STUDI HIDROLISIS UMBI TALAS BENENG UNTUK MENGHASILKAN GULA REDUKSI SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL (Skripsi)
Oleh FENTI VISIAMAH
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRACT
STUDY OF BENENG TARO TUBER HYDROLYSIS TO PRODUCE REDUCING SUGAR AS RAW MATERIAL BIOETHANOL
BY
FENTI VISIAMAH
This study was conducted to assess the most appropriate method or hydrolysis of beneng taro tuber to optimize the production of bioethanol, with the purpose to investigate the effect of pHs, times, and temperatures on reducing sugar produced. The concentration of reducing sugar was determined using UV-Vis spectrophotometer. The result obtained indicated that the optimum amount of reducing sugar (910,875 mg/L ) was achieved at pH 2, hydrolysis time of 3 hours and temperature of 90oC. Fermentation of reducing sugar using the powdered bark of raru plant produced 0,18765 % (v/v) of bioethanol and fermentation using Saccharomyces cerevisiae produced 0,2116% (v/v) of bioethanol. Keyword: Beneng taro tuber, hydrolysis, reducing sugar, bioethanol, raru plant, Saccharomyces cerevisiae
ABSTRAK
STUDI HIDROLISIS UMBI TALAS BENENG UNTUK MENGHASILKAN GULA REDUKSI SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Oleh
FENTI VISIAMAH
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji metode hidrolisis yang paling sesuai pada umbi talas beneng sebagai upaya optimalisasi produksi bioetanol dari umbi talas beneng dengan mempelajari pengaruh tiga variable yakni pH, waktu, dan suhu terhadap gula reduksi yang dihasilkan. Kadar gula reduksi yang dihasilkan ditentukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis terjadi pada pH 2, waktu hidrolisis 3 jam, dan suhu 90oC dengan kadar gula reduksi yang dihasilkan sebesar 910,875 mg/L. Uji fermentasi hidrolisat menggunakan serbuk kulit kayu raru menghasilkan bioetanol sebesar 0,18765 % (v/v), sedangkan uji fermentasi hidrolisat menggunakan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan bioetanol sebesar 0,2116% (v/v). Kata kunci: umbi talas beneng, hidrolisis, gula reduksi, bioetanol, kayu raru, Saccharomyces cerevisiae
STUDI HIDROLISIS UMBI TALAS BENENG UNTUK MENGHASILKAN GULA REDUKSI SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL (Skripsi)
Oleh FENTI VISIAMAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Anom pada tanggal 20 Februari 1995 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Ahmad Hasim (Lasio) dan Ibu Saliyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Gumuk Mas pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Pagelaran pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Pagelaran pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis juga berperan aktif dalam kegiatan organisasi. Penulis mengawali aktivitas organisasi dengan mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) Fakultas
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung sebagai anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia pada periode 2013-2014, kemudian penulis menjadi sekretaris Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia pada periode 2014-2015. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian (UKMP) Universitas Lampung sebagai sekretaris Departemen Eksakta pada tahun 2014.
Selama menempuh pendidikan di kampus, penulis menjadi salah satu penerima beasiswa Bidikmisi. Penulis juga pernah menjadi Juara 2 Tingkat Provinsi Lampung Olimpiade Sains Nasional Pertamina (OSN-Pertamina) Tahun 2015 Bidang Kimia kategori Teori, serta menjadi Peserta Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ONMIPA-PT) Tingkat Nasional Tahun 2015.
Untuk menambah keterampilan kerja di
Laboratorium, penulis juga menjadi asisten praktikum Kimia Fisik pada tahun 2015 dan asisten praktikum kimia dasar pada tahun 2016.
Segala Puji dan Syukur Kepada Allah SWT Kupersembahkan Karya sederhanaku ini Teruntuk Kedua orang tuaku tercinta
yang senantiasa memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan, dan semangat, serta selalu mendoakan keberhasilanku
Seluruh keluarga besarku, teman, dan sahabatku Seseorang yang kelak akan mendampingi hidupku Almamater tercinta Universitas Lampung
MOTTO
“Hard work makes the dream work”
(Fenti Visiamah)
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan” (Khalifah Ali bin Abi Talib)
No amount of guilt can change the past and no amount of worrying can change the future (Khalifah Umar Bin Khattab)
“Janganlah kamu mencari ilmu karena 3 hal : untuk berdebat, untuk dibanggakan, karena pamrih. Dan jangan pula kamu meninggalkannya karena 3 hal : karena malu mencarinya, karena zuhud (menjauh) darinya, karena rela untuk tidak mengetahuinya..." (Khalifah Umar Bin Khattab)
I believe that science of chemistry alone almost prove the existence of intelegence creator (Thomas Alva Edison)
SANWACANA
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Hidrolisis Umbi Talas Beneng Untuk Menghasilkan Gula Reduksi Sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph. D. selaku pembimbing utama sekaligus selaku Pembimbing Akademik atas segala bimbingan, bantuan, saran dan nasihat, serta motivasinya yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc selaku Pembimbing II atas segala bimbingan, bantuan, saran dan nasihat, serta motivasinya yang sangat berarti bagi penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini..
3.
Bapak Mulyono, Ph. D. selaku Pembahas atas segala arahan, saran dan kritik, serta motivasinya dalam penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Prof. Warsito, D.E.A.,Ph. D. selaku dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
5.
Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M. T. selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Unila.
6.
Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung atas seluruh ilmu yang diberikan.
7.
Seluruh karyawan Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung, terkhusus Uni Kidas, Mb Liza, Mb Nora, Pak Gani, dan Mas Nomo atas seluruh bantuan yang diberikan kepada penulis
8.
Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta Bapak Ahmad Hasim (Lasio) dan Ibu Saliyah yang dengan tulus menyayangi dan senantiasa mendoakan kesuksesanku. Terima kasih atas keikhlasan, kerja keras dan segala perjuangannya dalam mendidik dan membesarkanku hingga saat ini.
9.
Adik-adikku tercinta, Fandi Afrizal, Dimas Prasteyo, dan Fatan Halil Hakim atas keceriaan, kebersamaan, doa, dan dukungannya yang terus menjadi motivator utama bagi penulis.
10. Keluarga besar serta saudara-saudara ku yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, dukungan, kasih sayang serta nasihatnasihatnya. 11. Partner-ku, Tiurma Debora Simatupang, atas kerja sama, bantuan, pengertian, dan dukungan, serta motivasinya selama penelitian. 12. Sahabat-sahabat terbaikku, Riska Aprilia yang telah berjuang bersama dari awal dan sabar menjadi teman sekamarku, selalu mengingatkan dikala lalai
dan selalu memberi semangat, terima kasih atas persaudarannya hingga saat ini. Cibol (Ajeng), Ismi, Imah, yang selalu bersama dikala senang ataupun susah, selalu memberi semangat untukku dalam mengejar mimpiku, teman berjuang endul (Kamto) dan Fian yang selalu aku repotkan, ulfa, arya, dewi, maul, dwi, murni, dek susi dan mb Lita terimakasih atas segala bantuan dan motivasinya. Aisah yang menjadi tempat berbagi kebahagiaan tersendiri untukku. Sahabat yang mendukungku dari jauh Ana Rianti, terimakasih atas segala doa dan bantuannya. 13. Rekan kerja Laboratorium, Ruli, Ferdinand, Mb Gege (Endah), Mb Dilla, Kak Hanif, Gesa, Anton, Yudha, Nora, Herma, Netty, dan Yunitri, terima kasih untuk semua kerjasama dan bantuannya. 14. Rekan-rekan dan keluargaku Kimia Angkatan 2012, Adi, Jeje, Rifky, Iin, Indry, Anwar, Reno, Nila, Dona, Arif, Ningrum, Radius, Yepi, Tazkiya, Tiara, Wiwin, Febita, Debi, Atma, Elsa, Eka, Intan, Tri, Rio, Riandra, Yunsi, Derry, Ubai, Adit, Edi, Dela, Feby, Ana, Rizal, Imani, Meta, Ruwai, Fifi, Putri, Syatira, dan Diani, terimakasih untuk kebersamaan, persaudaraan, cerita dan kenangan selama menempuh pendidikan di kampus. 15. Keluarga Bapak Ahmad Zulfikar dan Ibu rini, Dek Opy, Dek Zaky, dan Dek Sheila atas segala bantuan, dukungan, dan doa kepada penulis. 16. Teman-teman Annisa 2, Mb Ferti, Mb Malinda, Sekar, Lutfi, Mb Hesti, Maret,dan Lita, terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis. 17. Teman-teman KKN Desa Pesawaran Indah
18. Seluruh keluarga besar Jurusan Kimia 19. Almamater tercinta, Universitas Lampung. 20. Semua pihak yang teah membantu penulis selama kuliah, penelitian, hingga penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka serta senantiasa menjaga mereka dalam lindungan-Nya. Aamiin. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan di masa datang.
Bandar Lampung, Juni 2016 Penulis
Fenti Visiamah
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 C. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioetanol .............................................................................................. B. Talas Beneng ........................................................................................ C. Pati ....................................................................................................... D. Hidrolisis Pati ...................................................................................... E. Gula Reduksi ....................................................................................... F. Fermentasi ........................................................................................... G. Analisis Kadar Bioetanol .....................................................................
