STUDI CORROSION FATIGUE PADA SAMBUNGAN LAS SMAW BAJA API 5L GRADE X65 DENGAN VARIASI WAKTU PENCELUPAN DALAM LARUTAN HCL Wardhana W.1), Murdjito2), Supomo H.3) 1)
Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, FTK – ITS Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK – ITS 3) Pengajar Jurusan Teknik Perkapalan, FTK – ITS 2)
Abstrak Pengelasan Shielded Metal Arc Welding (SMAW) merupakan las yang paling umum digunakan dalam struktur anjungan lepas pantai dan baja API 5L Grade X65merupakan jenis pipa baja yang banyak digunakan pada pipa penyalur gas, air, dan minyak.. Dan struktur di lingkungan korosif akan mengalami beberapa macam korosi, salah satunya lelah korosi (corrosion fatigue). Pada penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari corrosion fatigue pada sambungan las SMAW baja API 5L Grade X65 yang dicelup dalam larutan HCl 10% maupun di lingkungan kering terhadap siklus umur lelah dan pola patahan dari sambungan las SMAW. Variasi waktu pencelupan dalam HCl 10% yang diberikan, yaitu 168 jam, 336 jam, 504 jam dan 672 jam. Sedangkan variasi pemberian tegangan yang diberikan kepada material sambungan las pada saat pengujian fatigue, yaitu 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu. Hasil dari pengujian menunjukkan penurunan siklus umur lelah dari material sambungan las untuk kondisi pencelupan HCl 10% . Pada lingkungan kering dengan tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu menunjukkan siklus umur lelah rata-rata secara berturut-turut, yaitu 7,62 X 104; 2,27 X 105 dan 7,1 X 105. Pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 168 jam dengan tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu menunjukkan siklus umur lelah rata-rata secara berturut-turut, yaitu 2,1 X 104; 3,49 X 104 dan 2,47 X 105. Pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 336 jam dengan tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu menunjukkan siklus umur lelah rata-rata secara berturut-turut, yaitu 7,47 X 103; 1,59 X 104 dan 9,9 X 104. Pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 504 jam dengan tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu menunjukkan siklus umur lelah rata-rata secara berturut-turut, yaitu 1,07 x 103; 3,23 x 103 dan 1,38 x104. Dan pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 672 jam dengan tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu menunjukkan siklus umur lelah rata-rata secara berturut-turut, yaitu 5,1 x 102; 9,7 x 102 dan 3,1 x 103. Kondisi pembebanan yang rendah membentuk pola patahan beachmarks yang lebih banyak, lebih rapat dan halus dibanding pada tingkat pembebanan yang lebih tinggi. Sedangkan pengaruh waktu pencelupan dalam HCl 10% yang semakin lama akan membentuk beachmarks yang lebih sedikit, lebih renggang dan lebih kasar. Kata Kunci: SMAW, baja API 5L Grade X65, corrosion fatigue, HCl 10%, siklus umur lelah, beachmarks I. Pendahuluan Kelelahan akibat korosi pernah pertama kali diungkapkan 60 tahun yang lalu dan lebih dikonsentrasikan pada kerusakan kabel di bawah perairan laut.
