Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
STUDI EFEK STATIK PADA DATA MAGNETOTELLURIK (MT) MENGGUNAKAN PEMODELAN INVERSI 2-D Hendra Grandis Kelompok Keilmuan Geofisika Terapan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan – ITB Jalan Ganesha 10 Bandung – 40132 e-mail:
[email protected]
Abstrak Metode magnetotellurik (MT) merupakan metode eksplorasi geofisika yang sangat efektif untuk mendelineasi daerah prospek geotermal. Hal ini disebabkan eratnya keterkaitan antara parameter resistivitas bawah permukaan yang diperkirakan dari data MT dengan parameter temperatur. Data MT di daerah prospek geotermal umumnya mengandung efek statik yang disebabkan oleh heterogenitas dekat permukaan dan topografi. Manifestasi efek statik pada data MT berupa pergeseran vertikal kurva sounding resistivitas-semu terhadap periode, sementara kurva fase tidak terpengaruh. Untuk mengkoreksi efek statik pada data MT digunakan hasil pengukuran metode transient electromagnetics (TEM) yang tidak sensitif terhadap adanya penyebab efek statik (heterogenitas dekat permukaan dan topografi). Makalah ini membahas efek statik menggunakan model dan data sintetik serta pemodelan inversi MT 2-D. Hasil awal yang diperoleh menunjukkan indikasi bahwa pada dasarnya pengukuran TEM tidak diperlukan untuk mengkoreksi efek statik pada data MT. Kata kunci: magnetotellurik, efek statik, geotermal, pemodelan, inversi
1. Pendahuluan Heterogenitas dekat-permukaan dan topografi di sekitar titik pengamatan dapat menyebabkan adanya efek statik atau static shift pada data magnetotellurik (MT). Manifestasi efek statik tersebut berupa pergeseran vertikal kurva resistivitas-semu secara serba-sama pada semua interval frekuensi atau periode, sementara kurva fasa tidak mengalami distorsi. Pergeseran vertikal kurva sounding MT pada skala logaritmik ekivalen dengan perkalian harga resistivitas-semu dengan suatu konstanta k > 1 (pergeseran ke atas) atau k < 1 (pergeseran ke bawah). Pemodelan 1-D kurva sounding MT yang mengalami pergeseran vertikal sebesar k menghasilkan model 1-D yang merupakan kelipatan ½ k dan k masing-masing untuk resistivitas dan ketebalan yang sebenarnya (Sternberg dkk., 1988; Hendro & Grandis, 1996). Oleh karena itu kurva sounding MT yang mengalami efek statik perlu dikoreksi terlebih dahulu sebelum dimodelkan. Koreksi efek statik pada data MT dapat dilakukan melalui pemodelan, khususnya efek statik yang disebabkan oleh faktor topografi (Chouteau & Bouchard, 1988). Umumnya dilakukan pengamatan data Transient Electromagnetics (TEM) atau Time domain EM (TDEM) pada titik yang sama untuk mengoreksi data MT yang mengalami efek statik. Data TEM tidak terlalu terpengaruh oleh adanya
heterogentitas dekat permukaan karena hanya melibatkan pengukuran medan magnet, tidak melibatkan pengukuran medan listrik menggunakan elektroda yang dihubungkan ke tanah. Sternberg dkk. (1988) dan Pellerin & Hohmann (1990) menguraikan penggunaan data TEM untuk koreksi efek statik pada data MT melalui pemodelan. Sementara itu Hendro dan Grandis (1996) melakukan koreksi efek statik dengan cara pergeseran waktu (time shift) data TEM sehingga diperoleh data MT ekivalen. Pada kedua kasus tersebut, diperoleh data MT yang tidak mengalami distorsi pada interval frekuensi tinggi sesuai kedalaman jangkauan metode TEM. Kemudian data lapangan MT digeser dengan mengalikan harga resistivitas-semu pada semua frekuensi dengan suatu konstanta k secara trial-anderror hingga berimpit dengan kurva MT ekivalen. Makalah ini membahas fenomena efek statik menggunakan model dan data sintetik MT 2-D. Model sintetik yang digunakan menggambarkan distribusi resistivitas yang umum terdapat di daerah prospek geotermal di daerah volkanik. Pemodelan inversi 2-D data MT dengan maupun tanpa efek statik menunjukkan hasil yag ekivalen. Meskipun masih bersifat sementara, hasil studi awal ini menunjukkan bahwa koreksi efek statik pada data MT hanya diperlukan jika pemodelan dilakukan untuk memperoleh model 1-D pada setiap titik sounding secara terpisah.
