Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
STUDI AWAL PERFORMA SAPI PERAH FH X ONGOLE DARA DI DATARAN RENDAH (A Preliminary Study on the Performance of Friesian Holstein and Ongole Crossbred Heifers Adapted in Lowland Areas) L. PRAHARANI, HASTONO, D.A. KUSUMANINGRUM dan P. SITUMORANG Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A study was conducted to evaluate efficiency of production for F-1 50% Ongole Grade 50% Friesian Holstein (OH). Observation on 15 females consist of 5 dams, 5 heifers FH and 5 heifers F-1 OH was done at Research Station of IRIAP (Indonesian Research Institute for Animal Production) Cicadas, Bogor. All animals were fed 25 kg of King Grass per head/day and 2.5 kg concentrate per head/day. All animals were estrus synchronized using prostaglandin and inseminated after showing estrus symptoms. Pregnancy detection was two months after insemination. Parameters evaluated were body weight at 2 years old and at breeding, average daily gain between 1 – 2 years old, body condition score and size (body length, chest girth, and shoulder height), estrus rate, service per conception, pregnancy rate, gestation length and feed consumption. Research results had shown that average body weight at 2 years old for FH heifers and F-1 OH heifers were 315.80 kg and 335.75 kg. Average daily gain for FH and F-1 OH heifers were 0.31 kg/day and 0.39 kg/day, respectively. The average body weights at breeding were 340.20 kg and 342.25 kg for FH heifers and F1 OH heifers. Body condition scores for FH dams, FH heifers and F1 OH heifers were 3, 4 and 4.25. The body size of FH and F-1 OH heifers were body length (125.80 cm vs 122.75 cm), shoulder height (131.20 cm vs 130.25 cm) and chest girth (165.8cm vs 162.75 cm). Estrus rate obtained from estrous synchronization were 80%, 80 and 100% for FH heifers, F1 OH heifers and FH dams, respectively. Pregnancy rate obtained from synchronization and artificial insemination were 66, 50 and 0% for FH heifers, F1 OH heifers and FH dams, however comparing total FH females to F1 OH heifers was lower (33 vs 50%). Service per conception was for FH heifers, F-1 OH heifers were 1.2 and 1.4, respectively. Gestation has not been yet known since all the animals observed were still pregnant. Feed consumption for all animals was given in the same quantities which were 25 kg/head/day for forage and 2.5 kg/head/day for concentrate. Biological efficiency based on productivity and reproductivity of F1 OH heifers was higher than FH females due to adaptability and heterosis effects. Due to few animals used in this study the conclusion was only an exploratory report that may be considered as initial information regarding the crossbreeding program between FH and PO cattle. However, it needs further study to obtained better conclusion with appropriated sample size of animals. Key Words: Dairy Cattle, Production Efficiency, Lowland ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi efisiensi produksi sapi perah hasil persilangan (F-1) Peranakan Ongole dan Friesian Holstein. Pengamatan terhadap 15 ekor sapi betina yang terdiri dari 5 ekor sapi dara FH, 5 ekor sapi induk, 5 ekor sapi dara F-1 50% Peranakan Ongole 50% Holstein (OH) yang dipelihara pada Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak Cicadas, Bogor. Pemberian pakan berupa rumput King grass sebanyak rata-rata 25 kg/ekor/hari dan konsentrat dengan kandungan protein 12 – 16% sebanyak 2,5 kg/ekor/hari kepada semua ternak yang diamati. Semua ternak diberikan perlakuan sinkronisasi estrus menggunakan hormon prostalglandin dan diinseminasi bila menunjukan tanda-tanda estrus. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan setelah 2 bulan inseminasi buatan. Parameter yang diamati adalah berat badan, pertambahan berat badan, kondisi dan ukuran tubuh, service per conception, persentase kebuntingan, lama kebuntingan, dan konsumsi pakan. Hasil pengamatan rataan berat badan umur dua tahun untuk sapi dara FH kg dan sapi dara F-1 OH 315,80 kg dan 335,75 kg. Berat badan pada saat dikawinkan untuk sapi dara FH dan F1 OH, dan sapi induk FH masing-masing sebesar 340,20 kg, 342,25 kg. Pertambahan berat badan antara umur setahun dan dua tahun untuk sapi dara FH dan F-1 OH masing-masing sebesar 0,31 kg/ekor/hari dan
136
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
