STRUKTUR KOMUNITAS ALGA KORALIN BENTUK PERCABANGAN PADA KONDISI PERAIRAN YANG BERBEDA DI PULAU LAELAE, BONEBATANG DAN BADI Achmad Nirwan, Aidah A.A. Husain, Muh. Farid Samawi
ABSTRACT Coralline algae is red algae (Rhodophyta) which has a high calcium carbonate in its cell walls. Coralline Algae are found around the world, classified in order Corallinales and from the tribe Corallinaceae. The research for structure of coralline alga community in geniculate forms was implemented on February until July 2013 at diverse water at pulau Laelae, Bonebatang and Badi. The research aims to determine the cover percentage and the abundance of coralline algae geniculate forms in diverse water at Pulau Laelae, Bonebatang and Badi with quadrant transect method which taken in purposive way. The results showed that the highest percentage of coralline algae in geniculate form located at P. Bonebatang in the amount of 88% and the lowest at P. Laelae in the amount of 44%. The highest species composition located at P. Badi with Jania sp. in the amount of 65%. While the highest abundance of coralline algae in geniculate form located at P. Badi in the amount of of 16.00 colony/m2 and the lowest at P. Laelae in the amount of 10.47 colony/m2. The highest cover percentage and the abundance of coralline in geniculate form at the water of P. Bonebatang and P. Badi are characterized by the high content of Ca waters, brightness and dissolved oxygen (DO). While the characteristic at P. Laelae is the current speed. Keywords: structure community, coralline algae in geniculate form, Laelae, Bonebatang, Badi PENDAHULUAN Terumbu karang adalah struktur bawah air yang tersusun dari endapan kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh fauna karang yang pada umumnya dijumpai di perairan tropis (Razak dan Simatupang, 2005; Tuhumena dkk., 2013). Adapula faktor-faktor fisika dan ekologi yang menjadi pembatas kehidupan terumbu karang yaitu suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, gelombang dan kedalaman. Faktor ekologi yaitu persaingan, pemangsaan dan grazing (Nybakken, 1988; Tuhumena dkk., 2013). Di daerah terumbu karang hidup organisme yang berasosiasi yaitu Alga, Krustasea, Moluska, Ekinodermata dan Ikan (Nontji, 2002; Tuhumena dkk., 2013). Kualitas lingkungan perairan sangat menentukan keberlangsungan kehidupan pada setiap ekosistem. Pada perairan yang subur akan diikuti oleh tingginya
biodiversitas, seperti pertumbuhan fitoplankton dan alga. Beberapa fenomena tersebut memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang memicu pertumbuhan makroalga yang pada akhirnya berpengaruh secara tidak langsung dengan terumbu karang (McCook, 2001 dalam Faizal dkk, 2011). Makroalga adalah salah satu jenis organisme yang hidup di sekitar ekosistem terumbu karang dengan pertumbuhan relatif lebih cepat dibandingkan hewan karang. Pada daerah perairan dingin, makroalga membentuk komunitas besar dan menjadi ekosistem yang didominasi oleh spesies makroalga yang berukuran besar seperti Laminaria dan Porphyra. Pada daerah perairan panas seperti di daerah tropis, 1
makroalga hidup berdampingan dengan ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis makro alga yang ditemukan di seluruh dunia (Lüning, 1990). Berbagai jenis makroalga berkapur banyak ditemui di terumbu karang, seperti alga berkapur Halimeda dan Alga koralin. Alga koralin adalah alga merah (Rhodophyta) yang memiliki kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya. Alga ini ditemukan di seluruh dunia, diklasifikasikan ke dalam ordo Corallinales dan berasal dari suku Corallinaceae (Farr et al., 2009). Alga koralin secara sederhana dibagi menjadi dua berdasar bentuknya yaitu alga koralin bentuk percabangan (geniculate) dan menyebar (non-geniculate) (Littler and Littler, 2011). Penelitian mengenai alga koralin telah dilakukan oleh Adey (1986), Farr et al. (2009) dan Littler and Littler (2011) yang fokus pada alga koralin. Sedangkan informasi mengenai alga koralin di perairan Indonesia khususnya di