STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI (J. Lukito Kartono)
STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI J. Lukito Kartono Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya “The house is an institution,not just a structure,created for a complex set of purpose.Because building a house is a cultural phenomenon,its form and organization are greatly influenced by the cultural milieu in which belongs”. (Rapoport,1969)
ABSTRAK Tradisi berhuni merupakan tradisi yang dilakukan oleh manusia karena sadar bahwa tidak semua kegiatannya dapat dilakukan diudara terbuka.Tempat berhuni yang direpresentasikan dalam wujud ruang mencerminkan kebudayaan yang dianut penghuninya. Ruang-ruang di rumah tinggal menampung struktur sosial yang berkaitan dengan peran suami dan saudaranya,istri dan saudaranya serta anak-anak mereka. Pada awalnya,dalam penataan ruang rumah tinggal masyarakat tradisional terlihat secara jelas adanya ruang-ruang yang mengakomodir kegiatan wanita dan lelaki.Tetapi akhir-akhir ini sejalan dengan lahirnya gerakan feminisme,ada gugatan bahwa telah terjadi diskriminasi dan marjinalisasi terhadap peran wanita dalam rumah tinggal.Kebenaran gugatan memang perlu dibahas lebih mendalam dengan meninjau secara genealogi pada kasus-kasus desain rumah tinggal dari masa ke masa. Kata kunci: lelaki-wanita,rumah tinggal dan genealogi.
ABSTRACT Realizing that all of their activities cannot be carried out indoors,people consider that dwelling is a must or tradition for them.The dwelling-house is represented in the forms of space visualizing the dwellers’ culture.The indoor spaces reflect the social-structure closely related to the role of the members of the family and to their relation with their relatives.Initially,the space arrangement of traditional society clearly showed the role of man and women but then feminism claimed that women’s roles has been discriminating and marginal.We need to prove this point of view in details by always observing the cases of house-designs in genealogical way. Keywords: man-woman,home and genealogy.
FENOMENA SILANG PENDAPAT Rumah tinggal merupakan obyek jelajah yang mengundang inspirasi untuk tak putusputusnya dibahas dari berbagai macam aspek.Ada banyak pembahasan yang telah dilakukan.Baik dari segi aspek fisik maupun aspek sosial dan budaya.Baik dari segi fisik arsitektural yang berkaitan dengan olah geometris bentuk dan ruang ;olah bentuk yang dikaitkan dengan simbol dan makna yang tercipta maupun olah bentuk yang dikaitkan dengan inter aksi sosial penghuninya.Dari studistudi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap bentuk rumah tinggal mulai dari masyarakat yang arkhaik sampai kepada masyarakat modern menunjukkan adanya perkembangan bentuk yang cukup rumit dan kompleks.Membahas sebuah rumah berarti
membahas kebudayaan suatu masyarakat yang direpresentasikan melalui ruang untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga secara vertikal maupun horisontal. Menurut G.P.Murdock (Budhisantoso,1990) berdasarkan penelitiannya pada kurang lebih 250 kebudayaan di dunia menunjukkan bahwa susunan keluarga dapat berbentuk Keluarga besar (extended family) dan keluarga batih (nuclear family) yang terjelma akibat hubungan perkawinan antara lelaki dan wanita.Namun keluarga batih lebih universal penyebarannya.Untuk melihat pengaruh keluarga batih kepada tatanan ruang maka sebaiknya dilihat juga adanya struktur keluarga yang lebih mendalam.Antara lain,terdapat 8 jenis hubungan sosial di dalam keluarga batih yang mempunyai fungsi khusus dan amat penting di dalam
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
79
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 - 87
