JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
1
ANALISIS PENGARUH SUDUT KERJA TOOL TERHADAP SIFAT MEKANIK HASIL PENGELASAN FRICTION STIR WELDING ALUMINIUM 5083 KAPAL KATAMARAN Rahmad Dwi Afandi, Achmad Zubaydi Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak-Teknologi penyambungan pada konstruksi kapal katamaran berbahan alumunium telah berkembang pesat. Pada umumnya penyambungan alumunium 5083 menggunakan metode fusi seperti GTAW atau GMAW, namun hasilnya kurang maksimal seperti tingginya distorsi dan lemahnya sifat mekanik. Kekurangan tersebut dapat diminimalkan dengan friction stir welding (FSW). Akan tetapi hasil pengelasannya terdapat ketidaksimetrian sifat mekanik antara sisi retreating dan advancing. Pada pemelitian tugas akhir ini dilakukan usaha untuk menyeimbangkan ketidaksimetrian ini dengan melakukan pengelasan menggunakan variasi work angle tool. Variasi work angle tool 1° (kearah advancing) 0°, 1° dan 2° (kearah retreating). Proses pengelasan friction stir welding dilakukan menggunakan mesin milling pada pelat setebal 6 mm. Analisa hasil pengelasan meliputi besar defect, ukuran butir, kekerasan dan kekuatan tarik. Hasil penelitian tugas akhir menunjukkan bahwa pengelasan dengan variasi work angle tool 1° memberikan sifat mekanik yang paling baik, dengan hasil kekuatan tarik sebesar 194.92 MPa. Hasil pengujian kekerasan menujukkan nilai kesetaraan antara sisi advancing dan retreating sebesar 0.8% dengan sisi retreating lebih tinggi. Pengamatan struktur butir menunjukkan adanya kesetaraan antara sisi advancing dan retreating dengan struktur butir lebih kecil dan merata pada kedua sisinya. Kata Kunci : Alumunium 5083, FSW, Katamaran, Sifat Mekanis, Work angle tool.
1. PENDAHULUAN
B
eberapa tahun terakhir ini pembangunan kapal baru sebagai moda transportasi laut mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya pembangunan kapal baru di dalam maupun luar negeri. Seiring dengan meningkatnya permintaan pembangunan kapal baru, maka perkembangan pembangunan kapal baru dengan berbagai tipe banyak bermunculan. Salah satunya yaitu bentuk lambung ganda (kapal katamaran). Pembangunan kapal katamaran dengan material alumunium saat ini juga berkembang pesat, Selain karena material ini ringan, alumunium juga mempunyai sifat resistensi terhadap korosi hal ini disebabkan karena terjadinya fenomena pasivasi. Fenomena pasivasi adalah terbentuknya lapisan aluminium oksida ketika aluminium terpapar dengan udara bebas, lapisan oksida ini yang mencegah terjadinya oksidasi lebih lanjut [1]. Pada umumnya pengelasan aluminium menggunakan proses fussion welding seperti GMAW/MIG maupun GTAW/TIG, namun pada kedua metode tersebut terdapat kemungkinan terbentuknya cacat berupa porositas, retak (crack) dan rawan terjadi deformasi selama proses pendinginan dan pembentukan logam las [4]. Sehingga untuk mengatasi kekurangan proses GTAW dan GMAW pada pengelasan aluminium, digunakan alternatif lain yaitu
dengan metode friction stir welding. Sifat mekanik hasil lasan GTAW dan MIG ternyata lebih lemah dibangdingkan dengan hasil lasan menggunakan Friction stir welding (FSW) [9]. Akan tetapi, dari semua penelitian yang telah dilakukan menghasilkan ketidaksimetrian antara sisi advancing dan retreating [6] Usaha untuk menyeimbangkan meyeimbangkan ini dengan melakukan pengelasan menggunakan variasi work angle tool-1° (kearah advancing) 0°, 1° dan 2° (kearah retreating). Diharapkan dengan penambahan parameter ini maka kenaikan suhu akibat penambahan kecepatan relatif pada sisi advancing akan berkurang akibat berkurangnya penekanan pada sisi advancing, tetapi suhu pengelasan pada sisi retreating akan meningkat akibat adanya penekanan yang lebih besar pada sisi retreating. Diharapkan juga terjadi perbaikan terhadap defect yang dihasilkan dari beberapa perlakuan. 