulang rusuk, otot jantung dan otot diafragma (Collins 1981; Dharmawan 1990). Untuk mengetahui kemungkinan adanya Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus dilakukan pemeriksaan pada organ-organ viseral seperti hati, ginjal, paru-paru, limpa, penggantung usus (mesenterium), penggantung lambung (omentum) (Wilson 1980; Collins 1981; Dharmawan 1990).
Survei Pasar
Tahap I
Koleksi Sistiserkus Survei & Wawancara ke Lingkungan Peternakan Babi
Identivikasi Larva Cacing Pita
Analisis Data & Hasil Kesimpulan
Gambar 4 Bagan alir penelitian.
Tahap II
19
Sampel sistiserkus yang ditemukan diawetkan dalam alkohol 70% sebelum dibuat sediaan skoleks untuk identifikasi spesies sistiserkus. Pembuatan sediaan skoleks dilakukan dengan mengeluarkan skoleks dari kista yang diperoleh dengan jalan menekan menggunakan skalpel, lalu dipotong. Hasil potongan skoleks yang didapatkan kembali ditipiskan dengan cara mengiris secara hati-hati dibawah mikroskop, guna memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks yang masih berukuran besar ditekan dengan menggunakan kaca penjepit untuk memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks tersebut dijernihkan dengan merendamnya dalam KOH 1% selama beberapa detik, diteruskan perendaman dalam minyak cengkeh selama satu menit sampai terlihat transparan. Selanjutnya dilakukan dehidrasi melalui perendaman dalam alkohol bertingkat berturut-turut mulai dari alkohol 50%, 70%, 80% dan terakhir alkohol absolut. Setiap tahap perendaman berlangsung selama 5 menit. Selanjutnya skoleks diletakkan di atas gelas obyek lalu di-mounting dengan perekat entelan dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi jenis sistiserkus dilakukan terhadap preparat skoleks yang sudah dibuat. Pekerjaan ini dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, serta jumlah kait dengan bantuan video mikrometer.
Pada prinsipnya sistiserkus dari genus
Taenia dapat dibedakan dari kista Echinococcus berdasarkan jumlah skoleksnya. Pada Taenia hanya terdapat satu skoleks, sedangkan pada Echinococcus terdapat banyak skoleks dalam sebuah kista (Dharmawan 1990). Dokumentasi dilakukan dengan melakukan pemotretan pada bagian protoskoleks dari sistiserkus
Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan Pengumpulan data melalui wawancara yang dipandu dengan kuesioner dan daftar isian yang disiapkan sebelumnya (Lampiran 1). Disamping itu, pengamatan langsung dilakukan untuk melihat kondisi pasar, peternakan, sanitasi kandang dan lingkungan sekitarnya untuk didokumentasikan dengan pemotretan. Pengumpulan data dilakukan di empat distrik yang mewakili wilayah timur, barat, utara, dan selatan (Kurulu, Kurima, Asologaima dan Wamena Kota) serta satu kampung (Hom-Hom) di Kabupaten Jayawijaya Papua. Kampung Hom-Hom terletak di Distrik Wamena Kota yang teletak paling dekat dengan Pasar Jibama
20
dan sedang dipersiapkan menjadi satu distrik tersendiri. Pertimbangan penetapan wilayah survei ini adalah daerah asal babi yang dipotong di Pasar Jibama, serta tingkat kejadian taeniasis dan sistiserkosis pada manusia yang tercatat di Dinas Kesehatan tergolong tinggi (Dinkes Kab. Jayawijaya 2006). Bertindak sebagai responden dalam survei ini adalah kepala keluarga atau orang dewasa dalam lingkungan keluarga bersangkutan yang dianggap paling mengetahui segala sesuatu dalam keluarganya. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mencakup indikator pola konsumsi daging dan pengolahan makanan, pemilikan dan pengelolaan ternak babi, serta kepemilikan dan penggunaan jamban keluarga.
Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk Data kejadian taeniasis dan sistisekosis pada penduduk merupakan data sekunder tentang jumlah dan penyebaran kasus taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Kabupaten Jayawijaya selama periode 2002-2003 yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya.
Data tersebut merupakan catatan
laporan kasus taeniasis dan sistisekosis di puskemas-puskesmas serta Paroki Dekanat.
Analisis Data Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih di Pasar Jibama dihitung dengan metode ”Point Prevalence Rate”, yaitu proporsi penderita terhadap total hewan yang diteliti pada saat itu dikalikan 100% (Swan dan Hawkins 1984; Friedman 1986; Azwar 1988; Dharmawan 1990). Sedangkan data lain yang mendukung kejadian sistiserkosis pada hewan dan manusia serta taeniasis pada manusia yang diperoleh dari lokasi peternakan maupun instansi terkait, dan juga kondisi sanitasi lingkungan, akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan analisis kasus penyakit (Azwar 1988).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Sistiserkosis pada Babi Babi yang diamati selama penelitian terdiri dari 25 ekor babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babi tersebut berasal dari berbagai daerah di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya Papua (Tabel 1). Semua babi yang disembelih merupakan babi ras lokal dengan kisaran berat badan diperkirakan antara 60 – 150 kg. Jumlah babi yang diperjual belikan dan disembelih di Pasar Jibama adalah 1- 4 ekor. Jumlah babi yang disembelih pada saat penelitian berlangsung jauh merosot dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5-10 ekor setiap hari. Hal ini terjadi karena pada bulan Februari 2007 terjadi wabah hog cholera yang mematikan sebagian besar babi-babi di wilayah Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya. Dampak lain dari wabah ini adalah peningkatan secara drastis harga jual daging dari Rp. 150.000,- per potong menjadi Rp. 350.000 – Rp. 700.000,- per potong. Tingginya harga babi tersebut juga mendorong penduduk pendatang yang mengkonsumsi daging babi untuk membeli daging babi yang dipasok dari luar Kabupaten Jayawijaya (Biak dan Jayapura) yang harganya lebih murah.
Gambar 5 Sistiserkus (panah) yang ditemukan pada hati dan daging babi yang disembelih di Pasar Jibama- Wamena.
