STUDI GEOMORFOLOGI PULAU TERNATE DAN PENILAIAN RESIKO LONGSOR
IKQRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2012 Ikqra NIM A153100011
ABSTRAK IKQRA. Studi Geomorfologi Pulau Ternate dan Penilaian Risiko Longsor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan EUIS SUNARTI. Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunungapi (G. Gamalama) dan menjadi ibukota Kota Ternate. Pulau ini tercatat mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara dengan pertambahan penduduk yang cenderung terus meningkat. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman pun terus ikut bertambah. Perambahan lahan pada lereng-lereng gunungapi dapat memicu terjadinya bencana tanah longsor yang mulai sering terjadi pada dekade terakhir ini di daerah penelitian. Tujuan penelitian ini adalah melakukan studi geomorfologi Pulau Ternate, melakukan analisis bahaya longsor dan risiko longsor. Untuk mencapai tujuan ini citra satelit, yaitu GeoEye (Google Earth) dan citra SRTM (Hillshade), digunakan untuk interpretasi geomorfologi daerah penelitian melalui identifikasi bentuklahan (landform). Bentuklahan selanjutnya digunakan sebagai salah satu parameter untuk analisis bahaya longsor bersama dengan parameter lain seperti kemiringan lereng, tekstur tanah, dan penggunaan lahan. Adapun parameter yang digunakan untuk menilai risiko longsor meliputi bahaya longsor dan kerentanan elemen risiko. Untuk melakukan analisis bahaya dan risiko longsor dalam penelitian ini digunakan metode pembobotan terhadap masing-masing parameter dan pemberian skor pada masingmasing variabel dari setiap parameter. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisis secara spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Hasil penelitian menunjukan bahwa geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan vulkanik (71,15%) sesuai dengan morfogenesis Pulau Ternate, sedangkan selebihnya merupakan bentuklahan fluvial 26,1%, marin 2,5%, dan antropogenik 0,25% yaitu berupa reklamasi lahan pantai yang dimanfaatkan sebagai permukiman dan pertokoan. Dari kondisi geomorfologi ini 18,2% dari total luas daerah penelitian tergolong aman dari bahaya longsor, namun 23,7% masuk ke dalam kelas bahaya rendah, 29,8% tergolong ke dalam kelas bahaya sedang, dan 28,1% masuk ke dalam kelas bahaya tinggi. Jika dibandingkan dengan luasan daerah rentan longsor (landslide susceptibility), tampak bahwa perubahan penggunaan lahan di daerah penelitian cukup berpengaruh besar terhadap peningkatan luas daerah bahaya longsor. Untuk analisis risiko longsor didapatkan hasil bahwa 96,3% dari total luas daerah penelitian tergolong tidak berisiko, namun 1,16% tergolong berisiko rendah, 2,2% berisiko sedang, dan 0,44% berisiko tinggi. Di dalam masing-masing kelas risiko ini terdapat 2.0221 unit bangunan pada kelas risiko rendah, 4.041 unit bangunan pada kelas risiko sedang, dan 826 unit bangunan pada kelas resiko tinggi. Luas wilayah dan jumlah bangunan berisiko ini dapat meningkat lagi seiring dengan waktu, sehingga pemantauan terhadap perubahan penggunaan lahan, terutama permukiman, sangat penting dilakukan di daerah penelitian, terutama terkait dengan program pemerintah mengenai mitigasi bencana dan penataan ruang. Kata kunci: geomorfologi, bahaya, risiko, longsor, pulau Ternate.
ABSTRACT IKQRA. Geomorphological Study of Ternate Island and Landslide Risk Assessments. Under supervision of BOEDI TJAHJONO and EUIS SUNARTI. Ternate Island is an active volcano (Gamalama Volcano) where the capital city of Ternate Municipality located. The island has however highest population density in compare to other regencies in North Maluku Province. The population tend to grow by time and the demand of land for settlements increase following the population growth. Some of the lower part of volcanic slope has recently been occupied by settlement and unfortunately it triggered landslides in recent days. The purposes of this research are to study geomorphology of Ternate Island and to analyze landslide hazard and risk. To achieve this purposes the satellites imageries, i.e. Geo Eye (Google Earth) and SRTM imagery, were used for geomorphological visual interpretation. The landforms were used as a parameter for landslide hazard analysis along with other parameters such as slope steepnes, soil texture, and land use. The landslide hazard then used together with community vulnerability parameter to analize the landslide risk. In this study, the method of weighting and scoring were applied to each parameter and its variables to assess landslide hazard and risk, and all of data analyzed using Geographic Information Systems. The results showed that the geomorphology of the study area is dominated (71.15%) by volcanic landform following the morphogenesis of Ternate Island, while the rest are fluvial landform (26.1%), marine landform (2.5%), and anthropogenic reclamation landform (0.25%) occupied by settlements and commercial area. Based on geomorphological conditions, 18.2% of study area considered safe area from landslide hazard, but 23.7% classified as low hazard, 29.8% as moderate, and 28.1% as high hazard. In compare to landslide susceptibilty assessment result, it appears that land use changes in the study area are quite a major effect provoking landslide hazard. The result of landslide risk analysis showed that 96.3% of study area is far from risk, but 1.16% classified at low risk, 2.2% at moderate risk, and 0.44% at high risk. In relation of these zones of risk, there are of about 2.0221 houses at low risk area, 4.041 houses at moderate risk area, and 826 houses at high risk area. All these numbers of risk can however be increased by time when the value of each parameter change. Therefore monitoring of land use changes, particularly for residential, is very important for study area, especially in relation to the government mitigation program and spatial planning. . Key word: geomorphology, hazard, risk, landslide, Ternate Island.
RINGKASAN IKQRA. Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan EUIS SUNARTI. Pulau Ternate merupakan sebuah pulau yang terbentuk karena proses vulkanik yang muncul dari dasar laut, sehingga sebagian tubuhnya muncul di atas permukaan laut yang dikenal dengan Gunung Gamalama. Keliling pulau Ternate sekitar 48 Km2 dengan kemiringan lereng datar hingga sangat curam dari pantai hingga ke arah puncak gunung. Dari sisi lain, pulau Ternate merupakan pusat pemerintahan Kota Ternate yang tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara sehingga kebutuhan lahan permukiman terus bertambah. Kondisi ini dapat memicu terjadinya bencana, terutama tanah longsor dan banjir, sehingga dapat menelan korban jiwa dan harta benda. Untuk itu, ditetapkan tujuan penelitian ini adalah; 1) Menganalisis geomorfologi pulau Ternate, 2) Menganalisis bahaya longsor di pulau Ternate, 3) Menganalisis kerentanan elemen resiko longsor dan kapasitas masyarakat di pulau Ternate, dan 4) Menilai dan memetakan resiko longsor di pulau Ternate. Data yang digunakan dalam menganalisis geomorfologi menggunakan citra Geo Eye (Google Earth) dan SRTM 90 m (Hillshade). Untuk menganalisis bahaya longsor data yang digunakan yaitu data bentuklahan pulau Ternate, kemiringan lereng, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Data untuk menganalisis kerentanan elemen resiko yaitu jenis bangunan, kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk. Kapasitas masyarakat dinilai berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat mengenai bencana dan sosialisasi atau penyuluhan mengenai bencana. Data untuk menganalisis resiko longsor yaitu data bahaya longsor dan kerentanan elemen resiko sedangkan kapasitas masyarakat dideskripsikan sebagai gambaran kapasitas masyarakat disekitar lokasi longsor. Kondisi geomorfologi pulau Ternate dianalisis dengan cara menginterpretasi data yang diperoleh melalui identifikasi bentuklahan lokasi penelitian. Interpretasi data bentuklahan berdasarkan aspek morfologi, morfogenesis dan morfokronologis. Pengecekan lapangan juga dilakukan guna memperbaiki kesalahan dalam melakukan interpretasi sehingga bentuklahan yang dihasilkan sesuai dengan kondisi di lapangan dan memberikan informasi dalam menganalisis bahaya longsor. Bahaya longsor di lokasi penelitian dianalisis dari aspek suseptibilitas dan pemicu longsor dimana tiap parameter diberi nilai dan bobot (scoring and weighting) berdasarkan kontribusi relatif parameter terhadap longsor. suseptibilitas longsor dianalisis dengan menggunakan data kemiringan lereng, bentuklahan dan tekstur tanah guna melihat kondisi alami lokasi penelitian. Aktifitas manusia dapat terlihat dari data penggunaan lahan yang digunakan sebagai faktor pemicu longsor, sehingga dapat teridentifikasi pengaruhnya
terhadap bahaya longsor. Tiap parameter dilakukan operasi tumpang tindih kemudian dikategorikan menjadi tingkat bahaya longsor berdasarkan nilai intervalnya. Kerentanan elemen resiko dianalisis hanya pada tingkat bahaya longsor rendah hingga tinggi. Jenis bangunan untuk menilai kerentanan elemen resiko dibagi menjadi dua yaitu rumah penduduk dan fasilitas umum dimana rumah penduduk dikategorikan lebih rentan dibandingkan fasilitas umum. Kepadatan bangunan diperoleh dari jumlah bangunan per luasan area terbangun pada area tersebut, dimana tingkat kepadatan bangunan mencerminkan tingkat kerentanan. Kepadatan penduduk diperoleh dari jumlah penduduk per luas area terbangun di area tersebut. Tingkat kerentanan diperoleh dari hasil operasi tumpang tindih dan nilai intervalnya. Kapasitas masyarakat dianalisis berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan kuesioner. Pemilihan responden diambil secara purposif sampling yaitu kepada masyarakat yang berada di sekitar wilayah potensi longsor. Tiap pertanyaan pada kuesioner memiliki nilai kemudian nilai tersebut ditabulasi dan dideskripsikan untuk menilai kapasitas masyarakat. Resiko longsor dihasilkan dari operasi tumpang tindih bahaya longsor, kerentanan elemen resiko dan kapasitas masyarakat. Pengkategorian tingkat resiko longsor berdasarkan pada nilai interval yang dihasilkan dari nilai resiko tertinggi dikurang nilai resiko terendah dibagi tiga kelas resiko. Rumusan yang digunakan untuk perhitungan resiko longsor yaitu bahaya longsor dikalikan dengan kerentanan dan dibagi dengan kapasitas masyarakat. Hasil interpretasi geomorfologi pulau Ternate menghasilkan delapan bentuklahan yaitu pantai, maar, aliran lava, lereng kaki, lereng tengah, lereng atas, lereng puncak dan kawah gunungapi. Tipe bentuklahan terluas yaitu lereng bawah kerucut vulkanik yang mencapai 3.160 ha sedangkan terkecil yaitu kawah dengan luas 1,9 ha. Sebagian besar penduduk menempati bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan kemiringan lereng 15 – 30%. Berdasarkan suseptibilitas longsor (landslide susceptibility), pulau Ternate didominasi oleh kelas rendah dengan luas 2.645 ha atau 26,1% dari total luasan. Dimana kelas tersebut mendominasi bagian tenggara dan selatan pulau. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 15 – 45% dan berada di bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan tekstur tanah dominan berupa lempung (loam) dan liat (clay). Suseptibilitas longsor yang dikombinasikan dengan pemicu longsor dapat menghasilkan bahaya longsor (landslide hazard). Bahaya longsor yang mendominasi pulau Ternate yaitu kelas bahaya longsor sedang dengan luas 3.025 ha atau 29,8% dari total luas wilayah. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 15 – 45%, berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan tebing maar Laguna. Tekstur tanah didominasi oleh lempung (loam) dan liat
(clay) dengan penggunaan lahan terluas yaitu tebing danau, lahan terbuka dan semak. Berdasarkan analisis bahaya longsor terlihat bahwa penggunaan lahan mempengaruhi tingkat bahaya longsor. Penggunaan lahan yang cenderung mempengaruhinya yaitu penambangan pasir dan batu, semak belukar dan lahan terbuka. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan luasan antara suseptibilitas longsor dan bahaya longsor dimana terjadi perubahan luasan pada masing-masing kelas. Hal ini diduga karena pada awalnya kemiringan lereng walaupun miring hingga sangat curam namun memiliki batuan penyusun lereng yang stabil dengan penggunaan lahan perkebunan tahunan yang tidak menyebabkan potensi longsor. Kemudian di area tersebut dilakukan pemangkasan pohon, pemotongan lereng dan penggalian untuk penambangan sehingga proses tersebut dapat merubah stabilitas lereng dan batuan penyusunnya sehingga berpotensi longsor. Dari hasil analisis parameter kerentanan elemen resiko didapatkan bahwa kelas kerentanan yang mendominasi pulau Ternate adalah kelas kerentanan tinggi. Pada kelas tersebut terdapat 4.910 unit bangunan atau 70,8% dari total jumlah bangunan dan berada di kecamatan Ternate Tengah dan Ternate Selatan. Kedua kecamatan tersebut dikenali memiliki tingkat kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan tanggapan responden terhadap kuesioner yang diajukan dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat terhadap bencana sebesar 58,25%, pengalaman bencana sebesar 34% dan sosialisasi atau penyuluhan bencana sebesar 21%. Hal ini menunjukan bahwa sosialisasi atau penyuluhan mengenai bencana perlu ditingkatkan. Dari hasil analisis resiko longsor di pulau Ternate dididapatkan bahwa kelas resiko longsor yang mendominasi adalah kelas resiko sedang dimana terdapat 4.041 unit bangunan tergolong kelas tersebut. Namun sebanyak 826 unit bangunan masuk dalam ketgori resiko longsor tinggi yang harus diperhatikan. Kelas resiko sedang hingga tinggi ini terdapat di kecamatan Ternate Tengah dan Selatan. Karakteristik alami atau kondisi geomorfologi pegunungan di Pulau Ternate memiliki lereng datar hingga curam dari bentuklahan gisik pantai hingga ke arah lereng puncak, batuan penyusun lereng yang dihasilkan dari proses vulkanik dalam kondisi stabil sehingga secara alami sesungguhnya sulit terjadi longsor. Namun setelah terjadi perubahan lahan dengan pemotongan lereng maka kondisi batuan penyusun lereng yang stabil berubah dan menyebabkan meningkatnya potensi bahaya dan resiko longsor.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya; a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI GEOMORFOLOGI PULAU TERNATE DAN PENILAIAN RESIKO LONGSOR
IKQRA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita. M.Sc
Judul Tesis
: Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor
Nama
: Ikqra
NIM
: A153100011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Boedi Tjahjono, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan lahan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 26 November 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah berupa tesis ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya ini, terutama; 1. Dr. Boedi Tjahjono, selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Euis Sunarti, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Dr. Baba Barus, selaku ketua program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan IPB atas dorongan dan kesempatan dalam mengembangkan pengetahuan penulis selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. 3. Dr. Komarsa Gandasasmita, selaku penguji luar komisi. 4. Seluruh dosen di program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan IPB atas pelajaran yang diberikan. 5. Ibunda Hj. Saonih Mochtar, istri Fadila Ali. S.Sos dan ananda Nazwa Putri Ikqra, atas segala doa restu dan kesabarannya. 6. Yayasan SUPERSEMAR yang membantu dalam tahap penyelesaian akhir studi. 7. Kolega di RFSM atas dukungan dan bantuannya. 8. Rekan-rekan MBK IPB angkatan 2010; Arwan dan Nawir, angkatan 2011; Mba Nina, Siti dan Geges serta seluruh angkatan 2012; Fitrah dan kawan-kawan, atas diskusi-diskusi kita yang menarik. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama studi ini. Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca sebagai masukan dalam upaya pengurangan resiko bencana.
Bogor, November 2012
Ikqra
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1978 sebagai anak pertama dari ayahanda (almarhum) Mochtar Abdurahman dan ibunda Hj. Saonih Mochtar. Lulus dari SMA Negeri 1 Ternate pada tahun 1996 kemudian menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado pada tahun 2001. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program magister sains pada program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berpartisipasi dalam kepanitian dan menghadiri beberapa kegiatan ilmiah di Bogor. Penulis juga membuat artikel opini pada beberapa media cetak yang terbit di Maluku Utara, berpartisipasi sebagai pembicara pada beberapa stasiun radio di Ternate, dan pembicara pada beberapa pertemuan dengan BAPPEDA dan BPBD Kota Ternate menyangkut kajian mengenai bencana. Pada tahun 2001 hingga 2008 aktif bekerja pada beberapa lembaga kemanusiaan internasional dan tahun 2006 diangkat menjadi tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate hingga saat ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxi PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Konsep Geomorfologi ............................................................................. Tanah Longsor ........................................................................................ Risiko Bencana........................................................................................ Pengurangan risiko bencana ....................................................................
5 5 7 9 12
METODE PENELITIAN ................................................................................. Lokasi Penelitian ..................................................................................... Waktu Penelitian ..................................................................................... Bahan dan Alat ........................................................................................ Tahapan Penelitian ..................................................................................
15 15 15 16 17
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................................... Administrasi dan Posisi Geografis Kota Ternate.................................... Kondisi Fisik Kota Ternate..................................................................... Kondisi Sosial Masyarakat Kota Ternate ...............................................
37 37 37 41
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Geomorfologi Lokasi Penelitian ............................................................. Bahaya Longsor (Landslide Hazard) di Lokasi Penelitian .................... Kerentanan (Vulnerability) Longsor di Lokasi Penelitian ...................... Kapasitas (Capacity) Masyarakat di Lokasi Penelitian .......................... Risiko Longsor (Landslide Risk) Longsor di Lokasi Penelitian ............. Keterkaitan kondisi geomorfologi Pulau Ternate terhadap Bahaya dan resiko longsor ...................................................................... Keterbatasan dan keunggulan penelitian ................................................
47 47 54 75 80 84 88 89
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 91 Kesimpulan ............................................................................................. 91 Saran ....................................................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95 LAMPIRAN ..................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL Halaman Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara ............................................................................................
2
2.
Klasifikasi tipe bencana ............................................................................
10
3.
Matriks jadwal kegiatan penelitian Tahun 2012 .......................................
16
4.
Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian ...........................................
16
5.
Urutan parameter suseptibilitas longsor dan hasil perhitungan bobot yang dinormalkan ...........................................................................
22
6.
Bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor di lokasi penelitian .......
24
7.
Nilai interval dan kelas suseptibilitas longsor di lokasi penelitian ...........
26
8.
Urutan parameter bahaya longsor dan bobot yang dinormalkan ..............
28
9.
Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian ................
29
10. Nilai interval kelas bahaya longsor di lokasi penelitian ..........................
31
11. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian .....................................
32
12. Tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian .....................................
33
13. Nilai bobot kerentanan (vulnerability) elemen risiko longsor di lokasi penelitian ....................................................................................
33
14. Nilai interval kelas kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian ....................................................................................
34
15. Nilai interval kelas resiko longsor di lokasi penelitian .............................
35
16. Satuan endapan batuan gunungapi Gamalama dan luasannya ..................
39
17. Jumlah penduduk, kepadatan dan persentasenya per kecamatan di Kota Ternate .........................................................................................
41
18. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin per kecamatan di pulau Ternate ........................................................................................
42
19. Pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan kemiskinan per kecamatan di pulau Ternate ......................................................................
44
1.
xvii
20. Jumlah rumah penduduk menurut kualitas per kecamatan di pulau Ternate ............................................................................................
45
21. Jumlah sekolah dan tempat ibadah per kecamatan di pulau Ternate ........
45
22. Panjang jalan menurut status jalan per kecamatan di pulau Ternate ........
46
23. Jenis bentuklahan (landform) pulau Ternate dan luasannya .....................
48
24. Kemiringan lereng, kelas dan luas lereng di lokasi penelitian ..................
55
25. Sebaran kemiringan lereng pada bentuklahan di pulau Ternate ...............
55
26. Tekstur tanah dan luasannya di pulau Ternate ..........................................
58
27. Kelas suseptibilitas longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian .................................................................................... 28. Kelas suseptibilitas longsor dan karakteristik lahannya di lokasi penelitian ........................................................................................
60 62
29. Jenis penggunaan lahan Kota Ternate, luas dan persentasenya ................
65
30. Kelas bahaya longsor luasan dan persentasenya di lokasi penelitian ....................................................................................
67
31. Kelas bahaya longsor dan karakteristik lahannya di lokasi penelitian ....................................................................................
68
32. Rasio frekuensi pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian ........................................................................................
73
33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian ..............................................
74
34. Jumlah bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian ............
76
35. Kelas kerentanan bangunan, jumlah bangunan dan persentasenya di lokasi penelitian .............................................................
78
36. Kelas kerentanan elemen risiko per kecamatan dan gambaran jumlah bangunan ......................................................................................
79
37. Parameter dan variabel kapasitas masyarakat, tanggapan responden dan persentasenya di lokasi penelitian ...................................................... 38. Kelas risiko longsor (landslide risk), nilai interval dan tipe bangunan di lokasi penelitian .................................................................................... 39. Tingkat risiko longsor dan jumlah bangunan per kecamatan di lokasi penelitian .................................................................................... xviii
82 85 87
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Klasifikasi Tanah Longsor ........................................................................
9
2. Lokasi Penelitian ........................................................................................
15
3. Diagram Alir Penelitian .............................................................................
18
4. Grafik Luas Kecamatan di Kota Ternate ...................................................
37
5. Peta Geologi Lokasi Penelitian ..................................................................
40
6. Grafik Kelompok Umur per Kecamatan di Lokasi Penelitian ...................
42
7. Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kota Ternate ......
43
8. Citra Pulau Ternate ....................................................................................
48
9. (a, b) Kawah Gunung Gamalama; (c, d) Batuan aliran lava; (e) Daratan anthropogenik (f) Maar Tolire Besar dan Tolire Kecil; (g) Maar Laguna; (h) Gisik Pantai .............................................................
53
10. Peta Bentuklahan (landform) di Lokasi Penelitian ....................................
54
11. Peta Kemiringan Lereng di Lokasi Penelitian ...........................................
56
12. Peta Tekstur Tanah di Lokasi Penelitian ....................................................
59
13. Peta Suseptibilitas longsor di Lokasi Penelitian .......................................
63
14. Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian ............................................
66
15. Peta Bahaya longsor (Landslide Hazard) di Lokasi Penelitian .................
70
16. Grafik perbedaan luas wilayah rentan longsor (landslide susceptibility) dan bahaya longsor (landslide hazard) di lokasi penelitian .......................
71
17. Titik Longsor Aktual di Lokasi Penelitian .................................................
72
18. Peta Sebaran Bangunan dan Kelas Bahaya Longsor di Lokasi Penelitian.
77
19. Peta Kerentanan bangunan dan Contoh Rumah penduduk di Lokasi Penelitian ....................................................................................
79
20. Sebaran Responden di Lokasi Penelitian ...................................................
82 xix
21. Grafik Tanggapan Responden Terhadap Parameter Kapasitas Masyarakat di Lokasi Penelitian ..............................................
84
22. Peta Resiko kelas Longsor di Lokasi Penelitian ........................................
86
23. Matriks Resiko Bencana ............................................................................
88
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Data Curah Hujan Kota Ternate Periode 2000 – 2010 .............................
