TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Strategi Low Vision terhadap Karakteristik Hambatan Spasial di Ruang Terbuka Publik Kota Bandung Sally Octaviana Kelompok Perancangan, Teknik Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung
Abstrak Ruang terbuka publik sebagai fasilitas sosial memiliki responsivitas yang bermakna demokratis karena harus dapat diakses tanpa hambatan (barrier free) oleh semua kelompok sosial termasuk para difabel dan memberikan pilihan bagi penggunanya. Ruang seharusnya mengakomodasi aktivitas masyarakat perkotaan dari berbagai kelompok sosial (equitable space). Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana low vision menggunakan strategi untuk mengantisipasi hambatan spasial dalam pergerakan mereka di ruang terbuka publik. Tujuannya adalah mengetahui jenis – jenis hambatan yang dihadapi oleh low vision ketika berada atau menggunakan ruang terbuka publik dan strategi (coping) mereka dalam menghadapi hambatan tersebut. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan low vision dalam memproses informasi lingkungan (kemampuan kognitif) untuk keperluan mobilitas dan orientasi diri dalam ruang terbuka publik di perkotaan. Penelitian ini merupakan bagian dari tema disertasi dari wawancara mendalam tentang persepsi mereka terhadap karaktersitik spasial ruang terbuka publik di Bandung dari. Data yang dikumpulkan dari pengalaman low vision akan dijelaskan secara tekstural. Kata-kunci : low vision, hambatan spasial, strategi coping
Pengantar Ruang terbuka publik sebagai fasilitas sosial memiliki responsivitas yang bermakna demokratis karena harus dapat diakses tanpa hambatan (barrier free) oleh semua kelompok sosial termasuk para difabel dan memberikan pilihan bagi penggunanya. Ruang tersebut dikatakan memberikan kesetaraan hak jika mampu mengakomodasi aktivitas masyarakat perkotaan yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (equitable space) dalam menggunakan ruang kota. Kesenjangan responsivitas antara kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik bagi masyarakat di kota Bandung merupakan isu tentang adanya perbedaan mendasar tentang aspek budaya dan pemahamannya dalam realitas isu difabilitas di negara berkembang. Di negara berkembang mereka adalah bagian dari masyakat marjinal yang disisihkan dalam proses pembangunan nasional, bahkan lebih dari itu, mereka tidak mendapatkan tempat dan
posisi yang layak dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini didukung dengan adanya sejumlah kenyataan bahwa masyarakat belum memberikan akses memadai bagi kaum difabel untuk bergerak dalam ruang publik dan penyediaan infrastruktur yang ramah difabel. Sementara dari pihak Pemerintah, mereka merasa belum perlu membangun akses publik yang ramah difabel karena pertimbangan ekonomi. Menurut Undang – undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas yang aksesibel untuk mereka. Masyarakat tuna netra memiliki paling banyak keterbatasan dalam aksesibilitas dan mobilitas dalam menggunakan ruang terbuka publik tersebut karena mata merupakan indera yang paling banyak mencerap informasi. Pada budaya barat, mata merupakan indra termulia dalam konteksnya dengan penglihatan yang juga diyakini Aristotle sangat dekat dengan immaterial virtual relatif dari suatu pengetahuan Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | B - 59
Strategi Low Vision terhadap Karakteristik Hambatan Spasial di Ruang Terbuka Publik Kota Bandung
(Pallasmma, 2005). Menurut Pallasmma (2005), karya filosofis sejak Yunani kuno dalam hal ini juga menganalogikan pengetahuan dengan kejelasan penglihatan dan cahaya sebagai metafor kebenaran. Kajian Pustaka
Low vision memiliki klasifikasi yang berhubungan dengan ketajaman respon terhadap adanya hambatan medan pandang (visual). Pendekatan ini berguna untuk penanganan masing – masing tipe permasalahan dalam medan pandang, yaitu : 1. Tidak ada hambatan dalam medan pandang (visual) tetapi kurangnya resolusi atau kontras terhadap keseluruhan medan pandang; tetapi kesilauan (haze/glare) 2. Hambatan dalam medan pandang sentral (central visual fied defect) 3. Hambatan dalam medan visual periferal (peripheral visual field defect) (Freeman, 2008).