22
Pengamatan pada daging dan organ internal babi yang disembelih berhasil menemukan adanya sistiserkus di hati, jantung paru-paru dan otot masseter (rahang) dari 27 ekor (77.1%) babi (Gambar 5). Kejadian sistiserkosis tertinggi ditemukan pada babi dari Kampung Hom-Hom (88.9%) disusul Distrik Kurima (85.7%), sedangkan tingkat kejadian terendah ditemukan pada babi yang berasal dari Distrik Wamena Kota (40.0%).
Terdapat tiga babi yang tidak dapat
diidentifikasi secara pasti distrik asalnya dimana ketiganya terinfeksi sistiserkus.
Tabel 1 Kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua selama periode pengamatan (28 Juli – 18 Agustus 2007). No
Daerah Asal (Distrik)
1.
Wamena Kota
5
Jumlah Terinfeksi 2
2.
Kampung Hom-Hom
9
8
88.9
3.
Kurulu
4
3
75.0
4.
Asologaima
7
5
71.4
5.
Kurima
7
6
85.7
6.
Sumber lain Balliem Jumlah
3
3
100.0
35
27
77.1
di
Lembah
Jumlah Babi
Prevalensi (%) 40.0
Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap sediaan skoleks sistiserkus tersebut, diperoleh bahwa diameter skoleks berkisar antara 0,05-0,84 mm. Skoleks mempunyai rostelum yang berdiameter 0,3 mm. Rostelum kista dilengkapi dengan kait-kait sejumlah 20-21 buah. Kait ini terdiri dari kait besar dan kait kecil. Kait yang besar mempunyai ukuran 0,6 – 0,18 mm. Disamping itu skoleks sistiserkus mempunyai alat pengisap (sucker) sebanyak empat buah. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat dinyatakan bahwa jenis tersebut adalah Cysticercus cellulosae (Gambar 6, 7). Hal ini sesuai dengan morfologi Cysticercus cellulosae menurut Soulsby (1982).
23
Gambar 6 Skoleks Cysticercus cellulosae yang terdiri dari empat buah alat pengisap (sucker).
Gambar 7 Kait pada rostelum dari skoleks Cysticercus cellulosae. Prevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kejadian sistiserkosis di provinsi lain dan bahkan negara Asia lainnya. Studi Dharmawan (1990) menunjukkan tingkat prevalensi sistiserkosis pada babi di Bali sebesar 0.12% disebabkan Cysticercus cellulosae dan 18.1% oleh Cysticercus tenuicolis. Rajshekhar et al. (2003) mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India dan Nepal masingmasing adalah 5.4, 9.3, dan 32.5 %. Sangat tingginya tingkat kejadian sistiserkosis pada babi tersebut menunjukkan tingginya potensi penularan taeniasis dan sistiserkosis melalui daging babi yang dijual di pasar. Temuan Subahar et al. (2001) menunjukkan seroprevalensi taeniasis/sistiserkosis pada
penduduk Distrik Wamena sebesar
51.7% serta di Distrik Asologaima 35.3%. Hasil wawancara dengan pemotong
24
dan pemilik babi terungkap bahwa sangat minimnya sarana transportasi dan letak geografis Kabupaten Jayawijaya merupakan faktor penghambat pemasukan babi ke kabupaten ini, sehingga babi yang diperjual belikan kebanyakan dari wilayah Lembah Balliem yang merupakan daerah endemik taeniasis/sistiserkosis pada manusia (Wandra et al. 2003). Penyembelihan babi dilakukan di tanah lapang sekitar pasar tanpa adanya pengawasan dari petugas dinas peternakan.
Ketiadaan pengawasan tersebut
menyebabkan masyarakat akan tetap mengkonsumsi daging meskipun di dalamnya mengandung sistiserkus. Hasil pengamatan
selama penelitian
berlangsung memperlihatkan kondisi sanitasi pasar dan tempat pemotongan babi secara umum sangat buruk. Di beberapa tempat di sudut pasar masih ditemukan sampah, tinja manusia dan bau khas air seni (Gambar 8).
A
B
C
D
Gambar 8 Situasi jual beli babi di tanah lapang sekitar Pasar Jibama Wamena (A,B), penyembelihan babi (C) dan potongan daging babi yang siap dijual (D).
25
Mengingat daging babi merupakan sumber protein hewani utama bagi masyarakat setempat, maka penanganan aspek kesehatan masyarakat veteriner merupakan hal mendesak untuk dilakukan sebagai upaya memutuskan rantai penularan taeniasis dan sistiserkosis. Langkah yang dapat diambil diantaranya menyediakan tempat pemotongan babi yang
memenuhi standar kesmavet di
sekitar pasar termasuk penyediaan tenaga medis/para medis veteriner dalam melakukan pemeriksaan ante dan postmortem.
Pola Makan Masyarakat Jayawijaya Hasil wawancara, pengamatan dan kuesioner yang disebarkan diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya mengkonsumsi babi (75.4%) sebagai sumber protein hewani. Disamping itu terdapat pula masyarakat yang mengkonsumsi ikan (8.0%) dan ayam (5.2%) serta hewan lain (11.4%) seperti burung, tikus hutan dan udang sebagai sumber proteinnya (Gambar 10).
Tabel 2 Sistem pengolahan makanan oleh masyarakat lokal menurut higiene makanan berdasarkan empat distrik dan satu kampung di Kabupaten Jayawijaya. Daerah Asal/Distrik
Pengolahan Makanan Masak
Bakar
Mentah
Wamena Kota
22
13
-
Hom-hom
21
13
1
Kurima
13
20
2
Asologaima
18
14
13
Kurulu
19
14
2
Jumlah
93
74
8
53.1
42.3
4.6
Persentase (%)
26
11,4% 5,2% Babi ikan Ayam Daging lainnya
8,0%
75,4%
Gambar 10 Pola konsumsi daging di Kabupaten Jayawijaya.
Masih banyak masyarakat lokal yang belum mengolah makanannya secara higienis dan matang. Hasil wawancara menunjukkan baru 53.1% keluarga responden yang memasak dengan menggunakan alat masak. Keluarga yang lain memasak makanannya dengan cara membakar makanan (42.3%) dan (4.6%) mengkonsumsi setengah matang atau mentah (Tabel 2). Kebiasaan masyarakat untuk memasak daging setengah matang dengan cara membakar tidak akan mampu membunuh sistiserkus dalam daging. Sistiserkus akan mati bila daging dimasak pada suhu lebih dari 60oC (Soejoedono 2004). Oleh karena itu, instansi pemerintah terkait (dinas kesehatan dan dinas peternakan) perlu merintis pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat, khususnya cara mengolah makanan yang higienis.
