STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA MELALUI PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
STUDI KASUS KOMUNITAS KELURAHAN KALIMULYA KOTA DEPOK
EVA KURNIASARI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul ”Strategi Pengembangan Ekowisata Melalui Peningkatan Partisipasi Masyarakat, Studi Kasus Komunitas Kelurahan Kalimulya Kota Depok” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas ini.
Bogor, 29 Maret 2010 Eva Kurniasari NRP. H251064055
51
RINGKASAN EVA KURNIASARI. Strategi Pengembangan Ekowisata Melalui Peningkatan Partisipasi Masyarakat. Studi Kasus Komunitas Kelurahan Kalimulya Kota Depok. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, FREDIAN TONNY. Kota Depok relatif terbatas sumber daya alamnya sehingga diperlukan kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan potensi lokalnya. Salah satu potensi tersebut adalah pariwisata. Hal itu dikaitkan dengan adanya beberapa obyek wisata yang berpeluang dikembangkan menjadi sarana rekreasi masyarakat Depok maupun dari luar daerah sempadan Sungai Ciliwung yang terletak di Kawasan Depok Lama. Daerah ini merupakan salah satu wilayah rencana pengembangan nature area berdasarkan Rencana Rinci Tata Ruang Bagian Wilayah Kota (BWK) VIII Sukmajaya pada rencana pemanfaatan Tahun 2013. Pengembangan ekowisata akan menimbulkan partisipasi dan pengaruh bagi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, jenis kegiatan sosial dan ekonomi yang dapat mendukung ekowisata, serta menganalisis proses kebijakan yang sudah ada terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok. Metode penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara terhadap responden, observasi dan metode kuesioner. Teknik sampling dilakukan dengan Purposive Sampling yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan pada 30 orang responden. Data yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif diuji dengan chi square. Perumusan strategi dan kebijakan guna pengembangan program ekowisata dalam kajian ini menggunakan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di lokasi sempadan Sungai Ciliwung Kelurahan Kalimulya berada pada tangga pertama Non Participation dan tangga kedua Tokenism berdasarkan Teori Arnstein. Aktivitas sosial ekonomi yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok diantaranya pengembangan wisata dan budidaya tanaman hias. Rumusan strategi pengembangan kawasan ekowisata diprioritaskan pada peningkatan kapasitas masyarakat, penataan kawasan, pembiayaan, pengembangan sarana prasarana, pengembangan kelembagaan serta pemasaran. Output dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan Pemerintah Kota Depok agar lebih terarah dalam pengembangan wisata. Kata kunci : Ekowisata, Partisipasi masyarakat, Kota Depok
52
ABSTRACT
EVA KURNIASARI. Ecotourism development strategy trough increasing community participation, case study of urban communities Kalimulya in Depok City. Under direction of ERNAN RUSTIADI, FREDIAN TONNY. Depok relatively have limited natural resources, so many creativities and innovation are needed to develop local potential. One of these is the potential for tourism, it is associated with several potential attractions which developed into a community recreational facilities and external Depok. Old Depok area along Ciliwung River side, is one of the area development plan based on the nature of the 2013 Detail Spatial Plan of City’s Sub Region (BWK) VIII of Sukmajaya. Nature tourism development on the site aimed at tourism development which would lead to participation and influence for the community. The purpose of this research is to determine the level of community participation, the potential development of social and economic activities, and analyzes existing policies related to tourism development in the city of Depok. This research method is done by technical interviews, observation and questionnaire methods. Sampling techniques are based on certain strata (stratified random sampling) is grouped by level of education and type of work on the 30 respondents. The data obtained are presented in the form of tabulation and analyzed descriptively by chi square. Formulation of strategies and policies for the development of ecotourism programs in this study using the analysis Analytical Hierarchy Process (AHP). The results showed that the level of community participation in the location of District demarcation Kalimulya Ciliwung River is on the first ladder NonParticipation and second steps of Tokenism on Arnstein's theory. Socio-economic activities that can be developed related to tourism development in the city of Depok including tourism development and cultivation of ornamental plants. Formulation of tourism development strategy, priority areas of community capacity building, regional arrangements, financing, infrastructure development, institutional development and marketing. The output from this research is expected to provide input Depok City Government to be more focused on tourism development. Keywords : ecotourism, community participation, Depok City
53
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
.
54
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA MELALUI PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT STUDI KASUS KOMUNITAS KELURAHAN KALIMULYA KOTA DEPOK
EVA KURNIASARI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
55
Penguji luar komisi pada ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
56
Judul Tugas Akhir
:
Strategi Pengembangan Ekowisata Melalui Peningkatan Partisipasi Masyarakat, Studi Kasus Komunitas Kelurahan Kalimulya Kota Depok
Nama
:
Eva Kurniasari
NIM
:
H 251064055
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 29 Maret 2010
57
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya dan kekuatan yang telah diberikan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Kajian Pembangunan Daerah ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun pokok bahasan yang dipilih berjudul ”Strategi Pengembangan Ekowisata Melalui Peningkatan Partisipasi Masyarakat, Studi Kasus Komunitas Kelurahan Kalimulya Kota Depok”. Dalam penulisan Tugas Akhir ini, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Orang tua, suami dan keluargaku tercinta, seluruh Saudara dan keluarga yang senantiasa selalu memberikan dorongan doa dan motivasi untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Bapak Ir. Fredian Tonny, MS , selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang selalu memberikan masukan dan arahan terhadap penyelesaian Tugas Akhir ini. 3. Bapak Ir. Walim Herwandi, MSi selaku Kepala Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, Bapak Moch. Isa, SE selaku atasan penulis, seluruh rekan di lingkungan Pemerintah Kota Depok yang telah membantu pelaksanaan pendidikan pada Program Studi Magister Managemen Pembangunan Daerah IPB. 4. Dr. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Ketua Program Studi, seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Managemen Pembangunan Daerah beserta seluruh jajaran civitas akademika IPB. 5. Rekan-rekan mahasiswa MPD 8 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam penyelesaian Tugas Akhir ini. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan ini dari segi materi, teknik penyajian dan wawasan yang keseluruhannya tidak terlepas dari keterbatasan penulis, untuk itu Penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pengembangan wilayah dan pembangunan di masa yang akan datang.
Bogor, 29 Maret 2010 Penulis
58
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juni 1981 di Kota Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sriyono dan Nur Hidayati. Jenjang pendidikan yang dijalani penulis adalah pada tahun 1992 lulus pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ciujung III Bandung, tahun 1995 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bandung, tahun 1998 lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Bandung, dan pada tahun 2003 lulus pendidikan Sarjana di Institut Teknologi Bandung pada program studi Teknik Lingkungan. Penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota Depok terhitung tanggal 19 Januari 2004 pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kemudian dipindahkan di Bidang Lingkungan Hidup mulai tanggal 7 Maret 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, saat ini kembali bertugas pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok sampai sekarang. Pada tahun 2007 Penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Magister Managemen Pembangunan Daerah (MPD) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
59
DAFTAR ISI Halaman
I
II
III
IV
60
DAFTAR ISI ...................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................. DAFTAR GAMBAR .........................................................................
i iii v
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 1.3. Tujuan Penulisan ......................................................................
1 6 8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Tata Ruang .......................................................... 2.2. Daerah Aliran Sungai (DAS) ................................................... 2.3. Studi Kepariwisataan ................................................................ 2.4. Ekowisata ................................................................................. 2.4.1. Konsep Pengembangan Ekowisata ................................. 2.4.2. Prinsip Ekowisata ........................................................... 2.5. Daya Dukung Ekowisata .......................................................... 2.6. Partisipasi ................................................................................. 2.7. Kebijakan Publik ......................................................................
9 9 12 14 15 15 17 20 26
METODOLOGI KAJIAN 3.1. Kerangka Konseptual ............................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.3. Metode Penelitian ..................................................................... 3.4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 3.5. Analisis Data ............................................................................ 3.6 Metode Perumusan Kebijakan ..................................................
29 32 32 33 35 35
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Alam Geografis ........................................................... 4.2 Keadaan Demografis ................................................................ 4.3 Keadaan Perekonomian ............................................................ 4.4 Tingkat Pendidikan .................................................................. 4.5 Aksesibilitas ............................................................................. 4.6 Kondisi Tata Guna Lahan ......................................................... 4.7 Kondisi Perairan Sungai Ciliwung ...........................................
41 41 43 44 45 45 46
V
VI
VII
PARTISIPASI MASYARAKAT 5.1 Aspirasi Masyarakat ................................................................. 5.2 Potensi Partisipasi Masyarakat ................................................. 5.3 Partisipasi Unsur Masyarakat ................................................... 5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Kelembagaan ............................ 5.5 Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan ........................... 5.6 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ........ 5.7 Tingkat Partisipasi Masyarakat ................................................ 5.8 Kendala Partisipasi ................................................................... 5.9 Potensi Pengembangan Usaha Produktif .................................. 5.10 Ikhtisar ...................................................................................... KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKOWISATA 6.1 Kebijakan Terkait dengan Pengembangan Ekowisata ............ 6.2 Harapan Masyarakat terhadap Ekowisata ................................ 6.3 Analisis Hasil Studi AHP ......................................................... 6.3.1. Landasan Aspek dan Kriteria yang Menjadi Bahan Pertimbangan dalam Pengembangan Ekowisata di Kota Depok ............................................... 6.3.2. Faktor Daya Dukung Ekowisata .................................... 6.3.3. Faktor Konservasi .......................................................... 6.3.4. Faktor Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat ....... 6.3.5. Faktor Pengembangan Usaha Produktif ......................... 6.4 Ikhtisar ......................................................................................
50 53 61 65 66 68 70 72 75 79 80 84 87 87 93 94 94 95 96
RUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM 7.1 7.2
Landasan Penentuan Strategi dan Program .............................. Pelaksanaan Strategi Pengembangan Ekowisata di Kota Depok ....................................................................................... 7.2.1. Aspek Pengembangan Sumber Daya Manusia ............... 7.2.2. Aspek Penataan Ruang dan Pembiayaan ........................ 7.2.3. Aspek Pengembangan Institusi/Kelembagaan ............... 7.2.4. Aspek Pengembangan Produk Wisata dan Usaha Produktif ......................................................................... 7.2.5. Aspek Pengembangan Pasar dan Pemasaran .................. Ikhtisar ......................................................................................
106 107 108
VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan ............................................................................... 8.2 Rekomendasi Kebijakan ...........................................................
110 111
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................
114 117
7.3
61
99 101 101 103 104
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
62
Karateristik responden ........................................................................ Skala matrik perbandingan berpasangan ............................................ Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Kel. Kalimulya Tahun 2007 .................................................................................................... Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kel. Kalimulya Tahun 2007 ....................................................................... Persentase laju pertumbuhan sektoral PDRB Kecamatan Sukmajaya Tahun 2007 .......................................................................................... Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Kelurahan Kalimulya ........................................................................................... Peruntukan dan penggunaan lahan di Kelurahan Kalimulya Tahun 2007 .................................................................................................... Jenis vegetasi yang terdapat di sepanjang badan air Sungai Ciliwung pada wilayah perencanaan .................................................................. Frekuensi aspirasi masyarakat terkait dengan upaya pengembangan kawasan ekowisata ............................................................................. Komposisi dan jumlah responden untuk penilalaian potensi partisipasi ............................................................................................ Frekuensi kegiatan masyarakat di sempadan Sungai Ciliwung ......... Frekuensi jenis pengelolaan lingkungan yang sering dilakukan masyarakat di sempadan Sungai Ciliwung ........................................ Frekuensi dan persentase kegiatan pengelolaan lingkungan oleh responden berdasarkan tingkat pendidikan ........................................ Frekuensi dan persentase kegiatan pengelolaan lingkungan oleh responden berdasarkan jenis pekerjaan .............................................. Frekuensi upaya pengelolaan lingkungan oleh masyarakat ................ Frekuensi penilaian responden terhadap efektivitas pertemuan di Kelurahan Kalimulya berdasarkan pekerjaan .................................... Frekuensi penilaian responden terhadap efektifitas pertemuan di Kelurahan Kalimulya berdasarkan tingkat pendidikan ...................... Frekuensi perolehan sumber dana untuk pengelolaan lingkungan ...... Frekuensi jenis sarana dan prasarana yang dapat difasilitasi masyarakat .......................................................................................... Frekuensi partisipasi masyarakat terhadap upaya pengembangan ekowisata ............................................................................................ Frekuensi dari kendala dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat .......................................................................................... Produktivitas pertanian di Kecamatan Sukmajaya ............................. Produktivitas perikanan di Kecamatan Sukmajaya ............................ Frekuensi dan persentase potensi pengembangan usaha produktif menurut responden berdasarkan tingkat pendidikan ..........................
34 39 42 42 43 45 46 47 51 54 55 56 57 58 59 65 66 66 67 69 73 75 75 78
Halaman 25 Frekuensi dan persentase potensi pengembangan usaha produktif menurut responden berdasarkan jenis pekerjaan ............................... 26 Penilaian indikator potensi objek wisata di Kota Depok ................... 27 Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata .................. 28 Perbandingan bobot alternatif terhadap faktor pengembangan ekowisata ............................................................................................ 29 Rumusan program untuk rencana pengembangan ekowisata ............
63
78 82 85 98 108
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
64
Tangga derajat partisipasi menurut Arnstein (Arnstein, 1969) .......... Kerangka pendekatan studi ................................................................ Peta lokasi penelitian .......................................................................... Hirarki perumusan strategi pengembangan ekowisata ....................... Grafik laju pertumbuhan PDRB Kecamatan Sukmajaya .................... Sebaran aspirasi masyarakat terhadap pengembangan kawasan.......... Persentase kelompok responden ......................................................... Grafik frekuensi kegiatan masyarakat di RTH sekitar Sungai Ciliwung .............................................................................................. Frekuensi pengelolaan lingkungan di DAS Ciliwung oleh warga .................................................................................................. Grafik komposisi upaya pengelolaan lingkungan pada setiap kelompok responden............................................................................. Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok A ......................................................... Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok B ......................................................... Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok C ......................................................... Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok D ......................................................... Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok E ......................................................... Grafik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok F ......................................................... Grafik sarana dan prasarana yang dapat difasilitasi masyarakat ...... Grafik frekuensi partisipasi masyarakat terhadap pembangunan ekowisata ............................................................................................ Gambaran tingkat partisipasi masyarakat Kelurahan Kalimulya ..... Grafik frekuensi kendala dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat ........................................................................................... Grafik potensi pengembangan usaha kecil menurut kelompok responden ........................................................................................... Grafik frekuensi harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata ............................................................................................ Hirarki pemilihan kebijakan pengembangan ekowisata beserta bobot faktornya .............................................................................................. Grafik perbandingan aspek bobot faktor untuk pengembangan ekowisata ............................................................................................ Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor daya dukung ........................................................................................
23 31 32 38 44 52 54 55 56 60 61 62 62 63 64 65 68 69 71 74 76 85 90 91 93
Halaman 26 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor konservasi ............................................................................................ 27 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor peran serta dan pemberdayaan masyarakat ........................................ 28 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor usaha produktif ...................................................................................
65
94 95 96
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Ciliwung merupakan sungai lintas provinsi yang melintasi wilayah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan DKI Jakarta. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung bagian hulunya berada di Gunung Pangrango, Bogor (3,019 dpl) dan bermuara ke Laut Jawa. Panjang Sungai Ciliwung secara keseluruhan mencapai 76 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah 322 km2. Saat ini, Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai di Jawa Barat yang seringkali
menimbulkan
permasalahan
lingkungan.
Permasalahan
timbul
dikarenakan pengelolaan yang salah terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga mengurangi fungsi sungai sebagai pengatur tata air. Masalah DAS yang utama berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) air. Kuantitas air meliputi banjir dan kekeringan, turunnya tinggi muka air tanah, penyempitan badan sungai, dan tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar. Sedangkan kualitas air mencakup tingginya potensi longsor dan erosi, sedimentasi (pendangkalan) badan sungai, penurunan kualitas air karena pencemaran limbah cair industri dan limbah domestik, pembuangan sampah perkotaan, tercemarnya air sungai oleh unsur hara sehingga menyebabkan eutrofikasi, serta sempadan sungai yang banyak digunakan untuk pemukiman liar. Berdasarkan hal tersebut maka segala bentuk pengelolaan DAS harus diarahkan ke dalam upaya konservasi tanah dan air pada lahan pertanian supaya dapat menyimpan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim
kemarau
serta
memperbaiki
keseimbangan
ekologi
yang
mempertimbangkan hubungan tata air hulu dengan hilir, kualitas air, kemampuan lahan, dan keanekaragaman hayati. DAS Ciliwung sebagaimana telah diketahui merupakan bagian dari wilayah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang dilintasi oleh Sungai Ciliwung, maka hendaknya dalam pengelolaan tidak dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan. Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan
66
kurangnya keterpaduan antar sektor dan wilayah dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral akan menjadi kompleks terhadap DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu dan menyeluruh mulai dari kebijakan, implementasi program sampai monitoring dan evaluasi hasil kegiatan. Dari sisi kebijakan pengelolaan DAS, kendala yang dihadapi terutama masih kurangnya dorongan sistem insentif dan disinsentif terhadap penegakan hukum dan peraturan khususnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta turunannya. Pelaksanaan pembangunan yang tidak sejalan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah sehingga terjadi alih fungi lahan seperti pertumbuhan pemukiman, pengurangan hutan yang mengakibatkan lahan kritis meningkat, program pemerintah yang kurang berkesinambungan, kurangnya partisipasi masyarakat hingga pendanaan. Pengelolaan Sungai Ciliwung secara terpadu terlaksana dengan dukungan anggaran dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota, DAU (Dana Alokasi Umum) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. Namun dalam kenyataannya anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan Sungai Ciliwung belum mampu untuk menuntaskan seluruh permasalahan yang ada di setiap segmen kota/kabupaten terkait dengan pengelolaan DAS, salah satunya karena keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah itu sendiri untuk pengelolaan lingkungan hidup. Kota Depok merupakan salah satu kota yang dilintasi oleh Sungai Ciliwung, sungai ini melintasi Kota Depok dari Selatan ke Utara sepanjang 24 km dan luas sempadan 100 meter (luas 423,38 ha) dengan posisi geografis terletak antara 106°48’30” - 106°48’45” Bujur Timur dan 6°20’45” - 6°26’50” Lintang
67
Selatan. Sebaran kelurahan di sepanjang Ciliwung Kota Depok yaitu berada di sebelah Barat dan Timur, dengan di sebelah Barat terdapat Kelurahan Pondok Jaya, Kelurahan Ratu Jaya, Kelurahan Depok, Kelurahan Kemiri Muka dan Kelurahan Pondok Cina, sedangkan di sebelah Timur terdapat Kelurahan Kalimulya, Kelurahan Tirtajaya, Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Tugu dan Kelurahan Palsi Gunung Selatan. Hasil identifikasi sumber pencemar Sungai Ciliwung di Kota Depok yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok Tahun 2006 memperoleh hasil bahwa masyarakat di sempadan sungai melakukan pembuangan sampah di tepi Sungai Ciliwung atau melakukan open dumping sebanyak 28 titik Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah secara liar sehingga menimbulkan pemandangan yang tidak sedap. Selain itu juga terdapat empat titik pembuangan limbah pabrik tahu, timbunan sampah dari wilayah perkebunan sebanyak tiga titik, pembuangan limbah domestik dari perumahan sebanyak tiga titik, dan pencemaran limbah domestik dari dua titik muara anak Sungai Ciliwung yang secara visual berbuih. Mengacu dari Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Depok Tahun 2000 – 2010 bahwa persyaratan terhadap pemanfaatan sempadan sungai antara lain : (i) Sungai – sungai harus menjadi front (muka) dari orientasi bangunan; (ii) Penataan dan perbaikan lingkungan kawasan sempadan sungai yang telah terbangun secara tidak tertata; (iii) Peningkatan nilai ruang visual kawasan sempadan sungai sesuai dengan struktur ruang kota; dan (iv) Koordinasi pengembangan sungai dari hulu ke hilir dengan variasi pemanfaatannya. Berdasarkan perencanaan Kota Depok yang tertuang dalam Perda No. 12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah tersebut maka Pemerintah Kota Depok perlu mengembangkan konsep pengelolaan yang mempertimbangkan faktor biofisik sungai, faktor sosial ekonomi, kelembagaan dan hukum untuk dikembangkan sebagai kajian yang integratif. Pengelolaan DAS yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan potensi dan kesatuan ekosistem yang berinteraksi. Komponen yang menyusun ekosistem DAS diantaranya masyarakat dan kelembagaannya. Peran masyarakat sangat penting karena berfungsi sebagai instrumen pengelolaan yang menentukan apakah kegiatan yang dilakukan telah atau tidak mencapai sasaran berdasarkan monitoring dan evaluasi.
68
Salah satu bentuk pengelolaan DAS yang melibatkan peran serta masyarakat sekitar adalah upaya konservasi yaitu melalui pengelolaan lahan dengan peningkatan penutupan lahan yang menerapkan teknik agroforestry, holtikultura buah-buahan dan ekowisata. Dengan diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka setiap Kepala Daerah berkewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya, untuk itu prioritas program yang dilaksanakan harus mempunyai dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi masyarakat. Saat ini, kontribusi sektor jasa termasuk di dalamnya rekresi (wisata) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Depok atas dasar harga berlaku adalah Rp. 5.451.900.000,- dengan laju pertumbuhan PDRB adalah 16 persen pada Tahun 2006 (Sumber : PDRB Kota Depok Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007, Bapeda dan BPS Kota Depok). Angka ini merupakan 0,06 persen dari PDRB total Kota Depok. Mengingat masih sedikitnya lokasi wisata di Kota Depok dan kebutuhan masyarakat setempat akan rekreasi, maka dapat dilakukan pengembangan kawasan wisata dengan pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal. Pengembangan tersebut diarahkan kepada upaya konservasi terhadap DAS Ciliwung sebagai bentuk pengelolaan terpadu kawasan DAS. Kawasan Depok Lama adalah kawasan tua yang memiliki nilai historis karena pada masa Belanda disini terdapat pusat pemerintahan wilayah Depok. Pada masa Belanda (VOC), Sungai Ciliwung merupakan satu-satunya sarana transportasi yang menghubungkan Kota Depok ke Batavia. Pada periode 1970-an, badan air Sungai Ciliwung juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi air pada pengangkutan hasil panen pertanian dan komoditas bambu tali yang akan dijual ke Jakarta. Sejak 1980-an hingga sekarang, hasil komoditas tersebut sudah diangkut lewat transportasi darat. Di sepanjang koridor Sungai Ciliwung, terdapat potensi pengembangan wisata sekaligus pengembangan fungsi ruang terbuka hijau kota. Semakin berkembangnya kegiatan pembangunan perkotaan, intervensi komersial dari pihak swasta dan munculnya permukiman masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung, mengakibatkan fungsi ruang terbuka hijau di koridor Sungai Ciliwung berkurang serta menurunnya upaya pelestarian ekologi sungai.
69
Berkaitan dengan pemanfaatan sempadan Sungai Ciliwung sebagai bagian dari upaya pelestarian alam dan lingkungan, dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Depok Lama juga menetapkan perlu adanya sentrasentra wisata pada tempat-tempat tertentu yang nantinya dapat dipakai sebagai “vocal point” pada kawasan sempadan sungai. Di dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Depok Lama ini juga termuat rencana pengembangan fungsi wisata dengan mengembangkan sempadan di sepanjang Sungai Ciliwung melalui pengembangan hutan raya, yang diarahkan untuk pusat agribisnis sekaligus untuk wisata alam, wisata air, wisata olah raga, wisata keluarga dan wisata pendidikan. Kawasan Depok Lama ini merupakan bagian hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung di segmen Kota Depok dan memiliki kualitas badan air yang relatif lebih baik dibandingkan bagian hilirnya. Kondisi vegetasi dan tutupan lahan di kawasan Depok Lama secara umum masih cukup baik, di segmen Ciliwung bagian hulu Kota Depok (perbatasan dengan Kabupaten Bogor), vegetasi masih didominasi oleh Gigantochloa apus (Bambu tali), Artocarpus elastica (Teureup), dan Albizzia chinensis (Jeungjing). Sedangkan pada area pengembangan ekowisata vegetasi yang dominan terdiri dari Gnetum gnemon (Melinjo), Gigantochloa apus (Bambu tali), Dendrocalamus sp (Bambu hitam) dan Ficus alba (Pulutan). Dengan potensi vegetasi yang cukup baik maka dapat dilakukan upaya pengembangan yang lebih bermanfaat sehingga dapat menjadi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat di sekitar sempadan sungai. Sampai saat ini, DAS Ciliwung memiliki nilai strategis bagi kehidupan masyarakat sekitarnya, hal ini didukung oleh hasil survey Pemerintah Kota Depok pada aliran Sungai Ciliwung Kota Depok (Mei 2006), dengan ditemukannya peruntukkan badan air antara lain : 1. Sebagai salah satu intake sumber air bersih PDAM Kota Depok (sejak tahun 1990-an), dengan instalasi pengolahan air pada dua lokasi yang terletak di wilayah Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Pancoran Mas dan wilayah Kelurahan Mekar Jaya Kecamatan Sukmajaya; 2. Sebagai sumber tambang batu kerikil yang dimanfaatkan secara individual oleh masyarakat sekitar sempadan;
70
3. Sebagai tempat memancing dan “rekreasi” yang dimanfaatkan secara individual oleh masyarakat; 4. Sebagai tempat bermain (berenang dan bermain rakit bambu) oleh anak-anak sekitar sempadan; 5. Sebagai tempat mencuci pakaian dan MCK bagi sebagian warga di sekitar sempadan. Bertolak dari kondisi rona lingkungan DAS Ciliwung di Kawasan Depok Lama dan pemanfaatan badan air Sungai Ciliwung Kota Depok yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikembangkan alternatif upaya konservasi lingkungan melalui pengembangan ekowisata di DAS Ciliwung untuk menjaga keseimbangan ekosistem DAS dan mempertahankan pemanfaatan DAS oleh masyarakat setempat. Upaya konservasi tersebut perlu didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan mengarah pada pembinaan kesadaran serta kemampuan masyarakat termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS. Melalui partisipasi masyarakat maka keseimbangan ekologi di sekitar sungai tetap terpelihara dan meringankan beban anggaran Pemerintah Kota Depok dalam pengelolaan DAS. Mengingat bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement), maka pertanyaannya adalah bagaimana Strategi Pengembangan Ekowisata dalam Pengembangan Partisipasi Masyarakat di Kota Depok. 1.2 Perumusan Masalah
Pengelolaan Sungai Ciliwung harus dilakukan secara terintegrasi dan tidak lepas dari peran kelembagaan Pemerintah dan stakeholder yang mendukungnya.
