STRATEGI PENGENDALIAN PADA PENGERINGAN JAGUNG PIPILAN YANG MEMANFAATKAN UDARA LINGKUNGAN
SKRIPSI
LOVREN DEVTER SIMBOLON F14070095
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
CONTROL STRATEGY ON CORN DRYING THAT UTILIZED AMBIENT AIR
Lovren Devter and Leopold O. Nelwan Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java. Indonesia, Phone +62 852 8867 3631, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
In artificial drying, consumption of thermal energy is about 90%-95% of requirement total energy (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Ambient air drying is a drying method that use unheated air, thus its thermal energy consumption is very low. Indonesia is a tropical country that ambient air condition generally has high relative humidity, however the mean temperature is more than 30oC and the relative humidity is lower than 70%. This condition is potential to dry the corn up to it’s equilibrium moisture content (Me) i.e. 14%. Because of the fluctuative condition, the ambient air doesn’t have potential ability to dry at all. In deep bed dryer, there are various moistures in layers. Therefore, control system based on differences of moisture content in corn layers is needed to flow the potential ambient air -high of air temperature and low relative humidity- and to control the velocity of ambient air flow. The control system consists of detector of temperature and RH by SHT11 and SHT75 sensor, LCD, power supply and zero crossing circuits. The controlling system program was written ‘C language’, and written by Uc51 software 3.48 version, and also has function as compiler to convert ‘C language’’ to file.hex. The controlling strategy compare equilibrium moisture content in layer with the ambient as a hint of round of blower. If ambient Me < Me of the lower layer, the blower flows the maximum flow rate (0.455 m2/s). Contraryly, if Me >Me of the upper layer, the blower won’t flows . And if Me of the lower layer < ambient Me < Me of the upper layer, the blower flows the ambient air with five different levels of flow rate ( 0.398m2/s, 0.347 m2/s, 0.272 m2/s, 0.169 m2/s ,and 0.136 m2/s ) based on the comparation of the third Me. The experiment without control system showed that when the ambient temperature is about 25.7oC - 36oC and average ambient RH is about 55.25% - 97.65%, can dry the corn from average moisture content 20.48% b.k to 16.08% bk in 46.5 hours and consumed electrical energy as much as 4.288 MJ/kg of water evaporated. But, In the experiment with control system with average ambient temperature is about 27.9oC – 40.6oC, and average ambient RH is about 39.47% 93.43%, the drying process start from average moisture content 20.89% b.k to 16.20% b.k due 10.517 hours and consume electric energy as much as 1.553 MJ/kg of water evaporated. Control Strategy Program worked properly and consumed less electrical energy and drying time process than the experiment without control system.
Keywords : corn, drying, control system, moisture content.
Lovren Devter Simbolon. F14070095. Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan. Di bawah bimbing oleh Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP. M.Si. 2011
Ringkasan
Pengembangan jagung sebagai komoditas perdagangan dan industri menyebabkan pentingnya aspek prapengolahan, salah satunya yaitu aspek pengeringan. Pada pengeringan artificial kebutuhan energi termal untuk pengeringan sangat tinggi, kira-kira 90% - 95% dari total kebutuhan energi (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Oleh sebab itu, pengeringan dengan udara lingkungan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengurangi konsumsi energi termal dalam proses pengeringan. Indonesia merupakan negara tropis dimana kondisi udara lingkungan pada umumnya memiliki kelembaban relatif (RH) yang tinggi, akan tetapi pada siang hari suhu rata-rata dapat lebih tinggi dari 30oC dengan RH lebih rendah dari 70%. Udara dengan kondisi demikian cukup potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan bijibijian, mengingat kadar air keseimbangan jagung pada kondisi tersebut dapat mencapai kurang dari 14%. Akan tetapi, karena kondisinya berfluktuasi, tidak semua udara berpotensi untuk digunakan sebagai media pengeringan. Pada pengeringan tipe tumpukan terjadi variasi kadar air antara lokasi yaitu pada lapisan bawah, tengah dan atas. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem kendali otomatis berbasis beda kadar air pada tumpukan jagung yang berfungsi untuk mengalirkan dan mengatur laju aliran udara yang potensial untuk pengeringan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah merancang strategi pengendalian pada sistem pengering dengan udara lingkungan untuk jagung pipilan berbasis beda kadar air pada tumpukan dengan potensinya pada udara lingkungan serta merancang perangkat keras dan perangkat lunak sistem kendali untuk keperluan strategi pengendalian. Sistem kendali yang didesain meliputi rangkaian pembacaan suhu dan RH yang dideteksi sensor SHT11 dan SHT75, rangkaian LCD, rangkaian catu daya dan rangkaian pengatur laju aliran udara pada blower (zero crossing). Program sistem kendali untuk strategi pengendalian disusun menggunakan bahasa C dan ditulis dalam software Uc51 versi 3.48 yang juga berfungsi sebagai kompiler yang akan mengkonversi bahasa C ke dalam file berekstensikan .hex. Strategi pengendalian yang digunakan adalah dengan membandingkan kadar air kesetimbangan (Me) pada tumpukan jagun lapisan bawah dan lapisan atas serta Me lingkungan. Jika Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan bawah maka kipas akan menyala maksimal atau Timer0 (laju aliran udara 0.455 m3/s), sebaliknya jika Me lingkungan > Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas tidak akan berputar (Timer 66). Sedangkan jika Me tumpukan jagung lapisan bawah < Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas akan berputar pada lima tingkat kecepatan yaitu Timer30 (laju aliran udara 0.398 m3/s), Timer35 (laju aliran udara 0.347 m3/s), Timer40 (laju aliran udara 0.272 m3/s), Timer45 (laju aliran udara 0.169 m3/s) dan Timer50 (laju aliran udara 0.136 m3/s) sesuai dengan hasil perbandingan dari ketiga Me tersebut. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung varietas hybrid yang diperoleh dari dua lokasi dengan kadar air yang berbeda-beda. Pada pengujian tanpa sistem kendali jagung diperoleh dari balai Balitrov yang berada di daerah Cimanggu. Sedangkan pada pengujian dengan sistem kendali jagung diperoleh dari kelompok tani di desa Iwul kecamatan Parung, Bogor.
Berdasarkan hasil pengujian pada pengeringan jagung pipilan tanpa menggunakan sistem kendali diperoleh data yang menunjukkan bahwa dengan suhu lingkungan yang berkisar antara 25.7oC - 36oC dan RH antara 55.25% 97.65% dapat mengeringkan jagung dari kadar air awal rata-rata 20.48% b.k hingga mencapai kadar air akhir ratarata 16.08%b.k dengan lama pengeringan 46.5 jam serta konsumsi energi listrik sebesar 7.59 MJ atau 4.288 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan hasil pengujian pada pengeringan jagung pipilan dengan menggunakan sistem kendali menunjukkan bahwa pengeringan dengan suhu lingkungan berkisar antara 27.9oC – 40.6oC, dan RH lingkungan antara 39.47% - 93.43% dapat menurunkan kadar air awal rata-rata 20.89%b.k hingga mencapai kadar air akhir rata-rata 16.20%b.k dengan lama pengeringan efektif (pada kondisi kipas menyala maksimal) yaitu 10.517 jam serta konsumsi energi listrik sebesar 2.011 MJ atau 1.553 MJ/kg air yang diuapkan. Strategi pengendalian pada pengeringan jagung pipilan yang telah didesain secara umum berfungsi dengan baik dan konsumsi energi listrik yang digunakan serta waktu pengeringan pada pengujian dengan sistem kendali lebih rendah dan lebih cepat dibandingkan dengan pengujian tanpa sistem kendali.
STRATEGI PENGENDALIAN PADA PENGERINGAN JAGUNG PIPILAN YANG MEMANFAATKAN UDARA LINGKUNGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh LOVREN DEVTER SIMBOLON F14070095
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul skripsi
: Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara lingkungan
Nama
: Lovren Devter Simbolon
NIM
: F14070095
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Leopold O. Nelwan, S.TP. M.Si.) NIP. 19701208 199903 1 001
(Dr. Ir. I Made Subrata, M.Agr) NIP. 19620803 198703 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M. Eng) NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal lulus
:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011 Yang membuat pernyataan
Lovren Devter Simbolon F14070095
©Hak Cipta milik Lovren Devter Simbolon, tahun 2011 Hak Cipta dillindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS
Lovren Devter Simbolon. Lahir di Durian Luncuk, 23 Oktober 1988 dari Bapak S. Simbolon dan ibu R. Sihotang, sebagai putra kedua dari tujuh bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Tunas Bangsa dan melanjutkan SD di SD Negeri 102/1 Batanghari, setelah itu melanjutkan SLTP di SLTP Negeri 6 Batanghari dan menamatkan SMA di SMA Negeri 1 Batanghari pada tahun 2007. Di tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Penulis memilih Program Studi Teknik Mesin Dan Biosistem. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi ekstra maupun intra kampus, seperti menjadi anggota komisi Kopelkhu di UKM PMK IPB dan Kepala Bidang Aksi dan Pelayanan di GMKI Cabang Bogor. Penulis juga pernah mengikuti Program Pengabdian Masyarakat yang diselenggarakan oleh IPB yaitu IPB GO FIELD 2009 dan melaksanakan Praktik Lapangan di PT Cakung Permata Nusa di Kalimantan Selatan pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk segala anugerahNya. Terlebih lagi pada saat ini saya telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan” . Pada kesempatan ini juga saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung saya baik dalam pelaksanaan penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada: 1. Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP. M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penelitian dan membantu dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. I Made Subrata, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi ke-II yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penelitian dan membantu dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ir. Sri Endah Agustina, MS selaku dosen penguji atas asaran dan masukan yang telah diberikan. 4. Bapak Bugaran Saragih yang telah banyak memberikan motivasi. 5. Bapak Harto, Mas Firman dan Mas Darma yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Papa, mama serta abang dan adik-adikku (Fernando, Lia, Charlie, Ines, Yopita dan Dyah) yang selalu memberikan dukungan semangat dan doa. 7. Semua dosen yang telah membagikan ilmu selama belajar di Teknik Mesin dan Biosistem 8. Seluruh staf Departemen Teknik Mesin dan Biosistem untuk semua bantuan yang telah diberikan. 9. Lab TET yang telah membiaya penelitian ini 10. Yusenda untuk segala masukan, doa dan dukungannya 11. Teman-teman kostan Bilo dan Nur Fikri 12. Yan, David, Mudho, Arie Tambosoe, Iqbal, Irfan, Dede, Nova, Imuz, Mila, Miftah, Fauzi, Kak Cecep, Mas Furqon yang telah membantu saya dalam penelitian ini. 13. Teman-teman GMKI cabang Bogor 14. Teman-teman TEP 44 (Ensemble) Dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga kita selalu dalam penyertaan Tuhan. Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritikan sebagai bahan perbaikan skripsi ini. Besar harapan penulis, skripsi ini bisa bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Penulis
November 2011
viii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR. ................................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................................. DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... DAFTAR TABEL ......................................................................................................... DARTAR LAMPIRAN ................................................................................................ I. PENDAHULUAN ................................................................................................. A. LATAR BELAKANG .................................................................................... B. TUJUAN PENELITIAN................................................................................. II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ A. JAGUNG (Zea Mays L) .................................................................................. B. PENGERINGAN ............................................................................................ B.1 Teori Pengeringan ................................................................................ B.2 Metode Pengeringan ............................................................................ B.3 Sistem Pengeringan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan yang Potensial dengan Sistem Kontrol................................................ C. KADAR AIR .................................................................................................. D. LAJU PENGERINGAN ................................................................................. E. SENSOR SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF...................................... F. KONVERSI NILAI OUTPUT SHT11 DAN SHT75 ..................................... III. METODOLOGI PENELITIAN............................................................................. A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ....................................................... B. ALAT DAN BAHAN ..................................................................................... C. PROSEDUR PENELITIAN .......................................................................... D. DESAIN ALAT PENGERING....................................................................... E. DESAIN SISTEM KENDALI. ....................................................................... F. STRATEGI PENDENDALIAN. .................................................................... G. METODE PENGAMBILAN DATA .............................................................. H. PENGOLAHAN DATA ................................................................................. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. A. ALAT PENGERING JAGUNG PIPILAN ..................................................... B. SISTEM KENDALI ....................................................................................... B.1 Perangkat Keras Sistem Kendali (Hardware)....................................... B.2 Modul SHT11 dan SHT75. .................................................................. B.3 Modul LCD. ......................................................................................... B.4 Zero Crossing (Pengendali Kecepatan Blower). .................................. C. PERANGKAT LUNAK SISTEM KENDALI (SOFTWARE). ..................... D. STRATEGI PENGENDALIAN. .................................................................... E. UJI KINERJA ALAT PENGERING TANPA SISTEM KENDALI .............. E.1 Perubahan Suhu dan RH .......................................................................... E.2 Perubahan Kadar Air. .............................................................................. F. UJI KINERJA ALAT PENGERING DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI ....................................................................................... F.1 Perubahan Suhu dan RH .......................................................................... F.2 Hubungan Kadar Air Kesetimbangan Terhadap Putaran Kipas .............. F.3 Perubahan Kadar Air. ..............................................................................
viii ix xi xiii xiv 1 1 2 3 3 4 4 6 8 9 10 11 14 16 16 16 16 17 18 19 21 22 23 23 24 24 25 27 27 29 30 31 31 34 36 36 39 40
ix
G. PENURUNAN KADAR AIR TANPA SISTEM KENDALI DAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI ............................................. H. KONSUMSI ENERGI LISTRIK SELAMA PROSES PENGERINGAN TANPA SISTEM KENDALI DAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI V. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................. A. KESIMPULAN............................................................................................... B. SARAN........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................................
42 43 45 45 45 46 48
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Data produksi jagung. ............................................................................................ 3 Tabel 2 Persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan berdasarkan SNI 01-4438-1998 ................................................................................................. 4 Tabel 3. Jenis-jenis sensor suhu dan kelembaban dengan tingkat keakurasiannya. ............. 14 Tabel 4. Nilai koefisien konversi RH, (Sensirion. Crop. 2008) ........................................... 15 Tabel 5. Koefisien konversi suhu berdasarkan SOT, (Sensirion. Crop. 2008) ...................... 15 Tabel 6. Koefisien konversi temperature berdasarkan VDD (Sensirion. Crop. 2008) ......... 15 Tabel 7. Spesifikasi pinpada LCD tipe LMB162AFC ......................................................... 27 Tabel 8. Konsumsi energi selama proses pengeringan jagung pipilan dengan dan tanpa menggunakan sistem kendali.. .................................................. 43
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3(a). Gambar 3(b). Gambar 4(a). Gambar 4(b). Gambar 5(a). Gambar 5(b). Gambar 6(a). Gambar 6(b). Gambar 7(a). Gambar 7(b). Gambar 8(a). Gambar 8(b). Gambar 9(a). Gambar 9(b). Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Gambar 30.
Jagung (Zea Mays L) .................................................................................. Kurva psikrometrik chart untuk pengeringan .............................................. Akurasi maksimal RH SHT10..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT10................................................................... Akurasi maksimal RH SHT11..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT11................................................................... Akurasi maksimal RH SHT15..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT15................................................................... Akurasi maksimal RH SHT21..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT21................................................................... Akurasi maksimal RH SHT25..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT25................................................................... Akurasi maksimal RH SHT71..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT71................................................................... Akurasi maksimal RH SHT75..................................................................... Akurasi maksimal suhu SHT75................................................................... Prosedur penelitian ...................................................................................... Desain alat pengering tipe tumpukan (batch) .............................................. Strategi pengendalian .................................................................................. Letak titik-titik pengukuran. ........................................................................ Alat pengering tipe Batch (tumpuk). ........................................................... Rangkaian pembacaan sensor, LCD dan catu daya. .................................... Rangkaian pengaturan putaran kipas (zero crossing). ................................. Modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2. ................ Modul mikrokontroler Petrafuzz ver 3.3. .................................................... Modul SHT11 ............................................................................................. Modul SHT75 ............................................................................................. Jalur penghubung antara SHT75 dengan port pada mikrokontroler………. Rangkaian LCD yang terhubung dengan port pada Mikrokontroler……… Trafo dan Catu daya ………………………………………………………. Blower……………………………..……………………………………… Rangkaian zero crossing………………………………………………… .. Rangkaian IC LM339……………………………………………………… Skema strategi pengendalian ....................................................................... Perubahan suhu lingkungan dan suhu pengering terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali …………........................ Grafik perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. ....................................... Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali ……………………………………….. ...............................
3 5 11 11 11 11 12 12 12 12 13 13 13 13 14 14 17 18 20 21 23 24 24 25 25 26 26 26 27 28 28 29 29 30 31 32 33
xii
Gambar 31. Gambar 32. Gambar 33. Gambar 34. Gambar 35. Gambar 36. Gambar 37. Gambar 38. Gambar 39. Gambar 40.
Hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali ……………………… ........................... Hubungan antara kadar air rata-rata lapisan terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali ………………………... ............. Fluktuasi suhu terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali …………………………………….. ................................... Perubahan suhu tumpukan terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali ……………………… ............................................... Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali ………………… ................................................................. Hubungan kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. .............................................................. Hubungan antara kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan putaran kipas selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. .............................. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali tahap I ………………………………………… ................. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali tahap II. ............................................................................... penurunan kadar air tanpa sistem kendali dan menggunakan sistem kendali selama proses pengeringan terhadap waktu ....................................
34 35 36 37 37 38 39 40 41 42
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Tabel kadar air selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali .............................................................................................. 49 Lampiran 2. Data suhu sampel selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali ......................................................................................................... 50 Lampiran 3. Data RH inlet dan outlet selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali .............................................................................................. 53 Lampiran 4. Data Daya, Tegangan, Arus dan Cos θ selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali ........................................................................ 56 Lampiran 5. Tabel pengukuran suhu, kelembaban dan kadar air kesetimbangan yang sensor selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali... 58 Lampiran 6. Tabel pengukuran kecepatan dan laju angin selama prose pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali ......................................................... 60 Lampiran 7. Tabel pengukuran suhu tumpukan selama proses pengeringan jagung Pipilan dengan sistem kendali. .................................................................... 62 Lampiran 8. Tabel pengukuran kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H) Selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali. ........... 64 Lampiran 9. Tabel penurunan kadar air basis basah dan basis kering selama Pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali..................................... 66 Lampiran 10. Tabel konsumsi energi listrik tahap 1 dan tahap 2 selama proses pengeringan jagungpipilan dengan sistem kendali. ................................... 67 Lampiran 11. Program pembacaan Sensor SHT11, SHT75, LCD dan strategi pengendalian ............................................................................................... 68 Lampiran 12. Program zero crossing dan penyalaan lampu untuk pengambilan data waktu penyalaan kipas. .............................................................................. 85 Lampiran 1.
xiv
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Jagung merupakan salah satu tanaman pangan terpenting. Selain sebagai bahan makanan, jagung juga digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahan baku tepung dan bahan baku industri. Oleh karena itu, pengembangan jagung sebagai komoditas perdagangan dan industri menyebabkan pentingnya aspek pra-penggolahan pada tahap pascapanen menuju pengolahan industry, salah satunya yaitu aspek pengeringan. Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Hal tersebut bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Pada pangeringan artificial kebutuhan energi termal untuk pengeringan sangat tinggi, kirakira 90% - 95% dari total kebutuhan energi (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Berdasarkan hal tersebut, pengeringan yang memanfaatkan udara lingkungan merupakan salah satu alternatif penghematan konsumsi energi termal untuk pengeringan. Indonesia merupakan negara tropis dimana kondisi udara lingkungan pada umumnya memiliki kelembaban relatif (RH) yang tinggi, akan tetapi pada siang hari suhu dapat lebih tinggi dari 30oC dengan kelembaban lebih rendah dari 70%. Udara dengan kondisi demikian cukup potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan biji-bijian, mengingat kadar air kesetimbangan jagung pada kondisi tersebut dapat mencapai kurang dari 14%. Akan tetapi, karena kondisinya berfluktuasi tidak semua udara berpotensi untuk digunakan sebagai media pengeringan. Selain itu pada pengeringan buatan dengan tipe tumpukan (batch), biji-bijian dikeringkan dengan cara ditumpuk dalam suatu wadah dengan pertimbangan kapasitas yang lebih besar dan kemudahan dalam pengoperasian. Pada kondisi tersebut menyebabkan terjadinya variasi kadar air antara lokasi. Widodo dan Hendriadi (2004) mengatakan pengeringan bahan pertanian dengan pengeringan tipe bak datar menghasilkan kadar air akhir yang kurang seragam pada lapisan bawah, tengah dan atas. Perbedaan kadar air pengeringan antara lapisan bawah dan atas sebesar 4-6% untuk pengeringan bak datar juga disebutkan oleh Thahir et al. (1993) dalam Thahir (2000). Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem kendali otomatis yang dapat mengendalikan pengaliran udara pada waktu yang tepat yaitu ketika suhu udara lingkungan relatif tinggi dan RH rendah (udara lingkungan yang potensial). Penelitian terdahulu oleh Hendarto (2008) mengenai studi implementasi sistem kendali on-off pada In Store Dryer (ISD) untuk komoditas jagung, pengeringan jagung pipilan dilakukan dengan menggunakan udara lingkungan yang potensial. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan sistem kendali on-off menunjukkan bahwa pengeringan jagung dari kadar air 18%-15%bk membutuhkan waktu 33 jam dan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 175 MJ atau 1.59 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan tanpa sistem kendali pengeringan dilakukan dalam waktu 68 jam dengan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 360 MJ atau 1.45 MJ/kg air yang diuapkan. Namun dalam penelitian tersebut pendugaan perhitungan kadar air bahan kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian tersebut hanya menggunakan sistem pengendali on-off dengan dua sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengering.
1
Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan sehingga proses pengeringan berlangsung lebih efektif dengan konsumsi energi selama proses pengeringan lebih rendah. Dengan mempertimbangkan beda kadar air pada lapisan atas dan bawah terhadap potensinya pada udara lingkungan, strategi pengendalian pada penelitian ini diprogram sedemikian rupa sehingga blower tidak selalu berputar maksimal selama proses pengeringan. Penelitian lanjutan yang dilakukan adalah pengeringan tipe tumpukan dengan penambahan sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan bawah, lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengeringan. Dengan adanya sistem kendali ini diharapkan proses pengeringan yang dilakukan lebih terkendali (efektif) dan konsumsi energi yang digunakan lebih rendah.