mengatur hubungan seks,kerjasama ekonomi, memperbanyak keturunan dan penyelenggaraan pendidikan anak.Pola tersebut ,antara lain pola hubungan antara ayah dan ibu,ayah dan anak laki-laki,ayah dan anak perempuan,ibu dan anak laki-laki,ibu dan anak perempuan,hubungan kakak beradik laki-laki, hubungan kakak beradik perempuan, hubungan kakak beradik lelaki dan perempuan. Dalam perkembangannya pada keluarga batih dikenal juga adanya penyimpangan dimana kehadiran suami-ayah tidak teratur maka timbullah matrifokal. Menurut Peter Kunstadter (1963) pola ini menunjukkan bahwa istri-ibu lebih besar pengaruh dan tanggung jawabnya terhadap keluarga dibandingkan dengan suami-ayah. Pola ini dikenal pada masyarakat Negro di kepulauan Karibia dan Minangkabau di Sumatra Barat. Struktur kekerabatan ini menunjukkan adanya peranan yang cukup besar dari wanita dalam struktur sosial suatu keluarga yang pada akhirnya akan mempengaruhi jenis ruang, luasan ruang dan hirarki ruang yang harus dihadirkan dalam sebuah rumah tinggal. Dalam perkembangan lebih lanjut pada masyarakat saat ini terjadi sistem kekerabatan antara lelaki dan wanita yang lebih egaliter kekuasaannya. Tetapi di sisi lain, akhir-akhir ini seiring dengan kebangkitan gerakan feminisme di Barat, dimana kaum wanita secara kritis bangkit memperjuangkan hak-haknya yang selama ini merasa dimarjinalkan oleh kaum pria.Salah satu dampakya,mereka menggugat pola perancangan rumah tinggal yang dirasakan lebih banyak didominasi kepentingan kaum pria.Seperti misalnya Weisman (1994) mengatakan selama ini terjadi diskriminasi dalam desain rumah tinggal maupun lingkungan perumahan.Wanita terlalu sedikit diberikan peran dalam ikut menentukan desain dan seringkali tidak diperhitungkan kepentingannya padahal wanita paling banyak menghabiskan waktu di dalam rumah atau paling berkepentingan dengan isi yang ada di dalam rumah tinggal demikian juga faktor keamanan pada saat diluar rumah tinggal.Gugatan dirumuskan secara lebih puitis sebagai berikut: “A house is not a home” without mother and the warm family relationships she engenders. Wanita juga mempunyai kebutuhan yang spesifik dan sangat berbeda dengan kaum pria dan selama ini sering diabaikan sehingga artist Judy Chicago dan Miriam Schapio bersama 80
dengan para mahasiswanya dari California Institute of The Arts membuat suatu fantasi desain rumah tinggal yang dianggap merupakan suatu model yang nantinya dapat dijadikan acuan sebagai “Women house” dan digambarkan sebagai berikut (Weisman,1994) : “The women created a collection of satrirical domestic environments within a rundown house they renovated themselves that included a bridal staircase,a menstrutaion bathroom,a dollhouse room,a linin closet “prison” from which a nude women-nequin was struggling to emerge,an elaborate bedroom in which a seated woman perpetually brush her hair and applied makeup,and a “nurturant” fleshy pink kitchen in which plastic fried eggs on the ceiling turned into breast as they moved the walls,taking on the feeling of skin and becoming mother/nurturer/kitchen simultaneously”. Pemikiran Weismen tentang marjinalisasi kebutuhan dan kepentingan wanita dalam ruang rumah tinggal masih dapat didiskusikan lebih lanjut dan diperdebatkan kebenarannya. Karena kalau diamati pada desain rumah tinggal dari masa-ke masa mulai yang tradisional/arkhaik maupun masa kini.Banyak kepentingan kaum wanita yang sudah diakomodir dalam penataan ruang dan bentuk rumah tinggal, walaupun juga ada yang diabaikan. Kelihatannya begitu banyak varian fenomena bentuk rumah tinggal yang terwujud serta berkaitan dengan genealogi dan membutuhkan penjelasan. RAGAM ISTILAH RUMAH TINGGAL Tradisi berhuni pada berbagai masyarakat mempunyai corak yang beraneka ragam sesuai dengan kebudayaan yang dipangku masyarakatnya. Dari tempat berlindung yang paling sederhana berupa goa,tenda sampai dengan bentuk rumah tinggal yang kita kenal saat ini.Ada suatu studi tentang beragamnya istilah rumah tinggal yang dilakukan oleh ahli bahasa Robert Blust (Fox,1993) pada “rumah tinggal” di Austronesia. Menurutnya “rumah tinggal” mempunyai beberapa varian,antara lain: Rumaq, Balay,Lepauw, Kamalir dan Banua. Istilah tersebut muncul karena pendekatan dari bahasa di Austronesia. Menurutnya dapat diklasifikasikan menjadi sub-group: (1) Formosa. (2) Melayu-Polinesia Barat. (3) Melayu-Polinesia
