STRATEGI PENGUATAN PARTISIPASI DAN KAPASITAS DESA DALAM PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DI DESA SEKONGKANG ATAS
NURUL SYASPRI AKHDIYANTI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Penguatan Partisipasi dan Kapasitas Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Sekongkang Atas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Nurul Syaspri Akhdiyanti
RINGKASAN NURUL SYASPRI AKHDIYANTI. Strategi Penguatan Partisipasi dan Kapasitas Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Sekongkang Atas. Dibimbing oleh SARWITITI S. AGUNG dan IVANOVICH AGUSTA. Kajian strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan alokasi dana desa (ADD) dilakukan di Desa Sekongkang Atas bertujuan untuk mengkaji kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat, mengetahui implementasi pengelolaan ADD dan merancang strategi pengelolaan ADD. Metode kajian yang digunakan adalah metode kualitatif, dan diperkuat pula dengan analisis data kuantitatif. Perancangan strategi mengunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Kebijakan pengelolaan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur dalam bentuk: (1) Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat dan Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa yang terbit setiap tahun anggaran; (2) Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat; dan (3) Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Hasil kajian diperoleh bahwa pengalokasian ADD di Desa Sekongkang Atas telah sesuai dengan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD. Partisipasi institusi pengelola keuangan desa pada tingkat kabupaten dan kecamatan menurut teori Arnstein (2007), dikategorikan pada level tokenisme dengan bentuk pemberitahuan (information) dan konsultasi (cosultation), sedangkan di tingkat desa partisipasi berada pada level non partisipasi dengan bentuk manipulasi, sebagai akibat tidak dibentuknya Tim Pelaksana KD. Partisipasi pada tahapan perencanaan berada pada level tokenisme, dalam bentuk menenangkan (placation). Sedangkan partisipasi pada tahap pelaksanaan berada pada level non partisipasi, dengan bentuk partisipasinya terapi (therapy). Adapun partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan dan evaluasi atau pengawasan ADD dikategorikan rendah, sebagai akibat dari rendahnya partisipasi tahap perencanaan. Peningkatan kapasitas desa, yang mencakup kapasitas kepemimpinan, pemerintahan, kemasyarakatan dan ruang tidak bisa dibebankan sepenuhnya pada ADD. Hal ini disebabkan karena minimnya jumlah ADD yang diterima oleh desa dan lemahnya desa dalam mengoptimalkan pendapatan asli desa. Strategi inti untuk memperkuat partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD meliputi: (a) meningkatkan ADD berdasarkan amanat undangundang; (b) mewujudkan program unggulan desa berdasarkan hasil MUSRENBANG; (c) meningkatkan kapasitas desa melalui program ADD dan kemitraan dengan CSR PT NNT; dan (d) memaksimalkan peran stakeholder (terutama Anggota DPRD) dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran. Kata kunci: Alokasi Dana Desa, partisipasi, kapasitas desa
SUMMARY NURUL SYASPRI AKHDIYANTI. Strengthening Strategy of Capacity and Participation in the Village Fund Allocation Management at Sekongkang Atas village. Supervised by SARWITITI S. AGUNG and IVANOVICH AGUSTA. Study of strengthening strategy of capacity and participation in the village fund allocation management (ADD) was conducted at Sekongkang Atas village. it aims to assess policies in West Sumbawa regency, to know the implementation of management and design of ADD. Assessment method used is qualitative method, and it is supported by the analysis of quantitative data. The design strategy use SWOT analysis (strenghs, Weaknesses, Opportunities, and Threats). ADD management policy in West Sumbawa regency arranged in the form of: (1) the Decree on Establishment of West Sumbawa Regent Village Fund Allocation Calculation of West Sumbawa and Technical Guidelines for the Management of Operational Finance village, published each fiscal year; (2) West Sumbawa Regent Regulation No. 10 of 2007 on Village Fund Allocation in West Sumbawa regency; and (3) West Sumbawa Regional Regulation No. 2 of 2009 on Village Fund Allocation. The study results showed that the allocation of ADD at Sekongkang Atas Village accordance with West Sumbawa Regional Regulation No. 2 of 2009 on ADD. Participation of institution financial managers village in the county and township levels according to the theory of Arnstein (2007), categorized on the level of tokenism in the form of a notice (information) and consultation (cosultation), while at the village level of participation at the level of nonparticipation in the form of manipulation, as a result of unestablishment of the Implementation of KD Team. Participation in the planning stages at the level of tokenism, in the form of calming (placation). While participation in the implementation phase at the level of non-participation, the participation form is therapy. As for community participation in the implementation stage and the evaluation or monitoring ADD categorized as low, as a result of the low participation of the planning stage. Increasing the capacity of the village, which includes leadership capacity, governmental, societal and space can not be charged completely in ADD. This is due to the minimal number of ADD received by the village and weak village in optimizing revenue. Core strategy of strengthening strategy of capacity and participation in the village fund allocation management (ADD) include: (a) increasing the ADD is mandated by law; (b) realize the village excellent program is based on the results of MUSRENBANG; (c) increase the capacity of villages through ADD program and partnerships with CSR PT NNT; and (d) to maximize the role of stakeholders (especially members of parliament) to advocate policies and budgets. Keywords: Village Fund Allocation, participation, the village capacity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGUATAN PARTISIPASI DAN KAPASITAS DESA DALAM PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DI DESA SEKONGKANG ATAS
NURUL SYASPRI AKHDIYANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCAS ARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar pada saat Ujian Tesis: Dr Ir Lala M. Kolopaking MS
Judul Tesis : Strategi Penguatan Partisipasi dan Kapasitas Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Sekongkang Atas Nama : Nurul Syaspri Akhdiyanti NIM : I354120195
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS Ketua
Dr Ivanovich Agusta, SP, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga kajian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah Strategi Penguatan Partisipasi dan Kapasitas Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Sekongkang Atas. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Sarwititi S Agung, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ivanovich Agusta, SP MSi sebagai anggota komisi pembimbing, Dr. Lala M. Kolopaking, MS sebagai penguji, dan Dr Ir Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai Wakil Koordinator Program Magister Pengembangan Masyarakat IPB. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Sumbawa Barat, Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB, Kepala Desa Sekongkang Atas, serta seluruh pihak yang telah membantu seluruh proses penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB Kelas Sumbawa Barat atas segala doa dan kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015 Nurul Syaspri Akhdiyanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Kajian Manfaat Kajian Ruang Lingkup Kajian 2 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran 3 METODE KAJIAN Lokasi dan Waktu Kajian Metode Kajian Perancangan Strategis PROFIL KOMUNITAS SEKONGKANG ATAS 4 Letak Geografis Kependudukan Struktur Sosial Kelembagaan Ekonomi Pola-pola Kebudayaan Pola-pola Adaptasi Ekologi Masalah-masalah Sosial 5 PEMBAHASAN Kebijakan ADD Implementasi ADD 6 PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Menentukan Strategi Alternatif Menentukan Strategi Inti Menyusun Rancangan Program 7 KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii xiii xiii 1 2 3 4 4 4 5 5 18 19 19 19 21 23 23 23 24 26 29 30 31 35 35 49 75 75 76 77 78 81 81 82 83 85
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Unsur dan jumlah informan Luas wilayah menurut penggunaan lahan di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 Lingkup dan jumlah lembaga di Desa Sekongkang Atas tahun 2014 Kelompok usaha produktif dan jumlah anggota di Desa Sekongkang Atas tahun 2014 Matapencaharian kepala keluarga di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 Regulasi terkait ADD di Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Desa Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 Jumlah dan persentasi pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Rekapitulasi anggaran pendapatan dan belanja desa Sekongkang Atas tahun 2001, 2012 dan 2013 Rincian anggaran pendapatan dan belanja desa Sekongkang Atas tahun 2001, 2012 dan 2013 Besar tunjangan kepala desa, perangkat desa, ketua dan anggota BPD, serta ketua RT Desa Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 Penilaian partisipasi setiap instansi dan tahapan pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 Pendidikan kepala desa dan perangkat desa Sekongkang Atas periode 2008 - 2014 Pendidikan ketua dan anggota BPD Sekongkang Atas periode 2008 2014
20 23 25 27 30 37 38 39 46 58 59 63 68 70 70
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat menurut Arnstein (2007) Interaksi sub sistem desa sebagai unsur otonomi desa Kerangka pemikiran kajian strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas Persentase perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Persentase perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 Persentasi pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Persentasi realisasi ADD 10% di Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013
16 17 18 39 40 47 48
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Matriks penyajian faktor-faktor SWOT Matrik penyajian formulasi alternatif strategi
85 86
1 PENDAHULUAN Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah membawa perubahan penting dalam sistem pemerintahan daerah, termasuk melahirkan otonomi dan desentralisasi desa yang memberikan peluang lahirnya pemerintahan desa yang lebih mandiri, demokratis, dekat dengan struktur dan kultur masyarakat di tingkat lokal dan bisa lebih kreatif di dalam melayani kepentingan warganya. Produk penting reformasi adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diperkuat melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Desa, dengan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan tentang desa, terutama dalam memberi pelayanan, peningkatan peran serta, peningkatan prakarsa dan pemberdayaan masyarakat desa yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, ada juga Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan mengatur tentang tanggung jawab pemerintah daerah kepada desa, yaitu dengan ditegaskannya kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dapat dipakai untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa. ADD merupakan instrumen penting untuk terselenggaranya otonomi dan desentralisasi di tingkat desa. Perimbangan keuangan pusat dan daerah kini telah menjadi ikon utama otonomi daerah. Rozaki at al. (2005) menyebutkan; ada dua alasan penting yang mendorong lahirnya kebijakan pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pertama, alasan teoritis yang berpijak pada anjuran desentralisasi yang mengajarkan bahwa pembagian kekuasaan dan kewenangan dari pusat ke daerah harus diikuti dengan desentralisasi keuangan (fiskal) dalam bentuk pembagian keuangan kepada daerah dan memberi kekuasaan kepada daerah untuk menggali sumber keuangan sendiri. Kedua, alasan empirik dimana keuangan selalu menjadi medan tempur antara pusat dan daerah. Daerah memiliki sumber daya ekonomi yang melimpah, tetapi tetap miskin karena sebagian besar kekayaan daerah diserahkan ke pusat. Pemerintah mengharapkan kebijakan ADD dapat mendukung pelaksanaan pembangunan partisipatif berbasis masyarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan, sekaligus memelihara kesinambungan pembangunan di tingkat desa. Dengan adanya ADD, desa memiliki kepastian pendanaan sehingga pembangunan dapat terus dilaksanakan tanpa harus terlalu lama menunggu datangnya dana bantuan dari pemerintah pusat. Pemberian ADD merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelengarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasar keanekaragamam, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Melalui ADD ini, Pemerintah Daerah berupaya membangkitkan lagi nilai-nilai kemandirian masyarakat Desa dengan membangun kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk mengelola dan membangun desa masing-masing. Rozaki et al. (2005) menjelaskan, untuk mencapai kemandirian atau kesejahteraan desa, maka ada sejumlah tujuan antara yang harus dicapai yaitu: mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat; memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan; menciptakan efisiensi pembiayaan
2 pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal; mendongkrak kesejahteraan perangkat desa; menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa; memberikan kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa; menempa kapasitas desa dalam mengelolah pemerintahan dan pembangunan; membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan masyarakat; serta merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.
Latar Belakang Kabupaten Sumbawa Barat yang lahir pada tanggal 20 November 2013 berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai keunggulan komparatif (comparative adventage) dan keunggulan kompetitif (competitive adventage) yang cukup besar. Keunggulankeunggulan tersebut antara lain: wilayahnya cukup luas (1.849,02 km2) dengan potensi sumberdaya alam yang prospektif dikembangkan berbagai jenis komoditas, letaknya yang sangat strategis pada jalur transnasional (Bali-NTB-NNT) sebagai pintu masuk Pulau Sumbawa menuju ke Wilayah Timur Indonesia, serta penduduknya tahun 2011 sebanyak 116.112 jiwa dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 senilai 67,08 point (menempati nomor urut ke-3 di Provinsi NTB setelah Kota Mataram dan Kota Bima). Keunggulan tersebut harus mampu dikelola secara arif-bijaksana dan bertanggungjawab, sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat saat ini dan bermanfaat untuk kesejahteraan generasi mendatang. Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2011 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Kabupaten Sumbawa Barat masih relatif tinggi, yaitu 21,82%. Dari jumlah tersebut 63,12% tersebar di daerah pedesaan. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Sumbawa Barat telah melaksanakan prinsip-prinsip otonomi daerah dengan berusaha mengoptimalkan potensi desa demi terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Wujud nyata komitmen Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dalam membantu dan meningkatkan partisipasi pemerintah desa adalah dengan terus berupaya meningkatkan alokasi dana kepada desa yang dapat dipergunakan untuk mendukung penyelenggaraan kewenangan dan urusan rumah tangganya. Komposisi penggunaan ADD yang dominan bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat diharapkan mempercepat tercapainya otonomi desa, terutama penguatan partisipasi dan kapasitas desa. Namun demikian, masih ditemukan pula beragam permasalahan dalam proses pengalokasian dan penyerahan ADD dari pemerintah daerah maupun pengelolaan ADD oleh pemerintah desa. Di samping jumlah yang sedikit, masih ada penyerahan ADD yang terlambat sehingga tidak bisa diserap sepenuhnya oleh pemerintah desa. Masih ada pula pengelolaan ADD yang dominan digunakan untuk operasionalisasi pemerintahan desa, sehingga peningkatan kualitas pemberdayaan masyarakat, penguatan partisipasi dan kapasitas desa masih terhambat pendanaannya. Pengelolaan ADD berkaitan erat dengan tuntutan reformasi, sehingga dibutuhkan strategi di tingkat lokal agar kebijakan pengelolaan ADD lebih mampu mendorong peningkatan partisipasi dan kapasitas desa. Perancangan
3 strategis merupakan proses yang dilakukan untuk menentukan strategi atau arahan, serta mengambil keputusan dalam mengalokasikan sumber daya (modal dan sumber daya manusia). Dalam pembangunan desa, perancangan merupakan kata kunci agar proses pembangunan desa lebih terarah, realistis, sistematis, dan hasil akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa (Hudayana et al. 2007). Untuk memastikan manfaat dan proses pengelolaan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat sebagai bagian dari upaya mewujudkan otonomi desa, khususnya penguatan patisipasi dan kapasitas desa, maka perlu dilakukan kajian ilmiah pada salah satu desa, yaitu Desa Sekongkang Atas, yang merupakan satu dari tujuh desa defenitif yang berada di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan uraian di atas, maka kajian ini dihajatkan untuk mengetahui bagaimana strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa melalui pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas?
Perumusan Masalah Kebijakan ADD telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada pasal 95 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tersebut dijelaskan: pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. Sedangkan dalam pasal 96 ayat 1: pemerintah akan mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Pada ayat 2: pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dalam APBD kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk melaksanakan perintah regulasi tersebut, maka perlu diketahui apa kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat? Sebuah program pembangunan seringkali menjadi kurang efektif dalam implementasinya karena tidak tersedianya ruang gerak yang memadai bagi masyarakat untuk memberdayakan dirinya. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat justru malah terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru dan bahkan mematikan potensi swakarsa lokal (Arifin 2010). Kesesuaian antara regulasi atau aturan dengan pelaksanaan menjadi hal yang paling penting dalam mewujudkan keberhasilan program. Aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengelolaan ADD adalah partisipasi dan kapasitas desa. Partisipasi para pihak menjadi unsur penting dalam mewujudkan keberhasilan dan keberlanjutan program, sehingga para pihak memiliki peran dan tanggung jawab dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi program. Selain itu, ADD merupakan instrumen penting untuk terselenggaranya otonomi dan desentralisasi di tingkat desa, sebagai agenda advokasi di dalam mengembangkan pemerintahan
4 desa yang memiliki kapasitas dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi (Hudayana et al. 2007). Untuk itu menjadi penting diketahui sejauhmana implementasi pengelolaan ADD dalam penguatan partisipasi dan kapasitas desa di Desa Sekongkang Atas?
Tujuan Kajian Tujuan utama kajian ini adalah merumuskan strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas. Adapun tujuan spesifik dari kajian ini adalah: 1. Mendeskripsikan kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat; dan 2. Mengetahui implementasi pengelolaan ADD dalam penguatan partisipasi dan kapasitas desa di Desa Sekongkang Atas.
Manfaat Kajian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sumbangsih pemikiran bagi para pihak, khususnya kepada: 1. Kalangan akademisi dan peneliti. Kajian ini memberikan khasanah keilmuan yang terkait ADD dalam memperkuat partisipasi dan kapasitas desa; 2. Kalangan pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam mendorong kebijakan dan implementasi ADD dalam partisipasi dan kapasitas desa; dan 3. Kalangan masyarakat dalam memperkuat partisipasi dan kapasitas desa, sehingga terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.
Ruang Lingkup Kajian Ruang lingkup kajian strategi peningkatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas meliputi: kebijakan ADD Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, implementasi ADD dalam meningkatkan partisipasi dan kapasitas desa di Desa Sekongkang Atas, serta perancangan strategi peningkatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas.
2 PENDEKATAN TEORITIS Pada bab ini memuat tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran. Tinjauan pustaka yang digunakan memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang keuangan desa dan ADD, otonomi desa, partisipasi, dan kapasitas desa. Sedangkan kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan kajian dan merupakan argumentasi dalam merumuskan masalah kajian.
Tinjauan Pustaka Keuangan Desa dan ADD Keuangan Desa Sebagai wilayah otonom, desa memiliki posisi yang sangat strategis dalam pemerintahan dan pembangunan di Indonesia. Adisasmita (2010) menjelaskan tentang prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa adalah: 1. Pengelolaan ADD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes); 2. Seluruh kegiatan yang dikelola pemerintah desa direncanakan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan unsur lembaga kemasyarakatan di desa; 3. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, teknis dan hukum; 4. Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat, terarah, dan terkendali serta harus selesai pada akhir bulan Desember; 5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa antara lain: a) Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keuangan desa dan penggunaannya; b) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) Desa dan pelaksanaan pembangunan desa; c) Terjadi sinergi antara kegiatan yang dikelola pemerintah desa dengan program-program pemerintah lainnya yang ada di desa; d) Meningkatnya kontribusi masyarakat dalam bentuk swadaya msyarakat terhadap pembangunan yang dilaksanakan di desa; e) Meningkatnya penyerapan tenaga kerja lokal pada kegiatan pembangunan desa; f) Kegiatan yang didanai sesuai dengan yang telah direncanakan dalam APBDes; dan g) Terjadinya peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes). Mardiasmo (2004) menyebutkan lima prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan desa, yaitu: akuntabilitas, value for money, kejujuran
6 dalam pengelolaan keuangan publik, transparansi, dan pengendalian. 1. Akuntabilitas berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada lembaga legislatif dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik. 2. Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (publik money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Indikasi keberhasilan otonomi desa dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah-desa serta antar daerah dan antar-desa. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money. Dalam konteks otonomi desa, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah desa mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan desa dan anggaran desa. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (publik money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan desa dan anggaran desa yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah desa memiliki sistem akuntansi yang baik. 3. Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity) berarti bahwa pengelolaan keuangan pemerintah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan. 4. Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan keuangan desa sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan desa pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah desa dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan desa yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. 5. Pengendalian. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran desa agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
7 Rizal (2007) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan desa harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan desa, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu: 1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu: a. Mengetahui kebijakan pemerintah. b. Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah. c. Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu. 2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik. 3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to). Lebih lanjut Rizal (2007) menjelaskan bahwa, dalam upaya pemberdayaan pemerintahan desa, maka pengelolaan keuangan desa hendaknya bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/ pengendalian keuangan desa. Pengembangan sistem informasi keuangan desa untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah desa terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan publik mendapatkan informasi tentang pengelolaan keuangan desa. Sedangkan Sahdan, at al. (2006) menjelaskan bahwa: dalam pengelolaan keuangan desa, unsur pemerintah desa memiliki tugas dan peran sebagai berikut: pertama, kepala desa memegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Perannya meliputi menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes, menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa, menetapkan bendahara desa, menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa. Kedua, sekretaris desa (Sekdes) memiliki peran menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBDesa, menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan barang desa, menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa, perubahan APBDesa, dan pertanggungjawaban APBDesa, serta menyusun rancangan keputusan kepala desa tentang pelaksanaan peraturan desa. Ketiga, bendahara desa memiliki peran sebagai pelaksana penatausahaan keuangan desa baik aspek penerimaan maupun pengeluaran uang. Bendahara berkewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan uang, dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada kepala desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Tujuan dan Manfaat ADD Syahdan et al. (2006) menyebutkan secara ekplisit setidaknya ada alasan alasan atau dasar pemikiran yang melatar belakangi lahirnya kebijakan ADD secara nasional, antara lain:
8 1. Pelaksanaan ADD dapat meningkatkan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. 2. Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, desa mempunyai hak untuk memperoleh bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusatdan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. 3. Pemberian ADD merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman, partisipasi,otonomi asli, demokratisasi, danpemberdayaan masyarakat. Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa Pasal 2 menjelaskan bahwa, ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Tujuan dilaksanakannya ADD dijelaskan dalam Pasal 3, yaitu: (1) meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya; (2) meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa; (3) memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa; dan (4) mendorong swadaya gotong royong masyarakat. Menurut Sahdan at al. (2006), ADD bertujuan untuk: (1) memperkuat kemampuan keuangan desa melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes); (2) untuk memberi keleluasaan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa; (3) untuk mendorong terciptanya demokrasi desa; dan (4) untuk meningkatkan pendapatan dan pemerataannya dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Manfaat ADD bagi Kabupaten/Kota adalah: (1) kabupaten/kota dapat menghemat tenaga untuk membiarkan desa mengelola otonominya, tanpa terus bergantung kepada kabupaten/kota; dan (2) kabupaten/kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala luas yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Sedangkan manfaat ADD bagi desa adalah: (1) desa dapat menghemat biaya pembangunan, karena desa dapat mengelola sendiri proyek pembangunannya dan hasil-hasilnya dapat dipelihara secara baik demi keberlanjutannya; (2) tiap-tiap desa memperoleh pemerataan pembangunan sehingga lebih mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa; (3) desa memperoleh kepastian anggaran untuk belanja operasional pemerintahan desa. Sebelum adanya ADD, belanja operasional pemerintahan desa besarnya tidak pasti; (4) desa dapat menangani permasalahan desa secara cepat tanpa harus lama menunggu datangnya program dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (5) desa tidak lagi hanya tergantung pada swadaya masyarakat dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa; (6) dapat mendorong terciptanya demokrasi di desa. ADD dapat melatih masyarakat dan pemerintah desa untuk bekerja sama, memunculkan kepercayaan antar pemerintah desa dengan masyarakat desa dan mendorong adanya kesukarelaan masyarakat desa untuk membangun dan memelihara desanya; (7) dapat mendorong terciptanya pengawasan langsung dari masyarakat untuk menekan terjadinya penyimpangan; dan (8) dengan partisipasi semua pihak,
9 maka kesejahteraan kelompok perempuan, anak-anak, petani, nelayan, orang miskin, dan lain-lain dapat tercapai. Prinsip Pengelolaan ADD Sahdan, at al. (2006) menjelaskan bahwa prinsip pengelolaan ADD harus mengikuti prinsip good governence, yaitu: 1. Partisipatif; yaitu proses pengelolaan ADD pada semua tahapan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi) harus melibatkan para pihak (stakeholders). 2. Transparan; yaitu semua pihak dapat mengetahui keseluruhan proses secara terbuka, serta mengupayakan agar masyarakat desa dapat menerima informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil, manfaat yang diperolehnya dari setiap kegiatan yang menggunakan ADD. 3. Akuntabel; yaitu keseluruhan proses penggunaan ADD, yang meliputi peruntukkan, pelaksanaan, dan pencapaian hasil dapat dipertanggungjawabkan di depan seluruh pihak terutama masyarakat desa. 4. Kesetaraan; yaitu semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan ADD mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 74 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2013, disebutkan bahwa prinsip pengelolaan ADD adalah: 1. Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes); 2. Seluruh kegiatan yang dikelola pemerintah desa direncanakan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan unsur lembaga kemasyarakatan di desa. 3. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, teknis dan hukum; 4. Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat, terarah, dan terkendali serta harus selesai pada akhir bulan Desember. 5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa antara lain : a. Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keuangan desa dan penggunaannya; b. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang Desa dan pelaksanaan pembangunan desa; c. Terjadi sinergi antara kegiatan yang dikelola pemerintah desa dengan program-program pemerintah lainnya yang ada di desa; d. Meningkatnya kontribusi masyarakat dalam bentuk swadaya msyarakat terhadap pembangunan yang dilaksanakan di desa; e. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja lokal pada kegiatan pembangunan desa; f. Kegiatan yang didanai sesuai dengan yang telah direncanakan dalam APBDes; dan g. Terjadinya peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes).