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
2. Pemodelan MT 2-D Persamaan Maxwell yang menggambarkan perilaku medan EM dan aplikasinya dalam metode MT telah banyak dibahas (misal Simpson & Bahr, 2005). Penyelesaian persamaan Maxwell untuk memperoleh persamaan pemodelan kedepan (forward modeling) MT pada medium 1-D telah dibahas diantaranya oleh Grandis (1997; 1999). Untuk dapat merepresentasikan kondisi bawahpermukaan secara lebih realistis maka digunakan model 2-D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman (z) dan jarak dalam arah penampang atau profil (y) sehingga ρ(y, z). Dalam hal ini resistivitas medium tidak bervariasi dalam arah sumbu x yang merupakan arah struktur (strike). Gambar 1 memperlihatkan model 2-D sederhana berupa kontak vertikal. Persamaan yang berlaku pada kondisi 2-D seperti ditunjukkan pada Gambar 1 adalah persamaan medan EM yang didefinisikan sebagai polarisasi TE (Transverse Electric) dan TM (Transverse Magnetic). Pada polarisasi TE medan listrik Ex dan medan magnet Hy masing-masing sejajar dan tegak lurus dengan arah struktur dan berlaku persamaan, ∂2Ex ∂y 2
+
Hy = −
∂2Ex ∂z 2
= i ωµ 0σ E x
1 ∂E x i ωµ 0 ∂z
(1a) (1b)
Pada polarisasi TM medan magnet Hx dan medan listrik Ey masing-masing sejajar dan tegak lurus dengan arah struktur. Persamaan yang berlaku adalah,
∂ ⎛ ∂H x ⎜ρ ∂y ⎜⎝ ∂y Ey = ρ
⎞ ∂ ⎛ ∂H x ⎞ ⎟⎟ + ⎜ ρ ⎟ = i ωµ 0 H x ⎠ ∂z ⎝ ∂z ⎠
∂H x ∂z
(2a) (2b)
dimana σ = 1/ρ adalah konduktivitas medium dan ρ adalah resistivitas, ω = 2πf dan f adalah frekuensi, µ0 adalah permeabilitas ruang hampa. Persamaan (1) dan (2) adalah persamaan diferensial yang dapat diselesaikan secara numerik. Medium bawah-permukaan dibagi menjadi blok atau grid dengan ukuran bervariasi dan resistivitas masing-masing blok menggambarkan variasi resistivitas secara 2-D. Persamaan medan EM masing-masing untuk medan listrik Ex dan medan magnet Hx, yaitu persamaan (1a) persamaan (2a) didekati dengan persamaan beda-hingga (finitedifference) yang kemudian dinyatakan sebagai sistem persamaan linier (Rodi & Mackie, 2001). Pada prinsipnya untuk polarisasi TE terlebih dahulu dilakukan perhitungan Ex pada grid dan hasilnya kemudian digunakan untuk memperkirakan Hy melalui diferensiasi secara numerik persamaan (1b). Hal yang sama dilakukan untuk polarisasi TM. Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak WinGLink dari Geosystem Ltd. untuk pemodelan kedepan maupun pemodelan inversi MT 2-D. Pada pemodelan inversi digunakan kendala kehalusan model (smoothness constrain) sehingga model yang diperoleh menunjukkan variasi spasial resistivitas yang tidak terlalu besar.
Gambar 1. Komponen medan listrik dan medan magnet dalam polarisasi TE dan TM pada model 2-D sederhana berupa kontak vertikal antara medium 1 dan medium 2 dengan resistivitas berbeda. Arah struktur (strike) adalah sejajar dengan sumbu x.