2. ALUMUNIUM 5083 Alumunium merupakan unsur metal yang yang mempunyai sifat mudah dibentuk, lentur, dan tahan korosi. Alumunium banyak digunakan dalam bidang industri, termasuk dalam industri perkapalan. Akan tetapi untuk Alumunium murni memiliki kekuatan yang rendah. Hal ini bisa ditingkatkan dengan pemaduan Alumunium dengan komposisi lainnya untuk peningkatan sifat dari alumunium murni tersebut. Adanya pelapisan oksida pada alumunium ini mengakibatkan Alumunium memiliki keandalan yang baik terhadap korosi sekalipun tanpa penambahan pelapisan perlindungan lagi [5]. A. Alumunium 5083 Alumunium seri 5083 banyak digunakan untuk marine applications. Paduan tempa ini menawarkan kekuatan tertinggi diantara paduan nonheattreatable lain karena ratarata mengandung 4.5%Mg, 0.7%Mn, dan 0.13%Cr [10]. Aluminium paduan seri 5083 dikenal memiliki performa yang baik di kondisi lingkungan yang ekstrim karena sifatnya yang tahan terhadap pengaruh air laut dan zat-zat kimiawi dari industri [12] oleh karena itu, aluminium seri 5083 banyak digunakan untuk marine applications. Ketahanan korosi paduan aluminium bergantung pada lapisan oksida pelindung permukaan, yang ketika rusak mudah diperbaiki oleh reaksi yang cepat antara aluminium dan Oksigen, hal lain yang perlu diketahui adalah ketahanan korosi pada aluminium 5083 sangat baik pada kondisi asam sekitar PH 4 - 9 [11]. B. Pengelasan Alumunium Pada umumnya penyambungan Aluminium ini dilakukan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271 dengan proses GTAW dan GMAW. Pengelasan Aluminium yang tidak sesuai, memungkinkan terbentuknya porositas selama berlangsungnya proses pembekuan logam lasan. Kedua proses ini juga rawan akan terjadinya deformasi. Kelarutan hidrogen pada Aluminium dan paduannya timbul dan membentuk porositas. Jumlah kelarutan Hidrogen berbeda tergantung suhu pengelasan Aluminium dan paduannya tersebut [5]. GMAW dan GTAW banyak digunakan untuk mengelas pelat Aluminium yang tipis atau bila diperlukan las dengan masukan panas yang rendah. Akan tetapi kedua proses tersebut menghasilkan distorsi dan suhu yang lebih tinggi [10]. Karena itulah, untuk memperbaiki kekurangan dari kedua proses tersebut maka sejak tahun 1991 ditemukanlah proses pengelasan friction stir welding. 3. FRICTION STIR WELDING Pengelasan friction stir welding (FSW) dipatenkan pertama kali oleh The Welding Institut (TWI) sebagai teknologi penyambungan pada kondisi solid. Pada pengelasan ini sambungan dihasilkan dari pelunakan dan deformasi plastis yang dikombinasikan dengan penempaan akibat rotasi tool dan shoulder pada base metal [2]. Pengelasan FSW menggunakan tool yang terdiri dari pin dan shoulder yang dibenamkan pada salah satu titik pada garis las yang akan dilas. Pada saat proses FSW, benda kerja harus diklem di landasan dimana benda kerja tidak dapat bergerak kearah vertikal, longitudinal maupun lateral. Panas lokal disekitar pin timbul akibat gesekan perputaran tool terhadap benda kerja sehingga material akan berada pada kondisi lunak, kemudian tool digerakkan sepanjang garis sambungan. Pergerakan memutar dan translasi pin dan shoulder akan memindahkan material dari bagian depan pin ke bagian belakang sehingga terjadi pengelasan pada kondisi solid. Gambar prinsip kerja FSW seperti tampak pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Skema pengelasan FSW [6] A. Parameter Pengelasan Friction Stir Welding Pada Friction stir welding terdapat lima parameter yang sangat mempengaruhi hasil pengelasan antara lain: 1. Kecepatan puran tool Kecepatan putaran tool merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas sambungan yang dihasilkan, karena parameter kecepatan putaran berpengaruh terhadap input panas yang dihasilkan [6]. Input panas tersebut yang mempengaruhi strukur mikro di daerah sepanjang joint line yang berimplikasi terhadap hardness pada zona pengelasan, serta berpengaruh terhadap aliran plastis dan kesempurnaan adukan. Sehingga perlu
2
diperhatikan parameter kecepatan rotasi tool mendapatkan hasil sambungan las yang diharapkan.