10 Otonomi Desa Pengembangan otonomi desa merupakan konsekwensi dari berbagai tuntutan perkembangan lingkungan global, lingkungan pemerintahan, dan lingkungan sosial masyarakat yang dinamis. Desa merupakan sub sistem pemerintahan nasional, memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap perkembangan tersebut. Keinginan politik untuk memperkuat dan memberdayakan desa sudah terlihat sejak awal reformasi. Hal ini tampak dari pesan-pesan yang termuat dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi nomor 7 yang berbunyi: "sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melaksanakan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Revisi tersebut sebagai upaya penyesuaian terhadap pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/kota serta desa/nagari/marga, dan sebagainya" (Rozaki et al. 2005). Mutty dan Luthfi (2012) menjelaskan bahwa otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilainilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Pelaksaan otonomi desa secara luas, nyata, bertanggungjawab, dimana di dalamnya merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Pertama, kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000). Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kedua, kewenangan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Ketiga, kewenangan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Adapun Eko (1999) menjelaskan, otonomi desa sebenarnya mempunyai relevansi terhadap tujuan dan manfaat bagi: (1) memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI; (2) memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan; (3) mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat; (4) memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan; (5) menciptakan
11 efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal; (6) menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa; (7) memberikan kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan bagi Desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa; (8) menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan; (9) membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa, lembaga-lembaga Desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya; serta (10) merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengurangi demokrasi dan otonomi desa, tetapi secara umum memberikan jaminan terwujudnya desentralisasi keuangan di tingkat desa dengan ditegaskannya kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dapat dipakai untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara nyata menarik kembali pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan desa ke aras "atas desa". Indikasi yang nyata adalah menempatkan kembali perencanaan desa sebagai kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota (Kolopaking 2011). Lebih lanjut Kolopaking (2011) menjelaskan kondisi tipe keragaman posisi kewenangan desa dapat diketahui dengan melihat ukuran kuat lemahnya pengaruh pemberian kewenangan di "aras desa" dengan pola sistem demokrasi "barat", dan kuat lemahnya pengaruh kelembagaan lokal "adat" atas kewenangan pengelolaan desa. Menurut Mutty dan Luthfi (2012), format otonomi desa sebenarnya tidak dapat lepas dari kajian tentang kewenangan desa. Ada beberapa model distribusi kewenangan berdasarkan kedudukan desa: 1. Apabila desa diberi kedudukan sebagai kesatuan masyarakat (self governing community) yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya (kedudukan desa sebagai desa adat), maka kewenangan yang dimiliki oleh desa adalah kewenangan asli berdasarkan asas rekognasi; 2. Apabila desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “diserahkan” dari pemerintah, sesuai dengan asas desentralisasi; 3. Apabila desa ditempatkan sebagai unit administratif atau kepanjangan tangan negara (lokal self government) maka kewenangan desa adalah kewenangan yang “didelegasikan” oleh pemerintah atasannya sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Dalam mewujudkan kelembagaan otonomi desa perlu dilakukan tiga hal. Pertama, pengembangan kapasitas desa sesuai kewenangan. Kedua, adanya proses pengembangan hubungan antar desa dalam satuan kawasan pedesaan yang berbasis pada jejaring kerjasama berbasis pemberdayaan komunitas desa. Ketiga, adanya integrasi desa ke dalam entitas kelembagaan di aras nasional dan internasional secara bermartabat. Dalam kaitan tiga hal ini, maka memerlukan sinergi beragam kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan desa, yang dapat melahirkan kewirausahaan ekonomi dan sosial yang memfokuskan pada pemberdayaan desa. Perwujudan desentralisasi dan otonomi desa hakekatnya adalah memandirikan masyarakat dan desa. Kemandirian yang tidak hanya
12 bersifat lahir, tetapi juga batin. Hal yang ditujukan dengan ukuran terbentuknya efisiensi dan efektifitas pembiayaan pembangunan sesuai dengan kondisi dan keperluan desa, membangkitkan kepercayaan, tanggung jawab masyarakat dan desa untuk berprakarsa memanfaatkan potensi desa dan kawasan perdesaan yang melingkupinya, melakukan pembelajaran sosial membangun demokrasi, sampai pada menumbuhkan partisipasi yang mendorong pemberdayaan masyarakat dan desa (Kolopaking 2011). Partisipasi Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian, dan capere yang artinya mengambil; sehingga diartikan "mengambil bagian". Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 2 ayat 4 huruf d bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Bank Dunia memberi batasan partisipasi masyarakat sebagai: (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang halhal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya; (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan; dan (3) bersama-sama memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut (Karianga 2011). Dari defenisi tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh inisiatif pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Karianga (2011) membagi konsep partisipasi menjadi empat, yaitu: (1) partisipasi sebagai kebijakan, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek; (2) partisipasi sebagai strategi, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat demi kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan; (3) partisipasi sebagai alat komunikasi, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai alat komunikasi bagi pemerintah (sebagai pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat; dan (4) partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa, konsep yang memandang partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa dan toleransi atas ketakpercayaan dan kerancuan yang ada di masyarakat. Lebih lanjut Karianga (2011) membagi partisipasi dalam tujuh karakteristik tipologi, yaitu: 1. Partisipasi pasif atau manipulatif, karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi dengan tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program; 2. Partisipasi informatif, karakteristiknya adalah masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian. Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat; 3. Partisipasi konsultatif, karakteristiknya adalah masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama;
13 4. Partisipasi insentif, karakteristiknya adalah masyarakat memberikan kornaman dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatankegiatan setelah insentif dihentikan; 5. Partisipasi fungsional, karakteristiknya adalah masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal masyarakat tergantung pada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya; 6. Partisipasi interaktif, karakteristiknya adalah masyarakat berpartisipasi dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan; dan 7. Partisipasi mandiri, karakteristiknya adalah masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapat bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumber daya yang ada dan atau digunakan. Ada enam jenis tafsiran mengenai partisipasi masyarakat tersebut yaitu: (1) kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program pembangunan tanpa ikut serta dalam pengambil keputusan; (2) usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menangapi proyek-proyek atau program-program pembangunan; (3) proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; (4) penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial; (5) keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri; dan (6) keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Terkait partisipasi warga komunitas, Nasdian (2014) menjelaskan: partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Selanjutnya Ife dan Tesoriero (2008) menjelaskan alasan mengapa warga komunitas harus berpartisipasi: 1. Memandang penting isu-isu atau aktivitas tertentu. Untuk menentukan isu atau tindakan mana yang penting, warga komunitaslah yang menentukan dan bukan orang luar. Biasanya isu-isu
14
2.
3.
4.
5.
yang menyentuh kebutuhan merupakan prioritas komunitas. Bagi orang miskin, orientasi kegiatan pengembangan masyarakat dapat menjawab kebutuhan dasarnya, peningkatan pendapatan, kesehatan, dan lain-lain. Merasa bahwa tindakannya akan membawa perubahan. Perubahan yang paling diharapkan khususnya di tingkat rumah tangga atau individu, kelompok, dan komunitas. Sebagai contoh, kegiatan usaha ekonomi memberikan hasil ataupun kegiatan-kegiatan yang memberikan jaminan sosial lebih menarik orang untuk berpartisipasi daripada usaha-usaha ekonomi tahunan atau musiman. Mengakui dan menghargai perbedaan bentuk-bentuk partisipasi. Jenis partisipasi yang harus dihargai tidak hanya keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan formal (kepanitiaan, pertemuan), tetapi juga kegiatankegiatan yang lainnya seperti menyiapkan konsumsi, membuat notulen, atau kegiatan kesenian. Partisipasi komunitas hendaknya dapat dilakukan oleh siapapun juga dengan mempertimbangkan keragaman keterampilan, bakat, dan minat. Dimungkinkan untuk berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya. Hal ini berarti isu-isu seperti ketersediaan transportasi, keamanan, waktu dan lokasi aktivitas, serta lingkungan tempat aktivitas merupakan sesuatu hal yang penting dan perlu dipertimbangkan proses yang didasarkan pada komunitas. Struktur dan proses partisipasi hendaknya tidak bersifat menjauhkan. Sebagai contoh prosedur pertemuan dan teknik-teknik pengambilan keputusan sering kali menyingkirkan orang-orang tertentu, terutama orang-orang yang cenderung pendiam, tidak ingin menginterupsi orang lain, kurang percaya diri, dan tidak mempunyai kemampuan verbal.
Nasdian (2014) menjelaskan, bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan stakeholders dapat merujuk pada pendapat Arnstein (2007) mengenai "A Ladder of Citizen Participation" dengan delapan tinggakat partisipasi (lihat Gambar 1) sebagai berikut: 1. Manipulasi (manipulation), yaitu partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog. Sifatnya formalitas semata dan dimanfaatkan “dukungannya”. 2. Terapi (therapy), yaitu partisipasi dimana anggota komunitas lokal memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari penyelenggara program dan hanya satu arah. Pemegang kekuasaan menganggap ketidakberdayaan sebagai peyakit mental, dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan, namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya bukan menemukan peyebab lukanya.
15 3. Pemberitahuan (informing), yaitu kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). Apalagi jika informasi disampaikan pada akhir perencanaan. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet dan poster. 4. Konsultasi (consultation), yaitu partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi (partisipasi semu). Alat yang digunakan yakni jajak pendapat, pertemuan warga, dengar pendapat. 5. Menenangkan (placation), yaitu partisipasi yang dicirikan dengan komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program. 6. Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas, “duduk berdampingan” dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. Pemegang kekuasaan dan masyarakat sepakat untuk bersama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan sehingga dapat berjalan efektif jika masyarakat terorganisir. 7. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri.
16 8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pihak penyelenggara program. Pada tingkatan ini, masyarakat mengingnkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggungjawab penuh terhadap kebijakan dan aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian masyarakat bisa berhubungan langsung dengan sumber dana. 8
Kontrol Warga Negara
7
Delegasi Kewenangan
6
Kemitraan
5
Menenangkan
4
Konsultasi
3
Informasi
2
Terapi
1
Manipulasi
Kekuatan Warga Negara (Citizen Power)
Tokenisme
Non Partisipasi
Gambar 1. Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat menutut Arnstein (2007) Kapasitas Desa Wilayah pedesaan merupakan sebuah interaksi dinamis antara sistem yang secara struktural terdiri dari empat subsistem yang menyusun desa dan menjadi indikator tercapainya kapasitas desa dalam bingkai otonomi desa yaitu: kepemimpinan, kelembagaan pemerintahan desa, sumber daya sosial, serta lingkungan dan infrastruktur (LBH NTB 2012).
17 Prilaku interaktif dari setiap sub sistem dapat memberikan output tertentu sebagai tujuan dan sasaran peningkatan kapasitas desa, sebagaimana tertuang dalam Gambar 2.
IV III
Sub sistem Lingkungan dan Infrastruktur (Kapasitas Ruang) Sub sistem Sumberdaya Sosial (Kapasitas Kemasyarakatan)
II
Sub sistem Kelembagaan Pemerintahan Desa (Kapasitas Pemerintahan)
I
Sub sistem Kepemimpinan (Kapasitas Kepemimpinan)
Gambar 2: Interaksi sub sistem desa sebagai unsur otonomi desa Rozaki at al. (2005), untuk mewujudkan otonomi desa, terdapat beberapa bentuk penguatan kapasitas yang harus dilakukan terhadap pemerintah desa: 1. Kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. 2. Kapasitas ekstraksi, yaitu kemampuan untuk mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset - aset yang dimiliki desa meliputi aset fisik, aset alam, aset manusia, aset sosial, aset keuangan dan aset politik. Termasuk kemampuan ekstraksi adalah kemampuan pemimpin terutama kepala desa melakukan konsolidasi terhadap para pihak, seperti BPD, lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga msayarakat. 3. Kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumber daya secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. 4. Kapasitas responsif, yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. 5. Kapasitas jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan pemerintah desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif.
18
Kerangka Pemikiran Kajian strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas, difokuskan pada tiga hal, yaitu kebijakan ADD Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, implementasi kebijakan ADD dalam penguatan partisipasi dan kapasites desa, dan perancangan strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa (lihat Gambar 3). Pertama adalah kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, yang meliputi ketersediaan regulasi yang mengatur ADD di Kabupaten Sumbawa Barat, kebijakan penganggaran ADD di Kabupaten Sumbawa Barat, dan kesesuaian dengan regulasi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua adalah implementasi kebijakan, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Hal lebih khusus yang dikaji dalam keseluruhan proses implementasi ADD di Desa Sekongkang Atas adalah partisipasi para pihak (stakeholder) dan kapasitas desa.
Kebijakan Ketersediaan Regulasi Kebijakan Penganggaran Kesesuaian dengan Regulasi yang lebih tinggi
Alokasi Dana Desa
PARTISIPASI
Implementasi ADD Institusi Pengelolaan Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan & Pertanggungjawaban
KAPASITAS DESA
Perancangan Startegi Gambar 3: Kerangka pemikiran kajian strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas
Aspek ketiga adalah perancangan strategi, yang difokuskan pada upaya penguatan partisipasi dan kapasitas desa.
3 METODE KAJIAN Pada bab ini memuat tentang lokasi dan waktu kajian, metode kajian dan perancangan kebijakan. Metode kajian yang digunakan metode kualititatif. Perancangan strategi dibuat sebagai gambaran umum rekomendasi kajian.
Lokasi dan Waktu Kajian Kajian strategi pengelolaan dana desa dalam memperkuat otonomi desa dilakukan di Desa Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Kajian ini dilakukan pada Mei 2014 sampai Juni 2014. Penentuan lokasi kajian di Desa Sekongkang Atas didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1) Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat mengelompokkan Desa Sekongkang Atas sebagai desa yang baik dalam pengelolaan ADD; dan (2) Desa Sekongkang Atas merupakan desa yang bersentuhan langsung dengan perusahan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang melakukan program corporate social responsibility (CSR) antara lain melalui program donasi desa.
Metode Kajian Metode kajian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mengedepankan prinsip partisipatoris, yaitu mengkaji perspektif partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan fleksibel melalui proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Hal yang menjadi fokus dalam pendekatan kualitatif ini adalah pemilihan informan, pengumpulan data, serta pengolahan dan analisis data (Bungin 2008). Selain itu, kajian ini diperkuat pula dengan analisis data kuantitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti merupakan instrumen kunci. Sugiyono (2013) menjelaskan bahwa, hal penting dalam metode penelitian kualitatif adalah bagaimana peneliti menentukan teknik mendapatkan data, menentukan sumber data (informan), unit analisis penelitian, dan keabsahan data. Dengan pendekatan kualitatif diharapkan dapat mengeksplorasi informasi atau data yang diperlukan. Pemilihan Informan Informan merupakan orang yang memiliki informasi tentang subyek yang ingin diketahui dalam kajian (Sitorus 1998). Pemilihan informan menggunakan teknik purposive dengan alasan mereka yang terpilih sebagai informan memiliki kompetensi dan memahami maksud dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan. Adapun informan yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah Sumbawa Barat, Pemerintah Desa Sekongkang Atas, tokoh masyarakat dan lembaga sosial masyarakat (lihat Tabel 1).
20 Tabel 1. Unsur dan jumlah informan No 1. 2. 3. 4.
Unsur Pemerintahan Daerah KSB Pemerintahan Desa Sekongkang Atas Tokoh masyarakat Lembaga Sosial Masyarakat Jumlah
Jumlah Orang % 3 12 7 28 10 40 5 20 25 100
Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan sesuai dengan klasifikasi jenis dan sumber data yang dibutuhkan, yaitu: 1. Pengumpulan data primer, yaitu dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview), yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung kepada informan. 2. Pengumpulan data sekunder, yaitu dengan teknik studi dokumen atau pustaka, yaitu pengumpulan dokumen atau data dan informasi melalui literatur yang relevan dengan judul kajian. Pengolahan dan Analisis Data Menurut Sugiyono (2013) analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahanbahan lain secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam kajian ini digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data primer dan sekunder yang diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna. Analisis data dalam kajian ini melalui proses sebagai berikut: 1. Reading and coding (data collection), yaitu membaca, mempelajari dan menuliskan gagasan dalam data yang diperoleh, baik melalui wawancara, observasi maupun dokumentasi. 2. Data reduction atau proses reduksi data, yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang tercatat di lapangan. Dengan melakukan reduksi data diharapkan menghasilkan data yang sesuai dan terklarifikasi secara jelas, tepat gunadan terorganisir. 3. Data displaying, yaitu proses dimana data-data yang telah didapat, diproses dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau kalimat, sehingga mempermudah dalam pengambilan kesimpulan. 4. Interprenting (conclusion, drawing atau veryfying), yaitu proses untuk menyimpulkan hasil analisis dari data yang diperoleh.
21
Perancangan Strategi Metode Perancangan Metode perancangan strategi yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) (Sugiyono 2013) Partisipan Perancangan Partisipan perancangan metode partisipatif terdiri dari kelembagaan desa, masyarakat dan lembaga sosial di desa. Proses Perancangan Proses perancangan strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan alokasi dana desa di Desa Sekongkang Atas menggunakan metode analisis SWOT adalah sebagai berikut: a. Identifikasi faktor-faktor kekuatan (strengths), peluang (opportunities), kelemahan (weaknesses), dan ancaman (threats). 2. Formulasi alternatif strategi dengan mengkombinasikan beragam faktorfaktor SWOT untuk mendapatkan formulasi alternatif strategi dari StrengthWeakness (S-O), Weakness-Opportunity (W-O), Strength-Threats (S-T), Weakness-Threats (W-T). a. Strategi S-O (Strength – Opportunity) dilakukan untuk memanfaatkan kekuatan internal Desa Sekongkang Atas secara maksimal untuk dapat meraih peluang yang ada di lingkungan eksternal Desa Sekongkang Atas. b. Strategi S-T (Strength – Threats) dilakukan untuk memanfaatkan kekuatan internal Desa Sekongkang Atas secara maksimal untuk dapat menghadapi berbagai ancaman yang timbul dari di lingkungan eksternal Desa Sekongkang Atas, serta berupaya agar ancaman tersebut dapat dikondisikan menjadi peluang baru. c. Strategi W-O (Weaknesses – Opportunities) dilakukan untuk menekan kelemahan internal Desa Sekongkang Atas agar mampu memaksimalkan peluang yang ada di lingkungan eksternal Desa Sekongkang Atas. d. Strategi W-T (Weaknesses - Threats) dilakukan untuk menekan kelemahan di lingkungan internal Desa Sekongkang Atas dalam menghadapi berbagai ancaman yang ada di lingkungan eksternal Desa Sekongkang Atas. 3. Menentukan strategi inti. Setelah dirumuskan alternatif-alternatif strategi S-O, W-O, S-T dan W-T, kemudian dilaksanakan FGD lanjutan yang bertujuan menyederhanakan alur pikir dan tujuan dari tiap alternatif strategi yang dihasilkan sehingga didapat sejumlah strategi inti. Strategi inti inilah yang kemudian menjadi dasar dan dikembangkan menjadi sejumlah program yang sifatnya lebih operasional. 4. Menyusun rencana program . Hal prinsip dalam melakukan proses perancangan kebijakan adalah dilakukan secara partisipatif dengan pelibatan stakeholders.
22
4 PROFIL KOMUNITAS SEKONGKANG ATAS Letak Geografis Komunitas Sekongkang Atas merupakan satu dari tujuh desa defenitif yang berada di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Sekongkang Atas terletak di bagian Selatan Pulau Sumbawa dengan batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kemuning Kecamatan Sekongkong, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tongo Kecamatan Sekongkang, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lunyuk Kabupaten Sumbawa, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sekongkang Bawah Kecamatan Sekongkang. Luas wilayah Desa Sekongkang Atas berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2009 adalah 54,37 km2. Pada tahun 2010 luas Desa Sekongkang Atas berkurang menjadi 37,37 km2. Pengurangan tersebut disebabkan karena Dusun Kemuning dengan luas 17,00 km2, yang sebelumnya masuk dalam wilayah administratif Desa Sekongkang Atas dimekarkan menjadi desa defenitif. Pusat pemerintahan Desa Sekongkang Atas berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Sekongkang dan 37,3 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sumbawa Barat. Desa Sekongkang Atas memiliki tiga dusun; yaitu Dusun Sekongkang, Dusun Semelam dan Dusun Buin Batu; tiga Rukun Warga (RW) dan sepuluh Rukun Tetangga (RT). Dusun Sekongkang dan Dusun Semelam merupakan dusun yang penduduknya relatif homogen dan sebagian besar merupakan penduduk lokal dari suku Samawa, sementara Dusun Buin Batu merupakan dusun yang berada di kawasan pemukiman khusus karyawan PT NNT (Town Site), dengan penduduk yang sangat heterogen.