6 8 10 11 15 18 21
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. B. Alat dan Bahan .................................................................................... C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 1. Preparasi Tepung dari Umbi Talas................................................ 2. Penentuan Kadar Pati ................................................................... 3. Hidrolisis Umbi Talas Beneng ...................................................... 3.1. Penentuan pH Optimum ........................................................ 3.2. Penentuan Waktu Optimum .................................................. 3.3. Penentuan Suhu Optimum ..................................................... 4. Analisis Gula Reduksi .................................................................. 4.1..Analisis Kualitatif .................................................................. 4.2..Analisis Kuantitatif ................................................................ 4.2.1.Pembuatan Reagen DNS ................................................
24 24 25 25 25 26 27 27 27 28 28 28 28
iii
4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Glukosa .... 4.2.2.Pembuatan Kurva standar............................................... 4.2.3.Penentuan Gula Reduksi dalam sampel Hidrolisat ........ Fermentasi Alkohol ...................................................................... 5.1. Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae ...................... 5.2. Fermentasi dengan Serbuk Kulit Kayu Raru ......................... Analisis Kualitatif Bioetanol dengan Menggunakan K2Cr2O7...... Analisis Bioetanol Menggunakan Kromatografi Gas ...................
29 29 30 30 30 31 31 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar ............................................................................................. B. Preparasi Tepung dari Umbi Talas....................................................... C. Penentuan Kadar Pati .......................................................................... D. Hidrolisis Umbi Talas Beneng ............................................................ 1. Penentuan pH Optimum ............................................................... 2. Penentuan Waktu Optimum.......................................................... 3. Penentuan Suhu Optimum ............................................................ E. Fermentasi Alkohol ............................................................................. 1. Persiapan Serbuk Kulit Kayu Raru .............................................. 2. Fermentasi Hidrolisat Umbi Talas Beneng ................................. 3. Analisis Kualitatif Bioetanol dengan K2Cr2O7 ............................ 4. Analisis Bioetanol menggunakan Kromatografi Gas .................. F. Analisis Potensi Pengembangan Hasil Penelitian ................................
33 34 35 38 40 43 46 48 48 49 50 51 54
5.
6. 7.
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ............................................................................................. 56 B. Saran ................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Sifat Fisika-Kimia Etanol ................................................................................ 6
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Umbi Talas Beneng............................................................................................ 9 2. Struktur Kimia (a) Amilopektin dan (b) Amilosa .............................................. 10 3. Reaksi Kimia Gula Reduksi dan Larutan Fehling.............................................. 16 4. Reaksi Kimia antara Reagen DNS dengan Glukosa .......................................... 17 5. Skema Alat Kromatografri Gas.......................................................................... 22 6. Sampel umbi talas beneng, (a) umbi utuh, (b) umbi yang telah dikupas, dan (c) tepung umbi talas.................................................................................... 34 7. Hasil reaksi pati sampel dengan iodium (a) sebelum di dekantasi (b) setelah di dekantasi ....................................................................................... 35 8. Spektrum panjang gelombang maksimum pengukuran pati ............................... 36 9. Kurva standar untuk penentuan kadar pati sampel ............................................. 37 10. Contoh hasil analisis kualitatif gula reduksi, (a) kontrol negatif, (b) umbi talas beneng sebelum dihidrolisis, (c) umbi talas beneng setelah dihidrolsis pada pH 2 selama 3 jam pada suhu 80oC, dan (d) kontrol positif........................................ 38 11. Spektrum panjang gelombang maksimum pengukuran gula reduksi ............... 39 12. Kurva standar untuk penentuan kadar gula reduksi sampel............................. 40 13. Hasil analisis kualitatif gula reduksi pada umbi talas beneng yang dihidrolisis pada pH yang berbeda, (a) pH = 2, (b) pH = 4, (c) pH = 6,(d) pH = 8, dan (e) pH = 10 ........................................................................................................ 41
14. Pengaruh variasi pH terhadap kadar gula reduksi............................................. 42
v 15. Hasil analisis kualitatif gula reduksi pada umbi talas beneng yang dihidrolisis pada waktu yang berbeda, yakni (a) 1, (b) 3, (c) 5, dan (d) 7 jam .................... 44 16. Pengaruh waktu hidrolisis terhadap kadar gula reduksi.................................... 45 17. Hasil analisis kualitatif gula reduksi pada umbi talas beneng yang dihidrolisis pada suhu yang berbeda, (a) 60, (b) 70, (c) 80, dan (d) 90 oC........................... 46 18. Pengaruh suhu hidrolisis terhadap kadar gula reduksi...................................... 47 19. Contoh kulit kayu raru (a) utuh (b) serbuk........................................................ 49 20. Hasil fermentasi hidrolisat setelah penyaringan (a) Hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae (b) Hasil fermentasi menggunakan serbuk kulit kayu raru........................................................................................ 49 21. Hasil analisis kualitatif bioetanol (a) kontrol negatif (b) hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae (c) hasil fermentasi menggunakan serbuk kulit kayu raru (d) control positif .......................................................... 50 22. Kromatogram standar etanol ............................................................................. 51 23. Kromatogram sampel hasil fermentasi (a) fermentasi dengan serbuk kulit kayu raru dan (b) fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae .............................. 52 24. Kurva standar etanol ......................................................................................... 53
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bioetanol masih menjadi salah satu sumber energi yang diprioritaskan dalam pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan. Hal ini terlihat dari rencana pengembangan energi oleh badan pengkajian dan penerapan teknologi tahun 2014-2035 yang masih menjadikan bioetanol sebagai pusat perhatian. Banyak hal yang mendasari terus dilakukannya pengembangan bioetanol, diantaranya pemanfaatan bioetanol yang cukup luas sebagai bahan bakar baik secara langsung ataupun sebagai campuran bensin yang dikenal dengan nama gasohol (Chen et al., 2011). Selain itu, bioetanol juga dapat dijadikan sebagai bahan baku biodiesel dengan reaksi transesterifikasi. Bioetanol adalah bahan bakar yang ramah lingkungan karena mudah diuraikan secara biologis (Balat, 2011). Bioetanol juga dapat mengurangi gas buang karbon monoksida (CO) dan memiliki nilai oktan yang tinggi (Chen et al., 2011).
Bahan baku pembuatan bioetanol pada dasarnya adalah karbohidrat baik yang dapat langsung difermentasi menjadi etanol ataupun yang harus melalui praperlakuan seperti hidrolisis terlebih dahulu untuk menghasilkan gula pereduksi yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi etanol. Dalam dunia industri
2
bioetanol di Indonesia, bahan baku yang digunakan masih terbatas pada tetes tebu (molasses) dan ubi kayu (singkong) yang persediaannya tidak sebanding dengan kebutuhan bioetanol, karena kedua bahan baku di atas juga dimanfaatkan untuk tujuan lain misalnya pangan. Selama kurun waktu terakhir, beberapa bahan baku alternatif yang berpotensi untuk pembuatan bioetanol telah dikembangkan mulai dari bahan berpati seperti sorgum (Chen et al., 2012) hingga selulosa seperti onggok (Sari, 2013; Septarini, 2013; Simanjuntak et al., 2014), sekam padi (Dagnino et al., 2013), jerami gandum (Govumoni et al., 2013), bagase tebu (Sindhu et al., 2010; Rocha et al., 2012), dan kapas (Fockink et al., 2015). Namun hingga saat ini, bahan baku berpati masih menjadi prioritas karena proses pengolahannya yang lebih mudah serta memerlukan biaya yang lebih sedikit (Astuti, 2014).
Selain bahan baku di atas, di Indonesia terdapat banyak bahan berpati potensil yang belum dimanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah talas. Talas merupakan umbi-umbian yang dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan Indonesia dan tersebar dari tepi pantai hingga ke pegunungan, baik yang liar maupun dibudidayakan. Talas memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan baku bioetanol karena umbi talas mengandung pati sekitar 72-85,6% (Apriani dkk., 2011, Braide et al., 2011; Ndabikunze et al., 2011; Adejumo et al., 2013; Alcantara et al., 2013). Selain itu, talas juga dapat tumbuh dengan mudah di berbagai tempat dan kondisi. Talas memiliki banyak varietas seperti talas sente, talas bogor, talas sutera, talas bentul, dan talas beneng. Pada penelitian ini digunakan talas beneng (Xantoshoma undipes) karena talas ini memiliki ukuran yang besar dengan kadar pati yang cukup tinggi namun kurang termanfaatkan
3
sebagai tanaman pangan karena kandungan oksalatnya yang juga tinggi (Lestari dan Susilawati, 2015).
