1
STRATEGI PRESENTASI DIRI PADA MAHASISWA TUNANETRA Indah Kusuma Wardani
[email protected] Ika Herani Unita Werdi Rahajeng Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT This research aimed to describe self-presentation strategy of students with visual impairments in Brawijaya University. This research implemented qualitative research design under the Moustakas phenomenology. The data of this research was collected through interview, observation, and documentation. The subjects were chosen through non-probability sampling by using purposive sampling technique. There were four subjects involved throughout this research. The findings stated that the cause of visual impairments of the subject observed was not genetic factor but from external one. Generally, the strategies of self-presentation used by the four subjects to interact with their university’s friends are ingratiation and self-promotion. Exemplification strategy was used by three of the total subjects. While one subject of the study implemented intimidation, supplification, and self-handicapping strategies. Also, the strategy of aligning action appeared in low frequency on two subjects, and strategy of alter casting was not used at all. Keywords: self-presentation strategy, visual impairments, ingratiation, self-promotion ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai strategi presentasi diri pada mahasiswa tunanetra Universitas Brawijaya Malang.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi dan analisis data berdasar Moustakas.Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi.Teknik pengambilan subyek dengan teknik purposive sampling, melibatkan empat subyek penelitian.Berdasarkan hasil penelitian, penyebab ketunanetraan keempat subyek adalah dari faktor eksternal dan bukan bawaan dari lahir.Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum strategi presentasi diri yang digunakan oleh keempat mahasiswa tunanetra ketika berinteraksi dengan teman-teman di universitas adalah strategi ingratiation dan self promotion.Sedangkan strategi exemplification digunakan oleh tiga subyek.Strategi intimidation, strategi supplification, dan strategi self handicapping digunakan salah satu subyek.Strategi aligning action muncul pada dua subyek tetapi tidak terlalu sering dan strategi altercasting tidak digunakan oleh keempat subyek. Kata kunci : Strategi presentasi diri, tunanetra, ingratiation, self promotion
2 LATAR BELAKANG Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Kategori tunanetra ini tidak saja mereka yang buta total tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar, seperti individu “setengah melihat”, individu dengan low vision, dan individu yang mengalami rabun mata (Somantri, 2012). Secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan(Somantri, 2012). Seseorangyang mulai mengalami ketunatetraan yang disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muhlisun, 2010). Keadaan tunanetra yang terjadi tidak sejak lahir akan membuat seseorang mengalami masa perubahan secara drastis. Kehilangan penglihatan mempengaruhi individu dalam berbagai hal, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpresepsi, berpikir, dan merasakan berbagai hal. Selain itu seseorang yang mengalami tunanetra memiliki kesulitan lain dalam melaksanakan tugas perkembangan sosial yaitu keterbatasan tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi (Somantri, 2012). Somantri (2012) mengemukakan bahwa akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar seseorang, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Melalui indera penglihatan sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Mahasiswa tunanetra merupakan peserta didik pada jenjang perguruan tinggi yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya. Mahasiswa tunanetra pada perguruan tinggi memiliki kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya sama seperti mahasiswa normal pada umumnya. Namun keterbatasan penglihatan mengharuskan mahasiswa tunanetra melakukan upaya lebih seperti beradaptasi dengan lingkungan kampus, berinteraksi dengan teman maupun dosen dan melakukan
