STRATEGI KOPING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KELUARGA PENERIMA PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)
ARY RACHMAWATI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT ARY RACHMAWATI. Coping Strategies and the Factors that Influence Subjective Well-being of the Recipient Families “Program Keluarga Harapan” (PKH). Under the direction of HERIEN PUSPITAWATI and RETNANINGSIH. PKH is one of poverty alleviation programs of government issued in 2007. This study aims to identify coping strategy and the factors that influence subjective well-being of the recipient families PKH. This study conducted in Bogor district Dramaga sub-district in May to July 2009. Design used was crosssectional study with survey methods. Samples in this research are the recipient mother and the sample size is 150 samples. Based on research results can be seen that the coping strategy economic functions performed low percentage on samples. In addition, the factors that influence subjective well-being of the recipient's family PKH is long education wife, great family members, social support, total family expenditures and economic functions coping strategy. In general, this study shows that the program can not be said succeeded because the welfare level of the sample is still low even this program unwittingly creating dependency on recipient families PKH so that these families can not live independently and have a low social security level. Key words: PKH, social support, coping strategy, subjective well-being.
RINGKASAN ARY RACHMAWATI. Strategi Koping dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI dan RETNANINGSIH. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi strategi koping dan faktorfaktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi (1) Karakteristik demografi, sosial dan ekonomi keluarga pada keluarga penerima PKH; (2) Dukungan sosial keluarga dan manfaat PKH pada keluarga penerima PKH; (3) Strategi Koping Fungsi Ekonomi dan tingkat kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH; (4) Menganalisis hubungan antar karakteristik keluarga, dukungan sosial keluarga, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH; dan (5) Menganalisis faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul “Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan Prestasi Belajar Anak pada Keluarga Penerima PKH. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor pada bulan Mei-Juli 2009. Total contoh adalah 150 yang ditentukan secara proportional random sampling. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik contoh (besar keluarga, usia, struktur keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga hutang dan kepemilikan aset); 2) dukungan sosial (keluarga dan tetangga); dan 3) strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang meliputi gambaran umum lokasi penelitian, potensi wilayah, dan data penerima PKH. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan Indept Interview. Analisis data yang digunakan adalah statistika deskriptif (rata-rata, minimum, maksimum, dan standar deviasi) dan inferensia (uji beda Paired t test, korelasi Rank Spearman dan regresi linier berganda). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa persentase terbesar (58%) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 org). Usia suami (48%) berada pada kelompok dewasa madya (41-60 th) sedangkan usia istri (58,7%) berada pada kelompok dewasa awal (18-40 th). Tingkat pendidikan suami (87,3%) dan istri (98,7%) hampir sama, yakni tidak memenuhi wajib belajar 9 tahun. Persentase terbesar pekerjaan suami adalah sebagai buruh nontani baik sebelum (40,7%) dan saat PKH (38,7%) sedangkan untuk istri persentase terbesar (19,3%) bekerja sebagai buruh tani. Lebih dari separuh contoh (50,7%) memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan artinya keluarga termasuk keluarga sangat miskin. Persentase pengeluaran contoh untuk pangan jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran non pangan, yaitu sebesar 61,7 persen dan 38,3 persen. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan dukungan baik yang berasal dari keluarga besar maupun tetangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar untuk bentuk dukungan yang diterima oleh contoh baik yang berasal dari keluarga besar maupun tetangga ialah membantu kesulitan keuangan keluarga. Selama kurang lebih dua tahun program PKH berjalan
manfaat yang dirasakan oleh contoh terlihat belum optimal hanya 27,3 persen contoh yang menyatakan tinggi manfaatnya. Strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan oleh lebih dari separuh (57,3%) contoh termasuk dalam kategori sedang. Berdasarkan tipe strategi koping fungsi ekonomi dapat diketahui bahwa strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan oleh lebih dari separuh (50,7%) contoh termasuk dalam Tipe 1 yang artinya bahwa strategi penghematan dan penambahan pendapatan yang dilakukan oleh contoh keduanya berada pada posisi rendah. Sama halnya dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang dicapai. Lebih dari separuh contoh termasuk dalam kategori sedang, artinya bahwa tingkat kesejahteraan subjektif yang dicapai belum maksimal. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara aset keluarga dengan dukungan tetangga (r=0,182; p=0,05), pengeluaran non pangan per kapita dengan dukungan keluarga (r=0,215; p=0,01), besar anggota keluarga dengan strategi koping fungsi ekonomi (r=0,254; p=0,01), usia istri dengan strategi koping fungsi ekonomi (r=0,212; p=0,01), pengeluaran pangan per kapita dengan kesejahteraan subjektif (r=0,176; p=0,05), dukungan keluarga dengan kesejahteraan subjektif (r=0,205; p=0,01). Selain itu, terdapat hubungan negatif antara pendapatan per kapita dengan strategi koping fungsi ekonomi (r=-0,238; p=0,01), strategi koping fungsi ekonomi dengan kesejahteraan subjektif (r=-0,264; p=0,01). Adapun faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif ialah besar anggota keluarga, dukungan sosial, total pengeluaran per kapita, lama pendidikan istri, dan strategi koping fungsi ekonomi. Saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian antara lain: 1) rendahnya kesadaran dan tingkat pendidikan contoh mengharuskan pemerintah melakukan usaha lebih keras lagi dalam membangun kesadaran keluarga miskin akan arti pendidikan bagi masa depan mereka serta menggalakkan program pendidikan kejar paket A,B,C; 2) rendahnya perilaku strategi koping pada contoh memberikan indikasi pentingnya pemberdayaan keluarga oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga baik dari aspek pengetahuan maupun strategi manajemen keuangan; 3) usaha yang dilakukan oleh keluarga miskin cenderung rendah karena memang akses terhadap pendidikan dan pekerjaan itu terbatas. Oleh karena itu, pemerintah harusnya memberikan program pemberdayaan bidang pendidikan kepada keluarga miskin agar akses terhadap pendidikan dapat terbuka; 4) diharapkan khususnya bagi pendamping agar dapat memberikan penyuluhan secara langsung kepada penerima PKH, harapannya bahwa informasi dapat tersebar rata dan dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan; 5) terdapat 3,3 persen contoh sangat tidak sesuai menerima bantuan PKH. Ini dapat dijadikan sumber masukan bagi instansi pemerintah agar lebih akurat lagi dalam melakukan pendataan mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat sehingga pengkategorian miskin/tidak miskin tepat dan jelas; 6) salah satu kelemahan dari program PKH yaitu memberikan dampak psikologis yang berupa ketergantungan sehingga keluarga tidak bisa mandiri dan mempunyai ketahanan sosial yang rendah. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah mengakaji kembali program pemberdayaan pada kluster 1 yang sudah dilaksanakan agar dampak yang ditimbulkan semakin berkurang.
STRATEGI KOPING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEJAHTERAAN SUBYEKTIF PADA KELUARGA PENERIMA PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperolah Gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Oleh: ARY RACHMAWATI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul
:
Strategi Koping dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Nama Mahasiswa
:
Ary Rachmawati
NIM
:
I24051651
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc NIP. 19621110 198603 2 001
Ir. Retnaningsih, M.Si NIP. 19631112 198903 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc NIP. 19630714 198703 1 002
Tanggal Pengesahan:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada Tanggal 25 April 1987. Penulis adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Suyono dan Ibu Suwarni. Pendidikan Taman Kanak-Kanak ditempuh penulis dari Tahun 1992 hingga Tahun 1993 di TK Tunas Rimba, Purworejo. Pada Tahun 1993 penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Tirtodranan, Purworejo sampai dengan Tahun 1999 selanjutnya pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 3 Purworejo hingga tahun 2000 dan pada tahun tersebut pula penulis pindah sekolah di SLTP Negeri 2 Gombong hingga lulus pada Tahun 2002. Pada Tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan di SLTA Negeri 1 Karanganyar, Kebumen sampai dengan Tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2005. Selama menjadi mahasiswa penulis ikut aktif dalam berbagai macam kegiatan di kampus, seperti menjadi bendahara II Himpunan Profesi Ilmu Keluarga dan Konsumen (20062008), anggota Divisi Profil mading ”creackres” Ilmu Keluarga dan Konsumen (2006-2007), anggota OMDA Kebumen, anggota Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB Divisi Tari (2006-sekarang), anggota Misi Kebudayaan Malaysia Divisi tari (2009), serta aktif dalam berbagai macam kepanitiaan, baik yang diselenggarakan oleh HIMPRO IKK maupun kegiatan kampus lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul ”Strategi Koping dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)” berhasil diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, dengan rasa hormat yang setinggi-tingginya, penulis ucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. M.Sc dan Ir. Retnaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, kesempatan serta ilmu-ilmunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Lilik Noor, MSFA selaku dosen pemandu seminar skripsi serta sebagai dosen penguji skripsi yang telah berkenan memberikan masukan yang berarti dalam penulisan karya ini. 3. Megawati Simanjuntak, SP terima kasih banyak atas bantuannya selama ini. Tak lupa pada Prof. Dr. Pipin dan Bapak Suryadi selaku pendamping PKH, terimakasih banyak atas segala informasi yang diberikan. 4. Seluruh aparat desa dan Kecamatan Dramaga yang telah membantu atas kelengkapan data serta bantuannya saat di lapang, terimakasih banyak. Pada ibu Aisyah, ibu Eni dan ibu Titin terimakasih banyak atas bantuannya menyediakan tempat untuk wawancara. 5. Bapak, Ibu, Mas Ade, Mbak Titin tersayang, terima kasih banyak atas kasih sayang, cinta, dukungan, kesabaran, nasehat, dan semangat yang kalian berikan. 6. Untuk teman dan sahabatku Lestari Agusalim BM, Shely, Mardiana Rusman, Eka Wulida L, Elya S, Endah, Wulan, Fitri, Tika, Ismi, Ratih, Ifah. Terimakasih banyak teman-teman atas kerjasama dan bantuannya selama ini.
Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca.
Bogor, Februari 2010 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................... Kegunaan Penelitian ..............................................................................
1 3 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga .................................................. Kemiskinan .............................................................................................. Pemberdayaan Sosial .............................................................................. Program Keluarga Harapan (PKH) ......................................................... Kesejahteraan Keluarga .......................................................................... Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif ................. Dukungan Sosial ..................................................................................... Strategi Koping Keluarga ........................................................................
7 10 14 17 21 23 27 29
KERANGKA PEMIKIRAN .....................................................................
34
METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu ...................................................................... Contoh dan Teknik Penarikan Contoh .................................................... Jenis dan Cara Pengambilan Data ............................................................ Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. Definisi Operasional ................................................................................
36 36 39 40 44
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian .......................................................... Karakteristik Demografi Keluarga .......................................................... Besar Keluarga ............................................................................... Tipe Keluarga ................................................................................. Usia ................................................................................................ Tingkat dan Lama Pendidikan .......................................................
46 49 49 49 50 51
viii
Karakteristik Sosial Ekonomi .................................................................. Pekerjaan Suami ............................................................................. Pekerjaan Istri ................................................................................ Pendapatan per kapita .................................................................... Total Pengeluaran per kapita Keluarga ........................................... Kepemilikan Aset dan Jumlah Hutang ........................................... Kesesuaian Penerima Program PKH dengan Kriteria RTSM ................. Dukungan Sosial ..................................................................................... Manfaat PKH yang Dirasakan Keluarga ................................................. Strategi Koping Fungsi Ekonomi ............................................................ Strategi Penghematan Keluarga (Cutting-Back) ............................ Strategi Penambahan Pendapatan Keluarga ................................... Tipe Strategi Koping ...................................................................... Kesejahteraan Subyektif ........................................................................... Hubungan Antar Variabel ........................................................................ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Subjektif .... Pembahasan Umum .................................................................................. Keterbatasan Penelitian ............................................................................
Halaman 52 52 53 54 55 60 63 65 66 67 67 69 70 72 72 77 81 83
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
88
LAMPIRAN ................................................................................................
92
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Jumlah dan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurut Pulau .......................................................................................
10
Garis kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk miskin, 1996-2008 .............................................................................................
11
3.
Kewajiban peserta PKH dalam mengunjungi fasilitas kesehatan ..........
18
4.
Besaran bantuan penerima PKH ...........................................................
20
5.
Sebaran jumlah populasi penerima PKH dan jumlah contoh di Kecamatan Dramaga, Bogor ................................................................
37
6.
Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran serta skala data..............
40
7.
Desa-desa di Kecamatan Dramaga dan jumlah penduduk .....................
46
8.
Data penduduk menurut mata pencaharian ...........................................
47
9.
Data jumlah sekolah ..............................................................................
47
10. Sebaran jumlah penerima PKH di 10 desa di Kec. Dramaga ................
48
11. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga .........................................
49
12. Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga ............................................
50
13. Sebaran contoh berdasarkan usia suami-istri ........................................
50
14. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ...................................
51
15. Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan ......................................
52
16. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami ......................................
52
17. Sebaran contoh berdasarkan perubahan kerja suami ............................
53
18. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri ..........................................
54
19. Sebaran contoh berdasarkan perubahan kerja istri ................................
54
20. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan .............
55
21. Sebaran contoh berdasarkan persentase kontribusi dana PKH terhadap total pendapatan per kapita per bulan ...................................................
55
22. Rata-rata persentase pengeluaran per kapita per bulan ........................
56
23. Rata-rata alokasi pengeluaran dana PKH per bulan ..............................
58
24. Persentase alokasi dana PKH dari hasil wawancara mendalam ...........
59
25. Persentase contoh berdasarkan kepemilikan aset keluarga ...................
61
2.
x
Halaman 26. Sebaran contoh berdasarkan jumlah hutang ..........................................
62
27. Sebaran contoh berdasarkan rasio hutang dan aset dalam rupiah .........
63
28. Persentase contoh berdasarkan kriteria rumah tangga miskin ..............
64
29. Sebaran contoh atas kelayakan penerimaan PKH berdasarkan kriteria rumah tangga miskin ...............................................................
65
30. Sebaran contoh berdasarkan bentuk dukungan yang diterima ..............
66
31. Sebaran contoh berdasarkan dukungan keluarga dan dukungan tetangga ................................................................................................
66
32. Sebaran contoh berdasarkan item manfaat yang dirasakan ..................
67
33. Sebaran contoh berdasarkan manfaat PKH ...........................................
68
34. Sebaran contoh berdasarkan strategi koping fungsi ekonomi ...............
70
35. Tipe strategi koping fungsi ekonomi ....................................................
71
36. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan subjektif ................
71
37. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan dukungan sosial keluarga ......................................................................
73
38. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan strategi koping fungsi ekonomi keluarga ..............................................
74
39. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan kesejahteraan subjektif ..........................................................................
76
40. Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif ..........................................................................
78
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3.
Besaran IPM Kabupaten Bogor periode 1999-2007 .............................. Kerangka pemikiran .............................................................................. Tahapan pemilihan contoh ....................................................................
3 35 39
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pengukuran variabel penelitian .............................................................
93
2.
Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga ....................................................................................
95
Sebaran contoh berdasarkan strategi penghematan pengeluaran keluarga ...........................................................................
96
4.
Sebaran contoh berdasarkan strategi penambahan pendapatan ............
97
5.
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan subyektif ...............
98
6.
Alokasi pengeluaran contoh Indepth Interview ....................................
99
7.
Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga, dukungan sosial, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subyektif ............... 100
8.
Hasil uji Regresi .................................................................................... 101
9.
Deskriptif untuk data Indept Interview ................................................. 103
3.
10. Foto lapang ............................................................................................ 107
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun (Anonim 2008). Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya (BKKBN 1996). Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam pada tahun 1998 mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin. Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka penduduk miskin tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibandingkan dengan angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2008 sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen, yang lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 yaitu 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total penduduk (BPS 2008). Kabupaten Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di provinsi Jawa Barat. Menurut hasil Sensus Daerah (SUSDA) jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada Tahun 2007 telah mencapai 4.237.962 jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 0,53 persen. Laju Pertumbuhan Penduduk yang pesat ini sayangnya tidak diimbangi dengan pembentukan modal yang besar sehingga memunculkan masalah kemiskinan di Kabupaten Bogor. Pada Tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.017.879 jiwa atau sebesar 24,02 persen dari jumlah penduduk pada Tahun 2007 (Rancagan Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025). Walaupun angka ini sudah mengalami penurunan dari tahun 2006 namun jumlah penduduk miskin yang mencapai angka sekitar 24,02 persen berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, gangguan keamanan, prostitusi dan gizi buruk yang akhirnya akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia.
2
Penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor tentunya tidak terlepas dari peran pemerintah dalam usaha memberantas kemiskinan. Banyak program-program pemerintah yang sudah dijalankan seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pada Tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH pada prinsipnya memberikan bantuan tunai kepada rumahtangga sangat miskin. Sasaran dari program ini adalah ibu-ibu pada usia subur, sedang hamil atau menyusui, anak-anak balita, serta anak-anak usia sekolah dasar dan menengah pertama, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok rumahtangga miskin. Besarnya dana yang diberikan pada peserta PKH berkisar antara Rp.600.000,- sampai dengan Rp.2.200.000,- per tiga bulan (UPPKH Pusat 2007). Dalam program ini, peran dari seluruh anggota keluargalah yang menjadi kunci dari pembangunan dan sentra dalam mengentaskan kemiskinan. Keluarga merupakan suatu unit dalam sistem ekonomi, yang senantiasa berinteraksi (mempengaruhi dan dipengaruhi) oleh sistem ekonomi yang lebih besar (Bryant 1990). Artinya bahwa keadaan ekonomi keluarga akan tergantung pada bagaimana keberadaan ekonomi negara saat itu. Kemiskinan dan krisis ekonomi di Indonesia membuat kehidupan keluarga miskin semakin terpuruk. Setiap keluarga miskin mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengatasi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Friedman (1998) mendefinisikan strategi koping sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres akibat peristiwa tertentu. Melalui strategi koping yang efektif diharapkan tujuan keluarga mudah tercapai sehingga tingkat kebahagiaan dan tingkat kepuasan juga akan meningkat. Dengan demikian, tingkat kesejahteraan keluarga pun akan meningkat. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan Santamarina et al. (2002) diacu dalam Suandi (2007) bahwa kesejahteraan dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain.
3
Perumusan Masalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu alat ukur sederhana untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan SDM. IPM merupakan angka rata-rata dari indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks kemampuan daya beli masyarakat (BPS 2005). Pasca otonomi daerah, nilai IPM Kabupaten Bogor semakin besar yaitu sejak Tahun 1999 sampai Tahun 2007. Kondisi ini menandakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Bogor semakin baik. IPM Kabupaten Bogor yang telah dicapai pada Tahun 2007, yaitu 70,18 poin. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 0,73 poin dari Tahun 2006 yang mencapai 69,45 poin. Secara rinci nilai tersebut merupakan kontribusi dari komponen pembentuknya, terdiri dari angka harapan hidup (67,58 th), angka melek huruf (95,78%), rata-rata lama sekolah (7,11 th) dan kemampuan daya beli masyarakat sebesar Rp.559.300,- per kapita/bl. IPM Kabupaten Bogor 71.00 70.00
70.18
69.00 68.99
68.00
67.81 68.10
67.00 66.00 65.00 64.00
69.45
66.38
66.80
IPM
65.20 65.40
63.00 62.00 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Gambar 1. Besaran IPM Kabupaten Bogor Periode 1999-2007 (Bapeda 2005) Kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor yang semakin meningkat sayangnya tidak diimbangi dengan menurunnya angka permasalahan sosial. BPS mencatat bahwa pada Tahun 2007 jumlah permasalahan sosial di Kabupaten bogor relatif tinggi. Berdasarkan beberapa kasus permasalahan sosial, jumlah yang paling tinggi di Kabupaten Bogor adalah jumlah fakir miskin (41.590 jiwa) kemudian yang kedua adalah jumlah anak terlantar yang mencapai 12.166 jiwa.
4
Disini terlihat adanya ketimpangan, di sisi lain kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor meningkat namun permasalahan sosial yang ada cenderung tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka menuntaskan permasalahan sosial tersebut pemerintah pusat khususnya di Kabupaten Bogor melaksanakan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini merupakan cikal bakal pengembangan sistem perlindungan sosial, khususnya bagi keluarga sangat miskin (UPPKH Pusat 2007). Selain itu, program ini dikeluarkan dengan harapan bisa meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat miskin terutama dalam segi pendidikan melalui wajib belajar sembilan tahun serta kesehatan ibu dan anak. Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang memperoleh PKH adalah Kecamatan Dramaga. Berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2005 Kecamatan Dramaga termasuk lima besar yang memiliki penduduk miskin terbanyak di Kabupaten Bogor, yaitu mencapai 11.354 jiwa. Setiap keluarga mempunyai strategi koping yang berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya dalam menghadapi kondisi yang sulit khususnya untuk keluarga miskin. Mereka mempunyai cara khusus untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi yang serba keterbatasan. Ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti, mengingat bahwa PKH merupakan salah satu program unggulan dari pemerintah guna mengentaskan kemiskinan. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi mengenai sejauh mana tingkat keberhasilan dan manfaat PKH dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Dramaga dan mengingat bahwa program ini baru berjalan selama dua tahun. Selain itu, perlu juga dilakukan identifikasi strategi koping yang dilakukan oleh keluarga miskin penerima PKH terkait dengan adanya dana tambahan PKH untuk pendidikan dan kesehatan serta menganalisis faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Menurut Deacon dan Firebaugh (1981), keluarga memiliki strategi koping apabila terjadi perubahan pendapatan sehingga akan mepengaruhi alokasi pengeluaran keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan akan memengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah keluarga. Nilai dan tujuan tersebut akan menentukan tingkat kepuasan dan tingkat kebahagiaan keluarga yang pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan penjabaran
5
diatas, peneliti mencoba menguraikan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimanakah karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi keluarga penerima PKH? 2. Bagaimanakah dukungan sosial keluarga dan manfaat PKH pada keluarga penerima PKH? 3. Bagaimanakah strategi koping fungsi ekonomi dan tingkat kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH? 4. Bagaimanakah hubungan antar karakteristik keluarga, dukungan sosial keluarga, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH? 5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi koping dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi pada keluarga penerima PKH. 2. Mengidentifikasi dukungan sosial keluarga dan manfaat PKH pada keluarga penerima PKH. 3. Mengidentifikasi strategi koping fungsi ekonomi dan tingkat kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH. 4. Menganalisis hubungan antar karakteristik keluarga, dukungan sosial keluarga, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH.
6
Kegunaan Penelitian Penelitian mengenai strategi koping dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga Penerima Keluarga Harapan (PKH) ini memiliki kegunaan, antara lain: a.
Bagi Peneliti. Penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain dapat mengasah kemampuan berfikir logis dan sistematik serta bermanfaat bagi pengembangan keilmuan sesuai bidang para peneliti. Selain itu, penelitian ini dapat mengeratkan kebersamaan antar peneliti, menumbuhkan jiwa kepemimpinan
(leadership)
dan
melatih
kedisiplinan
dalam
time
management. b.
Bagi Masyarakat. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai kondisi masyarakat miskin akibat kemiskinan dan krisis ekonomi serta strategi koping yang dilakukan keluarga miskin penerima PKH sehingga masyarakat umum mengetahui strategi apa yang paling efektif ketika dihadapkan dalam kondisi yang serupa.
c.