Pemanfaatan
bantaran
Sungai
Ciliwung
sebagai
objek
pengembangan ekowisata membutuhkan peran serta masyarakat agar dapat berkelanjutan. Pengembangan objek wisata di Kota Depok belum optimal karena tidak diikuti dengan peningkatan kualitas objek dan daya tarik wisata, seperti kebersihan, perawatan, pemeliharaan objek, atraksi wisata serta industri
71
kerajinannya. Untuk mengatasi masalah tersebut pertu digalang dan ditingkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Pelibatan peranserta masyarakat dalam perencanaan pembangunan sangat penting, guna menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap objek wisata yang ada di daerahnya. Dengan rasa memiliki dan tanggung jawab ini, maka masyarakat akan ikut merawat dan memelihara kelestarian objek wisata tersebut. Berdasarkan potensi sumber daya alam dan rencana pengembangan sempadan Sungai Ciliwung di Kota Depok, maka bagaimana tingkat partisipasi masyarakat di Kawasan Depok Lama terhadap pengembangan ekowisata di sempadan Sungai Ciliwung ? Kriteria pengembangan
pengembangan produk
kawasan
komoditas
lokal
wisata sebagai
hendaknya indikator
terdapat
peningkatan
kesejahteraan masyarakat di lokasi pengembangan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Depok mengamanatkan perlu adanya pengembangan potensi lokal pada setiap program pembangunan yang berbasis masyarakat sehingga mampu berdaya saing secara regional maupun nasional. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat dan dapat menjamin kesinambungan usaha. Dengan adanya daya tarik tersebut akan menimbulkan munculnya usaha-usaha produktif yang memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi penduduk sekitarnya. Apa jenis usaha produktif yang dapat berkembang sebagai multiplier effect dari pengembangan ekowisata ? Kebijakan dasar pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan konsep ”satu sungai, satu rencana, satu sistem pengelolaan” dengan memperhatikan sistem pemerintahan desentralistik sesuai jiwa otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab. Sesuai kewenangannya, Pemerintah Pusat bertanggungjawab terhadap perencanaan dan pengembangan wilayah yang bersifat makro, kewenangan pemerintah propinsi berskala meso, dan kewenangan Pemerintah Kota/Kabupaten yang berskala mikro. Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan prinsip partisipatif dan konsultatif pada setiap tingkatan pengelolaan untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak yang berkepentingan, serta sasaran wilayah pengelolaan DAS
72
adalah wilayah DAS yang secara utuh sebagai satu kesatuan ekosistem. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimana proses-proses kebijakan yang ada terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok? 1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat disampaikan beberapa tujuan dari penelitian ini, yakni : Tujuan umum dilaksanakannya kajian ini adalah untuk merumuskan strategi kebijakan dalam upaya konservasi melalui pengembangan kawasan ekowisata di DAS Ciliwung Kota Depok. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah : a. Mengidentifikasi partisipasi masyarakat lokal yang mendukung upaya pengembangan ekowisata. b. Mengidentifikasi aktifitas sosial dan ekonomi yang dapat dikembangkan melalui kegiatan ekowisata di Kota Depok. c. Menganalisis proses kebijakan yang sudah ada terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok. d.
Merumuskan strategi dan kebijakan guna pengembangan program ekowisata di Kota Depok
Hasil dari kajian studi pembangunan daerah ini merupakan masukan bagi Pemerintah Kota Depok dalam pelestarian kawasan khususnya ruang terbuka hijau di sempadan Ciliwung serta pemanfaatan ruang. Dari hasil pengembangan kawasan ini diharapkan akan dapat menciptakan nilai estetika dan nilai ekonomi bagi masyarakatnya sehingga masyarakat akan turut memelihara fungsi kawasan.
73
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Tata Ruang Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Perencanaan Tata Ruang ini berjenjang dari Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota. Sedangkan pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Wilayah perencanaan atau pengelolaan tidak selalu berwujud wilayah administratif tapi berupa wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan/ pengelolaan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Depok, ruang terbuka hijau dialokasikan sebagai bagian dari kehidupan perkotaan di Kota depok. Ruang terbuka hijau Kota Depok terdiri dari kawasan lindung/alami, hijau buatan dan hijau fungsional. Ruang terbuka hijau memiliki fungsi untuk perlindungan ekosistem, pengamanan lingkungan dari pencemaran, penciptaan iklim mikro, perlindungan tata air, meningkatkan citra estetika lingkungan, menciptakan kebersihan dan kesehatan, sarana rekreasi, dan sarana produksi. Alokasi ruang terbuka hijau di Depok dibedakan atas sempadan sungai, sempadan pipa gas, cagar alam, hutan kota, taman kota dan lingkungan, pemakaman, jalur hijau, pertanian, rekreasi dan wisata.
2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mendefinisikan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
74
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas darat merupakan pemisah topografis dan batas laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah / kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun (Agus dan Widianto, 2004). Dari definisi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tata guna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lainnya atau non-point pollution. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu – hilir seperti tersebut di atas maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumber daya alam termasuk pengelolaan berkelanjutan. Pengelolaan DAS yang terintegrasi memiliki beberapan indikator penting, yaitu :
75
1. Pengelolaan
yang
mampu
mendukung
produktivitas
optimum
bagi
kepentingan kehidupan (indikator ekonomi). 2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial). 3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan). 4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi). Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat kondisi tata airnya, menurut Agus dan Widianto (2004), beberapa indikator tata air yang utama adalah : 1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuantitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai. 2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dll. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Dengan demikian dengan mengetahui indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan masyarakat umum diharapkan dengan demikian kontrol pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu daerah aliran sungai dapat dikatakan masih baik apabila: 1. Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan.
76
2. Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi di bawah erosi yang dapat ditoleransi. 3. Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian lain mampu memberikan supply / bantuan. 4. Bersifat pemerataan, dimana setiap stake holder yang ada di dalam DAS mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai. (Agus dan Widianto, 2004).
2.3 Studi Kepariwisataan Menurut Holloway dan Plant dalam Yuliandra (2007), wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan ”pariwisata”. Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan atau perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan. Menurut Mulyadi dan Nurhayati (2002), bahwa pariwisata adalah : ”A composite of activities, services and industries that delivers a travel experience, transportation, accomodation, eating and drinking estabilishment, shops, entertainment, activity and other hospitally service available for individualr or group that are away from home”. Dari definisi tersebut, pariwisata adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan wisatawan baik individu maupun berkelompok dengan menikmati jasa dan industri pariwisata, transportasi, akomodasi, restoran, hiburan, dan sebagainya. Menurut
Suwantoro
(1997),
untuk
mendorong
sektor
pariwisata
diperlukan kerjasama koordinasi untuk mendorong peran serta masyarakat. Dalam kepariwisataan, masyarakat dapat diidentifikasikan ke dalam 4 komponen pokok yang memiliki fungsi yang terjalin erat satu sama lain, yaitu : 1. Komponen Pemerintah Komponen pemerintah bercirikan mampu meningkatkan sumber dana terutama sumber devisa sebanyak-banyaknya serta menciptakan lapangan kerja dan berusaha seluas-luasnya bagi seluruh warganya.
77
2. Komponen Penyelenggara Pariwisata Komponen penyelenggara pariwisata cenderung bertujuan agar usahanya dapat terselenggara dengan lancar dan memberikan keuntungan sebesarbesarnya. 3. Komponen Masyarakat Penerima Pariwisata Komponen masyarakat penerima pariwisata sebagai pemilik wilayah dan pendukung serta pelaku budaya setempat cenderung bertujuan mengupayakan kelestarian wilayah dan kehidupan di alam budayanya agar tidak terancam dan tidak tercemar. 4. Komponen Wisatawan Komponen wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, cenderung berkeinginan untuk mendapatkan kepuasan dan kenyamanan selama berwisata. Pariwisata di Indonesia telah dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi penting, bahkan di beberapa wilayah sektor ini dapat menjadi penghasil devisa. Disamping menjadi mesin penggerak ekonomi, pariwisata juga merupakan wahana yang menarik diantaranya dampak industri pariwisata menyusup ke berbagai kegiatan perekonomian dan menyebar secara pesat melalui beragam industri terkait. Dampak ekonomi itu mencakup spectrum kebijakan yang luas, menyangkut kesempatan berusaha, kesempatan kerja, transportasi, akomodasi, prasarana, pengembangan wilayah, perpajakan, perdagangan dan lingkungan. Pembangunan pariwisata memerlukan dukungan kebijakan pariwisata yang tepat, yang mampu menjadi pijakan dan panduan bagi tindakan strategik di masa mendatang. Hal ini penting bagi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Menurut Yoeti (2008), dampak pengembangan pariwisata ditinjau dari kacamata ekonomi makro bahwa pariwisata memberikan dampak positif, karena sebagai suatu industri : 1. Dapat menciptakan kesempatan berusaha. 2. Dapat meningkatkan kesempatan kerja (employments). 3. Dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang yang relatif cukup besar.
78
4. Dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah. 5. Dapat meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB). 6. Dapat mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya. 7. Dapat memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pariwisata mengalami surplus, dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran suatu daerah. Dampak positif tersebut sejalan dengan tujuan pengembangan pariwisata sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Selain dampak positif, pariwisata juga memiliki dampak negatif, terutama dampak terhadap kelestarian lingkungan dan warisan budaya nasional. Hal ini memerlukan campur tangan pemerintah dalam hal pengendalian eksplorasi lingkungan, untuk mencegah kerusakan sumber-sumber hayati yang dapat menghilangkan daya tarik suatu daerah dalam jangka panjang, pembuangan sampah sembarangan, serta pembuangan limbah kegiatan wisata yang merusak air sungai, danau dan laut.
2.4 Ekowisata Ekowisata menurut The International Ecotourism Society (TIES, 1990) didefinisikan sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Pada saat ini, ekowisata telah berkembang dimana ekowisata ini menjadi suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab. Menurut Fandeli dan Mukhlison (2000), ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi sebagaimana dikutip dalam UNEP, World Conservation Monitoring
79
Centre, atau informasi keanekaragaman hayati dan lengan penilaian dari Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP, 1980) adalah sebagai berikut : 1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan. 2. Melindungi keanekaragaman hayati. 3.
Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
2.4.1 Konsep Pengembangan Ekowisata Dalam Fandeli dan Mukhlison (2000), pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipertimbangkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
2.4.2 Prinsip Ekowisata Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly
80
dari pembangunan berbasis kerakyatan (community based). The Ecotourism Society dalam Eplerwood (1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan
pengembangan
ekowisata.
Demikian
pula
di
dalam
pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
81
2.5 Daya Dukung Ekowisata Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (Undang Undang No. 23 tahun 1997). Daya dukung sepenuhnya dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu : faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari struktur sosial, budaya, lingkungan, struktur ekonomi, struktur politik dan sumber daya. Faktor eksternal terdiri dari karakteristik sosial wisatawan dan tipe aktifitas wisatawan (Hearne dan Santos, 2005). Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, pada saat dan ruang yang sama, serta pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) merupakan batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi , dimana jumlah populasi tersebut tidak dapat lagi didukung oleh sumber daya alam dan lingkungan yang ada. Hendee et al. (1978) menyatakan daya dukung sebagai suatu ukuran batas maksimal pengguna suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti terhadap ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung, atau air. Knudson et al. (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan pengguna secara lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbahurui (renewable resources). Menurut Ceballos-Lascurain (1996), daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat atau tidak dapat ditampung oleh sarana prasarana (infrastruktur) obyek wisata alam. Jika daya tampung obyek wisata alam tersebut dilampaui, maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya.
82
Selanjutnya ditambahkan bahwa kapasitas sosial dan psikologi dari lingkungan ekowisata dapat mendukung aktivitas dan pengembangan ekowisata. Komponen dasar yang mempengaruhi daya dukung ekowisata antara lain : 1. Komponen biofisik Komponen biofisik yang mempengaruhi daya dukung ekowisata terutama berkaitan erat dengan sumber daya alam. Pada kenyataannya tidak ada sistem biofisik yang tidak terbatas pemanfaatannya. Daya dukung ekowisata suatu obyek wisata alam ditentukan oleh kemampuan sumber daya alam dalam mendukung kegiatan alam tersebut. Beberapa indikasi kearah terjadinya penurunan populasi satwa liar dapat dipergunakan sebagai tanda tanda bahwa daya dukung komponen biofisik akan terlampaui. 2. Komponen Sosial- Budaya Perubahan sosial budaya pada masyarakat dapat terjadi akibat dampak kegiatan ekowisata pada suatu tingkat tertentu. Namun demikian cukup sulit untuk membedakan apakah dampak negatif tersebut berasal dari kegiatan ekowisata atau kegiatan lainnya. Daya dukung sosial budaya lebih ditekankan pada suatu populasi rumah tangga penduduk yang akan terkena dampak. Persepsi bahwa dampak negatif lebih lanjut dari kegiatan ekowisata diantara penduduk setempat (indigenous people) dari wisatawan atau kedua kelompok tersebut, serta beberapa perhatian dapat diberikan prioritas agar tidak terjadi dampak negatif lanjutan yang dapat melampaui daya dukung objek ekowisata. 3. Komponen Psikologi Komponen psikologi dari daya dukung ekowisata lebih ditekankan pada jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung suatu area pada suatu waktu. Di samping itu juga tergantung pada masing-masing lokasi (objek wisata alam), tipe atau macam atraksi yang ditawarkan serta karakteristik khusus dari wisatawan. Diperkirakan daya dukung psikologis objek wisata alam berkisar antara 20 m2 untuk tiap pengunjung pada suatu titik (atau 1 m2/orang, tergantung pada kondisi tapak obyek) sampai 10 m2/orang yang menggunakan area perkemahan dengan kepadatan tinggi atau sampai seluas 1 ha (pada kondisi obyek wisata terisolasi pada zona rimba), (CeballosLascurain, 1996).
83
4. Komponen Manajerial Daya dukung obyek wisata alam ditinjau dari komponen manajerial merupakan jumlah pengunjung maksimum yang masih dapat dikelola pada suatu area ekowisata (obyek wisata alam). Komponen manajerial dipengaruhi oleh tipe dan jumlah fasilitas fisik yang tersedia bagi pengunjung. Diantara faktor faktor penting yang perlu diperhatikan pada komponen manajerial adalah : jumlah staff, waktu dimulainya acara, keterbatasan fasilitas pada pelayanan, ruang parkir atau dermaga. Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan standar keaslian sumber daya alam. Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan ekowisata alam dengan memanfaatkan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Daya dukung rekreasi alam adalah kemampuan sumberdaya untuk mempertahankan fungsi dan kualitasnya guna memberikan pengalaman rekreasi yang diinginkan. Daya dukung menyangkut daya dukung fisik lokasi dan daya dukung sosial. Prinsip daya dukung ini akan menjadi pedoman dalam perencanaan lansekap kawasan rekreasi hutan mangrove, terutama pada daerah rawan secara ekologi, sehingga diharapkan fungsi dan kualitas kegiatan yang direncakan tidak merusak fungsi ekologis mangrove. Pemanfaatan kawasan hutan mangrove menurut tujuan kegiatan yang akan dapat dilakukan dapat dibagi berdasarkan kepekaan ekologi yang meliputi: daerah preservasi, daerah pembangunan dan pemanfaatan, daerah konservasi. Cooper et al. (1996) menyatakan bahwa masalah dampak suatu kegiatan seperti pariwisata, baik pariwisata massal maupun ekotourisme terkait erat dengan konsep daya dukung. Kenyataannya bahwa aktivitas pariwisata memiliki dampak terhadap karakteristik sosial, budaya, lingkungan serta ekonomi dari daerah yang dikunjungi dan keyakinan bahwa dampak dampak tersebut dapat meningkat ukurannya seiring dengan peningkatan volume kunjungan, memberikan gagasan pada kita bahwa mungkin ada garis batas diatas dipadukan dengan konsep keberlanjutan (sustainability), maka perpaduan itulah yang dikenal sebagai konsep daya dukung. Jadi dalam konsep pariwisata, daya dukung didefinisikan sebagai
84
tingkat keberadaan pengunjung yang menciptakan dampak pada masyarakat, lingkungan dan perekonomian setempat, yang dapat diterima baik oleh pengunjung, masyarakat maupun lingkungan, serta yang dapat berkelanjutan. Secara lebih terperinci, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dampak adalah sebagai berikut: 1. Struktur sosial masyarakat setempat, kuat atau tidaknya struktur sosial masyarakat dan kelembagaan sebagai faktor pengendali yang cukup besar. 2. Budaya masyarakat setempat, semakin unik suatu budaya maka semakin menarik untuk dikunjungi. 3. Lingkungan, lebih sensitif suatu keseimbangan lingkungan, maka semakin besar bahaya kerusakan lingkungan sehingga tidak dapat pulih. 4. Struktur ekonomi. Pada umumnya semakin berkembang suatu perekonomian, maka semakin kuat pula perekonomian menghadapi tekanan. 5. Struktur politik, seringkali struktur politik mencerminkan idealisme dari masyarakat, dan hal tersebut bisa saja mencerminkan suatu dukungan atau tantangan terhadap pariwisata. 6. Sumber daya alam dan manusia (kualitas dan kuantitas).
2.6 Partisipasi Istilah partisipasi mempunyai arti yang luas, sering istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai ‘kontribusi’ finansial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program. Bank Dunia (1978) memberi batasan partisipasi masyarakat sebagai: “…the involvement of all those affected in decision making about what should be done and how, mass contribution to the development effort i.e. to the implementation of the decision, and sharing in the benefits of the programme.”
85
Batasan itu mengandung tiga pengertian: (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan, dan (3) bersama-sama memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut (Rifkin et al., 1990). Bertolak dari beberapa pengertian tentang masyarakat dan partisipasi masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat dalam program pembangunan adalah: “Suatu proses keterlibatan yang bertanggungjawab dalam suatu kegiatan dari suatu kelompok individu yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi dalam pelaksanaannya dan pemanfaatan hasil kegiatan, sehingga
terjadi
peningkatan
kemampuan
kelompok
tersebut
dalam
mempertahankan perkembangan yang telah dicapai secara mandiri.” Dalam operasionalisasinya, batasan-batasan tersebut perlu dijelaskan bagaimana dan dengan cara apa proses tersebut berlangsung, kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan dan seberapa jauh kegiatan tersebut dilakukan sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan indikator dan pengukurannya. Dalam pengertian partisipasi tercakup dua sistem yang terlibat dalam suatu kegiatan. Kedua sistem itu adalah sistem dari pemerintah yang merupakan provider di pihak kesatu, dan dengan sistem dari masyarakat di pihak lain. Kedua pihak secara fungsional sering mempunyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda dalam konteks partisipasi. Berdasarkan pandangan bahwa program pengembangan masyarakat adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rural poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah atau provider, partisipasi masyarakat seolaholah merupakan kewajiban yang harus diadakan oleh ‘masyarakat yang mendapat bantuan’. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena semuanya telah ‘diatur’ dan ‘dijadwal’ oleh pemberi kegiatan. Di pihak lain, masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin ataupun kelompok masyarakat di
86
kota yang sudah cukup dari segi sosial ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi merupakan hak dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak menggunakan ‘hak’ tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi kegiatan. Apabila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat, diperlukan suatu pendekatan tertentu untuk mendapatkannya (Arnstein, 1969). Oakley dan Marsden (1984) juga menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya. Namun peneliti lain menyatakan bahwa ‘wewenang dalam pengambilan keputusan’ hanyalah salah satu komponen dari yang disebut sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen lainnya (Cohen dan Uphoff, 1980). Penulis lain mengatakan, dalam menentukan partisipasi masyarakat, tidak perlu melihat dalam bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut tampak, tetapi menitikberatkan pada apa yang seharusnya dicapai pada akhir suatu kegiatan dengan partisipasi, yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan dan tanggung jawabnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaksanaannya. Pendapat itu memandang partisipasi hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu (participation as a means) sehingga analisis lebih memberi kesan ke arah identifikasi keluaran (output) partisipasi masyarakat, dan bukan pada pengertian partisipasi masyarakat itu sendiri (Askew, 1989). Arnstein (1969) menformulasikan peranserta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen participation is citizen power), dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan
87
ekonomi untuk terlibat kelak. Singkat kata, peranserta masyarakat menurut Arnstein adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peranserta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnstein juga menekankan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan betuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses. Gradasi tersebut kemudian digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Tangga derajat partisipasi menurut Arnstein (Arnstein, 1969) Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai "non peran serta", dengan menempatkan bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan (1) terapi dan (2) manipulasi. Sasaran dari kedua bentuk ini adalah untuk "mendidik" dan "mengobati" masyarakat yang berperan serta. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat "Tokenisme" yaitu suatu tingkat peranserta dimana
88
masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika peranserta hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam tingkat "Tokenisme" adalah (3) penyampaian informasi (informing); (4) konsultasi; dan (5) peredaman kemarahan (placation). Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas kedalam tingkat "kekuasaan masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan (6) kemitraan (partnership) dengan memiliki kemampuan tawar-menawar bersama sama pengusaha atau pada tingkatan yang lebih tinggi (7) pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan (8) pengawasan masyarakat (citizen control). Pada tingkat ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu. Delapan tangga peran serta dari Arnstein ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa terdapat potensi yang sangat besar untuk memanipulasi program peranserta masyarakat menjadi suatu cara yang mengelabui (devious method) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Cohen dan Uphoff (1980) membagi partisipasi masyarakat kedalam dua elemen yang saling bertautan satu sama lain, yaitu dimensi partisipasi dan konteks partisipasi. Dimensi partisipasi menjelaskan tentang apa yang dilakukan dalam kegiatan (what dimension), dan bagaimana partisipasi tersebut berjalan (how dimension). Konteks partisipasi menunjukkan latar belakang teknis dari program, dan latar belakang sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi timbulnya partisipasi tersebut. Partisipasi pada dimensi what dapat terjadi dalam empat langkah proses pelaksanaan suatu program yaitu: 1. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; 2. Partisipasi dalam implementasi/ pelaksanaan program; 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil program; dan
89
4. Partisipasi dalam penilaian. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting, karena pada tahap itu masyarakat sering terabaikan. Program kegiatan langsung turun dalam bentuk jadi sehingga masyarakat tinggal melaksanakan saja, tanpa ada kesempatan untuk memberi masukan dan lain sebagainya. Menurut Cohen dan Uphoff, ada tiga jenis proses pengambilan keputusan, yakni: 1. Initial decision merupakan proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan program kegiatan. Seringkali anggota masyarakat tidak disertakan pada proses pengambilan keputusan pada tahap itu karena umumnya program telah ditentukan dari atas, mulai dari penentuan masalah, pendekatan pemecahan masalah, sampai cara pemecahan masalah yang dipakai; 2. On-going
decision
adalah
pengambilan
keputusan
selama
proses
pembangunan berjalan. Tahap itu sangat kritis, karena sangat berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan yang dijalankan. Tahap itu memberi banyak kesempatan kepada anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, seperti perlu atau tidaknya penambahan atau pengurangan kegiatan yang sedang berjalan, dan lain-lain; 3. Operational
decision
lebih
bersangkut-paut
dengan
pengorganisasian
pelayanan yang didirikan oleh program, bagaimana cara pengoperasiannya, siapa-siapa yang harus mengoperasikan dan memelihara bangunan atau alat yang dihasilkan, prosedur pertemuan, dan lain-lain. Partisipasi masyarakat dalam implementasi atau pelaksanaan program dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Partisipasi dalam kontribusi resources yang dapat berupa tenaga kerja, finansial, bahan-bahan, dan saran-saran atau informasi; 2. Partisipasi dalam kegiatan administratif yang dapat berupa kegiatan pencatatan dan pelaporan serta berbagai kegiatan administratif lainnya; dan 3. Keanggotaan pada suatu kepanitiaan kegiatan sudah pula dianggap sebagai partisipasi mereka dalam kegiatan tersebut.