3 aktivitas belajar.Tidak berfungsinya mata secara optimal dapat menghambat pola interaksi sosial maupun aktivitas sehari-hari (Mangungsong, 2009). Soekanto (2009) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau kelompok manusia. Seseorang yang mengalami tunanetra pun tidak terlepas dari interaksi sosial dalam kehidupannya. Hal ini juga terjadi pada mahasiswa pada perguruan tinggi inklusi. Salah satu perguruan tinggi yang menerapkan pendidikan inklusi adalah Universitas Brawijaya Malang. Sebagai seorang mahasiswa di perguruan tinggi inklusi, mahasiswa difabel selain dituntut untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Brawijaya juga harus melakukan proses adaptasi pada lingkungan kampus yang merupakan lingkungan baru dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Penyesuaian sosial sangat penting dikuasai oleh individu yang mengalami tunanetra dalam peranannya sebagai mahasiswa yang harus mampu berbaur dalam lingkungan universitas yang mana juga terdapat mahasiswa normal. Penyesuaian sosial merupakan proses individu atau suatu kelompok mencapai keseimbangan sosial dalam arti tidak mengalami konflik dengan lingkungan (Risveni dan Mulyati, 2006). Di lingkungan Universitas Brawijaya, mahasiswa tunanetra yang harus melakukan proses penyesuaian diri harus dihadapkan dengan perubahan yang terkait dengan situasi kampus dimana terjadi perpindahan struktur sekolah yang lebih besar, hubungan yang lebih interpersonal, interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang geografisnya dan juga kadang beragam latar belakang etnisnya, serta bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri (Santrock, 2002). Dalam melakukan penyesuaian sosial, individu tidak terlepas dari upaya untuk mengungkapkan siapa diri kita pada orang lain. Kesan pertama saat berinteraksi akan meninggalkan efek yang kuat dan bertahan lama dalam persepsi orang lain terhadap diri kita. Cara orang lain mempersepsikan kita akan sangat menentukan caranya memperlakukan kita (Baron dan Byrne, 2004). Proses pembentukan atau pengelolaan kesan ini sering disebut dengan presentasi diri. Dalam proses presentasi diri individu akan melakukan suatu proses dimana seseorang akan mengontrol perilakunya sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu kesan yang diinginkannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan antara lain agar orang lain menyukai kita, ingin mempengaruhi orang lain, ingin memperbaiki posisi, atau memelihara status (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Masing-masing tujuan presentasi diri melibatkan strategi presentasi yang bervariasi. Mengutip dari Delameter dan Myers, strategi presentasi diri merupakan kondisi tertentu yang membuat individu menghadirkan diri mereka sebagai seseorang yang dibuat-buat atau kesan
4 yang bukan sesungguhnya dari dirinya, membesar-besarkan ataupun membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain agar orang lain menyukainya (Rizki dan Muji, 2013).
LANDASAN TEORI A. Strategi Presentasi Diri 1. Presentasi Diri Presentasi diri merupakan suatu upaya untuk mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya dan suatu upaya agar orang lain mempercayai diri kita. (Gilovich, Keltner &Nisbett, 2006). Sementara itu Baumister dan Bushman (2011) mengemukakan bahwa presentasi diri adalah beberapa perilaku yang mencoba untuk menyampaikan beberapa gambaran dari diri atau beberapa gambaran informasi mengenai diri kita kepada orang lain. Beberapa perilaku tersebut berniat (bahkan tanpa disadari) untuk membuat suatu kesan tertentu. Presentasi diri meliputi cakupan luas dari tingkah laku mulai dari pernyataan yang jelas mengenai diri. Penyampaian kesan yang diinginkan kepada orang lain melalui presentasi diri secara efektif merupakan komponen kunci untuk kesuksesan dan kenyamanan interaksi sosial. Menurut Baumeister dan Bushman (2011), dua alasan utama dalam presentasi diri adalah untuk memperoleh penghargaan dari pihak lain yaitu jika pihak yang dihadapi mempunyai kekuasaan untuk memberikan penghargaan yang diinginkan individu, maka individu berusaha mendapatkan penghargaan dengan membuat pihak tersebut memikirkan hal-hal yang positif mengenai individu. Dan sebagai alat untuk pemenuhan diri (self fulfillment). Pada umumnya orang terdorong untuk menjadi diri ideal mereka, bersamaan dengan dorongan menjadi seseorang yang ideal, mereka juga terdorong untuk meyakinkan pihak lain bahwa apa yang mereka tampilkan sesuai dengan diri idealnya. Dalam proses presentasi diri individu akan melakukan suatu proses dimana dia akan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu kesan yang diinginkannya. Oleh karena itu presentasi diri sering disebut sebagai pengelolaan kesan atau manajemen impresi. Presentasi diri dilakukan dengan tujuan antara lain agar orang lain menyukai kita, ingin mempengaruhi orang lain, ingin memperbaiki posisi, atau memelihara status (Dayakisni dan Hudaniah, 2012).