Penyelidikan yang lebih terpadu terhadap fenomena ini dilakukan 10 tahun kemudian dan dicetuskan istilah kelelahan akibat korosi (corrosion fatigue). Dewasa ini laporan mengenai
kerusakan akibat corrosion fatigue semakin bertambah dan saat ini fenomena corrosion fatigue dianggap sebagai penyebab kegagalan struktur. Hal ini tentu saja banyak terjadi di daerah perairan laut dimana kondisinya sangat agresif dan sering mengalami beban berulang/tegangan berulang. Salinitas/kadar garam air laut dari suatu perairan juga sangat mempengaruhi terjadinya korosi pada struktur jacket. Air laut mengandung 3,5% garamgaraman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) terdiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Dari semua senyawa di atas yg banyak mempengaruhi laju korosi adalah kandungan klorida dimana merupakan senyawa yg penting untuk mengetahui kadar garam atau salinitas. Sriyanto (2008) menyatakan struktur/mesin di lingkungan korosif akan mengalami lelah korosi (corrosion fatigue) dan retak korosi tegangan (stresss corrosion cracking). Struktur/mesin di atas, seperti anjungan lepas pantai, perkapalan, bejana tekan, jembatan, pipa saluran minyak bumi atau gas dan lain-lain, selalu mendapat pengelasan dalam perakitannya. Pengelasan dengan busur nyala listrik terlindungi merupakan salah satu pilihan untuk proses manufaktur tersebut. Sambungan las, pada pemakaiannya akan selalu mendapat tegangan baik dari beratnya sendiri ataupun gaya-gaya luar yang bekerja. Suatu ciri retak korosi tegangan akibat gabungan tegangan tarik statik dan lingkungan biasanya terjadi secara mendadak tanpa adanya gejala awal serta tidak dapat diduga (Trethewey, 1991). Melalui tugas akhir ini akan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh variasi salinitas pada hasil pengelasan material pipa baja API 5L Grade X65 terhadap ketahanan fatik dan laju
korosinya. Pengelasan dilakukan di darat dan pengujian rambat retak fatik dilakukan di lingkungan kering (darat) dan lingkungan basah. Pada lingkungan basah pengujian dilakukan dalam media korosif yaitu larutan asam klorida atau HCl dengan konsentrasi 10%. HCl 10% ini setara dengan salinitas 36o/oo. Pengujian dilakukan dengan pengelasan SMAW dengan pertimbangan bahwa las SMAW merupakan las yang paling umum digunakan dalam struktur anjungan lepas pantai (Wiryosumarto, 1994). Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui pengaruh HCl terhadap ketahanan fatik weld joint material pipa API 5L Grade X65. Sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan informasi pada dunia industri serta berguna untuk perkembangan dunia pendidikan. II. Dasar Teori 2.1 Corrosion Fatigue Fatigue merupakan kecenderungan logam atau logam paduan untuk mengalami kegagalan akibat beban yang berulang/tegangan yang berulang pada level di bawah kekuatan ultimate material. Kelelahan akibat korosi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kegagalan logam paduan akibat retak, dimana kondisi ini korosi dan fatigue bisa terjadi secara bersamaan (Chandler, 1985). Kelelahan akibat korosi pernah pertama kali diungkapkan 60 tahun yang lalu dan lebih dikonsentrasikan pada kerusakan kabel di bawah perairan laut. Penyelidikan yang lebih terpadu terhadap fenomena ini dilakukan 10 tahun kemudian dan dicetuskan istilah kelelahan akibat korosi (corrosion fatigue). Dewasa ini laporan mengenai kerusakan akibat corrosion fatigue semakin bertambah dan saat ini fenomena corrosion fatigue dianggap sebagai penyebab kegagalan struktur. Hal ini tentu saja banyak terjadi di daerah perairan laut dimana kondisinya sangat agresif dan sering mengalami beban berulang/tegangan berulang.