Kepulauan Spermonde belum banyak diketahui, seperti habitat, kelayakan parameter hidup, distribusi, kepadatan dan aspek ekologi lainnya. Selain itu, alga koralin masih belum dilirik oleh peneliti karang bahkan oleh ahli ganggang laut (algologist/phycologist) di Indonesia untuk diteliti lebih lanjut, sehingga perlu adanya kajian mendalam tentang alga koralin ini. Penelitian ini memberikan informasi tentang struktur komunitas alga koralin terutama bentuk percabangan (geniculate) pada kondisi perairan yang berbeda di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–Juli 2013 di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi (Gambar 1). Waktu tersebut meliputi survei awal, studi literatur, pengambilan data di lapangan, analisis data serta penyusunan laporan akhir. Sedangkan untuk identifikasi sampel dan analisis data dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor, digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System) sebagai penentu titik sampling; alat selam dasar atau SCUBA untuk pengambilan sampel alga koralin; kantong sampel digunakan sebagai tempat menyimpan sampel alga koralin; botol sampel untuk menaruh air sampel; pH meter digunakan untuk mengukur pH; termometer untuk mengukur suhu; Water Quality untuk mengukur salinitas; turbiditimeter untuk mengukur kekeruhan air; layang-layang arus, stopwatch dan kompas digunakan untuk menentukan arah dan kecepatan arus; meteran 50 m untuk membuat transek garis; kamera digital untuk dokumentasi sampel di lapangan; sabak dan alat tulis untuk mencatat data di lapangan; aquades untuk mensterilkan/ melarutkan zat kimia; labu erlenmeyer, botol BOD, gelas ukur, pipet tetes, pipet volumetri dan statis untuk pengukuran DO (oksigen terlarut) di lapangan; larutan EDTA 0,01 M, larutan NaOH 1 N dan mureksid untuk pengukuran Ca (kalsium) perairan di laboratorium. Sementara bahan berupa sampel air laut diambil untuk mengukur kandungan Ca, kekeruhan, pH dan salinitas. Prosedur penelitian ini meliputi kegiatan persiapan/observasi lapangan, penentuan stasiun, pengambilan sampel dan pengukuran parameter pendukung,
2
analisis data serta penyusunan laporan akhir. a.
Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian, survei awal lapangan untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai kondisi umum lokasi penelitian,
serta menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian. b. Tahap Penentuan Stasiun Penentuan stasiun penelitian berdasarkan perbedaan karakteristik perairan secara visual.
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi Jumlah stasiun yang diamati sebanyak 3 stasiun. Stasiun penelitian ditujukan pada 3 pulau yaitu Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi (Gambar 4). Penentuan lokasi dilakukan secara purposif, dengan 3 kali ulangan pada sisi utara, barat dan selatan setiap pulau. Sampling purposif dilakukan pada di daerah reef flat (rataan terumbu karang) pada
kedalaman 1 – 3 m yang paling banyak memiliki tutupan alga koralin. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka tiap bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di antara koloni yang lain, maka masing-masing
3
koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. c. Pengamatan Alga Koralin Pengamatan alga koralin menggunakan metode transek kuadran 1 m x 1 m dengan setiap kisi berukuran 20 cm dan Line Intercept Transect (LIT) sepanjang 50 meter sebagai transek pemandu. Sampling dilakukan pada garis transek yang sama secara purposif sebanyak 3 ulangan pada daerah reef flat (rataan terumbu karang) yang dominan dengan alga koralin. Alga koralin yang ditemukan di setiap kisi kemudian dicatat jumlah individunya untuk setiap jenis dan diambil gambarnya. Identifikasi jenis untuk alga koralin yang ditemukan dilakukan di laboratorium. Skema untuk transek kuadran dapat dilihat pada gambar 6 dan skema untuk transek garis dapat dilihat pada Gambar 7. d. Pengukuran Parameter Oseanografi Untuk pengukuran kondisi perairan, dilakukan pengukuran secara langsung di lapangan, yang meliputi pengukuran arus, kecerahan, kedalaman,oksigen terlarut, pH dan suhu. Untuk pengukuran kandungan Ca perairan, kekeruhan dan salinitas dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. e. Analisis Data Untuk perhitungan persentase penutupan, komposisi jenis, kelimpahan dan kepadatan alga koralin digunakan rumus sebagai berikut : 1. Persentase Tutupan Alga Koralin Estimasi persen tutupan alga koralin di gunakan estimasi yang di kembangkan oleh Atobe (1970) dalam English (1994). Dengan plot 1 x 1 meter dan kisi sebesar 25 x 25 cm. Kategori untuk setiap kisi-kisi digunakan skala ¼, ½ , ¾
