STRATEGI PENGARUSUTAMAAN ISU-ISU KORUPSI DAN INTEGRITAS PADA PERGURUAN TINGGI UNHALU KENDARI1 Oleh: H. Barlian2 ABSTRAK. Data Internation Transparency Tahun 2009, Indonesia berada pada posisi pertama negara terkorup di Asia Tenggara, sedangkan hasil survey yang juga dilansir Internation Transparency tahun 2011 Indonesia masuk 10 besar negara terkorup di dunia, padahal data tahun 2009 Indonesia masih berada pada peringkat 111 dari 180 negara. Kondisi ini menunjukan bahwa betapa negara kita masih sangat rapuh dari aspek pendidikan integritas, minim kejujuran dan tanggungjawab. Mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam beberapa kasus korupsi, kenyataannya sebagian besar mereka yang memiliki pendidikan tinggi, atau luaran pendidikan tinggi. Tentunya kondisi ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan itu sendiri baik secara filosofis maupun menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, yang pada garis besarnya ingin melahirkan generasi bangsa yang berakhlak mulia, jujur, cakap, mandiri, kreatif, tanggungjawab, dan demokratis. Prilaku korupsi termasuk bentuk kecurangan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan karena berdampak pada masyarakat dan bangsa secara luas. Lembaga pendidikan dan lembaga penegak hukum sama-sama memiliki peran penting dalam memberantas praktik korupsi di negeri ini. Akan tetapi, baik lembaga penegak hukum maupun lembaga pendidikan yang diharapkan dapat melakukan upaya-upaya preventif melalui pendidikan integritas dan karakter, penguatan nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai agama, pada umumnya belum berjalan dengan baik. Persoalan mendasar 95 persen pelaku korupsi adalah luaran strata satu (S1). Kondisi ini jelas kontra produktif dengan tujuan pendidikan. Hasil penelitian menunjukan internalisasi nilai-nilai integrasi dan karakter dalam pendidikan belum berjalan dengan baik, baik melalui proses pembelajaran maupun dalam sikap dan prilaku akademik mahasiswa dan dosen. Strategi utama yang harus dilakukan adalah gerakan bersama melawan korupsi baik secara struktural (kebijakan) maupun secara kultural. Mengawali dengan hal-hal yang kecil, anti plagiat dan anti mencontek harus dibudayakan dalam tradisi akademik, gerakan kampanye secara reguler, dan konsistensi kebijakan dalam memberikan punishman bagi yang melanggar kode etik dosen dan mahasiswa. Kata Kunci: Korupsi dan Pendidikan Integritas
Secara filosofis, tujuan pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya yaitu mengembalikan hakikat dan fitrah manusia. Menurut Freire pendidikan adalah proses humanisasi, bukan proses dehumanisasi, sehingga keseluruhan unsur dan proses pendidikan berupaya untuk mengembangkan potensi dan daya kritis manusia (Karim, 2000: 23). Pandangan tersebut memiliki makna bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membangun kesadaran kritis, bebas, kreatif, dan memiliki pemahaman integritas kemanusiaan sebagai mahluk sosial yang bertanggungjawab.
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu aspek tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Instrumen negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah penyelenggaraan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Oleh karenanya, tujuan, proses, dan output pendidikan seharusnya berorientasi pada mencerdaskan kehidupan bangsa, hal ini memiliki makna yang dalam dan fundamental. 1 2
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen FKIP Unhalu Kendari 1
Begitu dalamnya manfaat pendidikan bagi pembentukan diri dan karakter seserorang, sehingga Plato (428-347 SM) pernah mengutarakan “jika anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana: pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berprilaku mulia” (Naim, 2008: th). Pandangan tersebut pendidikan harus diarahkan pada pembentukan sikap dan karakter melalui penguatan ranah afektif, kretaif dan profesional melalui penguatan ranah psikomotorik, pemahaman dan daya kritis melalui penguatan ranah kognitif. Secara formal, penguatan tiga ranah tersebut sesungguhnya telah dirumuskan secara konprehensif dan integratif dalam UU No 2 Tahun 1989, kemudian dirumuskan kembali dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003, yang memiliki enam dimensi, yaitu; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kepribadian mantap dan mandiri, demokratis dan bertanggungjawab terhadap masyarakat dan bangsa (Hasbullah, 2009:11). Jika ditarik pada pemahaman yang lebih spesifik tentang hakikat pendidikan di sini adalah: pertama, untuk membangun spiritual quotient atau kecerdasan spiritual (SQ); kedua, intelektual quotient atau kecerdasan intelektual (IQ); dan ketiga, emosional quotient atau kecerdasan emosional (EQ); Ketiga aspek tersebut merupakan bagian yang integral sehingga pada akhirnya akan membentuk manusia seutuhnya sebagaimana cita-cita dalam bernegara. Kenyataannya, cita-cita itu masih jauh, atau dalam istilah peribahasa jauh panggang dari api. Bangsa kita masih diselimuti oleh segudang krisis multi aspek. Hal yang paling mencengangkan adalah kasus korupsi. Setiap hari berbagai pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik tidak pernah luput dari kasus korupsi. Hal yang paling mengagetkan lagi ketika hasil survey Indonesian Partnership Tahun 2006, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup urutan pertama di Asia. Hal yang sama juga ditunjukan oleh hasil survey yang dilakukan oleh PERC, sejak 3 tahun terkahir Indonesia masih
menempati peringkat pertama kasus korupsi di Asia. Sedangkan Survey International Transparency Tahun 2009 menempatkan Indonesia berada pada ranking 111 dari 180 negara dengan skor 2,8 (Tjandra Sridjaja, 2010:17). Sedangkan data terbaru tahun 2011 dari IT bahwa Indonesia telah masuk 10 besar negara terkorup di dunia. (http://www.unpad.ac.id/archives/46805). Dalam konteks Sulawesi Tenggara juga tiap hari kita disuguhkan dengan pemberitaan kasus korupsi. Fakta-fakta ini tidak terlepas dari bagian kegagalan pendidikan, krisis integritas dan kehilangan roh spritualitas pendidikan. Kebohongan dan inkonsistensi seringkali terjadi dan menjadi hal biasa dalam parkatik kehidupan kita, baik dalam proses pendidikan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan pembiaran mencontek atau bahkan membantu siswa dalam proses pelaksanaan evaluasi dan ujian pendidikan adalah merupakan bentuk krisis integritas dan embrio untuk membangun generasi pembohong dan korup. Menurut Yudi Latif, aib terbesar bagi seorang pemimpin adalah pembohong dan korup. Perilaku korup seseorang selalu dimulai dengan korup terhadap prinsip dan aturan permainan (lihat Kompas, 19 Juli 2011). Jika prinsip dan aturan secara faktual telah dilabrak oleh pelaku pendidikan sendiri, maka bagaimana lembaga pendidikan bisa menghasilkan manusia-manusia yang berbudi luhur, pemimpin yang bertanggung jawab, dan bawahan ataupun rakyat yang saling menghargi satu sama lain. Kenyataan ini tentunya patut direnungkan, karena proses dan output pendidikan dewasa ini semakin kehilangan integritas (krisis integritas). Lalu kaitannya dengan itu pula, di manakah peran perguruan tinggi (PT) sebagai penghasil sumberdaya manusia (SDM)? Apa yang bisa dilakukan untuk memulihkan kembali harapan dan cita-cita bangsa ini? Dalam kontek ini, mau tidak mau Unhalu harus ikut andil baik secara struktural (komitmen kebijakan dan pimpinan) maupun pendekatan kultural yaitu pendidikan integritas dan gerakan bersama, sehingga diperlukan strategi yang lebih baik dan konstruktif.
2
Sridjaja (2010) fenomena tersebut harus menjadi perhatian serius oleh bangsa ini, masalah ini tidak sekedar masalah hukum dan penegak hukumnya saja, akan tetapi merupakan bagian yang kompleks karena terkait dengan mental dan sikap atas seluruh pelaku-pelaku birokrasi. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diapload dari http://gorontalonews.wordpress.com/2011/02/24, Semester II periode 1 Juli sampai 31 Desember 2010 menunjukkan peningkatan jumlah kasus korupsi mencapai 272 kasus yang sudah masuk penanganan penegak hukum. Sebelumnya pada penelitian ICW Semester I sejak Januari sampai Juni 2010, jumlah kasus korupsi mencapai 176 kasus. Sektor dengan jumlah kasus terbesar adalah sektor infrasuktur berjumlah 53 kasus. Sebelumnya sektor keuangan daerah menjadi catatan ICW sebagai sektor kasus tertinggi di semester I mencapai 38 kasus. Dengan demikian terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi di daerah maupun pusat. Menurut Ermansjah (2009:23) kasus-kasus korupsi yang melibatkan hampir sebagian besar birokrasi di Indonesia harus dilakukan dengan pendekatan secara konfrehensif dan lebih mengedepankan upaya pencegahan. Dalam konteks Sulawesi Tenggara, kasus korupsi masih banyak menghiasi berbagai pemberitaan berbagai media. Hasil kajian berita yang dilakukan oleh Lembaga Diskusi dan Kajian Jurnalis (2011), dari rentang pemberitaan yang dimuat oleh koran harian Kendari Pos dan Koran Harian Kendari Ekspres, mulai Januari 2009 sampai Mei 2011, pada rubrik Headline (berita utama) kasus atau isu korupsi menempati urutan kedua setelah isu politik. Kondisi ini menunjukan bahwa pemberitaan masalah korupsi baik skala propinsi maupun kabupaten/kota hampir berbanding dengan berita politik. Hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Sultra tahun 2010, menunjukkan bahwa dari beberapa kasus korupsi baik yang sudah diputus maupun yang sedang diproses, baik ditingkat kabupaten/kota maupun ditingkat propinsi Sultra, banyak terjadi akibat penyelewengan dana APBD. Terkait dengan berbagai kasus korupsi tersebut, baik dalam konteks nasional maupun konteks Sultra, jika ditelusuri lebih dalam
Rumusan Masalah Untuk menfokuskan arah dan capaian penelitian, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi permasalahan pendidikan di Unhalu kaitannya dengan pengarusutamaan isu-isu korupsi dan integritas? 2. Bagaimana kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan Unhalu dalam mengembangkan pengarusutamaan Isu-isu korupsi dan ingetritas? 3. Bagaimana strategi melakukan pengarusutamaan isu-isu korupsi dan integritas di Unhalu Kendari? Tujuan Penelitian Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Melakukan identifikasi kondisi permasalahan pendidikan di Unhalu kaitannya dengan pengarusutamaan isu-isu korupsi dan integritas? 2. Melakukan identifikasi dan rumusan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan Unhalu dalam mengembangkan pengarusutamaan Isu-isu korupsi dan ingetritas? 3. Merumuskan strategi pengarusutamaan isu-isu korupsi dan integritas di Unhalu Kendari? STUDI PUSTAKA DAN ROADMAP PENELITIAN Fenomena Korupsi Menurut data Transparency International Corruption Perception tahun 2011 fenomena korupsi di Indonesia meningkat yaitu berada pada angka 2,5, hal ini menempatkan Indonesia masuk sepluh besar negara terkorup di dunia, hal ini sejajar dengan dengan Nigeria, dan negara-negara miskin lainnya di Afrika dan Asia (http://www.unpad.ac.id/archives/46805). Fakata ini meningkat drastis bila dibandingkan oleh hasil survey yang juga dilakukan oleh Transparency International Corruption Perception tahun 2009 yang menempatkan Indonesia pada urutan 111 negara terkorup di dunia. Menurut Tjandra 3
penyebabnya sangat kompleks. Menurut studi yang dilakukan oleh Muh Yasin dalam Ermansjah Djaja (2010: 19), beberapa faktor penting yang menyebabkan korupsi yaitu: Rendahnya integritas dan profesionalisme. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan. Adanya peluang dilingkungan kerja jabatan dan dilingkungan masyarakat yang mendukung timbulnya korupsi. Sikap yang tamak, lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu. Sistim penggajian yang tidak professional.
seseorang termasuk prilaku korupsi. Tingkat pendidikan pada strata S1 dan S2 paling banyak yang terkait dengan kasus korupsi, hal ini bila dibandingkan dengan tamatan SMA maupun SMP jauh lebih rendah. Data-data tersebut menjukkan masih lemahnya konsep dan muatan pendidikan yang mengarah pada penguatan integritas seorang anak. Menurut Tillaar (2009:12) faktor kelemahan pendidikan saat ini adalah lebih menekankan pada evaluasi yang bersifat kognitif saja yaitu pendidikan intelektual dan hafalan anak, sehingga pada tataran sikap dan mental berupa atitute anak sangat lemah. Kondisi ini sangat relevan dengan kajian Muh Yasin dalam Ermansjah Djaja (2010:6) menempatkan lemahnya integritas dan profesionalisme sebagai faktor utama yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi. Integritas, kejujuran, dan tanggung jawab lebih tepat dibangun dari lembaga pendidikan sejak dini. Muh. Padil (2007:65) menekankan bahwa seharusnya lembaga keluarga harus lebih banyak menanamkan nilai-nilai pada anak sejak kecil, akan tetapi pengaruh lingkungan begitu kuat, maka perlu ada penguatan yang lebih sistematis melalui pendidikan. Pendidikan integritas dengan cara terintegrasi dalam materi pembelajaran, atau berdiri sendiri atau melalui gerakan simultan dari kalangan pelajar, guru, mahasiswa dan dosen, melalui hal-hal yang kecil dan berkelanjutan.
Lemahnya Pendidikan Integritas Secara sosiologis, pendidikan merupakan lembaga yang dapat melakukan transformasi sikap dan integritas, mebangun nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab yang tinggi. Menurut KH Dewantara pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (Hasbullah, 2009: 22). Pengertian tersebut memiliki unsur-unsur fundamental dan relevan dengan konsepsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional yaitu Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Prilaku korupsi adalah bentuk penyelewengan dari hakekat dan tujuan pendidikan itu sendiri, dengan kata lain apa yang menjadi harapan dan tujuan pendidikan belum terjewantahkan dalam kehidupannya. Beberapa fakta menunjukan bahwa sebagian besar pihak yang melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang berpredikat sarjana. Penelitian ICW tahun 2009 menunjukan tingkat pendidikan tenyata tidak memiliki korelasi dengan sikap integritas
Peranan Dunia Kampus dalam Pengembangan Pengarusutamaan Isu-Isu Korupsi dan Integritas Lembaga pendidikan memiliki peranan strategis dalam melakukan perubahan (transformasi) kebudayaan dan perilaku yang membawa kemaslahatan manusia baik dalam kontek bermasyarakat maupun bernegara. Muh. Padil (2007:149) menguraikan fungsi lembaga pendidikan (sekolah/PT) yaitu; (1) transmisi kebudayaan masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai media pengembangan dan pembudayaan pengetahuan dan perilaku masyarakat; (2) menolong individu memilih dan melakukan peranan sosialnya; (3) menjamin integrasi sosial. Artinya melalui sekolah dapat menghindarkan 4
lahirnya perpecahan dan konflik sosial masyarakat; (4) sebagai sumber inovasi sosial. Untuk itu, lembaga pendidikan termasuk PT harus mampu mengembalikan fungsi pendidikan bagi penataan kehidupan sosial masyarakat. Korupsi adalah merupakan kejahatan sosial yang memiki dampak yang kuat bagi hancurnya tatanan kehidupan sosial. Tidak cukup pengendalian korupsi hanya dengan pendekatan struktural misalnya; penegakan hukum atau memperketat sistem, akan tetapi paling urgen juga harus pendekatan kultural yaitu pendidikan anti korupsi sedini mungkin. PT harus dapat memotori ini, sebagaimana selama ini telah di mulai oleh Universitas Paramadina. Sebagai lembaga yang memiliki peran mencetak Sumberdaya Manusia, PT haruslah bersifat dinamis, fleksibel dan mampu merespon segala persoaln-persoalan kebangsaan dan kemanausiaan. Tantangan globalisasi tidak sekedar mengejar ketertinggalan akademik dengan terminologi modernisasi yang kaku. Muhamad Karim (2009) misalnya mengkritisi ideologi pendidikan saat ini yang terjebak pada terminologi korporasi yang hanya fokus pada keterukuran dan hal-hal yang material, misalnya membangun kelas baru, fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan alat-alat yang canggih, dan sebagainya; tetapi lupa dengan hakikatnya sebagai lokomotif perubahan karakter, kepribadian kemanusiaan yang harusnya terintegrasi dalam proses pendidikan.
(2010:204) penggambungan antara fenomenologi organisaction dan case studi. Sasaran dan Penentuan Informan Sasaran utama dalam penelitian ini lebih mengarah pada membangun id participation dari informan dan pakar yang akan ditentukan secara sengaja dengan teknik snow ball sampling. Teknik ini mengacu pada Syah (2003:5) yang menyatakan bahwa strategi dasatr teknik bola salju (snowball sampling) dimulai dengan menetapkan satu atau bebarapa orang informan kunci (key informants) untuk melakukan intevew dan wancara atau disksusi kepada mereka. Selanjutnya pada merekalah mendapatkan petunjuk tentang infoman-infoman selanjutnya khususnya keterkaitan pengetahuan dan pengalamn dengan subjek yang diteliti. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan teknik pertama, (1) Inventarisasi dan kajian Dokumen terkait, yaitu mengumpulkan domumen-dokumen terkait berupa dokumen rencana strategis (renstra) Unhalu, renstra FKIP, Laporan terkahir Rektor Unhalu tahun 2010. (2) wawancara mendalam, yaitu melakukan wawancara secara mendalam kepada informan yang dipilih secara sengaja sesuai dengan kepakaran dan bidang yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini jumlah informan kunci sebanyak 8 orang. (3) Focus Group Discussion yaitu untuk mengkroscek dan mendalami berbagai infomasi yang diperoleh juga terkait dengan membangun konsensus pemahaman dan partisipasi untuk melakukan rumusan strategi. Beberapa kelompok yang terlibat dalam FGD ini yaitu kelompok dosen muda, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kendari, Himpunan Mahasiswa Islam Indoensia (HMI) komisariat FKIP, dan Lingkar Studi Ilmiah Mahasiswa Unhalu.
Dalam konteks Sulawesi, dengan trend perkembangan kasus-kasus korupsi yang terus meningkat, tentunya Unhalu sebagai PT Terkemuka dan menjadi pusat inovasi pengembangan pendidikan di sultra harus berperan aktif dengan segala potensi yang dimilikinya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif yaitu mendiskripsikan data yang diperoleh secara kualitatif sesuai dengan fakta dan informasi yang diperoleh dari informan. Tipe penelitian kualitatif yang dilakukan ini mengacu pada Iskandar
Masalah Pendidikan Integritas di Unhalu Beberapa masalah umum yang diidentifikasi sebagai indikator dari kelemahaman pendidikan saat ini, ditemukan baik melalui wawancara mendalam dengan beberapa pakar 5
kognitif bahkan aspek afektif tidak masuk dalam bagian penilaian pendidikan anak. (4) Masalah fundamental yaitu spiritual quotient atau kecerdasan spiritual (SQ); intelektual quotient atau kecerdasan intelektual (IQ); dan emosional quotient atau kecerdasan emosional (EQ) belum belum berjalan sebagai satu kesatauan yang utuh dalam pendidikan. (5) Interaksi dan integrasi sosial (kaitannya dengan pendidikan multi kultural) belum berjalan dengan baik di kelas. (6) Pendidikan sebagai transformai dan transmisi budaya juga belum efektif berjalan. (7) Pengembangan bahan ajar yang kurang mengakomodir kearifan lokal. Hal ini selain karena kurangnya pemahaman akan berbagai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai input bahan ajar juga kaku dalam menerapkan media pembelajaran. Kedua, Faktor Output yaitu (1) Alumni lembaga pendidikan (khususnya pendidikan formal) menjadi biangkerok kerusakan pengelolaan berbagai instansi pemerintah. Hal ini terjadi karena pendidikan formal hanya berpikir bagaiamana melahirkan generasi pintar tetapi minus moralitas dan tanggungjawab. (2) Image dan persepsi publik dan masyarakat bahwa pekerjaan yang terhormat adalah PNS; akibatanya generasi enterpreneur dan upaya alumni membuka lapangan kerja sendiri kurang berjalan dengan baik, akibat selanjutnya pengangguran meningkat. (3) Tarikan politik oportunisme; menjadikan alumni banyak menghalakan segala cara untuk kepentingan politik; arus Pilkada, Lesgilatif , bahkan Pilkades. Padahal prilaku tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip manusia terdidik, cenderung mengarahkan menjadi manusia yang korup. Dalam kontek Unhalu, ternyata masih menyisihkan berbagai masalah terkait dengan masih lemahnya gerakan pengarusutamaan isuisu korupsi dan pendidikan integritas. Hasil identifikasi menunjukan yaitu: pertama Kebijakan yang belum terlaksana dengan baik. Banyak kebijakan dan goodwill pimpinan yang belum terinternalisiasi dalam sikap maupun pembelajaran dalam lingkup unhalu. Salah satu contohnya yaitu matakuliah Budi pekerti dan Etika yang diinstruksikan oleh Rektor agar menjadi salah satu matakuliah institusi yang masuk dalam kelompok pengembangan
maupun melalui FGD. Pertama, Faktor Input yang meliputi; (1) Komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan pelayanan dan pemerataan akses pendidikan yang layak dalam berbagai jenjang pendidikan pada seluruh pelosok melum merata dengan kata lain masih ada kesenjangan. (2) Arah dan kebijakan, serta sumberdaya/kapasitas pengelolah pendidikan dalam mengembangkan pendidikannya belum relevan dengan kondisi lingkungannya. (3) Belum ada sinergis antara jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, sehingga beban pendidikan karakter dan integritas seolah-seolah hanya menjadi kewenangan dan tanggung jawab sekolah formal, padahal peran lingkungan pendidikan masyarakat dan pendidikan keluarga tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak tersebut. (4) Budaya Patriarki yang masih kuat: anak-anak perempuan belum ditempatkan setara dengan laki-laki terkait hak-haknya memperoleh pendidikan dan keterampilan memadai dalam lingkungan masyarakat dan keluarganya. (4) Komitmen perencanaan keluarga secara umum belum tertata dengan baik; keluarga besar resiko tanggungan pendidikan dan kesejahteraan anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka mestinya semakin besar pula persediaan untuk tanggungan pendidikan, tetapi kenyataannya masih banyak keluarga yang tidak seimbang, sehingga menyebabkan anak-anak mereka terlantar. (5) Iklim Sosial Politik cenderung mempengaruhi eksistensi dan otonomi penyelenggaraan pendidikan yang kondusif dan berkelanjutan. Bahkan berdampak sampai peserta didik termasuk mahasiswa ikut terlibat dalam permainan kepentingan politik, pada akhirnya mereka ini tidak memiliki independensi, integritas dan cenderung memainkan praktikpraktik politik busuk. Kedua, Faktor Proses yang meiputi (1) Kapasitas/kompotensi pendidik yang terbatas: akibatnya pendidikan masih bersifat konvesional dan stagnan, kondisi ini bisa dilihat dari metode dan pedekatan pembelajaran yang dipraktekan di kelas. Masalah terjadi tidak terlepas dari kurangnya penguatan-penguatan kapasitas dan sumberdaya serta kemauan mengembangkan diri bagi setiap tenaga pendidik. (2) Lemahnya pendidikan integritas. (3) Sistim evaluasi pendidikan yang masih dominan pada ranah 6
kepribadian (MPK) dapat diterapkan pada seluruh program studi. Kenyataannya masih ada beberapa program studi yang belum menerapkannya. Hasil penulusuran yang dilakukan misalnya prodi yang belum menerapkannya yaitu prodi berada dibawah naungan jurusan pendidikan MIPA, dan beberapa prodi di FMIPA. Selanjutnya masih ada program studi yang belum memiliki dan menerapkan Standar Operasional Prosedure (SOP), serta tim penegakan Kode Etik yang berjalan dengan baik. Kedua, Komitmen tenaga pendidik (dosen) dan tenaga administrasi. Salah satu kompotensi yang mestinya dimiliki oleh dosen dan tenaga administrasi adalah kompotensi profesional dan personal yang harus ditunjukan dalam setiap kinerjanya. Hasil FGD dengan mahasiswa menunjukan bahwa masih ada model pembelajaran yang menekan dan tidak memberikan contoh yang baik pada mahasiswa. Disamping itu pula tenaga administrasi masih ada oknum yang tidak memberikan pelayanan yang prima jauh dari sikap dan bentuk profesionalisme. Padahal salah satu kebijakan pimpinan periode ini adalah memberikan pelayanan secara profesional dan ikut serta melawan tindakan korupsi. Ketiga, Evaluasi pendidikan yang belum integral (kognitif, afektif dan psikomotorik). Evaluasi pembelajaran mahasiswa yang dilakukan selama ini, dari hasil wawancara pada beberapa dosen menunjukan evaluasi hanya pada aspek kognitif saja. Hal terjadi karena sampai saat ini belum ada instrumen yang tepat untuk melakukan evaluasi dari aspek efektif. Disamping itu tentunya membutuhkan komitmen dan kemauan dosen dalam menerapkan aspek-aspek afektif dan psikomotorik. Penilaian afektif tentunya membutuhkan rubrik pengamatan dan membutuhkan kesabaran dan keseriusan bersama. Keempat, Belum ada konsistensi antara nilai dengan sikap. Masalah ini tidak saja terjadi pada mahasiswa, juga terjadi pada dosen dan tenaga administrasi. Kelima, Anti korupsi belum menjadi gerakan bersama. Isu perlawanan terhadap korupsi atau biasa disebut dengan gerakan anti korupsi sebenarnya telah menjadi gerakan nasional dan isu yang sudah tidak asing lagi dalam dunia akademik seperti Unhalu.
Keenam, Gerakan mahasiswa dan tarikan oportunisme. Prilaku korupsi yang melibatkan beberapa oknum pemerintahan, legislatif dan swasta tidak terlepas dari pengaruh dan prilaku negatif saat mereka menjadi mahasiswa, salah satu diantaranaya adalah gaya hidup hedonis dan tarikan oportunisme. Ketuju, Proses pembelajaran yang tidak sehat dan profesional. Salah satu bagian dan moment yang tepat dalam membentuk karakter dan integritas mahasiswa adalah dalam proses pembelajaran. Misalnya disiplin, adil dan demokratis serta metode pembelajaran yang partisipatif dan menyenangkan. Melalui metode yang tepat dan gerakan kecil-kecilan akan berdampak besar bagi pembinaan dan pembentukan karakter. Sebaliknya dengan metode pembelajaran yang tidak tepat misalnya menakut-nakuti, menegangkan, dosen sebagai otoritas penentu kebenaran, tidak adil dalam penilaian, tidak menegakan sistim reward dan punishman, dan tidak berbabsis budaya dan lingkungan sisiwa semuanya akan berdampak pada pembentukan karakter pembangkan dan penipu, tentunya ini merupakan embrio prilaku korupsi. Kekuatan, Tantangan
Kelemahan,
Peluang
dan
Kekuatan Secara internal, hasil identifikasi kekuatan diperoleh (1) Sumber daya manusia lumayan besar yaitu ditopang oleh jumlah dosen sebanyak 961 orang dengan jumlah guru besar sebanyak 39 orang. (2) Jumlah fakultas dan prodi semakin banyak dengan fasilitas memadai, saat ini telah tersedia sebanyak 8 Fakultas dengan 43 program studi Strata-1 (S1) dan 9 program studi Diploma, 8 Program studi Strata-2 (S2) dan 3 Program Studi Strata 3 (S3). (3) Jumlah mahasiswa yang banyak tersebar pada berbagai bidang keilmuan, saat ini baik reguler maupun nono reguler jumlah mahasiswa sekitar 28.000 orang. (4) Jaringan yang luas, dimana Unhalu saat ini telah membangun kerjasama yang luas baik dengan universitas maupun dunia swasta dalam maupun di luar negeri. (5) Adanya lembaga kemahasiswaan baik intra mupun ekstra, sebagai wadah mahasiswa dalam 7
mengembangkan diri dan melakukan bentukbentuk pemberdayaan dan pembelajaran di luar perkualiahan, jika dikembangkan dan disuport tentunya menjadi suatu kekuatan besar, karena hampir sebagian besar pelaku-pelaku yang mengatur negara kita (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) ditempa melalui organisasi tersebut.
peluang untuk menawarkan kerjasama untuk mengembangkan program pengarusutamaan isuisu korupsi. (4) Dukungan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini jelas sebagai lembaga pendidikan resmi dan terkemuka di Sultra menunjukan dukungan PEMDA sangat kuat. (5) Legitimasi dan kepercayaan masyarakat bagi Unhalu masih kuat indikatornya jumlah peminat semakin meningkat untuk masuk dan ditempa di Universitas ini.
Kelemahaman Hasil identifikasi kelemahan, secara internal diperoleh beberapa masalah yaitu (1) Nilai-nilai integritas belum terinternalisasi dalam sikap maupun proses pembelajaran, misalnya; sikap seorang dosen, prilaku mencontek, dan plagiat dalam penulisan karya ilmiah. (2) Materi anti korupsi belum terintegrasi dalam pembelajaran, apakah terintegrasi dalam mata kuliah tertentu atau berdiri sendiri. (3) Beberapa mata kuliah untuk pembelajaran etika dan karakter belum merata diterapkan pada semua program studi. (4) Sistim penilaian hanya spek kognitif saja, padahal aspek yang paling vital dalam mengukur sikap da karakter seorang anak adalah harus melalui penilaian afektifnya. (5) Belum ada kebijakan khusus dalam bentuk program untuk gerakan anti korupsi di dalam kampus, baik terstruktur dalam lembaga resmi kampus maupun lembaga-lembaga kemahasiswaan. (6) Gerakan mahasiswa yang terkontaminasi dengan kepentingan politik dan oportunisme, akhirnya berdanpak pada praktekpraktek yang identik dengan prilaku korup khususnya terjadi saat mereka setelah sarjana.
Tantangan Hasil identifikasi dan rumusan aspek tantangan diperoleh (1) Prilaku dan budaya nakal, manja dan suka mencontek saat sekolah tingkat SMA atau SMP, hal ini terbawa-bawa pada tingkat ketika mereka menjadi mahasiswa. (2) Tarikan kepentingan politik, hal ini sangat jelas karena dengan adanya sistim pemilihan langsung baik kepala daerah maupun legislatif menuntut mereka meluaskan jaringan dan permintaan dukungan dari pihak kampus baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa. (3) Gaya hidup oportunisme dan budaya korup yang menjangkit dan menular, hal ini melanda hampir sebagian besar mahasiswa karena ideologi kapitalisme dan tuntutan gaya hidup, padahl jauh dari nilai-nilai budaya dan agama. (4) Para koruptor dan politisi busuk cenderung mencari perlindungan dan dukungan dari kalangan kampus baik pada dosen maupun mahasiswa. Tidak jarang mahasiswa melakukan demonstrasi hanya karena mendukung kepentingan individu bukan rakyat. (4) Keprihatinan dan perhatian publik terhadap masalah korupsi belum besar. (5) Lemahnya pendidikan luar formal (masyarakat dan keluarga). Padahal pendidikan sikap anak sangat besar pengaruhnya dari jalur keluarga dan lingkngannya.
Peluang Secara eksternal, beberapa peluang diidentifikasi dan dirumuskan antara lain (1) Jaringan dan kerjasama yang sudah mulai terbangun dengan baik, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa universitas yang sudah mengembangkan dan dapat dijadikan kerjasama misalnya Universitas Paramadina, TIRI ataupun USAID. (2) Unhalu sebagai pencetak SDM di Sultra, memiliki peran strategis dan memiliki legitimasi yang kuat dibidang pengembangan SDM di Sultra. (3) Unhalu sebagai lumbung pakar dan refrensi bagi pembangunan daerah di Sultra, peluang ini dapat menjadi satu alasan
Strategi Pengarusutamaan Isu-Isu Korupsi dan Integritas di Unhalu Langkah strategis dalam rancangan ini mengacu pada hasil analisis masalah dan SWOT, dengan demikian merupakan bagian dari menjawab dan atau solusi bagi permasalahan yang ada dan berbasis pada kebutuhan stakeholders yang akan terlibat dalam gerakan melawan korupsi melalui pendidikan integritas. 8
Secara struktural, acuan utama dari strategi ini yaitu visi Unhalu: “Universitas Haluoleo yang maju, bermartabat, berbudaya akademik dalam rangka membangun sumber daya manusia cerdas komprehensif secara berkelanjutan”. Visi yang sangat ideal dan salah satu term yang harus dikembangkan disini adalah bermartabat dan berbudaya akademik melalui pengembangan SDM yang cerdas konfrehensif, dalam makna yang lebih luas tentunya cerdas hanya tidak pada intelektualnya saja akan tetapi dari aspek emosional dan spritualnya. Inilah yang menjadi pintu masuk dari strategi pengarustamaan isu-isu korupsi sangat mendukung apa yang menjadi visi Unhalu.
9
Visi
Civitas akademik dan alumni Unhalu memiliki nilai-nilai integritas dan komitmen untuk melawan korupsi dimanapun mereka berada.
Misi Strategis
1. Membangun gerakan anti korupsi dan pendidikan integritas secara berkelanjutan dan simultan oleh seluruh lembaga kampus dan kemahasiswa melalui suatu bentuk kerjasama 2. Penguatan kapasitas dan kesadaran melalui suatu kebijakan dan program terkait dengan pendidikan integritas dan isu-isu anti korupsi. 3. Internalisasi pendidikan integritas dan pendidikan anti korupsi dalam proses pembelajaran mahasiswa.
Misi Strategis 1: Tujuan Strategis 1. Mengembangkan bentuk gerakan dan program anti korupsi melalui suatu bentuk kerjasama
2. Meningkatnya bentuk gerakan dari lembagalembaga kemahaiswaan baik melalui bentuk kampanye maupun diskusidiskusi intensif
Sasaran Startegis Output Program strategis Adanya suatu 1. Dalam waktu 2 tahun Unhalu telah melakukan bentuk gerakan dan kerjasama dengan TIRI, Universitas program kerjasama Paramadina maupun lembaga donor luar untuk melakukan negeri, yang ditandai dengan suatu bentuk gerakan anti MOU korupsi di dalam 2. Seminar, workshop, maupun kampanyekampus kampnye anti korupsi tiap tahun meningkat minimal 10 %. Terjalinnya 1. BEM mapun lembaga ekstra seperti PMII, kerjasama antara HMI, IMM, dan Kelompok Mushola rutin lembaga melakukan gerakan anti korupsi. kemahasiswaan 2. Dalam programnya melakukan bentuk-bentuk baik ekstra maupun pertanggungjawaban yang sesuai dengan intra kampus dalam nilai-nilai integritas dan transparan. melakukan 3. Tidak melakukan kekerasan dalam setiap kegiatan-kegiatan gerakannya. anti korupsi dan 4. Mendukung suasana akademik yang disiplin, penguatan demokratis dan bermutu melalui tindakan integritas. kongkrit terhadap anggotanya. 5. Mengembangkan budaya jujur dalam kegiatan akademik, tidak mencontek dan memalsukan tulisan orang lain sebagai karya ilmiahnya.
Misi Strategis 2: Tujuan Strategis Meningkatkan kapasitas dan kesadaran melalui suatu kebijakan dan program terkait dengan pendidikan integritas dan isuisu anti korupsi
Output Adanya kebijakan yang kuat dan meningkatnya kapasitas dan kesadaran para dosen dan tenaga administrasi dalam
Sasaran Startegis Program strategis 1. Optimalisasi pelatihan dosen dan tenaga administrasi terkait pelayanan pendidikan secara prima dan profesional sesuai nilai-nilai integritas 2. Optimalisasi pelatihan pekerti secara bertingkat dan berkelanjutan 3. Implementasi kebijakan rektor untuk menciptakan susana akademik yang sehat dan pelayanan yang profesional melalui suatu bentuk pengawasan yang brkelanjutan 10
mendukung pengarusutamaa n isu-isu korupsi dan integritas
4. Gerakan anti mencontek dan anti palagiat ditandai dengan suatu bentuk workshop dan langkahlangkah inforcemen. 5. Kampanye anti korupsi dan anti suap dapat dilakukan baik dalam bentuk talk show, baleho yang dapat dipasang pada pusat-pusat pelayanan, setiap prodi dan melalui suatu disksui reguler. 6. Melakukan evaluasi bersama masing-masing fakultas dalam bentuk “talk breek” setiap awal semester untuk mengevaluasi semester sebelumnya dan merancang perbaikan proses semester yang akan berjalan, dihadiri oleh seluruh dosen di masing-masing fakultas.
Misi Strategis 3: Tujuan Strategis Internalisasi pendidikan integritas dan pendidikan anti korupsi dalam proses pembelajaran mahasiswa
Sasaran Startegis Output Terselenggaranya proses pendidikan yang berbasis pendidikan integritas dan pendidikan anti korupsi.
Program strategis 1. Setiap program studi merancang suatu mata kuliah yang memuat nilai-nilai anti korupsi apakah berdiri sendiri dalam satu mata kuliah, maupun terintegrasi dalam beberapa mata kuliah tertentu. 2. Dalam waktu minimal 1 tahun semua dosen yang menyelenggarakan pembelajaran dengan mengacu pada SAP yang berbasis karakter sehingga dapat dilengkapi dengan rubrik penilaian pengamatan afektif. 3. Penilaian dosen harus berbasis pada tiga bentuk penilaian yaitu penilaian kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga dalam waktu 1 tahun telah ada suatu konsesus tentang interumen yang dipakai bersama dalam mengimpelementasikan penilaian tersebut. 4. Semua prodi telah mengembangkan dan menerapkan SOP dalam pelayanan akademik baik dosen maupun mahasiswanya. 5. Penegakan kode etik secara tegas dan konsisten.
11
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan uraian dan rancangan rumusan strategis tersebut maka dapat disimpulkan (1) Secara umum perkembangan dan kebijakan pendidikan nasional telah menunjukan perbaikan dan perkembangan yang lebih baik namun masih menyisahkan masalah berupa luaran pendidikan yang minim karakter dan integritas, hal ini disebabakan beberapa masalah baik dari segi input proses maupun output, kondisi ini juga terjadi di lingkup Unhalu. (2) Sebagai perguruan tinggi negeri terkemuka di Sultra, Unhalu memiliki kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, dapat dianalisis dalam melahirkan suatu rancangan strategis kuat dan realistis. (3) Strategi pengarusutamaan isu-isu korupsi di lingkup Unhalu mengembangkan bentuk gerakan bersama civitas akademik, melalui kampanye, diskusi-diskusi intensif, regulasi kebijakan dan program terkait dengan pendidikan integritas dan isu-isu anti korupsi, dan Internalisasi pendidikan integritas dan pendidikan anti korupsi dalam proses pembelajaran mahasiswa. Hal-hal yang dapat disarankan yaitu (1) Kepada pemerintah untuk segerah melakukan langkah-langkah antisipatif dan kebijakan tentang pembangunan karakter dan nilai-nilai integrasi melalui pendidikan formal. (2) Kepada pimpinan Universitas Haluoleo untuk segera merumuskan kebijakan dan langkah-langkah kongkrit terkait dengan permasalahan minimnya integritas dosen dan mahasiswa misalnya perlunya gerakan anti mencontek, anti plagiat, gerakan anti demonstrasi bayaran, termasuk mendorong program studi untuk melakukan internalisasi nilai-nilai integritas dan karakter dalam mata kuliahnya.
Barlian. 2010. Gerakan Mahasiswa di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Makassar: Disertasi UNM. Djaja, Ermansjah. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pusataka Pelajar. Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. http://www.unpad.ac.id/archives/46805 Indonesia Coruption Watch (ICW), 2011. Data Korupsi di Indonesia, diapload dari http://gorontalonews.wordpress.com/2011 /02/24 Karim, Muhamad. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Latif, Yudi. Pesona yang Pudar. Media Haria Kompas, 19 Juli 2011 Laporan Rektor Unhalu, 18 Agustus 2011. Lembaga Diskusi dan Kajian Jurnalis (LDKJ), 2011. Pemetaan Rubrik Media Cetak Kendari Pos dan Kendari Ekspress di Sultra. Naim, Ngainun. 2008. Pendidikan Multi Kultural; Konsep dan Aplikasi. Cv. ArRuzz Media. Jogyakarya. Padil, Mohamad. 2007. Sosiologi Pendidikan. Malang: UIN- Malang Press. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. 2010. Orientasi Kebijakan Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Konawe Selatan dan Kolaka. Renstra Unhalu Tahun 2009-2014 Sridjaja, Tjandra. 2010. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyers Club. Tilaar, HAR. 2001. Membanahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta Tunggal, Amin Widjaja. 2010. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan dan Korupsi. Tanpa Tempat Terbit: Harvarindo.
12
PROFIL PEMETAAN HASIL UJIAN NASIONAL SMA DI KABUPATEN BOMBANA1 Oleh: Jamiludin2 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil Ujian Nasional (UN) SMA di Kabupaten Bombana. Prosedur penelitian terdiri dari: (1) Persiapan, (2) Studi dokumentasi (dokumen nilai UN), (3) Pengolahan dan analisis data, dan (4) Penyusunan laporan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil UN di kabupaten Bombana berada pada kategori sedang dan berada di atas standar minimal kelulusan yang ditetapkan. Kata kunci: Pemetaan, Ujian Nasional, kompetensi dasar
disebabkan oleh kuatnya sikap permisif masyarakat yang cenderung membiarkan berbagai perilaku anomali sosial berlangsung di tengahtengah panggung kehidupan sosial. Ketiga, guru dinilai kurang kreatif dalam melakukan inovasi pembelajaran, baik dalam pemilihan materi ajar, metode pembelajaran, maupun media pembelajaran, sehingga siswa didik cenderung pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer pembelajaran di kelas. Berdasarkan data Nilai UN Murni persentase siswa dengan nilai < 6.00 sebagai berikut. Untuk jurusan IPA pada tahun 2007/2008, BIND (7.52), BING (5.26), MAT (20.68), FIS (21.43), KIM (2.26), BIO (4.89). Tahun 2008/2009, BIND (42.66), BING (5.78), MAT (0.88), FIS (7.1), KIM (0.00), BIO (37.33). Sedangkan tahun 2009/2010, BIND (22.04), BING (24.91), MAT (12.66), FIS (10.61), KIM (8.57), BIO (58.37).
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu prasyarat utama dalam meningkatkan martabat dan kualitas bangsa. Berbagai cara ditempuh agar mendapatkan hasil yang optimal, mulai dari penyusunan program sampai evaluasi dan perbaikan serta pengayaan. Masyarakat atau pengguna dari hasil pendidikan umumnya hanya melihat dari satu sisi bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hasil ujian akhir nasional. Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi siswa secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian ini bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta sebagai penentuan kelulusan siswa. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa, antara lain: Pertama, kurangnya motivasi siswa didik untuk meraih nilai akademis yang tinggi. Hal itu disebabkan oleh situasi dan kondisi pendidikan dalam lingkungan keluarga yang kurang mendukung. Kedua, merebaknya sikap instan yang melanda kehidupan kaum remaja. Hal ini 1 2
Untuk jurusan IPS pada tahun 2007/2008, BIND (26.28), BING (36.95), MAT (47.25), EKO (7.9), SOS (17.35), GEO (44.33). Tahun 2008/2009, BIND (51.54), BING (6.76), MAT (11.86), EKO (24.23), SOS (26.41), GEO (31.00). Sedangkan tahun 2009/2010, Jurusan IPS: BIND (41.35), BING (31.80), MAT (14.60), EKO (49.99), SOS (49.01), GEO (23.89).