Dalam pembuatan bioetanol, umbi talas harus dihidrolisis terlebih dahulu untuk menghasilkan gula pereduksi yang selanjutnya difermentasi sehingga menghasilkan etanol. Terdapat beberapa metode hidrolisis yang telah dikembangkan yaitu metode hidrolisis asam (Simanjuntak et al., 2014), basa (Pulidindi et al., 2014) dan hidrolisis enzimatis (Govumoni et al., 2013; Zhu et al., 2013). Metode hidrolisis yang banyak digunakan adalah hidrolisis asam dan basa karena lebih mudah prosesnya serta memerlukan biaya yang lebih sedikit dibandingkan hidrolisis enzimatis. Adapun asam yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya seperti asam format (HCOOH) (Sindhu et al., 2010), asam sulfat (H2SO4) (Dagnino et al., 2013; Simanjuntak et al., 2014), dan asam klorida (HCl) (Kumar et al., 2013; Pulidindi et al., 2014), sedangkan untuk basanya seperti kalium hidroksida (KOH) (Zhu et al., 2013) , kalsium hidroksida (Ca(OH)2) (Xu et al., 2011), natrium hidroksida (NaOH) dan amonia (NH3) (Chaudhary et al., 2012). Dalam penelitian ini upaya untuk mengetahui kondisi hidrolisis yang sesuai untuk talas beneng dilakukan dengan perlakuan hidrolisis terhadap talas beneng menggunakan asam dan basa pada suhu dan waktu tertentu. Pada penelitian sebelumnya, Simanjuntak et al. (2014) melaporkan bahwa untuk hidrolisis limbah padat tapioka dibawah pengaruh ultrasonikasi didapatkan kondisi optimum yaitu pada pH 2, waktu hidrolisis 90 menit, dan suhu 80 0C, dengan kadar gula reduksi yang diperoleh sebesar
4
801 mg/L. Selanjutnya gula reduksi yang dihasilkan dianalisis secara kualitatif dengan uji fehling dan secara kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis menggunakan reagen dinitrosalisilat (DNS).
Gula reduksi yang dihasilkan dari proses hidrolisis umbi talas selanjutnya difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan serbuk kulit kayu raru. Penggunaan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae ini telah umum digunakan serta diketahui mampu menghasilkan etanol dengan rendemen yang cukup tinggi (Walker, 2011; Yadav et al., 2011). Penggunaan kulit kayu raru didasarkan pada pemanfaatannya untuk fermentasi nira menjadi tuak (minuman tradisional) yang sudah umum dilakukan oleh masyarakat, khususnya etnik Batak. Kayu raru diketahui mengandung mikroba endofitik yang berperan dalam fermentasi gula pereduksi menjadi etanol (Simanjuntak dkk., 2013). Penentuan gula reduksi dilakukan secara kualitatif dengan uji fehling dan secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Vis, sedangkan bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi dianalisis secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan kromatografi gas.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mempelajari hidrolisis umbi talas beneng dengan asam dan basa untuk mendapatkan metode hidrolisis yang paling sesuai. 2. Melakukan uji fermentasi hidrolisat umbi talas beneng menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan serbuk kulit kayu raru.
5
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengoptimalkan potensi talas beneng sebagai bahan baku alternatif untuk produksi bioetanol, serta mengembangkan kulit kayu raru sebagai agen fermentasi alternatif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioetanol
Bioetanol adalah etanol (etil alkohol) yang dihasilkan dari proses fermentasi gula reduksi dengan bantuan mikroba, berbeda dari segi pembuatan dengan etanol sintesis yang umumnya diproduksi dari sumber petrokimia. Pati dihidrolisis menjadi gula dan kemudian gula difermentasi oleh ragi dan berubah menjadi etanol yang dimurnikan dengan distilasi. Sifat fisika-kimia dari etanol ditunjukan dalam Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisika-kimia etanol Keterangan Rumus molekul Massa molekul Penampakan Kelarutan dalam air Densitas Titik didih Titik beku Titik nyala Temperatur pembakaran Tekanan uap pada 38 0C Viskositas pada 20 0C Bilangan oktan Keasaman (Pka) Indeks refraktif (nD) pada 25 0C (Sumber: Walker, 2010)
Nilai C2H5OH 46,07 g/mol cairan tak berwarna (diantara -117oC dan 78oC) Larut 0.78 Kg/L 78,5oC -117oC 12,8oC 425oC 50 mmHg 1,2 mPa 99 15,9 1,36
7 Bahan bakar bioetanol dewasa ini diprioritaskan untuk menjadi pengganti bahan bakar fosil. Keuntungan yang diperoleh jika menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar diantaranya mengurangi ketergantungan pada minyak, memungkinkan diversifikasi pertanian, pembakaran pada mesin bersih, toksisitas rendah, memiliki titik nyala yang lebih tinggi, biodegradabilitas baik, dan rendah emisi gas penyebab efek rumah kaca (Walker, 2010).
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai sumber. Pada dasarnya bioetanol dapat dihasilkan dari setiap jenis karbohidrat, hanya saja beberapa karbohidrat harus melalui praperlakuan untuk menghasilkan gula reduksi sebelum dilakukan fermentasi. Karbohidrat sebagai bahan baku bioetanol dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar yaitu gula, pati, dan biomassa selulosa/lignoselulosa (Walker, 2010). Dari ketiga kelompok di atas, pati dan biomassa selulosa/lignoselulosa harus melalui praperlakuan sebelum dilakukan fermentasi sedangkan untuk golongan gula dapat langsung dilakukan fermentasi untuk menghasilkan bioetanol. Akan tetapi, penggunaan golongan gula sebagai bahan baku bioetanol memiliki kendala yaitu ketersediaannya yang terbatas. Selama kurun waktu terakhir, telah banyak dikembangkan bahan baku bioetanol terutama dari golongan pati karena proses pengolahannya yang lebih mudah serta memerlukan biaya yang lebih sedikit dibandingkan selulosa/lignoselulosa.
Bahan baku alternatif yang telah dikembangkan mulai dari bahan golongan pati seperti sorgum (Chen et al., 2012), ubi kayu, sagu, dan jagung (Sarkar et al., 2012) hingga golongan biomassa selulosa/lignoselulosa seperti onggok (Sari, 2013; Septarini, 2013), sekam padi (Dagnino et al., 2013), jerami gandum
8 (Govumoni et al., 2013), bagase tebu (Sindhu et al., 2010; Rocha et al., 2012), dan kapas (Fockink et al., 2015). Selain bahan baku di atas, masih terdapat bahan baku yang berpotensi namun belum dikembangkan secara luas yaitu umbi talas.
B. Talas Beneng
Talas merupakan salah satu umbi-umbian minor yang dapat dijumpai hampir diseluruh kepulauan Indonesia dan tersebar dari tepi pantai hingga ke pegunungan, baik yang liar maupun dibudidayakan. Talas memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan baku bioetanol karena umbi talas mengandung pati sekitar 72-85,6% (Apriani dkk., 2011; Braide et al., 2011; Ndabikunze et al., 2011; Adejumo et al., 2013; Alcantara et al., 2013). Selain itu, talas juga dapat tumbuh dengan mudah di berbagai tempat dan kondisi. Talas memiliki beberapa varietas seperti talas beneng, talas bentul, talas mentega, talas semir, talas hijau, dll. Varietas talas dapat diketahui dari morfologinya seperti bentuk umbi, panjang umbi, warna daun, warna batang, dll.
Talas beneng dikelompokkan dalam tiga genus yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae. Talas beneng termasuk dalam genus Xanthosoma dengan taksonomi sebagai berikut (Marliana, 2011). Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Arales
9 Famili
: Araceae
Genus
: Xantoshoma
Spesies
: undipes
Minantyorini dan Hanarida (2002) melaporkan bahwa tanaman talas dapat dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan yang cukup serta tanah yang lembab dengan suhu tanah sekitar 21-27 oC. Talas dapat hidup pada dataran rendah maupun pada ketinggian sampai 2700 m di atas permukaan laut. Talas beneng (Xantoshoma undipes) merupakan varietas talas yang memiliki ukuran yang besar dengan kadar pati yang cukup tinggi namun kurang termanfaatkan sebagai tanaman pangan karena kandungan oksalatnya yang juga tinggi. Apriani dkk. (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa umbi talas beneng berwarna coklat dengan panjang 93 cm dan diameter 13 cm, serta memiliki bobot 16900 gram. Pada umur dua tahun, talas beneng dapat memiliki panjang antara 1,2-1,5 m dengan bobot hingga 40 kg seperti ditunjukan dalam Gambar 1 (Lestari dan Susilawati, 2015).
Gambar 1. Umbi talas beneng
Talas beneng memiliki kadar pati yang juga tinggi yaitu mencapai 75,62%. Dalam pati talas beneng, kandungan amilopektinnya lebih tinggi dibanding amilosa
10 (Apriani dkk., 2011). Kandungan pati yang tinggi dalam umbi talas beneng menunjukan bahwa talas beneng berpotensi sebagai bahan baku bioetanol.