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI (J. Lukito Kartono)
Tengah. (4) Halmahera Selatan-New Guinea Barat. (5) Oceania. Terminologi rumah Austronesia yang pertama: Rumaq, istilah ini digunakan pada semua sub group. Secara lebih spesifik ada sedikit perubahan yang terjadi pada Dayak Iban,Gerai dan Minangkabau (termasuk subgroup Melayu-Polinesia Barat) yang menggunakan istilah Rumah.Masyarakat suku Roti dan Rindi (termasuk sub-group Melayu-Polinesia Tengah) menggunakan istilah Uma. Sawu, Amu; Atoni, Ume; Tetun, Uma; Ema, Umar: Babar, Em; Buru, Huma dan Naulu, Numa. Dimasyarakat Jawa dikenal dengan istilah Omah, yang menurut Revianto Budi Santosa, 2000 lebih menunjukkan tempat tinggal, tempat sebagian praktek-praktek domestik dilakukan dan keberadaan diri terekspresikan, dalam kehidupan orang Jawa. Terminologi kedua, Balay. Istilah yang digunakan oleh masyarakat dari sub group Melayu–Polinesia Barat dan Oceania. Pada bahasa Malaysia dan Minangkabau, Balai lebih diartikan sebagai rumah untuk pertemuan umum. Di Melanesia, Balai merupakan sebuah tempat untuk beristirahatnya para wanita yang mengalami menstruasi atau pada saat melahirkan. Terminologi ke tiga, Lepauw. Istilah ini mengacu kepada bahasa Melayu-Polinesia Barat dimana istilah ini mempunyai banyak sekali makna yang berbeda-beda. Bagi masyarakat Ngaju, Lepau berarti lumbung. Bagi Uma Juman Lepo berarti gubug. Untuk suku Bajau laut Lepa berarti rumah kapal (house boat) dimana mereka secara teratur menggunakannya sebagai tempat untuk menangkap ikan. Terminologi ke empat, KalamiR. Seperti Balay, istilah ini banyak ditemukan pada masyarakat dari sub group Merlayu-Polinesia Barat. Di Filipina, istilah ini mengacu kepada lumbung. Sedangkan di Oceania mempunyai makna sebagai rumah kaum lelaki (Men’s houses). Terminologi ke lima, Banua. Penggunaan istilah ini hampir merata digunakan oleh sub group Melau-Polinesia. Makna secara umum berarti tanah, negara, tempat, lingkungan hunian, teritorial tertutup. Di Toraja, Banua; Banggai, Bonua; Wolio, Banua; Molima, Vanua; WusiMana,Wanua. Dari banyaknya istilah yang ada menunjukkan bahwa rumah tinggal memiliki banyak sekali makna yang terkandung dan berkaitan erat dengan kebudayaan yang dianut masing-masing masyarakat.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK RUMAH TINGGAL Secara mendasar perancangan ruang rumah tinggal pada awal peradaban merujuk kepada kebutuhan hidup paling mendasar penghuninya. Setelah melalui proses peradaban “nomaden”/ berladang, beralih menjadi menetap dan mulai mengolah tanah pertaniannya. Dalam setiap peradaban mereka selalu membutuhkan tempat berteduh. Fenomena tersebut timbul karena mereka menyadari bahwa tidak semua aktivitasnya dapat dilakukan di udara terbuka jadi dibutuhkan “kulit kedua” sebagai pelindung (shelter). Mulai dari mencari rongga alam (goa) sampai membuat rumah dalam bentuk yang sederhana.Membahas sebuah rumah berarti membahas kebudayaan suatu masyarakat yang terrepresentasi melalui ruang yang digunakan untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga, baik secara vertikal maupun horisontal. Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mencermati bentuk yang tercipta.Kalau kita mengacu kepada pemikiran Rapoport (1969) yang menyebutkan bahwa ada lima aspek yang mempengaruhi bentuk rumah tinggal yaitu: 1. Beberapa Kebutuhan (Some Basic Needs)
Dasar
Manusia