5 2. Strategi Presentasi Diri Strategi presentasi diri adalah suatu upaya pembentukan kesan tertentu yang secara sadar dan disengaja dibentuk oleh orang lain untuk mencapai suatu tujuan tersembunyi. Mengutip dari Delamater dan Myers, strategi presentasi diri merupakan kondisi tertentu yang membuat orang menghadirkan diri mereka sebagai seseorang yang dibuat-buat atau kesan yang bukan sesungguhnya dirinya, membesar-besarkan, ataupun membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain menyukai kita lebih daripada diri mereka yang sesungguhnya (ingratitation), untuk membuat orang lain merasa takut kepada dirinya (intimidation), agar dihormati kemampuannya (self promotion), untuk menghormati akhlaknya (exemplification), ataupun untuk merasa kasihan kepada dirinya (supplification) (Rizki dan Muji, 2013). Menurut Goffman (Dayakisni dan Hudaniyah, 2012), ada delapan macam strategi presentasi diri, yaitu : a. Mengambil hati (Ingratiation) Tujuan dari strategi ini adalah supaya dipersepsi sebagai orang yang menyenangkan atau menarik. Taktik yang umum meliputi sanjungan atau pujian agar disukai yang orang lain, menjadi pendengar yang baik, ramah, melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri dalam sikap dan perilakunya. b. Mengancam atau menakut-nakuti (Intimidation) Strategi ini digunakan untuk menimbulkan rasa takut dan cara memperoleh kekuasaan dengan meyakinkan pada seseorang bahwa seseorang tersebut adalah orang yang berbahaya.Jadi berbeda dengan ingratitatory yang ingin disukai, maka mereka justru ingin ditakuti. c. Promosi Diri (Self Promotion) Strategi ini digunakan ketika tujuan seseorang adalah supaya dilihat tampak kompeten atau ahli pada tugas tertentu. Seseorang yang menggunakan strategi ini akan menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha untuk memberi kesan dengan prestasi mereka. d. Pemberian Contoh/Teladan (Exemplification) Strategi ini digunkan ketika seseorang memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Biasanya mereka mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang jujur, disiplin, dan baik hati atau dermawan.
6 e. Permohonan (Supplification) Strategi ini dilakukan dengan cara memperlihatkan kelemahan dan ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati. Seseorang yang menggunakan strategi ini biasanya melakukan kritik pada diri sendiri. Meskipun pelaku strategi ini cenderung menerima dukungan dari orang lain, namun mereka akan dipersepsi sebagai individu yang kurang berfungsi. f. Hambatan diri (Self-Handicapping) Strategi ini digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena kelihatan tidak mampu. Ketika seseorang merasa khawatir bahwa kesuksesannya sebelumnya karena nasib baik, mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas. Sehingga mereka berpurapura mendapatkan suatu hambatan (rintangan) sebelum atau selama kejadian-kejadian yang mengancam egonya. g. Aligning Action Aligning Action yaitu usaha-usaha individu untuk mendefinisikan perilaku mereka yang nampaknya diragukan karena sebenarnya bertentangan dengan norma-norma budaya. Cara-cara yang pada umumnya dilakukan adalah dengan taktik disclaimers (penyangkalan) yaitu pernyataan verbal dengan niat/tujuan menyangkal impliksi negatif dari tindakan-tindakan yang akan datang dengan mendefinisikan tindakantindakan ini tidak relevan dengan identitas sosial yang telah mereka miliki. h. Altercasting Altercasting yaitu menggunakan taktik untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain. Melalui strategi altercasting, seseorang menempatkan orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkannya. Pada umumnya altercasting melibatkan perlakuan terhadap orang lain seolah-olah mereka telah memiliki identitas dan peran yang ingin kita paksakan atau bebankan. B. Mahasiswa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi menyatakan bahwa mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang perguruan tinggi yang memiliki serangkaian hak dan kewajiban sebagai sivititas akademika. Mahasiswa sebagai calon intelektual berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan mengembangkan bakat serta minat sesuai kemampuannya. Mahasiswa juga berperan aktif dalam menjaga etika dan mentaati norma pendidikan tinggi untuk menjamin terlaksananya tridharma dan pengembangan budaya akademik.