dan 1 unit. Selanjutnya persen tutupan dihiitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
= Σ()
100 Keterangan : = Persentase penutupan alga koralin (%) ∑Ci = Jumlah unit tutupan untuk setiap jenis alga koralin untuk setiap jenis alga koralin A = Jumlah total kisi-kisi yang digunakan (25 unit) C
2. Komposisi dan Kelimpahan Jenis Alga Koralin 2.1. Komposisi Jenis Alga Koralin Untuk menghitung komposisi jenis alga koralin, digunakan rumus (Odum, 1971): Komposisi jenis (%) =
ni × 100 % N
dimana: ni=jumlah individu setiap jenis yang teramati (koloni) N=jumlah total individu (koloni) 2. Kelimpahan Alga Koralin Untuk kelimpahan dinyatakan dalam jumlah koloni per satuan transek (koloni/transek) dengan panjang transek 25 x 2 m2. Untuk mengetahui perbedaan kelimpahan tunikata antar stasiun pulau dilakukan analisis variansi dengan bantuan program SPSS 21. Perhitungan kelimpahan jenis dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Brower et al., 1998):
dimana: 4
Ni A
= =
jumlah individu tiap jenis (koloni) panjang garis transek (m2)
3. Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Kepadatan Alga Koralin Dari semua hasil yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif dalam bentuk grafik dan tabel. Untuk melihat perbedaan tutupan alga koralin antara stasiun dengan pulau yang berbeda dan waktu pengamatan dilakukan uji statistik dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 95%. Untuk mengetahui kaitan faktor oseanografi dengan kelimpahan dan tutupan alga koralin di tiga stasiun berbeda dilakukan uji Principle Component Analysis (PCA). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Jenis Alga Koralin Bentuk Percabangan Terdapat 4 spesies yang ditemukan di tiga pulau yang semuanya termasuk dalam ordo Corallinaceae yakni Amphiroa anceps, Amphiroa fragilissima, Arthrocardia sp. dan Jania sp. (Gambar 2). Genus Amphiroa mempunyai kerangka tubuh berwarna kemerahmerahan dan dapat mencapai panjang 20 cm. Bentuk thallus-nya bulat panjang agak pipih dengan diameter 0,1 — 1 cm. Karakteristik alga ini rapuh, mudah patah menjadi potongan kecil-kecil tetapi ada yang bersifat keras. Bila dalam keadaan kering warna berubah menjadi merah keputih-putihan dengan komposisi kimiawi yang paling utama adalah aragonite. (Kadi, 1986) Amphiroa anceps adalah alga koralin bentuk percabangan (geniculate)
dengan bercabang sumbu tegak warnanya merah seringkali menjadi ungu kusam, merah muda dan abu-abu serta tingginya 210 cm. Akar holdfast-nya menyebar, segmen kalsifikasinya merata pada percabangan sumbu atas, tetapi berbentuk silinder pada dasar tanaman, dengan tanaman bersandar di satu bagian. Panjang segmen bervariasi sekitar 2-8 mm panjang dan lebarnya 0,75-2,5 mm. Habitatnya di daerah subtidal.(Farr et. al, 2009) Sedangkan Amphiroa fragilissima adalah alga koralin yang bentuk segmennya berupa percabangan, menyebar luas di rataan pasir (tumbuh menempel pada dasar pasir) atau di satu bagian. Panjang segmen bervariasi sekitar 2-8 mm panjang dan lebarnya 0,75-2,5 mm. Habitatnya di daerah subtidal.