Kondisi Peternakan Babi Hasil pengamatan dan wawancara di wilayah asal babi yang disembelih di Pasar Jibama menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65.6%) memiliki babi (Tabel 3), baik sebagai milik pribadi (62.8%) maupun kolektif (2.8%). Disamping babi, masyarakat juga memelihara hewan lain yaitu anjing dan ayam. Sistem peternakan babi di Kabupaten Jayawijaya umumnya masih bersifat tradisional (Tabel 4). Sebagian besar peternak (96.6%) membiarkan babinya berkeliaran sepanjang hari mencari makan di kebun atau halaman rumah masyarakat. Pada malam hari babi akan kembali ke rumah dan di dalam honai
27
bersama pemiliknya. Kebersihan kandang dan lingkungan peternakan juga masih buruk (Tabel 5).
Tabel 3 Kepemilikan ternak babi yang dikelola masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya Kepemilikan Daerah Asal/Distrik Pribadi Kolektif Tdk ada 23 12 Wamena Kota Kurima
27
-
8
Hom-Hom
18
3
14
Asologaima
24
-
11
Kurulu
29
2
4
Jumlah
110
5
60
Persentase ( %)
62.8
2.8
34.3
Tabel 4 Sistem peternakan babi yang dikelola masyarakat Kabupaten Jayawijaya Daerah Asal/Distrik
Sistem Peternakan Kandang Tidak
Wamena Kota
12
33
Kurima
27
35
Hom-Hom
18
33
Asologaima
24
35
Kurulu
29
33
Jumlah
6
169
3.4
96.6
Persentase ( %)
Sanitasi lingkungan yang buruk juga tercermin dari kebiasaan masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya untuk melakukan defikasi sembarangan di kebun, sungai dan hutan sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara, penyebaran kuesioner dan pengamatan lapangan didapati bahwa 119 orang (68.0%) melakukan defikasi di kebun, 33 orang (18.8%) melakukan defikasi di jamban dan 23 (13.1%) melakukan di tempat lain. Kepemilikan jamban keluarga juga masih sangat
28
rendah dimana 81.1% keluarga responden tidak memiliki jamban keluarga (Tabel 6). Sisanya memiliki jamban keluarga (14.3%) dan jamban umum (4.6%). Tabel 5 Sanitasi lingkungan peternakan pada lima distrik di Kabupaten Jayawijaya Kebersihan Peternakan Daerah Asal /Distrik Kandang Lingkungan Bersih Kotor Bersih Kotor Wamena Kota 10 25 5 30 Kurima
-
35
-
35
Hom-Hom
1
34
-
35
Asologaima
-
35
-
35
Kurulu
-
35
-
35
11 6.3
164 93.7
5 2.8
170 97.1
Jumlah Persentase (%)
Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian yang cepat dari instansi terkait, maka semakin meningkat pula jumlah daerah endemis taeniasis dan sistiserkosis di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya. Langkah-langkah yang harus diambil dalam mengatasi kondisi tersebut adalah dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dari aspek kesehatan masyarakat dan veteriner, pembuatan sarana-sarana percontohan yang didasarkan pada budaya lokal serta pengawasan yang terus-menerus dari instansi terkait. Kondisi peternakan tradisional yang membiarkan babi berkeliaran mencari makan di kebun merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada babi. Babi akan bebas memakan proglotida gravid atau telur Taenia solium yang keluar bersama tinja penderita. Telur Taenia mampu bertahan selama beberapa bulan di lapangan. Studi oleh Ilsoe et al. (1990) menunjukkan telur T. saginata mampu bertahan hidup selama 6 bulan selama musim panas di Denmark. Belum pernah ada studi tentang daya tahan telur T. solium di lingkungan. Pada suhu minimum Kabupaten Jayawijaya yang berkisar 14 -15oC (BMG 2007) telur Taenia solium mungkin akan dapat bertahan lebih dari 6 bulan mengingat kondisi di Jayawijaya lebih lembab dari kondisi Eropa.
29
Tabel 6 Sanitasi lingkungan menurut pemilikan jamban keluarga dan sistem defikasi penduduk lokal Kabupaten Jayawijaya Kepemilikan Jamban Keluarga Daerah asal/ Distrik
Umum
Pribadi
Tdk ada
Wamena Kota
3
11
21
Hom-hom
2
7
26
Kurima
1
4
30
Asologaima
-
1
34
Kurulu
2
2
31
Jumlah
8
25
142
14.3
81.1
Persentase ( %)
4.6
Kemampuan ketahanan telur Taenia dapat bertahan cukup lama di lingkungan seperti Kabupaten Jayawijaya, akan memberikan peluang yang besar terhadap penularan taniasis dan sistiserkosis. Hal ini dapat terjadi dengan sempurna bila sistem defikasi yang dilakukan masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya masih terjadi di sembarang tempat dan bukan di jamban keluarga. Babi dapat terinfeksi sistiserkosis karena mengkonsumsi tinja yang mengandung sistiserkus dari penderita taeniasis. Sedangkan manusia dapat terinfeksi penyakit sistiserkosis karena memakan daging babi yang mengandung sistiserkus. Oleh karena itu, untuk mengatasi kondisi ini sangat dibutuhkan peran petugas dari dinas kesehatan dan peternakan dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat pada masyarakat lokal tentang cara melakukan defikasi yang benar dan saniter (Gunawan 2000). Selain itu, perlu dibangun fasilitasfasilitas sarana percontohan berupa jamban dan kandang ternak babi yang saniter pada daerah-daerah yang endemis sistiserkosis/taeniasis. Melalui sistem pendidikan kesehatan masyarakat yang saniter dan higienis akan memberikan dampak positif terhadap pemutusan mata rantai penularan taeniasis dan sistiserkosis di Lembah Balliem. Hal ini dapat berjalan dengan baik, bila didukung dengan pendekatan budaya. Menurut Petocz (1987), budaya suku-suku di Pegunungan Tengah Papua jauh berbeda dengan suku-suku di pesisir pantai Papua. Mereka memiliki watak yang keras kepala dan sulit diatur. Oleh sebab itu,
30
pendekatan sanitasi berbasis budaya adalah pola yang cocok untuk diterapkan pada masyarakat di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya. Perlu dibina hubungan kerjasama yang harmonis antara komponen masayarakat, adat, gereja (agama), swasta (stake holder) dan pemerintah daerah dalam membangun persepsi masyarakat lokal. Hasil survei pendapat umum Papua - Indonesia oleh IFES (2003) menunjukkan bahwa pelayanan publik yang dilakukan pemerintah dan swasta lebih difokuskan pada aspek ekonomi. Sedangkan pendidikan dan kesehatan kurang mendapat perhatian. Hal ini memperlihatkan betapa rendahnya perhatian pemerintah dan swasta dalam meningkatkan pengetahuan (SDM) dan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi dan perencanaan kembali untuk meningkatkan kedua aspek tersebut.
Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia Hasil yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya menunjukkan angka prevalensi taenisis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang tinggi pada manusia. Angka tersebut diperoleh dari Puskesmas Kurulu, Asologaima, dan Hom-Hom (Tabel 7). Menurut keterangan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya bahwa laporan yang diperoleh dari puskesmas adalah berdasarkan pasien yang datang dan melaporkan kasusnya ke puskesmas. Diduga bahwa masih banyak kasus taeniasis dan sistiserkosis yang tersebar di Lembah Balliem yang belum terdeteksi dengan baik. Penderita tersebut akan menjadi sumber penular taeniasis dan sistiserkosis yang potensial bila tidak diantisipasi melalaui pelayanan kesehatan tepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei lapangan yang komprehensif agar dapat mendukung rencana pemberantasan yang tepat dalam memutuskan mata rantai penularan penyakit tersebut.
31
Tabel 7 Prevalensi kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis tahun 2002. Puskesmas 2002
Desa Asal/ Daerah Asal
Taeniasis L P 1 Kurulu Yiwika Waga-waga 1 1 Mulima Siba 4 Watlangka Wenabubaga 9 Erama Alkima Tulem Wolo 1 Kimima 1 Abusa Koroma 1 Lokasi transisi Elabokama di Luar Kurulu Kimbim -Asologaima Kerabaga Araboda Logopaga Yonggime Woogi Dogoname Wame Hom-Hom Jl.Bayangkara Polikelek Holima Hom-Hom Jumlah 17 2 Prevalensi (%) 9.1 1.1 Sumber : Dinkes Kab. Jayawijaya (2004).
KASUS Sistiserkosis Neurosistiserkosis L P L P 4 3 7 2 7 1 1 12 4 1 7 2 1 15 3 1 1 3 7 1 3 4 1 4 4 3 2 2 2 13 4 4 1 5 1 8 1 1 1 4 1 6 3 5 1 3 1 41 122 1.6 0.5 22.4 65.6
Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya melaporkan kasus yang diperoleh dari puskesmas dan Gereja Katolik Dekanat Kabupaten Jayawijaya tahun 2002/2003. Berdasarkan data yang diperoleh tertinggi neurosistiserkosis 163 kasus (87.7%), taeniasis 19 kasus (10.2%) dan terendah sistiserkosis yaitu 4 kasus (2.1%). Bila dikaji menurut jenis kelamin pada setiap kasus penyakit, maka akan terlihat secara jelas kasus neurosistiserkosis tertinggi didapati pada perempuan yaitu 122 orang (65.6%) dan laki-laki 41 orang (22.4%); terendah sistiserkosis berjenis kelamin perempuan 1 orang (0.5%) dan laki-laki 3 orang (1.6%).
32
Data lain juga diperoleh mengenai penyakit tersebut dari Gereja Katolik di Wamena. Data tersebut dicatat menurut paroki. (Tabel 8).
Tabel 8 Kasus penyakit taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis menurut Paroki berdasarkan informasi Gereja Katolik di Wamena tahun 2002. Paroki
Desa Asal/ Daerah Asal
Abulukmo Elabokama Musatfak Musatfak Selamik Siepma Kemisake Kuluakma Ohema Keralima Pugima Yogonimo Pupukoba Pugima Waroba Apenas Yelekama Welesi Pabikama Elarek Wenabukama Kring Kring Megaima Megaima Jumlah Prevalensi (%)
Taeniasis L P -
KASUS Sistiserkosis L P -
Neurosistiserkosis L P 3 1 16 2 5 1 5 1 2 1 3 2 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 5 11 5 57 23 71.2 28.8
Sumber : GKDJ (2002). Hasil yang diperoleh dari Gereja Katolik Dekenat Jayawijaya (2002), menunjukkan jumlah kasus neurosistiserkosis dari empat paroki tinggi yakni 80 kasus. Bila dikategorikan berdasarkan jenis kelamin, maka jumlah kasus pada laki-laki 57 (71.2%) dan perempuan 23 (28.8%). Sedangkan bila dirinci berdasarkan paroki, maka diperoleh Paroki Musatfak 33 orang (41.2%) yang terdiri dari laki-laki 26 orang (32.5%) dan perempuan 7 orang (8.7%); Paroki Pugima 17 orang (15.5%), laki-laki 12 (15.0%) dan perempun 5 (6.2%); Paroki Welesi 7 orang
(9.6%), laki-laki 5 (6.2%) dan perempun 2 (2.5%);
Kring/Megaima 16 orang (20.0%), laki-laki 11 (13.7%) dan perempuan 5 (6.2%).
