STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIAMETER TOOL SHOULDER TERHADAP SIFAT MEKANIK HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE) DENGAN METODE FRICTION STIR WELDING Ega Andana1), Ir. Hari Subiyanto, MSc2) Jurusan D3 Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya E-mail :
[email protected] [email protected] Abstrak Friction Stir Welding(FSW) adalah sebuah metode pengelasan gesek secara solid state dimana tidak ada material yang meleleh selama proses pengelasan.Temperatur pengelasan yang dibutuhkan berkisar 80-90% dari melting point material yang digunakan. Pada penelitian ini ,pengelasan akan dilakukan dengan variasi diameter tool shoulder antara lain 18mm, 20mm, dan 22mm pada material high density polyethylene (HDPE) ketebalan 15mm. Hasil pengelasan menunjukan bahwa seiring dengan bertambahnya diameter tool shoulder maka temperatur pengelasan akan semakin tinggi. Pengelasan dengan diameter tool shoulder 22mm menghasilkan nilai impact strength paling tinggi yaitu 0,0074939 kgm/mm2. Sedangkan pada pengujian kekerasan vickers menunjukan kekerasn paling tinggi terdapat pada pengelasan dengan diameter 20mm Kata kunci : Friction Stir Welding, High Density Polyethylene (HDPE), Diameter Tool Shoulder 1.
PENDAHULUAN Friction Stir Welding (FSW) adalah salah satu metode pengelasan yang memanfaatkan gaya gesek dari tool pin terhadap material dan tanpa adanya penggunaan logam pengisi (filler material). Friction Stir Welding merupakan proses penyambungan material dalam kondisi solid, yang berarti pengelasan yang dilakukan tanpa mencapai titik leleh (melting point) dari material yang digunakan (sekitar 80-90% dari temperature leleh material). Pertama kali ditemukan oleh Wayne Thomas di TWI (The Welding Institute) di Inggris pada tahun 1991, friction stir welding terus mengalami pengembangan terutama pada bentuk dari tool pin agar didapatkan hasil lasan yang baik tanpa mengabaikan parameter – parameter yang lain seperti kecepatan pengelasan, kecepatan putar dari tool pin, gaya tekan, dan sudut inklanasi. Aplikasi friction stir welding sendiri dapat kita jumpai dalam industri otomotif dalam pembuatan bemper, intake manifolds, engine blocks, clylinder heads, dashboard dan lain lain. Selain itu, friction stir welding juga banyak digunakan pada pembuatan kapal, pesawat terbang komersil sampai dengan pesawat luar angkasa. 2. DASAR TEORI 2.1 Polyethylene
Polyethylene (PE) adalah suatu bahan yang termasuk dalam golongan polimer yang dalam bahasa komersial lebih dikenal dengan nama plastik karena bahan tersebut bersifat thermoplast. Polyethylene mempunyai ciri khas yaitu berwarna putih dan mengkilap, serta mempunyai titik didih yang bervariasi antara 110°C - 137°C. Pada suhu kamar polyethylene tidak larut dalam pelarut organik dan anorganik (Bilmeyer, 1994). Polyethylene dibuat dengan cara polimerisasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan member hidrogen gas petroleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam atau asetilen. Berdasarkan sifat termalnya, polimer klasifikasikan menjadi dua jenis yaitu thermoset dan thermoplast. Polimer thermoplast adalah polimer yang mempunyai sifat tidak tahan panas. Jika polimer jenis ini dipanaskan, maka akan menjadi lunak dan akan segera mengeras jika didinginkan. Proses tersebut dapat terjadi berulang kali sehingga dapat dibentuk ulang dalam berbagai bentuk melalui cetakan yang berbeda untuk mendapatkan produk polimer yang baru. Beberapa sifat khusus dari polimer thermoplast antara lain : 1. Berat molekul kecil. 2. Tidak tahan terhadap panas. 3. Meleleh jika dipanaskan dan mengeras jika didinginkan.
4. 5. 6. 7. 8.