Bagi Institusi Pendidikan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan studi kepustakaan untuk penelitian selanjutnya serta memberikan sumbangan bagi perkembangan teori-teori ilmu keluarga terutama yang berkaitan dengan masalah strategi keluarga miskin terhadap pemenuhan kebutuhan hidup (pangan, sandang, papan, pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan).
d.
Bagi Pemerintah. Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Selain itu, sebagai input atau masukan bagi pemerintah dalam menentukan karakteristik keluarga miskin.
7
TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga Pengertian keluarga menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah, dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama (Puspitawati 2009). Tujuan dan Fungsi Keluarga Tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur atau hierarkis yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk memelihara kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih luas (Puspitawati 2009). Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi: 1. Fungsi keagamaan yaitu keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insane-insan agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Fungsi sosial budaya yaitu memberikan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. 3. Fungsi cinta kasih yaitu keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. 4. Fungsi melindungi yaitu untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan..
8
5. Fungsi reproduksi merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. 6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan yaitu dengan memberi peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan di masa depan. 7. Fungsi ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. 8. Fungsi pembinaan lingkungan yaitu memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah. Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya orangtua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan keluarga adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Fungsi pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang harus dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan merupakan
sumber
ekspresi
bagi
kebutuhan
gizi,
sehingga
mampu
melaksanakan segala aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung jawab keluarga. 2. Fungsi perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar dari anggota keluarga, maka kesempatan berkembang yang lebih luas dapat dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga akan mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Pendekatan Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat
9
meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sosial. Terdapat beberapa bagian dalam dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku. Adapun persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga menurut Levy (Megawangi 1999) sebagai sistem dapat berfungsi adalah: 1. Diferensiasi peran: Serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. 2. Alokasi solidaritas: Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi: Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Direfensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik: Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. 5. Alokasi integrasi dan ekspresi: Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Pendekatan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (2000) diacu dalam Puspitawati (2006) bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi
10
penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah (Puspitawati 2009). Kemiskinan Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga. mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya (BKKBN 1996). Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita/hr. Selain itu, Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari (Saefuddin et al. 2003). BPS (2008) menyebutkan secara absolut penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Jawa sebesar 12,04 juta jiwa dan pada tahun 2008 sebesar 11,42 juta jiwa. Angka ini merupakan angka paling besar jika dibandingkan dengan lima pulau lainnya. Jumlah penduduk miskin di Kawasan Barat Indonesia (KBI) pada tahun 2007 dan 2008 berturut-turut tercatat 17,24 juta jiwa dan 16,24 juta jiwa. Sementara di Kawasan Timur Indonesia (KTI) berturut-turut tercatat 6,37 juta jiwa dan 5,95 juta jiwa. Meskipun demikian persentase penduduk miskin di KTI lebih besar dibandingkan dengan di KBI. Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurut pulau, 2007 dan 2008 Pulau
Jumlah Penduduk Miskin (juta)
Sumatera Jawa Bali+Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku+Papua Kawasan Barat Indonesia Kawasan Timur Indonesia Indonesia Sumber: BPS 2008
2007 5,10 12,04 1,70 0,94 2,37 1,46 17,24 6,37 23,61
2008 4,73 11,42 1,60 0,85 2,22 1,38 16,24 5,95 22,19
Persentase Penduduk Miskin 2007 17,52 21,31 22,51 12,02 20,88 40,41 19,81 22,05 20,39
2008 16,02 10,05 20,98 10,69 19,30 37,35 18,47 20,31 18,93
Garis kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Penghitungan
11
Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (BPS 2008). Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2008 garis kemiskinan penduduk Indonesia menunjukkan peningkatan yang terus-menerus sehingga hal ini berdampak pada jumlah peduduk miskin yang semakin meningkat pula dari tahun 1996 hingga tahun 2008. Pada tahun 1996-1998 terjadi peningkatan garis kemiskinan yang sangat tajam yaitu dari Rp.42.032,- sampai Rp.96.959,- (kota) dan Rp.31.466,sampai Rp.72.780,- (desa). Hal ini terkait dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok meningkat. Tabel 2 Garis kemiskinan, jumlah, dan persentase penduduk miskin 1996-2008 Tahun
Garis Kemiskinan Kota Desa
Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota Kota Desa Kota dan Desa dan Desa 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42
1996 42.032 31.466 1998 96.959 72.780 1999 92.409 74.272 2000 91.632 73.648 2001 100.011 80.382 2002 130.499 96.512 2003 138.803 105.888 2004 143.455 108.725 2005 150.799 117.259 2006 174.290 130.584 2007 187.942 146.837 2008 204.896 161.831 Sumber: BPS 2008 Catatan: 1. Referensi waktu untuk seluruh data adalah Februari, kecuali data tahun 1998 (Desember) dan tahun 2006-2008 (Maret) 2. Data mulai tahun 1999 tanpa timor-timur.
Kemiskinan sering diukur berdasarkan indikator-indikator yang melekat pada seorang individu atau sebuah rumahtangga. Menurut Pakpahan et al. (1995), kemiskinan sering digambarkan oleh satu atau kombinasi dari tingkat pendapatan yang rendah, tingkat kematian balita yang tinggi, tingkat nutrisi rendah, kualitas perumahan yang buruk, dan lain-lain. Pengkategorian kemiskinan menurut indikator-indikator tersebut adalah upaya pengkategorian berdasarkan akibat (consequences atau output). Indikator kemiskinan yang digunakan dalam data BKKBN ada lima, yaitu: (1) tidak dapat beribadah secara rutin; (2) tidak dapat makan minimal dua kali
12
sehari; (3) tidak memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan; (4) jika salah satu anggota keluarga sakit tidak dapat memberikan pengobatan modern dan (5) bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. Adapun BPS menetapkan 14 kriteria keluarga miskin, seperti yang disosialisasikan oleh Djalil (2005), rumahtangga yang memiliki ciri rumahtangga miskin, yaitu: 1.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.
Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.
Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester.
4.
Tidak punya fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumahtangga lain.
5.
Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik.
6.
Sumber
air
minum
berasal
dari
sumur
atau
mata
air
tidak
terlindung/sungai/air hujan. 7.
Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/minyak tanah/arang.
8.
Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumahtangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,- per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak
memiliki
tabungan/barang
yang
mudah
dijual
dengan
nilai
Rp.500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor. atau barang modal lainnya. Ada satu kriteria tambahan lagi, tidak hanya terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumahtangga miskin, yaitu rumahtangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun lalu.
13
Keadaan keluarga yang serba kekurangan terjadi bukan karena kehendak keluarga yang bersangkutan, tetapi karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh keluarga telah membuat mereka menjadi Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. BKKBN (1996) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan keluarga masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yaitu: 1.
Faktor internal a. Kesakitan b. Kebodohan c. Ketidaktahuan d. Ketidakterampilan e. Ketertinggalan teknologi f. Ketidakpunyaan modal
2.
Faktor eksternal a. Struktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan. b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang dukung upaya peningkatan kualitas keluarga. c. Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan yang menyalahgunakan keluarga atau diri mereka sendiri.
3. Keluarga yang gagal adalah keluarga yang gagal kehilangan hampir semua energi karena permasalahan yang terjadi. 4. Keluarga penekan adalah keluarga yang tidak membebaskan para anggotanya untuk mengungkapkan perasaan secara spontan. 5. Keluarga yang berantakan adalah keluarga yang sibuk dengan aktivitas seharihari sehingga tidak ada waktu yang digunakan untuk bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain. 6. Keluarga yang “mandeg” adalah keluarga yang tidak sanggup dan khawatir untuk tumbuh sehingga tidak punya arah. 7. Keluarga yang dibuat-buat adalah keluarga yang terjadi karena menetapkan keputusan secara kolektif dan aktif untuk menghindari keputusan membentuk kaluarga baru lagi.
14
8. Keluarga yang terganggu adalah keluarga yang mengalami masa kritis. 9. Keluarga yang terobsesi adalah keluarga yang memiliki komponen keluarga “mandeg” dan terganggu, sehingga tipe keluarga ini tidak berkembang. 10. Keluarga yang tumbuh adalah keluarga yang dapat bangkit kembali dan mampu menghadapi masalah baik dalam mengatasi krisis dan konflik yang ada. Pemberdayaan Sosial Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang penanganannya membutuhkan keterkaitan berbagai pihak. Kemiskinan di Indonesia diiringi oleh masalah kesenjangan baik antargolongan penduduk maupun pembangunan antarwilayah, yang diantaranya ditunjukkan oleh buruknya kondisi pendidikan dan kesehatan serta rendahnya tingkat pendapatan dan daya beli, sebagaimana tercermin dari rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah
sejak
tahun
1960-an
telah
melaksanakan
program
penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sajak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosialekonomi. Pada tahun 1997, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 (Sumodiningrat 2009). Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan PinjamKoperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan program pembangunan
15
sektoral telah berhasil memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan (Sumodiningrat 2009). Upaya penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala penyebabnya. Upaya yang dimaksud tidak saja diarahkan untuk mengatasi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka membangun semangat dan kemandirian masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai pelaku dalam berbagai tahap pembangunan. Dalam konteks inilah, pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin menjadi sangat penting dan strategis. Menurut Sumodiningrat (2009) pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan yang tersedia di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan menurut Nasdian (2003) pemberdayaan merupakan suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol
sosial
dari
segala
aktivitas
pembangunan
yang
dilakukan
di
lingkungannya. Berbeda dengan Suharto (2005) yang mengartikan pemberdayaan sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan dengan tujuan adanya perubahan sosial yang mencakup masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan dan mampu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sumodiningrat (2009) upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui strategi yang terdiri atas lima komponen, yaitu: (1) Modal usaha, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan. Caranya dengan mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantuan dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
16
(2) Sumber daya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia di pedesaan. Caranya dengan meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi pendamping dan kelompok masyarakat miskin guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di tingkat desa melalui pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan. (3) Prasarana dan sarana, yaitu mengembangkan prasarana dan sarana pedesaan serta jaringan pemasaran, sehingga masyarakat pedesaan dengan mudah mendapatkan input produksi dan menjual produk ke pasar local, regional, nasional, bahkan internasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan penyedia jasa pendukung lainnya. (4) Penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat agar proses alih informasi dan teknologi; penyaluran dana dan investasi; proses produksi, distribusi, dan pemasaran; serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai kondisi lokal. (5) Sistem
informasi,
yaitu
meningkatkan
kemampuan
pemantauan,
pengendalian, dan pelaporan berbasis sistem informasi manajemen dan sistem informasi geografis. Program-program penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat justru memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik. Mengingat ada bermacam-macam tingkat sosial ekonomi masyarakat maka setiap tingkatan kemiskinan tersebut harus ditangani dengan solusi yang tepat. Berikut ini grand strategy pemberdayaan penduduk miskin melalui konsep tiga klaster (Sumodiningrat 2009). (1) Klaster 1, memberdayakan masyarakat miskin. Pada klaster 1 ini diperuntukkan bagi mereka yang termasuk dalam kelas the poorest of the poor. Kelompok ini harus diberikan bantuan langsung karena memang mereka sangat miskin sehingga perlu mendapat perlindungan dan bantuan sosial. Filosofinya, kelompok masyarakat seperti ini diberi “ikan” agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa program pada klaster ini antara
17
lain: PKH, Raskin, BOS, Jamkesmas, bantuan sosial untuk pengungsi korban bencana, bantuan untuk kelompok lansia, BLT. (2) Klaster 2, menuju kemandirian. Filosofi program klaster 2 ini diibaratkan sebagai kail. Dengan demikian, penerima program ini adalah mereka yang sudah dapat diajari bagaimana mencari ikan atau mengail. Pada program ini masyarakat tidak diberi ikan melainkan pancing, dengan harapan mereka bisa mencari ikan sendiri. Contoh program dalam klaster ini adalah PNPM mandiri. (3) Klaster 3, menciptakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Klaster ini menampung kelompok-kelompok masyarakat yang telah diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Filosofinya, kelompok masyarakat ini sudah diberi kail, jala, dan perahu. Pada klaster 3 ini, skema pendanaan menggunakan kredit dengan bunga pasar. Program yang termasuk dalam klaster ini adalah KUR mikro dan UMKM. PKH (Program Keluarga Harapan) Pada tahun 2007, pemerintah melaksanakan PKH dalam rangka upaya penanggulangan kemiskinan. Program ini pada prinsipnya memberikan bantuan tunai kepada rumahtangga sangat miskin melalui persyaratan menyekolahkan anaknya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun dan memeriksakan kesehatan serta pemberian makanan bergizi kepada anak-anak usia balita dan ibu hamil atau menyusui. Untuk jangka pendek, bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin. Sedangkan untuk jangka waktu yang lebih panjang, melalui peningkatan pendidikan serta perbaikan kondisi kesehatan dan gizi, dapat memutus rantai kemiskinan. Pemilihan Penerima Bantuan dan Syarat Program Penerima bantuan PKH adalah rumahtangga sangat miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun (atau usia 15-18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar) dan atau ibu hamil/nifas. PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM dengan mewajibkan RTSM tersebut
mengikuti
persyaratan
yang
ditetapkan
program,
yaitu:
(i)
menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri kelas minimal 85
18
persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan (ii) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu hamil dan ibu nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada RTSM yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program. Agar pemenuhan syarat ini efektif, maka bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumahtangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan). Hal ini karena umumnya ibu bertanggung jawab atas kesehatan, nutrisi, dan pendidikan anak-anaknya. Kewajiban Peserta PKH Kesehatan Kewajiban peserta PKH Kesehatan adalah mengunjungi fasilitas kesehatan (seperti; Puskesmas, Pustu, Polindes, Posyandu, Bidan desa), dengan persyaratan waktu kunjungan sesuai Tabel 3: Tabel 3 Kewajiban peserta PKH dalam mengunjungi fasilitas kesehatan Sasaran Peserta Ibu hamil Ibu melahirkan Ibu nifas Bayi usia 0-11 Bayi usia 1-6 tahun
Kewajiban Sekurangnya 3 bulan sekali Harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih Sekurangnya setiap 1 bulan setelah lahir selama dua bulan Sekurangnya setiap 1 bulan sekali Sekurangnya setiap 3 bulan sekali
Ketika mengunjungi fasilitas kesehatan tersebut, setiap peserta PKH berhak mendapatkan seluruh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan. Kewajiban Peserta PKH Pendidikan Peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun) namun belum terdaftar di sekolah wajib mendaftarkan anak tersebut ke sekolah SD/MI atau SMP/MTs atau satuan pendidikan setara SD atau SMP. Setelah terdaftar di satuan pendidikan. anak tesebut harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk memudahkan, jika peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun), anak-anak tersebut harus mendaftar di sekolah dan harus hadir sekurang-
19
kurangnya 85 persen setiap saat. Jika memiliki anak usia 15-18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar dan atau buta aksara, maka harus mendaftarkan anak tersebut ke sekolah terdekat atau satuan pendidikan non formal (seperti misalnya, keaksaraan fungsional, Paket A setara SD atau Paket B setara SMP atau pesantren setara SD/SMP). Jika telah terdaftar, anak tersebut harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk anak yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dandiketahui bahwa mereka tidak bisa mengikuti program sekolah/satuan pendidikan biasa (misalnya anak yang sudah lama diluar sistem sekolah, anak buta huruf, anak dengan kebutuhan khusus dan lain-lain), maka Ibu dari RTSM peserta PKH harus mengikutkan anak tersebut kedalam program persiapan pendidikan (seperti: rumah singgah, rumah perlindungan sosial anak (RPSA), panti sosial asuhan anak, dll) dan selanjutnya mendaftarkan anak tersebut ke satuan pendidikan formal atau non formal–Pendidikan Luar Sekolah (Pendidikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sanggar kegiatan belajar (SKB), dsb). Ketika melakukan pendaftaran anak ke satuan pendidikan tersebut. Ibu RTSM akan didampingi oleh pendamping PKH dari kantor UPPKH Kecamatan. Informasi nama sekolah dan atau nama penyelenggara pendidikan non formal selanjutnya harus dilaporkan ke pendamping PKH untuk keperluan pelaksanaan program lebih lanjut. Besaran Bantuan Dalam program PKH, besaran bantuan dipengaruhi oleh komposisi keluarga maupun tingkat pendidikan anak, selanjutnya diterapkan batas maksimum dan minimum penerimaan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Jika pembayaran terlalu tinggi, maka orang akan tergantung pada program ini. Jika pembayaran diberi dalam jumlah yang sama ke semua keluarga, menjadi tidak adil bagi kelurga yang memiliki anak banyak atau anak bersekolah ditingkat yang lebih tinggi mengingat pengeluaran pun relatif lebih besar dari keluarga kecil tidak terbebani biaya sekolah. Jika bantuan berdasar jumlah anak tanpa batasan, maka dikhawatirkan akan menghambat program BKKBN, selain itu membuka kesempatan kepada para penipu untuk mengakui anak orang lain
20
sebagai anaknya untuk memperoleh pembayaran. Secara garis besar skenario bantuan yang diberikan adalah sebagai berikut: Tabel 4 Besar bantuan penerima PKH Skenario Bantuan
Bantuan/RTSM/tahun
Bantuan tetap Bantuan bagi RTSM yang memiliki: a. Anak usia di bawah 6 tahun dan/atau Ibu hamil b. Anak usia SD/MI c. Anak usia SMP/MTs Rata-rata bantuan per RTSM Bantuan minimum per RTSM Bantuan maksimum per RTSM
200.000 800.000 400.000 800.000 1.390.000 600.000 2.200.000
Catatan: Besar bantuan adalah 16% rata-rata pendapatan RTSM per tahun. Batas minimum & maksimum adalah antara 15-25% pendapatan rata-rata RTSM/ tahun.
Sanksi terhadap Pelanggaran Komitmen Setiap bantuan yang diterima oleh peserta PKH memiliki konsekuensi sesuai komitmen yang ditandatangani Ibu penerima pada saat pertemuan awal. Apabila peserta tidak memenuhi komitmennya dalam satu triwulan, maka besaran bantuan yang diterima akan berkurang dengan rincian sebagai berikut: a. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam satu bulan, maka bantuan akan berkurang sebesar Rp.50.000,b. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam dua bulan, maka bantuan akan berkurang sebesar Rp.100.000,c. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam 3 bulan berturut-turut, maka tidak akan menerima bantuan dalam satu periode pembayaran. Ketentuan di atas berlaku secara tanggung renteng untuk seluruh anggota keluarga penerima bantuan PKH, artinya jika salah satu anggota keluarga melanggar komitmen yang telah ditetapkan, maka seluruh anggota dalam keluarga yang menerima bantuan tersebut akan menanggung akibat dari pelanggaran ini. Peserta dapat menggunakan bantuan PKH untuk keperluan apa saja asal mereka memenuhi syarat pendidikan dan kesehatan. Penggunaan uang bantuan tidak akan dimonitor oleh program (UPPKH Pusat 2007 dan Pusdiklat Kesos 2007).
21
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan menurut Sawidak (1985) merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi pendapatan tersebut. Lee dan Hanna (1990) diacu dalam Iskandar (2007) mendefinisikan kesejahteraan sebagai total dari net worth (manfaat yang benar-benar diperoleh) dan human capital wealth (kesejahteraan sumberdaya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai atas aset yang dimiliki dikurangi pengeluaran (liabilitas). Sedangkan kesejahteraan SDM dapat diduga melalui pendapatan yang dihasilkan oleh SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non aset. Kemudian disebutkan pula bahwa kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, ukuran rumahtangga, dan siklus hidup. Menurut World Health Organization (WHO) diacu dalam Suandi (2007), terdapat enam kategori kesejahteraan (quality of life or individu well being), yaitu fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, lingkungan, dan spiritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan keluarga, yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perumusan konsep kesejahteraan dilakukan oleh BPS dan BKKBN. Hasil rumusan BPS mengemukakan bahwa sebuah keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila: •
Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari keluarga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup masing-masing keluarga itu sendiri.
•
Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan
rumusan
yang
dikemukakan
oleh
BKKBN
tentang
kesejahteraan keluarga adalah: •
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial, dan agama.
22
•
Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga.
•
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Pendekatan Kesejahteraan Keluarga Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu berdasarkan pendekatan obyektif dan subjektif. Pendekatan obyektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Persepsi masyarakat, dapat dipahami sebagai suatu deskripsi interpretatif yang sifatnya sangat subjektif. Interpretasi subjektif tersebut bukan sesuatu yang dibuat-buat, tetapi atas kondisi yang memang mereka rasakan, dan berbeda dengan penafsiran secara kelompok maupun institusi (Iskandar 2007). Konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga. Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur kesejahteraan rumahtangga (Raharto dan Romdiati 2000). Pendekatan dengan indikator subjektif secara filosofi berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Masyarakat mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda dengan pandangan obyektif. Menurut Diener (2002) kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi dapat berupa pendapat kognitif, seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap suatu peristiwa. seperti perasaan emosi yang positif. “Quality of Life” adalah salah satu pendekatan untuk mengukur kepuasan atau kesenangan seseorang secara subjektif. Menurut Handoko (2000), yang dimaksud dengan tingkat kepuasan adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dirasakan seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang diperolehnya atau dengan kata lain tingkat kepuasan merupakan gambaran perasaan yang diperoleh dari suatu
23
tindakan yang telah diperbuat. Menurut Guhardja et al. (1992), puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai yang dianut maka diharapkan kepuasan akan terpenuhi. Unsur waktu juga ikut mempengaruhi rasa puas dan tidak puas. Pendekatan subjektif mendefinisikan kesejahteraan berdasarkan pemahaman masyarakat mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et al. 2002 diacu dalam Suandi 2007). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 org), keluarga sedang (5 – 7 org) dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 org) (BKKBN 2005). Menurut Arianti (2002) besar keluarga ditentukan oleh jumlah anggota keluarga. biasanya jumlah anak. Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Sumarwan (2003) menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga. Jumlah dan pola konsumsi suatu barang atau jasa ditentukan oleh jumlah anggota keluarga atau rumahtangga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah jauh lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anggota keluarganya lebih sedikit. Tipe Keluarga Berdasarkan tipenya, keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yakni: (1) keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan anak-anak yang belum kawin, atau anak yang secara resmi dianggap anak kandung. (2) keluarga luas yaitu keluarga yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti dan merupakan satu kesatuan sosial, serta tempat tinggal dalam satu rumah.
24
Lama dan Tingkat Pendidikan Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Hasil penelitian Megawangi et al. (1994) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, kemampuan melihat kedepan dengan mengadakan perencanaan biaya dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi penduduk, dan semakin banyak anggota rumahtangga cenderung tidak dapat merencanakan biaya. Mangkuprawira (2002) dalam hasil penelitiannya membuktikan bahwa pengeluaran rumahtangga untuk investasi pendidikan dipengaruhi secara positif oleh faktor pendidikan suami dan pengeluaran total rumahtangga secara negatif dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami dan total pengeluaran rumahtangga, maka semakin besar pula pengeluaran nominal rumahtangga untuk pendidikan. Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi. Pada umumnya mereka juga mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al. 1992). Pendidikan dan kesejahteraan adalah dua aspek yang saling mempengaruhi. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998 diacu dalam Nuryani 2007). Lama pendidikan diukur berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Berdasarkan UU No 2/1989 (pasal 3 jo. Pasal 13) dan PP No 28/1990 (pasal 1 jo. Pasal 3), esensi dan ciri-ciri pendidikan dasar yaitu: 1. Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum, artinya merupakan pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara. 2. Pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun. 3. Pendidikan dasar tidak bersifat uniform.