Ringkasan Hasil Penelitian PPMP tahun 2011 Dosen Pend. Sejarah FKIP Unhalu 13
Dari data di atas terlihat bahwa untuk jurusan IPA mata pelajaran Fisika, Bahasa Indonesia dan Biologi merupakan mata ujian dengan jumlah siswa yang memiliki nilai < 6.00 adalah yang terbesar. Sementara itu, untuk jurusan IPS, mata pelajaran dengan persentase tertinggi dari siswa yang memiliki nilai < 6.00 adalah mata pelajaran Geografi, Matematika, Sosiologi, Bahasa Indonesia, dan Ekonomi. Kenyataan ini memberi indikasi bahwa penguasaan terhadap beberapa kompetensi dasar yang ada masih relatif rendah.
seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi, agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah, baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstrakurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya. Sedangkan mutu dalam konteks pendidikan, pengertiannya meliputi input, proses dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Misalnya: sumberdaya, perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: ”bagaimanakah gambaran profil hasil UN Jurusan IPA dan IPS siswa SMA di kabupaten Bombana?” TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran profil hasil UN Jurusan IPA dan IPS siswa SMA di kabupaten Bombana. METODE Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Bombana tahun 2011. Pengumpulan data dilakukan melalui metode studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data, (2) organisasi data, dan (3) interpretasi data. TINJAUAN PUSTAKA Mutu Pendidikan Dalam dunia pendidikan, mutu adalah agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang paling penting. Jerome S. Arcaro, (2007) mutu adalah sebuah proses struktur untuk memperbaiki keluaran yang di hasilkan. Umaedi, (1999) menjelaskan bahwa mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input, 14
berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari proses disebut output. Dalam konteks pendidikan mikro (tingkat kelembagaan/sekolah) proses dimaksud adalah pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Output pendidikan adalah merupakan kenerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat di ukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktifitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya serta moral kerjanya. Sedangkan dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar proses untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor penentu mutu pendidikan yang dikemukakan oleh Sanjaya (2006) meliputi: a) Tujuan Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. b) Guru Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan strategi pembelajaran. Aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru diantaranya: (1) Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka; (2) Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru misalnya pengalaman latihan profesional, tingkatan pendidikan, pengalaman jabatan; dan (3) Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru misalnya sikap guru terhadap siswa,
kemampuan atau intelegensi guru, motivasi dan kemampuan dalam penguasaan materi. c) Siswa Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi : (1) Latar belakang siswa (pupil formative experience); dan (2) Sifat yang dimiliki siswa (pupil properties). d) Sarana dan prasarana Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. e) Kegiatan pembelajaran Pola umum kegiatan pembelajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dan anak didik dengan bahan sebagai perantaranya. f) Lingkungan Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran dan (2) Faktor iklim sosial–psikologis meliputi keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. g) Bahan dan alat evaluasi Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan dan alat yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. h) Suasana evaluasi Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di dalam kelas. Semua anak didik dibagi menurut kelas masing-masing dan tingkatan masingmasing. Besar kecilnya jumlah anak didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan mempengaruhi suasana kelas sekaligus mempengaruhi suasana evaluasi yang dilaksanakan. Lebih lanjut, komitmen pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan telah dituangkan dalam Permendiknas Nomor 63 tahun 2009 berupa suatu model sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Dalam implementasinya 15
model ini terdiri dari 3 (tiga) kegiatan inti yang meliputi: pengkajian mutu, analisis dan pelaporan, serta peningkatan mutu. Sebagai acuan atau tolok ukur mutu pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) Standar Isi; (2) Standar Kompetensi Lulusan; (3) Standar Penilaian; (4) Standar Proses; (5) Standar Pengelolaan; (6) Standar Sarana dan Prasarana; (7) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan (8) Standar Pembiayaan. Sehingga diharapkan dokumen delapan standar nasional pendidikan ini menjadi dokumen wajib bagi setiap sekolah untuk dimiliki, dikaji, dianalisis dan diimplementasikan di sekolah masing-masing.
pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan. f) Perbaikan berkelanjutan. Prinsip dasar mutu adalah perbaikan secara terus-menerus (berkelenjutan) langkah ini dilakukan secara konsisten menemukan cara menangani masalah dan membuat perbaikan yang diperlukan. Kompetensi siswa Kompetensi adalah kemampuan yang harus dikuasai seseorang. Becker, (1977) dan Gordon, (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam dokumen kurikulum (Boediono, 2000:4) mengemukakan bahwa kemampuan dasar diartikan sebagai uraian kemampuan atas bahan dan lingkup ajar secara maju dan berkelanjutan seiring dengan perjalanan siswa untuk menjadi mahir dalam bahan dan lingkup ajar yang bersangkutan. Bahan ajar itu sendiri dapat berupa : lahan ajar, gugus isi, proses, dan pengertian konsep”. Kemudian, dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi yang diterbitkan bulan Agustus 2001, Balitbang mengganti istilah kemampuan dasar dengan kompetensi. Kompetensi dirumuskan sebagai berikut: “kompetensi dasar merupakan uraian kemampuan yang memadai atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai materi pokok. Kemampuan itu harus dikembangkan secara maju dan berkelanjutan seiring dengan perkembangan siswa”. Selanjutnya dikemukakan “dalam kurikulum berbasis kompetensi, metode, penilaian, sarana dan alokasi waktu yang digunakan tidak dicantumkan agar guru dapat mengembangkan kurikulum secara optimal berdasarkan kompetensi yang harus diicapai dan disesuaikan dengan kondisi setempat.” (Balitbang, 2001). Pengertian kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Dalam pengertian ini berbagai definisi telah dikemukakan orang. Pengertian di atas dapat dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wolf, (1995), Debling, (1995), Kupper dan Palthe. Wolf, (1995:40) mengatakan bahwa Debling, (1995:80) mengatakan “competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance expected in employment”.
Sekolah Bermutu Sekolah bermutu sangat erat kaitannya dengan adanya keterlibatan masyarakat secara totalitas di dalamnya. Mutu menuntut adanya komitmen pada kepuasaan pelanggan yang memungkinkan adanya perbaikan pada para karyawan, siswa dalam mengerjakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Berkenaan dengan sekolah bermutu, ada beberapa model (karakteristik) sekolah bermutu yang dikemukakan oleh Jerome S. Arcaro, (2007) diantaranya adalah: a) Fokus pada kostumer. Dalam meningkatkan penyelenggaraan mutu pendidikan sekolah harus melayani kebutuhan kostumer baik internal maupun eksternal. b) Keterlibatan total. Semua komponen yang berkepentingan (warga sekolah dan warga masyarakat dan pemerintah) harus terlibat secara langsung dalam pengembangan mutu pendidikan. c) Pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan cara evaluasi, evaluasi ini dijadikan acuan dalam meningkatkan penyelenggaraan mutu pendidikan. Salah satu bagian yang sering dijadikan instrumen pengukuran adalah nilai prestasi siswa. d) Komitmen. Hal lain yang menyangkut pendidikan bermutu adalah adanya komitmen bersama terhadap budaya mutu utamanya komite sekolah dan pemerintah. e) Memandang pendidikan sebagai sistem. Pandangan seperti ini akan mengeliminasi
16
Sedangkan Kupper dan Palthe mengatakan “competencies as the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequaletym to find solutions and to realize them in work situations. Selanjutnya, Tucker dan Coding, (1998) standar dirumuskan sebagai pernyataan mengenai kualitas yang harus dikuasai dan dapat dilakukan siswa dalam sustu pelajaran, yang ditentukan sejak awal, disetujui oleh para akhli pendidikan dan masyarakat, terukur, dan digunakan untuk mengembangkan materi, proses belajar serta evaluasi hasil belajar. Sehubungan dengan kompetensi seorang siswa, pemerintah telah menyatakan merumuskan standar kompetensi lulusan (SKL) yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan (PP Nomor 19 Tahun 2005 Bab I Pasal 1 butir 4). Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006' pasal 1 ayat 2); Selanjutnya, dinyatakan Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan pengetahuan kepribadian akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 26 ayat 2). Komponen SKL terdiri atas SKL Satuan Pendidikan, SKL Kelompok Mata Pelajaran' dan SKL Mata Pelajaran (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006). Sedangkan SKL Ujian merupakan representasi dari keseluruhan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran; Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006' pasal 1 ayat 1).
Jumlah siswa yang mengikuti UN di kabupaten Bombana, untuk jurusan IPA: tahun 2008 berjumlah 266 siswa tersebar pada 6 sekolah, tahun 2009 berjumlah 225 siswa tersebar pada 6 sekolah (turun 15.41%), dan tahun 2010 berjumlah 245 yang tersebar pada 7 sekolah (naik 8.88%). Untuk jurusan IPS: tahun 2008 berjumlah 582 siswa yang tersebar pada 9 sekolah, tahun 2009 berjumlah 784 siswa yang tersebar pada 11 sekolah (naik 34.70%), dan tahun 2010 berjumlah 808 siswa yang tersebar pada 16 sekolah (naik 3.06%). 3. Persentase kelulusan siswa di Kabupaten Bombana Peningkatan jumlah siswa peserta ujian UN dalam kenyataannya belum diikuti dengan meningkatnya persentase kelulusan siswa jurusan IPA dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 persentase kelulusan mencapai 100%, namun tahun berikutnya turun 14.69%. Hal serupa untuk jurusan IPS juga naik pada tahun 2009 sebesar 91.45%, namun pada tahun 2010 persentase kelulusan turun signifikan sebesar 21.41% dari tahun sebelumnya. Data ini memperlihatkan dengan jelas dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kelulusan siswa menurun. Lebih dari itu, penurunan terbesar terjadi pada tahun 2010. Hal ini juga menunjukkan bahwa rata-rata angka siswa mengulang lebih dari 1 % per tahun belum memenuhi kriteria standar pelayanan minimal untuk aspek produk sekolah. 4. Gambaran Pemetaan Kompetensi Siswa SMA di Kabupaten Bombana Hasil analisis data meliputi 2 bagian, yaitu: (a) deskripsi nilai UN murni, dan (b) distribusi nilai UN murni.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sebaran Sekolah di Kabupaten Bombana Jumlah SMA di kabupaten Bombana saat ini sebanyak 16 unit dengan rincian 7 unit sekolah negeri dan 9 unit sekolah swasta. (BPS Bombana, 2011). 2. Perkembangan Siswa yang Mengikuti UN di Kabupaten Bombana 17
a. Deskripsi Nilai UN Murni di kabupaten Bombana Tabel 1. Nilai UN Murni Jurusan IPA di Kabupaten Bombana Bahasa Bahas MateNilai UN Biolog Indo. a matika Fisika Kimia Murni i Inggris Rerata St. min. 2008 (5.25), 2009 (5.50), 2010 (5.50) kelulusan 7.13 7.31 6.80 7.09 7.71 7.02 Rata-Rata 6.02 7.29 8.54 7.38 8.83 6.64 6.83 6.46 7.24 7.01 7.41 5.60 4.40 4.80 0.75 4.25 5.25 5.25 Terendah 4.00 5.00 5.00 4.00 7.00 4.00 2.00 1.60 2.50 2.00 4.75 3.00 9.20 9.00 9.00 8.50 9.50 9.25 Tertinggi 7.80 9.40 10.00 9.25 10.00 9.00 9.00 8.00 9.50 9.00 9.25 8.50 Tabel 2. Nilai UN Murni Jurusan IPS di Kabupaten Bombana Bahasa Bahas MateEkoSosioGeoNilai UN Indo. a matika nomi logi grafi Murni Inggris Rerata St. min. 2008 (5.25), 2009 (5.50), 2010 (5.50) kelulusan 6.55 6.51 5.74 7.33 6.98 6.01 Rata-Rata 5.84 7.21 7.45 6.78 6.37 6.62 6.11 6.26 7.58 5.83 5.84 6.80 2.00 2.60 1.25 3.25 2.75 2.25 Terendah 2.60 3.80 1.00 2.50 2.50 2.75 1.80 1.20 0.75 1.50 1.40 1.60 8.60 9.20 9.25 9.25 9.00 8.50 Tertinggi 8.60 9.20 9.50 8.75 8.25 8.25 9.20 8.60 9.50 8.50 8.40 9.20
Jumla h Nilai
43.06 44.70 40.55 37.15 36.95 26.00 51.00 52.75 49.00
Jumla h Nilai
39.12 40.27 38.42 24.65 28.35 13.85 49.85 47.95 46.20
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa secara kumulatif rerata nilai UN murni baik jurusan IPA maupun IPS di kabupaten Bombana cenderung menurun pada beberapa mata pelajaran, seperti tampak pada grafik berikut. Grafik 1. Nilai UN Murni Jurusan IPA di Kabupaten Bombana
18
Grafik 2. Nilai UN Murni Jurusan IPS di Kabupaten Bombana
b. Distribusi Nilai UN Murni Tahun di kabupaten Bombana Selanjutnya, gambaran sebaran nilai UN murni jurusan IPA di kabupaten Bombana tahun 2008 sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (7.52%), bahasa Inggris (5.26%), matematika (20.68%), fisika (21.43%), kimia (2.26%), biologi (4.89%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2008 Rentang Nilai
10.00
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Fisika
Kimia
Biologi
Rerata Nilai
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.00 - 9.99
3
1.13
3
1.13
2
0.75
-
-
31
11.65
1
0.38
-
-
8.00 - 8.99
56
21.05
82
30.83
53
19.92
81
30.45
97
36.47
55
20.68
22
8.27
7.00 - 7.99
104
39.10
82
30.83
65
24.44
95
35.71
81
30.45
63
23.68
137
51.50
6.00 - 6.99
83
31.20
85
31.95
91
34.21
33
12.41
51
19.17
134
50.38
107
40.23
5.25 - 5.99
11
4.14
12
4.51
36
13.53
32
12.03
6
2.26
13
4.89
-
-
4.25 - 5.24
9
3.38
2
0.75
18
6.77
25
9.40
-
-
-
-
-
-
3.00- 4.24
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.00 - 2.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.00- 1.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.01 - 0.99
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkLkp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.38 -
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (26.28%), bahasa Inggris (36.95%), matematika (46.73%), ekonomi (7.90%), sosiologi (17.35%), geografi (44.33%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
19
Tabel 4. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2008 Rentang Nilai
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Ekonomi
Sosiologi
Geografi
Rerata Nilai
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.00 - 9.99
-
-
6
1.03
1
0.17
9
1.55
2
0.34
-
-
-
-
8.00 - 8.99
60
10.31
90
15.46
9
1.55
190
32.65
160
27.49
32
5.50
1
0.17
7.00 - 7.99
196
33.68
137
23.54
84
14.43
192
32.99
148
25.43
153
26.29
117
20.10
6.00 - 6.99
173
29.73
134
23.02
213
36.60
145
24.91
171
29.38
139
23.88
364
62.54
5.25 - 5.99
60
10.31
108
18.56
92
15.81
35
6.01
63
10.82
90
15.46
88
15.12
4.25 - 5.24
67
11.51
89
15.29
140
24.05
9
1.55
31
5.33
120
20.62
11
1.89
3.00 - 4.24
24
4.12
15
2.58
29
4.98
2
0.34
6
1.03
43
7.39
1
0.17
2.00 - 2.99
2
0.34
3
0.52
11
1.89
-
-
1
0.17
5
0.86
-
-
1.00- 1.99
-
-
-
-
3
0.52
-
-
-
-
-
-
-
-
0.01 - 0.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkLkp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10.00
Untuk jurusan IPA sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (42.66%), bahasa Inggris (5.78%), matematika (0.88%), fisika (7.10%), kimia (0.00%), biologi (37.33%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2009 Rentang Nilai
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Real
%
Real
%
Real
-
-
-
-
19
9.00 - 9.99
-
-
2
0.89
8.00 - 8.99
-
-
52
7.00 - 7.99
42
18.67
6.00 - 6.99
87
5.50 - 5.99
Kimia
Real
%
Real
8.44
-
-
8
71
31.56
12
5.33
23.11
77
34.22
62
99
44.00
48
21.33
38.67
59
26.22
8
25
11.11
7
3.11
4.25 - 5.49
66
29.33
6
2.67
3.00 - 4.24
5
2.22
-
10.00
-
Biologi %
Real
%
3.56
-
-
-
-
108
48.00
4
1.78
-
-
27.56
86
38.22
57
25.33
42
18.67
85
37.78
23
10.22
36
16.00
128
56.89
3.56
50
22.22
-
-
44
19.56
55
24.44
1
0.44
12
5.33
-
-
47
20.89
-
-
1
0.44
3
1.33
-
-
34
15.11
-
-
1
0.44
-
-
3
1.33
-
-
-
20
%
Rerata Nilai
Real
-
%
Fisika
2.00 - 2.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.00- 1.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.01 - 0.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkLkp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (51.54%), bahasa Inggris (6.76%), matematika (11.86%), ekonomi (24.23%), sosiologi (26.41%), geografi (31.00%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2009 Rentang Nilai
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Ekonomi
Sosiologi
Geografi
Rerata Nilai
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.00 - 9.99
-
-
10
1.28
54
6.89
-
-
-
-
-
-
-
-
8.00 - 8.99
4
0.51
137
17.47
369
47.07
32
4.08
14
1.79
101
12.88
-
-
7.00 - 7.99
137
17.47
390
49.74
158
20.15
480
61.22
233
29.72
288
36.73
306
39.03
6.00 - 6.99
239
30.48
194
24.74
110
14.03
82
10.46
330
42.09
152
19.39
347
44.26
5.50 - 5.99
102
13.01
22
2.81
23
2.93
52
6.63
102
13.01
119
15.18
100
12.76
4.25 - 5.49
251
32.02
27
3.44
23
2.93
129
16.45
90
11.48
117
14.92
31
3.95
3.00 - 4.24
50
6.38
4
0.51
18
2.30
8
1.02
14
1.79
4
0.51
-
-
2.00 - 2.99
1
0.13
-
-
24
3.06
1
0.13
1
0.13
2
0.26
-
-
1.00- 1.99
-
-
-
-
5
0.64
-
-
-
-
-
-
-
-
0.01 - 0.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkLkp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
10.00
0.13
Untuk jurusan IPA sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (22.04%), bahasa Inggris (24.91%), matematika (12.66%), fisika (10.61%), kimia (8.57%), biologi (58.37%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
21
Tabel 7. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2010 Renta ng Nilai
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Fisika
Kimia
Biologi
Rerata Nilai
R e al
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10 .00 9.00 9.99
4
1.63
-
-
14
5.71
5
2.04
2
0.82
-
8.00 8.99
4 1
16.73
2
0.82
64
26.12
53
21.63
78
31.84
10
4.08
4
1.63
7.007.99
8 2
33.47
103
42.04
103
42.04
103
42.04
109
44.49
11
4.49
100
40.82
6.00 6.99
6 4
26.12
79
32.24
33
13.47
58
23.67
35
14.29
81
33.06
111
45.31
5.50 5.99
2 1
8.57
19
7.76
8
3.27
1
0.41
14
5.71
56
22.86
8
3.27
4.25 5.49
2 5
10.20
34
13.88
12
4.90
4
1.63
7
2.86
63
25.71
22
8.98
3.00 4.24
6
2.45
7
2.86
10
4.08
16
6.53
-
-
24
9.80
-
-
2.00 2.99
2
0.82
-
-
1
0.41
5
2.04
-
-
-
-
-
-
1.001.99
-
-
1
0.41
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.01 0.99
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkL kp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (41.35%), bahasa Inggris (31.80%), matematika (14.60%), ekonomi (49.99%), sosiologi (49.01%), geografi (23.89%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2010 Rentang Nilai
10.00
Bhs. Indo
Bhs. Inggris
Matematika
Ekonomi
Sosiologi
Geografi
Rerata Nilai
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
Real
%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
169
20.92
-
-
-
-
28
3.47
-
-
9.00 - 9.99
3
0.37
-
8.00 - 8.99
59
7.30
11
1.36
308
38.12
11
1.36
51
6.31
153
18.94
-
-
7.00- 7.99
218
26.98
334
41.34
147
18.19
110
13.61
187
23.14
228
28.22
211
26.11
6.00 - 6.99
194
24.01
206
25.50
66
8.17
283
35.02
174
21.53
206
25.50
408
50.50
5.50 - 5.99
99
12.25
56
6.93
20
2.48
131
16.21
77
9.53
64
7.92
92
11.39
4.25 - 5.49
121
14.98
145
17.95
57
7.05
251
31.06
201
24.88
98
12.13
77
9.53
3.00 - 4.24
68
8.42
33
4.08
13
1.61
16
1.98
89
11.01
18
2.23
16
1.98
22
2.00 - 2.99
44
5.45
14
1.73
14
1.73
5
0.62
28
3.47
10
1.24
4
1.00 - 1.99
2
0.25
9
1.11
11
1.36
1
0.12
1
0.12
2
0.25
-
-
0.01 - 0.99
-
-
-
-
2
0.25
-
-
-
-
-
-
-
-
0/TdkLkp
-
-
-
-
1
0.12
-
-
-
-
1
0.12
-
-
PENUTUP
0.50
DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan
Badan
Pusat Statistik, 2011. Kabupaten Bombana dalam Angka. DP2M Dikti. 2011. Software PPMP. Jakarta: Kemdiknas Jerome S. Arcaro, “Quality in Education: an Implementation Handbook” diterjemahkan oleh Yosal Iriantara, Pendidikan Berbasis Mutu: PrinsipPrinsip dan Tata Langkah Penerapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), 3844.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa di kabupaten Bombana baik jurusan IPA maupun IPS semua mata pelajaran sudah berada di atas nilai standarnya meskipun dalam tiga tahun terakhir sebagian besar mata pelajaran cenderung menurun dan fluktuatif. Di samping itu, masih terdapat perbedaan nilai yang signifikan yaitu ada yang memperoleh nilai hampir sempurna tetapi di sisi lain ada yang memperoleh nilai yang sangat rendah.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta. Tim Teknis Bappenas, 1999. School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.
23
PENERAPAN MEDIA COMPACT DISC (CD ) INTERAKTIF DENGAN KONSEP E- LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH STRUKTUR HEWAN PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA1
Oleh: H. M. Sirih2 Sal Amansyah3 Abstrak. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan menerapkan media Compact Disc (CD) interkatif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan hasil belajar mata kuliah struktur hewan pada mahasiswa program studi pendidikan biologi jurusan pendidikan MIPA. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 3 siklus, meliputi tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Sumber data dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan dosen pengajar mata kuliah. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa dan aktivitas mengajar dosen pada materi sistem peredaran darah. Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya nilai persentase aktivitas belajar mahasiswa dari siklus I, ke siklus II dan siklus III. Begitupula dengan hasil belajar mahasiswa terlihat bahwa dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada materi sistem peredaran darah dari siklus I ke siklus berikutnya. Namun peningkatan yang diperoleh belum mencapai ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu baru 70% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. (KKM yang ditetapkan 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76). Kata Kunci : Compact Disc (CD), Konsep E-Learning, Hasil Belajar dan Sistem Peredaran Darah
tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain (Joyce dalam Trianto, 2007: 5). Berdasarkan hasil observasi dan analisis hasil belajar mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah Struktur Hewan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut ditemukan bahwa mata kuliah ini dianggap oleh sebagian mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi sebagai salah satu mata kuliah yang sukar dimengerti dan dipahami. Hal ini tercermin dengan rendahnya nilai rata-rata ketuntasan hasil belajar dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Porsentase jumlah mahasiswa yangmencapai nilai ketuntasan belajar pada tahun akademik 2008/2009 baru mencapai 51,68% dan pada tahun akademik 2009/2010 hanya mencapai 46,81%. Perolehan rata-rata nilai mahasiswa pada mata kuliah Struktur Hewan pada tahun akademik 2010/2011 adalah 67.52 atau hanya 13.75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. Hasil-hasil ini
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan syarat utama dalam upaya meningkatkan kualitas manusia baik ditinjau dari aspek sosial, spiritual, dan intelektual karena manusia sebagai obyek dan subyek utama pembangunan. Mutu pendidikan akan menentukan tingkat keberhasilan pembangunan. Peningkatan mutu pendidikan yang dilaksanakan di perguruan tinggi, dituntut dosen sebagai pendidik memegang peranan yang sangat penting dalam upaya membelajarkan dan mencerdaskan peserta didiknya. Sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan tersebut, maka dosen dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menetapkan berbagai model pembelajaran dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pokok dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam 1
Ringkasan Hasil Penelitian
2
Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu
3
24
masih berada di bawah nilai Kriteria Ketuntasan minimal yakni 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76 (sesuai dengan kriteria evaluasi keberhasilan studi setiap mata kuliah yang telah ditetapkan oleh FKIP Unhalu, Pedoman Akademik, 2010). Rendahnya pencapaian hasil belajar tersebut diduga disebabkan oleh metode pembelajaran yang diterapkan selama ini yaitu metode ceramah bervariasi dan model pembelajaran langsung yang mengakibatkan kurang efektifnya proses pembelajaran di kelas. Disamping itu, mungkin juga disebabkan oleh media yang digunakan kurang sesuai dengan metode dan materi yang diajarkan sehingga mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang belum memenuhi syarat tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti mencoba memilih model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Divisions) dengan menerapkan media CD interaktif yang dalam pembelajaran ini peserta didik berinteraksi langsung dengan komputer dan komputer mempresetasikan materi pembelajaran sekaligus berinteraksi secara individual dengan peserta didik lainnya. Aplikasi teknologi komputer dalam pembelajaran umumnya dikenal dengan istilah Computer Asisted Instruction (CIA). CIA adalah suatu program pembelajaran yang dibuat dalam sistem komputer pengguna. Materi pelajaran yang sudah terprogram dapat disajikan secara serentak antara komponen gambar, tulisan, warna dan suara sehingga tidak ada interpretasi yang keliru dalam proses pemahaman. Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Apakah dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan biologi pada mata kuliah struktur hewan tahun akademik 2011/2012 ?
pengelolaan kelas (Arends, 1997: 7) dan Trianto, 2007: 2. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran koperatif tipe STAD dengan menerapkan media Compact Disc (CD) melalui konsep E-Learning. Pemilihan model pembelajaran ini dan penerapan media ini merupakan salah satu wujud solusi aplikasi teknologi informasi multimedia dalam proses pembelajaran. Menurut Riedsel, dkk (sudarman, 2001 dalam Erniwati, dkk, 2006) adalah A teaching proses directly involving a computer in the presentation of instructional materials in a mode design to provide active involvement with the student. Sementara itu Joiner (Sudarman, 2001 dalam Erniwati, dkk. 2006) memberikan definisi yang lebih lengkap, yaitu a teaching proses directly involving a computer in the presentation material in an interactive mode to provide and control the individualized learning environment for each individual student. Berdasarkan definisi di atas, nampak bahwa dalam pembelajaran ini peserta didik berinteraksi langsung dengan komputer dan komputer mempresentasikan materi pembelajaran sekaligus berinterkasi secara individual dengan peserta didik lainnya. Aplikasi teknologi komputer dalam pembelajaran umumnya dikenal dengan istilah Computer Asisted Instruction (CIA). Istilah CIA umumnya merujuk kepada semua software pendidikan yang diakses melalui komputer dimana pengguna dapat berinteraksi dengannya. Sistem komputer dapat menyajikan serangkaian program pembelajaran kepada peserta didik, baik berupa informasi konsep maupun latihan soal-soal untuk mencapai tujuan tertentu, dan pengguna melakukan aktivitas belajar dengan cara berinteraksi dengan sistem komputer. Sementara dalam kedudukannya dapat dikatakan bahwa CIA adalah penggunaan komputer sebagai bagian integral dari sistem instruksional, dimana biasanya pengguna terikat pada interaksi dua arah dengan komputer. Menurut Kaput dan Thompson (1994) diartikan sebagai bentuk pembelajaran yang menempatkan komputer dalam peran guru. (Ariani & Deny, 2010: 31). CD interaktif sebagai sarana atau media belajar lebih diarahkan sebagai media pembelajaran mandiri, sehingga dalam pemanfaatannya peran guru sangat minimal. Dalam hal ini peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam mendalami materimateri pembelajaran yang mungkin tidak bisa didapatkan hanya dari pembelajaran konvensional, sehingga dalam proses pembelajaran yang
KAJIAN TEORITIK DAN KERANGKA BERFIKIR Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalam tujuan pengajaran, material/perangkat pembelajaran (buku-buku, filmfilm, tipe-tipe, program-program media komputer, dan kurikulum), tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan 25
memanfaatkan multimedia pembelajaran guna lebih berperan sebagai fasilitator. Dengan kelebihannya tersebut maka program pembelajaran berbasis komputer mempunyai kemampuan untuk mengisi kekurangan-kekurangan pengajar. Namum tentu saja tidak ada satupun media yang mampu menggantikan seluruh peran guru/dosen, karena masih banyak hal-hal yang bersifat pedagogi dan humanisme yang tidak bisa digantikan oleh komputer. Salah satu alternatif tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar tersebut adalah menerapkan media pembelajaran yang inovatif yaitu Media CD interaktif dengan konsep E-Learning. Media CD interaktif dengan konsep E-Learning. diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses belajar mengajar di sekolah/kampus, dan juga diharapkan mampu memberikan dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara pengajar (dosen), mahasiswa dan bahan belajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kondisi yang perlu didukung oleh pemanfaatan media tersebut terutama berkaitan dengan model/strategi pembelajaran yang akan dikembangkan, yang kalau dijabarkan secara
sederhana, bisa diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan untuk mengajak mahasiswa mengerjakan tugas-tugas dan membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan yang dilakukan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas tersebut. Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning mempunyai keunggulan atau kelebihan dibanding dengan penerapan media lainnya antara lain adalah: 1) bahan yang disajikan menjadi lebih jelas maknanya, tidak verbalistik dan memotivasi peserta didik dalam belajar; 2) metode pembelajaran lebih bervariasi; 3) pembelajaran lebih menarik; 4) aktivitas belajar meningkat dan 5) merupakan salah satu wujud solusi aplikasi teknologi informasi multimedia dalam proses pembelajaran secara mandiri. Diharapkan dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep ELearning dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa dan dosen dalam proses belajar mengajar yang berimplikasi terhadap hasil belajar. Secara sistematis kerangka berpikir dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
Materi Sistem Peredaran Darah Pembelajaran inovatif
Hasil belajar rendah
Penerapan media Compact Disc (CD) interaktif dengan konsep E-Learning
Dosen (Fasilitator, motivator)
1. Bahan yang disajikan menjadi lebih jelas maknanya, dan tidak verbalistik memotivasi peserta didik dalam belajar 2. Metode pembelajaran lebih bervariasi 3. Pembelajaran lebih menarik 4. Aktivitas belajar meningkat 5. Salah satu wujud solusi aplikasi teknologi informasi multimedia dalam proses pembelajaran secara mandiri Mahasiswa (subyek belajar)
Evaluasi Peningkatan Hasil Belajar
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
26
b. Hasil belajar adalah suatu gambaran dari penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan dari peserta didik sebagai hasi kegiatan proses belajar yang berwujud nilai maupun suasana yang menyenangkan pada waktu menjalani proses belajar atau dengan kata lain hasil belajar adalah indikator tingkat perubahan tingkah laku yang telah dicapai oleh individu yang melakukan suatu kegiatan belajar sehingga memperoleh pengalaman dan penilaiannya dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar dan lembar observasi. 1. Indikator Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012 pada bulan September sampai bulan Desember 2011, bertempat di ruang gedung A3 FKIP Unhalu. Pengambilan data dilaksanakan tanggal 14, 21 dan 26 Nopember 2011. Subyek Penelitian
Untuk ketuntasan hasil belajar, minimal 75% mahasiswa telah memperoleh nilai ≥ 76 (sesuai dengan evaluasi keberhasilan studi setiap mata kuliah yang telah ditetapkan oleh FKIP Unhalu, Pedoman Akademik, 2010).
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi yang memprogramkan mata kuliah Struktur Hewan semester III tahun akademik 2011/2012. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini yaitu : Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dan hasil belajar materi sistem peredaran darah. Definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning adalah model pembelajaran yang didalam CD Interaktif terdapat fitur-fitur materi sistem peredaran darah yang pengaplikasiannya berupa simulasi gambar animasi tiga dimensi dan fitur suara untuk membantu proses menerangkan materi.
Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan proses pengkajian melalui sistem berdaur (siklus) dari berbagai kegiatan pembelajaran. Siklus yang dimaksud melalui tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi diri. Tahap-tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi terdiri dari beberapa siklus dalam satu simulasi sampai hal yang ingin diperbaiki itu telah tercapai. Penelitian ini dilaksanakan 3 (siklus) siklus. Pada setiap siklus terdiri dari satu kali pertemuan dengan tahapan pada tiap siklus dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Refleksi awal
Perencanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Observasi
Refleksi
ya
tidak
Berhasil
ya Refleksi
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi
ya Berhasil
tidak
ya Laporan 27
Perencanaan Tindakan II
Sumber dan Jenis Data 1. Sumber data dalam penelitian ini adalah dari mahasiswa dan dosen. 2. Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang diambil dengan menggunakan lembar observasi yang terdiri atas lembar observasi aktivitas mahasiswa dan aktivitas dosen pengajar serta berupa tes hasil belajar.
Pelaksanaan masing-masing tindakan dalam penelitian ini mengikuti alur tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart yaitu (a) perencanaan, (b) pelaksanaan, (c) observasi dan (d) refleksi yang akan membentuk suatu siklus. Siklus ini akan dilakukan terus-menerus sampai kriteria yang ditetapkan dalam setiap tindakan tercapai.
Teknik Analisis Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran peningkatan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media CD interaktif dengan konsep E-Learning Adapun rumus yang digunakan adalah : 1. Menentukan kriteria keterlaksanaan tindakan dosen pengajar dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar : jumlah skor
Persentase Nilai Rata-Rata Skor (RS) =
Skor maksimal
Taraf Keberhasilan Tindakan 90% ≤ RS < 100% : Sangat baik 80% ≤ RS < 90% : Baik 70% ≤ RS < 80% : Cukup 60% ≤ RS < 70% : Kurang 0% ≤ RS < 60% : Sangat kurang 2. Menentukan persentase ketuntasan Belajar: ∑TB % TB = x 100 % N Keterangan : ∑ TB = Jumlah mahasiswa tuntas belajar N = Jumlah mahasiswa (Sudjana N, 2008)
28
x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 1. Rata-rata akativitas mahasiswa selama proses belajar mengajar pada setiap siklus Tahap Aktivitas mahasiswa Siklus I
Awal
Inti
Akhir
Keterlibatan dalam membangkitkan pengetahuan awal mahasiswa Keterlibatan dalam membangkitkan motivasi belajar mahasiswa Memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan Keterlibatan dalam memahami konsep yangdiajarkan Keterlibatan dalam pembentukan kelompok Keterlbatan dalam kerjasama kelompok Keterlibatan dalam menyiapkan laporan hasil kerja kelompok Keterlibatan dalam melaporkan hasil kerja kelompok dan dalam diskusi Keterlibatan dalam merespon hasil belajar dan membuat kesimpulan Keterlibatan dalam mengikuti evaluasi Keterlibatan dalam mengakhiri pembelajaran
Siklus II
Siklus III
Rata-rata
%
Kategori
Ratarata
%
Kategori
Rata-rata
%
2,75
69
Kurang
3,40
85
Baik
3,90
98
2,50
63
Kurang
3,30
83
3,90
98
3,00
75
3,90
98
4,00
100
2,25
56
Cukup Sangat kurang
Baik Sangat baik
3,10
78
3,40
85
3,50
88
Baik
3,90
98
Cukup Sangat baik
4,00
100
3,25
81
Baik
3,50
88
Baik
3,80
95
Baik Sangat baik Sangat baik
3,13
78
Cukup
3,50
88
Baik
3,40
85
Baik
2,75
69
Kurang
3,10
78
Cukup
3,20
80
Baik
3,25
81
Baik
3,30
83
3,50
88
3,38
84
Baik
3,80
95
Baik Sangat baik
3,80
95
3,13
78
Cukup
3,50
88
Baik
4,00
100
Baik Baik sekali Baik sekali
Jumla h % nilai rata-rata
32,88 74,72
38,4 87,27
40,9 92,95
Katego ri
Cukup
Baik
Sanagat Baik
29
Kategori Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Tabel 2. Rata-rata akativitas dosen selama proses belajar mengajar Tahap Awal
Inti
Akhir
Aktivitas dosen
Siklus Siklus III Rata-rata
Siklus I
Siklus II
%
Kategori
Melakukan Apersepsi
3
4
4
3.67
91.66
Sangat baik
Memotivasi Mahasiswa
3
4
4
3.67
91.66
Sangat baik
Menyampaikan Tujuan Perkuliahan
4
4
4
4.00
100
Sangat baik
Menyajikan materi yang diajarkan
3
4
4
3.67
91.66
Sangat baik
Mengorganisasikan mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
4
4
4
4.00
100
Sangat baik
Membimbing dan mengarahkan kelompok dalam Mengerjakan LKM
setiap
3
3
4
3.33
83.33
Baik
Meminta kelompok melaporkan hasil kerjanya dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang terbaik hasil kerjanya
3
3
4
3.33
83.33
Baik
Merespon kegiatan menyimpulkan materi
3
4
4
3.67
91.66
Sangat baik
Melakukan evaluasi
4
4
4
4.00
100
Sangat baik
Mengakhiri / menutup perkuliahan
4
4
4
4.00
100
Sangat baik
3.4
3.8
4
3.73
85
95
100
93.25
Baik
Sangat baik
Sangat baik
diskusi
Rata-rata
dan
% nilai rata-rata Kategori
30
Sangat baik
Tabel 3. Rata-rata peningkatan hasil belajar mahasiswa selama proses belajar mengajar SIKLUS I II III
KETUNTASAN
JUMLAH MAHASISWA
PERSENTASE (%)
10 29 27 20 30 13
26 74 57 43 70 30
Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas
Perlu diketahui bahwa dari 10 aspek yang tidak mengalami peningkatan dari siklus I sampai siklus III adalah membimbing dan mengarahkan setiap kelompok dalam mengajarkan LKM. Hal ini terjadi karena posisi tempat duduk mahasiswa dalam ruang perkuliahan kurang memungkinkan mahasiswa untuk belajar berkelompok, sehingga ada kecenderungan mahasiswa untuk bekerja secara individu, padahal dosen sudah memantau kerja setiap kelompok dengan berkeliling. Adanya peningkatan aktivitas belajar mahasiswa dan aktivtas mengajar dosen dari siklus I ke siklus III, berimplikasi dari hasil belajar mahasiswa. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa dari siklus I mengalami peningkatan pada siklus II dan siklus III (yaitu sudah mencapai 70% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. Namun peningkatan hasil belajar yang dicapai selama perkuliahan dengan menerapkan media CD interaktif pada pembelajaran kooperatif tipe STAD belum mencapai ketuntasan yang ditetapkan sebelumnya yaitu 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. Belum tercapainya ketuntasan belajar ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; 1) belum terbiasanya mahasiswa mengikuti model pembelajaran yang diterapkan. Hal ini tercermin dari aktivitas mahasiswa pada saat mengikuti perkuliahan, misalnya dari aspek keterlibatan dalam melaporkan hasil kerja kelompok dan dalam diskusi; 2) kemampuan mahasiswa memahami konsep yang diajarkan dan 3) kondisi ruangan dan tempat duduk mahasiswa kurang memungkinkan untuk bergerak secara leluasa mengikuti perkuliahan secara berkelompok, karena kursinya diikat satu dengan kursi lainnya. Oleh karena agar pembelajaran bisa aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, maka perlu kondisi ruangan perkuliahan perlu ditata dengan baik utamannya kursi dan penunjang pembelajaran lainnya.
PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil penelitian terlihat bahwa rata-rata aktivitas mahasiswa mengikuti perkuliahan dari siklus I sampai siklus III mengalami peningkatan. Pada siklus I dari 11 aspek yang diamati ada 1 aspek kategori sangat kurang, 3 aspek kategori kurang, 2 aspek cukup dan 4 aspek kategori baik. Secara rata-rata aktivitas mahasiswa pada siklus I masih dalam kategori cukup. Kemudian pada siklus II terlihat bahwa dari 11 aspek yang diamati mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan siklus I. Misalnya pada siklus I aspek tentang keterlibatan mahasiswa dalam memahami konsep yang diajarkan (kategori sangat kurang), mengalami peningkatan pada siklus II menjadi cukup. Begitupula dengan aspek-aspek lainnya pada siklus I yang termasuk kategori kurang meningkat menjadi kategori baik pada siklus II. Secara ratarata aktivitas mahasiswa pada siklus II termasuk dalam kategori baik. Begitupula dengan siklus III, terlihat bahwa dari 11 aspek yang diamati semuanya sudah masuk kategori baik dan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa selama perkuliahan mahasiswa memperlihatkan adanya aktivitas, kreatifitas dan antusias mengikuti perkuliahan. Berkaitan dengan aktivitas dosen selama proses perkuliahan, dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari siklus I sampai siklus III mengalami peningkatan. Misalnya pada siklus I, dari 10 aspek yang diamati ada 6 aspek masik dalam kategori cukup, dan pada siklus II tinggal 2 aspek masih dalam kategori cukup serta pada siklus III tinggal 1 aspek masih dalam kategori cukup. Ini menunjukkan ada peningkatan dan kemauan dosen untuk memperbaiki proses belajar mengajar berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan pada setiap siklus. 31
Disamping itu perlunya juga setiap model pembelajaran diterapkan dalam proses perkuliahan sehingga mahasiswa sudah terbiasa dengan model dan media pembelajaran yang diterapkan. Misalnya penerapan media CD interaktif dengan konsep E-learning merupakan suatu strategi pembelajaran berbasis elektronik (Siahaan; Anonim 2002). Dewasa ini telah banyak lembaga pendidikan dan pelatihan menjadikan pembelajaran elektronik sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Artinya seluruh kegiatan perkuliahan diikuti oleh mahasiswa melalui pemanfaatan komputer. Komputer dapat digunakan sebagai alat bantu mengajar, misalnya dalam memvisualisasikan materi ajar yang diharapkan pembelajaran dapat lebih bermakna dan memberi kesan yang kuat kepada peserta didik (mahasiswa).
2.
3.
dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning menunjukkan konsisten perbaikan baik pada aktivitas belajar mahasiswa, aktivitas mengajar dosen dan hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu disarankan agar penggunaan media serupa dapat diterapkan pada materi-materi biologi lainnya yang memiliki karakteristik serupa pada masa-masa mendatang. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan media serupa maka disarankan kegiatan dan proses penerapannya dilaksanakan pada laboratorium komputasi sehingga keterlibatan mahasiswa menjadi lebih luas dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta. Balai Pustaka. Anonim. 2010. Pedoman Akademik 2010 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unhalu. Kendari. Cetakan I, Nopember 2010. FKIP Unhalu. Arends, Richardl. 1997. Classroom Intructional Management. New Yort. The McGrawHill Company. Ariani, N. dan Haryanto, D. 2010. Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta Prestasi Pustaka. Arifin, 2003. Evaluasi Intruksional. Remaja Rosdakarya. Bandung. Arikunto, S., 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. Azhar, A., 2002. Media Pembelajaran. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Djamarah, S B. 2000. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Banjarmasin. Erniwati, Anas. M. dan Firdaus, 2006. Penerapan Tutorial Berbantuan Komputer Pada Matakuliah Fisika Matematika I Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bagi Mahasiswa Pendidikan Fisika FKIP Unhalu. Kendari. Laporan Penelitian. Hakim, T., 2007. Belajar secara Efektif. Niaga Swadaya. Jakarta.