(Farr et. al, 2009) Sedangkan Amphiroa fragilissima adalah alga koralin yang bentuk segmennya berupa percabangan, menyebar luas di rataan pasir (tumbuh menempel pada dasar pasir) atau di padang lamun (menempel pada substrat dasar lainnya) (Atmadja dan Prud'homme 2012). Arthrocardia sp. memiliki segmen terkalsifikasi, khususnya di sepertiga tubuhnya, Beberapa segmen ini tampaknya telah bercabang tanpa artikulasi berkembang dan memiliki garis pertumbuhan yang sangat tidak teratur. (Farr, et al, 2009). Jania sp. Tanaman ini dicirikan dengan bentuk langsing, dikotomus bercabang thalli terdiri dari segmen silinder. Filamen medula dikelilingi oleh zona tipis filamen kortikal. Sel-sel dari filamen medula biasanya berbentuk baji dan baris berturut sel bergabung sepanjang garis tidak teratur. Jania sp. biasanya terdapat di perairan tropis dan subtropics (Wray, 1977). B. Distribusi Jenis Alga Koralin Dari hasil penelitian yang dilakukan di ketiga pulau, ditemukan sebanyak 4 jenis
5
alga koralin yang termasuk kedalam ordo Corallinales suku Corallinaceae (Tabel 1). Jenis Alga koralin yang ditemukan di Pulau Badi sebanyak 4 jenis, di Pulau Bonebatang dan Lae-Lae masing-masing 3 jenis. Jenis yang ditemukan didominasi oleh alga koralin yang tidak terkalsifikasi (geniculate). Alga koralin yang terkalsifikasi
a. Amphiroa anceps
(non-geniculate) tidak sempat ditemukan disebabkan kondisi arus perairan saat penelitian tidak mendukung untuk pengamatan langsung secara visual. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kadi (1986) bahwa alga berzat kapur dalam kelas Rhodophyta mempunyai bentuk dan warna yang hampir sama sehingga kadang-
c. Arthrocardia sp.
b. Amphiroa fragilissima d. Jania sp. Gambar 2. Jenis alga koralin bentuk percabangan pada ketiga lokasi kadang sukar untuk dibedakan satu sama lainnya. Keduanya hidup saling kait-mengkait dalam substrat dan habitat yang sama pula. Secara visual, misalnya antara marga Gellidium dengan Amphiroa dan Galaxaura tidak terdapat
persaingan. Jenis-jenis ini tumbuh subur pada pantai-pantai yang mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi dengan arus air dan kejernihan air yang cukup tinggi pula.
6
Tabel 1. Hasil jumlah jenis alga koralin di tiga pulau yang berbeda Stasiun Jenis Alga Koralin No P.Laelae P. Bonebatang 1 Amphiroa fragilissima
P. Badi
2
Amphiroa anceps
-
3
Arthrocardia sp.
4
Jania sp. Jumlah Jenis
3
3
4
Tutupan Alga Koralin (%)
C. Persentase Penutupan Alga Koralin Hasil perhitungan persentase penutupan alga koralin diperlihatkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan alga koralin terbesar berada pada pulau Bonebatang yaitu 88%. Tingginya ratarata tutupan makroalga khususnya alga koralin bentuk percabangan di Pulau Bonebatang yang jauh dari daratan utama disebabkan oleh kecepatan tumbuh dari alga lebih besar dari karang batu dan menjadikan organisme ini lebih 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
cepat memperoleh lokasi yang kosong dibandingkan dengan karang batu. (McCook, 2001; dalam Faizal dkk, 2011). D. Kelimpahan Alga Koralin Hasil penelitian yang dilakukan pada tiga pulau menunjukkan bahwa kelimpahan alga koralin terbesar ditemukan di Pulau Badi sebesar 16,00 individu/m2, kemudian disusul oleh Pulau Bonebatang sebesar 14,00 individu/m2 dan yang terakhir Pulau Laelae sebesar 10,47 individu/m2 (Gambar 4).
88
45
44
Pulau Laelae
Pulau Bonebatang
Pulau Badi
Stasiun
7
Individu/m2
Gambar 3. Tutupan alga koralin antar stasiun pengamatan
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
14.00
16.00
10.47
Laelae
Bonebatang Stasiun
Badi
Gambar 4.. Kelimpahan Alga Koralin Antar Stasiun Pengamatan Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05), menunjukkan bahwa kelimpahan alga koralin menunjukkan tidak adanya perbedaan an antara tiga pulau. Pulau Laelae yang berupa ekosistem terumbu karang, memiliki kelimpahan jenis alga koralin relatif lebih kurang dibandingkan pada Pulau Bonebatang dan Badi. Hal ini diduga disebabkan oleh tingkat pencemaran di Pulau Laelae yang sangat tinggi dengan salinitas tas perairan yang berubah berubah-ubah atau berkurang dari kadar normal yang mengakibatkan ngakibatkan alga koralin kurang melimpah, sehingga keberadaan alga koralin pada Pulau Laelae aelae tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan Pulau Bonebatang dan Badi. Hasil perhitungan an kelimpahan dapat dilihat di Gambar 4.