25
4. Pendidikan dasar diselenggarakan di jalur sekolah pada berbagai jenis dan satuan pendidikan. 5. Lulusan pendidikan dasar adalah setara. 6. Tujuan pendidikan dasar adalah menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang menengah dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna di masyarakat. Pendapatan Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumahtangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Selain itu, Roedjito (1986) diacu dalam Rambe (2004) menyatakan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh paling besar terhadap analisis kategori pengeluaran. Sumber penghasilan rumahtangga berupa pendapatan yang digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumahtangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, rumahtangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengonsumsi makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan. maka lambat laun akan terjadi pergeseran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (BPS 2003). Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan merupakan indikator yang baik bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang. melainkan terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang. maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Oleh karena itu, pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap
26
kekuatan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting dan Penny 1984 diacu dalam Nuryani 2007). Alokasi Pengeluaran Pola pengeluaran keluarga merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui tingkat kehidupan masyarakat. Berbagai karakteristik pribadi dan situasi
yang
menyertainya
akan
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
membelanjakan uangnya. Karakteristik tersebut diantaranya adalah ambisi, keahlian, kesejahteraan hidup, standar hidup, usia anggota keluarga, jenis kelamin dari masing-masing anggota keluarga, kesukaan dan ketidaksukaan serta kemampuan besar kecilnya pengeluaran yang dilakukan oleh individu atau keluarga (Raines 1964). Anggaran terbesar dari rumahtangga adalah untuk makanan, proporsi pengeluaran total untuk makanan menurun dengan peningkatan pendapatan, proporsi pengeluaran total untuk pakaian dan perumahan diperkirakan konstan, sementara proporsi pengeluaran untuk barang-barang mewah bertambah dengan ketika pendapatan meningkat. Bagian dari pendapatan rumahtangga yang diperoleh dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga petani menurut Hukum Engel menyatakan bahwa semakin rendah penghasilan seseorang semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk makanan. Pola pengeluaran rumahtangga dapat mencerminkan tingkat kehidupan suatu
masyarakat.
Mangkuprawira
(1985)
membagi
jenis
pengeluaran
rumahtangga menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Secara naluriah setiap individu keluarga lebih dahulu memanfaatkan setiap pengeluarannya untuk pangan kemudian untuk non pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak lepas dari pendapatan, besar anggota keluarga, pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim. Menurut Myers (1991), pengeluaran rumahtangga meliputi pengeluaran untuk pangan, perumahan, transportasi, pendidikan, alat-alat rumahtangga, asuransi, pemeliharaan kesehatan, dan dana pensiun. non makanan yang dimaksud adalah pengeluaran rumahtangga/anggota rumahtangga saja.
27
Dukungan Sosial Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau isteri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang itu berbeda. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, juga bagi keluarga dalam menjalani kehidupan perkawinannya dan bagi pelaksanaan pengasuhan anak. Gottlieb (1985) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial. Kendig (1986) mendefinisikan dukungan sosial sebagai “kesenangan, bantuan atau keterangan yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok”. Djarkasih (1987) mengartikan dukungan sosial adalah: “sejumlah orang dengan siapa ia berinteraksi, frekuensi hubungan dengan orang lain atau persepsi individu tentang kecukupan hubungan pribadi, pertukaran informal atau material, tersedianya suatu kepercayaan dan kepuasan kebutuhan dasar”. Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan adalah “pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial keadaan seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah”. Sarafino (1996) mengartikan dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi diantara anggota dan saling membantu. sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang. Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan, terdiri dari: 1. Dukungan Emosi (Emotional Support) Turner (1983) mengemukakan bahwa dukungan emosi ini sangat penting dan dibutuhkan setiap individu dalam setiap periode kehidupan, curahan perhatian
28
yang mendalam membuat individu dapat mencurahkan perasaannya, hal ini sangat membantu kesehatan mental dan kesejahteraan individu. 2. Dukungan Instrumen (Instrumental Support) Bentuk dukungan instrumen melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu (Sarafino 1996). Dukungan berupa materi atau jasa yang diberikan oleh orang lain kepada individu sebagai penerima dukungan dapat berbentuk uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas transportasi, memberi pinjaman uang atau barang rumahtangga lainnya, menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak (Borgatta 1992). Sumber-Sumber Dukungan Sosial Sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara keberlanjutan dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari individu-individu anggota keluarga, dimana mereka merupakan anggota kelompok yang dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial. Sesuai dengan pendapat Collins et al. (1993) diacu dalam Tati (2004) membagi dukungan sosial dalam tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu: a. The significant other help the individual mobilize his psychological resources and master his emotional burdens. b. They share his tasks; and c. They provide him with extra supplies of money, materials, tools, skills and cognitive guidance to improve the handling of his sitiation. Berdasarkan tiga elemen di atas, dapat diartikan bahwa dukungan sosial lainnya yang signifikan membantu individu memobilisasi sumber-sumber psikologisnya dan penguasaan tekanan emosionalnya; mereka membagi tugastugasnya; dan selanjutnya mereka memberikan uang tambahan, material, peralatan, keterampilan-keterampilan dan petunjuk yang bersifat kognitif untuk mengembangkan pengendalian situasinya. Secara operasional sumber-sumber dukungan sosial dibagi kedalam dua golongan, yaitu: a. Sumber dukungan informal, antara lain:
29
1. Sumber dukungan individu seperti suami/isteri, tetangga, saudara, teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, material dan informasi. 2. Sumber dukungan kelompok yaitu dari kelompok-kelompok sosial seperti kelompok PKK, BKB, Karang taruna. b. Sumber dukungan formal, dapat diperoleh dari bidang: 1. Profesional seperti psikiatri, psikolog, pekerja sosial atau spesialis lainnya. 2. Pusat-pusat pelayanan antara lain: rumah sakit, BP4, panti sosial, atau lembaga-lembaga pelayanan lainnya. Sumber utama dukungan sosial yang potensial terdapat dalam keluarga, sebab dalam keluarga mempunyai fungsi-fungsi dukungan tertentu yang tidak dapat berubah, seperti dukungan suami terhadap isteri untuk melaksanakan perannya sebagai isteri atau terhadap isteri dalam memerankan seorang ibu untuk melaksanakan pengasuhan anak, dengan cara suami memberi simpati, perhatian, dan kepercayaan yang dilandasi kasih saying, akan memberi kekuatan yang besar pengaruhnya terhadap isteri dalam melaksanakan tugas dan peranannya. Sebagaimana dikatakan Purnomosari (2004) bahwa dukungan sosial yang positif akan membuat ibu dapat melaksanakan tugas dan peranannya dengan perasaan aman dan nyaman dalam mengelola rumahtangga dan melaksanakan pengasuhan anak. Strategi Koping Keluarga Definisi dan Pengertian Pearlin & Schooler (1978;1982) diacu dalam Puspitawati (1992) mendefinisikan koping sebagai tingkah laku yang melindungi seseorang dari pengalamannya akibat dari psikologis yang merugikan. Sedangkan menurut Mc Cubbin et al. (1980) dalam Puspitawati (1992), koping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga peningkatan kebebasan dan penghargaan pada diri kita sendiri, mempertahankan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Selain itu, menurut Folkman & Lazarus (1984) strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu
30
kondisi ke lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi tak terduga, yang mana secara empirical disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Mekanisme koping merupakan suatu perubahan konstan dari usaha kognitif dan tingkah laku untuk menata tuntutan eksternal dan internal yang nilainya sebagai hal yang membebani atau melebihi sumber daya individu (Lazarus dan Folkman 1984). Strategi koping dalam pemenuhan kebutuhan hidup termasuk dalam “koping” dimana merupakan upaya-upaya keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan baik dengan berhemat atau mengganti bahan pangan tertentu. Berhemat adalah sebuah strategi keluarga untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting seperti rencana rekreasi, yang bertujuan dalam menanggulangi pada saat susah (Puspitawati 1998). Perilaku koping menurut Lazarus (1976) diacu dalam Lukman (2002) sebagai: (1) perilaku tindakan yang langsung melawan ancaman atau lari dari ancaman (melawan atau lari) dan di desain untuk mengubah hubungan stress dengan lingkungan fisik atau sosial, (2) bentuk intrapsychic koping merupakan mekanisme pertahanan (misalnya penolakan) yang lebih didesain untuk mengurangi munculnya emosi dibandingkan untuk mengubah situasi. Tindakan dan pikiran dapat membuat seseorang lebih baik jika mereka tidak dapat mengubah sumber stres. Jenis Mekanisme Strategi Keluarga Puspitawati (1998) menyebutkan dua macam strategi koping keluarga yakni: (1) Strategi penghematan (Cutting-Back Expenses) dan (2) Strategi peningkatan pendapatan (Income Generating Strategy). Disebutkan pula bahwa strategi peningkatan pendapatan adalah strategi yang lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan strategi penghematan pengeluaran dan tidak berpengaruh banyak pada konflik keluarga. Hasil penelitian Puspitawati (1998) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi keluarga dalam menghadapi konflik alokasi keuangan, adalah: 1. Tingkat kemiskinan keluarga (Proverty Level)
31
2. Strategi Penghematan Pengeluaran (Cutting-Back) Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi koping keluarga, yaitu internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi koping internal, yaitu: (1) Mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki. Keluarga melakukan strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam keluarga, yakni dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat lebih disiplin dan patuh, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat memecahkan masalah, karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. (2) Penggunaan humor. Menurut Hott diacu dalam Friedman (1998), perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stres. (3) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara untuk mengatasi masalah dalam keluarga adalah: adanya waktu untuk bersama-sama dalam keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama, adanya kegiatan bersama keluarga, beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman pekerjaan maupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga. Cara seperti ini dapat membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta dapat mengatasi tingkat stress, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah keluarga. (4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan koping yang efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling
32
efektif untuk mengatasi stressor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif. Menurut Folkman et al. diacu dalam Friedman (1998), keluarga yang menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian yang penyebab stres. (5) Pemecahan
masalah
bersama.
Pemecahan
masalah
bersama
dapat
digambarkan sebagai situasi dimana setiap anggota keluarga dapat mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan. (6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi koping yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi koping fungsional yang penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga. (7) Normalisasi. Salah satu strategi koping keluarga yang biasa dilakukan untuk menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan koping terhadap sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan keluarga. Knafl dan Deatrick diacu dalam Friedman (1998), mengatakan bahwa normalisasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat menggambarkan respons keluarga terhadap stres. Strategi koping eksternal ada empat yaitu: (1) Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah memberikan respons secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stressor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenai dan membantu keluarga menilai stressor secara lebih akurat. (2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Koping berbeda dengan koping yang menggunakan sistem dukungan sosial. Koping ini merupakan suatu koping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah koping yang dapat meningkatkan stressor spesifik tertentu. Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi, dan kelompok komunitas.
33
(3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi koping keluarga eksternal yang utama. Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga kelompok professional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan bersama. Menurut Caplan diacu dalam Friedman (1998), terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat. Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga gagal
untuk
menangani
masalahnya sendiri,
maka
keluarga
harus
dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dilakukan melalui organisasi. (4) Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha mencari dukungan spiritual anggota keluarga untuk mengatasi masalah. Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi keluarga dalam mengatasi stres. Menurut Deacon dan Firebaugh (1981), keluarga memiliki strategi koping apabila terjadi perubahan pendapatan sehingga akan mempengaruhi alokasi pengeluaran keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan akan mempengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah keluarga. Perubahan pendapatan akan mengubah selera dan kebutuhan juga upaya keluarga untuk dapat mewujudkan secara kualitatif tujuan yang akan dicapai.
34
KERANGKA PEMIKIRAN Kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia selama bertahun-tahun menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah meningkatnya harga kebutuhan pokok yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun khususnya pada keluarga miskin. Keluarga merupakan sebuah sistem dimana didalamnya terdapat elemen-elemen yang dapat mendukung atau membantu keluarga mancapai tujuannya. Cara keluarga dalam menggunakan sumberdaya berbeda-beda, oleh karena itu output yang dihasilkan oleh keluarga juga berbeda. Elemen keluarga tersebut terdiri dari input, throughput dan output. Input (sumberdaya manusia dan materi) dalam proses manajemen merupakan modal yang digunakan untuk mencapai output (kesejahteraan subjektif), sedangkan proses perubahan input menuju output disebut sebagai “throughput” (strategi koping fungsi ekonomi dan dukungan sosial). Keluarga miskin membutuhkan strategi koping (throughput) yang tinggi demi mencapai kesejahteraan subjektif (output). Menurut Friedman (1998) strategi koping merupakan suatu respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau memerangi stres akibat peristiwa tertentu.
Strategi
koping
dikelompokkan
menjadi
strategi
penghematan
pengeluaran dan penambahan pendapatan. Selanjutnya dalam troughput, keluarga memiliki dukungan sosial yang berasal dari keluarga besar dan tetangga. Dukungan sosial dijadikan sebagai salah satu proses yang mendukung keefektifan dari strategi koping fungsi ekonomi keluarga. Kualitas kesejahteraan subjektif yang dicapai selain ditentukan oleh kualitas sumberdaya yang dimiliki juga ditentukan oleh keefektifan strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan. Strategi koping yang sesuai dengan sumberdaya keluarga yang dimiliki akan mempermudah pencapaian tujuan keluarga. Apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai yang dianut maka diharapkan kepuasan akan terpenuhi (Guhardja et al. 1992). Menurut Santamarina et al. (2002) diacu dalam Suandi (2007) kesejahteraan subjektif dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain. Dengan demikian, tingginya tingkat kepuasan yang dirasakan akan menentukan tingkat kesejahteraan subjektif keluarga.
35
Kemiskinan
Tekanan Ekonomi Keluarga
Karakteristik Keluarga Demografi: • Umur • Besar keluarga • Tipe Keluarga • Aset
Strategi Koping Fungsi Ekonomi: • Strategi penghematan • Strategi penambahan pendapatan
Kesejahteraan Keluarga Subjektif
Dukungan Sosial: • Keluarga Besar • Tetangga
Sosial & Ekonomi: • Pendidikan orangtua • Pekerjaan orangtua • Pendapatan • Alokasi Pengeluaran
Input
Throughput
= diteliti
= diteliti
= tidak diteliti
= tidak diteliti
Output
Gambar 2 Kerangka pemikiran strategi koping dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH
METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul “FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga dan Prestasi Belajar Anak pada Keluarga Penerima PKH”. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan disain cross sectional study dimana data dikumpulkan pada satu waktu dan tidak berkelanjutan (Umar 2003). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor Kecamatan Dramaga. Penetapan lokasi tersebut dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut termasuk dalam lima kecamatan dengan rumahtangga terbanyak penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan selain itu kemudahan untuk dijangkau. Pengambilan data dimulai pada akhir Mei hingga bulan Juli 2009, sedangkan pengolahan data hingga penyusunan laporan dilakukan pada bulan Agustus sampai bulan Desember 2009. Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Dramaga. Contoh dalam penelitian ini adalah ibu pada keluarga penerima PKH dengan kriteria mempunyai anak usia sekolah kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar (SD). Alasannya adalah karena ibu merupakan orang utama yang mengatur keuangan keluarga. Selain itu, peneliti melakukan IndepthInterview dengan kriteria sebagai berikut: (1) Bersedia meluangkan waktu untuk menceritakan kehidupan keluarganya baik mengenai pangan, keadaan kesehatan, pekerjaan, pendidikan anak, dan keuangan keluarga dan bersedia menjadi responden. (2) Dapat berkomunikasi dengan baik yang ditentukan dengan sengaja yang memenuhi syarat seperti keluarga janda dengan anak kurang dari tiga dan lebih dari tiga, keluarga lengkap dengan anak kurang dari tiga dan lebih dari tiga, dan keluarga lengkap dengan suami bekerja dan tidak bekerja. Menurut Guilford and Fruchter (1973) diacu dalam Puspitawati (2006) Besarnya jumlah contoh dapat ditentukan menggunakan rumus Slovin: n=
N 1 + Ne2
Keterangan: n = Besar sampel yang diperlukan, N = jumlah anggota populasi, e = error
37
Apabila jumlah populasi (N) = 220, galat (e) = 0,05, maka jumlah minimum sampel penelitian adalah sebagai berikut: n=
220 1 + 220 (0,05)2
= 142 keluarga
Untuk mengantisipasi kesalahan yang mungkin terjadi pada saat pengambilan data, maka jumlah contoh yang diambil sengaja dilebihkan, sehingga total contoh adalah 150. Selanjutnya penentuan jumlah contoh untuk setiap desa dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah populasi Kecamatan Dramaga. Tabel 5 Sebaran jumlah populasi penerima PKH dan jumlah contoh di Kecamatan Dramaga, Bogor No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Desa
Jumlah Populasi
Purwasari Petir Sukadamai Sukawening Neglasari Sinarsari Ciherang Dramaga Babakan* Cikarawang*
36 86 245 28 57 69 54 51 7 44
TOTAL
677
Jumlah Contoh 11 29 82 13 25 27 17 16 0 0 220
Jumlah Contoh Proporsional 8 20 56 9 17 18 12 11 0 0 150
Sumber : Unit Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Desa Babakan. Laporan Pencairan Dana Bulan Desember 2008. Keterangan : * tidak dijadikan lokasi penelitian karena digunakan populasi kecil dan lokasi uji coba instrument
Penentuan contoh dilakukan secara acak sistematik. Metoda yang digunakan untuk pengambilan contoh, yaitu dengan menggunakan daftar rumahtangga penerima PKH yang kemudian diambil secara Proportional Random Sampling. Keuntungan jenis sampling ini adalah (Agresti & Finlay 1999): 1. Jika populasi dirangking berdasarkan sifat-sifat yang berhubungan akan memberikan efek stratifikasi, sehingga mengurangi keragaman dibandingkan dengan Simple Random Sampling. 2. Kesederhanaan penarikan contoh mudah untuk dicek. 3. Mudah penggunaannya, bahkan lebih mudah dari penggunaan tabel angka acak.
38
4. Kesalahan pengambilan unsur relatif tidak penting, sehingga bila peneliti salah menghitung dan mengambil unsur ke 11 dari seharusnya unsur ke 10, tidak akan terlalu berpengaruh. 5. Memudahkan pemeriksaan setiap individu ke-n telah disertakan. 6. Metode yang cepat untuk memperoleh contoh. Langkah-langkah dalam penentuan contoh secara acak sistematik adalah: 1. Jumlah contoh yang akan diambil untuk studi ini adalah 150. Sebanyak 150 rumahtangga contoh tersebut terkelompok dalam delapan desa, sehingga untuk setiap desa diambil sampel secara proporsional. Sebagai contoh pada desa I atau Desa Purwasari (N=11) jumlah contohnya adalah 8. Untuk menentukan contoh ditentukan selang interval contoh sebagai berikut: Sample Interval = 11/8 = 1,37 ~ 1. 2. Penentuan contoh pertama ditentukan secara acak, misalnya contoh pertama akan dimulai dari rumahtangga nomor urut 1 dari Desa Purwasari. Dengan selang interval 1 maka sampel kedua dan seterusnya adalah rumahtangga dengan nomor 3, 5, 7,…. demikian seterusnya hingga diperoleh 8 sampel. Pada desa berikutnya dilakukan hal yang sama, sehingga terkumpul 150 sampel dari 8 desa yang terpilih. Apabila terjadi kegagalan wawancara maka diambil responden dengan nomor urut berikutnya dalam desa yang sama, kecuali jika jumlah responden dalam desa tersebut telah habis maka pindah ke desa lainnya, sehingga responden yang telah ditentukan tidak tergeser oleh responden pengganti.
39
Metode pemilihan contoh dapat diringkas dalam Gambar 3: Pemilihan Kabupaten Bogor (wilayah Miskin)
Secara Purposive
Kecamatan Dramaga
Secara Purposive Wawancara
Ds.1 Ds.2
Ds.3
Ds.4
Ds.5
Ds.6
150
Ds.7 Ds.8
Proporsional
Acak sistematis Indepth Interview
Keluarga janda Keluarga lengkap Anak < 3 dan >3 anak < 3 dan > 3 n= 2 n= 2
Keluarga lengkap suami bekerja dan tidak bekerja n= 2
n= 6 Gambar 3 Tahapan pemilihan contoh
Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi dan sosial ekonomi keluarga, dukungan sosial, manfaat PKH, strategi koping fungsi ekonomi dan tingkat kesejahteraan subjektif dengan metode wawancara yang menggunakan kuesioner dan Indepth Interview. Sedangkan untuk data sekunder meliputi data potensi desa, jumlah penduduk miskin, dan penerima PKH yang diperoleh dari kantor Kecamatan Dramaga.
40
Tabel 6 Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran, skala data dan uji reliabilitas Jenis Data
Primer
Primer
Variabel Karakteristik demografi keluarga: 1. Umur 2. Besar keluarga 3. Tipe keluarga 4. Aset Karakteristik sosial ekonomi keluarga: 1. Pendidikan orangtua 2. Pekerjaan orangtua 3. Pendapatan 4. Alokasi pengeluaran Dukungan Sosial
Primer
Primer
Strategi koping fungsi ekonomi 1. Strategi penghematan 2. Strategi penambahan pendapatan
Primer
Kesejahteraan Subjektif 1. Data penerima PKH
Sekunder 2. Profil desa dan kecamatan
Alat & Cara Pengukuran Kuesioner dengan wawancara langsung dan Indepth Interview
Kuesioner dengan wawancara langsung dan Indepth Interview Kuesioner dengan wawancara langsng dan Indepth Interview Kuesioner dengan wawancara langsung dan Indepth Interview Kuesioner dengan wawancara langsung dan Indepth Interview Kantor kecamatan & Pendamping PKH Kantor desa/kelurahan
Skala Data
α
Rasio Rasio Nominal Rasio Ordinal Nominal Rasio Rasio Ordinal
0,607
0,750 Ordinal Ordinal Ordinal
0,847
Nominal Nominal
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS 10. Tahapan-tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup: 1. Penyusunan code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data 2. Setelah data dientri, kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Reliabilitas data dicek dengan menyajikan statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai minumun untuk setiap peubah 3. Skoring terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian 4. Analisis deskriptif dan uji beda t Paired T-test 5. Analisis menggunakan korelasi Rank Spearman. 6. Analisis menggunakan regresi linier berganda.