7 Sedangkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bab VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan Vieramadhani(2012) mengartikan mahasiswa sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks, 2002). Menurut Papalia (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya. C. Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra Organ mata yang normal menjalankan fungsinya sebagai indra penglihatan melalui proses pantulan cahaya dari objek di lingkungannya ditangkap oleh mata melewati kornea, lensa mata, dan membentuk bayangan nyata yang lebih kecil dan terbali pada retina. Dari retina melalui saraf penglihatan bayangan benda dikirim ke otak dan terbentuklah kesadaran tentang objek yang dilihatnya. Sedangkan organ mata yang tidak normal atau berkelainan dalam proses fisiologis melihat sebagai bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan saraf karena beberapa sebab. Beberapa sebab itu misalnya mata mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan. Seseorang yang mengalami kondisi tersebut dikatakan sebagai penderita kelainan penglihatan atau tunanetra (Efendi, 2008). Sementara itu Somantri (2012) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21 meter. Artinya, berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter. Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, seseorang dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra. Dari uraian diatas, pengertian tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya)
8 tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. 2. Klasifikasi Anak Tunanetra Pada umumnya acuan yang digunakan dalam mengetahui apakah seseorang mengalami tunanetra atau tidak adalah melalui ketajaman penglihatannya. Seseorang yang ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21 meter dalam arti seseorang hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter (Somantri, 2012). Berdasarkan acuan tersebut, Somantri (2012) mengelempokkan tunanetra menjadi dua macam, yaitu buta dan low vision. Buta adalah suatu keadaan dimana seseorang sama sekali tidak menerima rangsang cahaya dari luarnya. Sedangkan low vision adalah suatu keadaan dimana seseorang masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 meter, atau jika seseorang hanya mampu membaca headline pada surat kabar. 3. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan Secara ilmiah ketunanetraan disebabkan oleh berbagai faktor apakah itu faktor dalam diri (internal) ataupun faktor dari luar eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan halhal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Faktor tersebut miisalnya kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus (Somantri, 2012). 4. Perkembangan Tunanetra a. Perkembangan Kognitif Somantri (2012) mengemukakan bahwa akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar seseorang, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan seseorangyang awas pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensinya tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya. Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima informasi yang
9 datang dari luar dirinya. Melalui indera ini pula sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. b. Perkembangan Emosi Menurut Somantri (2012) perkembangan emosi tunanetra akan sedikit mengalami hambatan apabila dibandingkan dengan seseorang yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan tunanetra dalam proses belajar. Kesulitan bagi tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual mengenai stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta respon-respon apa saja yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Perkembangan emosi seorang tunanetra akan semakin terhambat bila seseorang tersebut mengalami deprivasi emosi. Deprivasi emosi adalah keadaan dimana tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam aspek perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Di samping itu, ada kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunanetra dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. c. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi seseorang yang mengalami tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Kesulitandalam melaksanakan tugas perkembangan sosial ini ialah keterbatasan tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi. Ia juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan dalam bersosialisasi (Somantri, 2012). Dapat disimpulkan bahwasanya perkembangan sosial tunanetra sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap tunanetra. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial seperti keterbatasan untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya
10 faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan tunanetra untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman. d. Perkembangan Kepribadian Somantri (2012) mengemukakan bahwa akibat dari ketunanetraan mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi kepribadian tunanetra. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian antara tunanetra dengan orang awas. Ada kecenderungan tunanetra relatif lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan introversi, neurotik, frustasi, dan rigditas (kekakuan) mental. Namun demikian, disisi lain terdapat pula hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hal penyesuaian diri antara tunanetra dengan orang awas. Mengutip dari Davis, peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya bahwa dalam proses perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai (Somantri, 2012). Hasil penelitian lain juga menunjukkan seseorang tunanetra yang tergolong setengah melihat memiliki kesulitan yang lebih besar dalam menemukan konsep diri dibanding seseorang yang buta total. Hal ini disebabkan oleh seringnya terjadi krisis identitas dimana suatu saat ia oleh lingkungannya disebut orang awas tetapi pada saat yang lain disebut sebagai tunanetra.
METODE Partisipan dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010). Model fenomenologi dipilih karena pandangan fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu (Iskandar, 2013). Pada penelitian ini, subyek penelitian berjumlah 4 orang dengan teknik pemilihan sampel non random sampling dengan kriteria subyek penelitian yaitu merupakan mahasiswa aktif Universitas Brawijaya Malang dantermasuk dalam kategori tunanetra.
