Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Structured Learning Approach (SLA): Strategi untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah Dian Ari Widyastuti Email:
[email protected] Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Muya Barida Email:
[email protected] Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta ABTRAK Perilaku disiplin siswa di sekolah menjadi kajian penting dalam berbagai setting pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Meninjau dari maraknya fenomena yang terjadi di lapangan yang mengarah pada perilaku tidak disiplin, konselor sebagai salah satu pendidik bertanggungjawab mereduksi perilaku tidak disiplin tersebut sehingga siswa dapat memproduksi perilaku disiplin yang dikehendaki dan diterima oleh lingkungan. Salah satu strategi yang dipandang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengembangkan perilaku disiplin siswa yaitu menggunakan Structured Learning Approach (SLA). Terdapat lima tahapan dalam Structured Learning Approach (SLA) yang tersusun secara hierarki yaitu petunjuk (instruksi), pemberian model (modelling), bermain peran (role playing), umpan balik (feedback), dan transfer pelatihan (transfer of training). Melalui tahapan-tahapan tersebut siswa dapat memperoleh pengalaman belajar secara kognitif yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku baru yang dikehendaki dan diterima oleh lingkungan, dalam hal ini perilaku disiplin.
PENDAHULUAN Saat ini, kedisiplinan menjadi salah satu perhatian utama dalam dunia pendidikan, baik dalam seting pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Gallozzi (2007) bahwa disiplin merupakan aspek penting dalam pendidikan karakter di sekolah. Pada kehidupan sehari-hari, terdapat berbagai macam permasalahan, salah satu permasalahan tersebut terkait dengan perilaku disiplin siswa. Perilaku tidak disiplin yang ditunjukkan oleh siswa pada kehidupan sehari-hari, biasanya tercermin dalam perilaku membolos, tidak mengerjakan tugas, memainkan gadget ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, merusak fasilitas sekolah, dan lain-lain. Konsep disiplin itu sendiri telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Disiplin merupakan kemampuan untuk mengendalikan impuls, emosi, keinginan, dan perilaku (Hereford, 2008). Menurut Kohlberg (dalam Widodo, 2009: 1) 62
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
disiplin adalah keadaan yang menunjukkan adanya kesadaran individu terhadap makna perilaku disiplin bagi dirinya; bahwa perilaku disiplin itu merupakan kepentingan setiap orang, yang akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi dirinya, disamping itu untuk memberikan keuntungan bagi orang lain, kelompok, masyarakat dan bangsa. Disiplin pertama-tama adalah sikap taat pada tata tertib (Taylor & Madsen dalam Widodo, 2009: 1). Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan internal, yaitu adanya motivasi dari dalam diri sendiri. Dengan demikian, disiplin harus diajarkan agar tertanam pada diri individu. Meninjau bahwa disiplin berasal dari motivasi atau dorongan dari dalam diri, maka pada hakikatnya disiplin merupakan kemampuan mengendalikan diri yang disebabkan adanya keinginan untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan individu. Kemampuan mengendalikan diri menjadi dasar bagi integritas pribadi, dimana individu dapat mengatur impuls, pikiran, kebiasaan, emosi, dan perilakunya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikenakan pada diri sendiri atau tuntutan-tuntutan yang diberlakukan oleh masyarakat. Individu yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, akan terhindar dari berbagai tingkah laku negatif yang berdampak negatif pula terhadap dirinya sendiri serta berbagai pihak lainnya. Pelanggaran disiplin (perilaku tidak disiplin) diartikan sebagai kegagalan siswa dalam mematuhi peraturan-peraturan di sekolah. Dengan kata lain, perilaku tidak disiplin merupakan perilaku yang dimunculkan oleh siswa dimana perilaku tersebut merupakan cerminan dari ketidaktaatan siswa terhadap aturan atau norma yang berlaku. Perilaku tersebut merupakan perilaku maladaptif yang tidak dapat diterima oleh lingkungan karena menggangu ketertiban dan keamanan orang lain. Perilaku ini pula menjadi salah satu faktor yang menggangu lingkungan belajar dan merupakan problem utama dalam dunia pendidikan. Hasil survey secara global yang ditujukan terhadap orang tua dan guru menunjukkan bahwa mereka menilai kecenderungan generasi anak-anak mereka lebih bermasalah secara emosional dibanding generasi anak-anak di masa silam, selain itu mereka lebih kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan melanggar aturan, tidak disiplin, gugup dan takut/cemas, serta lebih agresif dan impulsif (Hitipeuw, 2005). Pelanggaran disiplin sebagai akibat dari lemahnya aspek 63