B. TUJUAN PENELITIAN 1.
2.
Merancang strategi pengendalian pada sistem pengering dengan udara lingkungan untuk jagung pipilan berbasis beda kadar air pada tumpukan dengan potensinya pada udara lingkungan. Merancang perangkat keras dan perangkat lunak sistem kendali untuk keperluan strategi pengendalian.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG (Zea Mays L) Jagung (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia misalnya di Madura dan Nusa Tenggara juga menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga berfungsi sebagai pakan ternak, bahan baku tepung, dan bahan baku industri. Adapun klasifikasi ilmiah tanaman jagung adalah sebagai berikut: Kingdom Division Sub division Classis Ordo Familia Genus Spesies
: Plantae (tumbuh-tumbuhan) : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) : Angiospermae (berbiji tertutup) : Monocotyledone (berkeping satu) : Gramincaea (rumput-rumputan) : Graminaceae : Zae : Zea Mays L.
Gambar 1. Jagung (Zea Mays L)
Dari tahun 2000, produksi jagung setiap tahunnya cenderung meningkat. Berdasarkan situs BPS (2010), peningkatan data produksi jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tabel 1 Data produksi jagung Luas panen (Ha) Produksi (ton) 3.500.318 9.676.899 3.285.866 9.347.192 3.126.833 9.654.105 3.358.511 10.886.442 3.356.914 11.225.243 3.625.987 12.523.894 3.345.805 11.609.463 3.630.324 13.287.527 4.001.724 16.317.252 4.160.659 17.629.748 4.143.246 18.364.430 Sumber : BPS (Tahun 2010)
Dalam industri pangan maupun pakan, jagung yang digunakan dalam bentuk yang telah dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air hingga mencapai kadar air kesetimbangan sehingga mencegah tumbuhnya mikriorganisme pembusuk. Kadar air jagung yang siap dipipil berada pada kisaran 30% - 17%. Sedangkan kadar air pada kisaran 17% - 12% sudah dapat dikonsumsi atau disimpan (Suwadi dan Suarni 2001).
3
Standar mutu yang digunakan sebagai acuan utama dalam pengeringan jagung adalah SNI 014438-1998. Tabel 2 merupakan persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 01-4438-1998. Tabel 2 Persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan berdasarkan SNI 01-4438-1998. No Komposisi Syarat Mutu Satuan 1 Kadar air (maksimum) 14 % 2 Kadar protein kasar (minimum) 7.5 % 3 Kadar serat kasar (maksimum) 3.0 % 4 Kadar abu (maksimum) 2.0 % 5 Kadar lemak (minimum) 3.0 % 6 Mikotoksin a. Aflaktosin (maksimum) 5.0 Ppb b. Okratoksin (maksimum) 5.0 Ppb 7 Butir pecah (maksimum) 5.0 % 8 Warna lain (maksimum) 5.0 % 9 Benda asing (maksimum) 2.0 %
B. PENGERINGAN B.1 Teori Pengeringan Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Proses pengeringan bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Umumnya media pengering yang digunakan adalah udara. Udara ini berfungsi antara lain untuk membawa panas masuk dalam sistem, untuk menguapkan, dan kemudian membawa uap air keluar dari sistem. Proses pengeluaran air di permukaan bahan dapat terjadi secara alamiah akibat adanya perbedaan tekanan uap antara bahan dan udara lingkungan di sekitar bahan. Meskipun proses pengeringan terjadi pada tekanan atmosfir, proses pengeringan ini dapat dipercepat dengan memodifikasi kondisi udara lingkungan yaitu dengan pencampuran udara kering dan uap air. Pengkondisian udara laingkungan ini dapat dilakukan dengan pemanasan (heating), pendinginan (cooling), pelembaban (humidifying), penghilangan kelembaban (dehumidifying), dan pencampuran udara berdasarkan karakteristik fisik yang ditunjukkan dalam diagram psikometri (Goswami, 1986). Menurut Henderson dan Perry (1976), proses pengeringan terdiri dari dua periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan massa air yang berasal dari permukaan bahan. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Proses ini akan terus berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Sedangkan pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai. Kadar air diantara kedua periode tersebut disebut dengan kadar air kritis. Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu.
4
Selama pengeringan berlangsung terjadi penurunan suhu bola kering disertai dengan kenaikan kelembaban mutlak (H), kelembaban relatif (RH), tekanan uap dan suhu pengembunan. Sedangkan suhu bola basah dan entalpi tetap. Ilustrasi aktivitas pengeringan dapat dilihat pada kurva psikrometrik chart pada Gambar 2.
Entalpi h2 (kJ/kguk)
3 Suhu pengembunan
1
2
RH
Kelembaban mutlak (kgair/kguk)
Volume spesifik (m3/kguk)
h1
Tud
Tp
Keterangan: (1) – (2) = Proses pemanasan udara (1) – (3) = Proses pengeringan Tud = Suhu udara Tp = Suhu pengeringan Gambar 2. Kurva psikrometrik chart untuk pengeringan Proses pengeringan dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara, suhu pengeringan dan RH pengeringan. Semakin cepat aliran udara pengering maka semakin cepat pula uap air terbawa sehingga tidak terjadi penjenuhan dipermukaan bahan. Suhu pengeringan juga sangat berpengaruh terhadap laju penguapan bahan dan lama pengeringan. Selain itu, suhu pengeringan harus disesuaikan dengan karakteristik bahan yang dikeringkan sebab suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas bahan yang dikeringkan. Selain kecepatan aliran dan suhu, RH udara pengering juga berpengaruh terhadap pemindahan uap air dari dalam bahan ke permukaan dan menentukan kemampuan permukaan bahan untuk menampung uap air. Besarnya kelembaban relatif (RH) berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat (Ramelan, 1996).
5
B.2 Metode Pengeringan Metode pengeringan merupakan suatu cara yang diterapkan/digunakan dalam proses pengeringan. Metode Pengeringan dapat dikategorikan dengan cara yang berbeda. Secara umum, metode pengeringan terdiri dari dua metode yaitu pengeringan manual/alami (natural drying) dan pengeringan buatan/mekanis (artificial drying) Pada pengeringan natural/alami panas pengeringan dipengaruhi oleh udara sekitar atau matahari. Pengeringan natural/alami ini bisa dilakukan dengan cara penjemuran. Pengeringan dengan sistem ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain tergantung pada cuaca, sulit dikontrol, memerlukan tempat penjemuran yang luas dan terbuka, mudah terkontaminasi dan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pengeringan artificial (pengeringan buatan) dilakukan dengan menggunakan panas tambahan. Keuntungannya antara lain yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas dan kondisi pengeringan dapat dikontrol (widodo dan hendriadi, 2004). Menurut brooker et al. (1982) metode pengeringan mekanis berdasarkan mode operasi dalam proses pengeringan pada umumnya terdiri dari dua yaitu: ¾ Pengeringan Kontinyu (Continuous Drying) Pengeringan kontinyu (continous drying) adalah pengeringan terus menerus, bahan yang dikeringkan bergerak melalui ruang pengering dan mengalami kontak dengan udara pemanas secara paralel atau berlawanan. Pada saat yang bersamaan, produk yang kering akan keluar pada bagian outlet prngering dan produk yang akan dikeringkan akan masuk melalui inlet alat pengering. Pada pengeringan ini, terjadi pemerataan kadar air produk yang dikeringkan. ¾ Pengeringan Tumpukan (Batch Drying) Pada Pengeringan tipe tumpukan (batch drying), bahan yang akan dikeringkan dalam keadaan diam. Bahan ditempatkan pada bak pengering dan udara dialiran pada bagian bawah tumpukan yang dihembuskan melewati biji/produk yang dikeringkan. Pengeringan tipe tumpukan memiliki sistem yang sederhana dan dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan setelah pengeringan selesai. Namun kekurangan pada pengeringan sistem ini akan terjadi variasi kadar air tumpukan biji-bijian mulai dari lapisan bawah (dimana udara pengering masuk) hingga lapisan paling atas (Brooker et.al, 1982) Berdasarkan pergerakan biji yang dikeringkan, secara umum metode pengering mekanis terdiri dari dua yaitu: ¾ Pengeringan Static Bed Pada pengeringan static bed, produk yang dikeringkan tidak mengalami pergerakan atau dalam keadaan diam. Pengeringan static bed atau yang biasa disebut pengeringan tipe tumpuk, contohnya pengeringan tipe bak. Adapun sistem pengeringan tipe bak yaitu udara pengering bergerak dari bawah ke atas melalui butir-butir produk yang ditumpuk dan melepaskan sebagian panasnya untuk menghasilkan penguapan. Pada pengeringan tipe ini, udara pengering semakin ke atas akan semakin turun suhunya. Penurunan suhu tersebut harus diatur sedemikian rupa agar pada saat mencapai lapisan atas masih terdapat energi panas sehingga penguapan dapat berlangsung terus dengan cara mengatur tebal tumpukan. Pada pengeringan tipe bak, terjadi variasi kadar air tumpukan biji-bijian mulai dari lapisan bawah (dimana udara pengering masuk) hingga lapisan paling atas (Brooker et.al, 1982).
6
¾
Pengeringan Resirkulasi Pengeringan resirkulasi merupakan pengeringan yang menggunakan prinsip sirkulasi dimana pengeringan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pada proses pengeringan yang bertujuan untuk penyeragaman kadar air pada produk yang dikeringkan dan dapat mempercepat efektifitas dan efisiensi pengeringan. Contoh pengeringan resirkulasi adalah: 1. Pengeringan Tipe “Cross-Flow” Sistem pengeringan “cross-flow” dikategorikan dengan arah reltif dari biji-bijian dan perpindahan udara melalui pengering. Pada pegeringan ini udara pengering mengalir melalui pengering secara horizontal, tegak lurus dengan arah aliran biji-bijian yang jatuh bebas. 2. Pengeringan Tipe “Mix-Flow” Pengeringan tipe “mix-flow” merupakan model pengeringan yang berdasarkan aliran udara yang digunakan dengan aliran produk yang akan dikeringkan. Pengeringan model ini diperkenalkan berdasarkan dua dimensi dasar yaitu berdasarkan aliran udara dan jagung disekitar inlet dan outlet saluran aliran. Pada pengeringan ini, digunakan menggunakan beberapa blok untuk pengaliran udara yang searah, berlawanan dan tegak lurus dengan aliran biji/produk. 3. Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan meliputi wadah pengering yang terdiri dari dua buah drum silindris berpori sehingga memiliki dua ruangan yaitu bagian dalam dan bagian luar. Produk yang akan dikeringkan akan diletakkan pada rauangan bagian luar yaitu berada diantara dua dinding drum. Ruang drum bagian dalam dihubungkan dengan kipas sentrifugal menggunakan ducting yang berfungsi untuk memasukkan udara pengering. Di dalam ducting dipasang elemen pemanas yang berfungsi untuk memanaskan udara yang masuk. Prinsip kerja dari pengeringan tipe rotari tumpukan ini adalah udara yang telah dipanaskan dialirkan melalui ducting ke tumpukan jagung pipilan dalam drum silindris sedemikian rupa sehingga aliran udara mengalir ke radial ketika melalui tumpukan. Drum silindris tersebut dapat diputar untuk menciptakan efek pengadukan biji dengan menggunakan motor listrik melali gear box yang memutar poros dari silinder . Berdasarkan sumber energi yang digunakan, metode pengeringan mekanis yang umum digunakan adalah sebagai berikut: ¾ Pengeringan dengan Energi Surya 1. Pengeringan Rumah Kaca (Greenhouse) Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering. Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses inilah yang dinamakan efek rumah kaca. (Kamaruddin et al., 1996). 2. Pengeringan Iradiasi Surya (Solar Drying) Solar drying merupakan modifikasi dari sun drying yang menggunakan kolektor sinar matahari yang didesain khusus dengan ventilasi untuk keluarnya uap air. Energi matahari
7
3.
4.
dikumpulkan menggunakan pengumpul energi yang berupa piringan tipis (flat plate) yang biasanya terbuat dari plastik transparan. Solar drying disebut juga iradiasi surya. Suhu pada pengeringan jenis ini umumnya 20 sampai 30°C lebih tinggi dari pada di tempat terbuka (open sun drying) dengan waktu pengeringan yang lebih singkat. Sistem solar drying juga digunakan pada pengeringan bijian, selain menggunakan sistem batch drying dan continous flow drying. Pengering dengan Sumber Energi Konvesional Pada pengering buatan udara yang mengitari produk dibuat dengan menggunakkan kipas atau blower. Panas diperlukan untuk menaikkan suhu udara pengering. Penambahan panas pada udara pengering bertujuan untuk menaikan kapasitas udara yang membawa uap dan untuk memanaskan produk menjadi lebih tinggi (Hall, 1963 dalam Sulikah 2007). Panas yang digunakan pada proses pengeringan buatan berasal dari berbagai sumber energi panas yang ada, tergantung dari ketersediaan sumber energi yang ada disekitar proses pengeringan yang sedang berlangsung. Kebanyakan sumber energi yang digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Pengeringan Dengan Menggunakan Udara Lingkungan Selain menggunakan matahari, pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan udara lingkungan. Pengeringan dengan sistem ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemanasan udara (menggunakan heater) sehingga udara yang masuk akan dipanaskan terlebih dahulu lalu di hembuskan pada produk. Selain dengan pemberian panas tambahan. pada prinsipnya pengendalian suhu pada pengering dapat melalui pengaturan aliran udara. Saat jumlah udara per satuan waktu dari luar sistem (lingkungan) yang masuk ditingkatkan, suhu dalam sistem pengering akan menurun. Sebaliknya ketika jumlah aliran udara yang masuk dikurangi maka suhu udara di dalam ruang akan meningkat. Disamping itu, debit udara pada pengeringan tumpukan juga memberikan perbedaan penurunan kadar air.
Pada penelitian ini, pengeringan yang akan digunakan adalah pengeringan jagung pipilan tipe tumpukan yang memanfaatkan udara lingkungan yang potensial yaitu saat suhu tinggi dan kelembaban rendah untuk media pengering. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan energi termal yang sangat tinggi untuk pengeringan. Namun karena kondisi lingkungan yang berfluktuasi sehingga tidak semua udara berpotensi untuk media pengeringan maka diperlukan suatu sistem kendali yang dapat mengontrol kondisi udara yang potensial tersebut.
B.3 Sistem Pengeringan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan yang Potensial dengan Sistem Kontrol Penggunaan kontrol otomatis untuk mengatur laju aliran udara telah memberikan penghematan energi yang cukup signifikan pada saat pengeringan. Pada saat kadar air masih lebih tinggi dari kadar air keseimbangan, aliran udara dijalankan, sedangkan ketika lebih rendah aliran udara dihentikan. Namun pengendalian harus diatur sedemikian rupa, sehingga penghematan energi dan keseragaman kadar air tetap terjaga. Jika pengeringan dilakukan menggunakan kipas yang tidak dapat dikendalikan, kerugian energi untuk pengaliran udara akan dialami. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian laju aliran udara mengunakan kontrol otomatis, agar hal tersebut dapat diminimalkan. Penelitian mengenai pengeringan dengan menggunakan sistem kontrol telah banyak dilakukan sebelumnya. Hendarto (2008) melakukan pengeringan jagung pipilan pada In-Store
8
Drying (ISD) dengan teknik kontrol on-off pada blower udara penghembus udara keluar bin. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan sistem kendali on-off menunjukkan bahwa pengeringan jagung dari kadar air 18%15%bk membutuhkan waktu 33 jam dan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 175 MJ atau 1.59 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan tanpa sistem kendali pengeringan dilakukan dalam waktu 68 jam dengan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 360 MJ atau 1.45 MJ/kg air yang diuapkan. Namun dalam penelitian tersebut pendugaan perhitungan kadar air bahan kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian tersebut hanya menggunakan sistem pengendali on-off dengan dua sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengering.
C. KADAR AIR Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan basis basah (wet basis) atau berdasarkan basis kering (dry basis). Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air basis kering dapat lebih dari 100 persen. ( Syarif dan Halid, 1993). Perubahan kadar air bahan selama proses pengeringan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
M
W W
100% ………………………………………………………………………
(1)
x 100%..................................................................................................................
(2)
Keterangan: m = Kadar air basis basah (%b.b) M = Kadar air basis kering (%b.k) Wm = Massa air (kg) Wd = Massa bahan kering (kg) Persamaan Konversi nilai kadar air basis basah menjadi nilai kadar air basis kering adalah sebagai berikut: ………………………………………………………………............................
(3)
Kadar Air Kesetimbangan Menurut somantri (2003), kadar air kesetimbangan atau Equilibrium of moisture content (EMC) merupakan konsep penting dari teori pengeringan dan pembasahan pada bahan-bahan pangan. Kadar air keseimbangan didefenisikan sebagai kandungan air udara sekitarnya. Kadar kesetimbangan menentukan tingkat kadar air bahan pangan terendah yang dapat dicapai dalam
9
proses pengeringan pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi udara pengering tertentu. Kadar air kesetimbangan didefinisikan sebagai kadar air suatu bahan setelah bahan itu diletakkan disuatu lingkungan udara tertentu dalam waktu yang tidak terhingga lamanya. Kadar air kesetimbangan tergantung terhadap suhu dan kelembaban udara lingkungan serta jenis bahan itu sendiri. Hal tersebut merupakan suatu faktor yang menentukan sampai seberapa jauh suatu bahan dapat dikeringkan pada kondisi lingkungan tertentu (aktivitas air tertentu) dan dapat digunakan sebagai tolak ukur pencegahan kemampuan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau pembusukan bahan pada saat penyimpanan. Menurut Hall (1957) didalam Hendarto (2008), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar air keseimbangan adalah kecepatan udara pengering, suhu udara , kelembaban relatif udara, dan kematangan bahan. Kadar air keseimbangan dibedakan menjadi dua yaitu kadar air keseimbangan dinamis dan kadar air keseimbangan statis. Kadar air keseimbangan statis didapat dari sistem dengan bahan dan udara pengering dalam keadaan diam. Sedangkan, kadar air keseimbangan dinamis diperoleh dari sistem dengan bahan dan atau udara pengering dalam keadaan bergerak. Untuk menentukan nilai kadar air keseimbangan digunakan persamaan EMC Henderson (Thompson, 1967) dalam Brooker et al. (1992) di dalam Hendarto (2008).
………………………………………………………………………
(4)
Keterangan: Me = Kadar air keseimbangan (%d.b.) Pv/Pvs = Kelembaban udara (%) T = Suhu udara (oC) Untuk jagung pipilan: K = 8.6541 x 10-5 C = 49.810 N = 1.8634
D. LAJU PENGERINGAN Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu. Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dinyatakan dengan ∆
∆
………………………………………………………………………….
(5)
Keterangan: dW/dt = laju pengeringan (%b.k/jam) wt = kadar air pada waktu t (%b.k) wt+Δt = kadar air pada waktu t + Δt (%b.k) Δt = selang waktu (jam)
10
E. SENSOR SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF SHT10 SHT10 merupakan sebuah chip/sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban relatif dengan biaya yang terjangkau (lebih rendah dari harga sensor SHT yang lainnya). Adapun spesifikasi SHT10 adalah sebagai berikut: ¾ Konsumsi energi : 80uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Output : digital ¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 3(a). Akurasi maksimal RH SHT10
Gambar 3(b). Akurasi maksimal suhu SHT10
SHT11 SHT11 merupakan sensor suhu dan kelembaban relatif . Sensor ini dapat digunakan sebagai alat pengindra suhu dan kelembaban dalam aplikasi pengendali suhu dan kelembaban ruangan maupun aplikasi pemantau suhu dan kelembaban relatif ruangan. Adapun spesifikasi SHT11 adalah sebagai berikut: ¾ Konsumsi energi : 80uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Output : digital dan telah terkalibrasi ¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 4(a). Akurasi maksimal RH SHT11
Gambar 4(b). Akurasi maksimal suhu SHT11
11
SHT15 SHT15 adalah sebuah chip/sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban relatif khusus untuk memperoleh kualitas pengukuran yang baik dan presisi. Sensor ini telah teruji kualitas dan keakurasiannya. Adapun spesifikasi SHT15 adalah sebagai berikut: Konsumsi energi : 80uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Output : digital ¾
Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 5(a). Akurasi maksimal RH SHT15
Gambar 5(b). Akurasi maksimal suhu SHT15
SHT21 SHT21 merupakan salah stu sensor untuk mengukur suhu dan kelembaban relatif. Adapun spesifikasi SHT21 adalah sebagai berikut: ¾ Output : I2C digital ¾ Konsumsi energi : 3.2uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 6(a). Akurasi maksimal RH SHT21
Gambar 6(b). Akurasi maksimal suhu SHT21
12
SHT25 SHT25 adalah sensor suhu dan kelembaban model terbaru yang diproduksi sensirion. Adapun spesifikasi SHT25 adalah sebagai berikut: ¾ Output : I2C digital ¾ Konsumsi energi : 3.2uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Akurasi maksimal batas untuk RH dan suhu:
Gambar 7(a). Akurasi maksimal RH SHT25
Gambar 7(b). Akurasi maksimal suhu SHT25
SHT71 SHT71 adalah sensor suhu dan kelembaban yang menggabungkan akurasi yang layak dengan harga yang kompetitif. Kalibrasi internal memungkinkan untuk penggantian sederhana dan sepenuhnya telah terkalibrasi dan menyediakan output digital. Adapun spesifikasi SHT71 adalah sebagai berikut: ¾ Konsumsi energi : 80uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Output : digital ¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 8(a). Akurasi maksimal RH SHT71
Gambar 8(b). Akurasi maksimal suhu SHT71
13
SHT75
SHT75 adalah sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban dengan kualitas yang baik dan presisi. SHT75 sepenuhnya telah terkalibrasi dan menyediakan output digital. Adapun spesifikasi SHT75 adalah sebagai berikut: ¾ Konsumsi energi : 80uW ¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH ¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F) ¾ Output : digital dan telah terkalirasi ¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:
Gambar 9(a). Akurasi maksimal RH SHT75
Gambar 9(b). Akurasi maksimal suhu SHT75
Tabel 3. Jenis-jenis sensor suhu dan kelembaban dengan tingkat keakurasiannya. Sensor Suhu dan Kelembaban
Max, RH Tolerance
MAX, T Tolerance
Sensor Output
SHT10 SHT11 SHT15 SHT21 SHT25 SHT71 SHT75
±4.5%RH ±3%RH ±2%RH ±3%RH ±2%RH ±3%RH ±1.8%RH
±0.5OC ±0.4 OC ±0.3 OC ±0.4 OC ±0.3 OC ±0.4 OC ±0.3 OC
Digital Digital Digital I 2C I 2C Digital Digital
Pada penelitian ini, sensor yang akan digunakan adalah sensor SHT11 dan SHT 75 karena memiliki tingkat keakurasian yang tinggi.