0,39 kg/ekor/hari. Kondisi tubuh sapi induk FH, sapi dara FH dan sapi dara F1 OH masing-masing 3, 4 dan 4,25. Ukuran tubuh sapi dara FH dan F1 OH berturut-turut panjang badan 125,80 cm dan 122,75 cm, tinggi badan 131,20 dan 130,25 cm, dan lingkar badan 165,80 cm dan 162,75 cm. Persentase ternak yang menujukan estrus setelah sinkronisasi sapi dara FH dan F1 OH masing-masing sebesar 80 dan 80%, sedangkan sapi induk FH 100%. Persentase kebuntingan setelah sinkronisasi dan inseminasi buatan adalah untuk sapi dara FH dan F-1 OH sebesar 66 dan 50% sedangkan sapi induk FH 0%, tetapi bila total sapi betina FH dibandingkan sapi dara F-1 OH berturut-turut sebesar 33 vs 50%. Service per conception masing-masing sapi dara FH, F-1 OH dan FH induk sebesar 1,2 and 1,4. Lama kebuntingan belum diperoleh datanya karena sapi masih dalam keadaan bunting. Konsumsi pakan untuk semua sapi diberikan dalam jumlah yang sama, standar sebesar 25 kg/ekor/hari (hijauan) dan 2,5 kg/ekor/hari (konsentrat). Efisiensi biologi berdasarkan berat badan dan persentase kebuntingan menujukan sapi F1 OH lebih efisien dibandingkan sapi FH disebabkan daya adaptasi pengaruh heterosis. Oleh karena materi ternak yang digunakan dalam penelitian ini sangat sedikit, maka kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini hanya merupakan sebuah studi awal yang memberikan gambaran program persilangan antara sapi FH dan PO. Sebagai saran, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel ternak lebih banyak (minimal 30 ekor) untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat. Kata Kunci: Sapi Perah, Efisiensi, Dataran Rendah
PENDAHULUAN Sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis Holstein yang pada awalnya diimpor dari Belanda yang memiliki kondisi suhu lingkungan dingin. Oleh karena itu pemeliharaan sapi perah Holstein pada umumnya terkonsentrasi di dataran tinggi, tetapi kemudian berkembang ke daerah dataran rendah. Beberapa lokasi peternakan sapi perah yang berkembang di dataran rendah seperti di DKI Jakarta dan Bogor antara lain disebabkan oleh dekatnya lokasi peternakan dengan pasar (kota besar) sehingga memperpendek jalur tataniaga, dimana peternak dapat menjual susu langsung kepada konsumen dengan harga lebih tinggi. Akan tetapi kondisi dataran rendah seperti temperatur udara yang lebih panas dibandingkan dengan dataran tinggi menyebabkan turunnya produksi susu sapi terutama sapi Holstein. Usahaternak sapi perah di dataran rendah yang semakin berkembang memerlukan dukungan upaya peningkatan dan perbaikan di berbagai aspek termasuk pemuliaan ternak yaitu melalui pembentukan sapi perah yang cocok untuk kondisi dataran rendah. Salah satu strategi program pemuliaan dalam rangka menyediakan bibit unggul sapi perah yang cocok dengan kondisi dataran rendah dapat dilakukan melalui persilangan antara sapi perah FH dengan sapi lokal. Persilangan antara bangsa sapi yang berbeda menghasilkan efek heterosis dimana keturunan persilangan (F-1) memiliki performa lebih baik dibandingkan
dengan tetuanya (BOURDON, 2000) sebagai akibat kombinasi gen dari tetuanya serta pengaruh komplementaritas. Penelitian persilangan sapi FH dengan beberapa bangsa Bos indicus telah banyak dilakukan di beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang menghasilkan beberapa genotipa baru dengan proporsi darah FH yang berbeda. Di Indonesia penelitian awal sapi perah persilangan yang pernah dilaporkan oleh SIREGAR et al. (2000) menunjukan bahwa produksi susu persilangan antara sapi FH dan Hissar (Bos indicus) di Sumatera Utara cukup baik. Sapi Peranakan Ongole (Bos indicus) telah lama berkembang di Indonesia dan saat ini populasinya cukup banyak terutama di pulau Jawa. Pemanfaatan sapi PO di Indonesia masih sebagai penghasil daging (ternak potong), tetapi di India, sapi Ongole memiliki peranan penting dalam industri susu dan daging. Melalui pemanfaatan pengaruh heterosis dan gen kombinasi sifat unggul dari sapi FH dan Ongole, maka persilangan sapi FH dan PO diharapkan dapat menghasilkan produksi susu minimal sama dengan sapi FH yang dipelihara di dataran rendah tetapi efisiensi produksinya lebih tinggi dibandingkan sapi FH yang dipelihara di dataran rendah, mengingat sapi PO lebih efisien dalam penggunaan pakan dibandingkan Bos taurus dalam kondisi tropis. Balai Penelitian Ternak telah melakukan persilangan sapi PO dengan FH sejak tahun 2005 bertujuan membentuk sapi perah (Ongole Holstein) yang cocok untuk dikembangkan di
137
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