11 Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, data penelitian yang diperoleh melalui sumber data primer dan data sekunder.Data primer dan sekunder diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.Pada pemilihan data sekunder, subyek sekunder dalam wawancara ini terbagi menjadi dua pihak yaitu teman dekat subyek primer dan pendamping (volunteer) yang bertugas mendampingi dan menjelaskan materi yang disampaikan dosen kepada subyek.Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data Moustakas (1994). Berikut ini merupakan langkah-langkah analisis data menurut Moustakas (1994), yaitu: 1. Menyajikan semua data atau gambaran menyeluruh mengenai fenomena yang telah dikumpulkan di lapangan dengan cara membuat teks tulisan (transkrip) pada semua hasil wawancara, tujuannya untuk mendeskripsikan suatu pengalaman. Kemudian peneliti memilah-milah transkrip tersebut untuk dibuat horisonalisasi. 2. Horizonalisasi, setiap pernyataan dianggap memiliki nilai yang sama dan dapat memberikan gambaran mengenai suatu fenomena. Kemudian, pernyataan yang diulangulang atau tumpang tindih, serta tidak relevan dengan topik masalah, dihilangkan sehingga hanya meninggalkan horizon. 3. Thematic Portrayal, dalam proses ini hasil horizon yang telah ditranskripkan dikelompokkan ke dalam tema-tema yang sesuai. 4. Mentranskripkan data secara individual Dibagi menjadi dua, yaitu Individual TexturalDescription dan individual Structural Description. Individual TexturalDescriptionadalah pernyataan dan pendapat asli dari masing-masing subyek penelitian mengenai deskripsi suatu fenomena, sementara Individual Structural Description adalah pernyataan asli subyek penelitian yang kemudian diubah secara struktural dengan menggunakan bahasa peneliti. 5. Compositeatau penggabungan deskripsi dari masing-masing subyek menjadi satu. Composite dibagi menjadi dua, yaitu Composite Textural Description dan Composite Structural Description. Composite Textural Description adalah pernyataan asli dari masing-masing subyek kemudian digabungkan menjadi satu. Setelah digabungkan menjadi satu, kemudian diubah secara struktural menggunakan bahasa peneliti (Composite Structural Description). 6. Sintesis, menganalisis data hasil deskripsi dikaitkan dengan teori. Hasil penelitian yang telah dianalisis, disampaikan dalam bentuk data sintesis.
12 HASIL Berdasarkan analisis menggunakan analisis data fenomenologi Moustakas diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Secara umum strategi presentasi diri yang sering digunakan oleh mahasiswa tunanetra adalah strategi ingratiation (mengambil hati) dan strategi self promotion (promosi diri). Keempat subyek menggunakan strategi ingratiation(mengambil hati) ketika berinteraksi dengan teman-temannya di lingkungan universitas karena masing-masing subyek berusaha diterima oleh teman-temannya. Selain itu, strategi self promotion (promosi diri)juga sering ditemukan pada keempat subyek. Keempat subyek terlihat untuk berusaha menunjukkan kompetensinya dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing subyek. 2. Pada subyek Y strategi presentasi diri yang terungkap adalah strategi suplification. Subyek Y seringkali menyatakan mengenai kelemahannya dan menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang menderita. Kemudian subyek Y menggunakan strategi self handicapping ketika
ada
tugas
kelompok.
Selain
itu,
pada
subyek
Y
terungkap
strategi
exemplificationtetapi tidak terlalu banyak muncul pada saat wawancara. Pada subyek Y juga terungkap pernyatan bahwa Y menggunakan strategi aligning action. 3. Pada subyek E terungkap strategi presentasi diri yaitu strategi aligning action dimana ketika subyek E disalahkan maka subyek E cenderung untuk menyangkalnya. Subyek E menyatakan bahwa ia tidak suka dikasihani dan cenderung menunjukkan potensi yang dimiliki dan berusaha untuk melewati hambatan yang dialaminya. 4. Pada subyek D terungkap strategi presentasi diri yaitu strategi intimidation. Subyek D menyatakan bahwa ia sering mengancam orang lain dengan kata-kata kasar ketika situasi di sekitarnya membuatnya tidak nyaman. Oleh karena itu menurut D intimidasi itu diperlukan. Selain itu strategi presentasi diri yang muncul adalah exempification dimana subyek D berusaha untuk memberikan teladan kepada anggotanya dalam suatu organisasi. 5. Pada subyek G terungkap strategi presentasi diri yaitu exemplification. Menurut pernyataan G, dengan keterbatasan yang dimilikinya G berusaha menjadi mahasiswa berprestasi sehingga dapat menjadi teladan bagi teman-temannya. Selain itu subyek G tidak ingin dikasihani dan menunjukkan potensi dengan keterbatasannya.
DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penyebab ketunanetraan dari keempat subyek yaitu Y, E, D, dan G disebabkan oleh faktor eksternal. Subyek Y menyatakan bahwa penyebab ketunanetraannya adalah karena terlalu sering menggunakan
13 obat tetes mata. Y menambahkan bahwa saat itu dokter memvonis Y mengalami glauchoma. Sementara itu subyek E menyatakan bahwa sebelumnya tidak mengalami sakit atau demam yang menyebabkan tunanetra. E menyatakan bahwa syaraf mata E kering. Subyek D menyatakan bahwa tidak awas sejak tahun 2009 setelah dinyatakan terdapat gangguan pada mata D sehingga mengharuskannya operasi mata. D menyatakan bahwa terdapat perbedaan kasus pada mata D dimana mata sebelah kanan D mengalami kelemahan syaraf sedangkan mata kiri D terjadi kerobekan pada retina. Sedangkan G menyatakan bahwa awal mula mengalami penurunan penglihatan ketika SMP. G menyatakan bahwa mata G mengalami peradangan sehingga saat ini G oleh dokter dinyatakan low vission. Seseorang yang mengalami ketunatetraan yang disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muhlisun, 2010). Keadaan tunanetra yang terjadi tidak sejak lahir akan membuat seseorang mengalami masa perubahan secara drastis. Kehilangan penglihatan mempengaruhi individu dalam berbagai hal, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpresepsi, berpikir, dan merasakan berbagai hal. Oleh sebab itu proses penyesuaiannya merupakan proses yang panjang dan harus dilakukan dengan beberapa macam cara. Sebagai seorang mahasiswa di perguruan tinggi inklusi, mahasiswa difabel selain dituntut untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Brawijaya juga harus melakukan proses adaptasi pada lingkungan universitas yang merupakan lingkungan baru dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Dalam melakukan penyesuaian sosial, seseorang tidak terlepas dari upaya untuk mengungkapkan siapa diri kita pada orang lain. Kesan pertama saat berinteraksi akan meninggalkan efek yang kuat dan bertahan lama dalam persepsi orang lain terhadap diri kita. Cara orang lain mempersepsikan diri kita akan sangat menentukan caranya memperlakukan kita (Baron dan Byrne, 2004). Proses pembentukan atau pengelolaan kesan ini sering disebut dengan presentasi diri. Dalam proses presentasi diri individu akan melakukan suatu proses dimana dia akan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu kesan yang diinginkannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan antara lain agar orang lain menyukai kita, ingin mempengaruhi orang lain, ingin memperbaiki posisi, atau memelihara status (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Masing-masing tujuan presentasi diri melibatkan strategi presentasi yang bervariasi. Mengutip dari Delameter dan Myers, strategi presentasi diri merupakan kondisi tertentu yang membuat individu menghadirkan diri mereka sebagai seseorang yang dibuat-buat atau kesan yang bukan sesungguhnya dari dirinya, membesar-besarkan ataupun
14 membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain agar orang lain menyukainya (Rizki dan Muji, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh strategi presentasi diri yang digunakan oleh mahasiswa tunanetra adalah sebagai beruikut : Tabel 1. Strategi Presentasi Diri Mahasiswa Tunanetra Subyek Strategi Presentasi Diri Y D E Mengambil hati (Ingratiation) Promosi diri (Self Promotion) Menakut-nakuti (Intimidation) Pemberian contoh/teladan (Exemplification) Permohonan (Supplification) Hambatan diri (Self Handicapping) Penyangkalan (Aligning action) Memaksakan peran (Altercasting)
G
-
-
-
-
-
-
-
-
Strategi presentasi diri mengambil hati (ingratiation) bertujuan agar individu dipersepsi sebagai orang yang menyenangkan atau menarik(Dayakisni dan Hudaniyah, 2012). Seseorang yang menggunakan strategi ini akan menampilkan dirinya yang terbaik dengan banyak memberikan senyuman, memberikan sanjungan atau pujian agar disukai orang lain, menjadi pendengar yang baik, ramah, melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri dalam sikap dan perilakunya. Keempat subyek menggunakan strategi ingratiation(mengambil hati) ketika berinteraksi dengan temantemannya di lingkungan universitas karena masing-masing subyek berusaha diterima oleh teman-temannya. Selain itu, strategi self promotion (promosi diri)juga sering ditemukan pada keempat subyek.Keempat subyek terlihat untuk berusaha menunjukkan kompetensinya dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing subyek. Pada gambaran strategi presentasi diri yang terungkap selanjutnya adalah mengancam atau
menakut-nakuti
(intimidation).