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
pengendalian diri individu tersebut, tampak dalam berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan-aturan sekolah, misalnya datang terlambat, membolos, membuat perkelahian/ keributan, serta meninggalkan kelas saat pelajaran. Fenomena rendahnya kedisiplinan siswa, menjadi sangat kompleks dan meluas ketika siswa dihadapkan pada realitas sosial. Realitas sosial tersebut antara lain acara-acara sinetron dalam TV yang berlatar belakang pendidikan namun menampilkan adegan-adegan yang menunjukkan perilaku tidak disiplin (seperti perkelahian, membolos, menyontek, memainkan gadget saat guru memberikan penjelasan, dll). Melalui media masa inilah siswa dihadapkan pada berbagai pola kehidupan, baik yang positif maupun negatif, yang sebelumnya tidak pernah dikenal anak, apalagi oleh mereka yang tinggal di daerah “pinggiran”. Melalui adegan itu, siswa belajar melalui model simbolik (tokoh dalam sinetron), yaitu di mana siswa melakukan imitasi terhadap perilaku tidak disiplin, terlebih bagi siswa yang memiliki pengendalian diri rendah. Perilaku tidak disiplin telah melanda dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan para pendidik beranggapan bahwa perilaku tidak disiplin tersebut merupakan masalah terbesar di sekolah. Setiap pendidik, termasuk konselor, mempunyai tanggungjawab bersama dalam mengusahakan strategi yang efektif guna mengatasi masalah disiplin siswa di sekolah, tanpa harus mengabaikan aspek psikologis. Pengentasan masalah disiplin siswa dalam kerangka kegiatan belajar ini
hendaknya
selalu
mensinergikan
proses
pembiasaan
siswa
dalam
kehidupannya sebagai upaya untuk mendukung berkembangnya seluruh potensi siswa secara utuh dan menyeluruh serta berlangsung sepanjang kehidupan siswa. Hal ini penting sebab jika tidak justru akan berdampak pada terganggunya pelaksanaan proses belajar, menimbulkan kerugian besar bagi perkembangan optimal siswa, serta menambah jumlah daftar perilaku siswa yang tidak disiplin. Dengan demikian akan menghasilkan sumber daya manusia yang tidak berkualitas, baik kualitas akademis (academic quality) maupun kualitas kepribadian (personality quality). Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang mengisyaratkan terbentuknya manusia berkualitas, yaitu manusia yang berdisiplin (UU Sisdiknas No. 20 Thn. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). 64
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Meninjau maraknya fenomena perilaku tidak disiplin yang dimunculkan oleh siswa, maka diperlukan suatu intervensi dalam konteks bimbingan dan konseling yang dapat membantu konselor dalam meningkatkan perilaku disiplin siswa. Konselor sebagai tenaga kependidikan mempunyai tanggungjawab moral untuk membantu menyelesaikan persoalan disiplin siswa dengan strategi yang bersifat tidak menghukum melainkan lebih pada bagaimana membangun sebuah dinamika interaksi yang mengembangkan dan membelajarkan individu secara konstruktif, berlandaskan prinsip-prinsip kebebasan dan tanggungjawab pribadi (UU RI No 20 th. 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat 6). Persoalan yang dihadapi konselor selama ini adalah masih minimnya pengetahuan akan modelmodel bimbingan dan konseling yang digunakan untuk meningkatkan perilaku disiplin siswa serta mereduksi perilaku tidak disiplin. Oleh sebab itu, model pelatihan Structured Learning Approach (SLA) dapat dijadikan salah satu alternatif strategi yang dipandang dapat membantu konselor dalam meningkatkan perilaku disiplin siswa
