STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
TRININGSIH HERLINAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: “Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2012
Triningsih Herlinawati NRP. F351100221
i
ABSTRACT
Triningsih Herlinawati. Strategy of improving food safety for bakery at small medium enterprise based on implementation good manufacturing practices (GMP’s). Supervised by Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng as the advisory committee chairman, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT as the members. The role of processing industry sector is great enough, its contribution is reached 26.8% of national GDP. Among processing industry sectors, the food industry gives the second largest contribution at least 27%. The same situation occurred in Bogor. Processing industry contributed the second largest, reached 19.72% of the Gross Regional Domestic Product in 2010, where the sub sectors of the food industry play a part. The structure of the food industry in Bogor is dominated by small enterprise (96%). One of the problems on small medium enterprise is the emergency of food safety issues due to low sanitation and hygiene practices. Based on the data from outbreaks (epidemics) of Indonesia in 2001-2006 is known that the major cause of poisoning is due to microbes and are common in food products produced by small-medium enterprise and catering. The objective of this research is to formulate strategy of improving food safety base on implementation Good Manufacturing Practices (GMP’s). This research presents I’SWOT analysis regarding the implementation GMP’s on bakery at small-medium enterprises in Bogor. I’SWOT is an expert choice justification model which is used for structural analysis model by taking several elements for the strategic environmental factors. SWOT analysis for the strategic environmental factors has identified the significant aspect of the supporting elements, constraints and, the groups of the alternative strategy. Interpretive Structural Modelling (ISM) is used to find out the principal sub-elements of each strategy and stakeholders elements have been analysed to enrich the formulate strategy. Complete analysis of this research has built five alternative formulation strategy for improving food safety base on implementation GMP’s, with considering respective limitation. Keywords : GMP, SWOT Analysis, ISM, Sme’s, bakery
iii
RINGKASAN Triningsih Herlinawati. Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, M.Sc DFT. sebagai anggota komisi pembimbing. Peranan sektor industri pengolahan cukup besar, kontribusinya mencapai 26,8% dari PDB Nasional. Dari sub sektor industri pengolahan, industri makanan memberikan kontribusi terbesar kedua mencapai 27%. Situasi yang sama terjadi di Kota Bogor, industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar kedua mencapai 19,72% terhadap PDRB Bogor tahun 2010 , dimana industri makanan menjadi sub sektor yang ikut berperan penting. Struktur industri makanan di Kota Bogor didominasi oleh industri skala kecil (96%). Permasalahan pada industri kecil antara lain munculnya isu keamanan pangan karena rendahnya praktek sanitasi dan hygiene. Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi melalui penerapan cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP). GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses. Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good Manufacturing Practices/ GMP. Penelitian dilakukan di Kota Bogor. Data diperoleh melalui kajian literatur, observasi, wawancara mendalam dan pengisian kuisioner. Perumusan strategi menggunakan analisis I-SWOT (ISM-SWOT). I-SWOT adalah sebuah model pemilihan pakar yang digunakan untuk model analisis struktural dengan mengambil beberapa elemen dari faktor lingkungan strategis. Analisis SWOT dilakukan menggunakan matriks IEF (Internal Evaluation Factor) dan matriks EEF (Eksternal Evaluation Factor), berdasarkan agregasi pendapat pakar dengan teknik perbandingan berpasangan. Hasil penelitian menunjukan terdapat 7 faktor kekuatan (strengths) meliputi letak geografis strategis, sektor basis perekonomian, infrastruktur laboratorium pendukung, sarana-prasarana, kebijakan, keuangan dan koordinasi. Selain itu diidentifikasi 7 faktor kelemahan (weakness) meliputi ketiadaan rencana strategis, kurangnya jumlah dan keahlian SDM, kurang modal, media informasi kurang memadai dan kurangnya mekanisme pengawasan.Nilai/skor IFE adalah 2,33 menunjukkan pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi internalnya, dengan faktor kekuatan yang memiliki skor bobot tertinggi adalah kebijakan pemerintah dalam pembebasan biaya SP-PIRT ( skor 2,78). Hasil analisis lingkungan eksternal menunjukan 5 faktor peluang (opportunities) meliputi peluang pasar, bantuan eksternal, perubahan pola konsumsi, perkembangan tehnologi informasi dan lembaga pendidikan/penelitian. Terdapat 4 faktor ancaman (treaths) meliputi persaingan bakery sejenis, kenaikan listrik/BBM , perkembangan produk substitusi dan kekuatan pembeli. Nilai/skor EFE yang diperoleh adalah 2,48, menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan v
peluang dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal. Peluang yang dinilai utama adalah potensial peluang pasar dalam negeri (skor 0,457), sedang ancaman yang dianggap utama adalah persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) / produk dari luar kota (skor 0,156). Penentuan posisi pemerintah kota Bogor dalam peningkatan GMP menggunakan matriks IE (Internal Eksternal), dan diperoleh posisi pemerintah Kota Bogor berada pada posisi kuadran V dengan koordinat (2,33; 2,476). Posisi sel ini menunjukkan peningkatan penerapan GMP industri IKM roti dapat ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan IKM yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan, publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti. Interpretive Structural Modelling (ISM) digunakan untuk mengetahui hirarki dan elemen kunci sub-elemen dari setiap strategi dan aktor pelaku yang dianalisis untuk memperkaya perumusan strategi . Elemen yang dianalisis menggunakan Interpretive Structural Modelling (ISM) yaitu elemen kendala, pendukung dan aktor pelaku. Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bogor. Elemen kunci faktor pendukung yaitu letak Kota Bogor yang strategis; dukungan sarana prasarana yang memadai; peluang potensial pasar; perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen; serta penggunaan tehnologi dan informasi. Elemen kunci aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM Bakeri yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan tinggi. Analisis lengkap penelitian ini telah membangun perumusan 5 strategi alternatif untuk meningkatkan keamanan pangan dasar produk IKM roti di kota Bogor melalui penerapan GMP, dengan mempertimbangkan keterbatasan masingmasing. Kata kunci: GMP, Analisis SWOT, ISM, IKM, Roti
vi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Penggunaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
viii
STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
TRININGSIH HERLINAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Machfud, MS
x
Judul Tesis
: Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)
Nama
: Triningsih Herlinawati
NRP
: F351100221
Program Studi
: Teknologi Industri Pertanian
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng Ketua
Prof.Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
xi
xii
PRAKATA Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan alam semesta, pemilik segala ilmu dan kekuasaan, yang atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Yandra Arkeman, MEng dan Bapak Prof. Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT selaku pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, masukan dengan sabar dan penuh perhatian selama melaksanakan penelitian dan penulisan. 2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Ibu Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, MS selaku penguji 3. Keluarga besar Darmanto Hadiwidjaya dan Fauzan, suamiku tercinta Imam Wahyudi serta ananda Dimas AW, Raihan AW, Ranaa A. Salsabilla yang senantiasa menanti dengan sabar dan mendoakan agar tugas belajar ini dapat selesai. 4. Bapak Ir.M. Maman Rohaman, MSc., Gupuh Samirono, BBA., H. Maman Surahman, Ibu Dr. Ratih Dewanti Harijadi, MSc. dan Dra. Nurhaedah, Apt., atas kesediaannya menjadi nara sumber pada penelitian ini. 5. Kementrian Riset dan Teknologi serta Badan Standardisasi Nasional yang memberi kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan lanjut. 6. Rekan-rekan S2/S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor khususnya angkatan 2010 yang menyertai penulis dalam menjalani pendidikan dan group CIGARIS bimbingan Pak Yandra yang selalu kompak, saling dukung dan saling berbagi dalam proses penyelesaian studi. 7. Semua pihak yang memberikan kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih memiliki banyak kekurangan dan dengan lapang dada penulis akan menerima segala bentuk masukan, saran dan kritik dari semua pihak. Bogor, Agustus 2012
Penulis
xiii
xiv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Salatiga, pada tanggal 17 September 1973 dari ayah Darmanto Hadiwidjaya dan Ibu Tjijih Suwarsih. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1986 di SD Negeri 1 Salatiga. Pada tahun 1989 menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Salatiga dan pada tahun 1991 lulus dari SMA Negeri 1 Salatiga. Penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1991 dan belajar di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian hingga lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis melanjutkan program master pada tahun 2010 di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Standardisasi Nasional dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Jabatan terakhir sebagai Kepala Sub Bidang Proses Akreditasi LSSM, LSSHACCP, selain itu penulis aktif sebagai Lead Auditor Sistem Manajemen Mutu, Sistem HACCP dan Produk. Penulis menikah dengan Imam Wahyudi, SP dan telah dikarunia dua putra bernama Dimas Amanullah Wahyudi dan Raihan Athaillah Wahyudi serta seorang putri bernama Ranaa Aulia Salsabila.
xv
xvi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiii 1.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan dan manfaat penelitian ................................................... 4 1.3 Ruang lingkup penelitian ........................................................... 4
2.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5 2.1 Industri Kecil dan Menengah ................................................... 5 2.2
Keamanan Pangan ................................................................... 8
2.3
Cara Produksi Yang Baik/ Good Manufacturing Practices..... 15
2.4
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) ................................................................................. 20
2.5
Industri Roti ............................................................................ 22
2.6 Manajemen Strategis ............................................................... 24 2.7
Metode Analisis SWOT .......................................................... 28
2.8
Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) ................... 30
2.9 Penelitian Terdahulu ............................................................... 32 3.
METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 37 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 37 3.2 Kerangka Pemikiran ............................................................... 37 3.3
Metode Pengumpulan Data dan Instrumentasi ........................ 38
3.4
Metode Penentuan Responden ................................................. 38
3.5 Tahapan Penelitian .................................................................... 38 4.
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR ......................................... 51 4.1 Potensi IKM Makanan Kota Bogor .......................................... 51 4.2 Potensi IKM Roti Kota Bogor ................................................. 53 4.3 Kondisi Umum Pemenuhan GMP/ CPPB pada IKM Roti ....... 54 4.4 Instansi Pembina dan Pengawas IKM terkait GMP ................. 67
xvii
5.
6.
HASIL DAN PEMBAHASAN……. ................................................ 73 5.1
Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal ......................... 73
5.2
Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal....................... 82
5.3
Matrik IFE dan EFE ................................................................ 88
5.4
Matrik Internal- Eksternal (IE) ................................................ 91
5.5
Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modeling) ........... 92
5.6
Perumusan Strategi (Matriks I’SWOT) ................................... 100
5.7
Pembuatan Keputusan Strategi ............................................... 107
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 109 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 109 6.2 Saran .......................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111 LAMPIRAN .................................................................................................. 117
xviii
DAFTAR TABEL 1
Struktur industri Indonesia tahun 2005 – 2009 ......................................
6
2
Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti ...............................
23
3
Persentase penerapan hiegiene pada industri kecil pangan ..................
34
4
Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen ISM-VAXO ..........................................................................................
46
5
Elemen dan hubungan kontekstual .......................................................
46
6
Matriks I’SWOT ....................................................................................
49
7
Jumlah industri makanan di kota Bogor tahun 2009 – 2011..................
52
8
Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri pangan di kota Bogor tahun 2009 – 2011 ..........................................................
52
Perkembangan nilai investasi industri pangan di kota Bogor tahun 2009 – 2011 .................................................................................
53
10 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan nilai investasi ...........................................
54
11 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja .................................
54
12 Jumlah industri pangan kota Bogor yang memperoleh SP-PIRT dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011 ................
55
13 Faktor-faktor lingkungan internal .........................................................
73
14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan di kota Bogor tahun 2008 ......................................................................
76
15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011 ..........................
77
16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015 .....................
79
17 Faktor-faktor lingkungan eksternal .......................................................
83
18 Daftar nama balai penelitian di Kota bogor .................................. ........
85
19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg) ..........................
86
20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) ............................................
89
21 Matriks EFE (External Factor Evaluation) ..........................................
90
22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti .....................
99
23 Perumusan Strategi (Matriks SWOT ) .................................................
101
9
xix
xx
DAFTAR GAMBAR
1
Persentase pelanggaran produk pangan ................................................
11
2
Model komprehensif manajemen strategis ..........................................
25
3
Diagram alir penelitian ..........................................................................
39
4
Matriks internal-eksternal (IE) ..............................................................
44
5
Matriks klasifikasi sub – elemen berdasarkan tingkat pengaruh dan ketergantungan ......................................................................................
48
6
Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal di kota Bogor (2007-2009).....................................................................
51
7
Prosentase kategori hasil penilaian SP-PIRT tahun 2006- 2010 ...........
58
8
Pola kecenderungan hasil pemeriksaan 13 parameter/ grup CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005 ............................................................
58
Dinding tidak seluruhnya dari bahan kedap ...........................................
60
10 Jendela tidak dilengkapi pintu kasa yang mudah dibersihkan ...............
60
11
61
9
Peralatan proses produksi yang tidak terpelihara kebersihannya .........
12 Letak peralatan proses produksi di sebelah jendela berpotensi kontaminasi 61 13 Belum tersedia sarana cuci tangan di dekat ruang produksi .................
63
14 Pembersihan peralatan proses produksi yang tidak rutin dilakukan ....
63
15 Pekerja pengolah pangan yang tidak menggunakan tutup kepala dan sarung tangan ...................................................................................................
64
16 Penyimpanan bahan baku .....................................................................
65
17 Penyimpanan kemasan ..........................................................................
65
18 Matriks IE posisi pemerintah Kota Bogor .............................................
91
19 Matriks driver power-dependence untuk elemen pendukung. ...............
93
20 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen pendukung. ...........................
94
21 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen kendala. .................................
96
22 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku. .........................
98
xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian............................
119
2.
Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Bogor .......................................
120
3.
Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bogor .....
121
4.
Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 – 2011 ............
122
5.
Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor .................
123
6.
Industri roti yang mendapat SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor .
124
7.
Formulir penilaian CPPB-IRT........................................................ .....
155
8.
Hasil pengolahan ISM .........................................................................
132
9.
Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE ..................
135
10.
Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE ..................
136
xxiii
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Salah satu kelompok utama industri pengolahan non-migas yang
memberikan sumbangan tertinggi pada PDB Nasional adalah cabang industri makanan, minuman dan tembakau. Pertumbuhan PDB industri makanan, minuman dan tembakau pada tahun 2004-2009 diperkirakan rata-rata 3,26% per tahun
dan
tahun
2009-2014
diproyeksikan
menempati
urutan
kedua
(KADIN, 2010). Hal ini membuktikan bahwa peranan industri makanan minuman di Indonesia cukup penting, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Saat ini, dunia telah memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan international yang bebas dan lebih terbuka. Perdagangan global juga memberikan dampak terhadap industri makanan minuman dengan munculnya isu keamanan pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Foodborne
disease
merupakan
penyakit
yang
diakibatkan
karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen (Riemann dan Bryan, 1979). Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan hepatitis A (Winarno, 1997). Data kejadian luar biasa (KLB) tahun 2001-2006 adalah 610 KLB, diketahui bahwa penyebab keracunan utama adalah karena mikroba dan umumnya terjadi pada produk pangan yang dihasilkan oleh IRT (Industri Rumah Tangga) dan jasa boga (BPOM, 2008). Menurut Fardiaz (2006) selama ini ada empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia yaitu: 1) pencemaraan pangan oleh mikroba karena rendahnya praktek-praktek sanitasi dan hygiene, 2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya, 3) pengunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan dan 4) penggunaan melebihi batas maksimum 1
yang diijinkan (abuse) dari tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh BPOM.
Hariyadi (2008) menyimpulkan bahwa Indonesia menghadapi
permasalahan pangan pada dua tingkat yang berbeda yaitu: 1) tingkat mendasar. karena buruknya praktek-praktek pengolahan pangan; dan 2) tingkat "emerging" yang selalu berubah. Menurut data BPS, sebagian besar industri makanan adalah dari skala kecil yang menggunakan teknologi sederhana dengan pengetahuan dalam keamanan makanan yang kurang memadai. Di Indonesia, dari 6 juta unit industri makanan kebanyakan adalah skala mikro dengan aset kurang dari Rp 200.000.000 dan mempekerjakan 1-4 orang; atau merupakan skala kecil dengan asset Rp 200.000.000- Rp 1.000.000.000 dan memperkerjakan 5-19 karyawan). Sebagian besar industri makanan di negara-negara berkembang adalah industri berskala kecil yang belum memenuhi standar GMP ( Dewanti, 2009). Hal ini sesuai dengan hasil inspeksi BPOM yang mengatakan bahwa dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa tahun 2007, sebanyak 2.271 (57 %) sarana yang tidak memenuhi ketentuan; sehingga tidak rnampu menerapkan GMP secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP) sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan (BPOM, 2008). Hasil pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga, menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi
(Fardiaz, 1996). Secara kualitatif, data yang ada menunjukkan
rendahnya kondisi sanitasi dan higienitas sarana produksi pangan di Indonesia. Cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah dasar operasi pengolahan makanan untuk mencapai kualitas yang konsisten dan keamanan. GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses. Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT.
2
Produk roti merupakan salah satu jenis produk pangan yang cukup digemari di Indonesia. Saat ini roti bahkan sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai pengganti nasi saat sarapan, terutama dikarenakan kepraktisan dan sebagai variasi dalam mengkonsumsi pangan. Produk roti sebagai alternatif sumber karbohidrat pengganti nasi, perannya tidak lagi sebatas sebagai menu untuk sarapan, tetapi juga untuk menu makan siang dan makan malam. Oleh karena itu, mutu dan gizi produk roti sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat memberikan sumbangan gizi yang berarti bagi manusia. Industri yang memproduksi roti juga beragam jenisnya mulai dari industri skala kecil hingga besar, dikarenakan pembuatan dapat dilakukan secara manual maupun otomatis (menggunakan mesin). Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor tahun 2012, terdapat 46 industri kecil formal yang terdaftar di Disperindag Kota Bogor yang bergerak pada pembuatan roti di Kota Bogor, dimana potensi volume produksi per tahun untuk golongan IKM relatif cukup besar dengan kontinuitas produksi cenderung tidak berfluktuasi tajam. Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi industri rumah tangga pangan (IRTP) roti pada tahun 2006-2011 oleh petugas inspektor pengawas pangan Kota Bogor dalam rangka proses SP-PIRT, menunjukan 75,51% IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (cukup). Hal ini berarti 4 grup utama aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan hygiene karyawan, pengendalian proses bernilai cukup dan grup lainnya bernilai kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP diterapkan dengan baik oleh IKM/ IRTP roti di Kota Bogor. Berdasarkan hal tersebut, adanya potensi industri IKM roti di Kota Bogor, perlu diimbangi dengan peningkatan mutu keamanan pangan melalui pembinaan industri untuk dapat menerapkan GMP. Secara khusus, pemerintah daerah perlu memberikan prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana keamanan pangan untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi keamanan pangan industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada peningkatan status kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa. 3
1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan
mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good Manufacturing Practices/ GMP), sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan dan menjamin mutu produk industri IKM yang aman dan sesuai dengan keinginan dan harapan konsumen. Manfaat penelitian diharapkan sebagai sebagai alat bantu dalam perumusan strategi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait untuk meningkatan mutu keamanan produk roti industri IKM melalui penerapan GMP. 1.3
Ruang Lingkup Lingkup penelitian ini dilakukan pada IKM roti di wilayah Kota Bogor.
Penelitian ini dibatasi pada lingkup industri kecil menengah roti yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dan/atau Dinas Kesehatan Kota Bogor. Kategori industri kecil menengah (IKM) yang digunakan berdasarkan kategori yang ditetapkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan/atau kategori Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Pengkajian faktor lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor.
2.
Strukturisasi elemen kunci yang mempengaruhi peningkatan mutu keamanan melalui penerapan GMP pada industri IKM roti Kota Bogor
3.
Penyusunan formulasi strategi peningkatan mutu keamanan produk IKM roti melalui penerapan GMP berdasarkan hasil analisa SWOT dan ISM (Interpretive Structural Modelling)
4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Industri Kecil dan Menengah Industri Kecil Menengah di Indonesia merupakan bagian penting dari sistem
perekonomian nasional karena peranannya dapat mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi melalui misi penyediaan lapangan usaha dan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan ikut berperan dalam memperoleh devisa serta memperkokoh struktur industri nasional (Hubies, 1997). Definisi Usaha Kecil menurut Undang- undang No. 20 tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, dan memiliki kriteria usaha Kecil yaitu: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Definisi Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha dan miliki
jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;
atau
b)
memiliki
hasil
penjualan
tahunan
lebih
dari
Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah). Menurut Biro Pusat Statistik (1998), definisi industri rumah tangga adalah unit usaha dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang. Industri menengah adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 20 dan paling banyak 99 orang. Menurut Keppres RI No. 99 Tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara
5
mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis, 1977). Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk industri rumah tangga pangan (IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah industri kecil / menengah di Indonesia sebesar 3.755.238 juta unit usaha, sedangkan industri besar berkisar 2.867 unit usaha . Laju pertumbuhan industri mikro dan kecil pada akhir tahun 2011 telah mencapai 1,48% (BPS, 2011). Perkembangan struktur industri di Indonesia seperti terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 – 2009 N O
Uraian
Satu an
2005
2006
2007
2008*
2009**
1
Unit Usaha/Unit
Unit
2.811.468,0
3.220.061,0
3.442.306,0
3.545.100
3.758.105
1.1
Industri Kecil
Unit
2.795.237,0
3.200.620,0
3.422.672,0
3.526.420
3.739.507
1.2
Industri Menengah
Unit
13.712,0
16.886,0
15.782,0
15.709
15.731
1.3
Industri Besar
Unit
2.519,0
2.555,0
3.852,0
2.971
2.867
2
Tenaga Kerja
Orang
10.971.630,0
12.597.214,0
13.223.776,0
13.424.341
13.987.659
2.1
Industri Kecil
Orang
6.745.086,0
7.195.356,0
7.441.995,0
7.800.576
7.871.888
2.2
Industri Menengah
Orang
140.992,0
175.901,0
190.936,0
190.696
201.966
2.3
Industri Besar
Orang
4.085.552,0
5.011.535,0
5.590.844,0
5.433.069
5.913.805
3
PDB (adhk2000)
Mil Rp
491.422,0
514.192,0
538.078,0
557.766
570.629
3.1
Industri Kecil
Mil Rp
64.073,1
66.271,5
69.350,0
71.887
73.545
3.2
Industri Menengah
Mil Rp
59.726,0
62.034,7
64.916,4
67.292
68.843
3.3
Industri Besar
Mil Rp
367.622,8
385.886,0
403.811,5
418.587
428.241
Sumber: BPS diolah Kemenperin (2009) * ) Angka Sementara, ** ) Perkiraan
Kontribusi industri selama ini masih disumbang sebesar 75% dari industriindustri yang berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini dapat dimengerti karena penyebaran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lokasi industri untuk Pulau Jawa, berada di Jawa Tengah sebesar 38.71%, diikuti Jawa Timur 31,05% dan Jawa Barat sebesar 21,29%. 6
Sesuai Rencana Kerja Jangka Panjang pada tahun 2011-2014, Kementerian Perindustrian memfokuskan 6 kelompok industri yang berpeluang dikembangkan salah satunya adalah industri kecil dan menengah makanan karena mempunyai kedudukan strategis dalam perekonomian nasional. Industri kecil dan menengah berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja yang banyak, membuka peluang usaha secara luas dengan produk bervariasi dan beragam, mampu mengolah sumberdaya lokal baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Data pertumbuhan industri makanan minuman cenderung naik dari tahun 2004 sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2009 mencapai 11,29%. Sukarman (2007) mencirikan bahwa karakteristik usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia secara umum yaitu: a) tradisional, b) perorangan, c) sarat penggunaan sumber daya lokal, d) menghasilkan produk sederhana, e) teknologi yang digunakan tepat guna, f) usaha lebih fleksibel dan padat karya, g) khusus usaha mikro terutama berada pada golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Kendala umum yang dihadapi oleh usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia sebagai berikut a) kualitas SDM rendah (94,7% SLTP ke bawah ), b) akses pasar terbatas, c) manajemen sederhana atau tradisional, d) sistem pembukuan / administrasi keuangan belum baik, e) belum terdaftar secara formal,
f) tidak memenuhi persyaratan bank teknis, g) kurang akses
informasi dan pemanfaatan teknologi, h) kurang menjaga kualitas produk, i) permodalan untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan menurut Hubeis (1997), kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan SDM, terbatasnya keterampilan dan keahlian, keterbatasan modal dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkannya sangat beragam, baik dalam mutu, ukuran, warna maupun bentuk/desain, yang pada akhimya berdampak terhadap harga jual yang kurang kompetitif. Menurut Departemen Perindustrian (2008), keadaan spesifik industri makanan di Indonesia antara lain kurang memperhatikan aspek higienis; masih 7
ada penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tidak benar/bahan tambahan yang dilarang; pengelolaan/manajemen usaha masih sederhana; mutu sangat beragam dan masih banyak yang belum memenuhi standar; kemasan sangat sederhana, tidak menarik, dan label tidak sesuai dengan isi; masuknya produk-produk makanan dari negara lain yang mempunyai daya saing cukup tinggi. Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu untuk menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya masih sederhana (mendekati organisasi lini), yaitu manajer umum (pemilik) merangkap jabatan pengawas, dan bagian lain (produksi, penjualan dan pemasaran, serta pembelian) diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan keluarga atau pegawai yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal, serta hubungan antar bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha (one man show). Untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan personil (komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership) dan kemampuan manajerial (kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional), serta gaya kerja, baik secara mutlak (necessary condition) maupun tambahan (sufficient condition) dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global (Hubeis, 1997). 2.2
Keamanan Pangan
2.2.1 Definisi Keamanan Pangan Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Berdasarkan pengertian tersebut, mutu pangan tidak hanya mengenai kandungan gizi tetapi mencakup keamanan pangan dan kesesuaiannya dengan standar perdagangan yang berlaku. Definisi keamanan pangan menurut Codex adalah jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan dan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki (Hariyadi, 2007). Joint Expert Committee of Food Safety (JECFA) menyatakan keamanan 8
pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi manusia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya busuk, kotor dan menjijikkan. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi: 1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi; 2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan 3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif. 2.2.2 Sumber Bahaya Keamanan Pangan Bahaya keamanan pangan tertuju pada faktor-faktor dalam bahan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sumber-sumber bahaya keamanan pangan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu fisik, kimia, dan mikrobiologi. Bahaya yang bersifat fisik, contohnya serpihan batu dan logam; bersifat kimia, contohnya toksin yang diproduksi selama proses pengolahan pangan dan zat-zat alergenik; dan bersifat mikrobiologi, contohnya bakteri 9
patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi (Lawley 2008). Menurut Rahayu (2008), kasus sumber kontaminan bahan pangan terdiri dari kontaminan biologi / mikrobiologi, kimia, dan kontaminan fisik. Kontaminan tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap dikonsumsi. Menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya. Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti pestisida, logam berat seperti Pb, Arsen, Kadmium (Winarno, 1993). Adanya bahaya atau cemaran pada pangan seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti & Nuraida, 2001). Hasil penelitian Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene. 2.2.3 Permasalahan Keamanan Pangan Data kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS (tahun 20012005), dilihat dari aspek keamanan pangan masih sangat memprihatinkan. Sekitar 33-80% (rata-rata 62%) produk pangan ditolak karena alasan "filthy". Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung "sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut". Penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan 10
hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan. dan diawasi untuk menerapkan good practices (Hariyadi & Dewanti, 2003). Peredaran produk pangan yang tercemar mikroba, tercemar logam, yang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan (terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis), adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura masih banyak ditemukan. Disamping itu banyak pula ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997). Berdasarkan data inspeksi 2001-2006 menunjukan bahwa beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah penggunaan pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis pelanggaran produk pangan tahun 2001-2006 ditunjukkan pada Gambar 1. Penggunaaan pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif terbesar. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun selama 2001-2006 (Hanani, 2009).
Sumber : Hanani (2009)
Gambar 1 Persentase pelanggaran produk pangan (%).