untuk
2. Kecepatan pengelasan Kecepatan lintas (travel speed) adalah kecepatan translasi dari tool sepanjang joint line. Seperti halnya kecepatan rotasi dari tool, kecepatan ini juga mempengaruhi input panas yang dihasilkan. Hubungan secara umum antara kecepatan putaran, kecepatan translasi dan temperatur proses pengelasan adalah semakin rendah kecepatan translasi dan semakin tinggi kecepatan rotasi maka semakin tinggi pula input panas yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya apabila semakin tinggi kecepatan translasi dan semakin rendah kecepatan rotasi maka semakin rendah input panas yang dihasilkan [6]. 3. Efek gaya aksial Gaya aksial merupakan parameter penting yang akan mempengaruhi pemasanan lokal serta perilaku dari aliran material dibawah putaran shoulder. Jika gaya aksial lebih rendah, maka gesekan antara shoulder dengan permukaan benda kerja akan lebih rendah. Dengan demikian heat input yang dihasilkan juga akan rendah, begitu pula sebaliknya. Gaya aksial yang lebih rendah menyebabkan rendahnya heat input yang dihasilkan, hal ini mengakibatkan aliran material menjadi kurang baik dan proses plastisisasi yang tidak sempurna di daerah lasan. Sedangkan gaya aksial yang lebih tinggi menyebabkan tingginya heat input yang dihasilkan, hal ini akan menyebabkan aliran material di bawah benda kerja menjadi turbulen dan membesarnya ukuran butir pada daerah lasan. Kedua kondisi ini mengakibatkan rendahnya nilai kuat tarik dan kekerasan di daerah lasan pada proses FSW [8]. 4. Efek diameter tool Pada proses FSW, diameter pin berpengaruh pada jumlah volume material yang dapat diaduk. Jika diameter pin lebih besar maka volume material yang dapat diaduk menjadi lebih besar, begitu juga sebaliknya [8]. Jika diameter pin yang lebih kecil yang mengaduk material dalam jumlah kecil dikombinasikan dengan kecepatan pengelasan yang rendah, maka akan mengakibatkan heat input yang tinggi yang kemudian menyebabkan aliran material menjadi turbulen dan pembesaran ukuran butir di daerah lasan. Sedangkan pada diameter yang lebih besar, heat input yang sama tidak cukup untuk mengalirkan material pada proses plastisisasi karena jumlah volume yang diaduk menjadi besar. Kedua hal ini menyebabkan nilai kuat tarik menjadi lebih rendah. 5. Efek bentuk geometri tool Fungsi utama dari non-consumable tool yang berputar selama proses pengelasan adalah untuk mengaduk logam plastis dan memindahkannya ke belakang alur pengelasan agar menghasilkan sambungan yang baik. Bentuk pin memainkan peran penting dalam pengadukan aliran material tersebut dan selanjutnya mengatur kecepatan pada pengelasan. 4. METODOLOGI A. Parameter Pengelasan Parameter pengelasan ditentukan dalam Tabel 1 berikut ini.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
3
Tabel 1. Penentuan parameter pengelasan
Gambar 2. Work angle tool -1° b). Work Angle tool 0° Rotational speed
:1125 RPM
Travel speed
:30 mm/s
Shoulder diameter
:18 mm
Tilt angle
:2.5°
Tool depth plunge
:5.95 mm
Profil pin
:Square Prism
Diameter
: Dasar pin 6 mm, ujung pin 4 mm
Welder
:Victor ATMI
Work angle tool
:0 °
Pengaturan posisi work angle tool 0° seperti pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Work angle tool 0°
c). Work Angle tool 1° :1125 RPM Rotational speed B. Penentuan Work Angle Tool Work angle tool adalah sudut antara tool dengan salah satu sisi pengelasan, baik sisi advancing maupun retreating. Pemilihan work angle tool berdasarkan toleransi cacat undercut yaitu sebesar 0.5 mm [3]. Pada sudut -1° bagian shoulder terluar mengalami tambahan pembenaman sebesar 0.15 mm sisi advancing, sedangkan 1° dan 2° sebesar 1.5 dan 3.1 mm pada sisi retreating. Oleh karena itu shoulder yang mempunyai panjang 18 mm tidak di izinkan melebihi sudut 2°. Sehingga diambil sudut-sudut berikut ini. a). Work Angle tool-1° Rotational speed
:1125 RPM
Travel speed
:30 mm/s
Shoulder diameter
:18 mm
Tilt angle
:2.5°
Tool depth plunge
:5.95 mm
Profil pin
:Square prism
Diameter
:Dasar pin 6 mm, ujung 4 mm
Welder
:Victor ATMI
Work angle tool
:-1 °
Pengaturan posisi work angle tool -1° seperti pada Gambar 2 berikut ini.
