STRUKTUR BADAN PERWAKILAN DAN CHECKS AND BALANCES DALAM FUNGSI LEGISLASI Oleh : Radian Salman1
1. Struktur Badan Perwakilan Indonesia UUD 1945 pasca amandemen membuat perubahan penting berkaitan dengan badan perwakilan. Dari semula Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan (Pasal 2 ayat (1) ) menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 ayat (1)). Dengan demikian menurut Konstitusi Indonesia, badan perwakilan terdiri dari MPR, DPR dan DPD. Pembentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka merekonstruksi struktur parlemen di Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Tetapi perdebatan ke arah pembentukan struktur badan perwakilan tersebut diwarnai perbedaan, yakni pertama, pendapat yang mempertahankan model perwakilan lama yakni MPR yang beranggotakan DPR dengan tambahan utusan daerah dan utusan golongan. Sedangkan pendapat kedua yang beranggapan bahwa model two chambers (bicameralism) sebagai sebagai model yang tepat dalam struktur badan perwakilan guna mewujudkan mekanisme checks dan balances. Perdebatan dalam Majelis pada akhirnya menghasilkan rumusan dalam UUD 1945 yakni dalam Bab VIIA (Pasal 22C dan 22D)2. Dengan tetap mempertahankan MPR sebagai organ konstitusional yang tersendiri sekaligus permanen, maka rasanya sulit untuk menyebut struktur badan perwakilan Indonesia adalah menganut bicameral system, melainkan sistem tricameral oleh karena terdiri dari MPR, DPR dan DPD. Dalam konteks bicameral legislature, jelas terlihat bahwa DPD tidak memiliki wewenang dalam pembentukan undang-undang, tetapi hanya mengusulkan rancangan undang-undang kepada DPR dan ikut membahasan dan memberi pertimbangan dalam pembentukan undang-undang bidang tertentu, terutama dalam kaitan dengan otonomi daerah. Pada sisi 1
Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH Unair, komentar dapat disampaikan ke
[email protected]. Tulisan disampaikan untuk “Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN), Komisi Hukum Nasional RI , di Jakarta 25-26 Agustus 2008. 2 Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002. Lihat Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 138.
lain dalam hal pengawasan, DPD mempunyai wewenang penuh dalam melakukan fungsi kontrol atas kinerja pemerintahan yang hasilnya disampaikan kepada DPR, tetapi sebatas hanya dalam hal pelaksanaan undang-undang tertentu. Dengan demikian pelaksanaan fungsi DPD harus selalu dikaitkan dan melalui DPR. Undang-undang organik yang mengatur lembaga negara ini, yakni UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya ketentuan pasal 42, 43, dan 44, segaris dengan UUD 1945, mengindikasikan bahwa lembaga ini cenderung terbatas sebagai lembaga subordinasi dari lembaga DPR. Maka DPD dalam realitas yuridis, terutama dalam fungsi legislasi
adalah supporting organ bagi lembaga DPR dalam melaksanakan tugas
konstitusionalnya sebagai pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, kedudukan DPD meskipun secara konstitusional adalah sejajar dengan DPR 3 sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun kekuasaanya tidak setara dengan DPR sebagaimana lazimnya dalam sistem dua kamar. Dengan kedudukan dan wewenang konstitusional yang sangat terbatas, gagasan pembentukan DPD sebagai salah satu badan perwakilan yang merupakan representasi daerah (teritorial atau regional) sulit untuk dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Apa yang menjadi gagasan dasar pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yakni keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah4, tidak sebangun dengan realitas desain kelembagaanya (DPD). Tulisan ini tidak ditujukan untuk membedah problematika dari kedudukan dan wewenang DPD, oleh karena pembahasan tentang hal tersebut sudah banyak sekali dilakukan5, terlebih seiring gagasan amandemen UUD 1945 yang dimotori oleh DPD, dengan salah satu ide dasarnya untuk menguatkan model dua kamar dalam struktur badan perwakilan. Tulisan ini lebih menekankan pada eleborasi tentang struktur badan perwakilan dan implikasinya terhadap checks and balances terutama dikaitkan dengan proses legislasi. 3
UUD 1945 pasca amandemen tidak lagi mengenal pembedaan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara sebagai konsekuensi perubahan konsep kedaulatan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2). 4 Hidayat Nur Wahid, kata pengantar dalam, John Pieris dan Aryanthi Baramulli Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia : Studi, Analisis, Kritik dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2006, h. xvii 5 Lihat antara lain kumpulan tulisan dalam yang dihimpun dalam buku “Bikameral Bukan Federal”, Kelompok DPD di MPR, Desember 2006.