F. KONVERSI NILAI OUTPUT SHT11 DAN SHT75 Untuk mengetahui nilai RH maka nilai output sensor harus dikonversi terlebih dahulu dengan menggunakan persamaan berikut: RH liniear = C1 + C2 SORH + C3 SORH2 …………………………………………………….
(6)
14
Keterangan: = -4 C1 C2 = 0.0405 C3 = -2.8 x 10-6 SORH = Keluaran sensor untuk RH (dalam desimal) Dalam pengkonversian nilai output sensor ke nilai RH diperlukan koefisien konversi yang terdiri atas C1, C2, dan C3, Sedangkan SORH yang digunakan adalah 12 bit seperti terdapat pada Tabel 3 dibawah. Tabel 4. Nilai koefisien konversi RH, (Sensirion. Crop. 2008) SORH
C1
C2
C3
12 bit 8 bit
-4 -4
0.0405 0.648
-2.8 * 10-6 -7.2 * 10-4
Untuk mengkonversi nilai suhu hasil keluaran dari pembacaan sensor SHT11 dan SHT75 digunakan persamaan sebagai berikut: Suhu = d1 + d2SOT …………………………………………………………………………. Keterangan: d1 = -40oC d2 = 0.01 oC SOT = Keluaran sensor untuk suhu (dalam desimal)
(7)
Untuk mengubah nilai output sensor ke nilai suhu digunakan koefisien konversi yang terdiri atas d1 dan d2. Nilai dari koefisien konversi d1 dan d2 dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai SOT yang digunakan adalah 12 bit dengan tegangan catu sebesar 5Volt seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Koefisien konversi suhu berdasarkan SOT, (Sensirion. Crop. 2008) SOT
d1(oC)
d2 (oF)
14 bit 12 bit
0.01 0.04
0.018 0.072
Tabel 6. Koefisien konversi temperature berdasarkan VDD, (Sensirion. Crop. 2008) VDD
d1(oC)
d2(oF)
5V 4V 3.5V 3V 2.5V
-40.00 -39.75 -39.66 -39.60 -39.66
-40.00 -39.50 -39.35 -39.28 -39.35
15
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Lab. TET, Lab. Egrotronika dan Lab. Surya Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan April 2011 sampai dengan Oktober 2011.
B. ALAT DAN BAHAN ALAT Adapun peralatan yang digunakan dalam pengeringan jagung pipilan tipe tumpukan ini adalah sebagai berikut: ¾ Satu unik alat pengering tipe Deep Bed Dyer (diameter x tinggi = 19.5 cm x 100cm) ¾ Blower 1 phase dengan daya 90Watt dan laju udara 410m3/jam ¾ Satu unik rangkaian sistem kendali strategi pengendalian kipas ¾ Hybrid Rekorder Yokogawa ¾ Termokopel tipe CC (Copper Costanta) ¾ Digital Grain Moisture Meter model TD-3 ¾ Timbangan digital EK-1200 A ¾ Watt Meter DW-6091 ¾ Anemometer Kanomax tipe 6011
BAHAN Bahan yang digunakan dalam penelitian mengenai pengeringan jagung pipilan ini adalah jagung pipilan varietas hybrida dengan kadar air rata-rata 23%b.b dengan beban sebanyak ± 22.5kg yang diperoleh dari BALITRO dan kelompok tani di desa iwul kecamatan parung, Bogor.
C. PROSEDUR PENELITIAN Prosedur penelitian yang akan dilakukan meliputi perancangan, pembuatan dan pengujian alat pengering, merancang perangkat keras dan perangkat lunak sistem kendali, perancangan strategi pengendalian, pengujian sistem kendali pada alat pengering dan pengambilan data pengeringan jagung pipilan. Gambar 10 dibawah menunjukkan prosedur penelitian yang dilakukan.
16
Mulai
Pengujian alat pengering
Merancang alat pengering jagung pipilan
T
Merancang perangkat keras kendali Suhu dan kelembaban relatif (RH)
Bekerja dengan baik?
Merancang perangkat lunak sistem kendali
Y Pengambilan data pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali
Pengujian sistem kendali pada alat pengering
T
Bekerja dengan baik? Y Pengambilan data pengeringan jagung pipilan menggunakan sistem kendali
Selesai Gambar 10. Prosedur Penelitian
D. DESAIN ALAT PENGERING Pada penelitian ini alat pengering yang digunakan adalah pengering tipe tumpukan yang berbentuk silinder dengan kapasitas penampungan sebesar ± 22.5 kg jagung pipilan. Adapun bagian – bagian dari alat pengering tipe tumpukan ini adalah sebagai berikut: ¾ Bak penampung Bak penampung berfungsi untuk menampung jagung yang akan dikeringkan. Bak penampung yang akan didesain mengunakan pipa paralon yang berbentuk silinder dengan diameter x tinggi yaitu 19.5cm x 100cm dan ketebalan dinding 4mm. Bagian bawah bak penampung dipasang kawat kasa sebagai dasar bak penampung dengan kerengangan kasa lebih kecil dibandingkan dengan biji jagung sehinga jagung tidak jatuh. Dinding bak penampung diinsulasi dengan glasswool sebagai insolator agar tidak terjadi pemanasan oleh radiasi matahari sehingga dapat mempengaruhi kondisi suhu di dalam dalam bak penampung saat proses pengeringan berlangsung. Pada dinding bak penampung ini dibuat lima lubang dengan jarak 18 cm antar lubang dan berfungsi sebagai lubang pengukuran suhu dengan diameter 4 mm dan tiga lubang yang berfungsi sebagai lubang pengambilan sampel kadar air
17
¾
¾
yang terletak pada bagian bawah, tengah dan atas dinding dengan diameter ± 1 cm seperti terlihat pada Gambar 11. Penyangga/Dudukan Penyangga/Dudukan berfungsi sebagai penyangga/dudukan alat pengering sehingga alat pengering dapat berdiri kokoh. Penyangga/dudukan ini akan didesain menggunakan tiga kaki yang terbuat dari besi tulangan dengan diameter 1.5cm dengan tinggi 70cm. Blower Blower berfungsi untuk mengambil udara dari lingkungan yang kemudian mengalirkan udara tersebut ke tumpukan jagung pipilan yang akan dikeringkan. Spesifikasi blower yang digunakan adalah sebagai berikut: Blower = 1 phase Daya = 90 Watt 3 laju udara = 410 m /jam Tegagan =220Volt RPM = 2800 0.2m
Karton (0.5m)
Lubang pengukuran suhu
Lubang pengambilan sampel Kadar air
Bak penampung (1m) Insulasi (glasswool) Penyambung pipa paralon
Gambar 11. Desain alat pengering tipe tumpukan (batch)
E. DESAIN SISTEM KENDALI Sistem kendali yang akan didisain berfungsi sebagai pengontrolan putaran kipas selama proses pengeringan berdasarkan kondisi suhu dan RH yang dideteksi sensor. Adapun bagianbagian dari sistem kendali adalah sebagai berikut: ¾ Mikrokontroler DT51 Petrafuz ver.3.3 Program yang digunakan untuk sistem pengendalian akan di input ke dalam mikrokontroler DT51 Petrafuz. Selain itu, mikrokontroler ini akan mengolah nilai suhu dan RH yang dideteksi sensor menjadi nilai suhu dan RH yang sebenarnya dengan menggunakan persamaan (6) dan (7) serta mengolah nilai suhu dan RH tersebut menjadi nilai kadar air kesetimbangan (Me).
18
¾
¾
¾
¾
¾
Rangkaian LCD Nilai suhu dan RH sebenarnya yang telah diolah dalam mikrokontroler akan ditampilkan dalam LCD untuk proses pengambilan data nilai suhu dan RH yang dideteksi sensor selama proses pengeringan. Rangkaian LCD terhubung dengan mikrokontroler DT51 Petrafuz ver. 3.3 pada port LCD. Rangkaian Catu daya dan Power supplay Catu daya yang akan digunakan adalaha trafo CT 2A yang kemudian dihubungkan pada rangkaian power supplay untuk mensupplay tegangan yang dibutuhkan untuk rangkaian lain. Rangkaian pengaturan kecepatan putar kipas (zero crossing). Rangkaian pengaturan kecepatan putar kipas AC terdiri dari IC LM339, BTA41, IC MOC 3021 yang berfungi untuk medeteksi zero crossing (kondisi dimana terjadi perubahan dari ‘1’ ke ‘0’ atau sebaliknya pada gelombang pulsa), pembangkit gelombang segiempat dan waktu delay. Mikrokontroler DT-51 Low cost micro sistem ver. 2.2 Mikrokontroler ini bertugas untuk mendeteksi terjadinya zero crossing dimana tegangannya ditahan dengan nilai ‘0’ atau ‘1’ selama waktu tertentu tergantung keluaran yang diinginkan. Sensor Pada sistem kendali untuk pengeringan jagung pipilan ini, digunakan dua sensor yang memiliki keakurasian yang tinggi dalam pembacaan suhu dan kelembaban yaitu Sensor SHT11 dan SHT75.
F. STRATEGI PENGENDALIAN Strategi pengendalian pada proses pengeringan jagung pipilan dengan tipe tumpukan dilakukan dengan cara mengatur tingkat kecepatan putar kipas berdasarkan perbandingan nilai Me lingkungan dengan Me di dalam tumpukan pada lapisan bawah dan diatas tumpukan paling atas. Terdapat tujuh tingkatan kecepatan putar kipas yaitu kecepatan maksimal, kecepatan tingkat 1, kecepatan tingkat 2, kecepatan tingkat 3, kecepatan tingkat 4, kecepatan tingkat 5 dan tidak berputar (mati). Jika Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan bawah maka kipas akan berputar maksimal, sebaliknya jika Me lingkungan > Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas tidak akan berputar. Sedangkan jika Me tumpukan jagung lapisan bawah < Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas akan berputar pada tingkat kecepatan 1 sampai kecepatan 5 sesuai dengan hasil perbandingan dari ketiga Me tersebut (terlihat pada Gambar 12). Nilai kadar air keseimbangan diperoleh dari persamaan (4) dimana nilai suhu dan kelembaban relatif yang digunakan diperoleh dari pembacaan oleh sensor SHT11 dan SHT75. Penulisan program sistem kendali disusun dalam bahasa C yang terdiri dari tiga modul (subprogram). Modul pertama adalah modul akuisisi data, dimana modul ini digunakan untuk penulisan dan pembacaan sensor SHT11 dan SHT75. Modul kedua adalah modul yang digunakan untuk menghitung Me berdasarkan persamaan (4) dan penentuan lebar pulsa sebagai tingkat kecepatan putar kipas. Sedangkan modul yang ketiga adalah modul yang digunakan untuk sistem pengendalian kipas berdasarkan lebar pulsa yang telah ditentukan pada modul kedua. Secara umum modul pertama dan kedua disebut bagian akuisisi data sedangkan modul ketiga disebut bagian pengendalian.
19
Mulai TLingk,RHLingk,TAtas,RHAtas TBawah,RHBawah Hitung MAmbien,MBawah,MAtas Y
Kipas Off
Mambien>Matas T
Y
Kipas On (max)
Mambien<Mbawah T
0.8
M
M
M
M
Y
1
Kipas On (V5)
T
0.6
M
M
M
M
Y
0.8
Kipas On (V4)
T
0.4
M
M
M
M
Y
0.6
Kipas On (V3)
T
0.2
M
M
M
M
Y
0.4
Kipas On (V2)
T
0
M
M
M
M
Y
0.2
T
Y
Kadar air ≤ 14%
Kipas On (V1)
Kipas Off
T
Sistem pengendalian diteruskan
Y
T
Selesai Gambar 12. Strategi pengendalian
20
G. METODE PENGAMBILAN DATA Pada penelitian ini, jagung pipilan yang ingin dikeringkan dicurah ke dalam bak pengering (diameter x tinggi yaitu 19.5 cm x 100 cm) dengan beban ±22.5kg. Adapun data yang diukur selama proses pengeringan meliputi: 1. Suhu Udara Titik pengukuran suhu udara meliputi suhu lingkungan dan suhu tumpukan jagung pipilan seperti terlihat pada Gambar 13. Pengukuran suhu udara dilakukan dengan termokopel tipe CC setiap 30 menit. 2. Kelembaban Relatif (RH) Udara Pada penelitian ini terdapat dua titik pengukuran RH yaitu RH lingkungan dan RH tumpukan jagung paling atas seperti terlihat pada Gambar 13. Pengukuran RH dilakukan dengan menggunakan termokopel bola basah dan termokopel bola kering tipe CC setiap 30 menit. 3. Daya, Tegangan dan Arus Listrik Pengukuran daya, tegangan dan arus yang digunakan untuk memutar kipas selama proses pengeringan diukur dengan menggunakan Watt meter. Waktu pengukuran daya, tegangan dan arus dilakukan setiap 30menit hingga pengeringan selesai. 4. Kecepatan aliran udara Terdapat dua titik pengukuran kecepatan aliran udara yaitu pada aliran udara masuk (inlet) dan pada aliran udara setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas seperti terlihat pada Gambar 13. Adapun pengukuran kecepatan aliran udara tersebut dilakukan dengan menggunakan anemometer setiap 30menit. 5. Kadar air bahan Terdapat tiga titik pengukuran kadar air bahan yaitu bagian bawah, tengah dan atas (Gambar 13). Pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan menggunakan Grain Moisture Meter dengan interval waktu 1.5 jam hingga kadar air akhir mencapai 12-14%b.b.
Titik pengukuran termokopel bola basah dan bola kering Titik pengukuran suhu tumpukan Titik pengukuran SHT11 Titik pengukuran SHT75
Titik pengukuran kecepatan angin setelah melewati tumpukan (outlet) Titik pengukuran SHT75 Titik pengambilan sample kadar air Titik pengukuran kecepatan angin yang masuk (intlet) Udara masuk Titik pengukuran termokopel bola basah dan bola kering
Gambar 13. Letak titik-titik pengukuran data
21
H. PENGOLAHAN DATA 1.
Kadar Air Jagung Kadar air jagung selama proses pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan (1) dan (2).
2.
Kadar air keseimbangan Nilai kadar air keseimbangan dihitung dengan menggunakan persamaan (4)
3.
Kelembaban Mutlak .
…………………………………………………………………………
(8)
keterangan: H = Kelembaban mutlak (g uap/ kg u.k) Pv = Tekanan uap Patm = Tekanan atmosfir 4.
Laju pengeringan Laju pengeringan dapat dihitung menggunakan persamaan (5)
5.
Energi listrik Q=Pxt Keterangan : Q P t
6.
= Energi listrik untuk mengerakan kipas (mJ) = Daya listrik (Watt) = Waktu pengeringan
Konsumsi energi spesifik KES =
………………………………………………………………………….
(9)
Keterangan : KES = Konsumsi energi spesifik (kJ/kg uap air) Q = Energi listrik untuk menggerakan kipas (Watt) muap = Massa air jagung yang menguap (kg)
22
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ALAT PENGERING JAGUNG PIPILAN Penelitian mengenai pegeringan jagung pipilan telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan berbagai alat pengering. Pada penelitian ini, alat pengering yang digunakan adalah pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) dimana udara lingkungan digunakan sebagai media pengering. Gambar 14 merupakan alat pengering jagung pipilan yang telah didisain.
Lubang pengukuran kecepatan udara keluar Tabung penampung
Lubang pengambilan sampel kadar air
Penghubung antara bak penampung dengan kipas
Alat kontrol kipas dan pembacaan sensor
Lubang pengukuran kecepatan udara masuk
Penyangga/ dudukan Kipas
Lubang inlet
Gambar 14. Alat pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) Adapun bagian-bagian dari alat pengering tipe tumpukan ini terdiri dari: a) Bak penampung Bak penampung yang telah dirancang terbuat dari pipa paralon dengan diameter 19.5 cm dengan tinggi 100 cm dan kapasitas 22.5 kg. Bagian dasar tabung di tutup/tempel dengan mengunakan kasa yang kerengangannya lebih kecil daripada biji jagung pipilan yang akan dikeringkan. Dinding luar bak penampung diinsulasi menggunakan glasswool dan kemudian ditutup dengan menggunakan alumunium foil sehingga panas dari luar tidak mempengaruhi panas di dalam bak penampung. Pada dinding bak penampung terdapat tiga lubang pengambilan sampel kadar air yaitu bagian bawah, tengah dan atas dengan diameter 1cm dengan jarak antar lubang 36 cm dan lima lubang pengukuran suhu dengan diameter 4 mm dengan jarak antar lubang adalah 18 cm. b) Blower Blower berfungsi sebagai penghisap (pengambil) udara lingkungan dan kemudian menghembuskan/mengalirkan udara tersebut ke tumpukan jagung. Untuk meyalurkan udara lingkungan tersebut ke bak penampung (tumpukan jagung) digunakan penyambung pipa
23
paralon berdiameter 10.16 cm ke 20.32 cm sebagai penghubung antara kipas dan bak penampung. Adapun spesifikasi blower yang digunakan adalah sebagai berikut: ¾ Blower = 1 phase ¾ laju udara = 410 m3/jam ¾ RPM = 2800 ¾ Daya = 90 Watt ¾ Tegagan = 220Volt c) Penyangga/Dudukan Penyangga/ dudukan pada alat pengeringan ini terbuat dari besi beton tulangan dengan diameter 1.5 cm. Penyangga terdiri dari tiga buah kaki dengan tinggi 70 cm seperti terlihat pada Gambar 14. d) Lubang Pengukuran kecepatan angin Pada alat pengering jagung pipilan ini terdapat dua lubang pengukuran kecepatan angin yaitu pada lubang inlet (masuknya udara) dan pada outlet (lubang tumpukan jagung paling atas/ setelah melewati tumpukan paling atas) yang dirancang dengan menggunakan karton seperti terlihat pada Gambar 14.
B. SISTEM KENDALI B.1 Perangkat Keras Sistem Kendali (Hardware) Sistem kendali untuk strategi pengendalian didisain meliputi rangkaian catu daya, rangkaian pengaturan kecepatan putar blower (zero crossing), rangkaian pembacaan sensor SHT11, SHT75 dan rangkaian LCD. Sistem kendali di desain pada dua buah papan akrilik. Untuk rangkaian catu daya, rangkaian LCD dan rangkaian pembacaan sensor di desain pada papan akrilik yang berukuran 50 cm x 50 cm dengan menggunakan 2 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya untuk rangkaian-rangkaian tersebut. Sedangkan untuk rangkaian zero crossing yang terdiri dari mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2, IC LM 339, IC MOC 3021 dan BTA 41 di desain pada papan akrilik berukuran 18 cm x 20 cm dengan menggunakan 1 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya. Gambar 15 merupakan rangkaian sistem kendali untuk pembacaan sensor. LCD, catu daya dan Gambar 16 merupakan rangkaian zero crossing.
Gambar 15. Rangkaian pembacaan sensor, LCD dan catu daya
Gambar 16. Rangkaian pengaturan putaran blower (zero crossing)
24
Sistem kendali ini menggunakan dua buah mikrokontroler yaitu mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 dan mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2. Mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 bertugas untuk mendeteksi nilai suhu dan kelembaban sensor SHT11 dan SHT75, mengkonversi nilai output suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor menjadi nilai suhu dan kelembaban yang sebenarnya dengan persamaan (6) dan (7), menampilkan nilai tersebut pada LCD, serta bertugas menggolah data suhu dan RH yang dideteksi sensor menjadi nilai kadar air kesetimbangan (Me) dengan menggunakan persamaan EMC Henderson. Nilai Me inilah yang digunakan sebagai acuan strategi pengendalian (untuk pengaturan lebar pulsa (tegangan) atau tingkat kecepatan kipas). Sedangkan mikrokontroler DT-51 low cost micro system ver. 2.2 bertugas untuk menerima nilai tegangan (sinyal biner ‘0’ atau ‘1’) yang dikirim oleh mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3. Gambar 17 merupakan modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2 dan Gambar 18 merupakan mikrokontroler DT51 Petrafuzz ver 3.3.
Gambar 17. Modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2
Gambar 18. Modul mikrokontroler Petrafuzz ver 3.3
B.2 Modul SHT11 dan SHT75 Sensor yang digunakan pada penelitian ini ada 3 buah modul sensor yaitu satu modul sensor SHT11 dan dua modul sensor SHT 75. Modul sensor SHT11 (Gambar 19) memiliki 8 buah pin, tetapi hanya 4 pin yang digunakan yaitu pin 1 yang berfungsi sebagai jalur Data, pin 3 berfungsi sebagai jalur SCK, pin 4 berfungsi sebagai jalur Ground, pin 8 berfungsi sebagai jalur +5VDC. Keempat pin tersebut dihubungkan ke rangkaian catu daya dengan trafo CT 2A untuk pengaktifan sensor. Sedangkan modul SHT75 (Gambar 20) memiliki 4 pin yaitu pin1 berfungsi sebagai jalur SCK, pin 2 berfungsi sebagai jalur +5VDC, pin 3 berfungsi sebagai jalur Ground, sedangkan pin 4 berfungsi sebagai jalur Data. Pin SCK digunakan untuk Serial Clock Input yang diberi tegangan +5VDC yang dihubungkan secara seri dengan resistor 10 kΩ. Pin 1 dari kedua modul SHT75 dihubungkan ke port 1 pin 4 dan port 1 pin 6 sedangkan pin 4 pada kedua modul dihubungkan ke port 1 pin 5 dan port 1 pin 7 pada DT51 petrafuzz ver 3.3. Gambar 21 akan memperlihatkan jalur penghubung antara mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 dengan pin pada sensor SHT 75.
25
Pin Data Pin +5VDC Pin SCK
Pin Ground
Gambar 19. Module SHT11
Gambar 20. Modul SHT75
SCK
DATA
Gambar 21. Jalur penghubung antara SHT75 dengan port pada mikrokontroler
26
B.3 Modul LCD Pada sistem kendali ini, modul LCD terhubung dengan port tersendiri yaitu port LCD (P1) pada DT51 petrafuzz ver 3.3 sehingga mempermudah pemasangan (Gambar 20). Pemasangan dilakukan menggunakan kabel pelangi 16 pin yang ujungnya dipasang konektor untuk dihubungkan ke LCD dan ujung lainnya dipasang ke port LCD pada DT51 petrafuzz ver 3.3 dengan menggunakan IDC. Jenis LCD yang digunakan adalah LMB162AFC yang memiliki 16 karakter dan 2 baris dengan spesifik seperti dijelaskan pada Tabel 7 di bawah ini.
