STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN
SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan Manajemen Dakwah (MD)
SRI WAHYUNI 1105054
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 (eksemplar) Hal : Persetujuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari : Nama : Sri Wahyuni NIM : 1105054 Jurusan : DAKWAH /MD Judul Skripsi : STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Bidang Substansi Materi
Drs. H. M. Zein Yusuf, MM NIP. 195309091982031003
Semarang, Mei 2010 Pembimbing, Bidang Metodologi & Tatatulis
Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.Si NIP. 197307101999031004
ii
SKRIPSI STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN
Disusun oleh: Sri Wahyuni 1105054
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal: 21 Juni 2010 Dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat Susunan Dewan Penguji
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. H. Anasom, M.Hum NIP. 19661225 199403 1004
Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.Si NIP. 19730710 199903 1004
Penguji I
Penguji II
Dr. H. Awaludin Pimay, Lc., M.Ag NIP. 19610727 200003 1001
Saerozi, S.Ag. M.Pd NIP. 19710605 199803 1004
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. M. Zain Yusuf, MM NIP. 19530909 198203 1003
Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.Si NIP. 19730710 199903 1004 iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka
Semarang, 14 Mei 2010
SRI WAHYUNI 1105054
iv
MOTTO
(
:
)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421)
{
}
Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi ilahi tanpa batas,dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keridhaan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada diruang dan waktu kehidupanku khususnya buat: v Ayahanda Muchtar dan Ibunda Rusmiyati yang dengan tabah mengasuh penulis mulai kecil sampai dewasa dan mencurahkan jiwa raganya. Dan dengan kesabarannya membesarkan, mendidik penulis hingga seperti sekarang ini, serta do'anya yang tak putus-putus sehingga penulis dapat melanjutkan studi sampai ke perguruan tinggi dan semoga beliau tetap diberi kesehatan, umur panjang dan selamat dunia dan akhirat. v Kakakku tercinta Edi Hartanto, Anisah yang selalu memberikan support, baik moral maupun material, sehingga terselesaikannya skripsi ini, dan Adikku Dewi Rosmita Sari, Roy Andes Santoni dan keponakanku Evan Hardiansah, M. Aldo Fikar Almansyah yang selalu memberikan warna dalam kehidupan penulis serta memberikan inspirasi untuk terus berjuang dalam menggapai cita-cita. v Teman-teman
satu
kost
Segaran
Semarang
No.
14,
yang
selalu
mendampingiku dalam suka dan duka dalam hidup dan kehidupan Kak Dahlia, Suyati, Wati, Safi’ah, Zahro’ul, Ernik, Mahfudzoh, Asyiah yang selalu memberikan support untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar, do'a penulis semoga amal baik kalian dibalas lebih oleh Allah SWT. v Teman-teman satu kelas MD 2005, Nurul Khikmah, Dewi Thoharoh, Suyati, Okta Laila, Siti Zulaikhah, Arifin, Bambang, Bowo, Dibyo, Khoirul tempat berbagi suka maupun duka serta yang selalu memberikan suport dan dukungan. v Pendamping hidupku (M. Bagus Ibrahim) yang tidak pernah menyerah dalam memberikan motivasi kepada penulis untuk menemukan arti dan tujuan kehidupan, sehingga terselesaikannya skripsi ini. vi
ABSTRAK Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah? Bagaimana pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen? Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen? Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data skripsi ini dengan teknik dokumentasi atau studi dokumenter. Data Primernya yaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan karya-karya M. Natsir tentang strategi dakwah dan misionaris Kristen, sedangkan data sekundernya yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini. Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang kualitatif. Hasil pembahasan skripsi adalah pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwa M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan materi dakwah. Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memiliki kemampuan intelektual yang utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuh pesan dakwah yang disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial. Dalam dimensi spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa Islam itu meliputi ajaran spiritual dan sosial. Pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen, bahwa pandangan M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen dikenal apa yang disebut konsep modus vivendi. Menurut M. Natsir modus vivendi adalah menciptakan kehidupan berdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut dapat dipahami karena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut. Pertama, antara pemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan. Kedua, agar semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan pemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama. Keempat, menghindari terjadinya perang agama. Strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M. Natsir mengetengahkan tiga strategi dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu strategi pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan berbagai media cetak.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN” ini, disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM selaku Dosen pembimbing I dan Bapak Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.Si selaku Dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Segenap Bapak, Ibu tenaga edukatif dan administratif Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memperlancar proses pembuatan skripsi ini. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 14 Mei 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv HALAMAN MOTTO ................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi ABSTRAKSI............................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................... ix BAB I : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
....................................................................1
1.2.Perumusan Masalah ...................................................................10 1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................10 1.4.Tinjauan Pustaka
....................................................................11
1.5.Metoda Penelitian ....................................................................16 1.6.Sistematika Penulisan ................................................................18 BAB II: DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS 2.1.Dakwah
....................................................................20
2.1.1. Konsep tentang Dakwah ..................................................20 2.1.2. Tujuan Dakwah ................................................................22 2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah .......................................................24 2.2.Strategi
....................................................................41
2.2.1. Pengertian Strategi ...........................................................41 2.2.2. Strategi Dakwah ...............................................................43 2.3.Konsep Misionaris ....................................................................45
ix
BAB III: STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN 3.1. Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya................. 49 3.2. Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen
.............................................................. 53
3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama ............................. 53 3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/ Katholik di Indonesia........................................................ 60 3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama........................................ 65 3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi .................................. 67 BABIV: ANALISIS
STRATEGI
DAKWAH
M.