daerah dataran rendah atau panas. Dari hasil penelitian sapi F1 OH menunjukan adanya produktivitas anak yang baik akibat pengaruh heterosis dan kemampuan adaptasinya. Informasi produksi dan reproduksi serta efisiensi F1 OH belum lengkap karena ternak F1 baru memasuki masa awal reproduksi (dewasa kelamin) dan jumlahnya belum memenuhi kaidah penelitian, sehingga diperlukan penelitian lanjutannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi produksi dan reproduksi sapi persilangan (F1) OH dan pembandingnya sapi perah FH di dataran rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan arah dan strategi pemuliaan sapi perah yang berkaitan dengan pembentukan rumpun sapi perah adaptif dan efisien yang dapat dikembangkan di daerah dataran rendah dan panas khususnya di luar pulau Jawa. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak di Cicadas. Materi yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu 16 ekor sapi betina yang terdiri dari 5 ekor sapi dara FH, 6 ekor sapi induk dan 5 ekor sapi dara turunan pertama (F-1) hasil persilangan PO dan FH (50% FH 50% PO). Semua ternak akan diberikan pakan seragam dengan kandungan protein 12 – 16% dan TDN 66% sebanyak 2,5 kg/hari/ekor (1,2% dari Bobot badan) dan hijauan pakan berupa rumput unggul sebanyak 20 – 25 kg (Kingrass/Gajah = 10% dari bobot badan) dan leguminosa, berdasarkan perhitungan berat badan sapi 200 kg dengan pertambahan bobot badan sebesar 0,3 kg/hari. Semua sapi dara dan induk diberikan hormon prostaglandin 2 cc/ekor untuk sinkronisasi estrus. Pengamatan estrus dilakukan setelah 7 hari sesudah penyuntikan hormon. Ternak yang menunjukkan gejala estrus kemudian dikawinkan melalui inseminasi buatan. Sedangkan ternak yang tidak menunjukan gejala estrus diberikan hormon prostaglandin kembali sebanyak 2 kali dengan selang 7 hari dan dilakukan inseminasi tanpa deteksi estrus dengan metode fixed time insemination. Pemeriksaan kebuntingan
138
dilakukan pada bulan ke-2 dan 3 setelah inseminasi. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah berat badan pada umur 2 tahun; berat badan saat dikawinkan; pertambahan berat badan harian pada umur antara setahun dan dua tahun; kondisi tubuh dan ukuran tubuh (panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada; persentase estrus; persentase (tingkat) kebuntingan; service per conception; dan efisiensi (biologi). Skor kondisi tubuh yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan metode HERD dan SPROTT (1986) dengan skala 1 sampai 9 seperti berikut: 1 (amat kurus sekali), 2 (kurus sekali), 3 (kurus), 4 (kurus, perdagingan terlihat), 5 (sedang), 6 (sedang-baik), 7 (baik), 8 (gemuk), dan 9 (terlalu gemuk). Ukuran tubuh sapi dara meliputi panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada yang diukur menggunakan pita ukur dan tongkat pengukur. Persentase estrus merupakan jumlah ternak yang estrus setelah disinkronisasi melalui deteksi estrus. Persentase kebuntingan dihitung berdasarkan jumlah ternak yang disinkronisasi dan diinseminasi buatan menjadi bunting setelah pemeriksaan kebuntingan melalui paspasi rektal saat 2 bulan setelah ternak diinseminasi. Service per conception dihitung dengan cara menjumlahkan berapa kali inseminasi buatan pada ternak yang sama sampai ternak tersebut dinyatakan bunting. Lama kebuntingan diukur dengan cara menghitung jumlah hari antara dikawinkan melalui inseminasi buatan dan kelahiran ternak. Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pemberian hijauan dan konsentrat yang dibatasi jumlahnya yaitu 25 kg King grass segar dan 2,5 kg konsentrat yang mengandung protein 12 – 16%. Semua ternak mendapat perlakuan pemberian pakan yang sama, sehingga tidak ada perbedaan manajemen lingkungan (faktor non-genetik) Efisiensi biologi dihitung berdasarkan terhadap produktivitas (berat badan, pertumbuhan, ukuran dan kondisi tubuh) dan reproduktivitas (persentase estrus, service per conception, kebuntingan). Konsumsi pakan (feed intake) per individu ternak untuk setiap genotipa tidak dihitung dan dianggap sama. Semua data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan prosedur GLM dari program SAS (2001) dan pengujian rataan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
paramater yang diukur dilakukan dengan T-test untuk mengetahui derajat signifikasi antar genotipa sapi (sapi FH vs sapi OH). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik sapi OH (F-1) Penampilan eksterior sapi OH (F-1) berbeda yang sangat khas adalah bentuk tanduk dan elambir. Sapi OH baik jantan maupun betinanya memiliki tanduk yang lebih panjang melengkung ke atas seperti sapi PO dengan gelambir sangat jelas dan lebih lebar dibandingkan dengan sapi FH, sedangkan tanduk sapi FH kecil dan melengkung ke arah dalam. Pola warna tubuh mengikuti pola warna tubuh sapi FH (hitam dan putih) baik pada sapi jantan maupun betina. Sifat tanduk dan gelambir merupakan sifat dominan yang diturunkan dari sapi PO, sedangkan pola warna merupakan sifat dominan yang diwariskan dari sapi FH.