Gambar 22. Rangkaian LCD yang terhubung dengan port pada Mikrokontroler Tabel 7 Spesifikasi pinpada LCD tipe LMB162AFC No. Pin 1 2 3 4 5 6 7 to 14 15 16
Simbol GND VCC Vo RS R/W E D0 to D7 VB1 VB0
Detail Ground Supply Voltage +5V Contrast Adjustment 0→Control input, 1→Data input Read/Write Enable Data Backlight +5V Backlight Ground
B.4 Zero Crossing (Pengendali Kecepatan Blower) Driver blower merupakan rangkaian yang terdiri atas pembanding tegangan (voltage comporator), triac optoisolator, dan mikrokontroler. Rangkaian pembanding menggunakan IC LM 339, BTA dan MOC 3021. Sumber tegangan kontrol device bersumber dari listrik AC 220V yang dihubungkan ke trafo CT 2A untuk menurunkan tegangan. Kemudian dari trafo dihubungkan ke rangkaian catu daya untuk mengubah tegangan AC menjadi DC dengan pertimbangan lebih aman untuk perangkat kendali. IC pengatur tegangan yang digunakan pada catu daya adalah IC regulator 7805/7809 untuk keluaran 5 dan 9 VDC. Kemudian dari rangkaian catu daya dialirkan ke perangkat kendali. Trafo dan rangkaian catu daya dapat dilihat pada Gambar 23.
27
Gambar 23. Trafo dan Catu daya Selanjutnya jalur mikrokontroler terhubung dengan rangkaian driver blower (zero crossing) yang berperan penting sebagai switching ON-OFF dan lima tingkat kecepatan putar blower lainnya pada sistem kontrol ini. Pemilihan komponen disesuaikan dengan rancangan switching yang diinginkan, dalam hal ini switching listrik AC dan beban yang akan di switching (actuator) berupa motor listrik AC 1 dengan daya 90W sehingga sesuai dan kemampuan beroperasi. Gambar 24 merupakan blower yang digunakan pada penelitian ini.
Gambar 24. Blower Komponen-komponen utama penyusun rangkaian zero crossing, yaitu IC LM 339, IC MOC 3021, BTA 41 lazim digunakan dengan konstruksi quad-comparators berfungsi untuk deteksi zero crossing (kondisi dimana terjadi perubahan dari ‘1’ ke ‘0’ atau sebaliknya pada gelombang pulsa), pembangkit gelombang segiempat dan waktu delay. Kemudian tegangan keluaran dari LM 339 dihubungkan ke salah satu pin dari mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro Sistem yang nantinya bertugas mengecek terdeteksinya kondisi zero crossing dan tegangannya ditahan dengan nilai ‘0’ atau ‘1’ selama waktu tertentu, tergantung tegangan keluaran yang diharapkan. Komponen MOC 3021 dan BTA 41 merupakan pasangan trigger dan triac yang lazim digunakan untuk switching AC. MOC 3021 berfungsi sebagai pemacu triac dalam switching listrik AC statis dan kaki katode dari MOC 3021 dihubungkan pula ke salah satu pin mikrokontroler untuk mengirimkan sinyal biner ’0’ atau ‘1’. Untuk pengaturan putaran blower pada beberapa tingkat kecepatan putar digunakan timer yang berfungsi untuk mengatur lebarnya pulsa. Gambar 25 merupakan penyusun rangkaian zero crossing dan Gambar 26 merupakan rangkaian LM339.
28
Gambar 25. Rangkaian zero crossing
Gambar 26. Rangkaian IC LM339
C. PERANGKAT LUNAK SISTEM KENDALI (SOFTWARE) Pengaktifan beberapa modul seperti sensor SHT11, SHT75, LCD dan zero crossing dilakukan dengan menyusun perintah dalam bahasa C yang ditulis dalam software Uc51 versi 3.48 sekaligus berfungsi sebagai kompiler yang akan mengkonversi bahasa C ke dalam file berekstensikan .hex. Penulisan program yang pertama adalah pembacaan LCD 16 x 2 yang telah dihubungkan pada mikrokontroler DT51 Petrafuz pada port LCD. Downloader DT51 merupakan software yang berfungsi untuk mendownload program yang berekstensikan .hex ke dalam modul DT51 Petrafuz. Kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT51 Petrafuz adalah kabel serial to USB. Penulisan program yang kedua adalah program pembacaan SHT11 dan SHT75. Setiap 2 detik nilai pembacaan sensor yang telah berbentuk digital akan dikirim dan ditampilkan dalam LCD. Selain itu, nilai suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor akan diproses lagi sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan yang kemudian dikirim ke mikrokontroler DT-51 low cost micro system melalui jalur interrupt sebagai pengendali zero crossing. Penulisan program berikutnya adalah program pengaturan putaran blower (zero crossing), bahasa program yang telah dikonversi ke dalam file berekstensikan .hex kemudian didownload ke dalam mikrokontroler DT-51 low cost micro system menggunakan AT89_USB_ISP_Software dan kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT-51 low cost micro system adalah DT-HiQ AT 89 USB ISP. Pemograman dirancang untuk mengaktifkan Timer pada mikrokontroler dan mengatur waktu kerja Timer tersebut untuk digunakan sebagai kontrol. Timer yang digunakan merupakan pencacah biner. Pengaturan kerja memerlukan register khusus yang tersimpan dalam FR (Function Register). Missal Timer0 diakses melalui register TL0 (Timer0 low byte) dan register TH0 (Timer0 High Byte) Perhitungan: Asumsi 65535-TH0TL0 =100 T= {65535-(TH0TL0)}x1µs TH0TL0 = 65535-100 = 65435 TH0TL0 = 65435/256 = 255 sisa 155 Jadi TH0 = 255 TL0 =155/16bit = 9 sisa 11 (nilai 11 dalam biner adalah B) Jadi TL0 = 9B
29
Diasumsikan 65535 – TH0TL0 adalah 100 maka nilai maksimal Timer yang digunakan 100µs. Nilai TH0 diisi maksimum 255 dan sisanya (65535-65280) dibagi dengan 256 sehingga didapat TL0 yaitu 9 dengan sisa 11 dimana sisa 11 bernilai B dalam biner sehingga nilai TL0 = 9B. Ada enam tingkat kecepatan putar kipas dan pada kondisi kipas tidak berputar (off) yang digunakan dalam penelitian ini dimana nilai timer yang menjadi acuan untuk tingkat kecepatan tersebut. Adapun enam tingkat laju aliran udara yang diperoleh dari pengukuran pada alat pengering dengan menggunakan beban 22.5 kg yaitu Timer0 untuk nyala kipas maksimal (0.455 m3/s), Timer30 (kecepatan 5 = 0.398 m3/s), Timer35 (kecepatan 4 = 0.347 m3/s), Timer40 (kecepatan 3 = 0.272 m3/s), Timer45 (kecepatan 2 = 0.169 m3/s), Timer50 (kecepatan 1 = 0.136 m3/s). sedangkan Timer66 untuk kipas tidak berputar (mati).
D. STRATEGI PENGENDALIAN Strategi pengendalian pada sistem kendali ini terdiri dari pembacaan suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor kemudian nilai tersebut diolah dengan persamaan EMC Henderson sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan (Me). Nilai Me inilah yang menjadi acuan untuk pengaturan lebar pulsa (tingkat kecepatan putar kipas). Gambar 27 skema strategi pengendalian.
Penghubung SHT75 Penghubung SHT11
Nilai Suhu dan RH
Penghubung SHT75 Diolah menggunakan persamaan 1 Mikrokontroler DT51Petrafuz Me1, Me2 dan Me3 1. M1 > M3 ÆKipas Nyala max (Timer0) 2. M3>M2 ÆKipas Tidak nyala (Timer66)
3. 0
Mengalirkan udara ke tumpukan jagung Dihubungkan
0.2ÆTimer50
4. 0.2
0.4ÆTimer45
5. 0.4
0.6ÆTimer40
6. 0.6
0.8ÆTimer35
7. 0.8
1ÆTimer30 Dikirim ke Port 1
Pengaturan lebar pulsa (memutuskan/ menghubungkan listrik)
IC LM339
Mikrokontroler DT51 Low Cost
Gambar 27. Skema strategi pengendalian
30
E. UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN TANPA SISTEM KENDALI Pada penelitian ini, sebelum dilakukan pengeringan dengan sistem kendali, terlebih dahulu dilakukan pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali sebagai pembanding untuk pengeringan dengan sistem kendali. Pada pengeringan tanpa menggunakan sistem kendali ini dilakukan satu kali dimana udara lingkungan dialirkan secara kontinyu (terus-menerus) menggunakan blower 1phase dengan kecepatan angin 2.34 m/s meskipun RH lingkungan lebih tinggi dibanding RH di dalam pengering hingga mencapai kadar air jagung yang diinginkan yaitu ±14 % b.b.
E.1 Perubahan Suhu dan RH Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali diperoleh suhu rata-rata tumpukan jagung pipilan selama proses pengeringan sekitar 29.96oC, dimana suhu terendah selama proses pengeringan adalah 26.5oC dan suhu tertinggi adalah 36.9 oC. Selama proses pengeringan suhu lingkungan cenderung fluktuatif dikarenakan cuaca yang berfluktuasi. Suhu lingkungan rata-rata selama proses pengeringan adalah 29.7 oC, dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 36oC dan suhu terendah adalah 25.7oC. Selama proses pengering berlangsung dapat dikatakan secara umum bahwa kondisi cuaca cerah pada hari pertama dan ketiga, sedangkan pada hari kedua cuaca mendung dan hujan. Gambar 28 memperlihatkan grafik fluktuasi suhu lingkungan dengan suhu pengering terhadap bertambahnya waktu selama pengeringan. 38 36
Suhu (oC)
34 32 30 28 26 24 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib Suhu Lingkungan Suhu Tumpukan rata-rata Gambar 28. Perubahan suhu lingkungan dan suhu pengering terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali Berdasarkan grafik, pada jam ke-0 samapai pada jam ke-4.5 (pukul 18:51 wib), jam ke-18 (pukul 08:21 wib) hingga jam ke-25.5 (pukul 15:51) dan jam ke-44 (pukul 10:21) sampai jam ke46.5 (pukul 15:21) suhu lingkungan potensial untuk pengeringan. Sedangkan pada jam yang lain suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering sehingga tidak potensial untuk mengeringkan jagung pipilan. Pada jam ke-27 (pukul 17:21) hingga jam ke40 (pukul 06:21) terlihat suhu lingkungan mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut
31
dikarenakan pada saat itu terjadi hujan. Berdasarkan data suhu hasil pengujian pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, dapat disimpulkan bahwa sistem kendali pada pengeringan sangat penting, sehingga pengeringan hanya berlangsung ketika suhu lingkungan pontensial sebagai media pengeringan sehingga pada kondisi suhu yang tidak potensial, sistem kendali dapat meminimalkan konsumsi energi kipas dan mencegah terjadinya kenaikan kadar air karena kipas tidak mengalirkan udara (off). Berdasarkan metoda pengambilan data, terdapat lima titik pengukuran suhu tumpukan seperti terlihat pada Gambar 13 diatas. Gambar 29 menunjukkan perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan tumpukan jagung pipilan. 39
Suhu tumpukan (oC)
37 35 33 31 29 27 25 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib Suhu 1
Suhu 2
Suhu 3
Suhu 4
Suhu 5
Gambar 29. Grafik perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan selama proses pengeringan tanpa sistem kendali Berdasarkan grafik diatas, dari jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib) suhu tumpukan pada setiap tingkatan pada tumpukan jagung mengalami peningkatan. Namun, pada jam ke-4 (pukul 18:21wib) hingga jam ke-16 (07:51wib) suhu cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan pengukuran dilakukan pada malam hari dimana suhu lingkungan pada malam hari lebih rendah dibandingkan suhu pada siang hari sehingga udara yang dialirkan pada tumpukan jagung mengakibatkan suhu tumpukan pada setiap tingkatan mengalami penurunan. Pada jam berikutnya yaitu pada jam ke-16.5 (pukul 06:51wib) suhu kembali mengalami peningkatan sampai suhu rata-rata mencapai 33.68 oC. Peningkatan suhu terjadi hingga pada jam ke-27 (pukul 17:21wib). Pada jam berikutnya, suhu menurun drastis hingga mencapai suhu 29.96 oC dan terus menurun secara perlahan hingga suhu 28.42 oC. Penurunan suhu terjadi hingga pada jam ke-40 jam (pukul 06:21wib). Suhu kembali mulai naik kembali pada jam ke-41 (pukul 07:21wib) hingga mencapai 34.2 oC sampai pada jam ke-46.5 (pukul 12:51wib) dan pengeringan berhenti karena kadar air rata-rata telah mencapai 13.93%b.b. Berdasarkan grafik di atas, suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan titik pengukuran suhu 1 terletak paling dekat dengan inlet (udara lingkungan
32
yang masuk ke dalam tumpukan pengering), sehingga suhu 1 relatif mendekati suhu lingkungan. Suhu 5 relatif lebih rendah dibandingkan suhu yang lainnya, hal tersebut dikarenakan letak pengukuran suhu 5 berada paling jauh dari inlet dibandingkan suhu yang lainnya. Seperti terlihat pada grafik, dengan semakin jauh titik pengukuran suhu terhadap inlet maka suhu pada tingkatan itu cenderung lebih rendah. Gambar 30 menunjukkan fluktuasi RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali.
110
Kelembaban Relatif (%)
100 90 80 70 60 50 40 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib RH Lingkungan
RH Tumpukan Lap. Atas
Gambar 30. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. Besarnya RH berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat. Selama proses pengeringan, RH lingkungan pada siang hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas. Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa terjadi perbedaan yang sangat drastis antara RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas pada jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib). Pada grafik terlihat pada jam ke-27 (pukul 17:21) wib hingga jam ke-40.5 (pukul 06:51wib) terjadi kenaikan RH lingkungan secara drastis sementara RH tumpukan jagung lapisan atas berubah namun tidak terlalu signifikan. Kenaikan RH lingkungan tersebut hingga mencapai RH 98% dikarenakan terjadi hujan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kendali untuk proses pengeringan sangat penting agar pengeringan dapat berlangsung lebih baik dan efektif yaitu ketika RH lingkungan sangat potensial untuk pengeringan. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa RH lingkungan tertinggi tercatat 97.65%, terendah 55.25% dengan rata-rata selama pengeringan sebesar 82.12%. sedangkan RH tertinggi tumpukan jagung lapisan atas adalah 91.67%, RH terendah adalah 72.64% dengan RH rata-rata selama pengeringan sebesar 85.76%. Adapun selisih rata-rata RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas adalah 3.64%. Kelembaban mutlak merupakan salah satu acuan dalam proses pengeringan. Ketika kelembaban mutlak lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka maka akan terjadi proses pengeringan sehingga laju pengeringan akan semakin cepat dan sebaliknya, jika kelembaban mutlak lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka terjadi proses pembasahan sehingga terjadi
33
peningkatan kadar air. Gambar 31 memperlihatkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu. 0.025
Kelembaban Mutlak (g uap/kg u.k)
0.024 0.023 0.022 0.021 0.02 0.019 0.018 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib H Lingkungan H Tumpukan Lap. Atas Gambar 31. Hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada awal proses pengeringan hingga pada jam ke-40 kelembaban mutlak lingkungan cenderung lebih rendah daripada kelembaban mutlak tumpukan jagung lapisan atas sehingga pada kondisi ini terjadi proses pengeringan. Namun pada saat tertentu yaitu jam ke-7 (pukul 21:21wib), jam ke-22 (pukul 12:21wib) hingga jam ke-24 (pukul 14:21wib) dan diatas jam ke-40 (pukul 06:51wib) kelembaban mutlak lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban mutlak jagung lapisan atas. Pada kondisi ini terjadi proses pembasahan sehingga terjadi peningkatan kadar air jagung.
E2. Perubahan Kadar Air Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, jagung pipilan yang digunakan adalah jagung varietas hybrida yang diperoleh dari balai BALITRO di daerah Cimanggu dengan kadar air jagung rata-rata adalah 20.48% b.k dengan beban 22.5kg. Berdasarkan hasil pengujian dengan sistem kendali pada alat pengering tipe batch dengan suhu lingkungan rata-rata 36oC, dan RH lingkungan rata-rata 72.64% mampu menurunkan kadar air hingga kadar air akhir rata-rata 16.08%b.k yaitu terjadi penurunan kadar air sebesar 4.40% dengan waktu 46.5 jam. Gambar 32 menunjukkan perubahan kadar air rata-rata dan kadar air pada lapisan bawah, tengah dan atas terhadap waktu pengering.
34
26 Kadar air lapisan (%b.k)
24 22 20 18 16 14 12 10 0
10
20
30
40
50
60
Waktu pengeringan (jam) Mulai 14:21 wib-12:51 wib k.a Lap. Atas
k.a Lap. Tengah
k.a Lap. Bawah
Gambar 32. Hubungan antara kadar air rata-rata lapisan terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali Berdasarkan metode pengambilan data yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga titik pengukuran kadar air yaitu lapisan bawah, tengah dan atas tumpukan jagung pipilan. Berdasarkan grafik terlihat bahwa terjadi perbedaan penurunan kadar air disetiap lapisan. Lapisan bawah telah mencapai kadar air 12.7%b.b setelah pengeringan sekitar 24 jam, tetapi kadar air lapisan tengah dan atas hanya mencapai 15.9%b.b dan 16.1%b.b. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan ketinggian sehingga besar kecepatan aliran udara pada lapisan bawah, tengah dan atas yang berbeda. Menurut Ramelan (1996), suhu dan kelembaban relatif merupakan salah satu faktor yang menentukan proses pengeringan. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses pengeringan. Berdasarkan hasil pengujian ini dapat diketahui bahwa pengeringan akan berlangsung lama dan penurunan kadar air yang tidak seragam pada setiap lapisan. Dengan pengujian ini diketahui nilai kadar akhir pada lapisan bawah sebesar 12.7%b.b, lapisan tengah 14%b.b, dan lapisan atas sebesar 15.1%b.b. Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya waktu maka kadar air jagung akan menurun. Pada waktu 27 jam (pukul 17:21 wib) terjadi kenaikan kadar air, hal tersebut dikarenakan terjadi hujan deras sehingga suhu udara lingkungan menurun diikuti RH yang meningkat. Dengan keadaan tersebut menyebabkan udara yang dihembuskan ke tumpukan jagung memiliki Me yang tinggi sehingga kadar air jagung pipilan meningkat.
35
F. UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI F.1 Perubahan Suhu dan RH Berdasarkan hasil pengujian pengeringan dengan menggunakan sistem kendali pada alat pengering diperoleh nilai suhu lingkungan dan suhu tumpukan jagung berfluktuasi selama pengeringan berlangsung. Nilai suhu lingkungan tertinggi yang tercatat selama proses pengeringan adalah 40.6oC, suhu terendah adalah 27.9oC sehingga suhu lingkungan rata-rata adalah 33oC. Sedangkan suhu rata-rata tumpukan di dalam pengering adalah 31.5oC dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 27.1oC. Gambar 33 akan memperlihatkan fluktuasi suhu lingkungan dan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering selama proses pengeringan berlangsung. Selama pengeringan berlangsung dapat dikatakan bahwa kondisi cuaca cerah dan terkadang mendung. 42 40
Suhu (oC)
38 36 34 32 30 28 26 0
5
10
15
20
25
30
Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib Suhu Tumpukan rata-rata Suhu Lingkungan Gambar 33. Fluktuasi suhu terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali Pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali dimulai pada pukul 09:29 wib. Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada awal proses pengeringan suhu lingkungan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering. Pada kondisi ini udara lingkungan sangat potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan. Namun pada jam ke-7.5 (pukul 16:59wib) suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata didalam pengeringan sampai pada jam ke-22 (pukul 07:21wib) sehingga pada kondisi ini udara lingkungan tidak potensial untuk media pengeringan. Pada jam berikutnya suhu lingkungan mulai kembali naik dan lebih tinggi dibandingkan suhu tumpukan hingga pada jam ke-27 (12:29). Gambar 34 menunjukkan perubahan suhu tumpukan di lima tingkatan terhadap waktu.
36
41 39
Suhu (oC)
37 35 33 31 29 27 25 0
5
10
15
20
25
30
Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib Suhu 1
Suhu 2
Suhu 3
Suhu 4
Suhu 5
Gambar 34. Perubahan suhu tumpukan terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali Suhu 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut menunjukkan suhu tumpukan jagung mulai dari tumpukan terbawah sampai yang teratas. Berdasarkan grafik terlihat bahwa suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya, sedangkan suhu 4 dan 5 lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan udara lingkungan yang masuk akan mengenai tumpukan terbawah lebih dulu lalu mengalir ke bagian atas sehingga suhu 1 cenderung sama dengan suhu udara lingkungan yang masuk. Selama proses pengeringan suhu yang tertinggi pada suhu 1 adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 30oC. Sedangkan pada suhu 5 (tumpukan teratas), suhu tertinggi adalah 33.4oC dan suhu terendah 27.5oC. Perubahan RH terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 35.
Kelembaban relatif (%)
105 95 85 75 65 55 45 35 0
5
10
15
20
25
30
Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib RH Tumpukan Lap. Atas
RH Lingkungan
Gambar 35. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali
37
Berdasarkan pengujian, diperoleh data yang menunjukkan bahwa RH lingkungan tertinggi yang tercatat adalah 93.43%, RH terendah adalah 39.47% sehingga RH lingkungan rata-rata adalah 69.71%. Sedangkan RH rata-rata setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas 84.48% dimana RH tertinggi yang tercatat adalah 97.77% dan RH terendah adalah 60.53%. Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada jam ke-0.5 (pukul 09:59 wib) hingga pada jam ke-7 (pukul 16:51 wib) dan pada jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) hingga pada jam ke-31.5 (pukul 16:59wib) RH lingkungan jauh lebih rendah dibandingkan RH tumpukan lapisan atas. Pada kondisi tersebut udara lingkungan sangat potensial sebagai media pengering. Namun sebaliknya jika RH lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas maka pada kondisi tersebut udara lingkungan tidak potensial sehingga kipas tidak berputar (mati). Terlihat pada grafik bahwa pada jam ke-7.5 (pukul 16:59 wib) hingga jam ke-8.5 (pukul 17:59 wib), jam ke-9.5 (pukul 18:59 wib) hingga jam ke-13 (pukul 22:29 wib) dan pada jam ke-14 (pukul 23:29 wib) hingga jam ke-21.5 (pukul 06:59 wib) RH lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan lapisan atas. Gambar 36 menunjukkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu.