Phenomenology of Perception (1945) merupakan studi persepsi yang menjelaskan bahwa bentuk dasar kesadaran ada tanpa dapat dijelaskan secara mekanistik, sehingga ada hubungan simbiotik antara tindakan persepsi dan lingkungan yang diadopsi oleh penerima secara dialektik. Ruang terbuka publik yang akomodatif (responsif dan affordable) menurut panduan desain universal menyebutkan tentang kriteria – kriteria yang harus dipenuhi oleh para perancang dalam pertimbangan desainnya. Low vision dalam konteks ini berada di dalam lingkungan yang tidak mengakomodasi kekurangan kondisi fisiknya tetapi karena dominasi persepsi atas kesadaran, terjadi distorsi pada kenyataan yang tampak dari pengalaman spasial low vision. Hubungan karakter spasial suatu ruang terbuka publik dengan para penyandang low vision melibatkan proses adaptasi yang berkaitan dengan kemampuan kognitif dan orientasi spasial. Proses habituasi spasial dalam mobilitas tuna netra terjadi ketika mereka menghadapi serangkaian hambatan ketika menggunakan ruang terbuka publik secara berulang tetapi pemenuhan space affordance ruang
B - 60 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
terbuka publik harus tetap memiliki batas optimal agar mereka dapat beraktivitas dan bergerak secara mandiri. Farber didalam Crum (2001) menyebutkan bahwa hambatan arsitektural bagi difabel adalah atribut fisik suatu bangunan atau fasilitas yang diakibatkan oleh kehadiran, ketiadaan atau desain yang tidak memberikan kondisi keamanan atau aksesibilitas/kebebasan mobilitas di suatu ruang terbuka publik.
Coping ini secara bahasa mempunyai makna menanggulangi, menerima menguasai segala sesuatu yang berangkutan dengan diri kita sendiri. Strategi coping berarti upaya , baik mental maupun perilaku atau kognitif, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Untuk mengendalikan emosi bisa dilakukan dengan banyak cara, diantaranya dengan model penyesuaian, pengalihan dan coping. Strategi coping itu sendiri dapat diartikan sebuah cara atau prilaku individu untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Jenis strategi coping menurut Mac Arthur & Mac Arthur dalam Tarsidi (2008) adalah : 1.
2.
strategi coping aktif (approach strategy) : yaitu usaha kognitif untuk memahami penyebab stres atau stressor mengubah hakikat dan cara berpikir. strategi menghindar (avoidance strategy) : usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir stressor yang muncul dalam prilaku dengan cara menghindar dari hal tersebut.
Bentuk-bentuk strategi coping yaitu : 1.
2.
Perilaku coping yang beorientasi pada masalah (problem focused coping) : strategi kognitif dalam penanganan stress/ strategi kognitif yang digunakan individu untuk menangani masalahnya. Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping) : individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara emosional.
Sally Octaviana
Faktor yang mempengaruhi coping :
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
1. Karakteristik situasional. Berhubungan dengan konsep eksistensial yang melibatkan ruang dan waktu dimana low vision berada di ruang terbuka publik. 2. Faktor lingkungan. Lingkungan masyarakat sangat berpengaruh terhadap strategi, motivasi dan adaptasi low vision dalam mengeksplorasi ruang. 3. Faktor personal. Faktor kepribadian berdasarkan pola pengasuhan atau sikap masyarakat mempengaruhi strategi coping yang dipilih low vision.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap pengalaman dan pengamatan terhadap perilaku low vision dalam mengeksplorasi ruang terbuka publik. Partisipan low vision yang menjadi partisipan adalah mereka yang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengekplorasi ruang terbuka publik, sehingga dari pencarian yang mulai dilakukan di Panti Rehabilitasi Tuna Netra Wyata Guna, didapatkan beberapa alumni yang melanjutkan kuliah di beberapa perguruan tinggi di Bandung.
Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Metode Creswell dalam Groat dan Wang (2002) mengasumsikan bahwa pendekatan kuantitatif realitas objektif dan sudut pandang peneliti berada di luar subjek penelitian, sedangkan pendekatan kualitatif mengasumsikan realitas subjektif dan sudut pandang peneliti berinteraksi dengan subjek penelitian. Metode yang digunakan bersifat kualitatif dan eksploratif melalui wawancara untuk mengidentifikasi jenis – jenis hambatan yang dibedakan menurut karakteristiknya dan strategi yang mereka gunakan untuk megatasi hambatan tersebut secara kognitif dan perilku. Pendekatan ini dipilih berdasarkan pemahaman bahwa pengetahuan dibangun dan dimiliki oleh individu yang masing – masing berbeda. Ruang terbuka publik yang dipilih terbagi atas ruang familiar dan non familiar di beberapa trotoar Kota Bandung. Partisipan diminta berjalan melalui trotoar yang sudah ditentukan berdasarkan penilaian kelas jalan dan kualitas spasial yang dianggap lebih baik. Penggambaran peta kognitif melalui peta digunakan sebagai alat bantu untuk menggali pengalaman mereka dalam mengeksplorasi ruang terbuka publik.