NATSIR
DALAM
MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN 4.1. Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah....................................74 4.2. Konsep Dakwah M.Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen........................................................................................... 81 4.3.Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi Misionaris Kristen...........................................................................................96
BAB V : PENUTUP 5.1.Kesimpulan
....................................................................101
5.2.Saran-Saran
....................................................................102
5.3.Penutup
....................................................................102
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pemeluk agama menginginkan agar agamanya banyak yang memeluk, tidak terkecuali agama Kristen. Hanya saja para misionaris (utusan penyebar injil) seringkali menggunakan cara-cara yang tidak terpuji yaitu menyebarkan agama di kalangan orang yang non Kristen yaitu para pemeluk agama Islam. Fenomena ini sangat menyinggung perasaan orang Islam terlebih lagi para pemuka agama Islam termasuk di dalamnya para da'i. Melihat kenyataan ini, para misionaris menganggap Islam tidak toleran, sebaliknya kalangan pemeluk Islam menganggap justru Kristen yang tidak toleran. Peristiwa ini terus berlangsung hingga munculnya berbagai propaganda dan cara untuk menjadikan penganut Islam keluar dari agamanya. Hal itu dilakukan bisa dalam bentuk yang halus dan tak kentara sampai bentuk yang terang-terangan. Persoalan ini yang menjadi salah satu pemicu timbulnya saling curiga antara agama yang melibatkan kecurigaan para pemeluknya serta menimbulkan berbagai hujatan yang dialamatkan pada para misionaris Kristen. Dari kecurigaan tersebut, maka peristiwa pertikaian, peledakkan bom di beberapa gereja memunculkan sebuah asumsi yang dikembangkan oleh sebagian para misionaris sebagai kelakuan orang Islam yang benci terhadap keberadaan umat Kristen di Indonesia. Padahal Islam bukan agama kekerasan dan tidak ada dalam ajarannya yang memerintahkan pengeboman karena
hanya lantaran perbedaan agama. Dari sini tampaknya umat Kristiani telah membuat penilaian yang keliru Berbagai peristiwa yang mengagetkan hampir mewarnai media cetak dan elektronika. Dalam Harian Kompas (2006: 6) diberitakan bahwa beberapa tempat obyek wisata seperti Bali dan tempat ibadah luluh lantak oleh bom yang dijatuhkan sekelompok orang yang disebut teroris. Banyak kejadian jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam merupakan "simbol-simbol" dari apa yang selama ini telah dilakukan dalam bermasyarakat. Masyarakat beragama sering diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil, rasial, dan agama dengan upaya-upaya mengail di "air keruh" sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan, sehingga tidak jarang membuyarkan anganan bahwa agama adalah pembawa damai dan keselamatan bersama. Agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di bumi ini. Fenomena di masyarakat telah menampakkan adanya serangkaian aksi teroris yang meledakkan bom di beberapa tempat dan melukai orang-yang tidak bersalah telah memicu kecemasan bangsa Indonesia. Padahal ajaran agama melarang keras membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak memerangi. Namun kenyataan menunjukkan adanya keyakinan yang keliru dari para teroris dalam memperjuangkan konsep jihad. Fenomena pengeboman ini telah memicu antipati bagi kelompok agama yang kebetulan tempat
2
ibadahnya rusak dalam sekejap akibat pengeboman (Harahap dan Nasution, 2003: 320). Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama lain yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang dikuasai oleh kaum Muslimin. Mereka diperlakukan dengan cara yang baik dan adil, seperti yang berlaku terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani di zaman pemerintahan Rasulullah di Madinah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu diberikan kebebasan menjalankan agamanya seperti kebebasan yang diberikan kepada orang-orang Islam sendiri. Hak-hak mereka dilindungi dan dijamin dalam suatu bentuk perjanjian. Menurut hukum antar-golongan dalam Islam, mereka itu dinamakan kaum Zimmi, yaitu orang-orang yang mendapat jaminan, perlindungan dari masyarakat Islam (Ghazali, 2005: 55). Islam
merupakan
agama
yang
paling
toleran,
Islam
tidak
membenarkan meng-klaim agama lain tidak benar tetapi dalam kenyataannya banyak peristiwa perpecahan antar agama yang dipicu oleh keyakinan yang keliru terhadap agama, dengan klaim agamaku sebagai agama yang paling benar (Ma'arif, 2005: 36). Kaum Muslimin diikat oleh suatu peraturan supaya hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang-orang yang memeluk agama lain itu. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian itu. Apabila orang-orang yang memeluk agama lain itu memajukan suatu pengaduan atau perkara, maka pengaduan itu wajib diperiksa dan ditimbang secara adil. Umat Islam dilarang menganiaya, mengusik, mengganggu dan menghina pemeluk-pemeluk agama lain dan