C. Pati
Pati merupakan polisakarida simpanan dari makanan yang berasal dari tumbuhan. Pati tersusun dalam partikel-partikel diskrit dan butiran yang ukuran, bentuk, morfologi, komposisi, dan struktur molekulnya tergantung pada sumber tanamannya. Diameter dari butirannya umumnya berkisar antara kurang dari 1 µm hingga lebih dari 100 µm. Granula pati terdiri dari dua homopolimer glukopiranosa yang berbeda struktur.yaitu amilosa yang terdiri dari unit D-glukosa yang dihubungkan melalui ikatan glikosidik α-D-(1-4) dan amilopektin, polimer bercabang dari pati yang terdiri dari unit D-glukosa yang dihubungkan melalui ikatan glikosidik α-D-(1-4) dan membentuk cabang melalui ikatan glikosidik α-D-(1-6). Struktur kimia dari amilopektin dan amilosa ditunjukan dalam Gambar 2 (a)
(b)
Gambar 2. Struktur kimia (a) amilopektin (b) amilosa ( Walker, 2010)
11
Dalam sebagian besar pati, kandungan amilopektin biasanya lebih tinggi dibandingkan amilosa (Bertolini, 2010). Kandungan amilosa dalam pati sekitar 20% dan 80% sisanya adalah amilopektin. Terdapat sekitar 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, sedangkan untuk amilopektin mengandung sekitar 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul (Fessenden dan Fessenden, 1986)
D. Hidrolisis Pati
Dalam proses pembuatan bioetanol, pati sebagai bahan baku bioetanol harus melalui praperlakuan hidrolisis terlebih dahulu sebelum dilanjutkan dengan tahap fermentasi. Hidrolisis pati merupakan reaksi antara pati dengan air yang menyebabkan terjadinya pemecahan molekul pati sehingga dihasilkan gula reduksi yang berupa glukosa. Metode hidrolisis yang telah dikembangkan yaitu hidrolisis asam, basa dan enzimatik. Tahapan hidrolisis pati hingga menjadi etanol secara garis besar sebagai berikut: Pati
air, H+/ OH-/enzim
maltosa air, H+/ OH-/enzim D-glukosa enzim etanol
(Fessenden dan Fessenden, 1986).
Hidrolisis asam atau basa adalah hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan asam atau basa sebagai katalis, sedangkan hidrolisis enzimatik menggunakan enzim. Pada hidrolisis asam dan basa, jenis asam dan basa sangat berpengaruh terhadap hasil hidrolisis. Beberapa asam telah banyak digunakan seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat, dan asam format. Selain jenis asam dan basa, hal
12 lain yang mempengaruhi hasil hidrolisis adalah konsentrasi dari asam dan basa, pH, waktu, suhu, dan pengadukan saat proses hidrolisis.
Hidrolisis pati menggunakan asam sulfat dilaporkan oleh Zamora et al. (2010) yang melakukan hidrolisis pati dari ubi kayu dengan asam sulfat 30 % (w/w) pada pH 0,8 dan suhu 98 oC selama 4,5 jam. Variasi konsentrasi pati yang digunakan yaitu 150, 170, dan 190 g/L dengan kecepatan agitasi 200, 400, dan 600 rpm. Hasil konversi pati menjadi gula reduksi yang optimum diperoleh pada konsentrasi pati 190 g/L dengan kecepatan agitasi 600 rpm yaitu sebesar 90,5%. Scholz et al. (2013) dalam penelitiannya juga melakukan hidrolisis menggunakan asam sulfat (H2SO4) 12 N terhadap pati dari biomassa alga pada pH 1,5 dengan suhu 121 OC dan tekanan 2 atm selama 2 jam dengan 10 kali putaran. Hasil konversi menjadi glukosa yang optimum terjadi setelah 8 kali putaran yaitu sebesar 30%.
Selain asam sulfat, jenis asam yang juga telah digunakan adalah asam klorida (HCl). Olorunsola et al. (2011) melakukan hidrolisis pati dari ubi jalar menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 6 N pada suhu 48 dan 54 oC dengan variasi waktu 6-24 jam. Kondisi optimum untuk menghasilkan gula reduksi yaitu pada suhu 48 oC selama 12 jam dengan hasil sebesar 97,22%. Pulidindi et al. (2014) melakukan hidrolisis terhadap selulosa menggunakan asam klorida dengan variasi konsentrasi yaitu 1; 2,5; 3,14; 5, dan 7,5% dengan pengaruh radiasi gelombang mikro selama 7 menit. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh sebesar 0,67 g/g selulosa atau 67%.
13 Asam nitrat juga telah dikembangkan untuk hidrolisis, seperti yang dilaporkan oleh Tutt et al. (2012) yang melakukan hidrolisis terhadap jerami padi menggunakan asam nitrat (HNO3) dengan konsentrasi 1% pada suhu 50 oC selama 24 jam dengan kadar gula reduksi yang dihasilkan sebesar 30,1%. Asam yang sama juga digunakan oleh Markou et al.(2013) yang melakukan hidrolisis karbohidrat dari Spirulina platensis menggunakan asam nitrat (HNO3) 1N, pada suhu 40 °C, 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, dengan variasi waktu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 jam. Dilaporkan bahwa gula pereduksi optimum dihasilkan pada kondisi hidrolisis suhu 100 °C dan waktu hidrolisis 30 jam dengan hasil sebesar 94% dan kadar etanol sebesar 16,32% ± 0,90% (g EtOH / g Biomass).
Selain ketiga jenis asam di atas, hidrolisis asam juga dapat menggunakan asam format. Sindhu et al. (2010) melakukan hidrolisis terhadap bagas tebu menggunakan asam format dengan konsentrasi 10-100% (v/v) pada suhu 80, 100, dan 121 oC. Kondisi optimum dicapai pada suhu 121 oC dan konsentrasi 60 %. Dengan gula reduksi yang dihasilkan sebesar 0,791 g/g biomassa kering.
Selain hidrolisis asam, hidrolisis menggunakan basa juga telah dikembangkan, seperti yang dilaporkan oleh Xu et al. (2010) dalam penelitiannya dilakukan hidrolisis terhadap biomassa lignoselulosa menggunakan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 0,5; 1; dan 2% pada suhu 121 oC dengan variasi waktu 0,25; 0,5; dan 1 jam, pada suhu 50 oC dengan variasi waktu 1, 3, 6, 12, 24, dan 48 jam, dan pada suhu 21 oC. dengan variasi waktu 1, 3, 6, 12, 24, 48, dan 96 jam. Kombinasi perlakuan terbaik yang menghasilkan gula reduksi optimum yaitu konsentrasi NaOH 1% pada suhu 121 oC selama 0,5 jam, konsentrasi NaOH
14 1% pada suhu 50 oC selama 12 jam, dan konsntrasi NaOH 2 % pada suhu 21 oC selama 6 jam dengan gula reduksi yang dihasilkan yaitu 425,4; 453,4; 406,2 mg/g. Harun et al, (2011) dengan basa yang sama melakukan hidrolisis terhadap biomassa mikroalga dengan variasi konsentrasi 0,5; 0,75; 1; 2; dan 3% (w/v), variasi waktu 15, 30, 45, dan 60 menit pada temperatur 60, 80, 120, dan 140 oC. Hasil gula reduksi dan bioetanol optimum dicapai pada kondisi hidrolisis menggunakan 0,75% NaOH pada suhu 120 oC selama 30 menit dengan hasil glukosa sebesar 350 mg/g dan etanol sebesar 0,26 g etanol/g alga. Hidrolisis menggunakan NaOH juga dilakukan oleh Salam et al. (2013) dalam penelitiannya untuk hidrolisis limbah kertas. Hidrolisis dilakukan pada pH 13 selama 1,5 jam pada suhu ruang dengan kadar gula reduksi sebesar 3,3 mg/L.
Selain NaOH, basa lain seperti amonia (NH3) dan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) juga dapat digunakan untuk hidrolisis. Dien et al. (2009) melakukan hidrolisis terhadap sorgum menggunakan amonia 4% pada suhu 170 oC selama 20 menit. Hasil konversi etanol yang didapatkan sebesar116 mg etanol/ g. Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) digunakan oleh Wyman et al. (2009) pada penelitiannya untuk menghidrolisis kayu poplar. Hidrolisis dilakukan pada suhu 160 oC selama 120 menit dengan konsentrasi kalsium hidroksida yang digunakan adalah 20 %. Dilaporkan bahwa glukosa yang dihasilkan sebesar 52,8 g/L.
Selain hidrolisis asam dan basa, metode hidrolisis lainnya yang telah dikembangkan adalah hidrolisis enzimatik. Hidrolisis enzimatik menggunakan enzim sebagai katalis. Enzim adalah golongan protein yang mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk
15 metabolisme perantara dari sel. Enzim yang diketahui mampu menghidrolisis pati menjadi gula reduksi adalah enzim α-amilase. Enzim tersebut memecah pati dengan cara memutuskan ikatan glikosidik α-1,4 pada molekul pati sehingga dihasilkan monosakarida yang berupa glukosa (Wirahadikusumah, 2001).