Mudah untuk diregangkan. Fleksibel. Titik leleh rendah. Dapat dibentuk ulang. Mudah larut dalam pelarut yang sesuai 9. Memiliki struktur molekul liniear/bercabang. High Density Polyethylene termasuk dalam polimer jenis ini. High Density Polyethylene adalah polyethylene dengan densitas yang melebihi atau sama dengan 0.941 g/cm3. HDPE memiliki tingkat percabangan yang sangat sedikit, yang berarti HDPE memiliki kekuatan tensil dan gaya antar molekul yang tinggi. Karakter dari HDPE juga lebih keras daripada LDPE dan dapat bertahan pada temperatur diatas 120oC. 2.2 Friction Stir Welding Friction Stir Welding adalah suatu metode pengelasan solid state dimana tidak ada logam yang meleleh saat proses pengelasan dilakukan. Metode ini digunakan agar karakteristik logam induk tidak banyak berubah. Friction Stir Welding pertama kali ditemukan oleh The Welding Institute (TWI) di Inggris pada tahun 1991 dan pertama kali diaplikasikan pada aluminium. Secara sederhana, proses friction stir welding digambarkan dengan sebuah silinder dengan bentuk profil tertentu yang berputar, dan kemudian bergerak searah dengan arah pengelasan yang diinginkan. Panas yang dicapai pada proses friction stir welding ini adalah sekitar 80-90% dari titik leleh material yang digunakan sehingga tidak melelehkan material tetapi hanya melunakan material.
Panas pada pengelasan ini berasal dari gesekan pada permukaan tool dan deformasi dari material yang melunak disekitar tool. Tool untuk friction stir welding ini sendiri terdiri dari dua bagian penting yaitu pin dan shoulder. Kontak antara pin dengan benda kerja menciptakan pemanasan secara frictional dan deformational yang melunakan benda kerja, sedangkan kontak antara shoulder dan benda kerja meningkatkan panas pada benda kerja dan memperluas area material yang lunak dan menekan material yang terdeformasi (Rajiv S Mishra, 2007) Kondisi daerah kontak pada bagian permukaan shoulder dapat digambarkan dengan sliding friction, dengan penggunaan koefisien gesek (μ) dan interfacial pressure (P) sebagai parameternya, atau sticking friction yang berdasarkan pada interfacial shear strength pada temperatur tertentu dan strain rate. Model matematika untuk perhitungan panas yang dibangkitkan oleh tool shoulder pada kedua macam gesekan, sliding dan sticking friction, dapat dillihat dari persamaan berikut.
(Sliding)
(Sticking) ω = kecepatan angular µ = koefisien gesek P = Tekanan antar permukaan T= Interfacial Shear Strength pada temperatur tertentu
.
Gambar 2.1 Gambar Skema Friction Stir Welding (Rajiv S Mishra, 2007) 2.3 Probe Probe atau tool adalah sebuah silinder yang berfungsi untuk membangkitkan panas dan memberikan thermomechanical deformation yang dibutuhkan pada pengelasan metode ini.
Diamana ω adalah kecepatan angular dari tool, R shoulder adalah diameter shoulder dan R pin adalah diameter dari pin. Kesulitan utama dalam pengaplikasian dari persamaan ini adalah untuk mengetahui berapa nilai yang tepat untuk koefifien gesek (μ) atau interfacial shear stress (T). Kondisi pada daerah dibawah tool sangatlah ekstrem dan terlalu sulit untuk dilakukan pengukuran. Untuk itu, kedua parameter ini biasanya digunakan sebagai parameter tetap. 2.4 Parameter Pengelasan
1. Siapkan benda kerja sesuai dengan dimensi yang diinginkan. 2. Cekam benda kerja pada jig yang telah tersedia dan pasang juga tool pada spindle. 3. Pin yang telah dipasang kemudian diputar sesuai dengan kecepatan yang ditentukan. Setelah itu, pin didorong masuk kedalam benda kerja dengan kedalaman tertentu. Diberikan waktu tunggu selama 20 detik agar benda kerja menjadi lunak sebelum diberikan travel speed. 4. Setelah 20 detik, tool digerakan sepanjang daerah pengelasan. Perlu diperhatikan bahwa kecepatan pengelasan haruslah konstan agar didapat hasil pengelasan yang rapi. Selama proses pengelasan, perlu dicatat waktu pengelasan yang dibutuhkan dan temperatur pada awal, pertengahan dan akhir dari pengelasan. 5. Setelah selesai ,dalam keadaan masih berputar, tool diangkat dari benda kerja. Proses pengangkatan ini akan menimbulkan lubang pada akhir pengelasan.