Kependudukan Jumlah rumah tangga di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 adalah 567 kepala keluarga, dengan total jumlah penduduk sebanyak 2.310 orang, yang terdiri dari 1.116 orang laki-laki dan 1.185 orang perempuan. Adapun kepadatan penduduk geografis di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 adalah 61,81 orang/km2. Luas wilayah menurut penggunaan lahan di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas wilayah menurut penggunaan lahan di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 Penggunaan Lahan
Ha
Sawah 112,00 Non Sawah 3377,00 Non Pertanian 248,00 JUMLAH 3737,00 Sumber: diolah dari Kecamatan Sekongkang Dalam Angka tahun 2012
% 3,00 90,37 6,64 100,00
24
Struktur Sosial Stratifikasi Sosial Sertifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hirarki). Berdasarkan proses terjadinya, stratifikasi sosial secara umum dikelompokkan menjadi dua; pertama, terjadi dengan sendirinya; yaitu oleh faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir, misalnya usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. Kedua, terjadi dengan sengaja; yaitu sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata (Sutoro 2004). Karakteristik stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari perbedaan kemampuan dan kesanggupan, gaya dalam hidup, serta hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Staratifikasi sosial dalam masyarakat secara umum dibagi berdasarkan kriteria ekonomi, kekuasaan, keturunan dan pendidikan (Sinoel 2005). Kriteria ekonomi di Desa Sekongkang Atas didasarkan pada keterkaitan dan pendapatan seseorang dalam masyarakat yang ditentukan oleh profesi atau pekerjaan, untuk kemudian mengelompokkan masyarakat ke dalam golongan ekonomi lemah, ekonomi menengah dan ekonomi kuat. Para pengusaha, karyawan yang bekerja di PT NNT dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) umumnya dikategorikan sebagai masyarakat golongan ekonomi kuat. Masyarakat yang bekerja pada perusahaan swasta mitra PT NNT yang disebut sub kontraktor di PT NNT dikelompokkan dalam masyarakat golongan ekonomi menengah. Kriteria kekuasaan mengelompokkan masyarakat sebagai pemimpin dan bawahan atau pejabat dan rakyat. Para pejabat pemerintahan desa, seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan BPD, serta imam masjid memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh masyarakat. Pejabat desa dan imam masjid tersebut memiliki peran strategis dalam masyarakat, bukan saja mengurus program pembangunan desa, tetapi mereka harus meluangkan waktu yang lebih untuk ikut serta menyelesaikan berbagai permasalahan sosial masyarakatnya. Dari sudut keturunan masyarakat umumnya dikelompokkan dalam bangsawan dan rakyat biasa. Meskipun Desa Sekongkang Atas sudah menjadi desa yang terbuka dan heterogen, stigma yang membedakan status sosial masyarakat masih ditemukan. Penduduk Dusun Semelam di RT 04 dan RT 05 atau yang sering disebut Karang Boo, terkadang merasa masih dinomorduakan. Sedangkan dari sudut pendidikan, masyarakat dikelompokkan berdasarkan jenjang pendidikan formalnya dan spesialisasi tugasnya di masyarakat. Para PNS, terutama guru ditempatkan pada posisi terhormat karena tugas mulia yang mereka emban untuk mencerdaskan generasi bangsa. Kelembagaan Sosial Kelembagaan sosial adalah sekumpulan norma yang tersusun secara sistematis dan terbentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kelembagaan sosial lahir sebagai jawaban dari posisi manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Sutoro
25 2004). Kelembagaan sosial di Desa Sekongkang Atas dibedakan menjadi dua, pertama: kelembagaan sosial yang masih bersifat tradisional; yaitu masyarakat yang terikat di dalamnya berdasarkan ikatan komunal dengan orientasi prilaku sosial ke dalam yang sangat kuat, hubungan yang bersifat personal atau pribadi, dan didasari oleh loyalitas yang tinggi. Bentuk kelembagaan sosial tradisional ini nampak pada sistem gotong-royong yang dalam masyarakat Sekongkang Atas disebut besiru. Dalam budaya besiru, masyarakat terikat satu sama lain berdasarkan relasi sosial. Pola besiru yang masih dijumpai sampai saat ini terjadi dalam kegiatan pertanian; yaitu menanam (nalat) dan panen (begabah), meskipun hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat petani yang tidak mampu untuk menyewa tenaga kerja harian yang semakin mahal. Bentuk besiru baru yang muncul pertama di tahun 1990 dan telah menjadi budaya bagi masyarakat Desa Sekongkang Atas hingga saat ini adalah kegiatan “arisan” yang dihajatkan untuk membantu kebutuhan warga yang akan melaksanakan kegiatan hajatan seperti pernikahan, khitanan, aqiqah dan lain-lain. Kedua: kelembagaan sosial yang sudah bersifat modern, yaitu berbentuk organisasi sosial yang anggotanya terlibat bersama mencapai tujuan bersama dengan menggunakan mekanisme organisasi. Organisasi sosial di Sekongkang Atas yang masih aktif melaksanakan kegiatan sosial adalah klub sepak bola (Arseka dan Kijang Keleta), Lembaga Adat Samawa Ano Rawi, Karang Taruna Balang Bung, Remaja Masjid Baitul Gafur, Yayasan Al Fajra, dan lain-lain. Dalam organisasi sosial tersebut, umumnya terdapat rumusan yang jelas tentang cara pencapaian tujuan, perencanaan, program, dan pelaksanaan. Lingkup dan jumlah lembaga di Sekongkang Atas tahun 2014 tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Lingkup dan jumlah lembaga di Desa Sekongkang Atas tahun 2014 Lingkup Sosial Olahraga Pendidikan Sumber: diolah dari hasil wawancara
Jumlah 3 2 1
% 50,00 33,33 16,67
Jejaring Sosial Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain, (Saefuddin et al. 2003). Kehadiran PT NNT yang melakukan penandatanganan kontrak karya dan eksplorasi pada tahun 1986, kemudian melakukan konstruksi pada tahun 1997, dan selanjutnya mulai memasuki masa produksi pada tahun 2000; menjadikan Sekongkang Atas sebagai daerah yang terbuka. Migrasi penduduk yang datang dari berbagai daerah untuk bekerja di PT NNT menjadikan penduduk Desa Sekongkang Atas heterogen dalam aspek suku dan mata pencahariannya. Heterogenitas tersebut berdampak pada semakin meluasnya interaksi atau hubungan individu dan organisasi penduduk yang kemudian membentuk jejaring sosial. Tersedianya akses transportasi dan komunikasi, membuat masyarakat Desa Sekongkang Atas mudah berinteraksi dengan masyarakat luar. Interaksi sosial
26 tersebut tidak hanya membentuk hubungan pertemanan, tetapi bisa menjadi hubungan kerja sama bisnis, bahkan hubungan perkawinan. Secara organisasi, jejaring sosial terbentuk sebagai pola hubungan struktural; yaitu jaringan yang terbentuk dari satu induk organisasi pada berbagai level komunitas, seperti Lembaga Adat Samawa Ano Rawi Desa Sekongkan Atas yang merupakan turunan dari Lembaga Adat Samawa Ano Rawi tingkat Kecamatan Sekongkang dan Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu, jejaring sosial terbentuk sebagai pola hubungan kemitraan; yaitu jaringan yang terbentuk dari hubungan ekonomi (bisnis), sosial, budaya, dan lain-lain.
Kelembagaan Ekonomi Kelompok Usaha Produktif Kelompok usaha produktif yang ada dan berkembang di masyarakat Sekongkang Atas, terkait erat dengan jenis pekerjaan utama masyarakatnya, yaitu di sektor pertanian, pertambangan dan jasa. Pada tahun 2009, 2010 dan 2011 kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian masing-masing sebanyak 67,06%, 70,07% dan 60,67%; sektor pertambangan sebanyak 24,08%, 20,07% dan 22,22%; serta pada sektor jasa sebanyak 4,04%, 5,81% dan 10,77%. Di sektor pertanian, petani Sekongkang Atas tergabung dalam Perhimpunan Petani Pamakai Air (P3A) Bendung Plampoo yang bertanggung jawab dalam pengelolaan air pertanian dari Bendung Plampoo. Ada pula Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saling Sadu yang telah mendapatkan bantuan dana Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dari Kementerian Pertanian yang digunakan untuk membantu kebutuhan sarana produksi pertanian anggota. Di bawah Gapoktan Saling Sadu berhimpun 6 kelompok tani; yaitu Kelompok Tani Batu Pisak I, Batu Pisak II, Sesai Ate, Saling Sakiki, Ai’ Bulu dan Ai’ Nusak Jaya. Kelompok tani tersebut terbagi pada tiga hamparan lahan di Lang Bo’, Lang Desa dan Lang Setebe yang memfokuskan usaha pada kegiatan budidaya tanaman padi dan palawija. Dalam mendukung kegiatan usaha pertaniannya, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat secara berkala memberikan hand tractor serta bantuan benih padi dan palawija; sedangkan PT Newmont Nusa Tenggara memberi bantuan hand tractor dan modal usaha melalui Yayasan Olat Parigi, dan pendampingan teknis melalui Yayasan Pengembangan Pertanian Terpadu. Selain itu ada juga Kelompok Wanita Tani (KWT) Ai’ Tawar yang pada tahun 2008-2010 lebih dikenal sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ai’ Tawar dengan menggalakkan kegiatan Usaha Simpan Pinjam (USP) dan mengelolah warung serba ada (Waserda) yang dibina oleh community development PT Newmont Nusa Tenggara. Ada pula Kelompok Petani Ternak Tiu Gali yang telah mendapatkan bantuan 24 ekor sapi melalui Program Bumi Sejuta Sapi (BSS) Provinsi NTB. Selain itu ada pula Kelompok Simpan Pinam Perempuan yang telah mendapatkan bantuan melalui program PNPM Mandiri Pedesaan. Kegiatan usaha produktif masyarakat diwadahi pula oleh Koperasi Serba Usaha Balang Bung yang terbentuk atas inisiatif dari Karang Taruna Balang Bung. Selain itu, masyarakat Desa Sekongkang Atas ada pula yang bergabung dengan Koperasi Samba yang berkantor di Desa Sekongkang Bawah dengan
27 fokus kegiatan menjahit, Koperasi Serba Usaha Kemuning Jaya yang berkantor di Desa Kemuning dengan fokus kegiatan simpan pinjam dan produksi batako, Koperasi Tiu Petung yang dikHususkan bagi Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Sekongkang dengan fokus kegiatan simpan pinjam, dan Koperasi Wanita Sekongkang yang dikelolah oleh PKK Kecamatan Sekongkang dengan fokus kegiatan simpan pinjam dan pembuatan kerajinan dari bahan limbah plastik. Kopwan Sekongkang merupakan koperasi berprestasi di Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu, ada pula kelompok usaha produktif dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) dalam bentuk kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Di Desa Sekongkang Atas telah terbentuk 15 kelompok SPP dengan modal yang digulirkan sebesar Rp. 325.000.000. Data jumlah masyarakat Desa Sekongkang Atas tahun 2014 yang tergabung dalam kelompok usaha produktif dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kelompok usaha produktif dan jumlah anggota di Desa Sekongkang Atas tahun 2014 Jumlah Anggota Jumlah dari Sekongkang Kelompok Usaha Anggota Atas No Lokasi Produktif (orang) orang % 1
P3A Bendung Plampo
Kec. Sekongkang
336
207
61,61
2
Gapoktan Saling Sadu
Desa SKKG Atas
207
207
100,00
3 4
Poktan Batu Pisak I Poktan Batu Pisak II
Desa SKKG Atas Desa SKKG Atas
43 33
43 33
100,00 100,00
5
Poktan Sesi Ate
Desa SKKG Atas
31
31
100,00
6 7
Poktan Saling Sakiki Poktan Ai’ Bulu
Desa SKKG Atas Desa SKKG Atas
32 21
32 21
100,00 100,00
8
Poktan Ai’ Nusak Jaya
Desa SKKG Atas
24
24
100,00
9
KWT Ai’ Tawar
Desa SKKG Atas
23
23
100,00
10 11
Poknak Tiu Gali KSU Balang Bung
Desa SKKG Atas Desa SKKG Atas
15 30
15 30
100,00 100,00
12
KSU Kemuning Jaya
Kec. Sekongkang
55
23
41,82
13
Kop. Samba
Kec. Sekongkang
36
25
69,44
14
Kop. Tiu Petung
Kec. Sekongkang
77
22
28,57
15
Kopwan Sekongkang
Kec. Sekongkang
126
96
76,19
Sumber: BPP Kecamatan Sekongkang dan hasil wawancara Tabel 4 menjelaskan bahwa, sebanyak 61,61 persen anggota P3A Bendung Plampo berasal dari Desa Sekongkang Atas dan 44,06% berasal dari Desa Sekongkang Bawah. Diketahui pula bahwa dari lima koperasi yang ada, hanya KSU Balang Bung yang 100% anggotanya dari Desa Sekongkang Atas, sementara Koperasi Kemuning Jaya mencapai 41,82%, Koperasi Samba 39,68%, Koperasi Tiu Petung 32,84%, dan Koperasi Wanita Sekongkang 42,12%. Tabel 7
28 menjelaskan pula bahwa, sebanyak 207 orang petani tergabung dalam Gapoktan Saling Sadu sekaligus merupakan anggota P3A Bendung Plampo. Petani tersebut tersebar pada tujuh kelompok tani dan satu kelompok wanita tani yang tersebar di hamparan (Lang) Bo, Lang Desa, dan Lang Setebe. Aksessibilitas terhadap Kebijakan dan Sumberdaya Terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat pada tanggal 20 November 2004 dan keberadaan PT NNT sebagai perusahaan multi nasional yang melakukan aktifitas eksploitasi sumberdaya alam di Sekongkang, sudah semestinya memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Sekongkang. Tugas pokok pemerintah adalah memberikan pelayanan dengan membuat kebijakan dan program pembangunan yang berpihak pada masyarakat. Sedangkan PT NNT memiliki tanggung jawab sosial dalam melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR) sebagai amanat Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemerintahan desa merupakan pihak yang berperan langsung dalam menentukan dan menjalankan kebijakan di tingkat lokal desa. Arah pembangunan di Desa Sekongkang Atas sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintahan desa yang memiliki legitimasi dan merupakan representasi dari masyarakat. Pemerintahan desa diharapkan mampu membangun kerjasama dersama para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya, dalam membangun partisipasi masyarakat dan jejaring dengan pihak luar. Jaringan Bisnis Keberadaan PT NNT telah mendorong masyarakat Desa Sekongkang Atas untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya, tidak hanya untuk bekerja sebagai karyawan dan atau berharap tanggung jawab perusahaan dalam program CSRnya, tetapi memberi ruang kepada kelompok masyarakat tertentu untuk memanfaatkan peluang bisnis dengan mengembangkan usaha di sektor jasa. Data menunjukkan bahwa, jumlah penduduk Desa Sekongkang Atas yang bekerja di sektor jasa terus mengalami peningkatan, yaitu 4,04 persen pada tahun 2009, meningkat menjadi 5,81 persen pada tahun 2010 dan 10,77 persen pada tahun 2011. Perkembangan jaringan bisnis di Desa Sekongkang Atas tersebut terlihat dengan tumbuh kembangnya perusahaan lokal yang memanfaatkan peluang untuk membangun kerja sama dengan PT NNT dan atau Sub Kontraktor PT NNT. Manajemen PT NNT sendiri memiliki komitmen untuk mendorong tumbuhnya sektor bisnis di kawasan lingkar tambang pada umumnya dan melakukan pembinaan bagi para pengusaha lokal dengan memberi kesempatan untuk membangun kemitraan usaha melalui kegiatan penyediaan jasa konstruksi, jasa tenaga kerja dan penyediaan barang dan jasa. Dalam mengembangkan usaha bisnisnya, para pengusaha lokal membangun pula jejaring bisnis dengan pengusaha luar dan lembaga permodalan untuk mendukung ketersediaan modal usaha.
29 Tokoh Bisnis Tokoh bisnis diberikan kepada masyarakat yang fokus melakukan aktifitas bisnis. Di Desa Sekongkang Atas tokoh bisnis adalah para pengusaha yang umumnya melakukan aktifitas bisnis dengan bekerja menjadi mitra PT NNT. Jumlah pengusaha yang memiliki perusahaan di Desa Sekongkang Atas mencapai 18 orang. Tokoh bisnis yang dinilai sukses di Desa Sekongkang Atas adalah Selvi Fitrianti, A.Md., Direktris PT Nadhin Putri Sekongkang (PT NPS) yang merupakan putri kelahiran Desa Sekongkang Atas tahun 1979, telah menggeluti bisnis sejak tahun 2004 yang bekerjasama dengan PT NNT. Tokoh bisnis sukses lainnya adalah Imran, AR Direktur PT RINDID dan kini memiliki omzet lebih dari 2 M.
Pola-pola Kebudayaan Sistem Norma dan Nilai Dalam kehidupan bermasyarakat, norma dan nilai sangat dibutuhkan dalam memberi batasan terhadap perilaku-perilaku individu maupun kelompok untuk menjauhi terjadinya sebuah penyimpangan sosial dalam masyarakat (Sutoro, 2004). Sistem nilai dan norma masyarakat di Desa Sekongkang Atas merupakan perpaduan dari adat dan budaya penduduk lokal, nilai-nilai yang dibawah oleh para pendatang dan penetrasi nilai dan budaya luar. Penduduk lokal Desa Sekongkang Atas merupakan penduduk suku samawa dan beragama Islam, sehingga norma yang berlaku di masyarakat merupakan buah dari budaya samawa yang kental dengan nilai-nilai ajaran Islam. Konsep dasar penerapan system norma dan nilai oleh masyarakat Sumbawa (tau Samawa) tercermin dari motto “adat bersendikan sara, sara bersendikan Kitabullah”. Guna memastikan berjalannya system norma dan nilai tersebut, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat pada Tahun 2011 membentuk Lembaga Adat Samawa Ano Rawi yang kepengurusannya hingga ke tingkat desa. Di Kecamatan Sekongkang, Ketua Lembaga Adat Samawa Ano Rawi diamanahkan kepada Bapak H. M. Syafii HMA. Orientasi Nilai Budaya Sistem norma dan nilai di suatu komunitas sangat ditentukan oleh adat, budaya dan agama masyarakatnya. Nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Desa Sekongkang Atas lahir dari etnis dan budaya lokal Samawa yang kental dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa, kemajuan pembangunan, kususnya di bidang transportasi dan komunikasi telah membuat Desa Sekongkang Atas menjadi terbuka. Hal ini tidak sedikit berpengaruh pada terkikisnya nilai budaya dalam masyarakat. Hal lain yang menggembirakan ditengah kemajuan yang terjadi di Desa Sekongkang Atas adalah masih terpelihara (bahkan cenderung berkembang) suasana religius di lingkungan masyarakat. Hal ini bisa diukur melalui semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan fasilitas ibadah. Di Desa
30 Sekongkang Atas, terdapat dua masjid, yaitu di perkampungan komunitas masyarakat lokal yaitu Masjid Besar Baitul Gafur (masjid tingkat Kecamatan Sekongkang) dan di perumahan khusus karyawan PT NNT (Townsite) yaitu Masjid Miftahul Jannah. Selain itu, ada dua musholla; Mushola Al Mu’minin di Dusun Semelam dan Mushola SDN 02 Sekongkang, serta satu musholla di RT 08 yang sedang dalam proses pembangunan.
Pola-pola Adaptasi Ekologi Basis Ekologi dan Perubahannya Desa Sekongkang Atas merupakan desa agraris yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Pertanian di Desa Sekongkang Atas didukung oleh potensi alam dan iklim. Kehadiran PT NNT, memberi dampak ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat Desa Sekongkang Atas. Masyarakat yang sebelumnya hanya menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian, kini telah meluas ke sektor lainnya, terutama sektor pertambangan atau galian dan jasa. Memasuki masa produksi perdana PT NNT 1 Maret 2000 hingga saat ini, matapencaharian masyarakat Desa Sekongkang Atas tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, bahkan angkatan kerja produktif berlomba-lomba untuk bekerja di sektor pertambangan dengan menjadi karyawan perusahaan dan menjadikan sektor pertanian sebagai pilihan terakhir. Matapencaharian Utama Data matapencaharian utama masyarakat Kecamatan Sekongkang tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Matapencaharian kepala keluarga di Desa Sekongkang Atas tahun 2012 Matapencaharian Pertanian Pertambangan Jasa Lain-lain
KK
350 128 36 62 Jumlah 576 Sumber: diolah dari Kecamatan Sekongkang dalam angka tahun 2012
% 60,76 22,22 6,25 10,77 100,00
Tabel 5 menjelaskan bahwa pekerjaan utama penduduk di Desa Sekongkang Atas bertumpu pada sektor pertanian yang mencapai 60,76%, disusul kemudian sektor pertambangan yang mencapai 22,22%. Sedangkan jasa mencapai 6,25%. Penduduk yang bekerja di sektor pertambangan adalah penduduk yang penghasilan utamanya diperoleh dengan bekerja sebagai karyawan di perusahan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) dan perusahaan yang bermitra (sub kontraktor) PT NNT. Sedangkan penduduk yang bekerja sektor jasa umumnya penduduk yang birwirausaha dengan membangun kemitraan dengan PT NNT atau perusahaan nasional yang bermitra dengan PT NNT.
31 Strategi Penghidupan Sebelum PT NNT melakukan aktifitas eksplorasi pada tahun 1986, masyarakat Sekongkang menjadikan pertanian sebagai harapan utama untuk menopang kehidupannya (Sinoel 2005). Memasuki masa produksi di tahun 2000, PT NNT melakukan pembangunan fasilitas pertanian, terutama pembangunan embung/bendungan, cetak sawah baru dan peningkatan kapasitas petani melalui program pengembangan pertanian terpadu, yang tertuang dalam program pengembangan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar. Produksi padi di Desa Sekongkang Atas rata-rata 4,2 ton per hektar dengan sistem tanam tradisional, sedangkan hasil yang dicapai dengan syistem rice intensifikasi (SRI) pada lahan denplot seluas dua hektar dengan melibatkan enam orang petani dampingan Yayasan Pengembangan Pertanian Terpadu (YPPT) sebagai mitra community development PT NNT mencapai rata-rata 5,8 ton per hektar, sedangkan hasil panen kedelai mencapai 720 kg per hektar. Dari sektor peternakan tercatat jumlah ternak sapi di Desa Sekongkang Atas mencapai 362 ekor, kuda 16 ekor, dan kambing 35 ekor. Ternak yang ada belum dipelihara secara intensif melalui sistem pengandangan, tetapi masih dilakukan secara tradisional yaitu dengan melepas, sehingga menimbulkan masalah berupa terseraknya kotoran ternak di jalan dan lingkungan pemukiman warga, merusak tanaman pertanian, bahkan membuka potensi pencurian ternak.
Masalah-masalah Sosial Deskripsi Masalah Sosial Proses pembangunan, kemajuan informasi dan mudahnya akses transportasi, mengakibatkan interaksi atau hubungan sosial masyarakat menjadi lebih luas dan terbuka, yang tidak jarang berdampak pada perubahan nilai dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran PT NNT yang mulai berproduksi pada tahun 2000 dan terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat pada tahun 2004 telah mendorong percepatan pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat Sekongkang (Sinoel 2005). Namun harus diakui bahwa, ada permasalahan sosial yang ditimbulkan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, terutama pemerintah dan manajemen PT NNT. Tingginya harapan atau espektasi masyarakat lingkar tambang, termasuk dari Desa Sekongkang Atas untuk mengambil manfaat dan peluang bekerja di PT NNT atau sub kontraktor PT NNT, menjadikan masalah ketenagakerjaan menjadi permasalahan yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat. Komitmen PT NNT untuk merekrut 60 persen tenaga kerja lokal dinilai belum terpenuhi. Hal lain yang nampak sebagai masalah sosial di Kecamatan Sekongkang adalah perbedaan standar hidup antara karyawan NNT dan masyarakat yang tidak bekerja di PT NNT. Terkikisnya sistem nilai dan norma yang berlaku di tengah masyarakat, meningkatnya konflik internal rumah tangga, serta munculnya tempat-tempat hiburan malam yang menjajakkan “menu maksiat” di sekitar Desa Sekongkang Atas, merupakan masalah lain mengancam kehidupan sosial masyarakat.
32 Dampak Masalah Sosial Keterbatasan PT NNT untuk menampung angkatan kerja yang ada di Kecamatan Sekongkang, menjadi foktor utama terjadinya aksi demonstrasi atau unjuk rasa untuk menuntut dipekerjakan menjadi karyawan PT NNT. Tingginya harapan masyarakat Desa Sekongkang Atas untuk bekerja sebagai karyawan PT NNT membuat permasalahan ketenagakerjaan menjadi isu sosial yang utama. Camat Sekongkang, Sirajuddin menjelaskan: “masalah tenaga kerja merupakan permasalahan yang akan selalu mengemuka di Kecamatan Sekongkang, bahkan bisa menjadi “bom waktu” bila tidak disikapi dengan serius. Masalah yang dihadapi bukan saja mereka yang belum punya pekerjaan, tetapi datang pula dari masyarakat yang telah bekerja di perusahaan sub kontraktor mitra PT NNT yang menuntut untuk bekerja dengan status sebagai karyawan PT NNT. Masalah lain adalah rendahnya minat angkatan kerja untuk bekerja di sektor pertanian dan usaha produktif. Hal yang jauh lebih penting untuk diambil langkah penanganan sejak dini adalah penangan setelah beroperasinya PT NNT, jelas Sirajuddin.” Terkait kesenjangan standar hidup antara karyawan NNT dan masyarakat yang tidak bekerja di PT NNT. Kecemburuan sosial muncul dari mereka yang tidak secara langsung memperoleh keuntungan dari pertambangan, disamping keseluruhan perbaikan standar hidup. Terkikisnya sistem nilai dan norma yang berlaku di tengah masyarakat nampak pada rendahnya pemahaman dan melemahnya semangat generasi muda untuk belajar adat dan budaya lokal. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, saat ini sulit untuk mencari generasi muda yang mengetahui seni dan budaya daerahnya, bahkan tidak sedikit yang menyebutkan bahwa adat dan budaya adalah urusan masa lalu yang sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam kehidupan moderen ini. Bukti lain adalah, memudarnya semangat gotong royong yang dalam masyarakat Samawa di sebut besiru. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa, budaya siru dalam kehidupan masyarakat Sekongkang sudah tergantikan dengan uang. Faktor-faktor Penyebab Faktor penyebab permasalahan ketenagakerjaan di Desa Sekongkang Atas adalah, tingginya harapan (espektasi) masyarakat untuk bekerja sebagai karyawan di PT NNT. Hal ini disebabkan karena gaji yang besar, ada tunjangan kesehatan dan perumahan. Di sisi lain, adanya keterbatasan PT NNT untuk merekrut tenaga kerja pada akhir masa produksi. Kesenjangan sosial yang terjadi karena perbedaan standar hidup antara karyawan NNT dan masyarakat yang tidak bekerja di PT NNT bisa disebabkan karena program pengembangan masyarakat (community development) yang dilakukan oleh PT NNT belum secara efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat “lemah”. Solusi yang Pernah Dilakukan Permasalahan tenaga kerja telah direspon oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat dengan menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2010 yang mengharuskan setiap perusahaan di Kabupaten Sumbawa Barat mempekerjakan minimal 50 persen warga lokal (Sumbawa Barat). Peraturan
33 Bupati Nomor 9 ini justru mendapatkan kecaman para pencari kerja di Kecamatan Sekongkang saat PT NNT melakukan rekrutmen 613 orang tenaga kerja baru pada Agustus 2011 dengan melakukan aksi pemblokiran akses PT NNT selama tujuh hari. Permasalahan kesenjangan sosial dan masih tingginya angka masyarakat pra sejahtera di Kecamatan Sekongkang, telah diupayakan melalui program pengembangan masyarakat, namun masih perlu diarahkan agar lebih efektif, yaitu sesuai kebutuhan masyarakat, tepat sasaran dan berkelanjutan. Adapun permasalahan semakin tingginya konflik internal rumah tangga, solusi yang telah dilakukan adalah melalui pendekatan keagamaan, dengan mengintensifkan dakwah di masjid-masjid.