2. Pilihan Struktur Badan Perwakilan Secara umum, studi tentang struktur organisasi parlemen mengenal dua sistem, yaitu sistem unikameral dan bikameral, sedangkan sistem trikameral dapatlah dikatakan sebagai sistem yang tidak populer6. Yang pertama terdiri atas satu kamar, sedangkan yang kedua mempunyai dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Terakhir, dalam sistem Tricameral, maka tiga kamar dalam satu organisasi parlemen, masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
- Unikameral Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti House of Representatives, House of Commons, Chamber of Deputies, Federal Assembly atau Majelis Rendah dan Senate, House of Lords atau Federal Council sebagai Majelis Tinggi. Menurut National Democratic Institute (NDI) yang mengutip data dari Inter-Parliamentary Union (1986), dari 83 negara, 55 negara menggunakan model unicameral dalam parlemennya, dan dari 55 negara tersebut, 54 diantaranya merupakan negara kesatuan7. Dari kajian perbandingan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sistem satu kamar banyak diterapkan di berbagai negara terutama dalam negara kesatuan yang kecil dan dapat dikategorikan sebagai homogen secara sosial. Dalam konteks homogenitas, sebagai pembeda dengan sistem bikameral, maka sistem satu kamar beranjak dari satu dasar bahwa tidak dibedakanya kamar-kamar dalam struktur parlemen oleh karena tidak terdapat aspirasi yang benar-benar berbeda. Negara-negara yang termasuk dalam unikameral ini antara lain Costa Rica, Portugal, Hongaria, Swedia , Slovenia, Uganda dan New Zealand dan negara-negara kecil di Eropa Timur. Dengan struktur parlemen one chamber maka rekrutmen untuk pengisian jabatan parlemen tidak membedakan representasi politik dan representasi teritorial sebagaimana umumnya dalam sistem dua kamar (terutama dalam negara federal). Tetapi varian dalam 6
Leslie Wolf-Philips dalam kajian perbandingan konstitusi memberikan klasifikasi konstitusi ke dalam 13 (tiga belas) jenis, salah satunya adalah pembagian unicameral/ bicameral constitutions. Tidak ada dalam kajian tersebut penggunaan istilah tricameral. Lihat, Leslie Wolf-Philips, Comparative Constitutions, The Macmillan Press Ltd, London, h. 32-37. Organisasi parlemen dengan model tiga kamar dapat ditemui di Afrika Selatan pasca amandemen konstitusi ketiga (1983-1994) dimana struktur badan perwakilan berdiri atas dasar politik apartheid. Dalam hal ini organisasi parlemen terdiri dari House of Assembly/ Volksraad sebagai “lower house of Parliament” yang merupakan golongan kulit putih, House of Representatives/ Raad van Verteenwoordigers yang merupakan unsur golongan kulit hitam (coloured) dan House of Delegates / Raad van Afgevaardigdes, yang merupakan unsur dari golongan Indian. 7
National Democratic Institute (NDI), One Chamber or Two? Deciding Between a Unicameral and Bicameral Legislature, Legislative Research Series, Papaer #3, 1998, h. 4.