0.026
Kelembaban mutlak ( g uap/kg u.k)
0.025 0.024 0.023 0.022 0.021 0.02 0.019 0.018 0.017 0
5
10
15
20
25
30
Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib H Tumpukan Lap. Atas
H lingkungan
Gambar 36. Hubungan kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali Berdasarkan grafik terlihat bahwa selama proses pengeringan berlangsung cenderung terjadi pengeringan. Hal tersebut terjadi dikarenakan kelembaban mutlak pada lingkungan relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban pada tumpukan jagung lapisan atas. Namun pada jam ke-17 (pukul 02:59 wib) hingga pda jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) terjadi fluktuasi pembasahan dan pengeringan. Hal tersebut dikarena kelembaban mutlak pada lingkungan lebih tinggi dibandingkan kelembaban mutlak pada tumpukan jagung lapisan atas.
38
F.2 Hubungan Kadar Air Kesetimbangan Terhadap Putaran Kipas
Kadar air kesetimbangan (%)
25
5.3 5 4.7 4.4 4.1 3.8 3.5 3.2 2.9 2.6 2.3 2 1.7 1.4 1.1 0.8 0.5 0.2 -0.1
23 21 19 17 15 13 11 9 7 5 0
5
10
15
20
25
Putaran Kipas
Berdasarkan nilai suhu dan RH yang dideteksi oleh sensor saat proses pengeringan berlangsung, dengan menggunakan persamaan EMC Henderson (Thompson, 1967) diperoleh nilai Me pada lingkungan, tumpukan pada lapisan bawah dan tumpukan pada lapisan atas jagung pipilan yang dikeringkan. Kemudian nilai Me tersebutlah yang dijadikan perbandingan untuk penentuan tingkat kecepatan putar kipas (strategi pengendalian kipas) seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 5 diatas. Gambar 37 memperlihatkan fluktuasi nilai kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan terhadap kecepatan putar kipas. Jika kondisi kipas dalam kondisi berputar maksimal (2.24m/s) maka akan bernilai 1 pada grafik, sedangkan jika kipas dalam keadaan tidak berputar (mati) maka akan bernilai 0. Jika kipas berputar pada kecepatan angin 1.96 m/s akan bernilai 0.5, kecepatan angin 1.71 m/s bernilai 0.4, kecepatan angin 1.34 m/s bernilai 0.3, kecepatan angin 0.83 m/s bernilai 0.2 dan kecepatan angin 0.67 m/s akan bernilai 0.1.
30
Waktu Pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib Me Tumpukan Bawah
Me Tumpukan Atas
Me Lingkungan
Putaran Kipas
Gambar 37. Hubungan antara kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan putaran kipas selama proses pengeringan dengan sistem kendali Berdasarkan grafik terlihat bahwa bahwa kadar air kesetimbangan berubah dengan bertambahnya waktu. Pada awal proses pengeringan terlihat Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah maupun lapisan atas jagung yaitu pada jam ke-0 sampai pada jam ke-6. Pada kondisi tersebut terlihat bahwa kipas menyala maksimal (1). Sedangkan pada jam selanjutnya Me lingkungan terlihat sama dengan kadar air kesetimbangan tumpukan lapisan bawah yaitu pada jam ke- 6 sampai pada jam ke-8. Pada kondisi tersebut kipas berputar pada range 0.1, 0.5 dan maksimal (1). Hal tersebut terjadi karena terkadang Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me tumpukan pada lapisan atas tetapi lebih tinggi dari Me tumpukan pada lapisan bawah. Namun pada jam selanjutnya hingga jam ke-22 (pukul 07:29 wib) terlihat bahwa Me lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah dan lapisan atas jagung yang dikeringkan. Pada kondisi ini kipas lebih cenderung
39
tidak menyala. Tetapi pada jam ke 12.5 dan jam ke-21 kipas berputar pada range 0.5. Pada jam berikutnya hingga pada jam ke-27 (pukul 12:29 wib) Me lingkungan lebih rendah daripada Me pada tumpukan lapisan atas dan Me pada tumpukan lapisan bawah jagung sehingga pada kondisi tersebut kipas berputar pada kecepatan maksimal (1) dan pada range 0.1-0.5. Hal ini membuktikan bahwa strategi pengedalian telah bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Laju aliran udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya proses pengeringan. Semakin cepat laju aliran udara maka proses pengeringan akan lebih cepat dan sebaliknya. Pada pengujian dengan menggunakan sistem kendali ini, titik pengukuran kecepatan angin ada dua titik yaitu pada lubang masuknya udara lingkungan dan pada lubang setelah melewati tumpukan jagung paling atas. Berdasarkan data yang diperoleh laju aliran udara setelah melewati tumpukan jagung paling atas sangat rendah dibandingkan dengan laju udara masuk. Hal tersebut disebabkan terdapat cela-cela disekitar penghubung antara kipas dan penyambung pipa paralon. Selain itu, udara juga keluar pada lubang-lubang pengambilan sampel kadar air. Namun pada jam ke-8.5 laju aliran udara inlet cenderung sama dengan laju aliran setelah melewati tumpukan jagung paling atas. Pada kondisi tersebut kipas dalam keadaan tidak berputar (mati).
F.3 Perubahan Kadar Air Pada pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali, jagung yang digunakan adalah jagung hybrida yang diperoleh dari kelompok petani di desa iwul kec. Parung, Bogor dengan kadar air awal jagung rata-rata adalah 25.26 %b.k. dengan beban 21.5kg. pada saat pengujian, terjadi kerusakan pada sensor SHT11 sehingga menyebabkan pembacaan nilai suhu dan kelembaban menjadi error. Namun proses pengeringan masih tetap berlanjut sampai pada jam ke-20 yaitu pada pukul 08:34 wib (stop). Berdasarkan hasil pengujian pada kondisi ini dengan sistem kendali pada alat pengering tipe batch dengan suhu lingkungan rata-rata 31.32oC, dan RH lingkungan rata-rata 76% mampu menurunkan kadar air sebesar 2% hingga kadar air mencapai 23.24 dengan lama waktu pengeringan yaitu 20 jam. Gambar 38 menunjukkan perubahan kadar air jagung terhadap waktu pengeringan 27
Kadar air (%b.k)
26 25 24 23 22 21 20 19 0
5
10
15
20
25
Waktu pengeringan (jam) Mulai 10:06 wib - 08:34 wib k.a Lap. Atas
k.a Lap. Tengah
k.a Lap. Bawah
Gambar 38. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali tahap I.
40
27
4 3.8 3.6 3.4 3.2 3 2.8 2.6 2.4 2.2 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Kadar air (%b.k)
25 23 21 19 17 15 13 11 9 7 0
5
10
15
20
25
Putaran Kipas
Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada awal pengeringan hingga pada jam ke-9.5 penurunan kadar air pada lapisan bawah sangat drastis. Namun pada pada lapisan atas terjadi kenaikan kadar air. Hal tersebut dikarenakan kandungan air pada lapisan bawah yang diuapkan mengalir ke bagian atas sebagian terserap oleh tumpukan jagung pada lapisan atas. Pada jam berikutnya terjadi fluktuasi kadar air, hal tersebut dikarenakan sensor SHT11 pada tumpukan jagung lapisan atas error sehingga putaran kipas tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Sensor yang digunakan mengalami kerusakan ketika sensor yang digunakan terjatuh ke lantai akibat hembusan angin yang kuat. Untuk itu, sensor tersebut diganti dengan sensor SHT75. Kemudian pengeringan dilanjutkan pada esok harinya yaitu pada pukul 09:29 wib. Dengan suhu lingkungan rata-rata 33.67oC, dan RH lingkungan rata-rata 65.88% mampu menurunkan kadar air sebesar 4.69 % dengan lama waktu pengeringan yang efektif yaitu 13.5 jam (kipas berputar maksimal). Gambar 39 menunjukkan perubahan kadar air jagung terhadap waktu pengeringan dan terhadap putaran kipas.
30
Waktu pengeringan (jam) waktu 09:29 wib-12:29 wib k.a Lap. Atas k.a Lap. Bawah
k.a Lap. Tengah Putaran Kipas
Gambar 39. Perubahan kadar air terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali tahap II Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada kondisi kipas yang berputar maksimal pada awal pengeringan, kadar air pada tumpukan lapisan bawah mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan kadar air pada tumpukan lapisan tengah dan lapisan atas. Kondisi tersebut berlangsung pada awal pengeringan yaitu pada jam ke-0 hingga pada jam ke-6. Sedangkan pada jam ke-6.5 kipas berputar pada range 0.2 kadar air pada lapisan bawah mengalami kenaikan kadar air tetapi pada lapisan tengah terjadi penurunan kadar air. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu kadar air kesetimbangan lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kesetimbangan pada tumpukan lapisan bawah namun lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kesetimbangan pada tumpukan lapisan atas. Namun pada jam ke-7.5 kipas kembali berputar maksimal sehingga terjadi penurunan kadar air disetiap lapisan. Pada jam berikutnya, kipas cenderung tidak berputar (mati) hingga pada jam ke-22, tetapi pada jam ke-8, ke-12 dan ke-21 kipas berputar pada range 0.5. Pada kondisi tersebut terjadi penaikan dan penurunan kadar air namun tidak signifikan. Kemudian kadar air pada lapisan tengah dan lapisan mengalami penurunan secara drastis pada jam ke-22 hingga pada jam ke-27. pada kondisi tersebut kipas lebih cenderung berputar maksimal hingga kadar air jagung rata-rata 16.08%b.k.
41
G. PENURUNAN KADAR AIR TANPA SISTEM KENDALI DAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI Gambar 40 menunjukkan penurunan kadar air tanpa sistem kendali dan menggunakan sistem kendali selama proses pengeringan. 22
Kadar air (%b.k)
21 20 19 18 17 16 15 14 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu pengeringan (jam) Sistem Kendali
Tanpa Sistem Kendali
Gambar 40. penurunan kadar air tanpa sistem kendali dan menggunakan sistem kendali selama proses pengeringan terhadap waktu. Berdasarkan grafik, dengan waktu pengeringan selama 27 jam terlihat bahwa pengeringan dengan sistem kendali dapat menurunkan kadar air awal jagung rata-rata 20.89%b.k hingga mencapai kadar aikhir rata-rata 16.08%b.k. sedangkan pengeringan tanpa sistem kendali hanya mampu menurunkan dari kadar air jagung rata-rata 20.48%b.k hingga mencapai kadar air akhir 18.13%b.k dan setelah pada jam ke-46.5 kadar air jagung mencapai 16.20%b.k. Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali terjadi kenaikan kadar air jagung yang cukup signifikan yaitu pada jam ke-4.5 hingga jam ke-9, jam ke-12 hingga jam ke-15 dan jam ke-22.5 hingga jam ke40.5. Hal tersebut terjadi dikarenakan udara lingkungan yang dialirkan ke dalam tumpukan tidak dikontrol sehingga ketika udara lingkungan tidak potensial yaitu suhu rendah dan kelembaban tinggi, kipas masih terus mengalirkan udara tersebut. Pada pengeringan dengan sistem kendali juga terlihat terjadi kenaikan kadar air namun tidak terlalu signifikan.
42
H. KONSUMSI ENERGI LISTRIK SELAMA PROSES PENGERINGAN TANPA SISTEM KENDALI DAN MENGGUNAKAN SISTEM KENDALI Pada proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, pengeringan dilakukan pada kadar air awal jagung pipilan rata-rata 20.48%b.k dengan suhu lingkungan berkisar antara 25.7oC 36 oC dan RH lingkungan rata-rata 55.25% - 97.65% dapat mengeringkan jagung hingga mencapai kadar iar akhir rata-rata16.08%b.k dan lama pengeringan 46.5 jam. Konsumsi energi yang digunakan (energi listrik untuk penyalaan kipas) selama proses pengeringan ini sebesar 7.59 MJ atau 4.288MJ/kg air yang diuapkan. Pada pengujian dengan menggunakan sistem kendali pengeringan dengan suhu lingkungan berkisar antara 27.9oC – 40.6 oC, dan RH lingkungan antara 39.47% - 93.43% dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama pengeringan dimulai 25.26%b.k sampai kadar air 23.24%b.k dengan lama pengeringan efektif (kondisi kipas menyala) adalah 20 jam dan konsumsi energi listrik yang digunakan adalah 1.959 atau 4.520 MJ/kg air yang diuapkan. Tahap kedua pengeringan dimulai dari kadar air awal rata-rata sebesar 20.89%b.k hingga mencapai kadar air 16.20%b.k dengan lama pengeringan efektif (kondisi kipas menyala) yaitu 12.15 jam dan dengan konsumsi energi listrik sebesar 2.593 MJ atau 2.002 MJ/kg air yang diuapkan. Strategi pengendali yang telah didesain secara umum berfungsi dengan baik dan konsumsi energi listrik yang digunakan serta waktu pengeringan pada pengujian dengan sistem kendali lebih rendah dan lebih cepat dibandingkan dengan pengujian tanpa sistem kendali. Konsumsi energi listrik selama proses pengeringan jagung pipilan berlangsung dengan dan tanpa menggunakan sistem kendali dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsumsi energi listrik yang digunakan selama proses pengeringan jagung pipilan dengan dan tanpa menggunakan sistem kendali. Kadar air awal ratarata (%b.k)
Kadar air akhir ratarata (%b.k)
Waktu pengeringan efektif (jam)
Total energi listrik (MJ) selama proses pengeringan
Energi listrik (MJ/kg air yang diuapkan)
20.48
16.08
46.5
7.59
4.288
• Tahap I
25.26
23.24
20
1.959
4.520
• Tahap II
20.89
16. 20
12.15
2.011
1.553
Pengeringan Jagung pipilan
Tanpa sistem kendali
Dengan kendali
sistem
Berdasarkan data pada tabel diatas, pengeringan jagung pipilan dengan menggunakan sistem kendali menggunakan energi listrik yang lebih rendah dan waktu pengeringan yang lebih cepat dibandingkan pengeringan tanpa sistem kendali. Namun pengeringan dengan sistem kendali pada
43
tahap pertama tidak efisien karena konsumsi energi yang digunakan lebih besar, penurunan kadar air yang terjadi kecil dan waktu pengeringan yang lama. Hal tersebut dikarenakan sensor yang digunakan error sehingga tidak berfungsi dengan baik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada pengeringan dengan sistem kendali pada tahap II, pengeringan dimulai pada kadar air awal dan akhir rata-rata yang hampir sama dengan kadar air awal dan akhir rata-rata pada pengeringan tanpa sistem kendali. Berdasarkan data, energi yang digunakan dan lamanya pengeringan lebih rendah dan singkat dibandingkan dengan pengeringan tanpa sistem kendali. Pengeringan dengan sistem kendali energi yang digunakan adalah 2.011 MJ atau 1.553 MJ/kg air yang diuapkan dengan waktu pengeringan maksimal 10.517 jam sedangkan pengeringan tanpa sistem kendali energi yang digunakan sebesar 7.59 MJ atau 4.288 MJ/kg air yang diuapkan dengan lama pengeringan 46.5 jam.
44
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 1.
2.
3. 4.
5.
6.
Alat pengeringan jagung pipilan tipe tumpukkan terdiri dari bak penampung (pipa paralon dengan diameter 19.5 cm dan tinggi 100 cm), penyangga/dudukan (besi tulangan dengan diameter 1.5 cm dan tinggi 70 cm), Blower 1phase dengan daya 90W dan laju aliran udara 410 m3/jam dan penghubung antara kipas dengan bak penampung (pipa paralon dengan diameter 4 inchi ke 8 inchi). Sistem kendali terdiri dari rangkaian pembacaan sensor, rangkaian LCD, rangkaian catu daya dan power supply, rangkaian zero crossing. Pengaktifan rangkaian-rangkaian tersebut dilakukan dengan menyusun perintah dalam bahasa ‘C’ yang ditulis dengan menggunakan software Uc51 versi 3.48. Strategi pengendalian pada proses pengeringan jagung pipilan berbasis beda kadar air pada tumpukan lapisan bawah dan tumpukan lapisan atas dan lingkungan terhadap potensinya pada udara lingkungan yang telah didisain berfungsi dengan baik dan berjalan sesuai. Berdasarkan data pengeringan tanpa sistem kendali, dengan suhu lingkungan berkisar antara 25.7oC - 36oC, RH lingkungan berkisar antara 55.25% - 97.65% waktu yang diperlukan untuk menurunkan dari kadar air awal rata-rata 20.48%b.k hingga mencapai kadar air 16.08%b.k adalah 46.5 jam dan konsumsi energi listrik yang digunakan sebesar 7.59 MJ atau 4.288 MJ/kg air yang diuapkan. Berdasarkan data pengeringan dengan menggunakan sistem kendali, dengan suhu lingkungan berkisar antara 27.9oC - 40.6oC dan RH lingkungan berkisar antara 39.47% - 93.43% waktu yang diperlukan untuk menurunkan kadar air awal rata-rata 20.89%b.k hingga mencapai kadar air akhir rata-rata 16.20%b.k adalah 10.517 jam (kipas menyala maksimal) dan konsumsi energi listrik yang digunakan sebesar 2.011 MJ atau 1.553 MJ/kg air yang diuapkan. Pada pengeringan jagung pipilan tanpa menggunakan sistem kendali terjadi pembasahan pada tahap akhir proses pengeringan. Sedangkan pada pengeringan dengan menggunakan sistem kendali tidak terjadi proses pembasahan pada tahap akhir proses pengeringan.
B. SARAN 1. 2.
Perlu dilakukan pengujian dengan mengukur nilai RH di bagian tengah tumpukan jagung Perlu dilakukan pengujian untuk mencari ketebalan tumpukan jagung yang sesuai.