34
5 PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dalam kajian strategi penguatan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas, difokuskan untuk mendeskripsikan kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat, menganalisis implementasi ADD dalam penguatan partisipasi dan kapasitas desa di Desa Sekongkang Atas.
Kebijakan ADD Kebijakan ADD diatur melalui regulasi terbaru, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Penjabaran Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada pasal 95 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tersebut dijelaskan: pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. Sedangkan dalam pasal 96 ayat 1: pemerintah akan mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Pada ayat 2: pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dalam APBD kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Menindaklanjuti amanat undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ADD; Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menetapkan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Penjabaran Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tersebut, dijelaskan melalui Peraturan Bupati Sumbawa Barat yang mengatur tentang penetapan besarnya perhitungan ADD Kabupaten Sumbawa Barat dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) Pengelolaan Keuangan Desa yang diterbitkan setiap tahun anggaran. Pada tahun 2013, pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menerbitkan Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2013; dan Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 74 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2013. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah dirampas orde baru, dan pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, maka desa berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara. Bahkan lebih dari itu, memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat di luar desa administratif. Untuk mewujudkan harapan tersebut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memberi ruang yang efektif untuk digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesa.
36 Pengaturan eksistensi desa semakin kuat dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 yang memberi peluang bagi penguatan partisipasi dan kapasitas desa sebagai syarat tumbuhnya otonomi desa melalui pemberian wewenang yang lebih luas. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan kewenangan desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketersediaan Regulasi Sebagai daerah otonom, Kabupaten Sumbawa Barat telah melaksanakan prinsip-prinsip otonomi daerah dengan berusaha mengoptimalkan potensi desa demi terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Salah satu wujud nyata komitmen Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dalam melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan dalam mengatur tanggung jawab pemerintah daerah kepada desa, yaitu dengan ditegaskannya kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat tentang Alokasi Dana Desa (ADD). Kabupaten Sumbawa Barat mengatur kebijakan ADD sejak tahun 2006 2013 dalam tiga bentuk produk hukum, yaitu Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat, Peraturan Bupati Sumbawa Barat, dan Peraturan Daerah Sumbawa Barat (Lihat Tabel 6). Setiap tahun pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat untuk mengatur penetapan besarnya perhitungan alokasi dana desa Kabupaten Sumbawa Barat. Salah satu dasar pertimbangannya adalah ADD merupakan sumber pendapatan desa agar dapat melaksanakan otonomi desa dengan seluas-luasnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, sejak tahun 2010 hingga tahun 2013 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat tentang petunjuk teknis operasional pengelolaan keuangan desa, yang bertujuan untuk: (1) pengelolaan keuangan desa yang terencana secara partisipatif; (2) pengelola keuangan desa mengerti dan paham alur pengelolaan keuangan desa; (3) pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan desa mengerti akan tugas dan fungsinya; dan (4) terwujudnya pengelolaan keuangan desa yang transparan, akuntabel dan partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Wujud komitmen tertinggi Pemerintah Sumbawa Barat dalam menyediakan regulasi khusus terkait ADD adalah dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 menjelaskan bahwa, ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan Pasal 3 menjelaskan bahwa, tujuan dilaksanakannya ADD yaitu: (1) meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya; (2) meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa; (3) memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa; dan (4) mendorong swadaya gotong royong masyarakat.
37 Tabel 6. Regulasi terkait ADD di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2006
Regulasi Surat Keputusan Bupati Nomor 219 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Bantuan Kepada Desa 2007 1. Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat 2. Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2007 3. Surat Keputusan Bupati Nomor 274 Tahun 2007 tentang Penetapan Alokasi Dana Desa Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2007 2008 Surat Keputusan Bupati Nomor 20 B Tahun 2008 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2008 2009 1. Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa 2. Surat Keputusan Bupati Nomor 127 Tahun 2009 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2009 2010 1. Surat Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 2010 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2010 2. Surat Keputusan Bupati Nomor 865 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 2010 tentang Penetapan Besarnya Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2010 3. Surat Keputusan Bupati Nomor 06 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2010 2011 1. Surat Keputusan Bupati Nomor 171 Tahun 2011 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2011 2. Surat Keputusan Bupati Nomor 85 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2011 2012 1. Surat Keputusan Bupati Nomor 356 Tahun 2012 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2012 2. Surat Keputusan Bupati Nomor 10 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2012 2013 1. Surat Keputusan Bupati Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2013 2. Surat Keputusan Bupati Nomor 74 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2013 Sumber: BPM Pemdes Kabupaten Sumbawa Barat
38 Memperhatikan tujuan Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat tentang petunjuk teknis operasional pengelolaan keuangan desa dan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa, maka regulasi ADD di Sumbawa Barat, secara jelas dihajatkan untuk mewujudkan peningkatan partisipasi dan penguatan kapasitas desa. Kebijakan Penganggaran Kebijakan penganggaran ADD di Kabupaten Sumbawa Barat dan di Desa Sekongkang Atas, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa, yang secara eksplisit mengklasifikasi pemanfaatan ADD menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ADD Merata (ADDM) sebesar 60% dari jumlah ADD diperuntukkan bagi Belanja Tidak Langsung dalam APBDesa, yang meliputi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerinta Desa (TPAPD) dan Tunjangan RT. Kedua, ADD Proporsional (ADDP) sebesar 40% dari jumlah ADD diperuntukkan bagu Belanja Langsung dalam APBDesa. Komposisi tersebut menunjukkan bahwa proporsi ADD lebih besar dialokasikan untuk aparatur desa yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kapasitas aparatur desa. Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 tersaji pada Tabel 7 dan persentasi perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sumbawa Barat tahun 2006 - 2013 dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 7. Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Tahun
Jlh Desa
ADDP
ADDM Rp
%
Rp
%
JUMLAH
Tumbuh (%)
2006
38
3.900.800.000
68,44
1.799.200.000
31,56
5.700.000.000
2007
49
3.709.400.000
36,91
6.340.600.000
63,09
10.050.000.000
43,28
2008
44
3.328.800.000
33,86
6.502.334.296
66,14
9.831.134.296
(2,23)
2009
49
4.471.920.000
34,40
8.528.080.000
65,60
13.000.000.000
24,38
2010
57
9.537.823.324
60,00
6.358.548.883
40,00
15.896.372.207
18,22
2011
57
10.200.000.000 60,00
6.800.000.000
40,00
17.000.000.000
6,49
2012
57
9.960.000.000
60,00
6.640.000.000
40,00
16.600.000.000
(2,41)
2013
57
10.200.000.000
60,00
6.800.000.000
40,00
17.000.000.000
2,35
Sumber: Data diolah dari APBD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013
39 % ADDM 68.44
2006
66.14
63.09 43.28 36.91
31.56
65.60 34.40 24.38
33.86
(2.23) 2008
2007
% ADDP
2009
% TUMBUH
60.00
60.00
40.00
40.00
18.22 2010
60.00 60.00 40.00 40.00
6.49 2011
(2.41) 2012
2.35 2013
Gambar 4. Persentasi perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Tabel 7 dan Gambar 4 menjelaskan bahwa anggaran ADD di Sumbawa Barat cenderung mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2008 mengalami penurunan 2,23% dibanding tahun 2007 dan tahun 2012 mengalami penurunan 2,41% dibanding tahun 2011. Peningkatan tertinggi terjadi di tahun 2007 yaitu 43,28% dibanding tahun 2006. Tabel 7 dan Gambar 4 menjelaskan pula bahwa, proporsi ADDM dan ADDP tahun 2010 sampai 2013 tidak berubah, yaitu 60% untuk ADDM dan 40% untuk ADDP. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang secara eksplisit disebutkan bahwa besarnya ADDM adalah 60% dari jumlah ADD dan ADDP adalah 40% dari jumlah ADD. Proporsi ADDM di bawah 50% dan ADDP di atas 50% hanya terjadi pada tahun 2007 sampai 2009. Hal ini didorong oleh semangat Pemerintah Sumbawa Barat untuk memperbesar nilai ADDP untuk peningkatan pembangunan desa, yang secara bersamaan memperkecil ADDM yang digunakan untuk pembiayaan aparatur desa. Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Desa Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 tersaji pada Tabel 8 dan persentase perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sekongkang Atas tahun 2006 - 2013 dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 8. Anggaran ADD, ADDM dan ADDP Desa Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 ADDP
ADDM
Jlh RT
Rp
%
2006
10
105.100.000
2007
10
73.800.000
2008
10
2009
Tahun
Jumlah
Tumbuh (%)
Rp
%
70,07
44.900.000
29,93
150.000.000
31,01
164.190.628
68,99
237.990.628
36,97
73.800.000
28,54
184.787.776
71,46
258.587.776
7,97
10
99.720.000
29,29
240.717.766
70,71
340.437.766
24,04
2010
10
177.482.132
51,00
170.522.049
49,00
348.004.181
2,17
2011
10
178.947.369
50,98
172.034.115
49,02
350.981.484
0,85
2012
10
174.736.842
49,32
179.581.305
50,68
354.318.147
0,94
2013
10
178.947.368
49,33
183.786.124
50,67
362.733.492
2,32
Sumber: diolah dari APBD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013
40 % ADDM 70.07
% ADDP
71.46
68.99
% TUMBUH
70.71 51.00 49.00
36.97 29.93
28.54
31.01
2007
2008
49.02
50.68 49.32
50.67 49.33
29.29 24.04
7.97 2006
50.98
2.17 2009
2010
2011
2.32
0.94
0.85 2012
2013
Gambar 5. Persentase perkembangan ADD, ADDM dan ADDP Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 Tabel 8 dan Gambar 5 menjelaskan bahwa anggaran ADD di Desa Sekongkang Atas terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan tertinggi terjadi di tahun 2007 yaitu 36,97% dibanding tahun 2006, kemudian di tahun 2009 sebesar 24,04% dibanding tahun 2010. Peningkatan ADD Sumbawa Barat di tahun 2010 sebesar 24,38% tidak sebanding dengan peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas yang hanya 2,17%. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah penerima ADD menjadi 57 desa dibanding tahun 2009 yang hanya 49 desa. Demikian halnya dengan peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas pada tahun 2008 sebesar 7,97%, sementara di tahun yang sama ADD Sumbawa Barat mengalami penurunan 2,23%. Hal ini disebabkan karena jumlah penerima ADD pada tahun 2008 berkurang menjadi 44 desa yang sebelumnya 49 desa di tahun 2007. Tabel 8 dan Gambar 5 menjelaskan pula bahwa, proporsi ADDM dan ADDP Desa Sekongkang Atas tahun 2010 sampai 2013 berada pada kisaran 50%. Hal ini menunjukkan bahwa, Desa Sekongkang Atas menganggarkan ADDM di bawah batas maksimum (60% dari total ADD) dan ADDP di atas batas minimum (40% dari total ADD) yang diamanahkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007. Kebijakan ini menggambarkan adanya komitmen dari Pemerintah Desa Sekongkang Atas untuk mendorong peningkatan anggaran pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Proporsi ADDP Desa Sekongkang Atas tahun 2007 sampai 2009 berada pada kisaran 70%, sehingga anggaran untuk pembiayaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan anggaran untuk pembiayaan aparatur desa yang hanya berkisar 30%. Penjelasan terkait kebijakan ADD Sumbawa Barat dan Desa Sekongkang Atas secara lebih rinci adalah sebagai berikut: Tahun 2006 Tahun 2006 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 219 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Bantuan Kepada Desa, yang mengklasifikasi pemanfaatan alokasi dana bantuan kepada desa menjadi dua peruntukan bantuan, yaitu: Dana Abadi Desa (DAD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). ADD meliputi ADD Rutin (ADDr) yang terdiri dari Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerinta Desa (TPAPD), biaya operasional dan
41 biaya barang; dan ADD Pembangunan (ADDp) yang terdiri dari biaya pembangunan fisik untuk prasarana pemerintahan desa, prasarana produksi, prasarana sosial, prasarana pemasaran, prasarana perhubungan dan pembangunan lain-lain. Alokasi dana bantuan kepada desa dibagi dalam dua jenis bantuan, yaitu: pertama, Dana Abadi Desa (DAD) sebesar Rp. 3.800.000.000 (40% dari total alokasi bantuan kepada desa) yang pengelolaannya tidak secara langsung dilakukan oleh desa, melainkan dikelola oleh Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Paleba. Kebijakan DAD yang besarnya Rp. 100.000.000 per desa bertujuan untuk: investasi desa,modal untuk mengembangkan usaha ekonomi desa, mengembangkan enterpreneurship desa untuk mengembangkan ekonomi pedesaan, mengantisipasi agar desa tidak menghabiskan anggaran setiap tahunnya, dan mendorong agar penggunaan keuangan desa lebih efektif dan efisien. Kedua, ADD sebesar Rp. 5.700.000.000 (60% daritotal alokasi bantuan kepada desa), yang diperuntukkan bagi 38 desa dengan pembagian sebagai berikut: ADDr sebesar Rp. 3.900.800.000 (68,44% dari total ADD); dan ADDp sebesar Rp. 1.799.200.000 (31,56% dari total ADD). Jumlah alokasi dana bantuan kepada desa setara dengan 3,46% dari total APBD Sumbawa Barat pada tahun anggaran 2006 yaitu Rp. 274.076.196.844. Pada tahun 2006, Desa Sekongkang mendapatkan alokasi dana bantuan sebesar Rp. 250.000.000 yang dibagi menjadi: DAD sebesar Rp. 100.000.000, ADDr sebesar Rp. 105.100.000 (70,07% dari total ADD), dan ADDp sebesar Rp. 44.900.000 (29,93% dari total ADD). Kebijakan ADD yang seragam bagi setiap desa berpotensi melahirkan terjadinya gap atau kesenjangan antar desa, dimana desa yang maju akan semakin maju dan desa yang miskin akan semakin miskin. Selain itu, proporsi ADDr Sumbawa Barat mencapai 68,44% dan proporsi ADD pembangunan atau ADD Proporsional (ADDp) Sumbawa Barat hanya 31,56%. Sedangkan ADDr Desa Sekongkang Atas mencapai 70,07% dan ADDp hanya 29,93%. Pengelolaan DAD oleh KJKS Paleba menunjukkan bahwa Pemerintah Sumbawa Barat tengah melangkah mundur dengan praktek resentralisasi fiskal. Praktek ini menggambarkan bahwa Pemerintah Sumbawa Barat tidak sepenuhnya mendukung upaya berlangsungnya desentralisasi ekonomi untuk desa; yaitu adanya pelimpahan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dari pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota kepada kepada sektor privat yang mengelola keuangan desa. Selain itu, baik DAD maupun ADD secara keseluruhan merupakan salah satu sumber pendapatan desa yang menurut Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 Pasal 68 ayat (2 dan 3) tidak boleh diambilalih oleh Pemerintah. Pelaksanaan ADD tahun 2006, tidak banyak merubah wajah pemerintahan desa yang lebih efektif dalam memberikan pelayanan publik maupun peningkatan percepatan pembangunan desa. Seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menjelaskan: "Jumlah ADD yang besar pada tahun 2006 memang berdampak pada peningkatan APBDesa, namun peningkatan tersebut tidak signifikan bagi masyarakat desa, karena alokasi peruntukkan ADD sekitar 70% untuk operasional desa, dan hanya sekitar 30% untuk peningkatan pembangunan desa".
42 Tahun 2007 Tahun 2007 kebijakan Alokasi Dana Desa diatur melalui Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat, kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2007. Secara lebih detail, komposisi penerimaan desa dari ADD diatur dengan Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 274 Tahun 2007 tentang Penetapan Alokasi Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2007, yang mengklasifikasi pemanfaatan ADD menjadi dua bagian, yaitu ADD Merata (ADDM) diperuntukkan bagi Belanja Tidak Langsung dalam APBDesa, yang meliputi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerinta Desa (TPAPD) dan Tunjangan RT; dan ADD Proporsional (ADDP) diperuntukkan bagu Belanja Langsung dalam APBDesa. Proporsi ADD Sumbawa Barat pada tahun 2007 telah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/1841/SJ Tahun 2006 dengan memasukkan kriteria atau variabel jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, jarak keterjangkauan, luas wilayah, dan jumlah unit komunitas (RT) yang menentukan jumlah proporsionalitas anggaran pada masing-masing desa. Jumlah ADD Sumbawa Barat tahun 2007 sebesar Rp. 10.050.000.000 atau mengalami peningkatan sebesar Rp. 4.350.000.000 dibanding tahun 2006. Peningkatan jumlah ADD Sumbawa Barat yang mencapai 43,28% lebih disebabkan karena peningkatan jumlah penerima ADD dari 38 desa menjadi 49 desa. Pada tahun 2007, ADD Desa Sekongkang Atas mengalami peningkatan sebesar Rp. 87.990.628 (setara dengan 36,97%) dibanding tahun 2006 menjadi sebesar Rp. 237.990.628. Proporsi ADD Sumbawa Barat meliputi ADDM hanya 36,91% dan ADDP mencapai 63,09%. Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 31,01% dan ADDP mencapai 68,99%. Peningkatan ADDP ini diharapkan dapat mendorong ADD lebih berpihak kepada masyarakat dengan peningkatan alokasi anggaran untuk pembangunan desa. Langkah Pemerintah Sumbawa Barat untuk mendorong terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa tidak saja melalui ADD, tetapi dilakukan pula dengan program prioritas yang mendukung lahirnya peningkatan percepatan pembangunan desa dengan peningkatan partisipasi masyarakat, melalui Program Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT). PBRT bertujuan membangun keberdayaan masyarakat desa, khususnya warga miskin yang ada pada masing-masing komunitas Rukun Tetangga (RT). Untuk mendukung kebijakan PBRT, tahun 2007 Pemerintah Sumbawa Barat untuk pertama kalinya memberikan tunjangan bagi para Ketua RT melalui ADDM, yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 274 Tahun 2007. Besar ADDM Sumbawa Barat untuk tunjangan RT sebanyak Rp. 746.400.000 (7,43% dari total ADD) yang diperuntukkan bagi 622 Ketua RT dan ADDM Desa Sekongkang Atas untuk tunjangan RT sebanyak Rp. 12.000.000 (5,04% dari total ADD )yang diperuntukkan bagi 10 Ketua RT. Sedangkan ADDM Sumbawa Barat untuk TPAPD sebanyak Rp. 2.963.000.000 (29,48% dari total ADD) dan ADDM Desa Sekongkang Atas untuk TPAPD sebanyak Rp. 61.800.000 (29,57% dari total ADD). Tunjangan insentif RT dimaksudkan untuk
43 meningkatkan kinerja Ketua RT dalam pemberdayaan masyarakat, mendorong partisipasi warga dalam proses pembangunan di lingkungan RT, memotivasi warga untuk turut memberikan kontribusi dalam pembangunan desa, dan meningkatkan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan desa. Dibandingkan dengan tahun 2006, kebijakan ADD tahun 2007 lebih baik, karena: pertama, pemerintah telah menentapkan formulasi perhitungan penetapan jumlah ADD untuk masing-masing desa dengan mempertimbangkan aspek kewilayahan, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, jarak keterjangkauan, luas wilayah, dan jumlah unit komunitas (RT); kedua, proporsi ADDP yang jauh lebih besar dari ADDM; dan ketiga, adanya alokasi anggaran untuk tunjangan RT. Tahun 2008 Tahun 2008 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 20 B Tahun 2008 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2008. Kebijaan ADD tahun 2008 merupakan kelanjutan dari kebijakan ADD tahun 2007. Jumlah ADD Sumbawa Barat tahun 2008 sebesar Rp. 9.958.751.253 atau mengalami penurunan sebesar Rp. 218.865.704 dibanding tahun 2007. Namun ADD Desa Sekongkang Atas mengalami peningkatan sebesar Rp. 20.597.148 menjadi Rp. 258.587.776. Peningkatan jumlah ADD Desa Sekongkang Atas disebabkan karena terjadinya pengurangan jumlah desa penerima ADD pada tahun 2008 menjadi 44 desa, yang pada tahun 2007 sebanyak 49 desa. Lima desa (Menala, Sampir, Dalam, Kuang, Bugis, dan Telaga Bertong) pada tahun 2008 berubah status menjadi kelurahan. Proporsi ADD Sumbawa Barat tahun 2008 meliputi ADDM hanya 33,86% dan ADDP meningkat menjadi 66,14%. Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 28,54% dan ADDP meningkat hingga 71,46%. Adapun ADDM Sumbawa Barat untuk tunjangan RT sebanyak Rp. 644.400.000 (6,55 % dari total ADD) yang diperuntukkan bagi 697 Ketua RT dan ADDM Desa Sekongkang Atas untuk tunjangan RT sebanyak Rp. 12.000.000 (4,64% dari total ADD) yang diperuntukkan bagi 10 Ketua RT. Sedangkan ADDM Sumbawa Barat untuk TPAPD sebanyak Rp. 2.684.400.000 (29,48% dari total ADD) dan ADDM Desa Sekongkang Atas untuk TPAPD sebanyak Rp. 61.800.000 (23,90% dari total ADD). Tahun 2009 Tahun 2009 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009, yang kemudian dijabarkan melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 127 Tahun 2009 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2009. Dalam Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 menjelaskan pula tentang formulasi perhitungan yang digunakan sebagai dasar dalam penetapan ADD, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ADD dihitung berdasarkan hasil penjumlahan antara jumlah Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) ditambah dengan jumlah Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP),
44 2. Jumlah ADD untuk desa x (ADD x) dihitung berdasarkan hasil penjumlahan antara jumlah ADDM desa x (ADDM x) ditambah jumlah ADDP desa x (ADDP x), 3. Jumlah ADDM desa x (ADDM x) adalah 60% dari ADD sebagaimana dimaksud pada poin 1 dibagi dengan jumlah desa, dan 4. Jumlah ADDP desa x (ADDP x) dihitung berdasarkan hasil perkalian antara 40% dari ADD sebagaimana dimaksud pada poin 1 dikalikan dengan bobot desa. Jumlah ADD Sumbawa Barat tahun 2009 sebesar Rp. 13.000.000.000 atau mengalami peningkatan sebesar Rp. 3.168.865.704 dibanding tahun 2008. Hal ini berdampak pada peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas sebesar Rp. 81.849.990 menjadi Rp. 340.437.766. Proporsi ADD Sumbawa Barat tahun 2009 meliputi ADDM hanya 34,40% dan ADDP meningkat menjadi 65,60%. Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 29,29% dan ADDP sebesar 70,71%. Tahun 2010 Tahun 2010 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 2010 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2010. Jumlah ADD Sumbawa Barat ditetapkan sebesar Rp. 13.000.000.000, yang diperuntukkan bagi 57 desa. Proporsi ADD Sumbawa Barat tahun 2010 meliputi ADDM sebesar 60% dan ADDP sebesar 40%. Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 51% dan ADDP sebesar 49%. Peningkatan ADDM hingga 60% dan penurunan ADDP hingga 40% mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang dalam Pasal 20 Ayat 3 secara eksplisit disebutkan bahwa besarnya ADDM adalah 60% dari jumlah ADD dan ADDP adalah 40% dari jumlah ADD. Kebijakan ini menghilangkan "kreasi" Pemerintah Sumbawa Barat yang terus berupaya meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan desa melalui ADDP. Di sisi lain, kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 "menguntungkan" aparat pemerintah desa, sebab kenaikan ADD di tahun 2010 lebih banyak diperuntukkan bagi aparat desa, sebaliknya kenaikan ADD menjadi tidak signifikan untuk proses percepatan pembangunan di desa. Jumlah ADD yang diterima oleh Desa Sekongkang Atas berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 2010 mengalami penurunan sebesar Rp. 72.109.038 menjadi Rp. 268.328.728. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah desa penerima ADD dari 49 desa menjadi 57 desa. Seiring dengan adanya perubahan penerimaan dan pendapatan daerah pada Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD) Sumbawa Barat tahun 2010, alokasi dan proporsi ADD mengalami perubahan yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 865 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 2010 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2010. Hasil perubahan menyebabkan kenaikan ADD Sumbawa Barat sebesar Rp. 2.896.372.208 menjadi 15.898.372.208. Hal ini berdampak pada kenaikan ADD Desa Sekongkang Atas sebesar Rp 79.675.453 menjadi Rp. 348.004.181.