99
2. Data Gempa Bumi Terasa di Kota Ternate ............................................... 100 3. Contoh Lembar Kuesioner untuk Masyarakat ......................................... 101 4. Dokumentasi penelitian di Pulau Ternate ................................................. 103
xxi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu IndoAustralia, Eurasia, dan Pasifik, sehingga Indonesia merupakan bagian dari lintasan sabuk vulkanik dunia yang memanjang dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Sulawesi, hingga ke Maluku Utara. Berdasarkan karakteristik geotektonik ini, maka Indonesia tergolong wilayah yang mempunyai geodinamik aktif. Hal tersebut dapat dipahami bahwa wilayah negara ini sesungguhnya tergolong pada wilayah yang sensitif terhadap bencana alam, apalagi jika pengelolaan lingkungan tidak berjalan dengan baik serta tanpa didasari oleh pemahaman terhadap karakteristik geografi dan geologi yang ada. Maluku Utara merupakan salah satu bagian dari busur vulkanik yang memiliki empat gunungapi aktif tipe A, yaitu G. Dukono, G. Gamkonora, G. Gamalama, dan G. Kie Besi (Anonimous, 1979). G. Gamalama merupakan gunungapi aktif di Maluku Utara yang terletak di Pulau Ternate, memiliki keliling sekitar 48 Km2, berbentuk lingkaran dengan jari-jari 5,8 Km, dan mempunyai ketinggian 1.669 m. Tipe batuan yang terbentuk oleh gunungapi ini adalah basalt, andesit, andesit piroksin yang mengandung olivin, dan diabas (Hamidi dan Kusumadinata, 1979). Pada periode November - Desember 2011, gunungapi Gamalama dalam periode aktif dan telah menyemburkan abu vulkanik dengan ketinggian kolom letusan lebih dari 1,5 Km. Proses pengungsian terhadap sebagian penduduk telah dilakukan untuk menghindari adanya korban. Dari sisi lain, Pulau Ternate merupakan pusat pemerintahan Kota Ternate. Kota ini secara umum memiliki topografi perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng bervariasi dari 8% di lereng bawah hingga 40% ke arah puncak G. Gamalama. Sebelum tahun 2000, sekitar 84% dari seluruh kelurahan di Kota Ternate berada pada wilayah datar (BPS Kota Ternate, 2008) atau dapat dikatakan sebagian besar penduduk bertempat tinggal di wilayah pesisir. Namun pada saat sekarang ketika jumlah penduduk di Kota Ternate telah bertambah, maka pola persebaran permukiman pun telah mengalami perubahan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kota Ternate mencapai 172.041 jiwa dan pada tahun 2011 mencapai 176.084 jiwa. Dengan angka ini nampaknya trend pertumbuhan demografi akan
2
terus bertambah di waktu mendatang. Berdasarkan data kependudukan kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara (Tabel 1), maka pulau ini tercatat sebagai wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara. Tabel 1. Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Luas Daerah (Km2)
Luas Daratan (Km2)
Jumlah Penduduk
Halmahera Barat
14.235,66
2.612,24
97.971
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 38
Halmahera Tengah
8.381,48
2.276,83
34.821
15
Halmahera Selatan
40.263,72
8.779,32
192.312
22
Halmahera Utara
24.983,32
5.447,30
194.778
36
Halmahera Timur
14.202,02
6.506,20
69.912
11
Ternate
5.795,40
250,85
185.705
741
Tidore Kepulauan
13.857,20
9.564,00
82.302
9
Kepulauan Sula
24.082,30
9.632,92
34.821
14
Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Provinsi Maluku Utara, 2010
1.2. Perumusan Masalah Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Ternate, persebaran wilayah permukiman pun mulai berubah. Wilayah berbukit dan bergunung yang semula merupakan lahan perkebunan (pala, cengkeh, dan kelapa), sekarang mulai dirambah, sehingga sebagian dari padanya mulai berubah menjadi wilayah permukiman. Proses alam seperti hujan, sebelum tahun 2000 dirasakan berjalan normal tanpa menimbulkan bencana, namun saat sekarang sudah sering menimbulkan bencana. BPBD Kota Ternate (2011) mencatat bahwa pada tahun 2009 telah terjadi 6 kejadian bencana alam berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung yang telah menimbulkan 191 kerusakan rumah (dari ringan hingga berat), 6 orang luka, 265 orang mengungsi, dan merusakkan saluran drainase di dua lokasi. Kemudian pada tahun 2010, terjadi 11 kejadian bencana alam berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan kebakaran rumah yang menimbulkan 50 kerusakan rumah (ringan hingga berat), 1 orang meninggal, 2 orang luka berat, 1 rumah sakit rusak berat, serta 2 akses jalan tertutup. Pada tahun 2011 telah terjadi erupsi gunungapi Gamalama yang diikuti dengan banjir
3
lahar dingin yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 7 orang dan kerugian material sekitar 25 milyar. Berdasarkan pengamatan penulis, bencana alam yang terjadi di pulau ini, terutama tanah longsor dan banjir, tampaknya mengiringi fenomena klimatik (hujan) dan perubahan penggunaan lahan terutama yang berlangsung di wilayah perbukitan. Untuk itu fenomena perubahan penggunaan lahan di pulau ini sudah waktunya
untuk
dikaji
dengan
lebih
seksama
beserta
dampak
yang
ditimbulkannya. Perubahan kebutuhan lahan tampak semakin meningkat pada saat ini untuk membangun permukiman, perkantoran, fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya. Hal ini disebabkan, wilayah yang mempunyai topografi datar tidak pernah bertambah luasannya maka sangat wajar jika pengembangan wilayah di pulau ini akhirnya merambah ke wilayah perbukitan meskipun mempunyai kemiringan lereng yang cukup terjal. Berkaitan dengan kondisi topografi yang berat ini, maka pemotonganpemotongan lereng tidak dapat dihindari guna menyesuaikan tata letak bangunan atau alasan yang lainnya. Kondisi ini tentunya dapat merubah kestabilan lereng sehingga dapat meningkatkan potensi bencana tanah longsor. Hasilnya resiko bencana tanah longsor pun menjadi meningkat, sehingga perlu tindakan - tindakan penanggulangan yang harus dipersiapkan. Oleh karena itu pengelolaan kebencanaan di pulau ini perlu ditingkatkan baik secara kelembagaan maupun secara teknis. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kajian resiko bencana (risk disaster) merupakan hal yang penting untuk dilakukan, termasuk yang lebih mendasar seperti kajian bahaya proses-proses alam (natural hazard) dan juga tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana (vulnerability) (Carter, 1991). Kajian bahaya tanah longsor sering didekati melalui suseptibilitas longsor seperti curah hujan, bentuklahan terutama dari aspek lereng (slope) baik dari aspek keterjalan, panjang, maupun arah lereng (aspect), serta faktor-faktor lain seperti penggunaan lahan, batuan induk, jenis tanah dan kegempaan (Verstappen, 1983; Selby, 1985; Bloom, 1979). Adapun untuk pendugaan terhadap tingkat kerentanan perlu didekati dengan kondisi demografi, sosial, ekonomi, infrastruktur, serta kapasitas pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menghadapi bencana.
4
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai resiko bencana di Pulau Ternate merupakan hal mendasar untuk dilakukan, terutama terhadap bencana yang rutin terjadi di musim hujan salah satunya seperti tanah longsor. Untuk itu dirumuskan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Menganalisis geomorfologi Pulau Ternate. 2. Menganalisis dan memetakan bahaya longsor di Pulau Ternate. 3. Menganalisis kerentanan elemen resiko dan kapasitas masyarakat di Pulau Ternate 4. Menilai dan memetakan resiko longsor di Pulau Ternate. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah; 1. Bahan informasi kebencanaan terutama tanah longsor bagi masyarakat Kota Ternate. 2. Suatu upaya pengurangan resiko longsor di Kota Ternate. 3. Bahan referensi bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut untuk jenis kebencanaan yang sama atau yang lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep geomorfologi Terdapat beberapa pengertian mengenai geomorfologi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Cooke and Doornkamp (1978) geomorfologi adalah ilmu yang mengkaji tentang bentuklahan, khususnya mengenai sifat, asal pembentukan, proses–proses perkembangan dan komposisi materialnya. Verstappen (1983) mendefinisikan geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembentukan bentuklahan di permukaan bumi, termasuk di permukaan dan di bawah laut serta menekankan pada pembentukan dan perkembangannya sesuai dengan lingkung disekitarnya. Lebih lanjut, Zuidam dan Concelado (1979) mendefinisikan geomorfologi adalah suatu kajian yang menggambarkan bentuklahan dan proses pembentukannya serta meneliti hubungan antara keduanya. Menurut Zuidam dan Cancelado (1979) objek kajian utama geomorfologi adalah bentuklahan permukaan bumi baik morfografi maupun morfometri dan proses pembentukan bentuklahan berdasarkan morfologi, proses, kronologi dan aransemen. Menurut Bloom (1978) bentuklahan didefinisikan sebagai bentuk seluruh permukaan bumi yang dapat diamati oleh observer dimana pengamatan dapat dilakukan dari permukaan bumi maupun foto udara. Bentuklahan juga dapat didefinisikan sebagai bentuk permukaan bumi yang bersifat konstruksional, artinya bentuklahan pada saat ini merupakan hasil dari proses alam sebelumnya. Sebagai contoh, bentuklahan vulkanik berasal dari adanya gaya endogenetik dan perubahan fisik maupun kimia yang terjadi di bagian dalam bumi. Selain itu bentuklahan fluvial yang berasal dari suatu proses yang berkaitan dengan mengalirnya air dan segala akibat dari pengrusakan maupun pembentukannya (Wiradisastra et al, 2002). Sistem analisis bentuklahan mengacu pada struktur, proses dan waktu. Struktur biasanya mengacu pada hasil dari proses deposisional atau deformasional yang lalu. Misalnya, batuan secara normal terlihat sangat keras dan kokoh namun dapat berubah bentuk jika tergerus aliran air terus menerus dan hasil gerusan batuan tersebut membentuk lapisan batuan yang baru di tempat terakumulasinya.
6
Proses internal dan eksternal berkontribusi dalam pembentukan bentuklahan. Sebagai contoh, proses tektonik dapat menghancurkan batuan. Selain itu proses erosi air maupun angin dapat membentuk bentuklahan deposisional. Waktu yang tepat dalam mengukur lamanya proses bentuklahan terbentuk sangat sulit ditentukan sehingga hanya didefinisikan dengan tingkatan (stage) atau dalam geologi dinamakan “muda”, “dewasa” dan “tua” (Bloom, 1978). Bentuklahan juga merupakan bagian dari permukaan bumi yang menjadi obyek kajian dari geomorfologi. Dimana geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi baik yang ada di atas maupun di bawah permukaan laut (Verstappen, 1983). Lebih lanjut Selby (1985) menyatakan bahwa kajian geomorfologi menekankan pada beberapa aspek seperti genesis dan evolusi bentuklahan serta proses yang menyebabkan perubahan konfigurasi permukaan bumi. Proses perubahan bentuklahan berasal dari proses endogenetic dan proses eksogenetic. Proses endogenik adalah gaya dari dalam bumi seperti gaya-gaya tektonik, magmatisme, vulkanisme, orogenesa dan epirogenesa. Gejala tektonik adalah aktifitas yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng kerak bumi (lithosphere) dimana tumbukan antar lempeng dapat menghasilkan gempa bumi, pembentukan pegunungan (orogenesa) dan aktifitas gunung api (volcanism). Hasil pengaruh gejala tektonik pada permukaan bumi yaitu terbentuknya rangkaian bentuklahan seperti pegunungan dan perbukitan, cekungan, dataran tinggi, tebing terjal dan kelurusan sungai. Adapun gejala magmatis adalah segala aktifitas magma yang berasal dari dalam bumi. Hasil pengaruh gejala magmatisme berupa vulkanik pada permukaan bumi adalah terbentuknya bentuklahan tubuh gunung api termasuk di dalamnya kawah, kerucut gunungapi, dike, bocca, kerucut parasit maupun medan lava (Bloom, 1978; Selby, 1985). Dari semua proses tersebut, hasil pengaruh gejala tektonik dan vulkanik kemudian mengalami proses-proses eksogenik seperti pelapukan, pembentukan tanah, erosi, sedimentasi dan longsor. Dengan demikian jelas bahwa sifat dan ciri setiap bentuklahan di permukaan bumi berbeda-beda sesuai dengan proses pembentukannya. Kemudian Wiradisastra et al (2002) menyatakan bahwa geomorfologi masih dapat dianggap sebagian besar ilmu geologi dan lebih cenderung mengaitkan
7
bentuklahan dengan lingkungan fisik (physical environment) kehidupan manusia tapi dengan penekanan pada usaha manusia dalam memanfaatkan bentuklahan. Dan yang tidak terpisahkan dari ilmu geologi yaitu petrologi yang membahas mengenai asal dan cara pemerian dari batuan. Sehingga kajian mengenai pengaruh proses pembentukan bentuklahan menyangkut material penyusun bentuklahan. Pada material yang relatif resisten, bentuklahan yang terbentuk mempunyai ciri konfigurasi permukaan yang kasar demikian sebaliknya pada materi penyusun bentuklahan yang bersifat kurang resisten akan membentuk bentuklahan dengan ciri konfigurasi permukaan yang halus (Guthric and Evans, 2004 dalam Sartohadi, 2007). Dengan demikian kajian bentuklahan dapat diinterpretasikan mengenai sifat dan ciri material penyusun bentuklahan serta proses yang telah menimbulkan perubahan pada bentuklahan dari waktu ke waktu (Kuhn et al., 2004 dalam Sartohadi, 2007). Proses yang menyertai bentuklahan diantara yaitu tanah longsor. Longsor biasanya terjadi pada bentuklahan perbukitan atau pegunungan dengan kemiringan lereng miring hingga sangat curam. 2.2. Tanah Longsor Zuidam dan Concelado (1979) mendefinisikan longsor sebagai gerakan material tanah atau batuan menuruni lereng yang disebabkan adanya interaksi faktor pemicu (air hujan dan jenis tutupan lahan) yang bersifat aktif sehingga mempengaruhi material penyusun tanah yang terjadi dalam kondisi lereng dan geologi tertentu dan terjadi secara cepat. Menurut Sitorus (2006) tanah longsor di Indonesia sering terjadi di malam atau pagi hari pada lahan yang berlereng. Tanah longsor sebenarnya merupakan fenomena alam yang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya sehingga menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser (shear strength) serta peningkatan tegangan geser tanah (shear stress). Tanah longsor dapat disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Faktor alam yang menjadi penyebab longsor adalah: (1) curah hujan, (2) sifat fisik tanah, (3) kemiringan lereng, (4) sedimen yang tidak kompak (unconsolidated), (5) batuan penyusun tanah, (6) kedalaman solum tanah (kedalaman pelapukan batuan), (7)
8
aktivitas gempa, (8) kegiatan kegunungapian dan (9) degradasi lingkungan (Marsaid, 2002; Atzeni et al., 2003). Selain itu, berbagai macam aktifitas manusia yang dapat merubah topografi, dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap lahan yang ditempatinya. Salah satu pengaruh negatif yang mungkin terjadi adalah proses tanah longsor. Semakin besar usaha manusia diatas lahan yang miring untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka akan meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor. Lebih
lanjut
Karnawati
(2005)
mengidentifikasikan
faktor
yang
mempengaruhi terjadi tanah longsor di Indonesia yaitu faktor pengontrol dan faktor
pemicu.
Faktor
pengontrol
longsor
diantaranya
adalah
kondisi
geomorfologi (kemiringan lereng), kondisi geologi, kondisi tanah, kondisi iklim, kondisi hidrologi dan penggunaan lahan. Namun sebagai faktor pengontrol longsor belum akan terjadi apabila tidak ada proses atau kondisi yang memicu longsor. Faktor pemicu adalah proses yang merubah kondisi lereng dari kondisi rentan longsor menjadi benar-benar longsor. Faktor pemicu longsor di Indonesia adalah infiltrasi air hujan, getaran, dan aktifitas manusia. Tanah longsor biasanya terjadi pada bentuklahan (landform) yang berlereng seperti perbukitan atau pegunungan dan perubahannya (Suryolelona, 2005; Verstappen, 1983; Selby 1985) sehingga informasi bentuklahan menjadi sangat penting dalam melakukan penilaian terhadap tanah longsor. Arsyad (2006) menyatakan bahwa salah satu syarat terjadinya longsor yaitu lereng yang curam sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah. Varnes (1975) dalam Selby (1985) mengklasifikan longsoran berdasarkan tipe gerakan dan tipe material (Gambar 1).
9
Gambar 1. Klasifikasi tanah longsor (Varnes, 1975 dalam Selby, 1985) 2.3. Resiko Bencana Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang telah terjadi sehingga dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis. Dari sini tersirat bahwa bencana mengandung makna 1) gangguan yang serius terhadap fungsi masyarakat; 2) kerugian besar pada manusia, harta benda dan lingkungannya; 3) masyarakat yang mengalaminya tak mampu menanggulangi gangguan tersebut apabila hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Besaran kerusakan, kerugian, banyaknya korban dan luasan yang terkena bencana dapat digunakan sebagai indikator penilaian tipe bencana. El-Hak (2008)
10
mengklasifikasikan tipe bencana berdasarkan korban manusia (meninggal, hilang atau luka) dan/atau luasan area yang terkena bencana (Tabel 2). Tabel 2. Klasifikasi tipe bencana Cakupan bencana
Tipe bencana
Indikator (orang atau Km2)
Scope I
Bencana Ringan
< 10 atau < 1
Scope II
Bencana Menengah
10-100 atau 1 - 10
Scope III
Bencana Besar
100-1000 atau 10–100
Scope IV
Bencana Sangat besar
1000-104 atau 100-1000
Scope V
Bencana Sangat besar sekali
> 104 atau >1000
Sumber: Gad-El_Hak (2008)
Resiko bencana (risk disaster) adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga menyebabkan tingkat kerugian yang khusus. Resiko perlu di kaji sehingga dapat menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan itu dapat diantisipasi di suatu wilayah (UNDRO, 1992). Banyak para ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai resiko bencana. Dan secara umum resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposure) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian resiko (Varnes, 1984; Carter, 1992; Davidson, 1997; Smith, 2001; Bollin, 2003; Wisner et al, 2004). Menurut Van Western, Soeters and Rengers (1993) bahwa tujuan menilai resiko secara substansi berbeda antara bahaya longsor dan penilaian terhadap bahaya lainnya. Penilaian resiko tanah longsor bertujuan untuk menentukan perkiraan tingkat kehilangan jiwa, korban luka, kehancuran properti dan kerugian kegiatan eknomi yang disebabkan oleh kejadian longsor. Resiko longsor adalah atribut dari suatu unsur dan tidak berdasarkan pada unsur tersebut berada. Pada wilayah yang sama, banyak unsur mungkin berbeda tipe atau tingkat kerentanan terhadap bahaya. Sebagai contoh, penduduk di wilayah pantai tentunya berbeda tingkat kerentanannya dengan penduduk di sekitar lereng yang terganggu untuk resiko longsor. Pada saat menilai kerawanan longsor atau bahaya, hal yang menarik terdapat pada kemiringan lereng atau unit peta dimana longsoran dapat terjadi. Langkah dalam menilai resiko longsor yaitu tentukan informasi resiko
11
longsor pada seputaran lereng yang terganggu dan membuat zona pada wilayah yang rawan longsor. Bahaya (Hazard) Menurut UN/ISDR (2009) bahaya adalah potensi kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi lingkungan. Bahaya dapat digolongkan dalam kondisi yang terpendam (latent) yang menggambarkan ancaman dan dapat disebabkan oleh alam (geologi, hidrometeorologi dan biologi) atau aktifitas manusia (degradasi lingkungan dan bahaya teknologi). Pendugaan bahaya tanah longsor dapat diketahui dari faktor penyebab bahaya tanah longsor seperti geologi, tanah, penggunaa lahan, kelerengan dan hidrologi (faktor lingkungan) serta faktor pemicu seperti gempa bumi dan hujan yang dapat dianalisis secara spasial untuk menghasilkan peta bahaya tanah longsor (van Western, Soeters and Rengers, 1993). Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik, sosial dan ekonomi (Carter, 1992). Secara lebih rinci Bakornas PB (2007) menjabarkan bahwa kerentanan fisik di Indoensia yaitu suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti: persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan KA. Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya. Beberapa indikator kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia tua-balita dan penduduk wanita. Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan
12
ekonomi yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan terhadap PHK dan persentase rumah tangga miskin. Eksposur (exposure) Menurut Davidson dan Shah (1997) eksposur merupakan komponen dari resiko. Betapa pun besarnya suatu bahaya tidak ada artinya tanpa eksposur populasi dan infrastruktur karena tidak ada kerusakan ataupun kerugian yang dialami sehingga seberapa besar eksposur sebesar itu pula resiko. Komponen eksposur terdiri dari populasi, ekonomi, infrastruktur dan sosial-politik. Eksposur populasi dapat dinilai dari jumlah dan distribusi pemukiman serta eksistensi populasi dalam suatu wilayah. Eksposur ekonomi menggambarkan aliran ekonomi dalam suatu wilayah seperti tipe, tujuan barang, besaran transaksi dan lainnya. Penilaian eksposur ekonomi dapat dilihat dari sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi dan lainnya. Fisik eksposur dapat dinilai dari jumlah, ukuran, sebaran dan nilai dari suatu infrastruktur. Nilai suatu infrastruktur tergantung pada biaya tenaga kerja dan material konstruksi. Kapasitas (Capasity) Menurut Bollin, et al (2003) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat resiko atau dampak dari bencana. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Penilaian kapasitas mencakup kesiapan pemerintah dan non pemerintah, seperti penetapan wilayah rawan bencana dan perencanaan program pengurangan resiko bencana. Selain kapasitas pemerintah dan non pemerintah, sektor swasta, media, dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam pengurangan resiko bencana. 2.4. Pengurangan resiko bencana Dalam upaya penanggulangan bencana, terdapat tahapan paradigma kebencanaan mulai dari 1) konsep konvensional yang menganggap bencana hanya fokus pada pemberian bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency respons); 2) konsep mitigasi bencana yang tujuannya lebih mengarah kepada identifikasi daerah rawan bencana, identifikasi pola yang dapat menimbulkan kerawanan dan
13
kegiatan struktural maupun non-struktural dan 3) konsep pengurangan resiko bencana yang merupakan perpaduan dari paradigma tehnis dan ilmiah dengan memperhatikan faktor sosial, ekonomi dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana yang bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana (Bakornas PB, 2007). Menurut Bakornas PB (2007) bahwa tahapan mitigasi bencana tanah longsor adalah: (1) identifkasi wilayah rawan bencana dengan membuat peta yang menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembangunan, (2) melakukan penyelidikan dengan mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana, (3) melakukan penyelidikan pada saat dan telah
terjadi
bencana
sehingga
dapat
diketahui
penyebab
dan
cara
penanggulangannya, (4) melakukan pemantauan di daerah rawan bencana, (5) mengadakan sosialisasi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannya. Kaitannya dengan pengurangan resiko bencana, pada konferensi Tingkat Menteri se Asian ke-5 di Yogayakarta pada tahun 2012 (Deklarasi Yogyakarta), menghasilkan tujuh rekomendasi terkait dengan pengurangan risko bencana; (1) Mengintegrasikan upaya penanggulangan bencana dengan adaptasi perubahan iklim, juga pelibatan kalangan yang rentan dampak bencana seperti anak – anak, perempuan, lansia dan orang dengan keterbatasan fisik, (2) Pentingnya kajian terhadap resiko finansial akibat bencana. Dukungan finansial mencukupi untuk masyarakat lokal perlu diupayakan dengan mengidentifikasikan lembaga yang potensial menjadi donor, (3) Pengurangan resiko bencana perlu melibatkan komunitas lokal dan menguatkan tata kelolanya dengan mempertimbangkan kearifan lokal, (4) Pentingnya membangunan ketahanan masyarakat lokal, (5) Capaian pasca 2015 dan cara efektif yang dapat terukur mengenai kemampuan pemerintah, keterlibatan publik dan pengetahuan masyarakat tentang cara evakuasi bencana, (6) Pengurangan faktor – faktor resiko bencana, (7) mengkaji issu – issu lain dalam Hyogo Framework of Action (HFA).
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Ternate yang mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Pulau Ternate (Gambar 2). Adapun penetapan Pulau Ternate sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa: 1.
Pulau Ternate sebagai ibu kota pemerintahan sehingga memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan dengan pulau lain di Kota Ternate.
2.
Pulau Ternate memiliki karakter wilayah berbukit dan bergunung yang umumnya rentan terhadap proses longsor.
Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara
Gambar 2. Lokasi penelitian. 3.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang mencakup beberapa tahap, dimulai dari persiapan, penulisan proposal hingga penulisan tesis. Tiap tahapan dibutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan seperti yang disajikan pada Tabel 3.
16
Tabel 3. Matriks jadwal kegiatan penelitian Tahun 2012 Bulan ke-
Kegiatan
I
II
III
IV
V
VI
Persiapan dan proposal Pengolahan dan interpretasi data Analisis data awal Kerja lapangan Analisis data akhir Tesis
3.3. Bahan dan Alat Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain literatur yang berkaitan dengan geomorfologi dan managemen kebencanaan, peta tematik, citra satelit, kuesioner, serta bahan-bahan lain yang menunjang penelitian. Bahan yang digunakan menyangkut dengan data yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Tabel 4). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat keras dan perangkat lunak komputer, seperti Microsoft Office, Software GIS, Global Positioning system (GPS), printer dan alat tulis menulis lainnya. Tabel 4. Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian Data Batas administrasi
Lereng Bentuklahan
Sumber
Tujuan
Peta administras Kota Ternate 1:50.000. Bappeda Kota Ternate SRTM 90 m DEM
Curah hujan
SRTM 90 m Hillshade, Geo Eye Google Earth (2 Desember 2010) 1. Menganalisis Pengamatan lapang, unit geomorfologi Pulau lahan Ternate Peta tutupan lahan Kota 2. Memetakan bahaya Ternate 1:25.000. Bappeda longsor di Pulau Ternate Kota Ternate Peta geologi Pulau Ternate 1:25.000.Pusat Vulkanologi Bandung BMKG Kota Ternate
Kegempaan
BPBD Kota Ternate
Tekstur tanah Penggunaan lahan
Geologi
17
Lanjutan Tabel 4. Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian Data
Sumber
Jenis bangunan
Bappeda Kota Ternate
Kepadatan penduduk
BPS Kota Ternate
Kepadatan bangunan
Kalkulasi
Tujuan Menganalisis kerentanan longsor di Pulau Ternate
Pengetahuan Pengalaman
Kuesioner
Menganalisis kapasitas masyarakat Pulau Ternate
Hasil analisis
Menganalisis dan memetakan resiko longsor di Pulau Ternate
Sosialisasi/penyuluhan bencana Bahaya longsor Kerentanan Kapasitas masyarakat
3.4. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian mencakup lima tahap, yaitu persiapan, pengolahan dan interpretasi data, analisis data awal, kerja lapang, analisis data akhir dan penulisan tesis. Tahapan penelitian dapat digambarkan dalam diagram alir seperti yang disajikan pada Gambar 3. 3.4.1. Persiapan Persiapan penelitian bertujuan untuk merencanakan dan mempersiapkan kegiatan penelitian seperti pembuatan proposal penelitian, studi pustaka, pengumpulan data, penyusunan kuesioner dan surat ijin penelitian. 3.4.2. Pengolahan dan interpretasi data Pada tahapan ini, data yang terkumpul kemudian diolah dan untuk citra satelit dilakukan interpretasi, yaitu suatu kegiatan penafsiran terhadap objek-objek pada citra (satelit atau foto udara) tanpa adanya sentuhan fisik terhadap obyek yang ditafsir (Lillesand dan Kiefer, 1990). Untuk mengolah dan interpretasi data digunakan software sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcGIS 9.3. Pada tahapan ini dihasilkan peta-peta tentatif kemirngan lereng, bentuklahan dan penggunaan lahan.