45
DAFTAR PUSTAKA [Anonim].1998.SNI 01-4483-1998. Standar Mutu Jagung Bahan Baku Pakan. Jakarta: Badan Standar Nasional (BSN). [Anonim]. 2010. Data Produksi Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik. Indonesia Alamsyah, Rizal. 1989. Studi Pengeringan Gabah Dengan Alat Pengeringan Tipe Bak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Aryawiguna. 1993. Uji Performansi Alat Pengering Tipe Rotari Pada Pengeringan Biji Kemiri(Alleuristes Moluccana Willd) Serta Pengupasannya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Brooker D.B., F.W. Bakker –Arkema, and C.W. Hall, 1992. Drying and Storage of Grain and Oilseeds, Van Nostrand Reinhold, New York. Goswani, D. Yogi. 1986. Alternatife energy in Agriculture Vol. I. CRC Press, Inc. USA Hanum, Nursasi. 2002. Uji Performansi Pengeringan Benih Dengan Continuous Dryer Tipe RDT22 C di PT. Sang Hyang Seri, Sukabumi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hartani, Nanik Sri. 1991. Model Simulasi Pengeringan Cengkeh Tipe "Coss-Flow. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hendarto D., 2008. Sistem Kendali Pada In Store Dryer (ISD) Untuk Komoditas Jagung. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Henderson, S.M. dan R.L. Perry.1976. Agricultural Process Engineering. The AVI Pub. Co., Inc., Westport, Connecticut. Irfan, Mohamad. 2008. Uji Kinerja Pengering Surya Efek Rumah Kaca Tipe Sirkulasi Pada Pengeringan Jagung Pipilan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kamaruddin A. 1986. Penerapan Energi Surya dalam Proses Thermal Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Naibaho, Novalina. 2010. Uji Performansi Mesin Pengering (Dryer) Efek Rumah Kaca (ERK) Hibrid Tipe Bak Untuk Pengering Jagung Pipilan (Zea Mays L). Skripsi. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nasrudi, 2000. simulasi Pengeringan Kacang Tanah Dengan Pengeringan Tipe Bak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Nelwan, Leopold O. 1997. Pengeringan Kakao Dengan Menggunakan Rak Pengering Dengan Kolektor Tipe Efek Rumah Kaca. [Thesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
46
Nelwan LO. 2000. Sebuah Pendekatan Lain pada Teknik Perhitungan Efisiensi Termal pada Pengering Tipe Batch Konvektif. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Bogor, 1112 juli 2000. Noveni, Dwi A. D24053038. 2009. Efek Perbedaan Teknik Pengeringan TerhadapKualitas Fermentabilitas, dan Kecernaan Hay Daun Rami (Boehmeria nivea L Gaud). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut pertanian Bogor. Ramelan, A.H., Nur Her Riyadi Parnanto,Kawiji, 1996. Fisika Pertanian. UNS Press. Senjaya I. 1998. Pengontrolan Suhu dalam Ruang Pengering dengan Sistem Kontrol Fuzzy. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Somantri AS. 2003. Persamaan Kolerasi Kadar Air Kesetimbangan untuk Lada. Buletin Keteknikan Pertanian. 17:22-28. Sulikah. 2007. Rancangan Dan Uji Performansi Prototipe Mesin Pengering Tipe Silinder Berputar Untuk Pengeringan Jagung (Zea Mays L). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suwardi, Suarni. 2001. Penanganan Pascapanen Jagung Guna Menunjang Agroindustri. Prosiding Balai Penelitan dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian untuk Agribisnis . Jakarta 10-11 juli 2001. Hal. 181-186. Syarief AM. 1987. Teori dan Praktek Pengeringan di Bidang Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Syarief R., Halid H. 1994. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta. Tahir Muh., 2009. Desain Kendali Laju Aliran Udara dan Sistem Pengumpanan Bahan Bakar Biomassa Berbasis Fuzzy pada Pengering Jagung ERK-Hybrid. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Thahir. R. 2000. Pengaruh aliran udara dan ketebalan pengeringan terhadap mutu gabah keringnya. Buletin Engineering pertanian, Volume VII No.1. BBPAP Balitbang.) Widodo, P., dan A. Hendriadi. 2004. Perbandingan kinerja Mesin Pengering jagung tipe bak datar model segiempat dan silinder. Jurnal Engineering Pertanian, Badan Peneliian dan Pengembangan Pertanian, Vol. II No. 1. Wikipedia.com. 2011.http://www.wikipedia.com/jagung.htm (Diakses tanggal 15 Maret 2011)
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Tabel kadar air selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali Waktu
14:21 15:51 17:21 18:51 20:21 21:51 23:21 00:51 02:21 03:51 05:21 06:51 08:21 09:51 11:21 12:51 14:21 15:51 17:21 18:51 20:21 21:51 23:21 00:51 02:21 03:51 05:21 06:51 08:21 09:51 11:21 12:51
0 1.5 3 4.5 6 7.5 9 10.5 12 13.5 15 16.5 18 19.5 21 22.5 24 25.5 27 28.5 30 31.5 33 34.5 36 37.5 39 40.5 42 43.5 45 46.5
%b.b Lap. Atas 17.3 17.3 17.6 17.8 18.1 19.1 18.7 18.5 17.8 18.3 18.5 17.6 17.6 16.9 17.4 17.1 16.1 15.4 15.6 16.1 16.5 16.8 16.4 16.4 16.4 16.6 16.5 17 16.8 15.9 15.5 15.1
Lap. Tengah 16.7 16.3 18.1 17.7 18.1 17.6 17.9 17.3 17 17.6 17.9 17.3 17.3 17 16.8 16.4 15.9 15.2 15.3 15 15.2 15.3 15.5 15.8 15.1 15 15.3 15.7 15.1 14.7 14.4 14
Lap. Bawah 17 16.2 15.9 15.3 15.7 15.7 16.4 16 15.6 15.8 15.8 16.1 15.6 15.6 14.6 13.8 12.7 12.2 13.3 13.2 13.6 13.9 13.8 13.9 14.3 14.5 14.1 14.6 14.7 14.4 14 12.7
%b.k Ratarata 17 16.6 17.2 16.9 17.3 17.5 17.7 17.3 16.8 17.2 17.4 17 16.8 16.5 16.3 15.8 14.9 14.3 14.7 14.8 15.1 15.3 15.2 15.4 15.3 15.4 15.3 15.8 15.5 15 14.6 13.9
Lap. Atas 20.92 20.92 21.36 21.65 22.1 23.61 23 22.7 21.65 22.4 22.7 21.36 21.36 20.34 21.07 20.63 19.19 18.2 18.48 19.19 19.76 20.19 19.62 19.62 19.62 19.9 19.76 20.48 20.19 18.91 18.34 17.79
Lap. Tengah 20.05 19.47 22.1 21.51 22.1 21.36 21.8 20.92 20.48 21.36 21.8 20.92 20.92 20.48 20.19 19.62 18.91 17.92 18.06 17.65 17.92 18.06 18.34 18.76 17.79 17.65 18.06 18.62 17.79 17.23 16.82 16.28
Lap. Bawah 20.48 19.33 18.91 18.06 18.62 18.62 19.62 19.05 18.48 18.76 18.76 19.19 18.48 18.48 17.1 16.01 14.55 13.9 15.34 15.21 15.74 16.14 16.01 16.14 16.69 16.96 16.41 17.1 17.23 16.82 16.28 14.55
Ratarata 20.48 19.91 20.79 20.41 20.94 21.2 21.47 20.89 20.21 20.84 21.09 20.49 20.25 19.77 19.45 18.75 17.55 16.67 17.3 17.35 17.81 18.13 17.99 18.18 18.03 18.17 18.08 18.73 18.4 17.65 17.15 16.2
49
Lampiran 2. Data suhu tumpukan selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali Waktu
Suhu1 (oC)
Suhu2 (oC)
Suhu3 (oC)
Suhu4 (oC)
Suhu5 (oC)
Suhu rata-rata (oC)
14.21
0
29.6
28.4
28.1
29
29.7
28.96
15.51
1.5
30.3
28.4
28.5
28.8
28.8
28.96
17:21
3
32.5
30.6
28.8
28.5
28.5
29.78
17.51
3.5
31.9
30.3
28.6
28.2
28.2
29.44
18:21
4
31.7
30.4
28.7
28.2
28.2
29.44
18:51
4.5
31.6
30.5
29.5
28.4
28.4
29.68
19:21
5
30.5
30
28.8
28.3
28.4
29.2
19:51
5.5
30
29.4
28.2
27.6
27.8
28.6
20:21
6
30
29.4
28.3
27.6
27.5
28.56
20:51
6.5
30
29.4
28.5
27.6
27.5
28.6
21:21
7
30
29.4
28.4
27.7
27.4
28.58
21:51
7.5
30.1
29.6
28.7
27.9
27.7
28.8
22:21
8
30.1
29.6
28.7
28
27.7
28.82
22:51
8.5
29.9
29.5
28.8
27.9
27.7
28.76
23:21
9
29.7
29.2
28.6
27.6
27.5
28.52
23:51
9.5
29.8
29.1
28.3
27.6
27.3
28.42
00:21
10
29.6
29.2
28.5
27.7
27.3
28.46
00:51
10.5
29.8
29.2
28.5
27.6
27.2
28.46
01:21
11
29.6
29.3
28.5
27.8
27.4
28.52
01:51
11.5
29.6
29.1
28.6
27.9
27.5
28.54
02:21
12
29.6
29.2
28.6
27.8
27.5
28.54
02:51
12.5
29.6
29.2
28.6
27.9
27.5
28.56
03:21
13
29.3
29.2
28.7
28
27.5
28.54
03:51
13.5
29
28.9
28.5
27.9
27.4
28.34
04:21
14
29
28.8
28.5
27.8
27.4
28.3
04:51
14.5
28.7
28.6
28.1
27.6
27.1
28.02
05:21
15
28.5
28.5
28.1
27.6
27
27.94
05:51
15.5
28.2
28.1
27.7
27.2
26.7
27.58
06:21
16
28
28
27.6
27.1
26.6
27.46
06:51
16.5
28.1
28.1
27.7
27.2
26.5
27.52
07:21
17
28.5
28.3
27.9
27.4
26.9
27.8
07:51
17.5
29.3
28.7
28.2
27.7
27.1
28.2
08:21
18
29.8
28.9
28.3
27.9
27.3
28.44
08:51
18.5
30.4
29.3
28.5
27.9
27.3
28.68
09:21
19
31.4
29.9
29
28.3
27.5
29.22
09:51
19.5
31.7
30.4
29.3
28.4
27.6
29.48
10:21
20
32.4
30.9
29.8
28.8
28
29.98
10:51
20.5
32.9
31.1
29.8
28.7
27.9
30.08
50
11:21
21
33.7
31.9
30.4
29.2
28.2
30.68
11:51
21.5
34.2
32.6
30.9
29.5
28.6
31.16
12:21
22
34.4
32.9
31.4
29.8
28.8
31.46
12:51
22.5
34.4
32.9
31.4
29.8
28.8
31.46
13:21
23
35.4
33.6
31.8
30.2
29.1
32.02
13:51
23.5
35.9
34
32.2
30.4
29
32.3
14:21
24
36.9
34.8
32.7
30.8
29.2
32.88
14:51
24.5
36.6
35.2
33.2
31.2
29.4
33.12
15:21
25
36.9
35.5
33.7
31.6
29.7
33.48
15:51
25.5
36.6
35.5
34
32
30
33.62
16:21
26
35.5
35.6
34.3
32.5
30.5
33.68
16:51
26.5
34.7
34.5
33.9
32.6
30.6
33.26
17:21
27
33.8
33.9
33.3
32.3
30.4
32.74
17:51
27.5
33.1
34
33.7
32.7
31.1
32.92
18:21
28
30.9
32.6
33
32.2
30.7
31.88
18:51
28.5
29.7
31
31.5
31.4
30.2
30.76
19:21
29
29.7
30.3
30.7
30.7
29.7
30.22
19:51
29.5
29.6
30.1
30.4
30.3
29.4
29.96
20:21
30
30.1
30.4
30.5
30.3
29.5
30.16
20:51
30.5
29.8
30.3
30.4
30.1
29.4
30
21:21
31
29.8
30.2
30.4
30.1
29.4
29.98
21:51
31.5
29.6
30.1
30.2
30
29.4
29.86
22:21
32
29.2
29.7
30
29.7
29.2
29.56
22:51
32.5
29.4
29.7
29.9
29.8
29.2
29.6
23:21
33
28.8
29.4
29.7
29.5
29
29.28
23:51
33.5
29
29.3
29.6
29.4
29
29.26
00:21
34
28.8
29.2
29.3
29.2
28.9
29.08
00:51
34.5
28.7
29
29.1
29
28.6
28.88
01:21
35
28.7
28.9
29.1
29
28.5
28.84
01:51
35.5
28.9
29.1
29.3
29.1
28.7
29.02
02:21
36
28.7
29
29.3
29
28.7
28.94
02:51
36.5
28.6
28.9
29.1
28.9
28.6
28.82
03:21
37
28.6
28.7
29
28.7
28.5
28.7
03:51
37.5
28.6
28.8
29
28.7
28.5
28.72
04:21
38
28.7
28.8
29
28.8
28.6
28.78
04:51
38.5
28.7
28.9
29
28.7
28.5
28.76
05:21
39
28.4
28.6
28.8
28.6
28.4
28.56
05:51
39.5
28.4
28.4
28.6
28.5
28.2
28.42
06:21
40
28.2
28.5
28.6
28.5
28.3
28.42
06:51
40.5
28.3
28.5
28.6
28.5
28.4
28.46
07:21
41
28.5
28.6
28.7
28.6
28.5
28.58
07:51
41.5
29
28.9
28.9
28.7
28.5
28.8
51
08:21
42
29.4
29.1
29.1
28.8
28.7
29.02
08:51
42.5
29.8
29.2
29.1
28.8
28.6
29.1
09:21
43
30.6
29.6
29.2
28.9
28.7
29.4
09:51
43.5
31.4
30.4
29.9
29.3
29
30
10:21
44
32
31
30.5
29.8
29.4
30.54
10:51
44.5
32.9
31.8
31
30.4
30
31.22
11:21
45
33.5
32.1
31.1
30.5
29.9
31.42
11:51
45.5
34.3
32.8
31.6
30.9
30.2
31.96
12:21
46
35.3
33.3
32.1
31.3
30.4
32.48
12:51
46.5
35.6
34.1
32.6
31.5
30.6
32.88
T rata-rata tumpukan jagung (OC)
29.9623
52
Lampiran 3. Data RH inlet dan outlet selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali Waktu
Tbk 1 (oC) 35.8
Tbb 2 (oC) 29
Tbk 2 (oC) 31.2
RH1 (%) 55.2484
RH2 (%) 85.0195
14.21
0
Tbb 1 (oC) 27.9
15.51
1.5
27.9
35
28.2
30
58.6587
87.379
17:21
3
27.6
31.5
27.8
30.9
74.4258
79.1397
17.51
3.5
27.5
31.1
27.6
29
76.0896
89.9226
18:21
4
27.7
31.2
27.3
29.1
76.7511
87.1665
18:51
4.5
27.3
29.9
27.5
29
82.0134
89.2235
19:21
5
26.5
28.6
27.5
29.1
84.9713
88.5486
19:51
5.5
26.4
28.4
26.8
29
85.6046
84.4046
20:21
6
26.4
29.1
26.7
28.8
81.0772
85.0285
20:51
6.5
26.2
28.5
26.7
28.3
83.5712
88.3731
21:21
7
26.9
29.5
26.6
28.8
81.8797
84.3454
21:51
7.5
26.6
27.9
26.8
28.7
90.4249
86.3767
22:21
8
26.6
27.8
26.8
28.2
91.1273
89.7678
22:51
8.5
26.5
28.5
26.8
28.2
85.6322
89.7678
23:21
9
26
28.7
26.6
28.1
80.9331
89.0367
23:51
9.5
25.9
27.7
26.5
28.8
86.8168
83.665
00:21
10
25.9
27.8
26.4
28.1
86.1381
87.6223
00:51
10.5
25.9
28
26.3
27.9
84.7965
88.2827
01:21
11
25.9
27.5
26.4
27.7
88.1905
90.3875
01:51
11.5
26.1
28.2
26.4
27.8
84.8554
89.688
02:21
12
26.1
28
26.4
27.7
86.192
90.3875
02:51
12.5
26.1
27.7
26.5
27.7
88.2368
91.1099
03:21
13
25.7
26.6
26.4
27.6
93.1458
91.0925
03:51
13.5
25.7
26.7
26.4
27.5
92.4141
91.803
04:21
14
25.7
27.1
26.1
27.2
89.5446
91.7543
04:51
14.5
25.5
26.5
26
27.1
92.3833
91.7379
05:21
15
25.3
26.6
26
27
90.1748
92.4596
05:51
15.5
24.9
26.1
25.6
26.7
90.8202
91.6714
06:21
16
24.8
25.8
25.5
26.7
92.2733
90.9316
06:51
16.5
25.2
26.1
25.7
26.8
93.0757
91.6881
07:21
17
25.7
27.3
25.7
27
88.1437
90.2535
07:51
17.5
26.5
28.5
26.1
27.4
85.6322
90.3306
08:21
18
26.4
29.5
26.3
27.8
78.5992
88.9726
08:51
18.5
26.9
30.4
26.5
28.1
76.4145
88.3281
09:21
19
27
30.7
27
28.6
75.2955
88.4397
09:51
19.5
27.3
31.2
27
28.7
74.2896
87.764
10:21
20
27.5
32
27.3
29.2
71.0781
86.5048
10:51
20.5
27.7
32.9
27.2
29.3
67.5226
85.1689
53
11:21
21
28.4
33.3
27.6
29.6
69.4298
85.927
11:51
21.5
28.4
33.4
27.9
29.8
68.9167
86.6544
12:21
22
29
34.3
28.1
30.4
67.7201
84.1429
12:51
22.5
29.6
34.3
28.1
30.4
71.0485
84.1429
13:21
23
29.2
35.1
28.7
31.3
64.9236
82.4618
13:51
23.5
29.1
35.2
28.4
31.8
63.9277
77.61
14:21
24
29.2
36.6
28.9
31.7
58.211
81.3166
14:51
24.5
30.2
37
28.9
31.7
61.4031
81.3166
15:21
25
29.4
35.6
29.1
32.1
63.6355
80.1964
15:51
25.5
29.4
35.3
29.2
32.1
65.0348
80.82
16:21
26
28.8
32.8
29.1
31.5
74.4015
83.806
16:51
26.5
28.4
32.3
28.9
31.3
74.7796
83.7489
17:21
27
28
31.6
28.5
30.9
76.3001
83.633
17:51
27.5
28.5
32.3
28.9
30.6
75.3796
88.1867
18:21
28
27.6
28
28.1
30
97.0082
86.7034
18:51
28.5
26
26.7
27.3
29.3
94.6593
85.8481
19:21
29
26
26.5
27.1
28.9
96.1551
87.118
19:51
29.5
26.6
27.1
26.9
29
96.201
85.0851
20:21
30
26.3
27.1
27.1
28.9
93.9566
87.118
20:51
30.5
26.4
27.1
27
28.8
94.7018
87.0935
21:21
31
26.3
26.8
27
28.7
96.1782
87.764
21:51
31.5
26.2
26.8
26.8
28.4
95.4227
88.3954
22:21
32
26
26.5
26.7
28.3
96.1551
88.3731
22:51
32.5
26
26.5
26.7
28.2
96.1551
89.0578
23:21
33
26
26.4
26.5
28
96.9119
89.0154
23:51
33.5
25.8
26.4
26.4
28
95.3856
88.3055
00:21
34
25.8
26.7
26.2
27.9
93.1596
87.5741
00:51
34.5
25.6
26.8
26.1
27.7
90.9498
88.2368
01:21
35
25.5
26.1
26.1
27.8
95.3572
87.5499
01:51
35.5
25.5
25.8
26.2
27.6
97.6508
89.6476
02:21
36
25.6
26.3
26.2
27.7
94.6158
88.951
02:51
36.5
25.7
26.3
26.1
27.8
95.3762
87.5499
03:21
37
25.7
26.7
26
27.7
92.4141
87.5255
03:51
37.5
25.6
26.2
26.1
27.7
95.3667
88.2368
04:21
38
25.7
26.6
26
27.7
93.1458
87.5255
04:51
38.5
25.3
25.9
26.1
27.6
95.3381
88.9293
05:21
39
25.1
25.7
25.9
27.3
95.3188
89.5861
05:51
39.5
25.3
25.9
25.7
27.3
95.3381
88.1437
06:21
40
25.3
26.1
25.8
27.3
93.8333
88.8635
06:51
40.5
25.5
25.8
25.8
27.6
97.6508
86.7909
07:21
41
25.8
27.1
25.9
27.9
90.2729
85.4647
07:51
41.5
26.2
27.9
26.1
28.2
87.5741
84.8554
54
08:21
42
26.4
28.7
26.3
28.4
83.6339
84.9137
08:51
42.5
26.7
29.6
26.2
28.5
79.9412
83.5712
09:21
43
27.2
29.8
26.4
28.8
81.9802
82.9872
09:51
43.5
27.4
31
26.9
30.7
76.0469
74.6757
10:21
44
28.2
31.5
27.3
29.9
78.1125
82.0134
10:51
44.5
28.6
32.9
27.7
30.5
72.6839
80.9136
11:21
45
28.7
34.1
27.6
30.7
67.0654
79.0647
11:51
45.5
29.1
34.9
27.9
30.9
65.3428
79.7742
12:21
46
28.9
34.4
27.9
31.3
66.682
77.4125
12:51
46.5
29
35
28
31.3
64.339
78.0351
82.1215
85.75624
RH rata-rata
Keterangan: TBB1 TBB2 TBK1 TBK2 RH1 RH2
= Suhu bola basah lingkungan = Suhu bola basah setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas = Suhu bola kering lingkungan = Suhu bola kering setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas = Kelembaban relatif lingkungan = Kelembaban relatif setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas
55
Lampiran 4. Data Daya, Tegangan, Arus dan Cos θ selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali Tegangan (Volt) 200.2
COS θ
14:21
Daya (Watt) 46
0.71
Arus listrik (Ampere) 0.32
15:51
44
199.9
0.71
0.31
17:21
41
201.1
0.66
0.31
18:21
44
202.3
0.68
0.32
19:21
43
200.4
0.69
0.31
20:21
44
202.4
0.68
0.32
21:21
45
206.4
0.66
0.34
22:21
47
210.7
0.62
0.37
23:21
51
214.6
0.61
0.39
24:21
51
216.5
0.58
0.41
01:21
52
217.1
0.57
0.41
02:21
49
217.9
0.58
0.41
03:21
51
221.5
0.54
0.43
04:21
50
220.1
0.53
0.43
05:21
49
216
0.59
0.41
06:21
48
217.4
0.57
0.39
07:21
50
218.9
0.58
0.4
08:21
49
212.1
0.61
0.37
09:21
44
203.3
0.65
0.34
10:21
43
201.5
0.63
0.34
11:21
43
198.5
0.68
0.32
12:21
48
208.7
0.64
0.36
13:21
46
203.7
0.64
0.34
14:21
46
204.2
0.66
0.35
15:21
48
206.8
0.66
0.35
16:21
47
205.6
0.64
0.35
17:21
46
205.6
0.67
0.34
18:21
37
207.2
0.48
0.36
19:21
40
208.7
0.55
0.35
20:21
38
205.5
0.54
0.35
21:21
37
208.7
0.45
0.38
22:21
38
210.6
0.48
0.39
23:21
38
205.7
0.5
0.37
00:21
36
207.4
0.48
0.36
01:21
38
207.7
0.48
0.38
02:21
39
210.5
0.48
0.39
03:21
40
212
0.47
0.4
04:21
38
210.6
0.46
0.39
Waktu
56
05:21
36
205.7
0.47
0.36
06:21
37
206.5
0.5
0.36
07:21
41
205
0.6
0.33
08:21
41
201.3
0.68
0.31
09:21
46
209.8
0.63
0.35
10:21
43
204.1
0.66
0.32
11:21
44
203.1
0.65
0.34
12:21
49
213.3
0.61
0.38
13:51
45
202.9
0.69
0.32
57
Lampiran 5. Tabel pengukuran suhu, kelembaban dan kadar air kesetimbangan yang dideteksi sensor selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali WAKTU
SHT 1 (SHT11)
SHT 2 (SHT75)
T (oC)
RH (%)
M1 (%)
T (oC)
RH (%)
M2 (%)
SHT 3 (SHT75) T (oC)
RH (%)
M3 (%)
KIPAS
9:29
0
30.2
76.8
17.68
34.5
90.5
22.2
33.3
63.6
14.21
Max
9:59
0.5
33.3
68.9
15.36
30.1
85.5
20.55
35.5
59.4
13.18
Max
10:29
1
34.1
64.5
14.33
29.1
87
21.31
35.5
58.6
13.03
Max
10:59
1.5
34.8
62.2
13.79
29.4
87.4
21.44
37.4
53.8
11.99
Max
11:29
2
35.9
55.9
12.49
29
89.2
22.34
37.6
50.9
11.46
Max
11:59
2.5
36.5
52.8
11.87
32.8
76.1
17.19
37.8
49.3
11.16
Max
12:29
3
37.6
48.3
11
32.7
75.9
17.14
39.8
44.1
10.15
Max
12:59
3.5
38.2
46.1
10.59
32.8
76
17.16
40.8
42.5
9.822
Max
13:29
4
38.8
45.3
10.41
32.2
71.4
16.06
40.8
41.4