45 Tahun 2011 Tahun 2011 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 171 Tahun 2011 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2011. Jumlah ADD Sumbawa Barat mengalami peningkatan sebesar Rp. 1.103.627.793 dibanding tahun 2010 menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000 yang diperuntukkan bagi 57 desa. Hal ini berdampak pada peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas sebesar Rp. 2.977.303 menjadi sebesar Rp. 350.981.484. Peningkatan ADD tahun 2011 tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi peningkatan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat, sebab proporsi ADD Sumbawa Barat tahun 2011 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang secara eksplisit disebutkan bahwa besarnya ADDM adalah 60% dari jumlah ADD dan ADDP adalah 40% dari jumlah ADD, sehingga ADDM Sumbawa Barat sebesar Rp. 11.200.000.000 dan ADDP sebesar Rp. 6.800.000.000. Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 50,98% dan ADDP sebesar 49,02%. Tahun 2012 Tahun 2012 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 356 Tahun 2012 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2012. Jumlah ADD Sumbawa Barat mengalami penurunan sebesar Rp. 400.000.000 dibanding tahun 2011 menjadi sebesar Rp. 16.600.000.000 yang diperuntukkan bagi 57 desa. Namun ADD Desa Sekongkang Atas tetap mengalami peningkatan sebesar Rp. 8.415.345 dibanding tahun 2011 menjadi sebesar Rp. 362.733.492. Peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas tersebut hanya berdampak pada peningkatan proporsi ADDM sebesar Rp. 4.210.526 menjadi sebesar Rp. 178.947.368. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas lebih berdampak pada peningkatan biaya operasional aparatur desa. Kebijakan ADD tahun 2012 masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, sehingga diperoleh ADDM Sumbawa Barat sebesar Rp. 9.960.000.000 (60% dari total ADD) dan ADDP sebesar Rp. 6.640.000.000 (40% dari total ADD). Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 49,32% dan ADDP sebesar 50,68%. Tahun 2013 Tahun 2013 kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat diatur melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Anggaran 2013. Jumlah ADD Sumbawa Barat kembali mengalami peningkatan sebesar Rp. 400.000.000 dibanding tahun 2012 menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000 yang diperuntukkan bagi 57 desa. Hal ini berdampak pada peningkatan ADD Desa Sekongkang Atas sebesar Rp. 8.415.345 menjadi sebesar Rp. 362.733.492. Proporsi ADD Sumbawa Barat meliputi ADDM sebesar Rp. 11.200.000.000 (60% dari total ADD) dan ADDP sebesar Rp. 6.800.000.000 (40% dari total
46 ADD). Sedangkan proporsi ADD Desa Sekongkang Atas meliputi ADDM sebesar 49,33% dan ADDP sebesar 50,67%. Kesesuaian dengan Regulasi Kewajiban penganggaran ADD oleh pemerintah daerah diamanahkan dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan bahwa: (1) pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran; (2) ADD sebagaimana dimaksud paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus. Perhitungan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yang menjelaskan bahwa: sumber pendapatan desa terdiri atas bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh daerah untuk desa paling sedikit 10% setelah dikurangi belanja pegawai. Jumlah dan persentase pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan persentase pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Tahun
DANA PERIMBANGAN % Jumlah (Rp) tumbuh
BELANJA PEGAWAI % Jumlah (Rp) tumbuh
ADD Jumlah (Rp)
% tumbuh
2006
205.360.136.794
-
73.049.609.532
-
5.700.000.000
-
2007
255.747.353.208
19,70
104.999.229.503
30,34
10.050.000.000
83,28
2008
296.444.073.771
13,73
137.798.087.070
23,80
9.831.134.296
(2,23)
2009
314.597.599.788
5,77
146.877.683.003
6,18
13.000.000.000
24,38
2010
317.923.384.684
1,05
125.999.481.870
(16,57)
15.896.372.207
18,22
2011
384.301.096.210
17,27
196.463.476.313
35,87
17.000.000.000
6,49
2012
434.338.092.000
11,52
188.271.600.000
(4,35)
16.600.000.000
(2,41)
2013
436.936.611.841
0,59
239.590.000.000
21,42
17.000.000.000
2,35
Sumber: diolah dari APBD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Persentase pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 tersaji dalam Grafik 6.
47 DP % tumbuh
BP % tumbuh
ADD % tumbuh
43.28 35.87
30.43 19.70
24.38
13.73 2006
2007
21.42
23.80
(2.23) 2008
6.18 5.77 2009
18.22
17.27
11.52 2.35
6.49 1.05 2010
2011
(2.41) 2012 (4.35)
0.59 2013
(16.57)
Gambar 6. Persentase pertumbuhan dana perimbangan, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Tabel 12 dan Gambar 7 menjelaskan bahwa belanja daerah, belanja pegawai dan ADD Sumbawa Barat cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah dana perimbangan bertambah setiap tahunya, dengan persentasi pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 19,70% dan terendah tahun 2013 yaitu 0,95%. Persentasi pertumbuhan belanja pegawai tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 35,87% dan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya pada tahun 2010 yaitu 16,57% dan tahun 2012 yaitu 4,35%. Sedangkan persentase pertumbuhan ADD tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 43,28% dan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya pada tahun 2008 yaitu 2,23% dan tahun 2012 yaitu 2,41%. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, jumlah ADD sangat ditentukan oleh jumlah dana perimbangan dan jumlah belanja pegawai. Namun jumlah dan persentasi ADD tidak berbanding lurus dengan jumlah dan persentasi dana perimbangan dan belanja pegawai. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan penentuan ADD oleh Pemerintah Sumbawa Barat sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan politik anggaran daerah. Sebagai kabupaten yang berusia kurang dari 10 tahun, Sumbawa Barat masih fokus pada pembangunan fasilitas infrastruktur dasar seperti perkantoran pemerintah, jalan raya, sekolah, rumah sakit, pasar, terminal, bendungan dan dermaga. Mengacu pada Tabel 12, maka perhitungan jumlah ADD 10% untuk desa dari dana perimbangan pusat dan daerah setelah dikurangi belanja pegawai Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2006 - 2013 belum terealisasi di Sumbawa Barat. Persentasi realisasi ADD 10% tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 90,50% dan terendah pada tahun 2006 yaitu 43,08% (Lihat Gambar 7).
48 Realisasi 90.50 66.67
77.51
86.14
82.83 67.46
61.97 43.08
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 7. Persentase realisasi ADD 10% di Sumbawa Barat tahun 2006 sampai 2013 Tahun 2006 persentasi realisasi ADD 10% paling rendah yaitu 43,08%. Hal ini disebabkan karena Sumbawa Barat baru memiliki pemerintahan defenitif setelah Pemilihan Kepala Daerah pertama tahun 2005. Persentasi realisasi ADD 10% pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 66,67%, hal ini disebabkan karena jumlah desa penerima ADD mengalami peningkatan dari 38 desa tahun 2006 menjadi 49 desa pada tahun 2007. Tahun 2018 persentasi realisasi ADD 10% menurun menjadi 61,97%, disebabkan disebabkan karena jumlah desa penerima ADD berkurang menjadi 44 desa, dimana lima desa (Menala, Sampir, Dalam, Kuang, Bugis dan Telaga Bertong) berubah status menjadi kelurahan. Persentasi realisasi ADD 10% mengalami peningkatan menjadi 77,51% pada tahun 2009, 82,83% tahun 2010 dan 90,50% tahun 2011. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Sumbawa Barat mengatur kebijakan ADD dalam bentuk regulasi tertinggi di tingkat daerah yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD. Selain itu, pada tahun 2009 terbentuk Forum Komunikasi Kepala Desa (FK2D) dan Forum Badan Permusyawaratan Desa (FBPD) yang intens melakukan advokasi kebijakan dan anggaran ADD. Tahun 2012 presentasi realisasi ADD 10% kembali mengalami penurunan menjadi 67,46%. Hal ini disebabkan karena APBD Sumbawa Barat mengalami koreksi akibat devisit sebanyak Rp. 82.864.700.000, sehingga berdampak pada pemangkasan terhadap ADD. Namun pada tahun 2013 presentasi realisasi ADD 10% kembali naik menjadi 86,14%. Belum dipenuhinya hak desa atas ADD minimal tersebut, berdampak pada tidak maksimalnya penerimaan ADD yang menjadi hak desa, sehingga dapat menghambat pembiayaan program penguatan partisipasi dan kelembagaan desa. Dengan demikian Pemerintah Sumbawa Barat perlu mewujudkan komitmennya dalam mendorong pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui peningkatan ADD dengan menganggarkan ADD sesuai regulasi yang ada. Peningkatan partisipasi dan kapasitas desa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab desa. Rozaki et al. (2005) menjelaskan, lemahnya partisipasi dan kapasitas desa disebabkan karena pemerintah supradesa tidak secara serius melaksanakan amanat perundang-undangan. Pemerintah kabupaten sebagai pemilik yurisdiksi desa, umumnya belum memiliki kebijakan dan kerangka kerja yang memadai untuk meningkatkan partisipasi dan kapasitas desa.
49 Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka kedepan sumber pendapatan desa akan bertambah. Pasal 72 Ayat 1 disebutkan sumber pendapatan desa meliputi: (a) pendapatan asli desa atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa; (b) alokasi APBD; (c) ADD yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; (d) bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; (e) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan (f) lain-lain pendapatan desa yang sah. Pada Ayat 4 disebutkan bahwa: ADD paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang akan dilaksanakan, maka desa akan dapat lebih fokus mengintenfisikasi pelayanan publik serta pembangunan dalam skala yang lebih kecil. Kenyataan tersebut setidaknya akan mendorong otonomi melalui peningkatan partisipasi dan kapasitas desa. Pendapatan asli desa dan ADD dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik agar masyarakat dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa selama ini menggambarkan rendahnya dukungan sarana dan prasarana sehingga pelayanan di desa tidak maksimal dapat memanfaatkan sumber keuangan yang berasal dari APBN untuk diarahkan bagi kepentingan pembangunan desa. Selain alokasi pembangunan yang berasal dari pemerintah, desa dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dalam jangka panjang sehingga terjadi pembangunan desa yang berkelanjutan. Realitas desa sejauh ini menunjukkan lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya kemiskinan dan pengangguran sehingga menurunkan daya saing desa dibanding kota. Sumber keuangan yang ada setidaknya berpeluang mendorong laju pertumbuhan ekonomi desa sehingga tak jauh ketinggalan dibanding kota.
Implementasi ADD Pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan pengelolaan keuangan desa meliputi: (a) perencanaan; (b) pelaksanaan; (c) penatausahaan; (d) pelaporan; dan (e) pertanggungjawaban. Implementasi ADD di Kabupaten Sumbawa Barat mengacu pada Surat Keputusan Bupati tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa (disingkat PTO-KD) yang diterbitkan setiap tahun anggaran. Pada tahun 2013, PTO-KD diatur berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 74 Tahun 2013. PTO-KD disusun dengan maksud mewujudkan pengelolaan keuangan desa yang terarah, transparan dan akuntabel. Sedangkan tujuannya adalah agar terwujudnya pengelolaan keuangan desa yang terencana secara partisipatif; pengelola keuangan desa mengerti dan paham alur pengelolaan keuangan desa; dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan desa mengerti akan tugas dan fungsinya.
50 Institusi Pengelolah Keuangan Desa Berdasarkan PTO-KD tahun 2013 diatur mekanisme pengorganisasian ADD di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa sebagai berikut: A. Tingkat Kabupaten Tingkat kabupaten dibentuk Tim Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Desa (Tim Fasilitasi PKD) dengan Surat Keputusan Bupati. Tim Fasilitasi PKD terdiri dari: a. Bupati sebagai pembina; b. Wakil Bupati sebagai pengarah; c. Sekretaris Daerah sebagai pengarah; d. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa sebagai ketua; e. Kepala Bidang Pemerintahan Desa sebagai sekretaris; f. Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai anggota; g. Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah sebagai anggota; h. Kepala Bidang Sosial Budaya pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai anggota i. Inspektur Inspektorat Daerah sebagai anggota; j. Camat se Kabupaten Sumbawa Barat sebagai anggota; k. Kepala Bidang Belanja dan Anggaran pada Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan Daerah sebagai anggota; l. Kasubbid Anggaran pada Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan Daerah sebagai anggota; m. Kasubbid Kelembagaan Pemerintahan Desa dan Kelurahan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa sebagai anggota; n. Kasubbid Manajemen Pemerintahan Desa Dan Kelurahan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa sebagai anggota; o. Staf Bidang Pemerintahan Desa pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa sebagai anggota; Tugas Tim Fasilitasi PKD adalah:. a. Menentukan besaran ADD; b. Melakukan asistensi dan evaluasi Penyusunan APBDesa; c. Menentukan mekanisme pencairan ADD dalam APBDesa secara bertahap per triwulan; d. Memberikan pedoman dan bimbingan pelaksanaan administrasi keuangan desa; e. Memberikan bimbingan dan pelatihan tentang penyelenggaraan keuangan desa mencakup perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBDes; f. Menerima dan mengevaluasi pelaporan dari Tingkat Desa dan Kecamatan setiap bulannya; g. Melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan APBDes; h. Membina dan mengawasi pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan aset desa; i. Melakukan fasilitasi pemecahan masalah pengelolaan keuangan desa yang tidak dapat diselesaikan Tim Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa;
51 j. Melaporkan kegiatan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat kepada Bupati Sumbawa Barat; k. Melaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati Sumbawa Barat. Secara umum, tugas pengorganisasian di tingkat kabupaten yang dilakukan oleh Tim Fasilitasi PKD berjalan sesuai PTO-KD. Terkait penentuan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) bagi setiap desa, dilakukan dengan berpedoman pada Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Penentuan besarnya ADD berpegang pada 2 (dua) azas, yaitu: 1. Azas Merata, adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa yang sama untuk setiap desa yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM); 2. Azas Adil, adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa berdasarkan nilai bobot desa yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu, (misalnya jumlah penduduk, keterjangkauan, pendidikan dasar, kesehatan dan lainlain), selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Besarnya prosentasi perbandingan antara azas merata dan adil sebagaimana dimaksud adalah ADDM 60% dan ADDP 40%. Sedangkan besarnya ADDP untuk setiap desa ditentukan oleh Angka Bobot masingmasing variabel utama. Angka Bobot seluruh variabel utama harus berjumlah total 1 (satu) yang ditentukan berdasarkan pertimbangan proritas yang meliputi jumlah Penduduk dengan bobot variabel 0,30 (nol koma tiga puluh); jumlah unit komunitas (jumlah rukun tetangga) dengan bobot variabel 0,20 (nol koma dua puluh); jarak keterjangkauan dengan bobot variabel 0,35 (nol koma tiga puluh lima); dan luas wilayah dengan bobot variabel 0,15 (nol koma lima belas). Fasilitasi pengelolaan keuangan desa oleh Tim Fasilitasi PKD, dapat dilakukan secara kolektif terhadap semua desa, seperti bimbingan dan pelatihan tentang penyelenggaraan keuangan desa mencakup perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBDes yang dilakukan setiap tahun. Ada pula yang dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan Tim Pendampingan PKD, atau secara khusus melakukan fasilitasi kepada desa tertentu, seperti layanan konsultasi dan atau kunjungan ke desa. Fasilitasi yang dilakukan oleh Tim Fasilitasi PKD adalah upaya nyata dalam penguatan kapasitas desa dan wujud partisipasi yang menurut Karianga (2011) dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek. Bila menggunakan teori Arnstein (2007), maka Tim Pendampingan PKD telah melakukan partisipasi pada level "Tokenisme", yaitu komunitas (desa) bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat, akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi (Nasdian 2014). Partisipasi Tokenisme mencakup: pertama, pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program (pemerintah supra desa) melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program (desa). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Kedua, konsultasi (consultation), yaitu anggota komunitas (desa) diberikan pendampingan dan konsultasi, dan memberikan kesempatan kepada komunitas (desa) untuk
52 menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya. Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi (partisipasi semu). Hal yang perlu mendapat perhatian dalam mengoptimalkan tugas Tim Fasilitasi PKD adalah perbaikan pola koordinasi dan dukungan fasilitas. Kepala Bidang Pembinaan Desa Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembinaan Desa Kabupaten Sumbawa Barat menjelaskan: "Guna mengoptimalkan kerja tim pengorganisasian di tingkat kabupaten, perlu dilakukannya koordinasi yang intensif dan berkala, mengingat setiap unsur dalam tim memiliki tugas dan fungsi masing-masing terkait pengelolaan keuangan desa. Selain itu, BPM Pemdes mengharapkan dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dalam menyediakan sarana pembinaan desa". B. Tingkat Kecamatan Tingkat kecamatan dibentuk Tim Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa (Tim Pendampingan PKD) dengan Surat Keputusan Camat. Tim Pendampingan PKD terdiri dari: a. Camat sebagai ketua; b. Sekretaris Kecamatan sebagai sekretaris; c. Kepala Seksi Pemerintahan sebagai anggota. d. Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai anggota; e. Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat sebagai anggota; f. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban sebagai anggota; dan g. Staf Seksi Tata Pemerintahan sebagai anggota. Tugas Tim Pendamping PKD adalah: a. Melaksanakan sosialisasi dan bimbingan dalam pengelolaan keuangan desa; b. Merekomendasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Desa untuk diajukan ke Tim Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Desa Tingkat Kabupaten; c. Merekomendasikan terhadap pencairan dana APBDes; d. Menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan keuangan desa di wilayahnya; e. Menyampaikan laporan pelaksanaan ADD di wilayahnya setiap bulan kepada Bupati Sumbawa Barat c.q. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sumbawa Barat; f. Melakukan pengawasan dan monitoring terhadap pengelolaan keuangan desa. Sejauh ini, pengorganisasian di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh Tim Pendampingan PKD telah berjalan sesuai PTO-KD. Mengingat kecamatan melaksanakan fungsi koordinatif dan merupakan "perpanjangan tangan" pemerintah kabupaten, maka Tim Pendampingan PKD memegang peranan yang sangat strategis dalam pendampingan pengelolaan keuangan desa.
53 Sehingga Tim Pendampingan PKD banyak dihadapkan pada permasalahan teknis di tingkat desa. Guna meminimalisir permasalahan pengelolaan keuangan desa, Tim Pendamping PKD mengharapkan agar Tim Fasilitasi PKD mengintensifkan program pelatihan pengelolaan keuangan desa bagi desa-desa di Kecamatan Sekongkang, mengingat desa memiliki keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Selain itu, perlu ada kesamaan presepsi antara Tim Fasilitasi PKD dan Tim Pendampingan PKD dalam menyelesaikan permasalahan teknis di desa. Hal penting lainnya yang perlu diterapkan adalah pemberian penghargaan (reward) bagi desa yang berprestasii dalam pengelolaan keuangan desa, dan pemberian sanksi (phunisment) bagi desa yang melakukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan desa. Anggota Tim Pendampingan PKD menjelaskan: "Keterbatasan SDM di tingkat desa menyebabkan program pelatihan pengelolaan keoangan desa perlu diintensifkan. Selain itu, sangat diperlukan penegakan aturan dalam pemberian penghargaan (reward) dan sanksi (phunisment) bagi desa". Sebagaimana halnya dengan tugas Tim Fasilitasi PKD, pelaksanaan tugas oleh Tim Pendamping PKD merupakan bagian dari upaya nyata dalam penguatan kapasitas desa dan wujud partisipasi, yang menurut Karianga (2011) dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan,sedangkan menurut teori Arnstein (2007) dikategorikan pada level ppartisipasi "Tokenisme" dalam bentuk pemberitahuan (informing) dan konsultasi (consultation). C. Tingkat Desa Tingkat desa dibentuk Tim Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa (Tim Pelaksana PKD) dengan Surat Keputusan Kepala Desa. Tim Pelaksana PKD terdoro dari: a. Kepala Desa sebagai ketua; b. Sekretaris Desa sebagai sekretaris; c. Kepala Urusan Keuangan sebagai bendahara; d. BPD sebagai pengawas; e. Kepala Seksi Pemerintahan sebagai anggota; f. Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban sebagai anggota; g. Kepala Seksi Usaha Ekonomi Desa sebagai anggota; h. Kepala Seksi Pembangunan sebagai anggota; i. Kepala Urusan Umum sebagai anggota; j. Kepala Urusan Perlengkapan sebagai anggota; k. Para Kepala Dusun sebagai anggota; l. 3 (tiga) Tokoh Masyarakat/Agama sebagai anggota. Tugas Tim Pelaksana PKD adalah: a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam musyawarah untuk menyusun Peraturan Desa tentang APBDes; b. Menyusun RAPBDes dan melakukan koreksi/perbaikan terhadap APBDes yang diverifikasi oleh Tim Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa ; c. Hasil perbaikan/koreksi RAPBDes harus telah diserahkan maksimal 7 (tujuh) hari sejak diterimanya koreksi/perbaikan;
54 d. Menyelenggarakan pengelolaan keuangan desa secara transparan dan akuntabel; e. Mengajukan pencairan ADD secara bertahap tiap triwulan tidak lebih dari 25% ADD masing-masing desa; f. Mengajukan pencairan ADD tiap triwulan dengan rincian belanja meliputi: belanja gaji/penghasilan, tunjangan BPD, biaya operasional pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat. g. Menyerahkan laporan pertanggungjawaban triwulan IV (keempat) paling lambat tanggal 31 Desember setiap tahun anggaran. h. Menyusun laporan pengelolaan keuangan desa dan menyampaikannya setiap bulan kepada Tim Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa c.q. Camat dan masyarakat melalui Kepala Dusun dan media yang disediakan Pemerintah Desa; i. Menyusun laporan pengelolaan keuangan desa pada akhir tahun anggaran dan menyampaikannya kepada Bupati Sumbawa Barat c.q. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Sumbawa Barat. Sebelum tahun 2014 Desa Sekongkang Atas tidak membentuk Tim Pelaksana PKD sebagaimana diamanatkan dalam PTO-KD. Kepala desa menganggap bahwa proses pengelolaan keuangan desa menjadi wewenang langsung kepala desa dan bendahara. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya pelaksanaan hal-hal yang seharusnya menjadi tugas Tim Pelaksana PKD. Sekretaris Desa Sekongkang Atas menjelaskan: "Selama ini pengelolaan keuangan desa di Desa Sekongkang Atas tidak dilakukan oleh Tim Pelaksana PKD, melainkan dilakukan langsung oleh Kepala Desa dan Bendahara Desa". Pernyataan Sekretaris Desa Sekongkang Atas tersebut, dibenarkan oleh anggota Tim Pendamping PKD yang menyatakan: "Sebelum tahun 2014 tidak ada satu desapun di Kecamatan Sekongkang yang membentuk Tim Pelaksana PKD. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya permasalahan dalam pengelolaan keuangan desa. Oleh karena itu, di tahun 2014 Tim Pendamping PKD menjadikan pembentukan Tim Pelaksana PKD sebagai syarat untuk dicairkannya ADD". Tidak dibentuknya Tim Pelaksana PKD di Desa Sekongkang Atas, tidak hanya mengabaikan PTO-KD tahun 2013, tetapi berdampak pada tidak terlaksananya upaya peningkatan partisipasi dan kapasitas aparatur desa. Menurut teori Arnstein (2007), kondisi tersebut dikategorikan dalam partisipasi level nonpartisipasi dengan bentuk partisipasinya manipulasi (manipulation), yaitu partisipasi yang tidak menuntut respon partisipan (unsur Tim Pelaksana PKD) untuk terlibat banyak, sifatnya formalitas semata dan partisipan "dimanfaatkan dukungannya”.