E. Gula Reduksi
Hasil hidrolisis pati akan menghasilkan glukosa yang merupakan gula reduksi. Tidak semua karbohidrat bersifat gula pereduksi. Gula reduksi adalah gula yang mampu mereduksi agen pengoksidasi seperti ion ferri (Fe 3+) dan kupri (Cu2+) atau reagensia lain (Lehninger, 2004). Suatu gula yang mengandung gugus aldehid bebas akan mampu mereduksi suatu agen pengoksidasi. Gugus karbonil pada gula reduksi akan mengalami oksidasi menjadi suatu gugus karboksilat. Suatu aldosa akan dengan mudah teroksidasi, sedangkan ketosa harus dalam suasana basa untuk dapat teroksidasi (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Gula reduksi dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terhadap gula reduksi dilakukan untuk mengindentifikasi adanya gula reduksi atau tidak, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menentukan kadar gula reduksi yang terbentuk. Terdapat beberapa metode analisis gula reduksi secara kualitatif yang telah banyak digunakan antara lain uji Tollens, uji Benedict, uji molisch, dan uji Fehling.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk analisis kualitatif gula reduksi adalah uji Fehling. Uji Fehling didasarkan pada sifat gula reduksi yang dapat mereduksi agen pengoksidasi lemah seperti reagen Fehling. Reagen Fehling
16 terdiri dari Fehling A dan Fehling B, yang mana Fehling A mengandung CuSO4, sedangkan Fehling B mengandung campuran NaOH dan Na-K-tartrat. Bila dipanaskan peraksi Fehling akan bereaksi dengan gugus aldehida dalam gula reduksi, ion Cu2+ akan direduksi menjadi Cu+ dan mengedap sebagai Cu2O yang berwarna merah, hijau, kuning, atau merah bata bergantung dari jenis gula reduksinya. Reaksi yang terjadi disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi kimia gula reduksi dan larutan Fehling
Analisis gula reduksi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang umum digunakan antara lain metode Luff Schrool, Nelson-Somogy dan DNS (dinitrosalicylic acid). Pada penelitian ini digunakan reagen DNS untuk penentuan gula reduksi. Penggunaan reagen DNS untuk penentuan gula reduksi tidak hanya karena metode ini luas digunakan, tetapi juga merupakan uji yang direkomendasikan oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC). Penentuan gula reduksi menggunakan reagen DNS didasarkan pada reaksi redoks pada gula reduksi dan asam 3,5-dinitrosalisilat. Reaksi reduksi asam 3,5-dintrosalisilat menjadi asam 3-amino-5-nitrosalisilat, sementara reaksi oksidasi terjadi pada gugus aldehid gula reduksi menjadi gugus karboksilat (Saqib and Whitney, 2011).
17
Reagen DNS (Dinitrosalicylic acid) terdiri dari asam dinitrosalisilat, garam Rochelle (Na-K tartarat), fenol, natrium bisulfit, dan natrium hidroksida. Kandungan garam rochelle digunakan untuk mencegah reagen dari melarutkan oksigen, fenol untuk meningkatkan jumlah warna yang diproduksi, bisulfit untuk menstabilkan warna yang diperoleh, dan alkali diperukan untuk reaksi reduksi glukosa pada asam dinitrosalisilat (Miller, 1959). DNS yang semula berwarna kuning akan berubah menjadi warna jingga kemerahan jika bereaksi dengan gula reduksi. Adapun reaksi yang terjadi disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi kimia antara reagen DNS dengan glukosa
Sampel yang telah direaksikan dengan reagen DNS ditentukan kadar gula reduksinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 510 nm (Saqib and Whitney, 2011)
Spektrofotometer UV-VIS adalah salah satu alat yang paling berguna baik dalam analisis kualitatif maupun kuantitatif. Keunggulan dari alat ini antara lain memiliki penerapan yang luas, sensitivitas tinggi, selektivitas tinggi, akurasi yang baik, dan mudah digunakan. Spektrofotometer UV-VIS berguna untuk mendeteksi gugus kromofor pada daerah panjang gelombang 200-750 nm mulai dari molekul sederhana hingga molekul organik kompleks. Hasil pengukuran
18 diperoleh dari sejumlah sinar yang diserap sebagai fungsi panjang gelombang. Konsentrasi zat yang dianalisis akan sebanding dengan jumlah sinar yang terserap pada analit. Perhitungan kadar analit mengacu pada hukum lambert-beer yang menyatakan hubungan matematis antara absorbansi cahaya dengan konsentrasi analit dengan persamaan berikut.
A = - log T = log
= ε .b .c
Keterangan: A= absorbansi T= transmitansi I0= Intensits cahaya masuk It= Intensitas cahaya yang diteruskan oleh larutan sampel ε = absorbtivitas molar (Lmol-1cm-1) b = panjang jalur absorbsi (tebal kuvet) (cm) c = konsentrasi sampel (mol L-1) Penentuan kadar gula reduksi pada sampel dilakukan dengan persamaan regresi linear yang didapatkan dari kurva standar yang memplotkan antara absorbansi dengan konsentrasi larutan standar (Skoog et al., 2014)
F. Fermentasi
Fermentasi adalah dekomposisi lambat oleh mikroorganisme dari molekul organik besar (seperti pati) menjadi molekul yang lebih kecil seperti etanol. Fermentasi alkohol dapat dijelaskan sebagai proses biokimia yang mana gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi energi sel sehingga menghasilkan etanol dan karbondioksida sebagai sisa produk metabolisme. Selama proses fermentasi, glukosa didekomposisi menjadi etanol dan karbondioksida sesuai reaksi berikut.
19
mikroorganisme C6H12O6
2C2H5OH +
2CO2
Mikroorganisme melakukan fermentasi etanol pada gula dalam keadaan tanpa oksigen, karena pada proses tersebut tidak memerlukan oksigen. Untuk itu, fermentasi diklasifikasikan sebagai proses anaerob (Ibeto et al., 2011).
Pemilihan mikroorganisme merupakan hal yang penting dalam proses fermentasi. Beberapa mikroorganisme yang telah diketahui mampu menghasilkan etanol antara lain Zymomonas mobilis, Klebsiella oxytoca, Aspergillus niger, Geobacillus stearothermophilus, dan Saccharomyces cerevisiae. Dari beberapa mikroorganisme di atas, Saccharomyces cerevisiae menjadi mikroorganisme utama yang digunakan untuk fermentasi alkohol dari gula reduksi karena kemampuannya dalam menghasilkan etanol dengan rendemen yang tinggi dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, mikroorganisme ini mudah untuk ditumbuhkan dan cukup stabil dengan perubahan kondisi lingkungan (Walker, 2011).
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroba uniseluler yang termasuk dalam golongan eukariot, berbentuk bulat panjang dengan diameter besar 5-10 µm dan diameter kecil 1-7 µm. Mikroorganisme ini berkembang biak secara aseksual dengan membelah diri dan secara seksual dengan pertunasan. Dibawah kondisi ideal Saccharomyces cerevisiae dapat berkembang biak setiap 90 menit dengan kondisi pertumbuhannya yang baik pada suhu 20-30 oC dan diantara pH 4,5-5,5. Selain pada kondisi yang ideal, pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae juga
20 dipengaruhi oleh penambahan nutrisi seperti karbon, nitrogen, dan faktor pertumbuhan seperti vitamin dan mineral (Walker, 2010).
Pengembangan mikroorganisme yang mampu menghasilkan etanol pada proses fermentasi terus dilakukan. Selain menggunakan mikroorganisme seperti Saccharomyces cerevisiae,etanol juga dapat dihasilkan dari proses fermentasi dengan agen fermentasi serbuk kulit kayu raru. Penggunaan kulit kayu raru didasarkan pada pemanfaatannya untuk fermentasi nira menjadi tuak (minuman tradisional) yang sudah umum dilakukan oleh masyarakat. Pasaribu (2009) melaporkan bahwa tanaman raru (Cotylelobium melanoxylon) merupakan tanaman khas yang berasal dari sumatera utara dengan tingginya mencapai 25 meter dan berdiameter sekitar 30-50 cm. Tebal kulit kayu raru berkisar antara 0,6-1,0 cm. Kulit ini mudah dipisahkan dari bagian batang dengan warna kayu kuning kecoklatan.
Simanjuntak dkk. ( 2013) melaporkan bahwa kayu raru diketahui mengandung mikroba endofit yang berperan dalam fermentasi gula pereduksi menjadi etanol . Dalam penelitiannya berhasil diisolasi 6 mikroba endofit dari kulit kayu raru. Mikroba endofit merupakan mikroba yang tumbuh dalam jaringan tumbuhan, yaitu pada jaringan akar, batang, dan daun tanpa menyebabkan gejala penyakit. Mikroba endofit berinteraksi dan tumpang tindih dalam fungsi dengan kelompok mikroba inti lain yang berkoloni di jaringan tanaman. Beberapa mikroba endofit juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman ( Alfaro and Bayman, 2011).
21 G. Analisis Kadar Bioetanol
Kadar suatu bioetanol dapat dianalisis menggunakan kromatografi gas. Kromatografi gas sering digunakan untuk analisis karena kromatografi gas memiliki beberapa keunggulan antara lain analisis yang cepat, efisien, resolusi tinggi, sensitif, dapat mendeteksi hingga konsentrasi ppm bahkan ppb, akurat, membutuhkan sampel yang sedikit, serta mudah digunakan (Mcnair and Miller, 2009). Kromatografi gas adalah metode pemisahan yang mana komponen sampel dipartisi di antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak dengan fase gerak yang digunakan berupa gas. Sampel diuapkan dan dibawa oleh gas pembawa melewati kolom. Sampel berinteraksi pada fase diam berdasarkan kelarutan pada suhu tertentu. Komponen sampel saling berpisah berdasarkan pada tekanan uap dan afinitas relatif terhadap fase diam. Perbedaan interaksi antara analit dan fase diam akan menimbulkan perbedaan laju alir yang disebut waktu retensi. Analisis kualitatif dilakukan dengan melihat waktu retensi yang merupakan identitas dari analit, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan pengukuran luas area dan tinggi puncak pada kromatogram serta pembuatan kurva kalibrasi (Skoog et al., 2014).
Kromatografi gas tersusun atas bagian-bagian yang memiliki fungsi yang berbedabeda. Bagian dasar dari kromatografi disajikan dalam Gambar 5.