9.64
Max
13:59
4.5
39
43.6
10.11
32.8
71.2
15.95
41.5
40.8
9.501
Max
14:29
5
39.5
43.8
10.12
33.8
69.1
15.36
42.5
40.5
9.397
Max
14:59
5.5
39.7
42.3
9.853
34.1
69.1
15.33
41
41.3
9.612
Max
15:29
6
39.8
42.5
9.88
33.5
69.9
15.57
41.2
41.7
9.666
Max
15:59
6.5
38.9
51.7
11.51
34.2
61.4
13.68
37.1
52.3
11.74
50
16:29
7
38.7
58
12.66
34.6
63.1
13.99
36.2
58
12.86
50
16:59
7.5
38.4
60.2
13.1
34.6
61.6
13.69
35.1
58.1
12.96
Max
17:29
8
37.6
57.9
12.73
31.8
66.8
15.04
32.1
66.6
14.97
30
17:59
8.5
37.4
60.9
13.32
30.9
69.8
15.81
31.4
69.7
15.74
30
18:29
9
37
61.3
13.43
30.7
69.4
15.74
30.8
70.8
16.06
OFF
18:59
9.5
36.3
61.3
13.48
30.2
71.4
16.27
30.4
72
16.4
OFF
19:29
10
35.6
58.9
13.08
30.4
71.3
16.23
30.3
73.9
16.89
OFF
19:59
10.5
34.6
60.8
13.53
30.4
72
16.4
30.2
75.1
17.21
OFF
20:29
11
34.3
62
13.8
30.1
72.6
16.58
30.1
76
17.47
OFF
20:59
11.5
34.2
62.7
13.95
30.3
72.8
16.61
29.9
78.2
18.12
OFF
21:29
12
32.4
68.1
15.27
29.7
81.1
19.03
30
80.2
18.71
30
21:59
12.5
32.4
66.5
14.91
29.7
78.1
18.11
29.6
81.8
19.28
OFF
22:29
13
32.2
67.6
15.18
29.3
78.3
18.22
29.7
81
19
OFF
22:59
13.5
32.2
65.6
14.74
29.6
75.6
17.42
29.8
80.1
18.7
OFF
23:29
14
32.2
65.5
14.72
29.6
76
17.53
29.7
80.7
18.9
OFF
23:59
14.5
32.2
65.3
14.67
29.4
76.3
17.63
29.9
80.2
18.72
OFF
0:29
15
32.1
65.7
14.77
28.9
78.3
18.27
29.6
81.7
19.24
OFF
0:59
15.5
32.1
65.5
14.73
29
78.3
18.26
29.1
83.6
19.97
OFF
1:29
16
32
65.4
14.72
28.8
79
18.49
29.1
84.6
20.34
OFF
1:59
16.5
31.8
65.4
14.73
29.2
78.3
18.23
29.6
82
19.34
OFF
2:29
17
31.7
65.3
14.72
29.1
77.8
18.1
29.6
81.6
19.21
OFF
58
2:59
17.5
31.7
65.3
14.72
29
77.2
17.94
29.5
81
19.03
OFF
3:29
18
31.9
65.3
14.7
28.9
77.1
17.92
29.9
81.5
19.14
OFF
3:59
18.5
31.7
65.3
14.72
28.8
77.2
17.96
29.2
81.2
19.13
OFF
4:29
19
31.4
65.3
14.75
28.5
77.4
18.05
29.1
81
19.08
OFF
4:59
19.5
31.2
65.3
14.77
28.3
77.4
18.08
28.9
80.6
18.98
OFF
5:29
20
31.2
65.4
14.79
28.4
77.5
18.1
29.7
82
19.33
OFF
5:59
20.5
31.1
68
15.38
28.1
83.5
20.07
28.2
85.7
20.89
OFF
6:29
21
31.2
68.6
15.5
29.3
82.9
19.69
29.7
80.7
18.9
30
6:59
21.5
31.1
66.4
15.02
29.1
83.2
19.82
29.6
81.2
19.08
OFF
7:29
22
31
66.2
14.99
30
82
19.29
30.6
74.9
17.12
35
7:59
22.5
31.5
70.6
15.94
29.2
81.9
19.36
32.1
69.8
15.69
MAX
8:29
23
32.5
67.4
15.1
28.2
79.3
18.66
32.6
68.7
15.39
50
8:59
23.5
33.5
64.2
14.32
28.2
77.2
18.03
34
64.7
14.38
50
9:29
24
34.6
61.6
13.69
30.4
78.7
18.2
34.8
60.2
13.4
MAX
9:59
24.5
34.8
61.4
13.63
29.9
75.3
17.3
34.9
60
13.35
MAX
10:29
25
35.1
61.1
13.55
30
74.5
17.08
35.1
60
13.33
MAX
10:59
25.5
35.4
60.8
13.46
30
72.3
16.52
35.4
59.9
13.29
MAX
11:29
26
36
59.6
13.18
30.6
72.1
16.4
36.2
58.9
13.03
MAX
11:59
26.5
37.3
57.3
12.64
30.9
70.5
15.98
36.4
58.3
12.9
50
12:29
27
35.6
60.9
13.46
30.4
69.8
15.87
36.6
57.5
12.73
MAX
59
Lampiran 6. Tabel pengukuran kecepatan angin selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali WAKTU 9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29 12:59 13:29 13:59 14:29 14:59 15:29 15:59 16:29 16:59 17:29 17:59 18:29 18:59 19:29 19:59 20:29 20:59 21:29 21:59 22:29 22:59 23:29 23:59 0:29 0:59 1:29 1:59 2:29 2:59 3:29 3:59 4:29 4:59
0 1.5 3 4.5 6 7.5 9 10.5 12 13.5 15 16.5 18 19.5 21 22.5 24 25.5 27 28.5 30 31.5 33 34.5 36 37.5 39 40.5 42 43.5 45 46.5 48 49.5 51 52.5 54 55.5 57 58.5
Kec. Out (m/s) 0.19 0.23 0.25 0.2 0.23 0.18 0.24 0.26 0.24 0.19 0.22 0.22 0.25 0.14 0.16 0.19 0.16 0.14 0.02 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.13 0.02 0.03 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.03 0.01 0.03 0.02 0.03 0.03 0.01
Laju Out (m3/s) 0.00789 0.009551 0.010382 0.008305 0.009551 0.007475 0.009966 0.010797 0.009966 0.00789 0.009136 0.009136 0.010382 0.005814 0.006644 0.00789 0.006644 0.005814 0.000831 0.000415 0.001246 0.000415 0.000415 0.000415 0.005398 0.000831 0.001246 0.000831 0.000415 0.000415 0.000831 0.000831 0.000831 0.001246 0.000415 0.001246 0.000831 0.001246 0.001246 0.000415
60
5:29 5:59 6:29 6:59 7:29 7:59 8:29 8:59 9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29
60 61.5 63 64.5 66 67.5 69 70.5 72 73.5 75 76.5 78 79.5 81
0.01 0.02 0.15 0.01 0.14 0.22 0.11 0.13 0.25 0.22 0.22 0.21 0.2 0.13 0.2
0.000415 0.000831 0.006229 0.000415 0.005814 0.009136 0.004568 0.005398 0.010382 0.009136 0.009136 0.008721 0.008305 0.005398 0.008305
Keterangan: Kec. Out Laju Out
= kecepatan angin setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas = Kec. Out x keliling lingkaran
61
Lampiran 7. Tabel pengukuran suhu tumpukan selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali Waktu 9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29 12:59 13:29 13:59 14:29 14:59 15:29 15:59 16:29 16:59 17:29 17:59 18:29 18:59 19:29 19:59 20:29 20:59 21:29 21:59 22:29 22:59 23:29 23:59 0:29 0:59 1:29 1:59 2:29 2:59 3:29 3:59 4:29 4:59
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5 15 15.5 16 16.5 17 17.5 18 18.5 19 19.5
Suhu 1 (oC) 30 31.4 33.2 33.9 35.2 36 36.4 36.6 37.9 38.4 39 39.4 39.6 39.2 38.9 38.5 37.6 37.4 36.8 36.2 35.3 34.7 34.2 34.1 32.6 32.5 32.1 32 31.9 31.9 31.8 31.7 31.6 31.4 31.4 31.3 31.3 31.2 30.9 30.8
Suhu 2 (oC) 30.7 28.9 29.9 31.2 31.9 32.8 33.4 33.4 35.1 35.8 36.3 37.2 37.5 37.4 37 36.6 35.7 35.1 34.7 34.1 33.4 33 32.6 32.5 32.3 32.3 32 31.8 31.7 31.6 31.3 31.1 31 30.9 30.7 30.7 30.8 30.8 30.5 30.3
Suhu 3 (oC) 32.1 28.1 28.1 28.5 28.8 29.1 29.3 29.5 30.4 31.2 32.5 33.1 33.5 33.7 33.7 35.3 32.6 32.9 32 31.8 31 31.1 30.5 30.7 29.8 29.9 29.8 29.6 29.5 29.5 29.5 29.5 29.5 29.4 29.5 29.6 29.6 29.6 29.5 29.4
Suhu 4 (oC) 33.9 29.3 27.6 28.1 28 28 27.1 27.5 27.7 28.1 28.2 29 29.2 29.8 30.3 30.6 31 31 31.2 31.1 30.9 30.8 30.7 31 28.7 28.9 28.3 28.5 28.4 28.6 28.6 28.7 28.8 29 29.1 29.1 29.3 29.3 29.5 29.5
Suhu 5 (oC) 33.4 29.2 27.9 27.9 28.1 28.1 27.5 27.8 28.2 28.9 28.8 29.2 29.3 32.7 32.8 32.7 31.1 30.7 30.2 30.2 30.1 29.6 29.8 29.9 29.6 29.4 28.9 29 28.9 28.8 28.7 28.5 28.5 28.6 28.6 28.7 28.6 28.5 28.3 28.1
62
5:29 5:59 6:29 6:59 7:29 7:59 8:29 8:59 9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29
20 20.5 21 21.5 22 22.5 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 27
30.8 30.9 30.7 30.6 30.6 31 32 33.1 34.6 34.6 35 35.4 36.1 36.4 36.7
30.3 30.1 29.9 29.9 29.9 30.3 30.6 31.5 33.1 33.1 33.5 33.9 34.8 35.2 35.8
29.4 29.1 28.5 28.8 28.7 28.7 29.1 29.7 30.9 30.7 31.3 31.8 32.8 33.2 33.8
29.5 29.1 28.6 28.9 29.1 27.4 27.4 27.6 28.4 28.4 28.6 28.9 29.5 29.7 30.4
28 28 28.5 28.6 28.9 28.8 28.1 28.5 30.5 30.3 29.1 29.7 29.9 30.2 29.7
Keterangan: Suhu 1 = Suhu tumpukan jagung paling bawah Suhu 2 = Suhu tumpukan jagung kedua setelah tumpukan jagung paling bawah (jarak 18cm) Suhu 3 = Suhu tumpukan jagung ketiga (jarak 18cm dari tumpukan jagung kedua) Suhu 4 = Suhu tumpukan jagung keempat (jarak 18cm dari tumpukan jagung ketiga) Suhu 5 = Suhu tumpukan jagung paling atas (jarak 18cm dari tumpukan jagung keempat)
63
Lampiran 8. Tabel pengukuran kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H) selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali Waktu
9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29 12:59 13:29 13:59 14:29 14:59 15:29 15:59 16:29 16:59 17:29 17:59 18:29 18:59 19:29 19:59 20:29 20:59 21:29 21:59 22:29 22:59 23:29 23:59 0:29 0:59 1:29 1:59 2:29 2:59 3:29 3:59 4:29
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5 15 15.5 16 16.5 17 17.5 18 18.5 19
Tumpukan
Lingkungan
Tbk (oC)
Tbb (oC)
RH (%)
H (g uap/kg u.k)
Tbk (oC)
Tbb (oC)
RH (%)
33.3 29.6 28.6 28.6 29.9 28.9 28.9 28.4 29.1 28.5 29 29.1 28.9 34.8 34.2 34.2 32 30.8 30.3 30 30.2 29.9 30.1 30.2 29.3 29.3 28.9 29.4 29.2 29.3 29 28.9 28.7 29 28.9 28.8 28.7 28.5 28.3
26.9 27.9 27.8 28.3 27.9 27.7 27.5 27.5 27.6 27.9 27.9 27.9 28.4 28.1 28.5 28.2 26.7 26.5 26 26.4 26.1 26.3 26.1 26.2 26.4 26.4 26.2 26.3 26.3 26.2 26.5 26.3 26.5 26.7 26.5 26.1 25.9 25.9 25.7
61.14 87.96 93.41 97.77 85.99 91.3 89.89 93.37 89.23 95.57 92.03 91.34 96.33 60.53 65.45 63.84 66.41 71.64 71.38 75.58 72.56 75.54 73.12 73.17 79.81 79.81 80.98 78.54 79.77 78.49 82.36 81.66 84.3 83.71 83 80.95 80.24 81.52 82.81
0.019625083 0.023000716 0.023055381 0.024173335 0.022872593 0.022925359 0.022558468 0.022769219 0.022656981 0.0234669 0.023254699 0.02321274 0.024237604 0.021174501 0.022179667 0.021615111 0.019817755 0.019973701 0.019320386 0.020133592 0.019534004 0.020003591 0.019573347 0.019703426 0.020429817 0.020429817 0.020249652 0.020214316 0.020297798 0.020081014 0.02072979 0.020425275 0.020856599 0.021081097 0.020771636 0.02012119 0.01982011 0.019906556 0.019990436
30.9 34.2 34.2 36.5 36.3 36.6 38.8 39 38.3 39.2 40.4 40.6 40 36.2 35.1 34.7 30.9 31 30.8 29.8 29.5 29.5 29.2 29.8 29.1 28.8 28.5 29.6 29.3 28.7 28.2 28.5 28.8 29.1 29.1 29.1 28.4 28.3 28.4
27.3 28.7 27.7 28.1 28.1 28.2 28 27.6 28.1 28.2 28 28.4 28.7 28.1 28.4 28.4 27.3 27 26.4 26.1 27.9 27.9 27 27.1 27.3 27.9 26.5 26.4 26.5 26.4 26.5 26.4 26.5 26.6 26.5 26.4 26 26.1 26.1
75.98 66.54 61.19 53.32 54.12 54.59 44.49 42.21 46.62 43.99 39.47 40.39 43.42 54.53 60.72 62.55 75.98 73.56 71.03 74.86 88.62 88.62 84.45 81.3 87.15 93.43 85.62 77.97 80.47 83.62 85.62 84.97 83.65 82.39 81.72 81.06 82.84 84.18 83.52
H (g uap/kg u.k) 0.021350671 0.022562444 0.020688024 0.020460594 0.020543957 0.021083289 0.019307739 0.018492864 0.019706123 0.019511846 0.018641068 0.019299297 0.020120517 0.02058779 0.021611398 0.021780649 0.021350671 0.020770109 0.019798216 0.019700554 0.02304159 0.02304159 0.021529863 0.021453794 0.022110061 0.023339659 0.020941453 0.020303155 0.020604361 0.020682767 0.020567301 0.020777161 0.020814769 0.020861939 0.020686647 0.020514064 0.020118316 0.020331966 0.020288846
64
4:59 5:29 5:59 6:29 6:59 7:29 7:59 8:29 8:59 9:29 9:59 10:29 10:59 11:29 11:59 12:29
19.5 20 20.5 21 21.5 22 22.5 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 27
28.2 28.2 28.2 28.9 29.1 29.8 28 27.5 27.6 27.9 28.1 28.6 28.7 29.1 29.3 29.6
25.7 25.6 25.5 25.9 26.2 26 26.5 26.6 27.1 27.3 27.6 27.9 28.1 28.5 28.7 28.2
82.09 81.41 80.73 79 79.73 79.66 89 96.98 96.23 95.51 96.27 94.85 95.58 92.75 95.63 90.02
0.019692492 0.019524247 0.01935609 0.019738826 0.020166564 0.021006408 0.021150742 0.022428211 0.0223838 0.022617284 0.023081259 0.023424186 0.023753954 0.023584658 0.024639852 0.02355979
28.5 28 27.9 29.1 28.9 30.2 31.5 31.3 32.5 33.6 34.1 34.3 34.6 35 35 34.3
25.9 25.9 26.5 26.9 26.8 27.2 27.7 27.1 27.1 27.4 27.9 28.1 28.2 28.6 28.8 28.7
79.5 82.71 89.7 84.42 85.04 79.49 75 72.49 66.14 61.87 62.71 62.83 61.96 62.21 63.25 66.05
0.019397905 0.019608807 0.021194563 0.021393634 0.02129965 0.021464021 0.021823601 0.020822368 0.020318382 0.020214306 0.02109761 0.02138419 0.021444616 0.022034012 0.022415642 0.022519795
65
Lampiran 9. Tabel penurunan kadar air basis basah dan basis kering selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali Waktu
9:29 10:59 12:29 13:59 15:29 16:59 18:29 19:59 21:29 22:59 0:29 1:59 3:29 4:59 6:29 7:59 9:29 10:59 12:29
0 1.5 3 4.5 6 7.5 9 10.5 12 13.5 15 16.5 18 19.5 21 22.5 24 25.5 27
%b.b Lap. Atas 17.5 18.2 17.6 17.5 17.3 17.4 17 16.8 17 16.9 17.1 16.8 16.9 16.8 17 16.7 16.2 15.8 15.4
Lap. Tengah 19.6 18.8 18.3 17.3 16.3 15.6 15.3 15.2 15.2 15.1 15.4 15.3 15.4 15.5 15.3 15.4 15.1 14.5 14.1
Lap. Bawah 14.6 14.3 13.6 12.8 12.3 12.2 12.4 12.3 12.2 11.9 12.2 12 12.3 12.3 12.5 12.4 12.3 12.1 12
%b.k Ratarata 17.23 17.1 16.5 15.87 15.3 15.07 14.9 14.77 14.8 14.63 14.9 14.7 14.87 14.87 14.93 14.83 14.53 14.13 13.83
Lap. Atas 21.21 22.25 21.36 21.21 20.92 21.07 20.48 20.19 20.48 20.34 20.63 20.19 20.34 20.19 20.48 20.05 19.33 18.76 18.2
Lap. Tengah 24.38 23.15 22.4 20.92 19.47 18.48 18.06 17.92 17.92 17.79 18.2 18.06 18.2 18.34 18.06 18.2 17.79 16.96 16.41
Lap. Bawah 17.1 16.69 15.74 14.68 14.03 13.9 14.16 14.03 13.9 13.51 13.9 13.64 14.03 14.03 14.29 14.16 14.03 13.77 13.64
Ratarata 20.9 20.7 19.83 18.94 18.14 17.81 17.57 17.38 17.43 17.21 17.58 17.3 17.52 17.52 17.61 17.47 17.05 16.5 16.08
66
Lampiran 10. Tabel konsumsi energi listrik tahap 1, tahap 2 dan rangkaian sistem kendali selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali Putaran Kipas (m/s) 2.24 (maks) 1.96 1.71 1.34 0.83 0.67 0 (off)
Waktu (jam) 8.1167 0.633 0.383 0.883 1.467 1.883 6.583
Daya (Watt) 48 45 40 37 25 22 0
Tegangan (V) 206.3 199.4 186.3 190.1 183.3 79.7 4.5
Arus listrik (Ampere) 0.35 0.34 0.34 0.35 0.42 0.56 0.08
Cos θ
Tegangan (Volt) 206.3 199.4 186.3 190.1 183.3 79.7 4.5
Arus listrik (Ampere) 0.35 0.34 0.34 0.35 0.42 0.56 0.08
Cos θ
0.67 0.68 0.63 0.56 0.33 0.49 0
Total
Putaran Kipas (m/s) 2.24 (maks) 1.96 1.71 1.34 0.83 0.67 0 (off)
Waktu (jam) 10.5167 0.65 0.167 0.8167 15.23
Daya (Watt) 48 45 40 37 25 22 0
0.67 0.68 0.63 0.56 0.33 0.49 0
Total
Energi Listrik (Wh) 389.6016 28.485 15.32 32.671 36.675 41.426 0 544.1786
Energi Listrik (Wh) 504.8016 17.9674 6.68 0 0 17.9674 0 558.699
jenis
Daya (Watt)
Tegangan (Volt)
Arus listrik (Ampere)
Cos θ
Rangkaian Sistem Kendali
11
211.8
0.09
0.58
67
Lampiran 11. Program pembacaan Sensor SHT11, SHT75, LCD dan strategi pengendalian #include
#include <math.h> #include <stdio.h> #include #define USE_ASSEMBLY (1) #define InitLCD 0x0740 #define CommandLCD 0x07B0 #define WriteLCD 0x07D0 #define ReadLCD 0x07F0 #define ReadAddrLCD 0x0820 //unsigned char SetDDRAM @ 0x0850; #define SetDDRAM 0x0850 #define SetCGRAM 0x0870 //Command #define Display_clr 0x01 #define Cursor_home 0x02 #define Display_off 0x08 #define Cursor_off 0x0C #define Cursor_on 0x0E #define Cursor_blink 0x0F #define CurShLeft 0x10 #define CurShRight 0x14 #define Disp_Sh_left 0x18 #define Disp_Sh_right 0x1C #define Cursor_inc 0x06 //Hubungan DT-51 LCMS dengan Sensirion SHT11 #define ShtData1 P3_B2 //Pin 1 (Data) SHT1 terhubung dengan P3.2 //#define ShtData2 P3_B3 //Pin 1 (Data) SHT2 terhubung dengan P3.3 #define ShtData2 P1_B5 //Data SHT75 dihubungkan dg P1.7 #define sck2 P1_B4 // SCK SHT75 dihubungkan dg P1.6 #define ShtData3 P1_B7 //Data SHT75 dihubungkan dg P1.7 #define sck3 P1_B6 // SCK SHT75 dihubungkan dg P1.6 //Pin 4 SHT11 terhubung GND pada pin 1 header PORT1 //Pin 8 SHT11 terhubung VCC pada pin 2 header PORT1 #define TRUE 0x01 // Value representing TRUE #define FALSE 0x00 // Value representing FALSE #define ON 0x01 // Value representing ON #define OFF 0x00 // Value representing OFF #define HIGH 0x01 // Value representing ON #define LOW 0x00 // Value representing OFF unsigned char PORTA @ 0x2000; unsigned char PORTB @ 0x2001; unsigned char PORTC @ 0x2002; unsigned char CPORT @ 0x2003; unsigned char Flag @ 0x21; unsigned char Nilai @ 0x30; //#define SDATA P3_B4 // Serial data I2C near unsigned int Temp,Humi;
68
char unsigned bit TimeOut,Ackbit; //Ackbit : '0' (ACK), '1' (NOACK) extern near unsigned char ACC; //code unsigned char Pesan1[] = " KENDALI-SUHU"; //code unsigned char Pesan2[] = " TEP-IPB 2012 "; void delay5ms(void); void delay50ms(void); unsigned char keyscan(void); void Serial_Out(unsigned char Data); void initlcd(void); void disp_clear(void); void disp_off(void); void Kirim_Karakter(void); void Posisi_Awal(void); void GeserCursor_Kiri(void); void GeserCursor_Kanan(void); void GeserDisplay_Kanan(void); void GeserDisplay_Kiri(void); void Baris2(void); void KirimPesan_LCD(unsigned char *msg); void PrintString(const char *msg); void delay1s(void); void LCD_sdata(unsigned char var); //-------------- pembacaan LCD ------------void initlcd(void){ #asm lcall InitLCD #endasm; delay5ms(); disp_clear(); } void disp_clear(void) { #asm mov A,#0x01 lcall CommandLCD #endasm delay50ms(); } void Posisi_Awal(void){ unsigned char i; #asm mov A,#Cursor_home lcall CommandLCD #endasm; for (i=0;i<10;i++) delay50ms(); } void GeserCursor_Kanan(void){ unsigned char i; #asm mov A,#CurShRight lcall CommandLCD #endasm;
69
for (i=0;i<5;i++) delay50ms(); } void GeserCursor_Kiri(void){ #asm mov A,#CurShLeft lcall CommandLCD #endasm; delay5ms(); } void tulis_data(unsigned char var1, unsigned char var2){ ACC = var1; #asm lcall SetDDRAM #endasm; ACC = var2; #asm lcall WriteLCD #endasm delay5ms(); } void Baris2(void){ #asm mov A,#40H lcall CommandLCD #endasm; delay5ms(); } void LCD_sdata(unsigned char var){ ACC = var; #asm lcall WriteLCD #endasm delay50ms(); } void LCD_senddata(unsigned char var){ #asm lcall WriteLCD #endasm delay50ms(); } void LCD_sendstring(unsigned char *var){ while(*var) //till string ends LCD_senddata(*var++); //send characters one by one } void disp_off(void) { #asm mov A,#0x08 lcall CommandLCD #endasm
70