Kegagalan pada sambungan las sering disebabkan oleh fatik korosi sebagai akibat dari kombinasi beban berulang, dan lingkungan korosif. Smith, (2003) telah melakukan penelitian yang berhubungan dengan metalurgi retak awal akibat korosi, (corrosion-fatigue circum ferential) dan pertumbuhan retak baja Cr---Mo. Retak diawali dengan suatu mekanisme thermal fatigue. Pertumbuhan retak terjadi oleh mekanisme termal lelah yang dibantu oleh lingkungannya. 2.2 Mekanisme Patah Lelah Kelelahan akan mengakibatkan terjadinya patah lelah. Patah lelah terjadi melalui tiga tahapan, yaitu tahap retak awal (crack initiation), tahap penjalaran retak (crack propagation), dan tahap patah statis. Dan setelah retak lelah merambat cukup jauh, maka beban yang bekerja hanya akan didukung oleh penampang tersisa yang belum retak dan akhirnya komponen akan patah (tahap final failure atau patah statik) seperti yang terlihat pada gambar 2.1. (Apriyani, 2009). Cyclic slip
Crack Growth of nucleation microcrack
Crack Initiation
Growth of macrocrack
Final failure
` Crack propagation
Gambar 2.1 Mekanisme patah lelah Menurut Schijve, ada 5 fase yang terjadi selama proses fatigue, yaitu: 1. Cyclic slip 2. Crack nucleation 3. Growth of microcrack 4. Growth of macrocrack 5. Final failure 2.3 Estimasi Umur lelah Umur lelah dinyatakan sebagai jumlah siklus tegangan yang dicapai sampai spesimen patah pada pembebanan tertentu. Dengan demikian umur total tersebut telah mencakup tahap awal retak dan penjalaran retak yang bila telah cukup jauh penjalarannya akan
menyebabkan spesimen patah menjadi dua. Ada tiga metoda utama untuk menentukan batas lelah material, yaitu Stress-Life Method, Strain-Life Method, dan Linier-Elastic Fracture Method. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metoda Stress-Life yang mana output-nya adalah kurva S-N yang mempresentasikan hubungan antara tegangan (S) dan umur material dalam jumlah siklus (N), pada level pembebanan tertentu. Metoda StressLife didasarkan pada tingkat tegangan, metoda ini akurasinya paling rendah terutama jika diaplikasikan pada pembebanan dengan jumlah siklus yang sedikit yaitu kurang dari 1000 siklus pembebanan. Namun demikian metoda ini paling mudah dan paling banyak digunakan dalam aplikasinya. 2.4 Kurva S-N Data yang dihasilkan dari pengujian kelalahan akan dipresentasikan dengan menggunakan kurva tegangan – umur lelah (Kurva S-N) sehingga seperti tampak pada gambar 2.2. Kurva ini menyatakan hubungan antara nilai tegangan terhadap jumlah siklus untuk patah. Pada tegangan di bawah batas lelahnya (fatigue limit) spesimen akan mempunyai umur tak terhingga. Garis lurus yang miring pada kurva S-N menyatakan jumlah siklus pembebanan yang dicapai spesimen pada tingkat tegangan tertentu, dengan demikian pada daerah ini umur lelah spesimen akan terbatas.
Gambar 2.2. Kurva S-N hasil pengujian dan prediksi spesimen baja dengan pembebanan aksial
2.5 Pengelasan SMAW (Shielded ( Metal ArcWelding) SMAW (shielded metal arc welding) atau busur nyala listrik terlindungi adalah pengelasan dengan mempergunakan busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam. Jenis las ini yang paling lazim dipakai dimana-mana mana untuk hampir semua keperluan pengelasan (Widharto, 2003). Skema pengelasan SMAW dapat diamati pada Gambar 2.3. Proses pemindahan logam elektroda terjadi pada saat aat ujung elektroda mencair dan membentuk butir-butir butir yang terbawa oleh arus busur listrik yang terjadi.
III. Metodologi Material yang akan dilas di adalah pipa API 5L Grade X65 dengan panjang 150 mm, Outside Diameter (OD) : 350mm, Inside Diameter (ID) : 101,6 mm, tebal t : 12 mm, dengan kampuh las Single Vgroove dengan sudut 60o.Pengelasan dilakukan dengan menggunakan elektrode AWS E7016. Hasil dari pengelasan tersebut nantinya akan mengalami pengujian tarik, pencelupan larutan HCl 10%, fatigue dan foto makro.