22
Gambar 5. Skema alat kromatografi gas (Sumber: Mcnair and Miller, 2009). Keterangan: 1. Tabung gas
4. Pangkalan injeksi
2. Regulator
5. Oven
3. Pengatur laju alir gas
6. Kolom
7. Detektor
Gas inert mengalir terus menerus dari tabung gas melalui injektor, kolom, dan detektor. Gas inert yang biasa digunakan sebagai gas pembawa adalah Helium, Nitrogen, Argon, dan Hidrogen sesuai dengan detektor yang digunakan. Laju alir gas pembawa dikendalikan dengan hati-hati untuk memastikan waktu retensi dan meminimalkan kebisingan pada detektor. Sampel diinjeksikan kedalam pangkalan injeksi untuk dipanaskan kemudian menguap dan dibawa ke dalam kolom. Di dalam kolom terjadi partisi sampel diantara fase diam dan fase gerak. Setelah melalui kolom, gas pembawa dan sampel mencapai detektor. Perangkat ini mengukur jumlah sampel yang ditunjukan dengan sinyal listrik. Sinyal listrik ini diolah dalam sebuah sistem data yang menghasilkan kromatogram (Mcnair and Miller, 2009). Di dalam kromatografi gas terdapat beberapa detektor yang umum
23 digunakan, antara lain Flame ionization detector (FID), Thermal conductivity detector (TCD), Electron capture detector (ECD), Photo ionization detector (PID), Flame photometric detector (FPD), dan dan Mass spectrometer (MS) (Sevcik, 1976).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2016 bertempat di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik dan Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, serta Laboratorium Afiliasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah water batch Precisterm, neraca analitik Wiggen Houser, spektrofotometer UV-VIS Varian Cary 100, autoklaf Kleinfeld-Germany HV-L25, laminar air flow ESCO AVC4A1, Kromatografi gas GC-2010 AF Shimadzu, blender Philips, oven, alat sentrifuge, dan alat-alat yang umum digunakan di laboratorium. Bahan yang digunakan adalah umbi talas beneng, H2SO4 pekat, glukosa, fenol, DNS, NaOH, akuades, larutan Fehling A dan B, Na-K tartarat, larutan Iodium 1%, Na2SO3, Saccharomyces cerevisiae dalam ragi roti Fermipan, serbuk kulit kayu raru, nira aren, buffer phospat pH 5, NaCl 0,85%, kertas saring, dan alumunium foil.
25
C. Prosedur Penelitian
1. Preparasi Tepung dari Umbi Talas
Tepung umbi talas disiapkan dengan penghalusan dan pengeringan umbi talas. Umbi talas terlebih dahulu dikupas lalu direndam dalam air kapur selama satu malam. Selanjutnya umbi talas dicuci bersih dan dihaluskan dengan blender hingga menjadi bubur. Pengeringan bubur umbi talas dilakukan dalam oven pada suhu 110 °C selama 24 jam. Bubur talas kering dihaluskan kembali dengan blender hingga menjadi tepung, lalu disimpan dalam wadah kedap udara agar tidak ditumbuhi mikroorganisme.
2. Penentuan Kadar Pati
Penentuan kadar pati umbi talas beneng dilakukan dengan metode Spektrofotometri UV-Vis menggunakan pereaksi Iodium. Kadar pati talas beneng dapat ditentukan dengan persamaan yang didapat dari kurva standar pati. Sebelum dibuat kurva standar, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum dari pati standar. Panjang gelombang maksimum didapatkan dengan mensuspensikan 0,06 gram pati standar dalam 15 mL akuades. Selanjutnya ke dalam suspensi ditambahkan iodium 1% sebanyak 0,5 mL dan diaduk hingga terjadi perubahan warna menjadi biru keunguan. Campuran kemudian didekantasi, lalu diambil filtratnya. Campuran ditentukan absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis padarentang panjang gelombang 300-500 nm.
26
Kurva standar pati dibuat dengan mensuspensikan pati standar dengan massa masingmasing 0,03; 0,04; 0,05; dan 0,06 gram dalam 15 mL akuades. Selanjutnya ke dalam masing-masing suspensi ditambahkan iodium 1% sebanyak 0,5 mL dan diaduk hingga terjadi perubahan warna menjadi biru keunguan. Masing-masing campuran kemudian didekantasi, lalu diambil filtratnya. Campuran ditentukan absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis padapanjang gelombang maksimum yang telah diperoleh sebelumnya. Dari kurva standar yang diperoleh maka dapat ditentukan persamaan garis linier yang menghubungkan kadar pati dan absorbansi.
Kadar pati dalam sampel ditentukan dengan mensuspensikan 0,06 gram pati talas beneng dalam 15 mL akuades dan diperlakukan sama dengan pati standar. Filtrat sampel di analisis menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Kadar pati dalam sampel dihitung menggunakan persamaan garis yang didapatkan dari kurva standar, yaitu y = a + bx, dimana y adalah absorbansi sampel dan x adalah kadar pati. Persentase kadar pati dapat dihitung menggunakan rumus berikut: massa pati Kadar pati = massa sampel x 100%
3. Hidrolisis Umbi Talas Beneng
Dalam penelitian ini dilakukan hidrolisis pada kondisi yang berbeda untuk mempelajari pengaruh tiga variabel yaitu pH, waktu, dan suhu sebagai dasar penentuan kondisi optimum hidrolisis. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan jumlah gula reduksi yang dihasilkan.
27
3.1. Penentuan pH Optimum
Hidrolisis dilakukan pada pH yang berbeda yakni 2, 4, 6, 8, dan 10. Hidrolisis dilakukan terhadap pati umbi talas beneng sebanyak 20 gram. Pati disuspensikan dalam 500 mL akuades, dan pH ditentukan menggunakan larutan H2SO4 0,1 M untuk pH asam dan NaOH 0,1 M untuk pH basa. Hidrolisis dilakukan selama 3 jam pada suhu 80oC.
3.2. Penentuan Waktu Optimum
Untuk menentukan waktu optimum, sampel disiapkan seperti percobaan sebelumnya dengan pH sampel diatur menjadi pH optimum yang didapatkan dari percobaan sebelumnya. Sampel kemudian dihidrolisis pada suhu 80oC dengan waktu yang berbeda yakni 1, 3, 5, dan 7 jam.
3.3 Penentuan Suhu Optimum
Untuk menentukan suhu optimum, sampel disiapkan seperti percobaan sebelumnya dengan pH sampel diatur menjadi pH optimum. Sampel kemudian dihidrolisis pada suhu yang berbeda yakni 60, 70, 80, dan 90oC selama waktu optimum yang diperoleh dari percobaan sebelumnya
28
4. Analisis Gula Reduksi
4.1 Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan dengan metode Fehling. Metode Fehling dilakukan untuk mengetahui adanya gula reduksi dalam hidrolisat. Metode Fehling dilakukan dengan memasukan larutan Fehling A dan Fehling B masing-masing sebanyak 1 mL ke dalam sebuah tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 mL sampel dan dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 10 menit. Adanya gula reduksi ditunjukkan dengan terbentuknya endapan Cu2O yang berwarna merah bata.
4.2 Analisis Kuantitatif
4.2.1 Pembuatan Reagen DNS
Asam 3,5-dinitrosalisilat sebanyak 1 gram dilarutkan dalam 20 mL akuades, dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, lalu dihomogenkan. Larutan yang telah terbentuk dalam labu ukur ditambahkan 1 gram NaOH; 0,2 gram fenol; 0,05 gram Na2SO3, dan 1 mL NaK tartarat 40%, kemudian ditambahkan akuades sampai batas miniskus dan dihomogenkan.
29
4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Glukosa
Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan menggunakan larutan glukosa 200 ppm. Larutan glukosa 200 ppm sebanyak 1 mL dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml reagen DNS. Tabung reaksi ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit pada suhu 100 oC. Campuran didinginkan pada suhu ruang, lalu ditambahkan 10 ml akuades. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 400-600 nm dengan menggunakan blanko yang dibuat dengan cara yang sama dengan sampel, tetapi penggunaan larutan glukosa diganti dengan akuades.
4.2.3 Pembuatan Kurva Standar
Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan larutan glukosa dengan konsentrasi 200, 400, 600, 800 dan 1.000 mg/L dari larutan stok 10.000 mg/L. Untuk pembuatan kurva standar, sebanyak 1 mL larutan glukosa standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 mL reagen DNS. Tabung reaksi ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit pada suhu 100 oC. Sampel kemudian didinginkan hingga suhu kamar, lalu ditambahkan akuades sebanyak 10 mL dan dihomogenkan. Sampel lalu dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh sebelumnya untuk didapatkan absorbansinya. Dari pengukuran semua larutan standar, dibuat kurva dengan cara mengalurkan konsentrasi terhadap
30
absorbansi, untuk mendapatkan persamaan garis linier yang menghubungkan konsentrasi dan abosorbansi.
4.2.4 Penentuan Gula Reduksi dalam Sampel Hidrolisat
Kadar gula reduksi dalam sampel hidrolisat ditentukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Sampel disiapkan sama seperti glukosa standar pada percobaan sebelumnya. Absorbansi sampel yang diperoleh digunakan untuk menentukan kadar gula reduksi dalam sampel yang dihitung menggunakan persamaan garis yang didapatkan dari kurva standar, yaitu y = a + bx, dimana y adalah absorbansi sampel (nm), x konsentrasi sampel (mg/L), a merupakan intersept, dan b adalah slope.