33
Tabel 9 Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang diobati menurut Puskesmas di Kabupaten Jayawijaya tahun 2002/2003. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Puskesmas/ Distrik Wamena Kota Hom”/Hubikosi Kurulu Asolog/Kimbim Bolakme Kurima Kelila Kobakma Karubaga Bokondini Mamit Kanggime Tiom Pitriver Maki Elelim Oksibil Okbibab Kiwirok Kenenyam Batom Anggruk Iwur Jumlah Prevalensi (%)
Jumlah Desa 28 24 23 32 22 26 21 176
Tahun 2002 Penderita yg Dilaporkan Tdk Kasus Diobati Diobati 71 115 186 112 112 14 163 177 55 153 208 13 150 163 85 126 211 45 45 107 107 11 11 25 40 104 98 202 57 57 1.430 1.168 262 81.7
Tahun 2003 Penderita yg Dilaporkan Tdk Kasus Diobati Diobati 119 119 89 117 206 154 154 75 138 213 163 163 46 129 175 65 65 34 34 1.129 119 210
18.3
81.4
18.6
Sumber : Dinkes Kab. Jayawijaya (2004).
Rendahnya pelayanan kesehatan yang dilakukan dinas kesehatan akan memberikan peluang besar terhadap perkembangan dan peningkatan taeniasis dan sistiserkosis di beberapa daerah endemis di Kabupaten Jayawijaya. Hal tersebut terbukti karena sampai saat ini pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lokal masih dilakukan oleh pihak Gereja Katolik Wamena. Meskipun pelayanan yang dilakukan sangat sederhana dan terbatas namun mampu memberikan informasi yang cukup baik dan rutin kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat kurang memberikan input yang jelas tentang kasus taeniasis maupun sistiserkosis. Menurut hasil wawancara diperoleh informasi bahwa data penyakit tersebut telah dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya (Tabel 9). Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis belum dapat teratasi dengan baik. Hal ini terlihat jelas karena pada tahun 2002 jumlah kasus yang belum terobati adalah
262 (18.3%) dari 1.430 kasus yang ditemui. Sedangkan
34
tahun 2003, jumlah kasus yang belum terobati 210 (18.6%) dari 1.129 kasus yang ditemui (Tabel 9) (Dinkes Kab. Jayawijaya 2004). Apabila kondisi ini tidak teratasi dengan baik, maka mereka yang terinfeksi taeniasis dan sistiserkosis akan dengan mudah menjadi sumber penularan penyakit kepada hewan ternaknya dan selanjutnya dari hewan ke manusia sehat lainnya. Hal ini juga didukung dengan perilaku masyarakat lokal (99.0% ) memiliki kondisi sanitasi dan higiene personal yang buruk serta budaya konsumsi dan pengolahan makanan yang masih tradisional. Kondisi seperti ini akan menjadi media yang potensial dalam penularan taeniasis/sistiserkosis (Soeharsono 2002).
35
SIMPULAN 1. Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya adalah tergolong tinggi dengan tingkat prevalensi 77,1%. Dan kasus tersebut ditemukan pada babi-babi lokal asal Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya Papua. Dari hasil analisis laboratorium terbukti bahwa sistiserkus yang ditemukan dari babi-babi yang dipotong di Pasar Jibama adalah jenis Cysticercus cellulosae. 2. Kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat sangat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.
SARAN
Dalam upaya memotong rantai penularan taeniasis/sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Papua, pemerintah perlu mengupayakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membangun Tempat Pemotongan Babi yang memenuhi standar Kesmavet di dekat Pasar Jibama, agar dapat mempermudah pengawasan kesehatan dan pendistribusian daging babi yang dijual di pasar Jibama. 2. Membangun sarana sanitasi (air bersih, toilet, urinoir, TPS, dan saluran pembuangan air limbah) di daerah endemis taeniasis/sistiserkosis untuk menghindarkan penyebaran telur cacing ke lingkungan sekitar. 3. Pemerintah dan swasta harus secara rutin meningkatkan pendidikan kesehatan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan kesehatan, cara mengolah dan mengkonsumsi makanan yang saniter dan higienis, sistem peternakan; pembangunan percontohan sarana sanitasi dan sarana peternakan; pelaksanaan pendidikan dasar kesehatan lingkungan dan
sistem peternakan; serta
membentuk kader kesehatan lingkungan dan peternakan di kampung sebagai perpanjangan tangan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Acha PN, Szyfres B. 1980. Zoonosis and Communicable Diseases Common to Man Animals. Publication. American Health Organization. Washington: American. Ahuja GK, Roy S, Kamala G and Virmani V. 1978. Cerebral cysticercosis. J Neurol. 35: 365 – 374. [Anonim] 2001. Draf 121500, Rencana penanggulangan Taeniasis dan Cysticercocis di Kabupaten Jayawijaya. Wamena. Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Bina Aksara. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Tabel Data Iklim di Kabupaten Jayawijaya Selama Januari – Juli 2007. Wamena: Stasiun Meteorologi Wamena. Cargil C et al. 2007. Pengurangan infeksi parasit pada babi. Panduan Seminar Nasional dan Ekspose. (Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemadirian Masyarakat Kampung di Papua). Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, International Potato Center dan Pemerintah Provinsi Papua. Panitia Seminar. Jayapura. [CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2005. Taenia Infection. Cheng TC. 1986. General Parasitology. Second editor. Florida: Academic Press, Inc. Orlando. Collins FV. 1981. Meat Inspection. Sydney: Rigby Publishers Limited. Chin J, Kandun IN. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. American Public Health Association. Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan kesehatan daging babi di rumah potong hewan Denpasar. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Dinkes Kab] Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. 2004. Laporan Kasus Penyakit Taeniasis, Sistiserkosis dan Neurosistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Tahun 2002 dan 2003. Wamena. [Dinkes Kab] Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. 2006. Laporan Kasus Penyakit Taeniasis, Sistiserkosis dan Neurosistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Tahun 2004 - 2005. Wamena.
