JRL
Vol. 4
No.2
Hal 111-117
Jakarta, Mei 2008
ISSN : 2085-3866
STUDI BIONOMIK VEKTOR MALARIA DI KECAMATAN KALIBAWANG, KULONPROGO Diversitas dan Densitas di Kebun Kakao dan Kebun Campuran, Desa Banjarharjo dan Desa Banjaroyo Sardjito Eko Windarso, Agus Kharmayana Rubaya, Bambang Suwerda,Sri Puji Ganefati Pengajar di Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes, Yogyakarta Abstrak The increasing of malaria cases in recent years at Kecamatan Kalibawang has been suspected correspond with the conversion of farming land-use which initiated in 1993. Four years after the natural vegetation in this area were changed become cocoa and coffee commercial farming estates, the number of malaria cases in 1997 rose more than six times, and in 2000 it reached 6085. This study were aimed to observe whether there were any differences in density and diversity of Anopheles as malaria vector between the cocoa and mix farming during dry and rainy seasons. The results of the study are useful for considering the appropriate methods, times and places for mosquito vector controlling. The study activities comprised of collecting Anopheles as well as identifying the species to determine the density and diversity of the malaria vector. Both activities were held four weeks in dry season and four weeks in rainy season. The mea-surement of physical factors such as temperature, humidity and rainfall were also conducted to support the study results. Four dusuns which meet the criteria and had the highest malaria cases were selected as study location. Descriptively, the results shows that the number of collected Anopheles in cocoa farming were higher compared with those in mix horticultural farming; and the number of Anopheles species identified in cocoa farming were also more varied than those in the mix horticultural farming. Key words: bionomik vektor malaria, anopheles,
1.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Kalibawang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kulonprogo dengan kasus malaria yang terus menerus meningkat. Hingga tahun 2000 tercatat kasus malaria di kecamatan ini sebanyak 6085 orang. Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan tahun 1998 yang hanya 631 orang kasus 1).
111
Peningkatan nyata kasus malaria di wilayah ini mulai terlihat setelah tahun 1997 atau kurang lebih empat tahun sejak digantinya tanaman yang merupakan vegetasi alamiah wilayah ini dengan jenis tanaman yang bernilai komersial seperti kakao dan kopi. Hingga tahun 2000, wilayah ini tercatat me-miliki kebun kakao terluas di Kulonprogo yaitu 357,30 ha. Agar dapat tumbuh dengan optimal, perkebunan kakao mempunyai persyaratan kondisi fisik, antara lain: temperatur maksimum berkisar 30-32 oC, suhu minimum antara 18-21
JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
C, dan kelembaban nisbi berkisar an-tara 50-60 %; serta dapat tetap hidup pada kelembaban 70-80 %. Selain itu, pertumbuhan tanaman ini memerlukan intensitas cahaya yang rendah, yaitu antara 30-60 % dari sinar matahari penuh, dan pada saat mulai ber-produksi sinar matahari yang diperlukan antara 50-75 % sinar matahari penuh 2).
o
Kondisi lingkungan fisik di atas sangat cocok untuk kehidupan vektor malaria, antara lain spesies-spesies Anopheles balabacensis dan Anopheles maculatus, yang biasa ditemukan di daerah dataran tinggi Kalibawang. Sementara itu, keberhasilan pengen-dalian vektor penyakit di suatu wilayah akan sangat tegantung dengan dikenalinya bionomik vektor di wilayah tersebut, mulai dari ke-biasaan mating, feeding, resting ataupun breedingnya. Namun, hingga kini data biono-mik vektor malaria tersebut di Kecamatan Ka-libawang masih belum tersedia. Hal tersebut menyebabkan pengendalian vektor malaria yang dilakukan saat ini hanya ditujukan pada nyamuk yang datang ke pemukiman penduduk, baik dengan penyemprotan rumah mau-pun dengan pemolesan insektisida pada ke-lambu. Selain itu, sesekali juga dilaksanakan penebaran ikan pemakan jentik di perairan. Pengendalian Anopheles dengan cara tersebut, bila berhasil akan memberikan perlindungan bagi kegiatan masyarakat di dalam rumah, namun belum melindungi masyarakat yang beraktifitas di luar rumah, termasuk akti-vitas yang berkaitan dengan perkebunan. Mengingat areal perkebunan kakao yang ada cukup luas dan secara teoritis sa-ngat cocok sebagai resting places vektor malaria, dan ditambah dengan sinyalemen masyarakat petani dan sekitar perkebunan yang memperkuat dugaan tersebut, maka peneliti terdorong untuk meneliti sebagian bionomik vektor malaria di Kalibawang yang berhubungan dengan perkebunan kakao yang keberadaannya menyatu dengan pemukimam rakyat. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk keperluan