Sapi OH (F-1) merupakan hasil persilangan antara pejantan PO dan induk FH, sedangkan perkawinan resiproknya tidak dilakukan, sehingga belum diketahui apakah ada perbedaan dengan resiprokalnya. Parameter eksterior lainnya yang membedakan sapi OH dari tetuanya belum dilakukan. Karakteristik pembeda lainnya adalah temperamen sapi, dimana temperamen sapi OH lebih sulit penanganan, agak liar dan galak. Sementara sapi FH lebih jinak dan kalem serta mudah untuk penangannya (handling). Tabel 1 menampilkan karakteristik eksterior sapi FH, PO dan F1 OH. Berat badan Sifat pertumbuhan sapi berhubungan langsung dengan berat badan ternak dan merupakan salah satu sifat ekonomis yang penting dalam mengevaluasi produktifitas dan effisiensi ekonomi suatu usaha peternakan (MARTINS et al., 2003). Tabel 2 memperlihatkan
Tabel 1. Karaketeristik eksterior sapi FH, PO dan F1 OH Karakter
Sapi FH
Sapi PO
Sapi F-1 OH
Warna tubuh
Hitam putih (belang)
Putih
Hitam putih (belang)
Tanduk
Pendek melengkung ke depan
Panjang melengkung ke atas
Panjang melengkung ke atas
Gelambir
Kurang jelas
Ada jelas, lebar
Jelas lebar
Bentuk moncong
Lebih pendek
Lebih panjang
panjang
Temperamen
Tenang, jinak, mudah handling
Agak liar, agresif, susah handling
Liar, agresif, susah handling
Tabel 2. Rataan performa sapi perah dataran rendah dan standar deviasi Parameter Umur ternak, tahun Berat badan 2 tahun, kg Berat badan kawin, kg Pertambahan berat badan, kg/hari Score tubuh (1 – 9) Panjang badan, cm Lingkar badan, cm Tinggi badan, cm Estrus (sikronisasi + deteksi), % % Kebuntingan (1x sinkronisasi) Service per conception
Genotipa FH induk (3)
FH dara (5)
OH dara (5)
6 357,67 ± 14,57 3 129,67 ± 0,47 169,33 ± 2,1 133,33 ± 3,1 100 0 0
2 315,80 ± 48,8 340,20,±,49,6 0,31 ± 0,14 4 125,80 ± 6,7 165,80 ± 7,1 131,20 ± 4,8 80 66 1,2
2 335,75 ± 45,1 342,25 ± 39,7 0,39 ± 0,16 4,25 122,75 ± 11,9 162,75 ± 9,2 130,25 ± 3,4 80 50 1,4
139
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
rataan produksi dan reproduksi dari sapi FH dara dan induk serta sapi dara OH (F-1). Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa rataan berat badan umur dua tahun sapi dara FH dan F1 OH masing-masing sebesar dan 315,80 kg dan 335,75 kg. Sapi dara F1 OH memiliki berat badan lebih tinggi 6,3% dibandingkan dengan sapi dara FH. Berat badan badan umur 2 tahun sapi PO dalam rangkuman ASTUTI (2004) berkisar antara 223 – 300 kg dengan rataan 261 kg. Pertambahan berat badan sapi FH dan sapi F1 OH adalah 0,31 kg/hari dan 0,39 kg/hari, dimana sapi F1 OH terlihat lebih cepat bertumbuh dibandingkan dengan sapi FH. Pertambahan berat badan ini diukur pada saat ternak berumur antara umur 1 tahun dan 2 tahun. Menurut ASTUTI (2004) rataan pertambahan berat badan pasca sapih sapi PO 0,31 – 0,40 kg/hari dengan rataan 0,35. Pertambahan berat badan harian sapi F1 OH diatas rataan sapi PO dan FH. Bila dilihat dari pemberian pakan untuk semua ternak sapi dalam penelitian ini dengan kuantitas dan kualitas yang sama, maka terlihat bahwa efisiensi sapi dara F1 OH lebih baik 25% dibandingkan dengan sapi dara FH. Berat badan kawin diukur saat sebelum ternak sapi dikawinkan. Dalam penelitian ini semua ternak betina dikawinkan melalui inseminasi buatan, sehingga ternak ditimbang saat sebelum diinseminasi. Berat badan kawin sapi dara FH rata-rata sebesar 340,20 kg dan F1 OH sebesar 342,25 kg, dan sapi induk FH 357,67 kg. Berat badan kawin sapi dara F1 OH sama dengan sapi dara FH. Melalui berat badan kawin yang sama diharapkan respon kebuntingannya sapi F1 OH akan sama sapi FH. Umur ternak (sapi dara FH dan F1 OH) saat dikawinkan dalam peneliti ini berumur 29 bulan, dimana sapi FH biasanya dikawinkan pada umur 24 bulan dan sapi PO antara 26 bulan (ASTUTI, 2004). Ukuran tubuh Ukuran tubuh sering digunakan untuk mempelajari karakter fenotipik ternak yang mencerminkan pertumbuhan kerangka tulang dan pertambahan berat badan. Tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada merupakan parameter yang sering digunakan untuk
140