Strategi
ini
adalah
strategi
yang
digunakan
seseorangketika ia lebih memilih untuk ditakuti daripada disukai orang lain (Dayakisni dan Hudaniyah, 2012). Subyek Y, E, dan G menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengancam teman atau orang lain sedangkan subyek D menyatakan bahwa D sering mengancam orang lain karena menurut D intimidasi itu diperlukan. D menceritakan bahwa saat D masih awas, D sering mengeluarkan perkataan kasar yang ketika ada pengendara lain yang mendahulinya sehingga terbawa sampai sekarang karena D mengaku refleks. Hal ini disebabkan oleh
15 ketidakmampuan subyek D dalam melihat sehingga mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat mengancam keselamatannya. Menurut Soemantri (2012) masalah yang sering muncul dan dihadapi seorang tunanetra dalam perkembangan emosi yaitu ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan. Dalam hal ini subyek D memunculkan emosi negatifnya dengan refleks mengeluarkan kata-kata kasar ketika terjadi hal-hal yang membuatnya takut atau cemas. Selain itu, diperoleh strategi exemplification tidak terlalu sering muncul ditemukan pada keempat subyek. Exemplification terlihat
pada subyek Y, D dan G tetapi pernyataan
mengenai strategi ini tidak terlalu sering muncul. Menurut Dayakisni dan Hudaniah (2012), seseorang yang menggunakan strategi exemplification akan berusaha untuk memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Mereka memperlihatkan dirinya sebagai orang yang jujur, disiplin dan baik hati atau dermawan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menggambarkan situasi ketika seseorang ingin dianggap sebagai panutan atau berbudi luhur (Rizki dan Muji, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, strategi presentasi yang terungkap selanjutnya adalah strategi suplification. Tujuan dari strategi presentasi diri suplification adalah untuk dikasihani dan mendapatkan simpati dengan cara menunjukkan kelemahan dan ketergantungan (Dayakisni dan Hudaniah, 2012).Stretegi suplificationterungkap pada subyek Y. Sementara itu, subyek E, D, dan G menyatakan bahwa mereka tidak perlu bahkan tidak suka dikasihani dan cenderung ingin menunjukkan potensi dengan keterbatasan mereka. Ketika awal wawancara dengan, Y menceritakan bahwa ia pernah mencoba bunuh diri setelah dokter memvonisnya akan mengalami kebutaan seumur hidupnya. Y menjelaskan bahwa ketidakawasannya merupakan penyakit dan bukan bawaan dari lahir sehingga dapat kambuh sewaktu-waktu saat kelelahan. Dengan penyakit glauchoma yang dideritanya, Y merasa terbebani dengan banyaknya tugas kuliah karena kondisinya tidak seperti dahulu, ketika ada banyak tugas yang menumpuk dan mengharuskannya banyak berfikir maka sakitnya akan kambuh. Y menambahkan bahwa ia selalu pulang setiap selesai kuliah dan sering izin untuk tidak masuk kuliah karena sakit. Hal ini dibenarkan oleh salah satu temannya, yaitu N yang menyatakan bahwa Y merasa dirinya benar-benar menderita sehingga delapan puluh persen cerita Y adalah cerita yang sedih-sedih dan ingin dikasihani. Hal yang sama juga dinyatakan oleh MD, teman Y yang menyatakan bahwa Y selalu cerita kepada setiap orang baru yang dikenal mengenai pengalamannya bunuh diri yang bertujuan
16 agar dikasihani. Hal yang dialami subyek Y tersebut disebabkan oleh deprivasi emosi yaitu keadaan dimana seorang tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Akibat yang ditimbulkan dari deprivasi emosi adalah kecenderungan menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang sekitarnya. Pada gambaran strategi presentasi diri selanjutnya, strategi self handicapping tidak terlalu sering muncul pada keempat subyek. Self handicapping terlihat pada subyek Y tetapi tidak sering. Sedangkan pada subyek E, D, dan G menunjukkan bahwa ketika terjadi hambatan, mereka berusaha untuk melewatinya dan keluar dari hambatan tersebut. Tujuan dari strategi self handicapping adalah melindungi egonya ketika terancam karena terlihat tidak mampu (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Ketika menghadapi hambatan, seseorang akan memilih untuk menghadapi atau justru menggunakan alasan agar tidak disalahkan. Kemudian, strategi presentasi diri selanjutnya adalah penyangkalan (aligning action). Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyangkal implikasi negatif dari tindakan-tindakan yang akan datang dengan mengidentifikasikan tindakan yang tidak relevan dengan identitas sosialnya (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, strategi aligning action tidak sering muncul pada keempat subyek. Akan tetapi pada subyek Y dan E muncul satu pernyatan yang dapat dikategorikan sebagai aligning action. Strategi presentasi yang terakhir adalah memaksakan peran atau identitas (altercasting). Tujuan dari strategi ini adalah untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkan kita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, strategi altercasting tidak ditemukan dari pernyataan subyek Y, E, D, dan G.