11
Pada kenyataannya Indonesia harus menanggung beban ganda keamanan pangan yaitu masih belum diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik dan khusus berkaitan dengan industri pangan berorientasi ekspor harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Penyebab permasalahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini adalah beium dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i) pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembangunan keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri kecil dan menengah (Hariyadi, 2008). Penanggulangan terhadap keamanan pangan sangat dibutuhkan, salah satunya yaitu dengan melakukan GAP (good agricultural practices) pada usaha produksi di farm, terutama untuk penggunaan pestisida, pupuk buatan, hormone pertumbuhan, pencemaran lingkungan, sedangkan dipabrik perlu diperhatikan penerapan GMP (good manufacturing practices) dan HACCP (hazard analysis critical control point) untuk mencapai mutu dan standar yang diperlukan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor (Bintoro, 2009). Hasil inspeksi BPOM tahun 2007 menunjukan bahwa dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa terdapat 2.271 (57%) sarana yang tidak memenuhi ketentuan, sehingga tidak mampu menerapkan GMP (good manufacturing practices) secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP), sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan. Masalah utama yang perlu segera dipecahkan pemerintah adalah memfasilitasi IRTP mampu melengkapi dirinya dengan sarana dan prasarana sanitasi dan higienitas sehingga melaksanakan proses produksi pangan sesuai dengan kaidah GMP (Hariyadi, 2008). Penelitian Sudibyo et al. (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian hanya sekitar 35-40% industri
pangan
berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung
jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. 12
Penyebab masalah keamanan pangan di Indonesia antara lain karena masih kurangnya pengawas makanan (food inspector), adanya technical barrier terhadap berbagai kemampuan deteksi kimiawi atau mikrobiologis di daerah (masalah sumber daya manusia, equipment dan dana), standar mutu, isu lingkungan, dan data-base tentang pangan (Bintoro, 2009). 2.2.4 Kelembagaan dan Regulasi Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stake holder baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1999). Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku (FAO, 2003). Menurut Bintoro (2009) stakeholder bidang pangan antara lain pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor, dan fihak lain. Keterlibatan stake holder tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 pasal 3 menegaskan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan bertujuan untuk: 1) tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab, dan 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2004 mengatur tanggung jawab badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut atas keamanan pangan 13
yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut dalam Pasal 41 ayat (1). Tanggung jawab industri pangan diatur dalam pasal 41, 42 dan 43. BPOM merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengawasan pangan bersama-sama dengan tiga kementrian, yakni Kementrian Kesehatan, Kementrian Pertanian, dan Kementrian Perikanan dan Kelautan. Kementerian Perindustrian juga menangani pengawasan keamanan pangan khusus dalam hubungannya dengan industri dan perdagangan pangan. Tanggung jawab masing-masing instansi telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 pasal 22. Penanggulangan masalah keamanan pangan harus didukung adanya regulasi yang komprehensif, tegas dan mencakup berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan; Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Peraturan Pemerintah
No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; PerMenKes
No. 23/MenKes/SK/I/1978
tentang
pedoman
cara produksi
pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan
tambahan
pangan
(BTP)
dan
penggunaannya; Permenkes RI No. 329/Menkes/Per/VII/76 tentang Produksi dan Peredaran pendaftaran
Makanan; makanan;
Permenkes
RI
Kepmenkes
No.382/Menkes/Per/VI/1989 RI
No.02912/B/SK/IX/1986
tentang tentang
penyuluhan bagi perusahaan makanan industri rumah tangga; Keputusan Kepala Badan POM Nomor : HK. 00.05.5.1640 Tata cara penyelenggaraan SP-PIRT; Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
Nomor
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan 14
dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik
menyangkut
aspek
gizi,
mutu
dan
keamanan
pangan
maupun
lingkungannya. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikan. Hal tersebut berimplikasi konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industry pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM, sedang makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ijin produksi, pengawasan proses produksi, dan hasil produksi yang sepenuhnya wewenang BPOM adalah untuk industri obat, kosmetika, obat tradisional, narkotika, alat kesehatan, minuman keras. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Menkes/SK/I/1978 telah diatur Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau yang dikenal GMP, sedang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT) diatur melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012. 2.3 Cara Produksi Pangan Yang Baik/ Good Manufacturing Practices Menurut Fardiaz (1992) Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pengolahan Makanan yang Baik (CPMB) merupakan suatu pedoman cara produksi makanan yang memiliki tujuan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen. GMP sebagai persyaratan sanitasi dan proses minimum yang harus diaplikasikan oleh industri pangan. 15
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 dalam Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan; b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen,serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan. GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta adanya unit mutu yang independent (seperti unit kendali dan/atau jaminan mutu). Codex Allimentarius Commission telah menerbitkan persyaratan acuan The Codex General Principles of Food Hygiene yang mengidentifikasi prinsipprinsp food higien yang dapat diterapkan di seluruh rantai pangan (termasuk produksi primer hingga konsumsen akhir), untuk mencapai tujuan dalam menjamin pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi (CAC, 2003) . Pengendalian dalam The Codex General Priciples of Food Hygiene ini diakui oleh internasional sebagai cara penting untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan yang dikonsumsi manusia. Acuan yang digunakan oleh industri dibidang pangan di Indonesia adalah Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan Yang Baik (CPMB) yang dibuat oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1996) yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan
standard
prosedur
oprasional
sanitasi
atau
sanitation standard
operating procedure (SSOP). GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum 16
higiene pangan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur
mengenai
produksi pangan. SSOP juga merupakan salah satu unsur / komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan
dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan. Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan GMP adalah: (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan (Ditjen POM, 1996). Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat 17
melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996). Menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003)
General
Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi;
pengendalian
proses
produksi
(pengendalian
bahaya,
pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, air, manajemen dan supervisi, dokumentasi
sistem
pengolahan
dan rekaman, prosedur penarikan
produk); pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah dan keefektifan pemantauan); higiene/kebersihan personil/ karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung); transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya); informasi
produk dan kesadaran (identifikasi lot,
informasi produk, labelling); pendidikan konsumen; serta pelatihan. Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1.
Lokasi dan lingkungan produksi. Untuk menetapkan lokasi industri perlu dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya.
2.
Bangunan dan fasilitas. Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.
3.
Peralatan produksi. Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk
18
menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan. 4.
Suplai air atau sarana penyediaan air. Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum.
5.
Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan.
6.
Kesehatan dan higiene karyawan. Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran.
7.
Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan. Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin/ peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah.
8.
Penyimpanan. Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.
9.
Pengendalian proses. Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) Penetapan spesifikasi bahan baku; (2) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; (3) Penetapan cara produksi yang baku; (4) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan; (5) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
10. Pelabelan pangan. Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan. 11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan. Seorang penanggung jawab diperlukan
untuk
mengawasi
seluruh
tahap
proses
produksi
serta
19
pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman. 12. Penarikan produk. Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan. 13. Pencatatan dan dokumentasi. Pencatatan dan dokumentasiyang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi. 14. Pelatihan karyawan. Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip–prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman. Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT. Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga diterbitkan oleh Bupati/Walikota didasarkan atas dipenuhinya persyaratan cara produksi yang baik (good manufacturing practices) untuk industri rumah tangga yang meliputi antara lain persyaratan sanitasi, penggunaan bahan tambahan pangan dan label. 2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) Dalam rangka produksi dan peredaran pangan oleh IRTP, Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Kepala Badan POM menetapkan pedoman pemberian SP-PIRT. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengamanatkan bahwa 20
pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP. Nomor P-IRT adalah nomor pangan IRT yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari SP-PIRT dan wajib dicantumkan pada label pangan IRT yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT. SP-PIRT berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Tata cara pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (SPPIRT) diatur melalui Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Tata cara memperoleh SP-PIRT yaitu dengan mengajukan berkas permohonan secara tertulis kepada Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disertai kelengkapannya. Pemilik atau penanggung jawab IRTP diharuskan mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota.
Sertifikat
diberikan
kepada
pemilik/
penanggung jawab yang telah lulus mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dengan hasil evaluasi minimal nilai cukup (60). Pemeriksaan sarana dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Pemeriksaan sarana produksi pangan IRT dilakukan oleh tenaga pengawas Pangan (District Food Inspector) Kabupaten/Kota. Pemeriksaan sarana produksi IRTP sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jika hasil pemeriksaan sarana produksi berdasarkan tatacara penyelenggaraan SP-PIRT menunjukkan hasil IRTP masuk level I – II maka diberikan SP-PIRT . SPP-IRT dicabut apabila terjadi salah satu dari hal-hal berikut: 1) Pemilik dan atau penanggung jawab perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku; 2) Pangan terbukti sebagai penyebab KLB keracunan pangan; 3) Pangan mengandung Bahan Berbahaya; 4) Sarana terbukti tidak sesuai dengan kriteria IRTP. 21
2.5 Industri Roti Berdasarkan Surat Keputusan BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun 2006 tentang kategori pangan, produk bakeri termasuk dan produk roti tawar dan produk roti istimewa yang manis, asin maupun gurih. Produk bakeri antara lain roti, cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Secara garis besar produk bakeri bisa dikelompokkan menjadi kelompok roti dan kelompok biskuit. Roti adalah produk makanan yang terbuat dari tepung terigu yang difermentasikan dengan ragi roti ( Saccharomyces cerevisiae ), air dan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain dan dipanggang. Kedalam adonan dapat
ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak, pengemulsi dan bahanbahan pelezat seperti cokelat, keju, kismis dan lain-lain. Produk roti mempunyai struktur berongga-ronga dan produk akhirnya bersifat plastis, elastis karena kadar air tinggi. Produk biskuit terdiri dari berbagai bentuk dan mempunyai struktur lebih padat dengan tektur mulai dari rapuh atau renyah sampai relatif keras, serta kadar airnya rendah sehingga lebih awet. Selain kedua kelompok bakeri tersebut ada jenis lain yaitu cake, yang merupakan produk hasil pemanggangan yang dikembangkan dengan pengembang kimia. Sel-sel udara yang terbentuk dihasilkan dengan cara pengocokan (terutama putih telur) yang menyebabkan udara terperangkap dalam adonan, serta adanya pembentukan gas dari bahan pengembang dan terbentuk uap air pada waktu pemanggangan (Wibowo, 2009). Prinsip pembuatan roti adalah mencampurkan tepung terigu dan bahan penyusun lainnya mejadi adonan, kemudian difermentasikan lalu dipanggang. Proses produksi meliputi tahap penimbangan, pencampuran dan pengadukan, fermentasi awal, penimbangan bahan, pembulatan (rounding), fermentasi kedua (intermediate peloyangan
proofing), (panning),
penipisan pemolesan,
(sheeting), fermentasi
pembentukan akhir
(final
(moulding), proofing),
pemanggangan (baking), pembongkaran dari loyang ( depanning), pendinginan (cooling) dan pengemasan (Tarigan, 2010). Berdasarkan formulasi adonan roti dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu adonan roti manis, roti tawar dan adonan soft rolls. Adonan roti manis adalah adonan yang dibuat dari formulasi yang banyak menggunakan gula, lemak dan telur. Adonan roti tawar adalah adonan roti yang mengunakan sedikit/tanpa gula, 22
susu skim dan lemak. Adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti tawar. Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahanbahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri darishortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang keawetan roti (Wibowo, 2009). Syarat mutu produk roti juga mengacu ke Peraturan Kepala Badan POM RI No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti
1
Karakteristik Roti dan produk roti tawar dan premiks (termasuk tepung panir)
2 Produk roti istimewa (manis, asin, gurih)
Syarat Mutu ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g APM Escherichia coli 10/g negatif/25 g Salmonella sp. 1x102 koloni/g Bacillus cereus Kapang dan khamir 1 x 104 koloni/g ALT (30oC, 72 jam) APM Koliform APM Escherichia coli Salmonella sp. Staphylococcus aureus Bacillus cereus Kapang dan khamir
1 x 104 koloni/g 20/g <3 /g negatif/25 g 1 x102 koloni/g 1x102 koloni/g 2 x 104 koloni/g
Ambang batas maksimum cemaran logam berat pada produki roti untuk cemaran arsen adalah 0,5 ppm atau mg/kg; cadmium yaitu 0,2 ppm atau mg/kg ; merkuri (Hg) yaitu 0,05 ppm atau mg/kg ; timah (Sn) adalah 40 ppm atau mg/kg ; timbal (Pb) adalah 0,5 ppm atau mg/kg . 23
2.6 Manajemen Strategis Menurut David (2006), manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. 1) Formulasi Strategi. Hal-hal yang termasuk dalam formulasi strategi antara lain mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan 2) Implementasi Strategi. Implementasi strategi sering disebut sebagai tahap pelaksanaan dalam manajemen strategis. Implementasi strategi membutuhkan disiplin
pribadi,
komitmen,
dan
pengorbanan.
Implementasi
strategi
mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif dan memberdayakan sistem informasi, serta menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi. 3) Evaluasi Strategi. Evaluasi strategi merupakan tahap final dalam manajemen strategis. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja, dan mengambil tindakan korektif. Salah satu cara yang digunakan untuk mempelajari dan mengaplikasikan proses manajemen strategis adalah dengan sebuah model, dimana setiap model mempresentasikan semacam proses. Model manajemen strategis menurut David (2006) seperti pada Gambar 2. Menurut Rangkuti (1999) proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut sebagai perencanaan
strategis. Tujuan utama perencanaan
strategis adalah agar organisasi atau perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.
24
Wahyudi (1996) menyatakan bahwa strategi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi memiliki sifat antara lain : menyatu (unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam perusahaan; menyeluruh (comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam perusahaan; integral (integrated), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan (corporate, business dan functional).
Melakukan audit eksternal
Menetapkan Tujuan Jangka Panjang
Membuat Pernyataan Visi & Misi
Melakukan audit internal
Formulasi Strategi
Merumuskan Mengevaluasi dan Memilih Strategi
Implementasi Strategi Isu-isu Manajemen
Implementasi Strategi Isuisu Pemasaran, Keuangan, Akuntasi, Penelitian & Pengembangan Sistem Informasi Manajemen
Mengukur dan Mengevalu asi Kinerja
Evaluasi
Implementasi Strategi S
Gambar 2 Model komprehensif manajemen strategis (David, 2006). Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan perusahaan dengan lingkungannya. Walaupun lingkungan yang relevan sangat luas, meliputi kekuatan-kekuatan sosial sebagaimana juga kekuatan-kekuatan ekonomi, aspek utama dari lingkungan perusahaan adalah industri dimana perusahaan tersebut bersaing (Porter, 1995). Perumusan strategi sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan sehingga membentuk industri yang berdaya saing. Agar strategi yang dijalankan tepat, maka perusahaan harus mengetahui faktor internal dan eksternalnya sehingga kombinasi strategi yang digunakan tepat dengan posisi perusahaan saat ini (Marimin, 2004). Hal terpenting dalam perumusan strategi yang baik adalah bahwa strategi yang dibuat harus berpijak pada situasi riil di 25
lingkungan eksternal dan internal perusahaaan Untuk melakukan hal ini dapat digunakan alat bantu berupa matriks SWOT. Analisis lingkungan merupakan suatu proses yang digunakan perencana strategis untuk memonitor sektor lingkungan dalam menentukan peluang-peluang ataupun ancaman-ancaman terhadap perusahaan (Jauch dan Glueck, 1995). Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. 2.6.1 Analisis Lingkungan Internal Analisis lingkungan internal merupakan tahap pengkajian faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam suatu perusahaan. Kekuatan merupakan suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu industri yang berasal dari organisasi. Sedangkan kelemahan merupakan keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumber daya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan organisasi. Menurut David (2006), terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi dalam lingkungan internal perusahaan, yaitu : 1) Manajemen. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan proses penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Ada lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi, pengelolaan staf, dan pengendalian. 2) Pemasaran. Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan, mengantisipasi, menciptakan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan atas barang dan jasa. Menurut Kotler (1999), terdapat empat macam bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi. 3) Keuangan / Akuntansi. Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena
itu,
faktor-faktor
yang
harus
diperhatikan
dalam
aspek
keuangan/akuntansi, adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka pendek dan jangka panjang, beban yang harus ditanggung perusahaan sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual
26
produk, pemantauan penyebab inefisiensi, dan sistem akunting yang andal (Umar, 2008). 4) Produksi/Operasi. Fungsi produksi/operasi dari suatu bisnis terdiri atas semua aktivitas yang mengubah input menjadi barang dan jasa. Menurut David (2006), manajemen produksi/operasi terdiri atas lima area keputusan atau fungsi yaitu proses, kapasitas, persediaan, tenaga kerja, dan kualitas. 5) Sumber Daya Manusia. Manusia merupakan sumber daya terpenting bagi perusahaan. Oleh karenaitu, manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif di kalangan karyawan perusahaan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada aspek sumber daya manusia, antara lain langkah yang jelas mengenai manajemen SDM, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas, dan sistem imbalan (Umar, 2008). 6) Penelitian dan Pengembangan. Perusahaan yang menjalankan strategi pengembangan produk khususnya harus memiliki orientasi litbang yang kuat. Pengeluaran litbang ditujukan pada pengembangan produk baru sebelum pesaing melakukannnya untuk memperbaiki kualitas produk atau untuk memperbaiki proses produksi untuk menurunkan biaya. 2.6.2 Analisis Lingkungan Eksternal Analisis lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Pada umumnya lingkungan eksternal berada di luar kontrol perusahaan. Menurut Pearce dan Robinson (1997), lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan jauh dan lingkungan industri. Lingkungan jauh terdiri dari faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu perusahaan tertentu, yaitu : a) Faktor Ekonomi. Dalam perencanaan strategiknya, setiap perusahaan harus mempertimbangkan
kecenderungan
ekonomi
di
segmen-segmen
yang
mempengaruhi industri yang bersangkutan tersebut, misalnya pola konsumsi, ketersediaan kredit secara umum, tingkat penghasilan yang siap dibelanjakan (disposable income), kecenderungan belanja masyarakat (propensity to spend), suku bunga primer, laju inflasi, dan kecenderungan pertumbuhan PNB (Pearce dan Robinson, 1997). 27
b) Faktor Sosial. Faktor sosial yang mempengaruhi suatu perusahaan meliputi kepercayaan, nilai, sikap, opini, dan gaya hidup dari orang-orang di lingkungan ekstern perusahaan. Faktor sosial ini biasanya dikembangkan dari kondisi kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan, dan kondisi etnik. c) Faktor Politik. Arah dan stabilitas faktor-faktor politik merupakan pertimbangan penting bagi para manajer dalam merumuskan strategi perusahaan. Faktor-faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi perusahaan. d) Faktor Teknologi. Untuk menghindari keusangan dan mendorong inovasi, perusahaan
harus
mewaspadai
perubahan
teknologi
yang
mungkin
mempengaruhi industrinya. Adaptasi teknologi yang kreatif dapat membuka kemungkinan terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada, atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran (Pearce dan Robinson, 1997). Lingkungan industri dapat berupa persaingan antar perusahaan sejenis, kemungkinan masuknya pesaing baru, potensi pengembangan produk substitusi, kekuatan tawar-menawar penjual/pemasok, dan kekuatan tawar-menawar pembeli/konsumen (Porter, 1997). 2.7
Metode Analisis SWOT Analisa SWOT merupakan salah satu alat analisis kualitatif yang digunakan
untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melakukan suatu kegiatan dengan
mengacu
pada
kekuatan
dan
kelemahan
yang
dimiliki oleh
perusahaan (Pearce dan Robinson, 1997). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Oportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Analisis
SWOT adalah
alat
perencanaan
strategis terdiri
dari
dua
bagian (FAO, 2006) : 1.
Analisis kekuatan dan kelemahan internal: setiap asset atau kekurangan internal
28
(seperti
ketrampilan
staf,
peralatan,
keuangan,
prosedur,
koordinasi, dan lainnya) yang memungkinkan atau mencegah pemerintah untuk melaksanakan tugasnya atau tujuan. 2.
Analisis lingkungan eksternal (peluang dan ancaman): setiap keadaan eksternal atau kecenderungan (seperti kerjasama internasional, peningkatan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan, perdagangan global) yang bisa positif atau negatif mempengaruhi peran dan tugas pemerintah. Menurut Marimin (2004), tahapan analisa SWOT adalah :
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. Tahapan ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi perusahaan yang dilakukan dengan wawancara terhadap ahli dari perusahaan yang bersangkutan ataupun analisis secara kuantitatif misalkan neraca, laba rugi dan lain-lain. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal (matriks IE) dan matriks SWOT. Matriks IE merupakan hasil dari penggabungan matriks IFE dan matriks EFE. Matriks IFE dan EFE akan memberikan gambaran tentang posisi perusahaan. Matriks SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan. Matriks
ini
dapat
memberikan
gambaran secara
jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. 3. Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan keputusan dalam matriks SWOT merujuk pada matriks internal eksternal yang menghasilkan posisi perusahaaan. Strategi yang dirumuskan merujuk pada kuadran dari perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat diketahui kombinasi strategi yang paling tepat. Matriks evaluasi faktor internal (Internal Factor Evaluation/IFE) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Sedangkan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal perusahaan. Matriks IFE dan EFE merupakan salah satu teknik perumusan strategi yang penting dan merupakan langkah pertama dari kerangka kerja perumusan yang disebut tahap input, yaitu tahap meringkas informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi. Matriks ini beserta pernyataan misi 29
yang
jelas menyediakan
informasi
dasar
yang
diperlukan
untuk
merumuskan strategi bersaing secara sukses dengan syarat alat ini harus disertai dengan penilaian intuitif yang baik (David, 2006). 2.8 Metode ISM (Interpretive Structural Modeling ) Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya (Nasution, 2002). Menurut Hennxsy (2003), kelembagaan berperan pada penggelolaan mutu industri pangan misalnya aplikasi teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan pengemasan. Menurut Bintoro (2009) stake holder bidang pangan antara lain pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor, dan fihak lain. Analisa kelembagaan dilakukan dengan teknik Interpretive Structural Modeling (ISM). Analisis kelembagaan/pelaku ini bertujuan untuk memetakan peran dan fungsi masing-masing lembaga dan aktor pelaku dalam kegiatan ini, yaitu pemerintah, produsen, konsumen, peneliti. Metodologi dan teknik ISM menghasilkan : 1) struktur hirarki elemen sistem dan 2) klasifikasi sub-elemen kunci. Informasi dari suatu sistem yang dikaji distrukturisasi dalam bentuk matriks yang disebut structured self interaction matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar subelemen dan elemen-elemen sistem. Selanjutnya SSIM ditransformasi menjadi reachability matriks (RM), yaitu matriks bilangan biner yang menyatakan hubungan secara matematis antar elemen di dalam sistem yang dikaji memiliki sifat transivitas dan reflektivitas.
Struktur sistem dalam bentuk hirarki dan
hubungan antar elemen selanjutnya dibangun berdasarkan RM. Teknik ISM yang dikembangkan oleh Warfield (1973) diarahkan untuk memperoleh struktur hirarki sub-elemen di dalam elemen-elemen sistem berdasarkan hubungan kontekstual dalam bentuk simbol V, A, X, O (ISM VAXO).
Hubungan kontekstual antar sub-elemen di dalam ISM VAXO
menunjukan hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Simbol VAXO antar sub-elemen pada matriks SSIM akan tergantung dari sifat hubungan antar elemen tersebut sebagai berikut : 30
V:
eij = 1 dan e ji = 0
A:
eij = 0 dan e ji = 1
X:
eij = 1 dan e ji = 1
O:
eij = 0 dan e ji = 0
Simbol angka 1 menunjukan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0 menunjukan tidak terdapat hubungan kontekstual antar sub elemen. SSIM selanjutnya ditransformasi menjadi RM yang merupakan matriks bilangan biner. Saxena
(1992)
mengembangkan
metode
klasifikasi
sub
elemen
yang
distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence, serta menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji. Klasifikasi sub-elemen dikasi sub-elemen dibagi dalam empat sektor : Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variables (autonomous). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 : Weak driver – strongly dependence variables (dependent). Umumnya peubah di sektor ini adalah peubah tak bebas Sektor 3 : Strong driver –strong dependence variables (linkages). Peubah di sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variables (independent). Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Nilai driver power untuk sub elemen ke-i,
DP
i
=
n
∑
j=1
e ij
untuk setiap i = 1,
2, … n, dimana eij adalah entri pada matriks RM. Sedangkan nilai dependence untuk sub elemen ke-i,
D
j
=
n
∑e j =1
ij
untuk setiap i = 1, 2, … n, dimana eij adalah
entri pada matriks RM. Elemen kunci adalah sub elemen yang memiliki driver power paling tinggi atau maksimum DPi. Klasifikasi sub elemen ke dalam empat sektor dilakukan atas dasar posisi sub elemen pada sumbu absis nilai dependence dan sumbu ordinat driver power dengan aturan sebagai berikut :
31
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok autonomous jika: n
DP i ≤
∑ DP j =1
n
i
2
dan
DP j ≤
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(1)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok dependent jika: n
DPi ≤
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≥
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(2)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok linkage jika: n
DPi ≥
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≥
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(3)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok independent jika: n
DPi ≥
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≤
∑D j =1
2
j
untuk i, j = 1, 2,…, n
(4)
2.9 Penelitian Terdahulu
Sarter et al. (2010) melakukan penelitian implementasi HACCP dan Good Handling Practices di Madagaskar menggunakan analisa SWOT. Hasil analisa SWOT menunjukkan kekuatan yang teridentifikasi meliputi penerapan kebijakan pemerintah, pengetahuan ilmiah resiko pangan, legislasi dan enforcement regulasi pemerintah, kekuatan dari lembaga masyarakat. Kelemahan yang teridentifikasi meliputi tidak ada strategi untuk penerapan HACCP dan GHPs, tidak ada fasilitas bagi industri untuk melaksanakan HACCP dan GHPs, sistem manajemen yang dibangun tidak berdasarkan analisa resiko, tidak didukung penelitian analisis resiko, kurangnya kapabilitas laboratorium uji pangan, kurangnya standar dan pedoman bagi operator pangan, lemahnya penegakan regulasi, kurang jelasnya dan duplikasi wewenang dan tanggung jawab lembaga pemerintah terkait. Peluang yang teridentifikasi meliput bantuan keuangan dan teknis dari lembaga internasional, ketersediaan laboratorium dan lembaga sertifikasi terakreditasi, pengalaman komunikasi yang sukses untuk masalah kesehatan masyarakat 32
(vaksin). Ancaman meliputi permintaan pemerintah asing dalam kualitas dan keamanan makanan yang diproduksi dalam negeri , terbatas tingkat pendidikan stakeholder dan konsumen , sangat terbatas pengetahuan tentang kebersihan makanan di antara operator dan konsumen makanan , daya beli konsumen tidak mendorong operator untuk berinvestasi ke dalam kualitas yang lebih mahal (kebersihan, HACCP rencana, jaminan kualitas). Ada empat faktor utama yang disimpulkan menjadi penghalang dalam penerapan HACCP pada UKM yaitu 1) adanya persepsi bahwa HACCP tidak cocok untuk perusahaan, 2) skala dan ruang lingkup perubahan yang diperlukan untuk menerapkan pengendalian keamanan pangan, 3) HACCP bukan menjadi program prioritas perusahaan, 4) kendala keuangan (Herath et al., 2005). Hasil penelitian Yapp et al. (2006) menggambarkan hambatan UKM di United Kingdom dalam mematuhi regulasi keamanan pangan HACCP yaitu: 1) kurangnya pengetahuan; 2) kurangnya kepercayaan; 3) faktor eksternal seperti ketidakmampuan menemukan tenaga kerja yang cakap; 4) keuangan dalam hal investasi dalam struktur bangunan, peralatan dan staf pelatihan; 5) kurangnya waktu untuk menerapkan sistem yang sesuai; 6) kurangnya kesadaran terhadap masalah keamanan pangan; 7) kurangnya motivasi dan 8) kurangnya manajemen yang efektif. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu kurangnya pengetahuan tentang HACCP dan kurang terpenuhinya program prasyarat serta kondisi fisik fasilitas yang tidak memadai.