membandingkan performan ternak. Parameter ukuran tubuh dapat digunakan sebagai standar seleksi untuk mendapatkan ternak yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar karena berkaitan dengan bobot badan dan pertumbuhan (ESSIEN dan ADESCOPE, 2003). Ternak yang memiliki ukuran tubuh lebih besar mencerminkan kualitas pertumbuhan yang baik dibanding dengan ternak lain pada umur yang sama. Parameter ukuran tubuh yang biasa dipakai sebagai standar yaitu tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada yang mempunyai korelasi positif dengan berat badan (BLACKMORE et al., 1995). Ukuran tubuh yang diamati dalam penelitian ini adalah panjang badan, tinggi badan dan lingkar badan seperti yang terdapat pada Tabel 2. Panjang badan sapi FH dan F1 OH masing-masing sebesar 125,80 cm dan 122,75 cm; tinggi badan 131,20 cm dan 130,25 cm; lingkar dada 165,80 cm dan 162,75 cm. Berdasarkan ukuran tubuh terlihat bahwa sapi F1 OH memiliki ukuran tubuh yang relatif sebanding dengan sapi dara FH. Bila dilihat dari ukuran tubuhnya, sapi PO memiliki postur tubuh lebih kecil dibandingkan sapi FH, yaitu panjang badan 120,15 cm, tinggi badan 127.46 cm dan lingkar dada 156,44 cm, (KURNIAWAN, 1985). Berdasarkan rataan sapi FH dan PO dari literatur, maka ukuran badan sapi F1 OH diantara sapi FH dan sapi PO, sementara heterosis efek ukuran tubuh sangat kecil sekali, tetapi ukuran tubuh F1 OH lebih besar dibandingkan dengan sapi PO, dan hampir sama dengan sapi FH. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh heterosis pada sapi F1 OH dimana besar tubuhnya sama dengan tetuanya dan lebih besar dari rataan tetuanya. MADUREIRA et al. (2002) dan MAGDALENA et al. (2003) melaporkan adanya heterosis efek yang besar sifat pertambahan ukuran linear tubuh terutama tinggi badan pada sapi persilangan FH dan Guzera (Bos indicus) yang dilakukan di Brasil. Ukuran tubuh ini sangat berhubungan dengan berat badan dan efisiensi pakan serta energi balance khususnya pada ternak sapi perah (KOENEN, 2001; SONDERGAARD et al., 2002) dan mempunyai heritabilitas tinggi (BERRY et al., 2004). Ukuran tubuh ternak sapi perah mempunyai korelasi positif terhadap produksi susu berkaitan dengan jumlah sel somatic (HAAS et al., 2007). Selain itu
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
dikatakan itu juga ukuran tubuh ini dapat dijadikan indikator daya adaptasi ternak terhadap lingkungan. Berdasarkan parameter ukuran tubuh ini, terlihat bahwa besar tubuh sapi FH dan F1 OH sama. Skor kondisi tubuh Konformasi tubuh sangat berkaitan dengan efisiensi pakan dan dan energy balance yang dipengaruhi oleh manajemen pakannya. Kondisi tubuh sangat berpengaruh terhadap efisiensi reproduksi ternak. Skor tubuh mempengaruhi ketersediaan energi yang diperlukan dalam aktifitas reproduksi ternak (SENGER, 2000; WETTEMANN et al., 2003). Induk-induk dengan skor tubuh rendah lebih panjang jarak beranaknya dibandingkan skor tubuh lebih dari 6 (sedang) karena estrus postpartum lebih panjang akibat dari lambatnya pertumbuhan folikel dalam siklus berahi (LENTS et al., 2000). Skor tubuh sedang menjadi nilai kritis terendah bagi ternak betina memiliki siklus berahi normal. Skor kondisi tubuh sapi dara FH dan F1 OH relatif sama yaitu nilai 4 dan 4,25 dimana kondisi ternak dalam keadaan baik atau sedang. Meskipun sapi F1 OH cenderung lebih baik dibandingkan dengan sapi FH. Skor kondisi tubuh ternak sapi dalam penelitian ini mencerminkan pemberian pakan yang cukup baik secara kuantitas dan kualitasnya. Berdasarkan nilai skor kondisi tubuh diharapkan bahwa efisiensi reproduksi baik yang diukur melalui persentase estrus dan kebuntingan. Dilain pihak sapi induk FH memiliki skor kondisi tubuh 3 atau kurus, kemungkinan disebabkan pada saat penelitian sapi induk sedang diperah, sementara jumlah pakan yang diberikan sama kuantitas dan kualitas dengan sapi dara FH dan F1 OH, sehingga terjadi negatif energy balance. Skor kondisi tubuh yang kurus ini dapat menyebabnya terganggunya efisiensi reproduksi (WETTERMAN et al., 2003). Performa reproduksi Efisiensi reproduksi merupakan sifat ekonomi yang memiliki peranan penting dalam usaha ternak berkaitan dengan pemeliharaan