18
Persiapan I
Persiapan DEM
SRTM
Hillshade
Peta Penggunaan lahan (jpeg)
Reklasifikas i
Google Earth
Peta Bentuklahan
Interpretasi
Registrasi
II
Peta Lereng
Majority
Peta Penggunaan lahan
Digitasi
Pengolahan dan interpretasi data
1. Peta lereng 2. Peta bentuklahan 3. Peta penggunaan lahan
Skor dan bobot
III
overlay
Peta longsor tentatif/peta kerja
Tekstur tanah
Validasi lapang
Analisis data awal Kerentanan
1. Kepadatan bangunan 2. Jenis bangunan 3. Kepadatan penduduk
Kapasitas masyarakat
1. Pengetahuan bencana 2. Pengalaman bencana 3. Sosialisasi
overlay
Peta unit lahan
Pembobotan (weighting)
Deliniasi
Peta Tekstur tanah
IV Peta Kerentanan longsor
Peta lereng Peta bentuklahan Peta tekstur tanah Peta penggunaan lahan
Kerja Lapang Peta kapasitas masyarakat
overlay
Peta Resiko Longsor
V
1. 2. 3. 4.
Analisis data akhir
IV
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Penulisan Tesis
Peta bahaya longsor
19
a.
Kemiringan Lereng Data kemiringan lereng Pulau Ternate diperoleh dari data SRTM (Shuttle
Radar Topographic Mission) resolusi 90 m yang kemudian diolah menjadi DEM (Digital Elevation Model). SRTM DEM 90 m ini equivalen dengan skala 1:32.000 (Suleman, 2012). Prosedur pengolahan datanya yaitu, pertama data SRTM 90 m dipotong sesuai dengan batas area yang akan digunakan (area of interest), dalam hal ini yaitu Pulau Ternate, kemudian dilakukan konversi proyeksi data ke sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yaitu Zone 52 North. Dengan software GIS data tersebut kemudian dianalisis menggunakan tools surface analysist, slope dan dipilih satuan kemiringan lereng dalam persen. Hasil yang diperoleh kemudian direklasifikasi menjadi lima klas yaitu 0 – 8%, 8 – 15%, 15 – 30%, 30 – 45% dan >45%. Hasil yang diperoleh ini kemudian dikonversi menjadi data vektor berupa shp. b.
Bentuklahan (Landform) Data bentuklahan diperoleh dari interpretasi data DEM dari citra SRTM.
Pertama, data disajikan dalam visualisasi Hillshade agar dapat menonjolkan morfologinya, kemudian dilakukan interpretasi secara visual. Citra Geo Eye yang diunduh dari Google Earth dipakai pula untuk interpretasi ini terutama untuk membantu melihat katerkaitan antara bentuklahan dan penutupan lahan. Bentuklahan di lokasi penelitian diidentifikasi berdasarkan aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi. Dalam hal ini, aspe k morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran bentuklahan; aspek morfogenesis terkait dengan proses pembentukan bentuklahan; aspek morfokronologis terkait dengan tahapan atau kronologi pembentukan bentuklahan; dan litologi terkait dengan material penyusun maupun struktur yang membentuk morfologi bentuklahan. c.
Penggunaan/tutupan lahan Data tipe penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Peta Tutupan Lahan
Kota Ternate skala 1 : 25.000 tahun 2010 dari Bappeda Kota Ternate. berhubung data ini dalam bentuk file jpeg, maka perlu dilakukan proses registrasi dan penyesuaian sistem proyeksi dan digitasi dengan sofware GIS. Data yang diperoleh selanjutnya di-update dengan citra Geo Eye dari Google Earth tahun
20
2010 dan selanjutnya dilakukan validasi untuk mengetahui kebenaran hasil interpretasi pada saat kerja lapangan. d.
Kondisi Tanah Dalam penelitian ini penetapan kondisi tanah dibatasi hanya pada penetapan
tekstur tanah dengan metode penetapan kualitatif. Penetapan kelas tektur tanah di lapang didasari oleh pedoman Soil survey staff (1975) yaitu merasakan butiran bahan tanah dengan tangan atau dipirid dengan jari (Rachim, 2007). Beberapa kelas tekstur utama diuraikan sebagai berikut; Pasir (Sand); Bahan tanah lepas dan berbutir tunggal dapat segera dilihat dan dirasakan. Jika kering, piridan di tangan menyebabkan bahan jatuh sebagian bila tekanan dihentikan. Jika lembab, piridan dapat membentuk lapisan yang jika disentuh akan hancur. Lempung berpasir (Sandy loam); bahan tanah banyak mengandung pasir, cukup debu dan sedikit liat. Jika kering diremas, bahan akan membentuk lapisan yang segera akan jatuh sebagian. Bila lembab dipirid, lapisan dapat terbentuk dan bertahan baik tanpa pecah. Lempung (loam); bahan mengandung pasir, debu dan liat relatif sama. Bila kering, jika dipirid akan membentuk lapisan yang bertahan baik. Jika lembab, lapisan terbentuk dan terpelihara tanpa pecah. Lempung berdebu (silt loam); bahan tanah mengandung pasir sedang dan sedikit liat. lebih dari setengah partikel debu. Jika kering bahan akan tampak menggumpal tapi mudah dipecahkan. Jika basah, bahan dapat bergerak bersama dan membubur. Jika lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk tidak terbentuk pita, dan nampak pecah-pecah. Lempung berliat (clay loam); Bila lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita tipis yang mudah pecah. Jika lembab, dapat membentuk lapisan yang bertahan baik, jika diremas dalam telapak tangan akan mudah pecah. Liat (clay); Bila kering membentuk gumpalan sangat keras dan bila basah akan plastis hingga sangat plastis dan lekat sampai sangat lekat. Jika lembab, dipirid dengan ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita yang panjang dan fleksibel. Titik sampel tanah yang digunakan untuk menentukan tekstur tanah, diambil pada setiap unit bentuklahan, kemiringan lereng dan lokasi jejak longsor, namun
21
karena kondisi topografi Pulau Ternate pada bentuklahan lereng atas kerucut vulkanik yang memiliki lereng curam sulit ditempuh (tidak ada aksesibilitas) maka sampel tekstur tanah hanya diambil pada batas antara lereng tengah dan lereng bawah kerucut vulkanik. Untuk lereng atas digunakan pendekatan dengan memakai data sekunder, yaitu data tanah dari Peta Sistem Lahan skala 1: 250.000. Pada lokasi longsor, sampel tekstur tanah diambil dari bagian bawah penampang longsor, dimana pada kondisi alami sebelum longsor bagian tersebut merupakan horison bawah permukaan dari lapisan tanah. Pada saat penentuan tekstur di lapang, bagian ini terkadang sulit diambil secara ideal, karena seringkali sudah tercampur dengan tanah bagian atas, sehingga ada kemungkinan tercampur antara tekstur permukaan tanah dan bawah permukaan. 3.4.3. Analisis data awal Pada tahapan ini analisis dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran suseptibilitas longsor tentatif daerah penelitian, dimana peta yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai salah satu peta kerja selama kerja lapang dan sekaligus untuk divalidasi kebenarannya. Analisis suseptibilitas longsor di lokasi penelitian Suseptibilitas longsor (landslide susceptibility) menggambarkan kondisi alami dari fisik lahan yang berpotensi atau rentan untuk terjadi longsor. Faktorfaktor yang menentukan suseptibilitas adalah faktor-faktor alami yang bersifat pasif, seperti lereng (kemiirngan, aspek), batuan (jenis, struktur), dan tingkat pelapukan batuan atau tanah, sedangkan jika faktor-faktor tersebut ditambah dengan faktor pemicu lain yang bersifat dinamik, seperti curah hujan, gempa, penggunaan lahan, infrastruktur dan saluran drainase (hidrologi), maka akan menggambarkan kondisi kerawanan longsor atau bahaya longsor (landslide hazard) dari suatu wilayah (Tjahjono dan Barus, 2010). Senada dengan hal tersebut, menurut Karnawati (2005) faktor pemicu dinamis ini diantaranya adalah curah hujan, gempa, hidrologi dan aktifitas manusia. Dalam penelitian ini parameter suseptibilitas longsor disesuaikan dengan ketersediaan data dan skala yang dihasilkan. Tiga parameter lahan yang digunakan untuk menilai suseptibilitas longsor pada penelitian ini adalah kemiringan lereng,
22
bentuklahan (landform), dan tekstur tanah. Penilaiannya (assesment) dilakukan dengan cara pembobotan dan pemberian skor terhadap parameter yang digunakan dan didasarkan pada kontribusi relatif tiap parameter (besarnya potensi) tiap parameter terhadap proses longsor. Pembobotan pada penelitian ini merujuk pada rumusan yang digunakan oleh Davidson dan Shah (1997) sebagai berikut; n – rj +1 Wj =
..........................................................................................
1
∑(n – rj + 1)
dimana Wj adalah nilai bobot yang dinormalkan, n adalah jumlah parameter (1,2,3...n) dan rj adalah posisi urutan parameter. Adapun hasil perhitungan pembobotan untuk suseptibilitas tersaji pada Tabel 5 di bawah ini; Tabel 5. Urutan parameter suseptibilitas longsor dan hasil perhitungan bobot yang dinormalkan Parameter
Urutan (rj)
(n- rj+1)
Bobot (Wj)
Kemiringan lereng
1
3
0,5
Bentuklahan (Landform)
2
2
0,33
Tekstur tanah
3
1
0,17
6
1
Jumlah Ket: n = 3
Urutan posisi parameter suseptibilitas longsor ditentukan seperti tersaji pada Tabel 5; pertama adalah kemiringan lereng, yang kedua bentuklahan, dan yang ketiga tekstur tanah. Urutan ini ditentukan berdasarkan pada besarnya pengaruh relatif tiap parameter terhadap proses longsor. Kemiringan lereng dianggap paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor karena dapat berfungsi sebagai bidang luncur, dimana semakin besar kemiringan lereng maka akan semakin mudah pula (labil) tanah dan batuan yang berada di permukaan lereng tersebut menerima pengaruh gaya tarik bumi. Oleh sebab ittu longsor hanya dapat terjadi pada lereng-lereng miring hingga curam, namun tidak pernah terjadi pada lereng-lereng yang datar hingga landai. Kemiringan lereng sesungguhnya merupakan bagian morofologi bentuklahan (morfometri), namun karena sifatnya yang sangat dominan terhadap proses longsor, maka parameter ini disendirikan.
23
Bentuklahan berada pada urutan kedua dari parameter suseptibilitas longsor karena memiliki beberapa karakter yang berpengaruh terhadap longsor. Selain parameter lereng yang sudah disendirikan seperti tersebut di atas, parameter morfologi bentuklahan yang lain seperti relief dan elevasi juga banyak berpengaruh terhadap proses longsor. Termasuk juga parameter morfogenesis (proses
pembentukan
bentuklahan),
kronologi
(tahapan
pembentukan
bentuklahan), dan litologi (material dan struktur batuan penyusun bentuklahan), semuanya menyumbang terhadap proses terjadinya longsor. Relief dan elevasi bentuklahan banyak berpengaruh terhadap persebaran curah hujan yang dapat berfungsi sebagai pemicu longsor. Bentuklahan yang bersifat erosional atau denudasional juga lebih berpotensi longsor daripada bentuklahan deposisional, dan bentuklahan yang secara kronologis telah lama mengalami proses pelapukan akan lebih banyak pula menyediakan bahan longsoran, sedangkan material batuan klastik suatu bentuklahan akan lebih mudah mengalami longsor daripada batuan yang lebih masif, apalagi jika mempunyai struktur perlapisan batuan yang miring. Dengan demikian karakter pada setiap bentuklahan akan memberikan sumbangan relatif yang berbeda terhadap proses longsor. Oleh karena itu, mengacu pada perbedaan karakter pada setiap bentuklahan, maka setiap bentuklahan diberikan skor yang berbeda. Tekstur tanah diberi urutan ketiga karena tekstur tanah bukan sebagai penentu utama longsor, namun lebih bersifat sebagai penentu kondisional, yaitu berpengaruh secara tidak langsung terhadap longsor. Jika terdapat perlapisan tanah atau batuan yang mempunyai tekstur liat dan mempunyai kemiringan perlapisan tanah/batuan yang tidak datar (miring atau curam), maka sifat liat tersebut jika tercampur dengan air akan menjadi licin dan dapat meluncurkan material tanah atau batuan yang membebani di atasnya. Oleh sebab itu, skor tekstur tanah juga dibedakan berdasarkan besarnya kandungan liat. Pemberian skor terhadap parameter berkisar dari angka nol, yang diartikan tidak berpotensi sebagai penyebab longsor, hingga angka lima yang diartikan sebagai penentu longsor pada tingkat teratas. Adapun nilai bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor disajikan pada Tabel 6.
24
Tabel 6. Bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor di lokasi penelitian Parameter Bobot Skor Nilai (bobot x skor) Lereng (%):
0,5
0–8
0
0
8 – 15
1
0,5
15 – 30
2
1
30 – 45
3
1,5
>45
4
2
0
0
Aliran lava
1
0,33
Lereng bawah kerucut vulkanik
2
0,66
Lereng atas kerucut vulkanik
3
0,99
Lereng tengah dan lereng puncak
4
1,32
Pasir (sand)
1
0,17
Lempung berpasir (sandy loam)
2
0,34
Lempung (loam)
3
0,51
Lempung berliat (clay loam), Lempung berdebu (silt loam)
4
0,68
Liat (clay)
5
0,85
Bentuklahan:
0,33
Kawah, dataran pantai anthropogenik, gisik, Maar dan Lereng kaki fluvio vulkanik
kerucut vulkanik Tekstur Tanah
0,17
Keterangan: 0 = tidak berpengaruh; 1 = sangat rendah; 2 = rendah; 3 = sedang; 4= tinggi; 5 = sangat tinggi
Kemiringan lereng 0 – 8% (datar-landai) diberi skor nol karena pada kemiringan tersebut tidak memicu terjadinya longsor, sebaliknya pada kemiringan lereng > 45% (sangat curam) diberi skor empat karena bersifat sangat labil terhadap longsor. Bentuklahan gisik pantai, lereng kaki fluvio-vulkanik, dasar kawah, daratan pantai anthropogenik dan maar diberi skor nol karena merupakan bentuklahan deposisional, terbentuk dari akumulasi material lereng di atasnya. Aliran lava merupakan bentuklahan deposisional namun memiliki lereng yang agak miring.
25
Bentuklahan ini diberi skor satu (rendah) karena memiliki material penyusun (batuan) yang masif dan keras, tanah yang terbentuk sangat tipis, sehingga sangat kecil pengaruhnya terhadap longsor. Lereng bawah kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor dua (agak rendah), dikarenakan memiliki lereng yang juga agak miring, namun di atas bentuklahan ini proses pelapukan dikategorikan cukup intensif, tanah yang terbentuk juga relatif tebal, dan umumnya kaya bahan liat dari abu vulkanik. Lereng atas kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor tiga karena meskipun memiliki kemiringan lereng yang curam, namun material penyusunnya masih sering terbaharui oleh bahan-bahan lepas piroklastik (permeable) hasil letusan gunungapi, sehingga proses pelapukan kurang intensif, pengaruhnya terhadap longsor dikategorikan sedang. Lereng tengah kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor empat karena memiliki lereng miring hingga sangat curam, proses pelapukan lebih intensif daripada lereng di atasnya, sehingga lebih banyak mengandung liat berasal dari abu vulkanik. Lereng puncak kerucut vulkanik juga diberi skor empat karena memiliki kemiringan lereng yang lebih terjal daripada bagian lereng di bawahnya. Meskipun material penyusunnya berupa bahan-bahan piroklastik baru yang permeable dan belum terlapukkan secara berarti, namun material ini akan mudah dilongsorkan oleh karena kemiringannya. Tekstur tanah pasir (sand) diberikan skor satu (sangat rendah) karena pengaruhnya terhadap proses longsor sangat rendah dan bersifat meloloskan air, namun sebaliknya tekstur liat diberi skor lima (sangat tinggi) karena bersifat licin dan dapat meluncurkan material yang menjadi beban di atasnya. Lapisan liat bersifat kedap air (permeable layer) dikenal sebagai bidang luncur dari beban tanah di atasnya (shear stress). Adapun untuk tekstur lempung (loam) diberikan skor dua (sedang) karena merupakan tekstur yang mempunyai kandungan fraksi pasir, debu, dan liat yang relatif sama. Berdasarkan hasil analisis terhadap masing-masing parameter (lereng, bentuklahan dan tekstur tanah) maka berikutnya dapat dihasilkan peta dari masing-maisng parameter tersebut. Dari peta-peta tersebut selanjutnya dapat dilakukan analisis kerentanan longsor melalui operasi tumpang tindih (overlay)
26
GIS dengan menggunakan rumusan seperti yang digunakan oleh Hadmoko et al (2010), seperti berikut di bawah ini; LS = ∑ {W (SLP) + W (LF) + W (ST)} ...............................................................
2
dimana LS adalah suseptibilitas longsor, SLP adalah kemiringan lereng (Slope), LF adalah bentuklahan (Landform), ST adalah tekstur tanah (Soil Tekstur) dan W adalah bobot parameter yang dinormalkan. Tingkat suseptibilitas longsor dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu aman, rendah, sedang dan tinggi, dan penentuan kelas suseptibilitas didasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari persamaan berikut (Dibyosaputro, 1999) yaitu: Nilai tertinggi – nilai terendah Interval LS
=
.................................................
3
Jumlah kelas Berdasarkan perhitungan bobot dan skor dari parameter di atas, maka nilai tertinggi adalah 4,17 dan nilai terendah adalah 0,17 sehingga diperoleh nilai interval LS = 1. Nilai interval kelas suseptibilitas longsor selanjutnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai interval kelas suseptibilitas longsor di lokasi penelitian Nilai interval
Kelas suseptibilitas longsor
0,17 – 1,17
Aman
1,18 – 2,18
Rendah
2,19 – 3,19
Sedang
3,19 – 4,17
Tinggi
Sumber: Hasil analisis, 2012
3.4.4. Kerja lapang Kerja lapangan bertujuan untuk mencocokan kebenaran atau melakukan validasi terhadap peta-peta tentatif yang dihasilkan, yaitu peta lereng, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan dan peta suseptibilitas longsor. Dengan kerja lapang ini kesalahan interpretasi dapat dikoreksi dan juga pemahaman terhadap faktor-faktor bentuklahan, baik yang terlihat pada citra maupun di lapangan, dapat dimengerti dengan lebih seksama. Dengan demikian peta bahaya longsor yang dihasilkan diharpkan akan lebih mendekati kondisi lapang.
27
Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data primer, seperti lokasi titiktitik longsor (kkordinat geografis), tekstur tanah, data kerentanan elemen resiko, dan data kapasitas masyarakat dalam menghadapi suatu resiko. Data infrastruktur meliputi data jumlah bangunan sedangkan data sosial berupa data jumlah penduduk. Data infrastruktur diperoleh dari Bappeda Kota Ternate namun diperbaharui dengan menggunakan citra GeoEye dari Google Earth, sedangkan data sosial-demografis diperoleh dari BPS Kota Ternate. Data kapasitas masyarakat diperoleh melalui penyebaran kuesioner (Lampiran 3), dimana kuesioner terdiri dari beberapa bagian yaitu; (i) lokasi reponden dan waktu wawancara; (ii) identitas responden; (iii) kondisi hunian yang dimiliki; (iv) kapasitas masyarakat terhadap bencana; (v) pertanyaan lain yang belum tergali dari kuesioner. Data kapasitas masyarakat terhadap bencana meliputi pengetahuan kebencanaan, pengalaman kebencanaan dan pelatihan/sosialisasi/penyuluhan kebencanaan dimana tiap indikator memiliki beberapa variabel. Dalam hal ini terdapat dua jenis pertanyaan tiap variabel yaitu pertanyaan yang dijawab “Ya” (disertai penjelasannya) atau “Tidak” dan pertanyaan yang membutuhkan jawaban lebih dari satu. Penentuan responden dilakukan dengan cara purposif sampling yaitu dipilih hanya masyarakat yang berada di sekitar titik longsor saja, dengan asumsi bahwa mereka lebih mengenal bahaya longsor dan resikonya. Hasil validasi lapangan dan informasi yang terkumpul kemudia dijadikan sebagai bahan untuk analisis data akhir. 3.4.5. Analisis data akhir Pada tahapan ini, pertama-tama dilakukan koreksi terhadap data yang tidak benar atau salah dalam interpretasi, seperti lereng, data bentuklahan dan kedua berdasarkan data yang sudah terkoreksi tersebut dan data primer dilakukan analisis akhir berupa penilaian tingkat bahaya dan resiko longsor di daerah penelitian. a.
Analisis bahaya longsor di lokasi penelitian Pada penelitian ini, parameter bahaya longsor disesuaikan dengan
ketersediaan data dan skala yang dapat dihasilkan. Parameter bahaya longsor meliputi suseptibilitas (kemiringan lereng, bentuklahan, kondisi tanah) dan aktifitas manusia yang direpresentasikan dalam penggunaan lahan. Faktor dinamis
28
lain, seperti curah hujan atau gempa, tidak digunakan untuk menilai bahaya longsor karena data yang tersedia kurang mencukupi. Data curah hujan untuk Kota Ternate hanya terdapat pada satu titik stasiun saja, yaitu di Bandara Kota Ternate (Lampiran 1). Dengan demikian data yang ada tidak memungkinkan untuk dapat membuat peta persebaran curah hujan, sedangkan pemodelan curah hujan berdasarkan elevasi tidak dilakukan dalam penelitian ini dikarenakan di wilayah penelitian diperkirakan terdapat wilayah yang mempunyai curah hujan yang lebih besar (hujan orografis) dan yang lebih kecil (daerah bayangan hujan) pada elevasi yang sama, sehingga pemodelan dimaksud di atas dianggap kurang mewakili kondisi yang sebenarnya. Selain itu terdapat pertimbangan lain bahwa masyarakat Pulau Ternate yang terancam oleh longsor (wilayah permukiman) berada pada ketinggian antara 0 mdpl – 300 mdpl dimana pada ketinggian tersebut diperkirakan atau diasumsikan mempunyai curah hujan yang relatif sama (merata di Pulau Ternate). Demikian pula dengan parameter kegempaan, walaupun data tersebut sesungguhnya tersedia (Lampiran 2), namun tidak data yang ada tidak dapat digunakan untuk alat analisis penentuan bahaya longsor, dikarenakan penulis tidak menemukan metode dari penelitian-penelitian sebelumnya yang memanfaatkan data gempa untuk menilai bahaya longsor. Walaupun telah diketahui dengan banyak bukti bahwa gempa berpengaruh terhadap longsor, seperti yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Metoda untuk menilai bahaya longsor mirip dengan suseptibilitas, yaitu dengan pembobotan dan skor dari masing-masing parameter. Parameter yang digunakan untuk menganalisis bahaya longsor yaitu suseptibilitas longsor ditambah dengan parameter penggunaan lahan. Pembobotan untuk parameter bahaya longsor juga menggunakan rumus 1, dan nilai bobot tiap parameter yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Urutan parameter bahaya longsor dan bobot yang dinormalkan Parameter bahaya longsor Urutan (rj) (n- rj+1) Kemiringan lereng 1 4
Bobot (Wj) 0,4
Bentuklahan (Landform)
2
3
0,3
Tekstur tanah
3
2
0,2
Penggunaan lahan
4
1
0,1
10
1
Jumlah Ket: n = 4
29
Urutan parameter bahaya longsor sama dengan suseptibilitas, namun dalam urutan ini parameter penggunaan lahan diletakkan pada urutan ke empat. Hal ini dengan pertimbangan bahwa parameter ini bersifat dinamis, artinya parameter ini secara fisik dapat berubah dalam waktu singkat, sedangkan sifatnya dapat sebagai pemicu longsor atau bahkan sebaliknya sebagai penghambat terjadinya longsor. Selaras dengan sifat ini, maka skor untuk penggunaan lahan yang tidak memicu longsor diberi nilai nol, seperti danau, pelabuhan, dan kawasan reklamasi yang terletak di pantai, sedangkan permukiman, perkebunan tahunan, dan bandara diberikan skor satu, artinya sangat rendah pengaruhnya sebagai pemicu longsor (tidak menyebabkan shear stress pada lereng). Semak belukar diberi skor dua karena pengaruhnya rendah terhadap longsor dan lahan terbuka diberi skor tiga, artinya mempunyai pengaruh sedang sebagai pemicu longsor. Hal ini dikarenakan aliran air permukaan yang terbentuk pada lahan terbuka, terutama jika berada pada lereng yang miring atau curam, akan mudah mengerosi tanah hingga dapat menghasilkan longsor. Penambangan pasir dan penambangan batu vulkanik di beri skor empat atau tertinggi, karena penambangan pasir dan batu melakukan pemotongan lereng. Dampak dari kegiatan ini adalah menurunkan kestabilan batuan penyusun lereng dan berakibat menyebabkan longsor. Operasi
tumpang
tindih
(overlay)
GIS
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan rumus 2, yaitu antara peta suseptibilitas dengan peta penggunaan lahan, sedangkan Tabel 9 berikut menyajikan bobot dan skor dari masing-masing parameter. Tabel 9. Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian Parameter
Skor
Nilai (Bobot x skor)
0–8
0
0
8 – 15
1
0,4
15 – 30
2
0,8
30 – 45
3
1,2
>45
4
1,6
Lereng (%):
Bobot 0,4
30
Lanjutan Tabel 9. Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian Parameter Bobot Skor Nilai (Bobot x skor) Bentuklahan:
0,3
Kawah, dataran pantai anthropogenik, gisik, Maar dan Lereng kaki fluvio vulkanik Aliran lava
0
0
Lereng bawah kerucut vulkanik
1
0,3
Lereng atas kerucut vulkanik
2
0,6
Lereng tengah dan lereng puncak
3
0,9
4
1,2
Pasir (sand)
1
0,2
Lempung berpasir (sandy loam)
2
0,4
Lempung (loam)
3
0,6
Lempung berliat (clay loam), Lempung berdebu (silt loam)
4
0,8
Liat (clay)
5
1
Danau, bakau dan hutan
0
0
Pemukiman, perkebunan tahunan dan
1
0,1
Semak belukar
2
0,2
Lahan terbuka
3
0,3
Penambangan pasir dan penambangan batu vulkan
4
0,4
kerucut vulkanik Tekstur tanah
Penggunaan lahan
0,2
0,1
bandara
Keterangan: 0 = tidak berpengaruh; 1 = sangat rendah; 2 = rendah; 3 = sedang; 4= tinggi; 5 = sangat tinggi
Selanjutnya bahaya longsor dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu aman, rendah, sedang dan tinggi. Penentuan kelas berdasarkan nilai interval bahaya longsor yang dihitung sesuai rumus 3. Berdasarkan hasil perhitungan maka nilai tertinggi adalah 4,2 dan terendah adalah 0,2 sehingga interval LH adalah 0,9 (Tabel 10).