Wilcock, et al. (2011)
juga meneliti faktor yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SME’s di Southwestern Ontario yaitu 1) komitmen manajemen puncak sebagai prioritas pertama, 2) dukungan dari eksternal seperti tingkat kepedulian aparat pemerintah , 3) keterlibatan karyawan, 4) komunikasi yang efektif, 5) memiliki karyawan yang tepat. Kepedulian aparat pemerintah dapat dalam bentuk program keamanan pangan
maupun
keuangan
kepada
industri,
program
pelatihan
bagi
manajer/coordinator keamanan pangan, pelatihan bagi pekerja produksi, pedoman dan manual dari pemerintah / lembaga tehnologi pangan lokal, bantuan konsultasi, bantuan insentif keuangan.
33
Di Indonesia, hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menggambarkan tingkat kesadaran IKM yang masih rendah terhadap aspek keamanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase industri pangan yang tidak mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mengimplementasikan higiene pangan (Tabel 3). Industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman
ditinjau
dari
aspek
penerapan sistem manajemen HACCP secara
komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan dalam pengembangan dan penerapannya. Tabel 3 Persentase penerapan h y g i e n e p a d a i ndustri kecil pangan No. 1.
Aspek Kegiatan
Pelatihan terhadap karyawan yang menangani pangan 2. Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai 3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) 4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil) 5. Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan 6. Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi 7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lainlain) 8. Pengendalian hama 9. Pengendalian catatan/dokumen Sumber : Sudibyo dan Sumarsi (2004)
Persentase (%) implementasi higine pada Industri Kecil Pangan Ya
Tidak
15,5
84,5
25,5
74,5
30,0
70,0
30,0
70,0
40,0
60,0
45,5
55,5
40,0
60,0
35,0 20,0
65,0 80,0
Untuk merancang strategi beberapa penelitian telah menggunakan metode analisis SWOT, ISM, AHP. Erlina (2011) menyusun formulasi stategi pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung dengan menggunakan pendekatan analisis MPE, ISM, IFE/EFE SWOT, AHP dan analisis finansial. Jaya et al. (2011) mengaplikasikan metode Interpretive Stuctural Modeling (ISM) 34
dan pengambilan keputusan kriteria dan pakar majemuk fuzzy (FuzzyMEMCDM) dalam perbaikan sistem kelembagaan dan mutu kopi di Dataran Tinggi Gayo. Machfud (2001) antara lain menggunakan metode ISM-VAXO dalam rekayasa
model
penunjang
keputusan
kelompok
untuk
pengembangan
agroindustri minyak atsiri. Elemen dan sub elemen struktur sistem pengembangan dikaji melalui identifikasi lingkungan sistem yaitu elemen pendukung sistem, penghambat sistem, elemen strategi, elemen pelaku dan elemen kebutuhan sistem. Mirah (2007) menggunakan metode I’SWOT dalam penelitian manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah antara lain menggunakan elemen pendukung sistem dengan sub elemen yang dikaji dari hasil identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kekuatan dan peluang; serta elemen penghambat pengembangan dengan sub elemen yang dirumuskan dari identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kelemahan dan ancaman. Sagheer et al. (2009) menggunakan analisis ISM dalam mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor kritis / elemen yang mempengaruhi pemenuhan standar dan tingkat pengaruhnya dalam industri pangan negara berkembang dengan studi kasus di India. Faktor mekanisme pengawasan yang kuat untuk pemenuhan standar harus didahului dengan dukungan langkah-langkah seperti menghubungkan
pasar
domestik
dan
internasional,
konsolidasi
struktur
kelembagaan, penguatan sistem hukum / peraturan, dan lainnya. Jharkharia (2011) menggunakan ISM untuk menganalisis faktor kristris penyebab kegagalan dalam menerapkan Enterprise Resource Planning (ERP). Hasil penelitian dari Siregar (2009) menunjukan bahwa salah satu strategi untuk peningkatan mutu dan keamanan pangan pada produk olahan markisa di PT Pintu Besar Selatan dengan cara perbaikan penyimpangan GMP serta penerapan HACCP. Metode yang digunakan adalah QFD, Matriks IFE, Matriks EFE,Analisis SWOT, Matriks TOWS. Penelitian Girsang (2007) bertujuan untuk membuat suatu formulasi strategi pengendalian mutu berdasarkan Sistem Manajemen Mutu dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan.Metode penelitian dengan QFD , Self Assessment dan SWOT.
35
Nababan (2007) meneliti tentang analisis strategi pemasaran produk home industry roti
Marinda, Kelurahan Gunung Batu, Bogor. Alat analisis yang
digunakan untuk merumuskan strategi adalah matriks IFE, matriks EFE, matriks CPM, matriks IE, dan matriks SWOT. Posisi home industry Marinda berada pada sel V. Strategi yang dapat diambil adalah hold and maintain berupa strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh tujuh alternative strategi yaitu (1) meningkatkan kualitas dan jaringan distribusi, (2) melakukan promosi produk home industry Marinda, (3) kerjasama distributor yang potensial, (4) menekan biaya operasional tanpa mengurangi nilai produk, (5) melakukan kerjasama dengan investor untuk mengatasi permodalan, (6) diversifikasi dengan produk baru, dan (7) koordinasi internal dalam menghadapi persaingan. Purnawan (2010) melakukan penelitian mengenai kajian pengembangan usaha IKM pangan komoditi roti dan kue di Kota Bogor (studi kasus di industri Elsari). Alat analisis yang digunakan yaitu analisa sensitivitas empat kriteria investasi yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), B/C ratio (Benefit/Cost Ratio) dan Payback Period. Penentuan strategi menggunakan matriks IFE, matriks EFE, matriks IE, matriks SWOT, dan matriks QSPM. Posisi perusahaan berada pada posisi V, yaitu tahap hold and maintain. Strategi yang disarankan adalah melakukan strategi penetrasi pasar berupa memperluas wilayah jaringan pemasaran dengan sasaran utama pada tempat-tempat yang sudah dikenal sebagai tempat wisata kuliner terpilih dan di daerah wisata di luar Bogor, dengan cara menjalin kerjasama dengan counter yang telah ada di tempat tersebut atau membuka cabang baru. Strategi pengembangan produk yang disarankan adalah memperbanyak produk kue kering/brownies kering('broker').
36
3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2012. Instansi pemerintah Daerah Kota Bogor yang dikunjungi dalam penelitian ini Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor , Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, BPS Kota Bogor, Kantor Koperasi dan UKM Kota Bogor. Industri Kecil Menengah yang roti dikunjungi antara lain Elsari, Bie-bie, Kanung, Azkia, CV Bando bakery. 3.2. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mempunyai tujuan melakukan analisa faktor internal dan faktor eksternal di lingkungan Kota Bogor yang mempengaruhi penerapan CPPB atau GMP pada industri roti di Kota Bogor. Analisa faktor internal mencakup kekuatan, kelemahan yang dimiliki, sedang analisa faktor eksternal mencakup peluang dan ancaman yang ada yang mempengaruhi penerapan CPPB atau GMP pada industri roti di Kota Bogor. Analisis kekuatan dan kelemahan internal meliputi setiap aset atau kekurangan internal (seperti ketrampilan staf, peralatan, keuangan, prosedur, koordinasi, manajemen) yang memungkinkan atau mencegah pemerintah untuk melaksanakan tugasnya atau tujuan. Analisis lingkungan eksternal (berupa peluang dan ancaman) meliputi setiap keadaan eksternal atau kecenderungan seperti
peningkatan kesadaran
konsumen terhadap
keamanan
pangan, perdagangan global, ekonomi yang positif atau negatif mempengaruhi peran dan tugas pemerintah. Hirarki dan elemen kunci dari pendukung, kendala maupun pelaku dicari melalui kajian hubungan kontekstual antar elemen menggunakan pendekatan Interpretative Structural Modelling. Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut disusun suatu strategi berdasarkan SWOT bagi pemerintah Kota Bogor dalam memfasilitasi peningkatan penerapan GMP pada IKM roti Kota Bogor.
37
3.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan (observasi) di lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner oleh responden terpilih. Data sekunder diperoleh dari Badan Perencanaan Nasional, Badan Pengkajian Obat dan Makanan (BPOM), Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota bogor serta data penelitian/praktek lapang di industri Kota Bogor. Selain itu juga data dari artikel atau literatur yang terkait dengan topik penelitian ini seperti data Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Bogor. 3.4 Metode Penentuan Responden
Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah metode purposive sampling, yaitu dengan sengaja memilih pakar yang kompeten dan terlibat langsung dalam pengawasan/penerapan/pembinaan/penelitian GMP pada IKM. Penetapan responden sebagai seorang pakar berdasarkan atas (1) reputasi, kedudukan dan kredibilitasnya yang sesuai pada topik kajian; (2) bersedia untuk diwawancara secara mendalam dan/atau (3) memiliki pengalaman minimal 10 tahun dibidang yang tekuni. 3.5 Tahapan Penelitian
Perumusan strategi yang digunakan menggunakan gabungan metode SWOT dengan ISM (Interpretive Structural Modeling ). Penelitian ini terdiri dari tahap identifikasi pakar, analisis SWOT, analisis ISM dan perumusan strategi. Diagram alir penelitian ini seperti tercantum dalam Gambar 3. 3.5.1 Identifikasi Pakar
Tahap awal dilakukan identifikasi pakar. Responden pakar yang terpilih dalam analisa SWOT adalah 5 (lima) orang yaitu Kepala Seksi Dinas Kesehatan Kota Bogor, Kepala Bidang Dinas Perindustrian Kota Bogor, Kepala Bidang Penguji dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro (ekspertis), Ekspertis dari Departemen Ilmu Pangan IPB serta pelaku usaha IKM roti di Kota Bogor (Lampiran 1). Adanya keterlibatan pihak pakar dalam penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan alternatif strategi yang lebih komprehensif dan objektif. 38
Selain menggunakan lima pakar diatas, sebagai sumber informasi pelengkap digunakan responden Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor.
Mulai
Identifikasi lingkungan
Identifikasi pakar
Evaluasi Faktor Internal (IEF)
Strukturisasi ISM- (SO, WT)
Evaluasi Faktor Eksternal(EEF)
Strukturisasi ISM-Aktor pelaku
Analisa Posisi (Matriks IE)
Perumusan strategi (Matriks SWOT)
Selesai
Gambar 3 Diagram alir penelitian.
3.5.2 Analisis SWOT
Untuk keperluan strategi maka diperlukan suatu analisa SWOT, yaitu analisa yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan eluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Menurut David (2006), untuk menganalisis lingkungan perusahaan baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap input (input stage), tahap pencocokan (matching stage), dan tahap keputusan (decision stage). Model yang dipakai terdiri dari : a. Matrix Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) b. Matrix Evaluasi Faktor Internal (IFE) c. Matrix Internal Eksternal (IE) d. Matriks SWOT 39
Identifikasi Lingkungan Internal-Eksternal
Identifikasi
lingkungan
internal
dan
lingkungan
eksternal
yang
mempengaruhi penerapan GMP di IKM roti dilakukan kajian literatur dan hasil depth interview lima pakar. Pada tahap awal dilakukan kajian terhadap data terkait kondisi internal-eksternal pemerintah daerah Kota Bogor serta kondisi implementasi GMP di IKM roti Kota Bogor yang diperoleh dari Bapeda, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BPS, Kantor Koperasi dan UKM . Selain itu sebagai bahan pembanding dilakukan analisa terhadap literatur hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait penerapan GMP pada IKM. Berdasarkan data kajian tersebut diperoleh daftar awal faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi pemerintah Kota Bogor dalam mendorong peningkatan penerapan GMP pada IKM roti. Daftar awal faktor internal dan eksternal dikonfirmasikan kesesuaiannya melalui depth interview dengan para pakar yang dipilih serta diklasifikasikan faktor internal yang menjadi kekuatan atau kelemahan serta faktor eksternal yang menjadi peluang atau ancaman. Selanjutnya dibuat alat bantu kuisioner berdasarkan daftar hasil depth interview dengan para pakar untuk melakukan analisis menggunakan metode Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE). Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
Matriks IFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Adapun tahapan kerja dalam membuat matriks IFE adalah sebagai berikut : i)
Identifikasi faktor internal pemerintah Kota Bogor yang mempengaruhi penerapan GMP di IKM
kemudian, dilakukan wawancara atau diskusi
dengan responden terpilih untuk menentukan apakah faktor-faktor tersebut telah sesuai dengan kondisi internal saat ini. ii) Penentuan bobot. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini dalam menentukan bobot dari faktor internal dan eksternal adalah teknik Pairwise Comparison. Teknik ini membandingkan setiap variabel pada baris (horizontal) dengan variabel pada kolom (vertikal). Selanjutnya bobot setiap faktor strategis diperoleh dengan menentukan total nilai setiap faktor strategis terhadap jumlah keseluruhan faktor strategis (Kinnear dan Taylor, 1991). 40
Penentuan bobot setiap peubah dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor strategis internal kepada responden pakar dengan menggunakan metode pembandingan berpasangan. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara elemen dengan elemen lainnya. Untuk menentukan bobot setiap peubah digunakan skala 1, 2 dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah : 1 = Jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = Jika indikator horisontal sama penting daripada indikator vertikal 3 = Jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal Indikator horisontal dan indikator vertikal adalah peubah-peubah kekuatan dan kelemahan pada faktor strategis internal. Metode ini membandingkan secara berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau pengaruhnya terhadap peningkatan penerapan GMP pada IKM roti. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian tadi untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan mana yang terendah (Satay, 1998). Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus (Kinnear dan Taylor, 1991): = Keterangan : α i = Bobot peubah ke – i;
i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke – i;
n = Jumlah peubah
iii) Menentukan peringkat 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor untuk mengindikasikan apakah faktor tersebut menunjukkan kelemahan utama (peringkat=1), atau kelemahan minor (peringkat=2), kekuatan minor (peringkat=3),
atau
kekuatan
utama
(peringkat=4).
Kekuatan
harus
mendapatkan peringkat 3 atau 4 dan kelemahan harus mendapatkan peringkat 1 atau 2. iv) Kemudian masing-masing bobot faktor dikalikan dengan peringkatnya untuk menentukan nilai tertimbang. Selanjutnya dijumlahkan nilai tertimbang dari 41
masing-masing variabel untuk menentukan total nilai tertimbang bagi organisasi. Total skor pembobotan akan berkisar antara 1 sampai 4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan IFE 3,0 - 4,0 berarti kondisi internal pemerintah Kota Bogor tinggi atau kuat, kemudian jika 2,0 - 2,99 berarti kondisi internal pemerintah Kota Bogor rata-rata atau sedang dan 1,0 - 1,99 berarti kondisi internal pemerintah Kota Bogor rendah atau lemah. Matriks EFE (External Factor Evaluation)
Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal pemerintah Kota Bogor. Seperti halnya Matriks IFE, maka Matriks EFE dapat dilakukan dengan tahapan kerja sebagai berikut: i)
Identifikasi faktor eksternal perusahaan kemudian, dilakukan wawancara atau diskusi dengan responden terpilih untuk menentukan apakah faktor-faktor tersebut telah sesuai dengan kondisi eksternal pemerintah Kota Bogor saat ini.
ii) Penentuan bobot pada analisis eksternal perusahaan dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada responden terpilih dengan menggunakan metode paired comparison. Untuk menentukan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, dan 3. 1= Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2= Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal 3= Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal Indikator horisontal dan indikator vertikal adalah peubah-peubah peluang dan ancaman pada faktor strategis eksternal. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian tadi untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan mana yang terendah (Satay, 1998). Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus (Kinnear dan Taylor, 1991): = Keterangan :
42
α i = Bobot peubah ke – i;
i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke – i;
n = Jumlah peubah
iii) Menentukan peringkat 1 hingga 4 untuk masing-masing faktor eksternal kunci tentang seberapa efektif strategi pemerintah Kota Bogor saat ini dalam merespons faktor tersebut, di mana 4 = respons superior, 3 = respons di atas rata-rata, 2 = respons rata-rata, dan 1 = respons jelek. Peringkat didasari pada efektivitas strategi perusahaan. Penting untuk diperhatikan bahwa ancaman dan peluang dapat diberi peringkat 1, 2, 3, atau 4. iv) Nilai dari pembobotan kemudian dikalikan dengan peringkat pada tiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertical untuk memperoleh total skor pembobotan. Total skor pembobotan akan berkisar antara 1 sampai 4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan EFE 3,0 - 4,0 berarti perusahaan
merespon
kuat
terhadap
peluang
dan
ancaman
yang
mempengaruhi perusahaan, kemudian jika 2,0 - 2,99 berarti perusahaan merespon sedang terhadap peluang dan ancaman yang ada dan 1,0 - 1,99 berarti perusahaan tidak dapat merespon peluang dan ancaman yang ada. Matriks IE (Internal-External)
Tahap pencocokan berlandaskan pada informasi yang diturunkan dari tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman ekternal dengan kekuatan dan kelemahan internal. Dalam penelitian ini, tahap pencocokan menggunakan matriks IE berdasarkan hasil matriks EFE dan IFE. Matriks Internal-Eksternal (IE) digunakan untuk mengetahui posisi pemerintah Kota Bogor yang terkait dalam peningkatan penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor. Matriks IFE dan EFE digunakan untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan pada tahap pemaduan. Matriks IE didasari pada dua dimensi kunci, yaitu total rata-rata tertimbang IFE pada sumbu x dan total rata-rata tertimbang EFE pada sumbu y. Pada sumbu x dari matriks IE menggambarkan posisi internal dimana total ratarata tertimbang dari 1,0 hingga 1,99 dianggap rendah; nilai dari 2,0 hingga 2,99 adalah menengah; dan nilai dari 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi. Sedangkan pada sumbu y dari matriks IE menggambrkan posisi eksternal dimana dimana total ratarata tertimbang dari 1,0 hingga 1,99 dianggap rendah; nilai dari 2,0 hingga 2,99 adalah menengah; dan nilai dari 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi.Matriks IE dapat dilihat pada Gambar 4.
43
Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga daerah utama yang memiliki implikasi strategi berbeda (David, 2005). Pertama, rekomendasi untuk divisi yang masuk dalam sel I, II atau IV dapat digambarkan sebagai grow and build (tumbuh dan kembangkan). Strategi intensif atau integratif dapat menjadi paling sesuai untuk divisi-divisi ini. Kedua, divisi yang masuk dalam sel III, V, atau VII dapat dikelola dengan cara terbaik dengan strategi hold and maintain (menjaga dan mempertahankan) strategi yang sudah dijalankan dalam mencapai tujuan , penetrasi pasar dan pengembangan produk adalah dua strategi yang umum digunakan untuk divisi tipe ini. Ketiga, rekomendasi yang umum diberikan untuk divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, dan IX adalah harvest dan divest
Skor bobot total EFE
(tuai atau divestasi).
Tinggi 3,0-4,0 Sedang 2,0-2,99 Rendah 1,0-1,99
Kuat 3,0-4,0 (I) Tumbuh dan Bina (Grow and Build) (IV) Tumbuh dan Bina (Grow and Build) (VII) Pertahankan & Pelihara (Hold and maintain)
Skor bobot total IFE Sedang 2,0-2,99 (II) Tumbuh dan Bina (Grow and Build) (V) Pertahankan dan Pelihara (Hold and maintain) (VIII) Panen dan Lepas (Harvest and divest)
Lemah 1,0-1,99 (II) Pertahankan dan Pelihara (Hold and maintain) (VI) Panen dan Lepas (Harvest and divest) (IX) Panen dan Lepas (Harvest and divest)
Gambar 4 Matriks internal-eksternal (IE). 3.5.3 Strukturisasi ISM
Tahap selanjutnya untuk memperkaya perumusan strategi dilakukan strukturisasi elemen-elemen pendukung, penghambat dan aktor pelaku yang terkait IKM di Kota Bogor menggunakan teknik ISM. Metodologi ISM pertama kali dikembangkan oleh J. Warfield (1973) dan telah luas digunakan untuk menganalisis struktural elemen berdasarkan hubungan kontekstual-nya dengan bantuan program computer (Saxena et al., 1992; Sagheer et al.,2009; Jharkharia, 2011; Mirah, 2007). Metodologi ISM menghasilkan: 1) struktur hirarki elemen sistem dan 2) klasifikasi sub-elemen kunci.
44
Langkah dari teknik ISM adalah: 1) Pemilihan pakar, dalam penelitian ini responden pakar yang terpilih dalam analisa ISM adalah 3 (tiga) orang yaitu Kepala Bidang Dinas Perindustrian Kota Bogor, Kepala Bidang Penguji dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro (ekspertis), Ekspertis dari Departemen Ilmu Pangan IPB. 2) Identifikasi Elemen dan Sub elemen yang terkait dalam program. Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu 1) Sektor masyarakat yang berpengaruh; 2) Kebutuhan dari program; 3) Kendala utama; 4) Perubahan yang dimungkinkan; 5) Tujuan dari program; 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; 8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas dan 9) Lembaga atau aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program. Mengacu ke penelitian sebelumnya yang menggunakan I’SWOT maka dalam penelitian ini dipilih 3 elemen yaitu 1) Kendala utama 2) Pendukung program dan 3) Lembaga/Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program. Sub elemen kendala utama diambil dari hasil identifikasi SWOT merupakan paduan dari faktor kelemahan dan ancaman, sedangkan sub elemen pendukung program diambil dari hasil identifikasi SWOT paduan dari faktor kekuatan dan peluang. Sub elemen lembaga aktor yang terlibat diidentifikasi dari hasil depth interview responden pakar. 3) Menetapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan (agregat). Penentuan hubungan kontekstual antar sub elemen dinyatakan dalam bentuk huruf V, A, X, O sesuai aturan berikut Tabel 4. Dalam penelitian ini, hubungan kontekstual yang digunakan untuk tiap elemen tercantum dalam Tabel 5. Kemudian disusun alat bantu kuisioner yang digunakan untuk mengumpulkan masing- masing pendapat pakar terkait penentuan hubungan kontekstual antar sub elemen. 45
Tabel 4 Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen XAVO Simbol V A X O
Hubungan Kontekstual sub-elemen ke-i mempunyai hubungan dengan subelemen ke-j dan sub-elemen ke-j tidak mempunyai hubungan dengan sub elemen ke-i. sub-elemen ke-j mempunyai hubungan dengan subelemen ke-i dan sub-elemen ke-i tidakmempunyai hubungan dengan sub elemen ke-j. sub-elemen ke-i mempunyai hubungan timbale balik dengan sub-elemen ke-j. sub-elemen ke-i tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan sub-elemen ke-j.
Bentuk Hubungan Matematik Antar Elemen i dan j (eij) Jika eij=1 dan eji=0 Jika eij=0 dan eji=1 Jika eij=1 dan eji=1 Jika eij=0 dan eji=0
Tabel 5 Elemen dan hubungan kontekstualnya yang digunakan Elemen Pendukung Kendala Aktor/pelaku
Hubungan Kontekstual Sub elemen pendukung yang satu mempengaruhi manfaat sub elemen pendukung yang lain Sub elemen penghambat yang satu menyebabkan sub elemen penghambat yang lain Sub elemen pelaku yang satu mempengaruhi bagi sub elemen pelaku yang lain
4) Hasil pendapat pakar terhadap masing-masing hubungan kontekstual dalam sub elemen yang tertuang dalam kuisioner, kemudian informasi tersebut distrukturisasi dalam bentuk matriks yang disebut stuctural self interaction matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar sub-elemen dan elemen-elemen sistem menggunakan bantuan program ISM. 5) Hubungan konstekstual disajikan dalam bentuk structural self interaction matrix (SSIM) kemudian ditransformasi kedalam bentuk matriks bilangan biner (bilangan ‘0’ dan ‘1’). Gambaran kondisi hubungan ISM-VAXO diuraikan seperti pada Tabel 4. Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-j dan ke-i. 6) Selanjutnya dilakukan perhitungan aturan transivity dengan membuat koleksi terhadap SSIM hingga terbentuk matrik yang tertutup yang kemudian diproses lebih lanjut. Revisi transformasi matrik dapat dilakukan dengan 46
menggunakan program komputer. Pengolahan lebih lanjut dari Table Reachability Matrix yang telah memenuhi aturan transivity adalah penetapan pilihan jenjang (level partition). 7) Berdasarkan Table Reachability Matrix final dapat diketahui nilai driver power, dengan menjumlahkan nilai sub elemen secara horizontal, dimana nilai rangking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil, sedangkan nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai sub elemen secara vertical dan nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. 8) Melakukan klasifikasi sub elemen digolongkan dalam empat sektor yaitu: a.Sektor I (Weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan system. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen. b.Sektor 2 (weak driver-strongly dependent variables). Pada umumnya sub elemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D< 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen. c.Sektor 3 (strong driver- strongly dependent variabels (Linkage). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen. d.Sektor 4 (strong driver-weak dependent variabels (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X , X adalah jumlah sub elemen.
Analisis matriks dari
klasifikasi sub elemen disajikan pada Gambar 5.
47
9) Struktur sistem berbentuk hirarki dan hubungan antar elemen selanjutnya dibangun berdasarkan RM. Dependent Variable
Linkage Variable
SEKTOR II
SEKTOR III
Daya Dorong (Drive Power) Autonomous Variable
SEKTOR I
Independent Variable
SEKTOR IV
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 5 Matriks klasifikasi sub – elemen berdasarkan tingkat pengaruh dan ketergantungan (Marimin, 2004)
3.5.4 Perumusan Strategi (Matriks I’SWOT)
Tahap selanjutnya adalah perumusan strategi peningkatan penerapan GMP produk IKM roti menggunakan matriks ISM-SWOT (I’SWOT) dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang dihadapi dalam serta hasil analisis ISM strukturisasi elemen kunci pendukung, penghambat serta aktor pelaku. Dari analisis IFE dan EFE dan strukturisasi elemen kunci maka hasilnya dimasukkan ke matriks I’SWOT. Strategi dikembangkan berdasarkan pertimbangan elemen kunci strukturisasi elemen kunci pendukung, penghambat serta aktor pelaku , hasil nilai EFE dan IFE tertinggi dan berpotensi dikembangkan di masyarakat. Keempat tipe strategi di kembangkan yang adalah : 1.
Strategi S-O, strategi ini menggunakan kekuatan internal untuk meraih peluang-peluang yang ada.
2. Strategi W-O, strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. 3. Strategi S-T, strategi ini berusaha untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal dengan menggunakan kekuatan yang dimilikinya. 4. Strategi W-T, strategi ini merupakan suatu cara untuk bertahan dengan mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. 48
Formulasi penyusunan strategi menggunakan matriks I’SWOT dengan empat tipe strategi seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks I’SWOT Internal
Strengths (S) Kekuatan internal yang merupakan elemen kunci
Weaknesses (W) Kelemahan internal yang merupakan elemen kunci
Opportunities (O) Peluang eksternal yang merupakanelemen kunci
Strategi (S-O) Ciptakan strategi menggunakan kekuatan Untuk memanfaatkan peluang
Threats (T) Ancaman eksternal yang merupakan elemen kunci
Strategi (S-T) Ciptakan strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi (W-O) Ciptakan strategi meminimalkan kelemahan untukmemanfaatkan peluang Strategi (W-T) Ciptakan strategi meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Eksternal
49
4. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 4.1 Potensi IKM Makanan Kota Bogor Berdasarkan besarnya kontribusi sektor-sektor perekonomian dalam pembentukan PDRB Kota Bogor, sektor industri merupakan sektor kedua dimana tahun 2005 peran sektor industri sekitar 28, 10% atas dasar harga konstan tahun 2000, dimana pada tahun 2009 peran tersebut meningkat menjadi 28,25%. Struktur perekonomian Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 37,16% dan sektor industri pengolahan (sub sektor non migas) sebesar 25,90% dimana kedua sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, industri dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu Kelompok Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan serta yang kedua adalah Kelompok Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka.
Kelompok Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan
kemudian dibagi lagi menjadi sub bagian yaitu makanan, minuman, kayu olahan dan rotan, pulp dan kertas, bahan kimia dan karet, bahan galian non Logam, dan kimia seperti diperlihatkan pada Lampiran 4. Perkembangan jumlah industri di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007-2009 baik untuk jumlah industri kecil formal maupun non formal (Gambar 6). Industri formal adalah industri yang telah memenuhi persyaratan legalitas/ijin terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor.