model kamar tunggal ini membuka kemungkinan rekrutmen anggota badan perwakilan tidak hanya atas dasar representasi politik tetapi juga memberikan pengaturan tertentu yang dapat dikatakan sebagai pengistimewaan. Dalam hal ini dapat diberikan contoh misalnya di Slovenia, konstitusi menjamin bahwa etnis minoritas tertentu memperoleh satu kursi pada National Assembly8. Di Uganda, satu kursi parlemen untuk 39 districts adalah diperuntukkan untuk perempuan dan juga kursi-kursi parlemen adalah diperuntukkan untuk kelpmpok tertentu seperti “handicapped” dan kelompok buruh. Beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai keuntungan dalam sistem legislatif unikameral, meliputi: 1. Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan Undang-Undang (karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda). 2. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya apabila suatu Undang-Undang tidak lolos, atau bila kepentingan warga negara terabaikan). 3. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau kepentingan mereka; dan 4. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.9
Unikameral dalam konteks Indonesia, tampaknya pilihan yang tidak responsif dengan realitas tentang populasi dan heterogenitas bangsa ini. Populasi yang besar membawa konsekuensi pada perbandingan jumlah keterwakilan sehingga menyulitkan bagi masyarakat untuk memantau apakah kepentingan mereka diaspirasikan oleh wakilnya di Parlemen. Keberagaman dan pluralitas Indonesia merupakan keniscayaan yang secara yuridis telah diakomodasi dengan berbagai perangkat perundang-undangan khusus yang antara lain dapat kita lihat dalam kasus Aceh dan Papua. Konsekuensi akan hal ini adalah adanya saluran-saluran politik yang dapat mewadahi aspirasi yang beragam dan sangat berbeda.
8
Lihat article 80-91. Lihat, Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan ketiga UUD 1945), Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara yang disampaikan di depan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 2002, hal. 9-10. Bandingkan pula, National Democratic Institute (NDI), One Chamber or Two? Deciding Between a Unicameral and Bicameral Legislature, op.cit. 9
- Bikameral Dalam bicameral system/ two chambers, struktur parlemen terdiri atas dua kamar yang terpisah seperti House of Representatives, House of Commons, Chamber of Deputies, Federal Assembly atau Majelis Rendah dan Senate, House of Lords atau Federal Council sebagai Majelis Tinggi. Menurut National Democratic Institute (NDI) yang mengutip data dari Inter-Parliamentary Union (1986), model parlemen dua kamar jamak digunakan oleh negara berbentuk federal karena memiliki “two-tiered power structure” tetapi pada unitary state10 struktur parlemen dua kamar juga diterapkan. Tentang hal ini Wolf-Philips menyatakan bahwa “ in federal constitutional systems, bicameralism is regarded as a sine qua non in order to separate reperesentation for the nationa entity and for member-units be accomodated; however bicameralism also exists in unitary state ...”11. Sebagai kebalikan dari sistem satu kamar, sistem dua kamar (selain karena soal federalisme) diterapkan oleh negara-negara dengan populasi besar dengan ciri masyarakatnya yang plural. Adapun argumentasi dibentuknya second chamber atau upper house menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution adalah: a. The existence of a Second Chamber prevent the passage of precipitate and ill considered by a single house; b. The sense of unchecked power on the part of single Assembly, concious of having only itself to consult, may lead to abuse of power ang tyrany; c. The should be a centre of resistance to the pre dominate power in the state at any given moment, whether it be the people as a whole or a political party supported by a majority of voters; d. In the case of a federal state there is a special argument in favour of a Second Chamber which is so arranged as to embody the federal principle or to enshrine the popular will of each of the states, as distinc from that of the federation as a whole. 12
Esensi dari bicameralism bukanlah sekedar membuat dikhotomi struktur badan perwakilan, tetapi mencerminkan unsur keterwakilan yang benar-benar berbeda. Dengan kata lain, keanggotaan dua kamar parlemen itu benar-benar yang mewakili aspirasi yang 10
Lihat misalnya negara Jepang dengan parlemen yang terdiri dari House of Representative (shugiin) House of Councilors (Sangi-in), Negara Belanda dimana parlemennya terdiri dari Eerste Kamer dan Tweede Kamer. Dengan maksud untuk menyakinkan bahwa tidak perlu takut dengan gagasan bicameralism dalam negara kesatuan, buku yang merupakan kumpulan tulisan yang diterbitkan oleh kelompok DPD di MPR diberi judul “Bikameral Bukan Federal”. 11 Leslie Wolf-Philips, op.cit., h. 37 12 C.F. Strong, Modern Political Constitution; An Introduction to the Comparative Study Of Their History and Existing Forms, (London: Sidwick & Jackson, 1963), h.195 –196.