90
Bentuk ketiga dari dimensi what ini adalah kemauan masyarakat untuk memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dilakukan, disebabkan adanya keuntungan (benefit) yang akan diperoleh masyarakat. Keuntungan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu : 1. Keuntungan yang bersifat material yang dapat berupa peningkatan penghasilan, kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, dan sebagainya; 2. Keuntungan yang bersifat sosial yang pada dasarnya adalah keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum, misalnya adanya puskesmas, sekolah, sarana air bersih, tempat pelayanan lain dalam lingkungan masyarakat tersebut; dan 3. Keuntungan yang bersifat personal yang dapat berupa kepuasan pribadi karena berpartisipasi dalam suatu kegiatan, mendapatkan wewenang atau kekuasaan dari kepartisipasiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan sebagainya. Disamping keuntungan yang diperoleh masyarakat atau anggota masyarakat dengan adanya suatu program pembangunan, penting pula dipikirkan adanya dampak negatif dari program tersebut bagi masyarakat. Apabila ada dampak negatif, maka menurut Uphoff dan Cohen, hal itu perlu diperhitungkan dalam analisis partisipasi masyarakat sebagai faktor penghambat. Bentuk partisipasi keempat, dari dimensi what ini adalah partisipasi masyarakat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Kesempatan melakukan penilaian jarang sekali diberikan kepada masyarakat, walaupun mereka mampu melakukannya. Umumnya kegiatan tersebut selalu didominasi oleh petugas, dengan alasan bahwa kegiatan itu bersifat terlalu teknis. Mereka melupakan bahwa adanya laporan yang bersifat informal mengenai jalannya kegiatan, tulisantulisan dalam surat pembaca dari suatu media massa, dan berbagai bentuk protes lainnya adalah merupakan salah satu petunjuk, bahwa masyarakat mampu dan telah melakukan suatu bentuk penilaian terhadap suatu kegiatan.
2.7 Kebijakan Publik Ada beberapa pengertian tentang kebijakan publik. Menurut Friedrich seperti dikutip Winarno (2007), kebijakan merupakan arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
91
tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Sedangkan
menurut
Santoso
dalam
Winarno
(2007),
dengan
mengkomparasi berbagai definisi yang dikemukanan oleh para ahli yang menaruh minat dalam bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi dalam dua wilayah kategori. Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakantindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua, berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Menurut Winarno (2007), model pendekatan dalam kebijakan publik dapat dibagi menjadi: 1. Pendekatan Kelompok Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. 2. Pendekatan Proses Fungsional Pembentukan kebijakan dengan jalan memusatkan perhatian kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. 3. Pendekatan Kelembagaan (institusional) Kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah. 4. Pendekatan peran serta warga negara
92
Dengan keikutsertaan warga negara dalam masalah-masalah masyarakat, maka para warga negara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-batas kehidupan pribadi.
93
BAB III METODOLOGI KAJIAN 3.1 Kerangka Konseptual Daerah Aliran Sungai (DAS ) di beberapa lokasi di Indonesia memiliki beban amat berat dikarenakan pertambahan laju kepadatan penduduknya yang tinggi dan pemanfaatan sumber daya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi kondisi DAS semakin menurun dengan banyaknya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.p Permasalahan
DAS
Ciliwung
merupakan
isu
regional
yang
penanganannya memerlukan pengelolaan terpadu lintas sektor. Pengelolaan DAS secara terpadu merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam, sumber daya buatan dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspekaspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kondisi perairan badan air Sungai Ciliwung di Kawasan Depok Lama relatif belum banyak terkena pencemaran serta DAS-nya cukup asri dan hijau untuk pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan DAS dengan cara konservasi bertujuan untuk mempertahankan daya dukung lingkungan, peningkatan peran serta masyarakat dan kelembagaan, peningkatan aktivitas sosial dan ekonomi, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan, kesejahteraan masyarakat, kesadaran dan partisipasi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pengelolaan
DAS
yang
berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan dan sasaran dimaksud dan berdasarkan potensi wilayah yang ada, alternatif proses pencapaian adalah dengan pengembangan kawasan ekowisata yang diharapkan dapat melahirkan program partisipatif dan memberi nilai ekonomi bagi masyarakat di sekitar sempadan sungai. Di samping itu karena masih kurangnya sentra wisata kota untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Depok akan rekreasi alam dan pendidikan.
94
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu syarat mutlak. Pengabaian terhadap faktor ini, telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arnstein (1969) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat kelak. Metode Arnstein yang dikenal sebagai delapan tingkat partisipasi digunakan untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat di lokasi penelitian ini. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan. Hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda. Melalui pengembangan ekowisata ini diharapkan terjadi peningkatan peranserta masyarakat dan peningkatan aktivitas sosial ekonomi. Masyarakat yang bersedia berperanserta akan membantu dalam upaya konservasi sehingga dapat mengurangi beban anggaran pemerintah untuk pengelolaan lingkungan. Penyusunan strategi program pengembangan juga dilakukan dengan menganalisis kebijakan di Kota Depok. Selanjutnya akan dirumuskan strategi penyusunan program pengembangan ekowisata di Kawasan Depok Lama.
95
Gambar 2 Kerangka pendekatan studi
96
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di zona koridor Sungai Ciliwung kawasan kota
Depok
Lama
Kecamatan
Sukmajaya
yang
peruntukannya
akan
dikembangkan sebagai kawasan wisata. Penentuan daerah ini atas dasar pertimbangan karena di wilayah ini mencakup area rekomendasi pengembangan ruang terbuka dan tata hijau berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Kota (BWK) VIII Sukmajaya pada rencana pemanfaatan Tahun 2013. Waktu penelitian adalah selama dua bulan mulai dari Bulan November hingga bulan Desember 2008. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Jl.
da on arg M
ya Ra
V
q
Jl.
Da hlia
2
$
2
Jl. Kam
oja
V
Ý
Jl.
oja
$ 1
B
Ke
Jl. Kam
Jl. Cem paka
B
Ind ah
B
Jl.
#
Su mu r Ba tu
2 %
8
$
Jl. Flamboyan
Jl. Maw ar
%
$
Taman Rekreasi Jembatan Panus
#
uda
Jl. Kenan ga
Jl. Melati
B B $ B
Komplek Puri Permata Asri
#
Jl. Pem
Jl. Kar
tini
$
%
* 0
ing Jl. Kemun
Jl. Cendana
Ma rg on da Ra ya
V Jl. Siliwangi
Jl. Jl. Dewi Sartika
%
1
Ý Nu sa
RS He Ibu & rmina An ak
<
Jl.
Jam bu
Jl.
Jl.Bu ng ur
Purin g
B
$ q
#
## *
#
Cili wun g
%
S.
%
$
ing 2
Jl. Belimb ing 1
*
Jl. Belimb
$ 2
$2
B
*
$
Komplek Depok Lama Alam Permai
Nature Area (berfungsi edukasi dan ekologis) sebagai lokasi pengembangan ekowisata Jl.
Jl.
Jl. Anggrek
Jl. Stasiun
%
B
Komplek Taman Siliwangi
%
uda Jl. Pem
*
$
Jl. Belimb ing 3
Pe mu da
1
Depok Lama
Rekreasi Tepi Air (Waterfront)
S. Ciliw ung
$
Tempat istirahat (scenic area)
$ $
Kegiatan di tepi air Jl. Bhakti
Jl. Tex as
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
3.3 Metode Penelitian Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan dari seluruh stakeholder
97
yang menjadi sasaran evaluasi secara langsung. Proses untuk mendapatkan data primer ini melalui survey lapangan untuk menilai potensi fisik, teknik wawancara terhadap responden dan metode kuesioner untuk dapat menyerap aspirasi. Data sekunder yang diperoleh berupa dokumen atau referensi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan sempadan sungai, perubahan tata guna lahan, data demografis dan sosial ekonomi masyarakat yang didapat dari instansi pemerintah setempat.
3.4 Teknik Pengumpulan Data 1. Kuesioner. Kuesioner merupakan daftar yang memuat himpunan pertanyaan yang dibuat secara terstruktur sebagai alat bantu dalam mengeksplorasi dan mengumpulkan
data/informasi
melalui
wawancara.
Penyusunan
dan
penggunaan kuesioner ini mengacu pada kebutuhan data/indikator untuk setiap elemen yang akan diukur, serta berdasarkan sasaran stakeholder yang diwawancarai. Pengumpulan data dengan Kuesioner akan dilakukan kepada masyarakat yang berada di sekitar lingkungan kawasan ekowisata maupun diluar kawasan, unsur pemerintah dan swasta. Pengumpulan data dengan kuesioner untuk mengidentifikasi partisipasi masyarakat dan aktifitas ekonomi dilakukan kepada masyarakat yang berada di sekitar lingkungan kawasan ekowisata kepada 30 (tiga puluh) responden yang terbagi menjadi enam kelompok. Teknik sampling dilakukan berdasarkan strata tertentu (Purposive Sampling) yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Jumlah penduduk total di Kelurahan Kalimulya berdasarkan data monografi kelurahan adalah 5712 jiwa, dengan total jumlah penduduk yang produktif adalah 988 jiwa. Klasifikasi jumlah penduduk yang produktif berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan diperoleh dari data monografi kelurahan, sehingga jumlah responden yang didapat adalah jumlah penduduk pada klasifikasi tersebut dibagi dengan total jumlah sampel yang dinginkan yaitu 30 dengan pembulatan angka.
98
Tabel 1 Karakteristik responden Jumlah Jumlah Kelompok Klasifikasi Penduduk Responden (jiwa) (jiwa) A SD – SLTP, 10 1 Pegawai B SD – SLTP, Non 237 7 Pegawai C SLTA, Pegawai 60 2 D SLTA, Non 473 14 Pegawai E PT , Pegawai 129 4 F PT , Non Pegawai 79 2 Jumlah 988 30
Persentase Responden 3 23 7 47 13 7 100
2. Wawancara Semi-Terstruktur Pada wawancara semi terstruktur ini, digunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Isu-isu relevan yang tidak diharapkan hendaknya diikuti lagi oleh pertanyaan lanjutan untuk menggali lebih banyak informasi. Meskipun topik wawancara dengan teknik seperti ini berpotensi memperluas cakupannya, namun pewawancara sudah dilengkapi dengan point-point (guide question) yang akan diwawancarakan dan didiskusikan. Beberapa aspek yang dituju untuk menjadi sasaran responden adalah para tokoh kunci, seperti Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan, Badan Lingkungan Hidup, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Sejahtera, dan sejumlah key person lainnya. Selain itu juga dapat dilakukan pada kelompok-kelompok yang terfokus, homogen atau campuran, seperti Lembaga Pelestarian Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia (Lempalhi), Yayasan Depok Hijau (Yadeh), PPSML-UI dan sebagainya. 3. Pengamatan Lapangan (observasi). Kegiatan ini dilakukan untuk melihat secara langsung kondisi faktual yang terbangun di lapangan serta memperluas lingkup pengamatan terhadap subyek yang dinilai (faktor atau dinamika yang mempengaruhi kinerja). Observasi merupakan teknik dalam melakukan verifikasi (cross check) terhadap data dan informasi yang dihimpun dari wawancara yang dilakukan. Kegiatan observasi dapat dikembangkan untuk melihat secara langsung hal-hal yang terkait
99
dengan aktivitas sosial dan ekonomi sehari-hari masyarakat dan rona lingkungan awal di kawasan ekowisata.
3.5 Analisis Data 1. Analisis Penilaian Partisipasi Analisis deskriptif dilakukan terhadap data primer (kuesioner) yang diperoleh melalui responden, pengamatan lapangan dan wawancara maupun data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Distribusi variabel penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif, dengan
tingkat
dikemukakan
partisipasi
Arstein
pada
dianalisis tangga
berdasarkan partisipasi.
kerangka
teori
yang
Kontingensi
data
yang
menggunakan skala nominal dianalisis menggunakan uji korelasi Chi-Square dengan menggunakan Program SPSS. 2. Analisis Identifikasi Usaha Produktif Distribusi variabel penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hubungan untuk data yang menggunakan skala nominal dianalisis menggunakan uji korelasi Chi-Square dengan menggunakan Program SPSS. 3.6 Metode Perumusan Kebijakan Metode yang digunakan untuk perumusan kebijakan adalah Metode Analitical Hirarchy Process. Pada perumusan strategi dan kebijakan, penentuan responden dilakukan dengan purposive sampling, yaitu menentukan dan memilih secara sengaja responden yang berkompeten untuk mengetahui persepsi dalam penentuan strategi guna pengembangan ekowisata. Responden yang dipilih sebanyak delapan orang berasal dari DPRD, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Kantor Pariwisata, Yadeh (Yayasan Depok Hijau), Swasta (Perencana), Akademisi-UI, dan masyarakat (Lurah). Metode Analitical Hirarchy Process didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang di desain untuk sampai pada skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Pada model AHP menggunakan persepsi manusia yang dianggap ekspert sebagai input utamanya. Oleh karena menggunakan input yang kualitatif (persepsi) maka model ini pun dapat mengolah hal-hal kualitatif di samping
100
kuantitatif. Kelebihan lainnya adalah pada kemampuannya dalam memecahkan masalah yang multi objektif dan multi kriteria. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarkinya. (Falatehan, 2007) Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumber daya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan model AHP, seperti prioritas pengembangan sumber daya air pada daerah aliran sungai, prioritas program dari pemerintah, strategi pengembangan industri, dan lain-lain. Prinsip dasar AHP terdiri dari: a. Menyusun Hirarki Prinsip ini menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah persoalan menjadi unsur yang terpisah. b. Menentukan prioritas Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif singkat kepentingannya. c. Konsistensi Logis Menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Proses AHP adalah suatu model luwes yang memungkinkan kita mengambil keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis (Falatehan, 2007). A. Menyusun Hirarki Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarkis dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen-elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang akan diambil. Proses penyusunan elemen-elemen secara hirarkis meliputi pengelompokan elemen-elemen dalam komponen yang sifatnya homogen dan menyusun komponen-komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan juga dampak-dampaknya pada sistem.
101
Abstraksi ini mempunyai bentuk saling berkaitan, tersusun menuju suatu puncak atau sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, di samping dari pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, hingga menjadi rumusan strategi. Dengan demikian hirarki adalah sistem yang tingkatan-tingkatan (level) keputusannya berstratifikasi dengan beberapa elemen keputusan pada setiap tingkatan keputusan. Secara umum hirarki dapat dibagi dua jenis (Permadi, 1992), yaitu: 1. Hirarki Struktural, menguraikan masalah yang kompleks diuraikan menjadi bagian-bagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tententu seperti jumlah, bentuk, ukuran atau warna. 2. Hirarki Fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagianbagiannya sesuai hubungan essensialnya. Misalnya masalah pemilihan pemimpin dapat diuraikan menjadi tujuan utama yaitu mencari pemimpin, kriteria pemimpin yang sesuai dan alternatif pemimpin-pemimpin yang memenuhi syarat. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan yang teridentifikasi. Abstraksi susunan hirarki keputusan adalah : 1. Level 1 : Fokus / Sasaran Utama 2. Level 2 : Faktor / kriteria (Fl, F2, F3) 3. Level 5 : Alternatif (S1, S2, S3) Setiap hirarki tidak perlu selalu terdiri dari 5 level, banyaknya level tergantung pada permasalahan yang sedang dihadapi. Tetapi untuk setiap permasahan, level 1 (fokus/sasaran), level 2 (faktor/kriteria), dan level 5 (alternatif) harus selalu ada. Langkah penyusunan hirarki dalam strategi pengembangan ekowisata adalah pada Gambar 4. Faktor dan Alternatif untuk merumuskan kebijakan akan dirumuskan setelah memperoleh hasil dari FGD (Focus Group Discussion).
102
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA
FOKUS
FAKTOR
FAKTOR 1
FAKTOR 2
ALTERNATIF 1
ALTERNATIF 2
FAKTOR 3
FAKTOR 4
ALTERNATIF
ALTERNATIF 3
ALTERNATIF 4
Gambar 4 Hirarki perumusan strategi pengembangan ekowisata B. Menetapkan Prioritas Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai yang sesungguhnya.
Derajat
kepentingan
pelanggan
dapat
dilakukan
dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteriakriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif, kita harus melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Menurut Saaty seperti dikutip dalam Falatehan (2007), untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation).
103
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan yaitu pada tabel berikut : Tabel 2 Skala matrik perbandingan berpasangan Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 1/(2-9)
Definisi Elemen yang satu sama pentingnya dibanding dengan elemen yang lain (equal importance) Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain (moderate more importance) Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen yang lain (essential,strong more importance) Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari pada elemen yang lain (demonstrated importance ) Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen yang lain (absolutely more importance) Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan (grey area) Jika kriteria C1 mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan kriteria C2 memiliki nilai kebalikan bila dibandingkan C1
Penjelasan Kedua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut Pengalaman menyatakan sedikit memihak pada satu elemen Pengalaman menunjukkan secara kuat memihak pada satu elemen Pengalaman menunjukkan secara kuat disukai dan didominasi oleh sebuah elemen tampak dalam praktek Pengalaman menunjukkan satu elemen sangat jelas lebih penting Nilai ini diberikan bila diperlukan kompromi Jika kriteria C1 mempunyai nilai x bila dibandingkan dengan kriteria C2, maka kriteria C2 mendapatkan nilai 1/x bila dibandingkan kriteria C1
Sumber: Saaty, 1991
Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas (Falatehan, 2007). C. Konsistensi Logis Nilai-nilai perbandingan berpasangan yang dilakukan harus diperiksa konsistensinya, misalnya bila dalam melakukan perbandingan kita menilai A > B dan B > C, maka secara logis seharusnya A > C. Untuk menghitung konsistensi ini, AHP telah memiliki rumus untuk menghitung konsistensi. Konsistensi mengandung dua arti, yaitu: 1. Bahwa pemikiran atau obyek yang serupa dikelompokkan menurut persamaan dan pertaliannya.
104
2. Bahwa intensitas relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu akan saling membenarkan secara logis. Evaluasi konsistensi dilakukan terhadap pertimbangan yang telah diberikan. Evaluasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan nilai dari konsistensi ratio (CR). Penilaian dapat dikatakan konsisten apabila diperoleh nilai CR yang lebih kecil atau sama dengan 0,10. Bila nilai CR lebih besar dari 0,10 maka mengindikasikan perlu adanya pemeriksaan kembali terhadap pertimbangan yang telah dibuat. Timbulnya ketidakkonsistenan sebagian besar karena ide baru yang mempengaruhi empat fungsi psikologis manusia dalam memecahkan masalah, yaitu intuisi, pikiran, perasaan, dan penginderaan. Hal ini cenderung menyebabkan pengambilan keputusan mengubah preferensi dan komitmen yang telah dilakukannya. Pengujian konsistensi ini dilakukan setelah nilai prioritas untuk setiap elemen dan suatu tingkatan yang diperoleh (Falatehan, 2007).
105
BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Alam Geografis Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o19’00’’ – 6o28’00’’ Lintang Selatan dan 106o43’00’’ –106o55’30’’ Bujur Timur. Bentang alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 - 140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 Km2. Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. Kota Depok sampai dengan pertengahan tahun 2009 terdiri dari 6 kecamatan yaitu Kecamatan Sawangan, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Beji dan Kecamatan Limo. Pada bulan Oktober tahun 2009, Kota Depok melakukan pemekaran kecamatan menjadi 9 kecamatan dengan penambahan Kecamatan Tapos, Kecamatan Cinere, Kecamatan Bojong Sari, Kecamatan Cilodong, dan Kecamatan Cipayung. Kelurahan Kalimulya termasuk wilayah Kecamatan Sukmajaya, terletak di bagian tengah Kota Depok, dengan ketinggian 50 meter dari permukaan laut. Secara administrasi wilayah Kelurahan Kalimulya mempunyai luas 233.098 ha, dengan batas wilayah adalah sebelah utara Kelurahan Tirtajaya (Kecamatan Sukmajaya), sebelah selatan Kelurahan Pondokrajeg (Kecamatan Sukmajaya), sebelah barat Kali Ciliwung dan sebelah timur Kelurahan Jatimulya (Kecamatan Sukmajaya).
4.2 Keadaan Demografis Jumlah penduduk di Kelurahan Kalimulya pada tahun 2007 yaitu 5.712 jiwa yang terdiri atas 3.115 jiwa penduduk laki-laki dan 2.597 jiwa penduduk perempuan, dengan kepadatan penduduk di Kelurahan Kalimulya mencapai
106
245.05 jiwa/km2. Jumlah kepala keluarga adalah 1.854 KK. Jumlah penduduk setempat menurut kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Kel. Kalimulya Tahun 2007 No
Kelompok Usia
Jumlah (jiwa)
Persentase
1
0-3 tahun
593
10,38
2
4-6 tahun
550
9,63
3
7-12 tahun
347
6,07
4
13-15 tahun
732
12,81
5
16-18 tahun
716
12,53
6
19 tahun ke atas
2774
48,56
TOTAL
5712
100
Sumber: Data Monografi Kelurahan, 2007 Kelompok usia penduduk terbanyak yaitu pada kelompok usia 13 tahun hingga 18 tahun yaitu sekitar 12 %. Kelompok ini umumnya yaitu kelompok usia sekolah. Sedangkan kelompok dengan usia 19 tahun keatas atau usia produktif adalah terbanyak yaitu 2774 jiwa atau 48,56 % dari jumlah penduduk keseluruhan. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut :
107
Tabel 4 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kel. Kalimulya Tahun 2007 No.
Mata Pencaharian
Jumlah
Persentase
(jiwa) 1
Karyawan: a. Pegawai Negeri Sipil b. ABRI c. Swasta
199 52 396
20,14 5,26 40,08
2
Tani
168
17,00
3
Buruh Tani
128
12,95
4
Pensiunan
40
4,05
5
Pemulung
5
0,51
988
100
TOTAL
Sumber: Data Monografi Kelurahan, 2007 Klasifikasi penduduk berdasarkan mata pencaharian, yaitu sebagian besar penduduk berprofesi sebagai karyawan (PNS, ABRI dan swasta) sebanyak 65,48 %.. Sebagian penduduk adalah kelompok petani (17 %) dan buruh tani (12,95 %). Minoritas penduduk bermata pencaharian sebagai pemulung (0,51 %) serta sisanya adalah pensiunan (4,05 %).
4.3 Keadaan Perekonomian Laju pertumbuhan ekonomi wilayah penelitian dapat dilihat dari laju PDRB Kecamatan Sukmajaya setiap tahun. Secara umum lapangan usaha di wilayah Kecamatan Sukmajaya adalah prioritas pada sektor perdagangan dan jasa yang dapat digambarkan pada grafik sebagai berikut. Tabel 5 Persentase laju pertumbuhan sektoral PDRB Kec. Sukmajaya Tahun 2007 No
Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007
Ratarata
1
Pertanian
2
Pertambangan dan galian
3
Industri pengolahan
108
1,54
2,16
2,21
-2,15
0,94
5
5,1
6,3
5,4
5,45
No
Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007
Ratarata
4
Listrik, Gas dan Air minum
4,8
4,96
6,51
2,15
4,6
5
Bangunan/Konstruksi
4,75
4,88
1,65
3,51
3,69
6
Perdagangan, Hotel dan
4,84
5,42
5,73
6,67
5,65
6,45
6,39
7,32
4,43
6,15
4,75
7,66
7,70
3,57
5,92
3,64
4,11
3,59
7,47
3,95
Restoran 7
Pengangkutan dan Komunikasi
8
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
9
Jasa-jasa
Sumber: Kota Depok dalam Angka, 2008 Sesuai dengan Tabel 5 rata-rata pertumbuhan sektoral PDRB Kecamatan Sukmajaya yang paling maju pertumbuhannya adalah sektor perdagangan, pengangkutan dan jasa. Grafik pertumbuhan laju PDRB dapat ditampilkan pada gambar berikut ini. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB di Kecamatan Sukmajaya
8 7 6 5 PDRB (%)
4 3 2 1 0
Pertam Industri Listrik, Bangun Perdag Pengan Bank Pertani bangan Pengola Gas an/Kon angan, gkutan dan an dan han dan Air struksi Hotel dan Lembag
Jasajasa
2004
1.54
5
4.8
4.75
4.84
6.45
4.75
3.64
2005
2.16
5.1
4.96
4.88
5.42
6.39
7.66
4.11
2006
2.21
6.3
6.52
1.65
5.73
7.32
7.7
3.59
2007
2.15
5.4
2.15
3.51
6.67
4.43
3.57
4.47
Rata-rata
2.015
5.45
6.1475
5.92
3.9525
4.6075 3.6975 5.665
Lapangan Usaha
Gambar 5 Grafik laju pertumbuhan PDRB Kecamatan Sukmajaya
109
4.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat akan sangat mempengaruhi pola pikir dan menjadi tolak ukur faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan dalam suatu daerah. Semakin tinggi pendidikan berarti akan membawa berbagai pengaruh positif bagi masa depan di berbagai bidang kehidupan. Sumber daya yang berkualitas tentu dihasilkan oleh proses pendidikan yang berkualitas serta dapat dibuktikan beberapa tahun mendatang. Tingkat pendidikan masyarakat yang memadai akan memberikan peluang keikutsertaannya dalam pelaksanaan pembangunan. Kondisi jumlah penduduk menurut pendidikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Kel. Kalimulya Tahun 2007 No
Lulusan Pendidikan
Jumlah (jiwa)
Persentase
Umum 1
TK/RA
610
10,35
2
SD/MI
872
14,79
3
SLTP/MTs
1.842
31,25
4
SLTA/MA
2.062
34,98
5
Akademi (D1-D3)
268
04,55
6
Sarjana (S1-S3)
241
04,09
5.895
100
TOTAL Sumber: Data Monografi Kelurahan, 2007
Pada tahun 2007, penduduk Kelurahan Kalimulya yang berumur 10 tahun ke atas yang memiliki ijasah tertinggi SLTA dan sederajat 34,98 %. Memiliki ijasah tertinggi SLTA merupakan persentase terbesar dibanding jenjang pendidikan lainnya.