Gambar 6 Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal di Kota Bogor (2007-2009) 51
Jumlah industri kecil non formal lebih banyak daripada industri kecil formal. Hal yang sama terlihat pada struktur industri Kota Bogor tahun 2011 masih didominasi oleh industri kecil yaitu industri kecil non formal berjumlah 2.295 unit usaha (66%), industri kecil formal berjumlah 1.046 unit usaha (30%) dan industri besar-menengah berjumlah 143 unit usaha (4%). Pada tahun 2011, jumlah industri kecil di Kota Bogor yang terlibat dalam pengolahan makanan total sebanyak 1.366 unit usaha. Terdapat peningkatan jumlah sebesar 16,89% untuk industri kecil formal dan 3,95% untuk industri kecil non formal pada tahun 2009-2011 (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah industri makanan di Kota Bogor tahun 2009 – 2011 Jumlah Unit Usaha Kategori Industri Makanan I. Industri Besar dan Menengah II. Industri Kecil Formal II.Industri Kecil Non Formal Jumlah
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Prosentase Peningkatan (2009-2011) (%)
25
25
25
0,00
225
240
263
16,89
1.037
1.057
1.078
3,95
1.287
1.322
1.366
6,14
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)
Dua indikator pertumbuhan industri utama yaitu jumlah tenaga kerja dan nilai investasi pada tahun 2009- 2011 mengalami pergerakan positif. Jumlah total tenaga kerja pada sektor industri makanan meningkat sebesar 3,91 % yang terdiri dari 5,63% pada industri kecil formal dan 4,65% pada industri kecil non formal. Sedang industri besar dan menengah mengalami penurunan 1,2% (Tabel 8). Tabel 8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri makanan di Kota Bogor tahun 2009 – 2011 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Kategori Industri Makanan I. Industri Besar dan Menengah II. Industri Kecil Formal II.Industri Kecil Non Formal Jumlah
Tahun 2009
Tahun 2010
1.422
1.422
1.405
-1,20
2.167
2.213
2.289
5,63
4.793
4.895
5.016
4,65
8.382
8.530
8.710
3,91
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)
52
Tahun 2011
Prosentase Peningkatan (2009-2011) (%)
Realisasi investasi industri makanan pada tahun 2009-2011 meningkat sebesar Rp 1.727.031.000 (17,4%) pada industri kecil formal dan sebesar Rp. 128.682.250,- ( 12,62 %) pada industri kecil non formal, sedang pada industri besar dan menengah mengalami penurunan investasi sebesar 5, 43 % (Tabel 9). Tabel 9 Perkembangan nilai investasi industri makanan di Kota Bogor tahun 2009 – 2011 Nilai Investasi (Rp) Kategori Industri Makanan I. Industri Besar dan Menengah II. Industri Kecil Formal II.Industri Kecil Non Formal Jumlah
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
29.763.047.278
30.171.184.400
28.146.024.400
Prosentase Peningkatan (2009-2011) (%) -5,43
9.926.348.800
10,620.830.800
11.653.379.800
17,4
1.019.265.388
1.082.969.470
1.147.947.638
12,62
40.708.661.466
31.254.153.870
40.947.351.838
0,59
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)
4.2 Pontensi IKM Roti Kota Bogor Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor (Lampiran 5) terdapat 46 industri kecil formal yang bergerak pada pembuatan roti di Kota Bogor, dimana kapasitas produksi per tahun dan nilai investasi dari industri kecil tersebut bervariasi. Nilai Investasi ini terdiri dari nilai : mesin / peralatan, modal kerja selama 4 bulan meliputi: bahan baku, upah/gaji dan lain-lain (biaya air, listrik, telepon). Industri pangan roti di Kota Bogor bila dikelompokkan berdasarkan interval / range investasi Rp. 50 juta, mayoritas berada pada nilai investasi di bawah Rp. 50 juta berjumlah 36 industri (78,3%) (Tabel 10). Sisanya adalah industri dengan nilai investasi lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta sebanyak 10 industri. Pengelompokan ini mengacu kepada pengelompokan usaha mikro dan usaha kecil berdasarkan Undang- undang No. 20 tahun 2008. Jika dilihat pengelompokan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja menurut definisi Biro Pusat Statistik, industri rumah tangga adalah unit usaha dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang. Mayoritas industri roti di Kota Bogor adalah industri kecil dengan 53
Tabel 10 Distribusi jumlah industri roti di Kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan nilai investasi No 1
Pengelompokan Nilai Investasi (RP) Nilai Investasi s.d Rp.50.000.000
Jumlah Unit Usaha 36
Prosentase (%) 78,3
2 3 4 5
Rp. 50.000.001 - Rp.100.000.000 Rp. 100.000.001 - Rp.150.000.000 Rp. 150.000.000 - Rp.200.000.000 Rp.200.000.001 atau lebih
3 2 1 4
6,5 4,3 2,2 8,7
Total
46
Sumber : Disperindag Kota Bogo (2011) diolah
Tabel 11 Distribusi jumlah industri roti di Kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja Jumlah Tenaga Kerja No (orang) 1 1 s/d 4 2 5 s/d 19 3 20 keatas Total
Jumlah Unit Usaha 8 31 7 46
Prosentase (%) 17,4 67,4 15,2
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011) diolah
jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang sebanyak 31 industri (67%) dan sisanya industri rumah tangga dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang sebanyak 8 industri (17,4%) dan industri menengah 7 industri (15,2%) (Tabel 11). 4.3 Kondisi Umum Pemenuhan Aspek GMP / CPPB pada IKM Roti Berdasarkan definisi Peraturan BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012,
yang termasuk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah
perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/WaliKota dan Kepala Daerah. SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/WaliKota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP. 54
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT per tahunnya seperti pada Tabel 12. Rata-rata jumlah industri yang memperoleh SP-PIRT per tahunnya adalah 82 industri dan rata-rata sertifikat produk yang terbit sebanyak 144 buah. Masa berlaku SP-PIRT adalah 5 tahun. Jika industri yang memperoleh SP-PIRT tersebut dijumlahkan seluruhnya yaitu sebanyak 497 maka sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan keseluruhan tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 1.366 industri. Hal tersebut menandakan masih banyak industri yang belum memperoleh SP-PIRT. Tabel 12 Jumlah industri pangan Kota Bogor yang memperoleh SP-PIRT dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor ( 2011) diolah
Untuk memperoleh SP-PIRT maka Industri Rumah Tangga Pangan dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib menerapkan CPPB-IRT (Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga). CPPB-IRT ini menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tentang penanganan pangan di seluruh mata rantai produksi mulai dari bahan baku sampai produk akhir yang mencakup : a) Lokasi dan lingkungan produksi; b) Bangunan dan fasilitas; c) Peralatan produksi; d) Suplai air atau sarana penyediaan air; e) Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi; f) Kesehatan dan higiene karyawan; g) Pemeliharaan dan program higiene sanitasi karyawan; h) Penyimpanan; i) Pengendalian proses; 55
j) Pelabelan pangan; k) Pengawasan oleh penanggungjawab; l) Penarikan produk; m) Pencatatan dan dokumentasi; n) Pelatihan karyawan. Persyaratan CPPB-IRT terdiri atas 4 (empat) tingkatan, yaitu: "harus" (shall), “seharusnya”(should), “sebaiknya” (may)
dan "dapat" (can), yang
diberlakukan terhadap semua lingkup yang terkait dengan proses produksi, pengemasan, penyimpanan dan atau pengangkutan pangan IRT dengan rincian sebagai berikut: a) Persyaratan "harus" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan mempengaruhi keamanan produk secara langsung dan / atau merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian kritis; b) Persyaratan "seharusnya" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi keamanan produk, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian serius; c) Persyaratan "sebaiknya" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi efisiensi pengendalian keamanan produk, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian mayor; d) Persyaratan "dapat" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi mutu (wholesomeness) produk, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian minor. Pemeriksaan sarana produksi pangan SP-PIRT didahului dengan pemeriksaan awal dan diikuti dengan pemeriksaan lanjutan. Selama pemeriksaan, petugas didampingi oleh penanggungjawab perusahaan yang diperiksa. Pemeriksaan awal petugas melakukan pemeriksaan singkat yang sifatnya umum tetapi menyeluruh. Pada pemeriksaan lanjutan terdapat 13 (tiga belas) grup yang perlu dinilai selama pemeriksaan yaitu : (A) Lingkungan Produksi, (B) Bangunan dan Fasilitas, (C) Peralatan Produksi, (D) Suplai Air, (E) Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi, (F) Pengendalian Hama, (G) Kesehatan dan Higiene Karyawan, (H) Pengendalian Proses, (I) Label Pangan, (J) Penyimpanan, (K) Manajemen Pengawasan, (L) Pencatatan dan Dokumentasi, dan (M) Pelatihan Karyawan. Formulir yang digunakan seperti tercantum dalam Lampiran 7. Nilai diberikan dalam bentuk 56
kode, yaitu B (Baik), C (Cukup), dan K (Kurang). Masing-masing kelompok diberikan penilaian sendiri-sendiri. Penilaian masing-masing grup pada prinsipnya merupakan rata-rata dari nilai masing-masing unsur dengan memberikan skor 3, 2 dan 1 masingmasing untuk B, C dan K. Kemudian dilakukan pembulatkan hasil rata-ratanya ke atas atau kebawah untuk mendapatkan hasil penilaian. Diantara 12 grup terdapat 4 (empat) grup yang dianggap lebih penting dibandingkan dengan 8 (delapan) grup lainnya. Keempat grup ini dikategorikan sebagai kelompok utama dalam pemeriksaan yang terdiri dari : a. Grup D – Suplai air b. Grup F – Pengendalian Hama c. Grup G – Kesehatan dan higiene karyawan d. Grup H – Pengendalian proses Penilaian mutu didasarkan atas hasil penilaian ke 12 grup yang tercantum pada formulir pemeriksan. Cara perhitungan dalam penilaian mutu adalah sebagai berikut : •
Baik : Jika 4 (empat) grup utama, yaitu :
Grup D (Suplai air), Grup F
(Pengendalian Hama ), Grup G ( Kesehatan dan higiene karyawan ), dan Grup H(Pengendalian proses), semuanya mendapat nilai “Baik” dan grup lainnya maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai “Kurang” •
Cukup : Jika 4 (empat) grup utama, mendapat nilai “Baik” atau “Cukup” dan grup lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai “Cukup”
•
Kurang : Jika tidak memenuhi kriteria Cukup Data
hasil
pemeriksaan
SP-PIRT
tahun
2006-2010
memperlihatkan bahwa prosentase hasil penilaian SP-PIRT
(Gambar
7)
sebagian besar
termasuk skala “cukup” dan terdapat peningkatan prosentase skala “ kurang” pada periode 2008-2010. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak IRTP yang belum memenuhi keseluruhan aspek CPPB-IRT dengan baik. Berdasarkan data BPOM terhadap penilaian 13 parameter/ Grup CPPB-IRT di 21 Propinsi (tahun 2003-2005) dengan variasi produk yang dihasilkan IRTP terdapat pola kecendenderungan seperti Gambar 8. Berdasarkan data tersebut, aspek yang cenderung rendah pemenuhannya oleh IKM yaitu grup a) Lokasi dan 57
lingkungan produksi; b) Bangunan dan fasilitas; e) Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi; f) Kesehatan dan higiene karyawan, g) Pemeliharaan dan program higiene sanitasi karyawan; j) Pelabelan pangan; dan m) Pencatatan dan dokumentasi.
Sumber : BPOM (2010)
Gambar 7 Prosentase kategori hasil penilaian SP-PIRT tahun 2006- 2010
Sumber : BPOM (2008)
Gambar 8 Pola kecenderungan hasil pemeriksaan 13 parameter/ grup CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005 58
Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi IRTP roti (tahun 2006-2011) di Kota Bogor oleh petugas inspektor pengawas pangan, menunjukkan 75,51% IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (Lampiran 6). Artinya 4 grup utama yaitu aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan hygiene karyawan, pengendalian proses bernilai baik atau cukup dan grup lainnya bernilai kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP diterapkan dengan baik oleh IRTP roti di kota Bogor. Gambaran aspek pemenuhan persyaratan CPPB-IRT pada IKM roti di Kota Bogor sebagai berikut: 1. Lokasi dan lingkungan produksi Penetapan lokasi produksi perlu mempertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya. Lokasi IKM seharusnya dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau,asap, kotoran, dan debu. Lingkungan seharusnya selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara-cara sebagai berikut :1) Sampah dibuang dan tidak menumpuk, 2) Tempat sampah selalu tertutup, 3) Jalan dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik. Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor memulai usaha dengan lokasi produksi yang digunakan sama atau berdekatan dengan lokasi tempat tinggal tanpa ada pertimbangan khusus. Di Kota Bogor belum ada kawasan yang ditetapkan sebagai lokasi khusus industri pangan, sehingga IKM roti menyebar di berbagai kecamatan Kota Bogor. Kondisi lokasi produksi IKM roti cenderung sulit untuk diubah. Kondisi lingkungan produksi IKM roti juga dipengaruhi
dari kondisi
fasilitas dan sarana yang dikelola oleh pemerintah daerah/desa seperti fasilitas jalan yang tidak berdebu, selokan pembuangan yang berfungsi baik, pengelolaan sampah yang baik. Umumnya fasilitas jalan dan selokan maupun pengelolaan sampah di Kota Bogor cukup baik. 2. Bangunan dan fasilitas Bangunan dan fasilitas IKM seharusnya menjamin bahwa pangan tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia selama dalam proses produksi serta mudah dibersihkan dan disanitasi. Disain dan tata letak ruang produksi sebaiknya 59
cukup luas, mudah dibersihkan dan tidak digunakan untuk memproduksi produk lain selain pangan. Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor kesulitan memenuhi persyaratan terkait bangunan dan fasilitas, mengingat bangunan produksi tidak didesain dari awal untuk produksi pangan yang memenuhi persyaratan GMP namun memanfaatkan bangunan yang sudah ada. Umumnya desain konstruksi sudut pertemuan dinding dengan lantai tidak dibuat landai/ cekung , dinding atau lantai tidak seluruhnya dibuat dari bahan kedap air, rata , halus tetapi tidak licin (Gambar 9). Tata letak di ruang produksi tidak didesain sesuai aliran proses produksi dan mencegah proses kontaminasi. Pintu masuk bahan baku/ karyawan dan pintu keluar produk yang sudah jadi tidak dibuat terpisah. Kondisi lantai masih terdapat yang pecah-pecah
sehingga ada celah sebagai sumber kontaminan.
Dinding atau pemisah ruangan jarang dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, dan kuat. Tidak semua pintu dan jendela
dilengkapi dengan pintu kasa yang dapat dilepas untuk
memudahkan pembersihan dan perawatan (Gambar 10). Di ruang produksi tidak semua IKM selalu menyediakan tempat untuk mencuci tangan yang selalu dalam keadaan bersih serta dilengkapi dengan sabun dan pengeringnya.
Gambar 9 Dinding tidak seluruhnya dari bahan kedap
60
Gambar 10 Jendela tidak dilengkapi pintu kasa yang mudah dibersihkan
3. Peralatan produksi Tata letak peralatan produksi seharusnya diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan sebaiknya didesain, dikonstruksi,
dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan
keamanan pangan yang dihasilkan. Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, tidak beracun, mudah dipindahkan atau dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan dan dipelihara serta memudahkan pemantauan dan pengendalian hama. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan harus halus, tidak bercelah atau berlubang, tidak mengelupas, tidak berkarat dan tidak menyerap air.
Alat ukur/timbang seharusnya dipastikan keakuratannya, terutama alat
ukur/timbang bahan tambahan pangan (BTP). Sering kali IKM roti tidak cermat meletakkan peralatan proses produksinya sesuai dengan urutan prosesnya sehingga memudahkan bekerja secara higiene, memudahkan pembersihan dan perawatan serta mencegah kontaminasi silang. Misal penempatan peralatan proses produksi yang di dekat jendela yang terbuka tanpa kasa cenderung dapat menyebabkan kontaminsi silang (Gambar 12). Tidak semua peralatan dipelihara, diperiksa dan dipantau agar berfungsi dengan baik dan selalu dalam keadaan bersih (Gambar 11).
Gambar 11 Peralatan proses produksi yang tidak terpelihara kebersihannya
Gambar 12 Letak peralatan proses produksi di sebelah jendela berpotensi kontaminasi
61
4.Suplai air atau sarana penyediaan air Sumber air bersih untuk proses produksi sebaiknya cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan / atau air minum. Air yang digunakan untuk proses produksi harus air bersih dan sebaiknya dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi. Umumnya IKM roti Kota Bogor menggunakan suplai air dari PDAM atau dari mata air tanah. Kualitas air yang ada di Bogor relatif tidak bermasalah.
PDAM secara rutin melakukan pengujian
laboratorium terhadap kualitas air yang disalurkan ke pelanggannya. Pengujian di laboratorium dibutuhkan untuk membuktikan pemenuhan persyaratan kualitas air yang
digunakan
sesuai
standar
kualitas
air
menurut
PerMenKes
No.
907/MenKes/SK/Per./VII/2002. 5. Fasilitas serta kegiatan higiene dan sanitasi Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. Sarana pembersihan / pencucian bahan pangan, peralatan, perlengkapan dan bangunan (lantai, dinding dan lain-lain sebaiknya tersedia dan terawat dengan baik. Sarana higiene karyawan seperti fasilitas untuk cuci tangan dan toilet / jamban seharusnya tersedia dalam jumlah cukup dan dalam keadaan bersih untuk menjamin kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi terhadap bahan pangan. Sistem pembuangan limbah seharusnya didesain dan dikonstruksi sehingga dapat mencegah resiko pencemaran pangan dan air bersih. Sarana toilet / jamban seharusnya: a) didesain dan dikonstruksi dengan memperhatikan persyaratan higiene, sumber air yang mengalir dan saluran pembuangan; b) diberi tanda peringatan bahwa setiap karyawan harus mencuci tangan dengan sabun sesudah menggunakan toilet; c) terjaga dalam keadaan bersih dan tertutup; d) mempunyai pintu yang membuka ke arah luar ruang produksi. Pada IKM roti di Kota Bogor masih ada yang belum mempunyai sarana cuci tangan di dekat ruang produksi yang selalu dilengkapi air bersih dan sabun cuci tangan , alat pengering tangan seperti handuk, lap atau kertas serap yang bersih (Gambar 13). Pada Gambar 14, terlihat masih ada IKM yang belum tertib melakukan
pembersihan/pencucian dan penyucihamaan peralatan produksi
seharusnya dilakukan secara rutin setiap habis digunakan. 62
Gambar 13 Belum tersedia sarana cuci tangan di dekat ruang produksi
Gambar 14 Pembersihan peralatan proses produksi yang tidak rutin dilakukan
6. Kesehatan dan higiene karyawan Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa karyawan yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran. Karyawan yang bekerja di bagian pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Dalam keadaan sehat, jika sakit atau baru sembuh dari sakit dan diduga masih membawa penyakit tidak diperkenankan masuk ke ruang produksi; 2) Jika menunjukkan gejala atau menderita penyakit menular, misalnya sakit kuning (virus hepatitis A), diare, sakit perut, muntah, demam, sakit tenggorokan, sakit kulit (gatal, kudis, luka, dan lain-lain), keluarnya cairan dari telinga (congek), sakit mata (belekan), dan atau pilek tidak diperkenankan masuk ke ruang produksi. Karyawan yang menangani pangan harus menutup luka di anggota tubuh dengan perban khusus luka Karyawan yang menangani pangan seharusnya mengenakan pakaian kerja yang bersih. Pakaian kerja dapat berupa celemek, penutup kepala, sarung tangan, masker dan / atau sepatu kerja. Namun tidak semua pekerja IKM roti di Kota Bogor roti selalu patuh menggunakan penutup kepalam sarung tangan seperti terlihat pada Gambar 15. Karyawan tidak selalu mencuci tangan dengan sabun sesudah menangani bahan mentah, atau bahan / alat yang kotor, dan sesudah ke luar dari toilet / jamban. Masih terlihat karyawan yang bekerja makan dan minum, merokok di ruang produksi. Karyawan di bagian pangan ada yang mengenakan perhiasan seperti anting, cincin, gelang, kalung, jam tangan, bros dan peniti atau 63
benda lainnya yang dapat membahayakan keamanan pangan yang diolah. Hal ini sering dilanggar karena kurangnya kesadaran dan pemahaman pekerja.
Gambar 15 Pekerja pengolah pangan yang tidak menggunakan tutup kepala dan sarung tangan 7. Pemeliharaan dan program higiene dan sanitasi Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin / peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah. Program higiene dan sanitasi seharusnya menjamin semua bagian dari tempat produksi telah bersih, termasuk pencucian alat-alat pembersih. Program higiene dan sanitasi seharusnya dilakukan secara berkala serta dipantau ketepatan dan keefektifannya dan jika perlu dilakukan pencatatan. Pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan. Belum seluruhnya IKM mempunyai jendela, pintu dan lubang ventilasi yang telah dilapisi dengan kawat kasa untuk menghindari masuknya hama serta menutup lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama. Mengingat lokasi produksi IKM roti umumnya menjadi satu dengan lokasi tempat tinggal, maka masih memungkinkan ditemui adanya hewan peliharaan seperti anjing, kucing, ayam dan burung berkeliaran di sekitar/ di dalam ruang produksi. 8. Penyimpanan Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan. 64
Penyimpanan bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup. Penyimpanan bahan baku (Gambar 16) tidak boleh menyentuh lantai, menempel ke dinding maupun langit-langit (Gambar ). Penyimpanan bahan dan produk akhir harus diberi tanda dan menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan sistem First Expired First Out (FEFO), yaitu bahan yang lebih dahulu masuk dan / atau memilki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu dan produk akhir yang lebih dahulu diproduksi harus digunakan / diedarkan terlebih dahulu. Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan ditempat kering, misalnya garam, gula, dan rempah-rempah bubuk. Bahan berbahaya seperti sabun pembersih, bahan sanitasi, racun serangga, umpan tikus, dan lain-lain harus disimpan dalam ruang tersendiri dan diawasi agar tidak mencemari pangan. Bahan pengemas (Gambar 17) harus disimpan terpisah dari bahan baku dan produk akhir. Label pangan harus disimpan di tempat yang bersih dan jauh dari pencemaran. Penyimpanan mesin / peralatan produksi yang telah dibersihkan tetapi belum digunakan harus di tempat bersih dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan peralatan menghadap ke bawah, supaya terlindung dari debu, kotoran atau pencemaran lainnya.
Gambar 16 Penyimpanan bahan baku
Gambar 17 Penyimpanan kemasan
9. Pengendalian proses Pengendalian proses produksi pangan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Penetapan spesifikasi bahan; b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; c) Penetapan cara produksi yang baku ; d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan; e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluwarsa. 65
Bahan yang digunakan seharusnya dituangkan dalam bentuk formula dasar yang menyebutkan jenis dan persyaratan mutu bahan. Jika menggunakan bahan tambahan pangan (BTP), harus menggunakan BTP yang diizinkan sesuai batas maksimum penggunaannya. Air yang merupakan bagian dari pangan maupun yang kontak dengan bahan pangan seharusnya memenuhi persyaratan air minum atau air bersih sesuai peraturan perundangundangan. IKM harus membuat bagan alir atau urut-urutan proses secara jelas kondisi baku dari setiap tahap proses produksi, seperti misalnya berapa menit lama pengadukan, berapa suhu pemanasan dan berapa lama bahan dipanaskan. 10. Pelabelan pangan Kemasan pangan diberi label yang jelas dan informatif untuk memudahkan konsumen dalam memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengonsumsi pangan IRT. Label pangan IRT tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan atau klaim gizi. Label pangan IKM belum seluruhnya telah memuat sekurang-kurangnya hal berikut yang dipersyaratkan: a) Nama produk sesuai dengan jenis pangan IRT yang ada di Peraturan Kepala Badan POM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. b) Daftar bahan atau komposisi yang digunakan c) Berat bersih atau isi bersih d) Nama dan alamat IRTP e) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa f) Kode produksi g) Nomor P-IRT. 11. Pengawasan oleh penanggungjawab Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsipprinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang ditanganinya dengan pembuktian kepemilikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (Sertifikat PKP). 12. Penarikan produk Pemilik IRTP harus menarik produk pangan dari peredaran jika diduga menimbulkan penyakit / keracunan pangan dan / atau tidak memenuhi persyaratan 66
peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Penanggung jawab IRTP mempersiapkan prosedur penarikan produk pangan. 13. Pencatatan dan dokumentasi Pemilik seharusnya mencatat dan mendokumentasikan : 1) Penerimaan bahan baku, bahan tambahan pangan (BTP), dan bahan penolong sekurang-kurangnya memuat nama bahan, jumlah, tanggal pembelian, nama dan alamat pemasok; 2) Produk akhir sekurang-kurangnya memuat nama jenis produk, tanggal produksi, kode produksi, jumlah produksi dan tempat distribusi / penjualan; 3) Penyimpanan, pembersihan dan sanitasi, pengendalian hama, kesehatan karyawan, pelatihan, distribusi dan penarikan produk dan lainnya yang dianggap penting. Catatan dan dokumen dapat disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang dihasilkan. Catatan dan dokumen yang ada sebaiknya dijaga agar tetap akurat dan mutakhir. Pada umumnya IKM mempunyai kelemahan dalam dokumentasi karena terbatasnya tenaga kerja serta waktu yang tersedia, kurangnya disiplin dalam pencatatan. 14. Pelatihan karyawan Pemilik / penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti penyuluhan tentang Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT)/.