PENUTUP Simpulan 1.
Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa dan aktivitas mengajar dosen pada materi sistem peredaran darah. Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya nilai persentase aktivitas belajar mahasiswa dari siklus I, ke siklus II dan siklus III. 2. Penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada materi sistem peredaran darah dari siklus I ke siklus berikutnya. Namun peningkatan yang diperoleh belum mencapai ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu baru 70% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. (KKM yang ditetapkan 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76). Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan adalah: 1. Perlu dilakukan tindakan lebih lanjut dengan memperhatikan kondisi ruang tempat penelitian dan prasarana lainnya yang bisa mendukung pelaksanaan penerapan media CD interaktif dengan konsep E-Learning 32
Ibrahim, M., Racmadiarti, F.,dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya. Unesa University Press. Kunandar, 2008. Guru Profesional. Rajawali Pres. Jagakarsa. Rusyan, T., Kusdinar, A., Arifin, Z. 1989. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran. Remaja Rosdakarya. Bandung. Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. PT Raja Grapindo Persada. Jakarta. Sirih, M. 2011. Meningkatkan Hasil Belajar Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Pada Mata Kuliah Perkembangan Hewan Materi Organogenesis. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unhalu. Kendari. Laporan Hasil Penelitian. Smith, 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Jogjakarta. Mirza Media Pustaka. Sri Sudarwati dan Lien A. Sutasurya. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan Hewan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung Sudjana, N., 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung. Tarsito. Suherman, E., 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Edisi revisi). UPI. Bandung.
Suyatno, 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya. Masmedia Buana Pustaka. Suripto, 1990. Struktur Hewan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung Susilo H dan Nyoman Puniawati. 1993. Struktur dan Perkembangan Hewan. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta. Prestasi Pustaka. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontstruktivistik. Jakarta. Prestasi Pustaka.
33
HUBUNGAN ANTARA PERHATIAN ORANG TUA DENGAN HASIL BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IS SMA NEGERI 1 LANDONO1 Oleh: RIZAL, S.Pd.M.Hum2 ABSTRAK : Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan “ Apakah terdapat hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar Akuntansi Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Landono?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI SMA 1 Negeri Landono. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas (X) Perhatian Orang Tua dan variabel terikat (Y) Hasil Belajar Akuntansi Siswa. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono Tahun Ajaran 2010/2011 Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik analisis regresi dan korelasi serta teknik pengumpulan data menggunakan angket/kuisioner dan tes. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) uji normalitas data yang digunakan untuk mengetahui apakah data yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak dan untuk mengetahui linearitas kedua variabel, (2) uji hipotesis dengan menggunakan uji regresi dan korelasi dengan menggunakan uji product moment yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,55, sedangkan nilai koefisien determinasinya (r2) adalah sebesar 30,25%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 30,25% hasil belajar akuntansi ditentukan oleh tingkat perhatian orang tua, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Kata Kunci : Perhatian Orang Tua, Hasil Belajar Akuntansi Siswa.
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan manjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada era reformasi sekarang ini, visi pembangunan dalam bidang pendidikan adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin dalam rangka meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia.
PENDAHULUAN Berbicara mengenai pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Kualitas pendidikan sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia sangat penting bagi pembangunan nasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada keberadaan pendidikan serta kualitas sumber daya manusia. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk 1 2
Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Pendidikan Ekonomi FKIP Unhalu 34
Perwujudan masyarakat yang berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang semakin berperan dalam menampilkan keunggulan dirinya untuk menghadapi era globalisasi yang semakin kompetitif. Menghadapi persoalan tersebut perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara menyeluruh terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan serta relevansinya dangan kebutuhan masyarakat dengan dunia kerja. Hal ini mutlak harus diupayakan, apalagi sejak lahirnya peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang memuat delapan standar yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Sebagai implementasi dari peraturan pemerintah tersebut, maka upaya peningkatan kualitas atau mutu pendidikan melalui kegiatan pembelajaran harus menjadi target oleh seluruh pelaksana dan pengguna pendidikan secara keseluruhan (Stakeholder). Semua unsur harus bekerjasama secara demokratis, bersinergi satu sama lain artinya pelaksanaan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru, kepala sekolah dan pemerintah, tetapi temasuk masyarakat dan orang tua. Meskipun berbagai upaya peningkatan mutu telah dilakukan oleh pemerintah, namun kenyataanya kondisi sekarang ini mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal ini disadari bahwa keberhasilan pendidikan bagi siswa khususnya dan lembaga pendidikan pada umumnya tidak hanya ditentukan oleh kondisi gedung yang memadai, sarana atau fasilitas pembelajaran di sekolah, kualitas guru, tetapi banyak faktor yang turut menentukan baik faktor internal siswa itu sendiri maupun faktor eksternal yang lain. Melihat fenomena sekarang ini, ternyata berbagai pihak lebih banyak menyoroti faktor internal sekolah tak terkecuali SMA Negeri 1 Landono. Sebagai gambaran tentang pencapaian hasil belajar siswa lebih dibatasi pada faktor-faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, seperti proses pembelajaran dari guru kepada peserta
didiknya, kelengkapan fasilitas belajar di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah dan sebagainya. Sebaliknya masih sangat jarang yang memusatkan pada aspek sosiologis di luar institusi sekolah. Padahal sekolah merupakan salah satu bagian saja dari suatu sistem yang lebih luas. Lembaga sekolah tidaklah berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang lain, seperti lingkungan keluarga, masyarakat dan kalangan pemerhati serta birokrasi yang lebih atas. Tegasnya mengkaji mengenai sekolah belumlah lengkap apabila tidak memusatkan perhatian terhadap lingkungan luar sekolah itu sendiri yang juga dapat menjadi penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi proses maupun hasil belajar serta permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti salah satu faktor eksternal yaitu perhatian orang tua. Salah satu variabel yang mempengaruhi hasil belajar adalah perhatian orang tua terhadap anaknya. Peranan orang tua sangat tinggi dalam menentukan hasil belajar siswa, dalam hal ini orang tua yang memperhatikan pendidikan anaknya tentu akan selalu memperhatikan kebutuhan belajar anaknya. Perhatian tersebut dapat berbentuk penyediaan fasilitas yang cukup, bimbingan belajar di rumah baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pada tataran mikro dapat kita lihat bahwa siswa yang mempunyai orang tua yang memberikan perhatian tinggi terhadap kebutuhan untuk pendidikan anaknya kuat kemungkinannya untuk dapat mencapai hasil yang lebih baik. Berdasarkan hasil hasil observasi dan wawancara dengan guru akuntansi bahwa secara umum hasil belajar akuntansi yang dicapai oleh siswanya masih belum optimal, salah satu data konkrit yang diperoleh penulis tentang rata-rata ketuntasan hasil belajar siswa kelas XI pada ulangan per kompetensi tahun ajaran 2010/2011 adalah 6,50. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tersebut masih tergolong rendah karena belum memenuhi standar ketuntasan belajar yang ditetapkan yaitu 7,0. Oleh karena itu, masih perlu penanganan yang serius, terutama bagi mereka yang turut terlibat dalam pengelolaan pendidikan agar mengintrospeksi diri serta berupaya mencari 35
alternatif yang lebih baik, guna meningkatkan hasil belajar siswa khususnya dalam pelajaran akuntansi. Dari uraian tersebut di atas, maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan antara Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar Akuntansi siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono”.
Metode Penelitian
Rumusan Masalah
Populasi dan Sampel Populasi
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan teknik analisis regresi dan korelasi. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI IS di SMA Negeri 1 Landono?
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono yang berjumlah 165 orang, yang terdiri dari kelas XI IS1 berjumlah 40 orang, kelas XI IS2 berjumlah 42 orang, kelas XI IS3 berjumlah 40 orang, kelas XI IS4 berjumlah 43 orang.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan pada latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI IS di SMA Negeri 1 Landono.
Sampel Penentuan besarnya sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rumus Taro Yamane (dalam Riduwan, 2007: 26) yaitu: n=
METODE PENELITIAN
Dimana: n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi d2 = Presisi yang ditetapkan
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Negeri 1 Landono tahun ajaran 2010/2011 yang dimulai pada tanggal 1 Maret sampai dengan 1 April 2011.
Berdasarkan perhitungan tersebut maka besarnya sampel adalah sebanyak 62 siswa. Penentuan besarnya sampel pada setiap kelas dilakukan secara proporsional, sedangkan tekhnik penarikan sampel pada setiap kelas dilakukan secara random sampling.
Variabel dan Desain Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan dua macam variabel yaitu variabel perhatian orang tua sebagai variabel bebas yang diberi simbol X dan variabel hasil belajar akuntansi yang diberi simbolY. Untuk memberikan gambaran hubungan antara dua variabel dalam penelitian ini, maka dapat dilihat dalam desain penelitian sebagai berikut:
(X)
n1 =
.n
Sugiyono dalam Riduwan (2007:66) Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Angket/kuisioner yang digunakan untuk mengukur variabel perhatian orang tua. Angket ini dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada teori-teori yang dibangun. Angket ini untuk mengukur variabel perhatian orang tua yang terdiri dari 30 butir yang diturunkan dari 7 indikator.
(Y)
Dimana: : Hubungan X :Perhatian Orang Tua Y : Hasil belajar Akuntansi
36
Angket tersebut menggunakan skala Likert yang telah dimodifikasi. 2. Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar akuntansi, tes ini disusun oleh peneliti, tes
disusun dengan mengacu pada Kompetensi Dasar, pokok bahasan/sub pokok bahasan dan uraian materi.
Analisis Data Penelitian Uji Normalis Data Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini menggunakan Uji Chi Kuadrat dengan rumus: X2 = Dimana: fe = Frekuensi harapan fo = Frekuensi observasi (Nurgiantoro, 2004: 111) 2 2 Kriteria pengujian yaitu jika X hitung ≤ X tabel maka distribusi data normal pada taraf nyata α = 0.05. Dan jika X2hitung ≥ X2tabel maka diistribusi data tidak normal pada taraf nyata α = 0.05. Uji Hipotesis Penelitian Uji hipotesis penelitian digunakan uji regresi dan uji korelasi. Untuk uji regresi menggunakan persamaan regresi sebagai berikut: Ŷ= a + bX Untuk menghitung nilai a dengan menggunakan rumus sebagai berikut: a= Untuk menghitung nilai b dengan menggunakan rumus sebagai berikut: b= Selanjutnya dilakukan uji linearitas dengan rumus sebagai berikut: Fhitung = (Sudjana, 2002: 332) Selanjutnya untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel perhatian orang tua dengan variabel hasil belajar dilakukan uji korelasi product moment dengan rumus: rxy = (Riduwan, 2007: 138) Keterangan: rxy = Koefisien korelasi ∑X = Jumlah skor dalam sebaran X ∑Y = Jumlah skor dalam sebaran Y ∑XY = Jumlah skor hasil belajar X skor perhatian orang tua Y ∑X2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran X ∑Y2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y n = Jumlah sampel
Sudijono, 2003: 180
37
Gambar 1.Histogram variabel Perhatian Orang Tua
DESKRIPSI DATA HASIL PENELITIAN Perhatian Orang Tua
20
Data variabel perhatian orang tua diukur dengan menggunakan angket yang terdiri dari 30 pernyataan dengan menggunakan skala 1 sampai 5. Sehingga skor tertinggi setiap pernyataan adalah 5 dan skor terendah adalah 1. Sedangkan secara teoritik skor tertinggi adalah 150 (5 x 30) dan skor terendah adalah 30 (1 x 30). Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari 62 responden (siswa) yang diteliti dalam penelitian ini, menunjukkan skor perhatian orang tua yang dimiliki oleh siswa SMA Negeri 1 Landono berdistribusi dari skor terendah 86 sampai skor tertinggi 127, skor rata-rata 107,56, standar deviasi 8,86, median 108,38, modus 114 dan distribusi frekuensi seperti tampak pada tabel 10 berikut ini: Tabel 10. Distribusi Frekuensi Perhatian Orang Tua (X) F Nilai Kelas No F Tengah Kumu interval (X) latif 1.
86 – 91
3
3
88,5
2.
92 – 97
6
9
94,5
3.
98 -103
9
18
100,5
4.
104 -109
16
34
106,5
5.
110 – 115
19
53
112,5
6.
116 – 121
5
58
118,5
7.
122 – 127
4
62
124,5
19
18 16
16
14 12 10
9
8 6
6 4
5
3
4
2 0 85.5
91.5
97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5
Berdasarkan distribusi frekuensi skor perhatian orang tua seperti disajikan dalam tabel 10 serta histogram gambar 1 dapat diketahui bahwa ada 19 orang atau 30,64 % responden berada pada kelompok rata-rata, 34 orang atau 54,83 % responden berada pada kelompok di bawah rata-rata, dan 9 orang atau 14,51 responden lainnya berada di atas kelompok rata-rata. Hasil Belajar Siswa Data variabel hasil belajar akuntansi siswa diukur dengan menggunakan tes hasil belajar siswa yang terdiri dari 20 butir pertanyaan, dengan menggunakan skala 0 dan 1, sehingga skor untuk jawaban yang benar adalah 1 dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0, dengan demikian maka secara teoritik skor tertinggi dari tes hasil belajar adalah 100 dan skor terendah adalah 0. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari 62 responden (siswa) yang diteliti dari penelitian ini, skor hasil belajar akuntansi yang dicapai siswa di SMA Negeri 1 Landono adalah berdistribusi dari skor terendah 50 sampai dengan skor tertinggi 91, skor rata-rata74,18, standar deviasi 8,37, median 75,17, modus 76,93, distribusi frekuensi seperti tampak pada tabel 11 berikut ini:
Sumber: Data hasil penelitian
38
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Akuntansi Siswa (Y) No
Kelas Interval
F
F Kumulatif
Nilai Tengah (X)
1
50 – 55
2
2
52,5
2
56 – 61
3
5
58,5
3
62 – 67
7
12
64,5
4
68 – 73
14
26
70,5
5
74 – 79
18
44
76,5
6
80 – 85
15
59
82,5
3
62
88,5
7 86 – 91 Sumber: Data hasil penelitian
bahwa X2hitung = 5,18 < X2tabel = 12,592 dengan db = k-1 α = 0,05 dengan demikian maka data hasil belajar siswa berdistribusi normal.
Gambar 2. Histogram Variabel Hasil Belajar 18
18 16 14
14
15
Hasil Uji Hipotesis
12
Hubungan antara perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar (Y) dapat digambarkan melalui persamaan regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X. Untuk mengetahui apakah persamaan regresi dalam penelitian ini linear atau tidak, maka dilakukan uji linearitas regresi yang perhitungannya ada pada lampiran 11d. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai Fhitung 1,12< Ftabel 1,82. Dengan demikian maka persamaan untuk variabel X dan variabel Y dalam penelitian ini adalah linear. Berdasarkan hasil pengujian signifikansi dan linearitas pada tabel 12 dapat diketahui bahwa Regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X signifikan dan linear, model regresi tersebut mengandung arti bahwa apabila perhatian orang tua ditingkatkan satu skor maka hasil belajar meningkat sebesar 0,54 skor pada konstanta 16,04. Kekuatan hubungan antara perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar (Y) ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar rxy = 0,55 dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,3025 atau 30,25 %, yang berarti bahwa variasi skor hasil belajar siswa ditentukan oleh perhatian orang tua sebesar 30,25%. selanjutnya Uji signifikan koefisien korelasi dengan uji-t diperoleh thitung sebesar 5,13 lebih besar dari ttabel 2,660 sehingga dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi antara perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar (Y) sebesar 0,55 adalah signifikan. Untuk lebih
10 8
7
6 4 2
2
3
3
0 49.5
55.5 61.5
67.5 73.5
79.5 85.5 91.5
Berdasarkan distribusi frekuensi skor data hasil belajar seperti yang disajikan dalam tabel 11 serta histogram gambar 2 dapat diketahui bahwa ada 18 orang atau 29,03 % responden berada pada kelompok rata-rata, 26 orang atau 41,93 % responden berada pada kelompok di bawah ratarata, dan 18 orang atau 29,03 % responden lainnya berada pada kelompok di atas rata-rata. Pengujian Hipotesis Penelitian Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan pengujian hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono terlebih dahulu dilakukan Uji Normalitas dengan menggunakan Uji-Chi Kuadrat (Uji X2). Hasil uji normalitas terhadap data perhatian orang tua sebagaimana lampiran 6A menunjukkan bahwa X2hitung = 4,776 lebih kecil X2tabel = 12,92 dengan db = k-1 α = 0,05 maka data berdistribusi normal. Adapaun uji normalitas untuk hasil belajar siswa sebagaimana pada lampiran 6B, menunjukkan 39
jelasnya kekuatan hubungan (X) dan (Y) dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. uji Signifikansi Koefisien Korelasi antara Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar ttabel Koefisien Korelasi antara thitung Korelasi (rxy) α = 0.05 α = 0.01 X dan Y
0,55
5,13
2,000
2,660
Sumber: Data hasil penelitian Koefisien korelasi X dan Y signifikan (thitung = 5,13 > ttabel = 2,660) pada α = 0.01 dengan dk n-2 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang positifdan signifikan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono. Oleh karena itu, maka hipotesis penelitian (H1) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar akuntansi siswa (Y) adalah diterima (teruji) dengan signifikan. Hubungan positif antara perhatian orang tua dengan (X) dengan hasil belajar akuntansi siswa (Y) ini didukung oleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,55, dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,3025 atau 30,25 % yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada hasil belajar siswa (Y) dapat dijelaskan oleh perhatian orang tua (X) yaitu sebesar 30,25 %, melalui persamaan regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X.
mempelajari dan berusaha untuk lebih memahami pelajaran akuntansi itu sendiri. Untuk mengetahui besarnya hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar siswa akuntansi siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono dalam penelitian ini digunakan angket dan tes. Jawaban responden terhadap angket yang diajukan memberi data tentang perhatian orang tua sebagaimana dalam lampiran 3 dan 4. Sementara itu data hasil belajar diperoleh dari nilai siswa terhadap tes objektif yang telah diberikan. Hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar siswa berdasarkan hasil skor perhatian orang tua dan hasil belajar siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono dapat dilihat pada tabel sebgai berikut: Tabel 14. Hubungan Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar No. Kelas Interval F RataPerhatian rata hasil Orang Tua Belajar 1. 86 – 91 3 58 2. 92 – 97 6 65 3. 98 – 103 9 72,78 4. 104 – 109 16 75,31 5. 110 – 115 19 76,32 6. 116 – 121 5 76,40 7. 122 – 127 4 81,25 Sumber: Data hasil penelitian
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam studi korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono. Perhatian orang tua merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Orang tua yang selalu memberikan perhatian terhadap pelajaran anaknya akan memberikan motivasi kepada anak tersebut untuk lebih giat belajar. Perhatian orang tua adalah suatu proses aktivitas yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik dan memotivasi / mendorong untuk mempelajari sesuatu. Sehubungan dengan pelajaran akuntansi, maka dengan perhatian orang tua akan mendorong seorang anak untuk
Dari tabel 14 di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar 58 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 86 – 91, nilai rata-rata hasil belajar 65 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 92 – 97, nilai rata – rata hasil belajar 72,78 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 98 – 103, nilai rata – rata hasil belajar 75,31 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 104 – 109, 40
nilai rata-rata hasil belajar 76,32 adalah siswa yang memilki perhatian orang tua antara 110 – 115 nilai rata – rata hasil belajar 76,40 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 116 – 121, dan nilai rata-rata hasil belajar 81,25 adalah siswa yang memiliki perhatian orang tua antara 122 – 127. Berdasarkan tabel di atas dapat digambarkan, hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar dapat dibuat dalam bentuk grafik, seperti di bawah ini:
sebesar 69,75% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sehingga salah satu variabel yang harus diperhitungkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa adalah perhatian orang tua. Dengan demikian hipotesis penelitian (H1) diterima yang berarti bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa di SMA Negeri 1 Landono. Apabila seorang siswa memperoleh perhatian orang tua yang tinggi maka akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula, begitupun sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Siahaan (1991: 86) mengemukakan bahwa bila semakin tinggi perhatian orang tua terhadap belajar anak-anaknya maka semakin tinggi pula hasil belajar yang akan dicapai anak-anak itu dan sebaliknya akan terjadi semakin berkurang perhatian orang tua terhadap belajar anak-anaknya, maka semakin rendah pulalah hasil belajar anak di sekolah. Sebab perhatian orang tua merupakan kekuatan untuk mendorong anak untuk lebih giat dan tekun dalam belajar. Anak yang mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya akan tampak terdorong terus untuk tekun dan giat belajar sehingga hasil belajar yang dicapai akan meningkat, sebaliknya anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya tentu hasil yang dicapainya akan rendah.
Hasil Belajar Akuntansi (Y)
Grafik Hubungan Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar Siswa 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
58
72.78 75.31 76.32 76.40
65
81.25
212
611
011
-1
-9
-9
410
98
92
86
7 12
1 12
5 11
9 10
03
7
1
Perhatian Orang Tua (X)
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan hubungan yang berbanding lurus antara perhatian orang tua dengan hasil belajar, dimana semakin tinggi skor perhatian orang tua maka semakin tinggi pula nilai hasil belajar yang diperoleh siswa. Berdasarkan hasil analisis korelasi besarnya antara hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa XI SMANegeri 1 Landono yaitu rxy = 0,55 sedangkan dari pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t diperoleh thitung = 5,13 dan ttabel = 2,660. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa thitung> ttabel pada taraf signifikan α = 0.01 dari db = 60. Hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X yang berarti bahwa setiap kenaikan atau penurunan skor perhatian orang tua (X) akan diikuti oleh kenaikan atau penurunan nilai hasil belajar siswa (Y) sebesar 0,54 pada konstanta 16,04. Dari hasil analisis diperoleh rxy sebesar 0,55 dengan koefisien determinasi 30,25% ini berarti bahwa 30,25% variansi yang terjadi pada hasil belajar siswa dapat dijelaskan oleh variabel perhatian orang tua siswa, sedangkan sisanya
PENUTUP Berdasarkan hasil pengolahan dan pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas IX SMA Negeri 1 Landono dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,3025, artinya 30,25% hasil belajar siswa ditentukan oleh perhatian orang tua. Kemudian uji keberartian korelasi diperoleh thitungsebesar 5,13 >ttabel = 2,660 pada α = 0.01, maka hipotesis penelitian (H0) ditolak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi perhatian orang tua (X) maka semakin tinggi pula hasil belajar siswa (Y) tersebut. Jadi salah satu variabel yang perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa adalah perhatian orang tua.
41
DAFTAR PUSTAKA
Siahaan. N.H. 1991. Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak. Angkasa: Bandung.
Abdillah, Husni. 2002. Pengertian Belajar dari Berbagai Sumber. Online, tersedia:http://husniabdillah.multiply.com/jou rnal/item/9.
Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudijono, Anas. 2003. Pendidikan. Jakarta: Persada.
Anonim. 2004. Pedoman Ksusus Mata Pelajaran Ekonomi Kurikulum SMA. Ditjen, Depdiknas.
Pengantar Evaluasi PT Raja Grafindo
Depdiknas. 2004. Pedoman PPL Unnes. Semarang: Departemen Pendidikan Nasional.
Soedijarto. 1993. Upaya Mengoptimalisasikan Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dimyati. 1998. Proses Bandung: Bumi Aksara.
Mengajar.
Soemarso, SR. 1992. Akuntansi Suatu Pengantar Edisi Ke 4. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Basri. Drs. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Admininstrasi. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, Oemar. 2003. Prosedur Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Belajar
Suparno, Suhaenah. 2000. Membangun Kompetisi Belajar. Jakarta: Pustaka Pelajar
Kuncoro, Mudrajat. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Suryabrata, Sumadi. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Belajar
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT Remaja Rasdakarya.
Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Belajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munandar, Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Walgito, Bimo. 1995. Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Nana, Sudjana. 1989. CBSA dan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Sinar Baru
Winkel, W.S. 1991. Psikologi dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
Nana, Sudjana. 2002. Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo. Nursisto. 1999. Kiat Menggali Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Widana, Gusti Kade. 2007. Hubungan antara Kepercayaan Diri dan Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar Pengetahuan Sosial Ekonomi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Moramo. Unhalu: Kendari.
Kreatifitas.
Poerwodarminto. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Yuyusriwati. 2004. Hubungan Perhatian Orang Tua dan Minat Belajar dengan Hasil Belajar Mate-matika Siswa SMA Negeri 7 Kendari. Unhalu: Kendari.
Purwanto, Ngalim. 1998. Psikologi Komunikasi. Jakarta: Erlangga. Riduwan. 2007. Belajar Dasar- dasar Statistik. Bandung. Alfabeta. Riyanto, T. 2002. Pembelajaran sebagai Proses Bimbingan Pribadi. Jakarta: Grasindo.
42
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA MATERI GAYA DI KELAS IV SDN 1 WAKEAKEA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD1 Oleh: La Ode. Nursalam2 Muh. Yamin3 Abstrak: Proses pembelajaran IPA di kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton masih menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil belajar IPA siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilaksanakan penelitian kolaboratif dengan guru IPA SD Negeri 1 Wakeakea melalui penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada materi pokok gaya yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IV yang berjumlah 15 orang. Instrumen yang digunakan yaitu tes hasil belajar dan lembar observasi. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dilihat dari segi proses dan hasil belajar. Dari segi hasil belajar indikator keberhasilan dalam penelitian ini tercapai bila minimal 75% siswa yang menjadi subyek penelitian telah mencapai nilai minimal sebesar 65 (KKM dari sekolah). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea dapat ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini ditunjukkan dengan persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 66,6% dan pada siklus II meninkat menjadi sebesar 86,6%. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea dalam pembelajaran IPA dapat ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar guru menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai salah satu alternatif mengatasi kesulitan siswa dalam memahami IPA. Kata Kunci: hasil belajar IPA, model pembelajaran kooperatif tipe STAD
mengimplementasikan pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan utama karena menjadi fondasi bagi jenjang pendidikan formal selanjutnya. Sebagai pendidikan dasar, Sekolah Dasar selayaknya mendapat perhatian dan prioritas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak fakta saat ini menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran di SD memprihatinkan. Kondisi ini juga terjadi di SDN 1 Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton khususnya pada mata pelajaran IPA. Pada mata pelajaran IPA
PENDAHULUAN Salah satu permasalahan besar dalam proses pembelajaran IPA saat ini adalah kurangnya usaha pengembangan kemampuan berpikir yang menuntun siswa untuk memecahkan suatu permasalahan. Proses pembelajaran IPA saat ini lebih banyak mendorong siswa untuk sekedar menghafal konsep sebanyak mungkin agar dapat menjawab semua soal ujian yang diberikan, tanpa berusaha memahami dan menemukan serta 1
Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu 3 Guru SD Negeri 1 Wakeakea Kabupaten Buton 2
43
misalnya, banyak siswa yang beranggapan bahwa IPA itu sulit, identik dengan hitung-menghitung, abstrak, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu perlu perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran IPA di kelas. Dalam kelas-kelas tradisional, pembelajaran berbagai muatan mata pelajaran IPA relatif lebih berpusat pada guru (teacher centered). Disini, guru aktif dengan memerankan diri sebagai sumber, penyaji, dan pengatur penyampaian pengetahuan / informasi, sedangkan murid berperan sebagai penerima pasif baik secara emosional dan sosial. Selain komunikasi dialogis dan proses konstruksi pengetahuan tidak terjadi, hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi tidak bermakna, tidak menyenangkan, dan membosankan, sehingga pembelajaran menjadi tidak tuntas dan kadang kala, timbul sikap negatif terhadap pembelajaran. Terlebih lagi jika muatan materi ajar bersifat abstrak dan jauh dari pengalaman sehari-hari. Semakin abstrak suatu muatan materi ajar dan makin jauh muatan materi ajar itu dari dunia pengalaman sehari-hari, maka makin sukar muatan materi ajar itu dipelajari. Hal seperti yang dikemukakan di atas, juga dapat ditemukan pada pembelajaran berbagai muatan materi ajar pelajaran IPA di SD Negeri 1 Wakeakea Kabupaten Buton. Hal inilah yang diduga sebagai salah satu faktor penyebab rendahnya hasil belajar IPA khususnya pada siswa kelas IV. Salah satu materi pokok yang dianggap relatif sulit dipahami siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea Kabupaten Buton adalah materi gaya. Hal ini ditunjukkan dengan ketuntasan belajar siswa pada semester genap tahun ajaran 2009/2010 pada mata pelajaran IPA materi pokok gaya hanya sebesar 60%. Ketuntasan belajar siswa tersebut belum memenuhi kriteria ketuntasan belajar minimal (KKM) pada mata pelajaran IPA yaitu 75%. Hal inilah yang mendasari penulis dengan berkolaborasi dengan guru kelas IV SDN 1 Wakeakea untuk melakukan perbaikan pembelajaran IPA materi pokok gaya. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka perlu adanya model pembelajaran yang diterapkan di kelas yang melibatkan peran siswa secara aktif dan kreatif sehingga hasil belajar IPA
siswa meningkat. Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsurunsur proses pembelajaran, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh peserta didik. Salah satu kemungkinannya adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Agar siswa bisa belajar lebih aktif, guru harus memunculkan strategi yang tepat dalam memotivasi siswa. Guru harus memfasilitasi siswa agar siswa mendapat informasi yang bermakna, supaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri (Anitah, 2009). Salah satu model pembelajaran dapat digunakan guru dalam membelajarkan siswa mengenai konsep gaya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pengajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD memungkinkan siswa SD untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka di dalam dan di luar sekolah agar dapat memecahkan masalahmasalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan (University of Washington dalam Nur, 2001: 1). Selain itu, model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat membantu guru dalam membimbing siswa mencapai tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi dengan mengupayakan siswa aktif mencapai pemahaman konsep tersebut. Tujuan pembelajaran pada pembelajaran ini disepakati bersama oleh guru dan siswa. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, peneliti melakukan perbaikan pembelajaran dalam bentuk penelitian tindakan kelas pada pembelajaran IPA yang difokuskan pada penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran IPA di kelas.
44
sama dan bekerja sama dengan sesama siswa, tetapi guru tidak meningggalkan peranannya. Pandangan senada dikemukakan oleh Slavin (1995) bahwa sistem pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar yang berstruktur termasuk dalam struktur ini adalah lima unsur pokok yaitu saling ketergantungan positif, tangung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama dan proses kelompok. Lebih lanujut Slavin (1995) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang membentuk kerja sama siswa dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan dan hadiah. Ada 4 tipe pendekatan dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: (1) tipe STAD; (2) tipe Jigsaw; (3) tipe kelompok penyelidikan; dan (4) tipe pendekatan terstruktur. Penggunaan model kooperatif merupakan suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok. model kooperatif menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang (Ibrahim dkk, 2000). Pada dasarnya model kooperatif mengandung pengertian bahwa sikap siswa atau perilaku bersama kadang-kadang harus diperhatikan oleh guru dalam membantu di antara sesama. Model kooperatif itu juga dapat diartikan sebagai struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan di mana masyarakat secara budaya semakin beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
KERANGKA TEORETIK Konsep Pembelajaran Proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran (Slameto, 2001). Dalam hal ini berarti pembelajaran yang dikembangkan di sekolah, pada dasarnya merupakan intraksi dinamis antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, sehingga dapat membekas, sirna dalam kehidupan di kelas, keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran merupakan inti dari keseluruhan proses pendidikan, dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Interaksi dari proses pembelajaran mempunyai arti luas, tidak sekedar hubungan antara guru dan siswa, tetapi interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran melainkan juga nilai-nilai dan sikap pada diri siswa yang sedang belajar. Pengertian proses dalam tulisan ini merupakan interaksi semua komponen atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dalam kaitan mencapai tujuan (Nur, 2000). Konsep Pembelajaran Kooperatif Menurut Lie (2002) bahwa pembelajaran kooperatif atau gotong royong adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan proses pembelajaran artinya meskipun siswa mengerjakan tugas berstruktur secara bersama45
Slavin (1995) membatasi model pembelajaran kooperatif sebagai lingkungan belajar dimana siswa bekerjasama dalam suatu kelompok kecil yang kemampuannya berbedabeda untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Menurut Winkel (1991) hasil belajar memperhatikan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan demikian, hasil belajar merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang telah dicapai seseorang yang telah melakukan usaha tertentu dan dalam hubungannya dengan usaha belajar yang dilakukan siswa, maka hasil belajar menunjukkan tingkat keberhasilan siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Seorang siswa yang telah mengikuti proses pembelajaran IPA, dapat diukur prestasinya setelah melakukan kegiatan belajar tersebut pada kurun waktu tertentu, dengan menggunakan suatu alat evaluasi. Jadi hasil belajar IPA merupakan hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mempelajari IPA dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi (tes) yang lazimnya berwujud nilai.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Tipe ini dikembangkan oleh Slavin (1995) dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui enam tahapan sebagai berikut: 1. Guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang heterogen beranggotakan 4-5 orang. 2. Tahap penyajian materi. Pada tahap ini guru menyajikan materi pembelajaran secara singkat 3. Tahap kerja kelompok, pada tahap ini setiap kelompok diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok. 4. Tahap tes individu/kuis. Pada tahap ini guru memberikan kuis pada setiap siswa untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan belajar yang telah dicapai mengenai materi yang telah dibahas. 5. Tahap penghitungan skor perkembangan individu, dihitung berdasarkan skor awal yang diperoleh dari hasil tes awal. 6. Pemberian penghargaan diberikan berdasarkan perolehan skor rata-rata yang dikategorikan menjadi kelompok baik, kelompok hebat dan kelompok super.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton, dengan jumlah siswa sebanyak 15 orang yang terdiri dari 8 orang siswa pria dan 7 orang siswa wanita pada semester genap tahun pelajaran 2010/2011. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus tindakan. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang dicapai, seperti apa yang telah didesain dalam faktor yang diselidiki. Pada setiap siklus dilaksanakan: (1) perencanaan; (2) pelaksanaan tindakan; (3) observasi; (4) evaluasi; dan (5) refleksi. Faktor yang diselidiki dalam penelitian ini adalah: (1) faktor siswa, yaitu tingkat penguasaan siswa pada materi pokok gaya; dan (2) faktor guru, yaitu persiapan materi dan kesesuaian model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran di kelas. Sebelum dilaksanakan pembelajaran sesuai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu dilakukan tes awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasil tes awal dijadikan rujukan untuk menentukan pembagian kelompok siswa selama pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe
Hasil Belajar IPA Hasil belajar menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam waktu tertentu. 46
STAD. Siswa kemudian dibagi dalam empat kelompok dengan kemampuan yang heterogen. Pada tahap awal pelaksanaan penelitian setelah tes awal, observasi, dan wawancara adalah tahap perencanaan dengan kegiatan: 1. Membuat skenario pelaksanaan tindakan berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sesuai langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatiof tipe STAD. 2. Menyiapkan media pembelajaran termasuk Lembar Kerja Siswa (LKS). 3. Menyiapkan lembar observasi, lembar pengamatan aktifitas siswa dan guru dan mendesain alat evaluasi hasil belajar siswa. 4. Tahap perencanaan untuk siklus selanjutnya dilakukan dengan merumuskan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan tindakan pada siklus sebelumnya serta merevisinya sehngga dapat dijadikan rujukan pada tahap selanjutnya. Perencanaan di atas itu kemudian dilaksanakan dalam bentuk pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Selama pelaksanaan tindakan ini juga dilakukan obsevasi untuk mengamati aktivitas guru dan siswa di kelas. Observasi dilakukan oleh anggota peneliti lain untuk mengamati guru yang sedang melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada akhir setiap siklus dilaksanakan evaluasi untuk mengetahui ada atau tidak adanya peningkatan hasil belajar IPA siswa pada materi pokok yang diajarkan. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil belajar yang disusun peneliti. Bilamana secara klasikal minimal 75% siswa telah mencapai nilai paling rendah 65, maka tindakan telah berhasil dilaksanakan. Hasil yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi dianalisis. Kelemahankelemahan atau kekurangan-kekurangan yang terjadi pada setiap siklus akan diperbaiki pada siklus berikutnya.
dianalisis secara deskriptif. Rincian hasil analisis terhadap data setiap siklus tindakan dijelaskan sebagai berikut.
HASIL PENELITIAN
Selama pembelajaran pada siklus I dan siklus II tampak bahwa secara umum guru telah sangat baik dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Namun
1. Pengamatan Aktivitas Siswa Selama pembelajaran pada siklus I tampak bahwa siswa belum berupaya menjawab pertanyaan yang diberikan guru serta belum melakukan diskusi atau bertanya kepada teman terhadap hal-hal yang belum atau kurang dipahami ataupun untuk mengemukakan ide atas jawaban terhadap permasalahan yang diberikan. Pada siklus II hal-hal tersebut mulai berkurang, karena siswa sudah berusaha menjawab dengan baik pertanyaan yang diberikan. Namun demikian, masih banyak siswa yang kurang memperhatikan penjelasan guru, sehingga agak bingung dalam menjawab permasalahan yang diberikan. Selain itu aktivitas yang dilakukan siswa sudah mengarah pada hal-hal yang lebih baik. Siswa telah mampu menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diberikan oleh guru, selain itu kemampuan siswa dalam mengemukan ide atau pendapat untuk menanggapi jawaban temannya dalam berdiskusi di kelas sudah nampak. Jika ada hal-hal yang kurang dipahami, siswa juga hanya bertanya atau berdiskusi dengan teman. Aktivitas siswa pada setiap siklus selengkapnya disajikan pada gambar 1 berikut: 3.1
Skor Rata-Rata
3.5 3
2.3
2.5 2 1.5 1 0.5 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 1. Profil Aktivitas Belajar Siswa Pada Setiap Siklus 2. Pengamatan Aktivitas Guru
Data yang diperoleh pada setiap siklus berupa data hasil belajar IPA siswa, pencapaian ketuntasan belajar, aktivitas siswa dan guru 47
demikian, masih ada beberapa aktivitas yang perlu ditingkatkan kualitasnya, seperti guru belum maksimal menyampaikan tujuan pembelajaran dan kaitannya dengan materi sebelumnya, kurang melakukan evaluasi selama proses pembelajaran, kurang mampu memimpin diskusi dan memberikan penguatan, serta kesimpulan masih agak dipaksakan karena guru belum mengarahkan agar siswa membuat kesimpulan sendiri, serta waktu yang direncanakan masih belum digunakan secara efisien sesuai dengan rencana pembelajaran yang sudah disusun.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil-hasil temuan di atas terlihat bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea pada materi pokok gaya dapat ditingkatkan. Di samping itu, juga diperoleh manfaat-manfaat pengiring seperti meningkatnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, semakin baiknya guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sehingga suasana proses pembelajaran dapat berlangsung secara kondusif. Semakin aktifnya siswa dalam setiap proses pembelajaran pada setiap siklus kegiatan tidak muncul dengan sendirinya. Peran guru yang selalu merefleksi diri setelah melaksanakan suatu proses pembelajaran berdasarkan hasil diskusi dari hasil pengamatan yang dilakukan teman sejawat telah berhasil memaksimalkan kelebihan guru dan menurunkan berbagai kelemahan atau kekurangan guru dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini terlihat dari aktivitas yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran khususnya dalam menjawab pertanyaan guru dan mengemukakan ide serta diskusi baik dalam kelompok maupun dalam kelas. Sebagai hasil dari aktivitas tersebut, hasil belajar IPA siswa pada dua materi yang diteliti telah meningkat dengan cukup baik jika dibandingkan dengan nilai tes awal siswa sebelum pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus I dengan materi gaya sebesar 62,9 dengan sebaran nilai mulai dari 32 sampai 76. Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang memperoleh nilai 65 ke atas atau yang telah mengalami ketuntasan belajar sebanyak 10 orang (66,6%) dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea. Setelah dilaksanakan refleksi dan perbaikan pelaksanaan pembelajaran pada siklus II, rata-rata hasil belajar siswa pada materi gaya meningkat menjadi 69,3 dengan sebaran nilai mulai dari 48 sampai 80. Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang tuntas belajarnya meningkat menjadi 13 orang (86,6%) dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea.
3. Hasil Evaluasi Rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus I dengan materi gaya sebesar 62,9 dengan sebaran nilai mulai dari 32 sampai 76. Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang memperoleh nilai 65 ke atas atau yang telah mengalami ketuntasan belajar sebanyak 10 orang (66,6%) dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea. Setelah dilaksanakan refleksi dan perbaikan pelaksanaan pembelajaran pada siklus II, rata-rata hasil belajar siswa pada materi gaya meningkat menjadi 69,3 dengan sebaran nilai mulai dari 48 sampai 80. Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang tuntas belajarnya meningkat menjadi 13 orang (86,6%) dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea. Dengan demikian, pada siklus II, indikator keberhasilan penelitian ini sudah tercapai. Artinya, model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang digunakan guru dalam mengajarkan materi pokok gaya telah dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea. Secara lengkap ketuntasan belajar siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea dalam pembelajaran IPA disajikan pada gambar 2 berikut: Persentase Ketuntasan
86.6 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
66.6
13.3
Tuntas
Gambar 2.
Siklus I Siklus II
33.3
Belum Tuntas
Profil Ketuntasan Belajar Siswa PadaSetiap Siklus 48
Slameto. (2001). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa hasil belajar IPA siswa pada materi pokok gaya di kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton dapat ditingkatkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan agar: 1. penelitian ini dapat dilanjutkan untuk mengkaji lebih jauh rancangan skenario yang digunakan selama pembelajaran; di samping materi dan media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 2. Perlu dilakukan penerapan yang lebih luas dalam pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD agar diketahui efektivitasnya dalam skala yang lebih besar, terutama pada materi pokok yang memiliki karakteristik sama dan sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. DAFTAR PUSTAKA
Slavin, R. E. (1995) Cooperative Learning. Boston: Allyn and Bacon Suryabrata. (1998). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara. Wihardit, K. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka. Winkel. (1987). Psikologi Pengajaran dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
Anitah, S. (2009). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Dirjen Dikdasmen. (2003). Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, S.B. (2000). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Hamalik, O. (1983). Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito. Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Indrawati. (1999). Model-Model Pembelajaran IPA. Bandung: Depdikbud. Lie, A. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Nur, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press UNESA.