41
Data karakteristik keluarga meliputi umur, besar keluarga, struktur keluarga, aset, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita. Menurut BKKBN (2005) besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Dalam penelitian ini umur dikelompokkan berdasarkan Hurlock 1980 yang membagi usia menjadi usia dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (4060), dan dewasa lanjut (> 60 tahun). Struktur keluarga dikategorikan berdasarkan keluarga inti (keluarga yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anakanak yang belum kawin, atau anak yang secara resmi dianggap anak kandung) dan keluarga luas (keluarga yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti dan merupakan satu kesatuan sosial, serta tempat tinggal dalam satu rumah). Jumlah aset dilihat dari jumlah aset yang dimiliki keluarga dan dibandingkan kepemilikan aset antara sebelum dan saat menerima PKH. Jumlah aset dinilai berdasarkan jenis aset yaitu barang elektronik, kendaraan, mebel, peralatan rumahtangga, ternak, kepemilikan lahan, rumah. Nilai aset yang dimaksudkan berupa aset yang telah diuangkan menurut harga pembelian. Lama pendidikan dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan program wajib belajar 9 tahun yaitu ≤ 9 tahun dan > 9 tahun, sedangkan tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi Tidak tamat SD, Tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tidak pernah sekolah. Pekerjaan dikelompokkan menjadi tidak bekerja, buruh non-tani, buruh tani, wiraswasta/berdagang/jasa, supir dan lainnya. Sedangkan untuk istri dikelompokkan menjadi tidak bekerja, PRT, buruh tani, buruh non-tani, dagang, dan lainnya. Pendapatan per kapita diperoleh dari total pendapatan keluarga dalam setahun dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga diperoleh dari total pendapatan saat ini baik yang berasal dari pendapatan seluruh anggota keluarga dan penerimaan diluar pendapatan. Total pengeluaran diperoleh berdasarkan hasil recall dalam kisaran waktu satu tahun terakhir. Alokasi pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran pangan dan non pangan. Menurut Slamet (1993) diacu dalam Puspitawati (2006), pembuatan interval kelas menggunakan rumus berikut: Interval kelas (I) = Nilai tertinggi (NT)-Nilai terendah (NR) Jumlah kelas
42
Dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosi dan instrumen, dinilai berdasarkan sumber dukungan sosial seperti keluarga besar dan tetangga. Data dukungan sosial diberi skor 1 jika jawabannya tidak, dan skor 2 jika jawabannya ya. Langkah selanjutnya skor dijumlahkan berdasarkan sumber dukungan sosial dan dibuat penggolongan interval berdasarkan Slamet (1993), sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori rendah jika jumlah dukungan yang diperoleh berkisar antara 6-7, kategori sedang jika jumlahnya berkisar antara 8-9, dan kategori tinggi jumlahnya berkisar antara 10-12. Data strategi koping fungsi ekonomi dilihat dari dua sub item pertanyaan yaitu mengurangi pengeluaran dan menambah pendapatan. Data strategi koping fungsi ekonomi diberi skor 1 jika jawabannya tidak pernah, skor 2 jika jawabannya kadang-kadang dan skor 3 untuk jawaban sering. Langkah selanjutnya skor dijumlahkan dan dibuat penggolongan interval berdasarkan Slamet (1993), sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori rendah jika jumlah dukungan yang diperoleh berkisar antara 41-68, kategori sedang jika jumlahnya berkisar antara 69-96, dan kategori tinggi jumlahnya berkisar antara 97-123. Dalam penelitian ini, data kesejahteraan diukur berdasarkan satu pendekatan kesejahteraan saja yaitu, kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan 22 item pertanyaan tentang kepuasan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan pemenuhan kebutuhan sosial di dalam masyarakat. Masing-masing pertanyaan diberi skor berdasarkan skala likert, yaitu skor 1= tidak puas, 2=cukup puas, 3=puas. Selanjutnya, skor yang diperoleh dari masing-masing pertanyaan dijumlahkan, kemudian dibuat penggolongan interval berdasarkan Slamet (1993), sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori rendah jika jumlah dukungan yang diperoleh berkisar antara 22-36, kategori sedang jika jumlahnya berkisar antara 37-52, dan kategori tinggi jumlahnya berkisar antara 53-66. Pengolahan dan analisis data-data di atas dilakukan secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain: nilai maksimum, minimum, rata-rata dan standar deviasi sedangkan analisis inferensia yang
43
digunakan, yaitu uji beda t Paired t-test, uji korelasi Rank Spearman dan uji regresi linier berganda. Pengolahan dan analisis tersebut berdasarkan tujuan penelitian, seperti: 1. Uji beda t Paired t-test, digunakan untuk melihat perbedaan kondisi antara sebelum dan saat menerima PKH, seperti melihat kepemilikan aset. 2. Uji Korelasi Rank Spearman. Digunakan untuk melihat hubungan antar dua variabel, seperti karakteristik keluarga dengan dukungan sosial, karakteristik keluarga dengan strategi koping fungsi ekonomi (meliputi strategi penghematan dan penambahan pendapatan) dan karakteristik keluarga dengan kesejahteraan subjektif. Selain itu, digunakan untuk menguji hubungan antara dukungan sosial, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif. 3.
Uji linier berganda. Digunakan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH. Adapun persamaan regresi linier berganda pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + …..+ E Keterangan: Variabel Dependen: Y = Kesejahteraan Subjektif Variabel Independent: X1= usia istri X2= lama pendidikan istri X3= Besar anggota keluarga X4= Dukungan Sosial X5= Nilai Aset dalam rupiah X6= Strategi koping fungsi ekonomi X7= Dana PKH X8 = Total pengeluaran
44
Definisi Operasional Karakteristik Keluarga adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing keluarga, seperti umur, besar anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran. Besar Anggota Keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah. Lama Pendidikan adalah jumlah tahun yang dilalui keluarga dalam menyelesaikan jenjang pendidikan. Pendapatan Per kapita adalah pendapatan total yang diterima keluarga dari pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun penerimaan dari luar yang dikonversikan dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga dan dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Pengeluaran Per kapita adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan yang dikonservasikan dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga dan dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Kepemilikan Aset Keluarga adalah seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga berupa rumah milik sendiri, alat elektronik, kendaraan/transportasi, peralatan rumah tangga, furniture dan ternak yang dihitung berdasarkan jumlah dan dikonversikan kedalam nilai uang. Dukungan Sosial adalah bantuan yang berasal dari keluarga besar dan tetangga untuk mengatasi masalah ekonomi, pengasuhan, kesehatan dan konflik dalam keluarga. Dukungan Sosial Keluarga Besar adalah dukungan yang diterima keluarga dari keluarga besarnya, baik keluarga besar suami dan keluarga besar istri. Dukungan sosial keluarga besar diukur melalui dimensi emosi dan instrument. Dukungan Sosial Tetangga adalah dukungan yang diterima keluarga dari orang yang tinggal berdampingan dengan tempat tinggalnya. Dukungan sosial tetangga diukur melalui dimensi emosi dan instrument.
45
Strategi Koping Keluarga adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi masalahnya baik dengan cara berhemat atau menambah pendapatannya dengan cara mengandalkan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Strategi penghematan adalah kemampuan suatu keluarga untuk meyelesaikan masalahnya dengan cara mengurangi atau mengganti kebutuhan hidupnya dengan pengeluaran seminimal mungkin. Strategi penambahan pendapatan adalah kemampuan suatu keluarga untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara menambah atau mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhannya. Kesejahteraan Subjektif adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan kepuasan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga dan pendapatan per kapita keluarga.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu rata-rata 250C – 300C. Jarak Kecamatan Dramaga dengan ibukota Kabupaten Bogor ± 30 km, adapun batas administratif Kecamatan Dramaga sebagai berikut: ¾ Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Kec. Rancabungur
¾ Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kec. Kota Bogor Barat
¾ Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kec. Ciampea
¾ Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kec. Ciomas dan Tamansari
Secara administratif Kecamatan Dramaga terbagi dalam 10 desa dengan total penduduk sebesar 91.874 jiwa. Dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Dramaga, 3 (tiga) terbesar jumlah penduduknya adalah Desa Petir, Desa Ciherang dan Desa Dramaga (Tabel 7). Tabel 7 Desa-desa di Kecamatan Dramaga dan jumlah penduduk No Nama Desa Jumlah Penduduk (jiwa) 1 Sukawening 7.399 2 Petir 12.289 3 Purwasari 6.355 4 Neglasari 8.601 5 Ciherang 12.238 6 Cikarawang 7.953 7 Dramaga 11.420 8 Babakan 10.742 9 Sinarsari 7.386 10 Sukadamai 7.491 Jumlah 91.874 Sumber: Profil Kecamatan Dramaga
Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga per 31 Desember 2008 sebanyak 92.019 jiwa yang terdiri dari laki-laki 47.248 jiwa dan perempuan 44.771 jiwa. Adapun keadaan Penduduk di Kecamatan Dramaga berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 8. Sebagian besar penduduk Kecamatan Dramaga berprofesi sebagai petani/peternak dan pengusaha/wiraswasta.
47
Tabel 8 Data penduduk menurut mata pencaharian No Mata Pencaharian 1 Karyawan Swasta 2 PNS 3 TNI/POLRI 4 Pengusaha/Wiraswasta 5 Petani/Peternak 6 Buruh
Jumlah 209 947 64 5.167 6.113 3.832
Sumber: Profil Kecamatan Dramaga
Kondisi Sosial Budaya Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada upaya peningkatan pendidikan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, pengetahuan kesehatan dan kehidupan Sosial Budaya. Di Kecamatan Dramaga kesempatan memperoleh pendidikan dapat ditempuh melalui lembaga pendidikan formal yang ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan, (Tabel 9). Tabel 9 Data jumlah sekolah No Nama sekolah 1 PAUD 2 Taman Kanak-kanak 3 Sekolah dasar Negeri 4 SMP Negeri 5 SMP Swasta 6 SMA Negeri 7 SMA/K Swasta 8 Perguruan Tinggi
Jumlah sekolah 10 Buah 10 Buah 34 Buah 2 Buah 7 Buah 1 Buah 3 Buah 1 Buah
Sumber: Profil Kecamatan Dramaga
Pada bidang sosial budaya, pembinaan terhadap peningkatan kualitas kependudukan sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, sedangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pula kepada keadaan perekonomian masyarakat. Kondisi Perekonomian Denyut nadi perekonomian di Kecamatan Dramaga didukung oleh sarana dan prasarana wilayah yang ada. Jaringan transportasi di Kecamatan Dramaga cukup baik, kondisi jalan relatif baik, sebagian besar telah beraspal dan seluruh
48
desa yang ada di Kecamatan Dramaga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 (empat) sepanjang tahun. Jalan kabupaten 75 Km dan jalan desa 35 Km, kondisi jalan aspal 79 Km, jalan diperkeras 8 Km dan jalan tanah 19 Km. Sedangkan prasarana perekonomian yang ada adalah 4 buah KUD Mandiri, dan jumlah keseluruhan toko/kios sebanyak 724 buah. Penerima Dana PKH Terdapat sebanyak 677 keluarga di Kecamatan Dramaga yang memperoleh dana PKH (Tabel 10). Dari kesepuluh desa di kecamatan ini, Desa Sukadamai merupakan desa dengan jumlah penerima PKH terbanyak, yaitu sebesar 245 keluarga. Tabel 10 Sebaran jumlah penerima PKH di 10 desa di Kec Dramaga No Desa Jumlah Keluarga Penerima PKH 1 Purwasari 36 2 Petir 86 3 Sukadamai 245 4 Sukawening 28 5 Neglasari 57 6 Sinarsari 69 7 Ciherang 54 8 Dramaga 51 9 Babakan 7 10 Cikarawang 44 Total 677 Sumber: Unit Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Desa Babakan. Laporan Pencairan Dana Bulan Desember 2008.
Dari setiap desa ditetapkan beberapa ketua kelompok PKH sebagai penghubung atau penyampai informasi dari pendamping PKH ke keluarga perserta PKH. Jumlah ketua di setiap desa disesuaikan dengan jumlah penerima PKH di desa tersebut. Adapun tugas yang harus dikerjakan oleh ketua PKH, yang juga sebagai peserta PKH adalah mengumpulkan data dari para peserta PKH seperti jumlah anak yang sekolah dan jumlah balita. Selain itu, ketua kelompok PKH juga bertugas memegang dan mencatat tabungan peserta PKH.
49
Karakteristik Keluarga Karakteristik Demografi Keluarga Besar Keluarga. Besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, sedang dan keluarga besar. Keluarga kecil yaitu keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan empat orang, sedangkan keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga antara lima sampai tujuh orang dan keluarga besar adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari tujuh orang (BKKBN 2005). Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Besar keluarga ini akan mempengaruhi besarnya pemenuhan kebutuhan pokok (Arianti 2002) dan mendorong istri untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarga dengan bekerja di luar rumah. Hatmadji dan Anwar (1993) diacu dalam Rambe (2004) juga menjelaskan bahwa jumlah anggota keluarga sedikit akan menyebabkan beban keluarga berkurang sehingga tanggungan keluarga menjadi kecil. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga No Besar Keluarga n 1 Kecil (<= 4 org) 33 2 Sedang (5-7 org) 87 3 Besar (> 7 org) 30 Total 150 Rata-Rata±SD 6,03 Kisaran (min, max) 3
% 22 58 20 100 1,87 13
Sumber: berdasarkan BKKBN 2005
Besar keluarga contoh berkisar antara 3 sampai 13 orang. Berdasarkan Tabel 11, lebih dari separuh keluarga contoh (58%) termasuk dalam kategori keluarga sedang. Dari rata-rata besar keluarga contoh dapat disimpulkan, bahwa keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Tipe Keluarga. Berdasarkan tipenya keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni: (1) keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak yang belum kawin, atau anak yang secara resmi dianggap anak kandung, (2) keluarga
50
luas yaitu keluarga yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti dan merupakan satu kesatuan sosial, serta tempat tinggal dalam satu rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (84%) termasuk dalam kategori keluarga inti (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga No Tipe keluarga n 1 Keluarga Inti 126 2 Keluarga Luas 24 Total 150
% 84 16 100
Usia. Pengkategorian usia pada penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980) yang mengkategorikan usia dewasa menjadi 3 kelompok yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Sebanyak 48 persen suami termasuk dalam usia dewasa madya sedangkan untuk usia istri lebih dari separuh (58,7%) termasuk dalam kategori usia dewasa awal. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan usia suami-istri Suami Kategori Usia No n % 1 Dewasa awal (18-40 th) 51 34,0 2 Dewasa madya (41-60 th) 72 48,0 3 Dewasa lanjut (>60 th) 9 6,0 4 Meninggal atau pisah 12 8,0 Total 150 100,0 Rata-rata+SD 44,4 10,4 Kisaran (min, max) 24 85,0
Istri n 88 61 0 1 150 38,4 18
% 58,7 40,6 0 0,7 100,0 8,1 58,0
Kategori usia: Berdasarkan Hurlock 1980
Rata-rata usia suami pada keluarga contoh sebesar 44,4 th, sedangkan rata-rata umur istri sebesar 38,4 th. Berdasarkan rata-rata usia terlihat bahwa ratarata usia suami lebih besar dibandingkan dengan usia istri. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia suami lebih tua dibandingkan dengan usia istri. Tingkat dan Lama Pendidikan. Tingkat pendidikan suami dan istri pada keluarga contoh tersebar pada berbagai tingkat pendidikan, yaitu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SLTA dan tidak pernah sekolah. Tidak ada suami atau istri yang tingkat pendidikannya sampai dengan perguruan tinggi atau akademi. Persentase terbesar tingkat pendidikan suami pada
51
keluarga contoh adalah 42,7 persen termasuk dalam kategori tamat SD, sedangkan persentase terbesar tingkat pendidikan istri pada keluarga contoh, yaitu 58,7 persen termasuk dalam kategori tidak tamat SD. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan suami pada keluarga contoh lebih tinggi dibandingkan dengan istri. Selain itu, data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh baik suami maupun istri tergolong rendah bahkan ada beberapa dari contoh yang tidak pernah sekolah (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Suami No Tingkat Pendidikan n % 1 Tidak pernah sekolah 9 6,0 2 Tidak Tamat SD 50 33,3 3 Tamat SD 64 42,7 4 Tamat SMP 8 5,3 5 Tamat SLTA 1 0,7 Total 150 100,0 Rata-Rata+SD 5,0 2,7 Kisaran (min, max) 0 14,0
Istri n 18 88 39 3 1 150 4,9 0
% 12,0 58,7 26,0 2,0 0,7 100,0 3,5 14,0
Keterangan: Suami meninggal/pisah= 12 persen; istri meninggal/pisah= 0,7 persen
Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan RPJPD (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan persentasenya semakin kecil, yaitu tercatat yang tamat SD sebanyak 9,82 persen, tamat SLTP 0,43 persen, dan yang tamat SLTA 0,5 persen. Pendidikan yang semakin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosio-ekonomi dan kemandirian yang semakin baik. Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar pula kesempatan untuk memperolah pekerjaan yang lebih baik dan sebagai implikasinya seseorang juga akan mendapatkan penghasilan yang besar untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Dengan menggunakan ukuran tamat pendidikan dasar 9 tahun sebagai batas, hampir seluruh suami (87,3%) dan istri (98,7%) pada keluarga contoh termasuk dalam kategori belum memenuhi program wajib belajar dikarenakan lama pendidikannya masih di bawah sembilan tahun (Tabel 15).
52
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan No Lama Pendidikan Suami n % 1 <= 9 th 131 87,3 2 > 9 th 1 0,7 Total 150 100,0
Istri n 148 1 150
% 98,7 0,7 100,0
Keterangan: meninggal/ pisah suami (12%) dan Istri (0,7%)
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Pekerjaan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pekerjaan suami antara sebelum dan saat menerima PKH cukup bervariasi. Persentase terbesar dari suami, yaitu bekerja sebagai buruh non-tani baik sebelum maupun saat menerima PKH, yaitu sebesar 40,7 persen dan 38,7 persen. Disamping itu, kurang dari separuh suami baik sebelum (28,7%) dan saat (28%) menerima PKH bekerja sebagai buruh tani. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan suami yang tergolong rendah, terlihat bahwa sebagian besar suami memiliki pekerjaan yang tergolong rendah. Hal ini berarti bahwa sebagian besar pekerjaan suami hanya membutuhkan keterampilan fisik bukan pekerjaan dari bidang akademisi, bahkan saat penelitian ini berlangsung terdapat suami yang tidak memiliki pekerjaan yaitu sebelum dan saat menerima PKH berturut-turut 3,3 persen dan 4,7 persen. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami No Pekerjaan Utama Suami Sebelum PKH(%) 1 Tidak bekerja 3,2 2 Buruh non-tani 40,7 3 Buruh tani 28,7 4 Wiraswasta/pedagang/jasa 11,4 5 Supir 6,0 6 Lainnya 2,0 Total 92,0
Saat PKH (%) 4,5 38,7 28,0 10,0 5,4 1,4 88,0
Keterangan: sebelum PKH meninggal/pisah = 8 persen, saat PKH meninggal/pisah= 12 persen.
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan bahwa persentase pekerjaan suami saat menerima PKH mengalami penurunan dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa saat menerima PKH terdapat beberapa suami contoh yang tadinya bekerja menjadi tidak bekerja walaupun persentasenya kecil. Hasil ini diperkuat dalam Tabel 17 yang menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pekerjaan suami dari bekerja menjadi tidak bekerja yaitu
53
sebesar dua persen. Secara deskriptif, terlihat bahwa hampir keseluruhan suami contoh (82%) antara sebelum dan saat menerima PKH tetap dengan pekerjaan utama yang sama. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan perubahan pekerjaan suami No 1 2 3 4 Total
Perubahan Pekerjaan Utama Suami Tetap dengan pekerjaan yang sama Bekerja menjadi tidak bekerja Tidak bekerja menjadi bekerja Tetap tidak bekerja
n 123 3 2 4 132
% 82,0 2,0 1,3 2,7 88,0
Keterangan: meninggal/pisah 12 persen org
Pekerjaan istri. Proporsi istri yang bekerja baik sebelum (46%) dan saat menerima PKH (47,4%) lebih sedikit dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja baik sebelum (54%) dan saat menerima PKH (52,6%). Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa persentase terbesar pekerjaan istri baik sebelum (19,3%) dan saat (19,3%) menerima PKH, yaitu sebagai buruh tani. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri No Jenis Pekerjaan Utama Istri Sebelum PKH (%) 1 Tidak bekerja 54,0 2 PRT 12,0 3 Buruh tani 19.3 4 Buruh non-tani 8,0 5 Dagang 4,7 6 Lainnya 1,4 Total 99,3
Saat PKH (%) 52,6 10,0 19,3 11,3 4,0 2,1 99,3
Keterangan: Pisah 0,7 persen baik sebelum maupun saat PKH
Selain bekerja sebagai buruh tani sebanyak 8 (delapan) persen (sebelum PKH) dan 11,3 persen (saat PKH) istri bekerja sebagai buruh non-tani. Jika diamati antara sebelum dan saat menerima PKH terdapat perubahan persentase, yaitu sebesar 3,3 persen. Perubahan persentase ini dapat menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah dari sebelum dan saat menerima PKH, Istri yang sebelumnya tidak bekerja menjadi bekerja sebagai buruh non-tani. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan salah satu contoh (istri) dapat diketahui bahwa salah satu motivasi mengapa mereka memilih untuk bekerja atau memiliki
54
pekerjaan sampingan seperti berdagang adalah untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama dalam hal keuangan keluarga. Hasil lain menunjukkan bahwa kurang dari separuh istri (48%) antara sebelum dan saat menerima PKH tidak mengalami perubahan, yaitu tetap tidak bekerja. Terdapat 40,7 persen dari istri yang tetap dengan pekerjaan yang sama antara sebelum dan saat menerima PKH. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan perubahan pekerjaan istri No Perubahan Pekerjaan Utama Ibu n 1 Tetap dengan pekerjaan yang sama 61 2 Bekerja menjadi tidak bekerja 7 3 Tidak bekerja menjadi bekerja 9 4 Tetap tidak bekerja 72 Total 149
% 40,7 4,7 6,0 48,0 99,3
Keterangan: Meninggal/Pisah 0,7 persen org
Pendapatan Per Kapita. Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumahtangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Suatu keluarga dikatakan sejahtera apabila pendapatan per kapita/bl di atas garis kemiskinan, sedangkan keluarga dikatakan tidak sejahtera apabila pendapatan per kapita/bl keluarga berada di bawah garis kemiskinan (BPS 2008). Kriteria kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat, yaitu lebih dari sama dengan Rp.175.193,- (tidak miskin) dan kurang dari Rp.175.193,(miskin) (BPS Jawa Barat 2009). Pengkategorian pendapatan per kapita/bl dalam penelitian ini, dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu kurang dari sama dengan Rp.87.596,-, Rp.87.597,- sampai Rp.175.193,-, Rp.175.194,- sampai Rp.262.789,-, Rp.262.790,- sampai Rp.350.386,-, dan lebih dari Rp.350.386,-. Total pendapatan per kapita/bl contoh merupakan total pendapatan dari seluruh anggota keluarga termasuk penerimaan yang berasal dari PKH. Lebih dari separuh contoh (50,7%) memiliki pendapatan per kapita/bl antara Rp.87.597,sampai Rp.175.193,-. Sebanyak 32 persen contoh memiliki pendapatan per kapita/bl kurang dari Rp.87.596,- artinya bahwa contoh tergolong sangat miskin. Disamping itu, hanya 0,6 persen contoh yang memiliki pendapatan per kapita/bl
55
diatas Rp. 350.386,- artinya bahwa contoh bukan termasuk keluarga sangat miskin (Tabel 20). Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita/bl No Kategori Pendapatan n % 1 ≤ 87.596 (≤ 0,5 GK) 48 32,0 2 87.597 sampai 175.193 (0,5-1,0 GK) 76 50,7 3 175.194 sampai 262.789 (1,0-1,5 GK) 22 14,7 4 262.790 sampai 350.386 (1,5-2,0 GK) 3 2,0 5 >350.386 (> 2,0 GK) 1 0,6 Total 150 100,0 Rata-rata±SD 125.401±60.965 Kisaran (min, max) 27.094,373.688 Kontribusi dana PKH terhadap total pendapatan per kapita/bl ternyata cukup tinggi persentasenya. Sebanyak 21,3 persen contoh berada pada kategori lebih dari sama dengan 40 persen, artinya bahwa dana PKH menyumbang lebih dari 40 persen terhadap total pendapatan. Di sisi lain, pada kategori kurang dari sepuluh persen hanya 4,7 persen contoh. Persentase terbesar contoh (29,3) pada kategori 20 sampai 30 persen, artinya bahwa dana PKH menyumbang sebanyak 20 sampai 30 persen dari total pendapatan per kapita/bl (Tabel 21). Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan persentase kontribusi dana PKH terhadap total pendapatan per kapita/bl No Persentase kontribusi n % 1 <10 (%) 7 4,7 2 10-20 (%) 40 26,7 3 20-30 (%) 44 29,3 4 30-40 (%) 27 18,0 5 ≥40 (%) 32 21,3 Total 150 100,0
Total Pengeluaran per Kapita Keluarga Pengeluaran keluarga terbagi menjadi dua, yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk non pangan dalam bentuk per kapita/bl. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat pada Tabel 22 yang menunjukkan bahwa persentase pengeluaran pangan lebih besar daripada pengeluaran non pangan.