INTI a. Disiplin Penafsiran terhadap konsep perilaku disiplin mengalami perkembangan dalam dunia pendidikan. Pada awalnya perilaku disiplin siswa di sekolah sering kali diidentikkan dengan punishment karena guru menganggap siswa sering melakukan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku yang kemudian dalam mengatasinya perlu memberikan hukuman (punishment). Sejalan dengan hal tersebut, masih banyak pendidik di Indonesia yang menganggap ketika siswa melanggar aturan sekolah dapat mengganggu kegiatan belajar sehingga perlu ditangani dengan cara pemberian hukuman, yang dapat menimbulkan kesakitan, ketakutan, dan dirasa tidak nyaman. Dalam
perkembangannya,
kedisiplinan
bukan
sebagaimana
yang
diungkapkan di atas. Bernhardt (dalam Mumbrita, 1977) melihat bahwa ada perubahan pandangan terhadap perilaku disiplin siswa di sekolah. Secara mendasar disiplin dapat pula berarti positif yaitu melatih bukan mengoreksi, membimbing dan bukan menghukum, serta mengatur kondisi belajar dan bukan 65
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
hanya menghalangi dan melarang. Disiplin yang berarti positif cenderung bersifat membimbing
dan
menciptakan
situasi
serta
kondisi
yang
mendorong
perkembangan optimal siswa. Keadaan yang demikian akan membangun sikap positif dalam diri siswa yaitu bersikap patuh dengan senang hati sehingga timbul kesadaran terhadap disiplin. Durkheim (1990) mengemukakan ada dua unsur karakteristik disiplin yaitu keinginan akan adanya keteraturan diri dan keinginan adanya pengendalian diri. Ravianto (dalam Widodo, 2009) menyatakan bahwa disiplin berasal dari bahasa latin “diciplina” yang pada dasarnya berarti pelajaran, belajar, patuh pada guru, patuh pada atasan, patuh pada peraturan hokum, pengendalian diri atau pengawasan. Disiplin (juga dikenal sebagai self-control) yaitu kemampuan untuk melanjutkan tugas dan menghindari hal-hal yang dapat menghambat pencapaian tujuan (Zao & Kuo, 2015). Selanjutnya, Zao & Kuo (2015) menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah proses yang otomatis, melainkan membutuhkan usaha sadar, yang melibatkan kontrol diri individu (dalam perilaku, pikiran, dan emosi). Senada dengan hal tersebut, James Drever (dalam Widodo, 2009) mengartikan disiplin sebagai kontrol/ pengendalian diri terhadap perilaku agar perilaku yang terkontrol mengarah pada perilaku positif. Taylor dan Madsen (dalam Widodo, 2009) mengemukakan bahwa disiplin pertama-tama adalah sikap taat pada tata tertib. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan internal, yaitu adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku disiplin adalah serangkaian perilaku yang dikehendaki kemunculannya yang mengindikasikan adanya ketaatan terhadap tata tertib, keteraturan diri, serta pengendalian diri. Disiplin harus diajarkan, yang kemudian dipelajari dan dapat diaplikasikan oleh siswa dalam kehidupannya. Dari pendapat para ahli tentang hakikat disiplin, ditemukan dua kata kunci yang hampir muncul dalam setiap definisi tersebut yaitu kata pengendalian diri atau kontrol diri. Dalam hal ini berarti disiplin yang dimiliki bukan karena faktor eksternal tetapi dibangun oleh kesadaran internal. Pada hakikatnya, disiplin menekankan pada pengendalian diri (self control) yang didasarkan pada keinginan untuk menumbuhkan keteraturan diri dan ketaatan pada peraturan/ tata tertib yang 66
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
muncul dari kesadaran internal individu. Pengendalian diri dimaksudkan sebagai suatu kesadaran dalam mengontrol pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan dalam mengarahkan perilaku setiap individu. Dalam konteks pendidikan, kedisiplinan merupakan suatu keadaan di mana individu memiliki pengendalian diri secara positif sehingga dapat mewujudkan perilaku adaptif dan produktif. Taylor & Gorton (dalam Widodo, 2009: 4) menyatakan bahwa perilaku tidak disiplin oleh siswa sebagai akibat dari rendahnya tingkat pengendalian diri dalam berdisiplin, diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu: 1) perilaku tidak sesuai yang dilakukan siswa dalam kelas yang dapat berupa tindakan membantah atau menjawab kata-kata guru dengan kasar, tidak memperhatikan penjelasan guru, mengganggu teman lain, melakukan perusakan, mengucapkan