31
Tabel 10. Nilai interval kelas bahaya longsor di lokasi penelitian Nilai interval
Kelas bahaya longsor
0,2 – 1,2
Aman
1,3 – 2,3
Rendah
2,4 – 3,4
Sedang
3,5 – 4,2
Tinggi
Sumber: Hasil analisis, 2012
b.
Analisis kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian Pada penelitian ini pengertian kerentanan (vulnerability) merujuk pada
definisi Varnes (1984) yang menyatakan bahwa kerentanan adalah suatu kondisi ketidakmampuan suatu komunitas atau masyarakat dalam menghadapi ancaman. Dalam hal ini kerentanan dapat ditinjau dari aspek fisik dan sosial, namun secara substansi kerentanan suatu masyarakat terhadap bahaya tertentu cukup bervariasi. Sebagai contoh kerentanan masyarakat terhadap bahaya longsor akan berbeda dengan bahaya banjir, dimana untuk yang pertama masyarakat yang tinggal pada lereng-lereng yang miring lebih rentan. Aspek fisik infrastruktur Dalam penelian ini yang dimaksud dengan aspek fisik infra-struktur jenis bangunan. Jenis bangunan pada penelitian ini dikategorikan berdasarkan fungsi bangunan yaitu sebagai rumah penduduk dan sebagai fasilitas umum. Rumah penduduk merupakan bangunan yang digunakan masyarakat sebagai tempat tinggal, sedangkan fasilitas umum merupakan bangunan yang digunakan bukan sebagai tempat tinggal, seperti sarana ibadah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana olahraga, kantor dan lainnya. Dalam hal ini penilaian kerentanan aspek fisik infra-struktur dilihat dari kualitas struktur bangunan dan dampak yang ditimbulkan jika terkena longsor. Struktur bangunan rumah penduduk pada umumnya tidak bertingkat atau hanya satu lantai dan umumnya mempunyai kualitas menengah ke bawah, tergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikian dampak yang dapat ditimbulkan jika rumah penduduk terkena longsor adalah kerusakan fatal. Apalagi rumah tersebut bersifat hunian atau tempat tinggal, sehingga berpotensi banyak menimbulkan korban jiwa dan harta. Hal lain adalah lahirnya dampak sosial
32
berupa pengungsian serta dampak sosial lainnya. Dampak yang muncul agak berbeda jika longsor menimpa bangunan fasilitas umum. Selain umumnya mempunyai kualitas menengah ke atas atau lebih kokoh, juga kerugian jiwa dan harta akan lebih sedikit. Berdasarkan hal ini, maka rumah penduduk akan diberi bobot lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas umum. Aspek fisik infrastruktur juga ditinjau dari kepadatan bangunan. Menurut Rusli (2010) kepadatan merupakan suatu kondisi atau keadaan yang menggambarkan suatu perbandingan antara jumlah dengan satuan luasan wilayah tertentu. Pada penelitian ini kepadatan bangunan merupakan jumlah bangunan per satuan luas lahan terbangun pada suatu kecamatan. Pada penelitian ini tingkat kepadatan bangunan dikategorikan menjadi 3 kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi, sedangkan penentuan tingkat kepadatan bangunan dilakukan dengan menentukan nilai interval (rumus 3). Dari hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai kepadatan bangunan yaitu 309. Untuk menentukan bobot kepadatan bangunan, penilaian didasarkan pada potensi kemungkinan menimbulkan kerusakan dan korban lebih banyak. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian. Kecamatan Ternate Utara
Luas area (Km2) 1,03
Jumlah bangunan (Unit) Fasilitas Rumah umum 919 23
Kepadatan bangunan (Unit/Km2) 915
Tingkat kepadatan bangunan Sedang
Ternate Selatan
2,03
2.724
52
1.367
Tinggi
Ternate Tengah
1,76
2.186
43
1.266
Tinggi
Pulau Ternate
2,25
969
21
440
Rendah
Sumber: Hasil analisis, 2012
Aspek Sosial Kepadatan penduduk adalah jumlah jiwa per satuan luas lahan. Pada penelitian ini kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk per satuan luas lahan terbangun pada suatu kecamatan. Jumlah penduduk dapat dihitung dari jumlah rumah penduduk dikalikan jumlah anggota keluarga per kepala keluarga. Rataan jumlah anggota keluarga merupakan jumlah penduduk per jumlah kepala keluarga. Jumlah penduduk di lokasi penelitian terhitung sebanyak
33
176.084 orang dan 37.430 kepala keluarga (BPS Kota Ternate, 2011), sehingga rataan jumlah anggota per kepala keluarga adalah 5 orang. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian. Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
Tingkat kepadatan Penduduk
4.461
Sedang
Ternate Utara
1,03
Jumlah penduduk (Jiwa) 4.595
Ternate Selatan
2,03
1.360
6.709
Tinggi
Ternate Tengah
1,76
10.930
6.210
Tinggi
Pulau Ternate
2,25
4.845
2.153
Rendah
Kecamatan
Luas area (Km2)
Sumber: Hasil analisis, 2012
Dalam penilaian ini kepadatan penduduk dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu kepadatan penduduk rendah, sedang dan tinggi, dimana kepadatan tinggi diberi bobot lebih tinggi karena jika terjadi longsor pada area tersebut, maka kemungkinan akan menimbulkan korban lebih babnyak, dan begitu juga sebaliknya. Ketika tingkat kerentanan elemen resiko per wilayah kecamatan telah diketahui, maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan terhadap bobot kerentanan elemen resiko. Bobot kerentanan (vulnerability) elemen resiko dihitung berdasarkan rumus 1, dan hasilnya tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai bobot kerentanan (vulnerability) elemen resiko longsor di lokasi penelitian Parameter Urutan (rj) (n- rj+1) Bobot (Wj) Bangunan Rumah penduduk
1
2
0,7
Non rumah
2
1
0,3
n=2
3
1
Kepadatan bangunan dan penduduk Tinggi
1
3
0,5
Sedang
2
2
0,33
Rendah
3
1
0,17
n=3
6
1
34
Peta kerentanan selanjutnya dapat dibuat berdasarkan operasi tumpang tindih (overlay) GIS antara peta jenis bangunan, peta kepadatan bangunan, dan peta kepadatan penduduk. Dari hasil perhitungan, kerentanan elemen resiko dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi berdasarkan rumus 3. Adapun nilai kerentanan elemen resiko tertinggi yaitu 0,175 dan terendah 0,00867 sehingga nilai intervalnya yaitu 0,05 (Tabel 14). Tabel 14. Nilai interval kelas kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian Nilai interval
Kelas kerentanan
0,0087 – 0,058
Rendah
0,059 – 0,109
Sedang
0,11 – 0,175
Tinggi
Sumber: Hasil analisis, 2012
c.
Analisis kapasitas masyarakat di lokasi penelitian Kapasitas masyarakat dianalisis berdasarkan tanggapan responden terhadap
pertanyaan kuesioner. Terdapat 11 pertanyaan panduan sebagai variabel untuk menilai kapasitas masyarakat dimana jika jawaban responden “Ya” maka diberi nilai satu dan jika “Tidak” diberi nilai nol. Untuk pertanyaan yang jawabannya lebih dari satu diberi nilai 0,25. Kemudian hasilnya dideskripsikan sesuai hasil wawancara guna memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi masyarakat di lokasi longsor. d.
Analisis resiko longsor di lokasi penelitian Paradigma penanggulangan bencana saat ini telah berkembang menjadi
paradigma holistik dimana penanggulangan bencana dipandang sebagai suatu upaya pengurangan resiko bencana. Resiko bencana merupakan interaksi antara bahaya (hazard) yang ada dan tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat terhadap bencana serta kapasitas yang dimiliki masyarakat dalam menghadapi bencana. Jika masyarakat cukup tinggi dalam menghadapi bencana, maka kapasitas bersifat mengurangi resiko. Sumber data yang dibutuhkan untuk menentukan resiko longsor di lokasi penelitian menggunakan data bahaya longsor, kerentanan elemen risko dan kapasitas masyarakat yang telah dibuat. Menurut Bakornas PB (2007) resiko bencana merupakan perpaduan dari unsur bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) dimana kapasitas juga
35
merupakan faktor penting untuk menentukan resiko bencana. Secara matematis resiko dapat dirumuskan sebagai berikut; R=HxV C dimana R adalah resiko (Risk), H adalah bahaya (Hazard), V adalah kerentanan (vulnerability) dan C adalah kapasitas (capacities). Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dalam penelitian ini penilaian
resiko
longsor
tidak
memperhitungkan
kapasitas
masyarakat,
dikarenakan jumlah sampel yang diperoleh terlalu sedikit sehingga kurang dapat mencerminkan kondisi masyarakat dalam arti menyeluruh. Namun kapasitas tetap dideskripsikan sebagai gambaran kondisi masyarakat yang tinggal di lokasi terjadinya longsor. Nilai resiko kemudian dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi sesuai dengan rumus 3. Berdasarkan hasil perhitungan resiko, nilai resiko tertinggi mencapai 0,47 dan terendah yaitu 0,006 sehingga nilai interval kelas resiko yaitu 0,15 (Tabel 15). Tabel 15. Nilai interval kelas resiko longsor di lokasi penelitian Nilai interval
Kelas Resiko
0,006 – 0,156
Rendah
0,16 – 0,31
Sedang
0,32 – 0,47
Tinggi
Sumber: Hasil analisis, 2012
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Administrasi dan posisi geografis Kota Ternate Kota Ternate merupakan salah satu Kota di Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari 8 pulau, yaitu pulau Ternate, pulau Moti, pulau Hiri, pulau Tifure, pulau Batang Dua, pulau Maka, pulau Manodan, dan pulau Gurida. Secara geografis Kota Ternate terletak pada posisi 0026’0’’- 1020’0’’ Lintang Utara dan 126010’0’’-1270 26’0’’ Bujur Timur. Kota Ternate berbatasan dengan laut Maluku dibagian Utara, Selatan, dan Barat, sedangkan dibagian Timur berbatasan dengan Selat Halmahera. Luas wilayah Kota Ternate adalah 57.954 ha dan terdapat 7 kecamatan dengan luasan masing-masing kecamatan tersaji pada Gambar 4. 375 350 325 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50
Luas Daratan (Ha)
Pulau Ternate
Moti
Pulau Batang Dua
Pulau Hiri
372,3
248
290,4
67
Ternate Ternate Ternate Selatan Tengah Utara 169,8
108,5
143,8
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
Gambar 4. Grafik luas kecamatan di Kota Ternate 4.2. Kondisi Fisik Kota Ternate a.
Bentuklahan (Landform) Pulau Ternate adalah sebuah pulau yang terbentuk karena proses vulkanik
yang muncul dari dasar laut, sehingga sebagian dari tubuhnya berada di bawah permukaan laut dan sebagian lagi muncul di permukaan laut. Bentuklahan vulkanik (volcanic landform) aktual yang muncul ke permukaan dikenal sebagai
38
gunungapi Gamalama atau Gunung Gamalama (piek van Ternate) yaitu gunungapi strato tipe A. Erupsi pertamanya dikenal pada tahun 1538 dan terakhir erupsi pada tahun 2011. Biasanya tipe letusan gunungapi ini bersifat eksplosif dimana suara dentuman hanya terdengar satu kali, seperti suara meriam, disertai dengan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi, kemudian mengembang menyerupai cendawan. Material letusan G. Gamalama banyak mengandung SiO2, Al2O3, FeO, CaO dan MgO (Direktorat Vulkanologi, 1979). Menurut Bappeda Kota Ternate (2010), secara umum pulau Ternate terdiri dari kaki dan tubuh G. Gamalama, serta puncak G. Gamalama: a. Morfologi kaki G. Gamalama Merupakan daerah kaki gunungapi dengan relief datar hingga landai yang terletak dibagian timur, utara dan di selatan dari G. Gamalama dan terbentang memanjang sepanjang pantai. b. Morfologi tubuh dan puncak G. Gamalama. Merupakan bagian lereng dan puncak atas G. Gamalama yang memiliki elevasi 500 – 1000 meter dengan kemiringan lereng 30% - >45%. Pada daerah puncak memperlihatkan adanya perpindahan titik aktifitas vulkanik dari selatan ke utara berdasarkan lokasi titik-titik kepundan. b.
Iklim Menurut Stasiun Meteorologi Ternate (2011), rata-rata temperatur udara
pada tahun 2010 sekitar 27,30C, suhu maksimum sebesar 31,580C dan suhu minimum sebesar 24,150C. Selama tahun 2010 jumlah hari hujan terbanyak terjadi di bulan Januari, April dan Juli dengan jumlah hari hujan sebanyak 23 hari dan besarnya curah hujan bulanan berturut-turut 225 mm, 332,7 mm dan 211,4 mm. c.
Geologi Menurut Bronto et al, (1982) G. Gamalama berdasarkan stratigrafinya,
dapat dibagi menjadi 3 generasi, yaitu Gamalama Tua (Gt), Gamalama Dewasa (Gd) dan Gamalama Muda (Gm) (Gambar 5). Masing-masing generasi menghasilkan endapan gunungapi yang dapat dibagi menjadi 6 bagian untuk Gt, 7 bagian untuk Gd, dan 17 bagian untuk Gm. Selain itu, ada dua endapan permukaan sebagai hasil dari rombakan endapan Gt, Gd dan Gm yaitu berupa endapan permukaan aluvium (al) dan endapan piroklastik rombakan (pr). Endapan
39
tersebut dapat ditemui di daerah pantai dan di sekitarnya di bagian Tenggara pulau Ternate, yaitu daerah yang mempunyai dataran terluas di pulau ini. Berdasarkan persebaran dari masing-masing produk, terlihat bahwa endapan Gm relatif mendominasi pulau Ternate dengan luas 4.224,2 ha atau 47.3% dari keseluruhan endapan. Namun satuan endapan terluas yaitu alluvium sebesar 832 ha atau 9,3% dari total luasan (Tabel 16). Di atas endapan ini banyak dimanfaatkan sebagai permukiman atau tempat penduduk Ternate melakukan aktiftas kesehariannya. Tabel 16. Satuan endapan batuan gunungapi Gamalama dan luasannya Kode
Satuan endapan
Gt
Luas (ha)
Persentase (%)
540
6,1
Gamalama Tua
Gt p
Endapan Piroklastik
Gt ig
Ignimbrit
146,9
1,6
Gt la
Endapan lahar
538,8
6
Gt ip
Sumbat intrusi andesit
5,4
0,06
Gt L
Lava teralterasi
1,1
0,01
Gt Lu
Lava tak teruraikan
744,1
8,3
1.976,3
22,1
Jumlah Gd
Gamalama Dewasa
Gd p
Endapan jatuhan piroklastik
285,6
3,2
Gd bv
Breksi letusan gunungapi
1,8
0,02
Gd pl
Endapan letusan litoral
151,7
1,7
Gd pf
Endapan aliran piroklastik
366,7
4,1
Gd L
Lava
111,7
1,2
Gd la
Endapan lahar
105
1,1
Gd Lu
Lava tak teruraikan
624,6
7
1.647,1
18,5
Jumlah Gm
Gamalama Muda
Gm pm
Endapan piroklastik muda
234,7
2,6
Gm lm
Endapan lahar muda
599,3
6,7
Gm pt
Endapan piroklastik tua
603,9
6,8
Gm L8
Lava 1907
117,4
1,3
Gm Tv
Endapan letusan freatik maar tolire
486
5,4
Gm L7
Lava 1763
303,9
3,4
40
Lanjutan Tabel 16. Satuan endapan batuan gunungapi Gamalama dan luasannya Kode
Satuan endapan
Luas (ha)
Persentase (%)
Gm bv
Breksi letusan dan percikan
153,3
1,7
Gm L6
Lava 1737
214,6
2,4
Gm pf
Endapan aliran piroklastik
45
0,5
Gm L
Lava
9
0,1
Gm fr
Endapan letusan freatik maar laguna
26,4
3
Gm lt
Endapan lahar tua
648,5
7,3
Gm Lu
Lava tak teruraikan
544,2
6,1
4.224,2
47,3
832
9,3
241.8
2,7
Jumlah al
Alluvium
pr
Piroklastik rombakan
Sumber: Direktorat vulkanologi (diolah), 1982
Laut Halmahera
Laut Maluku
Sumber : Bronto et al (1982)
Gambar 5. Peta Geologi Lokasi Penelitian
41
4.3. Kondisi Sosial Masyarakat Kota Ternate Kondisi sosial masyarakat di Kota Ternate akan diuraikan mengenai kependudukan, perekonomian dan infrastruktur. a.
Kependudukan Dari aspek kependudukan, diuraikan mengenai jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, komposisi kelompok umur, jenis kelamin dan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2011 sebanyak 185.705 jiwa yang tersebar di seluruh kecamatan dengan luas daratan 139,98 Km2, sehingga kepadatan penduduk Kota Ternate mencapai angka sebesar 1.326 jiwa/Km2 (Tabel 17). Berdasarkan sebaran penduduk per kecamatan, jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Ternate Selatan sebesar 63.746 jiwa, namun dari tingkat kepadatannya, angka tertinggi berada pada Kecamatan Ternate Tengah yaitu 4.799 jiwa/Km2, disusul Kecamatan Ternate Selatan sebesar 3.754 jiwa/Km2, dan Kecamatan Ternate Utara 3.169 jiwa/Km2. Hal ini yang mendorong penulis untuk memilih kota ini sebagai wilayah penelitian, selain karena berada dalam satu pulau di wilayah ini juga merupakan kecamatan yang paling padat penduduknya di Kota Ternate. Tabel 17. Jumlah penduduk, kepadatan dan persentasenya per kecamatan di Kota Ternate No
Kecamatan
Jumlah penduduk (Jiwa)
Luas Daratan (Km2)
Kepadatan penduduk (Jiwa/Km2)
1.
Pulau Ternate
14.692
37,23
394
2.
Moti
4.399
24,80
177
3.
Pulau Batang Dua
2.487
29,04
85
4.
Pulau Hiri
2.735
6,70
408
5.
Ternate Selatan
63.746
16,98
3.754
6.
Ternate Tengah
52.072
10,85
4.799
7.
Ternate Utara
45.574
14,38
3.169
Total
185.705
139,98
1.326
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
42
Komposisi
kelompok
umur
per
kecamatan
di
lokasi
penelitian
dikelompokan ke dalam 3 kategori, yaitu anak (0 – 14 tahun), dewasa (15 –64) dan manula (65+). Gambaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur tersebut disajikan pada Gambar 6 di bawah ini; 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
Anak
4610
18419
14732
13122
Dewasa
9619
44059
35960
31364
Manula
463
1268
1380
1088
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
Gambar 6. Grafik Kelompok Umur per Kecamatan di Lokasi Penelitian Sebagaimana grafik di atas terlihat bahwa setiap kecamatan memiliki kelompok umur dewasa lebih banyak dibandingkan dengan kelompok umur anak dan manula. Jumlah terbanyak kelompok umur dewasa berada di Kecamatan Ternate Selatan yaitu 44.059 jiwa, ini sejalan dengan jumlah penduduknya yang terbanyak. Kemudian
gambaran
penduduk Kota Ternate
yang dikelompokan
berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 18 di bawah ini; Tabel 18. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin per kecamatan di pulau Ternate Jenis Kelamin (Jiwa) Kecamatan Jumlah Laki-laki Perempuan Pulau Ternate
7.449
7.243
14.692
Ternate Selatan
32.447
31.299
63.746
Ternate Tengah
26.735
25.337
52.072
Ternate Utara
23.045
22.529
45.574
Jumlah
89.676
86.408
176.084
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
43
Sebagaimana tabel di atas terlihat bahwa laki-laki di pulau Ternate lebih banyak (89.676 jiwa) dibandingkan dengan perempuan (86.408 jiwa). Jumlah terbesar berada di Kecamatan Ternate Selatan, yaitu jumlah penduduk laki-laki sebanyak 32.447 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 31.299 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Ternate Selatan, yaitu sebesar 1.2%, dan terendah di Kecamatan Pulau Ternate, yaitu sebesar 0,1%. Secara rinci data laju pertumbuhan penduduk per kecamatan di pulau Ternate dapat dilihat pada Gambar 7. 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 -
2008
2009
2010
Pulau Ternate
16.376
14.693
14.692
Ternate Selatan
61.785
63.302
63.746
Ternate Tengah
53.997
51.753
52.027
Ternate Utara
42.374
45.197
45.574
Sumber: BPS Kota Ternate (diolah), 2012
Gambar 7. Grafik Laju pertumbuhan penduduk per Kecamatan di Kota Ternate Sebagaimana grafik tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk per kecamatan di Pulau Ternate relatif menurun dari tahun 2008 – 2009 namun mengalami peningkatan pada tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa terjadi penyebaran penduduk sejalan dengan terbentuknya Kecamatan Ternate Tengah. b.
Perekonomian Pada aspek perekonomian, data disajikan adalah indikator ekonomi Kota
Ternate, yaitu sektor pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan jumlah keluarga miskin per Kecamatan di pulau Ternate (Tabel 19). Untuk sektor pertanian yang menjadi salah satu indikator perekonomian Kota Ternate adalah hasil produksi tanaman unggulan, seperti Kelapa, Pala, Cengkeh, dan Kakao. Selain itu juga produksi ternak, seperti sapi, kambing, ayam, dan bebek. Sektor
44
industri diambil dari data jumlah industri rumah tangga pada berbagai skala usaha dan dikelompokan menjadi jenis usaha industri unggulan, yaitu anyaman, makanan dan meubeler. Sektor perdagangan dapat digambarkan dari jumlah sarana perekonomian, seperti jumlah pasar, swalayan, kios, warung nasi, dan jumlah hotel/penginapan per kecamatan. Sektor transportasi dapat digambarkan dari jumlah kendaraan bermotor yang dikomersilkan, seperti jumlah truk, ojek, dan angkot. Adapun untuk data kemiskinan didapat dari data kelurga penerima beras miskin (RasKin) per kecamatan. Tabel 19. Pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan kemiskinan per kecamatan di pulau Ternate Industri
Perdagangan
Transportasi
Keluarga Miskin
15.760
121
194
868
1.513
Ternate Selatan
9.479
345
647
1.807
6.566
Ternate Tengah
2.385
184
1.892
3.649
5.363
12.562
397
417
5.182
4.694
Kecamatan Pulau Ternate
Ternate Utara
Pertanian
Sumber: BPS Kota Ternate (diolah), 2011
Dari tabel di atas, pada sektor pertanian, Kecamatan Pulau Ternate memiliki hasil pertanian yang lebih tinggi, yaitu 15.760 ton. Hal ini dikarenakan luasan lahan pertanian di Kecamatan Pulau Ternate lebih luas dari Kecamatan yang lain. Pada sektor industri, Kecamatan Ternate Utara lebih mendominasi yaitu sebanyak 397 jenis usaha yang terdiri dari 383 jenis industri makanan dan 14 jenis industri meubeler (BPS Kota Ternate, 2011). Di sektor perdagangan, Kecamatan Ternate Tengah memiliki jumlah sarana perekonomin lebih banyak daripada kecamatan yang lain, yaitu 1.892 buah. Hal ini menunjukan bahwa Kecamatan Kota Ternate menjadi pusat perekonomian dan keramaian di Kota Ternate. Sektor
transportasi,
jumlah
kendaraan
bermotor
yang
terbanyak
dikomersilkan adalah di Kecamatan Ternate Utara yaitu sebanyak 5.182 unit. Hal ini menunjukan pula bahwa aksesibilitas warga Kecamatan Ternate Utara cukup tinggi yang juga menunjang pada aspek perekonominnya. Keluarga penerima beras miskin yang terbanyak adalah di Kecamatan Ternate Selatan, yaitu
45
sebanyak 6.566 keluarga. Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk yang terbanyak juga berada di Kecamatan Ternate Selatan. c.