56
Pengeluaran pangan. Tabel 22 menunjukkan bahwa pengeluaran ratarata per bulan keluarga contoh mempunyai persentase terbesar untuk pengeluaran pangan per perkapita/bl sebesar 61,7 persen yang jauh lebih besar daripada ratarata pengeluaran non pangan per bulan, yaitu 38,3 persen. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekirman (1991) diacu dalam Iskandar (2007) yang menyebutkan bahwa di negara-negara maju persentase pengeluaran untuk makanan terhadap pengeluaran biasanya berada di bawah 50 persen, sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar di atas 50 persen. Sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin rendah penghasilan seseorang maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk makanan (Sumarwan 2003). Tabel 22 Rata-rata persentase pengeluaran per kapita/bl Kategori Rp/ kap/bl 124.929 I. Pangan 77.371 II. Non Pangan 1. Kesehatan 12.153 2. Pendidikan 24.402 3. Perbaikan rumah 734 4. Listrik, telepon dan air mineral 5.083 5. Bahan bakar dan bensin/solar 5.387 6. Keperluan pesta dan upacara 4.352 7. Transportasi 6.485 8. Sumbangan, kematian 996 9. Tabungan 815 10. Rokok 16.964 Total rata-rata 202.300
% 61,7 38,3 6,0 12,1 0,3 2,5 2,7 2,2 3,2 0,5 0,4 8,4 100,0
Pengeluaran non pangan. Rata-rata pengeluaran non pangan keluarga contoh sebesar 38,3 persen dimana digunakan untuk pengeluaran pendidikan sebesar 12,1 persen dan untuk pengeluaran kesehatan sebesar 6 persen. Namun, perlu dicermati disini bahwa pengeluaran keluarga contoh untuk rokok mencapai 8,4 persen yang jauh lebih besar jika dibandingkan pengeluaran untuk kesehatan. Keluarga contoh banyak yang tidak menyadari bahwa pengeluaran untuk rokok lebih besar dibandingkan pengeluaran lainnya. Hal ini disebabkan oleh manajemen keuangan yang kurang baik dan harga yang murah dari rokok itu sendiri yang ketika diakumulasikan dengan frekuensi mengonsumsi menyebabkan total pengeluaran menjadi besar. Disamping itu, persentase pengeluaran keluarga
57
contoh untuk menabung hanya 0,4 persen dari pengeluaran total sehingga sebagian besar dari keluarga contoh tidak memiliki uang tabungan untuk kebutuhan mendatang. Guhardja et al. (1992) menyebutkan bahwa individu dan keluarga berpendapatan rendah biasanya mempunyai orientasi untuk masa sekarang saja daripada orientasi untuk masa depannya dalam perspektif waktu. Aliran Dana PKH. Dana PKH yang diterima oleh masing-masing contoh berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan ketentuan dari program PKH. Penggunaan atau alokasinya pun berbeda pada setiap keluarga. Secara umum, 64 persen contoh menggunakan dana PKH untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, sedangkan 36 persen contoh lainnya menggunakan untuk memenuhi kebutuhan non pendidikan seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Secara lebih rinci, alokasi pengeluaran dana PKH baik pengeluaran pendidikan maupun non pendidikan dapat dilihat pada Tabel 23. Berdasarkan total rata-rata diketahui bahwa
pengeluaran
untuk
non
pendidikan
(Rp.570.264,-)
lebih
besar
dibandingkan dengan pengeluaran pendidikan (Rp.444.265,-). Pengeluaran pendidikan paling banyak teralokasikan untuk membeli tas dan sepatu sebanyak 116 contoh dengan rata-rata Rp.30.624,- dan yang kedua, sebanyak 99 contoh menggunakan dana PKH untuk membeli seragam merah putih dengan total ratarata Rp.26.859,-. Adapun untuk pengeluaran non pendidikan paling besar (96 contoh dengan rata-rata Rp.16.701,-) teralokasikan untuk membeli beras (kebutuhan pangan). Jika dilihat berdasarkan alokasi pengeluaran dana PKH non pendidikan terdapat ketidaksesuaian mengenai penggunaan dana PKH. Terdapat beberapa contoh yang mengalokasikan dana PKH untuk modal usaha (Rp.55.435,-),
potongan
RT
(Rp.29.917,-),
memberikannya
(Rp.8.071,-), kepada
memberikannya
suami
(Rp.2.833,-),
ke
orangtua sumbangan
(Rp.25.778,-), pembuatan akta (Rp.45.000,-), membeli emas (Rp.59.166,-), dan untuk hajatan (Rp.100.000,-). Hal tersebut di atas dinilai menyimpang karena tidak sesuai dengan tujuan dasar program PKH sendiri yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Namun kenyataannya ada contoh yang mengalokasikan dana PKH untuk membeli emas dan memberikannya kepada orangtua serta suami.
58
Tabel 23 Rata-rata alokasi pengeluaran dana PKH per bulan No Pengeluaran n Pendidikan 1 Uang transpor 8 2 Uang jajan 50 3 Uang BP3 2 4 SPP 15 5 Uang les 6 6 Buku tulis 93 7 Buku pelajaran 23 8 Tas dan sepatu 116 9 Alat tulis 80 10 Meja belajar 0 11 Ektrakulikuler 1 12 Komite sekolah 5 13 LKS 34 14 Seragam merah/putih 99 15 Seragam pramuka 16 16 Baju olahraga 26 17 Perpisahan 29 18 Bangku 8 19 Samenan 4 20 Baju TK 1 Total Rata-rata pengeluaran pendidikan Non pendidikan 1 Beras 96 2 Hutang 66 3 Listrik 64 4 Kebutuhan dapur 53 5 Tabungan 76 6 Modal usaha 13 7 Potongan ketua 71 8 Potongan RT 33 9 Transportasi PKH 26 10 Baju dan keperluan anak 6 11 Transportasi mengujungi orangtua 4 12 Susu 2 13 Suami 2 14 Arisan 2 15 Sumbangan 3 16 Pembuatan akta 2 17 Memperbaiki rumah 2 18 Keperluan kesehatan 4 19 Emas 2 20 Hajatan 2 Total Rata-rata pengeluaran non pangan Total pengeluaran pendidikan dan non pendidikan Keterangan: Rata-rata 1= nilai rata-rata dari masing-masing n Rata-rata 2= nilai rata-rata dari total n
Rata-rata 1
Rata-rata 2
3.792 15.100 83.500 26.911 35.167 10.695 11.087 30.624 5.933 0 667 17.000 6.225 26.859 19.396 16.731 23.328 16.667 21.250 73.333 444.265
202 5.033 1.113 2.691 1.407 6.631 1.700 23.683 3.164 0 5 567 1.411 17.727 2.069 2.900 4.510 889 567 489 76.758
16.701 26.688 11.607 30.858 10.965 55.435 6.089 8.071 13.935 10.389 29.917 7.333 2.833 2.833 25.778 45.000 78.333 28.333 59.166 100.000 570.264 1.014.529
10.689 11.743 4.952 10.903 5.556 4.804 2.882 1.776 2.415 416 798 98 38 38 516 600 1.044 755 789 1.333 62.145 138.903
Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada beberapa contoh, alasan memberikan dana PKH yaitu karena merasa kasian kepada suami, walaupun jumlahnya kecil namun tujuannya agar suami ikut merasakan dana PKH misalnya
59
untuk membeli rokok. Hal lain yang dirasakan kurang sesuai yaitu untuk membeli emas (kebutuhan sekunder) padahal disisi lain contoh merasakan kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada 6 contoh yang mewakili tiga tipe keluarga dapat diketahui bahwa keluarga janda dan keluarga lengkap dengan jumlah anak kurang dari tiga memiliki pengeluaran non pendidikan, lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pendidikan. Sama halnya dengan keluarga dengan kondisi suami tidak bekerja pengeluaran non pendidikan lebih besar daripada pengeluaran pendidikan (Tabel 24). Tabel 24 Persentase alokasi dana PKH dari hasil wawancara mendalam No Tipe Keluarga yang Pengeluaran diwawancara mendalam Pendidikan (%) Non pendidikan (%) 1 Keluarga janda dengan anak 28,0 72,0 kurang dari tiga 2 Keluarga janda dengan anak 74,0 26,0 lebih dari tiga 3 Keluarga lengkap dengan anak 14,0 86,0 kurang dari tiga 4 Keluarga lengkap dengan anak 56,0 44,0 lebih dari tiga 5 Keluarga lengkap dengan suami 60,0 40,0 bekerja 6 Keluarga lengkap dengan suami 19,0 81,0 tidak bekerja Rata-rata 41,8 58,2 Pada keluarga janda anak kurang dari satu dana PKH paling besar teralokasikan untuk membeli beras yaitu mencapai Rp.26.667,-/bl berbeda dengan keluarga janda yang memiliki anak lebih dari tiga alokasi pengeluaran terbesar untuk membayar SPP dan untuk membeli tas dan sepatu (masing-masing mencapai Rp.50.000,-/bl dan Rp.56.667,-/bl). Pada keluarga lengkap anak kurang dari tiga contoh mengalokasikan sebagian besar penerimaannya untuk keperluan hajatan yaitu mencapai Rp.100.000,-. Sedangkan pada keluarga lengkap anak lebih dari tiga alokasi terbesar digunakan untuk membeli kebutuhan sekolah seperti tas dan sepatu yaitu sebesar Rp.70.000,-/bl dan selain itu untuk modal usaha yaitu sebesar Rp.50.000,-/bl. Pada keluarga ini terdapat penyimpangan karena dana PKH yang diberikan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya yaitu
60
untuk hajatan dan modal usaha, sedangkan tujuan utama PKH sendiri adalah untuk membantu keluarga sangat miskin dalam memenuhi kebutuhan dibidang pendidikan dan kesehatan. Pada keluarga lengkap dengan suami bekerja pengeluaran untuk pendidikan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran non pendidikan. Alokasi terbesar pengeluaran pendidikan yaitu untuk membeli tas dan sepatu (Rp.25.000,-/bl). Berbeda pada keluarga lengkap dengan suami tidak bekerja pengeluaran non pendidikan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pendidikan. Pengeluaran non pendidikan paling besar teralokasikan untuk membeli kebutuhan dapur yang mencapai Rp.24.000,-/bl (Lampiran 6).
Kepemilikan Aset dan Jumlah Hutang Kepemilikan aset meliputi kepemilikan rumah, transportasi (motor dan sepeda), ternak (kambing, ayam, itik, kelinci, ikan, angsa, bebek), elektronik (radio, video, kipas angin, HP, televisi, seterika, kulkas, dispenser, dan rice cooker), perlengkapan dapur (lemari makan, oven, mesin jahit, kompor gas, kompor minyak), furniture (kursi tamu, meja makan, tempat tidur, lemari pakaian, lemari hias, lemari buku). Pada Tabel 25 diketahui bahwa dari 150 keluarga contoh 66,7 persen memiliki rumah sendiri baik sebelum maupun saat menerima PKH. Berbeda dengan alat transportasi hanya 12 persen (sebelum PKH) dan 12,7 persen (saat PKH) contoh memiliki sepeda sebagai alat untuk mobilitas. Sedangkan untuk ternak, persentase terbanyak yang dimiliki oleh contoh adalah ayam (masingmasing 24,7 persen sebelum PKH dan 30,7 persen saat PKH). Untuk alat elektronik sendiri, sebelum PKH hampir separuh contoh (49,3%) memiliki televisi dan saat menerima PKH sedikit mengalami kenaikan menjadi 50,7 persen contoh. Perlengkapan dapur yang paling banyak dimiliki oleh contoh adalah kompor gas karena memang sebagian besar dari contoh menerima bantuan dari pemerintah melalui program Konversi Minyak Tanah ke Gas yang dilaksanakan pada tahun 2008. Disini terjadi kenaikan jumlah atau persentase yang sangat tajam antara sebelum menerima PKH (10%) dan saat menerima PKH (70,7%) yaitu mencapai 60,7 persen.
61
Tabel 25 Persentase contoh berdasarkan kepemilikan aset keluarga No 1 2 2.a 2.b 3 3.a 3.b 3.c 3.d 3.e 3.f 3.g 4 4.a 4.b 4.c 4.d 4.e 4.f 4.g 4.h 4.i 5 5.a 5.b 5.c 5.d 5.e 6 6.a 6.b 6.c 6.d 6.e 6.f
Aset Rumah (milik sendiri) Transport Motor Sepeda Ternak Kambing Ayam Itik Kelinci Ikan Angsa Bebek Elektronik Radio Vidio Kipas angin HP Televisi Seterika listrik Kulkas Dispenser Rice Cooker Perlengkapan dapur Lemari makan Oven Mesin jahit Kompor gas Kompor minyak Furniture Kursi tamu Meja makan Tempat tidur Lemari pakaian Lemari hias Lemari buku Uji beda T
Sebelum PKH (n=150) Ada % 100 66,7
Saat PKH (n=150) Ada % 100 66,7
3 18
2,0 12,0
3 19
2,0 12,7
18 37 5 0 2 0 2
12,0 24,7 3,3 0 1,3 0 1,3
18 46 7 2 5 1 3
12,0 30,7 4,7 1,3 3,3 0,7 2,0
33 14 8 8 74 53 2 3 10
22,0 9,3 5,3 5,3 49,3 35,3 1,3 2,0 6,7
32 18 7 20 76 31 4 9 10
21,3 12,0 4,7 13,3 50,7 20,7 2,7 6,0 6,7
11 4 3 15 72
7,3 2,7 2,0 10,0 48,0
7 4 4 106 48
4,7 2,7 2,7 70,7 32
21 9 109 108 3 3
14,0 6,0 72,7 72,0 2,0 2,0 0,031*
16 8 74 77 3 3
10,7 5,3 49,3 51,3 2,0 2,0
Furniture yang paling banyak dimiliki oleh contoh adalah tempat tidur (sebelum PKH 72,7%; saat PKH 49,3%) dan lemari pakaian (sebelum PKH 72%; saat PKH 51,3%). Persentase contoh yang memiliki tempat tidur dan lemari pakaian antara sebelum dan saat menerima PKH mengalami penurunan masingmasing sebesar 23,4 persen dan 20,7 persen. Menurut pengakuan beberapa contoh saat wawancara, mereka pernah menjual tempat tidur dan lemari pakaiannya karena sedang membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
62
Berdasarkan hasil uji beda t kepemilikan aset menunjukkan adanya perbedaan (p=0,031) antara sebelum dan saat menerima PKH. Seluruh contoh memilih untuk berhutang ketika dihadapkan pada kondisi yang sulit. Saat wawancara berlangsung diketahui bahwa besaran hutang pada setiap contoh berbeda-beda. Pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa 32 persen contoh memiliki hutang kurang dari Rp.49.999,-. Disisi lain sebanyak 22,7 persen contoh memiliki hutang lebih dari Rp.500.000,-. Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada salah satu contoh diketahui bahwa saat menerima PKH contoh cenderung lebih berani untuk berhutang karena mereka beranggapan bahwa ada kepastian dapat melunasi hutang dari dana PKH yang diperoleh. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan jumlah hutang No Kategori jumlah hutang 1 <49.999 2 50.000-99.999 3 100.000-199.999 4 200.000-299.999 5 300.000-399.999 6 400.000-499.999 7 >500.000 Total Rata-rata±Sd
n % 48 32,0 18 12,0 27 18,0 14 9,3 3 2,0 6 4,0 34 22,7 150 100,0 470.362,7±1.015.429,9
Rasio Hutang dan Aset dalam Rupiah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (55,3%) memiliki hutang yang lebih besar daripada nilai aset yang dimiliki. Rumahtangga sangat miskin cenderung memiliki aset dalam jumlah yang kecil. Mereka memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan hanya untuk kebutuhan pangan sehari-hari saja. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam, salah satu contoh mengungkapkan bahwa “Boro-boro neng untuk beli peralatan rumahtangga atau bahkan perhiasan untuk makan sehari-hari saja bingung uang dari mana”. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan saat dilapang diketahui bahwa sebagian besar contoh memiliki rumah sangat sederhana. Walaupun rumah sendiri namun merupakan peninggalan atau warisan dari orangtuanya (Tabel 27).
63
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan rasio hutang dan aset dalam rupiah No Kategori rasio hutang dan aset n 1 >50 % 83 2 <=50% 67 Total 150
% 55,3 44,7 100,0
Kesesuaian Penerima Program PKH dengan Kriteria Rumahtangga Miskin Keluarga yang mendapatkan dana PKH harus memiliki kriteria rumahtangga miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Komunikasi dan Informasi. Adapun kriteria-kriteria yang dimaksud terdiri atas 14 item, yaitu luas dan jenis lantai bangunan, jenis dinding bangunan, fasilitas jamban dan kakus, sumber air minum, sumber penerangan utama, jenis bahan bakar untuk masak, kemampuan membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, frekuensi makan dalam sehari, kemampuan membeli pakaian baru dalam setahun, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, lapangan pekerjaan utama kepala rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga dan kepemilikan aset liquid (minimum Rp.500.000,-) (Depkominfo 2005 diacu dalam Agustina 2006). Tabel 28 Persentase contoh berdasarkan kriteria rumahtangga miskin No
Pernyataan
1
Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8m2 per orang (luas rumah total/besar anggota keluarga) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan Jenis dinding rumah terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa di plester Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumahtangga lain Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik Sumber penghasilan kepala rumahtangga adalah petani dengan luas 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lain dengan pendapatan < Rp.600.000,-/bl Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp.500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Ya % 60,7
Tidak % 39,3
44,0
56,0
71,3
28,7
72,0
78,0
18,0 86,7
82,0 13,3
66,7
33,3
93,3 98,7 56,0 49,3 88,7
6,7 1,3 44,0 50,7 11,3
98,0
2,0
94,7
5,3
64
Hampir seluruh contoh, hanya sanggup mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu, membeli satu stel pakaian baru dalam jangka waktu satu tahun, pendidikan tertinggi kepala rumahtangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD, bahkan tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual senilai Rp.500.000,-. Selain itu, sebagian besar contoh memiliki sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan dan mempunyai sumber penghasilan sebagai petani dengan luas lahan 0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp.600.000,-. Contoh yang tidak menggunakan listrik sebagai alat penerangan hanya 18 persen. Sedangkan untuk kondisi tempat tinggal dan konsumsi pangan lebih dari separuh contoh memiliki kriteria seperti luas lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa di plester, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumahtangga lain, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah dan hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Sekitar 40-50 persen contoh menyatakan bahwa jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan dan tidak sanggup membayar biaya pengobatan puskesmas/poliklinik. Berdasarkan Tabel 28, dapat dilihat bahwa masih terdapat contoh yang tidak memenuhi kriteria rumahtangga miskin. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran pemberian dana PKH pada keluarga miskin, karena masih ada kriteria rumahtangga miskin yang tidak terpenuhi walaupun kecil persentasenya. Menurut Depkominfo (2005) diacu dalam Agustina (2006), rumahtangga yang berhak menerima PKH adalah rumahtangga yang memiliki 9 atau lebih dari 14 ciri rumahtangga miskin, sehingga rumahtangga yang memiliki kriteria kurang dari 9 tidak sesuai untuk mendapatkan PKH. Tabel 29 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (75,3%) tergolong sesuai menerima PKH. Namun, terdapat sebanyak 21,4 persen contoh yang tergolong dalam kategori tidak sesuai bahkan ada contoh yang termasuk dalam kategori sangat tidak sesuai menerima PKH, yaitu sebesar 3,3 persen.