Parameter yang berpengaruh pada pengelasan metode ini antara lain : 1. Kecepatan Putar (RPM) Adalah jumlah putaran dari tool / menit. Berpengaruh pada besarnya heat input. 2. Travel Speed (mm/s) Adalah laju dari kecepatan pengelasan dan akan berpengaruh terhadap heat input dan laju pendinginan. 3. Desain Tool/Probe Desain yang tepat akan menigkatkan kualitas hasil pengelasan 4. Plunge Depth Adalah kedalaman dari permukaan shoulder yang masuk kedalam material yang di las. 2.5 Daerah Terpengaruh Pengelasan Berikut adalah daerah terpengaruh pengelasan friction stir welding. 1. Parent Metal Daerah yang tidak mengalami perubahan dari segi mikro maupun segi mekanis 2. Heat – Affected Zone Daerah yang terpengaruh panas pengelasan. Tetapi tidak terjadi deformasi plastis. 3. Thermomechaniically Affected Zone Daerah yang terpengaruh panas dan adukan dari tool. 4. Weld Nugget Adalah daerah dimana terjadi percampuran antara kedua material menjadi satu.
Gambar 3.1 Proses Pengelasan Gambar 2.2 Pembagian Daerah Terpengaruh Pengelasan (Sudheer, 2007)
3.
METODOLOGI PENELITIAN Pengelasan akan dilakukan pada lembar polyethylene dengan dimensi 130x110x15mm. Parameter tetap yang digunakan antara lain : 1. Kecepatan putar tool 580 rpm 2. Arah putaran kanan 3. Waktu tunggu 20 detik 4. Kecepatan pengelasan 0,03mm/s
3.1 Proses Pengelasan
3.2 Proses Pengujian Adapun proses pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pengamatan Morfologi Las 2. Pengujian Impact 3. Pengujian Kekerasan Vickers 4.
ANALISA DAN PEMBAHASAN Pada pengelasan dengan diameter shoulder yang berbeda dapat diketahui bahwa dengan semakin besarnya diameter shoulder
maka temperatur pengelasan juga akan semakin meningkat. Besarnya peningkatan antara 40-6o C. Waktu yang ditempuh selama pengelasan juga semakin singkat dengan bertambahnya diameter shoulder. Hal ini disebabkan karena permukaan dari shoulder yang bersentuhan langsung dengan permukaan dari benda kerja semakin besar. Dengan semakin besarnya luasan permukaan yang bersentuhan maka luasan bidang gesek juga akan membesar yang akan berakibat pada meningkatnya temperatur pengelasan. Temperatur yang dibutuhkan untuk pengelasan friction stir welding sendiri berkisar antara 80-90% dari melting point material yang digunakan. Dengan melting point antara 128o133o C dari material polyethylene maka temperatur pengelasan yang dibutuhkan adalah 102o-119oC. Waktu pengelasan yang semakin singkat juga merupakan imbas dari diameter shoulder yang semakin besar. Temperatur pengelasan yang meningkat menyebabkan material las menjadi semakin lunak. Dengan demikian, maka laju dari tool pin menjadi lebih mudah dan waktu pengelasan akan menjadi lebih singkat.
permukaan yang datar dibandingkan dengan material tidak terlalu lumer sesuai dengan sifat alami dari zat cair yaitu memiliki permukaan yang datar. Distorsi pada pengelasan metode ini akan semakin kecil seiring dengan bertambahnyan diameter shoulder. Hal ini disebabkan karena bertambahnya luas tapak tekan dari shoulder terhadap benda kerja. Tapak tekan yang luas ini berfungsi untuk mencegah benda kerja terdistorsi selama proses pengelasan berlangsung. Distorsi sendiri akan terjadi pada proses pendinginan, dimana pada saat terjadi penyusutan ada sebagian dari volume benda kerja yang keluar yang membentuk flash dan root sehingga volume benda kerja yang menyusut tidaklah lagi sama dan akhirnya menyebabkan tejadinya distorsi.