Manusia pada dasarnya mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat hidup dengan nyaman.Target yang harus dipenuhi adalah memenuhi standard kenikmatan tubuh manusia. Ukuran yang digunakan setiap budaya akan relatip berbeda. Sebagai contoh Orang Eskimo mempunyai toleransi yang cukup tinggi terhadap konsentrasi bau didalam Igloo akibat bahan penutup tendanya.Sedangkan orang Jepang mempunyai toleransi terhadap bau dari toilet dalam rumahnya. Demikian juga pada pola makan dan memasak yang berbeda-beda pada berbagai kebudayaan. Di rumah Aztek dapurnya dipisahkan dari rumahnya; di rumah Inca memasaknya di ruang terbuka dan di rumah Thuareg memasaknya di dalam tenda.Manusia merupakan makhluk yang super adaptip. Mereka mempunyai strategi adaptasi yang dilakukan sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Manusia di lingkungan tropis akan berbeda pola perilakunya dengan manusia di lingkungan sub tropis dan di kutub. Strategi yang digunakan
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
81
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 - 87
akan berdampak pada detail-detail bangunan yang berbeda-beda untuk setiap lingkungan. 2. Keluarga (Family) Keluarga merupakan suatu unit kehidupan yang paling mendasar pada setiap masyarakat. Tetapi setiap masyarakat mempunyai struktur keluarga yang berbeda-beda yang nantinya tercermin pada bentuk rumahnya. Ada yang berbentuk keluarga besar (extended family) dan keluarga batih (nuclear family). Bentuk rumah yang terjadi dapat terlihat pada rumah panjang Suku Iroquois, suku Dayak untuk keluarga besar.Untuk struktur yang lain dikenal juga adanya monogami dan poligami. Sebagai contoh suku Manja dari Ubangi yang menganut poligami menyediakan rumah bagi masingmasing istrinya dan suami akan mendatangi istrinya yang berbeda setiap hari. Sedangkan anak-anak berdiam ditempat tersendiri setelah disunat. 3. Posisi Wanita (The Position of Women) Posisi wanita mempunyai peranan yang cukup penting dalam sistem keluarga. Wanita menghabiskan sebagian besar waktunya didalam rumah. Sebagai contoh: posisi wanita mempunyai dampak pada rumah tradisional Jepang, dimana dapur merupakan daerah kekuasaan wanita dan secara fisik berbeda bentuknya dengan ruang yang lain. Pada masyarakat Mesir ruang untuk lelaki dan wanita selalu dipisahkan karena tuntutan kaidah agama. Sedangkan pada perumahan suku Uluf dari Senegal, bentuk tatanan ruangnya memungkinkan ruang dalam rumah terlindung dari pandangan orang luar dengan tujuan agar wanita terlindung dari pandangan orang luar.Dalam hal ini wanita sangat dilindungi untuk memperoleh privacy yang cukup tinggi.
dan Amerika Latin rumah tinggalnya berorientasi ke dalam.Hal ini berbeda dengan rumah AngloAmerican yang berorientasi keluar. Di India, rumah tinggalnya dikelilingi tembok pagar pembatas sehingga kegiatan di dalam tidak terlihat dari luar.Hal ini berbeda cara pemecahannya dengan orang Jepang walaupun memiliki kebutuhan yang sama terhadap privacy. Dari kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa privacy merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap masyarakat yang mempunyai bentuk yang sangat bervariasi yang benar-benar kompleks dan bermacam-macam gejalanya. 5. Hubungan Sosial (Social Intercourse) Hubungan sosial merupakan kebutuhan bagi setiap manusia yang disebut “binatang sosial”. Untuk mewadahi kegiatan ini dibutuhkan ruangruang yang memungkinkan mereka dapat bertemu untuk berienteraksi sosial.Setiap masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda akan melahirkan ruang untuk berinteraksi sosial yang berbeda. Seperti misalnya rumah tinggal, Café, Permandian atau di jalan. Di desa desa Cina mempunyai ruang-ruang pertemuan yang cukup besar di jalan utama.Di Turki dan Malaysia mereka melakukan pertemuan di Coffee shop. Di Perancis tamu diundang bertemu bukan di rumah tinggal tetapi di Café atau di Bistro. Di Italia ada Piazza, galleria dan Café. Di Inggris memiliki Pub dan rumah tinggal. Dari uraian Rapoport, menunjukkan bahwa peran wanita sebagai bagian dari struktur sosial keluarga dalam berbagai kebudayaan mempunyai posisi yang cukup strategis dan harus terakomodir pada pola penataan ruang dan bentuk rumah tinggal. Dari struktur keluarga yang terjadi menunjukkan bahwa adanya pembagian peran yang cukup jelas dan tegas antara lelaki dan wanita.Hal ini terwujud dapat karena nilai-nilai agama yang dianut atau adanya pembagian kerja yang jelas.