ternak betina. Sifat reproduksi 3,4 – 10 kali lebih penting dari sifat produksi (MELTON, 1995). Performa reproduksi dapat diukur melalui persentase estrus, kebuntingan dan jumlah anak yang lahir. Efisiensi reproduksi sangat dipengaruhi oleh berat badan saat kawin, skor kondisi tubuh. Respon sinkronisasi estrus terhadap persentase estrus dan kebuntingan sangat dipengaruhi oleh genetik. Persentase estrus ternak yang telah disinkronisasi estrus dan diamati gejala estrusnya (deteksi estrus) sapi dara FH, F1 OH dan sapi induk FH masing-masing sebesar 80, 80 dan 100%. Persentase estrus menggambarkan respon sapi terhadap sinkronisasi estrus dalam hal ini digunakan hormon Prostaglandin. Terlihat bahwa respon sapi dara F1 OH sama dengan sapi FH, sementara respon sapi induk lebih baik dibandingkan dengan sapi dara. Beberapa penelitian melaporkan perbedaan efisiensi reproduksi dari sapi Bos taurus dan Bos indicus, dimana sapi Bos indicus memiliki efisiensi reproduksi lebih rendah (GEARY dan WHITTIER, 1998; STEVENSON et al., 2000). GALINA (1996) dalam reviewnya melaporkan persentase estrus sebagai respon sinkronisasi estrus pada sapi Zebu (Bos indicus) sebesar 60%. Sedangkan PRAHARANI (2004) melaporkan bahwa persentase estrus setelah sinkronisasi estrus dari sapi Angus (Bos taurus), 50% Angus 50% Brahman dan Brahman (Bos indicus) masing-masing 60%, 68% dan 58%, dimana terlihat adanya heterosis efek persentase estrus sebesar 13%. Sedangkan pada penelitian ini persentase estrus F1 OH sama dengan sapi Bos taurus disebabkan oleh heterosis efek. Peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan melalui persilangan antara Bos indicus dan Bos taurus. Persentase kebuntingan ternak yang telah disinkronisasi satu kali dan diinseminasi sapi dara FH, F1 OH dan sapi induk FH masingmasing sebesar 60, 50 dan 0%. Sapi dara FH memiliki persentase kebuntingan paling tinggi seperti yang dilaporkan oleh STEVENSON et al. (2000) bahwa respon sinkronisasi estrus terhadap persentase kebuntingan sapi Bos taurus dilaporkan lebih tinggi dibandingkan sapi persilangan Bos taurus x Bos indicus. Bila dibandingkan dengan total sapi FH (dara dan induk) maka persentase kebuntingan sapi F-1 OH lebih tinggi dibandingkan dengan
141
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
(37,5 vs 50%). Hal ini menunjukkan adanya kemampuan adaptasi dan pengaruh heterosis. PRAHARANI (2004) melaporkan tingkat kebutingan ternak yang disinkronisasi estrus dan inseminasi buatan sapi persilangan Bos taurus x Bos indicus lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Bos taurus karena pengaruh hetersosis dan kemampuan adaptasi yang lebih tinggi disebabkan gen Bos indicus, sementara tingkat kebuntingan sapi Bos indicus terendah. Sementara sapi induk FH tidak ada yang bunting, padahal persentase estrusnya 100%, kemungkinan estrus yang terjadi tidak mengakibatkan ovulasi atau embrio gugur. Salah satu penyebab tidak terjadinya kebuntingan pada sapi induk kemungkinan disebabkan skor kondisi tubuh yang kurus sehingga menggangu aktifitas reproduksinya, ditambah lagi saat dikawinkan dalam kondisi diperah. Pengaruh kondisi tubuh terhadap tingkat kebuntingan ternak berkaitan dengan fungsi hormon gonadotropin (FSH dan LH) dimana kurangnya cadangan energi dalam tubuh menyebabkan kurangnya sekresi hormon gonadotropin dari hipothalamus (SENGER, 2000). Service per conception ternak yang disinkornisasi estrus dan inseminasi buatan sapi dara FH dan F1 OH sebesar 1,2 dan 1,4. Secara umum kemampuan fertilitas sapi dara FH lebih tinggi 16% dibandingkan F1 OH. ASTUTI (2004) melaporkan service per conception sapi PO antara 1,29 dan 2,23 dengan rataan 1,76. Nilai service per conception F1 OH berada diantara rataan tetuanya (1,48), meskipun heterosis efeknya belum terlihat. Efisiensi (biologi) Perlu diingat bahwa semua ternak diberikan pakan terbatas yang sama jumlah dan kualitas baik hijauan dan konsentrat, sehingga perbedaan produktivitas dan reproduktivitas diantara kedua genotipa (sapi FH vs OH) disebabkan karena perbedaan genotipa. Efisiensi (biologi) ternak berdasarkan produktivitas (berat badan, ukuran dan skor kondisi tubuh) sapi dara FH dan sapi F1 OH secara umum relatif sama. Tetapi efisiensi berdasarkan reproduktivitas (persentase kebuntingan) sapi F1 OH lebih tinggi