Pemilik / penanggung jawab tersebut harus menerapkannya serta
mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada karyawan yang lain. Pada umumnya IKM mempunyai kelemahan dalam kegiatan pelatihan tenaga kerja karena terbatasnya dana, kemampuan serta waktu yang tersedia. IKM cenderung menggunakan fasilitas pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah secara cuma-cuma. 4.4 Instansi Pembina dan Pengawas IKM terkait GMP Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi
rumah
tangga
merupakan
urusan
pemerintahan
yang
wajib
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Program pembinaan IRTP terkait hal keamanan pangan banyak dilakukan oleh Badan POM yang 67
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 43 mengamanatkan pengawasan dan pembinaan IRTP kepada Bupati/Walikota, dalam hal ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Daerah. Pembinaan teknologi, manajemen dan permesinan IKM banyak dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Daerah. Dinas kesehatan daerah Kota Bogor Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan otonomi pemerintah di bidang kesehatan yang menjadi Urusan Rumah Tangga Daerah. Dinkes mempunyai fungsi antara lain mencakup pengembangan
dan
pembinaan
pelayanan
kesehatan,
pencegahan
dan
pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan keluarga dan penyuluhan kesehatan serta pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum. Struktur organisasi Dinkes Kota Bogor ,berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor No. 13 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lampiran 2, mencakup : a. Kepala Dinas ; b. Sekretariat, membawahi : 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian ; 2. Sub Bagian Keuangan ; 3. Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan . c. Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat, membawahi : 1. Seksi Promosi Kesehatan ; 2. Seksi Peran Serta Masyarakat ; 3. Seksi Pembiayaan Kesehatan Masyarakat . d. Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, membawahi : 1. Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular ; 2. Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular ; 3. Seksi Penyehatan Lingkungan . e. Bidang Pembinaan Kesehatan Keluarga, membawahi : 1. Seksi Kesehatan Ibu dan Anak ; 2. Seksi Kesehatan Remaja dan Lansia ; 3. Seksi Gizi . 68
f. Bidang Pelayanan Kesehatan, membawahi : 1. Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan ; 2. Seksi Pembinaan dan Pengendalian Sarana Kesehatan Swasta ; 3. Seksi Perbekalan Kesehatan, Pengawasan Obat dan Makanan . g. UPTD Puskesmas (jumlah 24) ; h. UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA) . Pada Seksi Perbekalan Kesehatan Pengawasan Obat dan Makanan POM (Perbekas) salah satu tugasnya adalah menjalankan pembinaan dan pengawasan SPPIRT melalui kegiatan Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan kegiatan Pengawas Keamanan Pangan Kota / Food District Inspector (FDI). Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai kualifikasi PKP yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya dalam produksi pangan dan diberi tugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan dari organisasi yang kompeten. Pengawas Pangan Kabupaten/Kota (District Food Inspector/DFI) adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai kualifikasi DFI, yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya dalam produksi pangan dan diberi tugas untuk melakukan pengawasan keamanan pangan IRTP dalam rantai pangan dari organisasi yang kompeten. Sumberdaya pada Seksi Perbekas ini saat ini memiliki 4 tenaga PKP yang aktif bertugas , dimana 3 orang tersebut juga merangkap sebagai tenaga Pengawas Pangan Kota (DFI) . Latar belakang pendidikan sumberdaya yang ada adalah semua Sarjana S1 bidang Farmasi. Selain itu sumberdaya yang sama dihunakan untuk melaksanakan tugas dalam pembinaan dan pengawasan obat-obatan. Sumber dana untuk kegiatan penyuluhan diperoleh dari APBD Kota Bogor dan penarikan biaya pendaftaran SP-PIRT sebesar Rp. 300.000,-/pendaftar. Namun sejak tahun 2011, kebijakan biaya pendaftaran SP-PIRT telah dihapus. Alokasi dana yang ada pada Seksi Perbekas tahun 2012 kurang lebih 150 juta dengan proporsi pendanaan untuk kegiatan penyuluhan dan pengawasan pangan hanya sebesar kurang-lebih 75 juta. Target output sarana produksi pangan yang terbina sebanyak 100 buah. Hal ini antara lain menyebakan kegiatan penyuluhan terbatas
69
dan pengawasan (survailen) yang seharusnya dilakukan setahun sekali tidak dapat dilaksanakan. Kegiatan penyuluhan keamanan pangan umumnya dilakukan Dinkes Kota Bogor 3-4 kali dalam jangka waktu setahun, dengan batasan peserta 20-30 orang setiap kegiatan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan kepada pemilik atau penanggung jawab IRTP. Penyuluhan dilakukan selama 2 (dua ) hari dengan materi yang umum digunakan dalam kegiatan penyuluhan keamanan pangan terdiri dari : (1) Materi Utama mencakup : a) Peraturan perundang-undangan di bidang pangan; b) Keamanan dan Mutu pangan; c) Teknologi Proses Pengolahan Pangan; d) Prosedur Operasi Sanitasi yang Standar /SSOP); e) Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT); f) Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP); g) Persyaratan Label dan Iklan Pangan. (2) Materi Pendukung mencakup : a) Pencantuman label Halal; b) Etika Bisnis dan Pengembangan Jejaring Bisnis IRTP. Bahan untuk penyuluhan yang diberikan kepada peserta berupa “hand out” presentasi materi, dan belum ada publikasi lain yang diterbitkan dalam kegiatan penyuluhan. Kegiatan penilaian pemeriksaan sarana produksi dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Kegiatan pemeriksaan hanya dilakukan oleh tenaga FDI yang ada di Seksi Perbekas Dinkes Kota Bogor. Lama pemeriksaan sekitar 1 atau 2 hari tergantung luasan atau kompleksitas sarana produksi yang diperiksa. Laporan hasil pemeriksaan sarana produksi menjadi dasar untuk dapat diterbitkan SP-PIRT ditembuskan kepada Pusat Pelayanan Ijin Terpadu Kota Bogor yang akan menerbitkan sertifikat dan ijin nomor pendaftaran produk. Dinas perindustrian dan perdagangan Kota Bogor Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Lampiran 3) terdiri dari: Kepala Dinas, Sekretaris, dan 3 (tiga) Kepala Bidang dengan rincian sebagai berikut : 1. Sekretaris membawahi : Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; Sub Bagian Keuangan; dan Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.
70
2. Bidang Perindustrian membawahi: Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan; Seksi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka; Seksi Industri kima. 3. Bidang Perdagangan membawahi : Seksi Perdagangan Dalam Negeri; Seksi Perdagangan Luar Negeri; dan Seksi Perlindungan Konsumen. 4. Bidang Metrologi membawahi : Seksi Ukur Arus, Panjang, Volume dan Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT); Seksi Masa dan Timbangan; Seksi Penyuluhan dan Pengawasan Kemetrologian. Bidang yang membidangi kegiatan pembinaan IKM makanan adalah bidang perindustrian
khususnya Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan . Pada bidang
perindustrian, jumlah SDM aparatur di tahun 2012, adalah sebanyak 13 orang PNS. Jumlah SDM aparatur yang merupakan pasca sarjana adalah sebanyak 3 orang , lulusan sarjana S1 sebanyak 4 orang , lulusan Diploma III sebanyak 1 orang, lulsan setingkat SLTA sebanyak 4 orang dan lulusan setingkat SLTP sebanyak 1 orang. Khusus SDM pada Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan hanya ada 2 (dua ) orang. Anggaran belanja untuk urusan perindustrian di tahun 2011 adalah sebesar Rp 725 juta, namun alokasi anggaran belanja untuk bidang Sekretariat lebih besar dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk bidang substantif, yaitu porsinya di atas sebesar 70 persen dari total anggaran belanja di instansi tersebut. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor proaktif dalam melakukan pembinaan kepada IKM, terlihat dari capaian indikator kinerja. Terdapat dua indikator kinerja yang telah ditentukan dalam RPJMD, yaitu jumlah industri kecil dan menengah (IKM), dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah industri yang memanfaatkan teknologi tepat guna, dengan target sebanyak 750 unit IKM. Jenis kegiatan yang telah dilakukan antara lain memfasilitasi IKM mendapat sertifikasi halal, memfasilitasi IKM mendapatkan sertifikasi SP-PIRT, pelatihan dan bimbingan teknis untuk penerapan GMP/ HACCP/SNI, pameran produk IKM, memfasilitasi
promosi
produk
IKM
serta
memfasilitasi
terbentuknya
wadah/asosiasi IKM. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dalam kegiatannya terlait
keamanan pangan
telahi berkoordinasi/ melibatkan Dinas
Kesehatan Kota Bogor khususnya Seksi Perbekalan Kesehatan, Pengawasan Obat dan Makanan. 71
72
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal Analisis terhadap lingkungan internal pemerintah dan industri roti di Kota Bogor teridentifikasi beberapa faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan yang dapat mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Pratices di industri roti-kue di Kota Bogor. Analisis ini berdasarkan hasil depth interview dengan para pakar/pelaku dan kajian literatur. Faktor-faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan dan kelemahan tercantum dalam Tabel 13. Tabel 13 Faktor-faktor lingkungan internal No
Faktor Lingkungan Internal Kekuatan (Strenghts)
1
Lokasi Kota Bogor yang strategis menarik
2
Sektor industri makanan-minuman menjadi sektor basis perekonomian Bogor
3
Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4
Dukungan sarana dan prasarana kota memadai
5
Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
6
Sumber keuangan daerah cukup baik
7
Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Kelemahan (Weakness)
1 2
Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan DFI masih terbatas
3
Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
4
Keterbatasan modal IKM
5
Media informasi/ publikasi masih terbatas
6
Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga kerja di IKM
7
Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan regular
5.1.1 Kekuatan Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu : 1.
Lokasi Kota Bogor yang strategis Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
dengan kondisi geografis yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya di Jabodetabek, serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, 73
merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Lokasi yang berdekatan dengan ibu kota Jakarta juga memudahkan akses sumber informasi di pemerintahan pusat ibu kota seperti BPOM, Kementerian Perindustrian, Kementrian UKM, dan lainnya. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di pusat kota serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata Puncak - Cianjur menjadikan Kota Bogor sebagai salah satu alternatif pusat perbelanjaan, perdagangan dan wisata kuliner bagi masyarakat Kota Bogor dan sekitarnya. Kota Bogor masih memberikan daya tarik yang besar bagi para wisatawan. Hal itu terlihat dari tingkat kunjungan wisatawan ke Kota Bogor di tahun 2011 yang mencapai 3.264.169 orang yang terdiri dari 3.112.414 wisatawan lokal dan 151.755 wisatawan mancanegara. Dengan demikian, kunjungan wisatawan tahun 2011 tumbuh sebesar 10,02% dibandingkan kunjungan wisatawan di tahun 2010 yang mencapai 2.967.426 orang (Bapeda, 2010). Tempat wisata di Kota Bogor yang menjadi tujuan para wisatawan diantaranya: Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Museum Zoologi, Museum Etnobotani, Prasasti Batu tulis, Danau Situgede, Taman Topi (Plaza Kapten Muslihat), Museum Tanah, Museum PETA, Museum Perjuangan, dan Wisata Air The Jungle. Lokasi strategis menciptakan peluang pasar bagi produk industri IKM roti di Kota Bogor. Hal ini juga berdampak baik bagi perkembangan ekonomi industri roti di Kota Bogor. 2.
Sektor industri makanan menjadi sektor basis perekonomian Bogor Berdasarkan data BPS Kota Bogor, sektor kedua yang dominan dalam
pembentukan PDRB Kota Bogor periode 2005-2009 adalah sektor industri pengolahan dengan laju 27,97 %. Pada sektor industri pengolahan, sub sektor dominan adalah sektor makanan, minuman dan tembakau dengan jumlah industri terbanyak. Berdasarkan data sensus industri tahun 2011, selama jangka waktu tahun 2005-2009 sektor makanan dan minuman menunjukan: 1) Peningkatan jumlah output terbesar dibanding sektor lain mencapai 595 juta rupiah; 2) Peningkatan nilai tambah dari 55,82 juta rupiah menjadi 435,07 juta rupiah (7,79 kali lipat).
74
Industri makanan dan minuman termasuk dalam kategori industri penggerak perekonomian Kota Bogor. Adapun ciri-ciri kelompok industri penggerak perekonomian antara lain: 1) Menggunakan bahan baku lokal (atau bahan baku yang mudah diperoleh; 2) Cara memproduksinya tidak sulit dikuasai oleh masyarakat setempat , karena berbasis talenta dan ketrampilan daerah ataupun kalau membutuhkan alih tehnologi akan mudah dilakukan atau tidak menuntut ketrampilan tinggi; 3) Sebagian besar produknya dapat diserap oleh pasar lokal/domestik, atau tidak memerlukan pemasaran yang sulit; 4) Mempunyai potensi untuk dikembangkan, apabila memungkinkan dikembangkan sebagai produk unggulan daerah (Bapeda, 2010). 3. Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi Pemerintah Kota Bogor telah memiliki laboratorium uji terakreditasi KAN (No akreditasi LP-443-IDN ) yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan yang beralamat di Jl. Kesehatan No. 3 Tanah Sareal Kota Bogor . Ruang lingkup yang dimiliki antara lain untuk pengujian kimia/fisika air dan air limbah, mikrobiologi makanan dan minuman, bahan tambahan/pengawet/pewarna makanan, hygiene dan sanitasi. Biaya pengujian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor No. 4 Tahun 2006. Pengujian di laboratorium dibutuhkan dalam membuktikan pemenuhan persyaratan pada penerapan GMP seperti pengujian kualitas air yang digunakan sesuai standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002; pengujian cemaran mikroba dan kimia sesuai Peraturan Kepala Badan POM RI No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan; pengujian laboratorium untuk memeriksa status kesehatan pekerja. 4. Memiliki dukungan sarana dan prasarana kota memadai Kota Bogor telah memiliki kualitas dan jaringan air bersih (PDAM) yang cukup baik untuk mendukung operasional industri roti dalam pemenuhan sumber air untuk proses produksi . Baku mutu air minum yang dipersyaratkan dalam penerapan GMP harus memenuhi standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002. Tingkat pelayanan Air minum oleh PDAM Tirta Pakuan melalui sambungan langsung (SR) pada tahun 2008 sebesar 98,72% (RPJMD Kota Bogor, 2010-2014). 75
Data Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (tahun 2008) menunjukan jaringan jalan Kota Bogor sepanjang 783,412 km yang dalam kondisi baik sekali sepanjang 255,046 km dan kondisi baik sepanjang 428,222 km. Di Kota Bogor terdapat satu stasiun, empat terminal kendaraan umum yaitu terminal Baranangsiang, terminal Merdeka, terminal Bubulak dan terminal Laladon. Aksesbilitas jalan dan kereta api di Kota Bogor yang cukup baik menghubungkan dengan wilayah eksternal mendukung potensi pemasaran industri roti. Jaringan listrik di Kota Bogor tersedia cukup baik dimana jumlah pelanggan dan daya tersambung setiap kecamatan hampir merata, yang paling rendah di Bogor Timur (Tabel 14). Jaringan listrik yang baik mendukung bagi kegiatan produksi IKM roti. Tabel 14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan di Kota Bogor tahun 2008 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal
Jumlah Langganan 34.580 16.932 29.403 23.004 35.833 30.728 170.480
Daya Tersambung 32.387.551 23.743.271 25.612.646 50.527.466 28.448.908 22.811.799 183.531.641
Sumber : Kota Bogor dalam Angka BPS ( 2008)
5. Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT oleh pemerintah daerah Kota Bogor Sejak tahun 2010 pemerintah daerah Kota Bogor melalui Dinas Kesehatan Bogor telah menetapkan kebijakan untuk melakukan pembebasan biaya pendaftaran SP-PIRT sebesar Rp.300.000,-.
Hal ini meringankan bagi IKM roti untuk
memperoleh SP-PIRT, dimana SP-PIRT merupakan jaminan tertulis yang diberikan oleh Walikota terhadap pangan produksi IRTP yang telah memenuhi persyaratan antara lain GMP. Tata Cara untuk memperoleh SP-PIRT diatur dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
76
6. Sumber keuangan daerah cukup baik Sumber penerimaan pemerintah daerah Kota Bogor berasal
dari bagian
pendapatan asli daerah , bagian dana perimbangan dan pendapatan lain yang syah. Pendapatan asli daerah Kota Bogor tahun 2011 mencapai Rp. 127.4888.089.831, - ; dana perimbangan mencapai Rp. 659.141.536.834,- dan dana pendapatan lain yang yang syah mencapai Rp. 56.121.435.000,-. Total sumber penerimaan pemerintah daerah Kota Bogor
mencapai Rp. 842.751.061.665 (Tabel 15).
Sumber
penerimaan daerah menjadi modal bagi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah termasuk
dalam
pembiayaan
kegiatan
Dinas
Kesehatan
maupun
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan terkait penyuluhan dan pengawasan IKM . Hal ini menjadikan iklim yang kondusif mendukung
pemerintah daerah dalam
melaksanakan program kerjanya. Tabel 15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011 No
Jenis Penerimaan
1 Bagian Pendapatan Asli daerah 1.1 Pajak Daerah 1.2 Restribusi Daerah 1.3 Bagian Laba Usaha Daerah 1.4 Penerimaan lain-lain 2. Bagian dana Perimbangan 2.1Bagi Hasil Pajak 2.2Bagi Hasil Bukan Pajak 2.3Dana Alokasi Umum 2.4Dana Alokasi Khusus (DAK) 2.5 Bagi Hasil Pajak & Bantuan Keuangan dari Propinsi 2.5.1 Bagi hasil Pajak Propinsi 2.5.2 bantuan Keuangan dari Propinsi 3 Lain –lain Pendapatan yang syah 3.1 Hibah 3.2 Pendapatan lainnya Jumlah Penerimaan
Nilai 127.488.089.831 66.504.761.353 34.681.146.445 15.137.968.088 11.164.213.945 659.141.536.834 129.983.594.372 18.704.027.015 426.093.607.000 9.756.700.000 74.603.608.447 74.603.608.447 56.121.435.000 2.999.965.000 53.121.470.000 842.751.061.665
Sumber : Kota Bogor dalam Angka, BPS (2011)
7.
Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Pemerintah Kota Bogor telah menyelenggarakan pertemuan rutin lintas
satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program kerja rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), misalnya dalam urusan ketahanan pangan dengan indikasi kegiatan peningkatan distribusi,
77
mutu dan ketersediaan masyarakat maka terdapat jaringan koordinasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UKM . 5.1.2 Kelemahan Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu : 1.
Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah
yang mengacu ke Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah ditetapkan pemerintah melalui Badan Perencanaan Nasional (Bapenas). Bapenas telah menghimbau RAN-PG agar diacu oleh seluruh pemerintah daerah dalam penanganan masalah pangan-gizi untuk dijabarkan dalam Rencana Aksi PanganGizi Daerah. RAN-PG yang berlaku saat ini RAN-PG tahun 2011-2015. RAN-PG disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi (1) perbaikan gizi masyarakat; (2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan pangan; (4)perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan dan gizi.
Salah satu strategi kebijakan peningkatan pengawasan mutu dan
keamanan pangan dilakukan melalui peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan dengan indikator capaian seperti tercantum dalam Tabel 16. Adapun misi dalam RPJMD Kota Bogor tahun 2010-2014 yang terkait dalam peningkatan mutu keamanan pangan pada IKM
tercantum pada misi 1 yaitu
”Mengembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada kegiatan jasa perdagangan” dengan strategi meningkatkan nilai tambah produk industri kecil menengah dan strategi meningkatkan distribusi, mutu dan ketersediaan bahan pangan . Namun belum ada stategi yang mengacu secara spesifik ke program / indikator RAN-PG. Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan, baru tahap pengkajian penyusunan rencana induk perdagangan dan perindustrian Kota Bogor yang dilakukan pada tahun 2011. 78
Tabel 16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015 No Program
Indikator
1
Pengawas Obat dan Makanan
Proporsi makanan yang memenuhi syarat
2
Pengawasam Produk dan Bahan Berbahaya Inspeksi dan Sertifikasi Makanan
Prosentase makanan yang mengandung cemaran bahan berbahaya yang dilarang ‐ Prosentase sarana produksi makanan MD yg memenuhi GMP terkini ‐ Prosentase sarana produksi makanan bayi dan anak yg memenuhi GMP terkiniuhi standar GRP/GDP ‐ Prosentase penjualan makanan yang meme - Jumlah tenaga penyuluh keamanan (PKP) - Jumlah tenaga pengawas Kab/Kota (FDI)
3
4 5
Peningkatan jumlah dan kompetensi tenaga penyuluh dan pengawas Bimbingan teknis pada industri rumah tangga pangan (IRTP)
- Jumlah penyusunan Modul Penerapan Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produk - Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi Penerapan Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP - Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan implementasi CPPB pada IRTP - Monitoring dan verifikasi CPPB pada IRTP - Monitoring dan verifikasi BinTek pada kantin sekolah
Sumber : Bappenas (2011)
Sedangkan secara nasional telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025 sebagaimana dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007; Kebijakan Pembangunan Industri Nasional melalui Peraturan Presiden 28 Tahun 2008; penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); dan Rencana Strategis Kementrian Perindustrian tahun 2010-2014. Rencana strategis tersebut perlu diacu dalam Rencana Strategis Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota. Arah kebijakan industri 2005-2025 seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 antara lain : 1) Pembangunan industri diarahkan mewujudkan industri berdaya saing baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan Industri Kecil dan Menengah; 2) Menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui
penyediaan berbagai infrastruktur bagi
peningkatan kapasitas kolektif, yang, antara lain, sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi), sarana dan prasarana teknologi, prasarana 79
pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas, serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri. Indikator kinerja urusan perindustrian yang telah ditetapkan dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan hanya mencakup jumlah industri kecil dan menengah (IKM) dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah IKM yang memanfaatkan teknologi tepat guna . 2.
Jumlah dan keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan dan tenaga pengawas pangan masih terbatas Penyelenggara
penyuluhan
keamanan
pangan
dikoordinasikan
oleh
WaliKotac.q. Dinas Kesehatan Kota melalui tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) yang diberi tugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada industri. Tenaga Pengawas Pangan Kota(District Food Inspector/DFI) diberi tugas untuk melakukan pengawasan keamanan pangan IRTP dalam rantai pangan. Kriteria tenaga PKP dan DFI dalah pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki Sertifikat kompetensi dari Badan POM dan ditugaskan oleh WaliKota c.q. Dinas Kesehatan Kota. Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor hanya memiliki 4 tenaga PKP yang aktif bertugas, dimana 3 orang tersebut juga merangkap sebagai tenaga Pengawas Pangan Kota (DFI). Jika dibandingkan dengan jumlah industri kecil-menengah pangan keseluruhan tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 1.366 industri maka tenaga tersebut belum memadai. Mengingati tugas sebagai PKP dan DFI tersebut masih merangkap tugas-tugas lain terkait pengawasan obat, farmasi dan kesehatan. Latar belakang pendidikan yang dimiliki 4 tenaga PKP/ DFI semuanya adalah sarjana Farmasi. Hal ini menjadikan dukungan kompetensi PKP/DFI terutama dalam hal keamanan pangan, tehnologi
dan proses industri pangan terbatas.
Jumlah dan dukungan kompetensi tenaga PKP/DFI juga akan mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices di industri IKM roti di Kota Bogor. 3.
Tingkat komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang Berdasarkan hasil depth interview dengan petugas PKP/DFI serta petugas
pembina indusrti pangan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, salah satu faktor yang menyebabkan industri IKM roti-kue di Kota Bogor belum menerapkan Good Manufacturing Practices adalah kurangnya komitmen dan 80
dukungan dari pimpinan/pemilik IKM . Walaupun IKM telah mendapat penyuluhan dan pembinaan intensif dari pemerintah bila tanpa diikuti komitmen dan dukungan dari pimpinan/pemilik IKM menyebabkan penerapannya berhenti.
Hal serupa
ditemukan pada penelitian Wilcock et al. (2011) bahwa prioritas pertama yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SME’s yaitu komitmen manajemen puncak. Selain itu kendala lain yang timbul selama pembinaan adalah sulitnya mengubah budaya kerja/perilaku dari tenaga kerja IKM kearah yang sesuai dengan aturan dalam Good Manufacturing Practices seperti budaya mencuci tangan, penggunaan masker, sarung tangan dan tutup kepala. Faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan pekerja adalah sikap kepimpinan dan komitmen manajemen terhadap program dan juga pelatihan yang tepat ( Wilcock et al., 2011). 4. Keterbatasan modal IKM Industri pangan roti di Kota Bogor bila dikelompokkan berdasarkan interval / range investasi Rp. 50 juta, mayoritas berada pada nilai investasi di bawah Rp. 50 juta berjumlah 36 industri (78,3%) lihat Tabel 12 sebelumnya. Secara umum modal dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk menerapkan Good Manufacturing Practices membutuhkan dukungan dana seperti perbaikan fasilitas bangunan, penyediaan alat kerja, training dan lain-lain. Penelitian Karaman et al. (2012) menemukan bahwa biaya (46,4%) dan ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik (35,7%) merupakan penghalang utama untuk mengadopsi program prasyarat (PRPs) pada pabrik susu Aydın. 5. Media dan tehnologi informasi/penerbitan publikasi masih terbatas Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor belum mempunyai media informasi/ publikasi/panduan yang diterbitkan dalam mendukung program penerapan Good Manufacturing Practices. Bahan materi diberikan kepada pemilik IKM pada saat mengikuti penyuluhan dan masih terbatas dalam bentuk slides, belum dalam bentuk audio visual. Belum ada modul atau panduan penerapan prinsip-prinsip keamanan pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produknya yang telah dibuat oleh pemerintah Kota Bogor. Tata cara dan informasi, data base industri yang memperoleh SP-PIRT belum secara aktif dipublikasikan termasuk dalam website Dinas Kesehatan. 81
6. Keterbatasan pemahaman aspek keamanan pangan tenaga kerja di IKM Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT yaitu sebanyak 497 maka sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan keseluruhan di Kota Bogor tahun 2011 sebanyak 1.335 industri. Hal tersebut menandakan masih banyak industri kecil yang belum paham terhadap aspek keamanan pangan.
Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada
penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu kurangnya pengetahuan tentang HACCP. 7. Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor Hk.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga Lampiran 1 butir g bahwa Bupati/ WaliKota cq. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan monitoring (pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT yang telah diterbitkan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Sampai saat ini industri yang telah mendapatkan SP-PIRT dari Dinas
Kesehatan
Kota
Bogor
belum
seluruhnya
dilakukan
monitoring
(pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT 1 (satu) kali dalam setahun. Hal ini sangat terkendala dengan jumlah tenaga pengawas /DFI yang terbatas. 5.2 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal Faktor-faktor eksternal yang teridentifikasi menjadi peluang dan ancaman yang dapat mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices pada IKM roti-kue di Kota Bogor tercantum dalam Tabel 17. 5.2.1 Peluang Terdapat 7 (tujuh) faktor internal teridentifikasi merupakan peluang yaitu : 1 Pontensial peluang pasar dalam negeri Salah satu faktor sosial yang berpotensi terhadap penciptaan pangsa pasar bagi setiap bidang usaha di suatu wilayah adalah peningkatan jumlah penduduk
82
Tabel 17 Faktor-faktor lingkungan eksternal No
Faktor Lingkungan Eksternal Peluang (opportunity) Pontensial peluang pasar dalam negeri Adanya bantuan programn dari pemerintah pusat Perubahan pola konsumsi dan hidup sehat masyarakat Perkembangan teknologi dan informasi Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor Ancaman (threat) Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar Kota Kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi harga produk Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi roti Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan roti yang ada
1 2 3 4 5 1 2 3 4
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia. Penduduk Indonesia yang semakin meningkat dapat berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan pangan. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia selama periode 2005-2008 rata-rata 1, 28 % ( BPS, 2008). Jumlah penduduk Kota Bogor terus mengalami pertumbuhan dengan rata-rata selama kurun waktu 11 tahun terakhir adalah 2, 83 %. Kondisi ini dapat menjadi peluang bagi industri roti-kue di Kota Bogor untuk mengembangkan usahanya. Hal ini karena jumlah penduduk yang semakin meningkat merupakan pangsa pasar yang potensial untuk memasarkan produknya. Nilai konsumsi roti per kapita oleh masyarakat Indonesia pada 2010 tumbuh tertinggi dibandingkan 11 negara Asia Pasifik lainnya. Nilai konsumsi roti di Indonesia naik 25% pada 2010 menjadi US$ 1,5 per orang per tahun, dari konsumsi US$ 1,2 per orang per tahun pada 2009. Pertumbuhan itu menjadi yang tertinggi dibanding kenaikan nilai konsumsi roti di negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, China, Taiwan, dan India pada periode yang sama. Asosiasi roti dan biskuit Indonesia memprediksi konsumsi roti dan biskuit pada kuartal II 2011 meningkat
10%-15%
dibanding
kuartal
I
tahun
ini
(http://id.indonesia
financetoday.com/). 2.
Adanya bantuan program dari pemerintah pusat Pemerintah Kota Bogor juga menerima bantuan dari instansi pemerintahan
pusat seperti BPOM, Kementrian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal IKM, 83
Kementrian Kesehatan, Kementrian UKM ,Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat . Bantuan biasanya dapat berupa bentuk program/dana insentif, training, bimbingan intensif, bantuan peralatan atau bantuan pemasaran/promosi/pameran bagi IKM. Namun program, jadwal dan besaran bantuan sangat tergantung dari instansi pusat. Salah satu program yang dianggarkan oleh BPOM
untuk seluruh
kabupaten/kota di Indonesia tertera dalam Rencana Aksi Pangan Nasional 20112015 dengan sumber APBN untuk kegiatan mutu dan keamanan pangan sebesar 599 milyar untuk tahun 2012, 647 milyar tahun 2013, 725 milyar tahun 2014 dan 1.000 milyar untuk tahun 2015 ( Bapenas, 2010). 3.