kata-kata kotor, menyontek teman, serta menyerang teman; 2) perilaku tidak sesuai yang dilakukan di luar kelas meliputi berkelahi, merokok, mengkonsumsi obat-obat terlarang, mencuri, berjudi, membuang sampah sembarangan, melakukan tindakan yang digerakkan seseorang misalnya: demonstrasi, berada di tempat terlarang di lingkungan sekolah; 3) membolos; dan 4) terlambat, berupa terlambat hadir di kelas atau pun di sekolah. Sementara itu, DeRoche (1985) menyatakan beberapa perilaku yang menunjukkan pelanggaran disiplin, yaitu: 1) tidak mengerjakan pekerjaan rumah; 2) tidak mengerjakan tugas-tugas di sekolah; 3) kurang bertanggungjawab; 4) menunjukkan sikap kurang memperhatikan; 5) menyontek waktu ujian; 6) menyontek pekerjaan rumah; 7) mengucapkan kata-kata kasar dan cabul; 8) menulis kata-kata kotor di dinding sekolah; 9) mencuri baran; 10) merusak barang sekolah; 11) berdusta besar; 12) pelanggaran seks; 13) membawa senjata berbahaya; 14) perkelahian; 15) melakukan tindak kekerasan fisik pada siswa lain/guru; 16) membolos atau tidak hadir di sekolah; 17) kurang menghargai orang lain; 18) mengonsumsi obat-obatan terlarang; 19) menggunakan alkohol sewaktu sekolah; 20) kurang menghargai peraturan sekolah; 21) terus-menerus menyela atau memotong kegiatan belajar-mengajar di kelas.
67
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
b. Structured Learning Approach (SLA) Model pelatihan dan pengembangan perilaku disiplin siswa dapat mengadaptasi model pembelajaran. Model pembelajaran tersebut hendaknya memenuhi beberapa persyaratan yang sesuai dengan hakikat perilaku disiplin itu sendiri. Kriteria model yang diadaptasi mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Model pembelajaran yang diadaptasi hendaknya secara teoritis dapat digunakan untuk mengambangkan perilaku disiplin. Model tersebut harus mampu mengakomodasikan kegiatan pelatihan perilaku disilpin dengan sarat muatan budaya yang telah ada. 2. Model pembelajaran yang diadaptasi hendaknya secara teoritis dapat digunakan untuk mengembangkan perilaku disiplin yang dikehendaki, yang tidak pernah atau jarang muncul, dan memodifikasi dan mengembangkan dari perilaku tidak disiplin yang tidak dikehendaki menjadi perilaku disiplin dan dikehendaki. Dengan demikian model pembelajaran tersebut memiliki fungsi developmental dan therapeutic. 3. Model pembelajaran yang diadaptasi hendaknya secara teoritis dapat dioperasikan di latar sekolah tanpa menambah beban fungsional yang tidak relevan. Dengan kata lain memiliki spesifikasi dan petunjuk operasional yang jelas. Model Structured Learning Approach (SLA) diasumsikan sebagai model yang telah memenuhi kriteria dalam melatihkan dan mengembangkan perilaku disiplin bagi siswa. Model pembelajaran ini merupakan pendekatan pelatihan keterampilan yang semula dikembangkan untuk digunakan untuk orang dewasa dan populasi-populasi penderita keterampilan sosial yang kurang (Sprafkin, Gershaw, Goldstein, 1993). Structured Learning Approach (SLA) dikembangkan sekitar tahun 1970-an untuk memberikan keterampilan sosial pada pasien-pasien psikiatrik kronis yang menderita kurangnya keterampilan sosial Sprafkin, Gershaw, Goldstein, 1993). Structured Learning Approach (SLA) kemudian dikembangkan pada individu-individu yang bukan pasien psikiatrik kronis namun untuk melatihkan dan membentuk perilaku baru. Dalam perkembangannya, SLA kemudian tidak hanya di rumah sakit kesehatan mental karena model ini berkembang dari teori 68
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
belajar sosial yang juga dapat diterapkan pada individu-individu untuk membentuk perilau baru (perilaku disiplin salah satunya). Structured Learning Approach (SLA) memiliki pola langkah-langkah pelatihan yang terdiri atas lima tahap yang tersusun secara hierarki (Sprafkin, Gershaw, and Goldstein (1993) dan Thompson (2003)). Langkah-langkah tersebut adalah petunjuk (instruksi), pemberian model (modelling), bermain peran (role playing), umpan balik (feedback), dan transfer pelatihan (transfer of training). Dalam pelatihan, komponen/ langkah “instruksi” diikutsertakan sebab terdapat dua dimensi dalam SLA yaitu dilihat dari sudut pandang kognitif dan juga sudut pandang
perilaku.