65
Tabel 29 Sebaran contoh atas kelayakan penerimaan PKH berdasarkan kriteria rumahtangga miskin. No Keterangan n % 1 Sangat tidak sesuai (3-5) 5 3,3 2 Tidak sesuai (6-8) 32 21,4 3 Sesuai (≥9) 113 75,3 Total 150 100,0
Dukungan Sosial Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang itu berbeda. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, juga bagi keluarga dalam menjalani kehidupan perkawinannya dan bagi pelaksanaan pengasuhan anak. Gottlieb (1985) diacu dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial. Tabel 30 memperlihatkan bahwa persentase terbesar bentuk dukungan sosial yang diperoleh keluarga contoh baik yang berasal dari keluarga besar maupun yang berasal dari tetangga, ialah membantu dalam hal kesulitan keuangan. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan bentuk dukungan yang diterima No Bentuk Dukungan Dukungan Dukungan Keluarga Tetangga n % n % 1 Pekerjaan rumahtangga 33 22,0 7 4,7 2 Kesulitan keuangan 107 71,3 91 60,7 3 Masalah perkawinan 43 28,7 8 5,3 4 Kesulitan biaya pengobatan 55 36,7 10 6,7 5 Kesulitan pangan 78 52,0 30 20,0 6 Kesulitan biaya pendidikan 26 17,3 4 2,7
66
Kurang dari separuh contoh (32%) mendapatkan dukungan sosial yang rendah dari keluarga besar. Sama halnya dengan dukungan dari tetangga, sebagian besar keluarga contoh (76,7%) memperoleh dukungan sosial yang rendah dari tetangga. Disamping itu, Terdapat 22,7 persen dari keluarga contoh yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi dari keluarga besar. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan dukungan keluarga dan dukungan tetangga No Dukungan sosial Dukungan Keluarga Dukungan Tetangga n % n % 1 Rendah (6-7) 48 32,0 115 76,7 2 Sedang (8-9) 68 33 22,0 45,3 3 Tinggi (10-12) 34 22,7 2 1,3 Total 150 100,0 150 100,0
Manfaat PKH yang Dirasakan Keluarga Program PKH kurang lebih sudah berjalan selama dua tahun. Selama dua tahun berjalan manfaat yang dirasakan tinggi oleh contoh ialah dalam hal dapat membantu membeli peralatan sekolah anak (48,7%), memberikan kebahagiaan (47,3%), dan dapat membayar sekolah anak (47,3%). Selain itu, untuk sebagian besar contoh menganggap bahwa manfaat PKH dapat digunakan sebagai modal usaha (85,3%), membantu keuangan keluarga lain (82%), dan menurunkan konflik keluarga (61,3%) rendah manfaatnya. Menurut hasil wawancara mendalam pada salah satu contoh diketahui bahwa manfaat PKH yang dirasakan masih terbatas dalam hal pemenuhan kebutuhan pendidikan dan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari (Tabel 32). Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan item manfaat yang dirasakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Item Pernyataan Memberi dana segar untuk keluarga Dapat membeli kebutuhan sembako Dapat membayar sekolah anak Dapat membayar hutang Dapat digunakan modal usaha Memberikan ketenangan batin Memberikan motivasi hidup Menurunkan konflik keluarga Memberikan kebahagiaan Istri merasa beban berat berkurang Membantu keuangan keluarga lain Dapat membeli peralatan sekolah anak
Tidak ada (%) 20,7 18,0 16,7 43,3 85,3 6,7 4,7 61,3 4,0 15,3 82,0 4,0
Cukup (%) 54,7 43,3 36,0 29,3 9,3 54,0 54,7 20,7 48,7 50,7 12,0 47,3
Tinggi (%) 24,7 38,7 47,3 27,3 5,3 39,3 40,7 18,0 47,3 34,0 6,0 48,7
67
Berdasarkan Tabel 33 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh contoh (55,3%) menyatakan bahwa manfaat dari PKH termasuk dalam kategori sedang dan sebanyak 27,3 persen menyatakan tinggi terhadap manfaat PKH. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan manfaat PKH No Manfaat PKH 1 Rendah (12-19) 2 Sedang (20-28) 3 Tinggi (29-36) Total
Jumlah dan persentase n % 26 17.4 83 55.3 41 27.3 150 100,0
Strategi Koping Fungsi Ekonomi Strategi Keluarga dalam Penghematan Pengeluaran (Cutting-Back) Strategi koping dilakukan untuk menanggulangi perubahan-perubahan akan kebutuhan yang dihadapi keluarga menurut sumberdaya yang dimilikinya. Cara tersebut dapat dilakukan antara lain dengan berhemat (Cutting-Back) atau menambah pendapatan keluarga (Generating Income) (Puspitawati 1998). Strategi Penghematan Pengeluaran Pangan. Proporsi terbesar yang dilakukan oleh contoh dalam penghematan pengeluaran pangan yaitu: membeli pangan yang lebih murah dan mengurangi pembelian kebutuhan pangan. Strategi penghematan yang tidak dilakukan oleh contoh meliputi, melewati hari-hari tanpa makan, mengurangi porsi makan (misalnya 1 piring menjadi ½ piring), mengganti beras dengan makanan pokok lainnya (misalnya dengan singkong), mengurangi frekuensi makan (misalnya dari 2 kali menjadi 1 kali makan), mengurangi penggunaan teh/gula/kopi, mengurangi jajan anak, merubah distribusi pangan (prioritas ibu jadi untuk anak), menyimpan makanan yang tidak habis untuk keesokan harinya. Secara umum contoh melakukan 2 (dua) dari 10 strategi penghematan pengeluaran pangan. Strategi Penghematan Pengeluaran Kesehatan. Proporsi terbesar yang dilakukan oleh contoh dalam penghematan pengeluaran kesehatan adalah memilih tempat berobat yang murah. Sebagian besar dari contoh lebih memilih poliklinik atau puskesmas dibandingkan dengan berobat ke dokter praktek karena terkait dengan biaya. Jika mereka pergi ke puskesmas mereka hanya membayar
68
Rp.3000,- sedangkan ke dokter praktek mereka dibebani dengan biaya diluar kemampuan mereka. Strategi penghematan kesehatan yang tidak dilakukan meliputi mengganti obat yang mahal dengan yang murah, menggunakan jamu daripada obat modern, menangguhkan pengobatan bila ada anggota keluarga yang sakit, dan mengurangi pembelian rokok. Strategi mengurangi pembelian rokok sedikit dilakukan menandakan bahwa kurang sadarnya contoh terhadap bahaya rokok dan arti kesehatan. Secara umum strategi yang dilakukan contoh dari lima strategi, contoh melakukan satu strategi penghematan pengeluaran atas kesehatan. Strategi Penghematan Pengeluaran Pendidikan. Proporsi terbesar yang dilakukan oleh contoh dalam penghematan pengeluaran pendidikan adalah mengurangi uang saku anak sehari-hari. Adapun strategi penghematan yang tidak dilakukan oleh contoh meliputi, anak berhenti sekolah, anak terpaksa membolos (tidak ada biaya), membeli seragam bekas, membeli sepatu bekas, membeli buku bekas. Secara umum contoh melakukan satu strategi dari enam strategi penghematan pengeluaran pendidikan. Strategi Penghematan Pengeluaran Lainnya. Proporsi terbesar yang dilakukan oleh contoh dalam strategi penghematan pengeluaran lainnya adalah mengurangi pembelian pakaian, mengurangi pembelian perabot rumahtangga, mengurangi pembelian peralatan dapur. Adapun untuk strategi penghematan yang tidak dilakukan oleh contoh hanya satu, yaitu mengurangi penggunaan air/listrik/telepon. Secara umum, contoh melakukan empat macam strategi penghematan pengeluaran lainnya dari lima strategi yang ada. Strategi Keluarga dalam Penambahan Pendapatan (Generating Income) Strategi Penambahan Pendapatan Pangan. Proporsi terbesar yang sering dilakukan oleh contoh dalam penambahan pendapatan pangan yaitu membeli pangan dengan hutang. Contoh menganggap bahwa cara berhutang cepat menyelesaikan masalah. Sebagian besar dari contoh biasa berhutang di warung saat membeli pangan. Adapun untuk strategi penambahan pendapatan yang tidak dilakukan oleh contoh adalah keluarga memanfaatkan lahan kosong untuk menanam tanaman (jagung, ubi, singkong), beternak (unggas atau ikan), menerima makanan dari saudara dan meminjam uang. Secara umum hanya satu dari lima strategi yang dilakukan oleh contoh.
69
Strategi Penambahan Pendapatan Atas Kesehatan. Proporsi terbesar yang sering dilakukan oleh contoh dalam penambahan pendapatan atas kesehatan adalah meminta obat gratis ke puskesmas/tempat berobat lainnya. Adapun untuk strategi yang tidak dilakukan contoh adalah keluarga memanfaatkan tanah pekarangan untuk tanaman obat keluarga. Strategi Penambahan Pendapatan Atas Pendidikan. Proporsi terbesar yang sering dilakukan oleh contoh dalam penambahan pendapatan pendidikan adalah anak bekerja/membantu orangtua untuk menambah keperluan sekolah. Disamping itu, strategi yang tidak dilakukan meliputi keluarga mengusahakan beasiswa untuk sekolah anak, dan meminta buku bekas ke sekolah atau tetangga. Strategi Penambahan Pendapatan Atas Keuangan. Proporsi terbesar yang sering dilakukan oleh contoh, yaitu ibu memiliki pekerjaan sampingan. Strategi penambahan pendapatan yang tidak dilakukan oleh contoh meliputi mengontrakkan rumah untuk menambah keuangan keluarga, menggadaikan barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari, menjual aset untuk kebutuhan seharihari, dan pindah ke tempat lain. Hasil ini sesuai dengan perubahan kerja istri, saat menerima PKH persentase istri mengalami kenaikan dari yang tadinya tidak bekerja menjadi bekerja. Secara keseluruhan, strategi koping yang dilakukan oleh lebih dari separuh contoh (57,3%) contoh termasuk dalam kategori sedang (69-96) dan 42 persen contoh termasuk dalam kategori rendah. Hanya 0,7 persen dari contoh yang termasuk memiliki strategi koping fungsi ekonomi yang tinggi. Ini artinya bahwa strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan contoh masih rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar contoh memiliki sifat yang lebih “nerimo” atau pasrah terhadap segala kondisi yang dihadapi. Mereka memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan usaha ketika dihadapkan pada suatu kondisi yang sulit. Kondisi ini memang sudah tertanam secara turun menurun sehingga contoh sudah merasa biasa dengan kondisi yang serba kekurangan dan tidak ada tekad untuk berubah atau memang karena terbatasnya kesempatan untuk merubah kondisi. Selain itu, lingkungan tempat tinggal dan ketersediaan lapangan pekerjaan menjadi kendala tersendiri bagi keluarga contoh untuk bisa berkembang. Puspitawati (2009) menyebutkan bahwa antara keluarga dan masyarakat mempunyai hubungan yang
70
timbal balik. Hal ini berarti kondisi keluarga dapat memengaruhi kondisi masyarakat setempat, dan sebaliknya kondisi masyarakat dapat memengaruhi kondisi keluarga (Tabel 34). Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping fungsi ekonomi No Kategori n % 1 Rendah (41-68) 63 42,0 2 Sedang (69-96) 86 57,3 3 Tinggi (97-123) 1 0,7 Total 150 100,0 Rata-rata±Sd 36,22±10,20 Kisaran (min, max) 11,00-85,40 Tipe Strategi Koping Fungsi Ekonomi Berdasarkan Tabel 35 diketahui bahwa lebih dari separuh contoh (71,3%) melakukan strategi minimalis dimana kedua strategi yang dilakukan baik strategi penghematan (CB) maupun strategi penambahan pendapatan (GI) sama pada posisi rendah. Selain itu, sebesar 27,3 persen contoh berada pada Tipe 3 yang artinya bahwa strategi penghematan (CB) yang dilakukan tinggi sedangkan untuk strategi penambahan pendapatan (GI) yang dilakukan rendah. Hal ini mungkin terjadi karena sulitnya lapangan pekerjaan, aset yang sedikit dan keterampilan yang dimilikipun rendah sehingga contoh lebih memilih menggunakan strategi penghematan pengeluaran. Puspitawati (1998) menyebutkan bahwa strategi peningkatan pendapatan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan strategi penghematan pengeluaran dan tidak berpengaruh banyak pada konflik keluarga. Tabel 35 Tipe strategi koping fungsi ekonomi Tipe Strategi Koping Fungsi Ekonomi Cutting Back (CB)
Rendah Tinggi
Generating Income (GI) Rendah Tinggi Tipe 1 (71,3%) Tipe 2 (0,6%) Tipe 3 (27,3%) Tipe 4 (0,6%)
Ket : Tipe 1 CB rendah; GI rendah, Tipe 2 CB rendah; GI tinggi, Tipe 3 CB tinggi; GI rendah, Tipe4 CB tinggi; GI tinggi.
Sebanyak masing-masing 0,6 persen contoh berada pada Tipe 2 dan 4. Tipe 2 artinya bahwa strategi penghematan yang dilakukan rendah sedangkan strategi penambahan pendapatannya tinggi. Lain halnya pada Tipe 4, yaitu kedua
71
strategi yang dilakukan baik itu strategi penghematan maupun strategi penambahan pendapatan sama pada posisi tinggi. Kesejahteraan Keluarga Subjektif Dalam penelitian ini, tingkat kesejahteraan subjektif diukur dari tingkat kepuasan contoh terhadap keadaan kehidupan dan gaya manajemen sumberdaya saat ini. Kesejahteraan menurut Sawidak (1985) merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi pendapatan tersebut. Lebih dari separuh contoh (50,7%) memiliki tingkat kesejahteraan subjektif dalam kategori sedang. Saat menerima PKH tingkat kesejahteraan subjektif contoh tertinggi, yaitu dalam hal hubungan dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Hal ini memperlihatkan bahwa kesejahteraan subjektif yang dirasakan contoh hanya sebatas hubungan sosial sedangkan, untuk keadaan materi dan lainnya belum dirasakan oleh contoh. Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan subjektif No Kesejahteraan subjektif 1 Rendah (22-36) 2 Sedang (37-52) 3 Tinggi (53-66) Total Rata-rata±SD Kisaran (Min,Max)
n % 13 8,0 80 50,7 57 41,3 150 100,0 49,65±8,5 27-66
Hubungan antar Variabel Korelasi
Rank Spearman digunakan dalam analisa untuk mengetahui
hubungan antara karakteristik keluarga dengan dukungan sosial yang diperoleh keluarga, strategi koping fungsi ekonomi keluarga dan tingkat kesejahteraan subjektif keluarga.
72
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Dukungan Sosial Keluarga Dukungan Sosial Tetangga. Dukungan sosial yang diterima oleh seorang individu dapat berasal dari tetangga dan keluarga besar. Sarafino (1996) mengartikan dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa dukungan sosial dari tetangga memiliki hubungan nyata dan positif (r=0.182; p=0.05) dengan aset yang dimiliki (Tabel 37). Artinya bahwa semakin besar dukungan tetangga yang diterima oleh contoh maka aset yang dimiliki oleh contoh akan semakin meningkat. Keluarga miskin identik dengan keterbatasan sumberdaya manusia. Dengan segala keterbatasannya ini keluarga miskin dituntut untuk dapat terus bertahan hidup. Dukungan sosial dari tetangga atau masyarakat sekitar merupakan modal besar bagi mereka dalam usaha meningkatkan kesejahteraan. Semakin besar bantuan yang diterima oleh keluarga maka keluarga akan senantiasa lebih mudah dalam meningkatkan aset keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Puspitawati (2009) yang menyatakan bahwa dukungan sosial ekonomi masyarakat sangat bermanfaat bagi keluarga karena memberikan masukan berupa sumberdaya materi dan bukan materi serta peluang bagi keluarga untuk mencapai kesejahteraan. Tabel 37 Hasil korelasi antara karakteristik keluarga dengan dukungan sosial keluarga No Karakteristik Keluarga Dukungan Dukungan Tetangga (α) Keluarga (α) 1 Besar anggota keluarga -0,086 -0,131 2 Usia istri -0,067 -0,080 3 Lama pendidikan istri -0,010 -0,044 4 Pendapatan per kapita 0,104 0,079 5 Pengeluaran pangan per kapita -0,095 0,138 6 Pengeluaran non pangan per kapita 0,073 0,215** 7 Nilai aset dalam rupiah 0,182* 0,064 Keterangan: * : Korelasi signifikan pada p<0,05 ** : Korelasi signifikan pada p<0,01
Dukungan Sosial Keluarga. Dukungan sosial ekonomi masyarakat dapat dipandang sebagai suatu kekuatan masyarakat yang tercermin dari ikatan
73
kekerabatan dan solidaritas yang tinggi antar sesama keluarga yang selanjutnya dapat dijadikan salah satu faktor pendukung dalam menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan sehari-hari Puspitawati (2009). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara dukungan keluarga dengan pengeluaran non pangan per kapita (r=0,215; p=0,01). Ini berarti bahwa semakin besar pengeluaran non pangan per kapita keluarga, maka sejalan dengan semakin besarnya dukungan yang diperoleh dari keluarga besar. Pengeluaran non pangan per kapita memiliki hubungan yang positif dengan pendapatan. Artinya bahwa semakin besar pengeluaran non pangan per kapita maka pendapatan keluarga juga meningkat dan asumsinya ketika pendapatan keluarga meningkat berarti kesejahteraan keluarga juga meningkat. Sama halnya dengan dukungan sosial dari tetangga, dukungan keluarga besar juga dapat dijadikan sebagai sumberdaya keluarga dalam usaha mencapai kesejahteraan keluarga. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Strategi Koping Fungsi Ekonomi Setiap keluarga mempunyai strategi koping fungsi ekonomi yang berbedabeda dalam menghadapi kondisi yang sulit, yaitu tergantung pada tingkat kesulitan hidup yang dirasakan. Strategi koping fungsi ekonomi diartikan sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi sulit untuk kehidupan yang lebih baik. Efektif atau tidaknya strategi koping yang dilakukan tergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara strategi koping fungsi ekonomi dengan besar anggota keluarga (r=0,254; p=0,01) dan usia istri (r=0,212; p=0,01). Artinya bahwa semakin bertambahnya anggota keluarga maka strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan juga akan semakin meningkat. Besar anggota keluarga erat kaitannya terhadap alokasi pengeluaran keluarga terutama pengeluaran pangan. Sumarwan (2003) menyebutkan bahwa keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih besar akan mengonsumsi pangan dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anggota keluarganya lebih sedikit. Berdasarkan hukum Engel semakin besar pengeluaran pangan maka diasumsikan bahwa keluarga tersebut belum sejahtera. Dalam artian
74
bahwa beban keluarga dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan akan semakin besar. Oleh karena itu, cara atau strategi koping yang dilakukan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan akan semakin sering dilakukan dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Tabel 38 Hasil korelasi antara karakteristik keluarga dengan strategi koping fungsi ekonomi keluarga No Karakteristik Keluarga Strategi Koping Fungsi Ekonomi (α) 1 Besar anggota keluarga 0,254** 2 Usia istri 0,212** 3 Lama pendidikan istri -0,096 4 Pendapatan per kapita -0,238** 5 Pengeluaran pangan per kapita -0,039 6 Pengeluaran non pangan per kapita -0,126 7 Nilai aset dalam rupiah -0,088 Keterangan: ** : Korelasi signifikan pada p<0,01
Hasil lain menyebutkan bahwa usia istri berhubungan dengan strategi koping fungsi ekonomi. Artinya semakin bertambahnya usia istri maka strategi koping yang dilakukan juga akan semakin bertambah. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka pengalaman yang dimilikipun akan semakin besar. Hal ini yang membuat strategi koping yang dilakukan keluarga semakin banyak dan beragam. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi strategi koping seseorang semakin banyak adalah pengalamannya dalam menghadapi masalah. Selain itu, pendapatan juga mempunyai hubungan nyata dan negatif (r=-0,238; p=0,01) dengan strategi koping. Hal ini jelas bahwa semakin besar pendapatan asumsinya bahwa permasalahan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berkurang atau bahkan tidak ada sehingga strategi atau cara yang dilakukan pun akan semakin berkurang. Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki strategi koping apabila terjadi perubahan pendapatan sehingga akan mempengaruhi alokasi pengeluaran keluarga. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Kesejahteraan Subjektif Variabel kesejahteraan subjektif dalam penelitian ini diukur melalui tingkat kepuasan contoh terhadap sumberdaya yang dimiliki saat menerima PKH. Contoh diberikan 22 item pertanyaan dengan skor 1=tidak puas, 2=cukup puas,
75
dan 3=puas. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0,176; p=0,05) antara pengeluaran pangan per kapita dengan kesejahteraan subjektif. Ini berarti bahwa semakin tinggi pengeluaran pangan per kapita maka kesejahteraan subjektif seseorang semakin meningkat (Tabel 39). Tabel 39 Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan kesejahteraan subjektif No Karakteristik Keluarga Kesejahteraan Subjektif (α) 1 Besar anggota keluarga -0,024 2 Usia istri 0,029 3 Lama pendidikan istri 0,036 4 Pendapatan per kapita 0,094 5 Pengeluaran pangan per kapita 0,176* 6 Pengeluaran non pangan per kapita 0,145 7 Jumlah aset dalam rupiah 0,035 Keterangan: * : Korelasi signifikan pada p < 0,05
Keluarga miskin identik dengan pengeluaran pangan yang besar sehingga asumsinya semakin besar pengeluaran pangan maka kesejahteraan keluarga semakin menurun. Namun, kondisinya berbeda ketika berbicara mengenai kesejahteran subjektif. Seseorang mungkin mempunyai pandangan tersendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin berbeda dengan konsep obyektif. Konsep kesejahteraan subjektif merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Sianipar 1997 diacu dalam Rambe 2004). Suatu keluarga walau tinggal di bawah garis kemiskinan, mungkin merasa lebih sejahtera, karena mereka merasa lebih bersyukur atas karunia-Nya, merasa keinginannya sudah terpenuhi, merasa telah hidup selaras dengan alam dan alasan lainnya (Syarief et al. 1993 diacu dalam Rambe 2004). Sebaliknya suatu keluarga mungkin merasa kurang sejahtera, walau sudah berpendapatan di atas garis kemiskinan, karena masih saja ada keinginan yang belum terpenuhi dan merasa selalu ketakutan atau tertekan, merasa selalu stres dan dituntut oleh pekerjaan, serta alasan lainnya. Oleh karena itu, semakin besar pengeluaran pangan per kapita bukan berarti kesejahteraan subjektif keluarga menurun namun sebaliknya semakin besar pengeluaran pangan per kapita membuat tingkat kepuasan
76
seseorang terhadap apa yang dikonsumsi akan semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan seseorang merasa lebih sejahtera secara subjektif. Hubungan antara Dukungan Sosial, Strategi Koping Fungsi Ekonomi, dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga Kemiskinan dan krisis ekonomi menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi masyarakat Indonesia khususnya keluarga miskin. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga menyebabkan keluarga miskin semakin tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok. Kondisi ini menjadi stressor tersendiri bagi keluarga miskin. Greenberg (2002) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu stressor yang berkaitan dengan masalah keuangan keluarga. Oleh karena itu, keluarga miskin diharuskan memiliki strategi koping untuk bisa bertahan hidup. Menurut Puspitawati (1998), strategi keluarga dibagi dua, yakni: (1) strategi penghematan (cutting-back expense) dan (2) strategi peningkatan pendapatan (income generating strategy). Dari hasil uji Korelasi Spearman, diketahui bahwa: 1. Terdapat hubungan nyata positif antara dukungan keluarga dan kesejahteraan subjektif dengan angka koefisiensi r= 0,205 pada taraf 5 persen. 2. Terdapat hubungan nyata negatif antara strategi koping fungsi ekonomi keluarga dengan kesejahteraan subjektif dengan angka koefisiensi r= 0,264 pada taraf 1 persen. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh maka kesejahteraan subjektif yang diterima oleh contoh juga semakin meningkat. Kesejahteraan subjektif erat kaitannya dengan persepsi tentang apa yang dirasakan oleh seseorang. Dukungan keluarga besar yang tinggi akan membuat perasaan seseorang lebih aman dan ketakutan dalam menghadapi kesulitan hidup juga berkurang. Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa dukungan keluarga besar yang tinggi akan membuat contoh merasa tidak sendiri, ada yang senantiasa membantu dalam kondisi yang serba kekurangan. Hal inilah yang membuat contoh merasa dirinya lebih sejahtera secara subjektif. Hasil lain menyebutkan bahwa strategi koping fungsi ekonomi berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. Ini berarti bahwa semakin sering
77
strategi koping fungsi ekonomi dilakukan maka kesejahteraan subjektif contoh akan semakin menurun. Hal ini diduga karena semakin jarang strategi koping fungsi ekonomi dilakukan maka asumsinya pendapatan keluarga semakin meningkat sehingga permasalahan yang terkait dengan keuangan akan lebih tertangani dengan baik. Ini yang membuat contoh merasa dirinya lebih sejahtera secara subjektif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif Keluarga Hasil menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif keluarga dipengaruhi positif oleh faktor besar anggota keluarga, dukungan sosial dan total pengeluaran per kapita serta dipengaruhi negatif oleh faktor lama pendidikan istri dan strategi koping fungsi ekonomi. Secara lebih rinci berikut ini diuraikan masing-masing pengaruh dari variabel independen. Terdapat pengaruh positif dari besar anggota keluarga (β=0,224 ; p=0,013*) terhadap kesejahteraan keluarga subjektif. Artinya bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga maka semakin tinggi pula kesejahteraan subjektif keluarga. Hal ini terkait dengan faham yang masih dianut oleh beberapa keluarga yang mengatakan bahwa “banyak anak banyak rezeki” sehingga bagi beberapa keluarga memiliki anggapan dengan bertambahnya jumlah anak akan mendatangkan rezeki bagi keluarga. Selain itu, ada juga keluarga yang memandang bahwa anak memiliki nilai ekonomi dalam artian bahwa dapat dijadikan sumberdaya keluarga yang nantinya dapat membantu keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kembali pada konsep kesejahteraan subjektif setiap keluarga memiliki beragam persepsi terkait dengan besar anggota keluarga. Ada keluarga yang menyukai keramaian dalam rumah sehingga keluarga memilih untuk memiliki anak banyak, harapannya agar hidupnya tidak sepi. Hal inilah yang membuat keluarga merasa bahwa dirinya sejahtera secara subjektif.