berbeda satu sama lain, sehingga keduanya benar-benar mencerminkan gabungan kepentingan seluruh rakyat 13. Jika tidak, meskipun dibedakan dalam dua kamar, tetapi berbasis konsituen yang sama maka hal tersebut sama saja dengan unikameral. Dalam hal ini dinyatakan bahwa “two houses with the same constituencies would work as a unicameral system”14. Secara teoritik kamar-kamar dalam sistem ini pada satu kamar berisi anggota-anggota yang secara luas mewakili penduduk secara langsung. Sedangkan kamar yang lainnya adalah unsur perwakilan yang berbeda, seperti dari unsur kepentingan kelas sosial, kepentingan ekonomi, atau umumnya adalah perbedaan teritorial. Terdapat dua kemungkinan alasan memilih sistem bikameral. Pertama, adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) terutama untuk melakuan double check terhadap proses dan subtansi legislasi. Kedua, adalah untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bicameralism telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif15. Dalam kaitan ini dapat ditambahkan analisis bahwa mengenai urgensi dua kamar adalah bahwa dalam kaitan federalisme hal tersebut merupakan konsekuensi dari struktur dualis negara sedangkan bagi negara kesatuan, diadopsinya sistem bikameral menurut Wolf-Philips adalah “usually performing (or intended to perform) a ‘restraining’ or ‘revising’ function”16, yakni pada akhirnya adalah dalam rangka ‘a careful check’, untuk pengambilan keputusan yang kadangkala dilakukan dengan terburu-buru atau dibuat atas selera kekuatan yang mendominasi majelis atau kamar pertama. Sebagai konsekuensi dari perbedaan unsur yang diwakili, rekrutmen untuk pengisian kamar kedua dapat dilakukan dengan cara : pemilihan langsung oleh rakyat (sebagai voter), seperti di AS, pemilihan secara tidak langsung dimana apabila anggota kamar kedua dipilih oleh local atau provincial governments (Argentina, Austria, German, India and Yugoslavia) atau
lower house memilih anggota upper house (Zimbabwe),
pengangkatan oleh kepala pemerintahan atau kepala negara (Canada, Jordan and Thailand), dan pengangkatan berdasarkan keturunan (inheritence, hereditary peers). Cara-cara rekrutmen majelis/ kamar kedua tersebut menentukan pula legitimasi dan akuntabilitasnya. 13
Jimly Asshiddiqie, kata pengantar dalam “Bikameral Bukan Federal”, Kelompok DPD di MPR, Desember 2006, h. xv. 14 Roberto Ricciuti, Legislature Size, Bicameralism and Government Spending: Evidence from Democratic Countries, Discussion Paper Series 2004-08, Department of Economic, Royal Holloway College, University London, 2004, h.7. 15 Andrew S Ellis, Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa Pertanyaan, (Jakarta: NDI for International Affairs dan Forum Rektor Indonesia YSPDM, 2001), h. 61. 16 Leslie Wolf-Philips, loc. cit.