49
IDENTIFIKASI KOMPETENSI DASAR DAN FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA NILAI UJIAN NASIONAL MATA PELAJARAN KIMIA SISWA SMA DI KABUPATEN BOMBANA TAHUN 20101 (Penelitian Pemetaan Dan Pengembangan Mutu Pendidikan Tahun 2011)
Oleh: La Rudi, S.Pd., M.Si2 Muh. Alimmarhadi, S.Pd., M.Pd3 Abstrak. Telah dilakukan penelitian dengan judul identifikasi kompetensi dasar dan faktor penyebab rendahnya nilai ujian nasional mata pelajaran kimia dibeberapa sekolah menengah di kabupaten Bombana. Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengetahui topik-topik dan standar kompetensi yang belum tercapai atau yang sulit dicapai oleh siswa tahun ajaran 2009- 2010 serta identifikasi faktor penyebabnya untuk tiap-tiap sekolah. Metode penelitian digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan wawancara. Pemilihan sekolah sampel didasarkan distribusi sekolah yang merupakan keterwakilan dari tiap-tiap rayon yang ada di kabupaten Bombana dan juga antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Hasil penelitian didapatkan bahwa matei-materi yang sulit dipahami oleh siswa dan susah diajarkan oleh guru kimia adalah Sifat koligatif larutan, menghitung pH larutan, termokimia dan materimateri yang ada hubunganya dengan grafik atau gambar. Adapun faktor penyebabnya ada dua yaitu faktor siswa dan faktor guru. Yang termasuk faktor siswa adalah tingkat pemahaman siswa terhadap materi-materi dasar kimia sangat rendah, minat siswa terhadap pelajaran kimia kurang akibat siswa menganggapnya materi kimia merupkan materi yang susah. Sedangkan faktor guru diantaranya, guru tidak memperhatikan karaktristik materi dengan model atau pendekatana pembelajaran yang tepat, tidak ada motifasi yang kuat terhadap siswa untuk bias memahami materi kimia, guru tidak memperhatikan ketuntasan belajar siswa terhadap kompetensi yang harus dicapai serta tidak adanya evalusi dan remedial setiap selesai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Kata Kunci : UN Kimia Bombana, Komptensi dasar kimia
UAN, selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pelajaran oleh semua sekolah mulai dari SD sampai SMA dan SMK. Tujuan utama Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional adalah untuk (a) mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, (b) mengukur mutu pendidikan, (c) mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta sebagai penentuan kelulusan siswa. Adapun mata pelajaran utama yang diujikan, khususnya pada jenjang SMA adalah: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi, Ekonomi, Geografi, Fisika, Kimia dan Biologi. Mata pelajaran kimia merupakan salah satu mata pelajaran yang sebagian besar siswa menganggap sebagai matapelajaran yang susah
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya. Dalam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib melakukan penilaian selama dan setelah proses pembelajaran berdasarkan pada suatu kompetensi dasar atau Standar kompetensi. Ujian Akhir Sekolah yang disingkat UAS dengan Ujian Akhir Nasional yang disingkat 1
Ringkasan Hasil Penelitian PPMP tahun 2011 Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu 3 Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu 2
50
dan sulit dipelajari, hal ini dikarenakan materinya selalu ada keterkaitan dengan materimateri sebelumnya sehingga jika materi dasar tidak tuntas dipahami, maka materi selanjutnya sudah pasti tidak akan tuntas juga. Masalah ini mengakibatkan hasil ujian nasional (UN) disulawesi tenggara banyak yang tidak mencapai KKM secara nasional. Dari data-data yang diperoleh pada beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang ada di Kabupaten Bombana, dari 40 soal yang diujikan paling banyak 60% siswa menjacapai nilai KKM nasional sebesar 60. Melihat nilai rata-rata UAN Kimia di Kabupaten Bombana tahun pelajaran 2007/2008 siswa yang memperoleh nilai < 6 sebanyak 2,26 % dan tahun ajaran 2009/2010 mengalami peningkatan, dimana siswa yang memperoleh nilai < 6 sebanyak 8,56 %, ini berarti siswa-siswi SMA di Kabupaten Bombana belum mampu mencapai ketuntasan ideal untuk mata pelajaran kimia. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik di Kabupaten Bombana yang mengalami kesulitan dalam menguasai materi kimia dengan baik. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa, antara lain: Pertama, kurangnya motivasi siswa didik untuk meraih nilai akademis yang tinggi. Hal itu disebabkan oleh situasi dan kondisi pendidikan dalam lingkungan keluarga yang kurang mendukung. Kedua, merebaknya sikap instan yang melanda kehidupan kaum remaja. Hal ini disebabkan oleh kuatnya sikap permisif masyarakat yang cenderung membiarkan berbagai perilaku anomali sosial berlangsung di tengah-tengah panggung kehidupan sosial. Ketiga, guru dinilai kurang kreatif dalam melakukan inovasi pembelajaran, baik dalam pemilihan materi ajar, metode pembelajaran, maupun media pembelajaran, sehingga siswa didik cenderung pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer pembelajaran di kelas. Dari uraian tersebut diatas, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi Kompetensi Dasar dan Faktor Penyebab Rendahnya Nilai Ujian Nasional Mata Pelajaran Kimia Siswa SMA di Kabupaten Bombana Tahun 2010” Dalam Lingkup Penelitian Pemetaan Dan Pengembangan Mutu Pendidikan PPMP Tahun 2011.
Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran pemetaan kompetensi dasar mata pelajaran Kimia dalam UN siswa SMA di kabupaten Bombana tahun 2011? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya penguasaan kompetensi dasar pada pokok bahasan tertentu pada mata pelajaran Kimia dalam UN di Kabupaten Bombana tahun 2011? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan komponen-komponen: 1. Gambaran pemetaan kompetensi dasar mata pelajaran Kimia UN siswa SMA di kabupaten Bombana tahun 2011. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penguasaan kompetensi dasar pada pokok bahasan tertentu mata pelajaran Kimia dalam UN di Kabupaten Bombana tahun 2011. Manfaat Penelitian 1.
2.
Manfaat penelitian ini adalah untuk : Menghasilkan suatu dokumen yang menggambarkan pemetaan kompetensi mata pelajaran Kimia dalam UN Bombana tahun 2011 yang dapat digunakan oleh pihak Pendidikan Nasional untuk upaya perencanaan peningkatan mutu pendidikan di wilayah tersebut. Memberikan gambaran mengenai kondisi riil penguasaan materi dan daya serap siswa yang telah mengikuti kegiatan ujian nasional di wilayah kabupaten Bombana.
STUDI PUSTAKA Mutu Pendidikan Semakin tinggi mutu kegiatan belajar siswa, diharapkan semakin baik hasil belajarnya dan semakin banyak masalah belajar yang dialami siswa memungkinkan semakin rendah perolehan hasil belajarnya Dimiyati & Mudjiono 1999:32-37) menyatakan bahwa untuk mencapai taraf penguasaan belajar yang baik, perlu dipelihara keterlibatan siswa dalam belajar dengan menciptakan suasana belajar yang
51
menyenangkan, bertindak sebagai pendidik, dan penyesuaian model pembelajaran dengan kondisi siswa. Hal ini dilakukan untuk peningkatan mutu belajar. Sedangkan taraf penguasaan belajar ideal dari siswa adalah yang mencapai kompetensi dasar 90% atau taraf penguasaan kompetensi minimal 75%-89%. (Depdiknas 2004:36). Taraf kompetensi demikian sukar dicapai, menurut Prayitno (2005) karena proses pembelajaran yang di alami siswa pada jenjang SLTA bermutu kurang mengembirakan. Akibatnya daya serap siswa rendah karena mutu kegiatan belajarnya tidak optimal. Prayitno (1997) yang dikutip dari http:// www. konselingindonesia.com mengemukakan lima kondisi utama yang ada pada diri siswa yang secara langsung mempengaruhi mutu belajarnya, yang tercakup dalam unsur :
menumbuhkembangkan sikap dan nilai yang dituju. Menurut Ron Fry (dalam Herman., dkk 2004:132) yang dikutip dari http:// www. konselingindonesia.com, mengemukakan tujuh keterampilan yaitu (a) mengatur pelajaran, (b) membaca dan mengingat, (c) mengatur waktu belajar, (d) mengikuti pelajaran di kelas, (e) menggunakan kepustakaan, (f) menulis karya tulis dengan baik, dan (g) mempersiapkan diri untuk ujian. Sama dengan Prayitno (2002) bahwa keterampilan belajar yang harus dikuasai siswa meliputi (a) perencanaan masa studi, (b) kemampuan menjalani proses pembelajaran, (c) peningkatan kemampuan membaca, (d) kemampuan mengingat, konsentrasi, dan ketahahanan dalam belajar, (e) penyelesaian tugas dan penulisan karya ilmiah, (f) belajar dari dan bersama orang lain, dan (g) ketetampilan mengikuti ujian. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan katerampilan belajar oleh siswa akan mampu meningkatkan mutu kegiatan belajarnya sesuai dengan target kompetensi belajar yang diharapkan.
a. Prasyarat penguasaan materi pelajaran. Prasyarat penguasaaan materi pelajaran khususnya matapelajaran kimia adalah komponen pertama keberlanjutan pemahaman materi selanjutnya. Menurut Herman, dkk. (2004:129) rendahnya penguasaan materi pelajaran siswa bukan disebabkan karena kemampuan dasar atau kecerdasan siswa, mungkin disebabkan oleh penguasaan materi yang menjadi prasyarat untuk menguasai materi selanjutnya. Dimiyati & Mudjiono 1999:32) mengemukakan jika bahan pelajaran tergolong sukar, maka guru perlu membuat mudah dengan menunjuk bahan prasyarat. Sama dengan Dikdasmen (2004:37) untuk siswa yang mencapai taraf penguasaan materi kurang atau sama dengan 60% harus diberikan pengajaran remedial agar memiliki penguasaan materi pelajaran sampai pencapaian 75%, sekaligus dengan melakukan pembinaan agar mencapai kompetensi minimal yang diharapkan. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa pencapaian target minimal penguasaan materi pelajaran merupakan modal utama peningkatan mutu kegiatan belajar siswa.
c. Sarana belajar Kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna jika disertai dengan penyediaan sarana pembelajaran yang mendukung. Puskurbalitbangdik (2002:17) menyatakan bahwa sarana belajar berfungsi memudahkan terjadinya proses pembelajaran karena dengan sarana belajar mudah menarik perhatian siswa, mencegah verbalisme, merangsang tumbuhnya pengertian, dan berguna multifungsi. Agar terselenggara proses pembelajaran yang berhasil baik diperlukan sarana pembelajaran berupa buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fsilitas laboratorium, serta berbagai media pembelajaran. Depdiknas (2004:10) menyatakan bahwa sarana pembelajaran harus dikelola dengan sistem manajemen yang meliputi tata ruang belajar, kapasitas ruang, jadual pemakaian ruang, tata letak ruang kelas, kebersihan dan keindahan kelas agar proses pembelajaran menjadi nyaman dan menyenangkan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penyediaan sarana belajar dapat memudahkan siswa mentransfer materi pembelajaran menuju penguasaan materi belajar oleh siswa. Sedangkan dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar proses untuk meningkatkan mutu pendidikan
b. Keterampilan belajar Keterampilan belajar yang diharapkan mengacu kepada bagimana siswa belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari. Dikdasmen (2004:9) menyatakan bahwa pengembangan keterampilan-keterampilan memproses perolehan peserta didik akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
52
dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor penentu mutu pendidikan yang dikemukakan oleh Sanjaya (2006) meliputi:
membantu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. e) Kegiatan pembelajaran Pola umum kegiatan pembelajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dan anak didik dengan bahan sebagai perantaranya.
a) Tujuan Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. b) Guru Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan strategi pembelajaran. Lebih Lanjut Dunkin (1974) mengemukakan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru diantaranya: (1) Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka; (2) Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru misalnya pengalaman latihan profesional, tingkatan pendidikan, pengalaman jabatan; dan (3) Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru misalnya sikap guru terhadap siswa, kemampuan atau intelegensi guru, motivasi dan kemampuan dalam penguasaan materi. c) Anak Didik (siswa) Menurut Dunkin (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi : (1) Latar belakang siswa (pupil formative experience); dan (2) Sifat yang dimiliki siswa (pupil properties). d) Sarana dan prasarana Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Kelengkapan sarana dan prasarana akan
f) Lingkungan Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran dan (2) Faktor iklim sosial– psikologis meliputi keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. g) Bahan dan alat evaluasi Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan dan alat yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. h) Suasana evaluasi Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di dalam kelas. Semua anak didik dibagi menurut kelas masing-masing dan tingkatan masing-masing. Besar kecilnya jumlah anak didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan mempengaruhi suasana kelas sekaligus mempengaruhi suasana evaluasi yang dilaksanakan. Hasil Belajar Dalam proses belajar mengajar, hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa penting diketahui oleh guru agar dapat merencanakan kegiatan belajar mengajar secara tepat. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sini guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian orang adalah berkat tindak guru, suatu pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain, merupakan peningkatan kemampuan mental siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3). Hasil belajar mencerminkan tujuan pada tingkat tertentu yang dicapai oleh peserta didik yang dinyatakan dengan angka atau huruf. Hasil belajar adalah hasil akhir dari proses belajar mengajar sebagai upaya yang telah dicapai selama proses ini berlangsung. Hasil belajar
53
mempunyai fungsi utama yaitu: (a) Sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai anak didik; (b) Sebagai lambang hasrat ingin tahu; (c) Sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan; (d) Sebagai indikator dari suatu instasi pendidikan Faktor-faktor Belajar
yang Mempengaruhi
lapangan, tahap (2) pekerjaan lapangan untuk melakukan identifikasi faktor penyebab dari masalah rendahnya pencapaian standar kompetensi mata pelajaran Kimia dalam UN, melalui kegiatan focus group discussion (FGD), Indepth interview, observasi kelas, wawancara dan observasi kompetensi guru, analisis dokumen pendukung, dan kegiatan lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian, dan tahap (3) pasca lapangan dengan kegiatan penentuan prioritas masalah dan pembuatan peta kompetensi siswa tiap pokok bahasan mata pelajaran Kimia dalam UN.
Hasil
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa diantaranya adalah faktor siswa itu sendiri, faktor lingkungan, dan faktor proses belajar mengajar. Menurut Hamalik (2003) dalam Murniati (2004: 15), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa disebabkan oleh: a. Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri peserta didik sebagai faktor penentu berhasilnya proses belajar mengajar di kelas, misalnya minat siswa akan belajar, konsentrasi, bakat yang dimiliki siswa dan kematangan dan kesiapan dalam menerima pelajaran, bahkan perhatian dan motivasi siswa sebagai peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar dengan baik, dimana proses belajar dapat berlangsung dengan baik apabila segala kebutuhan dasar peserta didik telah terpenuhi. b. Faktor eksternal peserta didik yaitu faktor yang bersal dari luar diri pribadi peserta didik yang secara langsung berpengaruh terhadap setiap kegiatan belajar misalnya faktor guru, sarana prasarana dan lingkungan
Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama 1 bulan yaitu Oktober 2011. Tempat penelitian mencakup wilayah kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bombana. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data sekunder, yaitu hasil UN tahun 2008, 2009, dan 2010 pada sekolah rayon di Kabupaten Bombana. Data pendukung lainnya adalah data mengenai kondisi riil yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini yang terdapat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bombana, di sekolah yang dijadikan sampel, dan sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Data primer, yaitu hasil kegiatan lapangan yang diperoleh melalui FGD, angket, indepth interview, observasi kelas, dan seluruh hasil pengamatan dari peneliti selama melaksanakan penelitian.
METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian
Sampel Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan observasi eksploratif dengan menggunakan desain deskriptif analitis. Proses penelitian menggunakan tahap (1) pra lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan peta kompetensi siswa tiap pokok bahasan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah (a) studi dokumentasi (input): dokumen nilai UN), (b) pengolahan dan analisis data UN, (c) Penjajakan lapangan (pemilihan sekolah Kabupaten Bombana berdasarkan Rayon), (d) Pemilihan dan interaksi dengan subjek dan informan, dan (e) Penyiapan piranti pembantu untuk kegiatan
Untuk keperluan ke lapangan, maka peneliti menggunakan sampel sekolah dan sampel guru. Penentuan sampel sekolah dan guru menggunakan teknik purposive sampling dengan asumsi bahwa semua sekolah adalah jenjang yang sama yaitu jenjang SMA dengan menggunakan kurikulum KTSP dan berdasarkan pertimbangan bahwa guru-guru yang mengajar memiliki kompetensi yang sama dan dapat mewakili bidang-bidang studi dalam UN untuk dilakukan FGD atau Indepth interview. Setelah dilakukan sampling berdasrakan pertimbangan wilayah rayon dan status sekolah,
54
maka jumlah sekolah yang mewakili sebanyak 4 sekolah, dimana sekolah Negeri senanyak 3 sekolah dan sekolah swasta satu sekolah.
diperoleh kepastian bahwa simpulan itu benar untuk semua kasus atau setidak-tidaknya sesuatu yang semula tampak bertentangan, akhirnya dapat diliput aspek-aspek yang tidak berkesesuaian tidak lagi termuat. Dengan katakata lain dapat dijelaskan "duduk persoalannya". Selain itu, peneliti juga menguji kecukupan acuan dalam menarik simpulan. Kecukupan acuan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengajukan kritik internal terhadap temuan penelitian. Berbagai bahan digunakan untuk meneropong temuan penelitian. Kepastian penelitian ini diupayakan dengan memperhatikan topangan catatan data lapangan dan koherensi internal laporan penelitian. Hal ini dilakukan dengan cara meminta berbagai pihak untuk melakukan audit kesesuaian antara temuan dengan data perolehan dan metode penelitian.
Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi kelas, studi dokumentasi, FGD, indept interview, dan kuisioner. Analisis data Untuk meningkatkan derajat kepercayaan data perolehan, dilakukan dengan teknik: (1) ketekunan pengamatan, (2) triangulasi, (3) pemeriksaan sejawat, (4) kecukupan referensial, (5) kajian kasus negatif, dan (6) pengecekan anggota. Dengan mengamati secara tekun, diharapkan dapat menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur dalam suatu situasi yang sangat relevan dengan rendahnya kompetensi siswa pada setiap bidang UN yang diujikan. Triangulasi dilakukan untuk melihat gejala dari berbagai sudut dan melakukan pengujian temuan dengan menggunakan berbagai sumber informasi dan berbagai teknik. Pemeriksaan sejawat dilakukan dengan cara mengetengahkan (to expose) hasil penelitian, baik yang bersifat sementara maupun hasil akhir, dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat. Dengan cara ini peneliti berusaha mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran, dan mencari peluang untuk menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari peneliti (pemikiran peneliti). Sebelum menetapkan temuan sebagai kecenderungan pokok, peneliti melakukan pengecekan anggota. Ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan berapa proporsi kasus yang mendukung temuan, dan berapa yang bertentangan dengan temuan. Bila ada penyimpangan dalam kasus-kasus tertentu, peneliti menelaahnya secara lebih cermat. Telaah lebih cermat terhadap kasus-kasus yang menyimpang sering disebut sebagai analisis kasus negatif. Teknik ini dilakukan untuk menelaah kasus-kasus yang saling bertentangan dengan maksud menghaluskan simpulan sampai
HASIL DAN PEMBAHASAN Kompetensi Dasar Materi Kimia yang Belum Tercapai dalam Ujian Nasional di Kabupaten Bombana. Mata pelajaran kimia merupakan salahsatu matapelajaran yang kebanyakan siswa menganggapnya sulit untuk dipelajari. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa, sulitnya materi kimia karena rata-rata materinya berhubungan dengan perhitungan-perhitungan yang berkaitan dengan reaksi-reaksi kimia. Jika dilihat dengan ketercapaian rata-rata nilai ujian untuk matapelajaran kimia untuk kabupaten Bombana, rata-rata nilai UN termasuk kategori baik dibandingkan dengan matapelajaran IPA lainnya, namun ada beberapa kompetensi dasar yang samasekali tidak bias dijawab oleh semua peserta dalam satu kelas baik dalam soal paket A maupun soal paket B. Berikut disajikan kompetensi dasar siswa yang belum tercapai pada mata pelajaran kimia di kabupaten bombana pada UN tahun 20082010 yang dibreakdown dari program PPMP (Balitbang, 2009).
55
Tabel 1. Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kompetensi yang diujikan
Rayon
Menentukan nama proses pembuatan/pengolahan unsur/senyawa dr suatu wacana Memilih kegunaan protein dr beberapa manfaat/kegunaan makanan dlm tubuh Menentukan isomer fungsi/posisi dr senyawa alkanol Menentukan tekanan uap yg paling besar/kecil dr bagan beberapa larutan Dari tbl hasil pembakaran, tentukan bhn bakar yg bil oktannya besar/kecil Menentukan kelarutan senyawa dr data ksp suatu senyawa dlm ion senama Menentukan contoh penerapan sifat koloid tertentu Dari tbl data pengamatan uji lakmus memilih garam yg mengalami hidrolisis Mnentukan masa zat hasil reaksi kimia yg mnghasilkn gas pd kondisi tertutup Menentukan pernyataan yg benar/salah tentang karbohidrat, protein & lemak
24.44 28.57 39.09 44.36 46.62 48.50 48.87 50.75 52.63 53.01
Sumber: data penelitian diolah Tabel 2. Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12
Kemampuan Yang Diuji
Rayon
Menghitung laju reaksi pd konsentrasi dari data eksperimen & persamaan reaksinya Menghitung pH garam yg trhidrolisis dr vol asam/basa pembentuk garam & parameter Memprediksi letak satu unsur dlm tabel periodik berdasarkan diagram orbital Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap memiliki sifat koligatif Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat Menentukan gbr yg termasuk reaksi dr gbr yg berhubungan dgn reaksi ekso/endoterm Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu Memperkirakan harga pH air limbah dr tabel hasil uji beberapa air limbah dg beberapa indicator Memprediksi letak satu unsur dlm tabel periodik berdasarkan diagram orbital Memilih gbr yg laju reaksinya dipengaruhi oleh faktor tertentu dr beberapa gbr proses pelarutan Memilih gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jk kondisinya diket berikut gbr partikel pereaksi mula2
28.52 30.00 31.25 33.10 37.80 42.26 48.89 50.23 55.11
Sumber: data penelitian diolah Tabel 3. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2010
Kemampuan Yang Diuji Menentukan gbr yg termasuk reaksi dr gbr yg berhubungan dgn reaksi ekso/endoterm Menentukan kegunaan suatu makromolekul berdasarkan informasi yg diberikan Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat Menentukan sepasang data yg berhub scr tepat dr tabel batuan&unsur yg dikandung Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap memiliki sifat koligatif Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu Menghitung ?H reaksi jika parameternya diketahui dlm proses pelarutan/pembakaran Menentukan gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jika kondisinya diketahui
Sumber: data penelitian diolah
56
Rayon 12.18 16.52 18.26 21.74 43.48 46.09 46.96 57.39
Ada beberapa standar yang menjadi perhatian dalam wawancara dengan guru dalam pengambilan data dalam penelitian ini, yaitu standar isi, standar proses dan standar penilaian. (1) standar isi. Guru dalam mengajar, kebanyakan tidak menembangkan KTSP, KTSP yang diajarkan hanya copy paste dari sumber lain. Dalam mengajar, guru tidak memperhatikan ketuntasan kompetensi yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan dalam mengajar, guru tidak mempersiapkan RPP terlebih dahulu. Dalam proses belajar mengajar, guru hanya membaa buku paket yang menjadi pegangan guru itu sendiri. (2) standar Proses. Selama proses belajar mengajar, guru tidak melakukan remedial baik setelah selesai standar kompetensi maupun kompetensi dasar dari mater yang akan dicapai. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa dan guru yang mengajar dikelas XII, ditemukan bahwa faktor penyebab tidak tercapainya KKM soal ujian nasional matapelajar Kimia adalah: a) Proses Belajar Mengajar masih berpusat pada guru, hal tersebut dapat terlihat dari sikap siswa yang hanya menunggu informasi pengetahuan dari guru dan guru yang lebih banyak aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk untuk menemukan sendiri konsep kimia yang dipelajarinya. b) Siswa kurang dilatih untuk membangun/mengkontruksi sendiri pengetahuan, sehingga pengetahuannya kurang bermakna bagi kehidupan sehariharinya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi tidak Tercapainya KKM Pada bagian ini akan disajikan faktorfaktor yang mempengaruhi pencapaian kompetensi dasar mata pelajaran UN di kabupaten Bombana. Faktor-faktor yang dimaksud berdasarkan delapan standar pendidikan yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Faktor-faktor yang dirumuskan dalam laporan ini adalah faktor yang mempengaruhi secara keseluruhan sehingga standar komptensi yang diajarkan belum dicapai oleh siswa, sehingga kompetensi yang ingin dicapai tidak mencapai KKM sekolah maupun KKM Nasional. Dari data-data hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa faktor penyebab rendahnya penguasan kompetensi dasar dari materi Kimia disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor siswa, faktor guru dan faktor sarana prasarana. 1. Faktor siswa. Berdasarkan wawancara secara langsung dengan Guru yang mengajar dan terhadap beberapa siswa yang sempat diwawancarai, didapatkan kesimpulan bahwa yang menjadi faktor dari siswa adalah : a) Minat siswa untuk belajar kimia sangat rendah karena tingkat pemahaman siswa terhadap dasar-dasar kimia kurang. b) Selama proses belajar mengajar, siswa kebanyakan pasif. Materi-materi yang telah diajarkan pada pertemuan terdahulu, jika ditanyakan ulang kebanyakan siswa dalam satu kelas sudah melupakan materi yang telah diajarkan. c) Siswa kesulitan dengan rumus-rumus matematis dan soal-soal hitungan. 2. Faktor guru Dari delapan standar pendidikan, faktor guru banyak menentukan ketercapaian kompetensi dasar dari materi yang diajarkan.
Untuk mengatasi masalah rendahnya hasil belajar dan supaya pengetahuan dapat bermakna bagi kehidupan siswa, diperlukan suatu proses pembelajaran yang melibatkan peran aktif dan pengalaman nyata siswa. Salah satu pendekatan seperti ini adalah pendekatan 57
kooperatif. Pendekatan kooperatif menyatakan bahwa pengetahuan baru yang diterima siswa bukan karena pentransferan ilmu dari guru kepada siswa melainkan pengetahuan itu dibangun oleh benak siswa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bruner (dalam Dahar, 1989 :103) mengatakan bahwa metode pembelajaran inkuiri (penemuan) merupakan pembelajaran yang sesuai dengan hakikat manusia untuk selalu mencari pengetahuan secara aktif. Dengan pembelajaran ini, meteri pelajaran yang didapatkan siswa akan lebih tahan lama, mudah diingat, dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah berdasarkan pengetahuan atau konsep yang telah dibangun oleh siswa , dapat memunculkan motivasi belajar serta dapat mengembangkan keterampilan proses yang dimiliki siswa. Adapun prosentase yang mempengaruhi pencapaian kompetensi dasar berdasarkan sekolah sampel adalah sebagaimana disajikan dalam tabel berikut: Sekolah Sampel Isi Pros Penilaian SMAN A 37.50 55.56 30.77 SMAN B 25.00 55.56 46.15 SMAN C 25.00 66.67 53.85 SMAS D 50.00 66.67 30.77 Rata-rata 34,37 61,11 40,38
materi-materi yang berhubungan dengan hitungan-hitungan diantaranya, Materi Sifat Koligatif larutan, termokimia, asam basa (perhitungan pH) dan soal-soal yang berhubungan dengan gambar atau grafik. 2. Faktor penyebab tidak terpaianya kompetensi dasar materi Kimia pada sekolah yang menjadi sampel disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor siswa dan faktor guru. Faktor siswa berhubungan dengan minat siswa, tingkat pemahman siswa terhadap hitungan-hitungan dasar dalam Kimia. Sedangkan faktor guru diantaranya guru tidak memperhatikan ketuntasan belajar siswa terhadap kompetensi yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar.
Sumber: Data yang diolah dari hasil penelitian.
Dimyati. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Balitbang. 2009. Persentase Penguasaan Materi Soal Ujian Nasional SMA/MA Tahun Ajaran 2008/2009. Pusat Penilaian Pendidikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Badan Nasional Standar Pendidikan Ditjen Dikti. DEPDIKNAS. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif: Pelayanan Profesional Kurikulum 2004. Jakarta, 2003. Dikdasmen. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.
Dari data tersebut terlihat bahwa mayoritas faktor yang mempengaruhi pencapaian kompetensi disebabkan oleh standar proses (61,11%), standar penilaian (40,38%) dan standar isi (37.50%).
Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: http://www.konselingindonesia.com. Masalah Belajar. diapload tanggal 12 januari 2012.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana
Dari uraian hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Materi-materi kimia yang sulit dipahami oleh siswa dalam soal-soal ujian nasional adalah 58
KAJIAN EFEK-EFEK TERMO-MEKANIK TERHADAP PERUBAHAN PANJANG RELATIF PADA MAIN-CHAIN LIQUID CRYSTAL ELASTOMER (MC-LCE)1 Oleh: Vivi Hastuti Rufa Mongkito2 La Harudu3 Abstrak. Telah dilakukan penelitian sifat-sifat termo-mekanik pada main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE), dengan perbedaan konsentrasi cross-linker 2.5 %, 6 % dan 12 %, sebagai fungsi suhu akibat proses pemanasan (heating) dan pendinginan (cooling). Bila suhu meningkat, panjang MC-LCE secara monoton menyusut sejajar terhadap arah direktor, n, sementara MC-LCE mengembang tegak lurus terhadap arah n dengan berkurang secara cepat di sekitar suhu transisi nematik-isotropik, Tni, selama proses pemanasan. Setelah pendinginan, semua sampel kembali ke bentuk semula. Kontraksi maksimum meningkat dengan meningkatnya konsentrasi cross-linking. Kontraksi maksimum dari MC-LCE dengan konsentrasi cross-linker 12 % adalah sekitar 120 %. Histeresis dari perubahan panjang relatif dari MC-LCE dikaji sebagai fungsi suhu. Perubahan panjang relatif dari MC-LCE menunjukkan histeresis yang signifikan pada transisi nematik-isotropik selama proses pemanasan dan pendinginan. Kata kunci: Main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE), efek-efek termo-mekanik.
Suatu pertumbuhan yang menarik dalam pengembangan otot-otot buatan seperti aktuatoraktuator yang baik untuk realisasi gerakan biomimetic juga diharapkan dapat berperan sebagai sebuah aktuator baru yang menggantikan motor-motor listrik pada robot. Aktuator-aktuator ini dapat merubah bentuk dan dimensinya ketika dikenai sebuah potensial. Oleh karena itu, maka kemudian beberapa kandidat aktuator yang terbuat dari bahan-bahan lunak seperti ionic gels, polymer networks dan liquid crystal elastomer (LCE) diusulkan. Aktuator-aktuator polimer tersebut memberikan banyak keuntungan seperti fleksibilitas, ringan, biayanya murah dan pemenuhan operasi yang aman (Yu dan Ikeda, 2006). Salah satu yang paling mungkin adalah LCE. Gagasan menggunakan LCE sebagai otot-otot buatan pertama kali diusulkan pada tahun 1997 oleh de Gennes dkk (Spillman dkk, 2006). Khususnya, tandan (stem) nematik LCE yang unik yang mana mereka menunjukkan sifat
PENDAHULUAN Perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa menghasilkan temuantemuan baru yang tentunya sangat memudahkan dan membantu kebutuhan manusia. Perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang sensor-sensor, actuator material dan otototot buatan (artificial muscle). Sebuah aktuator fungsionil dan sebuah otot buatan yang terbuat dari bahan-bahan lunak (soft materials) adalah piranti-piranti yang diperlukan untuk teknologi masa depan berbasis human engineering dan keselarasan antara mesin dan manusia. Sejauh ini aktuator pada robot-robot sebagian besar berbasis pada motor listrik, tetapi hal tersebut mempunyai beberapa kerugian, seperti misalnya karena keterbatasan ukuran dan bentuk, transmisi yang kompleks, terbuat dari hard materials (sehingga berat dan noisy), dan tidak begitu terkontrol secara akurat (Yusuf, 2006).
1
Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu 3 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu 2
59
macroscopic reversible dan kontraksi anisotropik ketika material LCE dipanaskan dan didinginkan melalui fase transisi suhu nematik ke isotropik. Dalam monodomain liquid single crystal elastomer nematik, perubahan bentuk yang signifikan terjadi pada suhu transisi nematikisotropik (gambar 1) . Monodomain liquid single crystal elastomer (LSCE) secara optik transparan sebab sumbu birefringence atau orientasi direktor, n, unit mesogen teratur dalam keadaan liquid crystal. Finkelmann dan Kundler setelah itu melaporkan bahwa film nematic LCE (NLCE) memperlihatkan kontraksi secara spontan ketika dipanaskan menuju suhu nematikisotropik (Thomsen dkk, 2001).
anisotropi rantai polimer dan orde parameter nematik, S(T). Fenomena-fenomena yang timbul diprediksi akan berpotensi untuk berkelakuan sebagai artificial muscle (Hogan dkk, 2008). Penelitian secara intensif terhadap efek termo-mekanik dari side-chain liquid crystal elastomer (SC-LCE) sudah banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir (Yusuf dkk, 2005, 2006), namun respon dari efek mekanik masih relatif kecil sehingga perlu ditingkatkan. Pada penelitian sebelumnya oleh Yusuf dkk digunakan cross-linker bifunctional (polydimethylsiloxane dengan terminal grup vinyl) dan trifungtional (1, 3, 5 trisundec-10-enoxy-benzene) pada SC-LCE (Yusuf dkk, 2005). Hasil yang diperoleh memperlihatkan nilai perubahan bentuk anisotropi, Δλ, yang masih relatif kecil dari yang diharapkan sehingga masih perlu ditingkatkan. Berlatar belakang pada permasalahan di atas, penelitian ini akan difokuskan untuk mencari sebuah bahan di dalam LCE yang memiliki respon cepat dan sensitif terhadap suhu dan medan listrik sebagai sebuah otot buatan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan digunakan tipe main-chain liquid crystal elastomers (MC-LCE) dengan pemilihan agen cross-linker dan unit mesogen yang tepat. Donnio, Wermter, dan Finkelmann pertama kali mensintesa MC-LCE dengan cross-linking rantai polimer liquid crystal dan sebuah siloxane yang fleksibel berbasis cross-linker. Sistem mainchain ini menunjukkan nematic mesophase dan sifat anisotropik mereka yang mempunyai analisa termal dan mekanik sebagai fungsi kerapatan cross-linking. Dalam MC-LCE prilaku fase utamanya ditentukan oleh komposisi kimia dari mesogen, karena itu orde nematik dari mesogen dan sifat-sifat mekaniknya adalah sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri dan kosentrasi cross-linker. Struktur dasar dan struktur kimia pembentuk MC-LCE adalah 2-ethyl-1,4-phenylen bis [4-[4-(vinyloxi)buboxy] benzoate] (C34H38O6) yang mempunyai Δε positif ~ 50, Cross-linker agent adalah pentamethylcyclopentasiloxane (C5H20O5Si5) yang diketahui mempunyai fleksibelitas yang dan anisotropi yang lebih tinggi dari tipe SC-LCE, yang artinya akan menghasilkan efek-efek mekanik yang lebih besar dan rantai pemanjang (chain extender) 1,1,3,3,tetramethyldisiloxane. Respon anisotropik dalam
Gambar 1. Proses termal menyebabkan kontraksi spontan dalam LCE. N = nematik; I = isotropik LCE menjadi menarik karena mengkombinasikan dua sifat-sifat fisika, yaitu sifat anisotropik dari liquid crystal (mesogen) dan sifat elastik dari jaringan-jaringan polimer (polymer networks). Sebagai konsekuensi kedua sifat diatas LCE menunjukkan sejumlah efek-efek mekanik dan optik bila diberi berbagai rangsangan (stimuli) eksternal seperti suhu, medan listrik, medan magnet dan cahaya. Sifat mekanik material LCE dapat dikontrol dan dioptimasi dengan memilih secara efektif pada fase liquid cristal, kerapatan cross-linking, fleksibilitas polymer backbone, penggabungan antara backbone dan grup liquid crystal, dan pengaruh (stimuli) eksternal, dimana laju kontraksi muncul ketika fase transisi terjadi. Perubahan bentuk (deformation) termomekanik ini merupakan perhatian yang sangat menarik sebagai kandidat otot-otot buatan lunak (soft artificial muscle) (Yusuf, 2005; Li dan Keller, 2006; Yu dan Ikeda, 2006). Ketika dipanaskan molekul-molekulnya mengalami perubahan panjang yang spontan dan histerisis pada daerah disekitar suhu transisi nematikisotropik. Fenomena ini karena perpaduan antara 60
MC-LCE adalah lebih besar daripada dalam SCLCE karena perpautan langsung unit mesogen dalam polymer backbone. Penelitian ini akan dikonsentrasikan untuk mengamati efek-efek mekanik (perubahan panjang relatif, λ dan kontraksi maksimum dari MC-LCE terhadap variasi suhu. Dalam penelitian ini menggunakan material MC-LCE dengan kosentrasi cross-linker 2.5 %, 6 % dan 12 %. Bahan-bahan LCE yang digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh grup Finkelmann di Makromolekulare Chemie, Freiburg University. Networks pada LCE diperoleh dari hasil sintesa yang dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah dengan menambahkan bifunctional cross-linking agents pada rantai polimer, sedangkan tahap kedua adalah dengan memberikan regangan mekanik (mechanical strain) saat proses cross-linking agar diperoleh orientasi direktor, n, yang seragam dari grup mesogen (Li dan Keller, 2006). Liquid crystal elastomer (LCE) terdiri dari dua sub-struktur, cross-linked siloxane polimer networks dan side-chain/main-chain grup mesogen yang terbuat dari molekul-molekul liquid crystals (Finkelmann dkk, 1981). Beberapa efek fisika yang luar biasa yang ditemukan dalam LCE adalah perubahan bentuk yang reversibel secara spontan pada pemanasan ataupun pendinginan, sifat elastisitas (deformasi mekanik) tanpa adanya atau tekanan yang kecil, ketidakstabilan mekanik dan ketidakkontinuan hubungan stress-strain pada perubahan orde nematik oleh medan mekanik, perubahan elektrik dari sifat optik dengan menyertai tekanan mekanik, fase padat nematohydrodynamic dan dinamika kelunakan (Tajbakhsh dan Terentjev, 2001). Prilaku unik LCE ini diturunkan dari perpautan antara sifat elastis jaringan-jaringan polimer dan orientasi arah mesogenic mereka. Kombinasi dua sifat material ini cukup menarik perhatian para peneliti untuk mengkaji lebih dalam lagi. Keller dkk melakukan penelitian yang memberikan kontribusi penting pada perubahan bentuk microsized sebagai respon pillar yang didasarkan pada material LCE dengan menggunakan teknik soft lithography yang disebut replica molding. Respon side-chain (SC) yang berukuran mikro yang didasarkan pada material LCE, ketika dipanaskan dari fase
nematik ke fase isotropik, SC-LCE yang ditanamkan dalan minyak silikon mangalami kontraksi pada orde 30-40% (gambar 2) (Yu dan Ikeda, 2006). Kontraksi SC-LCE ini akan kembali seperti semula (bentuk asal mereka) setelah didinginkan dari fase isotropik ke fase nematik. Penelitian secara intensif terhadap efekefek termo-mekanik dari side-chain liquid crystal elastomers (SC-LCE) juga telah diamati (Yusuf dkk, 2004, 2005, 2007). Efek termo-mekanik dari bifunctionally cross-linked SC-LCE (dengan 8% bifunctional cross-linker) ini sudah dikaji secara mendalam, dimana sebuah perubahan panjang yang spontan pada suhu transisi nematikisotropik terjadi seperti terlihat pada gambar 3. Perubahan bentuk pada SC-LCE sebagai respon terhadap suhu adalah menyusut jika sejajar n ( n ) dan mengembang jika tegak lurus n ( n ). Dalam keadaan nematik, SC-LCE mempunyai bentuk gyration rerata ellipsoid dari jaringan polimer searah dengan direktor, n, yang mana jari-jari R|| (searah n) lebih besar dari R┴ (tegak lurus n). Di atas suhu transisi (~ 80oC) orde nematik menjadi lenyap dan kemudian jaringan polimer berubah bentuk menjadi spherical isotropik.
Gambar 3. Perubahan bentuk dari SC-LCE sebagai fungsi suhu. Dimensi SC-LCE yang searah dengan n meyusut, yang tegak lurus n mengembang (Yusuf, 2004). Perubahan suhu mempengaruhi orde parameter nematik suatu nematic elastomers dan perubahan bentuk makroskopi, yang secara permanen molekul-molekulnya bersejajaran dalam keadaan monodomain. Parameter 61
perubahan panjang relatif chain anisotropy, λ, adalah perbandingan panjang ekspansi/penyusutan, Li, terhadap panjang isotropik, Lo. Garfik pemanasan dan pendinginan yang menunjukkan perubahan panjang relatif dari SC-LCE (gambar 4).
kamera (Panasonic, WV-BD400) berfungsi untuk memfoto hasil pengamatan pada sampel, satu set PC berfungsi untuk menyimpan hasil pengamatan sebelum dianalisa dengan program CorelDraw dan KGraph. Bahan yang digunakan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monodomain MC-LCE, silicon oil berfungsi sebagai pelican, yaitu untuk menghindari gesekan lansung antara MC-LCE dengan glass saat MC-LCE mengalami kontraksi, substrat kaca (glass) berfungsi sebagai wadah/tempat sampel, etanol 95 %, aseton, deterjen, osilasi teflon berfungsi untuk merekatkan substrat kaca yang telah ditempati sampel agar tidak bergeser sehingga pada saat pengamatan diperoleh gambar yang simetri, tabel hambatan Ro, Pt 100.
Gambar 4. Proses pemanasan dan pendinginan pada SC-LCE menunjukkan peristiwa histersis (Yusuf, 2004). Dari tinjauan pustaka di atas terlihat bahwa kajian efek-efek termo-mekanik dari beberapa tipe LCE sedang dilakukan secara komprehensif. Kajian terhadap bahan main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE) untuk efekefek mekanik serta mekanisme fisisnya masih pada tahap penelitian. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian ini.
Rancangan Penelitian Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk pengukuran efek termo-mekanik pada liquid crystal elastomer. Keller dkk meciptakan perangsang pillar LCE microsized, dengan menggunakan teknik a soft lithography disebut replica molding. Pada penelitian ini digunakan hot stage dan tembaga berongga untuk elemen panas yang terbungkus teflon sebagai stimuli suhu eksternal. Untuk pengamatan fenomena efek termo-mekanik dengan metode ini telah terbukti pada sampel side-chain liquid crystal elastomer (SC-LCE) (Yusuf dkk, 2004). Merancang set-up ekperimen seperti yang terlihat pada gambar 5.
METODE PENELITIAN Alat yang digunakan Peralatan dalam penelitian ini adalah ultrasonic cleaner yang berfungsi untuk membersihkan substrat kaca yang akan digunakan sebagai wadah/tempat sampel, pisau bedah yang berfungsi untuk memotong sampel (MC-LCE), pinset yang berfungsi untuk memegang dan mangambil sampel, bola lampu 50 Watt berfungsi sebagai penerang saat memotong sampel, multimeter untuk mengukur perubahan hambatan Ro yang diakibatkan oleh perubahan suhu yang direspon oleh sampel, power supply berfungsi sebagai sumber pembangkit tegangan, heater control unit (Digital Controlled CHINO DB500) berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur suhu, hot stage dan tembaga berongga (elemen pemanas) yang terbungkus Teflon sebagai stimuli suhu eksternal pada sampel, mikroskop (Nikon, OPtiphot-pol) berfungsi untuk mengamati sampel yang diukur,
Gambar 5. Set-up eksperimen thermomechanical properties. Keseluruhan pengukuran diamati pada sebuah polarizing microscope (Nikon, Optiphot62
pol) yang terhubung langsung dengan charge coupled device (CCD) camera (Panasonic, WVBD400). Suhu dari sampel cell diatur dengan menggunakan pengatur suhu (Digital Controlled CHINO DB500). Perubahan hambatan Ro oleh respon sampel (MC-LCE) terhadap suhu dapat diamati dengan menggunakan mulitimeter.
difokuskan pada planar sample. Tebal sampel adalah ~ 300 μm. Setelah MC-LCE dipotong ditaruh diatas glass yang sudah dilapisi silicon oil. Silicon oil adalah bahan yang tidak berinteraksi kimia secara langsung dengan MCLCE yang berfungsi sebagai pelicin, yaitu untuk menghindari gesekan langsung antara MC-LCE dengan glass saat MC-LCE mengalami kontraksi.