Perubahan pola konsumsi dan hidup sehat masyarakat Pola konsumsi masyarakat Indonesia dapat dikenali berdasarkan alokasi
penggunaannya. Secara garis besar, alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat digolongkan dalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Pengeluaran konsumsi untuk makanan hampir 56,86 % dari seluruh pendapatan perkapitanya. Kaitan antara pola konsumsi komoditas pangan utama dengan tingkat pendapatan dapat dipahami atau dibuktikan pada tingkat makro maupun mikro menurut dua hukum, yaitu Hukum Engel dan Hukum Bennet. Hukum Engel menyatakan bahwa proporsi anggaran Rumah Tangga yang dialokasikan untuk konsumsi pangan pokok akan semakin kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat. Hukum Bennet menyatakan bahwa rasio makanan pokok yang mengandung zat tepung akan menurun pada saat pendapatan meningkat atau persentase kalori yang diperoleh dari pangan pokok berkurang saat pendapatan meningkat, karena konsumen melakukan diversifikasi pangan yang dikonsumsinya dengan memasukkan kalori tinggi (Hanani, 2009). Kecenderungan perubahan pola konsumsi produk pengganti nasi merupakan peluang bagi industri pangan termasuk IKM roti di Kota Bogor. Penduduk Kota Bogor memiliki tingkat konsumsi konsumsi pangan terbesar ke tiga di provinsi Jawa Barat setelah Kota Sukabumi dan Kota Depok. Dewasa ini terjadi perubahan pola hidup sehat di dalam masyarakat juga berdampak pada tingkat kepedulian konsumen dalam pemilihan produk yang aman dikonsumsi. Hal ini menjadikan peluang bagi IKM roti yang telah mendapatkan SP84
PIRT sebagai salah bentuk jaminan dari pemerintah bahwa produknya diproduksi dengan memenuhi persyaratan Good Manufacturing Practices yang ditentukan pemerintah. 4.
Perkembangan teknologi dan informasi Perkembangan teknologi dan informasi yang cepat merupakan peluang yang
sangat besar bagi industri termasuk IKM roti di Kota Bogor. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi ini dapat mendukung kelancaran usaha baik pada aspek produksi maupun pemasaran. 5. Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor Di Kota Bogor dan sekitarnya terdapat beberapa perguruan tinggi seperti IPB, Universitas Pakuan, Universitas Djuanda, Diploma IPB , Universitas Ibnu Khaldun,Univeritas Nusa Bangsa, Diploma Analis Kimia yang dapat menjadi sumber informasi dan memiliki tenaga ahli yang dapat dimanfaatkan bagi IKM maupun pemerintah daerah. Perguruan tinggi tersebut umumnya juga punya aktivitas pengembangan dan pengabdian masyarakat yang salah satu kegiatannya ikut membantu membina/memfasilitasi IKM seperti Inkubator Bisnis, LPPM IPB, dan lain-lain. Hal ini dapat menjadi peluang kerjasama yang baik untuk meningkatkan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM roti-kue di Kota Bogor. Lembaga penelitian yang berada di Kota Bogor cukup banyak, diantaranya seperti tercantum pada Tabel 18. Tabel 18 Daftar balai penelitian di Kota Bogor NO Nama Balai Penelitian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Balai Besar Industri Agro Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Balai Penelitian Tanaman Pangan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan Balai Penelitian Veteriner Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Balai Penelitian Tanah Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia SEAFAST Center IPB Balitbang Botani Puslitbang Gizi dan Makanan, Balitbang Kesehatan Institut Pertanian Bogor Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan
85
5.2.2 Ancaman (threat) Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi ancaman yaitu : 1.
Persaingan dari produk roti-kue sejenis (franchaise) dan produk luar Kota yang punya jaminan kualitas dan keamanannya Saat ini semakin banyak outlet produk roti-kue sejenis yang merupakan
(franchaise) dari perusahaan besar dan produk luar Kota Bogor didirikan atau dipasarkan di lokasi strategis Kota Bogor seperti Bread Talk, Roti Boy, PT Yogya tbk , PT Hero Tbk, Amanda, Kartika Sari, Maxim, Sari Roti yang telah memiliki brand, jaminan kualitas dan keamanan melalui sertifikasi. Hal ini menjadi ancaman persaingan pasar bagi IKM roti di Kota Bogor. 2.
Adanya kemungkinan kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi harga produk Harga minyak dunia mengalami fluktuasi yang besar selama tahun 2008-
2010. Harga minyak sempat menembus angka lebih dari US$ 145 per barrel. Seiring dengan naik turunnya harga BBM dunia, maka harga BBM di dalam negeri juga mengalami fluktuasi. Saat ini pemerintah menetapkan harga premium subsidi Rp 4. 500 dan non subsidi Rp 7.500. Semula tahun 2011 akan menaikan harga premium, namun kondisi ekonomi masyarakat yang belum siap maka pemerintah menunda rencana kenaikan ini. Selain menggunakan bahan bakar minyak, saat ini hampir sebagian besar industri menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakarnya. harga gas elpiji cenderung mengalami kenaikan (Tabel 19). Tabel 19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg) Tahun 2005 2006 2007 Jan-08 Apr-08 Jul-08 Agust-08
Harga Gas Elpiji (Rp) 3 Kg 12.750 12.750 12.750 12.750 `12.750
Sumber : PT. Pertamina (2009)
86
6 Kg 25.500 25.500 25.500 25.500 25.500 31.500 -
12 Kg 51.000 51.000 51.000 51.000 51.000 63.000 `69.000
50 Kg 212.500 212.500 312.950 396.600 340.150 343.900 362.750
Kondisi ini tentunya dapat mengancam IKM yang menggunakan gas elpiji untuk kelangsungan proses produksinya karena dapat menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji akan menyebabkan meningkatnya biaya produksi, biaya distribusi dan mahalnya harga bahan baku produksi yang berakibat pada naiknya harga produk yang dibuat. Kondisi kenaikan BBM dan elpijii, membuat IKM berada dalam posisi yang sulit, margin keuntungan menjadi kecil dan menjadi suatu dilema untuk menaikkan harga. Tarif Dasar Listrik (TDL) adalah tarif yang boleh dikenakan oleh pemerintah untuk para pelanggan PLN. Penurunan TDL penting dilakukan sebagai stimulus fiskal bagi sektor riil di tengah dampak krisis ekonomi global. Oleh karena itu, bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM pada tanggal 15 Januari 2009, pemerintah juga menetapkan penurunan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 8%. Akan tetapi penurunan TDL ini hanya berlaku bagi pelanggan industri I-3 dengan daya tersambung 14-200 kVA dan industri I-4 dengan daya tersambung 201 kVA. Penurunan itu juga hanya pengurangan disinsentif bagi pelanggan industri yang menggunakan listrik melebihi daya tertentu saat beban puncak. Dengan kata lain, penurunan TDL pada tahun 2009 belum berdampak terhadap IKM. Bahkan pada tahun 2012 pemerintah akan menaikan TDL, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti yang menggunakan listrik dalam proses produksinya. 3.
Perkembangan jenis makanan jadi lain yang tergolong produk substitusi roti Produk substitusi atau produk pengganti adalah produk lain yang memiliki
fungsi sama dengan produk perusahaan dan dapat mempengaruhi keberadaan produk perusahaan selama di pasar. Keberadaan produk substitusi dapat menjadi ancaman bagi suatu perusahaan jika produk substitusi tersebut mempunyai harga yang lebih murah namun memiliki kualitas yang sama dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Oleh karena itu, faktor harga jual dan mutu produk sering digunakan oleh pelaku usaha sebagai alat dalam menghadapi keberadaan produk substitusi. Pada industri roti (bakery), produk yang dapat digolongkan menjadi produk substitusi adalah biskuit, kue, sereal, pie, wafer, mi instan dan lain-lain. 87
Produk substitusi roti yang semakin beragam baik dari segi harga maupun mutu produk, misalnya mi instan, biskuit, sereal, pie atau wafer merupakan salah satu ancaman bagi usaha bagi IKM di Kota Bogor. 4.
Pembeli
memiliki
kekuatan
untuk
menentukan
pilihan
diantara
perusahaan roti yang ada Secara umum, pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan dalam membeli produk roti sesuai dengan seleranya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah perusahaan roti yang terdapat di Kota Bogor, dimana masingmasing perusahaan roti menawarkan produk yang semakin bervariasi dan semakin banyak jenisnya termasuk dari segi mutu produk dan harga jual produk. Oleh karena itu, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti di Kota Bogor. 5.3 Matrik IFE dan EFE Setelah hasil analisa lingkungan internal dan eksternal di atas melalui depth interview dengan pakar pihak terkait, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan matriks IFE dan EFE. Matriks IFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan . Matriks EFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan peluang dan ancaman. Untuk memperoleh Matriks IFE dan EFE terlebih dahulu ditentukan Bobot dan Rating.
Rating didapat setelah melakukan depth interview dan pengisian
kuisioner kepada 5 (lima) pakar yang memahami situasi dan kondisi penerapan GMP di IKM di Kota Bogor (Lampiran 1). Penentuan bobot dilakukan dengan menggunakan metode pairwaised comparison sehingga diperoleh nilai bobot. Total skor diperoleh dengan cara mengalikan nilai perolehan rata-rata rating dan nilai perolehan nilai rata-rata bobot dari seluruh pakar.
Analisis ini ditujukan untuk menilai dan mengevaluasi
pengaruh faktor-faktor strategis terhadap peningkatan penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor. Setelah nilai Rating dan Bobot diperoleh maka selanjutnya ditentukan nilai Matriks IFE dan EFE . Dari matriks IFE (Tabel 20) tersebut menunjukan Nilai/Skor IFE adalah 2,333 menunjukkan pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi internalnya. Jika dikaji dari perbandingan skor masing-masing faktor yang menjadi 88
kekuatan, maka faktor kekuatan utama adalah kebijakan pemerintah kota Bogor membebaskan biaya SP-PIRT dengan skor tertinggi 0,278. Faktor kekuatan kedua dan ketiga adalah dukungan sarana dan prasarana kota yang memadai (skor 0,263) serta memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi (skor 0,259). Sebaliknya memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD dinilai sebagai faktor kekuatan yang paling rendah (skor 0,176). Mekanisme pengawasan yang belum diterapkan secara regular serta keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh (PKP) dan pengawas (DFI) dinilai menjadi kelemahan utama bagi peningkatan penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor dengan skor terendah yang sama yaitu 0,081. Faktor kelemahan kedua adalah kurangnya komitmen dan budaya kerja IKM (skor 0,091) . Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dinilai menjadi faktor kelemahan ketiga (skor 0,095). Tabel 20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) No Faktor Internal A
Kekuatan (Strength)
1 2
Lokasi Kota Bogor yang strategis Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam perekonomian Bogor Memiliki pendukung laboratorium uji terakreditasi
Bobot Rating Skor (a) (b) (axb) 0,052 0,066
3,6 3,8
0,186 0,251
0,068
3,8
0,259
0,077 0,073 0,069 0,055
3,4 3,8 3,2 3,2
0,263 0,278 0,220 0,176 1,632
0,068
1,4
0,095
2
Dukungan sarana dan prasarana Kota memadai Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT Sumber keuangan daerah cukup baik Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Sub Jumlah A Kelemahan (weakness) Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI terbatas
0,081
1
0,081
3 4
Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang Keterbatasan modal IKM
0,091 0,077
1 1,8
0,091 0,139
5
Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi 0,054 informasi masih terbatas Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 0,088 Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler 0,081 Sub Jumlah B Jumlah (A + B)
2
0,109
1,2 1
0,105 0,081 0,701 2,333
3 4 5 6 7 B 1
6 7
89
Hasil evaluasi terhadap faktor eksternal diperoleh nilai seperti pada Tabel 21 dibawah ini. Dari matriks IFE tersebut diperoleh Nilai / Skor EFE adalah 2,48 menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan peluang dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal. Tabel 21 Matriks EFE (Exsternal Factor Evaluation) No
Faktor-Faktor Eksternal
C 1 2
Peluang (opportunity) Pontensialnya peluang pasar dalam negeri Adanya bantuan program dari pemerintah pusat
3 4 5
Perubahan pola konsumsi masyarakat Perkembangan teknologi dan informasi Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor Sub jumlah C Ancaman (threats) Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar kota Kenaikan biaya produksi
D 1 2 3 4
Bobot (a)
Rating (b)
Skor (axb)
0,114 0,131
4 3,2
0,457 0,420
0,100 0,088 0,067
3,6 3,8 3,2
0,362 0,334 0,214 1,787
0,130
1,2
0,156
0,134
1,4
0,187
Perkembangan jenis makanan jadi lain produk 0,105 substitusi roti Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan 0,131 pilihan diantara perusahaan roti yang ada Sub jumlah D Jumlah (C +D)
1,8
0,188
1,2
0,157 0,689 2,476
Berdasarkan perbandingan nilai skor yang diperoleh, maka faktor peluang paling utama adalah masih potensialnya peluang pasar dalam negeri dengan nilai skor tertinggi yaitu 0,457. Faktor peluang kedua adalah faktor adanya bantuan pendanaan dari pemerintah pusat (skor 0,420). Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor dinilai sebagai peluang terendah (skor 0,214). Persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) dan produk dari luar Kota yang sudah punya nama, jaminan kualitas dan keamanannya dinilai sebagai ancaman yang utama bagi IKM roti di Kota Bogor (skor 0,156). Ancaman utama kedua adalah pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan roti yang ada (skor 0,157). Ancaman yang dinilai paling lemah adalah perkembangan jenis makanan jadi lain yang tergolong produk substitusi roti dengan perolehan skor 0,188. 90
Wilcock et al. (2011) mengidentifikasi motivasi dalam menerapkan HACCP pada industri pangan kecil dan menengah antara lain karena regulasi pemerintah, keinginan lebih maju dari pesaingnya dan memenuhi persyaratan pelanggan. Oleh karena itu selain adanya regulasi wajib pemerintah, peluang potensi peluang pasar serta persaingan bisnis dapat diarahkan untuk meningkatkan motivasi IKM untuk menerapkan GMP dan memperoleh jaminan SP-PIRT. Bagi kebanyakan industri, penentuan utama seluruh persaingan serta tingkat profitabilitas secara umum adalah persaingan antara perusahaan dalam industri (Umar, 2005). 5.4
Matrik Internal- Eksternal (IE) Matriks IE disusun untuk mengetahui strategi apa yang sebaiknya digunakan.
Sumbu horizontal Matrik IE dibagi menjadi 3 bagian yaitu range antara 1.00–1.99 (lemah), range antara 2.00–2.99 (rataan), dan range antara 3.00–4.00 (kuat) demikian pula sumbu vertikal dibagi menjadi 3 bagian yaitu range antara 1.00-1.99 rendah), range antara 2.00–2.99 (sedang), dan range antara 3.00–4.00 (tinggi). Dari hasil Matriks IFE dan EFE sebelumnya didapat nilai IFE 2.333 dan nilai EFE 2.476. Visualisasi posisi pada Matriks IE dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat posisi pemerintah Kota Bogor terkait penerapan GMP di IKM roti berada pada kotak sel V Matrik IE, yaitu pada kotak ‘jaga dan pertahankan’ (hold and maintain), sehingga strategi yang disaranan defensif. Kuat 3,0‐4,0
EFE
Tinggi 3,0‐4,0
Sedang 2,0‐2,99
Rendah 1,0‐1,99
I Grow and Build Strategi intensif atau Integrative IV Grow and Build Strategi intensif atau Integrative VII Hold and Maintain Penetrasi dan pengembangan
Rata 2,0,0‐2,99
II Grow and Build Strategi intensif atau integratif V Hold and Maintain Penetrasi dan pengembangan VIII Harvest or Divest
Lemah 1,0‐1,99
III Hold and Maintain Penetrasi dan pengembangan VI Harvest or Divest IX Harvest or Divest
Gambar 18 Matriks IE posisi pemerintah Kota Bogor.
91
Hal ini berarti strategi pemerintah daerah Kota Bogor adalah menjaga agar IKM roti yang saat ini telah memenuhi GMP tetap memenuhi persyaratan GMP melalui mekanisme pengawasan dan melakukan penetrasi terhadap IKM roti yang belum memenuhi persyaratan GMP melalui penyuluhan lebih intensif, publikasi, promosi maupun bimbingan mendukung IKM roti untuk memenuhi GMP. Selain itu pemerintah mencari alternatif pengembangan metode, paduan, publikasi dalam mendorong agar persyaratan GMP dapat dipahami oleh IKM roti. 5.5
Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modelling) Dalam rangka memperkaya penyusunan formula strategi digunakan analisis
mengunakan teknik ISM untuk melihat hubungan kontekstual antar elemen dan hirarki untuk elemen penyusun strategi. Elemen yang dipilih adalah 1) elemen pendukung 2) elemen penghambat 3) elemen aktor pelaku.
5.5.1 Strukturisasi Elemen Pendukung (SO) Elemen dan sub elemen pendukung dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi SWOT yaitu paduan faktor Kekuatan dan Peluang (SO) sehingga dihasilkan 12 sub elemen pendukung untuk meningkatan penerapan GMP pada IKM roti-kue terdiri dari: 1) Lokasi
Kota Bogor yang strategis (s1); 2) Sektor industri makanan-minuman
menjadi sector basis dalam perekonomian Kota Bogor (s2); 3) Memiliki pendukung laboratorium uji terakreditasi (s3); 4) dukungan sarana dan prasarana kota memadai (s4); 5) Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5); 6) Sumber keuangan daerah Kota Bogor cukup baik (s6) ; 7) Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD (s7); 8) Pontensialnya peluang pasar dalam negeri (o1); 9) Adanya bantuan program dari pemerintah pusat (o2); 10) Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat masyarakat (o3); 11) Perkembangan teknologi dan informasi (o4); 12) Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor (o5).
Hasil strukturisasi ISM (dengan (transitivity = 75%) menunjukkan terdapat 5 level hirarki dan 12 elemen tersebar dalam tiga kategori sub sektor dependent, linkage dan independent dengan koordinat daya dorong / driver power (DP) dan ketergantungan/ dependence power (D) seperti disajikan pada Gambar 19. Gambar di bawah dapat dibaca berdasarkan koordinatnya terbagi menjadi empat kuadran, yaitu 1) autonomous, 2) dependent, 3) linkage dan 4) independent dengan koordinat driver power (DP) dan dependence power (D) sebagai berikut: 92
1. Autonomous : DP ≤ 6 dan D ≤ 6 (weak driver – weak dependent variables). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai hubungan kecil. 2. Dependent: DP ≤ 6 dan D ≥ 6 (weak driver – strongly dependent variables). Umumnya peubah di sini adalah peubah tak bebas yang dipengaruhi oleh elemen-elemen lainnya sesuai hierarki. 3. Likage: DP ≥ 6 dan D ≥ 6 (strong driver – strong dependence variables). Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik bisa memperbesar dampak . 4. Independent: DP ≥ 6 dan D ≤ 6 (strong driver – weak dependent variables). Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam hierarki. Dependent
Linkage 12 11 10 9
s2
(s5)
s(3) s6
y= 0 1 Daya Dorong (Driver Power)
2
o5
Autonomus
3
(s7,o2)
4
5
7 6 5 4 3 2 1 0 x=
7
8
9
10
12
(s1,s4,o1,03,o4)
Independent Ketergantungan (Dependence)
Gambar 19 Matriks driver power-dependence untuk elemen pendukung. Dari stukturisasi pendukung (Gambar 20) dapat dilihat bahwa Lokasi Kota Bogor yang strategis (S1), dukungan sarana prasarana yang memadai (S4), peluang potensial peluang pasar dalam negeri (O1), perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen untuk mendapatkan produk pangan yang terjamin mutu keamanannya (O3) dan penggunaan tehnologi dan informasi (O4) termasuk faktor independent (strong driver – weak dependent variables). Berarti faktor tersebut 93
sektor ini merupakan peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam hierarki. Bantuan pemerintah pusat (O2) dan memiliki jaringan koordinasi lintas Satuan Kerja Pemerintah Daerah/SKPD (S7) merupakan faktor linkage. Artinya peubah ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Bantuan pemerintah dari pusat bila tidak dimanfaatkan dengan terencana dan terkoordinasi dengan baik lintas SKPD,
menyebabkan dampak kurang berarti
dalam meningkatkan penerapan GMP pada IKM roti. Bantuan pemerintah pusat
1
Dependency Sub elemen Pendukung (SO)
S1
Lokasi Bogor yang strategis
6
S6
7
S7
8
O1
Industri makanan menjadi sektor basis perekonomian Memilki laboratorium penguji terakreditasi Dukungan sarana dan prasarana Kota memadai Kebijakan pembebasan biaya SP‐PIRT Sumber keuangan daerah cukup baik Memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Potensial peluang pasar dalam negeri
9
O2
Bantuan pemerintah pusat
10
O3
11
O4
12
O5
Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat Perkembangan tehnologi dan informasi Keberadaan lembaga penelitian/pendidikan di Kota Bogor
2
S2
3
S3
4
S4
5
S5
Hirarki
Depen‐ dence
11
5
1
10
2
9
11
5
1
9
4
8
6
7
Linkage
11
5
Indepen dent
6
7
Linkage
11
5
11
5
12 5 2 3 6
4
9
7
8
10 1
Kategori
Driver power
11 1
1
Indepen dent Depen dent Depen dent Indepen dent Depen dent Depen dent
Indepen dent Indepen dent Autono Mous
Sub elemen kunci Pendukung: 1,4,8,10,11
Gambar 20 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen pendukung. biasanya disalurkan melalui SKPD terkait seperti melalui Dinas Kesehatan, Kantor Koperasi dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan sesuai asal instasi pusat yang memberi. Bantuan dapat berupa pelatihan, dana insentif, konsultasi, sertifikasi, dan lainnya. Jika bantuan tersebut diberikan pada IKM yang tidak tepat sasaran dan/ atau kurang terencana maka dampaknya menjadi kurang berarti. Namun dengan adanya koordinasi lintas SKPD maka bantuan dapat diarahkan secara strategis terencana jangka panjang dan tepat sasaran sesuai kebutuhan IKM. 94
Menurut FAO (1999) IKM sering tidak memiliki keahlian teknis yang diperlukan untuk melaksanakan keamanan pangan dan sistem manajemen, oleh karena itu memerlukan dukungan eksternal. Kemampuan pemerintah dan asosiasi industri / perdagangan memberikan dukungan teknis yang memadai merupakan faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan sistem manajemen kualitas makanan oleh IKM. Indeks Pembangunan Manusia dan PDRB cukup baik (S6), memiliki laboratorium penguji terakreditasi (S3), industri makanan menjadi sektor basis perekonomian (S2), Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (S5) merupakan faktor dependent (weak driver – strongly dependent variables). Umumnya peubah ini adalah peubah tak bebas yang dipengaruhi oleh elemen-elemen lainnya sesuai hierarki. Artinya kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT dan pemeliharaan fasilitas laboratorium penguji makanan terakreditasi dapat berjalan jika IPM dan PDRB pemerintah daerah Kota Bogor tetap dipertahankan baik serta industri makanan tetap menjadi sektor basis perekonomian. Strategi pembebasan biaya SP-PIRT merupakan strategi yang berkaitan langsung dalam mendorong IKM roti di Kota Bogor mendapatkan jaminan SPPIRT namun sangat dipengaruhi faktor lain sebagai pendorong. Penyediaan laboratorium penguji pangan milik pemerintah daerah dapat membantu memfasilitasi IKM dalam mengujikan produk pangannya yang dibutuhkan dalam pembuktian keamanan pangan
dalam rangka permasaran/ pemenuhan standar
regulasi. Keberadaan lembaga penelitian/pendidikan di Kota Bogor (O5) berada pada sektor autonomous (weak driver – weak dependent variables). Peubah di sektor ini umumnya dianggap tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai hubungan kecil mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan keamanan mutu pangan produk IKM. 5.5.2 Struktur Elemen Kendala (WT) Elemen dan sub elemen penghambat dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi SWOT yaitu paduan faktor Kelemahan dan Ancaman (WT) sehingga dihasilkan 11 sub elemen. Sub elemen terdiri dari: 1) Belum ada rencana strategis aksi pangan-gizi
daerah maupun rencana strategis pengembangan industri yang ditetapkan 95
pemerintah daerah Kota Bogor (w1); 2) Keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh /PKP dan pengawas / DFI (w2); 3) Kurangnya komitmen dan budaya kerja IKM (w3); 4) Keterbatasan modal IKM (w4); 5) Keterbatasan media informasi, publikasi (w5); 6) Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga kerja IKM (w6); 7) Mekanisme survailen belum berjalan regular (w7); 8) Persaingan dari produk bakery sejenis berasal dari industri franchaise dan dari luar (t1); 9) Kenaikan biaya produksi (t2); 10) Perkembangan produk substitusi (t3); 11) Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan (t4). Analisis dengan teknik ISM (transitivity = 70%) seperti disajikan pada Gambar 21 menunjukkan bahwa elemen kunci dalam upaya peningkatan penerapan good manufacturing practices di IKM roti Kota Bogor adalah belum adanya rencana
strategis
Aksi
Pangan-Gizi
Daerah
maupun
rencana
strategis
pengembangan industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor (w1). Dependency
1
Sub elemen kendala (WT)
W1
2
W2
3
W3
4
W4
5
W5
6
W6
7
W7
8
T1
9
T2
10
T3
11
T4
Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan‐Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan Keterbatasan Jumlah dan keahlian tenaga penyuluh /PKP dan pengawas/ DFI Kurangnya Komitmen dan budaya kerja IKM Keterbatasan Modal IKM Keterbatasan Media informasi, publikasi Keterbatasan Pengetahuan Tenaga kerja IKM Mekanisme survailen belum berjalan reguler Persaingan dari produk bakery sejenis franchaise dan dari luar kota Kenaikan Biaya Produksi Perkembangan produk substitusi Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan
Hirarki
Depe ndenc e
11
1
Indepen‐ dent
10
2
Indepen‐ dent
1
11
7
10
9
3
7
10
Linkage
8
4
Indepen‐ dent
7
10
Linkage
7
10
Linkage
7
10
Linkage
7
10
Linkage
3
11
10 6
Kategori
Driver power
8 4 7 5 2
9
depen‐ dent Linkage Indepen‐ dent
1
Sub elemen kunci kendala: Belum ada Rencana Stategis (1).
Gambar 21 Struktur hierarki elemen kunci kendala. Ketiadaan rencana strategis berdampak pada keterbatasan jumlah maupun keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan /PKP (w2) sehingga berpengaruh pada 96
minimnya informasi, publikasi, media (w5) yang disediakan pemerintah untuk mendukung program penerapan GMP pada IKM. Ketiadaan rencana strategis yang berdampak pula pada keterbatasan jumlah tenaga pengawas pangan/DFI yang berpengaruh menyebabkan mekanisme survailen /pengawasan penerapan GMP pada IKM tidak berjalan regular setahun sekali (w7). Ketiadaan rencana strategis pemerintah daerah (w1); keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh dan pengawas keamanan (w2); keterbatasan media informasi, publikasi (w5); serta mekanisme survailen tidak berjalan secara regular (w7) sebagai faktor independent.. Kelemahan tingkat pemahaman keamanan pangan tenaga kerja IKM kurang (w6) ditambah dengan keterbatasan modal IKM
(w4), serta adanya ancaman
kenaikan biaya produksi (t2) akan mempengaruhi daya saing produk IKM roti di Kota Bogor dibanding dengan produk sejenis industri franchaise atau dari luar kota (t1). Selain itu daya saing produk IKM juga dipengaruhi oleh faktor kekuatan pembeli menentukan pilihannya (T4) dan perkembangan dari produk substitusi (t3). Pada akhirnya komitmen dan budaya kerja IKM dalam menerapkan GMP (w3) menjadi faktor dependent yang sangat dipengaruhi faktor-faktor diatas. Hambatan penerapan HACCP di IKM juga telah dipresentasikan oleh Jirathana (1998) dan Taylor (2000), yaitu adanya hambatan internal dan hambatan eksternal pada IKM. Hambatan internal antara lain : tidak mencukupinya praktek kebersihan dasar, kurangnya keahlian dan informasi, kendala sumber daya manusia, prasarana dan sarana yang tidak memadai, dan persepsi dan kendala finansial yang nyata. Adapun hambatan eksternal yaitu pemerintah yang memiliki komitmen dan infrastruktur yang memadai; tidak adanya persyaratan sanksi hukum (untuk GHPs atau HACCP); kurangnya kesadaran bisnis dan sikap positif dari asosiasi industri dan perdagangan; kurangnya kesadaran pelanggan atau permintaan untuk GHPs / HACCP; kurangnya pendidikan yang efektif dan program pelatihan; tidak ada dukungan keahlian, informasi dan teknis tersedia untuk UKM; dan tidak ada komunikasi yang mamadai. 5.5.3 Strukturisasi Aktor Pelaku Untuk melihat interaksi pengaruh semua pelaku, dalam kajian ini ditambahkan analisis aktor pelaku dengan menggunakan metode ISM. Hasil depth 97
interview dengan para pakar dan pelaku diperoleh identifikasi pelaku yang berkaitan dengan penerapan GMP di IKM roti yaitu : 1) Badan perencanaan daerah P1); 2) Dinas kesehatan daerah (p2); 3) Dinas perindustrian dan perdagangan (p3); 4) Asosiasi IKM (p4); 5) Peneliti/ perguruan tinggi (p5); 6) Tenaga penyuluh keamanan pangan/PKP (p6); 7) Tenaga inspektur pengawas pangan/FDI (p7); 8) Konsumen / masyarakat (p8); 9) Pemilik IKM (p9); 10) Karyawan IKM (p10). Hasil analisis dengan metode ISM
seperti disajikan pada Gambar 22
menunjukkan bahwa Badan Perencanaan Daerah (1) merupakan elemen yang kunci paling berpengaruh menggerakkan aktor lain, diikuti oleh Dinas Kesehatan (2), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (3) serta Perguruan Tinggi (5) sebagai faktor independent (strong driver – weak dependent).