Infrastruktur Pada aspek infrastruktur, terdapat data bangunan rumah menurut kualitas
rumah, jumlah fasilitas umum, dan jalan. Data jumlah dan kualitas rumah per kecamatan di pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini; Tabel 20. Jumlah rumah penduduk menurut kualitas per Kecamatan di pulau Ternate Kecamatan
Jumlah dan kualitas rumah (unit)
Jumlah
Permanen
Bukan Permanen
Pulau Ternate
2.983
423
3.406
Ternate Selatan
4.873
2.928
7.801
Ternate Tengah
4.393
2.913
7.306
Ternate Utara
4.243
265
4.508
Jumlah
16.492
6.529
23.021
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
Secara umum, kondisi rumah di pulau Ternate mempunyai kualitas permanen dan jumlah terbanyak berada di Kecamatan Ternate Selatan yaitu 4.873 unit, dan terendah berada di Kecamatan pulau Ternate yaitu 2.983 unit. Untuk kondisi rumah yang bukan permanen terbanyak juga terdapat di Kecamatan Ternate Selatan sebanyak 2.928 unit, sedangkan yang terendah berada di Kecamatan Ternate Utara sebanyak 265 unit. Persentase perbandingan secara keseluruhan di pulau Ternate adalah 7% untuk bangunan permanen dan 28% untuk bukan permanen. Selain hal tersebut di atas, Kota Ternate juga memiliki sejumlah fasilitas umum seperti jumlah sekolah dan tempat ibadah per kecamatan. Jumlah fasilitas umum terbanyak di pulau Ternate berada di Kecamatan Ternate Selatan, yaitu sebanyak 123 unit dan yang terendah berada di Kecamatan Pulau Ternate, yaitu sebanyak 74 unit (Tabel 21). Tabel 21. Jumlah sekolah dan tempat ibadah per Kecamatan di pulau Ternate Kecamatan
Jumlah Sekolah
Tempat Ibadah
Jumlah
Pulau Ternate
33
41
74
Ternate Selatan
54
69
123
46
Lanjutan Tabel 21. Jumlah sekolah dan tempat ibadah per Kecamatan di pulau Ternate Kecamatan
Jumlah Sekolah
Tempat Ibadah
Jumlah
Ternate Tengah
33
81
114
Ternate Utara
37
75
113
Sumber : BPS Kota Ternate, 2011
Bappeda Kota Ternate (2010) membagi status jalan di Kota Ternate menjadi 4, yaitu jalan kolektor primer, jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer, dan lokal sekunder. Pembagian status jalan didasarkan pada aksesibiltas serta fungsi dari jalan tersebut. Secara rinci klasifikasi jalan dijabarkan sebagai berikut; 1. Jalan Kolektor Primer, yaitu jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat-pusat kawasan. Jalan kolektor ini juga sekaligus berfungsi sebagai jalan penghubung antara satu distrik dengan distrik-distrik lainnya. 2. Jalan Kolektor Sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan pusat distrik dengan pusat-pusat lingkungan. Disamping itu jalan ini juga menjadi penghubung antara pusat-pusat lingkungan. 3. Lokal Primer, yaitu jalan yang menghubungkan persil -persil rumah dengan pusat-pusat lingkungan dan jalan-jalan kolektor. 4. Lokal Sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan persil-persil rumah dengan jalan lingkungan. Biasanya jalan ini hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Tabel 22. Panjang jalan menurut status jalan per kecamatan di pulau Ternate Panjang jalan (Km) Kecamatan
Jumlah
Kolektor primer 24,8
Kolektor sekunder 0,9
Lokal primer 0,7
Lokal sekunder 8,3
Ternate Selatan
17,9
7,4
11,7
45,3
82,3
Ternate Tengah
2,8
12,1
20,1
12,1
47,1
Ternate Utara
7,9
7,2
7
14,7
36,8
Pulau Ternate
Sumber: Bappeda (diolah), 2010
34,7
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Geomorfologi lokasi penelitian Analisis geomorfologi menjadi aspek penting karena bentuklahan yang tampak pada citra mencerminkan bagaimana proses terbentuknya suatu lahan. Identifikasi bentuklahan dalam penelitian ini dilakukan melalui interpretasi citra yang didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologis dan litologi. Aspek morfologi dalam identifikasi bentuklahan memanfaatkan unsur-unsur interpretasi citra, yaitu terkait dengan warna, tekstur, pola, bentuk, bayangan, ukuran dan situasi umum dari suatu objek. Sebagai contoh, pada lokasi penelitian memiliki bentuklahan gunungapi (volcanic) yang ditandai dengan bentuk kerucut dan adanya aliran lava yang mempunyai pola memanjang menyerupai lidah, mempunyai ukuran kecil/sempit di puncak dan melebar pada bagian hilir. Warna yang agak kehitaman mencerminkan batuan beku luar yang mempunyai komposisi andesit atau andesit basaltik dan belum tertutup atau ditumbuhi oleh vegetasi dikarenakan proses pelapukan batuan berjalan lambat pada batuan lava. Aspek morfologi di atas baik melalui bentuk, pola, ukuran, tekstur, situs atau pun yang lainnya dapat mencerminkan aspek morfogenesis bentuklahan, karena proses geomorfik meninggalkan kenampakan tertentu pada suatu objek seperti bentuk kerucut yang mencerminkan ciri khas proses vulkanik. Gunungapi Gamalama merupakan gunungapi strato dimana kerucutnya mempertunjukan stratifikasi material yang kasar karena erupsi saling berganti antara erupsi ledakan dengan erupsi lemah menghasilkan aliran lava dan bahan piroklastik. Aspek morfokronologis terkait dengan kronologi waktu terbentuknya bentuklahan dan tahapan perkembangannya. Melalui morfologi yang tampak, interpretasi morfokronologi bentuklahan dapat pula dilakukan untuk mengetahui bagaimana perkembangan bentuklahan tersebut. Sebagai contoh tahapan proses eksogenik seperti proses denudasi pada bentuklahan bisa dibedakan dari derajat kikisan yang terjadi pada permukaan landform. Aspek litologi dapat dibedakan pula melalui morfologi yang tampak. Untuk jenis batuan yang keras seperti aliran lava umumnya akan mempunyai kesan topografik yang berbeda (berbentuk punggungan) dibandingkan dengan endapan
48
piroklastik yang berbentuk rata. Adapun struktur batuan yang miring, seperti di daerah struktur lipatan, juga akan menghasilkan morfologi yang berbeda dan mempunyai pola tertentu. Kondisi Pulau Ternate dari citra GeoEye Google Earth dapat dilihat pada Gambar 9 dan berdasarkan hasil interpretasi visual geomorfologi, bentuklahan (landform) pulau Ternate dapat dibedakan menjadi 12 tipe seperti yang disajikan pada Tabel 23.
Gambar 8. Citra Pulau Ternate (Pencitraan tanggal 2 Desember, 2010) Tabel 23. Jenis bentuklahan (landform) Pulau Ternate dan luasannya No 1
Kawah
Jenis landform
Luas (ha) 1,9
Persentase (%) 0,019
2
Lereng puncak kerucut vulkanik
146
1,4
3
Lereng atas kerucut vulkanik
899
8,9
4
Lereng tengah kerucut vulkanik
2.690
26,5
5
Lereng bawah kerucut vulkanik
3.160
31,2
6
Lereng kaki fluvio vulkanik
2.650
26,1
7
Aliran lava
271
2,7
8
Maar laguna
16,6
0,16
9
Maar Tolire besar
24,3
0,24
10
Maar Tolire kecil
2,1
0,02
11
Gisik pantai (beach)
253
2,5
12
Daratan pantai anthropogenik
25,1
0,25
10.130
100
Jumlah Sumber : Geo Eye diolah (2012)
49
Kawah (Crater) Kawah G. Gamalama merupakan hasil erupsi yang bersifat eksplosif, terletak pada puncak kerucut vulkanik dan merupakan kawah utama sejak letusan tahun 1538. Tipe letusan letusan G. Gamalama hampir selalu bersifat magmatik dengan atau tanpa leleran lava. Kawah ini diberi nama Arafat berbentuk melingkar hampir sempurna yang dikelilingi oleh material piroklastik. Pada citra bentuklahan ini terlihat mempunyai tekstur sangat kasar. Kawah gunungapi ini mempunyai luasan sekitar 1,9 ha atau sekitar 0,019% dari seluruh luasan daerah penelitian (G. Gamalama). Menurut Direktorat Vulkanologi (1979) kawah ini dibagi ke dalam 4 kawah yang mencerminkan suksesi peristiwa letusan, yaitu Kawah 1 (K1) dengan ukuran 300 x 250 m berada pada ketinggian 1715 – 1666 m, kawah 2 (K2) dengan ukuran 180 x 150 m berada pada ketinggian 1670 – 1663 m, kawah 3 (K3) dengan ukuran 70 x 50 m berada pada 1663 m, dan kawah 4 (K4) dengan ukuran 30 m berada pada 1680 – 1666 m. Kawah Arafat ini menurut Direktorat Vulkanologi (1979) berada di sebelah utara gunungapi Gamalama, terbentuk dari letusan yang terjadi pada kawah Kekau atau Bukit Melayu yang merupakan bagian pinggir kawah tertua. Kawah Arafat sesungguhnya merupakan sisa dari puncak kawah kerucut gunungapi yang lebih tinggi. Setelah itu terbentuk sebuah puncak kerucut yang lebih rendah bernama G. Madiena. Kerucut yang sekarang masih aktif mempunyai posisi lebih rendah lagi, ke arah utara dengan pinggir kawah terendah berada di sebelah timur laut. Di dalam kawah aktif ini terdapat solfatara bersuhu tinggi (>1000C). Kerucut vulkanik (volcanic cone) Kerucut vulkanik merupakan tubuh gunungapi yang secara umum berbentuk kerucut, hasil dari deposisi produk erupsi vulkanik, dan memiliki lereng yang bervariasi dari agak miring hingga sangat curam. Tubuh gunungapi Gamalama dapat dipilah menjadi lima betuklahan, yaitu (1) Lereng puncak kerucut vulkanik (peak slope volcanic cone) (2) Lereng atas kerucut vulkanik (upper slope volcanic cone); (3) Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone); (4) Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) dan (5) Lereng kaki fluvio vulkanik (fluvio-volcanic foot slope).
50
Lereng puncak kerucut vulkanik (peak slope volcanic cone) memiliki luas sekitar 146 ha atau sekiat 1,4% dari luasan total G. Gamalama yang meliputi kawah dan hamparan lahan yang ditutupi oleh material piroklastik dengan lereng agak landai. Di atas bentuklahan ini tidak terlihat adanya vegetasi yang tumbuh, mungkin dikarenakan oleh suhu yang tinggi pada material endapan dan/atau belum terjadinya pelapukan terhadap material hasil erupsi. Pada citra kenampakan bentuklahan ini mempunyai warna agak coklat tua dengan tektur halus. Lereng atas kerucut vulkanik (upper slope volcanic cone) memiliki luas sekitar 899 ha (8,9%). Bentuklahan ini terlihat berwarna hijau karena tertutup oleh vegetasi dan adanya garis rekahan. Rekahan ini muncul diduga disebabkan oleh letusan yang sangat dahsyat pada waktu terbentuknya G. Madiena. Di atas bentuklahan ini juga terlihat alur-alur bekas aliran lahar (Barangka) yang menuju ke arah barat laut. Kenampakan ini diduga berasal dari letusan Gunung Kekau atau Bukit Melayu dan dapat menjadi salah satu bukti terjadinya perpindahan titik erupsi G. Gamalama. Bentuklahan ini tersusun atas beberapa bagian, yaitu di sebelah barat dan selatan tersusun oleh batuan dari Gamalama Dewasa (Gd) dengan lereng agak curam, sebelah utara dan timur tersusun oleh batuan dari Gamalama Muda (Gm) dengan lereng curam dan sebelah tenggara tersusun oleh batuan dari Gamalama Tua (Gt). Lereng tengah kerucut vulkanik (midlle slope volcanic cone) memiliki luas 2.690 ha (26,5%) dari citra GeoEye terlihat hijau hingga hijau tua karena bervegetasi, bertekstur agak halus. Pada bagian aliran lava tampak sudah ditumbuhi semak belukar. Kemiringan lereng bervariasi dari miring hingga sangat curam, namun secara umum mempunyai kemiringan yang lebih kecil daripada lereng atas kerucut vulkanik. Bentuklahan ini tersusun atas beberapa bagian, di sebelah barat dan selatan tersusun oleh batuan dari Gamalama Dewasa (Gd) dengan lereng agak curam, di sebelah utara dan timur tersusun oleh batuan dari Gamalama Muda (Gm) dengan lereng curam dan di sebelah tenggara tersusun oleh batuan dari Gamalama Tua (Gt). Pada bagian tenggara dari bentuklahan ini terdapat suatu perkampungan kecil, mungkin merupakan perkampungan terpencil dan tertinggi di wilayah penelitian.
51
Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) memiliki luas 3.160 ha (31,2 %) dan secara umum mempunyai kemiringan lereng lebih kecil daripada lereng tengah kerucut vulkanik. Bnetuklahan ini tersusun oleh material beragam, di sebelah barat dan selatan tersusun oleh batuan dari Gamalama Dewasa (Gd), di sebelah utara dan timur tersusun oleh batuan dari Gamalama Muda (Gm) dan di sebelah tenggara tersusun oleh batuan dari Gamalama Tua (Gt). Pada bentuklahan ini terdapat aliran lava yang sudah ditumbuhi oleh vegetasi, sehingga pada citra terlihat warna hijau muda dengan tekstur halus. Selain itu juga terdapat Maar Laguna. Berhubung pada bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng yang agak landai, terutama di sebelah timur, maka di atas bentuklahan ini banyak ditempati permukiman dari sebagian besar penduduk. Kondisi ini agak berbeda dengan bagian di sebelah barat yang mempunyai lereng miring hingga curam, sehingga pada bagian ini sebagian besar lahan digunakan sebagai lahan perkebunan dan hutan. Bentulahan ini dicirikan oleh warna hijau tua yang dominan, sedikit berwarna hijau muda yang mencerminkan vegetasi dan warna coklat yang mencerminkan lahan-lahan terbuka yang belum ditumbuhi vegetasi. Lereng kaki fluvio vulkanik (Fluvio-volcanic foot slope) pada citra ditandai dengan warna coklat sebagai cerminan permukiman, dikarenakan sebagian besar dari dataran yang ditempati oleh penduduk dengan tanaman pekarangan yang berwarna hijau. Bentuklahan ini memiliki luas 2.650 ha (26,1%) dengan kemiringan lereng secara umum landai, mencerminkan bentuklahan deposisional, baik berupa endapan lahar maupun aliran piroklastik. Di atas bentuklahan ini terdapat Maar tolire Besar. Aliran lava (Lava Flow) Pada citra aliran lava terlihat jelas dengan pola berkelok yang mencerminkan suatu aliran. Akumulasi leleran lava yang tampak jelas di atas tubuh gunungapi ini adalah hasil erupsi G. Gamalama pada tahun 1737, 1763, 1840, 1897 dan 1907 ke arah timur laut dan mencapai pantai Kulaba dan Batu angus (Pratomo et al, 2011). Dari citra tampak berwarna hijau muda karena telah bervegetasi berupa semak belukar dan bertekstur halus di bagian atas, namun pada bagian bawah berwarna agak kehitaman dan bertekstur kasar yang mencirikan
52
batuan lava yang belum ditumbuhi oleh vegetasi. Aliran lava memiliki luas 271 ha atau 2,71% dari luasan total G. Gamalama. Maar Pada lokasi penelitian terdapat tiga maar yaitu maar Tolire Besar, Tolire Kecil dan Laguna. Maar Tolire Besar dicirikan dengan bentuk oval memiliki luasan 24,3 ha atau 0,2% dari total luasan daerah penelitian dan berada di sebelah barat laut kawah Arafat, sedangkan Tolire Kecil berada di sebelah timur laut arah pantai dari Tolire besar. Kedua maar ini berada pada lereng kaki vulkanik yang terjadi akibat erupsi pada tgl 5 – 7 September 1775. Erupsi didahului oleh beberapa kali gempa besar kemudian diikuti oleh letusan uap air (letusan freatik) yang disertai dengan suara gemuruh. Adapun proses erupsi freato–magmatik yang terjadi akibat interaksi antara intrusi magma dengan air tanah menghasilkan ledakan dahsyat dan menghasilkan kawah besar sehingga ketika terisi air melahirkan maar. Maar ini tersusun oleh endapan letusan freatik berupa breksi letusan dan endapan tumpuan dasar (Pratomo et al, 2011). Kedua maar ini berisi air tawar dengan tinggi permukaan air hampir sama dengan muka air laut dan tergenang sepanjang tahun. Maar Laguna terletak di sebelah selatan G. Gamalama memiliki luas 16,6 ha atau 0,16% dari luasan total, berbentuk oval dan terbentuk akibat erupsi freatik pada akhir pra-sejarah. Maar ini diperkirakan berhubungan dengan sistem magmatik dari pusat erupsi gunungapi Gamalama Muda (Gm) (Pratomo et al, 2011). Gisik pantai (Beach) Gisik Pantai membentang mengelilingi G. Gamalama terbentuk dari pasir halus berwarna hitam di bagian utara dan kerikil pada bagian selatan. Pasir hitam berasal dari bahan vulkanik yang terbawa oleh lahar menuju pantai, sedangkan kerikil berasal dari hasil proses abrasi batuan vulkanik di sepanjang pantai, Bentuklahan ini mempunyai lereng yang datar dan sudah banyak dihuni oleh penduduk, mempunyai pola memanjang dengan perbedaan warna yang sangat kontras antara biru laut dan agak kecoklatan yang mencirikan pasir. Luasan gisik pantai mencapai sekitar 253 Ha atau 2,5% dari total luasan Pulau Ternate.
53
Selain itu pada wilayah pantai ini juga terdapat daratan reklamasi yang terbentuk akibat penimbunan material batuan dan tanah oleh manusia (anthropogenik) yang dimulai dari tahun 2006 hingga 2009, sehingga sebagian dari perairan laut di tepi pantai menjadi daratan baru. Bentuklahan ini memiliki luas 25,1 ha (0,2%) dan sebagian besar berada pada sebelah timur G. Gamalama. Gambaran lapangan bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian disajikan pada Gambar 9, sedangkan peta bentuklahan ditampilkan pada Gambar 10.
(a)
(c)
Gambar 9.
(b)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(a, b) Kawah Gunung Gamalama; (c, d) Batuan aliran lava; (e) Daratan anthropogenik (f) Maar Tolire Besar dan Tolire Kecil; (g) Maar Laguna; (h) Gisik Pantai (Geo Eye, Google Earth, 2010).
54
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 10. Peta bentuklahan (Landform) di lokasi penelitian 5.2. Bahaya longsor (landslide hazard) di lokasi penelitian Bahaya longsor dapat terjadi karena interaksi antara suseptibilitas longsor dan faktor pemicu longsor. Suseptibilitas longsor umumnya merupakan fenomena alam seperti kemiringan lereng, kondisi geologi, kondisi tanah, landform dan hidrologi. Pemicu longsor dapat berupa proses alami, non alami ataupun kombinasi keduanya seperti curah hujan, getaran dan aktifitas manusia. Untuk mendapatkan gambaran bahaya longsor, maka dilakukan analisis terpadu antara suseptibilitas longsor dan parameter pemicu longsor. Suseptibilitas longsor (Landslide susceptibility) Pada penelitian ini parameter suseptibilitas longsor dibedakan menjadi tiga, yaitu kemiringan lereng, bentuklahan dan kondisi tanah di lokasi penelitian. Longsor biasa terjadi pada wilayah dengan bentuklahan berbukit dan bergunung. Hal tersebut disebabkan, karena bentuklahan berbukit dan bergunung memiliki kemiringan lereng miring hingga sangat curam, terlebih lagi pada kondisi tanah yang mempunyai infiltrasi rendah seperti liat dapat menyimpan air sampai jenuh, membentuk bidang luncur yang dapat meluncurkan material yang berada di atasnya.
55
a.
Kemiringan lereng Kemiringan lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi lima kelas.
Berdasarkan operasi calculate geometry GIS didapatkan bahwa kemiringan lereng terluas di lokasi penelitian adalah kelas sangat curam dengan luas 2.760 ha atau 27,2 % dari total luas wilayah penelitian. Luasan terkecil adalah pada kelas curam dengan luas 1.460 ha (14,4 %) (Tabel 24). Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Ternate lebih didominasi oleh kemiringan lereng berbukit dan sangat curam sehingga kondisi ini membuat pulau Ternate berpotensi longsor. Gambaran kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 11. Tabel 24. Kemiringan lereng, kelas dan luas lereng di lokasi penelitian Kemiringan lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 30 30 – 45 >45
Kelas
Datar – landai Landai – agak miring Miring/berbukit Curam Sangat curam Jumlah
Luasan (ha)
Persentase (%)
1.850 1.730 2.330 1.460 2.760 10.130
18,3 17,1 23 14,4 27,2 100
Sumber: Data olahan (2012)
Sebaran kemiringan lereng tersebut dapat menjadi salah satu penciri bentuklahan vulkanik kepulauan, dimana pulau Ternate memiliki kelas kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam, mulai dari bentuklahan gisik pantai hingga lereng puncak vulkanik. Secara rinci keberadaan kemiringan lereng pada bentuklahan di pulau Ternate disajikan Tabel 25. Tabel 25. Sebaran kemiringan lereng pada bentuklahan di pulau Ternate Kemiringan lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 30 30 – 45
>45 Sumber: Data olahan (2012)
Bentuklahan Tersebar pada landform gisik pantai, dataran pantai anthropgenik dan lereng kaki vulkanik. Umumnya berada pada landform lereng kaki vulkanik dan lereng bawah kerucut vulkanik. Tersebar pada landform lereng kaki fluvio vulkanik, lereng bawah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik. Pada umumnya tersebar pada lereng bawah vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik. Mendominasi landform lereng bawah kerucut vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik, lereng atas kerucut vulkanik dan lereng puncak vulkanik terutama pada sebelah barat dari crater.
56
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 11. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian b.
Bentuklahan (Landform) Bentuklahan dapat memberikan gambaran dalam melakukan penilaian
bahaya tanah longsor. Longsor dapat terjadi pada bentuklahan berlereng miring hingga sangat curam seperti perbukitan atau pegunungan ataupun kondisi yang dapat merubah bentuklahan menjadi berbukit dengan lereng curam. Oleh karena lokasi penelitian termasuk di dalam bentuklahan bergunung, maka wilayah ini sangat berpotensi untuk terjadi longsor. Selain aspek morofologi tersebut, aspek lain seperti morfogenesi (proses terbentuknya bentuklahan), kronologi (terutama proses pelapukan), dan litologi yang menyusun bentuklahan juga sangat menentukan potensi terjadinya longsor. Banyak penduduk pulau Ternate bermukim pada bentuklahan lereng kaki fluvio-vulkanik dan dataran pantai. Pada periode 10 tahun terakhir, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, wilayah permukiman kian bertambah dan cenderung menuju ke arah wilayah lereng bawah kerucut vulkanik. Bentuklahan lereng bawah vulkanik yang berlereng miring hingga sangat curam sesungguhnya memiliki struktur batuan yang kompak disamping bervegetasi, sehingga dengan
57
kondisi ini sulit untuk terjadi longsor. Konversi lahan sering terjadi bermula dari lahan
bervegetasi
kemudian
menjadi
pertambangan
pasir,
dan
setelah
pertambangan berhenti maka lokasi tersebut berubah menjadi permukiman. Dengan
adanya
kegiatan
penambangan
maka
telah
banyak
dilakukan
pemotongan-pemotongan lereng yang berakibat pada berubahnya struktur batuan yang semula kompak, kini menjadi labil terhadap longsor. Selain itu, pada bentuklahan lereng kaki vulkanik yang berbatasan dengan pantai di sebelah tenggara Pulau Ternate terdapat beberapa area yang berlereng sangat curam namun dijadikan area pemukiman. Kondisi ini sangat beresiko bagi penduduk setempat jika lereng tersebut mengalami longsor atau abrasi. c.
Kondisi tanah Kondisi tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah tekstur tanah.
Tekstur tanah dapat menjadi penyebab longsor karena tekstur tanah dapat bersifat licin sehingga mengurangi daya tahan lereng (shear strength) untuk bertahan pada posisinya. Dengan demikian pada saat terjadi hujan, terjadi penambahan beban yang meningkatkan daya luncur material tanah pada lereng (shear strees) yang dipicu oleh gravitasi serta didukung oleh turunnya daya tahan lereng oleh tekstur tanah liat. Selain itu, tekstur tanah liat yang terdapat di lapisan bawah permukaan tanah dapat membentuk lapisan kedap air. Lapisan ini berfungsi sebagai bidang luncur atau bidang gelincir (slide bed-plane) di bawah permukaan tanah yang menyebabkan longsor. Hal ini sesuai dengan pendapat Sitorus (2006) bahwa tekstur liat (clay) relatif kedap air sehingga dapat membentuk bidang luncur, terutama pada lahan yang berlereng agak curam hingga curam. Kondisi tanah pulau Ternate pada umumnya relatif bertekstur lempung berliat (clay loam), lempung (loam) dan pasir (sand). Tanah dengan tekstur lempung berliat memiliki luas 3.250 ha (0,32%) dari total luas wilayah, tekstur lempung 2.200 ha (0,22%) dan tekstur pasir 2.110 ha (0,21%). Tekstur tanah yang paling kecil luasannya yaitu tekstur liat dengan luas 100 ha (0,009%) (Tabel 26). Berdasarkan luasannya maka pulau Ternate didominasi oleh tekstur lempung berliat dan lempung.
58
Tabel 26. Tekstur tanah dan luasannya di pulau Ternate Tektur
Luasan (ha)
Persentase luas (%)
Pasir (sands)
2.110
0,21
Lempung berpasir (sandy loam)
1.590
0,15
Lempung (loam)
2.200
0,22
Lempung berdebu (silt loam)
760
0,07
Lempung berliat (clay loam)
3.250
0,32
Liat (clay)
100
0,009
Liat berpasir (sandy clay)
120
0,011
10.130
100
Jumlah Sumber: hasil olahan (2012)
Tekstur liat pada lokasi penelitian walaupun luasan terkecil namun perlu diwaspadai karena terdapat pada lereng agak miring hingga miring, berada di sebelah utara landform lereng kaki vulkanik dan lereng bawah kerucut vulkanik. Kondisi ini dapat berpotensi longsor karena liat yang berada di permukaan tanah tidak dapat menyerap air sehingga jika terjadi hujan, maka akan mudah terbentuk limpasan yang membawa partikel lebih halus. Tekstur
pasir
mendominasi
landform
pantai
dan
dataran
pantai
anthropogenik dengan kemiringan lereng datar hingga landai. Wilayah ini relatif lebih aman dari potensi longsor. Kondisi ini disebabkan, karena tekstur pasir memiliki banyak pori makro atau mempunyai sehingga kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga jika terjadi hujan akan terinfiltasi ke dalam tanah. Tekstur lempung pada lokasi penelitian banyak berkembang pada landform lereng bawah kerucut vulkanik dan pada kemiringan lereng antara 8% - 30%. Lempung merupakan bahan tanah yang mengandung liat dan pasir sehingga jika berada pada area dengan kemiringan lereng miring hingga sangat curam maka fraksi liat dapat memicu terjadinya longsor. Lempung berliat menyebar pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik, dan lereng puncak kerucut vulkanik. Lempung berliat merupakan bahan tanah yang mengandung lebih banyak liat (27 – 40%) dan pasir sehingga jika berada pada lereng tengah kerucut vulkanik yang memiliki lereng 30 – 45% maka jika terjadi hujan memicu penggelinciran tanah melalui pengaruh fraksi liat.