Gambar 4.2 Grafik Hubungan Perubahan Diameter Shoulder Terhadap Tinggi Root Hasil Pengelasan
Gambar 4.1 Grafik Hubungan Perubahan Diameter Shoulder Terhadap Temperatur Hasil Pengelasan 4.1 Pengamatan Morfologi Las Melalui pengamatan morfologi las ini, dapat disimpulan bahwa semakin besar diameter shoulder maka tinggi root akan semakin mengecil. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya diameter shoulder maka heat input yang masuk akan semakin besar dan menyebabkan material akan menjadi lebih lumer. Material yang lebih lumer ini akan menjadi lebih mudah untuk membentuk
Gambar 4.3 Grafik Hubungan Perubahan Diameter Shoulder Terhadap Sudut Distorsi Hasil Pengelasan 4.2 Pengujian Impact Hasil dari pengujian impact menunjukan bahwa dengan perubahan diameter tool shoulder akan menunjukan nilai impact strength yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena
heat input yang semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya diameter tool shoulder. Dengan bertambahnya heat input, maka material akan menjadi lebih lumer dan dapat teraduk secara sempurna. Adukan yang sempurna ini membantu menghilangkan cacat-cacat pengelasan
Gambar 4.4 Grafik Hubungan Perubahan Diameter Shoulder Terhadap Nilai Impact Strength Hasil Pengelasan Pada penelitian ini, patahan terjadi pada batas antara daerah weld nugget dan TMAZ. Hal ini disebabkan karena adanya cacat kissing bond. Kissing bond adalah cacat yang berupa penyatuan dua buah material tanpa adanya ikatan metalurginya atau dalam kata lain “hanya menempel”. Cacat ini dapat disebabkan karena kurangnya heat input dan kurangnya kecepatan putar dari tool pin sehingga daerah TMAZ tidak terdeformasi secara sempurna. Berdasarkan lokasi dan luasnya, kissing bond dapat memberikan efek yang buruk terhadap fatigue life, impact properties dan kemampuan material dalam menerima beban (An Outsider Look Of Friction Stir Welding / Terry Khaled). 4.3 Pengujian Kekerasan Vickers Pada pengujian kekerasan vickers ini, dilakukan enam kali indentasi pada masing masing daerah pengelasan. Hasil pengujian kekerasan metode ini berupa HV (hardness vickers). Hasil pengujian menunjikan bahwa perubahan diameter pada tool shoulder dapat menghasilkan kekerasan yang berbeda- beda pada setiap daerah pengelasan. Pada pengujian ini, daerah yang memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi adalah daerah base metal. Hal ini
dikarenakan pada daerah ini tidak terkena efek panas dari pengelasan sehingga tidak ada perubahan ikatan antar molekul. Tren nilai penurunan kekerasan terjadi pada daerah HAZ dan TMAZ. Kemudian pada daerah weld nugget nilai kekerasan meningkat lagi. Penurunan nilai kekerasan pada daerah HAZ disebabkan karena pada daerah ini terkena imbas dari panas pengelasan tetapi tanpa ada terjadinya deformasi plastis sehingga terjadi perubahan mikrostruktur yang menyebabkan nilai kekerasanya lebih rendah dari base metal. Pada daerah TMAZ, material mengalami deformasi plastis. Efek tempa serta putaran dari tool shoulder terhadap material yang melunak akan berpengaruh terhadap pembentukan flash. Flash ini menyebabkan kerapatan struktur material akan merenggang yang berpengaruh terhadap nilai kekerasanya. Sedangkan pada daerah weld nugget volume material tidak banyak berubah bila dibandingkan dengan volume material dari daerah TMAZ sehingga tingkat kerapatanya struktur lebih tinggi dan nilai kekerasanya juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah TMAZ.