delay50ms(); } void Serial_Out(unsigned char Data){ TI = 0; SBUF = Data; while (!TI); } char dapathuruf(void) { while(RI==0); RI=0; return SBUF; } void init232(void) //9600 bps, 8N1 { TMOD=(TMOD&0x0F)|0x20; //Timer 1 Mode 2 (Auto reload) SCON=0x52; //Serial Mode 1 (8-bit UART), REN=1 (Receiver Enable) // TI=1 (Transmit buffer empty) PCON=PCON&0x7F; //SMOD=0 (Double baud rate disable) TH1=0xFD; //9600 bps (11,059 MHz) ET1=0; //Disable Timer 1 interrupt TR1=1; //Timer 1 Run } void delay50ms(void){ unsigned char i; for (i=0; i<10; i++) delay5ms(); } void delay1s(void){ unsigned char i; for (i=0; i<200; i++) delay5ms(); } void delay5ms(void){ unsigned char Temp; Temp = TMOD; TMOD = 0x21; TH0 = 0xED; TL0 = 0xFF; TR0 = 1; TF0 = 0; while (!TF0); TR0 = 0; TMOD = Temp; } void sck1nol(void) { //pin PA0 untuk SHT1 low unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FE; PORTA=aa; } void sck1satu(void) { //pin PA0 untuk SHT1 high unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FE | 0x01; PORTA=aa;
71
} void sck2nol(void) { //pin PA1 untuk SHT2 low unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FD; PORTA=aa; } void sck2satu(void) { //pin PA1 untuk SHT2 high unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FD | 0x02; PORTA=aa; } void sck3nol(void) { //pin PA1 untuk SHT2 low unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FD; PORTA=aa; } void sck3satu(void) { //pin PA1 untuk SHT2 high unsigned char aa; aa=PORTA & 0x0FD | 0x02; PORTA=aa; } //------// Delays //------void delay_us (unsigned int time_end) { unsigned int index; for (index = 0; index < time_end; index++); } void delay_ms (unsigned int time_end) { unsigned int index; unsigned int us; for (index = 0; index < time_end; index++) { for (us = 0; us < 100; us++); } } void SHT_Start1 (void) { ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input, sehingga berlogika '1' delay_us(1000); sck1nol(); delay_us(1000); sck1satu(); //Clock pertama delay_us(1000); ShtData1=0; //Pin ShtData = '0' delay_us(1000); sck1nol(); delay_us(500); sck1satu(); //Clock kedua delay_us(1000); ShtData1=1; //Pin ShtData = '1' (input)
72
delay_us(1000); sck1nol(); //Pin ShtClock = '0' delay_us(1000); } void SHT_Start2 (void) { ShtData2=1; //Pin ShtData sebagai input, sehingga berlogika '1' delay_us(1000); sck2 = 0; delay_us(1000); sck2 = 1; //Clock pertama delay_us(1000); ShtData2=0; //Pin ShtData = '0' delay_us(1000); sck2 = 0; delay_us(500); sck2 = 1; //Clock kedua delay_us(1000); ShtData2=1; //Pin ShtData = '1' (input) delay_us(1000); sck2 = 0; //Pin ShtClock = '0' delay_us(1000); } void SHT_Start3 (void) { ShtData3=1; //Pin ShtData sebagai input, sehingga berlogika '1' delay_us(1000); sck3 = 0; delay_us(1000); sck3 = 1; //Clock pertama delay_us(1000); ShtData3=0; //Pin ShtData = '0' delay_us(1000); sck3 = 0; delay_us(500); sck3 = 1; //Clock kedua delay_us(1000); ShtData3=1; //Pin ShtData = '1' (input) delay_us(1000); sck3 = 0; //Pin ShtClock = '0' delay_us(1000); } //--- Reset komunikasi: 9 clock cyle dengan ShtData '1', lalu kondisi start --void SHT_Connection_Reset1 (void) { unsigned char i; ShtData1=1; sck1nol(); for (i=0; i<9; i++) { sck1satu(); //Kirim Data (ShtClock rising edge), 9 kali delay_us(1000); sck1nol(); delay_us(1000); } SHT_Start1(); //Transmission Start
73
} void SHT_Connection_Reset2 (void) { unsigned char i; ShtData2=1; sck2 = 0; for (i=0; i<9; i++) { sck2 = 1; //Kirim Data (ShtClock rising edge), 9 kali delay_us(1000); sck2 = 0; delay_us(1000); } SHT_Start2(); //Transmission Start } void SHT_Connection_Reset3 (void) { unsigned char i; ShtData3=1; sck3 = 0; for (i=0; i<9; i++) { sck3 = 1; //Kirim Data (ShtClock rising edge), 9 kali delay_us(1000); sck3 = 0; delay_us(1000); } SHT_Start3(); //Transmission Start } //Tunggu sampai SHT11 selesai melakukan pengukuran (pin Data = '0') //Timeout pengukuran sekitar 1/4 detik (TimeOut = '0' --> measure OK) void SHT_Wait1 (void) { unsigned char i;unsigned int hit; // unsigned char j; ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=0; i<500; i++){;} hit=0; do {TimeOut=ShtData1; hit++;} while((TimeOut != 0) && (hit <= 20000)); } void SHT_Wait2 (void) { unsigned char i;unsigned int hit; unsigned char j; ShtData2=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=0; i<500; i++){;} hit=0; do {TimeOut=ShtData2;
74
hit++;} while((TimeOut != 0) && (hit <= 20000)); } void SHT_Wait3 (void) { unsigned char i;unsigned int hit; unsigned char j; ShtData3=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=0; i<500; i++){;} hit=0; do {TimeOut=ShtData3; hit++;} while((TimeOut != 0) && (hit <= 20000)); } //Transmit Data dan ambil bit Acknowledge void SHT_Write_Byte1 (unsigned char data){ unsigned char i,ab;unsigned int hit; for (i=128; i>=1; i/=2) {ab=data; if ((ab & i) == i) ShtData1=1; //Kirim MSB first else ShtData1=0; sck1satu(); //Kirim Data (ShtClock rising edge) delay_us(500); sck1nol(); delay_us(500); } ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input sck1satu(); delay_us(100); hit=0; do {Ackbit=ShtData1; //Ambil sinyal acknowledge hit++; }while((Ackbit != 0) && (hit <= 20000)); sck1nol(); delay_us(100); } void SHT_Write_Byte2 (unsigned char data){ unsigned char i,ab;unsigned int hit; for (i=128; i>=1; i/=2) {ab=data; if ((ab & i) == i) ShtData2=1; //Kirim MSB first else ShtData2=0; sck2 = 1; //Kirim Data (ShtClock rising edge) delay_us(500); sck2 = 0; delay_us(500); } ShtData2=1; //Pin ShtData sebagai input sck2 = 1; delay_us(100);
75
hit=0; do {Ackbit=ShtData2; //Ambil sinyal acknowledge hit++; }while((Ackbit != 0) && (hit <= 20000)); sck2 = 0; delay_us(100); } void SHT_Write_Byte3 (unsigned char data){ unsigned char i,ab;unsigned int hit; for (i=128; i>=1; i/=2) {ab=data; if ((ab & i) == i) ShtData3=1; //Kirim MSB first else ShtData3=0; sck3 = 1; //Kirim Data (ShtClock rising edge) delay_us(500); sck3 = 0; delay_us(500); } ShtData3=1; //Pin ShtData sebagai input sck3 = 1; delay_us(100); hit=0; do {Ackbit=ShtData3; //Ambil sinyal acknowledge hit++; }while((Ackbit != 0) && (hit <= 20000)); sck3 = 0; delay_us(100); } //Receive Data dan kirim bit "AckBit" ('0' untuk ACK atau '1' untuk NACK) unsigned char SHT_Read_Byte (void) { unsigned char i,data; ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=0; i<8; i++) { data<<=1; sck1satu(); delay_us(500); data|=ShtData1; //Ambil Data (MSB first) sck1nol(); delay_us(500); } if (Ackbit==1) ShtData1=1; //Kirim Noacknowledge else ShtData1=0; //Kirim Acknowledge delay_us(1000); sck1satu(); delay_us(500); sck1nol(); delay_us(500); ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input return data; }
76
unsigned char SHT_Read_Byte1(void){ unsigned char i; unsigned int data=0; sck1nol(); // ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=128; i>=1; i/=2) { sck1satu(); if(ShtData1==1){data = data | i;}; delay_us(50); sck1nol(); delay_us(50); } if (Ackbit==1) ShtData1=1; //Kirim Noacknowledge else ShtData1=0; //Kirim Acknowledge sck1satu(); delay_us(50); sck1nol(); delay_us(50); ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input return(data); } unsigned char SHT_Read_Byte2(void){ unsigned char i; unsigned int data=0; sck2 =0; // ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=128; i>=1; i/=2) { sck2 = 1; if(ShtData2==1){data = data | i;}; delay_us(50); sck2 = 0; delay_us(50); } if (Ackbit==1) ShtData2=1; //Kirim Noacknowledge else ShtData2=0; //Kirim Acknowledge sck2 = 1; delay_us(50); sck2 = 0; delay_us(50); ShtData2=1; //Pin ShtData sebagai input return(data); } unsigned char SHT_Read_Byte3(void){ unsigned char i; unsigned int data=0; sck3 = 0; // ShtData1=1; //Pin ShtData sebagai input for (i=128; i>=1; i/=2) { sck3 = 1; if(ShtData3==1){data = data | i;}; delay_us(50); sck3 = 0; delay_us(50);
77
} if (Ackbit==1) ShtData3=1; //Kirim Noacknowledge else ShtData3=0; //Kirim Acknowledge sck3 = 1; delay_us(50); sck3 = 0; delay_us(50); ShtData3=1; //Pin ShtData sebagai input return(data); } unsigned int SHT_Measure1(unsigned char var){ unsigned int dtt1,dtt2; unsigned int ADC_Temp;unsigned char bb=0; SHT_Write_Byte1(var); //Command Measure Temperature SHT_Wait1(); //Tunggu sampai pengukuran selesai bb=0x30+Ackbit; Ackbit=0; //Kirim ACK untuk menerima byte berikutnya dtt1=SHT_Read_Byte1(); //Ambil byte MSB Ackbit=1; //Kirim NACK untuk mengakhiri penmgambilan data dtt2=SHT_Read_Byte1(); //Ambil byte LSB //Catatan: Faktor konversi pada rumus dikalikan dengan 100 untuk // memperoleh hasil pengukuran temperature per-100 derajat (0,01) // dengan adanya pembulatan ADC_Temp= (dtt1 *256 + dtt2); return(ADC_Temp); } unsigned int SHT_Measure2(unsigned char var){ unsigned int dtt1,dtt2; unsigned int ADC_Temp;unsigned char bb=0; SHT_Write_Byte2(var); //Command Measure Temperature SHT_Wait2(); //Tunggu sampai pengukuran selesai bb=0x30+Ackbit; Ackbit=0; //Kirim ACK untuk menerima byte berikutnya dtt1=SHT_Read_Byte2(); //Ambil byte MSB Ackbit=1; //Kirim NACK untuk mengakhiri penmgambilan data dtt2=SHT_Read_Byte2(); //Ambil byte LSB //Catatan: Faktor konversi pada rumus dikalikan dengan 100 untuk // memperoleh hasil pengukuran temperature per-100 derajat (0,01) // dengan adanya pembulatan ADC_Temp= (dtt1 *256 + dtt2); return(ADC_Temp); } unsigned int SHT_Measure3(unsigned char var){ unsigned int dtt1,dtt2; unsigned int ADC_Temp;unsigned char bb=0; SHT_Write_Byte3(var); //Command Measure Temperature SHT_Wait3(); //Tunggu sampai pengukuran selesai bb=0x30+Ackbit; Ackbit=0; //Kirim ACK untuk menerima byte berikutnya dtt1=SHT_Read_Byte3(); //Ambil byte MSB
78
Ackbit=1; //Kirim NACK untuk mengakhiri penmgambilan data dtt2=SHT_Read_Byte3(); //Ambil byte LSB //Catatan: Faktor konversi pada rumus dikalikan dengan 100 untuk // memperoleh hasil pengukuran temperature per-100 derajat (0,01) // dengan adanya pembulatan ADC_Temp= (dtt1 *256 + dtt2); return(ADC_Temp); } //Pengukuran dan pembacaan Relative Humidity dari SHT11 // Relatitive Humidity (linear) // RHLin = c1 + c2 * SORH + c3 * SORH^2 // Untuk pengukuran 12-bit: c1 = -4; c2 = 0,0405 dan c3 = -2,8*10^-6 // RHLin = (ADC_RH * 0,0405) - (ADC_RH^2 * 0,0000028) - 4 unsigned char ddt1,ddt2; unsigned int SHT_Measure_Humidity1 (void) { unsigned int ADC_RH; // SHT_Start(); SHT_Write_Byte1(0x05); //Command Measure Humadity if (Ackbit==0) { SHT_Wait1(); if (TimeOut==0) { Ackbit=0; ddt1 = SHT_Read_Byte(); Ackbit=1; ddt2 = SHT_Read_Byte(); } } return ddt2; } unsigned int SHT_Measure_Humidity2 (void) { unsigned int ADC_RH; // SHT_Start(); SHT_Write_Byte2(0x05); //Command Measure Humadity if (Ackbit==0) { SHT_Wait2(); if (TimeOut==0) { Ackbit=0; ddt1 = SHT_Read_Byte(); Ackbit=1; ddt2 = SHT_Read_Byte(); } } return ddt2; } float min(float var1,float var2){ float var3; if(var1
79
unsigned int SHT_Measure_Humidity3 (void) { unsigned int ADC_RH; // SHT_Start(); SHT_Write_Byte3(0x05); //Command Measure Humadity if (Ackbit==0) { SHT_Wait3(); if (TimeOut==0) { Ackbit=0; ddt1 = SHT_Read_Byte(); Ackbit=1; ddt2 = SHT_Read_Byte(); } } return ddt2; } float min1(float var1,float var2){ float var3; if(var1
80
unsigned char suhupeng = 0x03, rhpeng = 0x05; unsigned int hasil_adc; unsigned char i, k=0,l=0; float suhu, suhu1,rh,rh1,rh5; float suhu11,suhu22,suhu33,rh11,rh22,rh33; float m1=0; float m2=0; float m3=0; float kk=0.0000865; float c=49.81; float n=1.8634; float bagi=0; dccon = 0x0C0; //INISIALISASI PPI CPORT=0x80; //---- port a, b, c sebagai keluaran initlcd(); delay_us(1000); Emin1 = -2; aaa = 0; init232(); //sck2nol(); //P3_B2 = 0; //ShtData2 = 0; //ShtData3 = 0; //sck3 = 0; //for(;;); for(;;){ // huruf=dapathuruf(); //if(huruf=='1') //{ //-----------------pengukuran suhu SHT1------------------//_wait_ms(1000); SHT_Connection_Reset1(); //Connection Reset // Temp=SHT_Measure_Temp(); temp=SHT_Measure1(suhupeng); temp = temp & 0x3fff; //measure suhu 14 bit suhu=(0.879*(-40.1 + 0.01 * temp)+5.082); suhu11 = suhu; Temp1=suhu*10/1000; Temp2=(suhu*10-Temp1*1000)/100; Temp3=(suhu*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(suhu*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x00,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x01,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x02,Temp3); tulis_data(0x03,0x2e); Temp4=Temp4+0x30;
81
tulis_data(0x04,Temp4); // tulis_data(0x05,0x43); //-----------------pengukuran suhu SHT2------------------// _wait_ms(1000); SHT_Connection_Reset2(); //Connection Reset // Temp=SHT_Measure_Temp(); temp=SHT_Measure2(suhupeng); temp = temp & 0x3fff; //measure suhu 14 bit suhu1= 1.159*(0.879*(-40.1 + 0.01 * temp)+5.082)- 3.715; suhu22 = suhu1; Temp1=suhu1*10/1000; Temp2=(suhu1*10-Temp1*1000)/100; Temp3=(suhu1*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(suhu1*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x40,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x41,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x42,Temp3); tulis_data(0x43,0x2e); Temp4=Temp4+0x30; tulis_data(0x44,Temp4); // tulis_data(0x45,0x43); //-----------------pengukuran suhu SHT3------------------// _wait_ms(1000); SHT_Connection_Reset3(); //Connection Reset // Temp=SHT_Measure_Temp(); temp=SHT_Measure3(suhupeng); temp = temp & 0x3fff; //measure suhu 14 bit suhu1=-41.1 + 0.01 * temp; suhu33 = suhu1; Temp1=suhu1*10/1000; Temp2=(suhu1*10-Temp1*1000)/100; Temp3=(suhu1*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(suhu1*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x0c,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x0d,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x0e,Temp3); // tulis_data(0x43,0x2e); Temp4=Temp4+0x30; tulis_data(0x0f,Temp4); // tulis_data(0x45,0x43); //------ pengukuran rh1 ---------------------------
82
SHT_Connection_Reset1(); //Connection Reset temp=SHT_Measure1(rhpeng); temp = temp & 0x0fff; // measure rh 12 bit rh = -2.0468 + 0.0367 * temp - 0.0000015955 * temp * temp; rh11 = (rh/100); Temp1=rh*10/1000; Temp2=(rh*10-Temp1*1000)/100; Temp3=(rh*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(rh*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x06,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x07,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x08,Temp3); tulis_data(0x09,0x2e); Temp4=Temp4+0x30; tulis_data(0x0a,Temp4); // tulis_data(0x0d,0x25); //------ pengukuran rh2 --------------------------SHT_Connection_Reset2(); //Connection Reset temp=SHT_Measure2(rhpeng); temp = temp & 0x0fff; // measure rh 12 bit rh1 = 0.961*(0.808*(-2.0468 + 0.0367 * temp - 0.0000015955 * temp * temp) + 15.89); //rh1 = -2.0468 + 0.0367 * temp - 0.0000015955 * temp * temp; rh22 = (rh1/100); Temp1=rh1*10/1000; Temp2=(rh1*10-Temp1*1000)/100; Temp3=(rh1*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(rh1*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x46,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x47,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x48,Temp3); tulis_data(0x49,0x2e); Temp4=Temp4+0x30; tulis_data(0x4a,Temp4); // tulis_data(0x4d,0x25); //------ pengukuran rh3 --------------------------SHT_Connection_Reset3(); //Connection Reset temp=SHT_Measure3(rhpeng); temp = temp & 0x0fff; // measure rh 12 bit rh1 = (0.808*(-2.0468 + 0.0367 * temp - 0.0000015955 * temp * temp) + 15.89); rh33 = (rh1/100); Temp1=rh1*10/1000; Temp2=(rh1*10-Temp1*1000)/100;
83
Temp3=(rh1*10-Temp1*1000-Temp2*100)/10; Temp4=(rh1*10-Temp1*1000-Temp2*100-Temp3*10); Temp1=Temp1+0x30; tulis_data(0x4c,Temp1); Temp2=Temp2+0x30; tulis_data(0x4d,Temp2); Temp3=Temp3+0x30; tulis_data(0x4e,Temp3); // tulis_data(0x4b,0x2e); Temp4=Temp4+0x30; tulis_data(0x4f,Temp4); // tulis_data(0x4d,0x25);
//-------- akhir proses pembacaan sensor suhu dan RH ------------------------------------------
m1 = exp( (1/n)*log( (log(1-rh11))/( (-kk)*((suhu11)+c)*(exp(n*(log(100)))) ) ) ); m2 = exp((1/n)*log(log(1-rh22)/(-kk*((suhu22)+c)*(exp(n*(log(100))))))); m3 = exp((1/n)*log(log(1-rh33)/(-kk*((suhu33)+c)*(exp(n*(log(100))))))); bagi=(m2-m3)/(m2-m1); if(m1>m3) { PORTC = 0; } else if(m2<m3) { PORTC = 66; } else if((bagi>=0.8)&&(bagi<1)) { PORTC = 30; } else if((bagi>=0.6)&&(bagi<0.8)) { PORTC = 35; } else if((bagi>=0.4)&&(bagi<0.6)) { PORTC = 40; } else if((bagi>=0.2)&&(bagi<0.4)) { PORTC = 45; } else if((bagi>0)&&(bagi<0.2)) { PORTC = 50;
84
Lampiran 12. Program zero crossing dan penyalaan lampu untuk pengambilan data waktu penyalaan kipas //....Zero crossing melalui P1.0... #include #include unsigned char b; void Timer (unsigned char a) {int c; for(c=0; c
85
else if (kel == 40) { P3 = 0 ; P3_B1 =1; } else if (kel == 45) { P3 = 0 ; P3_B1 =1; } else if (kel == 50) { P3 = 0 ; P3_B1 =1; } else if (kel == 66) { P3 = 0 ; P3_B1 =1; } if(P1_B4 == 1) ull = 1; else ull = 0; //seb = P1_B4 & 0x01; for(;;){ nilnol = P1_B4 & 0x01; kel = P0; if((nilnol == 0x01) && (ull == 0)) {P2_B0 = 1; Timer(kel); ull = 1;} else if((nilnol == 0x00) && (ull == 1)) {P2_B0 = 1; Timer(kel); ull = 0;} else P2_B0 = 0; } }
86