142
dibandingkan dengan sapi betina FH. Keunggulan sapi F1 OH ini menunjukan adanya adaptabilitas ternak dan pengaruh heterosis. Besarnya nilai heterosis dalam penelitian ini seperti yang dilaporkan oleh CORDOSSO et al. (2006) dimana dalam kondisi yang minimal dan terbatas, nilai heterosis efek akan semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh HOLLMAN et al. (1990) di Venezuela menunjukan adanya produktifitas yang lebih tinggi pada sapi 50% FH dan 50% pada daerah dataran rendah dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan sapi FH murni. Pemeliharaan pada dataran rendah dimana cekaman lingkungan lebih besar, sapi persilangan lebih efisien dan menguntungan dibandingkan sapi perah murni disebabkan oleh rendahnya biaya produksi. Demikian juga biaya variabel sapi perah murni FH lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dwiguna persilangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan sapi persilangan dwiguna di dataran rendah lebih menguntungkan dibandingkan pemeliharaan sapi FH murni di daerah dataran tinggi. KESIMPULAN Produktivitas (pertambahan dan berat badan umur 2 tahun dan saat dikawinkan, skor kondisi tubuh dan ukuran tubuh) ternak sapi dara persilangan (F1) OH secara umum sebanding dengan sapi dara FH akibat pengaruh heterosis dan daya adaptabilitas. Reproduktivitas (persentase estrus, tingkat kebuntingan dan service per conception) sapi F1 OH lebih tinggi dibanding sapi FH. Akurasi kesimpulan dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan mengingat sedikitnya materi ternak penelitian, tetapi dapat dijadikan sebagai gambaran awal program persilangan sapi perah FH dengan PO dalam rangka membentuk sapi perah adaptif dataran rendah. Perhitungan efisiensi (biologi) secara tepat perlu dilakukan terutama terhadap produksi susu untuk mengetahui efektifitas sapi persilangan. Penelitian lanjutan dengan jumlah ternak yang lebih banyak sangat disarankan untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK Penelitian ini memberikan manfaat berupa gambaran mengenai program persilangan sapi perah yang merupakan masukan bagi pembentukan rumpun sapi perah dataran rendah. Dampak penelitian ini adalah penetuan langkah strategi pemuliaan dalam pembentukan rumpun sapi perah yang efisien dan adaptif dataran rendah, sehingga membuka peluang pengembangan peternakan sapi perah di daerah panas di luar pulau Jawa. DAFTAR PUSTAKA ASTUTI. M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole. Wartazoa 14(4): 30 – 39. BERRY D.P., R. BUCKLEY, P. DILLON, R.D. EVANS and R.F. VEERKAMP. 2004 Genetic relationships among linear type traits, milk yield, body weight, fertility and somatic cell count in primiparous dairy cows. Irish J. Agri. Food Res. 43: 161 – 176. BLACKMORE D.W., L.D. MCGULLIARD and J.L. LUSH. 1995 Genetic relationship between body measurements at three ages in Holstein. J. Dairy Sci. 41: 1045. BOURDON, R.M. 2000. Understanding breeding. Prentice Hall. NY.
animal
BOURDON, R.M. 2000. Understanding breeding. Prentice Hall. NY.
animal
HAAS, Y., L.L.G. JANSS and H.N. KADARMIDEEN. 2007. Genetic and phenotypic parameters for conformation and yield traits in three Swiss dairy cattle breeds. J. Anim. Breeding and Genetics 124 (1), 12–19. ESSIEN, A. and O.M. ADESOPE. 2003. Linear body measurements of N’dama calves at 12 months in a South Western zone of Nigeria. Livestock Research for Rural Development (15)4. GALINA, C.S., A. ORIHUELA and I. RUBIO. 1996: Behavioural trends affecting oestrus detection in zebu cattle. Anim Reprod Sci. 42: 465 – 470. HERD, D.B. and L.R. SPROTT. 1986. Body condition, nutrition, and reproduction of beef cows. Texas Agric. Ext. Ser. Bull. No. B-1526.