5. Fermentasi Alkohol
5.1. Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae
Semua bahan dan alat yang digunakan untuk fermentasi distrerilisasi dengan autoklaf pada suhu 90oC dan tekanan 1 atm selama 1 jam, kecuali Sacccharomyces cerevisiae, kemudian didinginkan hingga suhu ruang di dalam laminar air flow. Untuk fermentasi, sebanyak 100 mL hidrolisat yang telah ditentukan kadar gula reduksinya dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL. campuran diatur pH-nya menjadi 5, lalu ditambahkan buffer fosfat pH 5 sebanyak 5 mL, dan 0,1 gram Sacccharomyces cerevisiae yang dilarutkan ke dalam 10 mL larutan NaCl 0,85% dan diinkubasi terlebih dahulu selama 1 jam. Mulut Erlenmeyer lalu disumbat dengan kapas yang
31
digulung dalam kain kasa dan dibungkus dengan aluminium foil supaya sistem menjadi semi anaerob, kemudian dibiarkan pada suhu 30 oC selama 72 jam. Untuk analisis bioetanol, cairan pada sampel di bagian atas dipipet, kemudian penentuan kadar dilakukan dengan kromatografi gas.
5.2. Fermentasi dengan Serbuk Kulit Kayu Raru
Semua bahan dan alat yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 1 atm selama 2 jam, kecuali serbuk kulit kayu raru, kemudian didinginkan di dalam laminar air flow hingga suhu ruang. Setelah itu, sebanyak 100 mL hidrolisat yang telah ditentukan kadar gula reduksinya dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, lalu ditambahkan nira 5 mL. pH campuran kemudian diatur menjadi 5, lalu ditambahkan buffer fosfat pH 5 sebanyak 5 mL. Ke dalam campuran kemudian ditambahkan serbuk kulit kayu raru sebanyak 5 gram. Sebelum digunakan, kulit kayu raru terlebih dahulu disiapkan dengan cara ditumbuk. Tahapan fermentasi dan analisis bioetanol selanjutnya dilalukan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan dengan Saccharomyces cerevisiae.
6. Analisis Kualitatif Bioetanol menggunakan K2Cr2O7
Untuk analisis kualitatif menggunakan K2Cr2O7, sebanyak 1 ml larutan K2Cr2O7 0.05 M ditambah 1 mL larutan H2SO4 encer dimasukan kedalam tabung reaksi dan dihomogenkan, lalu ditambahkan 2 ml sampel. Selanjutnya, tabung reaksi ditutup dengan alumunium foil, lalu dipanaskan selama 10 menit pada penangas. Adanya
32
etanol ditunjukan dengan berubahnya warna larutan yang semula kuning menjadi hijau.
7. Analisis Bioetanol dengan Kromatografi Gas
Analisis bioetanol dilakukan dengan metode kromatografi gas. Analisis ini dilakukan untuk memastikan bahwa hasil fermentasi sampel adalah bioetanol serta menentukan kadarnya. Sebelum dilakukan analisis kadar bioetanol, terlebih dahulu dibuat larutan standar etanol dengan konsentrasi 0,1; 1; 3; 5; 7; dan 10% (v/v). Larutan standar tersebut masing-masing sebanyak 1 µL diinjeksikan pada kolom kromatografi gas dan dicatat luas puncak yang dihasilkan pada kromatogram untuk dibuat kurva standar. Dari kurva standar tersebut maka didapatkan persamaan yang digunakan untuk menghitung kadar bioetanol sampel.
Bioetanol hasil fermentasi sampel sebanyak 1 µL diinjeksikan pada kolom kromatografi gas dan dicatat luas puncak yang dihasilkan pada kromatogram. Luas puncak yang didapatkan selanjutnya disubstitusi pada persamaan yang didapatkan dari kurva standar bioetanol, yang secara umum dinyatakan dengan persamaan: y = ax + b dengan ketentuan y adalah luas puncak atau peak (intensitas) dan x adalah kadar etanol.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Umbi talas beneng berpotensi sebagai bahan baku alternatif untuk produksi bioetanol, karena memiliki kadar pati yang cukup tinggi yakni 58,11%. 2. Kondisi hidrolisis yang sesuai untuk umbi talas beneng dicapai pada pH 10 dengan waktu hidrolisis selama 3 jam dan suhu 90oC dengan kadar gula reduksi yang dihasilkan sebesar 910,875 mg/L. 3. Fermentasi menggunakan serbuk kulit kayu raru menghasilkan etanol sebesar 0,18765 % (v/v), sedangkan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan etanol sebesar 0,2116% (v/v). 4. Kulit kayu raru memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agen fermentasi alternatif, karena mampu menghasilkan etanol dengan kadar yang tidak jauh berbeda dengan agen fermentasi Saccharomyces cerevisiae.
57
B. Saran Beberapa hal yang disarankan pada penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: 1.Dilakukan pengontrolan umur dan lokasi tanaman talas yang digunakan, sehingga pati yang dihidrolisis memiliki kriteria yang sama. 2. Mengembangkan metode pembuatan tepung yang lebih efektif dan tidak mengurangi kadar pati yang terkandung. 3. Mengembangkan sistem hidrolisis untuk mengoptimalkan gula reduksi yang dihasilkan. 4. Mengembangkan potensi kulit kayu raru sebagai agen fermentasi alternatif dengan mengembangkan sistem fermentasi yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Adejumo, I. O., T. O. Babalola, and O.O. Alabi. 2013. Colocasiaesculenta (L.) Schott as an Alternative Energy Source in Animal Nutrition. Br J Appl Sci Technol. 3, pp. 1276-1285. Alcantara, R.M., W.A. Hurtada, and E.I. Dizon. 2013.The Nutritional Value and Phytochemical Components of Taro [Colocasiaesculenta (L.) Schott] Powder and its Selected Processed Foods. J Nutr Food Sci. 3, pp. 1-7. Alfaro, A.P. and Bayman, P. 2011. Hidden Fungi, Emergent Properties: Endophytes and Microbiomes. Annu. Rev. Phytopathol. 49, pp. 291–315. Apriani, Rd.R.N., M. Arpah, dan Setyadjit. 2011. Karakterisasi Empat Jenis Umbi Talas Varian Mentega, Hijau, Semir, dan Beneng serta Tepung yang Dihasilkan dari Keempat Varian Umbi Talas. J. Sci. Rsch. 1 (1). hlm. 1-11. Astuti, L. 2014. Kajian Potensi Umbi Talas Taro sebagai Bahan Baku Alternatif untuk Industri Bioetanol. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. hlm. 1-59. Ayoola, A., O. Adeeyo, V. Efeovbokhan, and A. Olasimbo. 2013. Optimum Hydrolysis Conditions of Cassava Starch for Glucose Production. Int. j. adv. res. IT. eng. 2 (1), pp. 93-102. Behera, S., and Ray, R.C. 2015. Batch Ethanol Production from Cassava (Manihot Esculenta Crantz.) Flour Using Saccharomyces Cerevisiae Cells Immobilized in Calcium Alginate. Ann MicrobioL. 65 (2), pp. 779-783. Balat, M. 2011. Production of Bioethanol from Lignocellulosic Materials Via The Biochemical Pathway: A Review. Energy Convers. Manage. 52, pp. 858–875. Bertolini, A.C. 2010. Starches : Characterization, Properties, and Applications. CRC Press Taylor & Francis Group. New York. hlm. 1-2.
59
Braide, W. and R. N. Nwaoguikpe. 2011. Production Of Ethanol From Cocoyam (Colocasia Esculenta). Int. J. Plant Physiol. Biochem. 3(3), pp. 64-66. Chaudhary, G., L. K. Singh, S. Ghosh . 2012. Alkaline Pretreatment Methods Followed by Acid Hydrolysis of Saccharum Spontaneum for Bioethanol Production. Bioresour. Technol. 124, pp. 111–118. Chen, R.-H., L.-B. Chen, C.-N. Chen, and T.-H. Lin. 2011. Cold-Start Emissions of an SI Engine Using Ethanol-gasoline Blended Fuel. Appl. Therm. Eng. 31, pp. 1463-1467. Chen, C., D. Boldor, G. Aita, and M. Walker. 2012. Ethanol Production from Sorghum by a Microwave-Assisted Dilute Ammonia Pretreatment. Bioresour. Technol. 110, pp. 190–197. Dagnino, E.P., E.R. Chamorro, S.D. Romano, F.E. Felissia, and M.C. Area. 2013. Optimization of The Acid Pretreatment of Rice Hulls to Obtain Fermentable Sugar for Bioethanol Production. Ind Crops Prod. 42, pp. 363–368. Dien, B.S., G. Sarath, J. F. Pedersen, S. E. Sattler, H. Chen , D. L. Funnell-Harris, N. N. Nichols, and M. A. Cotta. 2009. Improved Sugar Conversion and Ethanol Yield for Forage Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) Lines with Reduced Lignin Contents. Bioenerg. Res. 2, pp. 153–164. Fessenden, R.J., dan Joan S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta. hlm. 352-357. Fockink, D.H., M.A.C. Maceno, and L.P. Ramos. 2015. Production of Cellulosic Ethanol from Cotton Processing Residues After Pretreatment with Dilute Sodium Hydroxide and Enzymatic Hydrolysis. Bioresour. Technol. 187, pp. 91–96. Ge, L., J. Lu, and R. Yang. 2013. Measurement of Reducing Sugar in Black Liquor by Dual Wavelength Spectrophotometry . Adv. Mater. Res. Vols. 610-613, pp. 254-258. Govumoni, S.P., S. Koti, S.Y. Kothagouni, S. Venkateshwar, and V.R. Linga. 2013. Evaluation of Pretreatment Methods for Enzymatic Saccharification Wheat Straw for Bioethanol Production. Carbohydr Polym. 91, pp. 646– 650. Harun, R. and Michael K. D. 2011. Influence of Acid Pre-treatment on Microalga Biomass for Bioethanol Production. Process Biochem. 46, pp. 304–309.