4.5 Aksesibilitas Aksesibilitas ke wilayah penelitian sudah didukung dengan infrastruktur jalan yang memadai, namun belum dilalui oleh transportasi dari pemerintah
110
(angkutan umum), sehingga masyarakat yang ingin menuju lokasi tersebut harus menggunakan transportasi non formal atau ojeg.
4.6 Kondisi Tata Guna Lahan Pada tahun 2007 peruntukan dan penggunaan lahan di Kelurahan Kalimulya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Peruntukan dan pengunaan lahan di Kelurahan Kalimulya Tahun 2007 Peruntukan Lahan No Uraian
Penggunan Lahan Luas
No Uraian
(ha)
Luas (ha)
1
Jalan
41,63
1
Perkantoran
4,361
2
Sawah dan ladang
49,193
2
Pasar/mall
0,65
3
Bangunan Umum
2.040
3
Tanah wakaf
0,60
4
Empang
9,017
4
Irigasi tadah hujan
18,160
5
Permukiman/perumaha
12,84
5
Hutan
5,072
n 6
Jalur Hijau
1144
7
Pekuburan
12,42
Sumber: Data Monografi Kelurahan, 2007 Berdasarkan tabel di atas, peruntukan lahan di wilayah penelitian yang paling besar adalah untuk bangunan yaitu seluas 2.040 ha (61,65 %), sedangkan penggunaan lahan yang paling besar adalah irigasi tadah hujan seluas 5.072 ha (62,96 %).
4.7 Kondisi Perairan Sungai Ciliwung Wilayah DAS Ciliwung secara geografis terletak antara 06o05’ Lintang Selatan sampai 06o40’ Bujur Timur. Bagian hulu Sungai Ciliwung berada di Gunung Telaga Mandalawangi (Kabupaten Bogor) dan bagian hilir bermuara di Teluk Jakarta dengan panjang bentang mencapai 76 km dan luas DAS mencapai
111
322 km2. Batas wilayah DAS Ciliwung adalah DAS Cisadane di sebelah Barat dan DAS Citarum di sebelah Timur. Hasil kajian pada tahun 2001 menunjukkan bahwa DAS Ciliwung mempunyai kondisi sangat kritis, di mana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan air dan ketersediaan air atau kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada sepanjang tahun telah jauh melebihi 100%. Hal tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa Kawasan Bodebek-Punjur merupakan dua Kawasan yang mempunyai potensi perkembangan yang sangat pesat, baik dari aspek pertumbuhan penduduk (sepertiga penduduk Jawa Barat) maupun dari Laju Pertumbuhan Ekonominya (4,5 % tahun 2001) yang selalu di atas rata-rata Jawa Barat. Badan air Sungai Ciliwung yang berada dalam wilayah penelitian mempunyai kedalaman antara 80 sampai 175 cm, lebar antara 18 - 20 meter dan memiliki kecepatan arus 3,92 - 4,76 m/detik, dengan rona sungai berlumpur, landai, sedikit riak, warna air keruh dan terdapat masukan dari buangan domestik. Sedangkan vegetasi yang dominan terdapat di sepanjang badan air sungai tersebut dapat dilihat seperti pada Tabel 8. Tabel 8
Jenis vegetasi yang terdapat di sepanjang badan air Sungai Ciliwung pada wilayah perencanaan Bentuk Hidup No Nama Jenis Nama Umum
112
Keci beling
Perdu
Mangifera indica
Mangga
Pohon
3
Mangifera odorata Griff
Kaweni
Pohon
4
Amorphopalus variabilis
Acung
Herba
5
Collocacia esculenta
Talas
Herba
6
Syngonium podophyllum
Talas
Herba
7
Salacca edulis Reinw.
Salak
Perdu
8
Ageratum conyzoides L.
Babadotan
Herba
9
Eryrgeron sumatrensis
Jelantir
Herba
10
Pacar Air
Herba
11
Impatiens platypetala Rindl.
Berenuk
Pohon
12
Crescentia cujete L.
Pepaya
Pohon
1
Sericocalyx crispus
2
No
Nama Jenis
Nama Umum
Bentuk Hidup
Pacing
Herba
Mara
Pohon
13
Carica Papaya
14
Costus speciosus
15
Macaranga tanarius
16
Clitoria ternatea
17
Fabaceae-2
Alpukat
Perdu
18
Persea americana Mill
Sadagori
Pohon
19
Sida rhombifolia L.
Harendong bulu
Herba
Kecapi
Pohon
Kaliandra
Pohon
Teureup
Pohon
Bunut
Pohon
Pulutan
Pohon
Jambu Air
Pohon
Pandan wangi
Herba
Clidemia hirta D. Don
Herba merambat
Herba
20
Sandoricum koetjape Merr.
21
Calliandra Calothyrsus
22
Artocarpus elasticaReinw.
23
Ficus Glabrata
24
Ficus alba
25
Syzygium aquaeum
26
Pandanus amaryllifolius
27
Piperaceae-1
28
Gigantochloa apus Kurz.
Bambu Tali
29
Gigantochloa verticilata
Bambu andog
30
Ixora finlaysniana Wall
Soka putih
Perdu
31
Solanum torvum
Takokak
Perdu
32
Pilea sp
Herba merambat Perdu
Perdu Herba
Sumber : Kajian Ekologis DAS Ciliwung Kota Depok (2006) Hasil pengukuran rata-rata kandungan oksigen terlarut di perairan sepanjang DAS Ciliwung wilayah wilayah penelitian yaitu 7.95 mg/L. Untuk mendukung kehidupan hewan-hewan akuatik dalam perairan mengalir, menurut Swingle (1968), kandungan oksigen terlarut haruslah lebih dari 4,0 mg/L, bila kandungan oksigen terlarut suatu perairan mengalir bernilai di bawah 4,0 mg/L maka dapat dikatakan perairan telah tercemar parah sampai parah sekali. Berdasarkan kriteria tersebut, penurunan kandungan oksigen terlarut merupakan salah satu penurunan keanekaragaman dan perbedaan komposisi organisme akuatik di Sungai Ciliwung.
113
Kecenderungan atau trendline dari kandungan oksigen terlarut wilayah Kota Depok dari arah hulu sampai ke hilir cenderung menurun. Penurunan kandungan oksigen ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya limbah domestik dan industri yang dibuang dan mengalir disepanjang badan sungai. Kandungan oksigen terlarut ini digunakan untuk proses dekomposisi bahan-bahan organik yang berasal dari limbah domestik tersebut. Difusi oksigen dari udara dan bantuan agitasi arus air di bagian tengah Sungai Citarum tampaknya tidak dapat mengimbangi pemakaian oksigen untuk proses dekomposisi bahan-bahan organik sehingga terjadi penurunan kandungan oksigen terlarut. Secara umum, pH perairan di Sungai Ciliwung wilayah Kota Depok masih berada pada kisaran normal yaitu 6-7, sehingga sangat mendukung bagi kehidupan organisme
akuatik
termasuk
makrozoobentos
dan
plankton.
Sedangkan
kandungan organik di badan air Sungai Ciliwung di wilayah penelitian memiliki kandungan organik yang cukup tinggi karena banyak terdapat masukan materi organik yang berasal dari berbagai limbah buangan rumah tangga dan industri di sepanjang aliran sungai.
114
BAB V PARTISIPASI MASYARAKAT 5.1
Aspirasi Masyarakat Sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah, penyempurnaan sistem
perencanaan pembangunan yaitu dekatnya proses pengambilan kebijakan dengan masyarakat dan semakin besar peluang partisipasi masyarakat di dalam perencanaan pembangunan. Hal yang lebih penting lagi adalah sejauh mana masyarakat peduli dan mempunyai rasa memiliki atas kegiatan pembangunan di wilayahnya. Rasa memiliki akan terbangun ketika aspirasi yang mereka sampaikan terakomodir di dalam APBD Kota. Menurut Brinkerhoff dan Crosby (2002), partisipasi masyarakat ditinjau dari dua dimensi praktis, yakni sisi suplai dan permintaan. Jika partisipasi ingin berjalan efektif, mereka memandang perlunya sisi suplai yakni instansi penyelenggara untuk bersikap menerima masukan dari pihak luar, transparan, terbuka serta mempunyai kewenangan yang memadai. Dari sisi permintaan, terjaringnya aspirasi masyarakat tergantung antara lain pada lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya partisipasi, adanya tradisi partisipasi dan kemampuan masyarakat dalam berkelompok dan menyampaikan tuntutan mereka. Lebih jauh mereka menyebutkan bahwa banyak dan efektifnya aspirasi publik yang diakomodir dalam pembuatan kebijakan tergantung pada faktor ekonomi politik hubungan antar kelompok instansi-instansi pemerintah. Aspirasi masyarakat dapat ditampung dalam suatu Focus Group Discussion (FGD) di lokasi setempat, FGD yang diselenggarakan di tengah masyarakat dihadiri oleh pihak kelurahan, tokoh masyarakat, pemuda (Karang Taruna), para ketua RT atau RW, LPM, PKK, perwakilan warga, Bimaspol, dan sebagainya. Semua peserta diskusi memiliki pandangan yang sama bahwa tindakan pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan tanpa merusak sumber daya alam itu sendiri. Segala aktivitas yang dilakukan relatif tidak menimbulkan dampak lingkungan dan bersifat ramah lingkungan. Narasumber menyatakan bahwa masyarakat yang kreatif harus mempunyai itikad baik untuk memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari. Dengan
115
demikian diharapkan dapat meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi kota. Peningkatan upaya konservasi juga harus dipandang sebagai upaya preventif terjadinya bencana, misalnya bahaya bajir, kerusakan terhadap lingkungan, dan ancaman terhadap kehidupan hayati lainnya. Pandangan bahwa masyarakat kota yang heterogen dan lebih individual dengan daerah lainnya akan menyebabkan kesulitan dalam mengintroduksi pelaksanaan program konservasi. Dimana daerah lainnya sudah lebih dulu berhasil memanfaatkan badan sungai sebagai kawasan wisata dan konservasi sehingga menjadi sumber dana mandiri untuk membiayai pembangunan konservasi, misalnya arung jeram Sungai Citarik di Sukabumi, Sungai Citarum, dan sebagainya. Berdasarkan pertemuan FGD tersebut, aspirasi yang terjaring dituangkan dalam kuesioner untuk mengetahui lebih terperinci aspirasi masyarakat lokal sebagai responden yaitu sebagai berikut. Tabel 9 Frekuensi aspirasi masyarakat terkait dengan upaya pengembangan kawasan ekowisata Jenis Upaya untuk Mendukung Ekowisata Kawasan Penelitian/Pendidikan (Cagar Alam) Penyediaan Sarana Prasarana Pengelolaan Sampah Pengembangan Sarana OR Pengembangan Sarana Rekreasi dan Wisata Kawasan Pembibitan dan Penanaman Buah Penambahan Pohon/Tanaman Keras untuk meminimasi Banjir
KELOMPOK A
B
C
D
E
F
0
5
1
4
2
0
0
3
0
10
1
2
0
0
0
1
0
0
1
6
2
12
3
2
0
1
1
4
1
0
1
3
1
4
3
1
Kelompok yang dimaksud adalah kelompok responden yang dibagi dalam enam kelompok dengan klasifikasi pendidikan dan pekerjaan yaitu kelompok A
116
untuk SD-SLTP, PNS; kelompok B untuk SD-SLTP, Non PNS; kelompok C untuk SLTA, PNS; kelompok D untuk SLTA, Non PNS; kelompok E untuk Perguruan Tinggi, PNS; dan kelompok F untuk Perguruan Tinggi, Non PNS. Berdasarkan tabel diatas, pengembangan sarana rekreasi dan wisata merupakan pilihan yang banyak diminati oleh setiap kelompok responden, disamping pilihan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat memiliki ketertarikan dalam menerima perubahan lingkungan untuk penyegaran rohani atau wisata sekaligus memiliki wahana yang bersifat edukatif. Meski demikian, upaya masyarakat untuk membawa aspirasinya ke dalam suatu forum tingkat kota serta mengkaji secara kritis setiap kebijakan pemerintah daerah tidak selamanya terakomodir. Justru masyarakat perlu perjuangan lebih lanjut untuk dapat didengarkan oleh pemerintah dan investor. Grafik berikut merefleksikan sebaran aspirasi masyarakat menurut kelompok responden. Aspirasi masyarakat terbanyak yaitu pada pengembangan kawasan wisata.
12
10
8
6
4
2
0 A
B
C
D
E
F
Kawas an Penelitian/Pendidikan (Cagar Alam ) Penyediaan Sarana Pras arana Pengelolaan Sam pah Pengem bangan Sarana OR Pengem bangan Sarana Rekreas i dan Wis ata Kawas an Pem bibitan dan Penanam an Buah Penam bahan Pohon/Tanam an Keras untuk m em inim as i Banjir
Gambar 6 Sebaran aspirasi masyarakat terhadap pengembangan kawasan
117
5.2
Potensi Partisipasi Masyarakat Masalah dan tantangan dalam pengelolaan lingkungan mengharuskan
pemerintah mengubah paradigma dalam mewujudkan setiap kebijakan dengan mengutamakan pola-pola keberpihakan pada masyarakat. Melalui perwujudan good governance, dimana salah satu karakteristiknya adalah mendorong partisipasi dan kemitraan dengan masyarakat, maka pembangunan harus melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, tidak akan ada strategi yang mampu bertahan lama. Peran masyarakat harus dipandang sebagai hal yang dinamis dan memberikan suatu peluang bagi pemerintah yang bermaksud membangun kredibilitas negara melalui potensinya dalam membangun koalisi dan aksi kolektif. Demikian pula halnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang merupakan
faktor
penting
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan
yang
berkelanjutan. Keterlibatan dan peran berbagai kelompok/organisasi masyarakat dalam penyaluran aspirasi masyarakat ke DPRD melalui mekanisme demokrasi telah menciptakan suatu momentum menuju suatu rasa memiliki dan berkehendak serta berkelanjutan bagi pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan perwujudan good environmental governance. Secara sederhana partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai upaya terencana untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Partisipasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana pihak yang akan memperoleh dampak (positif dan/atau negatif) ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan kegiatan, tidak hanya menerima hasilnya. Partisipasi masyarakat merupakan bagian dari prinsip demokrasi. Salah satu prasyarat utama dalam mewujudkan partisipasi itu adalah adanya keterbukaan dan transparansi. Komposisi responden pada penelitian ini berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 10.
118
Tabel 10 Komposisi dan jumlah responden untuk penilaian potensi partisipasi No. 1 2 3
Tingkat Pendidikan SD – SLTP SLTA Perguruan Tinggi (D3, S1, S2, S3) JUMLAH
Total
Jenis Pekerjaan PNS
Wiraswasta
1 2 4
7 14 2
8 16 6
7
23
30
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa terdapat enam kelompok responden berdasarkan klasifikasi pendidikan dan pekerjaan yaitu kelompok A untuk SDSLTP, PNS; kelompok B untuk SD-SLTP, Non PNS; kelompok C untuk SLTA, PNS; kelompok D untuk SLTA, Non PNS; kelompok E untuk Perguruan Tinggi, PNS; dan kelompok F untuk Perguruan Tinggi, Non PNS. Sedangkan persentase kelompok responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Persentase Kelompok Masyarakat
7%
13%
3% 23%
7%
47%
A : SD-SLTP, PNS
B : SD-SLTP, Non PNS
C : SLTA, PNS
D : SLTA, Non PNS
E : Perguruan Tinggi, PNS
F : Perguruan Tinggi, Non PNS
Gambar 7 Persentase kelompok responden Berdasarkan persentase kelompok responden terlihat bahwa kelompok D atau masyarakat dengan tingkat pendidikan SLTA dan pekerjaan Non PNS memiliki persentase yang tinggi yaitu 47 %.
119
Secara umum, masyarakat di wilayah studi masih melakukan pemanfaatan terhadap Sungai Ciliwung dan melakukan kegiatan yang rutin ataupun hanya dilaksanakan sesekali. Berdasarkan data kuesioner yang diperoleh di lapangan, masyarakat banyak melakukan kegiatan pemancingan dan penanaman pohon. Tabel dan grafik berikut ini mendeskripsikan kegiatan yang masih dilakukan di sempadan Sungai Ciliwung di wilayah tersebut. Tabel 11 Frekuensi kegiatan masyarakat di sempadan Sungai Ciliwung No
Kegiatan di RTH
Responden
1
Berjalan-jalan
2
2
Olah Raga
2
3
Menanam Pohon
8
4
Memancing
11
5
Mencuci
1
6
Pengambilan Pasir
1
7
Berjualan
1
8
Rekreasi
4
JUMLAH
30
Kegiatan Yang Dilakukan di RTH Sempadan Sungai Ciliwung 12
Responden
10 8 6 4 2 0 1 Jenis Kegiatan Berjalan-jalan
Olah Raga
Menanam Pohon
Memancing
Mencuci
Pengambilan Pasir
Berjualan
Rekreasi
Gambar 8 Grafik frekuensi kegiatan masyarakat di RTH sempadan Sungai Ciliwung
120
Masyarakat di sekitar sempadan sungai juga ikut serta dalam melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan, beberapa yang utama yaitu melakukan pembersihan sampah, penanaman pohon, pengolahan sampah dengan cara daur ulang, pengomposan dan lubang biopori, serta mengangkut sampah dari aliran badan sungai. Kegiatan pengelolaan tersebut diklasifikasikan berdasarkan kelompok responden sehingga dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 12 Frekuensi jenis pengelolaan lingkungan yang sering dilakukan masyarakat di sempadan Sungai Ciliwung Pengolahan Sampah (Pengomposan, Daur Ulang, Biopori, dsb)
KELOMPOK
Pembersihan Sampah
Penanaman Pohon
A
1
B
2
3
C
1
1
D
6
4
3
E
1
1
2
F
0
1
1
Mengangkut Sampah dari Aliran Badan Sungai
2
1
Untuk tabel diatas dapat digambarkan dengan grafik di bawah ini. Pengelolaan Lingkungan di DAS Ciliwung oleh Warga 6
6 5
4 4 3 Frekuensi
3
3 2
2
2
2 1 11
11
1
1 1
1 0 0 A
B
C
D
E
F
Kelom pok Masyarakat
Pembersihan Sampah Penanaman Pohon Pengolahan Sampah (Kompos, Daur Ulang, Biopori, dsb) Pengangkutan Sampah dari Sungai
Gambar 9 Frekuensi Pengelolaan lingkungan di DAS Ciliwung oleh warga
121
Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Kelompok responden dengan pendidikan SLTA ke atas (mulai dari kelompok D) mengetahui lebih baik cara pengolahan sampah dengan pengomposan, daur ulang, biopori, dan sebagainya Meskipun tidak semua memahami bagaimana cara mengolah sampah menjadi sumber daya yang bisa dimanfaatkan ataupun melakukan pengelolaan yang benar. Pada setiap tingkat pendidikan atau kelompok responden, kegiatan pengelolaan lingkungan untuk pembersihan sampah dan penanaman pohon terlihat selalu muncul, hal ini menunjukkan adanya kepedulian warga terhadap upaya pengelolaan lingkungan. Pada tingkat pendidikan yang tinggi terlihat lebih dari 50 % dari jumlah kelompok responden melakukan pengolahan sampah dengan mekanisme tertentu. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah melakukan pengelolaan lingkungan dengan cara lebih konvensional yang dilakukan secara kerja bakti maupun swadaya. Namun pelaksanaan pengelolaan lingkungan tidak mutlak bergantung pada tingkat pendidikan yang diperoleh namun juga kesadaran masyarakat itu sendiri dalam hal pengelolaan lingkungan. Besarnya presentase kegiatan pengelolaan lingkungan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 13 Frekuensi dan persentase kegiatan pengelolaan lingkungan oleh responden berdasarkan tingkat pendidikan Pengelolaan Lingkungan di Sempadan Sungai Ciliwung No. 1. 2. 3.
Tingkat Pendidikan SD-SLTP Persentase SLTA Persentase Perguruan Tinggi Persentase TOTAL Persentase
Pembersihan Sampah
Penanaman Pohon
3 37,5 9 56,3 3 50 15 50
2 25 6 37,5 1 16,7 9 30
Pengolahan Sampah
Pengangkutan Sampah 3 37,5 1 6,3
2 33,3 2 6,7
4 13,3
Total
8 100 16 100 6 100 30 100
Nilai chi-square yang diberikan dari kontingensi antara pengelolaan lingkungan dengan tingkat pendidikan adalah 14,003 dengan nilai P-value sebesar 0.03 (lihat lampiran 1a). Berdasarkan nilai tersebut maka terlihat adanya
122
hubungan yang signifikan antara pengelolaan lingkungan dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan mengarahkan masyarakat pada teknik pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Sedangkan hubungan antara pelaksanaan pengelolaan lingkungan dengan pekerjaan dapat diperlihatkan pada tabel di bawah ini. Tabel 14
Frekuensi dan persentase kegiatan pengelolaan lingkungan oleh responden berdasarkan jenis pekerjaan Pengelolaan Lingkungan di Sempadan Sungai Ciliwung
No. 1. 2.
Jenis Pekerjaan PNS Persentase Wiraswasta Persentase TOTAL Persentase
Pembersihan Sampah
Penanaman Pohon
Pengolahan Sampah
2 28,6 13 56,5 15 50
4 57,1 5 21,7 9 30
1 14,3 1 4,3 2 6,7
Pengangkutan Sampah
4 17,4 4 13,3
Total
7 100 23 100 30 100
Berdasarkan tabel diatas, keterkaitan antara kegiatan pengelolaan lingkungan dan pekerjaan tidak menunjukkan pola tertentu, artinya bahwa jenis pekerjaan seseorang sangat sedikit untuk mempengaruhi terhadap upaya dan peningkatan motivasi setiap orang untuk memperhatikan lingkungannya. Hal yang dapat menjadi motivasi adalah kesadaran individu untuk berbuat baik untuk menjaga kelestarian lingkungan. Nilai chi-square yang diberikan adalah 5,093 dengan nilai P-value sebesar 0.165 (P-value > α = 15 %). Berdasarkan nilai tersebut maka tidak terlihat adanya hubungan yang signifikan antara pengelolaan lingkungan dengan jenis pekerjaan (lihat lampiran 1b). Sebagai perwujudan dari upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup sebagai tanggung jawab pemerintah terhadap lingkungannya, maka masyarakat setempat bersama dengan para tokoh masyarakat yang aktif melakukan berbagai gerakan kepedulian terhadap lingkungan. Kegiatan tersebut ada yang dilakukan atas inisiatif sendiri, kelompok tertentu, maupun diprakarsai pemerintah atau kelurahan. Macam kegiatan tersebut diantaranya: 1. Sosialisasi atau kampanye lingkungan; 2. Teguran/sangsi pada warga yang melakukan perusakan lingkungan; 3. Peningkatan masyarakat melalui pelatihan;
123
4. Penambahan sarana dan prasarana pendukung; 5. Kerjasama dengan LSM dan organisasi lingkungan; 6. Penghijauan; 7. Aksi Pembersihan Lingkungan; 8. Rehabilitasi ekosistem; 9. Membuat konsep pengembangan ekowisata; 10. Penanaman pohon. Tabel berikut ini menunjukkan frekuensi upaya yang sudah dilakukan masyarakat di lokasi tersebut. Tabel 15 Frekuensi upaya pengelolaan lingkungan oleh masyarakat KELOMPOK KEGIATAN A
B
C
D
E
F
Sosialisasi
1
1
0
6
2
2
Teguran
0
6
1
10
1
1
Pelatihan
1
4
2
3
2
1
Sarana dan Prasarana
0
0
0
1
0
0
Kerjasama dengan LSM
1
1
0
2
2
1
Penghijauan
1
2
0
8
0
0
Pembersihan Lingkungan
1
2
0
3
3
2
Rehabilitasi Ekosistem
0
1
0
1
0
0
Membuat Konsep Ekowisata
0
0
0
1
0
0
Penanaman vegetasi
1
3
2
5
2
0
Pada tabel terlihat bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan namun bergantung pada jumlah dan kemampuan kelompoknya masing-masing.