78
Tabel 40 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif keluarga Kesejahteraan Subjektif No Variabel Independent β T p 1 Usia istri 0,044 0,535 0,593 2 Lama pendidikan istri -0,243 -2,763 0,007** 3 Besar anggota keluarga 0,224 2,515 0,013* 4 Dukungan sosial 0,155 2,074 0,040* 5 Nilai aset dalam rupiah 0,027 0,352 0,726 6 Strategi koping fungsi ekonomi -0,426 -5,293 0,000** 7 Dana PKH 0,115 1,380 0,170 8 Total pengeluaran per kapita 0,262 3,182 0,002** F (p) 5,605 (0,00) Adj. R2 0, 199 df 148 N 150 Keterangan : * : signifikan pada taraf 0,05 ** : signifikan pada taraf 0,01
Terdapat pengaruh positif (β=0,155 ; p=0,040*) dari dukungan sosial terhadap kesejahteraan subjektif keluarga. Artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima maka kesejahteraan subjektif keluarga juga akan semakin tinggi. Dukungan sosial terutama dalam hal ekonomi merupakan suatu aset atau kekayaan bagi keluarga yang berasal dari lingkungan sosial disekitarnya (Puspitawati 2009). Dengan adanya dukungan sosial maka akan mempermudah keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif keluarga. Dukungan sosial yang diterima oleh keluarga tidak hanya dalam hal dukungan materi saja namun terkadang dalam bentuk dukungan emosional. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dapat diketahui bahwa dengan adanya dukungan sosial yang tinggi baik itu dari keluarga besar maupun tetangga maka akan memberikan rasa aman bagi contoh. Contoh merasa bahwa hidupnya tidak sendiri ada yang senantiasa membantu saat kondisi sulit. Hal inilah yang membuat contoh merasa bahwa dirinya sejahtera secara subjektif. Hasil lain menyebutkan bahwa total pengeluaran per kapita memiliki pengaruh positif (β=0,262 ; p=0,002**) terhadap kesejahteraan subjektif. Artinya bahwa semakin tinggi pengeluaran keluarga maka kesejahteraan subjektif keluarga juga akan semakin tinggi. Besarnya pengeluaran per kapita erat hubungannya dengan semakin tingginya pendapatan keluarga. Maka dari itu,
79
terjadinya perubahan pendapatan akan mempengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah keluarga (Guhardja et al. 1992). Perubahan pendapatan akan mengubah selera dan kebutuhan juga upaya keluarga untuk dapat mewujudkan secara kualitatif tujuan yang akan dicapai sehingga dengan bertambahnya pendapatan akan meningkatkan pengeluaran per kapita keluarga. Kepuasan terhadap barang yang dikonsumsi inilah yang membuat contoh merasa bahwa dirinya sejahtera secara subjektif. Selanjutnya hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif (β=-0,426 ; p=0,000**) dari strategi koping fungsi ekonomi keluarga terhadap kesejahteraan subjektif. Artinya semakin rendah strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan maka kesejahteraan subjektif keluarga akan semakin meningkat. Keluarga miskin memiliki pola berfikir yang sederhana artinya apabila kebutuhan dasar (basic need) mereka sudah tercukupi, maka mereka sudah merasa puas. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga juga tidak maksimal. Mereka sudah merasa sejahtera secara subjektif dengan kondisi yang ada. Hal ini bertentangan dengan teori kebutuhan yang menyebutkan bahwa ketika kebutuhan primer seseorang terpenuhi maka seseorang akan berusaha memenuhi kebutuhan sekundernya. Teori Maslow menyebutkan bahwa, manusia berusaha memenuhi kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (Sumarwan 2003). Variabel lama pendidikan istri memiliki pengaruh negatif ((β=-0,243 ; p=0,007**) terhadap kesejahteraan subjektif. Artinya bahwa semakin lama pendidikan istri maka kesejahteraan subjektif keluarga akan semakin menurun. Salah satu karakteristik keluarga miskin, yaitu memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh khususnya di Kecamatan Dramaga tidak memenuhi program wajib belajar sembilan tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tinggi bukanlah menjadi prioritas utama keluarga. Dengan pendidikan yang rendah asumsinya bahwa pengetahuan yang dimiliki juga terbatas sehingga ekspektasi keluarga miskin terhadap kehidupan mereka juga tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, dalam menghadapi kondisi sehari-hari keluarga miskin lebih cenderung pasrah dan selalu bersyukur dengan
80
segala sesuatu yang didapat. Disamping itu, terkait dengan culture orang Sunda sendiri, mereka memiliki kecenderungan “nerimo” dan pasrah terhadap segala kondisi yang dihadapi. Variabel usia istri, aset keluarga, dan besaran dana PKH tidak berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan subjektif. Hal ini diduga karena rendahnya keragaman data (ini berkaitan dengan data yang diperoleh terlalu homogen, yakni berasal dari keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan). Selain itu, tingkat kesejahteraan subjektif seseorang tidak hanya ditentukan oleh usia, dengan bertambahnya usia bukan berarti kesejahteraan subjektif seseorang meningkat. Walaupun usia yang dimiliki masih tergolong muda namun persepsi mengenai ekspektasi atau harapannya terhadap kehidupan yang dijalani sudah tercapai maka dapat dikatakan orang tersebut sudah merasa sejahtera secara subjektif. Aset dan besaran dana PKH merupakan sumberdaya materi yang dimiliki keluarga. Aset dan besarnya dana PKH tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan subjektif karena kesejahteraan subjektif tidak hanya diukur dari sumberdaya materi yang dimiliki keluarga saja namun banyak aspek lainnya seperti hubungan dengan oranglain, manajemen keuangan yang dilakukan, perasaan terhadap perilaku anak, dan kepuasaan dan kebahagiaan terhadap hubungan perkawinan.
81
Pembahasan Umum Kualitas sumberdaya manusia (SDM) menjadi faktor penting dalam usaha membangun kemajuan suatu bangsa. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) merupakan salah satu alat ukur yang digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan SDM suatu bangsa. IPM diukur dari 3 komponen bidang kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. IPM Indonesia pada tahun 2002, yaitu sebesar 65,8 poin, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, pada tahun 2002, Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 117 negara. (Human Development Report 2004). Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam usaha membangun SDM bangsa. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki prioritas dalam usaha meningkatan kualitas SDM (Human Investment). Hal ini dapat diupayakan melalui peningkatan kualitas pendidikan sehingga akan menghasilkan SDM yang bermutu. Dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, maka akan membuka akses terhadap pendapatan (ekonomi) dan dengan pendapatan yang tinggi, maka dengan sendirinya masyarakat dapat meningkatkan derajat kesehatannya dan akhirnya dapat memutus lingkaran kemiskinan. Program pemberdayaan sosial bidang pendidikan dianggap sebagai salah satu solusi dalam rangka meningkatkan kualitas SDM bangsa. Pemberdayaan sosial diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan tersedia di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan (Sumodiningrat 2009). Salah satu program nasional yang berbasis pemberdayaan sosial ialah Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi pada keluarga sangat miskin sehingga harapannya dalam jangka panjang dapat meningkatkan mutu SDM Indonesia (human investment). Dalam kerangka memahami suatu keluarga, maka diperlukan suatu konsep. Salah satu konsep yang dapat digunakan ialah teori struktural fungsional. Karena teori Struktural Fungsional lebih dapat menjabarkan fungsi keluarga secara luas yang memiliki tujuan akhir kesejahteraan keluarga. Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling
82
berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Chapman (2000) dalam Puspitawati (2006) menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan dan fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti (meaning) yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Untuk melaksanakan fungsinya secara optimal, yakni meningkatkan derajat “fungsionalitas”nya, keluarga harus mempunyai struktur tertentu. Menurut Mcintyre (1996) struktur adalah pengaturan peran dimana sebuah sistem sosial tersusun. Dari delapan fungsi keluarga yang harus dijalankan salah satunya ialah fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi keluarga dijadikan sebagai unsur yang mendukung kemandirian dan ketahanan keluarga (BKKBN 1996). Berdasarkan hasil penelitian, keluarga penerima PKH khususnya di Kecamatan Dramaga memiliki tipe strategi koping yang rendah. Artinya bahwa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif keluarga belum optimal, sehingga hasilnya kesejahteraan subjektif yang dicapai oleh keluarga pun masih rendah. Disini dapat dilihat bahwa fungsi keluarga khususnya dalam bidang ekonomi belum berfungsi secara maksimal. Keluarga miskin tentunya mempunyai permasalahan yang besar dalam bidang ekonomi namun mereka memiliki kecenderungan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah ekonomi tersebut. Mereka cenderung pasrah dan “nerimo” dengan segala kondisi yang membelitnya. Mereka tidak memiliki orientasi ke masa depan yang mereka pikirkan hanya terpenuhinya kebutuhan untuk saat ini. Guhardja et al. (1992) menyebutkan bahwa individu dan keluarga berpendapatan rendah biasanya mempunyai orientasi untuk masa sekarang saja daripada orientasi untuk masa depannya dalam perspektif waktu. Program PKH yang telah berjalan selama kurang lebih dua tahun ternyata dinilai kurang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Memang pada dasarnya PKH diperuntukkan pada keluarga sangat miskin dengan tujuan dapat mengurangi beban pengeluaran keluarga dibidang pendidikan, ekonomi, dan
83
kesehatan. Filosofinya PKH hanya memberikan ikan saja tanpa diberikan kail. Artinya dana PKH yang dikeluarkan hanya untuk konsumsi keluarga saja tanpa adanya investasi melalui usaha produktif tidak berbeda jauh dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebelumnya pernah berjalan. Dalam hal ini pemerintah tidak melihat dampak psikologis yang diterima oleh penerima program. Tingkat ketergantungan mereka masih tinggi dengan adanya dana bantuan dari pemerintah. Keluarga disini menjadi tidak mandiri dan tingkat ketahanan keluarga yang dimiliki menjadi rendah. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini yang pertama ialah Penentuan contoh pada penelitian ini sangat homogen, yakni pada keluarga sangat miskin (keluarga menengah kebawah) sehingga hasil penelitian tidak dapat diberlakukan pada semua golongan masyarakat. Kedua, pengukuran strategi koping tidak dikategorikan berdasarkan contoh yang memiliki kesejahteraan tinggi dan rendah sehingga hasilnya kurang beragam. Ketiga, pengukuran strategi koping khusus pada kondisi ekonomi saja sedangkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan subyektif diperlukan pengukuran dari berbagai dimensi. Keempat, pengambilan data total pengeluaran keluarga hanya diambil saat mendapat PKH saja sehingga data tidak dapat dibandingkan antara sebelum dan saat menerima PKH. Kelima, waktu yang dibutuhkan dalam pengisian kuesioner atau wawancara adalah 1-2 jam selama 1 hari, sehingga kemungkinan contoh merasa jenuh dan bosan dalam proses menjawab dan menjelaskan jawaban dari kuesioner. Penelitian Lanjutan Berdasarkan temuan yang dihasilkan, maka diperlukan penelitian lanjutan mengenai strategi koping yang pengukurannya berdasarkan pengkategorian sejahtera dan tidak sejahtera sehingga dapat dilihat perbedaannya. Disamping itu, penelitian
lanjutan
mengenai
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
kesejahteraan subjektif keluarga sangat penting dilakukan. Hal ini disebabkan oleh variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif hanya mewakili tidak lebih dari 18,9 persen dari total variabel yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif. Selain itu, diperlukan penelitian mengenai
84
kesejahteraan keluarga dengan pendekatan obyektif karena dalam penelitian ini khususnya hasil memperlihatkan bahwa persentase kontribusi penerimaan PKH terhadap total pendapatan cukup besar, yaitu yang kontribusinya lebih dari 40 persen ada sebanyak 21,3 persen contoh. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali secara mendalam apakah penerimaan yang berasal dari dana PKH benar dapat mempengaruhi kesejahteraan obyektif keluarga. Selanjutnya dalam penelitian lanjutan hendaknya dalam mengukur strategi koping dari berbagai dimensi sehingga ketika dihubungkan dengan kesejahteraan keluarga faktor yang teridentifikasi berpengaruh lebih besar persentasenya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Lebih dari separuh keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7org). Usia suami berada pada kelompok dewasa madya (41-60th), sedangkan usia istri berada pada kelompok dewasa awal (18-40th). Tingkat pendidikan suami dan istri hampir sama keduanya sebagian besar tidak memenuhi batas wajib belajar 9 tahun. Sebagian besar suami dan istri memiliki pekerjaan tidak tetap yaitu sebagai buruh non tani dan buruh tani. Berdasarkan pendapatan yang dimiliki contoh, lebih dari separuh contoh merupakan keluarga sangat miskin. Total pengeluaran pangan pada keluarga contoh lebih besar dibandingkan dengan total pengeluaran non pangan keluarga contoh. 2. Persentase terbesar dari bentuk dukungan sosial yang diterima oleh contoh baik yang berasal dari keluarga besar maupun tetangga ialah membantu dalam hal kesulitan keuangan. Selama kurang lebih program PKH berjalan manfaat yang dirasakan oleh contoh belum optimal, hanya 27,3 persen contoh yang menyatakan bahwa manfaat dari program PKH tinggi. 3. Strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan oleh lebih dari separuh contoh termasuk dalam kategori sedang namun jika dilihat berdasarkan tipe strategi koping fungsi ekonomi yang dilakukan baik itu strategi penghematan ataupun strategi penambahan pendapatan keduanya rendah dilakukan. Sama halnya dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang dicapai lebih dari separuh contoh termasuk dalam kategori sedang. Artinya tingkat kesejahteraan subjektif yang dicapai belum maksimal. 4. Terdapat hubungan positif antara aset keluarga dengan dukungan tetangga, pengeluaran non pangan per kapita dengan dukungan keluarga, besar anggota keluarga dengan strategi koping fungsi ekonomi, usia istri dengan strategi koping fungsi ekonomi, pengeluaran pangan per kapita dengan kesejahteraan subjektif, dukungan keluarga dengan kesejahteraan subjektif. Selain itu, terdapat hubungan negatif antara pendapatan per kapita dengan strategi koping fungsi ekonomi, strategi koping fungsi ekonomi dengan kesejahteraan subjektif.
86
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada keluarga penerima PKH adalah lama pendidikan istri, besar anggota keluarga, dukungan sosial, total pengeluaran per kapita, dan strategi koping fungsi ekonomi. Saran 1. Pendidikan erat hubungannya dengan pembentukan kualitas sumberdaya manusia, berdasarkan hasil penelitian kesadaran dan tingkat pendidikan contoh masih sangat rendah. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah melakukan usaha lebih keras lagi dalam usaha membangun kesadaran keluarga miskin akan arti pendidikan bagi masa depan mereka serta menggalakkan program pendidikan kejar paket A,B,C. 2. Strategi koping terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari penting dilakukan terutama bagi keluarga miskin yang sangat rentan jika terjadi perubahanperubahan kondisi. Rendahnya perilaku strategi koping pada keluarga miskin memberikan indikasi pentingnya pemberdayaan keluarga oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga baik dari aspek pengetahuan maupun strategi manajemen keuangan. 3. Usaha yang dilakukan oleh keluarga miskin cenderung rendah karena memang akses terhadap pendidikan dan pekerjaan itu terbatas. Oleh karena itu, pemerintah harusnya memberikan program pemberdayaan bidang pendidikan kepada keluarga miskin agar akses terhadap pendidikan dapat terbuka. 4. Keberhasilan suatu program pengentasan kemiskinan sangat tergantung pada proses komunikasi yang efektif. Temuan di lapang menggambarkan bahwa sebagian besar contoh belum memahami sepenuhnya apa sebenarnya PKH baik itu dari segi tujuan ataupun dalam segi pelaksanaan. Untuk itu, diharapkan khususnya bagi pendamping agar dapat memberikan penyuluhan secara langsung kepada penerima PKH. Harapannya bahwa informasi dapat tersebar rata dan dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan. 5. Terdapat 3,3 persen contoh sangat tidak sesuai menerima bantuan PKH. Ini dapat dijadikan sumber masukan bagi instansi pemerintah agar lebih akurat lagi dalam melakukan pendataan mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat sehingga pengkategorian miskin/tidak miskin tepat dan jelas.
87
6. Salah satu kelemahan dari program PKH yaitu memberikan dampak psikologis yang berupa ketergantungan sehingga keluarga tidak dapat mandiri dan mempunyai ketahanan sosial yang rendah. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah mengkaji kembali program pemberdayaan pada kluster satu yang sudah dilaksanakan agar dampak yang ditimbulkan semakin berkurang. Hendaknya program pemberdayaan pada kluster satu, tidak hanya diberi ikan saja namun juga diberi kail agar dapat mencari ikan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Agustina, H. 2006. Coping Strategy pada Keluarga Miskin Penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT)-BBM dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Tingkat Kepuasan di Kota dan Kabupaten Bogor [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor. IPB. Anonim.
2008. Indonesia dan Krisis Global. http://piramidaindonesia.wordpress.com. [diakses 12 Januari 2009].
Arianti, R.T. 2002. Tingkat Stres dan Strategi Koping Ibu pada Keluarga dengan Anak Retardasi Mental [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. BPS. 2000. Statistik dan Indikator Gender. Jakarta: BPS . 2003. Profil Wanita Kepala Rumah Tangga. Jakarta: BPS. . 2004. Jawa Barat dalam Angka. Jakarta: BPS. . 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005. BPS Kabupaten Bogor. . 2008. Data Strategis BPS. Jakarta: BPS. . 2009. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2009. BPS Provinsi Jawa Barat. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1996. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta. BKKBN. [BAPEDA] Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah. 2005. Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bogor Tahun 20052015. Bappeda Kabupaten Bogor, Bogor. Borgatta, E. F. 1992. Encyclopedia of Sosiology, Volume 4. New York: Mac Millan Publishing Company. Bryant, W. K. 1990. The Economic Organization of The Household. Cambridge University Press. Deacon, R. E. and Firebaugh, M. 1981. Family Resoure Management: Principles and Applications. America: Allyn and Bacon, INC. Diener, E. 2002. Finding on Subyective Well-being and Their Implication for Empowerment. Social Indicators Research. 79:661-8. Djalil, S. A. 2005. Latar Belakang dan Kebijaksanaan Mengenai BBM. http://www.depkominfo.co.id [09 April 2006].
89
Djakarsih. 1987. Peran Dukungan Sosial untuk Lansia di Panti Werda, Tesis Bandung: Universitas Padjajaran. Friedman, 1998. Family Nursing, Theory and Practice (3rd ed). Applenton & Lange, California. Guhardja, S, Puspitawati, H, Hartoyo, Dwi, H .M. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Gunarsa dan Gunarsa. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gottlieb, B.H. 1985. Social Support and The Study of Personal Relationship. Journal of Social and Personal Relationship, 2. 351-315. Handoko, 2000. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. BPFE. Yogyakarta. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayati & Soedjarwo, Penerjemah; Silabat RM, editor. Mc Graw-Hill, Inc. Terjemahan dari Development Psychology. Iskandar, A. 2007. Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga Dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Di Kabupaten Dan Kota Bogor [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kendig, H. 1986. Ageing and Families: A Social Network Perspective. Australia: Allen & Unwi. Lazarus, R.S & Folkman S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer Publishing Company. Lukman, M. 2002. Strategi Koping Keluarga Dalam Menghadapi Masalah Kesehatan: Kasus Penyakit TB Paru Di Kabupaten Bandung. Tesis Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Mangkuprawira, S. 1985. Alokasi waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. . 2002. Analisis pendapatan dan Pengeluaran Keluarga di Daerah Industri Tenun Perdesaan. Media Gizi dan Keluarga. Vol.25 No.2. Megawangi, R. 1994. Gender Perspectives in Early Chilhood care and Development in Indonesia, The Consultative Group on early Chilhood Care and Development, Indonesia.