36
[Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2004. Laporan Tahunan. Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura. [Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2005. Laporan Tahunan . Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura. [Dinkes Prov] Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 2006. Laporan Tahunan . Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Jayapura. Dunn AM. 1978. Veterinary Helminthology. New York: William Heinemann Medical. Friedman GD. 1986. Prinsip-prinsip Epidemiologi. Terjemahan dari Primer of Epidemiology. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. [GDKJ] Gereja Dekanat Kabupaten Jayawijaya. 2002. Laporan Kasus Penyakit Epilepsi (Mati-mati Ayam) Berdasarkan Paroki. Permohonan Bantuan Obat Cacing ke Bagian P2M Dinkes Kabupaten Jayawijaya. Wamena: Jayawijaya. Grove DI. 1990. A History of Human Helminthology. Wallingford: CAB International. Gunawan S, Subianto DB, Tumada LR. 1975. Taeniasis and cysticercosis in Irian Jaya. Paper presented in a seminar held by the national institute of health research and development, in Jakarta on 28 April 1975. Indonesia. Gunawan S. 1983. Aspek sosio-budaya masalah Taeniasis dan Cysticercocis di daerah Pegunungan Irian Jaya. Buletin Kesehatan Irian Jaya. 3: 14-27. Gunawan S. 2000. Draft rencana penanggulangan taeniasis/cysticercasis di Kabupaten Jayawijaya. Jayapura: Kanwil Depkes Irian Jaya. 121500: 1-8. Handali S et al. 1997. A Survey report July 1993: Cysticercosis in the Grand Dani Valley Jayawijaya district Irian Jaya Province Indonesia. Southeast Asian J. Tropical Medicine and Public Health 28: 22-25. [IFES] Internatiomal Foundation for Election Systems. 2003. Survei Pendapat Umum Papua-Indonesia. Jakarta: Taylor Nelson Sofres. Ilsoe B, Kysgard NC, Nansen P, Hendriksen SA. 1990. A study on the survival of Taenia saginata eggs on Soil in Denmark. Acta vet scand. 31: 153 – 8.
37
Indarto T, Indarto T, Zaini M dan Dimpudus AJ. 1983. Survei taeniasis dan sistiserkosis di Kecamatan Wamena. Buletin Kesehatan Irian Jaya. 3: 6 – 13. Kumar D and Ganur SNS. 1987. Serodiagnosis of porcine cysticercosis by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) using fractinated antigents. Vet. Parasitol. 24 : 195 – 202. Kosasih UR. 1996. Upacara kematian pada masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya Irian Jaya. 3: 14 – 27. [LBN] Lembaga Biologi Nasional - LIPI. 1983. Binatang Parasit. Bogor: LIPI Bogor. Margono SS et al. 2001. Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop Med Public Health. 32 Suppl. 2:79 – 84. Margono SS et al. 2006. Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. J Parasitol Int. 55 Suppl: S145 – 8. Pattiselano F. 2005. Peternakan babi di Manokwari, mepertahankan tradisi dan meningkatkan taraf hidup. Manokwari : Universitas Papua Manokwari Petocz RG. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Grafitipers. Rajshekkhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Van N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/ cysticercosis in Asia: Epidemiology, impact and issue. Acta Tropica. 87: 53 – 60. Ris DR, Hamel KL, Makle ZM. 1987. Use two palysaccharide antigents in ELISA for the detection of antibodies to Ecchinococcus granulosus in sheep Sera. Research in Vet. 43: 257 – 263. Schnurrenberger PR, Hubbert WT. 1991. Iktizar Zoonosis. Bandung: ITB. Simanjuntak GM, Margono SS, Okamoto M, Ito A. 1997. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia as an Emerging Disease. Parasitology Today. 13: 321 – 23. Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor: Bogor.
38
Soulsby EJL. 1982. Helminths Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindal. Subahar R et al. 2000. Cysticercosis seropositivity in pigs of Jayawijaya District Irian Jaya Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Parasitologi 28: 344 – 346. Subahar R et al. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya district. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388 – 90. [Subdit Zoonos Depkes] Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan RI. 1996. Survei Taeniasis dan Sistiserkosis Bersama Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Dati II Kabupaten Jayawijaya. Swan RA and Wawkins CD. 1984. Epidemiology and Preventive Veterinary Medicine. School of Veterinary Studies Murdoch University. Wandra T et al. 2000. Resurgence of cases of epileptic sezures and burns associated with cysticercosis in Asologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991 – 1995. Trans R Soc Trop Med Hyg. 94: 46 – 50. Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Margono SS, Suroso T. 2003. Taenia solium cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. Emerg Infect Dis. 9: 884 – 5. Wandra T et al. 2005.. Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatra, Indonesia. J Parasitol Int. 55 Suppl:S155-60. Wandra T et al. 2006a. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002 – 2004. J Trans R Soc Trop Met Hyg. 100: 346 – 53. Wandra T et al. 2006b.Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatra. J. Parasitol Int. 55 Suppl: S155 – 60. [WI] Wikipedia Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena. [12- 02 - 2007]. Wilson A. 1980. Practical Meat Inspection. London: Blackwell Scientific Publications.
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN Nomor Kuesioner Nama Kepala Keluarga Alamat Distrik/Kampung
: : :
I. KOMPONEN MANAJEMEN PETERNAKAN 1. Dari mana Bapak/Ibu memperoleh babi? a. Berburu dari hutan b. Dibantu pemerintah c. Dibantu swasta d. Dibeli dari peternakan lain (orang kedua). 2. Menurut Bapak/Ibu pelihara (beternak) babi yang baik, harus bagaimana? a. Dikandangkan b. Dilepaskan berkeliaran mencari makan c. Tidak tahu atau lainnya ..................................... 3. Apakah kandang babi milik Bpk/Ibu permanen/semi permanen? a. Permanen b. Semi permanen c. Tidak tahu 4. Apakah Bpk/Ibu memiliki ternak lain selain babi? a. Ya b. Tidak. 5. Apa jenis ternak lain yang Bpk/Ibu memiliki selain babi? a. Ayam b. Anjing c. Kelinci d. Hewan lainnya ............ 6. Dimana dan dari mana Bpk/Ibu mengambil Makanan babi? (Jawaban bisa lebih dari satu) a. Membeli dari pasar b. Mengambil dari ladang c. Membiarkan babi mencari makan sendiri d. Mengambil makanan sisa dari warung/rumah makan. e. Tidak tahu atau lainnya ............................................. 7. Bagaimana Bpk/Ibu cara menyediakan makanan bagi babi? a. Memasak sebelum diberi pada babi b. Tidak memasak c. Tidak memberi makan. 8. Jenis makanan apa saja yang Bpk/Ibu berikan pada babi? a. Umbi-umbian saja (batatas, singkong, kentang, wortel) b. Sayuran saja c. Umbi-umbian dan sayuran d. Tidak menentu atau tidak tahu .................................... 9. Bagaimana Bpk/Ibu cara memasak makanan mentah untuk pakan babi? a. Mencuci sebelum memasak b. Memasak tanpa memcuci terlebih dahulu c. Membakar langsung d. Tidak tahu atau yang lainnya ....................................... 10. Apakah Bpk/Ibu memasak makanan babi menggunakan wadah/alat masak? a. Ya b. Tidak/ tidak tahu 11. Apakah wadah yang digunakan untuk alat masak terbuat dari logam? a. Ya b. Tidak 12. Apakah wadah untuk memasak makanan babi dan manusia berbeda? a. Ya b. Tidak. c. Digunakan bersama untuk babi dan manusia.