124
Selanjutnya apabila digambarkan dalam bentuk grafik adalah sebagai berikut. Grafik Upaya Pengelolaan Lingkungan oleh Masyarakat
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% A
B
D
C
E
F
Kelompok
Penanaman tanaman untuk memperbanyak vegetasi Membuat Konsep Mengenai Ekowisata Rehabilitasi Ekosisten Sepanjang Sungai Ciliwung Aksi/Kegiatan Pembersihan Lingkungan di Koridor DAS Ciliwung Sosialisasi Agenda untuk mengajak warga dalam penghijauan, dsb Menjalin Kerjasama dengan LSM dan Organisasi Lingkungan Menambah Sarana dan Prasarana Pendukung Peningkatan Kemampuan Masyarakat melalui Pelatihan Teguran/Sanksi pada Warga yang Merusak Lingkungan Sosialisasi Penyuluhan, Kampanye Lingkungan
Gambar 10 Grafik komposisi upaya pengelolaan lingkungan pada setiap kelompok responden Pada gambar grafik di atas terlihat bahwa responden di kelompok D melakukan beragam kegiatan pengelolaan lingkungan. Partisipasi masyarakat di lokasi tersebut cukup baik dan hampir bervariasi di setiap kelompok. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, kegiatan yang dilakukan melalui keterlibatan langsung masyarakat. Beberapa kegiatan yang dilakukan melalui lembaga atau kelompok misalnya sosialisasi program yang berkaitan dengan Adipura, kampanye dalam rangka Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup,
125
pelaksanaan penghijauan serentak dalam tema Gerakan Menanam Pohon, dan sebagainya.
5.3
Partisipasi Unsur Masyarakat Penilaian potensi partisipasi di wilayah studi ini terlebih dulu mengukur
sejauh mana unsur-unsur masyarakat yang relevan mau terlibat dalam upaya pengelolaan lingkungan. Unsur masyarakat yang dinilai yaitu Tokoh masyarakat, LPM, RW, RT, Karang Taruna, Kelurahan, Kecamatan, Pemerintah Daerah. Secara umum tingkat partisipasi unsur masyarakat dinilai sedang untuk setiap kelompok responden. Sebaran penilaian berdasarkan kelompok responden terhadap peranan unsur masyarakat terkait dalam pengelolaan lingkungan dapat terlihat pada grafik berikut.
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel A, SD/SLTP - PNS)
100%
1
90%
Tokoh Masy
1
LPM
80%
1
70%
RW
60%
RT 1
50%
1
Karang Taruna
40%
Kelurahan 1
30% 20%
Kecamatan 1
Pemda
1
10% 0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 11 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok A Peranan unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden kelompok A (SD-SLTP, PNS) sebagian besar masih dalam kategori rendah, sebagian kecil unsur masyarakat dianggap lebih baik atau sedang yaitu Kelurahan, Kecamatan dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya untuk responden kelompok B (SD-SLTP, Non PNS) dapat dilihat pada Gambar 12.
126
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel B, SD/SLTP - Non PNS)
100%
1
90% 80%
3 1
70%
2
6
Tokoh Masy
4
LPM
1
RW
7
60%
RT
50%
4
40% 30%
Karang Taruna
7
Kelurahan
4 1
20%
Kecamatan
1 4
10%
7
Pemda
2 1
0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 12 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok B Pada kelompok B (SD-SLTP, Non PNS), penilaian terhadap peranan unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tergolong kategori sedang, dapat diamati pada gambar bahwa di tingkat partisipasi sedang terdapat hampir semua unsur masyarakat. Kondisi ini dijumpai juga pada pengamatan responden kelompok C (SLTA, PNS) di bawah ini.
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel C, SLTA - PNS)
100%
2
90%
Tokoh Masy
1
80%
2
LPM
70%
RW
60%
1 1
50%
2
40%
1
30%
RT 1
Karang Taruna Kelurahan Kecamatan
2
20%
1
Pemda
2
10% 0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 13 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok C
127
Responden di Kelompok C ini menilai peranan unsur-unsur masyarakat masih rendah terhadap pengelolaan lingkungan, unsur masyarakat yang termasuk dalam kategori sedang masing-masing sebagian kecil untuk Kelurahan, RT dan RW. Walaupun jumlah responden di kelompok ini hanya 2 orang, namun sebagai PNS responden.dapat membantu memberi gambaran sejauh mana peran unsurunsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Berbeda halnya penilaian tingkat partisipasi masyarakat menurut responden kelompok D (SLTA, Non PNS) berikut ini.
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel D, SLTA - Non PNS)
100% 90% 80% 70%
1
1 1 1
2
3
1
13
Tokoh Masy
1
12
LPM RW
13
60%
RT
50%
1
40%
1
13 4
30% 20%
Karang Taruna
9
Kelurahan
2
Kecamatan
12 3
10%
3
Pemda
9 6
0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 14 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok D Pada kelompok D (SLTA, Non PNS), penilaian unsur masyarakat yang terbanyak pada kategori sedang, dimana kelompok D ini juga merupakan kelompok responden dengan jumlah paling banyak dibandingkan kelompok lainnya. Penduduk sebagai responden ini memiliki pendidikan SLTA dan Non PNS, sebagian kecil dari mereka berasumsi bahwa LPM dan Kelurahan berperan baik dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Untuk kelompok E (PT, PNS), menilai bahwa partisipasi unsur masyarakat adalah sebagai suatu bentuk upaya yang perlu dihargai dan mendapat apresiasi, sehingga secara umum kelompok responden tersebut menilai baik.
128
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel E, PT - PNS)
100%
4
90%
Tokoh Masy
2
80%
LPM
4
70%
RW
60%
4
50%
2
40%
4
1
RT 1
30%
Kecamatan
3
20%
Pemda
2 2
10%
Karang Taruna Kelurahan
2
1
0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 15 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok E Kelompok E dengan jumlah responden 4 orang memiliki tingkat pendidikan yang tertinggi dan bekerja sebagai PNS. Dengan kemampuan intelektual yang dimilikinya dan pemahaman yang cukup mengenai bagaimana peranan unsur-unsur masyarakat disamping menjalankan pemerintahan sebagai PNS, mereka cenderung menilai peranan unsur masyarakat terhadap pengelolaan dalam kategori sedang, dan sebagian kecil tinggi hingga sangat tinggi. Demikian pula dengan pada kelompok F (PT, Non PNS), penilaian partisipasi unsur masyarakat tersebar mulai dari kategori rendah hingga sangat tinggi, secara umum responden menilai partisipasi unsur masyarakat pada kategori sedang yang dapat dilihat pada Gambar 16.
129
Partisipasi Unsur Masyarakat dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan (Responden : Kel F, PT - Non PNS)
100%
1
90%
Tokoh Masy
1
80%
2
1
LPM
70%
RW
1
60% 50%
RT 2
2
1
Karang Taruna
40%
Kelurahan
30%
1
Kecamatan
2
20%
Pemda
1
10%
1
0% Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tingkat Partisipasi
Gambar 16 Grafik tingkat partisipasi unsur masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menurut responden Kelompok F 5.4
Partisipasi Masyarakat Dalam Kelembagaan Bagaimana partisipasi itu terjadi, salah satunya ditentukan oleh bagaimana
keterlibatan masyarakat secara efektif dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan kegiatan yang diharapkan. Di Kelurahan Kalimulya yang berbatasan dengan Sungai Ciliwung ini dilakukan pertemuan rutin yang diantara membahas pelaksanaan program kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, K3, keamanan dan ketertiban. Survey terhadap responden dilakukan juga untuk mengetahui efektifitas dari pertemuan tersebut berdasarkan pekerjaan dan pendidikan seperti terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 16 Frekuensi penilaian responden terhadap efektivitas pertemuan di Kelurahan Kalimulya berdasarkan pekerjaan Efektifitas Pertemuan No.
Pekerjaan
Sangat
Cukup
Kurang
Efektif
Efektif
Efektif
5
1
1
Tidak Efektif
1.
PNS
2.
Wiraswasta
1
13
8
1
Jumlah
1
18
9
2
130
Berdasarkan tabel diatas responden menilai efektifitas pertemuan di tingkat Kelurahan sebagai lembaga pemerintah yang membina masyarakat cukup efektif. Sedangkan terhadap tingkat pendidikan, frekuensi penilaian responden yaitu pada tabel dibawah ini. Tabel 17 Frekuensi penilaian responden terhadap efektivitas pertemuan di Kelurahan Kalimulya berdasarkan tingkat pendidikan Efektifitas Pertemuan No.
Pekerjaan
Sangat
Cukup
Kurang
Efektif
Efektif
Efektif
1
3
3
1 1
1.
SD - SLTP
2.
SLTA
10
5
3.
Perguruan Tinggi
5
1
18
9
Jumlah
1
Tidak Efektif
2
Sebagaimana terlihat pada tabel bahwa responden menilai efektifitas pertemuan di tingkat kelurahan adalah cukup efektif. Hal ini terlihat pada kelompok tingkat SLTA yang memiliki frekuensi terbesar.
5.5
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Bentuk lain dari partisipasi yaitu dalam hal penggalangan dana. Sumber
biaya yang digunakan untuk pengelolaan lingkungan diperoleh dari Pemerintah, RT/RW, maupun swadaya masyarakat. Menurut pengalaman dari para responden, frekuensi perolehan sumber dana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 18 Frekuensi perolehan sumber dana untuk pengelolaan lingkungan Sumber Dana
Frekuensi
Persentase
Pemerintah
2
6,7
RT/RW
1
3,3
Swadaya
27
90
Total
20
100
131
Seperti yang terlihat pada tabel, keterbatasan dan kesulitan turunnya anggaran dari Pemerintah mengharuskan masyarakat untuk melalukan upaya swadaya dalam penggalangan dana. Salah satunya dengan iuran yang dikoordinir oleh RT atau RW. Masyarakat di lokasi studi menyambut baik apabila Pemerintah merealisasikan rencana pengembangan ekowisata, hal ini terlihat dari antusiasme dalam penyediaan fasilitas penunjang lainnya. Salah satunya bahwa pengelolaan dana yang terkumpul di masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana lingkungan untuk melengkapi kebutuhan di lingkungan sekitar. Jenis sarana yang dapat dipenuhi seperti pembangunan jalan lingkungan, penyediaan
air
bersih,
penambahan
penerangan
jalan
umum
(PJU),
pengembangan fasilitas sarana transportasi air, dan pembangunan fasos/fasum lainnya. Aspirasi masyarakat yang mendukung program Pemerintah dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 19 Frekuensi jenis sarana dan prasarana yang dapat difasilitasi masyarakat Jenis Sarana dan Prasarana Pembangunan Jalan Lingkungan Penyediaan Air Bersih Penambahan Penerangan Jalan Umum (PJU Pengembangan Fasilitas Sarana Transportasi Air Pembangunan Fasos/Fasum
KELOMPOK A
B
C
D
E
F
1
6
2
13
4
2
0
3
0
5
0
1
0
6
1
7
3
1
0
0
0
6
1
0
1
5
2
7
2
1
Sedangkan untuk grafiknya dapat dilihat pada gambar beribut ini.
132
14
12
10
8
6
4
2
0 A
B
C
D
E
F
Pembangunan Jalan Lingkungan Penyediaan Air Bersih Penambahan Penerangan Jalan Umum (PJU) Pengembangan Fasilitas Sarana Transportasi Air Pembangunan Fasos/Fasum
Gambar 17 Grafik sarana dan prasarana yang dapat difasilitasi masyarakat Grafik diatas adalah gambaran inisiatif masyarakat apabila pemerintah kota berlanjut ke penataan lingkungan untuk pemanfaatan ruang yang ada. Berdasarkan hasil survey, pembangunan jalan merupakan fasilitas yang relatif mudah dilaksanakan karena bermanfaat langsung bagi warga masyarakatnya seperti terlihat pada kelompok D. Selain itu juga penambahan penerangan jalan dirasakan menjadi pilihan prioritas untuk keamanan penduduk sekitar.
5.6
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Ekowisata Sebagai wujud dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata
yaitu masyarakat siap mendukung program pemerintah sejak tahap perencanaan. Responden di kelompok D sebagai kelompok yang prioritas memberi tanggapan positif terhadap rencana pemerintah untuk pengembangan ekowisata ini, dan sebagian besar masyarakat menunjukkan kesanggupan dalam memelihara fasilitas sarana dan prasarana yang ada. Bentuk partisipasi tersebut pada tabel dan grafik di bawah ini.
133
Tabel 20 Frekuensi partisipasi masyarakat terhadap upaya pengembangan ekowisata Jenis Upaya untuk Mendukung Ekowisata Aktif dalam Kelembagaan dan Organisasi Lingkungan Berkomitmen Menjaga Kebersihan Lingkungan Memelihara Fasilitas Umum Mendukung Pemda sejak Perencanaan Melaksanakan Kerja Bakti dari Prakarsa bersama
KELOMPOK A
B
C
D
E
F
0
0
0
4
0
0
0
2
0
7
2
1
0
0
0
9
3
2
0
6
2
10
1
0
1
1
0
4
0
2
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
F
Aktif dalam Kelem bagaan dan Org Lingkungan Berkom itm en Menjaga Kebers ihan Lingkungan Mem elihara Fas ilitas Um um Mendukung Pem da s ejak Perencanaan Melaks anakan Kerja Bakti dari Prakars a bers am a
Gambar 18 Grafik Frekuensi Partisipasi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata
134
Dengan
upaya
pendekatan
yang
partisipatif
diharapkan
dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar untuk memelihara fasilitas umum, terjaganya konsistensi untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan dan beberapa masyarakat ingin aktif ikut serta dalam pelaksanaan dan pemantauan kegiatan di kelembagaan atau organisasi lingkungan.
5.7
Tingkat Partisipasi Masyarakat Tumbuhnya aspirasi masyarakat merupakan salah satu ciri terbentuknya
perencanaan partisipatif dimana masyarakat, pemerintah, dan swasta bersatu secara sinergis untuk menyusun suatu program pembangunan. Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai objek tetapi sekaligus sebagai subjek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Secara formalitas, aspirasi warga ditampung dalam suatu wadah bersama seperti musrenbang atau dengan menggelar forum OPD (Organisasi Perangkat Daerah) untuk membahas prioritas program dan kegiatan pembangunan. Berkaitan dengan ini melalui teknik pengumpulan data (kuesioner), masyarakat di lokasi penelitian mengungkapkan aspirasinya terhadap pengembangan kawasan, khususnya yang paling prioritas adalah pada pengembangan sarana rekreasi wisata dan penyediaan sarana pengolah sampah. Kenyataan yang dijumpai bahwa tidak semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dikarenakan keterbatasan anggaran pemerintah, termasuk pada kebutuhan sarana dan prasarana masyarakat. Masyarakat setempat juga merupakan sumber daya dimana mereka secara aktif melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan, pada setiap lapisan maupun dengan keterampilan yang dimiliki. Untuk itu pemerintah perlu memberikan dukungan agar keterampilan mereka dapat lebih optimal, misalnya pemberian pelatihan berdasarkan tingkat pendidikan dikarenakan berdasarkan penelitian terdapat korelasi yang signifikan antara kemampuan pengelolaan lingkungan dengan tingkat pendidikan. Kegiatan pemerintah juga harus langsung menyentuh
135
masyarakat terutama dari sisi manfaatnya, sehingga penilaian masyarakat terhadap upaya pemerintah atau unsur lainnya lebih baik. Setiap pelaksanaan pembangunan hendaknya tidak lepas dari pembiayaan, dalam hal ini sebagai bukti bahwa masyarakat setempat pada dasarnya bersedia menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan wilayahnya secara swadaya, hingga 90 % dana yang diperoleh berasal dari swadaya. Kemudian dari dana tersebut masyarakat dapat melakukan pembenahan mulai dari pembangunan jalan, pembangunan fasos/fasum dan penerangan jalan. Berdasarkan tingkat pastisipasi masyarakat menurut Arnstein melalui typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation) yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu non participation, degrees of tokenism, dan citizen power, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di lokasi sempadan Sungai Ciliwung Kelurahan Kalimulya dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama Non Participation dan tangga kedua Tokenism. Dengan pengertian bahwa tangga terendah atau Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tangga kedua atau tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Termasuk dalam tingkat "Tokenisme" adalah (3) penyampaian informasi (informing); (4) konsultasi; dan (5) peredaman kemarahan (placation).
Tingkat Partisipasi Masyarakat di Kelurahan Kalimulya Gambar 19 Gambaran tingkat partisipasi masyarakat Kelurahan Kalimulya
136
Pemahaman diatas dapat dijelaskan bahwa masyarakat di lokasi setempat beserta unsur masyarakat telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan. Sebagai contoh masyarakat sudah melakukan beberapa kegiatan pengelolaan lingkungan, namun program pelatihan yang didapat dari pemerintah ataupun fasilitasnya masih kurang memadai.
5.8
Kendala Partisipasi Meskipun istilah pembangunan partisipatif atau partisipatory development
sudah lama terdengar ’gaung’-nya serta banyak proyek pemerintah yang mensyaratkan partisipasi masyarakat, namun ditingkat pelaksanaan masih terkendala tidak siapnya komponen pemerintah di tingkat bawah, khususnya aparat desa. Ketidaksiapan aparat bisa diakibatkan oleh ketidakfahaman akan arti dan maksud program itu sendiri, baik dari teknis maupun operasionalnya. Bisa juga dikarenakan mereka belum mengetahui bagaimana strategi atau cara memberdayakan masyarakat dan mengkoordinasikan peranan masyarakat. Musyawarah tingkat desa seringkali hanya dilakukan oleh beberapa tokoh yang belum tentu mewakili masyarakat secara luas, atau bahkan kerap pula hanya dilakukan oleh aparat desa secara sepihak. Selain menyoal keterlibatan masyarakat, selama ini hasil musyawarah tingkat desa cenderung arah pembangunan fisik, dan hanya beberapa saja yang berwujud pembangunan nonfisik (misal peningkatan SDM masyarakat). Kondisi yang dialami di Kelurahan Kalimulya ini sehingga dianggap menjadi penghambat dalam implementasi program pengembangan kawasan ekowisata terakomodir dalam survey dengan hasil pada Tabel 21.
137
Tabel 21 Frekuensi dari kendala dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat Jenis Kendala dalam Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat
KELOMPOK A
B
C
D
E
F
Sarana/Prasarana minim
0
0
0
4
3
2
SDM terbatas
0
0
0
0
1
0
1
5
1
10
3
3
1
3
1
2
3
1
Kurangnya Dana
0
1
1
4
2
0
Peran Pemda Lemah
0
6
2
4
0
0
Kesibukan Warga Kurang Pengetahuan Teknologi
0
1
0
1
0
0
1
1
0
7
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
1
1
0
0
0
2
0
4
0
0
Kesadaran Masyarakat Rendah Kurang Sosialisasi
Pembagian Tugas Tumpang Tindih Pengelolaan Kurangnya Akses Status Tanah
Kesadaran masyarakat tetap menjadi kendala yang utama dan muncul di setiap kelompok responden. Meskipun rata-rata tingkat partisipasi masyarakat di lokasi studi sudah cukup baik, dibalik itu perlu upaya keras untuk memotivasi warga. Kendala terbesar selanjutnya yaitu rendahnya pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masyarakat, lemahnya potensi ini berimplikasi pada pengelolaan sampah yang terkesan tidak teratur. Kurangnya sosialisasi dan dana selalu muncul menjadi pilihan yang tidak pernah hilang bagi setiap kelompok responden. Semua pihak merasakan, bahwa di tengah kondisi perekonomian yang sulit seperti sekarang setiap orang membatasi pengeluaran biaya terkecuali bagi kepentingan pribadi atau keluarganya. Oleh karena itu perlu rumusan kebijakan yang matang untuk mengakomodir semua kebutuhan dan pembiayaan yang menyangkut kepentingan bersama. Selain itu untuk pengembangan kawasan yang berbasis masyarakat diperlukan kerjasama yang terintegrasi agar dapat meminimalisasi resiko kendala yang ada. Grafik di
138
bawah ini memberi gambaran kendala yang dijumpai di tengah masyarakat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat lokal.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B
A
C
E
D
F
Sarana/Pras arana m inim
SDM terbatas
Kes adaran Mas y Rendah
Kurang Sos ialis as i
Kurangnya Dana
Peran Pem da Lem ah
Kes ibukan Warga
Kurang Pengetahuan Teknologi
Pem bagian Tugas
Tum pang Tindih Pengelolaan
Kurangnya Aks es
Status Tanah
Gambar 20 Grafik frekuensi kendala dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat Berdasarkan kondisi di tengah masyarakat serta berbagai kendala yang dihadapi, dapat dikatakan bahwa hakikat dari peran serta masyarakat itu dapat terwujud
dalam
bentuk
turut
memperjuangkan
nasib
sendiri
dengan
memanfaatkan berbagai potensi yang ada di masyarakat sebagai alternative saluran aspirasinya, menunjukkan adanya kesadaran bermasyarakat dan bernegara yang tinggi, senantiasa merespon dan menyikapi secara kritis terhadap sesuatu masalah yang dihadapi sebagai buah dari suatu kebijakan publik dengan berbagai konsekuensinya, menyadari bahwa keberhasilan peran serta itu sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas informasi yang diperoleh.
139
5.9
Potensi Pengembangan Usaha Produktif Kelurahan Kalimulya merupakan bagian dari Kecamatan Sukmajaya yang
merupakan kecamatan dengan luas wilayah kedua terbesar di Kota Depok yaitu 34,13 km2, dan jumlah penduduk yang cukup padat yaitu 342.447 jiwa. Usaha produktif yang dapat dikembangkan di Kecamatan Sukmajaya di bidang pertanian antara lain seperti dapat terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 22 Produktivitas pertanian di Kecamatan Sukmajaya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Produktivitas Ubi Kayu Ubi Jalar Jagung Kacang Tanah Terong Mentimun Kangkung Bayam Kacang Panjang Jahe Laos Kencur Kunyit
Luas Panen (Ha) 72 37 51 33 64 47 65 62 588,55 0,9 1,5 1 1,5
Produksi (Ton) 874,80 307,10 158,10 39,60 1.100,8 883,60 325 713
Hasil/Hektar (Ton/Ha) 12,15 8,3 3,10 1,2 17,2 18,8 5 11,5 7,45
14,4 18 9 18
Sumber : Kota Depok dalam Angka 2007 Di samping bidang pertanian, wilayah Kecamatan Sukmajaya yang cukup luas juga memiliki potensi di bidang perikanan yang berada di luar Kelurahan Kalimulya yaitu budidaya ikan di kolam air tenang, ikan hias dan pembenihan. Tabel 23 Produktivitas perikanan di Kecamatan Sukmajaya No.
Produktivitas
Luas Areal Perikanan (Ha) 1 Kolam air tenang 5,13 2 Kolam Pembenihan 3,46 3 Kolam Ikan Hias 0,98 Sumber : Kota Depok dalam Angka 2007
Produksi (Ton) 53,99 686,38 6465,15
Nilai Produksi (dalam ribuan) 56.869 98.153,34 3.665.741,75
Berdasarkan potensi pertanian dan perikanan yang ada, masyarakat setempat berkeinginan agar Pemerintah dapat memfasilitasi pengembangan usahanya dan membuka lapangan pekerjaan baru. Adapun potensi kegiatan yang
140
dapat dapat dikembangkan untuk menunjang pengembangan ekowisata di kawasan tersebut diantaranya adalah pengembangan tanaman hias, pengembangan tanaman obat, produksi makanan dan minuman, kreasi daur ulang, pengembangan jasa transportasi, agrobisnis, pengembangan wisata, budidaya tanaman buah dan pemancingan. Peminatan kelompok responden berdasarkan macam potensi kegiatan tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Potensi Pengembangan Usaha Kecil terhadap Kelompok Responden
Kelompok Survey Responden
30 25 20
F E D C B A
15 10 5 0 Tanama Tanama n Hias n Obat
Tanama Jasa Makanan Kreasi / Rumah Agrobisn n Transpor Daur dan Makan is Hidropon tasi Minuman Ulang
Wisata
Tanama Memanci ng / n Buah buahan Perikana
F
1
1
2
2
0
0
0
1
2
1
E
3
2
1
1
1
2
0
0
3
3
1 3
D
9
5
9
5
5
5
2
0
12
13
11
C
2
1
0
0
0
1
0
0
2
2
2
B
5
5
6
0
2
4
1
0
4
3
5
A
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
Jenis Kegiat an
Gambar 21 Grafik potensi pengembangan usaha kecil menurut kelompok responden Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat bahwa kecenderungan responden yaitu pada pilihan pengembangan wisata, pengembangan tanaman buah-buahan dan kegiatan memancing atau perikanan, dimana setiap responden dapat memilih kegiatan pengembangan lebih dari satu terhadap pilihan yang ditawarkan. Hal ini dapat dipahami dikarenakan di wilayah Kota Depok masih banyak dikembangkan budidaya perikanan, budidaya tanaman buah salah satunya Belimbing yang dicanangkan sebagai buah icon Kota Depok, dan masih belum dioptimalkannya potensi wisata alam yang ada. Pengembangan tanaman hias juga banyak diminati mengingat di Kota Depok secara keseluruhan tanaman hias termasuk dalam komoditas unggul.