Travel speed
:30 mm/s
Shoulder diameter
:18 mm
Tilt angle
:2.5°
Tool depth plunge
:5.95 mm
Profil pin
:Square Prism
Diameter
: Dasar pin 6 mm, ujung pin 4 mm
Welder
:Victor ATMI
Work angle tool
:1 °
Pengaturan posisi work angle tool 1° seperti pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Work angle tool 1° d). Work Angle tool 2° Rotational speed
:1125 RPM
Travel speed
:30 mm/s
Shoulder diameter
:18 mm
Tilt angle
:2.5°
Tool depth plunge
:5.95 mm
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271 Profil pin
:Square Prism
Diameter
: Dasar pin 6 mm, ujung pin 4 mm
Welder
:Victor ATMI
Work angle tool
:2°
Pengaturan posisi work angle tool 2° seperti pada Gambar 5 berikut ini.
4
akan dilakukan meliputi pengujian radiografi, pengujian mikro etsa, makro etsa, pengujian hardness, dan kekuatan tarik (tensile strength test). 6. ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Suhu permukaan pengelasan Selama proses pengelasan dilakukan pengukuran suhu permukaan dengan rata-rata suhu sebagai berikut. Tabel 2. Rata-rata suhu permukaan pengelasan
Gambar 5. Work angle tool 2° Selama proses pengelasan dilakukan pengambilan data suhu permukaan pengelasan. Pengambilan data suhu dilakukan pada kedua sisi advancing dan retreating. Pengambilan suhu dilakukan untuk mengetahui pengaruh work angle tool terhadap kesetaraan suhu advancing dan retreating. 5. PROSEDUR PENGUJIAN Setelah selesai dilakukan pengelasan, tahap selanjutnya dilakukan pemeriksaan visual dan pengujian destructive (DT) maupun Non Destructive (NDT). Pengujian dilakukan untuk melihat hasil dari pengaruh work angle tool. A. Inspeksi visual Tahap pertama sebelum dilakukan berbagai pengujian destructive (DT) maupun non destructive (NDT) yaitu inspeksi visual hasil pengelasan. Inspeksi ini melihat permukaan hasil pengelasan yang berfungsi untuk melihat karakteristik permukaan (weld flash) dan cacat permukaan seperti surface irregularities, lack of penetration. B. Pengambilan Spesimen Uji Pengujian ini merujuk pada peraturan biro klasifikasi Indonesia untuk melihat hasil akhir proses pengelasan friction stir welding. Pada biro klasifikasi Indonesia [3] diatur tempat pemotongan spesimen seperti Gambar 6 Test Coupon berikut ini.