Dapatlah dikatakan bahwa bila majelis kedua adalah hasil pemilihan langsung, anggotaanggotanya dapat disebut memiliki legitimasi demokratis lebih besar. Sebaliknya apabila majelis kedua dipilih secara tidak langsung, anggota-anggotanya hanya mengandalkan legitimasi sebatas dari jalur perwakilan yang menentukan keanggotaan mereka. Oleh karena unsur yang diwakilinya berbeda dan aspirasinya berbeda, kedua kamar dalam parlemen juga memiliki kedudukan, wewenang fungsi sendiri-sendiri yang variannya berbeda. Misalnya dari sisi “status hak suara” dalam pengambilan keputusan, kadang majelis tinggi memiliki hak suara yang terbatas sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa ‘lower house’ dianggap lebih legitimate karena dipilih secara lebih demokratis (misalnya dalam hal majelis tinggi berasal dari pengangkatan/ penunjukkan dan keturunan). Oleh karena itu varian dari model ini kemudian menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘strong bicameralism’ seperti Kongres Amerika Serikat dan ‘soft bicameralism’ seperti parlemen UK. Dari varian-varian tersebut, satu hal yang penting dalam badan perwakilan dua kamar yaitu bahwa “an important feature of bicameralism is asymmetry between chambers”17, artinya keduanya jelas memiliki wewenang dan fungsi yang berbeda. Beberapa hal yang dapat disebutkan sebagai kelebihan dari model parlemen dua kamar ini adalah : 1. Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan); 2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan; 3. Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan 4. Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif18.
3. DPD sebagai Kamar Kedua : Konteks Otonomi Daerah dan Fungsi Legislasi Sebagaimana uraian diatas, jelas bahwa bicameralism bukanlah monopoli negara dengan bentuk federal. Dalam kaitan ini maka dua hal penting untuk mengkaitkan pembahasan tentang DPD ini dalam konteks gagasan dua kamar dalam badan perwakilan di Indonesia.
17 18
Roberto Ricciuti, op.cit., h.8 Dahlam Thaib, loc. cit.
Pertama, bahwa sebagaimana uraian diatas, pilihan bicameralism pada dasarnya berangkat pada realitas tentang populasi dan heterogenitas masyarakat. Maka sebagaimana dinyatakan sejak awal, DPD (diinginkan) di desain sebagai kamar kedua adalah juga dalam juga dalam rangka menjawab realitas keberagaman. Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa, gagasan pembentukan DPD sebagai salah satu badan perwakilan yang merupakan representasi daerah adalah untuk
menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta
memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Dengan demikian terdapat keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah 19. Konteks pertama ini jelas tidak dapat kita lepaskan dari konteks desentralisasi sebagai konsekuensi perubahan pasal 18 UUD 1945. Keberadaan desentralisasi di Negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi sosial politik pada masanya. Setidaknya, sampai kini, kita memiliki tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004 dan UU lain yang lebih khusus mengatur daerah seperti UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya menekankan pentingnya prinsipprinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan aspek-aspek yang berkaitan dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini dianggap penting, karena dari sisi teritorial seperti Indonesia pemerintah pusat pasti akan sangat kesulitan untuk mengurus segala hal sampai pada level pemerintahan
terbawah.
Pada
prinsipnya,
otonomi
daerah
dilakukan
dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini terpusat pada pemerintah nasional. Kesimpulan dalam konteks ini dalam kaitan dengan sistem dua kamar adalah bahwa perubahan UUD 1945 mengenai pasal-pasal tentang pemerintah daerah membawa pula konsekuensi keharusan makin dekatnya akses daerah terhadap pengambilan keputusan di 19
Hidayat Nur Wahid, kata pengantar dalam, John Pieris dan Aryanthi Baramulli Putri, loc.cit.