4. Privacy Dalam kasus ini ingin dibahas sejauh mana variasi yang dipertimbangkan untuk mendefinisikan privacy, bagaimana bentuknya dan apa pertimbangan pentingnya. Pada beberapa kebudayaan mempunyai tingkat privacy yang berbeda-beda. Sebagai contoh masyarakat Sherpa dari Nepal dan Jepang sebelum terpengaruh budaya Barat mempunyai pandangan privacy yang agak berbeda kadarnya. Selama musim panas mereka telanjang dan mandi bersama-sama ditempat umum. Pada India, Iran 82
KEDUDUKAN WANITA PADA RUMAH TINGGAL DARI MASA KE MASA Pada studi tentang rumah tinggal masyarakat suku Kung Bushman di gurun Kalahari Marshall (Hanson,1998) menyebutkan: The fire is the clearest visible symbol of the place of residence.One can see who lives at each. Always, summer and winter, every nuclear family has its fire,which is kept burning all night…..The fire is the nuclear
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI (J. Lukito Kartono)
family’s home, its place to be.In a way, a fire is a more unchanging home than a house on a spot of groend from which the family might depart.A fire-home is always where the family is. Fires are constant, shelters are whims…it takes the women only three quarters of an hour to build their shelters, but half of the time at least the women’s whim is not to build shelters at all. In this case they sometimes put up two sticks to symbolise the entrance to the shelter,so that the family may orientate itself as to which side is the man’s side and which is the women’s side of the fire. Sometimes they do not bother with the sticks”. Dari uraian di atas terlihat bahwa setiap tenda suku Kung Bushman mempunyai tempat perapian yang menjadi pusat kehidupan suatu keluarga dan wanita mempunyai posisi di sekitar perapian bersama-sama dengan kaum lelaki. Pola penataan rumah tinggal tradisional menunjukkan bahwa wanita mempunyai porsi yang cukup diperhitungkandalam bentuk keluarga batih. Seperti terlihat dari studi-studi lainnya yang dilakukan oleh Julienne Hanson (1998) pada tenda hitam suku Bedouin, Tenda suku BerBer dari Sahara Selatan dan tenda suku Mongolia menunjukkan peran wanita cukup besar. Secara lebih detail terlihat bahwa pada tenda hitam Bedouin (lihat gambar 1). Setiap tamu harus masuk dari depan. Tenda biasanya berorientasi ke selatan atau timur. Ruang dalam dipisah menjadi dua oleh sebuah tabir. Bagian kecil dihuni oleh lelaki sedangkan bagian terbesar adalah untuk wanita bekerja dan hidup sehari-hari. Sedangkan pada tenda suku BerBer (lihat gambar 2) menunjukkan struktur keluarga yang berbeda dengan suku Bedouin. Dimana wanita memiliki tenda sendiri yang berbeda dengan tenda lelaki. Tenda suku Mongolian (lihat gambar 3) memiliki karakter yang agak berbeda dengan dua tenda terdahulu dimana antara ruang untuk lelaki dan wanita tidak secara tegas dipisahkan. Kedua-duanya mempunyai ruang untuk keperluan aktivitasnya secara sebanding sesuai dengan kebutuhannya. Seperti misalnya perlengkapan lelaki berupa pelana dan senapan diletakkan di daerah lelaki sedangkan peralatan memasak dan peralatan lainnya diletakkan di daerah wanita. Dari studi yang dilakukan oleh Samsudin (Koentjaraningrat, 1985) pada pola keluarga masyarakat Aceh ditemukan bahwa dalam rumah tradisional Aceh hanya terdapat ruang tidur
untuk orang tua dan anak perempuan. Kalaupun mempunyai anak laki-laki maka tidak akan disediakan kamar tersendiri sebab anak laki-laki yang belum menikah biasanya tidur di Meunasah (semacam langgar atau surau). Demikian juga untuk masyarakat Minangkabau menurut Cecilia Ng (Fox,1993) berkaitan dengan pola keluarga yang menganut pola Matrilinial, dimana wanita mempunyai peran sosial yang lebih besar dibanding lelaki maka rumah tinggalnya mempunyai banyak ruang untuk menampung aktivitas ibu maupun anak perempuannya. Selain keluarga batih dikenal juga Pola struktur keluarga besar, dimana sebuah keluarga tidak hanya terdiri dari ayah-ibu dab anak-anak tetapi dilengkapi dengan saudara ayah atau