55 Perencanaan Surat Keputusan Bupati Nomor 74 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa Tahun Anggaran 2013 menjelaskan bahwa ADD adalah salah satu sumber pendapatan desa dan penggunaan ADD terintegrasi dalam APBDesa. Oleh karena itu perencanaan ADD dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) tingkat desa yang prosesnya sebagai berikut: a. Pra Musyawarah Tim Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Desa Tingkat Kabupaten memberikan petunjuk teknis musyawarah perencanaan pembangunan desa kepada Camat dan Tim Pendamping Pengelolaan Keuangan Desa Tingkat Kecamatan, Kepala Desa dan Tim Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa Tingkat Desa, Ketua BPD serta Ketua lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. b. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) tingkat desa mempedomani Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa Pemerintah Desa bersama-sama dengan Tim Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa, BPD, LPMD dan lembaga kemasyarakatan yang ada di desa (seperti RT, PKK, Tokoh Masyarakat, To Agama, Karang Taruna, Posyandu, dan lain-lain) dengan difasilitasi Camat melakukan MUSRENBANGDES guna membahas usulan atau masukan tentang rencana kegiatan pembangunan di tingkat desa termasuk rencana penggunaan ADD dengan berpedoman pada prinsip-prinsip Anggaran dan Perencanaan Partisipasi Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD). Penetapan rencana kegiatan pembangunan yang dikelola pemerintah desa didasarkan pada skala prioritas pembangunan tingkat desa. Hasil pembahasannya merupakan bahan masukan untuk perencanaan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Hasil musyawarah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Program-program yang dibiayai dalam APBDes tahun bersangkutan. 2) Program-program yang tidak dibiayai dalam APBDes tahun bersangkutan dan menjadi usulan ke tingkat kabupaten melalui Musrenbangcam tingkat Kecamatan. Proses perencanaan ADD di Desa Sekongkang Atas melalui tahapan utama sebagai berikut: 1. Penyerapan aspirasi di tingkat Rukun Tetangga (RT) melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) tingkat RT. Usulan program prioritas di tingkat RT, selanjutnya dibahas dalam MUSRENBANG tingkat Desa. Hasil MUSRENBANGDes dikelompokkan dalam tiga bidang prioritas, yaitu: (1) bidang fisik prasarana; (2) bidang ekonomi pembangunan; dan (3) bidang sosial budaya. Dalam MUSRENBANGDes dibahas pula rencana sumber anggaran setiap prioritas program; apakah bersumber dari APBDes, APBD Kabupaten, APBD Provinisi, APBN, PNPM, atau dari program Coorporate Social Responsibility (CSR) PT NNT dan swasta lainnya.
56 2. Hasil MUSRENBANGDes menjadi dasar bagi Tim Pelaksana PKD menyusun Rancangan APBDes Sekongkang Atas dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). 3. Rancangan APBDes kemudian dibahas Pemerintah Desa dan BPD untuk kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Desa (PERDES) Sekongkang Atas tentang APBDes. 4. PERDA tentang APBDes tersebut kemudian diserahkan ke Tim Pendampingan APBDes c.q. Camat untuk dilakukan verifikasi. Proses perencanaan ADD tersebut telah mengacu pada SK Bupati Nomor 74 Tahun 2013 tentang PTO PKD Tahun 2013 yang menijelaskan bahwa ADD adalah salah satu sumber pendapatan desa dan penggunaan ADD terintegrasi dalam APBDesa. Oleh karena itu perencanaan ADD dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat desa (MUSRENBANGDes). MUSRENBANGDes mempedomani Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa, yang menyebutkan bahwa: Pemerintah Desa bersama-sama dengan Tim Pelaksana PKD, BPD, LPMD dan lembaga kemasyarakatan yang ada di desa (seperti RT, PKK, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Karang Taruna, Posyandu, dan lain-lain) dengan difasilitasi Camat melakukan MUSRENBANGDes guna membahas usulan atau masukan tentang rencana kegiatan pembangunan di tingkat desa termasuk rencana penggunaan ADD dengan berpedoman pada prinsip-prinsip Anggaran dan Perencanaan Partisipasi Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD). Semangat utama MUSRENBANGDes adalah penguatan partisipasi stakeholder yang mencakup semua konsep partisipasi Karianga (2011), yaitu: partisipasi sebagai kebijakan, strategi, alat komunikasi dan alat penyelesaian sengketa. Bila mengacu pada teori Arnstein (2007), maka MUSRENBANGDes dikategorikan dalam partisipasi level "kekuatan warga negara (citizen power)" yang meliputi: (1) partisipasi kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya) mewujudkan keputusan bersama; (2) partisipasi pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring; dan (3) pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal (Nasdian 2014). Pelaksanaan MUSRENBANGDes di Desa Sekongkang Atas menunjukkan rendahnya tingkat kehadiran para pihak (stakeholders). Staff Pemerintah Desa Sekongkang Atas menjelaskan: “Tingkat kehadiran masyarakat pada kegiatan MUSRENBANGDes kurang dari 50%. Peserta yang hadir didominasi oleh aparat desa, sehingga proses diskusi dalam menjaring aspirasi berjalan kurang efektif” Rendahnya tingkat kehadiran masyarakat disebabkan karena rendahnya kepercayaan masyarakat atas tindak lanjut dari hasil MUSRENBANGDes tersebut. Bagi masyarakat Desa Sekongkang Atas, MUSRENBANGDes hanyalah sebuah formalitas yang menghabiskan anggaran, waktu dan tenaga, karena program yang diajukan masyarakat setiap tahunnya jarang bahkan tidak pernah terealisasi. Nasdian (2014) menjelaskan alasan mengapa warga komunitas harus
57 berpartisipasi antara lain: memandang penting isu-isu atau aktivitas tertentu dan merasa bahwa tindakannya akan membawa perubahan. Tokoh masyaakat Desa Sekongkang Atas yang menjelaskan: “Bagi kami, MUSRENBANGDes hanyalah sebuah kegiatan formalitas yang menghabiskan anggaran, waktu dan biaya karena apa yang diajukan oleh masyarakat setiap tahunnya jarang terealisasi.” Realitas yang terjadi dalam MUSRENBANGDes di Desa Sekongkang Atas bila dikaitkan dengan teori Arnstein (2007), maka kondisi tersebut dikategorikan dalam partisipasi level "tokenisme", yaitu komunitas bisa menyuarakan pendapat dan bahkan saran kepada pemegang kekuasaan, tetapi penentuan keputusan atau kebijakan tetap berada pada pemegang kekuasaan (Nasdian 2014). Bentuk partisipasinya disebut menenangkan (placation), dimana masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk memberikan masukan atau usulan rencana, akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang menentukan. Rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan pula oleh pola pengorganisasian di tingkat desa yang lemah. Tokoh pemuda yang menyebutkan bahwa: “Salah satu penyebab kurang optimalnya program kemandirian dan penguatan kapasitas kelembagaan disebabkan karena kurang berjalannya mekanisme internal di Pemerintah Desa, BPD, LPM dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Hal ini berdampak pada kurang optimalnya pola koordinasi antar lembaga. Bahkan yang lebih memperhatikan adalah kitidakfahaman akan tugas dan fungsi masingmasing”. Hal ini menggambarkan Pemerintah Desa Sekongkang atas memiliki kapasitas ekstraksi yang lemah, yaitu kemampuan untuk mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset - aset yang dimiliki desa meliputi aset fisik, aset alam, aset manusia, aset sosial, aset keuangan dan aset politik. Rozaki et al. (2005) mejelaskan kapasitas ekstraksi mecakup pula kemapuan pemimpin terutama kepala desa melakukan konsolidasi terhadap para pihak, seperti BPD, lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga msayarakat. Pelaksanaan Pelaksanaan ADD secara rinci diatur dalam Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Dalam Pasal 6 Ayat 1 dijelaskan bahwa ADD yang diterima oleh setiap desa digunakan untuk: a). Belanja tidak langsung paling tinggi 40% (empat puluh perseratus) dari jumlah ADD yang diterima; b). Belanja langsung 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah ADD yang diterima. Pada Pasal 6 Ayat 2 dijelaskan bahwa, belanja tidak langsung meliputi: (a) penghasilan tetap dan/atau tunjangan Kepala Desa dan Perangkat Desa; (b). tunjangan pimpinan dan anggota BPD serta Ketua RT; (c) bantuan keuangan untuk lembaga kemasyarakatan di desa yang dibentuk, diakui dan dibina oleh Pemerintah Desa. Sedangkan Pasal 6 Ayat 3 menjelaskan bahwa, belanja langsung meliputi: (a) biaya operasional penyelenggaraan pemerintah desa; (b) biaya perbaikan sarana publik dalam skala kecil; (c) penyertaan modal usaha masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa); (d) pemberdayaan masyarakat dan pengembangan sosial budaya; e). dan lain-lain
58 yang dianggap penting. Besarnya pendapatan dan belanja Desa Sekongkang Atas Tahun 2011, 2012 dan 2013 dapat dilihat pada Tabel 10 . Tabel 10. Rekapitulasi anggaran pendapatan dan belanja Desa Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 No 1 A B 2 A 1 2 B 1 2 3
Uraian Pendapatan Desa Pendapatan Asli Desa (PADes) Dana Perimbangan (ADD) Belanja Desa Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Hibah & Bantuan Sosial Belanja Langsung Belanja Pegawai/Honorarium Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal
2011 Rp 357.481.484 6.500.000
% 100 1,82
2012 Rp 360.818.147 6.500.000
% 100 1,80
2013 Rp 369.233.492 6.500.000
% 100 1,76
350.981.484
98,18
354.318.147
98,20
362.733.492
98,24
357.481.484 140.340.000
100 39,26
360.818.147 140.340.000
100 38,89
369.233.492 144.900.000
100 39,24
140.340.000 0
100,00 0,00
140.340.000 0
100,00 0,00
113.400.000 31.500.000
78,26 21,74
217.141.484 47.403.636
60,74 21,83
220.470.147 46.827.636
61,11 21,24
244.333.492 82.050.000
60,76 36,58
56.855.175
26,18
49.302.445
22,36
45.623.492
20,33
112.885.175
51,99
124.343.066
56,40
96.660.000
43,09
Sumber: APBDes Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 Adapun rincian pendapatan dan belanja Desa Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 tersaji dalam Tabel 11. Berdasarkan tabel 10 dan 11, dapat dijelaskan pelaksanaan ADD Desa Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 adalah sebagai berikut: 1. Alokasi anggaran untuk belanja tidak langsung Desa Sekongkang Atas berada di bawah 40%, sedangkan belanja langsung berada di atas 60%. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Sekongkang Atas telah mengalokasikan ADD sesuai dengan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD. Dalam Pasal 6 Ayat 1 dijelaskan bahwa ADD yang diterima oleh setiap desa digunakan untuk: (a) belanja tidak langsung paling tinggi 40% dari jumlah ADD yang diterima; dan (b) belanja langsung 60% dari jumlah ADD yang diterima. Belanja tidak langsung Desa Sekongkang Atas pada tahun 2011 dan 2012 seluruhnya digunakan untuk belanja pegawai yaitu gaji dan tunjangan yang mencakup gaji kepala desa dan aparatur sebesar Rp. 73.740.000; tunjangan pimpinan dan anggota BPD sebesar Rp. 36.600.000; dan tunjangan Ketua RT sebesar Rp. 30.000.000. Pada tahun 2013, dalam belanja tidak langsung telah dianggarkan sebanyak Rp. 31.500.000 untuk belanja hibah dan bantuan sosial. Pengalokasian aganggaran belanja tidak langsung telah sesuai dengan Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD. Pasal 6 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa belanja tidak langsung meliputi: (a) penghasilan tetap dan/atau tunjangan kepala desa dan perangkat desa; (b) tunjangan pimpinan dan anggota BPD serta ketua RT; dan (c) bantuan keuangan untuk lembaga kemasyarakatan di desa yang dibentuk, diakui, dan dibina oleh pemerintah desa.
59 Tabel 11. Rincian anggaran peendapatan dan belanja Desa Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 2011
2012
2013
URAIAN Rp PENDAPATAN DESA
%
Rp
%
Rp
%
357.481.484
100
360.818.147
100
369.233.492
100
Pendapatan Asli Desa
6.500.000
1.8
6.500.000
1,80
6.500.000
1,76
Hasil Usaha Desa
2.000.000
30,77
2.000.000
30,77
2.000.000
30,77
Hasil Pengelolaan Kekayaan Desa Lain - lain Pendapatan Asli Desa yang Sah Bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Alokasi Dana Desa
1.000.000
15,38
1.000.000
15,38
1.000.000
15,38
3.500.000
53,85
3.500.000
53,85
3.500.000
53,85
350.981.484
98,18
354.318.147
98,20
362.733.492
98,24
350.981.484
100
354.318.147
100
362.733.492
100
BELANJA DESA
357.481.530
100
360.818.147
100
369.233.492
100
Belanja Langsung Belanja Pegawai/honorarium (Honor Tidak Tetap) Belanja Barang dan Jasa
217.141.530
60,74
220.478.147
61,11
224.333.492
60,76
47.403.636
21,83
46.827.636
21,24
82.050.000
36,58
56.855.179
26,18
49.302.445
22,36
45.623.492
20,34
3.600.000
6,33
3.600.000
7,20
650.180
1,14
650.180
1,32
650.180
1,43
Belanja bahan habis pakai
7.297.400
12,84
0,00
6.350.300
13,92
Belanja Alat Tulis Kantor Belanja Alat listrik dan Elektronika Belanja Prangko, Materai dan Benda Pos Belanja Peralatan Kebersihan dan Bahan Pembersih Belanja Jasa Kantor Belanja Perawatan Kendaraan Bermotor Belanja Cetak dan Penggandaan
4.683.655
8,24
5.579.440
11,32
5.399.440
11,83
990.378
1,74
990.378
2,01
650.180
1,43
450.000
0,79
495.000
1,00
495.000
1,08
455.978
0,80
455.860
0,92
455.860
1,00
1.272.000
2,24
2.970.000
6,02
4.869.520
10,67
25.381.837
44,64
27.441.837
55,66
22.691.512
49,74
923.751
1,62
1.165.750
2,36
1.674.000
3,67
2.387.500
5,23
Belanja perjalanan Dinas Belanja bahan Material
0,00
Belanja Makan Minum
4.250.000
7,48
3.950.000
8,01
Belanja Pakaian
6.900.000
12,14
2.004.000
4,06
Belanja Modal
112.882.715
51,99
124.348.066
56,40
96.660.000
43,09
Belanja Tidak Lansung
140.340.000
39,26
140.340.000
38,89
144.900.000
39,24
Belanja Pegawai
140.340.000
100
140.340.000
100
113.400.000
78,26
Gjaji dan Tunjangan
140.340.000
100
140.340.000
100
113.400.000
100
31.500.000
21,74
28.500.000
90,48
3.000.000
9,52
Belanja Hibah & Bansos Belanja Hibah (Masjid Baitul Gafur & Karang Taruna) Belanja Bantuan Sosial (PKK)
0,00
Sumber: APBDes Sekongkang Atas tahun 2011, 2012 dan 2013 Belanja langsung dalam APBDes Sekongkang Atas terdiri dari belanja pegawai/honorarium, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Pertama, belanja pegawai/honorarium merupakan honor tidak tetap bagi tenaga teknis pengelolah kegiatan, seperti penyusunan APBDes dan pembuatan profil desa; tenaga teknis pelaksana kewilayahan (kepala desa, kepala urusan (kaur)/kepala seksi (kasi), kepala dusun, dan RT); serta honorarium bagi
60 pengelolah perpustakaan. Belanja pegawai/honorarium pada tahun 2011 mencapai 21,83% dari total belanja langsung, meningkat menjadi 21,24% dari total belanja langsung pada tahun 2012 dan 36,58% dari total belanja langsung pada tahun 2013. Kedua, belanja barang dan jasa yang mencakup belanja perjalanan dinas aparatur desa dan BPD, belanja bahan habis pakai, belanja alat tulis kantor, belanja listrik dan elektronik, belanja prangko/materai, belanja perlengkapan kantor, belanja jasa kantor dan belanja perewatan kendaraan bermotor. Belanja barang dan jasa pada tahun 2011 sebesar 26,18% dari total belanja langsung, mengalami penurunan menjadi 22,36% dari total belanja langsung pada tahun 2012 dan 20,33 % dari total belanja langsung pada tahun 2013. Ketiga, belanja modal yang digunakan membangun fasilitas publik seperti pembangunan jaringan air, pembangunan jalan lingkungan, dan pembangunan fasilitas publik lainnya. Belanja modal dalam APBDes Sekongkang Atas dalam tiga tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2011 mencapai 51,99% dari total belanja langsung, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2012 menjadi 56,40% dari total belanja langsung, kemudian mengalami penurunan menjadi 43,09% dari total belanja langsung pada tahun 2013. Secara prinsip, alokasi anggaran belanja langsung Desa Sekongkang Atas telah mengacu pada Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD. Pasal 6 Ayat 3 yang menyatakan bahwa belanja langsung meliputi: (a) biaya operasional penyelenggaraan pemerintahan desa; (b) biaya perbaikan sarana publik dalam skala kecil; (c) penyertaan modal untuk masyarakat melalui BUMDes; (d) pemberdayaan masyarakat dan pengembangan sosial budaya; serta (e) dan lain-lain yang dianggap penting. Komitmen Desa Sekongkang Atas dalam penyusunan APBDesa dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang ADD, menggambarkan bahwa pemerintah Desa Sekongkang Atas memiliki kapasitas ekstraktif regulatif, yaitu kemampuan untuk mengerahkan aset keuangan (ADD) berdasarkan regulasi. Realitas APBDes Sekongkang Atas, hanya sekitar 30% yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk menwujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dari pos anggaran komponen belanja modal. Sementara itu, proporsi terbesar APBDes Sekongkang Atas digunakan untuk peningkatan kesejahteraan pemerintah desa dan BPD, serta biaya operasional yang diambil dari komponen belanja langsung (40% dari total ADD) dan komponen belanja langsung yang meliputi belanja pegawai/honorarium, serta belanja barang dan jasa. Proporsi penganggaran ADD tersebut, jauh dari harapan untuk bisa mewujudkan kemandirian masyarakat desa. Kepala Desa Sekongkang Atas mengusulkan: "Untuk mewujudkan ADD yang berpihak pada masyarakat, maka gaji dan tunjangan kepala desa dan perangkatnya, Ketua BPD dan Anggota, serta Ketua RT untuk dianggarkan di luar ADD (langsung dari APBD)." Sahdan et al. (2006) menjelaskan, agar ADD dapat secara nyata berpihak ke masyarakat desa, minimal 70% dari ADD harus digunakan untuk pelaksanaan pembangunan desa; baik fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Dan
61 sisanya maksimal 30%, untuk belanja rutin/operasional seperti: bantuan tunjangan aparat pemerintah desa, bantuan tunjangan anggota BPD, biaya operasional sekretariat desa, biaya operasional sekretariat BPD, dan biaya perjalanan dinas. Bila mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 100 menjelaskan bahwa: belanja desa yang ditetapkan dalam APBDesa digunakan dengan ketentuan: (a) paling sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa; dan (b) paling banyak 30% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk: penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa; operasional pemerintah desa; tunjangan dan operasional BPD; dan insentif rukun tetangga dan rukun warga. Pengaturan alokasi anggaran dalam Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 dapat pula menjadi penyebab lemahnya kapasitas desa. Rozaki et al. (2005) menjelaskan, lemahnya kapasitas desa terutama kapasitas pemerintah desa, bersumber dari sentralisme yang mengungkung desa. Pola memerintahan yang sentralistik selalu menempatkan desa hanya sebagai obyek instruksi, pembangunan dan bantuan. Pemerintah supradesa selalu mengeluarkan instruksi, petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa, sehingga desa hampir tidak mempunyai ruang untuk mengembangkan kapasitas dan prakarsa yang sesuai dengan kondisi lokal. 2. Pendapatan ADD Desa Sekongkang Atas tahun 2011 - 2013 cenderung mengalami peningkatan dari Rp 357.481.484 pada tahun 2011, menjadi Rp 360.818.147 pada tahun 2012 dan Rp 369.233.492 pada tahun 2013. Peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan pendapatan desa dari sumber ADD yang mencapai 98%, yaitu Rp 350.981.484 pada tahun 2011, menjadi Rp 354.318.147 pada tahun 2012 dan Rp 362.733.492 pada tahun 2013. Pendapatan desa dari sumber PADes tahun 2011 - 2013 konstan pada angka Rp 6.500.000, atau kurang 2% dari pendapatan Desa Sekongkang Atas. Hal ini menunjukkan bahwa sumber pendapatan Desa Sekongkang Atas sangat tergantung pada ADD yang mencapai 98%. Ketua BPD menjelaskan bahwa: “PADes yang berjumlah Rp. 6.500.000 dalam tiga tahun anggaran menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Sekongkang Atas tidak kreatif dalam menggali PADes, padahal potensi untuk meningkatkan PADes sangat besar dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam desa, pemanfaatan aset desa dan kemitraan strategis dengan pihak swasta.....” Ketergantungan Desa Sekongkang Atas pada ADD menggabarkan rendahnya kapasitas desa, khususnya kapasitas regulasi. Upaya untuk meningkatkan sumber pendapatan desa harus didukung oleh kapasitas regulasi (pengaturan) yang bukan semata-mata bertujuan untuk mengambil sesuatu (melakukan pungutan), tetapi harus berorientasi pada perlindungan,
62 pelestarian, pengembangan sumberdaya dan potensi desa. Rozaki et al. (2005) menjelaskan untuk mewujudkan otonomi desa salah satu yang harus dimiliki oleh desa adalah kapasitas regulasi (mengatur) yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Rizal (2007) menjelaskan, unsur penting untuk mengukur otonomi desa adalah kemampuan desa untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membentuk dan mengoptimalkan lembaga otonom di Desa, seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Desa Sekongkang Atas, telah memiliki BUMDes yang mengelolah usaha air bersih dan sampah, namun hingga saat ini belum mampu memberi kontribusi dalam peningkatan PADes. Kepala Desa Sekongkang Atas menjelaskan: "Kehadiran BUMDes telah banyak membantu masyarakat dalam usaha pelayanan air bersih dan sampah, namun belum bisa diharapkan untuk memberi kontribusi bagi peningkatan PADes. BUMDes masih difokuskan untuk mampu memenuhi biaya operasionalnya sendiri, sebab hingga saat ini biaya operasional BUMDes masih disubsidi oleh CSR PT NNT". Belum mandirinya BUMDes disebabkan karena partisipasi masyarakat yang sangat rendah. Pengelolah BUMDes menjelaskan: "Masyarakat masih menganggap BUMDes sebagai lembaga sosial yang di back up oleh CSR PT NNT, sehingga masyarakat tidak perlu membayar retribusi". 3. Alokasi belanja modal difokuskan untuk pembangunan infrastruktur berupa fasilitas publik seperti: pengadaan tanah, perlengkapan kantor, pembangunan jaringan air, listrik, drainase, pagar kantor, dan lain-lain. Tidak ada anggaran ADD yang dialokasikan untuk pengembangan ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan di Desa Sekongkang Atas masih berorientasi fisik. Sekretaris Desa Sekongkang Atas menjelaskan: "Program yang tertuang dalam APBDes mengacu pada hasil MUSRENBANGDes. Ada pula usulan yang terkait dengan pengembangan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya; namun masyarakat menempatkan pembangunan fisik/infrastruktur sebagai prioritas." Dukungan untuk penguatan lembaga atau organisasi kemasyarakatan seperti PKK, Karang Taruna, Remaja Masjid, Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A) dan BUMDes di Desa Sekongkang Atas yang bersumbr dari ADD sangat minim. Dalam APBDes hanya menganggarkan bantuan ATK untuk PKK sekitar Rp 1.000.000 dan pemberian bantuan hibah untuk Karang Taruna Balang Bung Rp 3.500.000 untuk perbaikan lapangan sepak bola. Hal ini menggambarkan bahwa ADD belum mampu mendorong penguatan kapasitas lembaga kemasyarakatan sebagai bagian dari aset desa. Sekretaris Desa Sekongkang Atas menjelaskan
63 Pemerintah desa tidak bisa berbuat banyak untuk penguatan kapasitas kelembagaan desa. Hal ini disebabkan karena jumlah anggaran yang masih sangat terbatas dan prioritas pengalokasian anggaran mengacu pada regulasi yang ada". 4. Penghasilan tetap dan/atau tunjangan kepala desa Sekongkang Atas Rp. 1.000.000, Kepala Seksi dan Kepala Urusan Rp. 600.000, Kepala Dusun Rp. 400.000, Ketua RT Rp. 250.000. Tunjangan Ketua BPD Sekongkang Atas Rp. 600.000, Sekretaris BPD Rp. 550.000, dan anggota BPD Rp. 500.000. Besarnya penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa tersebut, telah sesuai dengan PTO-KD dengan ketentuan maksimal tunjangan kepala desa Rp. 1.500.000; kepala seksi dan kepala urusan Rp. 800.000; serta kepala dusun Rp. 500.000. Sedangkan tunjangan pimpinan dan anggota BPD serta tunjangan ketua RT besarannya telah disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa. Besaran penghasilan tetap dan/atau tunjangan kepala desa dan perangkat desa, tunjangan ketua dan anggota BPD, serta tunjangan ketua RT di Desa Sekongkang Atas tersaji dalam Tabel 12. Tabel 12.