E. Parameter Lingkungan Hasil asil pengukuran parameter kimia perairan ketiga pulau selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2,
F. Keterkaitan Faktor Lingkungan Dengan Kelimpahan d dan Keanekaragaman Alga Koralin Hasil analisis Principle Component Analysis (PCA) menunjukkan keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan, komposisi jenis dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan diperlihatkan pada Gambar 5. elompok I yaitu Pulau Kelompok Bonebatang dengan parameter pencirinya yaitu kecerahan, kelimpahan dan persentase penutupan karang. karang Persentase tutupan karang di Pulau Bonebatang paling tinggi yaitu 88%. Tingginya persentase ini disebabkan makroalga khususnya alga koralin bentuk percabangan bersaing dengan karang batu untuk menempati substrat berpasir yang banyak di Pulau Bonebatang tersebut. Tingkat kecerahan yang tinggi pada pulau Bonebatang yaitu 100% pada kedalaman 3 – 5 m menyebabkan populasi alga koralin juga ikut melimpah dengan nilai 29,3 ind/m2. Tingkat kecerahan suatu perairan dapat dipengaruhi oleh kepadatan tersuspensi,
8
bahan organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan (Tarigan dan Edward, 2003). Tabel 2. Hasil pengukuran parameter lingkungan berdasarkan standar baku mutu air laut untuk biota laut (rata-rata±SDEV). No.
Parameter ligkungan
Satuan
Pulau Laelae
Pulau Bonebatang
Pulau Badi
Standar Baku Mutu
m/s
0,115±0,03
0,075±0,03
0,092±0,02
34,2±0,58
33,7±0,58
34,3±1,53
33-34 28-30
1
Arus
2
Salinitas
‰
3
Suhu
o
C
29±0,00
28,6±0,30
28,2±0,21
4
Kecerahan
%
93,3±11,55
100±0,00
100±0,00
5
Kekeruhan
NTU
1,51±0,15
0,22±0,14
0,38±0,24
<5
6
pH
-
7,16±0,05
7,15±0,01
7,2±0,01
7-8,5
7
DO
mg/L
4,493±0,53
5,017±0,08
6,177±0,16
>5
8
Kalsium (Ca) Perairan
Mg/L
10,786±0,166
11,466±2,472
11,987±0,715
Kelompok II yaitu Pulau Laelae dengan parameter penciri kecepatan arus, salinitas, suhu dan kekeruhan. Rata-rata kecepatan arus pada lokasi penelitian berkisar antara 0,075 - 0,115 m/s. Menurut Akbar (2013), pengaruh kecepatan arus disebabkan oleh letak geografis pulau itu sendiri. Pulau Laelae termasuk memiliki kecepatan arus paling tinggi karena dekat dengan daratan utama Pulau Sulawesi dan faktor biotik seperti aktifitas manusia di sekitar Pulau Laelae.
Nilai salinitas di Pulau Laelae yang memperlihatkan rata-rata 34,3 ‰. Menurut Lüning (1990), makro alga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30-32 ‰. Namun banyak jenis makro alga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Tetapi salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis makroalga.
Biplot (axes F1 and F2: 72.77 %) 4 3
BD1
F2 (25.61 %)
LL1
Salinitas
2
kekeruhan
pH
1 BD2 0
LL2
Kec arus
LL3
Oksigen
-1 BD3
-2
Suhu BB3 BB1 BB2
-3 -4 -5
-4
-3
-2
-1
0
F1 (47.15 %)
1
2
3
4
5
Gambar 5.. Keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan karang dan kelimpahan alga koralin.