112
pengelolaan perkebunan dalam memimalisir timbulnya resting places bagi vektor malaria. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pemilihan waktu, metoda, dan tempat pengendalian vektor; serta termasuk untuk mengkaji bentuk peran serta masya-rakat dalam menekan, dan melindungi diri dari vektor malaria selama beraktivitas. 1.2
Tujuan
Diketahuinya perbedaan densitas nyamuk Anopheles antara perkebunan kakao yang bersifat monokultur dan perkebunan campuran tanaman asli Kalibawang yang ber-sifat heterokultur. Diketahuinya perbedaan diversitas nyamuk Anopheles antara perkebunan kakao dan perkebunan campuran, dan antara musim kemarau dan musim penghujan. 2.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metoda survei dengan deskripsi sebagai berikut: 1.2
Peralatan dan Bahan
1.2.1 Peralatan Survei Penangkapan Nyamuk
Jaring penangkap nyamuk Aspirator penangkap nyamuk Lampu senter untuk membantu pencahayaan ketika penangkapan nyamuk dilakukan pada saat gelap Termohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban lingkungan pada saat melakukan penangkapan nyamuk Roll-meter untuk mengukur jarak penangkapan Paper cup untuk menyimpan sementara nyamuk yang tertangkap Altimeter untuk mengukur ketinggian tempat dari permukaan laut Mikroskop untuk mengidentifikasi jenis nyamuk
JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
1.2.2 Bahan
Kapas dan larutan gula untuk makanan nyamuk yang tertangkap Chloroform untuk mematikan nyamuk dalam proses identifikasi
dilaksanakan, kepada mereka diberikan pelatihan dengan materi: teknik penangkapan nyamuk, teori dan praktik iden-tifikasi nyamuk, dan penyiapan base-camp. 1.2.5 Pelaksanaan Survei
1.2.3 Kriteria Lokasi Perkebunan
Untuk dapat dijadikan lokasi pe-nelitian, perkebunan terpilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kebun kakao atau kebun campuran yang di tengahnya terdapat rumah penduduk Rumah pada butir a di atas, mempunyai ja-rak dengan sungai/ sumber air yang diperkirakan sebagai breeding places bagi Anopheles kurang lebih 100 meter Sedapat mungkin pada rumah tersebut tidak terdapat rumah lain sampai dengan radius kurang lebih 100 meter ke arah sungai Berdasarkan kriteria di atas, ditetapkan perkebunan di empat dusun yang berada masing-masing dua di Desa Banjarharjo dan Desa Banjaroyo sebagai lokasi penelitian, yaitu Dusun Grapule, Dusun Pa-daan, Dusun Kempong dan Dusun Puguh. Selanjutnya berturut-turut dusun-dusun ter-sebut disebut sebagai Lokasi 1, Lokasi 2, Lokasi 3, dan Lokasi 4. Kedua desa di atas juga dipilih dengan pertimbangan bahwa kasus malaria di sana tertinggi dibandingkan dengan desa lain di Kalibawang
1.2.4 Personil dan Pelatihan Survei Penangkapan Nyamuk Tenaga yang direkrut sebagai tim survei adalah mahasiswa dan alumni Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Yogyakarta yang berjumlah empat orang. Sebelum survei
113
3.
Penangkapan nyamuk di lokasi terpilih dimulai pada minggu pertama Oktober 2004 sampai dengan minggu keempat November 2004. Penangkapan nyamuk dilakukan setiap ha-ri mulai jam 16.00 s/d 19.00. Identifikasi spesies nyamuk yang tertang-kap dilakukan esok hari dari tiap hari penangkapan. Selama menanti waktu identifikasi, nyamuk yang tertangkap ditempatkan dalam paper cup yang telah diberi kode sesuai jenis perkebunan dan nomor lokasi penangkapan, serta diberi makan berupa larutan gula yang dibasahkan pada kapas.
Hasil dan Pembahasan
Penangkapan nyamuk untuk masingmasing lokasi dilakukan sebanyak delapan kali, yaitu empat kali sebelum musim penghujan/akhir musim kemarau (minggu pertama s/d ke empat Oktober) dan empat kali pada musim penghujan (minggu pertama s/d ke empat November). a.