Besar tunjangan kepala desa dan perangkat desa, ketua dan anggota BPD, serta ketua RT tahun 2011, 2012 dan 2013 Unsur
Tahun 2012
2011 Pemerintah Desa Kepala Desa 1.000.000 1.000.000 Kepala Seksi 600.000 600.000 Kepala Urusan 600.000 600.000 Kepala Dusun 315.000 315.000 Ketua RT 250.000 250.000 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ketua 600.000 600.000 Wakil Ketua 550.000 550.000 Sekretaris 500.000 500.000 Anggota 350.000 350.000 Sumber: APBDes Sekongkang Atas Tahun 2011, 2012 dan 2013
2013 1.000.000 600.000 600.000 400.000 250.000
Besarnya penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa pada tabel 16 tersebut, telah sesuai dengan PTO-KD dengan ketentuan maksimal tunjangan kepala desa Rp. 1.500.000; kepala seksi Rp. 800.000; kepala urusan Rp. 800.000; dan kepala dusun Rp. 500.000. Sedangkan tunjangan pimpinan dan anggota BPD serta tunjangan ketua RT besarannya telah disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa. Tokoh masyarakat di Desa Sekongkang Atas menjelaskan: “Secara prinsip, adanya penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, serta tunjangan bagi ketua/anggota BPD dan ketua RT yang bersumber dari ADD adalah hak yang diberikan, agar
600.000 550.000 500.000 350.000
64 dapat melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban”. Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat BPM Pemdes Kabupaten Sumbawa Barat lebih lanjut menjelaskan bahwa: “Pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, serta tunjangan bagi ketua/anggota BPD dan Ketua RT, merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam mendorong kemandirian dan peningkatan kapasitas aparatur desa”. Besaran penghasilan tetap dan/atau tunjangan yang diterima oleh kepala desa dan perangkat desa, tunjangan ketua dan anggota BPD, serta tunjangan ketua RT di Desa Sekongkang Atas masih berada di bawah standard upah minimum kabupaten (UMK) Sumbawa Barat sebesar Rp. 1.400.000. Hal ini menggambarkan bahwa penghasilan tetap dan/atau tunjangan tersebut belum mampu dijadikan sebagai ukuran untuk mengoptimalkan kinerja. Keterbatasan penghasilan tersebut, menyebabkan aparat pemerintahan desa mencari pekerjaan tambahan lain, dan bahkan menjadikan tugas sebagai aparatur pemerintahan sebagai pekerjaan sampingan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan ADD dikategorikan rendah, hal ini merupakan dampak dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam MUSRENBANGDes. Masyarakat tidak mau memberi kontribusi tenaga dan materi. Masyarakat menganggap bahwa pelaksanaan ADD menjadi tanggungjawab kepala desa dan aparatnya, dan setiap kegiatan atau program pembangunan di desa telah ada sumber anggarannya. Budaya gotong-royong atau besiru, sebagai bentuk nyata partisipasi dalam berbagai kegiatan sosial dan pembangunan desa, telah terkikis akibat kesibukan pribadi masyarakat dan berkembangnya sistem upah/sewa. Kepala Desa Sekongkang atas menjelaskan: "Mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa, tidak semudah zaman dulu (sebelum beroperasinya PT NNT). Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat telah bekerja di perusahaan tambang PT NNT. Selain itu, adanya anggapan bahwa semua kegiatan pembangunan sudah ada anggarannya dari pemerintah atau bantuan CSR PT NNT". Bila dikaitkan dengan teori Arnstein (2007), maka partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan berada pada level non partisipasi, dengan bentuk partisipasinya disebut terapi (therapy), dimana masyarakat mau berpartisipasi bila langsung mendapatkan manfaat secara pribadi dalam bentuk upah atau sewa.
Pengawasan dan Pertanggungjawaban 1.
Pengawasan Pengawasan dilaksanakan sebagai bentuk pengendalian terhadap pelaksanaan ADD. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemgawasan ADD adalah sebagai berikut : 1) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan ADD dilakukan langsung oleh masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
65 Mengingat ADD merupakan bagian dari APBDes, maka pengawasan ADD bisa langsung dilakukan oleh BPD sebagai lembaga permusyawaratan dan perwakilan masyarakat desa yang dipilih secara demokratis. Mekanisme pelaksanaan pengawasan langsung oleh BPD di Desa Sekongkang Atas tidak berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan karena pola koordinasi antara pemerintah desa dengan BPD tidak terbangun secara profesional, bahkan koordinasi ditingkat internal BPD tidak berjalan. Salah seorang anggota BPD menjelaskan bahwa: “Selama ini, saya tidak mengikuti secara utuh proses pembahasan APBDes karena diinternal BPD kurang ada koordinasi”. Lemahnya BPD melakukan tugas pengawasan sebagai tugas dan fungsi pokoknya, menggambarkan tingkat partisipasi BPD dalam pengelolaan ADD berdasarkan teori Arnstein (2007) dikategorikan dalam level non partisipatif, dengan bentuk partisipasi manipulasi (manipulation), yaitu menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi dengan tidak memperhatikan proses. Dari aspek kapasitas, BPD memiliki kapasitas ekstraksi yang lemah. Rozaki et al. (2005) mejelaskan kapasitas ekstraksi mecakup pula kemapuan pemimpin terutama kepala desa melakukan konsolidasi terhadap para pihak, seperti pemerintah desa, lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga msayarakat. 2) Dalam organisasi Pemerintah Desa secara rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali Kepala Desa melaksanakan pemeriksaan terhadap administrasi keuangan ADD yang dilakukan terhadap bendaharawan dan dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan Kas. Di Desa Sekongkang Atas, pola pengawasan internal secara berkala yang dilakukan oleh kepala desa berjalan sesuai aturan yang tertuang dalam PTO-KD. Pola pengawasan internal ini secara langsung mendorong partisipasi dan upaya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa sebagai bentuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Hal ini menggabarkan bahwa, pemerintah desa telah melaksanakan partisipasi yang menurut Karianga (2011) dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. 3) Di luar organisasi Pemerintah Desa, pengawasan dilakukan oleh : (a) Inspektur Inspektorat sebagai lambaga fungsional dalam melakukan pengawasan internal terhadap pelaksanaan/pengunaan keuangan daerah termasuk terhadap ADD. (b) Camat sesuai Pasal 24 Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 berkewajiban membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan tugas dan fungsi umum pemerintah kecamatan dalam melakukan pembinaan kewilayahan. Kegiatan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Sumbawa Barat dan Camat Sekongkang terhadap pengelolaan ADD berjalan sesuai dengan PTO-KD. Kegiatan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Sumbawa Barat dan Camat Sekongkang terhadap pengelolaan ADD berjalan sesuai dengan PTO-
66 KD. Pola pengawasan eksternal inipun secara langsung mendorong partisipasi dan upaya peningkatan kapasitas para pihak sebagai bentuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Hal ini menggabarkan bahwa, pemerintah desa telah melaksanakan partisipasi yang menurut Karianga (2011) dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. Camat Sekongkang menjelaskan: "Sejauh ini pengelolaan keuangan desa di Desa Sekongkang Atas berjalan sesuai aturan. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengawasan Inspektorat Kabupaten Sumbawa Barat yang tidak menemukan penyimpangan pengelolaan keuangan desa." 2.
Pertanggungjawaban 1) Pertanggungjawaban pengelolaan ADD terintegrasi dengan APBDesa. 2) Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Keputusan Kepala Desa tentang Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Desa disampaikan kepada Bupati Sumbawa Barat melalui Camat. 3) Bentuk pelaporan atas kegiatan dalam APBDesa, adalah sebagai berikut: a. Laporan berkala, yaitu laporan mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dibuat secara rutin setiap bulannya. Adapun yang dimuat dalam laporan ini adalah realisasi keuangan dan fisik; b. Laporan Akhir dari pengelolaan keuangan desa mencakup perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana, masalah yang dihadapi dan rekomendasi penyelesaian hasil akhir pengelolaan keuangan desa; c. Penyampaian laporan dilaksanakan melalui jalur struktural yaitu tim pelaksana pengelolaan keuangan desa dan diketahui kepala desa ke tim pendampingan pengelolaan keuangan desa secara bertahap dengan melampirkan data visual (photo) untuk output belanja modal/barang yang menjadi akan aset desa dan/atau progress (perubahan/perkembangan) pembangunan fisik untuk proyek pembangunan infrastruktur sarana prasarana permukiman, fasilitas umum termasuk gedung; d. Tim pendampingan pengelolaan keuangan desa membuat laporan/rekapan dari seluruh laporan tingkat desa di wilayahnya secara bertahap melaporkan kepada Bupati Sumbawa Barat c.q. Tim Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Desa. 4) Tim Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Desa melakukan monitoring ke desa dan atau kecamatan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa di Desa Sekongkang Atas telah mengacu pada PTO-KD yang ada. Namun, yang perlu ditingkatkan oleh Kepala Desa Sekongkang Atas adalah sosialisasi atas pengelolaan keuangan desa kepada masyarakat, yang bisa dilakukan secara berkala melalui rapat kerja dengan BPD dan atau melalui media informasi desa lainnya yang mudah diakses masyarakat.
67 Pola pertanggungjawaban secara terbuka dan berkala kepada masyarakat sebagai solusi mengembalikan kepercayaan masyarakat, sehingga mendorong peningkatan partisipasi dalam semua tahapan pengelolaan ADD. Hal inipun menggabarkan bahwa, pemerintah desa telah melaksanakan partisipasi yang menurut Karianga (2011) dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan, yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. Rizal (2007) menjelaskan, dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, desa membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Peluang bagi pengembangan otonomi desa yang demokratis tampak terbuka lebar dimana masyarakat berhak memperoleh informasi, melakukan pemantauan serta melaporkan semua aktivitas yang dinilai kurang transparan kepada pemerintah desa dan BPD. Proses semacam ini merupakan bentuk pembelajaran partisipasi demokrasi melalui siklus perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan di desa. Dengan demikian tercipta mekanisme penyerapan aspirasi (bottom up) yang senyatanya, bukan rekayasa musyawarah pembangunan desa seperti yang terjadi selama ini. Penilaian partisipasi pada setiap institusi dan tahapan pengelolaan ADD tersaji pada Tabel 13. Kapasitas Desa Pembahasan kapasitas desa dalam kajian ini difokuskan pada empat subsistem yang menyusun desa dan menjadi indikator tercapainya otonomi desa yaitu: kepemimpinan, kelembagaan pemerintahan desa, sumber daya sosial, serta lingkungan dan infrastruktur (LBH NTB, 2012). Kapasitas Kepemimpinan Kapasitas kepemimpinan ditentukan oleh indikator antara lain: kapasitas pemimpin kepala desa; kematangan masyarakat; situasi dan kondisi hubungan dalam kepemerintahan (goverment relation); serta visi dan misi yang diemban. Kepala desa dipilih langsung dan merupakan kewenangan asli desa, serta sebagai hak demokrasi yang paling hakiki. Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa, yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati melalui camat. Kepala desa wajib memberi keterangan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam pengelolaan keuangan desa (termasuk di dalamnya ADD), kepala desa memegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Perannya meliputi menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes, menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa, menetapkan bendahara desa, menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.
68 Tabel 13. Penilaian partisipasi setiap institusi dan tahapan pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas tahun 2006 sampai 2013 Institusi dan Tahapan Tim Fasilitasi PKD
Level Partisipasi Tokenisme: Desa bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat, akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapatnya akan diakomodasi.
Tim Pendampingan PKD
Tokenisme: Desa bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat, akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapatnya akan diakomodasi.
Tim Pelaksana PKD
Non-partisipasi: Desa tidak membentuk Tim Pelaksana PKD sebagai amanat PTO KD
Perencanaan
Tokenisme: Masyarakat bisa menyuarakan pendapat dan bahkan saran kepada pemegang kekuasaan, tetapi penentuan keputusan atau kebijakan tetap berada pada pemegang kekuasaan Non partisipasi: Masyarakat tidak mau berkorban tenaga dan materi karena menganggap bahwa pelaksanaan ADD adalah tanggung jawab kepala desa dan aparatnya
Pelaksanaan
Pengawasan Masyarakat (melalui BPD)
Internal (kepala desa)
Eksternal (Inspektorat) Pertanggungjawaban
Bentuk Partisipasi Pemberitahuan (informing): Kabupaten melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke desa. Konsultasi (consultation): Desa diberikan pendampingan dan konsultasi, dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya. Pemberitahuan (informing): Kecamatan melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke desa. Konsultasi (consultation): Desa diberikan pendampingan dan konsultasi, dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya. Manipulasi (manipulation): Desa tidak menuntut respon unsur Tim Pelaksana PKD untuk terlibat, sifatnya formalitas semata dan unsur TimPelaksana PKD "dimanfaatkan dukungannya”. Memenangkan (placation): Masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk memberikan masukan atau usulan rencana, akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang menentukan. Terapi (therapy): Masyarakat mau berpartisipasi bila langsung mendapatkan manfaat secara pribadi dalam bentuk upah atau sewa.
Non partisipasi: Manipulasi (manipulation): Tidak ada koordinasi internal BPD Menerima pemberitahuan apa yang dan adanya anggota BPD yang sedang dan telah terjadi dengan tidak tidak mengetahui tugas dan fungsi memperhatikan proses. Partisipasi kebijakan. Konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. Partisipasi kebijakan. Konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. Partisipasi kebijakan. Konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban.
Sumber: Rangkuman pembahasan
69 Secara personal, kapasitas Kepala Desa Sekongkang Atas dapat dikatakan di atas memadai. Dalam aspek pendidikan formal, Kepala Desa Sekongkang Atas (Bapak Syarifuddin) berijazah PGA (setingkat SMA), dan karena kapasitas dan kemampuannya, beliau terpilih dalam dua periode Pemilihan Kepala Desa Sekongkang Atas, yaitu periode tahun 2002 - 2008 dan periode tahun 2008 - 2014. Pengalaman memimpin selama dua periode membuatnya sangat menguasai sistem pemerintahan desa, memiliki kemampuan komunikasi dengan berbagai pihak yang baik, serta memahami kultur masyarakat Sekongkang Atas. Dalam APBDes Desa Sekongkang Atas, tidak ada program atau kegiatan yang secara khusus dianggarakan untuk peningkatan kapasitas kepemimpinan, selain berupa tunjangan Kepala Desa dan dukungan anggaran operasional kepala desa. Pada tahun 2011 - 2013, tunjangan Kepala Desa Sekongkang Atas sebesar Rp. 1.000.000 setiap bulan, lebih kecil dari yang telah tetapkan dalam PTO-KD yaitu maksimal sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulan. Tunjangan yang hanya Rp. 1.000.000 dinilai masih sangat kecil bila dibandingkan dengan tanggung jawab yang diemban. Kepala Desa Sekongkang Atas mengatakan: "Semangat utama yang dibangun sebagai Kepala Desa adalah pengabdian terhadap Desa Sekongkang Atas dan melayani masyarakat. Kalau dingukur dengan tunjangan, maka pasti tidak ada yang mau menjadi kepala desa. Meskipun demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk meningkatkan besar tunjangan, agar kepala desa bisa lebih optimal melaksanakan tugas, sehingga tidak disibukkan dengan mencari sumber penghasilan lain." Selain solusi peningkatan ADD, upaya strategis yang sangat memungkinkan untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan kapasitas kepemimpinan desa (termasuk di Sekongkang Atas) adalah dengan mendorong pemerintahan supra desa untuk mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan, serta pendampingan. Selain itu, pemerintah Desa Sekongkang Atas dapat membangun komunikasi dan koordinasi program dengan pihak swasta (terutama PT NNT) melalui program corporat social responsibility. Kapasitas Pemerintahan Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan di tingkat desa dibutuhkan organisasi pemerintahan desa yang “kuat”. Pemerintah desa memegang peran yang sangat penting demi terciptanya tata pemerintahan, sebagai eksekutif yang berfungsi menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan menciptakan kehidupan kemasyarakatan yang kondusif di desa. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara dan sekaligus sebagai pemimpin lokal yang memiliki posisi dan peran yang signifikan dalam membangun dan mengelola pemerintahan desa. Pemerintah desa mengemban tugas utama dalam hal menciptakan kehidupan yang demokratis, mendorong pemberdayaan masyarakat serta memberikan pelayanan publik yang baik. Pemerintahan desa berhak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan formal kepala desa dan prerangkat Desa Sekongkang Atas periode 2009 - 2014 tersaji dalam Tabel 14.
70 Tabel 14. Pendidikan kepala desa dan perangkat Desa Sekongkang Atas periode 2008 - 2014 Jabatan Kepala Desa Sekretaris Desa Bendahara Kepala Seksi Kepala Urusan Kepala Dusun Ketua RT Jumlah
SMP Orang %
2
2 4 8
SMA Orang %
Diploma/S1 Orang %
Jumlah Orang %
1
100,00
1
100,00
1
100,00
1
100,00
1
25,00
1 4
100,00 100,00
3
100,00
3
100,00
66,67
1
33,33
3
100,00
36,36
5 12
54,51
9 22
100,00 100,00
50,00
1 1
2
100,00 25,00
9,09
Sumber: Pemerintah Desa Sekongkang Atas Dalam melaksanakan tugas pemerintah di Desa Sekongkang Atas, kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan syarat minimal kepala desa adalah berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat, sedangkan Pasal 50 menyebutkan perangkat desa berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah umum atau sederajat. Tabel 14 memberikan informasi bahwa, sebanyak 54,51% aparatur Pemerintah Desa Sekongkang Atas berpendidikan SMA dan 9,09% berpendidikan Sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 36,36% perangkat Desa Sekongkang Atas belum memenuhi kapasitas berdasarkan pendidikan formal. Selain pemerintah desa, kapasitas pemerintahan ditentukan pula oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa menjelaskan fungsi BPD adalah: (a) membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa; (b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan (c) melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Kabupaten Sumbawa Barat mengatur tentang BPD diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 26 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa. Data jabatan dan pendidikan BPD Desa Sekongkang Atas periode 2009 - 2014 tersaji dalam Tabel 15. Tabel 15. Pendidikan ketua dan anggota BPD Desa Sekongkang Atas periode 2008 - 2014 SMP SMA Diploma/S1 Jumlah Jabatan Orang % Orang % Orang % Orang % Ketua 1 100,00 1 100,00 Sekretaris 1 100,00 1 100,00 Anggota 5 100,00 5 100,00 Jumlah 0 00,00 5 71,43 2 28,57 7 100,00 Sumber: Pemerintah Desa Sekongkang Atas
71 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa menjelaskan bahwa BPD berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah umum atau sederajat. Tabel 15 memberi informasi bahwa, sebanyak 71,43% BPD Sekongkang Atas berpendidikan SMA dan 28,57% berpendidikan Sarjana. Hal ini menunjukan bahwa BPD Sekongkang Atas telah memenuhi kapasitas berdasarkan pendidikan formal. Menurut LBH NTB (2012), peningkatan kapasitas pemerintahan ditentukan oleh indikator pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas pemerintah desa, melalui kebijakan: a. Optimalisasi pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh desa; b. Penataan kelembagaan/organisasi pemerintah desa; c. Pembinaan aparat pemerintahan desa melalui penataan personil, peningkatan kualitas SDM, pengembangan kompetensi aparat desa; d. Peningkatan efektivitas dan optimalisasi penerimaan dan pengelolaan, serta pertanggungjawaban keuangan desa; e. Peningkatan ketersediaan dan optimalisasi pemanfaatan perlengkapan/sarana dan prasarana pemerintahan desa serta unsur penunjang lain (teknologi); f. Peningkatan efektivitas fungsi perencanaan melalui optimalisasi forum dan lembaga perencanaan di tingkat desa; g. Peningkatan efektivitas fungsi pengawasan, baik secara internal maupun eksternal; h. Pendayagunaan fungsi dokumentasi dan kearsipan administrasi desa. 2. Peningkatan kapasitas BPD, melaui kebijakan: a. Mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi BPD; b. Mengoptimalkan fungsi legislasi BPD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Peran ADD dalam peningkatan kapasitas pemerintahan desa masih sangat terbatas pada tunjangan dan dukungan anggaran operasional pemerintah desa dan BPD. Program peningkatan kapasitas pemerintahan tidak dilakukan pula oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat. Staff BPM Pemdes Kabupaten Sumbawa Barat menjelaskan: "Keterbatasan anggaran APBD di BPM Pemdes, menyebabkan tidak dimasukkannya program peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa dan BPD. Program yang bisa dilakukan baru sebatas proses pendampingan atau asistensi." Tidak adanya program peningkatan kapasitas pemerintahan, akan berdampak pada lemahnya fungsi regulasi, pelayanan dan pemberdayaan atau fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kondisi ini yang menjadi salah satu sumber masalah dalam pengelolaan ADD. Menyadari hal tersebut, Kepala BAPPEDA Kabupaten Sumbawa Barat menjelaskan: ”Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat perlu mengalokasikan anggaran khusus yang terpisah dari ADD untuk membiayai program penguatan kapasitas pemerintahan desa dalam mengelola ADD."