9
Yang menjadi penciri Pulau Laelae berikutnya yaitu nilai kekeruhan 1,51 NTU. Kekeruhan air ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh organisme yang terdapat di dalam perairan. Penurunan nilai kekeruhan juga bisa disebabkan adanya pengaruh arus dan gelombang yang menyebabkan beban pencemaran tersebar ke laut lepas dengan konsentrasi yang kecil (Boyd, 1982). Derajat keasaman (pH) yang terukur memperlihatkan rata-rata 7,20 yang menjadi penciri pada Pulau Laelae. Nilai tersebut menandakan bahwa pH perairan pada lokasi penelitian konstan. Setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan berbagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal yaitu antar 6 – 8, sedangkan pH air yang tercemar beragam tergantung dari jenis buangannya. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme perairan, sehingga sering dipakai untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Kelompok III terdiri dari Pulau Badi dengan kandungan Ca perairan yang paling tinggi dengan rata-rata 2.322 mg/L. Tingginya kandungan Ca perairan ini disebabkan disebabkan oleh banyaknya jumlah jenis alga koralin yang ditemukan di Pulau Badi yaitu 4 spesies sehingga kandungan Ca perairan melimpah. Yang menjadi penciri pada Pulau Badi berikutnya yaitu Oksigen terlarut (DO) yang terukur memiliki nilai rata-rata 6,177 mg/L. Oksigen terlarut merupakan gas respirasi yang sering menjadi faktor pembatas dalam lingkungan perairan. Ditinjau dari segi ekosistem, kadar oksigen terlarut menentukan kecepatan metabolisme dan respirasi serta sangat
penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan organisme air. Kandungan oksigen terlarut akan berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas. Konsentrasi dari oksigen terlarut paling rendah yang dibutuhkan oleh organisme perairan adalah 1 ppm. (Sachlan, 1982; dalam Nybakken, 1988). Hasil analisis komponen utama (PCA) terlihat bahwa parameter yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan adalah kandungan Ca perairan dan kecerahan. Clark (1996;Costa Jr. et al, 2008; Faizal dkk, 2011) menyatakan bahwa secara alamiah terumbu karang sebagai tempat menempelnya makroalga mempunyai strategi untuk hidup dimana organisme ini dapat hidup diperairan oligotrofik dengan nutrien sedikit, bahkan akan terganggu ketika nutrien mulai berlimpah. Dengan ciri-ciri sebagai berikut, alga bentik mulai tumbuh dimana-mana bahkan lebih cepat dari pertumbuhan terumbu karang, fitoplankton mulai berkembang pada air keruh dan mengurangi penetrasi cahaya ke terumbu karang, predator karang mulai berkembang dan meningkat. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari hasil dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut :
dapat
1. Terdapat perbedaan persentase tutupan alga koralin bentuk percabangan pada tiga pulau. Persentase tutupan paling tinggi berada di Pulau Bonebatang yaitu 88 % dan paling rendah yakni Pulau Laelae yaitu 44 %. Sedangkan kelimpahan jenis tertinggi berada di Pulau Bonebatang sebesar 16,00 ind/m2 dan terendah di Pulau Laelae 10,47 ind/m2.
10
2. Tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada perairan pulau Bonebatang dan pulau Badi dicirikan oleh tingginya kandungan Ca perairan, kecerahan dan oksigen terlarut (DO) yang merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam proses pertumbuhan alga koralin. Sedangkan pada pulau Laelae didapatkan penciri yang paling berpengaruh yaitu kecepatan arus yang menyebabkan beban pencemaran tersebar ke laut lepas dan berpengaruh pada kekeruhan perairan. B. Saran Dari hasil kesimpulan penelitian ini, peneliti dapat memberikan informasi kepada masyarakat setempat atau yang bersangkutan dalam upaya pengelolaan sumberdaya laut, khususnya alga koralin bentuk percabangan. Daftar Pustaka Adey, W. H. 1986. Coralline algae as indicators of sea levels. Chapter 11. In: de Plassche Van, Manual for the Collection and Evaluation of Sea Level Data. Springer Netherlands, Amsterdam. Pp.229-280. Adey, W.H. and J.M. Vassar. 1975. Colonization, succession and growth rates of tropical crustose coralline algae (Rhodophyta, Cryptonemiales). Phycologia, 14(2): 55-69. Akbar, M. 2013. Kaitan kondisi oseanografi dengan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Atmadja, W.S. 1999. Sebaran dan Beberapa Aspek Vegetasi Rumput Laut (Makro Alga) di Perairan Terumbu Karang Indonesia. Puslitbang Oseanologi–LIPI, Jakarta. Atmadja, W.S. and W.F. Prud'homme van Reine. 