Gambar 2.3 Skema pengelasan SMAW 2.6 Baja API 5L GR X65 Pipa baja API 5L grade X65 merupakan jenis pipa yang banyak dipakai pada struktur anjungan ngan minyak bumi dan gas. Pipa baja API 5L grade X65 banyak digunakan pada pipa penyalur gas, air, dan minyak. Pipa API 5L grade X65 memiliki kekuatan tarik minimum (yield strength) sebesar 448 MPa atau sama dengan 65000 psi. Pipa ini merupakan jenis baja karbon dengan kandungan karbon maksimum 0,28%. 0,28% 2.7 Larutan Media Uji Media pengujian menggunakan larutan korosif yaitu larutan asam klorida (HCl). (HCl) Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen klorida (HCl) dengan konsentrasi 10%. HCl adalah asam kuat, dan merupakan komponen utama dalam asam lambung.. Senyawa ini juga digunakan secara luas dalam industri. Asam klorida harus ditangani dengan wewanti keselamatan yang tepat karena merupakan cairan yang sangat korosif. HCl 10% ini memiliki Electro Motive Force (EMF) yang sama dengan salinitas air laut sebesar sar 36o/oo.
Gambar 3.1 Specimen Uji tarik Berdasarkan ASME Section IX 2001 Bentuk dan ukuran spesimen uji tarik berdasarkan ASME Sec. IX 2001 (lihat Gambar 3.1). Ada dua sample specimen uji tarik. Test uji tarik dilakukan dengan menggunakan mesin uji tarik di Laboratorium Konstruksi dan Kekuatan Jurusan Teknik nik Perkapalan dengan menggunakan beban dengan tensile range 440 MPa s/d 600 MPa. Pengujian tarik dilakukan untuk mendapatkan σy (yield stress,, tegangan luluh) dan σu (ultimate stress,, tegangan ultimate) dari material las. Kemudian membuat spesimen uji fatigue berdasarkan manual handbook operational for LFE-150 LFE fatigue machine test (lihat gambar 3.2). Selanjutnya spesimen uji fatigue dicelup dalam larutan HCl 10% dengan variasi waktu selama 168 jam, 336 jam, 504 jam dan 672 jam. Serta ada yang dibiarkan di lingkungan kering selama 672 jam. Larutan uji yang akan digunakan adalah HCl 10% yang memiliki EMF sama dengan salinitas air laut 36o/oo.
pengujian lelah dalam kondisi lingkungan kering bisa dilihat pada gambar 4.1 berikut ini.
Gambar 3.2 Dimensi Spesimen Uji Lelah Setelah itu pengujian fatigue dilakukan dengan pemberian variasi tingkat tegangan untuk semua kondisi pengujian, yaitu 0,8σu, σu, 0,7 0,7σu dan 0,5σu. Pembuatan specimen dan pengujian fatigue dilakukan di Laboratorium Metalurgi, Jurusan Teknik Mesin FTI – ITS. Kemudian dari hasil pengujian diperoleh kurva SN. Pengamatan makro yang dimaksud adalah pengamatan pola patahan pada daerah lasan. Untuk mengetahui pola patahan, material lasan yang patah diambil,, kemudian digerinda, dipoles dan dietsa dengan etching reagent. reagent Lalu diambil foto makronya dengan bantuan mikroskop dan kamera digital. Selain itu juga dilakukan pengamatan makro pada pola patahan masing-masing masing material las pada kondisi pembebanan. Setiap patahan spesimen difoto dengan perbesaran 50X,, diamati untuk kemudian dibandingkan dan dianalisa dian untuk mengetahui jenis pola patahan yang terjadi. Pengamatan Struktur makro dilakukan di Laboratorium Fisika Bahan, Jurusan Fisika,, FMIPA F – ITS. IV. 4.1
Hasil dan Pembahasan Hasil uji lelah material di lingkungan kering Pada tingkat tegangan 0,8σu 0,8 mempunyai umur lelah rata-rata rata sebesar 76234. Pada tingkat tegangan 0,77σu mempunyai umur lelah rata-rata rata yang semakin besar yaitu 335753. Dan pada tingkat tegangan 0,5σu mempunyai umur lelah rata-rata rata yang jauh lebih besar yaitu 711272.. Dari hasil umur lelah le rata-rata material las tersebut bisa dijelaskan bahwa semakin besar tingkat tegangan maka semakin kecil umur lelah dari material yang diuji. Kurva SN dari
Gambar 4.1 Kurva S-N S Kondisi Lingkungan Kering 4.2
Hasil uji lelah material setelah pencelupan pada HCl selama 168 jam Dari pengujian fatigue setelah material las setelah dicelup dalam larutan HCl dengan konsentrasi 10% atau setara dengan salinitas air laut 36 o/oo. Diketahui bahwa hasil dari pengujian lelah menunjukkan untuk tingkat tegangan 0,8σu mempunyai umur lelah rata-rata rata sebesar 21033. Pada tingkat tegangan 0,7σu mempunyai umur lelah rata-rata rata yang semakin besar yaitu 34897. Dan pada tingkat tegangan 0,5σu mempunyai umur lelah rata-rata rata yang jauh lebih besar yaitu 247654. Terjadi perbedaan nilai yang sigifikan bila dibandingkan dengan hasil ha pengujian lelah pada kondisi lingkungan kering yang nilai umur lelahnya jauh lebih lama untuk tingkat tegangan yang sama. Kemudian hasil dr pengujian bisa dijadikan kurva SN seperti pada gambar 4.2 berikut ini.