72 Penguatan kapasitas pemerintahan desa bertujuan agar penyelenggara pemerintahan desa mampu dan berdaya untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa dengan baik. Kapasitas Kemasyarakatan Menurut LBH NTB (2012), kapasitas sumber daya sosial yang menyangkut kapasitas kemasyarakatan ditentukan oleh indikator sumber daya manusia, sumber daya sosial politik, sumber daya sosial ekonomi, sumber daya sosial budaya dan sumber daya sosial agama. 1. Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, yang meliputi: pendidikan, kesehatan, dan daya beli. 2. Peningkatan kapasitas sosial politik, yang meliputi: partisipasi dan kesadaran berpolitik masyarakat desa, serta stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. 3. Peningkatan kapasitas sosial ekonomi, melalui: pengembangan infratrusktur dan suprastruktur perekonomian desa, serta meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi desa dan masyarakat desa. 4. Peningkatan kapasitas sosial budaya, melalui: mengembangkan kekayaan seni dan adat istiadat serta membina kelompok-kelompok kesenian tradisional yang ada di desa, membina lembaga/organisasi kemasyarakatan yang ada di desa (seperti PKK dan Karang Taruna), serta membina kehidupan tradisional dan memelihara serta membina keberadaan lembaga adat di desa. 5. Peningkatan kapasitas sosial agama, melalui membina kerukunan dan toleransi kehidupan beragama, membina dan mengembangkan organisasi kerohanian yang ada di desa (seperti Remaja Masjid dan Majelis Ta’lim), dan peningkatan kualitas dan ketersediaan sarana beribadah. Peningkatan kapasitas kemasyarakatan merupakan agenda besar yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah Desa Sekongkang Atas berperan dalam membangun koordinasi dengan pemerintah supradesa dan pihak swasta dalam mengadvokasi program terkait peningkatan kapasitas SDM, sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial agama. Sejauh ini, ADD Sekongkang Atas hanya memberi stimulus bagi peningkatan kapasitas masyarakat tersebut. Kepala Desa Sekongkang Atas menjelaskan: "Peningkatan kapasitas masyarakat tidak bisa dibebankan pada ADD, sebab anggaran ADD sangat terbatas, dimana 40% ADD dialokasikan untuk belanja tidak langsung. Sejauh ini, pemerintah desa mengoptimalkan komunikasi dengan berbagai pihak, terutama dengan pemerintah dan DPRD Kabupaten Sumbawa Barat serta swasta (PT NNT) dalam mengarahkan anggaran dan program peningkatan kapasitas kemasyarakatan". Kapasitas Ruang Peningkatan kapasitas ruang dilakukan melalui kebijakan peningkatan kualitas pemukiman penduduk, penyediaan infrastruktur pedesaan, dan peningkatan kualitas daya dukung lingkungan. Pengembangan kapasitas ruang tidak bedanya dengan pembangunan kapasitas masyarakat. Keduanya merupakan agenda besar dalam rangka mewujudkan otonomi desa yang hendaknya menjadi
73 tanggung jawab semua pihak terkait. Melalui ADD, Pemerintah Desa Sekongkang Atas hanya bisa menganggarkan untuk program pembangunan sarana publik bersekala kecil yang prioritas bagi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan penjelasan terkait kapasitas desa, maka peningkatan kapasitas desa yang mencakup kapasitas kepemimpinan, kapasitas pemerintahan, kapasitas kemasyarakatan dan kapasitas ruang di Desa Sekongkang Atas tidak bisa hanya diharapkan melalui ADD. Hal ini disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut: a. Peran ADD dalam peningkatan kapasitas kepemimpinan hanya dialokasikan dalam bentuk tunjangan Kepala Desa dan dukungan anggaran operasional kepala desa. b. Peran ADD dalam peningkatan kapasitas pemerintahan, masih terbatas pada tunjangan dan dukungan anggaran operasional pemerintah desa dan BPD. c. Peran ADD dalam peningkatan kapasitas kemasyarakatan hanya bersifat stimulus. Pemerintah Desa Sekongkang Atas mengoptimalkan peran dalam membangun koordinasi dengan pemerintah supradesa dan pihak swasta dalam mengadvokasi program terkait peningkatan kapasitas SDM, sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial agama. d. Peran ADD dalam peningkatan kapasitas ruang hanya terbatas pada program pembangunan sarana publik bersekala kecil, yang dialokasikan melalui belanja modal (sekitar 30% dari total APBDes) Rozaki et al. (2005) menjelaskan bahwa, kemampuan (kapasitas) desa harus ditempa dengan gerakan dan konsolidasi di tingkat desa. Tugas utama pemerintah supradesa adalah memfasilitasi peningkatan kapasitas desa yang meliputi kapasitas regulasi (mengatur), kapasitas ekstraksi, kapasitas distributif, kapasitas responsif, serta kapasitas jaringan dan kerjasama. Kelima kapasitas tersebut bersifat sistemik, baik secara individual maupun institusional dan hendaknya menjadi prioritas utama pemerintah supradesa dalam mewujudkan otonomi desa. Lebih lanjut Rozaki et al. (2005) menjelaskan, pembangunan kapasitas desa merupakan suatu pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintahan (desa dan supradesa) individu, kelompok, organisasi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk: (1) menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah dan mencapai tujuan; dan (2) memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangannya dalam konteks yang lebih luas dengan cara berkelanjutan.
74
6 PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM Perancangan strategis merupakan proses yang dilakukan untuk menentukan strategi atau arahan, serta mengambil keputusan dalam mengalokasikan sumber daya (modal dan sumber daya manusia). Perancangan strategis merupakan sebuah alat manajemen yang digunakan untuk mengelola kondisi saat ini untuk melakukan proyeksi kondisi pada masa depan. Perancangan merupakan bagian dari siklus yang meliputi perencanaan, analisis, perancangan, implementasi dan evaluasi. Dalam pembangunan desa, perancangan merupakan kata kunci agar proses pembangunan desa lebih terarah, realistis, sistematis, dan hasil akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa (Hudayana, et al. 2007). Salah satu teknik analisis yang dapat digunakan dalam perancangan strategis adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi yang dapat memaksimakan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimakan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT digunakan pula untuk membandingkan antara faktor luar (peluang dan ancaman) dengan faktor dalam (kekuatan dan kelemahan) (Sugiyono 2013). Perancangan strategis dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para pihak (stake holders). Unsur yang terlibat dalam FGD tersaji dalam tabel 19 berikut Tabel 19. Unsur dan jumlah yang terlibat dalam FGD perancangan strategi No 1. 2. 3. 4. 5.
Unsur Pemerintah Desa BPD LPM Pemerintah Kecamatan Tokoh Masyarakat Jumlah
Jumlah (orang) 3 1 1 2 3 10
(%) 30 10 10 20 30 100
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Langkah awal yang dilakukan dalam merancang strategi pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas adalah dengan mengidentifikasi kondisi faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Hasil identifikasi faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) adalah sebagai berikut: a. Faktor Internal: Kekuatan (Strength): 1. Tersedia Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat mendukung percepatan dinamika ekonomi desa dan berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Desa,
76 2. Tersedianya kantor dan sarana operasional pemerintahan desa, 3. Tersedianya sarana kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, serta bendungan dan irigasi), 4. Adanya lembaga ekonomi desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), 5. Adanya 2 orang Anggota DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dari Desa Sekongkang Atas, b. Faktor Internal: Kelemahan (Weakness): 1. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pemerintahan Desa umumnya masih rendah, 2. Lemahnya koordinasi antar lembaga desa (Pemerintah Desa, BPD, LPM, dll), 3. Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap MUSRENBANG 4. Rendahnya partisipasi stakeholder , 5. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap PT NNT, c. Faktor Eksternal: Peluang (Opportunity) 1. Semakin besarnya keberpihakan pada desa (UU No 6 Tahun 2014), 2. Tersedianya anggaran ADD sebagai sumber penerimaan desa (mencapai 98 %), 3. Ketersediaan regulasi terkait ADD di Kabupaten Sumbawa Barat. 4. Adanya dukungan pihak swasta (PT NNT) melalui program CSR. d. Faktor dalam Eksternal: Ancaman (Threats) 1. Tidak dilaksanakannya amanat Undang-undang penganggaran ADD minimal 10%. 2. Minimnya realisasi hasil MUSRENBANG
terkait
Komitmen
Menentukan Strategi Alternatif Hasil identifikasi faktor-faktor internal dan ekternal (SWOT) menjadi dasar untuk menentukan strategi alternatif dari Strength-Weakness (S-O), WeaknessOpportunity (W-O), Strength-Threats (S-T), Weakness-Threats (W-T) sebagai berikut: a. Strategi S-O 1. Mengoptimalkan potensi untuk meningkatkan PAD melalui pemanfaatan ADD dan program CSR PT NNT (S1, S2, S3, S4, S5, O2, O4,) 2. Mengoptimalkan peran Anggota DPRD dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran ADD (S5, O1, O2, O3, O4, O5). b. Strategi W-O 1. Meningkatkan Kualitas/Kapasitas SDM berdasarkan pada regulasi dan didukung anggaran ADD atau CSR PT NNT (W1, O1, O2, O3, O4); 2. Meningkatkan koordinasi antar lembaga berdasarkan pada regulasi dan didukung anggaran ADD atau CSR PT NNT (W2, O1, O2, O3, O4);
77 c. Strategi S-T 1. Mengoptimalkan peran Anggota DPRD dalam mendorong peningkatan ADD (minimal 10%) berdasarkan amanat undang-undang (S5, T1) 2. Mengoptimalkan peran Anggota DPRD untuk mengadvokasi program usulan MUSRENBANG (S5, T2) c. Strategi W-T 1. Meningkatkan partisipasi dan kepercayaan masyarakat dalam MUSRENBANG dengan komitmen mewujudkan program hasil usulan MUSRENBANG (W3, W4, T2)
Menentukan Strategi Inti Formulasi terhadap tujuh (7) strategi alternatif menghasilkan strategi inti sebagai prioritas sebagai berikut: 1. Meningkatkan jumlah anggran ADD berdasarkan amanat undang-undang. Memberikan hak ADD sesuai dengan amanat perundang-undangan akan berpengaruh signifikan dalam peningkatan ADD yang diterima oleh desa, dan dapat digunakan untuk program peningkatan kapasitas desa. Kewajiban penaganggaran ADD oleh pemerintah daerah diamanahkan dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan bahwa: (1) pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran; (2) ADD sebagaimana dimaksud paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus. 2. Mewujudkan program unggulan desa berdasarkan hasil MUSRENBANG. Komitmen untuk merealisasikan program yang diusulkan dalam MUSRENBANG akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MUSRENBANG dan dapat berdampak pada peningkatan partisipasi masyarakat pada semua tahapan pembangunan desa. Semangat utama MUSRENBANGDes adalah penguatan partisipasi stakeholder yang mencakup semua konsep partisipasi Karianga (2011), yaitu: partisipasi sebagai kebijakan, strategi, alat komunikasi dan alat penyelesaian sengketa. Bila mengacu pada teori Arnstein (2007), maka MUSRENBANGDes dikategorikan dalam partisipasi level "kekuatan warga negara (citizen power)" yang meliputi: (1) partisipasi kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya) mewujudkan keputusan bersama; (2) partisipasi pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring; dan (3) pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal (Nasdian 2014).
78 3. Meningkatkan kapasitas desa melalui program ADD dan kemitraan dengan CSR PT NNT. Ketersediaan anggaran untuk peningkatan kapasitas desa dalam ADD dan adanya dukungan swasta (CSR PT NNT) akan mendorong peningkatan kinerja pemerintahan desa, termasuk perbaikan pola koordinasi antar lembaga desa. Rozaki et al. (2005) menjelaskan bahwa, kemampuan (kapasitas) desa harus ditempa dengan gerakan dan konsolidasi di tingkat desa dan didukung penuh oleh pemerintah supradesa. Tugas utama pemerintah supradesa adalah memfasilitasi peningkatan kapasitas desa yang meliputi kapasitas regulasi (mengatur), kapasitas ekstraksi, kapasitas distributif, kapasitas responsif, serta kapasitas jaringan dan kerjasama. Kelima kapasitas tersebut bersifat sistemik, baik secara individual maupun institusional dan hendaknya menjadi prioritas utama pemerintah supradesa dalam mewujudkan otonomi desa. Membangun kapasitas desa tidak bisa dilakukan secara parsial dan diserahkan sepenuhnya ke desa. Rozaki et al. (2005) menjelaskan, pembangunan kapasitas desa merupakan suatu pembangunan berkelanjutan, dimana pemerintahan (desa dan supradesa) individu, kelompok, organisasi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk: (1) menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah dan mencapai tujuan; dan (2) memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangannya dalam konteks yang lebih luas dengan cara berkelanjutan. 4. Memaksimalkan peran stakeholder (terutama Anggota DPRD) dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran. Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Alokasi Dana Desa berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Daerah untuk Desa paling sedikit 10% setelah dikurangi Belanja Pegawai. Mengingat ADD bersumber dari APBD, maka dibutuhkan dukungan politik dalam mendorong kebijakan dan anggaran yang berpihak pada peningkatan ADD. DPR/DPRD sebagai perwakilan masyarakat memiliki tiga fungsi pokok, yaitu menetapkan peraturan daerah (legislasi), menetapkan APBD (budgeting), dan melakukan pengawasan (controling). Dukungan politik anggota DPRD dalam pembangunan masyarakat desa antara lain dapat diwujudkan melalui advokasi kebijakan dan anggaran ADD.
Menyusun Rancangan Program Berdasarkan strategi-strategi yang telah dirumuskan, kemudian disusun rencana program-program yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD di Desa Sekongkang Atas, sebagai berikut: 1. Meningkatkan anggaran ADD berdasarkan amanat undang-undang. Bentuk program: a. Revisi regulasi yang bertentangan dengan undang-undang b. Penyusunan Perda dan RPJMD untuk memastikan persentasi dana ADD 2. Mewujudkan program unggulan desa berdasarkan hasil MUSRENBANG.
79 Bentuk program: a. Mewujudkan program "one vilage one product". b. Mengembangkan program APBD bagi desa yang berbentuk padat karya dengan mengadopsi pola program PNPM. c. Mengembangkan BUMDes untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat 3. Meningkatkan kapasitas desa melalui program ADD dan kemitraan dengan CSR PT NNT. Bentuk program: a. Membuat program kemitraan dengan CSR PT NNT b. Pelibatan PT NNT dan swasta lainnya secara aktif dalam MUSRENBANG 4. Memaksimalkan peran stakeholder (terutama Anggota DPRD) dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran. Bentuk program: a. Optimalisasi penerimaan aspirasi masyarakat pelaksanaan Reses DPRD b. Pelibatan DPRD secara aktif dalam MUSRENBANG RT, desa, kecamatan dan kabupaten
80
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan, maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan ADD Kabupaten Sumbawa Barat. Pemerintah Sumbawa Barat mengatur kebijakan ADD sejak tahun 2006 - 2013 dalam tiga bentuk produk hukum, yaitu (1) Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat tentang Penetapan Besarnya Perhitungan Alokasi Dana Desa Kabupaten Sumbawa Barat, dan Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa yang terbit setiap tahun anggaran; (2) Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 10 Tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat; dan (3) Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa. Regulasi ADD di Sumbawa Barat, secara jelas dihajatkan untuk mewujudkan penigkatan partisipasi dan penguatan kapasitas desa. 2. Implementasi ADD. Implementasi ADD di Kabupaten Sumbawa Barat mengacu pada Peraturan Daerah Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa dan Surat Keputusan Bupati tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengelolaan Keuangan Desa yang diterbitkan setiap tahun anggaran. Partisipasi institusi pengelola keuangan desa pada tingkat kabupaten dan kecamatan menurut teori Arnstein (2007), dikategorikan pada level tokenisme, dengan bentuk pemberitahuan (information) dan konsultasi (consultation), dimana desa bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat, akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapatnya akan diakomodasi. Tidak dibentuknya Tim Pelaksana KD di tingkat desa, menyebabkan partisipasi berada pada level non partisipasi, dengan bentuk manipulasi. Partisipasi pada tahapan perencanaan berada pada level tokenisme, dalam bentuk menenangkan (placation), yaitu masyarakat bisa menyuarakan pendapat dan bahkan saran kepada pemegang kekuasaan, tetapi penentuan keputusan atau kebijakan tetap berada pada pemegang kekuasaan (Pemerintahan Kabupaten Sumbawa Barat). Partisipasi pada tahap pelaksanaan berada pada level non partisipasi, dengan bentuk partisipasinya terapi (therapy), dimana masyarakat mau berpartisipasi bila langsung mendapatkan manfaat secara pribadi dalam bentuk upah atau sewa. Partisipasi pada tahapan pengawasan dan pertanggungjawaban dikategorikan dalam konsep partisipasi kebijakan (Karianga 2011), yaitu konsep yang memandang partisipasi sebagai prosedur pelaksanaan tugas dan kewajiban. Upaya peningkatan kapasitas desa tidak bisa dibebankan sepenuhnya pada ADD, melainkan harus ada kebijakan khusus dari pemerintahan supradesa. Hal ini disebabkan karena minimnya peran ADD dalam peningkatan kapasitas kepemimpinan, kapasitas pemerintahan, kapasitas kemasyarakatan dan kapasitas ruang. 4. Perancangan strategi. Strategi inti untuk memperkuat partisipasi dan kapasitas desa dalam pengelolaan ADD meliputi: (a) meningkatkan ADD berdasarkan amanat
82
undang-undang; (b) mewujudkan program unggulan desa berdasarkan hasil MUSRENBANG; (c) meningkatkan kapasitas desa melalui program ADD dan kemitraan dengan CSR PT NNT; dan (d) memaksimalkan peran stakeholder (terutama Anggota DPRD) dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran.
Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemerintah Sumbawa Barat agar konsisten dalam melaksanakan amanat perundang-undangan yang mengatur tentang ADD; 2. Pemerintah Sumbawa Barat perlu melakukan revisi regulasi ADD mengacu meningkatkan pendampingan bagi institusi pengelolah keuangan desa, pada semua tahapan proses (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pertanggungjawaban), serta memaksimalkan manfaat ADD dalam meningkatkan partisipasi stakeholder dan penguatan kapasitas desa di Desa Sekongkang Atas. 3. Mendorong pihak terkait untuk: (a) meningkatkan ADD berdasarkan amanat undang-undang; (b) mewujudkan program unggulan desa berdasarkan hasil MUSRENBANG; (c) meningkatkan kapasitas desa melalui program ADD dan kemitraan dengan CSR PT NNT; dan (d) memaksimalkan peran stakeholder (terutama Anggota DPRD) dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2010. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu. Yogyakata. Amsal 2009. Pemberdayaan Pemerintahan Desa. CV. Sinar Ilmu. Bekasi. Arifin Z. 2010. Evaluasi Program. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Bappenas 2009. Pedoman Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 2004. Pedoman Penyusunan Indikator Pemantauan dan Evaluasi Anggaran Berbasis Kinerja Bungin B. M. 2008. Penelitian Kualitatif. Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Eko S. 1999. Desentralisasi dan Demokratisasi. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Jakarta. Hudayana et al. 2007. Alokasi Dana Desa, Komitmen Kabupaten/Kota pada Otonomi Desa (Hasil Studi Penerapan Kebijakan ADD di 6 Kabupaten). Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Yogyakarta. Ife J. dan Tesoriero F. 2008. Community Development. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Karianga, H. 2011. Prespektif Hukum dan Demokrasi. Penerbit PT Alumni. Bandung. Kolopaking L. M. dalam Satria A et al. 2011. Menuju Desa 2030. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor. Crestpent Press. Bogor. Mardiasmo 2004. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi, Yogyakarta. Mutty dan Luthfi M. 2012. Otonomi Desa: Harapan dan Kenyataan. Rajawali Press. Jakarta. Nasdian F. T. 2014. Pengembangan Masyarakat. IPB Press. Rizal, M. 2007. Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat. Community Development PT Newmont Nusa Tenggara dan Pusat Studi Kebijakan Publik Yayasan Serikat Tani Pembangunan Rozaki et al. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. IRE Press. Yogyakarta. Saefuddin A. et al. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri. Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sahdan et al. 2006. ADD untuk Kesejahteraan Rakyat Desa. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Yogyakarta.
84
Sinoel E. K. 2005. Batu Hijau Dulu, Kini dan Esok. Community Development Newmont Batu Hijau. Sitorus 1998. Penelitian Kualitatif “Suatu Perkenalan". Kelompok dokumentasi Ilmu-Ilmu sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan”. Jurusan Ilmu Sosial Dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Sugiyono 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. CV Alfabeta. Bandung.
Lampiran 1. Matriks penyajian faktor-faktor SWOT
Membantu Pencapaian Objektif
Menjelaskan Pencapaian Objektif
Kekuatan (Strength): 1.
Faktor Internal
2.
3.
4.
5.
1.
Faktor Eksternal
2.
3.
4.
Kelemahan (Weakness):
Tersedia Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat mendukung percepatan dinamika ekonomi desa dan berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Desa, Tersedianya kantor dan sarana operasional pemerintahan desa, Tersedianya sarana kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, serta bendungan dan irigasi), Adanya lembaga ekonomi desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes, Adanya 2 orang Anggota DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dari Desa Sekongkang Atas, Peluang (Opportunity)
1.
Semakin besarnya keberpihakan pada desa (UU No 6 Tahun 2014), Tersedianya anggaran ADD sebagai sumber penerimaan desa (mencapai 98 %), Ketersediaan regulasi terkait ADD di Kabupaten Sumbawa Barat. Adanya dukungan pihak swasta (PT NNT) melalui program CSR.
1.
2.
3.
4. 5.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pemerintahan Desa umumnya masih rendah, Lemahnya koordinasi antar lembaga desa (Pemerintah Desa, BPD, LPM, dll), Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap MUSRENBANG Kab,Melemahnya partisipasi stakeholder , Rendahnya partisipasi stakholders Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap PT NNT
Ancaman (Threats)
2.
Tidak dilaksanakannya amanat Undang-undang terkait komitmen penganggaran ADD minimal 10%, Minimnya realisasi hasil MUSRENBANG
85
86
Lampiran 2. Matrik penyajian formulasi alternatif strategi Kekuatan (Strength) - S 1. Faktor-faktor Internal
Faktor-faktor Ekstern al
2. 3. 4. 5.
2. 3. 4.
Semakin besarnya keberpihakan pada desa (UU No 6 Tahun 2014), Tersedianya anggaran ADD sebagai sumber penerimaan desa (mencapai 98 %), Ketersediaan regulasi terkait ADD di Kabupaten Sumbawa Barat. Adanya dukungan pihak swasta (PT NNT) melalui program CSR.
1.
2.
Ancaman (Threats) - T 3. 4.
Tidak dilaksanakannya amanat Undang-undang terkait Komitmen penganggaran ADD minimal 10%. Minimnya realisasi hasil MUSRENBANG
Tersedia Sumber Daya Alam (SDA) untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD), Tersedianya kantor dan sarana operasional pemerintahan desa, Tersedianya sarana kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, serta bendungan dan irigasi),
1. 2. 3.
Adanya lembaga ekonomi desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes,
4. 5.
Adanya 2 orang Anggota DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dari Desa Sekongkang Atas, Strategi S-O
Peluang (Opportunity) - O 1.
Kelemahan (Weakness) - W
Mengoptimalkan potensi untuk meningkatkan PAD melalui pemanfaatan ADD dan program CSR PT NNT (S1, S2, S3, S4, S5, O2, O4,) Mengoptimalkan peran Anggota DPRD dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran ADD (S5, O1, O2, O3, O4, O5).
Strategi W-O 1.
2.
Strategi S-T 1. 2.
Mengoptimalkan peran Anggota DPRD dalam mendorong peningkatan ADD (minimal 10%) berdasarkan amanat undang-undang (S5, T1) Mengoptimalkan peran Anggota DPRD untuk mengadvokasi program usulan MUSRENBANG (S5, T2)
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pemerintahan Desa umumnya masih rendah, Lemahnya koordinasi antar lembaga desa (Pemerintah Desa, BPD, LPM, dll), Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap MUSRENBANG Rendahnya partisipasi stakeholders Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap NNT
Meningkatkan Kualitas/Kapasitas SDM berdasarkan pada regulasi dan didukung anggaran ADD atau CSR PT NNT (W1, O1, O2, O3, O4) Meningkatkan koordinasi antar lembaga berdasarkan pada regulasi dan didukung anggaran ADD atau CSR PT NNT (W2, O1, O2, O3, O4)
Strategi W-T 1.
Meningkatkan partisipasi dan kepercayaan masyarakat dalam MUSRENBANG dengan komitmen mewujudkan program hasil usulan MUSRENBANG (W3, W4, T2)