Metode yang digunakan dalam analisis adalah analisis deskriptif terhadap salah satu tema yang menggambarkan strategi untuk mengantisipasi hambatan spasial bagi low vision di ruang terbuka publik. Penelitian ini menggunakan logika induktif abstraktif yang proses konseptualisasi, kategorisasi dan deksripsinya dikembangkan berdasarkan kejadian yang diperoleh di lapangan. Tidak ada hubungan antar kategori atau variabel sehingga proses kegiatan pengumpulan dan analisis data tidak dapat dipisahkan karena terjadi secara simultan dan interaktif (siklus). Analisis dan Interpretasi Strategi coping yang dilakukan oleh low vision berbeda untuk masing – masing individu sesuai dengan karakteristik kepribadiannya. Sebagian besar penyandang low vision berasal dari kelompok sosial yang kurang mampu sehingga sebagian besar menggunakan transportasi publik sebagai moda utama. Jika daerah tujuan relatif dekat, mereka cenderung berjalan kaki bersama teman sesama tuna netra atau bantuan orang awas. Low vision yang berstatus siswa dan berada di asrama Wyata Guna umumnya lebih sering pergi bersama – sama atau berkelompok dibandingkan dengan low vision yang berstatus mahasiswa dan tinggal di asrama di luar Wyata Guna. Alat bantu yang digunakan sangat bervariasi, tetapi umumnya yang digunakan oleh mereka adalah tongkat (white cane) jika mereka sendirian atau bantuan orang awas. Tongkat sebagai alat bantu bagi low vision hanya merupakan simbol identitas dan hampir tidak digunakan sama sekali. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | B- 61
Strategi Low Vision terhadap Karakteristik Hambatan Spasial di Ruang Terbuka Publik Kota Bandung
Jenis hambatan menurut penyandang low vision terbagi atas beberapa kategori yang terbagi atas sistem informasi, kondisi infrastruktur yang melengkapi ruang terbuka publik, aktivitas pendukung seperti pedagang kaki lima atau warung yang berada di trotoar dan hambatan yang berkaitan dengan cuaca atau keterbatasan sensori mereka. Kondisi infrastruktur beberapa trotoar di Kota Bandung mengakibatkan banjir, genangan atau kubangan di beberapa ruas jalan. Bagi low vision kondisi ini merupakan hal paling mengerikan karena mereka dapat terciprat, terpeleset atau mengakibatkan pantu-lan cahaya lampu jalan yang mengakibatkan silau bagi penglihatan mereka. Pada beberapa trotoar atau tangga di taman yang licin dapat menyebabkan insiden yang tidak diinginkan. Perbedaan ketinggian antar lantai walaupun tidak secara signifikan dapat mengakibatkan kecelakaan bagi low vision jika tidak ada perbedaan warna. Hambatan spasial ini pada beberapa low vision dapat memberikan efek jera untuk pergi keluar sendiri atau kembali ke ruang terbuka publik tersebut. Beberapa hambatan spasial level trotoar yang memiliki perbedaan ketinggian bagi low vision diilustrasikan dalam gambar di bawah ini:
Gambar 1. Hambatan spasial dalam perbedaan ketinggian trotoar bagi low vision
Hambatan yang dialami oleh penyandang low vision di ruang terbuka publik terbagi atas beberapa elemen yang dikategorikan seperti pada Tabel 1. Penyandang low vision dalam proses rehabilitasi diajarkan beberapa teknik dalam mengeksplorasi ruang seperti menggunakan trailing, upper hand/lower hand. Pada beberapa kesempatan ketika mereka tidak bersama teman, mereka akan menggunakan kemampuan kognitif (mind mapping) untuk mengenali suatu ruang. Pada jalur familiar, mereka biasanya tidak memerlukan bantuan dan tidak menggunakan
B - 62 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
logika analisis untuk spasial tersebut.
mengenali
hambatan
Tabel 1. Jenis Hambatan Menurut Hasil Wawancara No
1
Kategori
Sistem Informasi
Deskripsi Low vision dapat menabrak tiang/plang jalan/terluka
Papan informasi
2 3
Elemen Tiang
Sistem infrastruktur
Saluran Terbuka
4
Trotoar
5
Tangga
6
Parkir
7
Aktivitas Pendukung
PKL
8
Cuaca/ iklim
Hujan/ Kubangan/ banjir
9
Sensori
Pantulan cahaya
Low vision pernah tercebur Trotoar/jalan yang tidak rata/rusak/batu yang cukup besar. Injakan tangga tanpa bahan anti-slip/licin. Hambatan mobilitas. Warung yang berada di atas trotoar. Hujan/banjir/ cipratan air akibat kondisi infrastruktur. Cahaya kendaraan dari depan.