2012. Ceklis keanekaragaman jenis rumput laut di Indonesia dengan sebaran dan klasifikasinya: Rhodophyceae. Coral Reef Information and Training Centre. Coral Reef Rehabilitation and Management Programme. Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta. Pp. [2], i-vi, 1-72. Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press, Medan. Borowitzka, M.A. 1981. Photosynthesis and calcification in the articulated coralline red algae Amphiroa anceps and A. foliacea. Marine Biology, 62: 17-23. Boyd, C.E. and E. Lichtkoppler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn. Alabama. Brower, J.E, J.H. Zar and C.N. von Ende. 1998. Fields and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Wn. C. Brown Publisher, Dubuque. Diwangkara, E. 2008. Penentuan Kesadahan Sementara dan Kesadahan Permanen. Erlangga, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
11
Ehrenreich, I. 2001. Life history of articulated coralline algae. http://www.mbari.org/staff/ conn/botany/reds/ian/artcor/lifehis.htm . Diakses 13 Juli 2014. English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean. ASEANAustralia Marine Science Project, Living Coastal Resources, Townsville. Faizal, A., J. Jompa, M.N. Nessa dan C. Rani. 2011. Pemetaan Sebaran Tutupan Makroalga Kaitannya dengan Kualitas Lingkungan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Semnaskan_UGM/Kelautan (KL-12). Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UNHAS. Hal. 2. Farr, T., J. Broom, D. Hart, K. Neill and W. Nelson. 2009. Common Coralline Algae of Northern New Zealand: An Identification Guide. NIWA Information Series No. 70. Science Communication, NIWA, New Zealand. Harvey, A.S., W.J. Woelkerling and A.J.K. Millar. 2003. The Sporolithaceae (Corallinales, Rhodophyta) in Southeastern Australia: Taxonomy and 18s Rrna phylogeny. Phycologia, 41: 207–227. Hickling, C.F. 1971. Fish Culture. Faber and Faber. London. Hutagalung, H.P. 1997. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air Laut: Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. P3O LIPI, Jakarta. Kadi, A. 1986. Beberapa catatan tentang algae berzat kapur. Oseana. XI(2): 60–71.
Kuehn, K. 2015. Galileo Galilei: The Mean Speed Theorem. In: A Student's Guide Through the Great Physics Texts Undergraduate Lecture Notes in Physics 2015. Springer, New York. pp 119-130 Lirman, D. 2001. Competition between Macroalgae and Corals: Effects of Herbivore Exclusion and Increased Algal Biomass on Coral Survivorship and Growth. Springer, New York. Pp. 392-399. Littler, M.M. and D.S. Littler. 2011. Algae coralline. In: David Hopley (ed.) Encyclopedia: A Modern Marine Coral Reef. Springer, New York. Pp. 20–29. Lüning, K. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology. Wiley, New York. McCook, L.J. 2001. Competition between corals and algal turfs along a gradient of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reefs, 19: 419-425. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut – Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd., Philadelphia.
Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana, XXX(3): 21–26.
12
Samawi, M. F. 2014. Penuntun Praktikum Penentuan Ca2+ dan Mg2+ dalam Air Laut. FIKP-UH, Makassar.
(Total Suspended Solid) di perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara, VII(3):109-119.
Siringoringo R.M., Giyanto, A. Budiyanto dan H. Sugiarto. 2006. Komposisi jenis dan persentase tutupan karang batu di perairan Lepar-Pongok, Bangka Selatan. Oseanologi dan Limnologi, 41: 71–84.
Tuhumena, J., J.D. Kusen dan C.P. Paruntu. 2013. Struktur komunitas karang dan biota asosiasi pada kawasan terumbu karang di perairan Desa Minanga Kecamatan Malalayang II dan Desa Mokupa Kecamatan Tombariri. Tropis, III(1): 612.
Supardi, I,. 1984. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Tropical Marine Pollution. MSc Report. University of Newcastle Upon Tyne, U.K. Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tarigan, M.S. dan Edward. 2003. Kandungan total zat padat tersuspensi
Walker, P. and E. Wood. 2005. The Coral Reef. Facts on File Inc., New York. Pp. 32–35. Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan: PPLH-UNDP-PUSDIPSL. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wray, J. L. 1977. Calcareous Algae. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam..
13