60
Ibeto, C.N., A.U. Ofoefule, and K.E. Agbo. 2011. A Global Overview of Biomass Potential for Bioethanol Production: A Renewable Alternative Fuel. Trends in Applied Sci. Res. pp. 1-16. Kruatian, T and Jitmanee, K. 2013. Simple Spectrophotometric Method for Determination of Iodine Value of Vegetable Oils.Chiang Mai J. Sci. 40(3), pp. 419-426. Kumar, G., B. Sen, and C.-Y. Lin. 2013. Pretreatment and Hydrolysis Methods for Recovery of Fermentable Sugars from De-Oiled Jatropha Waste. Bioresour. Technol. 145, pp. 275–279. Lehninger L. A. 2004. Principles of Biochemistry. Worth Publisher, Inc. New York. hlm. 238-268. Lestari, S., dan Susilawati R. 2015. Uji Organoleptik Mi Basah Berbahan Dasar Tepung Talas Beneng Lokal Banten. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(4), hlm. 941-946. Lubis, M.R. 2012. Hidrolisis Pati Sukun dengan Katalisator H2SO4 untuk Pembuatan Perekat. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 9 (2), pp. 62 – 67. Markou, G.1., I. Angelidaki, E. Nerantzis, and D. Georgakakis. 2013. Bioethanol Production by Carbohydrate-Enriched Biomass of Arthrospira (Spirulina) platensis. Energies. 6, pp. 3937-3950. Marliana, E. 2011. Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm. 3. Mcnair, H.M. and Miller, J.M. 2009. Basic Gas Chromatography. John Wiley and Sons, Inc. Canada. pp. 1-202. Miller, G.L. 1959. Use of DinitrosaIicyIic Acid Reagent for Determination of Reducing Sugar. Anal. Chem. 31(3), pp. 426-428. Minantyorini dan Hanarida. 2002. Panduan Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Talas. Departemen Pertanian. hlm. 19-31. Ndabikunze, B. K., H. A. L. Talwana, R. J. Mongi, Z.A. Issa, A. K. Serem, V. Palapala, and J. O. M. Nandi. 2011. Proximate And Mineral Composition Of Cocoyam (ColocasiaEsculentaL. And Xanthosoma Sagittifolium L.) Grown Along The Lake Victoria Basin In Tanzania And Uganda. Afr. J. Food Sci. 5, pp. 248 – 254.
61
Olorunsola, E.O., A.B. Isah, and T.S. Allagh 2011. Effects of Varying Conditions of Acid Hydrolysis on Some Physicochemical Properties of Ipomoea Batatas Starch. Nig. Journ. Pharm. Sci. 10, pp. 73–80. Pasaribu, G.T. 2009. Zat Ekstraktif Kayu Raru Dan Pengaruhnya Terhadap Penurun Kadar Gula Darah Secara In Vitro. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm. 1-37. Pulidindi, I.N., B.B. Kimchi, and A. Gedanken. 2014. Can Cellulose be a Sustainable Feedstock for Bioethanol Production?. renew. energy.71, pp. 77-80. Rocha, G.J.M., A.R. Goncalves, B.R. Oliveira, E.G. Olivares, and C.E.V. Rossell. 2012. Steam Explosion Pretreatment Reproduction and Alkaline Delignification Reactions Performed On a Pilot Scale with Sugarcane Bagasse for Bioethanol Production. Ind Crops Prod. 35, pp. 274-279. Salam, M.A., P.C. Pondith, A. Islam, M.R. Uddin, and M.A. Islam. 2013. Conversion of Cellulosic waste into fermentable sugar: Process optimization. J. Chem. Eng. 28 (1), pp. 27-31. Saqib, A.A.N. and Whitney, P.J. 2011. Differential Behaviour of the Dinitrosalicylic Acid (DNS) Reagent towards mono- and di-saccharide Sugars. Biomass Bioenerg. 35, pp. 4748-4750. Sari, J.R. 2013. Optimalisasi Produksi Gula Reduksi dari Onggok sebagai Bahan Baku Bioetanol dengan praperlakuan Ultrasonikasi. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. hlm. 1-61. Sarkar, N., S. K. Ghosh, S. Bannerjee, and K. Aikat. 2012. Bioethanol Production from Agricultural Wastes: An Overview. renew. energy. 37, pp. 19-27. Scholz, M.J., M.R. Riley, and J. L. Cuello. 2013. Acid Hydrolysis and Fermentation of Microalgal Starches to Ethanol by the Yeast Saccharomyces Cerevisiae. Biomass Bioenerg. 48, pp. 59-65. Septarini, L.G.R. 2013. Hidrolisis Onggok Di Bawah Pengaruh Ultrasonikasi Untuk Menghasilkan Gula Reduksi Dan Uji Fermentasinya Menjadi Bioetanol. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. hlm. 1-50. Sevcik, J. 1976. Detectors in Gas Chromatography. J. Chromatogr. 4, pp. 39-188. Simanjuntak, W., H. Satria, N. Utami, dan M. Amin. 2013. Fermentasi Hidrolisat Onggok Dengan Menggunakan Mikroba Endofitik. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. hlm. 257-264.
62
Simanjuntak, W., H. Satria, and N. Utami. 2014. Production Of Reducing Sugar From Cassava Solid Waste By Simultaneous Ultrasonication And Acid Hydrolysis. Indo. J. Chem. 14 (3), pp.233 – 238. Sindhu, R., P. Binod, K. Satyanagalakshmi, K. U. Janu, K. V. Sajna, N. Kurien, R. K. Sukumaran, and A. Pandey. 2010. Formic Acid as a Potential Pretreatment Agent for the Conversion of Sugarcane Bagasse to Bioethanol. Appl Biochem Biotechnol. 162, pp. 2313–2323. Sindhu, R., M. Kuttiraja, P. Binod, K.U. Janu, R.K. Sukumaran, and A. Pandey. 2011. Dilute Acid Pretreatment and Enzymatic Saccharification of Sugarcane Tops for Bioethanol Production. Bioresour. Technol. 102, pp. 10915– 10921. Skoog, D.A., D. M. West, F. J. Holler, and S. R. Crouch. Fundamentals of Analytical Chemistry. Books/ Cole Cengage Learning. United State of America. Pp. 649713. Tutt, M., T. Kikas, and J. Olt. 2012. Influence of Different Pretreatment Methods on Bioethanol Production from Wheat Straw. Agron Res. 1, pp. 269-276. Walker, G.M., 2010. Bioethanol: Science and Technology of Fuel Alcohol. Ventus Publishing ApS. Scotland. hlm. 8-73. Walker, G. 2011. Fuel Alcohol: Current Production and Future Challenges (125 th Anniversary Review). Journal Inst Brew. 117, pp. 3-22. Wirahadikusumah, M. 2001. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. ITB. Bandung. hlm. 53-54. Wyman, C.E., B. E. Dale, R. T. Elander, M. Holtzapple, M. R. Ladisch, Y. Y. Lee, C. Mitchinson, and J. N. Saddle. 2009. Comparative Sugar Recovery and Fermentation Data Following Pretreatment of Poplar Wood by Leading Technologies. Biotechnol. Prog. 25 (2), pp. 333-339. Xu, J., J. J. Cheng, R. R. Sharma-Shivappa, and J. C. Burns. 2010. Sodium Hydroxide Pretreatment of Switchgrass for Ethanol Production. Energ Fuel. 24, pp. 2113–2119. Xu, J., and Jay J. C. 2011. Pretreatment of Switchgrass for Sugar Production with the Combination of Sodium Hydroxide and Lime. Bioresour. Technol. 102, pp. 3861–3868.
63
Yadav, K. S., S. Naseeruddin, G. S. Prashanthi, L. Sateesh, and L. V. Rao. 2011. Bioethanol fermentation of concentrated rice straw hydrolysate using coculture of Saccharomyces cerevisiae and Pichia stipitis. Bioresour. Technol. 102, pp. 6473–6478. Zamora, L.L., J.A.G. Calderón, E.T. Vázquez, and E.B. Reynoso. 2010. Optimization of Ethanol Production Process from Cassava Starch by Surface Response. J. Mex. Chem. Soc. 54 (4), pp. 198-203. Zhu, H.-J., J.-H. Liu, L.-F. Sun, Z.-F. Hu, and J.-J. Qiao. 2013. Combined Alkali and Acid Pretreatment of Spent Mushroom Substrate for Reducing Sugar and Biofertilizer Production. Bioresour. Technol. 136, pp. 257–266.