Persiapan Sel Sampel
Pengukuran dan Kontrol Suhu Sampel
Sebelum sampel ditanamkan pada substrat kaca (glass) terlebih dahulu dilakukan pada glass adalah dibersihkan dengan menggunakan ultrasonic cleaner. Tekniknya selama 1 jam dicuci dengan larutan aceton, selanjutnya 1 jam dengan detergen, kemudian 1 jam lagi dengan aceton kembali, terakhir 1 jam dengan etanol 95%.
Kontrol suhu diperoleh dengan menggunakan a hot stage dan logam berlubang yang terbungkus teflon sebagai elemen panas (heater) yang dikontrol oleh sebuah sistem kontrol listrik (digital controlled CHINO DB500). Hot stage dibangun dari tembaga yang berbentuk pelat dan pada pusat pelat berlubang. Sel hot stage berbentuk silinder berongga yang pada permukaannya berlubang dengan diameter pusat 14 mm sebagai jalan pencahayaan pada sampel.
Gambar 6. Sel sampel untuk pengukuran termomekanik. Persiapan Sampel Material MC-LCE yang digunakan pada penelitian ini terdapat tiga konsetrasi cross-linker yaitu 2.5 %, 6 %, dan 12 %. Sebelum melakukan pengamatan dan pengukuran pada sampel terlebih dahulu sampel dipotong dengan menggunakan pisau bedah. Tipe empat persegi panjang sampel MC-LCE dengan perbedaan orientasi direktor terhadap arah n. Salah satunya diperoleh dengan memotong sejajar arah n (planar sample) dan lainnya diperoleh dengan memotong tegak lurus arah n (homeotropic sample).
Gambar 8. Sel a hot stage dan heater pada eksperimen termo-mekanik. Pada dinding pelat hot stage dibuat celah untuk dua Catridge heater, satu diatur sebagai pengontrol suhu sedangkan yang lainnya diakomodasi untuk satelit sensor sebagai pengontrol suhu sampel. Salah satu dari celah juga terakomodasi sebagai pengatur Pt 100 ke multimeter. Semua permukaan diisolasi dengan jaket plastik, agar sampel terisolasi dari aliran udara sekitar ruang hot stage. Sampel itu sendiri diletakan dalam sel sampel kemudian diletakan diatas hot stage. Pengukuran dilakukan dalam dua proses yaitu proses pemanasan dan pendinginan. Selama proses pemanasan ataupun pendinginan jangkauan suhu antara 30oC – 90oC untuk cross-linker 2.5 % dan 6 %, sedangkan untuk cross-linker jangkauan suhunya antara 30oC – 100oC. Dalam pengukuran ini menggunakan multimeter terkalibrasi untuk membaca besar hambatan Ro yang dibangkitkan
Gambar 7. Persiapan sampel untuk pengukuran termo-mekanik. Dua tipe potongan MC-LCE. Keduanya disiapkan untuk mengukur perubahan bentuknya. Namun, dalam penelitian untuk pengukuran termo-mekanik ini hanya 63
tiap suhu pada masing-masing monodomain MCLCE dengan perbedaan cross-linker. Gambar tiap suhu dengan interval 1oC difoto selama proses pemanasan dan pendinginan.
dan pemanasan. Perubahan bentuk monodomain nematik yang spontan drastis terjadi pada suhu transisi nematik-isotropik. Hal in terjadi karena penggabungan antara sifat anisotropi chain polimer liquid crystal dan orde parameter nematik. Seperti yang ditunjukkan dalam plot perubahan panjang relatif pada direktor, n, nematik dan variasi orde parameter terhadap suhu (gambar 5.1). Perubahan bentuk yang makroskopik pada jaringan rantai yang elastis akan berkurang dibawah pengaruh polimer penyangga (Hogan dkk, 2008) Set up alat pengamatan dan pengukuran efek-efek termo-mekanik ditunjukan pada gambar 9.
Pengamatan Fenomena Efek Termo-Mekanik Sampel yang terukur secara langsung dapat diamati melalui mikroskop (Nikon, Optiphot-pol). Tiap suhu, gambar yang teramati difoto dan setiap gambar tersimpan langsung dalam memori. Fenomena yang teramati selama proses pemanasan dan pendinginan adalah menyusut dan mengembang. Pada proses pemanasan sampel menyusut terhadap sumbu-x dan mengembang terhadap sumbu-y. Sebaliknya pada proses pendinginan sampel mengembang terhadap sumbu-x dan menyusut terhadap sumbuy. Pengukuran dilakukan berulang untuk masingmasing sampel monodomain MC-LCE dengan perbedaan cross-linker. Pengukuran dan Analisa Data Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk pengukuran dan analisa data (gambar) dari hasil foto sampel. Dalam penelitian ini program yang digunakan adalah CorelDRAW dan KGraph. CorelDRAW digunakan untuk mengukur besar kontraksi sampel, dimana diukur pada sumbu-x dan sumbu-y. Dengan mengukur perubahan panjang dari ujung satu ke ujung lainnya pada pertengahan gambar sampel. Cara pengukuran ini dilakukan sama untuk kedua sumbu. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran akan dianalisa dengan menggunakan Kgraph untuk memperoleh grafik hubungan perubahan panjang relatif, λ, terhadap suhu T(oC). Grafik dari hasil plot λ versus T, dapat ditentukan titik transformasi fase nematik-isotropik, Tni.
Gambar 9. Foto set up alat pengamatan Thermo-mechanical effects yang dikembangkan dalam penelitian ini ( Laboratorium Fisika Zat Padat FMIPA UGM). Perubahan Panjang Relatif pada Main-Chain Liquid Crystal Elastomer (MCLCE) Fenomena mekanik diamati dengan menggunakan polarizing microscope (Nikon, Optiphot-pol) yang terhubung langsung dengan charge coupled device (CCD) camera (Panasonic, WV-BD400). Perubahan bentuk pada sampel terekam secara langsung dalam memori PC oleh snapshot camera yang terhubung langsung dengan polarizing microscope. Suhu dari sampel dikontrol menggunakan pengatur suhu (Digital Controlled CHINO DB500). Efek-efek termo-mekanik pada crosslinking MC-LCE yang diselidiki dalam eksperimen ini, dimana perubahan bentuk yang spontan ditemukan di sekitar suhu transisi fase nematik-isotropik, Tni. Perubahan bentuk ini tidak hanya terjadi pada transisi, tetapi selanjutnya ke fase isotropik. Fenomena mekanik pada MC-LCE dengan perbedaan konsentrasi 2.5 %, 6 % dan 12 % sebagai respon terhadap suhu selama proses
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini telah dilakukan pengamatan dan pengukuran efek-efek termomekanik terhadap monodomain main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE) dengan perbedaan konsentrasi yaitu 2.5 %, 6 %, dan 12 %. Fenomena dari efek-efek mekanik tersebut dapat teramati ketika pada sampel diberi stimuli eksternal berupa suhu melalui proses pemanasan 64
pemanasan dan pendinginan adalah ditunjukkan dalam gambar 10. Ketika suhu meningkat (pemanasan) pada sampel planar menyusut yang sejajar terhadap nˆ ( xˆ ) dan mengembang yang tegak lurus terhadap nˆ ( yˆ ) . Setelah suhu diturunkan (pendinginan), semua sampel akan kembali ke bentuk semula yaitu mengalami penyusutan yang tegak lurus nˆ ( yˆ ) dan mengembang yang sejajar nˆ ( xˆ ) .
(a)
Gambar 10. Efek termo-mekanik dari sampelsampel MC-LCE (2.5%, 6 % dan 12 %) pada proses pemanasan dan pendinginan. Grup mesogenic main-chain dalam jaringan polimer adalah saling berikatan secara langsung. Ketika pemanasan, pada molekul MCLCE secara perlahan-lahan mengalami fluktuasi termal menyebabkan perubuhan orientasi pada main-chain mesogenic, yang mana orde nematik mereka berkurang, dan perubahan bentuk pada jaringan cross-linked rantai polimer berkurang dan menghasilkan perubahan bentuk mekanik sampel MC-LCE, disebut penyusutan yang sejajar nˆ dan ekspansi dalam arah tegak lurus nˆ . Perubahan panjang relatif sampel planar sebagai fungsi temperatur, λi(T), sebagai rasio perubahan panjang ekspansi dan penyusutan terhadap panjang awal (initial) dalam fase isotropik (To = 90oC untuk monodomain MCLCE 2.5 % dan 6 %, dan To = 100o untuk 12 %). Pengukuran panjang adalah membuat garis pertengahan pada tepi yang satu ke tepi lainnya dalam satuan pixel.
(b) Gambar 11. Ketergantungan suhu terhadap perubahan panjang relatif, λi(T), λx: perubahan panjang relatif pada sumbu-x dan λy: perubahan panjang relatif pada sumbu-y. (a) untuk sampel MC-LCE 2.5%, MC-LCE 6% dan (b) MC-LCE 12% selama proses pemanasan (♦) dan pendinginan (◊). Peristiwa histeresis termal yang signifikan dapat ditemukan pada proses pemanasan maupun pendinginan khususnya pada sampel MC-LCE 2.5 % dan 12 % ditunjukkan dalam gambar 5.4. Terdapat catatan bahwa secara relatif kehilangan panjang yang signifikan terjadi pada sumbu-y setelah pendinginan terhadap suhu ruang. Perubahan panjang relatif pada sampel yang sejajar terhadap nˆ ( xˆ ) dan tegak lurus 65
terhadap nˆ ( yˆ ) sebagai fungsi suhu ditunjukkan dalam gambar 5.4. Suhu meningkat, semua sampel secara monoton menyusut sejajar terhadap nˆ ( xˆ ) (gambar 5.4) dengan secara cepat penyusutannya berkurang disekitar suhu transisi TniMCLCE-2.5 ~58oC, TniMCLCE-6 ~50oC dan TniMCLCE12 ~72oC untuk sampel MC-LCE 2.5%, MC-LCE 6% dan MC-LCE 12% secara berturut-turut. Sampel MC-LCE mencapai kontraksi maksimum 84% untuk MC-LCE 2.5 %, 32% untuk MC-LCE 6% dan 120% untuk MC-LCE 12%. Sampel MCLCE secara monoton mengembang dalam arah tegak lurus terhadap nˆ ( yˆ ) pada pemanasan dan mencapai kontraksi maksimum 32% untuk MCLCE 2.5%, 10% untuk MC-LCE 6% dan 33 % untuk MC-LCE 12 %.
lebih tinggi, sehingga membuat sulit untuk dikaji. Disamping itu, karena konsentrasi 6 % mendekati konsentrasi kritis MC-LCE yang diduga ~ 6.5 %. Secara relatif perubahan panjang yang signifikan lebih besar terjadi pada arah-x (λx) yang sejajar terhadap n daripada arah-y (λy) yang tegak lurus terhadap n (gambar 12). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pengamatan dan pengukuran efek-efek termo-mekanik pada monodomain main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE) melalui proses pemanasan dan pendinginan, dapat diambil beberapa kesimpulan yang terangkum sebagai berikut : 1. Perubahan bentuk sampel monodomain MCLCE dengan perbedaan konsentrasi crosslinking sebagai respon suhu adalah mengalami penyusutan ║n dan ekspansi n pada proses pemanasan, sebaliknya kembali ke bentuk semula pada proses pendinginan. 2. Kontraksi maksimum sampel monodomain MC-LCE ditemukan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi cross-linking. Hal ini, disimpulkan bahwa kerapatan cross-liking MC-LCE mengurangi fluktuasi termal molekul mesogen main chain liquid crystal dalam jaringan polimer. Kerapatan crosslingking meningkatkan elastisitas dan memperbesar panjang kontraksi.
Gambar 12. Ketergantungan perubahan panjang maksimum terhadap konsentrasi crosslinking MC-LCE pada pemanasan. Semakin besar konsentrasi cross-linking maka semakin besar pula kontraksi maksimum yang terjadi pada sampel (gambar 5.5). Meningkatnya konsentrasi cross-linking juga akan menyokong keadaan isotropik pada sistem dan meningkatkan transisi suhu fase nematikisotropik, Tni, seperti yang ditemukan dalam sampel MC-LCE. Namun dalam penelitian ini plot kontraksi maksimum versus konsetrasi crosslinking ditemukan fenomena yang tidak biasanya (no typically) pada konsentrasi 6 % (gambar 11). Hal ini disebabkan karena MC-LCE memiliki suhu transisi, Tni, yang tinggi dan sifat sistem cenderung ke fase kristal dimana polimer siap akan merubah fase. Selanjutnya homopolimer unit mesogen yang tersusun teratur sepanjang penyangga cenderung menunjukkan smetic atau mesofase dengan keteraturan molekulnya yang
Saran Dengan memperhatikan hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini, pengakajian efekefek termo-mekanik masih harus dilakukan untuk sampel-sampel MC-LCE dengan nilai konsentrasi cross-linker yang lain. Disamping itu perlu juga dilakukan kajian efek-efek termo-optik dari MCLCE sebagai fungsi suhu.
66
Artificial Muscle Applications”, Sensors and Actuator A Physical, 133, 500-505. Tajbakhsh A.R and Terentjev E.M., 2001, “Spontaneous Thermal Expansion of Nematic Elastomers”, Eur. Phys. J. E 6, 181-188. Thomsen, D.-L., Keller, P., Naciri, J., Pink, R., Jeon, H., Shenoy, D., and Ratna, B., 2001, “Liquid Crystal Elastomers with Mechanical Properties of a Muscle Macromolecules”, 34, 5868-5875. Warner M. and Terentjev E.M., 2003, “Liquid Crystal Elastomers”, Clarendon Press, Oxford, New York. Xie P. and Zhang R., 2005, “Liquid Crystal Elastomers, Networks and Gels: Advanced Smart”, Journal of Material Chemistry, 15, 2529-2550. Yu Y., and Ikeda T., 2006, “Soft Actuator Based on Liquid Crystal Elastomers”, Angew. Chem. Int. Ed, 45, 5416-5418. Yusuf Y., Cladis, P. E., Brand, H. R., Finkelmann, H., and Kai, S., 2004, “Hystereses of Volume Changes in Liquid Single Crystal Elastomers Swollen in Low Molecular Weight Liquid Crystal”, Chemical Physics Letters, 389, 443-448. Yusuf, Y., Huh, J.-H., Cladis, P. E., Brand, H. R., Finkelmann, H., and Kai, S., 2005, “LowVoltage-Driven Electromechanical Effects of Swollen Liquid-Crystal Elastomers”, Physical Review E, 71, 061702, 1-8. Yusuf Y., 2006, “Liquid Crystal Elastomer Sebagai Otot Buatan”, INOVASI Vol.6/XVIII.
DAFTAR PUSTAKA Cho, D.-U., Yusuf, Y., Cladis, P. E., Brand, H. R., Finkelmann, H., and Kai, S., 2005, “Thermo-mechanical Properties of Tryfunctionally Cross-linked Liquid Single Crystal Elastomers”, Chemical Physics Letters, 418, 217-222. De Gennes, P.-G., Hebert, M., and Kant, R., 1997, “Artificial Muscles Based on Nematic Gels”, Macromol. Symp., 113, 39-49. Hogan P.M., Tajbakhsh A.R., and Terentjev E.M., 2008, “UV-Manipulation of Order and Macroscopic Shape in Nematic Elastomers”, Lab. Cavendish, University of Cambridge, Cambridge, CB3 0HE, U.K. Khoo I.-C., 1995, “Liquid Crystal: Physical Properties and Nonlinear Optical Phenomena”, John Wiley & Sons, Inc., New York. Krause S., Zander F., Bergmann G., Brandt H., Wertmer H., and Finkelmann H., 2008, “Nematic Main Chain Elastomersz: Coupling and Orientational Behavior”, C.R. Chemie, 12, 85-104. Kupfer, J. and Finkelmann, H., 1991, “Nematic Liquid Single Crystal Elastomers”, Makromol. Chem., Rapid Commun., 12, 717-726. Kupfer, J. and Finkelmann, H., 1994, “Liquid Crystal Elastomers: Influence of the Orientational Distribution of the Crosslinks on the Phase Behaviour and Reorientation Processes”, Makromol. Chem. Phys., 195, 1353-1367. Li M.-H. and Keller P., 2006, “Artificial Muscles Based on Liquid Crystal Elastomers”, Phil. Trans. R. Soc. A, 364, 2763-2777. Mayer S., and Zentel R., 2002, “ Liquid Crystal Polymers and Elastomers”, Current Opinion in Solid State and Material Science, 6, 545-551. Ren W., 2007, “Structure-Property Relations in Siloxane-Based Main-Chain Liquid Crystalline Elastomers and Related Linear Polymers”, Disertation, Georgia Institute of Technology. Spillmann C.M., Naciri J., Martin B.D., Farahat W., Herr H., and Ratna B.R., 2006, “Stacking Nematik Elastomer for 67
THE PRONUNCIATION OF ENGLISH LONG VOWELS AND LABIODENTALS PHONEMES BY FIVE MEDIATAMA ENGLISH COURSE PARTICIPANTS AT KENDARI1 Oleh: Meilan Nirmala Shinta2 Abstract: this study focused to analyze on the pronunciation of English long vowels and labiodental with the scope of discussion: (1) describing how do the participants pronounce it phonemes, and (2) predicting participants’ error pronunciation. Design of the research is descriptive where the data analyzed qualitatively: The participant was selected randomly to be five participants; the data then collected by using tape recorder and transcript table phonemes instruments; the data analyzed under CAH (contrastive analyses hypothesis) procedures theories of Whitman (1970) and Stocwell (1965). The qualitative analyses procedure: organizing, categorizing, analyzing, predicting, and reporting. The research showed three significant results: (1) long vowel phonemes /i:/, /u:/, /a:/ and labiodentals /f/ indicated were quite easy to be pronounced by the participants; and (2) long vowels /د:/, /З:/ and labiodental /v/ were difficult to be pronounced; (3) long vowel /د:/, /З:/ were marked different with their first language. Keywords: pronunciation, phonemes, long vowels, labiodental.
„interference‟ that is meant negative transfer. However, the positive transfer will be realized by a set of habit in learning (Skinner in Norish, 1983). English phonetic symbol standard is IPA with classified into: a. Vowel phonetic symbol Vowel theories are discussed by Ladefoged (1997) classified vowels into three place of articulation: front, middle, and back; Grady et.al (1996) divided vowels into two types: monopthongs (I, e, a:, etc) and dipthongs (ea, eI, etc); Verhaar (1978) divided speech articulation into long vowels and short vowels. The transcription of vowel in IPA (International English Alphabet) (Syafei in Anas, 1988: 11)
INTRODUCTION The first way to practice a new language is begun with how the sound of alphabets is pronounced by the native speaker. Substantially pronunciation related with the accuracy in order to get the understanding in communication (Syafei, 1981). For Indonesian curriculum, English course recognized since junior high school commonly. In fact, pronounce different language for students or learners practically such as English is quite difficult because of different phonemes system with their first language (L1) (Sunendar and Iskandarwassid, 2009). In term of sociolinguistic study, Krashen and Terrel (1984) argue the first language is often referred the second language which is called as an 1 2
Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo
68
Figure 1 vowel transcription
front
Research problem
central
i:
u: U
I ә
e
1. How do the five participants pronounce English long vowel ad labiodentals phonemes? 2. What factors might influence mispronunciation?
back high
METHODOLOGY
mid
З æ
Λ
a:
The design of this research is descriptive qualitative, which is meant the data is described and analyzed based on the objective of real facts (Moleong, 2006). In addition, this research is a case study that is meant the researcher explore the problem explicitly and elaborate some sources in order to appear the evidences. The subject of this research is the five participants which selected through random purposively. The data of this research is primary data where the data get from the participants‟ recorded pronunciation in form of transcript table phoneme and tape recorder itself. The data then analyzed through the procedure of case study approach in qualitative design (Gay et.al, 2006): organizing, coding, categorizing, elaborating, interpreting, and reporting orderly. In order to maintenance the credibility of the research, the researcher used peer debriefing technique by asking the judgment of participants‟ pronunciation that helped by Mrs. Margareth Neate who is an Australian native speaker.
low
b. Consonant phonetic symbol The transcription of consonant in IPA (Ladefoged, 1975: 33): Procedure of CAH analysis by Withman (1970) classified procedure into four steps: (1). Taking the two languages, L1 and L2, and writing formal description; (2). Picking form from the description for contrast; (3). Making the contrast of the form chosen; and, (4) making prediction of the difficulty through the contrast. To describe the prediction stage, Stockwell et.al (1965) propose a hierarchy of difficulties based on the notion of the transfer namely: + (for positive transfer), - (interference or negative transfer), 0 (there is no relation of two languages).
69
FINDING AND DISCUSSION Table 4 transcript of mispronunciation evidences Phonetic symbol Evidence Long vowels / (10 words)
/
/I/ /e/
Total of mispronunciation 13 10
CAH analyses 0
Long vowel / (10 words)
/
/e/ / / /ә/
8 14 1
0 0
Long vowel / (9 words)
/
/I/ /Ie / /e/ / / / / / / / i: / / ea /
9 4 7 3 6 2 3 3
0 0 0 0 0 -
/e/
3 12 4 2
0 0
15 7 1 -
0
Long vowel / (9 words)
/
Long vowel /u:/ (8 words) Labiodentals / f / (9 words) Labiodentals / v / (11 words)
/ / / / /ә / / / / / /ә / -
11
/f/
-
70
The analyses and category of difficulties as follows: 1. Negative transfer „interference‟ occurred in: a. Long vowel / i: / changed to be / I / b. Long vowel / a: / changed to be / Λ / c. Long vowel / / changed to be / / d. Long vowel / u: / changed to be / U / e. Labiodentals / v / changed to be / f / 2. Error pronunciation occurred in : a. Long vowel / a: / changed to be / e / b. Long vowel / З: / changed to be / Λ /, / U /, and / / 3. Hierarchal of difficulties: a. Labiodental / f / is easier to be pronounced by the participants b. Long vowel / i: /, /a: /, and / u: / are quite easy to be pronounced c. Long vowel / З: / and / / are more difficult to be pronounced d. Labiodentals / v / totally pronounced to be / f / phoneme. Negative transfer of the participants caused by some factors: (1). Short vowels phonemes tend to be easier pronounced because of the influence of alphabetic system of English; (2) long vowels system of English is not found in their L1; (3) the teachers did not have adequate knowledge about phonology, in fact the participant difficult to pronounce correctly because they have not prior knowledge about it. Error pronunciation of the participants caused by some factors: (1). Phoneme / a: / changed to be / e / might influence by the alphabetic system of sound; (2). Long vowel / З: / changed to be various phonemes were caused by different phoneme system from their L1.
process is important, because phonemes interrelated with language meaning. By using native cassette the participants would be familiar with pronounce and distinguish each phoneme. In addition mastery of phonology field for the teacher is needed in order to decrease the mistakes or errors pronunciation..
REFERENCES Gay. RL, Mills Geofferey E, and Airisian Peter. 2006. Educational Research Competencies Analyses and Application. (eight edition). New Jersey: Merit Prentice Hall. Grady, O.William, Michael dobrovolsky, and Michael Katamba. 1996. Contemporary Linguistic and Introduction. Third edition. United Kingdom. Iskandarwassid and Dadang Suhendar. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. Remaja Rosdakarya:Bandung. Krashen, D,Stephen and Tracy D Terrel. 1984. The Natural Approach Language Acquisition in the Classroom. Pergamon: San Fransisco. Ladefoged, Peter. 1975. A course in Phonetics. Harcourth Brace Jovanovich: Los Angeles. Moleong, J.Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung. Stockwell.R. J. D. Bowell and J. W. Martin. 1965. The Grammatical Structure of English and Spanish. University of Chichago Press: Chicago. Syafei, Anas. 1988. English Pronunciation. Allin Bacon. Verhaar, MWJ. 1978. Pengantar Linguistik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Whitman. R. 1970. “Contrastive Analyses: Problem and Procedure”. Language Learning. Vol.20.
CONCLUSION In conclusion, the result of this study shows in long vowel phonemes /i:/, /u:/, /a:/ and labiodentals /f/ were easier to be pronounced by the participants. On the contrary, long vowels /د:/, /З:/ and labiodental /v/ were difficult to be pronounced; (3) long vowel /د:/, /З:/ were marked different with their first language phonemes. Stressing to recognize and teach different phonemes of different languages in learning 71
STUDI TENTANG PELAKSANAAN BIMBINGAN KONSELING DI SD NEGERI SE-KOTA KENDARI1 Oleh: Sitti Rahmaniar Abubakar2 Abstrak: Kenyataan yang sering terjadi adalah bahwa di samping adanya siswa yang berhasil dalam belajarnya, masih terdapat siswa yang memperoleh prestasi belajar yang kurang, bahkan ada di antaranya yang tiidak berhasil dalam ujian. Ketidakberhasilan siswa juga tidak semua disebabkan karena kurangnya kecerdasan, melainkan juga disebabkan karena ketidakmampuannya mewujudkan kemapuan dan bakat yang dimiliki yang bersumber dari adanya hambatan-hambatan atau masalah yang mereka hadapi. Siswa yang demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja, melainkan haruslah mendapat layanan bantuan agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga prestasi belajar yang maksimal dapat diraih. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami maslahmaslah belajar, pribadi-sosial, dan karier. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling. Kata Kunci: bimbingan, konseling, bimbingan dan konseling,
PENDAHULUAN
Kedudukan Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar
Pendidikan merupakan usaha yang paling efektif dalam mencetak dan mengembangkan sumber daya manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek pembangunan. Dalam upaya menghadapi dampak arus globalisasi, melalui pendidikan, peserta didik dibina untuk menjadi insane yang tangguh, menjadi dirinya sendiri yaitu diri yang mempunyai potensi yang luar biasa. Melalui kurikulum yang inovatif, peserta didik diarahkan untuk menjadi manusia yang berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan jaman. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal memiliki tugas pokok untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai perkembangannya secara optimal. Seorang siswa dikatakan telah mencapai perkembangan optimal apabila telah mencapai prestasi belajar yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya.
1 2
Darwis (2005: 24) mengemukakan bahwa kegiatan pendidikan di sekolah meliputi tiga bidang yakni: a. Bidang instruksional dan kurikuler, yang bertanggung jawab dalam kegiatan pengajaran yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pada umumnya bidang ini merupakan pusat kegiatan pendidikan yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama guru. b. Bidang administratif dan kepemimpinan, mencakup kegiatan perencanaan, organisasi, pembiayaan, pembagian tugas staf personalia, perlengkapan (material), dan pengawasan (supervisi). Pada umumnya merupakan tugass dan tanggung jawab kepala sekolah dan petugas administratif lainnya. c. Bidang pembinaan siswa, dengan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan agar siswa memperoleh kesejahteraan llahir bathin dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Bidang ini akan terasa penting sekali, sebab proses
Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Ilmu Pendidikan FKIP Unhalu 72
belajar hanya akan berhasil apabila siswa berada dalam suasana yang sejahtera, sehat, dan dalam tahap perkembangan yang optimal.
Prinsip-prinsip Konseling di SD
Pelaksanaan
Bimbingan
Natawidjaya (1992) mengemukakan bahwa pelayanan bimbingan konseling di SD hendaknya dilaksanakan menurut prinsi-prinsip tertentu. Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar bimbingan konseling sangat penting dalam kaitannya dengan penerapan di lapangan. (1) Prinsip-prinsip Umum Bimbingan Konseling a. Karena bimbingan itu berhubungan dengan sikap dan perilaku individu, perlu diingat bahwa sikap dan perilaku individu itu terbentuk dari segala aspek kepribadian yang unik. b. Perlu dikenal dan dipahami perbedaanperbedaan individual dari individu yang dibimbing agar dapat memberikan bimbingan yang tepat. c. Bimbingan harus terpusat pada individu yang dibimbing. d. Bimbingan diarahkan supaya individu yang bersangkutan mampu menolong dirinya sendiri dalam menghadapi kesulitan-kesulitannya. e. Masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan di sekolah harus dialihkan kepada individu atau lembaga yang mampu dan berwenang melakukannya. f. Bimbingan harus dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan individu yang dibimbing. g. Bimbingan harus fleksibel sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat. h. Program bimbingan harus sesuai dengan program pendidikan sekolah yang bersangkutan. i. Pelaksanaan program harus dipimpin oleh seorang petugas yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan dan konseling, dan sanggup bekerja sama dengan anggotanya dan staf sekolah lainnya, serta bersedia mempergunakan sumber-sumber yang berguna di luar sekolah. j. Program bimbingan harus mengadakan penilaian secara berkala untuk mengetahui tingkat kemajuan individu yang dibimbing, serta penyesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang telah dirumuskan terdahulu.
Suatu kegiatan pendidikan yang baik dan ideal hendaknya mencakup ketiga bidang kegiatan tersebut. Pendidikan yang hanya menjalankan program kegiatan pengajaran dan administratif saja tanpa memperhatikan pembinaan siswa mungkin hanya akan menghasilkan individu yang cakap dan bercita-cita tinggi, tetapi kurang mampu dalam memahami kemampuan atau potensi dirinya. Disinilah terasa perlunya program bimbingan dan konseling yang akan memusatkan diri dalam membantu siswa secara pribadi agar mereka dapat berhasil dalam proses pendidikannya. Keberadaan program layanan bimbingan dan konseling di SD terkait erat dengan sistem pendidikan dasar 9 tahun, di mana Sekolah Dasar merupakan penggalan dari system pendidikan dasar 9 tahun, yang membawa konsekuensi kepada wajib belajar sampai dengan usia sekolah lanjutan tingkat pertama. Dan untuk SD mempunyai kewajiban menyiapkan para lulusannya untuk memasuki pendidikan tingkat lanjutan yaitu SMP. Untuk pelaksanaan program bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar pada saat ini, dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan siswa serta sistem penyelenggaraan pendidikan di SD yang ditangani oleh guru kelas, maka layanan bimbingan dan konseling di SD dalam banyak hal masih akan lebih efektif dilaksanakan secara terpadu dengan proses pembelajaran dan ditangani oleh guru kelas (Kartadinata, 1999). Tugas guru dalam penyelenggaraan pendidikan di SD tidak hanya mengantar siswanya untuk tamat belajar, melainkan harus membantu mengembangkan kesiapan baik dalam segi akademik, sosial maupun pribadi untuk memasuki proses pendidikan selanjutnya. Dengan demikian, di dalam tugas guru sebagai pengajar, melekat pula tugas untuk membantu siswa mengembangkan kesiapan dan penyesuaian diri terhadap program sekolah. Ini berarti guru SD memegang peran kunci di dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling.
73
(2) Prinsip-prinsip Khusus Bimbingan Konseling a. Bimbingan adalah untuk semua siswa. Untuk itu perlu adanya kriteria untuk mengatur prioritas pelayanan bimbingan konseling kepada seluruh siswa. b. Bimbingan dan konseling melayani siswa dari semua jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. c. Bimbingan konseling harus mencakup semua bidang pertumbuhan dan perkembangan jasmaniah, mental, sosial dan emosional. d. Keterlibatan yang berkesinambungan memungkinkan siswa dapat meningkatkan pemahaman tentang dirinya, dan pada gilirannya dapat diterapkan dalam pengembangan kemampuan dan bakat yang dimilikinya. e. Pelaksanaan bimbingan konseling menghendaki adanya kerja sama dari siswa, orang tua, kepala sekolah dan konselor. f. Bimbingan harus menjadi bagian yang terpadu dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah. g. Bimbingan konseling harus dapat dipertanggung jawabkan kepada individu yang dibimbing dan kepada masyarakat. (3) Prinsip-prinsip yang Berhubungan dengan Individu yang dibimbing a. Pelayanan bimbingan harus diberikan kepada semua siswa b. Harus ada kriteria untuk mengatur prioritas layanan bimbingan. c. Program bimbingan harus berpusat pada siswa. d. Pelayanan bimbingan harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu secara beragam dan luas. e. Keputusan terakhir dalam proses bimbingan ditentukan oleh individu yang dibimbing. f. Individu yang telah mendapat bimbingan harus secara bertahap dapat membimbing dirinya sendiri. (4) Prinsip-prinsip yang Berhubungan dengan Organisasi dan Administrasi Bimbingan Konseling di Sekolah
a. Bimbingan konseling harus dilaksanakan secara terus menerus. b. Harus tersedia kartu pribadi bagi setiap individu yang dibimbing. c. Harus disusun sesuai dengan kebutuhan sekolah yang bersangkutan. d. Dilaksanakan dalam situasi individual dan dalam situasi kelompok, sesuai dengan masalah dan metode yang dipergunakan dalam pemecahan masalah itu. e. Sekolah harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya. f. Kepala sekolah memegang tanggung jawab tertinggi dalam pelaksanaan dan perencanaan program bimbingan konseling di sekolah.
Peranan Guru dalam Layanan Bimbingan Konseling di SD Peranan guru dalam layanan bimbingan di sekolah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tugas dalam layanan bimbingan di dalam kelas dan tugas dalam layanan bimbingan di luar kelas. Perilaku guru dapat mempengaruhi keberhasilan belajar, misalnya guru yang bersifat otoriter akan menimbulkan suasana tegang, hubungan guru dengan siswa menjadi kaku, keterbukaan siswa untuk mengemukakan kesulitankesulitannya menjadi terbatas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam proses belajar mengajar sehubungan dengan fungsi sebagai pembimbing di dalam kelas, antara lain: a. Menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap siswa merasa aman, mendapat perhatian dan penghargaan. b. Mengusahakan agar siswa dapat memahami dirinya, kecakapan-kecakapan, sikap, minat dan pembawaannya. c. Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi tingkah laku sosial yang baik. d. Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi siswa berupa fasilitas waktu, alat atau tempat bagi siswa untuk mengembangkan kemampuannya.
74
e. Membantu memilih jabatan yang cocok sesuai dengan bakat, kemampuan dan minatnya.
a. Meneliti kebutuhan-kebutuhan murid b. Mengklasifikasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai c. Membuat batasan jenis program yang akan dibuat d. Meneliti jenis-jenis program yang sudah ada e. Mengupayakan dukungan dan kerjasama dari staf sekolah, orang tua murid, dan masyarakat f. Menentukan prioritas program.
Di samping tugas-tugas tersebut, guru juga dapat melakukan tugas-tugas bimbingan dalam proses pembelajaran, sebagai berikut: a. Melaksanakan kegiatan diagnostik, dengan cara: menandai siswa yang diperkirakan mengalami masalah dengan jalan melihat prestasi belajar yang paling rendah atau berada di bawah nilai rata-rata kelasnya; mengidentifikasikan mata pelajaran di mana siswa mendapat nilai rendah; menelusuri bidang/bagian mana sebagai sumber penyebab kesulitan belajar; serta melaksanakan tindak lanjut. b. Guru dapat memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya kepada siswa dalam memecahkan masalah pribadi. Masalah yang belum terpecahkan dan berada di luar batas kewenangan guru dapat dialihtangankan kepada konselor atau ahli lain yang berkompeten.
a. b. c. d.
2. Tahap Penyusunan Program (designing) Pada tahap ini kegiatan yang perlu dilakukan adalah: a. Merumuskan tujuan-tujuan program secara operasional dalam bentuk kegiatankegiatan yang dapat diukur hasilnya b. Memilih strategi pelaksanaan program yang sesuai dengan kondisi dan situasi sekolah c. Menjabarkan komponen-komponen program d. Menganalisis kemampuan staf sekolah e. Mengadakan peningkatan kemampuan dan pengembangan staf pelaksana program.
Adapun tugas bimbingan yang dilaksanakan oleh guru di luar kelas, adalah: Memberikan pengajaran perbaikan (remedial teaching) Memberikan pengayaan (enrichment teaching) Melakukan kunjungan rumah (home visit) Menyelenggarakan kelompok belajar.
3. Tahap Pelaksanaan (implementing) Pada tahap ini, kegiatan yang perlu dilakukan adalah: a. Mengidentifikasi sumber-sumber yang meliputi manusia, sarana, prasarana dan waktu b. Membuat instrument pengukuran keberhasilan pelaksanaan program c. Melakksanakan program dan menyesuaikan program dengan pelaksanaan program sekolah-sekolah yang lain d. Mengadakan perubahan atau perbaikan program berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan.
Tahap-Tahap Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Daruma (2005: 10) menuliskan tahaptahap penyusunan program bimbingan dan konseling terbagi atas empat tahap, yaitu perencanaan program (planning), penyusunan program (designing), pelaksanaan program (implementing), dan penilaian program (evaluating). Ke empat langkah tersebut saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan yang hirarkis. 1. Tahap Perencanaan Program (planning)
4. Tahap Penilaian Program (evaluating) Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah: a. Menentukan komponen-komponen program yang akan dinilai
Pada tahap ini, kegiatan yang perlu dikerjakan oleh pengembang program adalah: 75
b. Memilih model penilaian program yang akan dinilai c. Memilih instrument penilaian d. Menentukan prosedur pengumpulan data e. Menciptakan system monitoring pelaksanaan program f. Menyajikan data, analisis dan laporan hasil penilaian.
bimbingan konseling di SD Negeri yang menjadi sampel penelitian. Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh beberapa dokumen yang menjadi program dan sasaran serta hasil pencapaian layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan teknik content analisis, selanjutnya ditarik kesimpulan penelitian.
Kriteria Keberhasilan Layanan Bimbingan dan Konseling
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Erman Amti dan Marjohan (1993) mengemukakan bahwa untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan program layanan telah tercapai, perlu ditetapkan kriteria yang menjadi tolak ukur keberhasilan program layanan bimbingan konseling di sekolah, antara lain: 1. Semakin banyak siswa yang berhasil dengan baik dalam belajar 2. Sebagian besar siswa dapat menyesuaikan diri secara baik dengan tuntutan-tuntutan sekolah, dengan teman-temannya, dan dengan lingkungannya.
Adapun hasil penelitian adalah bahwa pada umumnya kegiatan pelayanan bimbingan konseling di SD Negeri di Kota kendari, ditinjau dari aspek persyaratan pokok program bimbingan dan konseling, belum memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya: a. Personil Dalam pelaksanaan program bimbingan, belum adanya personil atau tenaga pelaksana yang meliputi tenaga konselor, semi professional, yaitu guru pembimbing, dan tenaga non professional yaitu tenaga administrasi bimbingan. Tenaga yang memenuhi kualifikasi tersebut belum ada di sekolah. b. Fasilitas Fisik
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 di Kota Kendari, dengan populasi seluruh SD Negeri yang ada di Kota Kendari. Adapun teknik penarikan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan memilih sekolah yang terjangkau oleh peneliti dan dianggap dapat mewakili populasi yang ada. Adapun sekolah yang menjadi sampel adalah sebagai berikut: 1. SD Negeri 2 Baruga, alamat Jl. MT. Haryono, Wua-wua 2. SD Negeri 3 Baruga, alamat Jl. MT. Haryono, Wua-wua 3. SD Negeri 13 Baruga, alamat Jl. Sao-Sao 4. SD Negeri 8 Mandonga, Kecamatan Mandonga 5. SD Negeri 8 Kendari Barat
Fasilitas fisik adalah perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan program bimbingan dan konseling di sekolah, yang meliputi ruang bimbingan dan konseling. Hal ini belum tersedia di sekolah, dengan demikian perlengkapan ruangan berupa meja, kursi, tempat penyimpanan data, dan papan pengumuman juga belum tersedia secara memadai. c. Fasilitas Teknis Fasilitas teknis adalah alat-alat untuk menunjang terlaksananya program bimbingan dan konseling yang meliputi alat pengumpul data seperti: tes, angket, pedoman observasi, pedoman wawancara, daftar cek masalah murid, dan data murid, misalnya daftar pribadi, dan sebagainya. Adapun fasilitas teknis yang tersedia di SD Negeri yang dijadikan sampel penelitian adalah berupa data murid yang didokumentasikan dalam data pribadi siswa dalam sebuah dokumen, sedangkan fasilitas teknis lainnya belum memadai.
Data dikumpulkan dengan cara observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang keadaan sarana dan prasarana serta kelengkapan administrasi lainnya yang menjadi penunjang kegiatan layanan 76
d. Anggaran Biaya
3. Guru kurang memiliki kepribadian yang cocok untuk melakukan pekerjaan bimbingan. Sesungguhnya pernyataan ini menyesatkan, karena apabila guru tidak memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk melakukan tugas bimbingan secara efektif, maka guru demikian juga tidak akan dapat mengajar secara efektif. 4. Guru kurang luwes untuk mengatur jadwal kegiatan untuk melaksanakan tugas bimbingan yang terpisah dari bagian pengajaran di kelas. Di pihak lain, apabila penanganan masalah yang terjadi di kelas ditangguhkan, maka sangat mungkin siswa akan ketinggalan dalam pengentasan masalahnya. 5. Dalam melaksanakan tugas pengajaran, guru seringkali dihadapkan pada situasi yang menurutnya untuk memberikan layanan bimbingan. Dalam hal ini, dikarenakan adanya perbedaan yang mendasar antara proses pembelajaran dengan pelayanan bimbingan.
Anggaran pos-pos pembiayaan personil, pengadaan dan pengembangan alat-alat teknis, biaya operasional pelayanan, misalnya untuk kunjungan rumah, tes psikologis dan biaya penelitian untuk pengembangan program, pada umumnya belum diporsikan secara khusus di sekolah. Biasanya sekolah menetapkan pos anggaran untuk bimbingan konseling terpadu dengan penetapan biaya operasional sekolah, tetapi secara khusus untuk biaya kunjungan rumah, tes psikologi dan penelitian belum ada. e. Kebijaksanaan yang Menunjang Pada umumnya sekolah yang dijadikan sampel penelitian sudah mulai memperhatikan usaha untuk menciptakan iklim yang menguntungkan bagi terlaksananya program bimbingan dan konseling. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kebijaksanaan atau system yang menunjang program bimbingan dan konseling di sekolah masing-masing.