Tabel 2. bahwa variasi work angle tool berpengaruh pada suhu permukaan pengelasan. Pada variasi work angle 1° suhu paling tinggi terletak pada sisi advancing dengan perbedaan dengan sisi retreating sebesar 3.47%. Hal ini dikarenakan pada variasi work angle -1° shoulder lebih menekan sisi advancing, sehingga gesekan menjadi besar berakibat pada kenaikan suhu. Pada variasi work angle 0° suhu paling tinggi terletak pada sisi advancing dengan perbedaan dengan sisi retreating sebesar 1.44%, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suhu pengelasan sisi advancing lebih tinggi dibanding suhu pengelasan sisi retreating [6] Hasil tersebut menunjukan bahwa work angle tool mempengaruhi suhu selama pengelasan berlangsung. Pada variasi work angle tool 1° dihasilkan kesetaraan suhu antara sisi andvancing dan retreating paling baik. B. Inspeksi Visual Permukaan hasil pengelasan sepanjang alur las tampak Gambar 7. berikut ini.
A B C D Gambar 7. A. Work angle -1°, B. Work angle 0°, C. Work angle 1°, D. Work angle 2°
Hasil inspeksi visual didapatkan Tabel 3 Inspeksi visual hasil pengelasan berikut ini. Tabel 3. Inspeksi visual hasil pengelasan
Gambar 6.Test coupon [3] C. Pengujian Pengujian dilakukan untuk menganalisa hasil dari masing-masing variasi work angle tool. Pengujian yang
Dari Tabel 3 didapat beberapa karakteristik dari masingmasing variasi work angle tool. Pada variasi work angle tool -1° menunjukkan weld flash pada sisi advancing sepanjang
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271 spesimen bentuknya kecil, sedangkan untuk sisi retreating weld flash berbentuk besar dan sepanjang sisi spesimen. Hasil pemeriksaan visual didapatkan bahwa pada work angle tool 1° didapatkan hasil paling baik. Hal ini dikarenakan shoulder lebih menekan pada sisi retreating, sehingga suhu pada sisi advancing dan retreating tidak terjadi ketimpangan suhui. Weld flash bisa timbul karena RPM terlalu tinggi.
5
Dari pengujian tersebut dapat ditampilkan dala Tabel 5 dan Gambar 9 berikut ini. Tabel 5. Rekapitulasi pengujian makro
C. Pengujian Radiografi Hasil pengujian radiografi ditunjukkan pada Gambar 8 berikut ini. A
B
C
D
Gambar 8. A. Radiografi Work angle -1°, B. Work angle 0°, C. Work angle 1°, D. Work angle 2°
Hasil pengujian radiografi dapat ditampilkan dalam tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Hasil pengujian radiografi
Hasil pengujian radiografi didapatkan bahwa dari masing-masing variasi work angle terdapat cacat berupa worm hole seperti pada Tabel 4. Cacat ini disebabkan karena adukan tidak sempurna hal ini bisa dikarenakan bentuk pin. Bentuk pin pada tugas akhir ini prisma segi empat (square prism), mungkin dengan penambahan ulir pada bentuk pin maka cacat ini bisa dihindarkan.
Gambar 9. pengaruh work angle tool terhadap luasan cacat Gambar 9 tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut work angle tool berpengaruh terhadap luasan cacat yang dihasilkan. Pada work angle -1° luasan cacat paling besar dan work angle tool 1° didapatkan luasan cacat paling kecil, E. Pengujian Metalografi Mikro Pengujian foto mikro ini dilakukan pada keempat spesimen hasil pengelasan, hasil dari pengujian foto mikro dengan pembesaran 400X akan diberikan sebagai berikut.
Gambar 10. HAZ sisi Advancing (A), HAZ sisi Retreating (B) work angle -1°
D. Pengujian metalografi makro Pengujian metalografi mikro ditunjukkan pada Gambar 9 berikut ini. A
B
C
D
Gambar 9. Foto mikro A. Work angle -1°, B. Work angle 0°, C. Work angle 1°, D. Work angle 2°
Gambar 11. HAZ sisi Advancing (A), HAZ sisi Retreating (B) work angle 0°
Gambar 12. HAZ sisi Advancing (A),HAZ sisi Retreating (B) work angle 1°
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271
Gambar 13. HAZ sisi Advancing (A), HAZ sisi Retreating (B) work angle 2° Tabel 6. Hasil analisa mikro
Tabel 6. menyatakan bahwa terjadi asimetri struktur butiran pada work angle normal atau work angle 0°. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa ukuran butir sisi advancing lebih besar dari sisi retreating. Hal ini dikarenakan pada sisi advancing suhu lebih besar, sehingga pengaruhnya butiran juga ikut mengembang[7]. Variasi work angle 1° menghasilkan struktur butir yang lebih merata, karena suhu pada sisi retreating dan advancing tidak terjadi ketimpangan seperti padaTabel 2 Rata-rata suhu pengelasan. Suhu pengelasan sangat erat kaitannya dengan struktur butir, ketika suhu pengelasan tinggi maka akan menghasilkan struktur butir yang lebih besar. F. Pengujian kekerasan Hasil pengujian kekerasan mikro vickres didapatkan Tabel 7 sebagai berikut.