Gambar 4.2 Kurva S-N S Kondisi Pencelupan HCl 10% (168 jam)
Hasil uji lelah material setelah pencelupan pada HCl selama 336 jam Hasil dari pengujian lelah setelah material las dicelup dalam HCl 10% atau setara dengan salinitas air laut 36 o /oo selama 336 jam mempunyai tren umur lelah (siklus) yang semakin menurun jika dibandingkan dengan pengujian lelah pada material las yang dicelup dalam HCl 10% selama 168 jam maupun yang di lingkungan kering. Untuk tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu dan 0,5σu padaa pengujian lelah memiliki umur lelah rata-rata rata secara berturut-turut berturut yaitu 7479; 15894 dan 99655. Dari pengujian tersebut, kemudian bisa didapatkan kurva SN seperti pada gambar 4.3 berikut ini. 4.3
S Kondisi Gambar 4.3 Kurva S-N Pencelupan HCl 10% (336 ( jam) 4.4
Hasil uji lelah material setelah pencelupan pada HCl selama 504 jam mur lelah dari material las yang di Umur celup dalam larutan HCl 10% atau setara dengan salinitas air laut 36 o/oo selama 504 jam menjadi semakin kecil. Ini bisa dilihat dari rata-rata rata umur lelah material las mengalami penurunan yang sangat sigifikan jika dibanding dengan pengujian sebelumnya. Untuk tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu σu dan 0,5σu pada pengujian lelah berdasarkan berdasar tabel 4.9 memiliki umur lelah rata-rata rata secara berturut-turut turut yaitu 1073, 3233 dan 13805. Hasil dari umur lelah rata-rata rata ini kemudian diplotkan dalam kurva SN seperti pada gambar 4.4 berikut ini.
S Kondisi Gambar 4.4 Kurva S-N Pencelupan HCl 10% (504 jam) 4.5
Hasil uji lelah material setelah pencelupan pada HCl selama 672 jam
Umur lelah dari material las yang di celup dalam larutan HCl 10% atau setara dengan salinitas air laut 36 o/oo selama 672 jam mempunyai kecenderungan umur lelah yang sangat kritis. Hal ini berdasarkan nilai dari hasil pengujian lelah yang telah dilakukan. Pada tingkat tegangan 0,8σu, 0,7σu σu dan 0,5σu 0,5 pada pengujian lelah berdasarkan tabel 4.10 memiliki umur lelah rata-rata rata secara berturut-turut urut yaitu 510; 1165 dan 3116. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada kurva SN gambar 4.5 di bawah ini.