Gambar 4.5 Grafik Hubungan Nilai Kekerasan Vickers Hasil Pengelasan Terhadap Perubahan Diameter Shoulder 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada penelitian pengelasan material high density polyethylene (HDPE) metode friction stir welding ini, dengan parameter bebas diameter tool shoulder yaitu 18mm, 20mm, dan 22mm dan parameter tetap yang digunakan yaitu tool pin bentuk tirus ulir kiri diameter 8mm dengan kemiringan 6.7o, panjang tool pin 15mm,
kecepatan putar tool 580 rpm arah putaran kanan, kecepatan pengelasan 0,03mm/s dan waktu tunggu 20 detik, didapat kesimpulan sebagai berikut : 1. Bertambahnya diameter tool shoulder yaitu 18mm, 20mm dan 22mm akan membuat temperatur pengelasan mengalami peningkatan yaitu 1030 C, 1060 C dan 1080 C. 2. Bertambahnya diameter tool shoulder, yaitu 18mm, 20mm, dan 22mm akan berakibat pada penurunan ketinggian root yaitu 3mm, 2mm, dan 1mm. Begitu pula dengan sudut distorsi benda kerja pada akhir pengelasan yang semakin mengecil yaitu 40, 30, dan terakhir 30. 3. Bertambahnya diameter tool shoulder yaitu 18mm, 20mm, dan 22mm akan membuat nilai impact strength mengalami peningkatan yaitu 0.0042139 kgm/mm2, 0.0055714 kgm/mm2, dan 0.0074939 kgm/mm2.
4. Melalui uji kekerasan vickers, jika diambil rata-rata nilai kekerasan (HV) dari semua daerah pengelasanya maka pengelasan dengan diameter shoulder 20mm memilki kekerasan paling tinggi yaitu 7.383 HV dan terendah adalah 5.783 HV pada pengelasan dengan diameter shoulder 18 mm. Sedangkan pengelasan dengan diameter shoulder 22mm nilai kekerasanya 5.8 HV.
sehingga tidak terjadi pergeseran pada benda kerja selama proses pengelasan berlangsung. DAFTAR PUSTAKA 1. Agus Setiawan, Yudy Surya Irawan, Anindito Purnowidodo. (2011). Pengaruh Temperatur Pelat Landasan Selama Proses Friction Stir Welding Terhadap Kekuatan Tarik Sambungan Las Lembaran HDPE: Tugas Akhir Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Malang. 2. Almanar, Indra Putra, & Hussain, Zuhailawati. (2011), “friction stir welding : flow behavior and material interaction of two sin\miliar and two disssimiliar metals and their weldment properties”, Universiti Sains Malaysia, Engineering Campus, Nibong Tebal, Penang, Malaysia, Nova Science Publishers, Inc,. 3.
4.
5.
6.
5.2
Saran Pada pengelasan dengan metode friction stir welding ini, untuk penelitian berikutnya, agar didapat hasil pengelasan yang maksimal perlu diperhatikan hal-hal berikut : 1. Pemililhan bahan/material yang akan dilakukan pengelasan merupakan faktor utama yang akan berpengaruh terhadap parameter pengelasan lainya seperti material tool yang digunakan, travel speed, dan kecepatan putar dari tool. 2. Perlu untuk mencoba penggunaan tool pin dengan bentuk profil yang berbeda agar didapat hasil pengelasan yang lebih variatif. 3. Penggunaan jig pada metode pengelasan ini perlu diperhatikan
7.
ESAB. (2002). Technical Handbook Friction Stir Welding. Retrieved January 7,2012, from esabsp.esab.net : http://esab.esab.net Rajiv S. Mishra, Murray W. Mahoney. (2007) Friction Stir Welding and Processing, ASM International. Ohio. United States of America. R. Rai, A. De, H. K. D. H. Bhadeshia and T. DebRoy. (2011). Review : Friction Stir Welding Tools.Institute of Materials, Minerals, and Mining R.S. Mishra, Z.Y. Ma. (2005). Friction Stir Welding and Processing. Terry Khaled. (2005). An Outsider Looks At Friction Stir Welding. Metallurgy Federal Aviation Administration 3960 Paramount Boulevard. Lakewood, CA 90712.
8. William J. Arbergast. (2003). Friction Stir Joining : Characteristic Defects, Advanced Materials Processing 9.
Y. N. Zhang, X. Cao, S. Larose and P. Wanjara. (2012). Review of Tools for Friction Stir Welding and Processing.