41
13. Bagaimana cara Bpk/Ibu memperlakukan babi dan anak bayi Bpk & Ibu? a. Babi dibiarkan di lingkungan perumahan bersama anak b. Babi digendong dan dibelai bersama anak c. Babi didahulukan dari anak d. Anak didahulukan dari babi. 14. Apakah pemerintah pernah melakukan penyuluhan tentang cara beternak babi yang baik dan benar? a. Pernah b. Tidak pernah c. Tidak tahu. II. KOMPONEN KESEHATAN LINGKUNGAN (SANITASI) 1. Apakah Bpk/Ibu tahu arti rumah sehat? a. Ya b. Tidak. 2. Dimana Bpk/Ibu tinggal dan bermukim? a. Rumah permanen b. Rumah semi permanen c. Honai d. Tidak bertempat tinggal/rumah. 3. Apakah rumah Bpk/Ibu dengan kandang babi berjauhan /berbeda tempat? a. Ya b. Tidak c. Berada bersama dalam satu rumah. 4. Berapa Jarak antara rumah Bpk/Ibu dengan kandang Babi? a. 1 meter b. 2 meter c. 3 meter d. lebih dari 3 meter 5. Berapa jumlah anggota keluarga Bpk/Ibu dalam satu rumah? a. 3 – 4 orang. b. 5 – 7 orang c. 7 – 9 orang d. Lebih dari 10 orang. 6. Apakah rumah Bpk/Ibu memiliki sarana air bersih? a. Ya b. Tidak. 7. Jenis sarana air bersih yang Bpk/Ibu memiliki seperti apa? (jawab bisa lebih). a. Sumur gali b. Sumur pompa c. Air PDAM (perpipaan) d. Yang lainnya ............................ 8. Dimana Bpk/Ibu mengambil air untuk minum, mandi dan mencuci? a. Sumur gali b. Sumur bor c. Sungai/kali d. Air hujan. 9. Apakah Bpk/Ibu merebus (memasak) air sebelum diminum? a. Ya b. Tidak. 10. Apakah Bpk/Ibu memiliki alat masak untuk merebus air? a. Ya b. Tidak. 11. Apakah tersedia air bersih dekat dengan kandang babi Bpk/Ibu? a. Ya b. Tidak. 12. Apakah di kandang babi tersedia sapu untuk membersihkan kandang? a. Ya b. Tidak. 13. Berapa kalikah kandang babi dibersihkan dalam seminggu? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 4 kali e. Lebih dari 4 kali. 14. Apakah Bpk/Ibu memiliki jamban keluarga/wc di rumah? a. Ya b. Tidak. 15. Apakah jamban keluarga Bpk/Ibu berada di dalam rumah? a. Ya b. Tidak. 16. Bagaimana jenis jamban keluarga yang Bpk/Ibu miliki? a. Leher angsa b. Cemplung c. Jenis lainnya ............................. 17. Dimana Bpk/Ibu dan anggota keluarga melakukan defikasi? a. WC/Jamban keluarga b. kebun/ladang c. Di sekitar rumah d. di hutan. 18. Apakah Bpk/Ibu biasa memasak makanan mentah sebelum mengkonsumsi? a. Ya b. Tidak.
42
19. Bagaimana cara Bpk/Ibu memasak makanan? a. menggunakan alat masak b. Membakar karena tidak memiliki alat masak c. membakar, bakar batu dan pengasapan d. mengkonsumsi mentah. 20. Bagaimana cara Bpk/Ibu mencari makanan setiap hari? (jawan bisa lebih dari satu). a. membeli di pasar b. Mengambil di ladang/kebun sendiri dan berburu c. lainnya ..................................... 21. Dimana Bpk/Ibu melakukan bakar batu? a. Di sekitar halaman rumah b. Di ladang atau kebun c. Di sembarang tempat. 22. Berapa lama Bpk/Ibu membakar batu? a. 1 jam b. 1 ½ jam c. 2 jam d. lebih dari 2 jam. 23. Bagaimana cara Bpk/Ibu menyiapkan daging babi dalam prosesi bakar batu? a. Babi disembelih/dipotong langsung di lokasi bakar batu b. Daging babi di beli di pasar c. Diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya .......................................... 24. Bagaimana cara Bpk/Ibu mempersiapkan makanan pendamping yang akan dibakar bersama daging babi? a. Diambil langsung dari ladang/kebun b. Dibeli di pasar c. diambil dari persediaan di rumah d. Lainnya ......................... 25. Apakah Bpk/Ibu memcuci daging dan makanan lainnya sebelum bakar batu? a. Ya b. Tidak. 26. Dari mana air yang Bpk/Ibu gunakan untuk mencuci daging? a. Sungai b. Sumur gali, bor, pompa c. Tidak tahu. 27. Dimana Bpk/Ibu meletakkan daging babi dan makan pendamping setelah dicuci? a. Diatas tanah beralas daun/rumput b. Langsung dimasukkan ke tempat pembakaran c. Diletakkan di atas tanah tanpa beralas daun/rumput. d. Di dalam wadah logam/ pelastik e. Dipegang/ lainnya. 28. Apakah wadah yang digunakan untuk meletakkan bahan makan yang telah dicuci dalam kondisi bersih? a. Ya b. Tidak. 29. Dimana Bpk/Ibu meletakkan makanan yang sudah matang? a. Di dalam wadah logam/pelastik b. Diatas lantai tanah beralas daun c. Diatas tanah tanpa beralas daun d. langsung di konsumsi dari tempat pembakaran. 30. Apakah makanan yang dibakar matang semuanya? a. Ya b. Tidak. 31. Biasa berapa jumlah anggota yang membantu dalam prosesi bakar batu? a. 3 – 5 orang b. 5 – 7 orang c. 7 – 9 orang d. 10 orang atau lebih. 32. Bagaimana cara mengkonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu? a. Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama b. Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya c. Dimakan ramai-ramai dari tempat pembakaran. 33. Menurut Bpk/Ibu, apakah daging babi yang dibakar sudah benar-benar matang untuk dikonsumsi? a. Ya b. Tidak. 34. Menurut Bpk/Ibu daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi seperti apa? a. Masih berdarah (setengah matang) b. Sudah tidak berdarah c. Lunak dagingnya dan hangus/gosong dagingnya