ibu. Pada keluarga besarpun (extended family) seperti pada rumah panjang dari suku Indian Iroquois yang menampung kurang lebih 20 keluarga memiliki seorang pimpinan wanita,yang disebut “a Matron” yang mengelola 5 api dapur keluarga untuk distribusi makanan seluruh penghuni rumah. Lokasi keberadaan “a Matron” ini diletakkan dipusat rumah tinggal (Altman dan Chemers, 1980). Pada masyarakat suku dayak di Kalimantan juga dikenal rumah Lamin atau Betang yang dihuni kurang lebih 30 keluarga yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Panjang sebuah rumah bisa sampai 200 meter.Setiap keluarga disediakan sebuah ruang dan ruang antar keluarga hanya dibatasi oleh selembar tirai kain (Fox,1993). Penataan ruang pada rumah tinggal masa lalu juga menunjukkan kecenderungan adanya superioritas laki-laki. Hal ini terjadi karena lakilaki dianggap sebagai kepala keluarga dan sebagaian besar sistem hubungan keluarga di dunia menganut Patrifokal (patrilinial). Di masyarakat Indonesia pada umumnya, ruang dalam rumah tinggal dibagi menjadi dua kategori (Weisman, 1994): 1. Kiri, identik dengan wanita, tepi laut, bawah, bumi, spiritual, belakang dan barat. 2. Kanan, identik dengan laki-laki, gunung, atas, surga, depan dan timur. Laki-laki diasosiasikan berasal dari puncak gunung dan dunia atas. Sedangkan wanita diasosiasikan dengan kematian, sakit, bencana dan berasal dari bawah laut. Di kosmologi Tionghoa, Yang diidentikan dengan laki-laki, api, kegembiraan sedangkan wanita diidentikkan dengan Yin, yang berarti air, pasip dan ketakutan.
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
83
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 - 87
Pada masyarakat Barat (Western), ruang geografis dihubungkan dengan wanita yang mempunyai karakteristik sebuah kestatisan dan ruang laki-laki di karakterkan dengan kedinamisan. Penggunaan tubuh manusia sebagai cetak biru kebudayaan untuk merancang ketidaksamaan seksual sangat sarat dengan bias sosial. Bagian sisi kanan tubuh manusia yang dikontrol oleh otak kiri yang rasional diidentikkan dengan Lelaki, sedangkan bagian kiri tubuh yang dikontrol oleh otak kanan yang intuitip dan reseptip diidentikkan dengan Wanita. Penggunaan idiom-idiom kiri, intuitip dan lamban berpikir dianggap merugikan atau merendahkan kedudukan wanita. Sedangkan pada tatanan rumah tinggal saat ini,baik di “Timur” maupun di “Barat” terlihat tidak ada lagi penyebutan untuk pemisahan antara ruang untuk lelaki dan wanita (Lihat gambar 6). Hal ini terjadi hampir disetiap masyarakat yang telah tersentuh peradaban modern. Terjadi transformasi dalam pola kekerabatan keluarga. Terjadi penetrasi social antara wanita dan lelaki secara cepat dan dinamis dan tidak lagi dikotomistis.
REFLEKSI PEMIKIRAN DARI FENOMENA EMPIRIS
masyarakat Minangkabau. Suami-ayah hanya merupakan bapak biologis dan bukan merupakan bapak secara social. Program ruang dan struktur organisasi ruang di sebuah rumah tinggal lebih mengakomodir kepentingan kaum wanita dan anak wanita. Penyimpangan dari bentuk patrifokal dimana kehadiran lelaki sebagai suami-ayah tidak teratur maka hadirlah matrifokal. Dimana istri-ibu lebih besar pengaruh dan tanggung jawabnya terhadap keluarga dibanding suamiayah. Sebagai contoh kasus pada masyarakat Aceh,hasil telaah genealogi Samsudin (Koentjaraningrat,1985), ditemukan hubungan antara ayah dan anak yang tidak akrab, apalagi sesudah anak beranjak dewasa. Ayah bertindak otoriter. Hal ini disebabkan oleh jarangnya ayah tinggal dirumah karena harus bekerja di ladang. Disamping itu adat menetap sesudah menikah uxorilokal menempatkan istri sebagai pemilik rumah yang memang didirikan diatas tanah ibunya. Setiap rumah tinggal dihuni oleh satu keluarga, anak perempuan mendapatkan sebuah bilik atau tempat untuk tidur, sedangkan anak lelaki yang belum kawin tidak mendapatkan karena di Aceh, anak lakilaki tidur di Meunasah. Pola yang hampir mirip terjadi pada masyarakat suku Sasak di Nusa Tenggara Barat.