Mereka mulai memperhatikan sekitar pada kondisi tanpa teman atau ketika mereka mengalami insiden di trotoar. Jika ini terjadi mereka memerlukan ruang pribadi yang aman untuk memulihkan rasa terkejut mereka. Proses selanjutnya adalah penggunaan peta kognitif untuk mengenali kemungkinan hambatan yang mungkin akan terjadi setelahnya. Ketika analisis logika tidak lagi dapat dilakukan karena kemampuan fokus semakin berkurang, umumnya mereka menggunakan rasa dan keyakinan dalam mengenali hal – hal yang bersifat non fisik yang berhubungan dengan peluang terjadinya kecelakaan. Hal – hal yang membuat kemampuan fokus mereka semakin menurun adalah kepadatan atau kerumunan orang banyak yang
Sally Octaviana
terkonsentrasi atau kebisingan yang ditimbulkan akibat konsentrasi aktivitas. Pada kondisi ini, mereka secara maksimal mengerahkan kemampuan untuk mengenali objek di sekitar mereka. Beberapa hambatan spasial berupa kondisi infrastruktur diilustrasikan dalam gambar di bawah ini:
Gambar 2. Kondisi infrastruktur hambatan spasial low vision
yang
menjadi
Pada malam hari, strategi yang digunakan low vision ketika mereka berada di trotoar adalah berjalan secara berlawanan dengan arah kendaraan. Sensori yang digunakan untuk mengenali peluang hambatan adalah pendengaran. Mereka mampu memperkirakan jarak dan arah kendaraan melalui suara bahkan cahaya lampu kendaraan. Pada ruang non familiar, mereka cenderung lebih menggunakan sisa penglihatan untuk mengenali hambatan. Pola pergerakan per segmen biasanya digunakan untuk ruang non familiar. Pada ruang familiar, mereka lebih sedikit menggunakan kemampuan sensori untuk mengenali hambatan spasial. Kondisi jalan yang tidak rata atau berlubang dan tiang merupakan hambatan spasial bagi low vision tetapi di pihak lain digunakan sebagai titik orientasi bagi mereka untuk mengenali hambatan lainnya. Pertimbangan tersebut mempengaruhi motivasi low vision untuk lebih memilih ruang familiar dibandingkan ruang non familiar. Mereka lebih memilih untuk menggunakan memori dalam peta kognitif mereka dibandingkan berinteraksi dengan orang lain. Pilihan bertanya hanya digunakan saat mereka tidak mampu menempatkan kesadaran mereka ke permukaan. Asumsi yang dapat dijelaskan adalah bahwa interaksi antara low vision dan lingkungan masyarakat juga dapat direpresentasikan mela-
lui perancangan yang membuat mereka memerlukan bantuan orang awas/lingkungan sekitar. Kesimpulan Hambatan spasial di ruang terbuka publik merupakan pertimbangan bagi low vision untuk memiliki motivasi eksplorasi. Kendala yang dialami adalah bahwa umumnya partisipan yang tinggal di Wyata Guna mengandalkan orang lain untuk membantu mereka secara mandiri dan keterbatasan pendidikan yang menagkibatkan mereka sulit untuk mengemukakan pendapatnya. Terbatasnya penelitian yang berhubungan dengan low vision dapat diakibatkan adanya pemahaman bahwa mereka masih memiliki kemampuan penglihatan. Disisi lain, permasalahan yang dialami low vision ternyata lebih kompleks dibandingkan penyandang buta total. Kemampuan kinestetis low vision juga lebih rendah dibandingkan dengan penyandang buta total. Perencanaan ruang terbuka publik yang aksesibel bagi kaum difabel terutama trotoar sebagai sarana sirkulasi utama merupakan hal penting. Konsep perencanaan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mendesain ruang terbuka publik adalah ruang yang menjadikan atau melatih mereka untuk mandiri atau memaksa mereka untuk lebih aktif berin-teraksi dengan orang lain sebagai sesama pengguna. Daftar Pustaka Crum, S., 2001. Environmental and Architectural Barriers : How Accessible is the Urban Environment. The Geographer's Craft . Freeman, K. F. (2008). Optometric Clinical Practice
Guideline Care of the Patient with Visual Impairment
(Low Vision Rehabilitation). Lindbergh Blvd, St Louis: American Optometric Association. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Pallasmaa, Juhani. (2005). The Eyes of the Skin, Architecture and the Senses. John Wiley & Sons Ltd. Ponty, M.Merleau. (1962). Phenomenology of Perception. Translated by Smith, Collin. Rouledge Taylor & Francis Group Tarsidi, Didi. (2008). Strategi Coping untuk Beradaptasi dengan Ketunanetraan. Counseling & Blindness Blog, Universitas Pendidikan Indonesia.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | B- 63