6
Gambar 14 Grafik pengaruh work angle terhadap kekuatan tarik Gambar 14 menunjukkan bahwa work angle pada friction stir welding berpengaruh pada kekuatan tarik spesimen. Dimana pada work angle -1° terdapat pengurangan kekuatan tarik sebesar -3.64% dari kondisi work angle normal , tetapi ketika variasi work angle 1° mengalami perbaikan sebesar 3.37. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa work angle 1° menghasilkan kekuatan tarik paling tinggi. 7. KESIMPULAN Hasil pengujian tugas akhir ini menyatakan bahwa work angle tool 1° menghasilkan mechanical properties yang paling baik. Work angle tool 1° bisa diaplikasikan untuk pengelasan pada kapal katamaran berbahan alumunium. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih Penulis tujukan yang pertama kepada Emak dan Bapak yang telah memberikan segala doa dan biaya demi terselesaikannya penelitian ini. Kedua kepada Bapak Prof. Ir. Achmad Zubaydi, M.Eng.,Ph.D dan Nurul Muhayat, S.T, M.T selaku pembimbing kami serta segenap teman-teman dan pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Tabel 7 Hasil pengujian mikro vickres DAFTAR PUSTAKA [1]
Tabel 7. Rekapituasi hasil pengujian kekerasan dapat disimpulkan bahwa work angle tool berpengaruh terhadap kekerasan struktur butir, dimana dengan penambahan work angle tool 1° didapatkan rata-rata kekerasan paling tinggi dan ketimpangan antara sisi advancing dan retreating menjadi lebih kecil. G. Pengujian Tarik Hasil pengujian tarik didapatkan Tabel 8 dan Gambar 14 berikut ini. Tabel 8. Hasil pengujian kekuatan tarik
Amantyo, H., dan Daryanto, (2006), Ilmu Bahan, Jakarta : Bumi Aksara. [2] Avula, Dhananjayulu and Raj Singh, R.K.,(2011), Effect Of Friction Stir Welding On Microstructural And Mechanical Properties Of Copper Alloy, World Academy of Science, Engineering and Technology. [3] BKI Volume VI, (2009) Rules For Welding, Biro Klasifikasi Indonesia, Jakarta [4] Leonard, A.J., and S.A. Lockyer,(2003), Flaws in Friction Stir Weld,. 4th International Symposium on Friction Stir Welding, Park City, Utah, USA. [5] Mathers, G. (2002). The Welding of Aluminium and its alloys. Cambridge: CRC Press. [6] Mishra, R. S., & Ma, Z. Y. (2005). Friction Stir Welding and Processing. Material Science and Engineering R50, 2-28. [7] Mahoney, M., Mishra, R.S., Nelson, T., Flintoff, J., Islamgaliev, R., Hovansky, Y., in: K.V. Jata, M.W. Mahoney, R.S. Mishra, S.L. Semiatin, D.P. Filed (Eds.), (2011), Friction Stir Welding and Processing, TMS, Warrendale, PA, USA. [8] Rajakumar, S., & Balasubramanian, V. (2011). Correlation between weld nugget grain size, weld nugget hardness and tensile. Materials and Design 34, 250-251. [9] Yazdipour, A. R. & Aval, H. J. (2011). An Investigation Of The Microstructures and Properties Of Metal Inert Gas and Friction Stir Welds In Aluminum Alloy 5083. Indian Academy of Sciences, 513. [10] Alumina. (2013). Aluminium. Retrieved may 2, 2013, from alcoa: http://www.alcoa.com [11] www.austalwright.com.au. [12] Material. (2013). AA 5083. Retrieved june 1,2013, from azom: http://www.azom.com