59
Tekstur lempung berpasir banyak terbentuk pada bentuklahan kaki fluvio vulkanik dan sedikit sebelah tenggara lereng bawah kerucut vulkanik. Lempung berpasir merupakan bahan tanah yang mengandung lebih banyak pasir (> 45%) dan sedikit liat, maka air hujan akan terinfiltrasi ke bawah permukaan tanah. Untuk mengetahui gambaran spasial dari persebaran tekstur tanah tersebut pada Gambar 12 ditampilkan peta tekstur tanah daerah penelitian.
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 12. Peta tekstur tanah lokasi penelitian Berdasarkan kondisi tiga parameter yang telah diuraikan di atas, maka selanjutnya dapat dilakukan analisis suseptibilitas longsor. Analisis dilakukan melalui proses tumpang tindih (overlay) GIS dari peta kemiringan lereng, peta bentuklahan, dan peta tekstur tanah yang telah dihasilkan dan dengan menggunakan rumus: LS = ∑ {0,5 (SLP) + 0,33 (LF) + 0,17 (ST)} dimana; LS
= Landslide Susceptibility
SLP = Kemiringan lereng (Slope) LF
= Bentuklahan (Landform)
60
ST
= Tekstur tanah (Soil Tekstur)
0,5; 0,33; 0,17 merupakan bobot tiap parameter suseptibilitas longsor seperti diuraikan dalam metoda penelitian (Tabel 6). Pada penelitian ini, tingkat suseptibilitas longsor dikategorikan dalam empat kelas yaitu; aman, rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian ini berdasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari selisih nilai teratas LS dan nilai terendah LS dibagi jumlah kelas. Hasil analisis suseptibilitas longsor untuk daerah penelitian disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Kelas suseptibilitas longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian Kelas suseptibilitas longsor
Luasan (ha)
Persentase luas (%)
Aman
2.645
26,1
Rendah
3.150
31,1
Sedang
1.545
15,2
Tinggi
2.790
27,5
Total
10.130
100
Sumber: Data olahan, 2012
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa luasan terbesar dari suseptibilitas longsor berada pada kelas rendah, sedangkan luasan terkecil berada pada kelas sedang. Adapun gambaran spasial suseptibilitas longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa tiap kategori kelas kerentanan longsor memiliki karakteristik lahan yang berbeda (Tabel 28). Pada penelitian ini, kelas aman berada di sebelah utara, timur, tenggara dan barat daya pulau Ternate, memiliki luas 2.645 ha atau 26,11% dari total luas wilayah penelitian. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 0 - 8%, bentuklahan gisik pantai, dataran pantai anthropogenik dan lereng kaki fluvio dan tekstur pasir. Kelas ini terbentuk karena pada area ini lereng yang datar tidak dapat membentuk bidang luncur. Kelas rendah memiliki luas 3.150 ha atau 31,1% dari luas wilayah penelitian dan menyebar mengelilingi pulau Ternate. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 8 – 15% dengan luas 89,5% dari total luas lereng ini. Sebagian
61
besar berada pada bentuklahan aliran lava dan lereng kaki fluvio vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi yaitu lempung berpasir (sandy loam). Kelas sedang memiliki luas 1.545 ha atau 15,25% dari total luas wilayah, mendominasi bagian tenggara dan selatan Pulau Ternate, berada pada kemiringan lereng >15% atau miring hingga sangat curam. Untuk kemiringan lereng 15% 30% mencakup area seluas 1.587 ha, untuk kemiringan lereng 30% - 45% seluas 1.277,5 ha dan untuk kemiringan lereng >45% seluas 65,5 ha. Kelas ini mendominasi bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan luas 2.031 ha, dengan tekstur tanah yang mendominasi kelas ini yaitu lempung (loam) dan liat (clay). Kelas tinggi memiliki luas 2.790 ha atau 27,5% dari total luas wilayah penelitian. Kelas tinggi ini berada pada kemiringan lereng 30% - 45% seluas 159 ha dan kemiringan lereng >45 seluas 2.701 ha. Kelas ini secara dominan berada pada bentuklahan lereng puncak kerucut vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi kelas ini adalah tekstur lempung berdebu dan tekstur lempung berliat dengan luas 2.186 ha. Tingginya potensi longsor pada area ini diduga karena lapisan permukaan tanah mengandung liat yang relatif tidak dapat menyerap air ke lapisan bawah dan mempunyai kemiringan lereng sangat curam atau >45% sehingga jika terjadi hujan akan dapat langsung meluncurkan massa tanah. Sebagaimana uraian di atas bahwa suseptibilitas longsor di lokasi penelitian relatif dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi suatu wilayah terutama kemiringan lereng. Hal ini sesuai dengan pendapat Bloom, 1978; Verstappen, 1983; Varnes, 1984 bahwa kemiringan lereng merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi terjadi longsor karena sebagai bidang luncur dan biasanya longsoran terjadi pada wilayah yang berbukit dengan lereng sangat terjal, namun ini tergantung pula pada interaksi antara lereng dan faktor lainnya.
Tabel 28. Kelas suseptibilitas longsor dan karakteristik lahannya di lokasi penelitian Kelas kerentanan longsor
Lereng (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5.
Karakteristik lahan Persentase Landform luas landform Gisik pantai 1. 100 Maar Tolire kecil 2. 90,1 Maar Laguna 3. 8,2 Aliran lava 4. 31,4 Daratan pantai anthropogenik 5. 100 Lereng kaki fluvio vulkanik 6. 72,3 Lereng bawah kerucut vulkanik. 7. 12,3 Aliran lava 1. 55,1 Maar Tolire kecil 2. 9,9 Maar Laguna 3. 6,4 Lereng bawah kerucut vulkanik 4. 28,6 Lereng kaki fluvio vulkanik 5. 46,4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3.
Aliran lava Kawah Maar Tolire besar Maar Laguna Lereng atas kerucut vulkanik Lereng bawah kerucut vulkanik Lereng kaki fluvio vulkanik Lereng atas kerucut vulkanik Lereng tengah kerucut vulkanik Lereng puncak kerucut vulkanik
Persentase Luas lereng
Aman
1. 0 – 8 2. 8 – 15 3. 15- 30
1. 99,03 2. 44,65 3. 1,5
Rendah
1. 8 – 15 2. 15 – 30 3. 30 - 45
1. 89,5 2. 39,9 3. 1,3
Sedang
1. 15 – 30 2. 30 – 45 3. >45
1. 60,1 2. 87,6 3. 2,4
Tinggi
1. 30- 45 2. >45
1. 12,4 2. 97,8
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3.
13,5 100 71,5 85,4 0,9 40 3,1 28,2 23,3 89,1
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lempung (loam) Lempung berdebu (silt loam) Lempung berliat (clay loam) Lempung berpasir (sandy loam) Pasir (sandy) Liat (clay)
Persentase luas tekstur tanah 1. 0,07 2. 0,1 3. 0,1 4. 8,8 5. 87,7 6. 1,5
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5.
Lempung (loam) Lempung berdebu (silt loam) Lempung berliat (clay loam) Lempung berpasir (sandy loam) Pasir (sandy) Liat (clay) Liat berpasir (sandy clay) Lempung (loam) Lempung berdebu (silt loam) Lempung berliat (clay loam) Lempung berpasir (sandy loam) Pasir (sandy) Liat (clay) Liat berpasir (sandy clay) Lempung (loam) Lempung berliat (clay loam) Lempung berdebu (silt loam) Liat (clay) Liat berpasir (sandy clay)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5.
Tekstur tanah
17,8 4,3 5 88,7 11,3 3,5 80,3 80,4 15,3 27,5 2,8 0,5 86,5 4,3 1,6 67,3 80,9 0,8 12
Sumber: Data analisis (2012)
62
63
Kondisi wilayah yang berbukit di lokasi penelitian berasal dari penimbunan bahan piroklastik dan aliran lava dari erupsi gunungapi secara terus menerus terutama pada bagian lereng puncak kerucut vulkanik hingga lereng bawah kerucut vulkanik. Aliran lava dari arah puncak gunung ke bagian bawah yang terjadi pada saat letusan Gunung Kekau atau Bukit Melayu sehingga terjadi pengikisan pada dinding lereng diduga dapat menyebabkan keterjalan lereng jika erosi pada pinggiran aliran lava terus berlangsung. Adapun wilayah yang mempunyai lereng agak landai merupakan hasil proses deposisi endapan lahar maupun piroklastik. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat disimpulkan bahwa Pulau Ternate relatif memiliki karakteristik wilayah yang rentan (susceptible) terhadap longsor, dimana hampir separuh dari wilayah penelitian (43%) berada pada kelas suseptibilitas sedang hingga tinggi.
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 13. Peta suseptibilitas longsor di lokasi penelitian Pemicu longsor Pemahaman arti pemicu longsor dalam penelitian ini adalah adanya suatu faktor yang bersifat mempercepat proses terjadinya longsor, sehingga faktor ini menyebabkan suatu kondisi topografi yang secara alami dalam keadaan rentan
64
(ambang batas kestabilan lereng) benar-benar longsor. Faktor pemicu longsor di lokasi penelitian adalah curah hujan, gempa dan aktifitas manusia yang direpresentasikan dalam bentuk penggunaan lahan. Untuk melakukan analisis bahaya longsor, faktor pemicu yang digunakan untuk analisis ini adalah hanya faktor penggunaan lahan saja, adapun untuk faktor curah hujan dan gempa tidak digunakan seperti yang telah dijelaskan pada bab metode penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana aktifitas manusia dapat mempengaruhi potensi longsor. Aktifitas manusia Aktifitas manusia dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap lahan. Salah satu pengaruh negatif yang dihasilkan adalah terjadinya proses tanah longsor. Di lokasi penelitian, aktifitas manusia sebagai salah satu faktor pemicu longsor dapat terlihat dari tipe penggunaan lahan. Pada penelitian ini penggunaan lahan akan digunakan untuk menganalisis bahaya longsor. Penggunaan lahan merupakan bentuk pemanfaatan sebidang lahan di atas permukaan bumi oleh manusia dengan tujuan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bentuk penggunaan lahan sangat bervariasi, namun secara sederhana dapat dipilah menjadi lahan terbangun, lahan budi daya pertanian/perkebunan, lahan pertambangan, dan lahan konservasi (hutan/vegetasi). Beberapa bentuk penggunaan lahan dapat menjadi pemicu proses pelongsoran yang disebabkan oleh beban atau berat dari masing-masing jenis penggunaan lahan yang ada terhadap tanah/batuan di bawahnya. Dengan kata lain jenis penggunaan lahan tersebut bersifat meningkatkan daya tekan (shear stress) terhadap batuan dasar. Namun beberapa penggunaan lahan juga mempunyai sistem yang memperkuat daya tahan (shear strength), seperti sistem perakaran pohon yang dalam (secara alami), atau pemasangan paku bumi beton (secara buatan), maka jenis penggunaan lahan tersebut malah bersifat sebaliknya menghindarkan proses pelongsoran. Di lokasi penelitian jenis penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi hutan, pemukiman, perkebunan, penambangan dan lainnya seperti yang tercantum di dalam Tabel 29.
65
Tabel 29. Jenis penggunaan lahan Kota Ternate, luas dan persentasenya No
Jenis Penggunaan Lahan
Luasan (ha)
Persentase (%)
1
Danau
37,4
0,4
2
Lahan terbuka
218,1
2,2
3
Sarana Pendidikan
10,4
0,1
4
Semak belukar
295,2
2,9
5
Penambangan pasir
8,1
0,08
6
Benteng wisata
1,3
0,01
7
PLTD
1,3
0,01
8
Bakau
6,5
0,06
9
Kawasan reklamasi pantai
7,3
0,07
10
Pelabuhan
1,8
0,02
11
Penambangan batu vulkan
119,8
1,2
12
Perkebunan tahunan
5.024
49,6
13
Bandara
97
1
14
Permukiman
1.657
16,3
15
Pertamina
3.1
0,03
16
Hutan lindung
2.648,4
26,1
10.137
100
Jumah Sumber: Bappeda (diolah), 2012
Sebagaimana Tabel di atas, penggunaan lahan terluas di lokasi penelitian adalah perkebunan tahunan dengan luas 5.024.1 ha atau 49,6% dari total luasan pulau Ternate. Kemudian diikuti dengan hutan seluas 2.648,4 ha atau 26,1%. Perkebunan ini bervegetasi tanaman keras seperti Pala (Myristica Fragrance Hout), Cengkeh (Clove), Kakao (Cocoa), Kelapa (Coconut) dan Kayu manis (Cinamon). Melihat jenis-jenis tanaman keras ini dan kerapatannya, sesungguhnya perkebunan ini secara ekologi mempunyai fungsi seperti hutan. Gambaran penggunaan/tutupan lahan di Kota Ternate disajikan pada Gambar 14.
66
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 14. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian Untuk melakukan analisis bahaya longsor, operasi tumpang susun (overlay) GIS menggunakan rumusan sebagai berikut; LH = ∑ {0,4 (SLP) + 0,3 (LF) + 0,2 (ST) + 0,1 (LU)} dimana; LH
= Bahaya tanah longsor (Landslide Hazard)
SLP = Kemiringan lereng (Slope) LF
= Bentuklahan (Landform)
ST
= Tekstur tanah (Soil Tekstur)
LU
= Penggunaan lahan (Land use)
0,4; 0,3; 0,2; 0,1 merupakan bobot tiap parameter bahaya longsor seperti diuraikan pada metoda penelitian (Tabel 9). Pada analisis ini, bahaya tanah longsor dikategorikan dalam empat kelas yaitu; aman, rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian ini berdasarkan nilai interval yang diperoleh dari selisih nilai teratas LH dan nilai terendah LH dibagi jumlah kelas. Hasil analisis bahaya longsor di daerah penelitian disajikan pada Tabel 30.
67
Tabel 30. Kelas bahaya longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian Kelas Bahaya Longsor Luasan (ha) Persentase (%) Aman
1.845
18,2
Rendah
2.410
23,7
Sedang
3.025
29,8
Tinggi
2.850
28,1
Sumber: Data olahan, 2012
Sebagaimana tabel di atas, kelas bahaya tinggi, sedang dan rendah memiliki luasan yang tidak jauh berbeda, kecuali pada kelas aman memilki luasan terkecil. Sebaran kelas bahaya longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa tiap kategori kelas bahaya longsor memiliki karakteristik lahan yang berbeda berdasarkan parameter bahaya longsor (Tabel 31). Kelas aman memiliki luas 1.845 ha atau 18,2% dari total luas wilayah penelitian. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 0 – 8% berada pada bentuklahan daratan pantai anthropogenik, gisik pantai dan maar Tolire kecil. Tekstur tanah relatif mendominasi kelas ini adalah pasir, dan penggunaan lahan yang ada di kelas aman yaitu bakau, bandar udara, danau, kawasan reklamasi, pelabuhan, pertamina, PLTD, sarana pendidikan dan permukiman. Kelas rendah memiliki luas 2.410 ha atau 23,7% dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng mendominasi kelas ini yaitu lereng 8 – 15%, sebagian besar berada pada bentuklahan kawah dan lereng kaki fluvio vulkanik. Tekstur lempung berpasir dan liat berpasir mendominasi kelas ini. Penggunaan lahan terluas pada kelas ini yaitu penambangan batu dan pasir. Kelas sedang memiliki luas 3.025 ha atau 29,8% dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu 15% - 30% dan 30% 45%, berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan crater maar Laguna. Tekstur tanah yang mendominasi yaitu lempung dan liat dan penggunaan lahan terluas yaitu crater danau, lahan terbuka dan semak.
Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Karakteristik lahan Kelas bahaya longsor Aman
Rendah
Kemiringan lereng (%) 1. 0 – 8 2. 8 – 15 3. 15 - 30
1. 2. 3. 4.
8 – 15 15 – 30 30 – 45 >45
Persentase Luas lereng 1. 100 2. 0,001 3. 6,5
1. 2. 3. 4.
89,6 29 1,3 0,3
Bentuklahan 1. Aliran lava 2. Daratan pantai anthropogenik 3. Lereng bawah kerucut 4. Lereng kaki kerucut 5. Maar Laguna 6. Maar Tolire besar 7. Maar Tolire kecil 8. Pantai
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aliran lava Kawah Lereng bawah kerucut Lereng kaki fluvio Crater maar Laguna Crater maar Tolire besar Crater maar Tolire kecil
Persentase luas bentuklahan 1. 16,1 2. 100 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8,03 49,8 8,2 28,1 81 100
53,6 99,7 31,1 46,4 6,3 17,7 21
Tekstur tanah 1. Lempung berpasir (sandy loam) 2. Liat (clay) 3. Pasir (sand)
1. Lempung (loam) 2. Lempung berdebu (silt loam) 3. Lempung berliat (clay loam) 4. Lempung berpasir (sandy loam) 5. Liat (clay) 6. Liat berpasir (sandy clay) 7. Pasir (sand)
Persentase luas tekstur 1. 1,3 2. 1,3 3. 85,3
1. 2. 3. 4.
15,8 1,1 4,5 95,5
5. 3,7 6. 79,8 7. 13,8
Penggunaan lahan 1. Bakau 2. Bandara 3. Benteng wisata 4. Danau 5. Kawasan reklamasi 6. Lahan terbuka 7. PLTD 8. Pelabuhan 9. Permukiman 10. Penambangan batu 11. Penambang pasir 12. Perkebunan tahun 13. Pertamina 14. Sarana pendidikan 15. Semak 1. Bandara 2. Danau 3. Hutan 4. Lahan terbuka 5. Permukiman 6. Penambangan batu 7. Penambang pasir 8. Perkebunan tahun 9. Sarana pendidikan 10. Semak
Persentase luas penggunaan lahan 1. 100 2. 93,4 3. 100 4. 26,5 5. 100 6. 0,02 7. 100 8. 100 9. 56,8 10. 18,3 11. 15,5 12. 12,6 13. 100 14. 34,1 15. 35 1. 6,5 2. 2,9 3. 0,3 4. 19,6 5. 41 6. 81,6 7. 80,3 8. 29,4 9. 59,5 10. 32,7
68
69
Lanjutan Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Karakteristik lahan Kelas bahaya longsor
Persentase Luas lereng
Kemiringan lereng (%) 8 – 15 15 – 30 30 – 45 >45
Sedang
1. 2. 3. 4.
Tinggi
1. 30 – 45 2. >45
1. 2. 3. 4.
Bentuklahan
Persentase luas bentuklahan
Tekstur tanah
Persentase luas tekstur
Penggunaan lahan
1,4 70,8 85,6 3,06
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aliran lava Lereng atas kerucut Lereng bawah kerucut Lereng kaki fluvio Lereng puncak kerucut Lereng tengah kerucut Crater maar Laguna Crater maar Tolire besar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
27,7 0,91 87,6 3,8 10,7 0,4 85,4 53,9
1. 2. 3. 4.
Lempung (loam) Lempung berdebu (silt loam) Lempung berliat (clay loam) Lempung berpasir (sandy loam) 5. Liat (clay) 6. Liat berpasir (sandy clay) 7. Pasir (sand)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
84,1 18,5 28,1 2,8 63,4 2,3 0,02
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 12,8 2. 96,7
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Aliran lava Lereng atas kerucut Lereng bawah kerucut Lereng kaki kerucut Lereng puncak kerucut Lereng tengah kerucut
1. 2. 3. 4. 5. 6.
2,4 28,2 58,2 0,004 89,1 23,3
1. Lempung (Loam) 2. Lempung berdebu (silt loam) 3. Lempung berliat (clay loam) 4. Liat (clay) 5. Liat berpasir (sandy clay)
1. 0,4 2. 81
1. 2. 3. 4.
Sumber: Data analisis (2012)
3. 67,3 4. 24 5. 15,7
Danau Hutan Lahan terbuka Permukiman Penambangan batu Penambang pasir Perkebunan tahun Sarana pendidikan Semak
Danau Hutan Lahan terbuka Perkebunan tahunan 5. Semak belukar
Persentase luas penggunaan lahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
69,8 18,3 57,8 1,8 0,02 4,3 45 6,7 28,4
1. 2. 3. 4.
0,7 81,6 22,6 12,8
5. 2,6
70
Kelas tinggi memiliki luas 2.860 ha atau 28,2% dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu lereng > 45%. Kelas ini berada secara dominan pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan lereng puncak kerucut vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi kelas ini meliputi lempung berdebu dan lempung berliat. Penggunaan lahan yang mendominasi yaitu hutan, perkebunan tahunan, lahan terbuka dan semak belukar.
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 15. Peta bahaya longsor di lokasi penelitian Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa kemiringan lereng secara relatif mempengaruhi bahaya longsor. Ini terbukti dari persentase luasan kelas bahaya longsor yang relatif tinggi (kelas sedang hingga tinggi) mempunyai kemiringan lereng >15%. Kemiringan lereng tersebut mendominasi bentuklahan dari lereng bawah kerucut vulkanik hingga lereng puncak kerucut vulkanik yang terbentuk dari material piroklastik sebagai hasil dari erupsi vulkanik gunungapi Gamalama. Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang cenderung memicu terjadinya longsor didominasi oleh penambangan pasir dan batu, lahan terbuka serta semak belukar. Lahan terbuka dapat dengan mudah melongsorkan material longsoran karena tidak mempunyai penahan tambahan (seperti akar dari tanaman) sebagai
71
unsur shear strength. Penambangan pasir dan batu dapat memicu longsor karena pemotongan lereng yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat merubah stabilitas lereng. Adapun semak belukar umumnya memiliki sistem perakaran dangkal dan serabut, sehingga pada lereng yang sangat curam fungsi akar kurang membantu shear strength dari lereng terhadap tarikan gravitasi. Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang diduga dapat menghindarkan proses pelongsoran yaitu hutan, perkebunan tahunan. Hutan dan perkebunan tahunan dapat menghindarkan proses longsor (Shear strength) karena memiliki sistem perakaran pohon yang dalam, sehingga dapat menahan laju longsoran. Jika terjadi hujan pun, tajuk pohon dapat mengurangi energi kinetik butiran hujan yang jatuh menimpa permukaan tanah, sehingga butiran hujan tidak mampu menghancurkan butiran yang berada di permukaan tanah. Perbandingan luasan antara wilayah suseptibilitas dan bahaya longsor disajikan pada Gambar 16, dan dari grafik tersebut dapat dilihat adanya perbedaan luasan dari masing-masing kelas kategori. 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Aman
Rendah
Sedang
Tinggi
Landslide susceptibility
1845
2410
3025
2850
Landslide hazard
2645
3150
1545
2790
Sumber: Hasil analisis, 2012
Gambar 16. Grafik perbedaan luas suseptibilitas longsor dan bahaya longsor di lokasi penelitian Pada kelas aman terdapat selisih luas sekitar 800 ha, pada kelas rendah terdapat selisih luas sekitar 740 ha, pada kelas sedang terdapat selisih luas sekitar 1.480 ha dan pada kelas tinggi terdapat selisih 60 ha. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat pengaruh yang positip penggunaan lahan pada kelas aman dan
72
rendah, namun muncul pengaruh yang negatif secara signifikan pada kelasa sedang, dan hampir tidak ada perubahan pengaruh pada kelas tinggi. Pengaruh positip dalam hal ini adalah pengaruh penggunaan lahan dapat meningkatkan shear strength, seperti hutan, perkebunan, sedangkan pengaruh negatif menjadi sebaliknya, yaitu menurunkan shear strength lereng, seperti pemotongan lereng, pembukaan lahan, atau yang lainnya. Kejadian tanah longsor di lokasi penelitian Data kejadian aktual longsor di Pulau Ternate diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Kejadian longsor diamati berdasarkan jejak longsor yang terlihat di lokasi penelitian. Adapun titik dan gambaran longsor aktual di Kota Ternate disajikan pada Gambar 17. Jejak longsor yang dapat teramati pada penelitian ini sebanyak 20 titik longsor. Dimana sebagian besar titik longsoran relatif disebabkan oleh ulah manusia (Antropogenik) yang merubah kemiringan lereng sehingga dapat membuat lereng lebih berpotensi longsor.
Gambar 17. Titik longsor aktual di lokasi penelitian Data titik longsor ini juga dapat digunakan sebagai data dalam menilai peta bahaya longsor yang dibuat dengan menghitung rasio frekuensi (FR). Rasio
73
frekuensi adalah perbandingan persentase luas kelas bahaya longsor dengan jumlah titik longsor pada kelas bahaya longsor. Menurut
Intarawichian
dan
Dasananda
(2010),
nilai
FR
dapat
diinterpretasikan sebagai berikut; antara 0 hingga 0,9 mengindikasikan tidak ada hingga kemungkinan kecil longsoran akan terjadi pada area tersebut, nilai 1 mengindikasikan kemungkinan yang sama akan terjadi pada area tersebut, dan jika > 1, kemungkinan besar akan terjadi pada area tersebut. Pada penelitian ini, hasil perhitungan FR disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Rasio frekuensi pada kelas bahaya longsor (landslide hazard) di lokasi penelitian Kelas Bahaya Persentase Jumlah titik % jumlah titik Rasio Longsor luasan (%) longsor longsor Frekuensi Aman 18,1 0 0 0 Rendah
23,8
12
60
2,5
Sedang
29,7
7
35
1,1
Tinggi
28,2
1
5
0,1
Sumber : Data olahan (2012)
Sebagaimana tabel tersebut bahwa pada kelas aman bernilai FR = 0. Ini mengindikasikan bahwa pada area ini relatif tidak akan terjadi longsoran karena wilayah ini memiliki karakteristik lahan yang tidak menyebabkan longsor seperti kemiringan lereng datar, tekstur pasir, dan sebagian besar berada pada bentuklahan gisik pantai dan penggunaan lahan sebagian besar pemukiman. Pada kelas bahaya rendah dan sedang masing – masing bernilai FR = 2,5 dan 1,1. Nilai ini mengindikasikan kemungkinan besar longsor dapat terjadi pada wilayah ini karena kelas tersebut memiliki karakteristik lahan yang dapat menyebabkan longsor, seperti kemiringan lereng yang miring hingga curam, dan penggunaan lahan sebagian besar penambangan galian C dan lahan terbuka. Selain itu, berdasarkan kelas suseptibilitasnya sebagian luasan wilayah ini pada awalnya merupakan kelas aman namun dengan berubahnya karakteristik lahan karena ulah manusia (Anthropogenik) maka pada saat sekarang menjadi kelas bahaya rendah dan sedang. Pada wilayah inilah yang sepatutnya harus diwaspadai terhadap bahaya longsor, terutama terhadap perubahan penggunaan lahan yang dapat memicu terjadi longsor. Tabel 33 berikut memperlihatkan titi-titik yang mengalami longsor di lokasi penelitian.