Pengukuran Lingkungan Fisik
Faktor-faktor lingkungan fisik yang di-ukur dalam penelitian ini meliputi temperatur dan kelembaban udara nisbi. Selain itu dikumpulkan juga data sekunder curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan milik Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang ber-ada di Kalibawang. Dari hasil pengukuran, tercatat bahwa kisaran temperatur lingkungan di kedua jenis kebun sama, yaitu antara 18-20 oC. Adapun mengenai kelembaban udara nisbi, kisaran data hasil pencatatan untuk kedua jenis ke-bun sedikit berbeda, yaitu antara 87-100 % untuk kebun kakao dan antara 88-99 % untuk kebun campuran. JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
Dalam penelitian ini intensitas cahaya tidak diukur karena walaupun penangkapan nyamuk dimulai pada pukul 16.00 tapi Anopheles di lokasi penelitian tersebut baru mulai dijumpai pada saat matahari sudah terbenam. Data sekunder curah hujan menunjukkan bahwa selama minggu pertama hingga ke empat Okober tidak ada hujan yang turun atau 0 mm, sedangkan mulai minggu pertama sampai dengan ke empat November berturut-turut tercatat sebesar 46, 60, 120 dan 198 mm. b.
Penangkapan dan Identifikasi Nyamuk
Hasil penangkapan nyamuk selengkapnya disajikan secara deskriptif dalam tiga grafik berikut. Dari Grafik 1 terlihat bahwa di tiga dari empat lokasi penelitian, jumlah (densitas) nyamuk Anopheles yang tertangkap lebih ba-nyak di kebun kakao dibandingkan dengan di kebun campuran. Adapun Grafik 2 menunjukkan bahwa pada musim kemarau (saat tidak ada hujan turun), pada tiga dari empat lokasi penelitian, jumlah spesies (diversitas) vektor Anopheles yang tertangkap di kebun campuran lebih ba-nyak jika dibandingkan dengan di kebun kakao. Sedangkan pada Grafik 3, menunjukkan hal sebaliknya, yaitu pada musim hujan, di seluruh lokasi penelitian, spesies Anopheles yang tertangkap lebih banyak ada di kebun kakao. c.
Pembahasan
Keberadaan nyamuk, seperti halnya serangga lainnya dalam suatu ekosistem berkaitan dengan kelangsungan hidupnya atau karena ekosistem tersebut mempunyai peran penting dalam tahapan kehidupan nyamuk tersebut. Keterkaitan tersebut dapat berupa ekosistem sebagai tempat untuk melakukan breeding, resting, mating atau feeding 3). Nyamuk, seperti juga serangga lain mempunyai sifat yang mudah berubah (revolusioner). Perubahan ini merupakan salah satu bentuk respons nyamuk terhadap adanya
114
tekanan dari lingkungan. Kemampuan berubah atau merespons keadaan di lingkungan tempat kehidupannya ini yang menyebabkan serangga termasuk nyamuk mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih baik dibanding mahluk lain yang lebih kompleks. Ekosistem perkebunan monokultur, akan lebih memudahkan serangga termasuk nyamuk yang ada di dalamnya untuk menye-suaikan diri dibanding dengan ekosistem perkebunan yang bersifat heterokultur. Fenome-na ini sering dijumpai pada perkebunan monokultur yang berskala luas, di mana pada perkebunan seperti ini dijumpai adanya satu jenis serangga yang pertumbuhannya sangat cepat dan selanjutnya berkembang menjadi hama di perkebunan tersebut. Ledakan pertumbuhan populasi suatu jenis serangga di suatu ekosistem menokultur disebabkan karena serangga tersebut lebih mudah mencapai kondisi mapan. Mapannya suatu jenis serangga di suatu ekosistem, menyebabkan tingkat keberhasilan berkembang biaknya menjadi tinggi sehingga populasi pun tumbuh dengan sangat pesat. Apabila hal ini terjadi pada serangga yang mampu berperan sebagai vektor penyakit, maka tidak menutup kemungkinan peningkatan populasi ini akan segera diikuti dengan meningkatanya kejadian penyakit yang ditularkan serangga tersebut 4). Area perkebunan yang menyangkut keberadaan nyamuk Anopheles dalam penelitian ini diperkirakan sebagai resting places nyamuk tersebut sebelum menuju areal feeding di permukiman. Aktifitas feeding nyamuk ini diperlukan, karena setelah nyamuk dewasa keluar dari pupa di tempat breedingnya yaitu di sekitar sungai, nyamuk langsung melakukan aktifitas mating. Untuk keperluan mematangkan telur yang diperoleh dari aktifitas mating, nyamuk memerlukan sterol, di mana kandungan sterol yang paling disukai adalah sterol yang berada dalam darah, baik darah yang berasal dari manusia maupun hewan mamalia. Kebutuhan darah inilah yang menyebabkan nyamuk akan terbang menuju arah pemukiman.
JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
Grafik 1. Jumlah Spesies Nyamuk Anopheles yang Tertangkap di Kebun Kakao dan Kebun Campuran pada Musim Penghujan
Grafik 2. Jumlah Spesies Nyamuk Anopheles yang Tertangkap di Kebun Kakao dan Kebun Campuran pada Musim Kemarau.