Sub elemen Aktor Pelaku P‐1 P‐2 P‐3 P‐4 P‐5 P‐6 P‐7
Badan Perencanaan Daerah
(Bapeda)
10
Dinas Kesehatan Daerah
9
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Asosiasi industri
7
8
Peneliti/ Perguruan Tinggi
Kategori
10
4
Independent
10
4
Independent
10
4
Independent
6
5
Linkage
6
10
4
Independent
4
5
8
Dependent
5
8
Dependent
5
8
Dependent
1
9
Dependent
1
9
Dependent
Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan Tenaga Inspector pengawas
P‐8
Konsumen/masyarakat
P‐9
Pemilik IKM
P‐10
Dependency Driver Depen power dence
Hirarki
2
3 1
Karyawan IKM
5
Sub elemen kunci Aktor Pelaku: P1. P2, P3, P5
Gambar 22 Struktur hierarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar dan punya sedikit ketergantungan dengan pelaku lain. Bapeda dapat menjadi penggerak/pendorong koordinasi pelaku kunci antara Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Perguruan Tinggi yang 98
saling terkait dalam tujuan meningkatan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM roti. Asosiasi industri (4) merupakan faktor linkage (strong driver – strong dependence variables), yang artinya peranan asosiasi industri dapat dipengaruhi oleh dorongan pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
dan
Perdagangan.
Sementara
petugas
penyuluh
keamanan
pangan/PKP (6), petugas pengawas pangan/DFI (7), konsumen (8) merupakan faktor dependent (weak driver – strongly dependent variables), dimana posisi ketiga pelaku tersebut punya cukup kekuatan penggerak
namun punya
ketergantungan dengan pelaku lain tinggi. Pemilik IKM (9) dan Karyawan IKM (10) mempunyai tingkat ketergantungan yang paling tinggi dan kekuatan penggerak yang paling rendah termasuk faktor dependent (weak driver – strongly dependent variables). Hal ini berarti pemilik IKM dan karyawan IKM untuk menerapkan Good Manufacturing Practices sangat memerlukan daya dorong dari peranan pelaku kunci yaitu pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Berdasarkan hasil analisis ISM, diperoleh sub-elemen kunci seperti disajikan pada Tabel 22 yang dijadikan pertimbangan dalam perumusan strategi peningkatan mutu keamanan produk IKM roti di Kota Bogor melalui penerapan Good Manufacturing Practices. Tabel 22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti No.
Elemen
Sub elemen kunci
1
Pendukung
1. 2. 3. 4.
2
Kendala
1. Belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor (W1)
3
Pelaku
Lokasi Kota Bogor yang strategis (S1), Dukungan sarana prasarana yang memadai (S4) Peluang potensial peluang pasar dalam negeri (O1) Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen (O3) 5. Penggunaan tehnologi dan informasi (O4)
1. 2. 3. 4.
Badan Perencanaan Daerah (P1) Dinas Kesehatan Daerah(P2) Dinas Perindustrian dan Perdagangan(P3) Perguruan Tinggi
99
5.6 Perumusan Strategi (Matriks I’SWOT) Dari hasil Matriks IE sebelumnya terlihat posisi pemerintah Kota Bogor terkait dalam meningkatkan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM Roti dan Kue berada pada kotak sel V, yaitu pada kotak ‘jaga dan pertahankan’ (hold and maintain) dimana pada sel ini strategi yang umum digunakan adalah melakukan penetrasi pasar dan pengembangan produk (David, 2005). Strategi penetrasi pasar (market penetration) adalah strategi yang mengusahakan peningkatan pangsa pasar untuk produk/jasa yang ada
melalui
upaya pemasaran yang lebih besar. Strategi ini secara luas dapat digunakan secara sendirian maupun dikombinasikan dengan strategi lain. Penetrasi pasar mencakup peningkatan pengeluaran untuk iklan, penawaran produk-produk penjualan secara ekstensif atau meningkatkan publisitas. Strategi pengembangan produk (product development) adalah strategi peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk/jasa saat ini (David, 2005). Posisi pemerintah daerah Kota Bogor jika diaplikasikan pada matrik SWOT adalah strategi SO (Strengths –Opportunities), yaitu menggunakan kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang. Adapun perumusan strategi dengan menggunakan matriks SWOT untuk pemerintah
daerah
Kota
Bogor
dalam
meningkatkan
penerapan
Good
Manufacturing Practices di IKM roti dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini. Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses) dicantumkan pada baris (Horizontal) sedangkan Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) pada kolom (Vertikal). Analisa SWO terdiri dari empat alternatif strategi yaitu : analisa SO (Strengths –Opportunities), WO ((Weaknesses-Opportunities), S-T ( StrengthsThreats) dan WT (Weaknesses-Threats). 5.6.1 Srategi S-O (Strengths – Opportunities) Dari hasil stukturisasi strategi SO diperoleh bahwa letak Kota Bogor yang strategis (S1), dukungan sarana prasarana yang memadai (S4), peluang potensial peluang pasar dalam negeri (O1) , perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen (O3) dan penggunaan tehnologi dan informasi (O4) merupakan faktor independent (strong driver – weak dependent variables). Peubah pada sektor ini merupakan peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam hirarki. 100
Tabel 23 Perumusan Strategi (Matriks I’SWOT )
Faktor Internal
Faktor Eksternal O
Peluang (opportunities )
o1
Pontensial peluang pasar
o2
Adanya bantuan pemerintah pusat
T
Ancaman (threats )
S
Kekuatan (strenghs )
W
Kelemahan (weakness )
s1 Lokasi Kota Bogor yang strategis
w1
s4 Dukungan sarana dan prasarana kota memadai
w2
Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Pengembangan Industri Keterbatasan Jumlah/keahlian tenaga PKP dan FDI
s5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
w3 w7
Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler
Strategi S-O
Strategi W-O
1 Penyediaan “Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor” di kawasan strategis bagi produk IKM roti mendapat SP-PIRT(s1,o1) 2 Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5)
1
Program pelatihan terencana petugas PKP dan petugas pengawas pangan (w2,02)
2
3 Mengarahkan program bantuan pemerintah secara terencana, berkesinambungan dan berjenjang (s4,o2)
3
Melakukan pengawasan berkala setahun sekali (w7,02,01) Bimbingan intensif produsen IKM bakeri (w3,02)
Strategi S-T
Strategi W-T
t1
Persaingan produk bakery sejenis (franchaise)/ luar kota
1 Memfasilitasi asosiasi/perkumpulan IKM menggalang kekuatan dan kerjasama(t1)
1
Menetapkan Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah dan Pengembangan Industri (w1, t1)
t4
Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan
2 Memfasilitasi peningkatan desain dan inovasi pada label dan kemasan produk IKM roti ( t1,t4)
2
Pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank memfasilitasi pinjaman kredit lunak/modal bagi IKM roti (w3, t1)
101
101
Sedangkan hasil matrik IFE diperoleh bahwa kebijakan pemerintah kota Bogor membebaskan biaya SP-PIRT merupakan kekuatan utama. Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang adalah : 1.
Penyediaan “Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor” di tempat strategis sebagai media promosi dan pemasaran produk IKM Kota Bogor dan telah terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi SP-PIRT oleh pemerintah daerah (s1,o1) Adanya lokasi Kota Bogor yang strategis antara lain menjadi tujuan belanja
dan wisata kuliner, serta didukung dengan pemanfaatan sarana prasarana yang memadai digunakan untuk menangkap peluang potensial peluang pasar dalam negeri. Peluang pasar dalam negeri yang dipengaruhi perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen yang ingin mendapatkan produk pangan yang terjamin mutu keamanannya. Strategi yang dapat digunakan untuk hal ini adalah penyediaan tempat strategis yang sering dikunjungi belanja dan wisata untuk melakukan promosi sebagai kawasan penyediaan produk IKM yang terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi SP-PIRT oleh pemerintah daerah misal berslogan “Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor”. Selain promosi dan menciptakan peluang pasar bagi produk IKM, sekaligus memberikan pendidikan kepada konsumen agar memilih produk pangan yang memenuhi mutu keamanan. “Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor” ini dapat dimasukan dalam agenda paket kunjungan wisata Bogor Visit Year.
Kawasan yang potensial
dikunjungi wisatawan ataupun sebagai wisata kuliner antara lain di sekitar Kebun Raya Bogor, Surya Kencana, Tajur, sepanjang Jalan Raya Pajajaran, Taman Kencana. 2.
Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5) Sumber keuangan daerah Kota Bogor yang cukup baik dapat dimanfaatkan
untuk menunjang kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT tetap dipertahankan untuk mendukung sektor industri makanan–minuman yang menjadi basis perekonomian Kota Bogor. Pembebasan biaya SP-PIRT ditujukan untuk mendorong minat IKM memperoleh SP-PIRT tanpa ada pembebanan biaya pendaftaran. 102
Semakin banyak IKM yang mendapatkan SP-PIRT, diharapkan
semakin banyak IKM yang telah menerapkan good manufacturing practices. Dengan adanya nomor registrasi dan sertifikasi produk IKM Kota Bogor, maka akan mempermudah pemerintah dalam pengawasan,
pembinaan maupun
mempromosikan produk-produk IKM. 3.Mengarahkan
program
bantuan
pemerintah
secara
terencana,
berkesinambungan dan berjenjang (s4,o2) Adannya
jaringan
koordinasi
lintas
SKPD
dimanfaatkan
untuk
merencanakan dan mengarahkan bantuan pemerintah sesuai identifikasi dan level kebutuhan IKM. Program yang berkesinambungan dan berjenjang bagi IKM roti penting dibutuhkan dalam mendorong keberhasilan implementasi pemenuhan persyaratan keamanan pangan. Program bantuan diarahkan dalam paket yang berisikan berbagai segi aspek (baik aspek keamanan pangan, aspek keuangan, aspek pemasaran) karena IKM membutuhkan dukungan pengetahuan dalam berbagai segi aspek yang saling mempengaruhi dalam keberhasilan menjalankan usahanya. Program bantuan dibuat dalam paket yang berjenjang supaya disesuaikan tingkat kemampuan dan kebutuhan IKM, sehingga program bantuan tepat guna dan tepat sasaran. Misal paket bantuan dasar bagi IKM yang baru memulai usaha/tumbuh misal pelatihan pengetahuan prinsip dasar keamanan pangan, tata kelola keuangan dasar, teknik produksi dasar, teknik marketing dasar. Paket bantuan kedua misal bagi IKM yang telah menjalankan bisnisnya 3 tahun dengan materi penyusunan manual penerapan Good Manufacturing Practices, manajemen keuangan dan sumberdaya, penciptaan brand image, dan lain-lain. Paket bantuan ketiga misal diperuntukan bagi IKM yang siap memperluas jaringan pemasarannya dengan progam bantuan insentif sertifikasi GMP/HACCP. Untuk dapat mengarahkan rencana dan program bantuan pemerintah , maka perlu didukung data base pemetaan dan kondisi, pelatihan yang telah disalurkan bagi IKM di Kota Bogor yang dibahas secara lintas sektoral. 5.6.2 Strategi WO ((Weakness-Opportunities) Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang adalah :
103
1) Program pelatihan terencana petugas penyuluh keamanan pangan dan petugas pengawas pangan (w2, 02) Jumlah dan keahlian petugas penyuluh dan pengawasa pangan dapat diperbaiki dengan dua alternatif yaitu merekrut baru sumber daya manusia yang kompeten atau memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan memberikan program pelatihan yang terencana. Program pelatihan tersebut harus dimasukan dalam agenda Rencana Strategis Aksi Pangan Daerah sesuai acuan RAN-PG. Indikator capaian hasil yaitu jumlah tenaga PKP dan jumlah tenaga pengawas pangan. Menurut Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012, kriteria tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang penyuluhan keamanan pangan dari Badan POM dan ditugaskan oleh Bupati / Walikota. Kriteria Tenaga Pengawas Pangan Kabupaten/Kota (District Food Inspector/DFI) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki sertifikat kompetensi pengawas pangan dari Badan POM. Selain ketersediaan jumlah, tingkat keahlian petugas penyuluh maupun pengawas keamanan pangan juga menentukan keberhasilan penyampaian informasi kepada IKM maupun masyarakat. Perkembangan masalah keamanan pangan maupun perkembangan tehnologi proses produksi yang sangat cepat, haruslah diikuti oleh kemampuan petugas penyuluh maupun pengawas dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu perlu diprogramkan peningkatan keahlian petugas penyuluh maupun pengawas yang ada melalui pelatihan yang sesuai seperti pelatihan SHACCP, ISO 22000, Penyusunan Dokumentasi Mutu, Teknik Komunikasi, Tehnologi Produksi, dan lainya. 2) Melakukan pengawasan berkala setahun sekali (w7,02,01) Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor Hk.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga lampiran 1 butir g bahwa Bupati/ WaliKota cq. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan monitoring (pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT yang telah diterbitkan minimal 1 (satu) kali dalam setahun.
104
Hasil penelitian Wilcock et al. ( 2011) mengidentifikasi salah satu motivasi utama dalam menerapkan HACCP (termasuk didalamnya Good Manufacturing Practices) pada industri pangan kecil dan menengah adalah karena adanya regulasi pemerintah. Kepatuhan terhadap standar terkait keamanan pangan terutama di negara berkembang dapat diimplementasikan hanya dengan bantuan sistem surveilan yang kuat (Aloui and Kenny, 2005).
Mekanisme ini harus
didukung dengan mekanisme umpan balik tepat terstruktur, strategi pengelolaan sistem informasi terkoordinasi antara lembaga terkait, dukungan infrastruktur teknis dan sumber daya finansial serta pemberdayaan tenaga kerja terlatih sebagai bagian integral dari kerangka keamanan pangan (Sagheer and Syadav, 2008). Untuk itu program pengawasan harus ditegakkan secara regular untuk mendorong IKM benar-benar menerapkan Good Manufacturing Practices. 3) Bimbingan intensif produsen IKM roti (w3,02) Salah satu strategi yang disarankan oleh WHO (1999) kepada pemerintah negara berkembang dalam upaya mendorong peningkatan penerapan sistem keamanan pangan pada industri kecil dan menengah,
yaitu
memberikan
bimbingan dan informasi jelas (misalnya manual, booklet, leaflet dan video) serta membuat proyek percontohan pada IKM yang dibimbing intensif sebagai unjuk demonstrasi kepada IKM lain.
Bimbingan intensif pada IKM dibutuhkan
mengingat keterbatasan pengetahuan dan sumberdaya yang ada pada IKM. 5.6.3 Strategi S-T ( Strengths- Threats) Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman adalah : 1)
Memfasilitasi asosiasi/perkumpulan IKM menggalang kekuatan dan kerjasama (t1) Pada saat penelitian ini dilakukan baru dibentuk kepengurusan asosiasi IKM
di Kota Bogor atas fasilitasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor pada bulan Mei 2012. Mengingat asosiasi ini relatif baru terbentuk, maka dorongan dan fasilitasi dari pemerintah daerah sangat diperlukan agar IKM bergabung sehingga mempunyai kekuatan untuk mengatasi ancaman bersamasama dengan pemerintah daerah Kota Bogor. Adanya perkumpulan/asosiasi akan memudahkan IKM membentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan 105
memudahkan penyaluran aspirasi kepada pemerintah daerah Kota Bogor. Menurut WHO (1999) selain pemerintah, peran perkumpulan/ asosiasi industri dan perkumpulan konsumen/masyarakat diperlukan untuk mendorong keberhasilan penerapan sistem manajemen keamanan pangan di industri. 2)
Memfasilitasi peningkatan desain dan inovasi pada label dan kemasan produk IKM roti (t1,t4) Salah satu mengatasi ancaman persaingan dengan industri sejenis adalah
dengan terus mendorong IKM meningkatkan mutu dan kemasan produknya melalui berbagai penyuluhan atau bimbingan. Umumnya produk IKM juga memiliki kekurangan pada label dan kemasan yang sederhana dan kurang menarik, untuk itu perlu ada bimbingan pelatihan untuk mendesain kemasan sesuai persyaratan dan menarik konsumen. 5.6.4 Strategi W-T ( Weakness- Threats) Hasil stukturisasi penyusun strategi WT diperoleh elemen kunci dalam tipe strategi ini adalah faktor belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor (w1). Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman adalah : 1) Menetapkan Rencana Strategis
Aksi Pangan-Gizi Daerah dan
Pengembangan Industri (w1, t1) Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah perlu dibuat selaras dengan acuan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah ditetapkan Bapenas. Acuan Strategi Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan antara lain: a. Peningkatan jumlah dan kompetensi tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP) dan Pengawas Pangan Kabupaten / Kota (District Food Inspector). Indikator capaian hasil yaitu: 1) Jumlah tenaga PKP dan 2) Jumlah pengawas pangan. b. Bimbingan teknis pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). dengan indicator capaian hasil yaitu: 1) Jumlah penyusunan modul penerapan prinsipprinsip keamanan pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produknya; 2) Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi penerapan 106
prinsip-
prinsip kpamanan Pangan; 3) Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan implementasi cara produksi produk pangan yang baik (CPPB); 4) Monitoring dan verifikasi penerapan CPPB pada IRT. Oleh karena Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah yang mengacu ke Rencana Aksi Pangan Nasional mencakup perencanaan SDM (jumlah dan keahlian tenaga PKP dan pengawas/DFI) dan alokasi pendanaan, sehingga mekanisme survailen dan penyuluhan dapat berjalan regular dan akan berdampak pada peningkatan pemahaman keamanan pada tenaga kerja IKM. Sehingga pada akhirnya akan mengurangi ancaman persaingan produk roti sejenis franchaise . 2) Pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi pinjaman kredit lunak/pinjaman modal bagi IKM (w3, t1) Secara umum modal dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk menerapkan Good Manufacturing Practices membutuhkan dukungan dana seperti perbaikan fasilitas bangunan, penyediaan alat kerja, training dan lain-lain. Sehingga keterbatasan modal menjadi penghalang bagi IKM dalam menerapkan GMP maupun menggerakan bisnisnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Karaman et al. (2012)
yang menemukan bahwa biaya (46,4%) dan
ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik (35,7%) merupakan penghalang utama untuk mengadopsi program prasyarat (PRPs) pada pabrik susu Aydın. Oleh karena itu pemerintah bersama dengan asosiasi IKM perlu melakukan upaya pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi pinjaman kredit lunak/pinjaman modal bagi IKM .
5.7 Pembuatan Keputusan Strategi Dari analisa Matriks SWOT maka diperoleh beberapa strategi yang disarankan.
Mempertimbangkan hasil Matriks SWOT dan strukturisasi ISM
maka dipilih 2 kelompok usulan strategi yaitu : a.
Strategi yang dipilih mempertimbangkan kekuatan Hasil analisa SWOT menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kota
Bogor membebaskan biaya SP-PIRT merupakan kekuatan utama. Hasil strukturisasi ISM menunjukan bahwa elemen kunci faktor pendukung yang dimiliki pemerintah daerah Kota Bogor yaitu letak Kota Bogor yang strategis, 107
dukungan sarana prasarana yang memadai, peluang potensial peluang pasar dalam negeri,
perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen,
penggunaan tehnologi dan informasi . Oleh karena itu strategi yang dipilih dengan mempertimbangkan faktor kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kota Bogor yaitu : 1.
Penyediaan “Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor” di kawasan strategis bagi produk IKM roti yang telah mendapat SP-PIRT
2.
Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
b.
Strategi yang dipilih mempertimbangkan kelemahan yang ada Faktor kelemahan utama hasil analisa SWOT adalah
mekanisme
pengawasan yang belum diterapkan secara regular serta keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh (PKP) dan pengawas (DFI). Hasil strukturisasi ISM menunjukan bahwa elemen kunci faktor kendala bagi peningkatan penerapan GMP pada IKM roti adalah belum adanya rencana strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun rencana strategis pengembangan industri yang ditetapkan. Oleh karena itu strategi yang dipilih dengan mempertimbangkan faktor kelemahan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kota Bogor yaitu : 1.
Menetapkan Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah dan Rencana Strategis Pengembangan Industri
2.
Program pelatihan terencana petugas penyuluh keamanan pangan (PKP) dan petugas pengawas pangan (DFI)
3.
108
Melaksanakan pengawasan berkala setahun sekali.
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Hasil analisis yang telah dilakukan pada lingkungan pemerintah Kota Bogor dan Industri IKM roti Kota Bogor diperoleh beberapa kesimpulan yaitu : 1) Posisi pemerintah Kota Bogor berada pada koordinat matriks IE (2,333; 2,476), yaitu pada posisi kuadran V dengan kotak ‘jaga dan pertahankan’ (hold and maintain), sehingga strategi diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan IKM yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan, publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti. 2) Elemen kunci aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM Roti yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan Tinggi. 3) Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bogor . 4) Elemen kunci faktor pendukung yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu letak Kota Bogor yang strategis, dukungan sarana prasarana yang memadai, peluang potensial pasar, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen dan penggunaan tehnologi dan informasi. 5) Berdasarkan hasil I’SWOT terdapat 5 strategi
pilihan yang disarankan bagi
pemerintah daerah Kota Bogor untuk meningkatkan mutu keamanan produk IKM roti melalui penerapan Good Manufacturing Practices.
6.2. Saran Penelitian penerapan Good Manufacturing Practices terkait produk IKM dapat diarahkan kepada produk IKM berkategori resiko tinggi terhadap keamanan pangan atau banyak yang menggunakan atau sering menggunakan zat tambahan yang dilarang oleh BPOM seperti minuman sirop, tahu, gula/permen. 109
110
DAFTAR PUSTAKA Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8 [Anonim], 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jakarta. [BAPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : BAPPENAS. Bas, M., Mariye Yüksel dan Tugba, C. ( 2007). Diffculties and barriers for the implementing of HACCP and food safety systems in food businesses in Turkey. Food Control 18 (2007) 124–130. Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health WHO’s Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety and Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua – Bali, Indonesia Bintoro VP , 2009. Peranan Ilmu dan Teknologi dalam Peningkatan Keamanan Pangan Asal Ternak. Makalah pada Forum Pengukuhan Guru Besar Fakultas Perternakan Universitas Diponegoro 22 Januari 2009, Semarang [terhubung berkala]. http://eprints.undip.ac.id/7028/1/V_Priyo.pdf [ 20 Febuari 2012]. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta : BPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peranan Surveilan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Laporan Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan. 20 Juni 2005. Jakarta : BPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2008. KLB Keracunan Pangan Tahun 2001-2006. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Jakarta : BPOM. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data Strategis BPS. Jakarta : BPS. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01- 4852-1998 : Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya. Jakarta : BSN. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003.Recommended International Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 11969, Rev.4-2003. Rome : CAC. Darminto dan S. Bahri. 1996. “Mad Cow” dan penyakit sejenis lainnya pada hewan dan manusia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 15(4): 84−88.Departemen Pertanian.[terhubung berkala] http://pustaka.litbang. deptan.go.id/ publikasi/p3283093.pdf.[ 20 Febuari 2012] 111
David FR. 2006. Strategic Management : Concepts and Cases. Ed ke-10. New Jersey. [Deperin] Departemen Perindustrian. 2008. Potret Tiga Setengah Tahun Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Industri Manufaktur Tahun 2005-2009. Laporan Departemen Perindustrian Tahun 2008. Jakarta : Departemen Perindustrian. Dewanti, R danNuraida, L. 2001. Keamanan Pangan Fungsional dan Suplemen Berbasis Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen, 54-63. Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB Bogor. Dewanti, R. 2009. Implementation of food safety management at industri level in developing countries: is gmp/haccp confusing? Proceeding of International Seminar Current Issues and Challenges in Food safety. [Ditjen POM] Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. [Ditjen POM] Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. [Ditjen PDN] Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Erlina, Rr. 2011. Strategi Pengembangan Agroindustri Bioetanol di Provinsi Lampung. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Tehnologi Pertanian , Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Pelatihan Singkat Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan FAO (2006). Strenghtsening national food control systems. Guidelines to assess capacity building needs, Rome, Italy. Girsang, CI. 2007. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu Dan Keamanan Pangan Produk Crude Palm Oil Di PT. Perkenunan Nusantara III Dan Minyak Goreng Di PT. Astra Agro Lestari, Tbk. [Thesis]. Bogor. Fakultas Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hanani, N. 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur.
112
Hariyadi P. 2007. Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui Ilmu dan Teknologi Pangan. Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Center IPB. Bogor. Hariyadi,P. 2008. Beban Ganda: Permasalahan Keamanan Pangan di Indonesia Artikel Pangan Edisi No. 51/XVIII/Juli-September/2008. Herath, D. dan Henson, S. 2005. Identification and quantification of barriers to HACCP implementation: Evidence from Ontario Food Processing sector. Selected paper prepared for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Providence, Rhode Island, July 2427, 2005
Hubeis, M. 1997. Menuju industri kecil profesional di era globalisasi melalui pemberdayaan manajemen industri. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen Industri, Fakultas Tehnologi Pertanian.Bogor : IPB. Janes, FR. 1988. Interpretive Structural Modelling(ISM): a methodology for structuring complex issues. Transactions Institute of Measurement and Control, Vol. 10 No. 3, pp. 145-54. Jaya, R., Machfud dan Ismail, M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM untuk identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan mutu kopi gayo. Jurnal Teknologi Industi. Pertanian Vol. 21 (1), 1-8. Jharkharia,S. 2011. Interrelations of critical failure factors in ERP implementation: an ISM-based analysis. International Conference on Advanced Management Science. IPEDR vol.19 (2011). Singapore. [KADIN] Kamar Dagang dan Industri Indonesia. 2010. Kebutuhan Teknologi dan Potensi Kerjasama Riset dengan Industri.[terhubung berkala] http:// www.ristek.go.id/file/upload/Pengumuman/2010/KADIN.pdf. [20 Januari 2012] Karaman, A. D., Ferit Cobanoglu , Renan Tunalioglu and Gulden Ova , 2012. Barriers and benefits of the implementation of food safety management systems among the Turkish dairy industri: A case study. Food Control 25 (2012) 732- 739 Lawley R, Curtis L, and Davis J. 2008. The Food Safety Hazard Guidebook. RSC Publishing. Cambridge. Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzy logic untuk system pengembangan agroindustri minyak atsiri.[Disertasi]. IPB. Bogor. [Menpangan] Menteri Negara Urusan Pangan. 1996. Undang- Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Jakarta.