141
Penyebaran minat terhadap potensi kegiatan ekonomi tersebut cukup dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pada Tabel 24 dapat diamati bahwa masyarakat dengan pendidikan yang lebih tinggi mengharapkan adanya pengembangan kegiatan yang lebih membutuhkan kemampuan teknis dan edukatif khususnya kelompok responden tingkat Perguruan Tinggi, sedangkan bagi masyarakat yang berpendidikan rendah (SD-SLTA) lebih memilih pada kegiatan perdagangan saja. Input data pada Tabel 24 adalah dengan asumsi pengembangan usaha tersebut adalah yang prioritas bagi responden. Uji statistik deskriptif dengan chi-square pada variabel pendidikan dan atau perkerjaan terhadap potensi kegiatan ekonomi memperoleh nilai 18,131 dengan nilai P-value 0,02 (P-value < α = 15 %) (Lihat Lampiran 1c). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kategori yang dipilih responden terhadap tingkat pendidikan. Kebutuhan dan peminatan terhadap wisata juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pada umumnya masyarakat yang mampu menempuh pendidikan yang tinggi memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, sehingga mereka senang terhadap pengembangan wisata. Selanjutnya hubungan antara potensi kegiatan ekonomi terhadap pekerjaan dapat diamati pada Tabel 25. Pada Tabel 25 pilihan responden terhadap usaha produktif tidak bergantung pada jenis pekerjaan. Uji statistik deskriptif memberikan nilai chi-square sebesar 6,661 dengan nilai P-value sebesar 0.247 (Pvalue > α = 15 %). Berdasarkan nilai tersebut maka tidak terlihat adanya hubungan yang signifikan antara kategori yang dipilih responden terhadap tingkat pekerjaan (lihat lampiran 1d). Kegiatan pengembangan transportasi dan agrobisnis merupakan opsi yang diberikan bagi para responden namun tidak memperoleh angka yang signifikan sehingga data yang ditampilkan pada Tabel 24 dan Tabel 25 kosong.
142
Tabel 24 Frekuensi dan persentase potensi pengembangan usaha produktif menurut responden berdasarkan tingkat pendidikan Jenis Potensi Usaha Produktif No.
1. 2. 3.
Tingkat Pendidikan SD-SLTP Persentase SLTA Persentase Perguruan Tinggi Persentase TOTAL Persentase
Perdagangan tanaman hias
Perdagangan makanan /minuman
Hasil Kreasi dan Daur Ulang
1 12,5 2 12,5
3 37,5 2 12,5 1 16,7 6 20
1 12,5
3 10
Total Transportasi
Agrobisnis
Wisata
5 31,3 3 50 8 26,7
1 16,7 2 6,7
Tanaman Buah
4 25 1 16,7 5 16,7
Perikanan 3 37,5 3 18,8 6 20
8 100 16 100 6 100 30 100
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hubungan potensi pengembangan usaha produktif dengan jenis pekerjaan. Tabel 25 Frekuensi dan persentase potensi pengembangan usaha produktif menurut responden berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Potensi Usaha Produktif No.
1. 2.
Jenis Pekerjaan
PNS Persentase Wiraswasta Persentase TOTAL Persentase
Perdagangan tanaman hias
Perdagangan makanan /minuman
3 13 3 10
3 42,9 3 13 6 20
Hasil Kreasi dan Daur Ulang
2 8,7 2 6,7
Total Transportasi
Agrobisnis
Wisata
Tanaman Buah
3 42,9 5 21,7 8 26,7
1 14,3 4 17,4 5 16,7
Perikanan
6 26,1 6 20
7 100 23 100 30 100
5.10 Ikhtisar Partisipasi masyarakat lokal yang potensial dalam upaya pengembangan ekowisata dapat ditelusuri dari macam kegiatan masyarakat setempat yang sering dilakukan. Masyarakat setempat melalukan kegiatan pengelolaan lingkungan seperti pengolahan sampah, yang dengan pengembangan kegiatannya dapat menjadi daya tarik yang potensial untuk wilayah percontohan. Pengolahan sampah yang dilakukan seperti pengomposan, daur ulang dan biopori. Hasil dari pengolahan sampah seperti pupuk kompos dapat dipergunakan warga untuk berkebun dan hasil daur ulang sampah selain untuk dijual juga dapat didaur ulang menjadi barang yang bermanfaat. Kegiatan penanaman pohon juga banyak dilakukan, kegiatan ini melindungi fungsi konservasi kawasan dan tetap meningkatkan biodiversity tanaman. Tingkat pastisipasi masyarakat di lokasi penelitian berdasarkan Teori Arnstein berada pada tangga pertama Non Participation dan tangga kedua Tokenism, yang bermakna bahwa masyarakat dapat berpendapat seluas-luasnya, namun kesempatan untuk mendapatkan suara dalam menentukan kebijakan masih lemah. Tingkat ini dianalisis mengingat bahwa sudah cukup banyak upaya yang sudah dilakukan masyarakat, mulai dari pengelolaan lingkungan, pengumpulan dana secara swadaya, pembangunan fasilitas, yang kesemuanya masih jauh dari kondisi optimal untuk pengembangan ekowisata. Makna dari tingkat partisipasi ini bahwa tingkat keberdayaan masyarakat terhadap pemerintah dan stakeholders yang lain relatif lemah (powerless). Aktivitas sosial ekonomi yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok diantaranya pengembangan wisata, budidaya tanaman hias dan buah-buahan. Pengembangan wisata diperlukan warga karena masih sedikitnya wahana wisata yang ada dan belum dioptimalkannya potensi wisata alam yang ada. Pengembangan tanaman hias juga berpotensi karena tanaman hias merupakan komoditas unggulan Kota Depok di samping budidaya buah belimbing.
BAB VI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKOWISATA 6.1 Kebijakan Terkait dengan Pengembangan Ekowisata Kota Depok memiliki beberapa objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan, diantaranya meliputi : 1. Potensi wisata alam
: arung jeram Sungai Ciliwung
2. Potensi Wisata Tirta
:
a. Situ Tujuh Muara Kelurahan Sawangan dan Bojongsari b. Situ Kancil Kel. Curug c. Situ Pengasinan Kel. Pengasinan d. Situ Asih Kel. Rangkapan Jaya e. Situ Citayam, Situ Cilodong Kel. Cilodong, dll 3. Potensi Wisata Budaya a. Kawasan kampus UI b. Kawasan studio alam RRI 4. Potensi Wisata Belanja a. Margo City b. Detos, dll 5. Potensi Wisata Agro
: Wisata Agro Belimbing dan Tanaman Hias
6. Potensi Wisata Religi
: Kubah Emas
7. Wisata buatan : Water Boom, Padang Golf Diantara keseluruhan objek wisata tersebut, terdapat 4 obyek wisata unggulan, yaitu Wisata Religi Mesjid Kubah Emas, Wisata Aquatik (Setu Pengasinan, Setu Citayam, Setu Cilodong), Wisata Belanja (Margocity, ITC, Detos, dll), dan Wisata Agro (belimbing dan tanaman hias). Dalam perencanaan pembangunan, disajikan roadmap pengembangan tiap-tiap obyek wisata tersebut, dan inilah yang akan menjadi prioritas sambil mendorong pula tumbuhnya potensi wisata lainnya. Program Pemerintah Kota Depok untuk meningkatkan potensi wisata saat ini adalah penguatan kawasan wisata, perluasan akses dan pembangunan sarana, peningkatan promosi dan pameran, peningkatan dan penyediaan SDM terampil
melalui pelatihan, dan peningkatan peran pelaku usaha masyarakat melalui pendirian koperasi dan pembentukan wadah bersama. Hasil yang dicapai bahwa selama ini pemerintah kurang melakukan sosialisasi kepada publik seputar pariwisata, akibatnya potensi pariwisata di Depok belum dikenal dengan baik. Selain itu, promosi dilakukan secara sepihak yakni oleh pemerintah Kota Depok sendiri, sedangkan para pelaku pariwisata tidak terlalu dilibatkan. Kemudian program pariwisata juga disusun dan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah sehingga hasilnya banyak yang tidak tepat sasaran. Program pemerintah Kota Depok dalam pengembangan pariwisata yang secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat di lokasi studi hanya dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan. Program yang lebih mengarah pada upaya pengelolaan kawasan justru lebih ditekankan pada kegiatan yang lain seperti Adipura, kegiatan peringatan Hari Lingkungan Hidup, Gerakan Penanaman Pohon, yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan untuk rehabilitasi lahan, pembuatan sumur resapan, pengelolaan sampah rumah tangga, perlombaan kebersihan, sosialisasi pengelolaan sampah dengan mesin UPS (Unit Pengolah Sampah), kampanye lingkungan, dan sebagainya. Ditinjau dari adanya upaya masyarakat di lokasi studi yang mampu menyediakan fasilitas secara swadaya seperti dalam hal pembangunan fasilitas jalan, pengadaan penerangan jalan, dan pembangunan fasos/fasum. Pada hakekatnya masyarakat di Kelurahan Kalimulya Kota Depok, mau dan mampu (dalam batas-batas tertentu) untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekowisata. Salah satu upaya Pemerintah Kota Depok untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan penyusunan program pariwisata ke depan, yaitu dengan membangun Tourist Information Centre (TIC) atau Pusat Informasi Pariwisata. Lokasi TIC berada di Kampung Rusa, Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat, berdekatan dengan Masjid Dian Al-Mahri atau yang dikenal dengan nama Masjid Kubah Emas. Pusat informasi pariwisata ini diharapkan efektif dan mampu menjadi wadah yang memberi kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi, diberi motivasi dan diajak berkomunikasi. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Nomor : PM.37/UM.001/MKP/07, tentang : Kriteria dan Penetapan
Destinasi Pariwisata Unggulan, Tanggal 2 Januari 2007, yang dijelaskan bahwa penetapan destinasi pariwisata unggulan, sekurang-kurangnya meliputi : a. Ketersediaan sumber daya dan daya tarik wisata; b. Fasilitas pariwisata dan fasilitas umum; c. Aksesibilitas; d. Kesiapan dan keterlibatan masyarakat; e. Potensi Pasar; f. Posisi Strategis pariwisata dalam pembangunan daerah. Pada batas tertentu potensi-potensi wisata di Kota Depok sudah dimulai dikembangkan dan bermunculan. Pemerintah Kota Depok telah menyusun kajian yang mendorong berkembangnya sektor pariwisata yaitu Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Depok (RIPDA) yang memuat rencana kebijakan pemerintah untuk pariwisata. Berdasarkan dokumen kajian tersebut, potensi wisata Kota Depok masih jauh dari optimal mengacu pada 6 (enam) indikator kriteria wisata unggulan. Hasil wawancara dan studi lapangan dapat dibuat matriks sebagai berikut : Tabel 26 Penilaian indikator potensi objek wisata di Kota Depok Alam/Buatan No
Indikator
1.
Ketersediaan sumber daya dan daya tarik wisata Fasilitas pariwisata dan fasilitas umum Aksesibilitas Kesiapan dan keterlibatan masyarakat Potensi Pasar
2. 3. 4. 5. 6.
Posisi Strategis pariwisata dalam pembangunan
Baik
Rohani dan Budaya • Masjid Kubah Emas • Legenda Gong Sibolong • Rumah Kuno Baik
Cukup
• Taman Hutan Rakyat • Hutan Kampus UI • Arung jeram
Objek Wisata Belanja • Area Mall sepanjang Jalan Margonda
Agro
Tirta
• Kebun Belimbing • Tanaman Hias • Kebun Sekar Peni
• Situ Pengasinan • Situ Citayam, dll
Baik
Baik
Cukup
Cukup
Baik
Kurang
Kurang
Baik Cukup
Baik Cukup
Baik Cukup
Kurang Cukup
Kurang Cukup
Cukup
Cukup
Baik
Baik
Cukup
Baik
Cukup
Baik
Cukup
Cukup
Berdasarkan hasil survey di lapangan terdapat beberapa kendala yang dihadapi pemerintah Kota Depok dalam pengembangan sektor pariwisata, antara lain : 1. Aksesibilitas :beberapa objek wisata seperti Kubah Emas, Wisata Tirta, Wisata Agro masih menghadapi permasalahan aksesibilitas yaitu kemacetan seperti jalan ke Kubah Emas, dan masih terbatasnya sarana angkutan umum menuju ke Wisata Agro Belimbing dan Taman Hias. Sebaliknya di beberapa objek wisata khususnya wisata belanja dan budaya justru padat lalu lintas yang menyebabkan kemacetan. 2. Keterbatasan informasi dan promosi, potensi obyek wisata di Kota Depok belum banyak diketahui oleh wisatawan. Informasi yang didapatkan pengunjung biasanya dari mulut ke mulut, bukan dari kegiatan promosi. Promosi obyek wisata di Kota Depok masih sangat terbatas, belum bisa menjangkau daerah lain dan masih dilakukan secara konvensional, belum menggunakan teknologi berbasis WEB. 3. Keterbatasan SDM trampil. Obyek-obyek wisata seharusnya menyediakan tenaga tenaga terampil yang mampu menjadi pemandu wisata dengan baik, mampu menjelaskan sejarah dan kaitan obyek wisata tersebut dengan yang lainnya. Namun di seluruh obyek wisata yang ada masih belum dilengkapi dengan tenaga pemandu yang handal. 4. Keterbatasan atraksi. Obyek-obyek wisata masih belum dilengkapi dengan peruntukan/atraksi yang menarik yang dikemas untuk para pengunjung yang dapat memperlama waktu kunjungan wisatawan. 5. Keterbatasan Sarana Hotel dan Restoran, di beberapa obyek wisata yang ada, hampir semuanya belum dilengkapi dengan sarana hotel dan restoran yang cocok/representatif, misalnya rumah makan atau sarana jajan yang ada masih dikemas secara tradisional dan belum hygienis. 6. Belum ada komunikasi dan jaringan antara obyek wisata yang satu dengan lainnya, kemasan yang dilakukan masih secara sendiri-sendiri dan kemasannya kurang menarik. 7. Dukungan kebijakan dari pemda terhadap pengembangan obyek wisata di Kota Depok belum maksimal.
8. Kemacetan yang luar biasa di ruas Jalan Margonda Raya pada setiap hari Sabtu dan Minggu, sehingga mengurangi minat wisatawan untuk memasuki kawasan tersebut. Dalam hal penentuan kebijakan saat penyusunan dan pengesahan program anggaran seringkali dipengaruhi oleh berbagai hal, sehingga apa yang telah menjadi aspirasi masyarakat dapat bergeser, baik volume maupun waktu pelaksanaannya. Pada setiap jangka pendek pembangunan selama 5 tahun, tentunya terdapat program unggulan yang ingin dicapai sebagai indikator keberhasilan kepemimpinan dalam masanya, yang dalam pelaksanaannya belum tentu akan berkelanjutan tergantung pada pemegang kekuasaan itu sendiri. Namun apabila masyarakat sudah bertekad kuat untuk memberikan dukungan yang partisipatif dalam perencanaan pembangunan, bukan tidak mungkin akan mengarahkan Kota Depok pada kemajuan. Berdasarkan kendala yang dijumpai, maka dunia pariwisata membutuhkan peran serta berbagai pihak untuk memajukannya sehingga antara pelaku usaha dengan pemerintah harus saling bersinergi untuk memajukan dunia pariwisata di Kota Depok. Pemerintah dan pelaku usaha harus duduk bersama membahas persoalan pariwisata guna mencari solusi yang tepat bagi daerah ini.
6.2 Harapan Masyarakat terhadap Ekowisata Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata tidak lepas dari peningkatan taraf hidup, majunya pembangunan, peningkatan manfaat alam dan sumber daya, peningkatan pengetahuan dan kreativitas, serta mampu membawa nama baik dan kinerja Pemerintah Kota yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat regional maupun nasional. Masyarakat di lokasi studi yang terpilih sebagai responden sebagai wakil masyarakat menyimpan harapan dari adanya kegiatan pengembangan ekowisata yang ada di daerahnya. Dengan adanya pengembangan ekowisata ini mereka mengharapkan dapat memperoleh manfaat ekonomi (economical benefit) dari adanya aktifitas ekonomi yang dikembangkan. Kehadiran wisatawan khususnya ekowisatawan ke tempattempat yang masih alami itu memberikan peluang bagi penduduk setempat untuk mendapatkan penghasilan alternatif dengan menjadi pemandu wisata, porter,
membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka atau meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal, baik secara materiil, spirituil, kulturil maupun intelektual. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan dapat teridentifikasi harapan masyarakat antara lain seperti tabel berikut ini. Tabel 27 Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata No.
HARAPAN
Frekuensi
1. 2. 3. 4. 5.
Meningkatkan Peluang Kerja dan Usaha Meningkatkan Pendapatan dan Kesejahteraan Keluarga Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Lokal dan Wilayah Meningkatkan Ketersediaan Fasilitas Umum Meningkatkan Pengetahuan
30 15 23 4 16
6.
Meningkatkan Kerjasama Antar Warga Masyarakat
9
Frekuensi Harapan Masyarakat Terhadap Pengembangan Ekowisata
Frekuensi
30 25
Meningkatkan Peluang Kerja dan Usaha
20
Meningkatkan Pendapatan dan Kesejahteraan Keluarga
15
Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Lokal dan Wilayah Meningkatkan Ketersediaan Fasilitas Umum
10
Meningkatkan Pengetahuan
5
Meningkatkan Kerjasama Antar Warga Masyarakat
0 Harapan Masyarakat
Gambar 22 Grafik frekuensi harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata
Harapan masyarakat tentunya bersifat jamak, tidak tunggal, sehingga responden diperbolehkan memilih lebih dari satu. Sebagaimana gambar di atas dan
berdasarkan
urutannya,
sebagian
besar
masyarakat
mengharapkan
peningkatan peluang kerja dan usaha, peningkatan kegiatan ekonomi, peningkatan pengetahuan yang dapat mencakup tataran pendidikan, adanya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, kerjasama antar warga hingga penyediaan fasilitas umum. Pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya sadar dan berencana yang mengelola sumber daya secara bijaksana pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan sedini mungkin. Oleh karena itu, sebagai perencana tentunya perlu mengetahui prakiraan dampak positif dan negatif yang diakibatkan dari pengembangan ekowisata tersebut. Manfaat yang diharapkan sebagai dampak positif dari pengembangan ekowisata berdasarkan hasil forum diskusi dengan masyarakat antara lain : 1. Dapat
memberikan
keuntungan
ekonomi
bagi
pengelola
kawasan,
penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat. 2. Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional mapun nasional. 3. Dapat menjamin kesinambungan usaha yang berkembang. 4. Dampak ekonomi secara luas juga harus dirasakan oleh kabupaten/kota, propinsi bahkan nasional. 5. Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 6. Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi. Manfaat tersebut telah dipahami dan disepakati oleh peserta forum untuk selanjutnya menjadi bahan dalam rumusan program kebijakan. Sedangkan kekurangan/kerugian pengembangan kawasan ekowisata yang harus diantisipasi diantaranya :
1. Memungkinkan terjadinya pengrusakan lingkungan oleh wisatawan yang tidak bertanggung jawab. 2. Pengembangan kawasan wisata dapat menimbulkan dampak kemacetan dan ketidaknyamanan suasana tempat tinggal penghuni yang terdekat. 3. Pemanfaatan sumber daya alam dapat mengakibatkan penurunan kualitas daya dukung lingkungan. 6.3 Analisis Hasil Studi AHP 6.3.1
Landasan Aspek dan Kriteria yang Menjadi Bahan Pertimbangan dalam Pengembangan Ekowisata di Kota Depok Perumusan
kebijakan
dalam
pengembangan
ekowisata
dilakukan
pendekatan dengan metode AHP (Analytical Hirarchy Process). Penyusunan hirarki dan penentuan komponen didasari oleh Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di wilayah studi dengan melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah. Melalui FGD yang diselenggarakan ditujukan untuk menentukan elemen atau alternatif kebijakan untuk pengambilan keputusan, sehingga diharapkan data tersebut dapat mendekati kondisi yang sesungguhnya. Strategi
pengembangan
ekowisata
dijabarkan
dalam
faktor-faktor
pendukungnya yaitu kondisi daya dukung ekowisata, konservasi kawasan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, serta pengembangan usaha produktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Uraian faktor yang berperan dalam pengembangan ekowisata di Kota Depok adalah sebagai berikut : 1. Daya Dukung Ekowisata Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Kemampuan daya dukung diketahui terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, pada saat dan ruang yang sama, serta pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan. 2. Konservasi
Pengembangan kawasan berlandaskan pada prinsip konservasi yaitu memanfaatkan sumber daya untuk pembangunan / pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan pengawetan keanekaragaman hayati. Sedangkan sasarannya adalah terjaganya kawasan konservasi sehingga kawasan tersebut dapat berperan dan berfungsi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam
hal
mengharuskan
pengelolaan
lingkungan
pemerintah
mewujudkan
dan
pembangunan
setiap
kebijakan
saat
ini
dengan
mengutamakan pola-pola keberpihakan pada masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, tidak akan ada strategi yang mampu bertahan lama. Peran masyarakat harus dipandang sebagai hal yang dinamis dan memberikan peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup 4. Pengembangan Usaha Produktif Usaha produktif dikembangkan dengan tujuan untuk peningkatan ekonomi lokal masyarakat, yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat setempat. Potensi usaha produktif dapat dikolektifkan sampai ke tingkat kecamatan yang lebih tinggi dengan pengembangan yang lebih terkonsentrasi ke wilayah studi. Sedangkan alternatif kebijakan untuk pengembangan ekowisata adalah : 1. Penataan Kawasan Diperlukan dalam rangka menjaga kualitas lingkungan, mempertahankan fungsi perlindungan ekosistem, pengamanan lingkungan dari pencemaran, penciptaan iklim mikro, perlindungan tata air, dan meningkatkan citra estetika lingkungan. Penataan di darat untuk objek wisata keluarga, seperti sarana bermain, balai pertemuan atau auditorium mini yang dilengkapi maket-maket rencana, restoran, sarana ibadah, penjualan oleh-oleh/kerajinan/ciri khas kota. Penataan di daratan intinya difokuskan pada pengembangan kawasan untuk usia sekolah, sehingga ada penataan ekosistem dan pengkayaan vegetasi. Sasaran pengunjung juga bisa untuk kelompok peminatan sebagai peneliti ataupun hanya berekreasi.
2. Pembiayaan Pembangunan selalu membutuhkan alokasi anggaran, karena tidak semua fasilitas yang diperlukan dapat diakomodir dari swadaya masyarakat, apalagi banyak golongan masyarakat yang secara ekonomi masih lemah, sehingga bertolak dari tujuan pengelolaan lingkungan alokasi anggaran untuk itu dapat ditingkatkan. Apabila terbatas pada anggaran yang dimiliki pemerintah maka diperlukan usaha pro aktif untuk menggalang dana baik melalui swasta, investor atau kerjasama dengan program Pemerintah Pusat. 3. Pengembangan Kapasitas Unsur Masyarakat Pengembangan Kapasitas SDM tidak hanya ditujukan untuk masyarakat saja, karena perlu dukungan pemikiran dari tenaga ahli yang memahami masalah penataan kawasan sempadan dan jenis tanaman, juga ahli sosial yang memahami karakteristik masyarakat. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan perlu difasilitasi karena tingkat pendidikan umumnya hanya sampai tingkat SLTA, pengetahuan mereka terhadap teknologi ataupun wawasan dalam pengelolaan lingkungan masih kurang, hal ini terlihat pada jenis-jenis kegiatan pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan. Sebagian besar masyarakat belum terampil memanfaatkan sumber daya sehingga bisa dikelola menjadi barang yang bernilai ekonomis, contohnya daur ulang sampah. Melalui peningkatan kapasitas SDM yang ditujukan untuk masyarakat ini dapat menjadikan masyarakat lebih mandiri, merubah budaya dan perilaku yang lebih ramah lingkungan. 4. Pengadaan Sarana dan Prasarana Wisata : Sarana yang dibutuhkan yaitu yang berkaitan dengan fasos dan fasum, seperti tempat peribadatan, tempat istirahat, penangkaran satwa, dsb. Penyediaan sarana dan prasarana tidak terbatas di lingkungan perencanaan namun meningkat pada transportasi yang berupa kendaraan antar jemput wisatawan dan transportasi air. Responden yang dipilih untuk menilai dan memberi pembobotan dalam penilaian kuesioner AHP berjumlah 8 orang, yang terdiri dari Badan Perencanaan Daerah; Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Seni dan Budaya; Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Badan Lingkungan Hidup; LSM (Yayasan Depok Hijau); Swasta sebagai pengembang; Akademisi; dan Masyarakat. Analisis pendapat gabungan para responden menunjukkan bahwa aspek peran serta dan pemberdayaan masyarakat (nilai bobot 0,344) merupakan aspek paling penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata di Kota Depok. Aspek berikutnya yang perlu diperhatikan adalah aspek daya dukung ekowisata (nilai bobot 0,229); aspek konservasi (nilai bobot 0,226), dan aspek pengembangan usaha produktif (nilai bobot 0,202). Hirarki pemilihan kebijakan untuk pengembangan ekowisata beserta nilai bobot untuk masing-masing faktor dapat dilihat pada Gambar 23.