Memperhatikan perkembangan kebudayaan manusia maka terlihatlah adanya tiga tingkatan evolusi social, yaitu: tingkat masyarakat berburu atau tingkat liar (savage), tingkat beternak atau tingkat Barbar (Barbarisme) dan tingkat pertanian dimana berkembang suatu peradaban (Civilization). Dalam setiap tahapan peradaban, masyarakat akan menampilkan pola berhuni yang berbeda-beda pula. Dari data-data berhuni empiris pada masyarakat berbagai kebudayaan dan mengacu kepada kerangka pemikiran Rapoport tentang factor-faktor yang mempengaruhi bentukan sebuah rumah maka ada beberapa pemikiran yang dapat dilontarkan:
2. Ada juga pola perkawinan yang terjadi dalam bentuk monogami dan poligami. Pada masyarakat Lio di Nusa Tenggara Timur yang menganut adat poligami terlihat bahwa dalam penataan rumah tinggalnya terdapat ruang untuk masing-masing istrinya dalam satu rumah yang dinamakan “Magha Longgo” (Lihat gambar 4). (Oenarto, 1992). Di masyarakat Kamerun terlihat bahwa dalam satu rumah tinggalnya disediakan juga ruang untuk beberapa istri walaupun “permaisuri” mempunyai kedudukan yang lebih penting dengan ruangnya dekat pintu masuk. (Lihat gambar 5). (Rapoport,1969)
1. Dari kelima factor yang diungkapkan oleh Rapoport secara tersirat menunjukkan adanya keterkaitan peran wanita dengan perwujudan ruang. Serta kalau lebih di rinci maka secara struktur social kekuasaan dalam keluarga dapat terjadi pola patrifokal dan matrifokal. Dimana setiap pola keluarga akan melahirkan pola tatanan ruang yang berbeda. Untuk yang matrifokal kita dapat melihatnya pada
3. Pada setiap kebudayaan memiliki pola Adat menetap sesudah menikah. Ada beberapa pola yang umumnya digunakan, antara lain: a. Virilokal, adat menetap sesudah menikah dikediaman keluarga laki-laki. b. Uxorilokal, adat menetap sesudah menikah dikediaman keluarga wanita. c. Neolokal,adat menetap sesudah menikah di tempat yang baru.
84
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI (J. Lukito Kartono)
d. Natolokal,adat menetap sesudah menikah ditempat kelahirannya masing-masing. Bagi masyarakat Madura yang menganut pola Uxorilokal, maka pada setiap perkawinan menantu laki-laki akan dibuatkan rumah dikeluarga wanita di sebelah rumah orang tua perempuan. Hal ini bisa dilihat di desa “Taneyan Lanjeng” Madura. Demikian juga pada keluarga masyarakat Tionghoa yang masih memangku budaya Tionghoa dan menganut pola Virilokal. Dimana menantu perempuan harus masuk kekeluarga suami. Dari beberapa penelitian lapangan di beberapa daerah di Surabaya, terlihatlah banyak rumah tinggal dengan keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga dan beberapa dapur. Dengan terjadinya perkembangan kebudayaan maka bagi keluarga muda sekarang banyak yang menganut pola Neolokal.Dimana setelah menikah mereka tidak masuk kedalam salah satu keluarga tetapi menempati tempat yang baru.Hal ini nantinya akan mempengaruhi kebutuhan ruang dan besaran ruang yang terjadi. 4. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan akibat perkembangan teknologi terjadi pula pergeseran dalam system kekerabatan.Kalau pada masyarakat arkhaik atau tradisional ada pembagian ruang yang jelas antara lelaki dan wanita maka pada tatanan ruang rumah tinggal saat ini tidak secara jelas disebutkan pembagian ruang untuk wanita dan ruang untuk pria. Terlihat adanya penetrasi social yang lebih dinamis antara kehidupan lelaki dan wanita.Ruang yang tercipta sudah lebih berkarakter “melting Pot”. Tetapi terjadi juga varian pola yang lain seperti misalnya: Saat kehidupan tidak harus diikat dengan perkawinan untuk menjadi sebuah keluarga. Secara lebih rinci terlihat pada perubahan peran antara suami-lelaki dan istri-wanita. Hanya ada “penajaman yang kompromistis” terhadap peran lelaki atau wanita dibandingkan pada masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya variasi yang terjadi pada penataan ruang dan bentuk rumah di masa lalu dan makin sedikit variannya di masa sekarang. 