HAAS, Y., L.L.G. JANSS and H.N. KADARMIDEEN. 2007. Genetic and phenotypic parameters for conformation and yield traits in three Swiss dairy cattle breeds. J. Anim. Breed. Genetics 124(1): 12 – 19. GEARY, T.W. and J.C. WHITTIER. 1998. Effect of timed insemination following synchronization of ovulation using the Ovsynch or CO-Synch system in Beef Cows. The Professional Animal Scientist 14: 217 – 220. HOLMANN, F., R.W. BLAKE, M.V. HAHN, R. BARKER, R.A. MILLIGAN, P.A. OLTENACU and T.L. STANTON. 1990. Comparative Profitability of Purebred and Crossbred. Holstein Herds in Venezuela. J. Dairy Sci. 73: 2219 – 2205. KOENEN E.P.C. 2001. Selection for body weight in dairy cattle. PhD-thesis, Wageningen University LENTS, C.A., F.J. WHITE, D.L. LALMAN and R.P. WETTEMANN. 2000. Effects of body condition of beef cows at calving and protein supplementation on estrous behavior and follicle size. Okla. Agr. Exp. Stn. Res. Rep. P980: 164 – 168. MELTON, B.E. 1995. Beef's Challenges for 2005. 44th Annual Florida Beef Cattle Short Course Proceedings; May 3–5; Gainesville, FL. University of Florida. Gainesville. Animal Science Department. 155 p. MARTINS, G.A., F.E. MADALENA, J.H. BRUSCHI, J.L. COSTA and J.B.N. MONTEIRO. 2003. Objetivos econômicos de seleção de bovinos de leite para fazenda demonstrativa na Zona da Mata de Minas Gerais. Rev. Bras. Zootec. 32: 304 – 314. MADUREIRA, A.P., F.E. MADALENA and L.R. TEODORO. 2002. Desempenho comparativo de seis grupos de cruzamento Holandês x Guzerá. 11. Peso e altura de vacas. Rev. Bras. Zoot. (in press). MADALENA, F.E., R.L. TEODORO and A.P. MADUREIRA. 2003. Relationships of weight and height with age in hybrid HolsteinFriesian/Guzera females. Genet. Mol. Res. 2 (3): 271 – 278. PRAHARANI. L. 2004. Genetic evaluation for growth traits, reproductive performance and meat tenderness. Dissertation. University of Florida, USA. SAS. 2001. SAS User’s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC
143
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
SENGER, P.L. 2000. Pathway to pregnancy and parturition. 2nd Ed. Current conception Inc. Pullman, WA. SIREGAR, A.R., A.A. KARTO, C. TALIB, KUSWANDI, J. BESTARI dan S.B. SIREGAR. 2000. Identifikasi Potensi, Peluang dan Kendala Pengembangan Sapi Perah di Dataran Rendah, Laporan Tahunan. Balai Penelitian Ternak, Bogor SIREGAR, A.R. C. TALIB, J. BESTARI, KUSWANDI dan HASTONO. 2007. Persilangan dan seleksi untuk mendapatkan bibit unggul sapi perah dataran rendah. Kumpulan Hasil Penelitian DIPA TA 2006. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
SONDERGAARD, E., M.K. SORENSEN, I.L. MAO and J. JENSEN. 2002. Genetic parameters of production, feed intake, body weight, body composition, and udder health in lactating dairy cows. Livest. Prod. Sci. 77: 23 – 34. WETTEMANN R. P., C. A. LENTS, N. H. CICCIOLI, F. J. WHITE and I. RUBIO. 2003. Nutritional- and suckling-mediated anovulation in beef cows. J. Anim Sci. 81: E48 – E59.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Apa tujuan dari penelitian persilangan ini? 2. Bagimana performa umum sapi silangan? 3. Berapa hasil produksi susu dan bagaimana pemberian pakan sapi silangan? Jawaban: 1. Untuk memperoleh kombinasi yang baik pada sifat produksi susu dan daya adaptasi tropis. 2. Tampilan fisik lebih mengikuti sapi PO seperti ada tanduk dan gelambir, dengan temperamen agak liar, tetapi menjadi lebih jinak setelah memasuki periode perah. 3. Produksi susu dibawah rataan kedua tetuanya, sedangkan pakan di berikan perlakuan sama dengan kelompok sapi kontrol dengan kadar protein kasar sekitar 12%.
144