113
[Menpangan] Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura. 1999. Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Mirah, AD. 2007. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Daerah. Disertasi. Pasca Sarjana Tehnologi Industri Pertanian. Bogor. Nababan TR. 2007. Analisis Strategi Pemasaran Produk Home Industri Roti (Studi Kasus di Home Industri Marinda, Kelurahan Gunung Batu, Bogor). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pearce JA, Robinson RB. 1997. Manajemen Strategik :Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian. Maulana A, penerjemah; Jilid Satu. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Terjemahan dari: Strategic Managemen :Formulation, Implementation, and Controlling. Purnawan, AH. 2010. Kajian pengembangan usaha IKM pangan komoditi roti dan kue di Kota Bogor (Studi kasus di industri kecil Elsari Bogor). [Thesis]. Program Studi Industri Kecil Menengah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rahayu, 2009. Disain Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan Ikan Berbasis Perbaikan Kinerja Mutu Dalam Rantai Pasokan Ikan Laut Tangkapan Di Wilayah Utara Jawa Barat.[Thesis]. Bogor : Fakultas Tehnologi Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Randell AW. 2000. International food standards : The Work of Codex. Di dalam : Rees N, Watson D, editor. International Standard for Food Safety. Maryland : An Aspen Publication. Rahayu, W. P. 2008. KLB Keracunan Pangan Tahun 2008: Laporan Tahunan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, Jakarta. Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2nd edition, Academic Press, Inc., San Diego. Sarter S, Gilles dan Patrick Gilabert . 2010. A Swot analysis of HACCP implementation in Madagascar. Food Control 21 (2010) 253–259 Sarter, Gilles dan Samira Sarter. 2012. Promoting a culture of food safety to improve hygiene in small restaurants in Madagascar. Food Control 25 (2012) 165-1. Sagheer, S., Yadav, S.S. and Deshmukh, S.G. 2008. An application of interpretative structural modeling of the compliance to food standards. International Journal of Productivity and Performance Management Vol. 58 No. 2, 2009 p. 136-159.
114
Sapers GM, Gorny JR, and Yousef AE. 2006. Microbiology of Fruits and Vegetables. CRC Press.Boca Raton, London, New York. Saxena, Sushil JP, Vrat P. 1992. Scenario Building: A Critical Study of Energy Conservation in The Indian Cement Industri. Technological Forecasting and Social Change 41: 121-146. Siregar, D. 2009. Strategi Peningkatan Mutu Dan Keamanan Produk Olahan Markisa Di PT. Pintu Besar Selatan, Sumatera Utara. [Thesis]. Bogor. Fakultas Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sekretaris Jenderal Menteri Perindustrian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Perindustrian tahun 2010-2014 dan Peran Daerah Dalam Menghadapi FTA. Yogyakarta: Menperin. S.M. Osés , P.A. Luning , L. Jacxsens , S. Santillana , I. Jaime and J. Rovira . 2012. Food safety management system performance in the lamb chain. Food Control 25 (2012) 493-500. Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 – 18. Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan Yang Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 – 2 : 41-54. Sukarman W. 2007. Modul Kuliah (MAN 542) Pengelolaan Industri : Peran Industri Perbankan dalam Mendukung Sektor UMKM di Indonesia. Bogor: Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah Sekolah Pascasarjana IPB. Supar. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek prapanen: Permasalahan dan solusi. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan Bogor, 14 September 2005. hlm. 56−60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Stanton G. 2000. Food Safety and International Trade : The Role of The WTO and The SPS Agreement. Di dalam : Rees N, Watson D, editor. International Standard for Food Safety. Maryland : An Aspen Publication. Tarigan, A.B. 2010. Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Roti di Perusahaan Bogor Permai. Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Diploma, IPB. Umar H. 2008. Strategic Management in Action. Cetakan Kelima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Warfield, J. N. 1974a. Structuring complex systems, Battelle Monograph No 4, Battelle Memorial Institute, Columbus. Ohio, USA. 115
[WHO] World Health Organization. 1999. Report of WHO Food Safety Programme: Strategies for Strategies for Implementing HACCP in Small and/or Less Developed Businesses. The Netherlands The Hague. Winarno FG. 1993. Makanan tradisional: keamanan, gizi, dan khasiat. Di dalam: Naskah Akademis Keamanan Pangan. IPB Press. Bogor. Winarno FG. 1994. Mikrobiologi dan keamanan pangan. Di dalam: Naskah Akademis Keamanan Pangan. IPB Press. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Naskah Akademis. Keamanan Pangan. FTDC (Food Technology Development Center) Institut Pertanian Bogor. Winarno, F.G. 2004. Keamanan Pangan, Cetakan 1 Jilid 2. M-Brio Press, Bogor. Wilcock, A., Ball, B., & Aung, M. 2011. Effective implementation of food safety initiatives: Managers, food safety coordinators and production workers perspectives. Food Control 22 (2011) 27-33. Yapp, C. dan Fairman, R. (2006). Factors affecting food safety compliance within small and medium-sized enterprises: implications for regulatory and enforcement strategies. Food Control 17 (2006) 42–51.
116
LAMPIRAN
117
118
Lampiran 1 Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian
No
Nama Pakar
Jabatan
Keahlian Terkait
Aplikasi
1
Dra Nurhaedah, Apt
Kepala Seksi Perbekas POM Dinas Kesehatan Kota Bogor
- Petugas Penyuluh Keamanan Pangan - Food District Inspector - Pengalaman kerja lebih dari 10 tahun terkait SP-PIRT
SWOT
2
Gupuh Samirono, BBA
- Petugas Pembina IKM - Pengalaman kerja lebih dari 10 tahun terkait IKM bidang makanan
SWOT, ISM
3.
Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc
Kepala Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Pangan FATETA IPB
SWOT, ISM
4.
Ir. Maman Rohaman, MSc
Kepala Bidang Pengujian dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro
5
H Maman Surachman
Pemilik ELsari Ketua Asosiasi IKM
- Dosen ilmu pangan - Asesor KAN bidang HACCP dan SMKP - Anggota Sub Panitia Teknis Sistem Manajemen Mutu bidang Pangan - Menjadi konsultan GMP/ HACCP/ SMKP di berbagai industri - Pengalaman kerja lebih dari 10 tahun terkait aspek GMP/HACCP Peneliti bidang keamanan pangan Auditor HACCP/ SMKP - Pengalaman konsultan GMP/ HACCP/ SMKP di berbagai industri - Pengusaha bakery lebih dari 5 tahun - Pengalaman menerapkan GMP pada perusahaannya
SWOT, ISM
SWOT
119
Lampiran 2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor
120
Lampiran 3 Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor
121
Lampiran 4 Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 – 2011 N O
CABANG INDUSTRI )
I.
INDUSTRI KIMIA, AGRO DAN HASIL HUTAN (IKAH) INDUSTRI MENENGAH / BESAR
A .
B
C
1. Makanan 2. Minuman 3. Kayu Olahan dan rotan 4. Pulp dan Kertas 5. Bahan Kimia dan karet 6.Bahan Galiannon logam 7. Kimia INDUSTRI KECIL FORMAL 1.Makanan 2. Minuman 3. Kayu Olahan dan rotan 4. Pulp dan Kertas 5. Bahan Kimia dan karet 6.Bahan Galiannon logam 7. Kimia
2006
Tahun (jumlah unit usaha) 2007 2008 2009 2010
2011
9 8 10 8 6 2 5
15 9 10 10 7 2 8
22 9 11 11 7 2 6
25 12 12 11 8 2 8
25 13 13 12 9 2 9
25 14 13 13 11 2 9
48
59
68
78
83
87
180 40 111 79 13 37 43
193 49 114 79 13 37 58
213 58 118 83 23 37 61
225 61 120 92 23 37 65
240 69 120 93 23 37 71
263 78 121 100 24 37 78
Presentase peningkatan (thn 20102011)
4.82
7.35
503
543
593
623
653
701
INDUSTRI KECIL NON FORMAL 1. Makanan 2. Minuman 3. Kayu Olahan dan rotan 4. Pulp dan Kertas 5. Bahan Kimia dan karet 6.Bahan Galiannon logam 7. Kimia
979 203 80 28 35 23
998 207 82 33 35 23
1.017 211 84 34 36 25
1.037 216 84 37 36 28
1.057 221 84 41 36 31
1.078 226 84 47 36 35
Sub Total I
1,348 1.899
1.378 1.980
1.407 2.068
1.438 2.139
1.470 2.206
1.506 2.294
2.45 3.99
II
INDUSTRI LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA
A
INDUSTRI MENENGAH / BESAR
44
44
46
48
49
56
14.29
B
INDUSTRI KECIL FORMAL INDUSTRI KECIL NON FORMAL Sub Total II Total
340
347
363
331
336
338
0.60
703
715
731
748
765
789
3.14
1.087 2.986
1.106 3.086
1.140 3.208
1.127 3.266
1.150 3.356
1.183 3.477
2.87 3.61
C
Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bogor diolah
122
Lampiran 5 Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor NO
Nama Industri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Jenis Komoditi
Parkindo Lestari Roti PT Dunkindo Lestari Roti PT Talkindo Selaksa A. Roti PT Hero Supermarket, tbk Roti Bogor Permai Roti Dwi Kandi Roti Tista Roti Kue PT Matahari Putra Prima Roti Lautan Bakery Roti Merdeka Roti Mahkota Bakery Roti PT. Ramayana Shany Bakery Roti Tan Tjoan Roti Venus Roti Berkah Roti Evy Boy Roti, Kue Elsari Roti/Brwonies De Paris Roti Roti PT Mustika Citra Rasa Holla Roti Meridien Roti Noora Cake Roti Sukses Bakeri Roti Yun Yen Roti Nila Rosa Bakery Roti Family Bakery Roti Delicius Roti Bogasari Roti Heroy Sari Roti SAE Roti Roti Dahlan Zein Roti PIA Apple Pie Apple Manis Bakery Roti Bambi Roti dan kue PT Eka Dasa Perkasa Roti Rifia Roti 3 Roses Roti, Kue Jumbo Bakery Roti Surya bakery Roti Dwi Rabo Bakery Roti Azakia Cake &Bakery Roti, kue Keisha Kue Singapore Bakery Roti, kue Mekar Jaya Roti Edi's Bakery Roti Pelangi Kue
Unit
Kapasitas Produksi Per tahun Nilai Investasi (RP)
Buah Kg Buah buah Buah Buah Buah Buah Kg Buah Buah Kg Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Dus Buah Kg Buah Buah Buah Buah Loyang Buah Buah Buah Buah Kg Buah Buah Buah Kg Loyang Kg Buah Buah Kg
150.000 100.000 1.400.000 120.000 1.080.000 195.000 360.000 57.600 39.000 270.000 600.000 7.200 200.000 150.000 1.800.000 750.000 500.000 16.800 270.000 46.000 150.000 30.000 780.000 500.000 50.000 180.000 4000 150.000 100.000 750.000 180.000 7.500 260.000 2.600.000 180.000 50.000 1.200 108.000 180.000 180.000 1.500 9.216 12.000 75.000 35.000 50.000
17,500,000 17,500,000 231,180,000 1,100,000 359,300,000 22,700,000 25,000,000 248,000,000 34,500,000 175,000,000 16,000,000 41,000,000 11,000,000 13,000,000 364,700,000 2,680,000 20,000,000 85,000,000 120,000,000 140,400,000 15,000,000 30,000,000 14,600,000 1,350,000 10,000,000 15,000,000 16,000,000 3,000,000 3,500,000 30,000,000 8,500,000 81,500,000 1,250,000 28,000,000 3,500,000 40,000,000 49,470,000 80,000,000 1,200,000 2,000,000 40,060,000 45,800,000 49,770,000 9,800,000 19,300,000 3,000,000
Tenaga Kerja
30 30 29 28 25 24 20 15 15 14 12 12 11 11 11 10 10 10 9 9 8 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 3 3
Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bogor diolah
123
Lampiran 6 Industri roti yang mendapatkan SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor No
Nama Industri/pemilik
Jenis Komoditi
Nilai hasil Pemeriksaan Sarana Produksi
Tahun Terbit Sertifikat
Bie‐bie Lasalie Cake Andrea Bogor Permai Lita Dewi Iis Rosita Sari
brownies Cake Roti Roti Roti‐kue Roti, cake
Kategori B Kategori B Kategori B Kategori B Kategori B Kategori B
2006 2006 2006 2006 2006 2006
7 Mitra Resa 8 Novin Bakery
brownies Roti‐kue
Kategori B Kategori B
2007 2007
Roti Roti‐kue Roti Roti
Kategori B Kategori B Kategori B Kategori B
2007 2007 2007 2010
13 Shofie Indri Notari
brownies
Kategori C
2006
14 Maya bakery
roti‐kue
Kategori C
2006
15 Nora Bakery
roti‐kue
Kategori C
2006
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
roti‐kue Kue Kue Roti Roti‐kue Roti Roti, cake roti‐kue roti Roti‐kue Roti‐kue Roti Roti Roti‐kue Roti‐kue Roti
Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C
2006 2006 2006 2006 2006 2006 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2008 2008 2008
32 Galuh Sari
Roti‐kue
Kategori C
2008
33 Roti gantang
Roti
Kategori C
2008
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Roti‐kue Roti Roti, cake Roti Roti Roti, kue Roti, kue Roti Roti, cake Roti, kue Roti, kue Roti, cake Roti Roti Roti Roti
Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori C Kategori K Kategori K
2008 2008 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 2011 (aplikasi2009) (aplikasi2012)
1 2 3 4 5 6
9 10 11 12
Jumbo bakery Ika Sukaesih BreadCo Yogya BreadCodYogya surken
Teratai Siti solekhah Wagito Simon bakery Mom's bakery Ine Agustiany De Paris Roti lestari Roti singapore Mona bakery Vina lesmana My Bread rotiku La Sandy Natasha Lilly Kusumawati Jawara bakery
Foodmart ekalos Mimi roti Sarah bakery & cake AlexCornus Rivara Firda sari Roti Venus Bakery Abdul Hamid Akazia Cake Heroy sari Proboningsih The Cake House Cecep Solihin Sunandar bakery Hoip Andry Syarifudin
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor diolah 124
Lampiran 7 Contoh formulir penilaian CPPB-IRT
125
Dengan kriteria penilaian masing-masing unsur sebagai berikut : GRUP A : LINGKUNGAN PRODUKSI 1. Semak B : bebas dari semak belukar/rumput liar di dalam maupun di luar halaman. C : bebas dari semak belukar/rumput liar di dalam halaman K : terlihat semak belukar/rumput liar di dalam maupun di luar halaman. 2. Tempat sampah B : jumlahnya cukup dan selalu tertutup C : jumlahnya cukup tetapi sebagian terbuka. K : jumlah kurang dan selalu terbuka. 3. Sampah B : bebas dari sampah di dalam maupun di luar sarana produksi C : bebas dari sampah di dalam sarana produksi K : terlihat sampah di dalam maupun di luar sarana produksi 4. Selokan B : ada selokan dan berfungsi dengan baik. C : ada selokan dan tidak berfungsi dengan baik. K : tidak ada selokan GRUP B : BANGUNAN DAN FASILITAS B.1. Ruang Produksi 1. Konstruksi lantai B : kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, dibuat miring mudah dibersihkan C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan. 2. Kebersihaan lantai B : lantai selalu dalam keadaan bersih C : lantai dalam keadaan kurang bersih K : lantai dalam keadaan kotor 3. Konstruksi dinding B : kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, dan kuat sehingga mudah dibersihkan C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan 4. Kebersihan dinding B : dinding selalu dalam keadaan bersih. C : dinding dalam keadaan kurang bersih K : dinding dalam keadaan kotor 5. Konstruksi langit langit B : terbuat dari bahan tahan lama, tidak bocor, tidak berlubanglubang dan tidak mudah mengelupas sehingga mudah dibersihkan C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan 6. Kebersihan langit-langit B : langit-langit selalu dalam keadaan bersih C : langit-langit dalam keadaan kurang bersih K : langit-langit dalam keadaan kotor 7. Konstruksi pintu jendela dan lubang angin B : dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata halus berwarna terang, dapat
126
dibuka tutup dengan baik, dilengkapi kasa yang dapat dilepas sehingga mudah dibersihkan C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan 8. Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin B : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan bersih C : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan kurang bersih K : pintu, jendela, dan lubang angin dalam keadaan kotor B.2. Kelengkapan Ruang Produksi 1. Penerangan B : ruang produksi cukup terang K : ruang produksi kurang terang Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K 2. Perlengkapan pertolonggan pertama pada kecelakaan (P3K) B : ada perlengkapan P3K yang memadai C : ada perlengkapan P3K yang tidak memadai K : tidak ada perlengkapan P3K B.3. Tempat Penyimpanan 1. Tempat Penyimpanan Bahan dan Produk: B : tempat penyimpanan bahan pangan dengan produk akhir terpisah dan selalu dalam keadaan bersih C : tersedia tempat penyimpanan seperti (B) tetapi tidak teratur dan kurang bersih K : tempat penyimpanan tidak terpisah 2. Tempat Penyimpanan Bahan Bukan Pangan B : tempat penyimpanan bahan bukan pangan terpisah dengan bahan pangan dan produk akhir serta selalu dalam keadaan.bersih K : tidak ada tempat penyimpanan terpisah unnk bahan bukan pangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K GRUP C : PERALATAN PRODUKS1 1. Konstruksi B : Terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan K : Peralatan kotor, bocor, serta permukan yang kontak langsung dengan pangan bercelah, mengelupas, dan menyerap air. Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. TataLetak B : diletakkan sesuai urutan proses produksi C : diletakkan kurang sesuai urutan proses produksi K : diletakkan tidak sesuai urutan proses produksi 3. Kebersihan B : semua peralatan produksi berfungsi dengan balk dan selalu dalam keadaan bersih C : sebagian peralatan produksi dalam keadaan kurang bersih K : peralatan produksi dalam keadaan kotor GRUP D : SUPLAI AIR 1. Sumber Air B : air berasal dari sumber yang bersih dan dalam jumlah yang cukup K : air berasal dari sumber yang kotor Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Penggunaan air B : air untuk pengolahan pangan dan untuk keperluan lain memenuhi persyaratan air bersih K : air untuk pengolahan pangan dan untuk keperluan lain tidak
127
memenuhi persyaratan air bersih Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 3. Air yang Konlak Langsung Dengan Pangan : B : memenuhi persyaratan air minum K : tidak memenuhi persyaratan air minum unsur hanya ada "B" dan "K". GRUP E : FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI E.1. Alat Cuci/Pembersih 1. Ketersediaan Alat B : tersedia alat cuci/pembersih dan selalu dalam keadaan bersih K : tersedia alat cuci/pembersih dalam keadaan kotor Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". E.2. Fasilitas Higiene Karyawan 1. Tempat Cuci Tangan B : ada tempat cuci tangan lengkap dengan sabun dan lap bersih C : ada tempat cuci tangan tetapi tidak dilengkapi sabun dan lap bersih K : tempat cuci tangan kotor dan atau tidak ada tempat cuci tangan 2. Jamban/Toilet B : jumlahnya cukup, pintu selalu tertutup dan dalam keadaan bersih C : jumlahnya cukup, pintu terbuka langsung ke ruang produksi K : jumlahnya kurang dan kotor E.3. Kegiatan Higiene dan Sanitasi 1. Penanggungjawab B : ada penanggung jawab kegiatan dan pengawasan dilakukan secara rutin C : ada penanggung jawab kegiatan tetapi pengawasan tidak dilakukan secara rutin K : tidak ditunjuk penanggung jawab kegiatan 2. Penggunaan deterjen dan disinfektan B : sesuai dengan petunjuk yang dianjurkan K : tidak sesuai dengan petunjuk yang dianjurkan penilaian unsur hanya ada "B" dan " K" GRUP F : PENGENDALIAN HAMA 1. Hewan Peliharaan B : hewan peliharaan tidak berkeliaran di sarana produksi K : hewan peliharaan berkeliaran di sarana produksi Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Pencegahan masuknya hama B : Ada upaya mencegah masuknya hama dan tidak terlihat indikasi adanya hama C : Ada upaya mencegah masuknya hama tetapi masih terlihat indikasi adanya hama K : tidak ada upaya mencegah masuknya hama 3. Pemberantasan Hama B : upaya memberantas hama tidak mencemari pangan K : tidak ada upaya memberantas hama Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K GROUP G : KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN G.1. Kesehatan Karyawan 1. Pemeriksaan kesehatan B : pemeriksaan kesehatan karyawan dilakukan secara berkala K : pemeriksaan kesehatan karyawan tidak dilakukan secara berkala Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
128
2. Kesehatan karyawan B : karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sehat K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sakit atau menunjukkan gejala sakit Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". G.2. Kebersihan Karyawan 1. Kebersihan Badan B : semua karyawan selalu menjaga kebersihan badan K : ada karyawan yang kurang menjaga kebersihan badan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Kebersihan Pakaian/perlengkapan Kerja: B : pakaian/perlengkapan kerja selalu dalam keadaan bersih K : pakaian/perlengkapan kerja kurang bersih atau kotor Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 3. Kebersihan Tangan B : semua karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat K : hanya sebagian karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 4. Perawatan Luka B : luka di balut dengan perban atau plester berwama terang. K : luka dibiarkan terbuka Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". G.3. Kebiasaan Karyawan 1. Perilaku Karyawan B : semua karyawan tidak ada yang mengunyah, makan, nunum dan sebagainya sambil mengolah pangan K : sebagian karyawan mengunyah, makan, minum, dan sebagainya sambil mengolah pangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Perhiasan dan asesoris lainnya B : semua karyawan yang bekerja di pengolahan pangan tidak memakai perhiasan dan asesoris lainnya K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan memakai perhiasan dan asesoris lainnya Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". GROUP H : PENGENDALIAN PROSES 1. Penetapan spesifikasi bahan baku B : menggunakan bahan pangan yang baik dan menggunakan BTP yang diizinkan sesuai persyaratan K : menggunakan BTP tidak sesuai persyaratan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Penetapan komposisi dan formulasi bahan B : menggunakan komposisi bahan dan komposisi formula baku K : komposisi bahan dan komposisi formula tidak konsisten Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 3. Penetapan cara produksi yang baku B : proses produksi sesuai bagan alir produksi yang baku K : tidak ditetapkan bagan alir produksi Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 4. Penetapan spesiflkasi kemasan B : bahan kemasan sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi K : bahan kemasan tidak dengan jenis pangan yang diproduksi Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
129
5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi B : tanggal kadaluarsa dan kode produksi dicantumkan pada label C : tanggal kadaluarsa atau kode produksi dicantumkan pada label K : tidak ditetapkan tanggal kadaluarsa dan kode produksi GROUP I : LABEL PANGAN 1. Persyaratan label B : Sesuai PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan K : tidak sesuai PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". GROUP J : PENYIMPANAN 1. Penyimpanan Bahan baku B : bahan baku disimpan terpisah dengan produk akhir K : tidak ada pemisahan dalam penyimpanan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 2. Tata cara penyimpanan B : bahan pangan/produk yang lebih dahulu masuk/diproduksi digunakan/diedarkan lebih dahulu K : penggunaan/peredaran bahan pangan/produk tidak seperti (B) Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 3. Penyimpanan bahan berbahaya B : bahan berbahaya disimpan di ruang khusus dan diawasi penggunaannya K : bahan berbahaya disimpan sembarangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". 4. Penyimpanan label dan kemasan B : kemasan dan label disimpan secara rapih dan teratur K : kemasan dan label disimpan sembarangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K'. 5. Penyimpanan Peralalan B : peralatan disimpan dengan baik di tempat bersih K : peralatan disimpan sembarangan Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". GRUP K : MANAJEMEN PENGAWASAN 1. Penanggungjawab B : ada penanggungjawab yang memahami proses produksi C : penanggung jawab kurang memahami proses produksi K : tidak ada penanggungjawab 2. Pengawasan B : pengawasan dilakukan secara rutin dan konsisten C : pengawasan dilakukan tidak secara rutin K : tidak dilakukan pengawasan GRUP L: PENCATATAN DAN DOKUMENTASI 1. Pencatatan dan dokumentasi B : penerimaan bahan pangan dan produk akhir dicatat dan didokumentasi C : ada catatan atau dokumen seperti (B) tetapi tidak lengkap K : tidak ada catatan atau dokumen 2. Penyimpanan catatan dan dokumentasi B : catatan atau dokumen disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang dihasilkan K : catatan atau dokumen disimpan kurang dari (B) dan sulit dicari
130
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K". GRUP M: PELATIHAN KARYAWAN 1. Pengetahuan karyawan B : pemilik/penanggungjawab telah mengikuti penyuluhan CPPBIRT dan mengajarkannya kepada karyawan C : pemilik/penanggungjawab belum mengajarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada karyawan yang lain meskipun telah mengikuti penyuluhan CPPB-IRT K : tidak ada karyawan yang mengikuti penyuluhan CPPB-IRT
131
Lampiran 8 Hasil pengolahan ISM A. Untuk Elemen Pendukung (Strengths –Opportunities) 1. Hasil Pendapat Agregat Pakar
2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability
3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence
132
B. Untuk Elemen Kendala (Weakness –Threats) 1. Hasil Pendapat Agregat Pakar
2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability
3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence
133
C. Untuk Elemen Aktor Pelaku 1.
Hasil Pendapat Agregat Pakar
2.
Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability
3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence
134
Lampiran 9 Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE A. Rating pada Matrik IEF No Faktor Internal A B C D E F G H I J K L M N
Nilai Rating Masing‐masing Pakar B C D E Rata‐rata
A
Kekuatan (STRENGH) Lokasi Bogor yang strategis Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam perekonomian Bogor Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT Sumber keuangan daerah cukup baik Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Kelemahan (WEAKNESS ) Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang Keterbatasan modal IKM Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi masih terbatas Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler
3
4
4
3
4
3.6
4
4
3
4
4
3.8
4 4 3 4 4
4 3 4 3 3
4 4 4 3 3
3 3 4 3 3
4 3 4 3 3
3.8 3.4 3.8 3.2 3.2
1 1 1 2
2 1 1 2
1 1 1 2
2 1 1 2
1 1 1 1
1.4 1.0 1.0 1.8
2 1 1
2 1 1
2 1 1
2 2 1
2 1 1
2.0 1.2 1.0
B. Rating pada Matriks EEF Faktor Eksternal PELUANG A
Pontensialnya peluang pasar dalam negeri
B
Adanya bantuan program dari pemerintah pusat
C
Nilai Rating Masing‐masing Pakar A B C D E
Rating Rata‐Rata
Perubahan pola konsumsi masyarakat
4 4 4
4 3 4
4 3 3
4 3 4
4 3 3
4,0 3,2 3,6
D
Perkembangan teknologi dan informasi
3
4
4
4
4
3,8
E
Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Jakarta/Bogor ANCAMAN Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar kota Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk
3
4
3
3
3
3,2
2
1
1
1
1
1,2
1
2
1
2
1
1,4
2
2
2
2
1
1,8
1
1
2
1
1
1,2
F G H i
Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi roti Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan roti yang ada
135
Lampiran 10 Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE A. Bobot pada Matrik IEF No Faktor Internal A B C D E F G H I J K L M N
Nilai Rating Masing‐masing Pakar B C D E Rata‐rata
A
Kekuatan Lokasi Bogor yang strategis Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam perekonomian Bogor Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT Sumber keuangan daerah cukup baik Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD Kelemahan Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang Keterbatasan modal IKM Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi masih terbatas Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler
3
4
4
3
4
3.6
4
4
3
4
4
3.8
4 4 3 4 4
4 3 4 3 3
4 4 4 3 3
3 3 4 3 3
4 3 4 3 3
3.8 3.4 3.8 3.2 3.2
1 1 1 2
2 1 1 2
1 1 1 2
2 1 1 2
1 1 1 1
1.4 1.0 1.0 1.8
2 1 1
2 1 1
2 1 1
2 2 1
2 1 1
2.0 1.2 1.0
B. Bobot pada Matrik EEF
Faktor Eksternal PELUANG A
Pontensialnya peluang pasar dalam negeri
B C D
Adanya bantuan program dari pemerintah pusat Perubahan pola konsumsi masyarakat Perkembangan teknologi dan informasi
E
Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Jakarta/Bogor ANCAMAN Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar kota Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk
F G H i
136
Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi roti Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan roti yang ada
A
Bobot Rata‐rata
Nilai Bobot Masing‐masing Pakar B C D E 0,104 0,125 0,104
0,106 0,141 0,134
0,104 0,1389 0,132 0,1111 0,083 0,0972
0,119 0,147 0,084
0,114 0,131 0,100
0,083
0,070
0,132 0,0903
0,063
0,088
0,063
0,056
0,076 0,0694
0,070
0,067
0,132
0,134
0,111 0,1389
0,133
0,130
0,167
0,120
0,097 0,1389
0,147
0,134
0,104
0,092
0,125 0,0833
0,119
0,105
0,118 1,000
0,148 1,000
0,139 0,1319 1,000 1,000
0,119 1,000
0,131 1,000