KESIMPULAN DAN SARAN
PEMBAHASAN
Kesimpulan
Keberadaan bidang layanan bimbingan dan konseling di sekolah, khususnya di SD negeri di Kota Kendari sangat diperlukan, mengingat di SD mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dalam usaha mendewasakan individu dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berguna. Natawidjaja (1992) menghimpun sejumlah persoalan pokok yang berkenaan dengan keterbatasan guru dalam melaksanakan bimbingan di sekolah, sebagai berikut: 1. Guru mempunyai waktu yang terbatas untuk melaksanakan bimbingan. Sehari-hari guru mempunyai banyak tugas rutin yang harus dilakukan. Dengan menerima tugas bimbingan, guru seolah-olah mendapat pekerjaan yang berlipat dua, apabila upaya bimbingan itu dilakukan terpisah dengan kegiatan pembelajaran. 2. Guru kurang mendapat latihan dan pengalaman untuk melakukan bimbingan. Akan tetapi sebenarnya guru tidak diberi beban untuk member bimbingan dalam arti lengkap seperti yang dilakukan oleh konselor.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan layanan bimbingan konseling di SD Negeri di Kota Kendari belum memenuhi persyaratan pokok pelaksanaan kegiatan layanan yang berupa personil, fasilitas fisik, fasilitas teknis, anggaran biaya, dan kebijaksanaan yang menunjang. Meskipun demikian, sudah ada usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk menuju kea rah perbaikan dan penciptaan iklim yang memungkinkan bagi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang lebih efektif dan efisien. Saran Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1) Kepada Dinas Pendidikan Nasional Kota kendari, hendaknya senantiasa memberikan pembinaan kepada sekolah, khususnya pihak SD Negeri di Kota Kendari agar dapat memberikan porsi yang memadai untuk kegiatan bimbingan dan
77
konseling dalam penyusunan program sekolah. 2) Kepada pihak sekolah agar dapat melakukan perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, dan penilaian secara berkala dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling demi peningkatan kualitas pendidikan. 3) Kepada seluruh praktisi dan pemerhati pendidikan agar menyadari peran penting kegiatan bimbingan konseling di sekolah untuk menunjang prestasi belajar peserta didik, sehingga dapat tercapai tujuan institusional/kelembagaan yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional. DAFTAR PUSTAKA Daruma, Abdul razak. 2005. Program Organisasi dan Administasi Bimbingan dan konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan Darwis, Abu. 2005. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan. Erman, Amti dan Marjohan. 1992. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdikbud. Dirjen Dikti. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Kartadinata, S. 1999. Bimbingan di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Natawidjaya, Rochman dan Moh Surya. 1992. Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti.
78
HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DAN ORIENTASI TUJUAN BELAJAR DENGAN PERILAKU MENYONTEK1 Oleh : Waode Suarni2 Abstrak. Menyontek di kalangan siswa telah menjadi isu penting selama ini. Namun demikian, baru sedikit penelitian tentang hal ini dilakukan di Indonesia, khususnya menyontek pada mahasiswa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji hubungan antara motvasi berprestasi, orientasi tujuan belajar, dan perilakukan menyontek pada mahasiswa. Dengan menggunakan sampel 67 mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, temuan utama penelitian ini adalah: 1) motivasi berprestasi tidak berhubungan dengan perilaku menyontek; 2) orientasi performance goals berhubungan dengan perilaku menyontek; dan 3) orientasi mastery goals berhubungan secara negatif dengan perilaku menyontek. Hasil kedua sejalan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, namun hasil pertama dan ketiga tidak konsisten dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan. Keterbatasan utama penelitian ini adalah kecilnya jumlah sampel sehingga penelitian selanjutnya perlu memperhatikan kelemahan ini dan juga keterbatasan dari pengukuran menggunakan teknik persepsi laporan-diri yang digunakan dalam penelitian ini. Kata kunci: motivasi berprestasi, orientasi performance goals, orientasi orientation, perilaku menyontek
merugikan sistem pendidikan pada umumnya. Tujuan evaluasi belajar menjadi tidak dapat diandalkan sebab didasarkan pada informasi yang tidak sahih. Kondisi seperti ini memerlukan upaya penelitian lebih lanjut untuk dapat membangun pemahaman yang lebih baik agar penanganan masalah ini dapat lebih efektif. Penelitian Schab (dalam Woolfolk, 2009) mengungkap tiga sebab siswa menyontek, yaitu karena terlalu malas belajar, takut gagal, dan adanya tekanan dari orang tua untuk mendapatkan nilai yang baik. Newstead, dkk (1996) juga menemukan bahwa takut gagal membuat mahasiswa menyontek. Dari kedua penelitian itu dapat disimpulkan bahwa takut gagal merupakan sebab menyontek. Menurut Woolfolk (2009), siswa yang kurang mempunyai rasa takut gagal memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Bowers, dan juga Hainess, dkk (dalam Newstead, 1996) juga menemukan bahwa indeks prestasi berkorelasi
LATAR BELAKANG Menyontek di dalam dunia pendidikan telah merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian sejak dahulu. Sejumlah penelitian (Bracey, 2005; Genereux & McLeod, 1995; Klausmeier,1985; Newstead, 1996; Sadili, 1993) telah dilakukan untuk mencoba memahami sebab, predisposisi, dan korelat-korelatnya. Namun, hingga saat ini fenomena ini masih terus berlangsung. Bahkan, kemajuan teknologi informasi telah menciptakan pula sejumlah moda baru tindakan menyontek dan bentuk ketidakjujuran akademik lainnya, seperti menyontek lewat pesan singkat (SMS) di telepon genggam dan copy and paste tanpa mencatumkam sumber yang dirujuk yang dilakukan dalam penulisan tugas. Perilaku menyontek tidak saja merugikan siswa pelakunya sebab secara perlahan mereka mengalami pengikisan moral, namun juga sangat 1 2
mastery goals
Ringkasan Hasil Penelitian, Tahun 2011 Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Unhalu 79
negatif dengan jumlah insiden menyontek. Perolehan nilai yang baik tersebut dianggap berhubungan dengan motivasi sehingga dapat dikatakan bahwa siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi cenderung tidak melakukan tindakan menyontek. Akan tetapi, ada bukti-bukti yang menunjukkan simpulan berbeda. Bracey (2005) menemukan bahwa siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih mungkin menyontek dari pada mereka yang motivasi berprestasinya rendah. Hal ini sejalan dengan pembagian perilaku manusia ke dalam dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Menurut Friedman & Rosenman (dalam Morgan, 1990), orang tipe A menyukai kompetisi dan dalam melakukan suatu pekerjaan mereka cenderung berusaha keras melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka juga memiliki dorongan yang kuat untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi. Perbedaan pandangan tentang pengaruh motivasi berprestasi terhadap tindakan menyontek ini memerlukan adanya upaya penelitian lebih lanjut tentang hubungan keduanya. Motivasi berprestasi terkait erat dengan orientasi tujuan belajar (Gage & Berliner, 1992), yakni keinginan untuk mencapai sesuatu, untuk mencapai standar keunggulan, dan berusaha untuk tampil unggul (Santrock, 1996). Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi biasanya memiliki learning goals, yakni menekankan pentingnya mendapatkan pengetahuan dan pengembangan diri. Sedang siswa yang yang mempunyai motivasi berprestasi rendah cenderung memiliki performance goals, yakni lebih menekankan pada pemerolehan pengakuan dari orang lain dan mendapatkan nilai yang baik (Slavin, 1994). Siswa yang memiliki orientasi learning goals menurut Newstead, dkk (1996) lebih kurang kemungkinannya untuk melakukan perilaku menyontek karena mereka cenderung bertahan lama dalam tugas-tugas yang menantang dan berusaha untuk menyelesaikannya. Berdasarkan pemahaman ini diduga bahwa perilaku menyontek terkait dengan orientasi performance goals. Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan antara perilaku menyontek dengan motivasi berprestasi, khususnya dengan orientasi tujuan belajar dengan rumusan masalah: 1) apakah ada hubungan antara
motivasi berprestasi dengan perilaku menyontek mahasiswa? 2) apakah ada hubungan antara mastery (learning) goals dengan perilaku menyontek mahasiswa? dan 3) apakah ada hubungan antara performance goals dengan perilaku menyontek mahasiswa? METODE Subyek Penelitian ini melibatkan 67 subyek mahasiswa dari 4 program studi di FKIP Universitas Haluoleo yang diambil secara acak. Instrumen Penelitian Semua data penelitian diperoleh melalui teknik pelaporan-diri dengan menggunakan 3 kuesioner, yakni kuesioner motivasi berprestasi, kuesioner orientasi achievement goals, dan kuesioner perilaku menyontek. Kuesioner motivasi berprestasi adalah hasil adaptasi dari skala Sukadji (1992) yang terdiri dari 19 butir dengan 5 pilihan yaitu Sangat Setuju (skor 5) sampai Sangat Tidak Setuju (skor 1). Kuesioner orientasi achievement goals adalah skala yang dikembangkan oleh Ames dan Archer (1984) yang terdiri dari 34 butir, 19 butir berkenaan dengan mastery goals dan 15 butir bekenaan dengan performance goals. Sementara kuesioner perilaku menyontek adalah hasil adaptasi dari Sadili (1993) dengan menambahkan 3 butir baru sehingga menjadi 22 butir pernyataan. Hasil uji instrumen ini menunjukkan α=0,88. HASIL PENELITIAN Lebih separuh (51%) dari subyek menunjukkan motivasi berprestasi sedang dan 16% bermotivasi tinggi, sementara sisanya tergolong rendah. Dalam hal orientasi tujuan belajar, 66% subyek menunjukkan performance goals dan sisanya mastery goals. Sementara terkait dengan perilaku menyontek, 42% mengaku jarang menyontek - tapi pernah melakukannya - 24% menyatakan cukup sering menyontek, dan sisanya 34% mengaku tidak pernah menyontek. Hasil uji normalitas data motivasi berprestasi, orientasi tujuan belajar, dan perilaku menyontek dengan chi-square menunjukkan adanya distribusi normal (berturut-turut X2hitung 80
11,42; 14,58; 9,81 yang semuanya lebih kecil dari X2tabel 0,05 = 43,773). Uji korelasi antara motivasi berprestasi dengan perilaku menyontek menghasilkan nilai r =0,093 (rendah) yang tidak signifikan (α=0,05; N=67; r=0,235). Ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku menyontek subyek penelitian ini. Namun, hasil uji korelasi antara orientasi tujuan belajar performance goals dengan perilaku menyontek menunjukkan nilai r = 0,463 (korelasi sedang). Korelasi ini signifikan (α = 0,05; N= 67 r = 0,235). Ini menunjukkan adanya hubungan antara orientasi tujuan belajar yang performance goals dengan perilaku menyontek. Sementara itu, korelasi antara orientasi mastery goals dengan perilaku menyontek menunjukkan koefisien r = 0,147 (korelasi negatif rendah). Korelasi ini juga signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara orientasi mastery goals dengan perilaku menyontek. Semakin tinggi skor orientasi mastery goals semakin rendah skor perilaku menyontek.
keberbedaan hasil penelitian ini memerlukan lagi penelitian lebih lanjut. Orientasi tujuan belajar subyek umumnya adalah untuk performance. Mereka cenderung memaknai kesuksesan sebagai mandapatkan nilai yang tinggi secara normatif, alih-alih pada perbaikan atau pengembangan diri. Yang dianggap bernilai oleh mereka bukan proses belajar melainkan kemampuan untuk berprestasi. Penekanan mereka cenderung pada hasil yang lebih baik, bukan pada proses, sebagaimana yang ditekankan oleh mereka yang dengan orientasi mastery goals. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara orientasi performance goals dengan perilaku menyontek. Ini menunjukkan bahwa subyek yang menekankan pada perolehan nilai yang tinggi atau prestasi lebih mungkin untuk melakukan tindakan menyontek. Hal ini sejalan dengan sejumlah hasil penelitian sebelumnya (Anderman dkk, 1998; Newstead dkk, 1996) yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara tujuan yang bersifat performance dan motivasi ekstrinsik dengan jumlah insiden perilaku menyontek di kalangan siswa sekolah menengah pertama. Jordan (2001) juga menemukan bahwa siswa-siswa yang menyontek selain karakteristik motivasionalnya cenderung ekstrinsik, orientasi belajar mereka juga umumnya bersifat performance. Dorongan untuk berhasil, takut gagal, dtekanan dari lingkungan, dan sistem pendidikan yang menekankan pada hasil boleh jadi merupakan faktor-faktor preseden yang perlu diteliti lebih lanjut. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa orientasi mastery goals berkorelasi negatif dengan perilaku menyontek. Ini mengindikasikan bahwa semakin orientasi tujuan belajar mahasiswa bersifat mastery goals maka perilaku perilaku menyontek di kalangan mereka semakin kurang. Dengan kata lain, orientasi belajar yang mastery berkorelasi dengan perilaku tidak menyontek. Hasil ini konsisten dengan temuan Anderman dkk (1998) dan Jordan (2001) yang menunjukkan bahwa siswa yang orientasi tujuan belajarnya lebih pada mastery mempunyai kecenderungan menyontek yang lebih rendah. Mereka lebih mengutamakan proses belajar, alih-alih pada perolehan hasil. Hasil ini juga sejalan dengan temuan Newstead, dkk (1966) yang menunjukkan bahwa siswa yang orientasi tujuan belajarnya tergolong learning atau
PEMBAHASAN Dalam penelitian korelasional dengan subyek mahasiswa ini ditemukan bahwa motivasi berprestasi tidak berhubungan dengan perilaku menyontek. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hainess dkk (dalam Newstead, 1996) bahwa indeks prestasi berkorelasi negatif dengan jumlah insiden menyontek dengan anggapan bahwa indeks prestasi berhubungan dengan motivas berprestasi. Asumsi ini boleh jadi tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya sebab terdapat sejumlah determinan kuat lain dari prestasi akademik, selain faktor motivasi. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan temuan Bracey (2005) bahwa siswa dengan motivasi berprestasi yang tinggi lebih mungkin menyontek. Sedikitnya ada dua eksplanasi terkait dengan perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pertama terkait dengan metodologi yakni karakteristik sampel yang berbeda – siswa sekolah menengah dan mahasiswa - dan jumlah subyek yang lebih sedikit. Kedua, konstruk motivasi berprestasi dan perilaku menyontek yang digunakan berbeda sehingga alat ukur yang digunakanpun berbeda. Namun, 81
mastery lebih kurang kemungkinannya untuk melakukan perilaku menyontek karena mereka cenderung bertahan lama dalam tugas-tugas yang menantang dan berusaha untuk menyelesaikannya. Namun demikian, hasil ini bertentangan dangan hasil penelitian Elliot dan Dweck (1988) yang menunjukkan bahwa orang dengan performance goals akan berusaha untuk mempertahankan penilaian positif mengenai kemampuan mereka dan menghindari penilaian negatif dengan mencoba untuk mensahkan atau membuktikan kebenaran akan kemampuannya dan tidak mencemarkannya (Elliot & Dweck, 1988). Elliot dan Dweck berasumsi bahwa termasuk dalam usaha mempertahankan penilaian positif dan tidak mencemarkan kebenaran kemampuan ini adalah dengan tidak melakukan perbuatan menyontek. Akan tetapi, asumsi ini tidak terbukti dalam penelitian ini. Meskipun mahasiswa ingin mempertahankan citra dirinya secara normatif, tetapi ketakutan akan kegagalan yang mencemaskan diduga memicu perbuatan menyontek. Alasan di baliknya mungkin adalah dorongan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dan untuk mempertahankan citra, dan alasan-alasan lainnya seperti memenangkan persaingan yang ketat, atau “karena semua orang melakukannya”. Dari penelitian ini juga terungkap adanya propensitas berperilaku menyontek yang cukup mengkhawatirkan di kalangan mahasiswa. 34% subyek menyatakan tidak pernah menyontek. Itu berarti 66% sisanya pernah menyontek. Prevalensi yang mungkin merupakan fenomena gunung es ini membenarkan hasil-hasil penelitian dan survei lainnya yang telah dilakukan oleh para ahli di sejumlah negara selama 3 dekade terakhir ini, seperti Jordan (2001), Murdock dan Anderman (2006) yang menunjukkan tingginya insiden menyontek baik di kalangan siswa maupun mahasiswa. Bahkan Bracey (2005) menganggap perilaku menyontek ini sebagai masalah nasional di Amerika Serikat.
dan 3) orientasi mastery goals berhubungan secara negatif dengan perilaku menyontek. Kesimpulan penelitian ini mempunyai implikasi praktis bagi pendidik maupun pengelola pendidikan. Pertama, mahasiswa yang mempunyai orientasi performance lebih mungkin untuk menyontek. Oleh sebab itu, untuk mengurangi perilaku menyontek maka dipandang perlu menyeimbangkan orientasi tujuan yang performance dan yang mastery, tidak terlalu menekankan pada performance sebagaimana yang menjadi orientasi utama saat ini. Praktek penilaian hendaknya tidak menekankan semata pada hasil namun perlu pula menggunakan sumber-sumber penilaian lainnya, seperti tugas-tugas individual. Kedua, mahasiswa dengan orientasi mastery goals cenderung tidak menyontek. Hal ini menuntut pendidik untuk menerapkan pedagogi yang menunjukkan pentingnya belajar demi belajar itu sendiri, bukan semata demi nilai, dan juga menggunakan sumber penilaian lain selain ujian. Namun, tetap penting untuk mendorong mahasiswa untuk menunjukkan performance yang baik. Penelitian ini mempunyai kelemahan yang perlu diatasi dalam penelitian selanjutnya. Pertama, data penelitian diperoleh dari sampel dalam jumlah terbatas sehingga generalisasi hasil perlu dipertimbangkan. Penelitian lebih lanjut perlu menggunakan sampel yang lebih besar dan dari berbagai jenjang atau program studi untuk meningkatkan daya generalisasi hasil. Kedua, pengukuran motivasi beprestasi, orientasi tujuan belajar, maupun perilaku menyontek menggunakan persepsi dalam bentuk laporan-diri mahasiswa. Oleh sebab itu, masalah-masalah terkait dengan persepsi lewat laporan diri perlu pula dipertimbangkan. Penelitian ini terbatas hanya mengkaji hubungan antara perilaku menyontek dengan motivasi berprestasi dan orientasi tujuan belajar. Dari literatur diketahui berbagai sebab, korelat, komorbid, dan preseden dari perilaku menyontek sehingga penelitian lebih lanjut perlu mengkaji faktor-faktor personal (perkembangan moral, sikap), faktor-faktor situasional (teman sebaya, banyaknya insiden menyontek, sanksi), dan praktek pedagogi guru di kelas yang diduga terkait erat dengan perilaku menyontek. Hasil penelitian ini penting sebab mencerminkan situasi terkini di dalam dunia
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Tiga temuan utama penelitian ini adalah: 1) motivasi berprestasi tidak berhubungan dengan perilaku menyontek; 2) orientasi performance goals berhubungan dengan perilaku menyontek; 82
pendidikan. Seperti di banyak negara lainnya, masalah ketidakjujuran akademik di dunia pendidikan tinggi tampaknya cukup parah. Keprihatinan ini perlu ditindaklanjuti mengingat mahasiswa adalah tenaga kerja utama dalam masyarakat di masa yang akan datang. Perilaku tidak etis mereka di kampus saat ini dapat menjadi masalah di dunia kerja mereka kelak. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Swift (dalam Nonis & Swift, 2001) bahwa “mahasiswa yang terlibat dalam perilaku tidak jujur di tempat kuliahnya berpeluang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku tidak jujur di dalam pekerjaannya”.
attitudes, and knowledge of institutional policy. Ethics & Behavior, 11(3), 233–247. Klausmeier, H. J. (1985). Educational Psychology. 5th Ed. New York: Harper & Row. Morgan, C. T, King, R. A. & Robinson, N. M. (1990). Introduction to Psychology. 7th Ed. New York: McGraw-Hill. Murdock, T. B. dan Anderman, E. M. (2006). Motivational perspectives on student cheating: Toward an integrated model of academic dishonesty. Educational Psychologist, 41(3), 129–145. Newstead, S. E. dkk. 1996. Individual differences in student cheating. Journal of Educational Psychology, 88 (2): 229-241. Nonis, S., & Swift, C. O. (2001). An examination of the relationship between academic dishonesty and workplace dishonesty: A multicampus investigation. Journal of Education for Business,77(2), 69–77.
DAFTAR PUSTAKA Ames, C. & Archer, J. (1988). Achievement goals in the classroom: student learning strategies and motivation process. Journal of Educational Psychology, 80: 260-267. Anderman, E. M., Griesinger, T., & Westerfield, G. (1998). Motivation and cheating during early adolescence. Journal of Educational Psychology, 90, 84–93.
Sadili,
L. (1993). Studi tentang pola penanggulangan kasus menyontek yang terjadi pada murid-murid SMA Propinsi Jawa Barat. Jakarta: PDII-LIPI. Santrock, J. W. (1996). Adolescence: An Introduction. 6th Ed. London: Brown & Bench Mark. Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology: Theory and Practice. 4th Ed. New Jersey: Allyn & Bacon. Sukadji, S. (1990). Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Woolfolk, A. E. (2009). Educational Psychology. 5th Ed. New Jersey: Allyn & Bacon.
Bracey, C.W. (2005). A nation of cheats. Phi Delta Kappan: 412-413. Elliot, E. S. & Dweck, C. S. (1988). Goals: An approach to motivation and achievement. Journal of Personality and Social Psychology, 54 (1): 5-12. Gage, N. L. & Berliner, D. C. (1992). Educatonal Psychology. 5th Ed. Boston: Houghton Mifflin. Genereux, R. L. & McLeod, B. A. (1995). Circumstances surrounding cheating: A questionnaire study of college students. Research in Higher Education, 36: 687704. Jordan, A. E. (2001). College student cheating: The role of motivation, perceived norms,
83
STUDI PEMANFAATAN DAUN JATI (Tectona grandis L.F) ASAL KABUPATEN MUNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBAGAI ANTIDIABETES1
Oleh : Nasrudin2 Ardiansyah3
Abstrak. Studi pemanfaatan daun jati (Tectona grandis L.F) asal Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai antidiabetes telah dilakukan melalui uji antidiabetes dari ekstrak metanol daun jati terhadap mencit (Mus musculus) jantan dengan metode tes toleransi glukosa oral pada variasi dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, dan 12,6 mg/kg bb. Hasil uji antidiabetes menunjukkan ekstrak metanol dengan dosis 8,4 mg/kg bb memberi penurunan kadar glukosa darah yang lebih bermakna mulai jam pertama hingga jam ke 3 yakni 28,5%. Ekstrak daun jati dosis 5,4 mg/kg bb dan dosis 12,6 mg/kg bb juga menunjukkan aktivitas hipoglikemik yang signifikan dibandingkan kontrol normal yaitu berturut-turut 22,5% dan 23,3%. Kata Kunci : Daun jati (Tectona grandis L.F); antidiabetes. meningkatkan kebutuhan kayu jati dan semakin sempitnya areal pertanian. Bagian lain dari pohon jati yang dapat dimanfaatkan selain kayunya adalah daun. Secara tradisional, daun jati biasa dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan (tempe kedelai) dan bahan pewarna tikar (Astuti, 2009). Hasil penelitian yang dilaporkan Swandari dkk., (2004) bahwa ekstrak etanol daun jati yang tumbuh di Jawa sangat berpotensi sebagai antidiabetes. Hasil fitokimia ekstrak tersebut mengandung metabolit sekunder golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat, kuinon dan steroid/triterpenoid, serta senyawa asam fenolat (Hartati dkk, 2005). Sedangkan hasil fitokimia daun jati asal Muna usia tanam satu tahun dan dua puluh tahun menunjukkan komposisi kimia yang sama khususnya daun tua yang dilaporkan Sahumena (2011), mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, saponin triterpen, polifenol dan tanin. Secara fitokimia menunjukkan bahwa daun jati Muna dan jati Jawa mempunyai banyak kesamaan, sehingga bioaktifitas senyawa pada daun jati Muna pun diduga berpotensi antidiabetes, karena menurut Manitto (1981), bahwa aktivitas fisiologis sebagai
PENDAHULUAN Jati (Tectona grandis L.F) asal Kabupaten Muna merupakan tanaman berkayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mempunyai empat keunggulan yaitu kekuatan, kerapatan, kekerasan dan fisik kimia (Khaeruddin, 1994). Namun, pemanfaatan jati khususnya jati asal Muna selama ini hanya pada kayunya yang banyak digunakan dalam industri meubel (perkakas), furniture, bahan bangunan, alat musik, tiang listrik, patung, popor senjata, dan papan kapal (Pika, 2000). Sementara untuk memanen kayu jati membutuhkan waktu yang cukup lama yakni kurang lebih dua puluh tahun keatas. Untuk menanam pohon jati membutuhkan lahan yang cukup luas. Selain itu, lahan yang sudah ditanami pohon jati setelah usia tanam satu tahun keatas, lahan tersebut sudah tidak produktif lagi. Akibatnya, petani jati tidak dapat mengambil manfaat apapun terhadap pohon jati yang ditanamnya setelah usia tanam satu tahun hingga dua pulu tahun keatas. Pada saat yang sama dengan bertambahnya jumlah penduduk akan
1
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu 3 Dosen Jurusan Biologi F.MIPA Unhalu 2
84
obat disebabkan oleh adanya metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Studi pemanfaatan daun jati asal Muna sebagai antidiabetes perlu dilakukan bukan hanya karena potensi kimiawi jati Muna, tetapi juga kerena penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obat penyembuhannya, yang ada hanyalah obat menurunkan kadar gulanya saja (Lisa, 2011). Penyakit diabetes dapat menyerang siapa saja, tuamuda, kaya-miskin, atau kurus-gemuk. Penyakit diabetes tidak dapat disembuhkan, namun dapat dicegah (Wahdah, 2011). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk membuktikan bahwa daun jati asal Kabupaten Muna berpotensi sebagai obat antidiabetes. Dengan demikian manfaat yang diharapkan petani jati tidak hanya menunggu kayunya hingga dua puluh tahun keatas, tetapi ada bagian lain dari pohon jati yakni daun yang dapat dimanfaatkan setelah usia tanam satu tahun atau ketika lahan jati tidak produktif lagi.
bahan, perlakuan terhadap hewan uji dan penentuan kadar glukosa. Tahap penyiapan bahan meliputi pembuatan larutan koloidal Na-CMC 1% b/v, pembuatan bahan pembanding suspensi glibenclamid 0,002% b/v, Pembuatan larutan glukosa 5% b/v, pemilihan dan penyiapan hewan uji yang dibagi dalam 5 kelompok masing-masing terdiri 3 ekor mencit serta pembuatan ekstrak daun jati dengan dosis 5,6 mg/kg bb mencit, 8,4 mg/kg bb mencit, dan 12,6 mg/kg bb mencit. Tahap perlakuan hewan uji dilakukan setelah semua kelompok mencit dipuasakan selama 8 jam kemudian menimbang berat badannya, lalu diberikan glukosa 5% secara oral dengan 1 ml/30 gram berat badan selama 60 menit, lalu darah mencit diambil melalui ekor untuk menentukan kadar glukosa darah mencit sebagai kadar glukosa awal. Selanjutnya pada mencit kelompok I diberi larutan koloidal Na-CMC 1% b/v sebagai kontrol normal (kontrol pelarut), kelompok II diberi suspensi glibenclamid 0,002% b/v sebagai kontrol positif, kelompok III diberi ekstrak daun jati dengan dosis 5,6 mg/kg bb mencit, kelompok IV diberi ekstrak daun jati dengan dosis 8,4 mg/kg bb mencit, dan kelompok V diberi ekstrak daun jati dengan dosis 12,6 mg/kg bb mencit. Tahap penentuan kadar glukosa darah mencit dilakukan selama 5 jam dengan interval waktu 1 jam pada semua hwan uji menggunakan alat glukometer.
METODE PENELITIAN Bahan Yang Digunakan Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun tua jati Muna (Tectona grandis L.F) yang diambil dari desa Motewe, Kec. Lasalepa Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Bahan kimia yang digunakan untuk uji antidiabetes yaitu metanol 90%, air suling, Betadine, glukosa, Na-CMC, dan tablet glibenclamid. Ada pun hewan uji yang digunakan sebagai bioindikator dalam uji antidiabetes dengan metode tes toleransi glukosa oral adalah mencit (Mus musculus) jantan sebanyak 15 ekor.
Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengukuran glukosa darah mencitdianalisis secara statistik dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan rumus :
Ekstraksi Sebanyak 80 gram serbuk daun tua jati (Tectona grandis L.F) asal Muna dimaserasi dengan metanol selama 24 jam sebanyak tiga kali sampai filtrat metanol tidak berwarna. Filtrat metanol yang diperoleh digabungkan kemudian dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak metanol.
BNT(
=
Ket:
= tingkat kepercayaan = derajat bebas galat (dbt) = banyaknya pengulangan = Kuandrat Galat
v r RKG
Uji Antidiabetes Uji antidiabetes terhadap ekstrak metanol daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penyiapan 85
senyawa organik baik yang bersifat polar maupun yang bersifat nonpolar (Solomons, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekatraksi
Uji Antidiabetes
Ekstrak metanol yang diperoleh dari 80 gram serbuk daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna yang dimaserasi dengan metanol sampai filtrat metanol yang dihasilkan tidak berwarna adalah sebanyak 22,2 gram. Filtrat metanol yang tidak berwarna tersebut menunjukkan bahwa semua senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun jati telah terekstraksi atau terlarut dalam metanol. Penggunaan metanol sebagai pengekstrak senyawa metabolit sekunder dimaksudkan agar semua senyawa metabolit sekunder dapat terekstraksi. Hal ini disebabkan karena sifat kimia metanol yang mampu menarik
Sebelum dilakukan pengukuran kadar glukosa darah mencit, terlebih dahulu mencit diberi larutan glukosa 5% b/v. Pemberian larutan glukosa ini pada mencit dilakukan 1 jam sebelum perlakuan yang bertujuan untuk menaikkan kadar glukosa darah yang merupakan kadar glukosa darah awal, sehingga kemampuan menurunkan kadar glukosa darah sediaan uji dapat diamati. Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi Larutan Na-CMC 1% b/v dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Data Kadar Glukosa Darah Mencit yang diberi Larutan Na-CMC 1% b/v Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Setelah Jam keMencit Puasa Glukosa 1 2 3 4 5 I
126
147
141
135
134
132
127
II
42
71
68
68
61
58
63
III
45
53
50
48
48
46
51
Jumlah
213
271
259
251
243
236
241
Rata-rata
71
90,33
86,33
83,67
81
78,67
80,33
Berdasarkan Tabel 1 terlihat kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan Na-CMC 1% b/v mengalami penurunan hingga jam ke 4. Dari yang awalnya setelah diberi larutan glukosa adalah
90,33 mg/dl setelah jam ke 4 menurun menjadi 78,67. Namun setelah jam ke 4 kadar glukosa darah mencit naik kembali hingga 80,33 mg/dl pada jam ke 5.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi suspensi glibenclamid dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi suspensi glibenclamid 0,002% b/v Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Mencit
Puasa
Glukosa
I
102
II
Setelah Jam ke1
2
3
4
5
122
98
80
73
65
61
64
101
64
47
45
43
41
III
97
102
84
72
68
59
52
Jumlah
263
335
246
199
186
167
154
Rata-rata
87,67
108,33
82
66,33
62
55,67
51,33
86
Tabel 2 menunjukkan penurunan kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan glibenclamid 0,002% b/v mulai dari jam pertama hingga jam ke 5. Setelah diberi larutan glibenclamid 0,002% b/v, kadar glukosa darah
mencit yang awalnya 108,33 mg/dl menurun menjadi 51,33 mg/dl pada jam ke 5. Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 5,6 mg/kg bb mencit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati 5,6 mg/kg bb mencit Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Setelah Jam keMencit Puasa Glukosa 1 2 3 4 5 I
48
71
69
57
49
60
70
II
72
93
87
72
71
68
73
III
52
69
64
53
35
33
42
Jumlah
172
233
220
182
155
161
185
Rata-rata
57,3 77,67 73,33 Berdasarkan Tabel 3 terlihat kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan ekstrak dosis 5,6 mg/kg bb mencit mengalami penurunan hingga jam ke 5. Dari yang awalnya setelah diberi larutan glukosa adalah 77,67 mg/dl setelah jam ke 3 menurun menjadi 51,67 mg/dl. Namun setelah jam
60,67 51,67 53,67 61,67 ke 3 kadar glukosa darah mencit mulai naik kembali hingga 61,67 mg/dl pada jam ke 5. Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 8,4 mg/kg bb mencit dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 8,4 mg/kg bb mencit Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Mencit
Puasa
Glukosa
I
78
II
Setelah Jam ke1
2
3
4
5
85
84
75
51
53
52
72
81
88
79
52
49
47
III
49
75
58
52
35
37
49
Jumlah
199
241
230
206
138
139
148
Rata-rata
66,3
80,33
76,67
68,67
46
46,33
49,33
Tabel 4 menunjukkan penurunan kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan ekstrak dosis 8,4 mg/kg bb mencit mulai dari jam pertama hingga jam ke 3. Setelah diberi larutan ekstrak dosis 8,4 mg/kg bb, kadar glukosa darah mencit yang awalnya 80,33 mg/dl menurun menjadi 46 mg/dl pada jam ke 3. Setelah itu mulai menunjukkan peningkatan kembali hingga 49,33 mg/dl pada jam ke 5.
87
Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 12,6 mg/kg bb mencit dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 12,6 mg/kg bb Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Mencit
Puasa
Glukosa
I
66
II
Setelah Jam ke1
2
3
4
5
94
64
59
51
56
62
62
82
68
65
54
74
77
III
51
60
60
59
55
49
52
Jumlah
179
236
192
183
160
179
191
Rata-rata
59,67
78,67
64
61
53,33
59,67
63,67
Tabel di atas menunjukkan penurunan kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan ekstrak dosis 12,6 mg/kg bb mencit mulai dari jam pertama hingga jam ke 3. Setelah diberi larutan ekstrak dosis 12,6 mg/kg bb, kadar glukosa darah mencit yang awalnya 78,67 mg/dl menurun menjadi 53,33 mg/dl pada jam ke 3. Setelah itu mulai
menunjukkan peningkatan kembali hingga 63,67 mg/dl pada jam ke 5. Selanjutnya penurunan kadar glukosa darah rata-rata pada mencit sebagai efek dari pemberian larutan kontrol, ekstrak metanol dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6 mg/kg bb, dan suspensi glibenclamid dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6 Efek Larutan Kontrol, Ekstrak Metanol Dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6 mg/kg bb, dan Suspensi Glibenclamid terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Jantan Takaran/ Kadar glukosa Penurunan Kadar Penurunan Jumlah 30 g bb rata-rata No Pelakuan Glukosa darah Kadar Glukosa mencit mencit (mg/dl) Darah (%) Awal Akhir (ml) Larutan kontrol 1 (Na-CMC 1% 3 1 90,33 82 8,33 9,2 b/v) 2 Larutan obat 3 1 108,3 63,46 44,86 41,4 Ekstrak 3 metanol dosis 3 1 77,67 60,2 17,47 22,5 5,6 mg/kg bb Ekstrak 4 metanol dosis 3 1 80,33 57,4 22,93 28,5 8,4 mg/kg bb Ekstrak 5 metanol dosis 3 1 78,67 60,33 18,34 23,3 12,6 mg/kg bb mg/kg bb mengalami peningkatan kadar glukosa Tabel 6 menunjukkan bahwa setelah 1 darah berturut-turut 90,33 mg/dl, 108,33 mg/dl, jam pemberian glukosa secara oral kadar glukosa 77,67 mg/dl, 80,33 mg/dl, dan 78,67 mg/dl (kadar darah kelompok mencit yang diberi larutan Na- glukosa awal). Kemudian setelah pemberian CMC, suspensi glibenclamid, dan larutan ekstrak larutan pada tiap perlakuan dan dilakukan metanol dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6 pengukuran selama 5 jam dengan interval 88
pengukuran setiap 1 jam, terlihat adanya penurunan kadar glukosa darah. Rata-rata penurunan kadar glukosa darah selama 5 jam secara berturut-turut adalah 82 mg/dl, 63,467 mg/dl, 60,2 mg/dl, 57,4 mg/dl, dan 60,33 mg/dl. Hal ini membuktikan bahwa pemberian ekstrak metanol daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna
dapat menyebabkan terjadinya penurunan gula darah mencit sebesar 22,5% pada dosis 5,6 mg/kg bb dan 28,5% dosis 8,4 mg/kg bb serta 23,3% dosis 12,6 mg/kg bb mencit. Grafik rata-rata kadar glukosa darah relatif dari masing-masing kelompok uji hingga jam ke 5 dapat dilihat pada Grafik 1 di bawah ini.
Grafik 4.1: Efek Larutan Kontrol, Suspensi Glibenclamid, Ekstrak Metanol Daun Jati dosis 5,6 mg/kg; 8,4 mg/kg; dan 12,6 mg/kg terhadap penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Jantan Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan dalam grafik 4.1 menunjukkan pada perlakuan yang diberi Na-CMC terjadi penurunan kadar glukosa darah dari pertama hingga jam keempat. Pemberian ekstrak daun jati dosis 55,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb dan 12,6 mg/kg bb mencit memperlihatkan aktivitas hipoglikemik (penurunan kadar glukosa darah) yang hampir sama yaitu mulai dari jam pertama hingga jam ke 3. Sedangkan setelah jam ke 3 hingga jam ke 5 memperlihatkan, kadar glukosa darah mencit mulai naik kembali. Hal ini terjadi karena zat berkhasiat yang mampu menurukan kadar glukosa darah mencit mulai berkurang efeknya pada jam tersebut, dimana jumlah insulin yang dibutuhkan untuk metabolisme glukosa tidak mencukupi akibatnya kadar glukosa darah mengalami kenaikan. Pada pemberian suspensi glibenclamid yang merupakan kontrol positif terjadi penurunan kadar glukosa darah dari jam pertama hingga jam kelima. Hasil analisis statistik dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada perlakuan mencit selama 5 jam dengan interval waktu 1 jam, memperlihatkan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat pada Tabel ANAVA dimana nilai Fh (8,10) > Ft(0,05)
(2,67) pada taraf 5% dan Fh (8,10) > Ft(0,01) (4,43) pada taraf 1%. Artinya bahwa ekstrak daun jati memberi pengaruh penurunan kadar glukosa darah mencit (berpengaruh nyata) sebagaimana halnya pemberian larutan obat (glibenclamid) yang merupakan kontrol positif. Karena terdapat perbedan yang nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Berdasarkan hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar perlakuan yang menyebabkan penurunan kadar glukosa darah mencit mulai dari pemberian larutan Glukosa Hingga Jam Ke 5 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang diberi NaCMC sebagai kontrol normal dengan larutan ekstrak dan larutan obat. Artinya bahwa larutan Na-CMC tidak memberikan efek hipoglikemik yang nyata (tidak bermakna) pada glukosa darah mencit. Sedangkan antara kelompok yang diberi ekstrak metanol daun jati dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, dan 12,6 mg/kg bb dengan larutan obat yang merupakan kontrol positif tidak memberikan perbedaan yang signifikan, khususnya dari jam pertama hingga jam ke 3. Artinya bahwa antara kelompok yang diberi larutan ekstrak memberikan 89
efek penurunan kadar glukosa darah yang hampir sama dengan kelompok yang diberi larutan obat.
(Tectona grandis L. f.). Farmasi ITB. Bandung [http://bahan-alam.fa.itb.ac.id] Khaeruddin, 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta.
KESIMPULAN Ekstrak metanol daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna berpotensi sebagai obat antidiabetes yang dibuktikan dengan pemberian variasi dosis ekstrak metanol daun jati terhadap mencit jantan menunjukkan bahwa pada dosis 8,4 mg/kg bb memberikan efek hipoglikemik terkuat (28,5%), diikuti oleh dosis 12,6 mg/kg bb (23,3%) dan dosis 5,6 mg/kg bb (22,5%) dengan taraf nyata 0,05 serta 0,01.
Lisa, KA., 2011. Awas, Diaskol (Diabetes, Asam Urat, Kolesterol). Syura Media Utama. Jawa Tengah Manitto, Paolo, 1981. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan: Koensoenmardiyah. IKIP Semarang Press. Semarang Pika, 2000. Mengenal Sifat-sifat Kayu dan Penggunaannya. Kanisius. Yogyakarta.
SARAN
Sahumena, M.H., 2011. Penapisan Fitokimia Daun Jati (Tectona grandis L.F) Usia tanam 1 Tahun dan 20 Tahun di Desa Motewe Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna. Skripsi FKIP Unhalu Kendari.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis minimum dari ekstrak daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna yang memberi efek hipoglikemik pada penderita diabetes. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi dan mengisolasi senyawa aktif yang terdapat dalam daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah.
Solomons, Graham, T.W. 1994. Fundamentals of Organic Chemistry. Fourth Edition. John Wiley and Sons. Inc. Swandari S., Asep G., dan Elin Y., 2004. Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Jati (Tectona grandis L.F.). Farmasi ITB. Bandung [http://bahanalam.fa.itb.ac.id]
DAFTAR PUSTAKA
Wahdah, N., 2011. Menaklukan Hipertensi dan Diabetes (Mendeteksi, Mencegah, dan
Astuti, Nurita P., 2009. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun Pisang, dan Daun Jati. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Mengobati dengan Cara Medis dan Herbal). CV. Multi Solusindo. Yogyakarta. .
Hartati, Asep G., dan Komar, 2005. Telaah Flavonoid dan Asam Fenolat Daun Jati
90
Motor Learning : PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI PERILAKU MOTORIK DAN KONSEPKONSEP DASAR KAJIAN PERILAKU MOTORIK1 Oleh: Sahrun2
pola-pola gerak baru untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam belajar gerak, karena atlet harus memahami gerakan untuk mampu melakukannya, maka selain unsur fisik disitu juga terlibat unsur fikir. Unsur emosi dan perasaan juga terlibat dalam belajar gerak, karena emosi dan perasaan merupakan unsur psikis yang merupakan daya penggerak dalam berprilaku. Seseorang akan melakukan gerakan tertentu apabila mempunyai kemauan untuk bergerak dan merasa perlu untuk melakukan gerakan. Dalam melakukan suatu gerakan apabila ia tahu atau mengerti gerak apa yang harus dilakukan, dan gerakan tertentu itu akan terwujud apabila ia memiliki cukup kemampuan untuk bergerak. Dalam belajar gerak, dapat kita temui rana gerak yang merupakan terjemahan dari kata “domain” yang diartikan baagian atau unsure gerak. Gerak tubuh merupakan salah satu kemampuan manusia untuk melaksanakan hidupnya. Gerak tubuh manusia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Anita J. Harrow (dalam Sugianto, 1993: 3) membedakan gerak tubuh menjadi 6 klasisifikasi yang merupakan satu kesatuan yang membentuk gerak tubuh manusia, mulai dari yang bersifat bawaan sejak lahir sampai tarafnya yang paling tinggi.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada saat sekarang ini prestasi olahraga masih terus diciptakan dan ditingkatkan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka diperlukan adanya pendekatan ilmiah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembinaan.Telah disadari bahwa untuk meningkatkan prestasi diperlukan konsep-konsep dan teori-teori dalam belajar motorik sebagai pedoman dengan menentukan metode melatih dalam usaha meningkatkan prestasi. Bower dan Hilgard (1981: 11) mengatakan bahwa belajar sebagai perobahan perilaku yang potensial terhadap situasi tertentu yang diperoleh dari pengalaman yang dilakukan berulang kali. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang keterampilan motorik, Oxendine (1984: 20) mendefenisikan penekanan utama pada efisiensi. Schimidt (1988: 17) menyatakan bahwa keterampilan merupakan gerakan-gerakan yang tergantung kepada latihan dan pengalaman karena pelaksanaannya itu tidak ditentukan oleh keturunan. Singer (1980: 59) mendefenisikan keterampilan motorik sebagai gerakan tubuh untuk mensukseskan pelaksanaan aktiffitas yang diinginkan selanjutnya, Cecco dan Crawford (1974: 252) menjelaskan keterampilan motorik adalah suatu respons motorik berangkai yang melibatkan koordinasi gerakan untuk menjadi pola respons yang lebih kompleks. Proses belajar gerak berbentuk kegiatan mengamati gerakan dan kemudian mencoba menirukan berulang-ulang, dan menerapkan polapola gerak tertentu pada situasi tertentu yang dihadapi, dan juga dalam bentuk menciptakan 1 2
Permasalahan Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah penulis lebih menekankan pada masalah diantaranya : 1. Bagaimana pendekatan dalam mempelajari perilaku motorik ? 2. Apakah yang menjadi konsep – konsep dasar bidang kajian perilaku motorik ?