level nasional dan karenanya harus terdapat kanal sebagai kelembagaan yang mengalirkan kepentingan daerah. Inilah satu hal yang dapat ditelusuri dari perkembangan politik hukum pemerintahan daerah: desentralisasi yang ditandai UU No. 22/1999 (diganti dengan UU No. 32/2004) diikuti dengan perubahan pembagian kekuasaan secara vertikal (pusatdaerah), yakni ketentuan-ketentuan dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah (amandemen kedua) dan kemudian di susul pembentukan kelembagaan DPD dalam amandemen UUD 1945 yang ketiga. Dalam konteks badan perwakilan, pilihan atas model organisasi parlemen pada dasarnya harus dapat mengakomodasi tiga jenis keterwakilan, yaitu keterwakilan penduduk, keterwakilan teritorial dan keterwakilan deskriptif (khususnya kelompok-kelompok masyarakat yang dalam proses pemilihan umum tidak akan terwakili). Pada sisi lain, kamar pertama (DPR) – jika memang semula struktur badan perwakilan di Indonesia adalah bikameral – tidak sepenuhnya dapat mewakili kepentingan rakyat melalui pelaksanaan fungsi konstitusionalnya (salah satunya adalah pembentukan undang-undang), oleh karena faktor sistem kepartaian, sistem pemilu termasuk di dalamnya sistem rekrutmen politiknya. Kedua, dalam konteks legislasi, meskipun UUD 1945 meletakkan kedudukan DPD sebagai lembaga negara yang sederajat dengan organ konstitusional lainnya, tetapi pembentukan UU menurut UUD 1945 adalah wilayah kekuasaan DPR bersama Presiden (Pasal 20). Dengan rumusan dalam pasal 20, seolah-olah posisi DPD berada di bawah DPR, atau sekedar aksesoris dari kekuasaan legislatif yang dipegang oleh DPR 20. Dengan posisi yang lemah dalam organisasi badan perwakilan, khususnya kekuasaan legislatif, maka DPD tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan kuat dalam mekanisme check and balances di Indonesia, baik itu dalam kerangka internal organisasi badan perwakilan maupun check and balances dalam hubungannya dengan kekuasaan eksekutif. Sebab kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR, dan DPR tetap sebagai kekuasaan yang dominan dalam struktur kekuasaan negara. Dalam fungsi legislasi, oleh karena badan perwakilan dalam sistem bicameralism mewakili kepentingan yang berbeda maka sudah seharusnya kekuasaan pembentukan undang-undang mengharuskan adanya check and balances. Terlebih dalam studi perbandingan tentang sistem parlemen dua kamar menunjukkan bahwa salah satu maksud dibentuknya dua kamar utamanya adalah dalam rangka revising function atau double 20
Meskipun dari sisi pengisian jabatan, persayaratan dan prosedur bagi anggota DPD lebih berat daripada anggota DPR.
check terhadap produk legislasi, tidak saja untuk menghindari pembuatan undang-undang yang ceroboh dan tergesa-gesa tetapi secara subtansi memastikan bahwa UU tersebut dapat diterima oleh berbagai kelompok yang berbeda21. Sebagaimana dinyatakan diatas varian dari bicameralism cukup beragam, yakni setidaknya dari yang dikategorikan sebagai strong bicameralism sampai pada soft bicameralism. Hal ini antara lain dapat dilihat dari bagaimana keduanya memiliki wewenang dan berhubungan dalam pembentukan undang-undang. Dengan pendekatan perbandingan, barangkali kita dapat menformulasikan penataan kembali wewenang DPD dalam fungsi legislasi. Pertama, kebanyakan salah satu kamar, yakni umumnya Majelis Rendah (the lower house) memiliki wewenang utama dan akhir dalam menentukan isi rancangan UU (bill). Sebagai contoh, di Slovenia,
National Council sebagai majelis tinggi, mempunyai
kekuasaan untuk melakukan veto atas UU dalam waktu 7 hari atas UU yang diadopsi oleh National Assembly (Majelis Rendah)22.Tetapi dalam hal ini tetap saja Majelis Rendah dapat menolak veto dari Majelis Tinggi dengan ’simple majority’. Di Rusia pun demikian dimana Duma sebagai majelis rendah dapat menolak veto dari Federation Council (upper house) dengan model ‘two-thirds majority”23. Kedua, pada beberapa negara, kekuasaan dari setiap kamar bervariasi tergantung dari legislasi apa yang akan dibuat atau dihasilkan oleh parlemen. Misalnya di Afrika Selatan, apabila RUU tidak secara langsung berdampak terhadap kepentingan propinsi (misalnya dalam hal RUU pertahanan, hubungan luar negeri) maka ’simple majority’ dari anggota Majelis Rendah (National Assembly) dapat menerima atau menolak RUU yang diiusulkan oleh National Council of Provinces (NCOP) sebagai Majelis Tinggi. Dalam hal ini jika terjadi kebuntuan antara National Assembly dan
NCOP terhadap RUU yang
berdampak atau berkaitan dengan propinsi maka RUU tersebut harus dibawa kepada ‘mediation committee’yang anggotanya berasal dari dua kamar tersebut. Jika komite gagal membuat kesepakatan, maka dilakukan pemungutan dan RUU bisa menjadi UU bila disetujui 2/3 anggota National Assembly24.