90
Myers, P. M. 1991. Minority Household: A Comparison of Selected Characteristic and Expenditures. Contributing to Future Economic Well-Being. Family Economic Review, 4 (2): 2. Nasdian, F. T. 2003. Pengembangan Masyarakat. Bagian Ilmu-Ilmu Sosial, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. IPB. Nuryani, N. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan Kesejahteraan Keluarga [skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pakpahan, A, Hermanto, Taryoto A.H. 1995. Metodologi Penelitian Kemiskinan di Pedesaan; Konsepsi dan Aplikasinya. Di dalam: Hermanto, Pakpahan A, Sawit MH, Taryoto AH, Zulham A, Saliem HP, editor. Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Buku 1. Jakarta: IPB Pr. Hlm: 13-24. Puspitawati, H. 1998. Poverty Level and Conflicts Over Money within Family Program Master of Science, Iowa State University, Ames, Iowa. . 1992. Time Management Strategies Used in Household in Which Income is Generated at Home. Iowa State University. Arnes, Iowa. . 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar Di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di kota Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Puspitawati. H, Sarma. M, Herawati. T . 2006. Dampak Subsidi Langsung Tunai (SLT)-BBM pada Kesejahteraan Keluarga Miskin Di Bogor, Jawa Barat. Kerjasama Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan. . 2009. Modul Peningkatan Fungsi Keluarga Menuju Ketahanan Pangan Keluarga Tani. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Purnomosari, D. 2004. Peran Wanita Karier Dalam Keluarga, Psikologi Keluarga, Percikan Iman. Jakarta: Percik Press. Raharto, A. & Romdiati, H. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin. Di dalam Sera, A. K. et. al. Editor Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Tanggal 29 Februari-2 Maret 2000. Hal 259-284. Jakarta: LIPI. Rambe, A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga Dan Tingkat Kesejahteraan (Kasus Di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
91
Raines, A. 1964. Managing Living Time. Illnois: Chas A BennettCo, Inc. Saefuddin. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sarafino, E.P. 1996. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. New York: Allyn and Bacon. Singarimbun, M. S. Effendi. 2006. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Keluarga Di Daerah Pedesaan Propinsi Jambi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 1989. Sosiobudaya Gizi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Gizi. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Sumodiningrat, G. 2009. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa: Mananggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tati, 2004. Pengaruh Tekanan Ekonomi Keluarga, Dukungan Sosial dan Kualitas Perkawinan terhadap Pengasuhan Anak [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Turner, J R, and John W. G. 1983. Social Factor in Psychiatric Outcomes Toward the Resolution of Interpretive Controversies. American Sosiological Review 43: 368-382. Unit Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Umar, H. 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa. Jakarta: Ghalia Indonesia. UPPKH Pusat, 2007, Pedoman Umum PKH, Jakarta. Yuliawan. 2002. Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten Manggarai Propinsi NTT. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
LAMPIRAN
93
Lampiran 1 Pengukuran variabel penelitian No
Variabel
Jumlah Pertanyaan 1
Skor -
Cronbach α -
1
Umur contoh
2
Jumlah anggota keluarga
1
-
-
3
Pendidikan orangtua
1
-
-
4
Lama pendidikan
1
-
-
5
Pekerjaan Suami
1
-
-
6
Pekerjaan Isteri
1
-
-
7 8 9
Kepemilikan Aset Pendapatan Keluarga Pengeluaran Pangan & Non Pangan Pengeluaran Hutang Dukungan Sosial • Tetangga • Keluarga Strategi Koping Fungsi Ekonomi
35 4 45
-
-
1
-
-
6 6
1-12 1-12
0,342 0,661
10 11
12
Skala 1= < 25 tahun 2=25-29 tahun 3= 30-39 tahun 4= 40-49 tahun 5= 50-59 tahun 6= >= 60 tahun 7= meninggal /pisah 1= Kecil (<4 orang) 2= Sedang (5-7 orang) 3= Besar (> 7 orang) 1= Tidak Tamat SD 2= Tamat SD 3= Tamat SMP 4= Tamat SLTA 5= Tidak Pernah Sekolah 6= Meninggal/pisah 1= <= 9 tahun 2 = > 9 tahun 3= meninggal/pisah 1= buruh non-tani 2= buruh tani 3= dagang 4= becak 5= guru les, mengaji, menjaga masjid 6= karyawan swasta 7= pemulung 8= penceramah 9= supir 10= tidak bekerja 11= wiraswasta 12= meninggal/pisah 1= buruh tani 2= buruh non-tani 3= dagang 4= karyawan swasta 5= maro kambing 6= pemulung 7= penyanyi 8= pisah 9= PRT 10= tidak bekerja Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah 1= tidak ada 2= ada 1= tidak pernah 2= kadang-kadang
94
13
• Strategi penghematan • Strategi penambahan pendapatan Kesejahteraan Subyektif (Subjective Quality of Live)
25
25-75
0,773
16
16-48
0,387
22
22-66
*disesuaikan dengan pertanyaan
0,791
3= sering
1= tidak puas 2= cukup puas 3= puas
95
Lampiran 2 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga No
Kategori Pengeluaran < Rp 50.000 50.000 - 99.999 100.000 - 149.999 150.000 - 199.999 200.000 - 249.999 250.000-299.999 >= 300000
1 2 3 4 5 6 7 Total Rata-rata+SD
Kisaran (min, max)
Pengeluaran pangan n % 2 1,3 34 22,7 54 36,0 41 27,3 13 8,7 4 2,7 2 1,3 150 100,0 141.892,16 40.111,11
59.011,50 466.750,00
Pengeluaran Non pangan n % 65 43,3 69 46,0 11 7,3 4 2,7 1 0,7 0 0,0 0 0,0 150 100,0 60.405,91 12.666,67
34.490,82 203.202,78
Total n 0 9 26 48 34 20 13 150 202.298,08 70.166,67
% 0,0 6,0 17,3 32,0 22,7 13,3 8,7 100,0 76.891,27 627.250,00
96
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan strategi penghematan pengeluaran keluarga No Pertanyaan
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 B 1 2 3 4 5 C 1 2 3 4 5 6 D 1 2 3 4
Pangan Mengurangi pembelian kebutuhan pangan (jenis dan jumlah) Membeli pangan yang lebih murah Mengurangi porsi makan (misalnya 1 piring menjadi ½ piring) Mengganti beras dengan makanan pokok lain (misalnya dengan singkong) Mengurangi frekuensi makan (misalnya dari 2 kali menjadi 1 kali makan) Mengurangi penggunaan teh/kopi/gula Mengurangi jajan anak Merubah distribusi pangan (prioritas ibu jadi untuk anak) Menyimpan makanan yang tidak habis untuk keesokan harinya Melewati hari-hari tanpa makan Kesehatan Mengganti obat yang mahal dengan yang murah Menggunakan jamu daripada obat modern Mengurangi pembelian rokok Memilih tempat berobat yang murah Menangguhkan pengobatan bila ada anggota keluarga yang sakit Pendidikan Mengurangi uang saku anak sehari-hari Anak berhenti sekolah Anak terpaksa bolos (tidak ada biaya) Membeli seragam bekas Membeli sepatu bekas Membeli buku bekas Pengeluaran Lainnya Mengurangi penggunaan air/listrik/telepon Mengurangi pembelian pakaian Mengurangi pembelian perabot rumah tangga Mengurangi pembelian peralatan dapur
Strategi Penghematan Pengeluaran Tidak KadangSering pernah kadang n % n % n % 28 4 102
18,7 2,7 68,0
43 25 29
28,7 16,7 19,3
79 121 19
52,7 80,7 12,7
135
90,0
12
8,0
3
2,0
97
64,7
35
23,3
18
12,0
60 49 46 50
40,0 32,7 30,7 33,3
36 33 45 51
24,0 22,0 30,0 34,0
54 68 59 49
36,0 45,3 39,3 32,7
134
89,3
8
5,3
8
5,3
103 86 56 14 69
68,7 57,3 37,3 9,3 46,0
26 30 25 9 46
17,3 20,0 16,7 6,0 30,7
21 34 69 127 35
14,0 22,7 46,0 84,7 23,3
52 122 110 140 140 143
34,7 81,3 73,3 93,3 93,3 95,3
33 9 30 4 4 2
22,0 6,0 20,0 2,7 2,7 1,3
65 19 10 6 6 5
43,3 12,7 6,7 4,0 4,0 3,3
69 7 8 7
46,0 4,7 5,3 4,7
18 4 3 3
12,0 2,7 2,0 2,0
63 139 139 140
42,0 92,7 92,7 93,3
97
Lampiran 4 Sebaran Contoh Berdasarkan Strategi Penambahan Pendapatan No
Pertanyaan
A 1
Pangan Keluarga memanfaatkan lahan kosong untuk menanam tanaman (jagung, ubi, singkong) Beternak (unggas atau ikan) Menerima makanan dari saudara Membeli pangan dengan hutang Meminjam uang Kesehatan Keluarga memanfaatkan tanah pekarangan untuk tanaman obat keluarga Meminta obat gratis ke puskesmas/ tempat berobat lainnya Pendidikan Anak bekerja/membantu orang tua untuk menambah keperluan sekolah Keluarga mengusahakan beasiswa untuk sekolah anak Meminta buku bekas ke sekolah/tetangga Pendapatan lainnya ibu memiliki pekerjaan sampingan Suami memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama Mengontrakkan rumah untuk menambah keuangan keluarga Menggadaikan barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari Menjual aset untuk kebutuhan sehari-hari Pindah ke tempat lain
2 3 4 5 B 1 2 C 1 2 3 D 1 2 3 4 5 6
Strategi penambahan pendapatanPKH Tidak KadangSering pernah kadang n % n % n % 113
75,3
3
2,0
34
22,7
85 46 31 31
56,7 30,7 20,7 20,7
5 62 31 62
3,3 41,3 20,7 41,3
60 42 88 57
40,0 28,0 58,7 38,0
126
84,0
1
7,0
23
15,3
61
40,7
15
10,0
74
49,3
118
78,7
12
8,0
20
13,3
139 144
92,7 96,0
4 4
2,7 2,7
7 2
4,7 1,3
119 123 149 139 114 143
79,3 82,0 99,3 92,7 76,0 95,3
13 10 1 9 24 2
8,7 6,7 0,7 6,0 16,0 1,3
18 17 0 2 12 5
12,0 11,3 0 1,3 8,0 3,3
98
Lampiran 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan subjektif No
Pertanyaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Keadaan keuangan keluarga Keadaan makanan keluarga Keadaan tempat tinggal Keadaan materi/aset keluarga Keadaan Spiritual/mental keluarga Keadaan kesehatan fisik keluarga Upaya bertahan hidup yang dilaksanakan keluarga Gaya manajemen (cara pengelolaan) keuangan keluarga Gaya manajemen (cara pengelolaan) pekerjaan isteri Hubungan/ komunikasi dengan orangtua/ mertua Hubungan/ komunikasi dengan saudara/ kerabat Hubungan / komunikasi dengan tetangga Keterlibatan isteri dalam kegiatan sosial Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki isteri Perasaan isteri terhadap kebersihan rumah Perasaan isteri terhadap sekolah anak Perasaan isteri terhadap perilaku anak Perasaan isteri terhadap penghasilan suami Perasaan isteri isteri terhadap komunikasi dengan suami Perasaan isteri terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan di rumah tangga Kepuasan hubungan perkawinan dengan suami Kebahagiaan hubungan perkawinan
21 22
Kesejahteraan Subjektif Tidak Cukup Puas puas puas n % n % n % 46 30,7 71 47,3 33 22,0 39 26,0 72 48,0 39 26,0 71 47,3 42 28,0 37 24,7 82 54,7 42 28,0 26 17,3 33 22,0 47 31,3 70 46,7 24 16,0 48 32,0 78 52,0 42 28,0 37 24,7 71 47,3 47 31,3 36 24,0 67 44,7 37 24,7 20 13,3 93 62,0 6 4,0 35 23,3 107 71,3 8 5,3 35 23,3 107 71,3 6 4,0 33 22,0 111 74,0 46 30,7 28 18,7 76 50,7 37 24,7 28 18,7 85 56,7 36 24,0 26 17,3 88 58,7 15 10,0 43 28,7 92 61,3 21 14,0 46 30,7 83 55,3 76 50,7 40 26,7 34 22,7 27 18,0 35 23,3 88 58,7 33 22,0 33 22,0 84 56,0 23 25
15,3 16,7
38 58
25,3 38,7
89 67
59,3 44,7
99
Lampiran 6 Alokasi pengeluaran contoh ( indepth interview) No
Pengeluaran
Kel. Janda Anak <3 Anak >3 n=1 n=1
Pendidikan 1 Uang transpor 2 Uang jajan 3 Uang BP3 4 SPP 5 Uang les 6 Buku tulis 7 Buku pelajaran 8 Tas dan sepatu 9 Alat tulis 10 Meja belajar 11 Ektrakulikuler 12 Komite sekolah 13 LKS 14 Seragam 15 Seragam pramuka 16 Baju olahraga 17 Perpisahan 18 Bangku 19 Samenan 20 Baju TK Total pendidikan Non pendidikan 1 Beras 2 Hutang 3 Listrik 4 Kebutuhan dapur 5 Tabungan 6 Modal usaha 7 Potongan ketua 8 Potongan RT 9 Transportasi PKH 10 Baju dan keperluan anak 11 Transport ke ortu 12 Susu 13 Suami 14 Arisan 15 Sumbangan 16 Pembuatan akta 17 Memperbaiki Rmh 18 Keperluan kesehatan 19 Emas 20 Hajatan Total non pendidikan Total pendidikan dan non pendidikan Dana PKH/3bln
Kel. lengkap Anak <3 Anak n=1 n=1
>3
Kel. lengkap Suami Suami tdk bekerja Bekerja (n=1) (n=1)
0 0 0 0 0 4.333 0 16.667 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21.000
0 0 0 50.000 0 11.333 30.000 56.667 10.000 0 0 0 0 0 0 0 23.333 0 0 0 181.333
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16.667 0 0 0 16.667
0 0 0 0 0 23.333 0 70.000 10.000 0 0 0 0 40.000 0 0 0 0 0 0 143.333
0 0 0 0 0 10.667 0 25.000 5.000 0 0 0 0 0 0 13.333 0 0 0 0 54.000
0 6.667 0 0 0 0 0 8.333 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15.000
26.667 16.667 0 0 0 0 3.333 3.333 5.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 55.000 76.000 200.000
10.000 0 20.000 3.333 16.667 0 3.333 1.667 2.000 3.667 3.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 63.667 245.000 600.000
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100.000 100.000 167.667 433.000
0 33.333 0 22.333 8.333 50.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 113.999 357.332 772.000
0 0 0 0 33.333 0 333 333 1.667 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 35.666 89.666 733.000
25.333 0 8.333 24.000 3.333 0 3.333 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 64.332 79.332 200.000
100
Lampiran 7 Hasil uji korelasi spearman karakteristik keluarga, dukungan sosial, strategi koping fungsi ekonomi dan kesejahteraan subjektif Besar anggota keluarga 1,000
Besar anggota keluarga Usia isteri Lama pendidikan Pendapatan per kapita Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Aset Dukungan tetangga Dukungan keluarga Strategi koping fungsi ekonomi Kesejahteraan keluarga subjektif ** Korelasi Nyata pada tingkat 99% * Korelasi Nyata pada tingkat 95%
Usia istri 0,147 1,000
Lama pendidikan -0,126 -0,047 1,000
Pendapatan per kapita -0,366** -0,176* 0,152 1,000
Pengeluaran pangan -0,325** -0,116 0,070 0,230** 1,000
Pengeluaran non pangan -0,254** -0,046 0,135 0,262** 0,255** 1,000
Aset -0,600 0,060 0,029 0,119 0,127 0,029 1,000
Dukungan tetangga -0,086 -0,067 -0,010 0,104 -0,095 0,073 0,182* 1,000
Dukungan keluarga -0,131 -0,080 -0,044 0,079 0,138 0,215** 0,064 0,213** 1,000
Strategi koping fungsi ekonomi 0,254** 0,212** -0,096 -0,238** -0,039 -0,126 -0,088 -0,020 -0,073 1,000
Kesejahteraan subjektif -0,024 0,029 0,036 0,094 0,176* 0,145 0,035 -0,035 -0,205* -0,264** 1,000
101
Lampiran 8 Hasil uji regresi linier berganda b
Variables Entered/Removed
Model 1
Variables Entered Pengeluar an Total Per Bulan Per Kapita, skor dukungan sosial, aset dalam rupiah pos, skor koping post pkh 100, umur isteri, DANA_PK H, lama penddikan isteri, jumlah anggota a keluarga
Variables Removed
Method
,
a.
All requested variables entered.
b.
Dependent Variable: kesejahteraan subyektif pos
Enter
Model Summary
Model 1
R ,493a
R Square ,243
Adjusted R Square ,199
a. Predictors: (Constant), Pengeluaran Total Per Bulan Per Kapita, skor dukungan sosial, aset dalam rupiah pos, skor koping post pkh 100, umur isteri, DANA_PKH, lama penddikan isteri, jumlah anggota keluarga
Std. Error of the Estimate 17,28
102
ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 13395,390 41821,454 55216,844
df 8 140 148
Mean Square 1674,424 298,725
F 5,605
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), Pengeluaran Total Per Bulan Per Kapita, skor dukungan sosial, aset dalam rupiah pos, skor koping post pkh 100, umur isteri, DANA_PKH, lama penddikan isteri, jumlah anggota keluarga b. Dependent Variable: kesejahteraan subyektif pos
Coefficientsa
Model 1
Unstandardized Coefficients B Std. Error (Constant) 38,617 17,476 umur isteri ,106 ,197 lama penddikan isteri -2,078 ,752 jumlah anggota keluarga 2,314 ,920 skor dukungan sosial 1,484 ,716 aset dalam rupiah pos 8,149E-07 ,000 skor koping post pkh 100 -,805 ,152 DANA_PKH 2,193E-04 ,000 Pengeluaran Total Per 6,558E-05 ,000 Bulan Per Kapita
a. Dependent Variable: kesejahteraan subyektif pos
Standardi zed Coefficien ts Beta ,044 -,243 ,224 ,155 ,027 -,426 ,115
t 2,210 ,535 -2,763 2,515 2,074 ,352 -5,293 1,380
Sig. ,029 ,593 ,007 ,013 ,040 ,726 ,000 ,170
,262
3,182
,002
103
Lampiran 9 Deskriptif untuk Data Indepth-Interview Keluarga lengkap dengan anak lebih dari 3 dan anak kurang dari 3 Berdasarkan analisis wawancara mendalam pada keluarga lengkap yang memiliki anak lebih dari 3 orang dan yang memiliki anak kurang dari 3 orang, dapat diketahui bahwa kesulitan hidup yang sering menjadi pemicu konflik dalam keluarga adalah masalah jajan anak. Hal ini terkait dengan keterbatasan uang yang dimiliki keluarga menurut penuturan ibu Eni (keluarga lengkap dengan anak kurang dua) beliau suka kesal karena anaknya belum bisa diberi pengertian sehingga terkadang uang yang seharusnya digunakan untuk membeli bahan pangan teralokasikan untuk membeli mainan. Sedangkan untuk pekerjaan suami tidak pernah menjadi sumber pertengkaran keluarga karena memang dari awal pernikahan contoh paham sekali dengan kondisi suaminya. Mereka hanya pasrah saja dan mensyukuri semua yang diberikan Tuhan. Ketika contoh merasa terbebani atau stress dengan segala kondisi yang membelitnya biasanya mereka melakukan beberapa cara ibu eni memilih untuk berkunjung ke rumah saudara atau orangtua sedangkan ibu Titin (keluarga lengkap dengan anak lebih dari 3) memilih untuk membaca buku. Suami contoh pada kedua keluarga ini tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan pendapatan kotor yang diterima setiap bulannya sebesar Rp.600.000,- sampai dengan Rp.900.000,-. Dengan penghasilan keluarga yang rendah suami/isteri harus menanggung beban hidup yang cukup besar. Beban hidup yang ditanggung dalam keluarga khususnya dalam hal keuangan kesehariannya keluarga mengandalkan hutang perorangan dan menurut penuturan ibu Titin selain hutang perorangan beliau biasa juga berhutang ke koperasi. Selain itu, karena ibu titin memiliki pekerjaan sampingan, yaitu berdagang hasil keuntungan dari sinilah menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selain pendapatan dari suami. Dukungan sosial dari tetangga maupun keluarga besar/saudara menjadi asupan tersendiri bagi keluarga contoh seperti ibu Eni menegaskan bahwa ketika tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari biasanya beliau berhutang atau terkadang meminta ke orangtuanya. Sama halnya dengan ibu Titin beliau tidak
104
pernah meminta bantuan atau mendapatkan bantuan dari tetangga hanya keluarga besar yang terkadang membantunya dalam hal keuangan. Pemenuhan
kebutuhan
sehari-hari
dipenuhi
dengan
dilakukannya
pengurangan kebutuhan-kebutuhan baik pangan, kesehatan, pendidikan dan keuangan, diantaranya (a) memilih jenis makanan yang murah, (b) mengganti makanan protein hewani menjadi protein nabati, (c) mengurangi uang jajan disekolah, (d) memilih tempat berobat yang murah. Sedangkan dalam menghadapi krisis ekonomi kedua keluarga ini melakukan strategi penambahan pendapatan keluarga diantaranya adalah; (a) ibu bekerja untuk mencari tambahan keluarga, (b) adanya anggota keluarga lain yang membantu keuangan keluarga dan ditambah lagi untuk ibu Titin dengan cara berdagang. Baik sebelum dan
setelah mendapatkan PKH
contoh memiliki kecenderungan yang sama dalam melakukan cara untuk bisa bertahan hidup. Menurut contoh setelah mendapatkan PKH pemenuhan kebutuhan untuk keperluan sekolah menjadi tidak terlalu berat lagi. Dengan adanya PKH keluarga contoh merasa bahwa beban hidup yang dihadapi berkurang khususnya dalam hal keuangan sehingga meningkatkan ketenangan batin contoh. Keluarga Janda dengan anak kurang dari 3 dan anak lebih dari 3 Berdasarkan hasil analisa wawancara mendalam diketahui bahwa beban hidup yang dirasakan oleh keluarga janda sangatlah besar baik itu yang memiliki anak kurang dari 3 maupun pada keluarga yang memiliki anak lebih dari 3. Status dalam keluarga yang tergantikan menjadi kepala keluarga menjadi beban tersendiri bagi contoh. Ditambah lagi, contoh tidak memiliki pekerjaan sehingga untuk hidup seharihari hanya bisa mengandalkan pemberian dari warga sekitar. Pada keluarga janda dengan anak kurang dari 3, contoh mengakui setelah tidak lagi menjadi kuli ngoret beliau menumpang hidup dari anaknya yang sudah menikah. Masalah keluarga yang sering dihadapi pada kedua keluarga ini, yaitu masalah keuangan keluarga dan ketika anak meminta jajan. Hutang perorangan menjadi andalan ketika memang dalam kondisi yang sulit mereka membutuhkan uang. Dukungan sosial baik dari tetangga
105
ataupun keluarga besar yang diterima pada kedua keluarga sangat tinggi sehingga sedikit mengurangi beban mereka. Baik sebelum dan setelah mendapatkan PKH, cara contoh memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam kondisi keuangan yang serba kekurangan dengan melakukan strategi penghematan diantaranya; (a) mengurangi pembelian kebutuhan pokok, (b) mengganti bahan makanan protein hewani menjadi protein nabati, (c) mengurangi uang saku anak, (d) terkadang anak terpaksa membolos karena memang tidak ada ongkos untuk transport. Selain itu, contoh pada kedua keluarga ini melakukan strategi menambah pendapatan dengan cara; (a) mendapat bantuan keuangan dari anggota keluarga lain, (b) berhutang ke warung untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari, (c) pada keluarga janda yang memiliki anak lebih dari tiga beliau mengusahakan beasiswa untuk anak-anaknya. Pada kedua keluarga janda baik yang memiliki anak lebih dari tiga maupun yang memiliki anak kurang dari tiga menegaskan bahwa kesejahteraan subyektif yang dirasakan antara sebelum dan setelah PKH sama bahkan semakin menurun. Untuk keluarga ibu titi sumarti (janda dengan anak lebih dari 3) beliau menuturkan bahwa setelah suaminya meninggal tepatnya enam bulan lalu kesejahteraan subyektif keluarga khususnya dalam hal materi sangat menurun. Keluarga lengkap dengan suami bekerja dan tidak bekerja Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa keluarga dengan suami bekerja dan tidak bekerja memberikan efek yang sangat berbeda dengan kondisi keuangan keluarga. Pada keluarga dengan suami bekerja, pencari nafkah keluarga tetap pada suami sebagai kepala keluarga. Sedangkan pada keluarga dengan suami tidak bekerja isteri beralih fungsi menjadi pencari nafkah keluarga. Jenis pekerjaan yang dijalani contoh pun akan mempengaruhi pendapatan yang diterima. Pada keluarga dengan suami bekerja setiap bulannya isteri menerima Rp.900.000,sedangkan untuk keluarga dengan suami tidak bekerja pendapatan yang diterima setiap bulannya Rp.300.000,-. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jumlah pendapatan antara kedua keluarga ini. Kedua keluarga ini mengaku sangat
106
sulit mengatur uang agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Salah satu solusi ketika mereka terhimpit kebutuhan, yaitu berhutang perorangan kepada saudara atau teman terdekat. Dukungan sosial baik dari tetangga maupun dari keluarga besar yang diterima kedua keluarga sangat rendah. Mereka mengaku bahwa mereka tidak pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun dari tetangga sekitar. Permasalahan yang sering dihadapi oleh kedua keluarga ini, yaitu masalah keuangan dan masalah kenakalan anak. Contoh mengaku suka pusing ketika anak meminta uang jajan yang terbilang besar setiap harinya. Ketika contoh merasa stress kegiatan yang biasa dilakukan adalah main kerumah saudara menurut penuturan salah satu contoh yang penting keluar dari rumah. Dalam mengatasi krisis keuangan kedua keluarga cenderung memiliki cara yang sama baik yang dilakukan sebelum maupun setelah mendapatkan PKH diantaranya; melakukan pengurangan pembelian kebutuhan pangan, mengganti bahan makanan protein hewani dengan protein nabati. Selain itu, keluarga melakukan strategi menambah pendapatan diantaranya pada keluarga dengan suami bekerja memilih berdagang untuk menambah pendapatan keluarga dan kedua keluarga biasa berhutang ke warung terlebih dahulu ketika tidak mempunyai uang untuk belanja. Bahkan untuk keluarga ibu juju (keluarga dengan suami tidak bekerja) setiap harinya beliau harus berhutang ke warung untuk makan anggota keluarga dan dibayarnya ketika beliau mendapat gaji sebulan sekali. Dalam kesehariannya kedua keluarga sering mengurangi uang saku anak ketika tidak memiliki uang. Kedua keluarga menegaskan bahwa setelah mendapat PKH kesejahteraan keluarga semakin meningkat khusunya dalam hal ekonomi. Dengan adanya PKH sangat membantu contoh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari baik itu dalam hal pendidikan, keuangan, dan kesehatan keluarga.
107
Lampiran 10 Foto Lapang