Ringkasan Makalah Dosen Penjaskes-Rek FKIP Unhalu 91
loncatan bagi pembangunan teori tentang belajar yang selanjutnya diteruskan pada abad ini. Perkembangan berikutnya ialah penelitian tentang struktur otak. Herrick (1924) mengajukan beberapa hipotesis tentang fungsi dari cerebellum yang diantaranya nampak beralasan pada massa sekarang. Pasien-pasien yang menderita cedera pada bagian otak dipelajari (misalnya oleh Holmes, 1939) dalam upaya untuk menunjukkan hilang beberapa kontrol gerak yang berkaitan dengan struktur tersebut. Struktur otak lainnya juga dipelajari dengan memanfaatkan pasien-pasien yang menderita berbagi cedera otak. Perilaku motorik memiliki akar yang kuat dalam psikologi eksperimental dan selama beberapa tahun mempergunakan teori, metode dan majalahnya. Tapi beberapa ahli merasa bahwa sudah waktunya untuk memgembangankan bidang itu dengan metodenya sendiri dan mempublikasikan teori-teorinya melalui majalahnya sendiri. Kombinasi tehnik dan pengetahuan tentang gerak, bidang kontrol persyarafan dalam kaitannya dengan gerak, psikologi eksperimenal dan pendidikan jasmani dalam kaitannya dengan masalah gerak kesemuanya menyatu bersama-sama membentuk satu wilayah yang unik yang di sebut motor control dan learning. Yang akan banyak dibahas banyak dalam buku ini wilayah motor learning itusendiri serta aplikasinya dalam kegiatan belajar mengajar atau melatih olahraga.
Tujuan Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui pendekatan dalam mempelajari perilku motorik. 2. Untuk mengetahui konsep – konsep dasar bidang kajian perilaku motorik. Manfaat Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan pelaku olahraga dapat memahami dan menerapkan pendekatan dalam mempelajari perilaku motorik dan konsep – konsep dasar kajian perilaku motorik sebagai salah satu faktor dalam upaya untuk meningkatkan salah satu belajar gerak maupun untuk meningkatkan keterampilan untuk mencapai suatu prestasi.
PEMBAHASAN PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI PERILAKU MOTORIK a. Perkembangan Penelitian Perilaku Motorik Beberapa kegiatan penelitian tentang kegiatan keterampilan motorik dilakukan sekitar tahun 1820 oleh astronom Bessel (dikutip oleh Welford, 1968) dalam upaya untuk memahami perbedaan antara keterampilan para koleganya dalam mencatat perubahan waktu dari gerakan bintang-bintang. Bessel tertarik mempelajari gejala di balik keterampilan yang kompleks, termasuk masalah. Perkembangan selanjutnya, studi dilakukan untuk mempelajari kontribusi penginderaan mata terhadap gerakan tangan dalam target yang dilokalisasi. Bowditch & Southhard, (1882), danLeuba, (1909) mempelajari akurasi gerakan tubuh bagian atas. Hasil-hasil studi Thorndike (1914) yang banyak membahas proses dibalik kegiatan belajar keterampilan memberikan pengaruh yang besar pada waktu itu. Hukum Thorndike “Law of Effect” yang berpengaru terus dalam psikologi menyatakan bahwa respons yang diikuti oleh hadiah cenderung akan diulangi, sementara respons yang tidak diikuti oleh hadiah (atau yang diikuti hukuman) cenderung tidak akan diulangi. Ide ini merupakan batu
b. Pendekatan dalam Mempelajari Perilaku Motorik Pendekatan pertama adalah psikologi. Psikologi adalah suatu bidang studi perilaku manusia. Disiplin ilmu ini berupaya untuk mempelajari dan memahami perilaku manusia. Istilah perilaku diartikan dalam pengertian luas yaitu mencakup berbagai kegiatan manusia seperti mengindra, mempersepsi, memperhatikan, belajar, dan berbuat dengan gerak nyata (Sage, 1984). Pendekatan lain adalah psikologi kognitif yang ditekankan pada ikhtiar memanipulasi lingkungan untuk mempelajari perilaku manusia dan pendekatan fisiologis-psikologi yang mempelajari mekanisme fisiologis yang melandasi perilaku. Dalam buku ini pendekatan yang di pakai adalah untuk mempelajari perilaku motorik, khususnya ketempilan motorik ialah pendekatan 92
fungsional-integratif. Maksudnya ialah gejala perilaku motorik ditelaah bukan saja dari pendekatan behavioral yang meniti beratkan interpretasi perilaku yang teramati, tapi juga dari aspek neurofisiologi dan sosial budaya.
Menurut oxendine(1968)menggambarkan belajar sebagai : (1) Akumulasi pengetahuan (2) Penyempurnaan dalam suatu kegiatan. (3) Pemecahan suatu masalah ,dan (4) Penyesuaian terhadap situasi yang berubah. Konsep belajar pada umumnya dan belajar motorik sebagai belajar perilaku motorik pada khususnya.telah dirumuskan terhadap beberapa defenisi oleh para ahli oleh karena itu belajar dapat diartikan semacam seperangkat peristiwa,kejadian ,atau perubahan yang terjadi apabilah seorang berlatih yang memungkinkan seseorang dapat menjadi terampil dalam melaksanakan suatu kegiatan.Kedua,Belajar adalah hasing langsung dari praktek atau pengalaman,Ketiga,Belajar tak dapat diukur secara langsung karena proses yang mengantarkan pencapaian perubahan prilaku berlangsung secara internal atau dalam diri manusia.Keempat, Belajar dipandang sebagai proses yang menghasilkan perubahan relative permanen dalam suatu keterampilan . Sebagai sintesis dari keempat aspek tersebut ,dihasilkan defenisi sebagai berikut : Belajar motorik Adalah Seperangkat proses yang bertalian dengan latihan dan pengalaman yang mengantarkan perubahan permanen dalam perilaku terampil. (Schmidt,1982). Untuk kebutuhan analisis ,keempat karakteristik belajar motorik yang dipaparkan oleh (Schmidt,1982) diatas perlu dikupas secara lebih lanjut sebagai berikut ,: 1. Belajar Sebagai Sebuah Proses Dalam Psikologi kognitif dijelaskan,sebuah proses adalah seperangkat kejadian atau peristiwa yang berlangsung bersama yang menghasilkan beberapa prilaku tertentu.Sebagai contoh dalam membaca proses diasosiasikan dengan gerakan mata,menangkap kode dan simboldalam teks ,memberikan pengertian sesuai dengan perbendaharaan kata yang tersimpan dalam ingatan ,Dan seterusnya. 2. Belajar Motorik Adalah Hasil Langsung Dari Latihan Dalam makalah ini, Perubahan perilaku motorik berupa keterampilan dipahami sebagai hasil oada suatu latihan dan pengalaman .hal ini perlu dipertegas untuk membedakan perubahan
c. Pemilihan Tugas Gerak Penelitian belajar motorik dapat berlangsung dalam kondisi (a) laboratorium, (b) lapangan. Dalam kondisi labortorium variabel yang termasuk ke dalam penelitian dan yang di luar penelitian dapat dikontrol hingga mencapai tingkat kecermatan tertentu yang dianggap lebih teliti daripada penelitian dalam kondisi di lapangan. Kondisi lapangan misalnya berupa kegiatan olahraga yang kompleks atau kegiatan alamiah lainnya di mana variabel internal dan eksternal kurang terkontrol. Penelitian dalam kondisi laboratorium lazimnya memanfaatkan metode eksperimen dan yang non laboratorium dapat menggunakan metode quasi-eksperimen. d.
Pengukuran penampilan gerakan (Performance) Sejalan dengan makna belajar sebagai suatu perubahan internal dari seseorang yang ditafsirkan berdasarkan perubahan menetap (permanen) dalam penampilan gerak sebagai hasil dari berlatih, maka yang penting adalah bagaimana mengukur penampilangerak yang bersangkutan. Schmidt (1975) misalnya mengklasifikasi penampilan gerak atas tiga kategori : 1. kecemasan 2. ketepatan, dan 3. respon berwujud “jumlah” atau ukuran besar KONSEP BELAJAR MOTORIK Pengertian istilah balajar motorik tak terlepas dari pengertian istilah belajar pada umumnya ,oleh karena itu bagian ini mengungkapkan makna belajar pada umumnya dan belajar motorik pada khususnya akan dibahas secara mendalam Proses belajar itu sendiri merupakan masalah yang amat kompleks dimana berkenaan dengan teori belajar itu sendiri maka akar perkembangannya terdapat dalam disiplin psikologi.karena itu para psikologi memberikan andil besar dalam pembangunan teori belajar. 93
yang terjadi karena fektor kematangan dan pertumbuhan.Faktor –Faktor itu juga dapat menyebabkan perubahan perilaku. 3. Belajar Motorik Tak Teramati Secara Langsung Belajar motorik atau keterampilan olahraga tak teramati secara langsung .Proses yang terjadi dibalik perubahan keterampilan itu mungkin sejali amat kompleks dalam system persyarafanseperti misalnya bagaimana informasi sensorik diproses,diorganisasi ,dan kemudian diubah menjadi pola gerak otot –otot.
internal yang berlangsung dalam diri seseorang.Namun hasilnya tak mampu menggambarkan dan mengungkap kondisi internal yang sebenarnya tapi kurva ini dapat digunakan untuk kebutuhan praktis atas dasar penampilan yang nyata itulah dapat ditafsirkan kemajuan, sehingga menghasilkan beberapa tipe kurva ,Seperti : (1) Penurunsn jumlah Waktu dalam menyelesaikan suatu tugas. (2) Pengukuran kecermatan seperti mengarahkan suatu obyek kesebuah target (3) Penurunan dalam jumlah kesalahan ketika mempelajari suatu keterampilan (4) Kombinasi dari dua tipe atau lebih dari teknik pengukuran tersebut diatas
4. Belajar Menghasilkan Kapabilitas Untuk Bereaksi (Kebiasaan ) Istilah Kapabilitas disini penting maknanya karena berimplikasi pada keadaan sebagai berikut :Jika telah tercipta kebiassan dan kebiasaan itu “Kuat” keterampilan itu dapat diperagakan jika terdapat kondisi yang mendukung ,Tapi jika kondisinya tidak mendukung misalnya lelah keterampilan yang maksud tak akan terjadi. 5. Belajar Motorik Relatif Permanen Ciri lain dari belajar motorik adalah relative permanen.hasil belajar itu bertahan hingga waktu relative lama,Misalnya saja ,seseorang mengendarai sepeda ,meskipun selama beberapa tahun dia tedak mengendarai sepeda namun pada suatu ketika dia tetap dapat mengendarai sepeda. 6. Belajar Motorik Bisa Menimbulkan Efek Negatif Kesan umum yang kita peroleh dari uraian terdahulu ialah bahwa belajar dapat menimbulkan efek positif yakni penyempurnaan keterampilan atau keterampilan gerak seseorang .Namun anggapan ini mengandung persoalan karena apa yang disebut kemajuan tak lepas dari persepsi sipengamat.
PENUTUP Dalam implementasinya pelatih, guru olahraga, atlet, manajer harus memperhatikan pada tahap persiapan khusus, pra-kompetisi dan kompetisi diharapkan dapat memahami peranan motor learning dalam menunjang teknik dasar, baik untuk membetulkan, meningkatkan dan mengembangkan segala teknik ketaraf otomatisasi gerak sehingga menampakkan keterampilan gerak yang baik untuk mencapai prestasi yang optimal. Diharapkan dalam menyusun jadwal pelatihan pada tiap siklus mikro harus ada jadwal untuk teori dalam membentuk dan mengembangkan kognisi atlet atau siswa sejalan dengan tuntutan cabang olahraga tersebut. Dalam proses pembentukan dan pengembangan kognisi, atlet/siswa diharapkan dapat mengikutinya dan dapat membangun interaksi untuk memperbaiki dan melengkapi atlet/siswa dalam latihan-latihan selanjutnya. Diharapkan para manajer dapat memperhatikan kebutuhan yang dituntut dalam cabang olahraga yani ia tangani agar dapat menunjang penampilan atlet untuk meraih prestasi yang diinginkan, sebagai hasil feedback dari pengkajian motor learning.
7. Kurva Hasil belajar Apakah yang dimaksud kurva belajar? Grafik yang menggambarkan penguasaan kapabilitas untuk bereaksi (yaitu Kebiasaan)dalam suatu jenis tugas setelah dilakukan berulang-ulang disebut kurva belajar.grafik tersebut menampilkan perkembangan penampilan kemampuan geraksebagai cerminan suatu proses belajar 94
Wade, M.G. (ed.), (1986), Motor Skill Acquisition of Mentally Handicapped, Amsterdam : Elsevier Science Publisher. Whiting, H. T. A., (1975), Concepts in Skill Learning, London :Lepus Book. Wittrock, Merlin C, (ed), (1986), Handbook of Research on Teaching, New York : Macmillan Publishing Company.
DAFTAR PUSTAKA Bower, G.H, and Hilgord. E.R, 1984. Theories of Learning, Prentice Hall, Inc Jersey. De Cocco.J.P, and Crawford.W.R. 1974. The Psycology of Learning and Instruction, Englewood Cliffs Inc. Kosasih Nana, 1987. Metode Belajar Keseluruhan Bagian dan Bagian Keseluruhan Terhadap Prestasi Belajar Panahan Bagi Mahasiswa Yang Mempunyai Kekuatan Otot Punggung dan Ketepatan Membidik Berbeda, IKIP Jakarta. Jakarta. Oxidine.J.B. 1980. Psycology of Motor Learning, Prentice Hall, Inc. New York. Rahantoknam, B.E. 1983. Pengaruh Metode Penyajian Informasi Balikan Dan Tingkat Intelegensi Terhadap Prestasi Belajar Motorik, IKIP Jakarta. Jakarta Rink, Judith E., (1985), Teaching Physical Education for Learning, St Louis, Toronto, Santa Clara : Mosby College Publishing. Rusli Lutan, (1984). Beberapa Isu dalam Olahraga, Makalah. Saidel. Beverly. L. 1975. Sport Skill: A Conceptual Approach to Meaningful Movement, WM.C. Brown Company Publishers, Duduque. Singer. Robert. N, and Dick Wolter, 1980. Teaching Physical Education, Houngton Miffiln Company. Boston. Schimid.R.A. 1988. Motor Control and Learning Behavioral Emphasis, Human Kinetics Publihers. Illionis. Schmidt, Richard A., (1982). Motor Control and Learning, Champaign : Human Kinetics Publishers. Inc. Singer, Robert N., (1968), Motor Learning ang Human Performance, New York : The Macmillan Company. Stallings, Loretta M., (1982), Motor Learning : From Theory to Practice. Washington DC. Wm C. Brown Company.
95
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SAINS BAGI SISWA SD MELALUI PENERAPAN MODEL TECHING CONCEPT DENGAN STRATEGI CONCEPT ATTAINMENT1 Oleh : Luh Sukariasih2
Abstrak : penerapan model teaching concept dengan strategi concept attainment pada siswa sekolah dasar kelas IV SDN 1 Tikep untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar sains dalam bingkai penelitian tindakan kelas pada materi pokok perubahan wujud benda. Penelitian dirancang dalam 2 siklus dengan 3x pertemuan. Subyek penelitian berjumlah 31 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dan hasil belajar dari siklus1 ke siklus 2. Peningkatan aktivitas yang signifikan terjadi pada aspek membedakan atribut kritis dari contoh dan bukan contoh, memberikan nama konsep berdasarkan atribut kritis, memberikan defenisi dan menggambarkan proses berpikir yang meningkat dari kategiri cukup menjadi sangat baik. Peningkatan hasil belajar ditunjukkan oleh peningkatan persentase ketuntasan belajar dari siklus 1 ke siklus 2 yakni dari 38,71 % meningkat menjadi 80,65% atau sebesar 41,94% Kata kunci : Teching concept, Concept attainment
PENDAHULUAN
Model teaching concept (pengajaran konsep) merupakan satu model pengajaran yang dikembangkan untuk mengajarkan ide, kunci atau konsep (concept) yang menjadi dasar bagi siswa untuk mampu berpikir tingkat tinggi (higher level thinking). Fokus dari model teaching concept yaitu guru membimbing siswa dalam mencapai dan mengembangkan konsep dasarnya yang dibutuhkan untuk belajar lebih lanjut dan berpikir tingkat tinggi. Konsep diajarkan melalui contoh dan bukan contoh dengan cara mengidentifikasi atribut kritis dan non kritis. Atribut kritis adalah karakteristik yang dimiliki oleh semua anggota kelas yang digunakan untuk memisahkan satu konsep dengan yang lainnya. Sedangkan atribut non kritis adalah karakteristik yang bisa ditemukan dalam beberapa
1 2
anggota tetapi tidak dalam semua anggota kelas. Dalam model teaching concept terdapat 3 (tiga) strategi (meskipun Arends,1989 dalam bukunya learning to teach mengatakan sebagai approach tapi penulis memaknainya sebagai strategi dan bukan sebagai pendekatan), yaitu : (1). Presentasi langsung (direct presentation), (2). Pembentukan konsep (concept formation), (3). Pencapaian konsep (concept attainment). Ada empat fase atau langkah utama di masing-masing strategi pengajaran konsep. Meskipun ada variasi dalam urutan aktivitas belajar dan perilaku guru pendamping di fase 2 dan 3. Semua urutan dari fase dirangkum dalam Tabel berikut :
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen Pend. Fisika FKIP Unhalu 96
Tabel 1. Sintaks Pengajaran Konsep (Teaching Concept) FASE PERILAKU GURU Fase 1:
Penyajian tujuan dan penetapan skenario
Guru menjelaskan menetapkan skenario
tujuan
pembelajaran
dan
Fase 2 atau 3:
Daftar, label, definisi
Guru menamai konsep dan mengidentifikasi atribut kritis di presentasi langsung. Di pembentukan konsep, guru menolong siswa membedakan properti kelompok dan label identifikasi bentuk. Di pencapaian konsep, siswa dilibatkan dalam proses induktif di mana mereka menemukan atribut konsep.
Fase 2 atau 3:
Penyajian contoh dan bukan contoh
Guru menampilkan contoh, menggunakan pendekatan pencapaian konsep dan presentasi langsung. Di pembentukan konsep, siswa mengelompokan objek dengan karakteristiknya.
Fase 4:
Menolong siswa menganalisis berpikir dan mengintegrasikan belajar
Guru membantu siswa untuk berpikir tentang pikirannya sendiri dan untuk mengintegrasikan belajar baru
(Arends, 1989: 323-325). Presentasi langsung menekankan guru dalam memberi label dan mendefinisikan konsep untuk dipelajari di awal pelajaran yang diikuti dengan penyajian contoh-contoh terbaik dan presentasi untuk pemahaman siswa melalui expository (penjelasan) dan/atau interrogatory (pemeriksaan) pada konsep. Strategi pembentukan konsep melibatkan siswa dalam pencatatan dan pengelompokan obyek dan gagasan dalam beberapa hal, bahkan penamaan
dan mendefinisikan konsep-konsep mereka sendiri. Strategi ini terutama sekali bermanfaat ketika tujuan belajar mengandung penemuan konsep baru dan pengembangan konsep. Strategi pencapaian konsep dimulai dengan presentasi contoh dan bukan contoh suatu konsep tertentu dan menyimpan pendefinisian dan pelabelan sampai akhir.
Tabel 2. Sintaks pendekatan pencapaian konsep (Concept Attainment) FASE PERILAKU GURU Fase 1 Penyajian tujuan dan Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan menetapkan skenario mendapatkan siswa siap belajar Fase 2 Penyajian contoh dan Guru menampilkan contoh dan non-contoh bukan contoh dari konsep Fase 3 Daftar, label, definisi Siswa dilibatkan dalam proses induktif di mana mereka menemukan atribut konsep. Fase 4 Menolong siswa Guru membantu siswa untuk berpikir tentang menganalisis berpikir dan pikirannya sendiri dan untuk mengintegrasikan belajar mengintegrasikan belajar 97
kelompok belajar yang terdiri dari 4-5 orang tiap kelompok
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kelas IV sekolah dasar pada materi pokok perubahan wujud HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN benda yang dilakukan dalam 3x pertemuan dalam bingkai penelitian tindakan kelas yang dirancang Data penelitian ini meliputi data aktivitas dalam 2 siklus. Data penelitian terdiri dari aktivitas siswa, aktivitas guru dan data hasil belajar siswa. siswa dan guru yang diperoleh dengan Berikut data rata-rata aktivitas siswa untuk masingmenggunakan lembar observasi dan data hasil masing satuan aktivitas dari siklus 1 (satu) ke belajar yang diperoleh dengan menggunakan tes siklus 2 (dua) dalam kategori hasil belajar. Siswa dibentuk dalam tatanan Tabel 3. Rata-Rata Aktivitas Siswa pada Setiap Siklus No Aspek yang Dinilai Siklus I II 1. Siswa memperhatikan penjelasan guru tentang fungsi kategori “ya” baik baik (contoh) dan “tidak” (bukan contoh) dari suatu konsep 2.
3. 4.
5. 6. 7. 8.
Siswa mampu membedakan atribut kritis dari konsep yang diberikan melalui contoh dan bukan contoh yang diberikan oleh guru Siswa membandingkan karakteristik contoh “ya” (contoh) dan “tidak” (bukan contoh) Siswa mampu memberikan hipotesis dari konsep perubahan wujud benda dan menguji contoh “ya” dalam melawan contoh “tidak” (bukan contoh) Siswa mampu memberi label pada setiap contoh “ya” (contoh)
Cukup
Sangat baik
Cukup
Baik
Cukup
Baik
Baik
Siswa mampu menyatakan karakteristik penting (atribut kritis) dari konsep Siswa mampu memberikan nama pada konsep berdasarkan atribut kritisnya Siswa mampu memberikan definisi dari konsep
Baik
Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Baik
9.
Siswa mampu membenarkan jawaban mereka terhadap contoh tambahan yang diberikan oleh guru berdasarkan atribut kritis dari konsep 10. Siswa mampu memasok contohnya sendiri agar sesuai dengan konsep 11. Siswa mampu menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan dalam mencapai konsep Rata-Rata Aktivitas Siswa
Dari table diatas terlihat bahwa terjadi peningkatan aktivitas dari siklus 1 ke siklus 2 untuk semua satuan aktivitas. Terdapat beberapa aktivitas mengalami peningkatan yang cukup signifikan, diantaranya aktivitas . Peningkatan
Cukup Cukup Kuran g Cukup
Baik
Kuran g Cukup
Sangat baik Baik
tersebut tidak terlepas dari upaya guru dalam melakukan perbaikan pengajaran yang dilakukan setelah observasi terhadap proses dan hasil belajar dilakukan. Berikut data aktivitas guru selama proses pembelajaran berlangsung : 98
Tabel 4. Data aktivitas guru selama proses belajar mengajar No 1. 2. 3.
Aktivitas guru yang dinilai Siklus I Menjelaskan tujuan pembelajaran Sangat baik Menjelaskan fungsi kategori ”contoh” dan ”bukan contoh” Baik Memberikan contoh awal yang jelas yang mengandung Sangat baik karakteristik yang penting
4.
Memberikan pertanyaan yang berfokus pada berpikir siswa tentang atribut penting Meminta siswa untuk mebandingkan ”contoh” Meminta siswa untuk membandingkan karakteristik ”contoh” dan ”bukan contoh” meminta siswa melabel pada setiap ”contoh” Meminta siswa untuk menghasilkan hipotesis dari konsep perubahan wujud benda dan menguji mereka membandingkan “contoh” dan “bukan contoh” Meminta siswa untuk memberi nama konsep Meminta siswa untuk menyatakan karakteristik penting (atribut kritis) dari konsep Menghadirkan contoh tambahan dan bertanya apakah mereka mengandung konsep Meminta siswa untuk membenarkan jawaban mereka
5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
14.
Meminta siswa untuk membenarkan contoh mereka dengan mengidentifikasi karakteristik yang penting (yaitu, atribut kritis) Meminta siswa untuk menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan dalam mencapai konsep Rata-Rata
Siklus II Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Kurang
Baik
Baik Kurang
Sangat baik Baik
Baik Cukup
Baik Sangat baik
Baik Baik
Sangat baik Baik
Sangat baik
Sangat baik
Baik Baik
Sangat baik Baik
Kurang
Baik
Cukup
Sangat baik
Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari persentase ketuntasan dari tiap siklus. Berikut data ketuntasan belajar pada siklus 1 dan siklus 2 : Tabel 5. Deskripsi Ketuntasan Belajar Siswa Ketuntasan Tuntas Belum Tuntas Jenis No. Evaluasi Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (orang) (%) (orang) (%) 1. 2.
Siklus I Siklus II
12 25
38,71 80,65
Untuk lebih jelasnya gambaran jumlah siswa yang sudah tuntas dengan belum tuntas belajar pada tiap siklus dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut:
99
19 6
61,29 19,35
biasa dipakai oleh guru pada umumnya terletak pada sistematikanya serta model ini lebih dapat mengaktifkan keterlibatan intelektual siswa, sehingga konsep yang diperoleh lebih bermakna dan akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. KESIMPULAN
Gambar 4.5 Grafik Persentase Jumlah Siswa Sudah Tuntas dan Belum Tuntas Belajar Dari data ketuntasan hasil belajar diatas dapat dilihat terjadi peningkatan persentase ketuntasan belajar dari siklus 1 ke siklus 2 yakni sebesar 41,94%. Ketuntasan belajar meningkat dari 38,71% menjadi 80,65%. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap aktivitas siswa, guru dan data hasil belajar, menunjukkan bahwa model pengajaran konsep dengan strategi pencapaian konsep (concept attainment) mampu mengaktifkan siswa dalam pembelajaran yang diindikasikan oleh meningkatnya aktivitas dan hasil belajar dari siklus 1 ke siklus 2. Yang khas dari model pengajaran konsep dengan strategi pencapaian konsep adalah adanya penyajian contoh dan bukan contoh, siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi atribut kritis dari masing-masing konsep sampai akhirnya mereka menemukan sendiri definisi konsepnya. Arends,1989 mengatakan bahwa kelebihan model pengajaran konsep dengan strategi pencapaian konse dibandingkan dengan cara yang
Model pengajaran konsep (teaching concept) dengan strategi pencapaian konsep (concept attainment) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Aktivitas belajar siswa dapat ditingkatkan dari kategori cukup pada siklus 1 menjadi kategori baik pada siklus 2. Sedangkan peningkatan hasil belajar meningkat berdasarkan peningkatan persentase ketuntasan belajar yakni 38,71% pada siklus 1 menjadi 80,65% atau meningkat sebesar 41,94%. DAFTAR PUSTAKA Arends, R. 1989. Learning To Teach. McGrowHill : Singapura. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. ----------------, 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi Cetakan Ke-5. Jakarta : Bumi Aksara. Iskandar, 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jambi : Gaung Persada Press. RW Dahar, 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
100
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKn MATERI PERSAMAAN KEDUDUKAN WARGA NEGARA MELALUI PEMBELAJARAN MODEL QUANTUM TEACHING PADA SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 9 KENDARI1 Oleh: Sulfa2 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan pada materi persamaan kedudukan warga Negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari melalui penerapan model quantum teaching. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari pada semester genap tahun ajaran 2010/2011. Faktor yang diteliti adalah faktor hasil belajar siswa dan faktor guru. Jenis data dalam penelitian ini terdiri data kualitatif dan data kuantitatif. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan persentase yang mengacu pada indikator kinerja yang ditetapkan. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa maupun pada hasil belajar siswa. Aktivitas mengajar guru pada siklus I yang hanya mencapai persentase sebesar 70% meningkat pada siklus II menjadi 90%. Begitu pula pada aktivitas belajar siswa, pada siklus I persentase keaktivan hanya 50% meningkat pada siklus II menjadi 90%. Peningkatan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa yang melaksanakan model pembelajaran quantum teaching membawa dampak positif pada hasil belajar siswa. Kesimpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran model quantum teaching dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari pada materi persamaan kedudukan warga negara. Kata kunci: Model pembelajaran quantum teaching, Hasil Belajar PKn, aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Masalah hasil belajar merupakan salah satu masalah yang tidak pernah usai dibicarakan dalam dunia pendidikan, sebab hasil belajar menjadi suatu indikator keberhasilan dari proses pembelajaran. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar, antara lain keterampilan dan kemampuan mengajar guru, lingkungan belajar siswa, media pembelajaran yang digunakan, cara guru memotivasi siswa, serta strategi dan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru di dalam kelas. Kepadatan materi Pendidikan Kewarganegaraan jika hanya diajarkan melalui metode ceramah dengan target hanya menghabiskan materi maka siswa akan merasa 1 2
bosan dan cenderung pasif dalam proses pembelajaran, sehingga hasil belajar yang dicapai tidak memuaskan. Siswa cenderung tidak memperhatikan dengan serius materi yang diajarkan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan sehingga materi yang diajarkan tidak dapat dipahami dengan baik. Kondisi seperti ini terjadi pada kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari. Hasil belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya pada materi persamaan kedudukan warga negara rata-rata masih tergolong rendah. Berdasarkan data yang diberikan oleh guru bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 menunjukkan pada semester genap tahun ajaran 2008/2009, hanya 25 dari 45 orang siswa (55,5%) yang mencapai skor 67 (tuntas belajarnya). Semester genap tahun ajaran 2009/2010 hanya 27 dari 46 orang siswa (58,6%) berkriteria tuntas atau
Ringkasan hasil Penelitian Dosen Pend. IPS/PPKn FKIP Unhalu 101
mencapai skor 67 (standar kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan). Hal ini menjadi alasan perlunya diadakan tindakan perbaikan pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 khususnya pada materi persamaan kedudukan warga negara. Rendahnya hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 disebabkan karena pada saat pembelajaran berlangsung, guru cenderung mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas sedangkan siswa bersifat pasif. Siswa kurang aktif memperhatikan penjelasan guru pada saat menjelaskan materi. Siswa saling mengganggu pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penyebab lainnya adalah siswa hanya mendapatkan pengetahuan secara deklaratif, serta model yang diterapkan oleh guru bersifat monoton yaitu menggunakan model pembelajaran konvensional, Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya hasil belajar siswa kelas X-2 pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan khususnya materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2. Untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, maka perlu diterapkan model pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif serta meningkatkan aktivitas guru dalam mengajar bukan hanya sekedar ceramah guna meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa khususnya pada materi persamaan kedudukan warga negara. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model quantum teaching. Menurut A‟la (2010: 60) mengatakan cara-cara belajar dalam quantum teaching dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar dengan menerapkan enam langkah pelaksanaan pembelajaran yang dikenal dengan istilah TANDUR (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi dan rayakan). Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi positif antara siswaguru, siswa-siswa, dan siswa dengan materi pembelajaran, siswa mengalami kemudahan dalam menerima pelajaran, siswa lebih aktif dalam pembelajaran dengan adanya kesempatan untuk mendemonstrasikan pengetahuan maupun pemahaman mereka masing-masing dan siswa lebih aktif dan semangat lagi untuk belajar karena jerih payah mereka dalam mendemonstrasikan
pemahaman mereka mendapat penghargaan atau pujian dari guru maupun temannya. Berdasarkan uraian di atas, penulis mengadakan penelitian dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul: “Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Materi Persamaan Kedudukan Warga Negara Melalui Pembelajaran Model Quantum Teaching Pada Siswa Kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) apakah penerapan model quantum teaching dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari? (2) apakah penerapan model quantum teaching dapat meningkatkan aktivitas mengajar guru dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari? (3) apakah penerapan model quantum teaching dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: (1) untuk meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari melalui penerapan model pembelajaran quantum teaching, (2) untuk meningkatkan aktivitas mengajar guru, (3) untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran model quantum teaching. KAJIAN PUSTAKA Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang sebagai hasil proses yang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk yaitu berubahnya pemahaman, sikap dan tingkah lakunya, daya penerimaan dan aspek-aspek lain yang ada pada individu siswa (Sudjana, 2000: 28).
102
Di dalam dunia pendidikan, istilah pembelajaran dan istilah mengajar sering sekali dipersamakan, padahal kedua merupakan istilah yang sangat berbeda. Alvin mendefinisikan mengajar sebagai suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan pemahaman atau mengembangkan keahlian (skill), sikap (attitude), cita-cita (ideal), penghargaan (appreciation) dan pengetahuan (knowledge). Maksudnya guru harus mampu membawa perubahan yang baik untuk mengubah tingkah laku siswa (Rusyan T., 1994: 12). Mengajar merupakan suatu proses terjadinya interaksi antara guru dan siswa melalui kegiatan terpadu dari dua bentuk kegiatan yakni kegiatan siswa dengan kegiatan mengajar guru. Mengajar pada dasarnya adalah usaha direncanakan melalui pengaturan dan penyediaan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan berbagai kegiatan belajar seoptimal mungkin (Sudjana, 1998: 3). Winaputra dkk (2008: 1.18) berpendapat pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Oleh karena pembelajaran merupakan upaya yang sistematis dan sistematik untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan proses belajar maka kegiatan pembelajaran berkaitan erat dengan jenis hakikat, dan jenis belajar serta hasil belajar tersebut. Istilah pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, sering digunakan istilah proses belajar mengajar atau pengajaran. Hamilton, dkk (2000: 1) menyatakan hasil belajar merupakan kemampuan belajar yang ditunjukkan dalam penampilan yang tetap sebagai akibat dari proses belajar yang terjadi melalui program yang menyediakan fakta-fakta, buktibukti, keterangan dan sebagainya. Ukuran keberhasilan itu dapat diketahui dari evaluasi yang terbentuk skor untuk kerja seseorang dalam memahami konsep dan bagaimana menggunakan konsep itu dalam bidang ilmu itu sendiri maupun terhadap bidang ilmu lainnya. Ibrahim dan Syaodin (2003: 86) mengemukakan proses belajar mengajar akan diperoleh suatu hasil yang dibuat hasil pengajaran atau hasil belajar. Pada materi konsep dasar Pendidikan Kewarganegaraan telah dikemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan pelajaran dengan keunikan tersendiri. Pendidikan Kewarganegaraan dimaknai sebagai pendidikan nilai dan pendidikan politik demokrasi. Hal ini mengandung konsekwensi bahwa dalam hal perancangan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu memperhatikan karakteristik pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Dalam naskah lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Winarno, 2006: 28-29). Tujuan dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Winarno, 2006: 29). A‟la (2010: 21) mengatakan kata quantum berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi model quantum teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas. A‟la (2010: 34-40) mengemukakan model quantum teaching terdapat enam langkah pembelajaran yang tercermin dalam istilah tandur, yaitu: (a) tumbuhkan minat dengan memuaskan, yakni apakah manfaat yang akan diperoleh dari pelajaran tersebut bagi gurunya dan siswanya; (b) alami, yakni ciptakan dan datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua siswa. Jangan sampai seorang guru menggunakan istilah yang asing dan sulit dimengerti karena ini akan membuat siswa akan merasa bosan dalam
103
belajar; (c) memberi nama, untuk ini harus disediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, yang kemudian akan menjadi sebuah masukan bagi siswa; (d) demonstrasikan, yakni sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu; (e) ulangi, yakni tunjukan kepada para pelajar tentang cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahawa siswa tahu bahwa siswa memang tahu ini; (f) rayakan, yakni pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Perayaan adalah ekspresi dari kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas dan kewajiban dengan baik. METODE PENELITIAN Setting Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari, semester genap tahun ajaran 2010/2011. Penetapan kelas X-2 sebagai lokasi penelitian didasarkan pada hasil diskusi dengan guru bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa di kelas tersebut hasil belajar pada materi persamaan kedudukan warga negara lebih rendah dibandingkan dengan kelas lain di mana berdasarkan hasil belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan khususnya pada materi persamaan kedudukan warga negara siswa kelas X-2 rata-rata belum berkriteria tuntas atau mencapai skor 67 (standar kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan) sehingga diperlukan satu model pembelajaran yang dapat merangsang siswa menguasai materi pembelajaran. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebanyak 1 orang (selaku guru kolaborasi) dan siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari yang terdaftar pada semester genap Tahun Ajaran 2010/2011 dengan jumlah 48 orang siswa. Faktor Yang Diteliti Untuk menjawab permasalahan yang ada, terdapat beberapa faktor yang diteliti. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) faktor siswa, yaitu
menyelidiki peningkatan aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui penerapan model pembelajaran quantum teaching; (2) faktor guru, yaitu menyelidiki keterlaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui penerapan model pembelajaran quantum teaching; (3) faktor hasil belajar, yaitu menyelidiki peningkatan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa dengan menerapkan model pembelajaran quantum teaching. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri atas 2 (dua) siklus, dengan setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang dicapai pada faktor-faktor yang diteliti. Adapun pelaksanaan tindakan tersebut mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas sebagai berikut: 1. Perencanaan tindakan 2. Pelaksanaan tindakan 3. Observasi dan evaluasi 4. Refleksi Secara rinci prosedur pelaksanaan tindakan kelas ini dijabarkan sebagai berikut: a. Perencanaan tindakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: 1) Membuat rencana perbaikan pembelajaraan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan submateri persamaan kedudukan warga negara dengan menggunakan model quantum teaching. 2) Membuat skenario pembelajaran. 3) Menyiapkan media pembelajaran berupa peta konsep submateri persamaan kedudukan warga negara. 4) Membuat atau menyiapkan lembar observasi guru. 5) Menyiapkan lembar observasi siswa. 6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk kuis untuk mengukur hasil belajar siswa. 7) Membuat kunci jawaban kuis b. Pelaksanaan tindakan. Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melaksanakan tindakan perbaikan pembelajaran yang sesuai skenario yang telah dibuat.
104
c. Observasi dan evaluasi. Pada tahap ini dilaksanakan observasi pada pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan model quantum teaching pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan serta dilakukan evaluasi diakhir pelaksanaan siklus untuk mengetahui sejauhmana penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan (submateri persamaan kedudukan warga negara) dengan menggunakan format penilaian yang telah disiapkan serta untuk mengetahui keberhasilan (aktivitas pembelajaran guru dan siswa) pelaksanaan tindakan. d. Refleksi. Pada tahap ini dilakukan untuk mengetahui sejaumana keberhasilan dan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan tindakan (hasil dan proses pembelajaran) sebagai bahan dasar/acuan untuk pelaksanaan perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar, sedangkan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain: (1) data tentang proses pelaksanaan pembelajaran model quantum teaching diperoleh dengan menggunakan lembar observasi; (2) data tentang hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa diperoleh dengan menggunakan tes hasil belajar; (3) dokumentasi digunakan sebagai bukti fisik kegiatan pembelajaran dalam siklus tindakan dalam penelitian. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif adalah 1. Tingkat ketuntasan belajar individu, menggunakan rumus: Nilai Akhir = 2.
x 100
)
Tingkat ketuntasan klasikal, menggunakan rumus: Ketuntasan Belajar= x 100%
3.
Persentase hasil observasi mengajar guru dan belajar siswa, menggunakan rumus: Persentase
keberhasilan: (Riduwan, 25).
2000:
Indikator Kinerja Hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 dikatakan telah meningkat apabila siswa telah memperoleh nilai 67 (skor kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah khususnya pada mata Pendidikan Kewarganegaraan) dengan persentase keberhasilan secara klasikal minimal 80%. Aktivitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dikatakan telah berhasil apabila persentase keberhasilan guru dalam melaksanakan skenario pembelajaran model quantum teaching mencapai 80%. Aktivitas belajar siswa dikatakan berhasil apabila persentase keberhasilan aktivitas belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa telah mencapai 80%. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Per Siklus Siklus I 1.
Perencanaan Peneliti sebagai guru pengajar merencanakan kegiatan pembelajaran dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Membuat Rencana Perbaikan Pembelajaran siklus I dengan submateri persamaan kedudukan warga negara 2) Membuat skenario pembelajaran siklus I 3) Menyiapkan media pembelajaran berupa peta konsep dengan submateri persamaan kedudukan warga negara 4) Membuat lembar observasi aktivitas mengajar guru dalam pembelajaran quantum teaching siklus I 5) Membuat lembar observasi aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran quantum teaching siklus I
105
memberikan pujian atau menyuruh siswa lain untuk memberikan tepuk tangan kepada siswa yang bisa menjawab atau mendemonstrasikan pengetahuannya. 3) Kegiatan penutup Dalam kegiatan penutup ini, guru memberikan evaluasi/tes dalam bentuk kuis. Selanjutnya guru menutup pelajaran dengan salam.
6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk kuis mengukur hasil belajar siswa pada siklus I 7) Membuat kunci jawaban soal-soal evaluasi pada siklus I. 2. Pelaksanaan Tindakan Kegiatan pembelajaran dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011 dengan jumlah siswa 43 orang. Peneliti bertindak sebagai guru yang melakukan pembelajaran mengacu pada Rencana Perbaikan Pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan pembelajaran di kelas X-2 dilaksanakan dengan menerapkan model quantum teaching. Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan Rencana Perbaikan Pembelajaran dibagi dalam 3 kegiatan sebagai berikut: 1) Kegiatan Awal Guru membuka pelajaran dengan menyampaikan salam, menanyakan kesiapan belajar siswa dan mengecek kehadiran siswa. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada akhir pembelajaran, guru menyampaikan pula model pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran. Guru memberikan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan, motivasi siswa dan membuat kaitan materi yang baru dengan materi sebelumnya. 2) Kegiatan inti Dalam kegiatan inti, guru menjelaskan submateri persamaan kedudukan warga negara guru memberikan contoh-contoh atau pengalaman umum yang mudah dipahami oleh siswa. Tahapan selanjutnya, siswa diberikan kesempatan untuk bertanya tentang materi pelajaran yang belum dipahami. Pertanyaan tersebut sebelum dijawab oleh guru, guru memberikan kesempatan kepada beberapa siswa untuk menjawab. Selanjutnya, beberapa orang siswa diberikan kesempatan untuk mendemostrasikan pengetahuannya tentang apa yang dipahami terkait submateri persamaan kedudukan warga negara di depan kelas atau di papan tulis dengan mengacu kepada peta konsep yang dibuatnya sendiri maupun guru. Siswa lain menyimaknya dan bersiap-siap untuk menanggapinya. Guru
3.