74
Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor
Keterangan Titik longsor pada koordinat 0 0 00 46’05,4’’N dan 127 21’31,3’’E. Kel. Kalumata Kec. Ternate Selatan. Lereng sangat curam yang disebabkan karena pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 9 rumah di bawah lereng yang rentan. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi penambangan pasir dan perumahan. Titik longsor pada koordinat 00046’12,2’’N dan 127021’15,9’’E. Kel. Kalumata Kec. Ternate Selatan, 200 m dari titik 1. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 7 rumah di bawah lereng yang rentan. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi area penambangan pasir dan perumahan Titik longsor 00048’12,3’’N dan 0 127 22’55,1’’E. Kelurahan Akehuda Kecamatan Ternate Utara. Lereng sangat curam. Terdapat 5 rumah di bawah lereng yang rentan. Awal penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian beralih menjadi perumahan. Titik longsor 00047’00,2’’N dan 0 127 22’20,2’’E. Kelurahan Loto Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat curam. Longsoran menutupi jalan kolektor primer yang menghubungkan antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat hujan deras. Titik longsor 00049’47,7’’N dan 0 127 22’32,1’’E. Kelurahan Taduma Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat curam. Longsoran memecah tanggul lereng dan menutupi sebagian jalan kolektor primer yang menghubungkan antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat hujan deras
Titik longsor 00047’03,5’’N dan 127022’06,6’’E. Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng. Di atas lahan tersebut terdapat rumah dinas walikota dan pernah longsor dan menutup jalan.
75
Lanjutan Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor
Keterangan Titik longsor 00050’08,3’’N dan 0 127 17’04’’E. Sekitar danau Tolire Besar, lereng sangat curam. Penggunaan lahan hutan. Longsor terjadi diduga karena hujan yang sangat lebat.
Titik longsor 00048’59,5’’N dan 0 127 22’55,1’’E. Kelurahan Takome kecamatan Pulau Ternate. Awal penggunaan lahan perkebunan tahunan pada lereng 15% - 30% beralih fungsi menjadi pertambangan batu. Terdapat 3 rumah di atasnya yang rentan. Titik longsor 00046’21,3’’N dan 127019’10,3’’E.Kelurahan Kalumata Kecamatan Ternate Selatan, 250 m dari titik 2. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi penambangan pasir. Sumber: olahan, 2012
5.3. Kerentanan (Vulnerability) elemen resiko longsor di Lokasi Penelitian Kerentanan dapat ditinjau dari segi fisik dan sosial. Kerentanan fisik direpresentasikan dalam bentuk rumah/bangunan, infrastruktur dan karakter fisik lainnya yang ada dipermukaan bumi yang bermanfaat bagi manusia. Faktor yang mempengaruhi kerentanan fisik dalam penelitian ini antara lain dilihat dari aspek struktur bangunan, tipe bangunan, lokasi dan kekuatan struktur bangunan. Kerentanan sosial direpresentasikan pada keadaan manusia, yang mencakup usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi atau faktor lain yang dapat menyebabkan mereka berada dalam kondisi rentan. Nilai kerentanan (vulnerability) dapat dinyatakan dalam bentuk angka, yaitu 0 (nol) yang diartikan sebagai kondisi tidak mengalami kehancuran hingga angka 1 (satu) yang menyatakan kondisi kehancuran atau kehilangan secara keseluruhan (Varnes, 1984). Kerentanan juga dapat dinilai dari aspek lain seperti (i) nilai moneter, dimana harga suatu aset digambarkan sebagai biaya perbaikan suatu aset jika mengalami kehancuran, (ii) nilai kepentingan aset, dimana nilai aset bisa
76
tergantikan dan tidak bisa tergantikan, dan (iii) nilai manfaat, dimana nilai mencerminkan besarnya manfaat suatu aset. Dalam hal ini jiwa manusia termasuk ke dalam nilai yang tidak dapat dihitung atau tergantikan (van Western, Soeter and Rengers, 1993). Kerentanan juga dapat dinilai secara deskriptif, terutama kerentanan infrastruktur, seperti (i) kerusakan kecil (minor) dimana fungsi dari suatu bangunan atau jalan tidak terlalu berpengaruh dan kerusakannya dapat diperbaiki secara cepat dengan pembiayaan murah, (ii) kerusakan sedang (medium), dimana fungsi dari suatu bangunan atau jalan sangat berpengaruh sehingga jika rusak maka perbaikan kerusakan akan memakan waktu lama serta pembiayaan lebih besar, (iii) kerusakan total (major), dimana bangunan atau jalan tidak dapat berfungsi lagi karena hancur total dan rekonstruksi sangat dibutuhkan (van Westen, Soeters and Rengers, 1993). Pada penelitian ini, penilaian kerentanan mengacu pada hal tersebut di atas yaitu mempertimbangkan aspek deskriptif atas jenis baangunan, posisi bangunan, kepadatan bangunan, kepadatan penduduk serta manfaat suatu aset kemudian diberikan bobot berdasarkan rumusan yang terdapat pada metoda penelitian. Dari hasil pengamatan, terdapat 25.039 unit bangunan di lokasi penelitian yang masuk dalam wilayah kelas bahaya longsor aman, rendah, sedang dan tinggi. Bangunan tersebut terdiri dari 24.426 rumah dan 613 fasilitas umum (Tabel 34). Tabel 34. Jumlah bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian Kelas bahaya longsor
Jumlah bangunan (unit)
Jumlah total
Rumah
Fasilitas umum
Aman
17.013
450
17.463
Rendah
6.958
151
7.109
Sedang
451
12
463
Tinggi
4
0
4
Jumlah
24.426
613
25.039
Sumber : Hasil analisis (2012)
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah bangunan terbanyak terletak di kelas aman, yaitu sebanyak 17.463 unit dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor tinggi yaitu sebanyak 4 unit. Berdasarkan jenis bangunan, jumlah
77
rumah penduduk terbanyak terletak di kelas aman sebanyak 17.013 unit. dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor tinggi yaitu sebanyak 4 unit. Jumlah fasilitas umum terbanyak juga terletak di kelas aman, yaitu sebanyak 450 unit, dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor rendah yaitu 12 unit. Gambaran sebaran bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Peta sebaran bangunan (kiri) dan kelas bahaya longsor di lokasi penelitian (kanan) Kerentanan elemen resiko longsor di lokasi penelitian hanya dianalisis pada kelas bahaya longsor rendah, sedang dan tinggi. Hal ini disebabkan kelas tersebut memiliki karakteristik lahan yang berpotensi longsor atau terkena longsoran. Kelas aman tidak dianalisis karena area tersebut tidak berpotensi terjadi longsor atau terkena longsoran, sehingga wilayah ini dari aspek tata ruang dimungkinkan sesuai untuk wiayah permukiman, pusat pemerintahan, dan aktifitas ekonomi masyarakat Pulau Ternate. Tingkat kerentanan untuk daerah penelitian dikategorikan berdasarkan nilai interval kerentanan elemen resiko longsor. Hasil analisis menunjukan bahwa sebanyak 1.011 unit bangunan memiliki kelas kerentanan rendah, 1.014 unit bangunan kelas kerentanan sedang dan 4.910 unit bangunan kelas kerentanan
78
tinggi (70,8%). Hasil penilaian kerentanan bangunan ini selanjutnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Kelas kerentanan bangunan, jumlah bangunan dan persentasenya di lokasi penelitian. Kelas kerentanan
Jumlah bangunan
Persentase (%)
Rendah
1.011
14,57
Sedang
1.014
14,6
Tinggi
4.910
70,8
Sumber: Hasil analisis (2012)
Jika dilihat berdasarkan wilayah administrasi, Kecamatan Pulau Ternate memiliki 969 unit rumah dan 21 unit fasilitas umum yang berada pada kelas kerentanan rendah. Hal ini disebabkan karena bangunan berada pada wilayah yang memiliki kepadatan bangunan rendah sekitar 440 unit/Km2 dan kepadatan penduduk rendah sekitar 2.153 jiwa/Km2.
Unttuk Kecamatan Ternate Utara
terdapat 919 unit rumah penduduk berada di kelas kerentanan sedang dan sebanyak 21 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan rendah. Hal ini disebabkan karena bangunan berada di wilayah yang memiliki kepadatan bangunan sedang yaitu 915 unit/Km2 dan kepadatan penduduk sedang yaitu 4.461 jiwa/Km2. Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2.186 unit rumah penduduk sebanyak berada di kelas kerentanan tinggi dan sebanyak 43 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan sedang. Hal ini disebabkan karena bangunan tersebut berada di wilayah kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Di Kecamatan Ternate Selatan, terdapat 2.724 unit rumah penduduk sebanyak berada di kelas kerentanan tinggi dan sebanyak 52 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan sedang. Hal ini disebabkan karena bangunan tersebut berada pada wilayah kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Hasil analisis kelas kerentanan elemen resiko longsor ini untuk tiap kecamatan disajikan pada Tabel 36 dan gambarannya disajikan pada Gambar 19.
79
Tabel 36. Kelas kerentanan elemen resiko per kecamatan dan gambaran jumlah bangunan. Kecamatan
Kelas kerentanan
Jumlah bangunan (unit)
Rendah
990
Rendah
21
Sedang
919
Sedang
43
Tinggi
2.186
Sedang
52
Tinggi
2.724
Pulau Ternate Ternate Utara
Ternate Tengah
Ternate Selatan Sumber : Hasil analisis, 2012
Gambar 19. Peta kerentanan bangunan dan contoh rumah penduduk di lokasi penelitian Berdasarkan uraian di atas, kelas kerentanan elemen resiko longsor di lokasi penelitian didominasi oleh kerentanan tinggi terutama di Kecamatan Ternate Tengah dan Ternate Selatan yaitu sebanyak 4.910 unit rumah penduduk. Kondisi ini sesuai dengan pengamatan di lokasi penelitian, bahwa lokasi tersebut banyak
80
dilakukan penambangan atau galian tipe C. Pada lokasi ini kemudian dibuat lahan permukiman dan selanjutnya akan dibangun fasilitas umum seperti sekolah dan masjid. Banyak penduduk memilih lokasi ini sebagai permukiman karena harga lahan relatif lebih murah, akses jalan sudah tersedia, sehingga dapat menjangkau perkantoran, sekolah dan pasar dengan lebih mudah. Berdasarkan perubahan lahan ini, maka wilayah ini menjadi berpotensi meningkatkan kerentanan, terutama aspek fisik infrastruktur dan penduduk yang semakin bertambah. Untuk kelas kerentanan sedang, terutama di Kecamatan Ternate Utara, juga perlu diwaspadai karena di wilayah ini berpotensi menjadi kelas kerentanan tinggi jika jumlah bangunan terus bertambah terutama rumah penduduk. Potensi peningkatan kelas kerentanan di area ini dapat terjadi karena terdapat beberapa lokasi yang sudah dijadikan lahan terbuka untuk permukiman. Selain itu, terdapat pula lahan baru sebagai area penambangan pasir yang dapat menjadi penyebab penambahan penduduk disekitarnya atau pendatang baru dari daerah sekitar Ternate untuk menjadi pekerja tambang pasir sehingga hal tersebut dapat merubah karakteristik lahan. 5.4. Kapasitas masyarakat di lokasi penelitian Pada saat ini paradigma kebencanaan adalah paradigma pengurangan resiko dimana
pendekatan
ini
memandang
masyarakat
merupakan
subjek
penanggulangan bencana dalam proses pembangunan. Kapasitas masyarakat pada penelitian ini mengacu pada Bollin (2003) bahwa kapasitas merupakan kemampuan dan pengetahuan stakeholder dalam mengambil tindakan mitigasi, persiapan, respon, rehabilitasi dan rekonsruksi terhadap bencana. Pentingnya menilai kapasitas, menurut Sunarti et al (2009) bahwa besarnya resiko dan dampak bencana selain dipengaruhi oleh besarnya bahaya, juga dipengaruhi oleh kapasitas manusia dalam meminimalkan resiko sebelum bencana, mengelola resiko pada saat bencana, dan mengelola resiko setelah
terjadinya
bencana.
Hal
tersebut
ditunjang
oleh
pembelajaran
penanggulangan bencana dimana ketangguhan masyarakat menentukan efektfitas penanggulangan bencana. Pada penelitian ini, penilaian kapasitas hanya pada kapasitas masyarakat karena masyarakat sebagai penerima manfaat dari realisasi program pemerintah
81
dan lembaga sosial, serta subjek atau pelaku dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini sejalan dengan Bollin dan Hidajat (2006) bahwa penilaian kapasitas masyarakat sangat penting dalam strategi pengurangan resiko bencana, bahkan menurut Sutrisno (2007) dalam Sunarti et al (2009) bahwa penanggulangan bencana harus berorientasi kepada manusianya. Selanjutnya, penilaian kapasitas masyarakat dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada responden. Penentuan responden dilakukan secara random purposif sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak pada wilayah tertentu berdasarkan tujuan. Pada penelitian ini, diperoleh responden sebanyak 19 orang yang berada di sekitar area yang terdapat titik longsor. Responden yang tersebar pada kelas bahaya longsor aman sebanyak 4 orang, rendah 9 orang dan sedang 6 orang. Responden tersebut terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan, umur dan pekerjaan. Adapun sebaran responden disajikan pada Gambar 20. Indikator yang digunakan dalam penilaian kapasitas masyarakat yaitu mengenai
pengetahuan
kebencanaan,
pengalaman
kebencanaan
dan
sosialisasi/penyuluhan kebencanaan yang pernah diikuti. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dinilai dari beberapa variabel yaitu pengetahuan mengenai bahaya tanah longsor, penyebab longsor, kesiapan dalam menghadapi bencana, seperti jalur evakuasi dan tempat pengungsian. Pengalaman masyarakat mengenai kebencanaan berdasarkan beberapa variabel yaitu pernah mengalami bencana alam, pernah mengalami bencana alam berupa tanah longsor dan mengetahui lokasi bencana terutama tanah longsor. Variabel pelatihan kebencanaan yaitu mengikuti sosialisasi/penyuluhan kebencanaan, pelaksana sosialisasi/penyuluhan, upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi bencana dan upaya pencegahan bencana terutama longsor. Adapun tanggapan responden terhadap variabel yang digunakan dalam menilai kapasitas masyarakat tersebut disajikan pada Tabel 37.
82
Gambar 20. Sebaran responden di lokasi penelitian Tabel 37. Parameter dan variabel kapasitas masyarakat, tanggapan responden dan persentasenya di lokasi penelitian Tanggapan Persentase No Parameter kapasitas masyarakat responden (%) Pengetahuan 1. Mengetahui arti bahaya 19 100 2. Mengetahui arti tanah longsor 16 84,2 3. Mengetahui faktor penyebab longsor 6,3 32,9 5. Mengetahui jalur evakuasi 11 57,9 6. Mengetahui tempat pengungsian 6 31,6 Pengalaman 1. Pernah mengalami bencana 19 100 2. Pernah mengalami kejadian longsor 2 10,5 3. Mengetahui lokasi longsor 13 68,4 Sosialisasi/penyuluhan kebencanaan 1. Pernah mendengar pencegahan bencana 10 52,6 2. Pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan 6 31,6 kebencanaan 3. Mengetahui upaya untuk pengurangan resiko 5 26,3 bencana Sumber : Hasil analisis (2012)
Sebagaimana tersaji pada tabel di atas, seluruh responden mengetahui arti bahaya dan pernah mengalami bencana namun hanya sebagian yang pernah
83
mendengar sosialisasi pencegahan bencana. Dari aspek pengetahuan, sebanyak 84,2% responden mengetahui arti longsor namun hanya 32,9% responden yang mengetahui penyebab longsor. Sebanyak 57,9% responden mengetahui jalur evakuasi namun hanya 31,6% mengetahui tempat pengungsian. Dari hasil wawancara lebih lanjut dengan responden, pengetahuan mengenai arti bahaya, longsor dan penyebabnya diketahui melalui media massa seperti TV, koran dan radio, namun untuk jalur evakuasi, masyarakat mengetahui dari persepsi sendiri mengenai jalur yang aman menuju tempat pengungsian. Untuk tempat pengungsian juga diketahui dari persepsi responden sendiri terhadap wilayah yang aman seperti di lapangan, masjid atau sekolah yang jauh dari tempat kejadian bencana. Berdasarkan aspek pengalaman masyarakat, menunjukan bahwa seluruh responden pernah mengalami kejadian alam namun hanya sebanyak 10,5% responden yang pernah mengalami kejadian longsor, dan sebanyak 68,4% responden mengetahui lokasi longsor. Kejadian alam yang pernah dialami responden diantaranya yaitu gunung api dan abu vulkanik yang terjadi secara merata di lokasi penelitian. Ada 2 responden yang pernah hampir mengalami longsor karena rumahnya berada di pinggiran tebing sehingga tebing tersebut terkikis oleh banjir namun tidak ada korban jiwa dan kerusakan, sebab longsor hanya mengikis sedikit di bagian belakang rumah. Responden yang mengetahui lokasi titik longsor karena jarak rumahnya berdekatan dengan titik longsor. Hal ini sejalan dengan hasil pemetaan bahaya longsor di lokasi penelitian yang termasuk kelas bahaya rendah. Berdasarkan aspek sosialisasi/penyuluhan kebencanaan menunjukan bahwa sebanyak 52,6% responden pernah mendengar mengenai pencegahan bencana, sumber informasi responden umumnya berasal dari radio dan pamflet yang disebarkan oleh pemerintah. Sebanyak 31,6% responden pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah baik itu di Kelurahan dan Kota dan beberapa responden mengikuti kegiatan ini dalam bentuk simulasi Tsunami. Sebanyak 26,3% responden mengetahui upaya yang dilakukan untuk pengurangan resiko bencana. Berdasarkan
wawancara
lebih
lanjut,
responden
mengusulkan
upaya
84
penanggulangan resiko longsor di Kota Ternate berupa pembuatan tanggul penahan lereng yang berpotensi longsor, agar pemerintah tidak mengeluarkan ijin galian C yang dapat merusak, dan menyediakan lahan untuk permukiman sehingga masyarakat tidak merambah hutan untuk dijadikan permukiman. Sebagaimana uraian di atas, terlihat bahwa kapasitas responden dari aspek pengetahuan
lebih
tinggi
dibandingkan
aspek
lainnya.
Parameter
sosialisasi/penyuluhan kebencanaan terendah, hal ini menunjukan bahwa sosialisasi/penyuluhan/pelatihan kebencanaan harus menjadi program prioritas di
Jumlah tanggapan responden terhadap parameter
Kota Ternate sebagai upaya peningkatan kapasitas (Gambar 21).
60 50 40 30 20 10
Series1
Pengetahuan
Pengalaman
Sosialisasi/penyuluh an
58,25
34
21
Gambar 21. Grafik tanggapan responden terhadap parameter kapasitas masyarakat di lokasi penelitian. 5.5. Resiko longsor (landslide risk) di lokasi penelitian Banyak para ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai resiko bencana. Secara umum resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability).
Selain faktor tersebut, kemampuan
(capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian resiko (Varnes, 1984; Carter, 1992; Davidson, 1997; Smith, 2001; Bollin, 2003; Wisner et al, 2004). Pada penelitian ini, perhitungan resiko longsor tidak memasukan kapasitas masyarakat karena tingkat kapasitas masyarakat seragam namun hal tersebut tidak mencerminkan seluruh kapasitas masyarakat di Pulau Ternate. Pada penelitian ini, resiko bencana terutama longsor dianalisis berdasarkan rumusan dari Bakornas PB (2007) yang terdapat di bab metoda penelitian. Setelah diketahui parameter resiko bencana tanah longsor seperti bahaya (Hazard),
85
kerentanan (Vulnerability), dan kapasitas, maka dapat ditentukan tingkat resiko di lokasi penelitian. Namun demikian perlu dicatat bahwa khusus dalam penelitian ini parameter kapasitas tidak dipakai untuk menilai tingkat resiko disebabkan data kapasitas yang diperoleh masih belum mencukupi untuk dapat mewakili kondisi riil kapasitas masyarakat setempat. Untuk itu, resiko hanya dinilai dari aspek bahaya longsor dan kerentanan msyarakat terhadap bencana. Dalam penelitian ini, resiko longsor dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi, dan hasil penilaian resiko longsor yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Kelas resiko longsor (landslide risk), dan Jumlah bangunan di lokasi penelitian Kelas resiko longsor Jumlah bangunan (unit) Persentase (%) Rendah
2.021
29,4
Sedang
4.041
58,5
Tinggi
826
12,1
Sumber : Hasil analisis, 2012
Sebagaimana tabel di atas, terlihat bahwa di dalam kelas resiko longsor rendah terdapat 2.021 unit bangunan. Pada kelas resiko sedang terdapat 4.041 unit bangunan dan pada kelas resiko tinggi terdapat 826 unit bangunan. Dengan demikian terlihat bahwa di pulau Ternate secara dominan bangunan berada pada kelas resiko longsor sedang. Gambaran sebaran kelas resiko longsor yang dihasilkan disajikan pada Gambar 22. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa kelas resiko longsor rendah terdapat rumah penduduk dan fasilitas umum yang berada pada bentuklahan lereng kaki kerucut vulkanik di kelas bahaya longsor rendah dengan kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk rendah. Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa area tersebut banyak digunakan sebagai area permukiman dan pusat aktifitas lainnya seperti aktifitas ekonomi dan perkantoran. Namun, area ini perlu diwaspadai karena dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan lahan akan semakin meningkat, sehingga berpotensi meningkatkan resiko longsor. Kelas resiko longsor sedang didominasi oleh rumah penduduk yang berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik di kelas bahaya longsor rendah dengan kepadatan bangunan dan penduduk tinggi. Pada kelas ini juga terdapat
86
fasilitas umum yang berada pada kelas bahaya sedang hingga tinggi dengan kepadatan bangunan sedang. Rumah penduduk dan fasilitas umum banyak tersebar di tenggara Pulau Ternate. Lahan pada kelas ini diwaktu mendatang berpotensi meningkat menjadi kelas resiko tinggi, jika tambang-tambang batu dan pasir yang terdapat banyak ditempat ini kelak akan berubah menjadi permukiman, seperti kecenderungan yang ada saat ini di daerah penelitian. Perlu diperhatikan bahwa kecenderungan perkembangan wilayah permukiman di daerah penelitian cenderung mengarah ke arah hulu (pegunungan), sehingga upaya pemotongan lereng pun dimungkinkan akan terus terjadi.
Gambar 22. Peta kelas resiko longsor di lokasi penelitian Kelas resiko tinggi tersebar di wilayah perumahan penduduk yang berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik, pada kelas bahaya longsor sedang hingga tinggi dan mempunyai kepadatan bangun dan kepadatan penduduk tinggi. Area ini merupakan permukiman baru, sehingga banyak rumah penduduk yang dibangun di bawah tebing yang curam.
87
Secara administratif, kelas resiko rendah banyak terdapat di Kecamatan Pulau Ternate dan Kecamatan Ternate Utara, sedangkan untuk kelas sedang dan tinggi banyak terdapat di Kecamatan Ternate Tengah dan Selatan (Tabel 39). Tabel 39. Tingkat resiko longsor dan jumlah bangunan per kecamatan di lokasi penelitian Jumlah bangunan (unit) di kelas resiko longsor Kecamatan Rendah Sedang Tinggi Pulau Ternate
995
0
0
Ternate Utara
934
3
0
Ternate Tengah
43
1.628
547
Ternate Selatan
49
2.410
279
2.021
4.041
826
Jumlah Sumber: Hasil analisis, 2012
Berdasarkan persebaran kelas resiko tersebut, Kecamatan Ternate Tengah dan Selatan harus diwaspadai, terutama pada wilayah yang terdapat bangunan pada kelas resiko tinggi dengan jenis bangunan rumah penduduk. Hal ini disebabkan karena kecamatan ini didominasi oleh karakteristik wilayah yang berpotensi longsor, banyak bangunan dengan resiko sedang hingga tinggi, dan mempunyai kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tertinggi. Gambar 23 berikut menyajikan hubungan kelas bahay longsor dengan kelas kerentanan bencana longsor yang akhirnya menghasilkan kelas resiko longsor. Dalam penilaian ini hubungan kelas bahaya dan kerentanan yang sama tinggi akan menghasilkan kelas resiko tinggi, begitu pula untuk hubungan sesama kelas sedang atau rendah, dan juga kombinasi dari berbagai kelas. Dari keterkaitan ini Kota Ternate didominasi oleh bahaya sedang dan kerentanan sedang maka tingkat resiko juga sedang namun berpotensi meningkatkan resiko jika tidak dilakukan suatu upaya pengurangan resiko bencana longsor. Hal paling berpengaruh terhadap resiko bencana pada penelitian ini yaitu rumah penduduk yang berada pada bahaya longsor sedang hingga tinggi dengan kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi.