21
Dalam kaitan UU yang dihasilkan DPR dan Presiden, hal ini dapat dicerminkan dari hasil pengujian UU di Mahkamah Konstitusi, misalnya pada 2003-2006 Mahkamah telah memutus 81 perkara pengujian undang-undang. Lihat, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis; Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta 2006 22 Lihat Konstitusi Slovenia, article 80-91 yang mengatur tentang National Assembly dan Article 96101 yang mengatur wewenang National Council. 23 Lihat Konstitusi Federasi Rusia, chapter 5, article 94-105 24 Lihat Konstitusi Afrika Selatan, chapter 4 : Parliament (art.42-45)
Ketiga, ada kalanya dua kamar dalam badan perwakilan gagal untuk menyepakati RUU, maka RUU tersebut batal. Misalnya di Kazakhstan, RUU adalah berasal dari Majelis Rendah (the Mazhilis) dan disampaikan kepada Senate untuk mendapat persetujuan. Senate dapat menolak RUU ini dan mengembalikan kepada Majelis Rendah. Sebaliknya dengan suara 2/3 Majelis Rendah dapat mengembalikannya kembali kepada Senate dan jika Senate kembali menolak maka RUU tidak dapat lagi diajukan dalam masa persidangan tersebut25. Apapun variannya sebagaimana mana ditunjukkan dari perbandingan tersebut, hal yang pasti dapat dilihat adalah adanya mekanisme yang tidak sekedar sebagai double check terhadap proses legislasi tetapi sekaligus mencerminkan saling kontrol antar kamar dalam satu badan perwakilan. Dalam konteks DPD, pilihan varian derajat wewenang dalam proses legislasi perlu dipertimbangkan secara mendalam berkaitan dengan keuntungan dan kelemahannya, misalnya dalam konteks waktu dan biaya legislasi
25
Lihat Konstitusi Kazakhstan, chapter 4 : Parliament (art.49-63)
BAHAN BACAAN
Asshidiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006 Ellis, Andrew S., Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa Pertanyaan, Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Bikameralisme dan Perubahan Konstitusi di Jakarta, 8 Juni 2001. National Democratic Institute (NDI), One Chamber or Two? Deciding Between a Unicameral and Bicameral Legislature, Legislative Research Series, Papaer #3, 1998
Mahkamah Konstitusi RI, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis; Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta 2006 Pieris John dan Aryanthi Baramulli Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia : Studi, Analisis, Kritik dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2006. Ricciuti Roberto, Legislature Size, Bicameralism and Government Spending: Evidence from Democratic Countries, Discussion Paper Series 2004-08, Department of Economic, Royal Holloway College, University London, 2004. Strong, C.F. Modern Political Constitution: an Introduction to the Comparative Study Of their History and Existing Forms. Ed. VI. London: Sidwick & Jackson, 1963. Thaib, Dahlan, “Menuju Parlemen Bikameral Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945).” Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata negara yang disampaikan di depan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 4 Mei 2002.
Wolf-Philips, Leslie, Comparative Constitutions, Macmillan, 1978.