5. Terlihat ada kecenderungan hubungan antara lelaki dan wanita dari dulu sampai saat ini cukup rasional dan egaliter dalam pembagian peran. Masing-masing ingin mengaktualisasikan dirinya dengan kompromi- kompromi
terhadap “mahluk” lainnya sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui. Jadi kelihatannya secara umum tidak terjadi marjinalisasi atau diskriminasi wanita dalam penataan ruang atau perwujudan bentuk ruang pada masa lalu maupun masa kini. Memang untuk pembuktian yang lebih sahih, dapat ditindak lanjuti dengan penelitian yang lebih cermat dan dalam. DAFTAR PUSTAKA Altman, I. & Martin, C., Culture and Environment, Brooks/Cole Publishing Company Monterey, California, 1980. Budhisantoso, S., Keluarga Matrifokal Sebagai Bentuk Variasi atau Adaptasi Keluarga. Makalah Penataran metode penelitian kualitatip yang diselenggarakan oleh Puslit kemasyarakatan dan budaya LPUI,Depok 9-21 Juli 1990. Carsten, J. & Stephen Hugh J., About The House: Levi-Strauss and Beyond. Cambridge University Press,1995. Fox, J.J. (Editor), Inside Austronesian Hous, Perspectives on Domestic Designs Living, The Australian National University, Canberra.1993. Hanson, J., Decoding Homes and Houses, Cambridge University Press New York, 1998. Headley, S.C., Toward an Anthropology of Prayer: Javanese Ethnolinguistic Studies. Publications de l’Universite de Provence, 1996. Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia. PN Balai Pustaka Jakarta, 1985. Kunstadter, P., A Survey of The Consanguine or Matrifocal Family, American Anthropologist, LXIII, 1963. Oenarto, J., Arsitektur Proto MongoloidNegroid-Austroloid, Universitas Widya Mandira, Kupang-NTT, 1992. Peterson, R., Feminist Critique of the Built Environment: A Reflection of Cultural
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
85
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 - 87
Change in North America dalam Architecture in Cultural Change, Edited by David G.Saile.Built Form & Culture Studies, School of Architecture and Urban Design, The University of Kansas, 1984. Rapoport, A., House, Form and Culture, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New York, 1969. Santosa, R.S., Omah, Membaca Makna Rumah Jawa , Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. 2000.
Sumber: Hanson, 1998
Gambar 2. Tenda Teda
Suryakusuma, Y.I., Pascamodernisme dan Feminisme: Les Liaisons Dangereuses. Makalah seminar Pascamodernisme, relevansinya bagi hak-hak azasi manusia Indonesia mutakhir. Diselenggarakan oleh Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga pada tanggal 8-9 Oktober 1993. Weisman, L.K., Discrimination by Design: A Feminist Critique of The Man-Made Environment. Univbersity of llinois Press, Urbana and Chicago, 1994.
Sumber: Hanson, 1998
Gambar 3: Rumah Mongolia
Lampiran:
Sumber: Hanson, 1998
Gambar 1. Tenda Bedouin
86
Sumber: Oenarto, 1992
Gambar 4. Denah Rumah Saoria, Arsitektur Lio
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
STUDI AWAL TENTANG POLEMIK PERAN WANITA PADA DESAIN RUMAH TINGGAL; DENGAN PENDEKATAN GENEALOGI (J. Lukito Kartono)
Sumber: Rapoport, 1969
Gambar 5. Denah Rumah Suku Kamerun
Sumber: koleksi pribadi 1996
Gambar 6. Denah Rumah Surabaya
di
Wisma
Mukti
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/
87