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
3. Model Sintetik
4. Inversi Data Sintetik Pemodelan inversi dilakukan terhadap data gabungan, yaitu data pada polarisasi TE dan TM di semua titik sounding yang ada. Model awal adalah medium homogen dengan resisitivitas 100 Ohm.m. Untuk semua pemodelan inversi yang dilakukan, jumlah iterasi dibuat tetap yaitu 30 iterasi. Tingkat kecocokan antara data dengan respons model inversi cukup tinggi mengingat tidak ditambahkannya noise pada data sintetik (lihat Gambar 4 dan 5). Model hasil inversi data tanpa dan dengan efek statik masing-masing diperlihatkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua model tersebut, kecuali adanya heterogenitas dekat-permukaan yang terdapat pada model hasil inversi data yang mengandung efek statik. Secara umum distribusi resistivitas yang berasosiasi dengan elemen daerah prospek geotermal dapat diperoleh kembali dengan cukup baik. Ketidaksesuaian model inversi dengan model sintetik lebih disebabkan oleh digunakannya kendala kehalusan model. Batas-batas yang tegas antara setiap elemen atau blok resisitivitas tidak dapat direkonstruksi melalui pemodelan semacam ini. Karena sifat difusi gelombang EM, metode MT memang hanya dapat memberikan gambaran global distribusi resistivitas bawah-permukaan.
Elevasi (m)
Model sintetik 2-D yang digunakan untuk pengujian berasosiasi dengan struktur yang umum dijumpai di daerah prospek geotermal. Model sintetik pada Gambar 2 memperlihatkan distribusi resistivitas yang berasosiasi dengan adanya batuan penudung (cap rock, 1 Ohm.m) dan reservoir (10 Ohm.m) yang terdapat pada medium dengan resistivitas 100 Ohm.m (kedalaman kurang dari 3500 m) dan 500 Ohm.m (kedalaman lebih dari 3500 m). Lapisan batuan penudung membumbung (dooming) dari kedalaman 3500 m dengan puncak pada kedalaman 1000 m. Pada model sintetik yang sama ditambahkan heterogenitas dekat permukaan berupa blok-blok berukuran kecil konduktif dengan resisitvitas 1 Ohm.m yang dapat menghasilkan efek statik pada data MT sintetik (Gambar 3). Respons model dihitung pada periode antara 0.001 s. sampai 100 s. pada 31 titik pengamatan dengan jarak antar titik 500 meter. Pada tahap awal ini data sintetik tidak ditambah dengan noise untuk menghindari kesulitan analisis terhadap hasil inversi yang diperoleh. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa terdapat kemungkinan terjadinya tumpang-tindih atau overlap antara dampak efek statik dan noise terhadap model hasil inversi. Data sintetik berupa kurva sounding MT pada dua titik pengamatan yang dianggap representatif diperlihatkan pada Gambar 4 (tanpa efek statik) dan Gambar 5 (dengan efek statik). Tampak dengan jelas dominasi efek statik di titik 10 yang berasosiasi dengan heterogenitas dekat-permukaan, bukan akibat topografi. Variasi topografi pada kedua model sintetik dibuat tidak terlalu ekstrim, yaitu antara 0 m sampai
500 m sehingga tidak menimbulkan efek statik yang cukup signifikan. Hal ini juga dimaksudkan untuk memudahkan analisis terhadap hasil inversi.
Jarak (x 1000 m)
Gambar 2. Model sintetik yang menggambarkan distribusi resistivitas yang umumnya terdapat pada daerah prospek geotermal.
Elevasi (m)
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
Jarak (x 1000 m)
Gambar 3. Model sintetik yang sama dengan model pada Gambar 2. Di dekat-permukaan ditambahkan blok-blok konduktif berukuran kecil dengan resistivitas 1 Ohm.m.
Gambar 4. Respons dari model sintetik tanpa efek statik (Gambar 2) pada dua titik yang dianggap representatif, yaitu titik 5 (kiri) dan titik 10 (kanan). .
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
Elevasi (m)
Gambar 5. Respons dari model sintetik dengan efek statik (Gambar 3) pada dua titik yang dianggap representatif, yaitu titik 5 (kiri) dan titik 10 (kanan).
Jarak (x 1000 m)
Gambar 6. Model hasil inversi dari data sintetik yang berasosiasi dengan model tanpa efek statik (Gambar 2).