Keterbatasan Penelitian Panelitian Strategi Presentasi Mahasiswa Tunanetra ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif.Pada penelitian terdahulu, ada beberapa penelitian yang menggunakan tema strategi presentasi diri dengan metode kuantitatif. Oleh sebab itu, terdapat beberapa keterbatasan selama proses penelitian, yaitu penelitian dengan strategi presentasi diri memiliki cakupan yang cukup luas apabila digambarkan dalam metode kualitatif sehingga peneliti harus menjabarkan dengan detail bagaimana strategi presentasi diri yang dilakukan oleh mahasiswa tunanetra. Selain itu adanya beberapa strategi presentasi diri yang masihtumpang tindih atau sama yang muncul dari pernyataan subyek sehingga dibutuhkan waktu untuk menggali kembali pertanyaan kepada subyek.
17 DAFTAR PUSTAKA Aronson, E., Wilson, T.D., dan Akert, R.M. (2013).Social psychology.USA : Pearson Education, Inc. Baron, R. A. dan Byrne, D.(2004).Psikologi sosial. Jakarta : Erlangga Baumister, R.F dan Bushman, B.J. (2011).Social psychology and human nature ninth edition.USA : Wadsworth Cengage Learning. Dayakisni, T dan Hudaniyah.(2012). Psikologi sosial.Malang : UMM Press Efendi, M. (2008).Pengantar psikopedagogik anak berkelainan.Jakarta : Bumi Aksara Gilovich, T. Keltner, D dan Nisbett R.E. (2006). Social psychology.USA : W.W. Norton & Company, Inc. Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial.Jakarta : Salemba Humanika Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Ke-5). Jakarta: Erlangga. Iskandar.(2013). Metodologi penelitian pendidikan dan sosial.Jakarta : Referensi (Gaung Persada Press Group). Mangunsong, F. (2009).Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus.Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Muhammadunas.(2011). Difabel dan konstruksi ketidakadilan sosial.Diakses pada tanggal 2 Juni 2014 pukul 12.15 WIB.http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2011-1207/republika_2011-12-07_004.pdf Monks, F.J. dkk., 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Moustakas, C. (1994). Phenomenological research metodhs. California: Sage Publications. Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika Papalia, D, E. (2007). Human Development (10thed).USA : McGraw-Hill. Risveni, N., & Mulyati, R. (2006).Perbedaan Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Baru Ditinjau Dari Jenis Kelamin.Naskah Publikasi (tidak di terbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.Diakses pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 07.00. http://psychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskahpublikasi01320169.pdfhttp://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1363/1458_u mm_scientific_journal.pdf
Rizki, S. W dan Muji, T.I. (2013).Self Presentation Pada Karyawan Bank Bagian Customer Service.Jurnal Online Psikologi UMM volume 01 No. 01. Bulan Januari Tahun 2013
18 ISSN : 2301-8267. Diakses pada tanggal 7 Maret 2014 pada pukul 13.00 WIB.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1363/1458 Ro’fah, Andayani & Muhirisun. (2010). Inklusi pada pendidikan tinggi : best practices dan pembelajaran dan pelayanan adaptif bagi mahasiswa difabel netra. Yogyakarta : PSLD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Santrock, J. W.(2002). Life –span development perkembangan masa hidup. Jakarta : Erlangga Soekanto, S. (2009).Sosiologi sebagai suatu pengantar.Jakarta : Rajawali Pers Somantri, S.T. (2012). Psikologi anak luar biasa.Bandung : Refika Aditama Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.Diakses pada tanggal 22 Juli 2014 pukul 15.15 WIB.WIB.http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bab VI Bagian ke empat pasal 19. Diakses pada tanggal 23 Juli 2014 pukul 16.05 http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf Vieramadhani, P.R. (2012). Resiliensi pada mahasiswa baru penyandang cerebal palsy (CP). Skripsi Psikologi Universitas Brawijaya Malang.