Komponen
instruksilah
yang
dimaksudkan
untuk
mengembangkan aspek kognitif individu. Structured Learning Approach (SLA) merupakan suatu model yang memiliki kriteria: 1) ada hubungan struktural antara komponen-komponen teknik yang digunakan; 2) dapat digunakan untuk memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang dapat diverifikasi melalui observasi; 3) dapat digunakan untuk memperjelas peristiwa belajar; dan 4) dapat digunakan untuk mengembangkan konsep-konsep baru (Munch dan Postlith Waite dalam Handarini, 2000).
c. Structured Learning Approach (SLA) sebagai Salah Satu Strategi dalam Meningkatkan Perilaku Disiplin Siswa Penanganan perilaku tidak disiplin, secara faktual telah dilakukan oleh beberapa sekolah, dengan model pendekatan yang diberlakukan yaitu system poin yang disertai hukuman (punishment). Penerapan sistem poin ini sepenuhnya ditangani oleh tim tata tertib sekolah. Tim inilah yang merumuskan segala bentuk aturan dan pemberian sanksinya ketika terjadi pelanggaran. Besar kecilnya poin ditentukan berdasarkan klasifikasi pelanggaran yang dilakukan siswa. Sekolah sebagai tempat belajar, sudah seharusnya dapat menciptakan kondisi psikologis yang memungkinkan siswa mampu menciptakan perilaku baru. Kondisi psikologis yang dimaksud adalah adanya rasa nyaman, senang/ enjoy, serta sikap dan perilaku guru yang mampu memotivasi siswa dalam meningkatkan aktivitas belajarnya. Penerapan sistem poin ini, justru menciptakan kondisi belajar yang kurang kondusif dan rasa tidak nyaman pada diri siswa. Hukuman sebagai sanksi 69
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
dalam pelanggaran aturan, misalnya skorsing, telah merampas apa yang menjadi hak siswa dan hal ini merugikan. Penggunaaan teknik hukuman (punishment) untuk mereduksi (mengurangi) tingkah laku yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan resiko tertentu. Goodwin & Cost (1986) mengemukakan tiga resiko penggunaan punishment yaitu pemberi punishment dapat menjadi model agresif bagi siswa, punishment sering menghasilkan reaksi emosi yang ada pada siswa dan dapat menghambat kegiatan belajar siswa, serta punishment hanya mengatakan apa yang tidak boleh dilakukan dan tidak mengatakan apa yang seharusnya dilakukan. Punishment dalam bentuk skorsing merupakan penerapan bentuk time out yang keliru sebab semata-mata hanya menghentikan segala aktivitas belajar siswa sehingga siswa akan semakin tertinggal dalam pelajaran. Sebaliknya bagi anak yang yang bosan dengan pelajaran di kelas, hukuman dalam bentuk skorsing justru menjadi reward bagi mereka, dimana siswa dapat menghindar sejenak dari tugas di kelas. Selain didasarkan pada teori kognitif yang mengelola dan mengembangkan struktur kognitif pada diri individu, Structured Learning Approach (SLA) juga berkembang atas dasar teori perilaku. Teori perilaku yang dimaksud adalah teori belajar sosial (social learning theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi dari Kanada (dalam Walgito, 2010: 193). Bandura menyatakan bahwa pembentukan atau pengubahan perilaku dilakukan melalui atau dengan observasi, dengan model atau contoh (modelling). Dalam Structured Learning Approcah (SLA), modelling menjadi salah satu komponen untuk melakukan intervensi terhadap individu-individu yang dianggap kurang atau tidak berperilaku disiplin. Melalui modelling individu diharapkan mampu mengamati, mengingat, serta mengimitasi dan memproduksi perilaku disiplin dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didukung oleh pendapat Bandura (dalam Dahar, 1988: 33) bahwa sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan manusia itu belajar dari suatu model. Bandura (dalam Dahar, 1988) mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran observasional:
70
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
1.