Gambar 4.5 Kurva S-N S Kondisi Pencelupan HCl 10% (672 jam) 4.6 Pengamatan Makro Foto makro patahan material las pada semua kondisi dilakukan di Laboratorium Fisika Bahan, Jurusan Fisika, FMIPA – ITS dengan menggunakan mikroskop pembesaran
50X dan di potret dengan kamera digital. Yang menunjukkan ciri-ciri patah lelah, yaitu striasi dan beachmarks. Striasi merupakan garis-garis halus yang menyatakan majunya retakan untuk setiap siklus beban yang dapat diamati melalui mikroskop elektron SEM (Scanning Electron Microscope), namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan tersebut. Sedangkan beachmarks (garis pantai) terjadi akibat perbedaan lamanya proses oksidasi pada permukaan retakan. Selain itu, beachmarks terjadi karena adanya perubahan pada kondisi pembebanan. Pada kondisi pembebanan yang berbeda, beachmarks yang terbentuk akan berbeda pula. Pada tingkat pembebanan rendah, tegangan dan simpangan yang terjadi kecil, maka dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mematahkan material. Dengan kata lain, material lebih mampu menerima tegangan dan pada akhirnya membentuk beachmarks yang lebih banyak, lebih rapat dan halus dibanding pada tingkat pembebanan yang lebih tinggi. Berikut ini pada gambar 4.6 foto makro kondisi lingkungan kering
(a)
(b)
(c) Gambar 4.6 Foto makro pola patahan patahan pada kondisi lingkungan kering (a) Material las 0,8Su; (b) Material las 0,7Su; (c) Material las 0,5Su
Foto makro untuk kondisi pencelupan HCl 10% selama 168 jam pada gambar 4.7 berikut ini.
(a)
(b)
(c) Gambar 4.7 Foto makro pola patahan patahan pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 168 jam (a) Material las 0,8Su; (b) Material las 0,7Su; (c) Material las 0,5Su Untuk foto makro kondisi pencelupan HCl 10% selama 336 jam pada gambar 4.8 berikut ini.
(a)
(b)
(c) Gambar 4.8 Foto makro pola patahan patahan pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 336 jam (a) Material las 0,8Su; (b) Material las 0,7Su; (c) Material las 0,5Su
Pada gambar 4.9 berikut ini adalah foto makro patahan material las untuk kondisi pencelupan HCl 10% selama 504 jam.
(a)
(c) Gambar 4.10 Foto makro pola patahan patahan pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 672 jam (a) Material las 0,8Su; (b) Material las 0,7Su; (c) Material las 0,5Su V. 1.
(b)
(c)
2.
Gambar 4.9 Foto makro pola patahan patahan pada kondisi pencelupan HCl 10% selama 504 jam (a) Material las 0,8Su; (b) Material las 0,7Su; (c) Material las 0,5Su Dan pada gambar 4.10 berikut ini adalah foto makro dari pola patahan material las untuk kondisi pencelupan HCl 10% selama 672 jam
(a)
(b)
3.
Kesimpulan Pengaruh pengelasan SMAW terhadap siklus umur lelah baja API 5L Grade X65 di lingkungan kering menjelaskan bahwa Ssmakin besar tingkat tegangan maka semakin kecil siklus umur lelah dari material yang diuji. Perbandingan pengaruh akibat lama waktu pencelupan material las SMAW baja API 5L Grade X65 dalam larutan korosif HCl 10% atau setara dengan salinitas air laut 36 o/oo terhadap siklus umur lelah yaitu semakin lama waktu pencelupan maka semakin pendek siklus umur lelah rata-rata material las. Perbandingan pola patahan yang terjadi akibat corrosion fatigue pada material sambungan las di lingkungan kering dan lingkungan basah dengan variasi waktu pencelupan spesimen material dalam larutan HCl 10%, yaitu: - Kondisi pembebanan yang rendah membentuk beachmarks yang lebih banyak, lebih rapat dan halus dibanding pada tingkat pembebanan yang lebih tinggi. - Pengaruh waktu pencelupan dalam HCl 10% yang semakin lama akan membentuk beachmarks yang lebih sedikit, lebih renggang dan lebih kasar.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 17 Juli 2009. Corrosion. (URL:http://www.wikipedia.com/corrosi on.htm).