Elevasi (m)
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
Jarak (x 1000 m)
Gambar 7. Model hasil inversi dari data sintetik yang berasosiasi dengan model yang mengandung efek statik (Gambar 3).
5. Diskusi dan Kesimpulan Pengukuran MT di daerah geotermal sering menghasilkan data yang mengalami efek statik. Hal ini disebabkan adanya heterogenitas dekat-permukaan dan variasi topografi yang cukup signifikan pada daerah prospek geotermal di daerah volkanik. Umumnya dilakukan pengukuran TEM di titik yang sama dengan titik sounding MT. Data TEM yang diperoleh nantinya dapat digunakan untuk mengkoreksi adanya efek statik pada data MT. Pengukuran TEM yang merupakan metode EM aktif menggunakan sumber gelombang artifisial memerlukan pengaturan logistik, waktu dan biaya operasi yang cukup signifikan. Hal tersebut sering menjadi kendala aplikasi metode MT di Indonesia untuk eksplorasi daerah prospek geotermal. Salah satu usaha untuk mereduksi pengaruh efek statik pada data MT adalah dengan melakukan pemodelan inversi yang telah dimodifikasi. Pada kasus ini faktor atau konstanta yang menimbulkan efek statik dimasukkan sebagai parameter model yang dicari pada proses inversi sebagaimana dilakukan oleh deGroot-Hedlin & Constable (1991). Penelitian ini masih bersifat sangat awal karena hanya membandingkan hasil inversi MT 2-D data sintetik yang mengandung efek statik dengan data tanpa efek statik. Pemodelan inversi kedua set data tersebut menghasilkan model yang tidak jauh berbeda. Karena efek statik disimulasikan sebagai akibat adanya heterogenitas dekat-permukaan maka model inversi yang diperoleh juga menunjukkan adanya heterogenitas tersebut. Oleh karena itu perlu kehati-
hatian dalam menafsirkan model hasil inversi data MT yang mengandung efek statik, khususnya yang menyangkut distribusi resistivitas dekat-permukaan. Anomali yang diperoleh di zona tersebut dapat saja bersifat artifisial, sementara penyebab efek statik sebenarnya adalah topografi, misalnya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menguji atau mengkonfirmasi hasil yang diperoleh dari penelitian awal ini. Misalnya dengan memberikan efek statik secara artifisial atau manual langsung pada data, bukan melalui model sintetik. Meskipun demikian, secara umum model inversi yang telah diperoleh dapat menggambarkan distribusi resistivitas yang cukup representatif bagi kondisi bawah-permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan data TEM untuk mengoreksi data MT yang mengandung efek statik tidak diperlukan lagi. Dengan demikian survey MT khususnya untuk eksplorasi daerah prospek geotermal dapat lebih dioptimalkan.
Daftar Pustaka 1. M. Chouteau and K. Bouchard, Two-dimensional terrain correction in magnetotelluric surveys, Geophysics 53, 854-862 (1988). 2. C. deGroot-Hedlin, Removal of static shift in twodimensions by regularized inversion, Geophysics 56, 2102-2106 (1991).
Seminar Nasional Energi 2010 Bandung, 3 November 2010
3. H. Grandis, Practical algorithm for 1-D magnetotelluric response calculation, Jurnal Geofisika 1, no.1 (1997).
7. W. Rodi and R.L. Mackie, Nonlinear conjugate gradients algorithm for 2-D magnetotelluric inversion, Geophysics 66, 174-18 (2001).
4. H. Grandis, An alternative algorithm for onedimensional magnetotelluric response calculation, Computer & Geosciences 25, 119-125 (1999).
8. F. Simpson and K. Bahr, Practical Magnetotellurics, Cambridge (2005).
5. A. Hendro dan H. Grandis, Koreksi efek statik pada data magnetotellurik menggunakan data elektromagnetik transien, Prosiding PIT HAGI ke21 (1996). 6. L. Pellerin and G.W. Hohmann, Transient electromagnetic inversion: a remedy for magnetotelluric static shifts, Geophysics 55, 12421250 (1990).
9. B.K. Sternberg, J.C. Washburne and L. Pellerin, Correction for the static shift in magnetotellurics using transient electromagnetic soundings, Geophysics 53, 1459-1468 (1988).