88
Resiko bencana Bahaya
Tinggi Sedang Rendah Rendah
Keterangan :
Rendah
Sedang
Sedang Kerentanan Tinggi
Tinggi
Gambar 23. Matriks resiko bencana 5.6. Keterkaitan kondisi geomorfologi Pulau Ternate terhadap bahaya dan resiko longsor. Kondisi geomorfologi Pulau Ternate secara alami memiliki potensi yang rendah untuk terjadi longsor, hal ini dikarenakan Pulau Ternate memiliki bentuklahan gunungapi. Karakteristik tubuh gunungapi pada dasarnya adalah tersusun dari material gunungapi, sehingga dapat berupa endapan piroklastik, aliran lava, ataupun aliran lahar, dan dapat berupa hasil dari suatu aliran atau jatuhan material letusan. Dengan demikian secara alami pula material tersebut akan tertumpuk hingga membentuk suatu relief perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng yang relatif stabil sesuai dengan karakter ukuran material yang diendapkan. Oleh sebab itu pada dasarnya bentuklahan yang menyusun tubuh gunungapi ini mempunyai kestabilan lereng yang normal atau dalam ambang batas normal meskipun tampak miring. Longsor umumnya baru terjadi pada tubuh gunungapi jika terdapat penambahan beban, seperti deposisi material piroklastik baru, atau kandungan air yang berasal dari hujan, dan tidak adanya faktor penahan seperti vegetasi, batuan atau lainnya. Dengan demikian, jika luas kelas suseptibilitas longsor di daerah penelitian lebih didominasi oleh kelas aman dan rendah (57,2 %), atau kelas rendah hingga sedang (46.3 %), maka kondisi ini menjadi hal yang cukup wajar. Namun demikian perubahan kondisi gemorfologi oleh manusia yang ada saat ini telah sedikit merubah bahaya longsor di Pulau Ternate, dimana 53.7 % wilayahnya tergolong ke dalam kelas bahaya rendah hingga sedang dibandingkan dengan kelas suseptibilitasnya yang hanya 46.3 %. Adapun untuk kelas tinggi terdapat sedikit kenaikan, yaitu dari kelas suseptibilitas tinggi seluas 27,5 % menjadi kelas bahaya tinggi seluas 28,1 %. Pemotongan lereng dan perubahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan faktor utama terhadap kenaikan
89
angka-angka tersebut di atas. Peningkatan bahaya tampaknya akan cenderung terus bertambah ke arah puncak seiiring dengan dinamika atau aktifitas manusia yang memanfaatkan lahan dan secara perlahan akan dapat merubah kondisi alami geomorfologi Pulau Ternate. Perubahan penggunaan lahan pada bekas penambangan batu dan pasir menjadi permukiman dan juga adanya pembangunan akses jalan untuk aktifitas masyarakat sekitar, akan terus menarik perhatian masyarakat lain untuk membangun dan tinggal di area tersebut. Hal ini secara langsung akan meningkatkan tingkat kerentanan masyarakat yang tingal di tempat tersebut. Dengan berubahnya karakter bentuklahan melalui pemotongan lereng dan bertambahnya penghuni di area tersebut, maka bahaya longsor dan kerentanan masyarakat akan terus meningkat, dengan demikian secara langsung pula akan meningkatkan tingkat resiko di wilayah tersebut. 5.7. Keterbatasan dan keunggulan penelitian Penentuan resiko longsor tidak dapat dikatakan mudah, terlebih mengenai ketersediaan dan skala data. Begitu pula dengan penelitian ini, terutama keterbatasan pada parameter penentu bahaya longsor terutama data kondisi tanah menyangkut dengan tekstur tanah, metode pengambilan sampel tanah dan pemetaannya. Hal inilah yang harus diperbaiki pada penelitian selanjutnya. Penelitian ini pun memiliki keunggulan dalam penentuan resiko yaitu dalam metode penentuan kerentanan yang riil hingga ke unit bangunan, maka penentuan kerentanan dan resiko longsor dapat diketahui secara langsung kepada objek yang memiliki kerentanan dan resiko tertentu terhadap longsor. Skala informasi pada metode kerentanan dengan batasan unit bangunan lebih informastif dan detail dibandingkan dengan metode indeks, sehingga dapat diterapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah terutama di tingkat Kabupaten/Kota.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun kesimpulan penelitian ini yaitu; 1. Pulau Ternate memiliki bentuklahan (landform) gunungapi. Adapun ciri bentuklahan tersebut terlihat dari bentuk kerucut dan adanya aliran lava. Bentuklahan gunungapi dapat dibedakan menjadi kawah, tubuh kerucut vulkanik, aliran lava, maar, dan gisik pantai. Unit bentuklahan ini dapat diidentifikasi dari citra GeoEye dan SRTM. 2. Berdasarkan hasil analisis suseptibilitas longsor, pulau Ternate memiliki 4 kelas yaitu kelas aman dengan luas 1.845 ha, kelas rendah dengan luas 2.410 ha, kelas sedang dengan luas 3.024 ha dan kelas tinggi dengan luas 2.850 ha. Pulau Ternate didominasi oleh kelas suseptibilitas longsor sedang hingga tinggi. 3. Untuk daerah penelitian, 2.410 ha Pulau ternate tergolong ke dalam kelas bahaya rendah, 3.025 ha ke dalam bahaya sedang, dan 2.850 ha ke dalam kelas bahaya longsor tinggi. Jadi sekitar 28% wilayah Pulau Ternate berada dalam kelas bahaya longsor tinggi. Faktor utama yang meningkatkan kelas bahaya longsor di daerah penelitian adalah lereng dan penggunaan lahan yang disertai dengan pemotongan lereng. 4. Dua kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Tengah, mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi. Di kedua wilayah tersebut terdapat 4.910 unit rumah dengan sekitar 24.550 jiwa penduduk dengan kerentanan tinggi, sehingga program mitigasi bencana perlu mendapat
prioritas
untuk
kedua
kecamatan
ini.
Program
sosialisasi/penyuluhan mengenai pengurangan resiko bencana merupakan program prioritas untuk peningkatan kapasitas masyarakat. 5. Metode penilaian kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan hanya pada area yang terkena dampak longsor, meliputi tipe dan jumlah bangunan, serta jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Meskipun skala penelitian ini bersifat semi detil (1:50.000), namun metode ini diperkirakan lebih aplikatif, terutama untuk Badan Penanggulangan
92
Bencana Daerah (BPBD) di level Kabupaten/Kota dalam melakukan penilaian resiko pada skala yang lebih besar (1:25.000 atau 1:10.000), dikarenakan obyek yang terancam oleh bahaya lebih riil dibandingkan dengan penggunaan metode indeks kerentanan secara administratif. Selain itu, penerapan program kerja pun lebih tepat sasaran. 6. Pulau Ternate didominasi oleh kelas resiko longsor kelas sedang, dimana resiko ini meliputi 4.041 unit bangunan yang berada di Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Tengah. Meskipun yang terancam oleh resiko tinggi relatif kecil, namun potensi peningkatan resiko longsor dari sedang ke tinggi cukup besar. Oleh sebab itu pemantauan perubahan penggunaan lahan perlu mendapat prioritas untuk Kota Ternate, terutama di kedua kecamatan tersebut. 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran ditujukan untuk perbaikan penelitian dan upaya pengurangan resiko longsor di pulau Ternate. Proses penentuan resiko bencana longsor di pulau Ternate tidak dapat dikatakan mudah karena masih banyak terdapat kekurangan terutama mengenai data. Upaya yang disarankan sebagai proses perbaikan hasil penelitian diantaranya yaitu; 1. Pembuatan data pemicu bahaya longsor di pulau Ternate seperti curah hujan dan kegempaan, sehingga informasi bahaya longsor pun lebih baik. 2. Pencatatan informasi kejadian longsor yang terjadi, baik longsoran yang menimbulkan korban maupun tidak menimbulkan korban. 3. Perbaikan data kondisi tanah seperti tekstur tanah dan kedalaman tanah termasuk metode pengambilan sampel dan pemetaannya. 4. Penambahan parameter kerentanan aspek ekonomi di area berpotensi longsor sehingga peta kerentanan elemen resiko dapat lebih komprehensif. Upaya pengurangan resiko di pulau Ternate harus dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat, lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), lembaga sosial dan sektor swasta. Upaya tersebut seyogyanya dirumuskan berdasarkan akar permasalahan sehingga tindakan pengurangan resiko dilakukan untuk memecahkan akar permasalahan. Dari penelitian ini diidentifikasikan beberapa akar permasalahan seperti 1) tidak/kurang tersedianya
93
informasi yang lengkap dan akurat mengenai zona potensi tanah longsor, ciri lahan yang berpotensi longsor dan gejala awal longsoran akan terjadi; 2) kurang tersedianya informasi mengenai langkah-langkah penanggulangan dan tindakan darurat jika terjadi gejala tanah longsor; 3) tidak tersedianya informasi resiko tanah longsor; 3) keperdulian dan kesadaran masyarakat terhadap antisipasi bencana tanah longsor; 4) tidak ada payung hukum dalam pelaksanaan pengurangan resiko. Kegiatan pengurangan resiko yang disarankan kepada seluruh pihak dapat dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu tahapan pencegahan bencana (pra bencana), kesiapsiagaan, dan pasca bencana. Pada tahapan pecegahan bencana seperti penelitian untuk pengendalian tanah longsor, pemetaan dan analisa tingkat resiko tanah longsor, sosialisasi hasil pemetaan, penghijauan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, penentuan dan sosialisasi jalur evakuasi, penetapan dan penegakan peraturan pengembangan wilayah, rekayasa tehnis dan vegetatif dalam upaya mencegah tanah longsor pada lereng yang telah kritis atau kombinasinya, dan pemerataan penduduk. Pada tahapan kesiapsiagaan, hal yang disarankan yaitu 1) pemantauan dan peringatan dini terhadap gejala tanah longsor seperti munculnya retakan pada tanah atau lantai dan tembok bangunan, terdapat amblesan, miringnya pohon atau tiang pada lereng, munculnya mata air pada lereng secara tiba-tiba; 2) pemantauan secara detail terhadap curah hujan terlebih pada intensitas hujan tinggi selama 3 jam atau lebih; 3) membangun sistem jaringan informasi. Pada tahapan pasca bencana, hal yang disarankan yaitu 1) pengamanan lokasi longsoran agar tidak dikerumuni banyak orang yang tidak berkompeten; 2) relokasi sementara penduduk yang terkena longsoran; 3) perbaikan lereng pada lokasi longsoran; 4) penerapan rekayasa tehnis atau vegetatif; 5) mencegah pembangunan atau pengembangan pada lereng yang telah terjadi longsor.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Cetakan kedua. Bogor. IPB Press Atzeni, C., P. Canuti, N. Nasagli, D. Leva, G. Luzi, S. Moretti, M. Pieraccini, A.Sieber, and D. Tarchi. 2003. A Portable Device for Landslide Monitoring Using Radar Interferometry. Landslides News. 14/15: 13-15. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Ternate. 2011. Monografi Kota Ternate. Ternate. Maluku Utara. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Ternate. 2010. Monografi Kota Ternate. Ternate. Maluku Utara. [BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ternate. 2011. Data Kebencanaan Kegiatan Asean Regional Forum Disaster Relief Exercises (ARF DiR ex). Ternate. Maluku Utara. [BPS] Biro Pusat Statistik Kota Ternate. 2011. Kota Ternate Dalam Angka. Ternate. Maluku Utara. [BPS] Biro Pusat Statistik Kota Ternate. 2010. Kota Ternate Dalam Angka. Ternate. Maluku Utara. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. 2009. Maluku Utara Dalam Angka. Maluku Utara. [BAKORNAS PB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2007. Pengenalan karateristik bencana dan upaya mitigasinya di Indonesia. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Deklarasi Yogyakarta. AMCDRR. http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp?id=1063. Bollin, C., Cardenas, C., Hahn, H., Vatsa., 2003. Disaster Risk Management By Communities and Local Government. Inter-America Development Bank. New York Avenue. Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsor Berdasarkan Klasifikasi Statistik Peubah Tunggal Menggunakan SIG. Bogor. Jurusan Ilmu Tanah dan Lingkungan 2:7-6. Bloom, A.L. 1979. Geomorphology. A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms. Prentice Hall of India. New Delhi. Cooke, R.U. and Doornkamp., P. 1978. Geomorfology in Environmental Management. A New Introduction. Clarendon. Oxford. 140p. Carter, W.N. 1991. Disaster Management: A Disaster manager’s Handbook. Asian Development Bank. Manila.
96
Direktorat Vulkanologi RI. 1979. Data Dasar Gunung Api Indonesia. Direktorat Vulkanologi. Jakarta. Davidson, Rachel. A and Shah, Haresh. C. 1997. An Urban Earthquake Disaster Risk Index. Departement of Civil and Environmental Engineering. Stanford University. Dibyosaputro. 1999. Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon Progo. Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia. 23.3–34. Gad-El-Hak, Mohammed. 2008. Large-Scale Disasters. Cambridge University Press. ISBN-13 978-0-511-39716-5. Published in the United States of America by Cambridge University Press, New York. Guzzetti, F., A. Carrara., M. Cardinali., and P. Reinchenbach. 1999. Landslide Hazard Evaluation: a Review of Current Techniques and Their Application in a Multi-Scale Study. Central Italy. Geomorphology. 31: 181-216. Hadmoko, D.S, Lavigne. F, Sartohadi. J, Hadi. P, Winaryo. 2010. Landslide Hazard and risk assesment and their application in risk management and landuse planning in eastern flank of Manoreh Mountains, Yogya Province, Indonesia. Natural Hazard. DOI 10.1007/s 1069-009-9490-0.p 623-642. Intarawichian, Narumon. Dasananda, Songko. 2010. Analytical Hierarchy Process For Landslide Susceptibility Mapping In Lower Mae Chaem Watershed, Northern Thailand. Suranaree J. Sci. Technol. 17(3): 277 – 292. Karnawati, Dwikorita. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. UGM. Yogyakarta. ISBN 979-95811-3-3. Lillesand, T.M dan Kiefer, F.W. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. R. Dubahri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marsaid. 2002. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Purworejo dalam Penanggulangan Bencana Alam Tanah Longsor. Makalah dalam Simposium Nasional Pencegahan Bencana Sedimen. Kerjasama ISDM, JICA, DIRJEN Sumberdaya Air. Yogyakarta. Hal. 50-58. Pratomo, Indyo, Sulaeman, Cecep. Kriswati, Estu. Suparman, Yasa. 2011. Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara; Dinamika Erupsi dan Ancaman Bahayanya. Ekologi Ternate 1-13. Rachim Djunaedi. A. 2007. Dasar-dasar Genesis Tanah. Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Rusli, Said. 2010. Pengantar Ilmu Kependudukan. IPB. Bogor. Stasiun Meteorologi Ternate. 2011. Curah Hujan Kota Ternate Periode 2000 – 2010. Ternate.
97
Suleman. Yiyi. 2012. Penerapan Model Tanah-Lansekap Unttuk Memprediksi Penyebaran Sifat Tanah Di Wilayah Tropika (Studi Kasus Di Pulau Jawa). Disertasi. IPB. Bogor. Sunarti, Euis., Sumarno, Hadi., Murdiyanto. Hadianto, Adi. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani Dan Nelayan untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian. Pusat Studi Bencana. LPPM IPB. Bogor. Sartohadi, Junun. 2007. Terapan Geomorfologi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Jurnal ALAMI Vol. 12 Nomor 1 tahun 2007. Hal. 16-21. Sitorus, S.R.P. 2006. Peran Penutupan Lahan untuk Menanggulangi Bahaya Banjir Bandang, Tanah Longsor, dan Kekeringan. Makalah. Workshop Degradasi Lahan, Banjir Bandang, Tanah Longsor dan Kekeringan. Yogyakarta. 24 Agustus 2006. Suryolelono, K.B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc Smith, K. 2001.Environmental Hazard: Assesing Risk And Reducing Disaster. Raoletge. London. Selby, M.J. 1985. Earth’s Changing Surface. Clarendon Press. Oxford. New York. Tjahjono, B dan Barus, B. 2010. Geoindikator Tanah Longsor. Makalah yang disampaikan pada workshop Geoindikator Bencana. 30 November 2010. [UNDRO] United Nation Disaster Risk Organization. 1992. Introduction to hazard. Disaster Management Training Programme. First edition. University Wisconsin. US. [UN/ISDR] United Nation International Strategy for Disaster Reduction. 2009. Terminology on Disaster Risk Reduction. Bangkok. Wiradisastra. U.S, Tjahjono. B, Gandasasmita. K, Barus. B, Munibah. K., 2002. Geomorfologi Dan Analisis Lansekap. Laboratorium Penginderaan Jauh Dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Wisner. Ben, Blaikie. Piers, Cannon. Terry, Davis. Ian,. 2004. At Risk: Natural hazards, People’s vulnerability and Disasters. Second Edition. Rouledge 29 West 35th Street, New York. Verstappen, H.Th. 1983. Applied Geomorphology. Geomorphological Surveys for Environmental Development. Elsevier Varnes, David J. 1984. Landslide hazard Zonation: a Review of Principles and Practice. UNESCO. ISBN 92-3-101895-7.
98
van Westen, C.J., Soeters, R. and Rengers, N. 1993. Geographic Information Systems as applied to landslide hazard zonation. Mapping Awareness & GIS in Europe. pp 9-13. van Western CJ, Van Asch TWJ, and Soeters R. 2003. Landslide Hazard And Risk Zonation-Why is It So Difficult? Bull. Eng. Geol. doi 10.1007/s10064005-0023-0. Zuidam, V., and Z. Concelado. 1979. Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photograph. A Geomorphologycal Approach. ITC Textbook of Photo Interpretation Netherland. 7: 2 – 23.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data curah hujan Kota Ternate Tabel curah hujan Pulau Ternate periode 2000 – 2010 Tahun (mm)
Bulan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Januari
374
294
307
74
138
287
140
235
190
134
225
Febuari
299
454
102
126
160
104
248
179
176
213
89
Maret
201
184
201
211
189
257
222
249
224
367
77
April
195
199
127
196
156
192
150
150
282
370
332
Mei
227
261
276
250
288
252
101
223
290
197
381
Juni
337
224
185
53
75
158
390
213
296
146
126
Juli
169
34
0
191
66
235
12
141
78.7
75
211
Agust
69
12
63
124
0
118
90
10
169
27
228
September
150
81
1
53
57
40
146
131
199
4.3
166
Oktober
371
209
22
174
5
186
4
113
263
25.4
269
November
215
263
135
131
59
372
75
469
208
332
135
Desember
264
566
140
397
145
287
112
182
382
94.8
426
2.871
2.781
1.559
1.980
1.338
2.488
1.690
2.295
2.758
1.986
2.665
Jumlah
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kota Ternate, 2012
Rataan Curah Hujan Bulanan Kota Ternate Periode 2000 - 2010 300 250 200 150 100 50 0 Rataan
JAN 218
FEB 195
MAR 217
APR 214
MEI 250
JUN 200
JUL 110
AGUS SEPT 83 93
OKT 149
NOV 218
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kota Ternate, 2012
Grafik rataan curah hujan bulanan Kota Ternate Periode 2000 - 2010
DES 272
96
Lampiran 2. Data gempa bumi terasa di Kota Ternate Tabel rekapan gempa bumi terasa di pulau Ternate selama tahun 2010 Epicenter
SR
Keterangan
31 Januari 11 Febuari 14 Maret 26 Maret 3 April 5 April
Waktu (WIT) 00:59:49 05:46:45 09:57:47 02:53:46 08:15:32 19:05:48
2.17 N – 126.69 E 1.00 N – 126.37 E 1.58 N – 128.20 E 0.57 N – 126.89 E 0.44 N – 126.32 E 0.27 N – 125.02 E
5.4 5.6 7.0 5.1 5.3 6.3
15 April
10:08:38
0.49 N – 127.85 E
4.2
24 April 16 Mei 26 Mei 09 Juni 03 Agustus 09 September 29 Oktober 28 November
16:41:03 09:33:10 17:22:07 17:57:42 21:08:26 17:06:34 15:19:13 03:11:14
1.85 N – 128.16 E 0.34 N – 124.66 E 2.52 N – 128.65 E 2.00 N – 127.13 E 1.26 N – 126.38 E 2.35 N – 126.15 E 2.82 N – 128.32 E 3.79 N – 128.02 E
6.4 6.0 4.7 5.8 6.4 6.0 5.0 6.0
Pusat gempa di laut Pusat gempa di laut Ternate Pusat gempa di selat Obi Pusat gempa di laut Pusat gempa di laut Pusat gempa di laut Pusat gempa di pulau Ternate Pusat gempa di laut Obi Pusat gempa di laut Pusat di utara pulau Morotai Pusat gempa di laut Pusat di pulau Batang Dua Pusat gempa di laut Maluku Pusat di laut utara Morotai Pusat di laut utara Morotai
Tanggal
Sumber: BPBD Kota Ternate, 2010
97
Lampiran 3. Contoh Lembar Kuesioner untuk Masyarakat QUESTIONER UNTUK MASYARAKAT Hari/tanggal : Posisi (koordinat) : Kecamatan : Kelurahan : A. Identitas Responden 1. Nama responden : 2. Pendidikan : 3. Umur : 4. Pekerjaan : 5. Penghasilan : 6. Jumlah anggota keluarga : 0 – 14 (…..), 15 – 64 (….), 65+ (…..) B. Kondisi hunian 7. Luas rumah (M2) : 8. Jarak bangunan dari tebing : 9. Jarak rumah dari jalan : 10. Jarak rumah dari tempat evakuasi : 11. Kondisi bangunan : C. Pengetahuan mengenai kebencanaan 12. Apakah Bapak/Ibu mengetahui arti BAHAYA? a. Ya, darimana……………….. b. Tidak 13. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tanah longsor? a. Ya, darimana……………….. b. Tidak 14. Apa yang menjadi faktor penyebab bencana terutama tanah longsor? 1. Manusia 2. Alam 3. Lingkungan 4. Interaksi ketiganya 5. Tidak tahu 15. Apakah Bapak/Ibu sudah mempunyai kesiapan dalam menghadapi bencana? a. Ya, sebutkan……………………… b. Tidak 16. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jalur evakuasi jika terjadi bencana? a. Ya, sebutkan…………………….. b. Tidak 17. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tempat pengungsian jika terjadi bencana? a. Ya, sebutkan…………………………… b. Tidak D. Pengalaman mengenai kebencanaan 18. Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami bencana alam terutama tanah longsor? a. Pernah b. Tidak 19. Apakah Bapak/Ibu mengetahui resiko bencana alam terutama tanah longsor? a. Ya b. Tidak 20. Apakah Bapak/Ibu mengetahui lokasi sekitar yang beresiko terhadap bencana terutama tanah longsor? a. Ya, sebutkan……………… b. Tidak
98
E. Pelatihan kebencanaan 21. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui Pencegahan bencana? a. Pernah, darimana……………… b. Tidak 22. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan tentang kebencanaan? a. Pernah b. Tidak 23. Jika pernah, siapakah yang melaksanakan? a. Pemerintah b. LSM c. Lainnya, sebutkan…………………… 24. Apakah Bapak/Ibu mengetahui atau pernah mendengar peta bahaya longsor? a. Ya b. Tidak 25. Jika jawaban di atas, “Ya” apakah peta tersebut mudah dimengerti? a. Ya b. Tidak 26. Jika jawaban di atas, “Tidak” (ditunjukan peta bahaya yang dibuat) apakah peta tersebut mudah dimengerti? a. Ya b. Tidak 27. Apakah peta bahaya tanah longsor sesuai dengan keadaan dilapangan? a. Sesuai b. Tidak Sesuai 28. Apakah Bapak/Ibu mengetahui upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi bencana terutama tanah longsor? a. Ya, sebutkan………. b. Tidak 29. Apakah ada upaya dalam pencegahan bencana terutama tanah longsor? a. Ya, sebutkan upaya apa dan siapa yang melakukan………………. b. Tidak Hal lain yang dapat digali dari responden: ……………………………………………………………………………………………… ................................................................................................................................................ Hal yang perlu disampaikan dalam upaya pencegahan bencana terutama tanah longsor? ................................................................................................................................................ ..................................................................................................................................... Note: 1. Pertanyaan nomor 1 – 6 adalah identitas responden. 2. Pertanyaan nomor 7 – 11 adalah konfirmasi data kondisi hunian pada parameter kerentanan fisik infrastruktur. 3. Pertanyaan nomor 12 – 23 adalah untuk penilaian parameter kapasitas masyarakat, skor 1 untuk jawaban Ya/pernah dan skor 0 untuk Tidak. Pada pertanyaan no.14, jika jawaban Tidak tahu skor 0 dan lainnya 0,25. 4. Pertanyaan nomor 24 – 27 adalah informasi peta longsor yang telah dibuat. Pertanyaan nomor 28 dan 29 untuk menggali saran dari masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. 5. Pertanyaan essay adalah informasi lain yang belum tergali dari questioner
99
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian di pulau Ternate
Titik longsor dan pengamatan tekstur tanah di lapang
Pengambilan koordinat titik longsor dan validasi lapang
Penambang batu vulkanik dan pasir
100
Titik longsor di pinggir jalan yang dapat menutup akses jalan
Wawancara dengan BPBD dan presentase penelitian ke Bappeda Kota Ternate
Upaya pemotongan lereng dengan alat berat
101
Contoh petunjuk jalur evakuasi tsunami dan letusan gunungapi di Kota Ternate
Upaya pengurangan resiko bencana gunungapi yaitu peta rawan gunungapi dan tanggul penahan banjir lahar di Kota Ternate.