API. 2000. API Specification 5L ForthSecond edition “Specification for Line Pipe”. Washington : API Publishing Service. Apriyani, K. (2009) Tugas Akhir : “Studi Eksperimental dan Analitis Pengaruh Pengelasan Multilayer GTAW-SMAW Terhadap Umur Lelah dan Pola Patahan Baja SA53B (Pipa Circulation Heater) Pada Uji Lelah Lentur BolakBalik (Fatigue Reserved Bending)”. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. ASME. (2001). American Society of Mechanical Engineers Section IX. USA: The American Society of Mechanical Engineers. ASTM. (2002). ASTM A370-02 “Standard Test Methods and Definitions for Mechanical Testing of Steel Products”. Washington : ASTM Publishing. AWS. (2004). AWS D1.1/D1.1M ” Structural Welding Code - Steel”. Florida : American welding Society. Chandler, K.A. (1985), Marine and Offshore Corrosion, London: Butterworth Fontana, M.G. (1978), Corrosion Engineering. 2nd ed., New York : Mc Graw-Hill Book Company. Freedman, A. J. (1989), Corrosion and anti-corrosives, Houston: National Technology Institute of the Chemical Process Industries. Hendroprasetyo, W. (2005), DasarDasar Pengelasan & Geometri Sambungan Las. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Kawano. H., (2002), “Fatigue Strength of Thermo-Mechanically Controlled Process Steel and It’s Weld Joint”, National Maritime Research Institute, Japan. Kenyon, W. (1985). Dasar-Dasar Pengelasan. Diterjemahkan oleh Dines Ginting. Jakarta : Erlangga. Magnin, T., (1995), “Recent advances for corrosion fatigue
mechanisms”, ISIJ International, Vol. 35, pp, 223-233 Messler, Jr dan Robert W. (1999). Principle of Welding: Process, Physics, Chemistry, and Metallurgy. New York : John Willey & Sons. Muvidah, U. (2008). Tugas Akhir: ”Pengaruh Jenis Proses Las dan Salinitas Terhadap Sifat Mekanik Weld Joint Material Baja Pada Underwater Welding di Bawah air”. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Smith, B.J., Marder, A.R., (2003), “A metallurgical mechanism for corrosion fatigue (circumferential) crack initiation and propagation in Cr---Mo boiler tube steels”, PA 18015, USA Sosnin, H. A. (1975). Arc Welding Instructions for The Beginner. Ohio: The James F. Lincoln Arc Welding Foundation. Sriyanto, N.B. dan Ilman, M.N. (2008), “Perilaku Perambatan Retak Fatik Di Udara dan 3,5% NaCl Pada Sambungan Las Busur Rendam Baja ASTM A572 Grade 50”, Seminar Nasional IV. SDM Teknologi Nuklir. Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, UGM Yogyakarta. Suherman, W.(1998), Ilmu Logam.Diktat Ilmu Logam Fakultas Teknik Industri ITS.Surabaya Supardi,H.R.(1997), Korosi. Bandung: Tarsito Supomo, H. (2003), Korosi. Buku Ajar Korosi Fakultas Teknologi Kelautan ITS. Surabaya Suratman, R. (2005), Teknologi Perlindungan Logam, Diktat Teknik Metalurgi. Universitas Jendral Ahmad Yani Bandung. Syahroni, Nur. (2001). Teknologi Las, Modul 2 : Jenis-Jenis Proses Las. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Tsegelsky, W. (Tanpa Tahun). The Electric Welder (A Manual).
Moscow : Foreign Languages Publishing House. Trethewey, K.R. dan Chamberlain, J. (1991), Korosi Untuk Mahasiswa Dan Rekayasawan, Jakarta: Erlangga Wahab, M.A., Sakano, M., (2001),“Experimental Study of Corrosion Fatigue behaviour of Welded Steel Structures”, Osaka, Japan Widharto, S. (2001). Petunjuk Kerja Las. Cetakan Keempat. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Wiryosumarto, H. dan Toshie Okumara. 2000. Teknologi Pengelasan Logam. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Pradnya Paramita.