115
JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
Grafik 3. Jumlah Spesies Nyamuk Anopheles yang Tertangkap di Kebun Kakao dan Kebun Campuran pada Musim Penghujan
3.3.1 Densitas dan Diversitas Anopheles Uraian di atas menjelaskan bahwa kebun monokultur lebih memungkinkan populasi suatu jenis serangga tumbuh mapan dibanding dengan kebun heterokultur. Keadaan tersebut juga terlihat pada hasil penelitian ini. Khususnya pada musim kemarau, terlihat bahwa diversitas spesies Anopheles yang tertangkap di kebun kakao lebih sedikit dibandingkan de-ngan yang tertangkap di kebun campuran. Rendahnya diversitas ini menunjukkan bahwa hanya spesies tertentu saja yang mampu menyesuaikan dengan ekosistem monokultur di kebun kakao. Namun demikian, sekalipun diversitasnya kecil, populasinya terlihat cukup tinggi. Bahkan pada mayoritas lokasi terlihat populasinya lebih tinggi dibanding yang ada di kebun campuran. Keadaan ini menjadi berbeda setelah datangnya musim penghujan. Musim kemarau menyebabkan timbulnya banyak genangan air pada cekungan-cekungan di dasar sungai. Setelah hujan datang, cekungan-cekungan itu menghilang oleh adanya aliran air. Selain
116
hilangnya cekungan-cekungan air di dasar sungai, hujan juga menimbulkan cekungan-cekungan baru di sekitar sungai. Hal ini menyebabkan timbulnya breeding places baru yang disukai oleh spesies-spesies lain selain spe-sies yang dijumpai pada musim kemarau. Perubahan kondisi di atas juga terlihat dari hasil penangkapan nyamuk pada musim penghujan, dimana terjadi peningkatan baik densitas maupun diversitas. Terlihat densitas dan diversitas di kebun kakao yang monokultur cenderung lebih tinggi dibanding kebun campuran yang bersifat heterokultur. 3.3.2 Spesies Dominan Spesies Anopheles yang paling banyak tertangkap pada penelitian ini adalah Anopheles vagus. Fenomena ini juga dijumpai pada beberapa penelitian yang melakukan penangkapan nyamuk di sekitar wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Bahkan pada beberapa penelitian, spesies ini sering dijumpai mempunyai prosentase lebih dari 90% dari seluruh hasil identifikasi pemeriksaan 5). JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117
3.3.3 Spesies Vektor
DAFTAR PUSTAKA
Wardoyo 5) juga melaporkan bahwa spesies Anopheles yang terbukti sebagai vektor malaria di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah aconitus, maculatus, sundaicus, dan balabacensis. Penelitian lain menyebutkan bahwa spesies-spesies tersebut juga terbukti sebagai vektor malaria untuk wilayah-wilayah Purworejo, Kulonprogo, dan Kecamatan Turi di Kabupaten Sleman D.I.Yogya-karta.
1.
Hasil yang diperoleh selama penelitian ini menunjukkan bahwa spesies Anopheles yang tertangkap dan dapat berperan sebagai vektor adalah Anopheles aconitus dan Anopheles maculatus. Kedua spesies ini tertang-kap di ke empat lokasi penelitian.
4.
4.
Kesimpulan
2.
3.
5.
6.
Densitas nyamuk anopheles di kebun kakao cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan densitas di kebun campuran.
7.
Diversitas nyamuk anopheles di kebun kakao pada musim penghujan cenderung lebih tinggi dibanding dengan diversitas di kebun campuran.
8.
9.
10.
11.
117
Puskesmas Kalibawang, 2001, Laporan Tahunan 2001, Puskesmas Kalibawang, Kulonprogo. Bachri, A., 1998, Bercocok Tanam-tanaman Perkebunan Tahunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Untung K., 1996, Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gomes, M., 1998, More Crops, More Disease?, World Health Forum 19. Wardoyo, S. K., 1991, Penelitian vektor malaria yang dilakukan institusi kesehatan, Buletin Penelitian Kesehatan 19. Departemen Kesehatan RI, 1999, Modul Malaria I-VI, Depkes RI, Jakarta. Farid, M. A., 1998, The Malaria Campaign – Why Not Eradication?, World Health Forum 19. Kartasapoetra, A. G., 1998, Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di Daerah Tropik, Bina Aksara, Jakarta. Kanwil Depkes Prop. DIY, 1998, Laporan Kegiatan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1998, Kanwl depkes Prop. DIY, Yogyakarta. Kanwil Depkes Prop. DIY, 1999, Laporan Kegiatan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1999, Kanwil Depkes Prop. DIY, Yogyakarta. Lindsay, W. W., dan W. J. M. Martens, 1998, Malaria in the African highlands: past, present and future, Bulletin of the WHO 76.
JRL Vol. 4 No. 2, Mei 2008 : 111-117