Observasi Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran model quantum teaching. Kegiatan observasi dilakukan oleh St. Wardha Sanusi, S.Pd. selaku kolaborator atau guru bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan dengan menggunakan lembar observasi yang dibuat oleh peneliti. Kegiatan observasi diarahkan kepada hal-hal yang telah disepakati pada tahap perencanaan penelitian yakni lembar observasi memuat skenario pembelajaran dengan pendekatan model quantum teaching dan teknik penilaian yang digunakan pada lembar observasi. Kegiatan observasi terbagi atas dua bagian yakni observasi terhadap aktivitas mengajar guru dan observasi terhadap aktivitas belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan observer ditetapkan aktivitas mengajar guru mencapai persentase keberhasilan sebesar 70%. Adapun aktivitas belajar siswa mencapai persentase keberhasilan hanya mencapai 50%. Hal ini menunjukkan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa belum maksimal karena belum mencapai indikator kinerja yang ditentukan dalam penelitian ini yaitu 80%. 4. Evaluasi Hasil Belajar Siswa Pada akhir proses pembelajaran Siklus I, pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011 dilakukan evaluasi tes dalam bentuk kuis. Kuis tersebut diberikan dan dikerjakan siswa secara individual. Pemberian kuis ini harus dengan alokasi waktu yang cukup bagi siswa untuk menyelesaikannya. Hasil evaluasi siklus I diperoleh nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah 66,21 dan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 55,8% atau hanya 24 siswa yang tuntas belajar dari 43 siswa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus I secara klasikal siswa belum
106
tuntas belajarnya, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 67 hanya sebesar 55,8% lebih kecil dari persentase ketuntasan klasikal yang dikehendaki yaitu sebesar 80%. 5. Refleksi Refleksi yang dilakukan peneliti dan kolaborator menghasilkan beberapa tindakan dalam proses pembelajaran yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan pada siklus berikutnya baik dari aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa. Sedangkam hasil belajar siswa mencapai persentase ketuntasan klasikal baru mencapai 55,8% atau 24 orang siswa yang tuntas dari 43 orang jumlah siswa sedangkan 44,2% atau masih 19 orang siswa yang belum tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan yang harus ditingkatkan nilainya minimal sebesar 24,2%. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa perlu peningkatan dari segi hasil belajar siswa, dan meningkatkan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa dalam memanfaatkan model pembelajaran quantum teaching. Hal ini yang mendorong dilanjutkan pada siklus II. Tindakan siklus II 1. Perencanaan Pada tahapan perencanaan tindakan siklus II, hal yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Membuat Rencana Perbaikan Pembelajaran Siklus II dengan submateri persamaan kedudukan warga negara tanpa membedakan ras, agama, gender, suku bangsa dan budaya 2) Membuat skenario pembelajaran siklus II 3) Membuat media pembelajaran berupa peta konsep submateri dengan submateri persamaan kedudukan warga negara tanpa membedakan ras, agama, gender, suku bangsa dan budaya 4) Membuat/menyiapkan lembar observasi aktivitas mengajar guru dalam pembelajaran quantum teaching siklus II 5) Membuat/menyiapkan lembar observasi aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran quantum teaching siklus II 6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk kuis siklus II untuk mengukur hasil belajar siswa 7) Membuat kunci jawaban kuis siklus II
2.
Pelaksanaan tindakan
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011 dengan jumlah siswa 46 orang. Pada tahap ini, model pembelajaran quantum teaching kembali diterapkan. Kegiatan pembelajaran dilakukan sama seperti pelaksanaan tindakan siklus I. Proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat sebelumnya yang mengacu pada model pembelajaran quantum teaching. Materi yang diajarkan pada siklus II ini merupakan kelanjutan materi yang diajarkan pada siklus I yakni pada submateri persamaan kedudukan warga negara tanpa membedakan ras, agama, gender, suku bangsa dan budaya. Dalam proses pelaksanaan tindakan, lebih menekankan pada perbaikan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar proses pelaksanaan model pembelajaran quantum teaching semakin maksimal, dengan demikian hasil belajar PKn siswa bisa meningkat. 3. Observasi Kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran model quantum teaching. Kegiatan observasi dilakukan oleh St. Wardha Sanusi, S.Pd. selaku kolaborator atau guru bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan dengan menggunakan lembar observasi yang dibuat oleh peneliti. Kegiatan observasi diarahkan kepada hal-hal yang telah disepakati pada tahap perencanaan penelitian yakni lembar observasi memuat skenario pembelajaran dengan pendekatan model quantum teaching dan teknik penilaian yang digunakan pada lembar observasi. Kegiatan observasi terbagi atas dua bagian yakni observasi terhadap aktivitas mengajar guru dan observasi terhadap aktivitas belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi siklus II, diketahui aktivitas mengajar guru telah mencapai persentase keberhasilan sebesar 90% dan aktivitas belajar siswa telah mencapai persentase keberhasilan sebesar 90%. Dengan demikian, aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa telah memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan dalam penelitian ini.
107
4.
Evaluasi
Pada akhir proses pembelajaran Siklus II, pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011 dilakukan evaluasi tes dalam bentuk kuis, yang mana kuis tersebut diberikan dan dikerjakan siswa secara individual. Pemberian kuis ini diberikan dengan alokasi waktu yang cukup bagi siswa untuk menyelesaikannya. Berdasarkan hasil evaluasi siklus II diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah 78,63 dan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 84,8% atau ada 39 siswa yang tuntas belajarnya dari 46 siswa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus II secara klasikal siswa sudah tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 67 telah mencapai 84,8% lebih besar dari persentase ketuntasan klasikal yang dikehendaki yaitu sebesar 80%. 5.
Refleksi
Setelah kegiatan penelitian, tepatnya pada hari Jumat, 25 Februari peneliti bersama kolaborator mengadakan pertemuan untuk membahas kerberhasilan pelaksanaan penelitian siklus II yang telah dilakukan. Jika dibandingkan mulai dari siklus I sampai dengan siklus II, nilai hasil belajar yang diperoleh siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari menunjukkan hasil yang sangat memuaskan yakni mengalami peningkatan sebesar 29%. Aktivitas mengajar guru mengalami peningkatan sebesar 20% (skor siklus I hanya 70% menjadi 90% pada siklus II) dan aktivitas belajar siswa juga meningkat sebesar 40% (skor siklus I hanya 50% menjadi 90% pada siklus II). Peningkatan presentase keberhasilan baik dari segi aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa maupun hasil belajar siswa di atas telah mencapai indikator kinerja keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu ≥ 80%. Hal ini berarti penelitian ini telah berhasil dan selesai sesuai dengan rencana dalam prosedur penelitian yaitu tindakan dilaksanakan sampai dengan siklus II. PEMBAHASAN Aktivitas mengajar guru dalam pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran quantum teaching pada setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdasarkan analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini di
mana hasil observasi aktivitas mengajar guru siklus I mencapai tingkat keberhasilan 70% dan siklus II mencapai 90%, dengan persentase peningkatan sebesar 20%. Hal ini sejalan dengan pendapat Porter dalam Nilandri (2009: 3) mengatakan quantum teaching menunjukkan kepada guru untuk menjadi lebih baik dan dengan menggunakan metodologi quantum teaching, guru akan dapat menggabungkan keistimewaan-keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melejitkan presetasi siswa. Hal ini menunjukkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran akan terus membaik dan meningkat dengan menggunakan model pembelajaran quantum teaching. Adanya peningkatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran juga memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran PKn pada materi persamaan kedudukan warga negara melalui model pembelajaran quantum teaching juga mengalami peningkatan pada setiap siklusnya yakni hasil observasi aktivitas belajar siswa siklus I mencapai tingkat keberhasilan 50% dan siklus II mencapai 90% dengan jumlah persentase peningkatan sebesar 40%. Hal ini sejalan dengan pendapat Porter dalam Nilandri (2009: 4) yang mengatakan dalam quantum teaching mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar efektif, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar. Selain itu, menurut A‟la (2010: 60) mengatakan cara-cara belajar dalam quantum teaching dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar dengan menggunakan kerangka rancangan pembelajaran yang dikenal dengan istilah tandur (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi dan rayakan). Jadi, dapat dikatakan siswa sangat antusias dan aktif dalam belajar. Dengan adanya peningkatan aktivitas mengajar guru dan aktitas belajar siswa akan berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini berdasarkan analisis data di mana diketahui pada hasil kuis formatif tindakan siklus I menunjukkan bahwa penguasaan siswa secara klasikal terhadap submateri persamaan kedudukan warga negara sebesar 55,8% atau hanya 24 siswa dari 43 siswa yang berkriteria tuntas atau memperoleh nilai ≥ 67 dengan nilai rata-rata 66,21. Hasil kuis tindakan siklus II yang menunjukkan
108
peningkatan yakni diperoleh penguasaan siswa secara klasikal terhadap materi pelajaran sebesar 84,8% dengan persentase peningkatan sebesar 29% atau sebanyak 39 siswa telah memperoleh nilai ≥ 70 dengan nilai rata-rata 78,63. Hal ini terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan siklus I hanya mencapai 55,8% siswa yang tuntas KKM. Peningkatan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 yang dicapai tersebut selain dipengaruhi oleh penerapan model quantum teaching, juga disebabkan peningkatan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006: 28) mengatakan bahwa untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa dengan: a) memperjelas tujuan yang ingin dicapai; b) membangkitkan minat siswa; c) ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar; d) berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa; e) berilah penilaian; f) berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa; dan g) ciptakan persaingan dan kerjasama. Ketuntasan hasil belajar dalam penelitian ini telah mencapai 84,8%, aktivitas mengajar guru telah mencapai 90% dan aktivitas belajar siswa juga telah mencapai 90%, maka dapat dinyatakan bahwa ketuntasan hasil belajar dalam penelitian ini telah tercapai, dalam hal ini minimal 80% siswa memperoleh nilai ≥ 67 telah tercapai. Demikian pula kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran model quantum teaching telah mencapai indikator kinerja keberhasilan yakni minimal 80% aspek yang diobservasi telah terlaksana berdasarkan uji siklus II. Berdasarkan pencapaian ketuntasan ketiga faktor yang diteliti tersebut maka penelitian ini dikatakan telah berhasil dan dihentikan sampai pada siklus II. Ini berarti bahwa hipotesis tindakan telah terjawab yaitu aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa, dan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari pada materi persamaan kedudukan warga negara dapat ditingkatkan melalui penerapan pembelajaran model quantum teaching.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penerapan model quantum teaching dapat meningkatkan aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa, dan hasil belajar dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari. DAFTAR PUSTAKA A‟la, Miftahul. 2010. Quantum Teaching. Yogyakarta: DIVA Press. Hamilton dkk. 2000. The case for leaning outcome s(hhtp:/efcefc/ca/training connection? Learning.html). Ibrahim dan Syaodin. 2003. Perencanaan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nastia. 2010. Skripsi: Upaya Meningkatkan Keterampilan Sepak Sila Melalui Metode Demonstrasi Kontrol Bola Menggunakan Bola Kecil Pada Pembelajaran Sepak Takraw Siswa SMA DDI Kendari. Kendari: Unhalu. Nilandri, Ary. 2009. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa. Riduwan, 2005. Dasar-Dasar Statistika. Jakarta: Alphabeta. Rusyan, T. 1994. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Roskadarya. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sudjana. 1998. Teori-Teori Pembelajaran Untuk Pengajaran. Jakarta: Pusat Penerbit UT. ---------. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Suprayekti. 2004. Interaksi Belajar-Mengajar. Jakarta: Depdiknas. Winarno. 2006. Jurnal Civics Vol 3: Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan (Standar Isi dan Pembelajarannya). Surakarta: Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
109
ANALISIS KANDUNGAN MINERAL CANGKANG KERANG DARAH (ANADARA GRANOSA) DARI KABUPATEN BOMBANA DENGAN METODE X-RAY FLUORESCENCE1 Oleh: Sitti Kasmiati2 Abstrak. Telah melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Kandungan Mineral Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa) Dari Kabupaten Bombana dengan Metode X-Ray Fluorescence”. Hasil analisis X-Ray Fluorescence menunjukkan bahwa dari keempat sampel tersebut memiliki kandungan mineral yang sama. Sampel A1 mengandung Kalsium Karbonat (CaCO3) 96.871%, Kalsium oksida (CaO) 1.774%, Magnesium Oksida (MgO) 0.191%, Aluminium oksida (Al2O3) 0,939%, Silikon dioksida (SiO2) 0,023%, Besi (Fe) 0,016%, Titanium (Ti) 0.118%, Phosfor (P) 0.016%, Tembaga (Cu) 0,051% dan Seng (Zn) 0,002%. Sampel A2 mengandung Kalsium Karbonat (CaCO3) 96,854%, Kalsium oksida (CaO) 1.774%, Magnesium Oksida (MgO) 0,180%, Aluminium oksida (Al2O3) 0.946%, Silikon dioksida (SiO2) 0,024%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti) 0,134%, Phosfor (P) 0,016%, Tembaga (Cu) 0,051% dan Seng (Zn) 0.002%. Sampel A3 Kalsium Karbonat (CaCO 3) 97,093%, Kalsium oksida (CaO) 1,778%, Magnesium Oksida (MgO) 0,111%, Aluminium oksida (Al2O3) 0,856%, Silikon dioksida (SiO2) 0,021%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti) 0,076%, Phosfor (P) 0,014%, Tembaga (Cu) 0,034% dan Seng (Zn) 0,001%. Sampel B1 adalah Kalsium Karbonat (CaCO 3) 96,788%, Kalsium oksida (CaO) 1,754%, Magnesium Oksida (MgO) 0,231%, Aluminium oksida (Al2O3) 0,980%, Silikon dioksida (SiO2) 0,026%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti) 0,131%, Phosfor (P) 0,023%, Tembaga (Cu) 0,046% dan Seng (Zn) 0,003%. Kata Kunci
: Mineral, Cangkang kerang, Kerang darah, X-Ray Fluorescence.
LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, telah memberikan manfaat positif yang besar dalam peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja manusia dalam segala bidang. Semua itu tidak luput dari perkembangan ilmu fisika yang merupakan ilmu dasar pengembangan teknologi. Perkembangan ilmu fisika, khususnya setelah ditemukannya sinarX telah membawa banyak perubahan dalam segala bidang ke arah yang lebih baik. Sinar-X banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang tidak hanya dalam ilmu fisika, tapi juga digunakan dalam bidang lain seperti ilmu kedokteran. Perairan Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam tersebut berupa sumber daya alam biotik dan abiotik yang 1 2
mengandung banyak mineral. Beraneka ragam hewan dan tumbuhan dapat kita jumpai di perairan Sulawesi Tenggara. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah kerang-kerangan, diantaranya adalah Anadara granosa atau yang lebih dikenal dengan nama kerang darah. Kerang merupakan hewan laut yang temasuk dalam kelas Bivalve dari phylum Mollusca (hewan lunak). Kandungan mineral yang ada pada kerang banyak terdapat pada cangkangnya. Cangkang kerang memiliki banyak manfaat namun seperti yang umumnya terjadi di negara berkembang, potensi itu justru hanya menimbulkan dampak negatif. Hal ini terjadi karena cangkang kerang hanya dibiarkan menjadi limbah atau sampah dapur, tanpa ada sentuhan teknologi untuk mengolahnya menjadi bahan yang lebih berharga dengan nilai tambah tinggi. Sehingga terjadi
Ringkasan Hasil Penelitian Dosen Pend. Fisika FKIP Unhalu 110
pencemaran tanah yang mengakibatkan tumbuhan yang berada di sekitar limbah itu tidak dapat tumbuh dengan baik. Harus disadari, bahwa masyarakat belum cukup berpikir dan bekerja keras untuk berupaya mengolah potensi alam tersebut demi meningkatkan taraf hidup mereka. Kurangnya perhatian dan pengetahuan masyarakat terhadap kekayaan alam yang dimilikinya harus segera dibenahi demi kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa depan. Cangkang kerang memiliki manfaat yang sangat penting karena mengandung kalsium karbonat (CaCO3) dalam kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping, cangkang telur, keramik atau bahan lainnya. Selain memperkuat email dan memutihkan gigi, cangkang kerang juga dapat digunakan sebagai solusi pencegah terjadinya pencemaran oleh polutan ion logam dalam air. Hal ini dilakukan dengan cara menjadikan cangkang kerang sebagai serbuk lalu dituangkan secara bersamaan dengan HCL ke dalam air yang tercemar, sehingga hasilnya air dan endapan ion logam akan terpisah. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis jenis dan sifat mineral adalah metode X-Ray Fluorescence. Alat ini mempunyai keunggulan analisis yang lebih cepat dibanding dengan analisis dengan alat lain. Sampai saat ini informasi mengenai kandungan mineral dari cangkang kerang darah belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu peneliti menganggap penelitian ini menjadi sangat penting dan peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kerang darah. Hal inilah yang menjadi dasar ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kandungan Mineral Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa) dari kabupaten Bombana dengan Metode X-Ray Fluorescence”. Tujuan Penelitian
Mineral adalah senyawa alami yang terbentuk melalui proses geologis. Istilah mineral termasuk tidak hanya bahan komposisi kimia tetapi juga struktur mineral. Mineral termasuk dalam komposisi unsur murni dan garam sederhana sampai silikat yang sangat kompleks dengan ribuan bentuk yang diketahui (senyawaan organik biasanya tidak termasuk). Ilmu yang mempelajari mineral disebut mineralogi. Agar dapat diklasifikasikan sebagai mineral sejati, senyawa tersebut haruslah berupa padatan dan memiliki struktur kristal. Senyawa ini juga harus terbentuk secara alami dan memiliki komposisi kimia yang tertentu. Definisi sebelumnya tidak memasukkan senyawa seperti mineral yang berasal dari turunan senyawa organik (http://id.wikipedia.org/wiki/Mineral). Mineral juga didefiniskan sebagai suatu zat yang terdapat dalam alam dengan komposisi kimia yang khas dan biasanya mempunyai struktur kristal yang jelas, yang kadang-kadang dapat menjelma dalam bentuk geometris tertentu. Istilah mineral dapat mempunyai bermacam-macam makna; sukar untuk mendefinisikan mineral dan oleh karena itu kebanyakan orang mengatakan, bahwa mineral ialah satu frase yang terdapat dalam alam. Sebagaimana kita ketahui ada mineral yang berbentuk: Lempeng, Tiang, Limas dan Kubus (http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_mineral). Cangkang Kerang Kerang memiliki dua kutub (bi = dua, valve = kutub) yang dihubungkan oleh semacam engsel, sehingga disebut Bivalvia. Kelas ini mempunyai dua cangkang yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam tubuhnya. Cangkang adalah rangka luar pada kerang. Cangkang dibentuk oleh sel-sel cangkang (epitel mantel) yang mengeluarkan secreta.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kandungan mineral yang terdapat pada cangkang kerang darah (Anadara granosa) menggunakan metode X-Ray Fluorescence. KAJIAN PUSTAKA Gambar 2.2 : Penampang cangkang bagian luar
Mineral 111
Cangkang berfungsi untuk melindungi tubuh. Cangkang di bagian dorsal tebal dan di bagian ventral tipis. Cangkang kerang mengandung kalsium karbonat (CaCO ) dalam kadar yang lebih 3
tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping, cangkang telur, keramik, atau bahan lainnya. Hal ini terlihat dari tingkat kekerasan cangkang kerang. Semakin keras cangkang, maka semakin tinggi kandungan kalsium karbonat (CaCO )-nya. Maka 3
jika direaksikan dengan asam kuat seperti HCl dan ion logam yang terlarut dalam air dapat mengendapkan kandungan logam.
dan tinta. PCC dapat disintesis dari batu kapur atau cangkang kerang dengan tiga metoda yaitu metoda karbonasi, metoda kaustik soda dan metoda solvay. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010. Pengambilan sampel dilakukan di Desa P. Tambako, Kecamatan Mataoleo, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan preparasi dan analisis kandungan mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian dan Pengembangan ESDM, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Sulawesi Tenggara.
Anadara granosa Metode Penelitian Kerang darah (Anadara granosa) adalah sejenis kerang yang biasa dimakan oleh warga Asia Timur dan Asia Tenggara. Anggota suku Arcidae ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah yang dihasilkannya. Kerang ini menghuni kawasan IndoPasifik dan tersebar dari pantai Afrika timur sampai ke Polinesia. Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran panjang 5 – 6 cm dan lebar 4 – 5 cm.Kerang Anadara biasanya hidup di pantai laut pada substrat lumpur berpasir dengan cara membenamkan diri pada kedalaman 10 cm sampai 30 cm (Yulianda, 2010: 4 – 5). Selama ini, pemanfaatan cangkang kerang masih sangat kurang, yaitu sekitar 20% yang dimanfaatkan sebagai kerajinan cinderamata, pakan ternak dan campuran kosmetik. Sedangkan sisanya menumpuk di pantai menjadi limbah yang mengganggu kesehatan dan keindahan lingkungan sekitarnya. Kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium oksida (CaO) dapat digunakan untuk menjernihkan air dari cemaran logam yang terdapar di dalamnya. Kandungan mineral ini juga dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri semen dan apabila diolah dengan pengolahan modern, akan menghasilkan produk yang lebih berdaya guna dalam industri seperti Precipitated Calcium Carbonate (PCC). Saat ini PCC telah digunakan sebagai aditif pada obat-obatan, makanan, kertas, plastik
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen laboratorium untuk menganalisis komposisi kandungan mineral cangkang kerang darah dengan metode X-Ray Fluorescence (XRF). Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel Sampel pada penelitian ini adalah cangkang kerang darah (Anadara granosa). Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Random Sampling of Spatial Pattern. Lokasi tempat pengambilan sampel ditentukan secara bebas dengan menganggap bahwa semua sampel sama kandungan mineralnya (King, 1969). Sampel diambil di dua habitat yaitu di pantai berlumpur dan pantai berpasir. Di pantai berpasir, diambil 3 sampel menurut ukurannya yaitu besar, sedang dan kecil dan diberi label A1, A2 dan A3. Sedangkan di pantai berpasir hanya diambil satu sampel berukuran besar dan diberi label B1. Semua sampel tersebut diambil dalam keadaan hidup. 2. Preparasi Sampel Pada tahap ini sampel digerus dengan menggunakan mortar, yang bertujuan untuk membuat sampel dalam bentuk serbuk yang sangat halus. Sebelumnya mortar dibersihkan dahulu dengan alkohol setiap akan dipakai, setelah serbuk cangkang cukup halus kemudian dilakukan
112
penyaringan dengan menggunakan ASTM Standard Test Sieve yang mempunyai ukuran 100 mesh atau ukuran butir kira-kira 0,149 mm. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil sesuai dengan labelnya masing-masing dan siap untuk dianalisis. Tahap Pengambilan Data dan Analisis Data Dalam tahap ini yang dilakukan adalah pengukuran data dengan X-Ray Fluorescence. Sebelum sampel dianalisis, mula-mula sampel tersebut dihambur di atas meja dalam bentuk matriks dengan tujuan agar seluruh bagian sampel yang dianalisis dapat terwakili. Kemudian diambil sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam koil kaca yang berbentuk tabung. Serbuk tersebut dipadatkan dan diusahakan tidak meluruh atau jatuh bila dimiringkan. Setelah sampel siap, sampel dimasukkan dalam spektrometer dan alat siap dioperasikan dengan terlebih dahulu mengatur posisi alat sebagai berikut: 1) Stabilizer dijalankan, kemudian tegangan dan arus diatur pada nilai tertentu (biasanya 50 kV, 4 mA). (2) Posisi sudut awal dan akhir yang diamati. (3) Waktu pengukuran dalam setiap step. (4) Data masuk ke komputer yang terkoneksi dengan alat spectrometer.
Keluaran Spectrometer tipe Advent‟ dari masing-masing sampel akan terekam dalam CPU yang telah diset bersamaan dengan proses pengambilan data dan data yang terekam berupa spektrum 2 dimensi, dengan sumbu-X adalah energi (kV) dan sumbu-Y adalah cacahan atau intensitas. Data ini langsung dikonversi oleh alat dalam bentuk angka sehingga data keluarannya adalah berupa konsentrasi mineral. HASIL ANALISIS PEMBAHASAN
DATA
DAN
Hasil Penelitian
Ada 4 sampel cangkang kerang darah yang dianalisis dalam penelitian ini. Keempat sampel cangkang kerang darah tersebut adalah sampel A1 yang berukuran besar dan diambil di pantai berlumpur pada koordinat 04°52'6,80" LS dan 122°2'43,12" BT, sampel A2 yang berukuran sedang dan diambil di pantai berlumpur pada koordinat 04°52'8,25" LS dan 122°2'42,79" BT, sampel A3 yang berukuran kecil dan diambil di pantai berlumpur pada koordinat 04°52'9,87" LS dan 122°2'42,45" BT dan yang terakhir adalah sampel B1 yang berukuran besar dan diambil di pantai berpasir pada koordinat 4°51'54.09" LS dan 122°2'52.88" BT. Tabel 4.1: Hasil analisis X-Ray Fluorescence untuk semua sampel No
Mineral
1
Persentase Mineral (%) A1
A2
A3
B1
CaCO3
96,871
96,854
97,093
96,788
2
CaO
1,774
1,774
1,778
1,754
3
MgO
0,191
0,180
0,111
0,231
4
Al2O3
0,939
0,946
0,856
0,980
5
SiO2
0,023
0,024
0,021
0,026
6
Fe
0,016
0,017
0,017
0,017
7
Ti
0,118
0,134
0,076
0,131
8
P
0,016
0,020
0,014
0,023
9
Cu
0,051
0,049
0,034
0,046
10 Zn 0,002 0,002 0,001 0,003 Keterangan: Sampel A1,A2,A3 :Berturut-turut Cangkang kerang darah yang berukuran besar,sedang dan kecil yang diambil di pantai berlumpur. 113
Sampel B1
:
Sampel cangkang kerang darah yang berukuran besar dan diambil di pantai berpasir.
PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis X-Ray Fluorescence terlihat bahwa mineral-mineral yang terkandung pada cangkang kerang darah di Desa P. Tambako Kecamatan Mataoleo Kabupaten Bombana secara umum terdiri dari mineral-mineral oksida dan mineral-mineral dalam bentuk unsur dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Mineralmineral tersebut adalah Kalsium Karbonat (CaCO3), Kalsium oksida (CaO), Magnesium Oksida (MgO), Aluminium oksida (Al2O3), Silikon dioksida (SiO2), Besi (Fe), Titanium (Ti), Phosfor (P), Tembaga (Cu) dan Seng (Zn). Dalam penelitian ini, sampel dikelompokkan dalam 2 variabel, yaitu berdasarkan ukuran dan habitat. Dari hasil analisis diperoleh bahwa mineral kalsium karbonat merupakan senyawa dominan yang terkandung dalam cangkang kerang darah (Anadara granosa). a. Kandungan cangkang kerang darah yang hidup di pantai berlumpur Adapun kandungan mineral dalam sampel A1 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak 96,871%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,774%, Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,191%, Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,939%, Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,023%, Besi (Fe) sebanyak 0,016%, Titanium (Ti) sebanyak 0,118%, Phosfor (P) sebanyak 0,016%, Tembaga (Cu) sebanyak 0,051% dan Seng (Zn) sebanyak 0,002%. Sampel A2 juga memiliki kandungan mineral yang sama dengan sampel A1, namun dengan konsentrasi mineral yang sedikit berbeda. Adapun mineral yang terkandung dalam sampel A2 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak 96,854%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,774%, Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,180%, Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,946%, Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,024%, Besi (Fe) sebanyak 0,017%, Titanium (Ti) sebanyak 0,134%, Phosfor (P) sebanyak 0,020%, Tembaga (Cu) sebanyak 0,049%, dan Seng sebanyak 0,002%.
Demikian juga pada sampel A3, juga memiliki kandungan mineral yang sama dengan sampel A1 dan A2, namun dengan konsentrasi mineral yang sedikit berbeda. Adapun mineral yang terkandung dalam sampel A3 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak 97,093%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,778%, Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,111%, Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,856%, Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,021%, Besi (Fe) sebanyak 0,017%, Titanium (Ti) sebanyak 0,076%, Phosfor (P) sebanyak 0,014%, Tembaga (Cu) sebanyak 0,034%, dan Seng sebanyak 0,001%. b.
Kandungan cangkang kerang darah yang hidup di pantai berpasir
Kandungan mineral pada sampel B1, adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak 96,788%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,754%, Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,231%, Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,980%, Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,026%, Besi (Fe) sebanyak 0,017%, Titanium (Ti) sebanyak 0,131%, Phosfor (P) sebanyak 0,023%, Tembaga (Cu) sebanyak 0,046% dan Seng (Zn) sebanyak 0,003%. c.
Perbandingan mineral cangkang kerang darah menurut ukurannya
Sampel A1, A2 danl A3 Memiliki kandungan mineral yang relatif sama. Mineral Kalsium karbonat merupakan mineral yang paling banyak. Dari 10 mineral yang teranalisis, konsentrasi kalsium karbonat paling banyak untuk ketiga sampel, kemudian diikuti kalsium oksida dan aluminium oksida. Mineral kalsium karbonat yang dimiliki oleh ketiga sampel merupakan mineral yang terbanyak. Sampel A3 mengandung kalsium karbonat lebih banyak yaitu sebesar 97,093%, sedangkan A2 hanya mencapai 96,854% dan A1 mengandung kalsium karbonat sebanyak 96,871%. d. Perbandingan Mineral Cangkang Kerang Darah menurut habitatnya
114
Hanya satu sampel kerang darah yang diambil di pantai berpasir, yaitu sampel B1. Sampel B1 akan dibandingkan dengan A1 menurut habitat. Kedua sampel yaitu A1 dan B1, berukuran sama dan juga memiliki kandungan mineral yang relatif sama. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Cangkang kerang darah mengandung mineral CaCO3, CaO, MgO, Al2O3, SiO2, Fe, Ti, P, Cu dan Zn dengan konsentrasi yang hampir sama untuk masing-masing sampel yang diteliti. 2. Persentase kalsium karbonat paling banyak dalam cangkang kerang. Ada sebanyak 96,871% dari sampel A1, sebanyak 96,854% dari sampel A2, sebanyak 97,093% dari sampel A3 dan sebanyak 96,788% dari sampel B1. 3.Cangkang kerang juga mengandung mineral Titanium meskipun presentasenya kecil.
King, Leslie J. 1969. Statistical Analysis in Geography. Prentice-Gall, Inc. Englewood Cliffs, N, J. United States of America. Pathansali, D. 1966. Notes on The Biology of The Cockle, Anadara granosa L. Proc. IndoPacific Fish (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerang_dar ah, diakses 1 Agustus 2010). Suryanarayana, C. dan Norton, G., 1998. X-Ray Diffraction: A Practical Approach, Plenum Press, New York. Warmada, I.W., & Tirtasari, A. D. 2004. Agromineralogi (Mineralogi untuk Ilmu Pertanian). Jurusan Teknik Geologi, FT-
DAFTAR PUSTAKA Beck. 1977. Principles of Scanning Electron Microscopy, Joel High-tech Co. Ltd. Jepang. Campbell,, 2006. Manufacturing Technology for Aerospace Structural Materials. Elsevier. (http://id.wikipedia.org/wiki/Titanium, diakses tanggal 31 Juli 2010) http://id.wikipedia.org/wiki/Wilhem_Conrag_Rönt gen, diakses 1 Agustus 2010. Jalila, A., A.B.Z. Zuki, A.J.A. Hazmi, M.M. Noordin and Y. Norimah, 2007. Mineral Composition of The Cockle (Anadara granosa) Shells of West Coast of Peninsular Malaysia and It’s Potential as Biomaterial for Use in Bone Repair. J. Anim. Vet. Adv., 6: 591-594 (http://psasir.upm.edu.my/7089/, diakses tanggal 31 Juli 2010).
115
UGM, (Online),
HUBUNGAN LARI CEPAT 30 METER DAN DAYA AMORTISASI TERHADAP KEMAMPUAN SMASH BOLA VOLI PADA SISWA SMA NEGERI 1 KABAWO1 Oleh: Muhammad Rusli2
Abstrak. Penelitian ini termasuk penelitian korelasional yang ingin mengetahui hubungan kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli. Subyek penelitian adalah siswa putra SMA Negeri 1Kabawo yang berjumlah 115 orang. Sampel diambil sebanyak 40 orang, diambil dengan teknik proposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah test kecepatan lari 30 meter, test daya amortisasi dan test smash bola voli dengan awalan. Untuk menganalisa data yang diperoleh digunakan teknik statistik korelasi produc moment dan korelasi ganda. Selanjutnya dari pengolahan data diketahui bahwa antara kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli mempunyai hubungan yang signifikan dimana r x1y = 0,75 > r tabel (0,05:40=0,312, sedangkan koefisien determinasinya (r2) =0,57 atau 57%. Antara daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli tidak diperoleh hubungan yang signifikan dimana koefisien korelasi (r x2y) = 0,39 > r tabel (0,05:40) = 0,312, koefisien determinasi 0,15. Sedangkan pada korelasi ganda antara kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi terhadap kemampuan smash bola voli diperoleh f hitung = 48,17 > f tabel (0,05:2:39) = 4,21. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi terhadap kemampuan smash bola voli. Kata kunci : Lari cepat 30 meter, daya amortisasi, smash bola voli.
PENDAHULUAN Olahraga permainan khususnya bola voli membutuhkan keterampilan khusus untuk menghasilkan atlet yang berprestasi. Salah satu teknik dasar yang harus dikuasai oleh setiap atlet bola voli adalah teknik smash , melalui pendekatan kemampuan biomotorik seorang atlet dapat menunjukkan performance terbaiknya saat melakukan perlombaan atau pertandingan. Untuk menciptakan seorang pesmash bola voli yang berprestasi maka atlet tersebut harus memiliki kriteria yang sesuai dengan bidang itu. Krteria yang dimaksud menurut Balesteros JM (1978) adalah memiliki tubuh atletis (mesomrph), memiliki kemampuan biomotor yang baik seperti kekuatan, kecepatan dan daya ledak. Secara teknik nomor smash bola voli didahului dengan ancang-ancang . Ancang-ancang ini dimaksudkan untuk membantu daya dorong 1 2
kedepan setelah smasher menerima bola lambung dari timnya. Oleh karena rangkaian gerakan terjadi sangat cepat antara ancang-ancang dengan lompatan untuk melakukan smash , maka diperlukan daya amortisasi. Menurut Paulus Pasurney (2004), daya amortisasi adalah aalah kemampuan menerima berat badan yang dalam keadaan bergerak kemudian mendorong berat badan tadi kearah yang diinginkan, hal ini terjadi karena kekuatan otot-otot tungkai dan sekitar sendi tungkai bawah. Kekuatan yang dihasilkan oleh otot-otot tadi tadi menerima berat badan sebagai beban dan melawan beban tersebut merupakan daya amortisasi. Daya amortisasi, selain dimanfaatkan pada nomor smash bola voli juga dapat dimanfaatkan pada cabang olahraga lain seperti pada lompat jauh, daya amortisasi dapat dilihatr pada waktu pemain melakukan tumpuan, nomor lompat jangkit ketika atlet melakukan jingkat dan langkah
Ringakasan hasil penelitian Dosen Penjaskes-rek FKIP Unhalu 116
kemudian melompat, pemai bola basket ketika pemain melakukan jump shoot, deffensive/offensive rebound; pada pemain sepak bola, ketika pemai melakuan heading yang didahului dengan ancang-ancang dan olahraga lain yang memerlukan lompatan. Dari beberapa cabang olahraga yang disebutkan di atas, pada prinsipnya memerlukan daya amortisasi yaitu suatu aksi yang didahului dengan ancang-ancang, kemudian melompat yaitu membawa titik berat badan kearah horisontal dan vertikal. Khusus dalam nomor smash bola voli, daya amortisasi ditentukan oleh dua vektor yaitu vektor horisontal yang dihasilkan oleh kecepatan awalan yang disebut momentum dan vektor vertikal yang dihasilkan oleh daya amortisasi yang disebut vertikal impluse. Menurut Balley (1986) smash bola voli terdiri dari unsur-unsur awalan, tolakan, melayang diudara dan mendarat. Setiap unsur memiliki mekanisme tetapi merupakan suatu kesatuan gerakan yang tidak dapat terputus. Sedangkan menurut Arma Abdullah (1984) mengatakan bahwa pada dasarnya nomor smash bola voli dibagi dalam dua bagian utama yaitu lari awalan yang diahiri dengan tolakan, melayang dan mendarat. Melayang dan mendarat ditentukan oleh lari awalan dan tolakan, oleh karena itu lari awalan dan tolakan merupakan dua bagian yang terpenting dari gerak smash bola voli. Untuk memperoleh hasil smash yang optimal, selain sipelompat memiliki kecepatan, ketepatan, kekuatan, kelentukan dan koordinasi gerakan juga harus menguasai tekniknya. Teknik smash bola voli yang harus dikuasai oleh seorang atlet adalah awalan atau ancang-ancang, pukulan, sikap badan di udara, dan sikap mendarat. awalan adalah gerakan permulaan untuk mendapatkan ketepatann pada waktu akan melakukan smash. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara lari cepat 30 meter dengan kemampuan smash bola voli?, daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli?, kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli?.
duduk dikelas XI pada tahun ajaran 2011/2012 dengan jumlah 40 orang yang diambil dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah: tes lari cepat 30 meter, tes daya amortisasi dan tes smash bola voli dengan awalan. HASIL PENELITIAN
METODE PENELITIAN
Tabel 3. Hasil Uji Daya Amortisasi (x2) dengan kemampuan Smash bola voli (Y)
1. Deskriptif Variabel Penelitian Hasil statistik deskriptif rata-rata danstandar deviasi dari variabel-variabel penelitian adalah: Tabel 1.Deskripsi kecepatan lari 30 meter (X1) dan Daya Amortisasi (X2) dengan kemampuan Smash bola voli (Y) Variabel X1 X2 Y
Rata-rata 4,50 2,47 4,20
Standar Deviasi 0,43 0,08 0,29
Dari tabel 1 diatas diketahui bahwa : a. Rerata kecepatan lari 30 meter adalah 4,50 detik, standar deviasi = 0,43 b. Rerata daya amortisasi adalah 2,47 meter, standar deviasi = 0,08 c. Sedangkan rerata kemampuan smash bola voli adalah 4,20 meter, standar deviasi = 0,29. 2. Uji Korelasi Producmoment Tabel 2. Hasil uji Korelasi kecepatan lari 30 m (X1) dengan kemampuan Smash bola voli (Y) Variabel X1 Y
rx1y
r2
0,75
0,57
Dari tabel 2 diatas diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli dimana rx1y= 0,75 > r tabel 90,05:40) = 312. Sedangkan koefisien determinasi (r2) = 0,57 atau 57%.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, sedangkan sampelnya adalah siswa putra SMA Negeri 1Kabawo yang 117
Variabel X1
rx2y
r2
Y
0,39
0,15
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli dimana rx2y = 0,39 > r tabel (0,05:40) = 0,312 Sedangkan koefisien determinasi (r2) = 0,15 atau 15%. Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Ganda kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi (x1,2) dengan kemampuan Smash bola voli (Y) Variabel X1.2 Y
r hitung
r tabel
0,85
0,312
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui ada hubungan yang signifikan secara bersamasama antara kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli dimana r x1x2Y hitung = 0,85 > r tabel (0,05:40) b = 0,312. Tabel 5. Hasil Uji Kebermaknaan Korelasi Ganda Variabel X1.2 Y
F hitung
F tabel
48,17
4,21
Berdasarkan tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa hubungan bersama antara kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli adalah sangat signifikan dengan F hitung = 48,17 > F tabel (0,05:2:39) =4,21. PEMBAHASAN Terdapat hubungan positif antara lari cepat 30 meter, daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Secara teori hubungan kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli dapat memberi keuntungan pada aspek biomekanika, dimana dengan kecepatan yang dihasilkan pada lari awalan akan dapat memperbesar powerpada saat menumpu sehingga kecepatan horisontal dapat dipenuhi. Sedangkan daya amortisasi dapat memberi kontribusi untuk menambah kekuatan dan kecepatan otot tungkai saat tubuh bergerak secara
vertikal, dengan demikian kecepatan vertikal juga dapat dipenuhi. Berdasarkan uji korelasi producmoment antara kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli diperoleh hasil (r x1y) = 0,75 > r tabel = 0,312. Artinya kemampuan smash bola voli secara nyata dapat diterangkan oleh faktor kecepatan lari, sedangkan determinasi (r2) diperoleh sebesar 0,57 artinya bahwa 57% kecepatan lari 30 meter memberi kontribusi positif terhadap kemampuan smash bola voli. Jika dilihat dari peta korelasi, maka hubungan kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli berada pada kategori korelasi tingi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi kecepatan lari terhadap kemampuan smash bola voli adalah sangat dominan. Hubungan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli juga menunjukkan hubungan yang positif karena koefisien korelasi yang didapat (r x2y) = 0,39 > r tabel = 0,361. Artinya bahwa kemampuan smash bola voli secara nyata dapat diterangkan oleh faktor daya amortisasi, sedangkan koefisien determinasi (r2) = 0,15. Hasil koefisien determinasi tersebut memberi petunjuk bahwa ada 15% kontribusi daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli. Jika dilihat dari peta korelasi maka dapat diketahui bahwa daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli berada pada kategori korelasi rendah, artinya bahwa daya amortisasi bukan merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan jauhnya lompatan pada nomor smash bola voli, namun demikian bahwa variabel daya amortisasi merupakan variabel yang ikut menunjang pencapaian prestasi nomor smash bola voli sebab secara teori daya amortisasi memberi keuntungan pada aspek biomekanika yakni dengan besarnya daya amortisasi berarti dapat memperbesar sudut alfa tolakan. Hasil uji korelasi ganda antara kecepatan kari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli diperoleh hubungan positif karena berdasarkan uji korelasi ganda diperoleh r x1x2y = 0,85 > r tabel (0,05:40) = 0,312, sedangkan koefisien determinasi sebesar 0,72 atau 72%. Hasil koefisien determinasi ganda tersebut memberi makna bahwa ada 28% faktor lain yang ikut menentukan kemampuan smash bola voli selain kecepatan lari dan daya amortisasi.
118
Unsur lain yang dimaksud adalah kekuatan, kelenturan, sudut elevasi tolakan dan teknik lompatan. Kekuatan memegang peranan penting dalam semua aspek nomor smash bola voli karena tanpa kekuatan tidak dapat mencapai power maksimal, juga tidak dapat melaksanakan teknik yang benar dan maksimal. Demikian pula dengan kelenturan saat melompat cukup memberi andil yang penting saat melayang diudaramaupun saat mendarat. Demikian pula dengan sudut elevasi lompatan juga memegang peranan penting sebab walaupun kekuatan, power, dan kelenturan telah dipenuhi tetapi jika atlet melompat dengan sudut elevasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar juga akan mengurangi jarak atau jauh lompatan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa (1) kecepatan lari 30 meter mempunyai hubungan positif dengan kemampuan smash dalam permainan bola voli, (2) daya amortisasi mempunyai hubungan positif dengan kemampuan smashdalam permainan bola voli, (3) kecepatan lari 30 meter, daya amortisasi secara bersama mempunyai hubungan positif dengan kemampuan smash dalam permainan bola voli.
SARAN Dalam menyusun program latihan fisik untuk meningkatkan kemampuan smash bola voli, hendaknya kecepatan lari dan daya amortisasi dijadikan prioritas utama, selain itu juga unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kekuatan, kelenturan, sudut elevasi tolakkan dan teknik lompatan. DAFTAR PUSTAKA Aip
Syarifuddin, Muhadi, 1996 Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Engkos Kosasi, 1984 Olahraga dan Program Latihan; Mutiara Jakarta. Moh. Ihsan, Olahraga dan Kesehatan; Depdikbud, Dirjen Dikti Jakarta. Paulus Pasurnei, 2004 jurnal IPTEK Olahraga, Litbang KONI Pusat Jakarta. Sajoto, 1988 Pembinaan Kondisi Fisik dalam Olahraga; Depdikbud, Dirjen Dikti Jakarta. Soekarman, 1989 Dasar-Dasar Olahraga, Pembina, Pelatih dan Atlet; PT Gelora Aksara Pratama Jakarta. Soedarminto, 1996 Kinesiologi, Modul untuk Guru Penjaskes setara D-III Dirjen Dilti Jakrata. Suharno, 1985. Permainan Bola Voli, Yogyakarta. IKIP Yogyakarta
119