Model hidup, yang melibatkan seorang individu sebenarnya dengan cara mendemonstrasikan atau bertindak sesuai dengan perilaku yang menjadi bahasan.
2.
Model pembelajaran verbal, yang melibatkan deskripsi dan penjelasan tentang perilaku.
3. Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku dalam buku-buku, film, program televisi, atau media online. Model simbolik adalah salah satu jenis model yang digunakan dalam Structured Learning Approach (SLA). Model yang dimasudkan adalah: 1.
Dengan
menampilkan
cerita
dalam
bentuk
kasus
ataupun
dengan
menanyangkan video yang menggambarkan perilaku disiplin, yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan diskusi dalam kelompok. Dalam hal ini, tidak saja teori perilaku yang dijadikan acuan, akan tetapi teori kognitif juga berlaku. 2.
Dengan menampilkan model simbolik melalui kegiatan role playing. Disini individu akan mengamati perilaku tokoh dalam role playing yang menunjukkan adanya perilaku disiplin. Selain itu, dapat juga individu memerankan tokoh dengan adegan menampilkan perilaku disiplin dalam role playing. Model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam setting kelompok
psikoedukasi. Proses pembelajaran melibatkan pengolahan kognisi dari hasil kerja indra penglihatan dan indra pendengaran siswa yang kemudian dapat menghasilkan bentuk perilaku baru yang diharapkan/ dikehendaki, dalam hal ini perilaku disiplin. Selain didasarkan pada teori kognitif, teori lain yang menguatkan keberadaan Structured Learning Approach (SLA) adalah teori belajar sosial (social learning theory) khususnya observational learning. Teori ini dicetuskan oleh ahli psikologi dari Kanada yang bernama Bandura. Bandura (dalam Walgito, 2010: 193) menyatakan bahwa pembentukan atau pengubahan perilaku dilakukan melalui atau dengan observasi, dengan model atau contoh (modelling). Pada SLA, terdapat dua bentuk model yang digunakan yakni model dalam bentuk cerita dan model dalam bentuk permainan peranan. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya beberapa model simbolik, siswa dapat menganalisis 71
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
perilaku disiplin yang dimunculkan tokoh, kemudian siswa mengimitasi perilaku disiplin tersebut dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
KESIMPULAN Structured Learning Approach (SLA) menyajikan lima tahapan yang tersusun secara hierarki yaitu petunjuk (instruksi), pemberian model (modelling), bermain peran (role playing), umpan balik (feedback), dan transfer pelatihan (transfer of training). Melalui tahapan-tahapan tersebut siswa dapat memperoleh pengalaman belajar secara kognitif yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku baru yang dikehendaki dan diterima oleh lingkungan, dalam hal ini perilaku disiplin. DAFTAR RUJUKAN Dahar, R. W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: DEPDIKBUD. DeRoche, E.F. 1985. How Scholl Administrators Solve Problems. Englewood Cliffs: Prentice-Hall Inc. Durkheim, E. 1990. Pendidikan Moral. Terjemahan Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga. Gallozzi. 2007. Developing Self-Dicipline. (Online), (http://www.personaldevelopment.com/chuck/selfdicipline.htm), diakses 26 Oktober 2016. Goodwin, D. L. & Coast, T.J. 1986. Helping Students Help Them Selves. Englewood Chiffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Handarini, Dany. 2000. Pengembangan Paket Keterampilan Sosial. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Hereford, Z. 2008). Self-dicipline: The Fondation for Success. (Online), (http://www.essentiallifeskills.net/self-dicipline.html), diakses 26 Oktober 2016. Hitipeuw, Imanuel. 2005. Penanganan Masalah Siswa oleh Guru melalui Direct Behavioral Consultation. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Sisdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI. Speafkin, Gershaw, & Goldstein. 1993. Social Skills for Mental Health: A Structured Learning Approach. United State of America: Cambriedge University Press. Thompson, A. Rosemary. 2003. Counseling Techniques Second Edition. New York: Roudledge. Widodo, Bernadus. 2009. Keefektifan Konseling Kelompok Realitas untuk Meningkatkan Perilaku DIsiplin Siswa di Sekolah. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. 72
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Zhao & Kuo. 2015. The Role of Self-discipline in Predicting for 10th Grades. International Journal of Intelligent Technologies and Applied Statistics, Vol. 8(1): 61-70.
73