43
d. Tidak tahu. 35. Apakah makanan yang dibakar dimakan habis atau disimpan? (jawan bisa lebih dari satu). a. Dimakan habis b. Dimakan dan disimpan kelebihannya c. dimakan dan dibuang kelebihan/sisanya d. Sisanya menjadi pakan ternak. 36. Apakah setiap orang yang makan pada saat itu mencuci tangan/membersihkan diri sebelum mencicipi makanan? a. Ya b. Tidak. 37. Apakah Bpk/Ibu membersihkan diri tiap hari? a. Ya b. Tidak. 38. Berapa kali Bpk/Ibu mandi tiap hari? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 1 kali seminggu e. 2 kali seminggu f. 3 kali seminggu. III. KOMPONEN SOSIAL BUDAYA 1. Apa pekerjaan Bpk/Ibu? a. Pegawai negeri b. Swasta c. Petani d. Buruh e. Lainnya .............. 2. Berapa pendapatan Bpk/Ibu per bulan (dalam rupiah)? a. 150.000,- - 250.000,- b. 250.000,- - 350.000,- c. 350.000 – 500.000,d. 500.000,- - 1.000.000,e. lebih dari 1.000.000,3. Sumber pendapatan Bpk/Ibu dari mana? a. Gaji/upah per bulan b. Menjual hasil ladang c. Menjual hasil ladang, ternak dan buruan d.Menjual ternak/hasil buruan 4. Berapa jumlah anak yang ditanggung Bpk/Ibu? a. 1 orang b. 2 orang c. 3 orang d. 4 orang e. 5 orang/ lebih. 5. Pendidikan tertinggi Bpk/Ibu dan anggota keluarga : 1) Ayah : a. SD b. SMP c. SMA d.Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 2) Ibu : a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 3) Anak-anak : 1. a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 2. a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 3. a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 4. a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan tinggi e. Tidak sekolah. 6. Dimana Bpk/Ibu menyekolahkan anak? (jawan bisa lebih dari satu). a. Di kampung asal b. Di Kota Wamena c. Di luar wamena (dalam Papua) d. Di luar Papua. 7. Adakah anak Bpk/Ibu yang sekolah di bidang peternakan atau pertanian? a. Ada b. Tidak 8. Apakah babi begitu berharga dalam budaya Bpk/Ibu? a. Ya b. Tidak. 9. Bagaimana Bpk/Ibu menganggap babi dalam hidup? (jawaban bisa lebih dari satu). a. Seperti anak sendiri b. Sebagai alat penukar maskawin c. Sebagai pendukung acara ritual adat d. Sebagai harta kekayaan berharga e. yang lainnya .....................................
Lampiran 2
Tabel Data Iklim di Kabupaten Jayawijaya selama Januari – Juli 2007.
SUHU RATA-RATA (ºC)
KELEMBAB AN UDARA (%)
CURAH HUJAN (mm)
HARI HUJAN
ARAH DAN KECEPATAN ANGIN (º/KNOTS)
ANGIN MAX
MIN 15.7
20.0
81
248.8
27
150/3
150/24
25.9
15.2
19.1
82
219.5
27
150/3
130/31
MARET
25.9
15.4
19.6
80
267.6
25
150/3
110/30
4.
APRIL
26.6
15.5
19.8
81
244.4
24
150/3
150/24
5.
MEI
26.7
15.5
19.8
80
139.9
25
150/3
150/28
6.
JUNI
26.9
14.6
19.9
78
68.3
12
150/2
150/18
7.
JULI
25.5
14.5
18.8
79
105.8
20
150/3
150/18
No
BULAN
SUHU
(ºC)
1.
JANUARI
MAX 26.1
2.
FEBRUARI
3.
44
Lampiran 3
Gambar 1 Tampak depan, situasi jual beli di Pasar Jibama Wamena.
Gambar 2 Tampak samping, situasi jual beli di Pasar Jibama Wamena.
A
B
Gambar 3 Antusias masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikan prosesi pemotongan babi di tanah lapang di belakang Pasar Jibama (A), dan nampak daging babi yang diletakkan diatas rerumputan setelah pemotongan selesai (B).
45
C
A Gambar 4
B Daging babi yang telah siap di pasarkan kepada masyarakat di meja jual khusus daging babi, tampak depan (A), dan tampak belakang (B) serta udang lopster air tawar yang diperoleh dari sungai Balliem, berada di dalam kantung pelastik hitam (C).
46
A
B
E
F
C
D
G
Gambar 5 Aktivitas jual beli di Pasar Jibama Wamena : tumpukan sayur sawi hasil ladang mereka (A), tumpukan buah merah (B), penjualan babi di dalam pasar (C), masyarakat menjual umbi-umbian (D), seorang pria sedang memikul babi dengan busa tradisional (koteka) (E), tampak masyakat menjual kayu bakar di belakang Pasar Jibama (F), dan kondisi sanitasi lingkungan pasar yang kotor dan peternakan sapi di sekitar pasar (G).
47
A
B
C
D
E
F
Gambar 6 Babi dan pemiliknya kembali ke rumah (honai) pada sore hari setelah seharian melakukan aktivitasnya (A), nampak suami istri di honai (B), seekor babi berkeliaran mencari makan di sekitar lingkungan tempat anak bermain (C), nampak seorang ibu menggendong anaknya di depan honai dengan kondisi higiene perorangan yang buruk (D), nampak seorang pria bedrbusana tradisional (koteka) bersama kedua anaknya (E) nampak beberapa anak dengan kondisi higiene perorangan yang buruk (F).