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA
FOKUS
FAKTOR
DAYA DUKUNG EKOWISATA
KONSERVASI
0,229
0,226
PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
0,344
USAHA PRODUKTIF
0,202
ALTERNATIF
PENATAAN KAWASAN (DARAT DAN AIR)
PEMBIAYAAN
PENGEMBANGAN KAPASITAS UNSUR MASYARAKAT
PENGADAAN SARANA DAN PRASARANA WISATA
Gambar 23 Hirarki pemilihan kebijakan pengembangan ekowisata beserta bobot faktornya Pada hirarki yang ditampilkan di atas, peran aktor menjadi penting apabila dilihat dari peran-peran mereka dalam partisipasi untuk pengembangan ekowisata. Pada penelitian ini, perumusan kebijakan terhadap setiap aktor yang memiliki peran secara normatif dilaksanakan sesuai porsi dan kewengangannya masingmasing untuk pemerintah, masyarakat, maupun swasta.
Sedangkan hasil pengolahan data untuk setiap aspek faktor tersebut disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24 Grafik perbandingan aspek bobot faktor untuk pengembangan ekowisata
Terpilihnya aspek peran serta dan pemberdayaan masyarakat sebagai prioritas utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan ekowisata di Kota Depok mencerminkan bahwa peranan masyarakat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengalaman dan pelaksanaan demokrasi. Dari sudut pandang lain, pendekatan peran serta masyarakat dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk meminimasi ketidakpuasan masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, selain untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam bernegara dan bermasyarakat (Chesterman & Stone, 1992). Apabila informasi mengenai program pembangunan dapat disampaikan dan dimengerti oleh masyarakat luas, maka anggota masyarakat menjadi lebih kooperatif terhadap pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan memelihara hasil-hasilnya. Ada dua hal pokok yang menjadi alasan penting bagi perencana pembangunan
untuk
melibatkan
masyarakat
dalam
menyusun
program
pembangunan. Alasan pertama, setiap anggota masyarakat berhak untuk mengetahui dan menyampaikan pendapatnya terhadap isu pembangunan, sedangkan alasan kedua yaitu pemerintah selaku perencana dapat menggali aspirasi masyarakat.
Daya dukung ekowisata menjadi prioritas kedua dalam penempatan kebijakan oleh para perencana dengan bobot 0,229. Kemampuan daya dukung lingkungan ekowisata harus tetap dipertahankan karena jika daya tampung obyek wisata alam tersebut dilampaui, maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya. Kebijakan untuk mempertahankan kapasitas daya dukung perlu dikedepankan karena proses pembangunan yang dilakukan harus berkelanjutan. Agar pembangunan dapat senantiasa berkelanjutan maka dalam penerapan pembangunan diperlukan kajian mengenai dampak dari kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. Kajian tersebut diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan /atau kegiatan. Aspek konservasi dengan bobot 0,226 adalah prioritas selanjutnya setelah daya dukung ekowisata. Konservasi dilakukan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam hayati di kawasan ekowisata agar pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan sumber daya alam dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman sumber daya alam hayatinya. Konservasi sumber daya alam hayati dilakukan berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Dengan dilakukannya konservasi sumber daya alam hayati di kawasan ekowisata diharapkan akan terwujud kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia yang terkait dengan kegiatan ekowisata tersebut. Dengan demikian diharapkan nilai ekonomi dari ekowisata tidak akan terputus, tetapi tetap berkesinambungan yang dapat dinikmati dari generasi ke generasi berikutnya. Aspek terakhir yang menjadi prioritas adalah kegiatan atau usaha produktif dengan bobot 0,202. Adanya kegiatan-kegiatan usaha produktif akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan kegiatan ekowisata. Tumbuhnya kegiatan usaha produktif akan menghidupkan kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait pada sektor ekowisata, sehingga diharapkan akan
meningkatkan Peningkatan
nilai ekonomi
ekonomi
masyarakat
masyarakat
dapat
pendukung ditandai
sekitar
dengan
ekowisata.
meningkatnya
pendapatan dan kesejahteraan, dengan demikian kegiatan ekowisata dengan sendirinya akan terus berkembang. Menurut pilihan para pembuat keputusan, pengembangan upaya produktif dapat dilakukan dengan peran serta masyarakat yang aktif, kondisi daya dukung yang baik dan kawasan konservasi yang terpelihara. Sehingga pergerakan usaha produktif dapat dilakukan secara optimal. Faktor pengembangan ekowisata yang telah dijelaskan di atas mencakup empat alternatif, yaitu : 1) Penataan kawasan, 2) Pembiayaan, 3) Pengembangan Kapasitas Unsur Masyarakat, 4) Pengadaan Sarana dan Prasarana. Dari keempat alternatif tersebut diperoleh bobot yang mengacu pada keempat faktor pengembangan ekowisata.
6.3.2
Faktor Daya Dukung Ekowisata Faktor daya dukung menjadi dasar dalam pengembangan suatu kawasan,
dimana setelah dijabarkan pada keempat alternatif dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 25 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor daya dukung Berdasarkan grafik diatas, kriteria yang dipandang utama oleh para responden dalam pengembangan kawasan ekowisata adalah sumber daya manusia itu sendiri, sebagaimana pada pengembangan kapasitas unsur masyarakat (nilai
bobot 0.309). Kriteria selanjutnya adalah penataan kawasan yang sesuai dengan daya dukung (nilai bobot 0.272), yang difasilitasi dengan pengadaan sarana dan prasarana (nilai bobot 0.230), dan yang terakhir adalah pembiayaan (nilai bobot 0.190).
6.3.3
Faktor Konservasi Alternatif pengembangan kawasan yang dinilai pada matriks skala
perbandingan berdasarkan prinsip konservasi agar kawasan yang terbangun tetap memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang, memperoleh data sebagai berikut :
Gambar 26 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor konservasi Berdasarkan grafik diatas, faktor konservasi juga menekankan pada pengembangan kapasitas unsur masyarakat sebagai faktor signifikan (nilai bobot 0.298). Kriteria selanjutnya yaitu penataan kawasan (nilai bobot 0.250); pembiayaan (nilai bobot 0.228), dan pengadaan sarana dan prasarana (nilai bobot 0.224).
6.3.4
Faktor Peranserta dan Pemberdayaan Masyarakat Kualitas pembangunan sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya,
hal ini yang menjadikan faktor dan alternatif pengembangan kapasitas paling
menonjol diantara yang lainnya, sebagaimana dapat kita lihat pada gambar berikut :
Gambar 27 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor peran serta dan pemberdayaan masyarakat Pengembangan kapasitas unsur masyarakat ditinjau dari faktor peranserta menghasilkan bobot paling tinggi dan menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap alternatif lainnya. Berdasarkan penilaian kriteria dari para responden, pengembangan kapasitas unsur masyarakat adalah sangat penting (nilai bobot 0.400), yang kedua adalah pembiayaan (nilai bobot 0.225), penataan kawasan (nilai bobot 0.197) dan yang terakhir adalah pengadaan sarana dan prasarana (nilai bobot 0.178).
6.3.5
Faktor Pengembangan Usaha Produktif Tujuan pembangunan pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang dalam penelitian ini ditandai dengan adanya pengembangan usaha produktif dari rencana pengembangan kawasan ekowisata. Penilaian responden terhadap keempat alternatif pengembangan kawasan dilihat dari faktor pengembangan usaha produktif padat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 28 Grafik perbandingan alternatif pengembangan kawasan untuk faktor pengembangan usaha produktif Pada gambar diatas terdapat dua alternatif terdepan dari kedua lainnya, yaitu pengembangan kapasitas unsur masyarakat (nilai bobot 0.339) dan pembiayaan (nilai bobot 0.314). Pengembangan usaha produktif tentunya membutuhkan keahlian, pengetahuan dan kreatifitas masyarakat setempat, selain itu juga memerlukan biaya khususnya bagi penduduk yang tingkat ekonominya masih rendah.
6.4 Ikhtisar Kebijakan pengembangan kawasan yang diterapkan dalam pembangunan kota hendaknya berdasarkan dari perencanaan pembangunan partisipatif, dimana proses perencanaan tersebut harus dilakukan melalui serangkaian forum musyawarah (Forum OPD, musrenbang, dll) dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan di wilayah setempat. Adapun perencanaan partisipatif tersebut bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Partisipatif itu sendiri tidak selamanya terjadi karena adanya program pemerintah yang disusul dengan respon dari masyarakat, atau sebaliknya yaitu program masyarakat kemudian respon pemerintah. Saat ini masyarakat, pemerintah, swasta, beserta unsur lainnya dapat duduk bersama merencanakan suatu program pembangunan yang disebut sebagai stakeholder partsipatif.
Beberapa kondisi yang terjadi di Kota Depok berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masih sering dijumpai pelaksanaan program dengan metode sosialisasi yang belum optimal, sehingga terjadi penolakan warga ataupun warga yang belum siap dengan perubahan. Salah satu metoda sosialisasi yang banyak diprotes warga yaitu pada saat pembangunan dilaksanakan tanpa ijin lingkungan, pelibatan pihak LPM, kelurahan dan kecamatan, sehingga pembangunan proyek dihentikan. Perlu diperhatikan juga dalam hal penetapan lahan, yang diperkuat dengan Surat Ketetapan Walikota sehingga terdapat dasar yang kuat untuk mengatasi permasalahan di lapangan. Apabila proses pembangunan terhenti (cut off), tidak hanya merugikan pihak pemerintah saja, tetapi juga warga masyarakat itu sendiri, pihak swasta, bahkan terjadi perusakan lingkungan. Di samping itu juga adanya kepentingan kelompok tertentu, sehingga aspirasi masyarakat dapat tertunda pelaksanaannya atau bergeser ke tahun berikutnya. Demikian halnya dalam pengembangan ekowisata pada penelitian ini, selama ini pemerintah kota belum melakukan sosialisasi secara optimal kepada publik seputar pariwisata, akibatnya potensi pariwisata di Depok belum dikenal dengan baik. Selain itu, promosi dilakukan secara sepihak yakni oleh pemerintah Kota Depok sendiri, sedangkan para pelaku pariwisata tidak terlalu dilibatkan. Kemudian program pariwisata juga disusun dan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah sehingga hasilnya banyak yang tidak tepat sasaran. Berdasarkan analisis dengan metode AHP yang telah dilakukan, dapat diperoleh faktor maupun alternatif mana yang perlu untuk dijadikan prioritas. Nilai bobot untuk faktor pengembangan ekowisata menunjukkan faktor peran serta dan pemberdayaan masyarakat adalah yang tertinggi yaitu 0,344. Sedangkan ringkasan pengolahan data dari metode AHP untuk setiap bobot alternatif dapat dilihat pada Tabel 28 berikut ini.
Tabel 28 Perbandingan bobot alternatif terhadap faktor pengembangan ekowisata No.
Alternatif
1
Penataan Kawasan Pembiayaan Pengembangan Kapasitas Unsur Masyarakat Pengadaan Sarana dan Prasarana
2 3 4
Daya Dukung Ekowisata 0,272
Faktor Peranserta dan Konservasi Pemberdayaan Masyarakat 0,250 0,197
Usaha Produktif 0,163
0,190 0,309
0,228 0,298
0,225 0,400
0,314 0,339
0,230
0,224
0,178
0,184
Pada Tabel 28, nilai bobot alternatif untuk pengembangan kapasitas unsur masyarakat adalah terbesar dan selalu berada di urutan tertinggi dari setiap faktor. Hal ini menunjukkan alternatif ini sangat penting dan perlu menjadi prioritas untuk perencanaan pengembangan ekowisata. Selanjutnya pada alternatif penataan kawasan dan pembiayaan menjadi prioritas kedua karena nilai bobotnya yang berimbang. Sedangkan alternatif pengadaan sarana dan prasarana wisata menjadi prioritas ketiga atau keempat.
BAB VII RUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM 7.1 Landasan Penentuan Strategi dan Program Penentuan strategi dan program perencanaan pembangunan wilayah selayaknya
harus
berdasarkan
data
atau
informasi
akurat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya, rencana pembangunan tersebut harus disusun berdasarkan kenyataan yang ada, baik itu berupa masalah maupun potensi yang dimiliki. Dengan demikian, perencanaan pembangunan yang akan disusun dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, bukan sekedar daftar keinginan yang jauh dari kenyataan dan kemampuan untuk mewujudkannya. Bertolak dari analisis AHP yang telah dilakukan sebelumnya, dengan hasil bahwa peran serta dan pemberdayaan masyarakat merupakan faktor dengan bobot terbesar (0,344), selanjutnya pada analisis bobot alternatif yang menunjukkan aspek pengembangan kapasitas unsur masyarakat selalu berada pada urutan pertama, maka beberapa program pembangunan yang disusun menitikberatkan pada pengembangan kapasitas masyarakat. Penyusunan program untuk pengembangan ekowisata berkaitan erat dengan instansi teknis terkait dengan urusan pariwisata. Penyusunan program baru hendaknya dapat saling mengisi dengan rumusan program pariwisata yang ada di Kota Depok sehingga dapat memberi masukan konstruktif untuk pembangunan dan perencanaan ekowisata. Masukan dan program yang sinergis antara rencana pemerintah dan masyarakat sehingga pelaksanaan pembangunan menjadi optimal, dengan mengedepankan keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat. Institusi kepariwisataan Kota Depok menetapkan misi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi khususnya dalam hal kepariwisataan adalah sebagai berikut (Bappeda, RIPDA, 2008) : 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM Pariwisata, Seni dan Budaya. 2. Meningkatkan pengembangan objek wisata dan daya tarik wisata. 3. Mewujudkan pelayanan prima dalam Bidang Pariwisata, Seni dan Budaya. 4. Meningkatkan peranan artis dan seniman dalam pembangunan.
5. Meningkatkan kreasi dan daya tarik seni budaya lokal serta menata dan memelihara cagar budaya. 6. Menjalin kemitrausahaan dengan investor di bidang pariwisata. Pada butir pertama dalam misi kepariwisataan disebutkan bahwa pemerintah Kota Depok akan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM pariwisata, butir ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa pengembangan kapasitas unsur
masyarakat
merupakan
alternatif
terpenting
tidak
hanya
pada
pengembangan ekowisata, namun juga untuk sektor pariwisata tingkat Kota Depok. Pelaksanaan peningkatan SDM pariwisata di Kota Depok yang sudah dilaksanakan yaitu berupa pelatihan teknis kepada para pramusaji di beberapa hotel dan restoran. Sedangkan untuk pelaksanaannya, pelatihan kepariwisataan lainnya dilaksanakan pada Bagian Kepegawaian Sekretariat Daerah Kota Depok, berdasarkan usulan yang diajukan oleh instansi terkait. Pengembangan usaha produktif sebagai faktor dari pengembangan ekowisata pada penelitian ini termasuk pada pengembangan daya tarik wisata, dimana usaha produktif itu sendiri berorientasi pada peningkatan mutu komoditas lokal yang ada di Kota Depok sebagai daya tarik wisatawan. Pengembangan usaha produktif yang berkaitan dengan pengembangan bidang pariwisata belum sepenuhnya optimal, namun hal ini sudah menjadi wacana dari instansi kepariwisataan di Kota Depok untuk menjadi program kegiatan di waktu mendatang. Peningkatan usaha produktif saat ini masih dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Perikanan untuk pembibitan dan pembinaan para petani. Penataan kawasan untuk pengembangan wisata saat ini tetap mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Depok, serta setiap perubahan tata ruang
perlu
ada
pengawasan
agar
pemanfaatan
lahan
sesuai
dengan
peruntukannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai prioritas rancangan program berdasarkan hasil analisis AHP, maka strategi pengembangan dalam konteks pengembangan kawasan ekowisata di Kota Depok adalah penjabaran dari alternatif penelitian yang juga dilengkapi dengan aspek-aspek lainnya sebagai kriteria pengembangan ekowisata seperti aspek pengembangan
institusi atau kelembagaan, pengembangan produk wisata dan pengembangan pemasaran.
7.2 Pelaksanaan Strategi Pengembangan Ekowisata di Kota Depok Rumusan strategi pengembangan ekowisata disusun dengan beberapa pertimbangan sesuai dengan kondisi yang berlaku di Kota Depok. Program yang dibuat dapat memperkaya ataupun melengkapi program kepariwisataan yang sudah berlangsung di Kota Depok. Melalui analisis dengan metode AHP yang memperoleh nilai bobot paling tinggi untuk pengembangan kapasitas unsur masyarakat, maka prioritas rancangan program yang disusun adalah sebagai berikut.
7.2.1
Aspek Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengembangan sumber daya
manusia pariwisata Kota Depok adalah : 1. Analisa
hasil
penilaian
AHP
yang
menunjukkan
tingginya
bobot
pengembangan peran serta masyarakat ditinjau dari faktor pengembangan ekowisata. 2. Isu dan permasalahan yang dihadapi Kota Depok terkait dengan SDM, khususnya kualitas SDM yang belum merata. 3. Kesadaran akan pentingnya kualitas SDM yang pentingnya investasi di bidang SDM pariwisata. Arah Kebijakan Pengembangan SDM : 1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, terutama di lokasi studi, baik tenaga profesional maupun tenaga trampil, seperti pemandu wisata, petugas di objek wisata, awak bus, dan tenaga trampil di fasilitas lainnya. 2. Peningkatan kualitas pelayanan pariwisata khususnya SDM yang berhadapan langsung dengan wisatawan. 3. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di daerahnya. 4. Peningkatan pemahaman, pengetahuan, kesadaran seluruh pelaku pariwisata (termasuk masyarakat) terhadap pariwisata.
5. Peningkatan pengetahuan masyarakat secara spesifik untuk pengelolaan lingkungan, seperti pemanfaatan sampah, pengendalian banjir dan pengolahan sampah. Usulan dan Rancangan Program : 1. Penyusunan Kurikulum Pendidikan Pariwisata. Penyusunan kurikulum formal berupa pengenalan materi kepariwisataan di sekolah pariwisata, sedangkan yang non formal dapat berupa penyelenggaraan pelatihan atau penyuluhan yang ditujukan untuk level pendidikan tertentu pada kelompok masyarakat.
Penyusunan
kurikulum ini
dibawah
kewenangan
Dinas
Pendidikan yang menyebutkan bahwa Kota Depok memiliki 5 sekolah pariwisata diantaranya SMKN 1 (Cimanggis), SMK 2 Wisata Perintis (Pancoran Mas), SMK Wisata Kharisma (Beji), SMK Kharismawita (Sawangan), dan SMK Karya Muda (Beji). Sedangkan pada pendidikan informal dijabarkan pada kegiatan pelatihan penyelenggara ekotourisme (tour operator), pengelolaan lingkungan seperti daur ulang sampah, pembuatan sumur resapan, pembuatan lubang biopori, pemilahan dan pengolahan sampah dengan mesin UPS dan lain-lain, yang diselenggarakan oleh instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kantor Budpar, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP). Pengenalan dan pendidikan ekowisata juga dapat dilakukan melalui iklan/layanan masyarakat oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Seni dan Budaya. 2. Peningkatan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada program ini masyarakat dipacu dengan pemberian penghargaan untuk kelompok masyarakat yang berhasil dalam pengelolaan lingkungannya misalnya terhadap aplikasi dari materi yang telah disampaikan pada pelatihan sebelumnya, yang dapat diklasifikasikan menurut kriteria tertentu berdasarkan capaian prestasi seperti pada proper lingkungan, dengan pemberian trophy dan subsidi pemerintah. Selain itu juga pemberian kesempatan untuk menjadi pilot project kota sehingga masyarakat lebih termotivasi. Program peningkatan pengelolaan lingkungan hidup ini sudah berjalan, namun belum ada penekanan pada wilayah pengembangan ekowisata.
7.2.2
Aspek Penataan Ruang dan Pembiayaan Dasar pertimbangan dalam penataan ruang dalam konteks pengembangan
ekowisata di Kota Depok adalah : 1. Permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah, khususnya antar kecamatan di Kota Depok. 2. Terpusatnya
pengembangan
pariwisata
Kota
Depok
di
beberapa
kawasan/wilayah tertentu. 3. Pemanfaatan ruang dan potensi yang ada dimana Kota Depok memiliki prospek pengembangan ekowisata terpadu berbasis potensi Sumber Daya Alam pada bantaran sungai (23 km) yang dimuat pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Depok Lama. 4. Pengembangan kawasan wisata unggulan dan penyediaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata diprioritaskan di daerah yang potensial, dalam kerangka meningkatkan pembangunan ekonomi lokal. Arah Kebijakan : 1. Membuat perencanaan pengembangan lokasi sesuai dengan daya dukung dan daya tampung kawasan melalui penetapan zonasi pengembangan. 2. Untuk kemudahan pembangunan serta pengelolaannya, perlu dilakukan pengelompokkan objek dan daya tarik wisata di kawasan ekowisata, yang memiliki pusat kegiatan wisatawan dan mempunyai keterkaitan sirkuit atau jalur wisata. 3. Melakukan urutan prioritas pengembangan satuan kawasan wisata dengan memperhatikan dampaknya terhadap perkembangan objek dan daya tarik wisata. 4. Menentukan segmen pasar yang sesuai arah pengembangan kawasan. Usulan dan Rancangan Program : 1. Penguatan Kawasan Ekowisata. Penjabaran dari program ini adalah perancangan design tata ruang untuk site-plan kawasan ekowisata. Perancangan tata ruang dapat dilakukan dengan cara kompetisi antar masyarakat maupun pihak pengembang (swasta) sebagai pelaku, hal ini
dilakukan untuk memancing kreatifitas masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan. Pemenang yang terpilih dapat diberi penghargaan dari pemerintah (sertifikat) sehingga dia memperoleh hak tertentu untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain/swasta lainnya. Perancangan tata ruang diarahkan untuk mampu memenuhi semua kebutuhan kawasan untuk ekowisata dan pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Konsep pengembangan ekowisata diarahkan untuk pengembangan bantaran sungai menjadi tempat pelatihan bio konservasi, ekologi dan biologi. Pemanfaatan bantaran sungai diarahkan sebagai wahana rekreasi air rakit, outbound, dan cross country. Selain itu, dari sisi ekonomi, bantaran sungai tersebut dapat dijadikan tempat pengembangan breeding satwa, pasar burung, wahana film, dan pembibitan. 2. Penyusunan Peraturan Daerah dan Revisi Rencana Tata Ruang Bangunan dan Lingkungan. Penegasan penataan ruang sesuai design tata ruang yang sudah disepakati yang diperkuat dengan penyusunan Perda atau Revisi RTBL yang sudah ada, agar pengembangan dapat segera terealisasi. 3. Perencanaan, Pengendalian, Pemanfaatan Ruang dan Bangunan untuk membuat analisa kelayakan ekonomi dan sosial. Pemerintah Kota sesuai dengan kemampuannya perlu melakukan analisa kelayakan ekonomi dan sosial untuk merencanakan anggaran yang dibutuhkan, sumber dana, dan pelaku pengembangan (privatisasi atau swakelola). Disini Pemerintah Daerah tidak hanya mengalokasikan anggaran dari APBD saja namun dapat memperoleh bantuan dari Propinsi, Pemerintah Pusat atau swasta.
7.2.3
Aspek Pengembangan Institusi/Kelembagaan Dasar pertimbangan dalam pengembangan kelembagaan kepariwisataan
Kota Depok adalah : 1. Efisiensi kelembagaan pariwisata yang belum optimal. 2. Peningkatan koordinasi dan konsolidasi antar lembaga. 3. Peningkatan kemitraan antara institusi atau lembaga.
Arah Kebijakan : 1. Peningkatan koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan antar wilayah di Kota Depok maupun di Tingkat Propinsi Jawa Barat dengan provinsi lain/nasional/internasional melalui lembaga pariwisata dan budaya terkait, termasuk komitmen dari para pengambil keputusan yang terkait dengan pariwisata. 2. Pengembangan kelembagaan, sistem dan penyederhanaan prosedur perijinan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. 3. Peningkatan kemitraan antara institusi/lembaga. 4. Pengembangan kelembagaan dalam hal perpajakan dan retribusi, 5. Pengembangan kelembagaan dalam pemasaran dan promosi. Usulan dan Rancangan Program : 1. Peningkatan Manajemen dan Pelayanan Masyarakat. Program ini menekankan pada penyediaan pelayanan masyarakat dan peningkatan kualitas SDM. Pelayanan masyarakat dalam hal ini khususnya untuk pengembangan ekowisata dapat diperkuat dengan kemudahan perijinan untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Sedangkan dalam peningkatan kualitas SDM dilakukan kegiatan studi banding ke daerah yang sudah berhasil dalam pengembangan wisatanya. 2. Peningkatan Kualitas Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan. Melalui program ini dilakukan kerjasama pemerintah dengan akademisi dalam hal perencanaan dan kajian, kerjasama regional Pemda Depok dengam Pemda Kota/Kabupaten lainnya dengan penguatan fungsi institusi sehingga menjadi koordinator pengembangan ekowisata. Kemitraan antar intsitusi dan lembaga perlu disusun secara terpadu dan sinergis melalui program ini dengan leading sector sesuai dengan kewenangan instansi terkait.
7.2.4
Aspek Pengembangan Produk Wisata dan Usaha Produktif Dasar pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengembangan produk
wisata adalah : 1. Potensi, permasalahan dan isu strategis pengembangan produk wisata Kota Depok ditinjau dari keragaman, sebaran dan perbedaan daya tarik maupun pengelolaan dan peningkatan kualitas produk itu sendiri. 2. Kecenderungan permintaan pariwisata/pasar wisatawan regional, nasional yang sangat dinamis. 3. Kebutuhan pengembangan basis ekonomi wilayah yang potensial untuk dikembangkan melalui pariwisata. 4. Potensi untuk membuka peluang bisnis dan investasi tidak hanya bagi pengusaha skala besar, tetapi juga skala kecil dan menengah, termasuk masyarakat lokal setempat. Arah Kebijakan : 1. Produk wisata Kota Depok dikembangkan dalam kerangka memberikan manfaat bagi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 2. Produk wisata unggulan yang dikembangkan adalah produk wisata yang unik, tradisi khas Kota Depok, dan mencerminkan jati diri masyarakat yang berakar pada alam dan budaya setempat. 3. Produk wisata unggulan dikembangkan untuk menciptakan keragaman daya tarik wisata Kota Depok sehingga berdaya saing dan memperkuat daya tarik wilayah, khususnya dalam tingkat Kota/Propinsi. 4. Pengembangan
produk
wisata
unggulan
harus
mendukung
upaya
konservasi/preservasi dan bahkan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan daya dukung spesifik setiap daerah. Usulan dan Rancangan Program : 1. Pemberian kemudahan produksi barang khas Depok dalam hal investasi dan ijin usaha. Pelaku usaha dapat dilaksanakan secara privatisasi maupun
swakelola melalui program Peningkatan Manajemen dan Pelayanan Masyarakat. 2. Peningkatan Produktivitas Usaha Koperasi dan UKM. Usaha koperasi yang kini dikembangkan adalah produksi batik khas Depok, daur ulang, pengembangan industri kecil yang dibina oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan UKM. Melalui koperasi dapat dilakukan pemberdayaan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar kawasan ekowisata. 3. Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Kegiatan pengembangan agribisnis pada Dinas Pertanian meliputi pembibitan tanaman hias promosi komoditas unggulan seperti belimbing dan peningkatan mutu produk melalui kegiatan pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi (Halal, SNI, ISO 9001).
7.2.5
Aspek Pengembangan Pasar dan Pemasaran Beberapa pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengembangan pasar
dan pemasaran ekowisata Kota Depok adalah : 1. Kondisi dan karakteristik wisatawan eksisting dan potensial, serta segmentasi pasar wisatawan Kota Depok 2. Kemajuan sistem dan teknologi informasi kepariwisataan maupun teknologi lainnya yang sangat pesat. 3. Menyusun Rancangan atraksi/kegiatan yang sesuai dengan daya dukung kawasan dan kerentanan. Arah Kebijakan : 1. Mengembangkan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan karakteristik pasar wisatawan yang menjadi sasaran di tiap kawasan wisata unggulan. 2. Mengembangkan pendekatan pemasaran pariwisata terpadu, dengan tema yang jelas, terorganisir, efisien dan efektif. 3. Peningkatan teknik informasi dan promosi untuk pengembangan potensi obyek wisata di Kota Depok yang belum banyak diketahui oleh wisatawan.
Usulan dan Rancangan Program : 1. Sosialisasi dan Promosi Pengembangan Pariwisata. Kegiatan sosialisasi dan promosi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan wadah yang sudah ada seperti Tourist Information Centre (TIC) atau Pusat Informasi Pariwisata di Kota
Depok.
Kegiatan
lain
berupa
penyelenggaraan
pameran
dan
pengembangan atraksi yang menarik dan spektakuler. Pameran dapat menciptakan segmen dan jaringan pasar wisatawan baru khususnya bagi pelaku usaha dan masyarakat.
7.3 Ikhtisar Rumusan strategi memerlukan perencanaan yang partisipatif. Partisipatif yang bermakna bahwa ide dapat muncul dari masyarakat, pemerintah, ataupun swasta (stakeholder partisipatif) dan disinergiskan dalam suatu program pembangunan. Penyusunan program pada penelitian ini mengacu pada hasil analisis AHP serta masukan dari arah kebijakan sebagaimana dikutip dari RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) yang disusun Bapeda Kota Depok. Resume dari perumusan program untuk rencana pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Rumusan program untuk rencana pengembangan ekowisata No.
Aspek Pengembangan
1
Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia Penataan Tata Ruang dan Pembiayaan
2
3
Pengembangan Institusi dan Kelembagaan
4
Pengembangan Produk Wisata dan Usaha Produktif
5
Pengembangan Pasar dan Pemasaran
Rancangan Program 1) Penyusunan kurikulum pendidikan pariwisata 2) Peningkatan pengelolaan lingkungan hidup 1) Penguatan kawasan ekowisata 2) Penyusunan Perda dan Revisi RTRW 3) Perencanaan, Pengendalian, Pemanfaatan Ruang dan Bangunan 1) Peningkatan manajemen dan pelayanan masyarakat 2) Peningkatan kualitas perencanaan dan pengendalian pembangunan 1) Peningkatan manajemen dan pelayanan masyarakat 2) Peningkatan produktivitas usaha koperasi dan UKM 3) Pengembangan agribisnis perkotaan 1) Sosialisasi dan promosi pengembangan pariwisata
Program peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah lama berjalan di Kota Depok dan setiap tahun pelaksanaanya dapat berkembang sesuai kebutuhan kota. Pelaksanaan program ini berada di dinas teknis yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerjaan Umum. Beberapa kegiatan yang diturunkan dari program ini sangat banyak mendukung pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Pada Tabel 29 dapat dilihat bahwa program peningkatan manajemen dan pelayanan masyarakat dapat mencakup kedua aspek dalam pengembangan ekowisata, yaitu pengembangan institusi kelembagaan dan pengembangan usaha produktif. Penjabaran program ini diwujudkan untuk kegiatan yang menyentuh langsung pada pelayanan masyarakat misalnya dalam hal perijinan dan investasi. Salah satunya pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perijinan dan Pelayanan Terpadu (BPPT); Dinas Koperasi, UKM dan Pengelolaan Pasar; Dinas Pertanian dan Perikanan; serta Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Seni dan Budaya. Pengembangan agribisnis perkotaan yang terbanyak dilaksanakan pada Dinas Pertanian dan Perikanan. Beberapa program yang dirumuskan pada Tabel 29 sudah berjalan dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Depok, namun ada yang diperoleh dari hasil penelitian, diantaranya penyusunan kurikulum pendidikan pariwisata, mengingat aspek tersebut sangat penting untuk ditingkatkan. Program penguatan kawasan wisata adalah program dimana Bapeda terbanyak memiliki peran untuk melaksanakan dan menjalankannya, di samping Dinas Tata Ruang Permukiman. Melalui program penguatan kawasan ekowisata dan penetapan Perda atau revisi RTRW, maka akan memudahkan dinas teknis lainnya untuk mengembangan ekowisata. Namun dalam hal pengembangan kepariwisataan seringkali terbentur oleh kepentingan yang lain, sehingga kekuatannya sangat lemah (powerless).
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian pembangunan daerah mengenai Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Depok Lama Kota Depok, terdapat beberapa kesimpulan, yaitu bahwa prioritas untuk strategi kebijakan yang utama dalam pengembangan kawasan ekowisata di Kota Depok adalah faktor peranserta dan pemberdayaan masyarakat dengan bobot 0,344, yang diperkuat dengan alternatif pengembangan kapasitas unsur masyarakat yang selalu memperlihatkan bobot yang tertinggi. Berdasarkan hasil analisis AHP tersebut maka penyusunan rancangan program yang utama adalah pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Selanjutnya yaitu program penataan tata ruang dan pembiayaan, pengembangan institusi, pengembangan produk wisata dan usaha produktif, serta yang terakhir adalah pengembangan pasar dan pemasaran. Keseluruhan program yang diajukan mengacu pada konsep pembangunan partisipatif yang diperoleh dari gabungan
hasil penelitian dan masukan konstruktif dari RIPPDA Kota
Depok yang telah disusun. Partisipasi masyarakat lokal yang potensial untuk kegiatan ekowisata yaitu melalui kegiatan pengelolaan lingkungan dalam pengolahan sampah yang menarik untuk menjadi wilayah percontohan. Hasil dari pengolahan sampah seperti pupuk kompos dapat dipergunakan warga untuk berkebun dan hasil daur ulang sampah selain untuk dijual juga dapat didaur ulang menjadi barang yang bermanfaat. Pola pengelolaan sampah seperti ini perlu dipertahankan serta ditingkatkan guna membantu pemerintah memperpanjang umur TPA. Kegiatan penanaman pohon juga banyak dilakukan, kegiatan ini melindungi fungsi konservasi kawasan dan tetap meningkatkan biodiversity tanaman. Tingkat pastisipasi masyarakat di lokasi penelitian berdasarkan Teori Arnstein berada pada tangga pertama Non Participation dan tangga kedua Tokenism, yang bermakna bahwa masyarakat dapat berpendapat seluas-luasnya, namun kesempatan untuk mendapatkan suara dalam menentukan kebijakan masih lemah.
Aktivitas sosial dan ekonomi yang dapat dikembangkan melalui kegiatan ekowisata di Kota Depok adalah wisata, budidaya tanaman hias dan buah-buahan. Masyarakat setempat sangat memiliki ketertarikan dalam menerima perubahan lingkungan untuk penyegaran rohani atau wisata sekaligus memiliki wahana yang bersifat edukatif. Pengembangan tanaman hias berkaitan dengan adanya kecenderungan bahwa komoditas tersebut termasuk unggul di wilayah Kota Depok. Kondisi kebijakan terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok saat ini belum optimal, hal ini ditinjau berdasarkan parameter ketersediaan sumber daya dan daya tarik wisata, fasilitas pariwisata dan fasilitas umum, aksesibilitas, kesiapan dan keterlibatan masyarakat, potensi pasar, serta posisi strategis pariwisata dalam pembangunan. Program Pemerintah Kota Depok untuk meningkatkan potensi wisata belum dikenal dengan baik oleh masyarakat Kota Depok, seperti halnya promosi dilakukan sepihak oleh pemerintah Kota Depok sendiri, sedangkan para pelaku pariwisata tidak terlalu dilibatkan. Beberapa aktor yang berperan dalam pengembangan ekowisata ini adalah pemerintah, masyarakat dan swasta.
8.2 Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis pada rencana pengembangan ekowisata di Kota Depok, diperoleh rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan meliputi : 1. Pemerintah a. Kebijakan
untuk
pengembangan
sumber
daya
manusia
meliputi
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM, terutama di lokasi studi, baik tenaga profesional maupun tenaga trampil, dengan penyusunan kurikulum pendidikan formal dan informal. b. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata, dengan pemberian insentif dan penghargaan bagi kelompok yang berprestasi misalnya dalam hal pengelolaan lingkungan. c. Melakukan analisa kelayakan ekonomi dan sosial untuk merencanakan anggaran yang dibutuhkan, sumber dana, dan pelaku pengembangan (privatisasi atau swakelola).
d. Penegasan Penataan Ruang sesuai design tata ruang yang sudah disepakati yang diperkuat dengan penyusunan Perda atau Revisi RTBL yang sudah ada. e. Dalam rangka peningkatan kualitas produk unggulan yang berdaya saing tinggi, maka perlu peningkatan mutu produk melalui pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi (Halal, SNI, ISO 9001). f. Mengembangkan pola atau teknik promosi dan sosialisasi yang lebih atraktif dan menarik. g. Memberi pinjaman / insentif kepada masyarakat setempat untuk mengolah sebagian luasan tanah yang terdapat di lokasi ekowisata untuk dapat diolah sehingga dapat memberikan manfaat produktif. 2. Swasta Diharapkan agar dapat menumbuhkan peran aktif pelaku dunia usaha dalam berinvestasi dan berpartisipasi sebagai pelaku pengembang. 3. Masyarakat Diharapkan kepada masyarakat sebagai bagian dari unsur stakeholders untuk mendukung program pembangunan mulai dari perencanaan dan ikut terlibat juga dalam pelaksanaan program, sehingga dapat ikut bertanggung jawab apabila terjadi kendala dalam proses pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Fahmudin dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktik Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering, World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor. Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. American Institute of Planners Journal. Askew, I. 1989. Organizing Community Participation in Family Planning Projects in South Asia. Study on Family Planning. Bappeda Kota Depok. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2000 – 2010, Pemerintah Kota Depok. Bappeda Kota Depok. 2008. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Depok (RIPPDA), Bapeda Kota Depok. Bappeda Kota Depok dan Badan Pusat Statistik Kota Depok. Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008. Bapeda dan BPS Kota Depok. Bappeda Kota Depok. 2009. Kota Depok Dalam Angka 2008. Bapeda Kota Depok. Brinkerhoff, D.W. dan Crosby, B.L. 2002. Managing policy reform: concepts and tools for decision makers in developing and ransitioning countries. Kumarian Press, Inc., Bloomfield. Cohen, John M, Uphoff, Norman T. 1980. Participation’s Place in Rural Development : Seeking Clarity Through Specificity. World Development. Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D. Shepherd, R. dan Wanhill, S. 1996. Prinsip Pariwisata dan Praktik. London: Pitman. Ceballos-Lascurain, H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. The State of Nature-based Tourism Around the World and Guidelines for its Development. IUCN (International Union for the Conservation of Nature), Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Kriteria dan Penetapan Destinasi Pariwisata Unggulan. Jakarta. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup. 2006. Identifikasi Sumber-sumber Pencemar Sungai Ciliwung di Kota Depok. Pemerintah Kota Depok.
Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. 2006. Kajian Ekologis DAS Ciliwung Kota Depok. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup. Dinas Tata Kota - Kota Depok. 2006. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Depok Lama – Kota Depok. Dinas Tata Kota. Eplerwood, Megan, 1999. Internasional EplerWood, Burlington, USA. Falatehan, F. 2007. Teknik Pengambilan Keputusan Aplikasi Analytic Hierarchy Process (AHP) Menggunakan Program Expert Choice 2000. Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah. Institut Pertanian Bogor. Fandeli, Chafid. dan Mukhlison. 2000, Pengusahaan Ekowisata, Kehutanan Universitas. Gadjah Mada Yogyakarta.
Fakultas
Hearne, R. R. & Santos, C. A. 2005. Tourists’ and locals’ preferences toward ecotourism development in the Maya biosphere reserve, Guatemala. Environment, Development and Sustainability. Hendee, J.C., Stankey, G.H., dan Lucas, R.C. 1978. Wilderness Management. USDA Forest Service miscellaneous publication No. 1365. Holloway, J. C. dan R.V. Plant. 1989. Marketing for Tourism, Pitman Pub, London. Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta. Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Depok, 2006. Rencana Strategis 20062011. Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Depok. 2007. Informasi Potensi Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Depok. Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Depok. Knudson, Douglas M., Curry, Elizabeth.B. 1980. Manajemen Sumber Daya Rekreasi, Oregon State University, Corvallis, Oregon, dan Departemen Sosiologi Pedesaan, University of Wisconsin, Madison, Wisconsin. Media Pecinta Sungai. 1996. Ciliwung, Membersihkan Sungai, Membersihkan Pikiran, Gerakan Ciliwung Bersih. Jakarta. Mulyadi dan S. Nurhayati. 2002. Pengertian Pariwisata. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Pelatihan dan Pendidikan, Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Presiden Republik Indonesia, Jakarta.
Rifkin, SB; F Muller; W. Bichman. 1990. Primary Health Care: On Measuring Participation, Social Science and Medicine. Oakley, Peter. and David Marsden. 1984. Approaches to Participation in Rural Development. Geneva : ILO. Permadi, Bambang. 1992. AHP Pusat Antar Universitas - Studi Ekonomi, Universitas lndonesia, Jakarta. Saaty, T. L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sarwono, Jonathan. 2008. Panduan Lengkap Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. CV. Andi Offset. Yogyakarta. Suhendra, 2006, Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Alfabeta. Bandung. Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Penerbit ANDI. Yogyakarta. TIES. 1990. The International Ecotourism Society, Fact Sheet: Global Ecotourism. Washington, DC, USA. http://www.ecotourism.org/ Tonny, Fredian. 2007. Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Daerah. Institut Pertanian Bogor. UNEP. 1980. United Nations Environment Programme, World Conservation Monitoring Centre. http://www.unep-wcmc.org/ Usman Rianse, Abdi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Penerbit Alfabeta. Bandung. Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Edisi Revisi. Penerbit Media Pressindo. Yogyakarta. Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi pariwisata : introduksi, informasi, dan aplikasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Yuliandra, Fredinan, 2007, ”Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi”, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a. Tabel Chi Square Test hubungan antara pengelolaan lingkungan dengan tingkat pendidikan Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
Value 14.003a 30
df 6
Asymp. Sig. (2-sided) .030
a. 11 cells (91.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .40.
Lampiran 1b. Tabel Chi Square Test hubungan antara pengelolaan lingkungan dengan jenis pekerjaan Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
Value 5.093a 30
df 3
Asymp. Sig. (2-sided) .165
a. 6 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .47.
Lampiran 1c. Tabel Chi Square Test hubungan antara pengembangan usaha produktif dengan tingkat pendidikan Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
Value 18.131a 30
df 8
Asymp. Sig. (2-sided) .020
a. 14 cells (93.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .40.
Lampiran 1c. Tabel Chi Square Test hubungan antara pengembangan usaha produktif dengan jenis pekerjaan Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
Value 6.661a 30
df 5
Asymp. Sig. (2-sided) .247
a. 11 cells (91.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .47.
RINGKASAN
EVA KURNIASARI. Strategi Pengembangan Ekowisata Melalui Peningkatan Partisipasi Masyarakat. Studi Kasus Komunitas Kelurahan Kalimulya Kota Depok. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, FREDIAN TONNY. Sungai Ciliwung merupakan sungai lintas provinsi yang melintasi wilayah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan DKI Jakarta. Saat ini, Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai di Jawa Barat yang seringkali menimbulkan permasalahan lingkungan. Permasalahan timbul dikarenakan pengelolaan yang salah terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga mengurangi fungsi sungai sebagai pengatur tata air. Berdasarkan hal tersebut maka segala bentuk pengelolaan DAS harus diarahkan ke dalam upaya konservasi tanah dan air pada lahan pertanian supaya dapat menyimpan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau. Keberadaan Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Depok dapat menjadi salah satu sarana wisata yang memiliki potensi keindahan alam. Kota Depok relatif terbatas sumber daya alamnya sehingga diperlukan kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan potensi lokalnya. Salah satu potensi tersebut adalah pariwisata. Hal itu dikaitkan dengan adanya beberapa obyek wisata yang berpeluang dikembangkan menjadi sarana rekreasi masyarakat Depok maupun dari luar daerah sempadan Sungai Ciliwung yang terletak di Kawasan Depok Lama sebagai salah satu wilayah rencana pengembangan nature area berdasarkan Rencana Rinci Tata Ruang Bagian Wilayah Kota (BWK) VIII Sukmajaya pada rencana pemanfaatan Tahun 2013. Pengembangan ekowisata akan menimbulkan partisipasi dan pengaruh bagi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, jenis kegiatan sosial dan ekonomi yang dapat mendukung ekowisata, serta menganalisis proses kebijakan yang sudah ada terkait dengan pengembangan ekowisata di Kota Depok. Metode penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara terhadap responden, observasi dan metode kuesioner. Teknik sampling dilakukan dengan Purposive Sampling yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan pada 30 orang responden. Karakteristik responden terbagi menjadi enam kelompok yang terdiri dari SD – SLTP, Pegawai; SD – SLTP, Non Pegawai; SLTA, Pegawai; SLTA, Non Pegawai; PT , Pegawai; dan PT , Non Pegawai. Data yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif diuji dengan chi square. Hasil analisis chi-square terhadap hubungan antara kegiatan pengelolaan lingkungan dengan tingkat pendidikan menunjukkan adanya korelasi yang signifikan. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan mengarahkan masyarakat pada teknik pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Sedangkan hasil analisis chi-square untuk hubungan antara kegiatan pengelolaan lingkungan dengan tingkat pekerjaan tidak memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan. Hal yang dapat menjadi motivasi adalah kesadaran individu untuk berbuat baik untuk menjaga kelestarian lingkungan. Uji statistik deskriptif dengan chi-square pada variabel pendidikan dan atau perkerjaan terhadap potensi kegiatan ekonomi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Kebutuhan dan peminatan terhadap wisata juga
berkaitan dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pada umumnya masyarakat yang mampu menempuh pendidikan yang tinggi memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, sehingga mereka senang terhadap pengembangan wisata. Selanjutnya hubungan antara potensi kegiatan ekonomi terhadap pekerjaan tidak memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan. Tingkat pastisipasi masyarakat di lokasi penelitian berdasarkan Teori Arnstein berada pada tangga pertama Non Participation dan tangga kedua Tokenism, yang bermakna bahwa masyarakat dapat berpendapat seluas-luasnya, namun kesempatan untuk mendapatkan suara dalam menentukan kebijakan masih lemah. Tingkat ini dianalisis mengingat bahwa sudah cukup banyak upaya yang sudah dilakukan masyarakat, mulai dari pengelolaan lingkungan, pengumpulan dana secara swadaya, pembangunan fasilitas, yang kesemuanya masih jauh dari kondisi optimal untuk pengembangan ekowisata. Makna dari tingkat partisipasi ini bahwa tingkat keberdayaan masyarakat terhadap pemerintah dan stakeholders yang lain relatif lemah (powerless). Perumusan strategi dan kebijakan guna pengembangan program ekowisata dalam kajian ini menggunakan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). Responden yang dipilih sebanyak delapan orang berasal dari DPRD, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Kantor Pariwisata, Yadeh (Yayasan Depok Hijau), Swasta (Perencana), Akademisi-UI, dan masyarakat (Lurah). Berdasarkan analisis dengan metode AHP yang telah dilakukan, dapat diperoleh faktor maupun alternatif yang perlu dijadikan prioritas. Pada struktur hirarki AHP, pilihan faktor pengembangan ekowisata terdiri dari Daya Dukung Ekowisata, Konservasi, Peranserta dan Pemberdayaan Masyarakat, serta Usaha Produktif. Pilihan alternatifnya diantaranya Penataan Kawasan, Pembiayaan, Pengembangan Kapasitas Unsur Masyarakat, serta Pengadaan Sarana dan Prasarana. Nilai bobot untuk faktor pengembangan ekowisata menunjukkan faktor peran serta dan pemberdayaan masyarakat adalah tertinggi yaitu 0,344. Rancangan dan penyusunan program pada penelitian ini mengacu pada hasil analisis AHP serta masukan dari arah kebijakan sebagaimana dikutip dari RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) yang disusun Bapeda Kota Depok. Rancangan program dibuat berdasarkan aspek pengembangan terkait ekowisata. Aspek pengembangan tersebut adalah pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dengan program penyusunan kurikulum pendidikan pariwisata dan peningkatan pengelolaan lingkungan hidup. Aspek penataan tata ruang dan pembiayaan, dengan program penguatan kawasan ekowisata, penyusunan Perda, serta perencanaan, pengendalian, pemanfaatan ruang dan bangunan. Aspek pengembangan institusi dan kelembagaan, dengan program peningkatan manajemen dan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas perencanaan dan pengendalian pembangunan. Aspek pengembangan produk wisata dan usaha produktif, dengan program peningkatan manajemen dan pelayanan masyarakat, peningkatan produktivitas usaha koperasi dan UKM, dan pengembangan agribisnis perkotaan. Aspek pengembangan pasar dan pemasaran, terdiri dari sosialisasi dan promosi pengembangan pariwisata. Program peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah lama berjalan di Kota Depok dan setiap tahun pelaksanaanya dapat berkembang sesuai kebutuhan kota. Pelaksanaan program ini berada di dinas teknis yaitu Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerjaan Umum. Beberapa kegiatan yang diturunkan dari program ini sangat banyak mendukung pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Beberapa program yang dirumuskan sudah berjalan dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Depok, namun ada yang diperoleh dari hasil penelitian, diantaranya penyusunan kurikulum pendidikan pariwisata, mengingat aspek tersebut sangat penting untuk ditingkatkan. Program penguatan kawasan wisata adalah program dimana Bapeda terbanyak memiliki peran untuk melaksanakan dan menjalankannya, di samping Dinas Tata Ruang Permukiman. Melalui program penguatan kawasan ekowisata dan penetapan Perda atau revisi RTRW, maka akan memudahkan dinas teknis lainnya untuk mengembangan ekowisata. Namun dalam hal pengembangan kepariwisataan seringkali terbentur oleh kepentingan yang lain, sehingga kekuatannya sangat lemah (powerless). Kata kunci : Ekowisata, Partisipasi masyarakat, Kota Depok