3
dilarang menahan dan merampas hak-milik mereka (Harahap dan Nasution, 2003: 321). Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk selain dapat berperan sebagai
faktor
pemersatu
(integratif)
juga
sebagai
faktor
pemecah
(disintegratif). Fenomena ini banyak ditentukan oleh empat hal: (1) Teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, (4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam mengarahkan pengikutnya (Harahap dan Nasution, 2003: 320 – 322). Dalam sejarah Islam, toleransi dalam kehidupan beragama telah dipraktikkan. Salah satu yang sangat menonjol ialah "Piagam Madinah" yang disusun oleh Rasulullah, sesaat setelah berhijrah dari Madinah ke Mekah dan pimpinan agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai antarumat beragama. Demikian pula ketika Umar bin Khattab memimpin pemerintahan tahun 15 Hijriah mengadakan perjanjian terhadap penduduk yang beragama Nasrani Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan jaminan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Bahkan jauh hari Al-Qur'an telah mensinyalir akan muncul bentuk klaim kebenaran, baik dalam wilayah intern umat beragama maupun antarumat beragama. Kedua-duanya sama-sama tidak menyenangkan dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat yang sehat (Harian Suara Merdeka, 2006: 9).
4
Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hakhak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya (Ghazali, 2005: 55-58). Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi (artinya Islam lahir belakangan dibandingkan agama semisal Yahudi dan Kristen). Pemahaman diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Islam bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi Muhammad Saw ketika
5
menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-komunitas agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah di sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw (Ma'arif, 2005: 36-38). Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat a-Baqarah (2) ayat 256 :
{
}
Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. alBaqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).
6
Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip tersebut ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran (hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari (Madjid, 2000: 24). Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisan
hubungan
antarumat
beragama
ini.
Kegagalan
dalam
merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma terpecah belahnya sebagai bangsa (Shihab, 1988: 133). Dalam Al-Qur’an surat al-Mumtahanah (60) ayat 8 Allah SWT berfirman:
:
)
(
Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
7
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8) (Depag, 1986: 924). Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa umat Islam tidak memusuhi umat beragama lain, khususnya Kristen. Sebaliknya para misionaris Kristen juga harus menjaga etika dalam menyebarkan agamanya. Para misionaris jangan seenaknya menyebarkan agama dan menarik-narik orang Islam masuk kedalam agamanya. Atas dasar itu dapat dimengerti jika M. Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkrit dengan melakukan tiga upaya besar, sebagai strategi dakwah yaitu (1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung kristenisasi; (2) menulis karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan Kristen di Indonesia; (3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Paus II di Vatikan dengan permohonan agar membuka mata , memperhatikan kristenisasi yang tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim. M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama, yaitu (1) kristenisasi itu sendiri; (2) diakonia pelayanan yang berkedok sosial); (3) modus vivendi (metode yang memungkinkan antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam sementara waktu dengan jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan sementara, jalan tengah) M. Natsir sangat memahami bahwa untuk membendung kristenisasi harus menggunakan strategi dakwah karena dakwah demikian penting untuk memperkokoh akidah umat Islam. Urgensi dakwah yaitu dakwah dapat 8
memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana sikap umat Islam dalam beragama. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai agama dapat dikurangi. Pada waktu M. Natsir hidup ada suatu fenomena yaitu misionaris dengan gencar memperluas ajaran kristenisasi di kalangan umat Islam. Misionaris melakukan proses penginjilan dengan berbagai cara. Di antaranya, pertama, melalui semboyan cinta kasih mendatangi rumah umat Islam, dari rumah kerumah dijalani proses penginjilan; kedua, dengan memberi supermi dan beras merayu umat Islam agar memasuki ajarannya; ketiga, dengan semboyan menolong, para misionaris mencari umat Islam yang sedang terjepit utang lalu misionaris mengulur tangan membantu membayarkan hutang. Kondisi yang riskan ini mendorong M. Natsir merancang strategi dakwah untuk membendung upaya-upaya yang sedang ditempih misionaris. Menariknya meneliti konsep M. Natsir yaitu karena ia merupakan salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Adapun sebagai seorang dai ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak
9
Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993. Berdasarkan keterangan tersebut, mendorong peneliti memilih judul Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen. 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya (Suriasumantri, 1993: 312). Berdasarkan keterangan ini maka yang menjadi perumusan masalah yaitu 1.2.1. Bagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah? 1.2.2. Bagaimana pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen? 1.2.3. Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian ini: 1.3.1.1. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang dakwah 1.3.1.2. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen 1.3.1.3. Untuk mengetahui strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen 1.3.2 Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi: 1.3.2.1 Secara teoritis, yaitu untuk menambah pengembangan ilmu Fakultas Dakwah khususnya jurusan Manajemen Dakwah,
10
dengan harapan dapat dijadikan salah satu bahan studi banding oleh peneliti lainnya. 1.3.2.2 Secara praktis yaitu dapat dijadikan masukan pada umat Islam dan umat Kristen dalam menyebarkan agama. 1.4 Tinjauan Pustaka Ada beberapa skripsi dan beberapa buku yang membahas masalah strategi dakwah, namun belum ada yang membahas secara khusus pendapat M. Natsir dalam hubungannya dengan misionaris Kristen. Di antara karya ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut: 1. Skripsi yang disusun oleh Tri Sulis Setiyaningsih (Tahun 2006), Fanatisme dan Toleransi Beragama Menurut Yusuf al-Qardhawi. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian di atas adalah bagaimana fanatisme dan toleransi beragama menurut Yusuf al-Qardhawi dalam buku Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan. Metode penelitian ini menggunakan hermeneutik. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hubungannya dengan toleransi, Yusuf Al-Qardawi menegaskan: tak bisa dipungkiri, kita memerlukan sikap toleran yang membuka jendela bagi pihak lain, dan tidak memusuhi mereka yang berbeda. Yaitu, berupa toleransi agama, toleransi pemikiran, serta toleransi politik, yang melapangkan semua manusia sekalipun mereka berbeda satu dengan yang lain. Toleransi Agama, teks-teks agama yang agung mewajibkan toleransi tersebut, khususnya toleransi agama, bahkan, agama memerintahkan dan menganjurkannya. Di antara bidang garapan toleransi 11
agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen, selama jelas tujuantujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum muslimin yang terlibat dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang memiliki kapasitas keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih dahulu, harus memiliki kesepakatan tentang tujuan dialog semacam ini. Banyak kaum muslimin takut menghadapi dialog dengan orang-orang yang berbeda (pendapat dan keyakinan).
Seolah-olah
mereka
khawatir
dialog
tersebut
akan
menyebabkan pihak muslim menarik diri dari akidah, syari'at, serta nilainilainya. Hal semacam ini tak bisa dibayangkan muncul dari seorang muslim yang benar keislamannya, kuat imannya, rela menjadikan Allah sebagai Tuhan, menjadikan Islam sebagai agama, dan menjadikan Muhammad sebagai Nabi serta Rasul. 2. Skripsi yang disusun oleh Sulistiyono (Tahun 2005), Studi Analisis Pendapat Jalaluddin Rakhmat tentang Konsep Dakwah Islam dalam Pendidikan. Pada intinya dijelaskan bahwa bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi s.a.w. sebagai da'i: "Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang munkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka barangsiapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orangorang yang berbahagia." (QS. 7:157). "Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika la mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al12
Kitab dan al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata." (QS. 3:164; 2:129; 62:2). Dari ayat pertama kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma'ruf nahi munkar, menjelaskan tentang yang halal dan haram (syariat Islam), meringankan beban penderitaan, dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua kita melihat ada tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri mereka), dan ta'lim (mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah). Seperti akan saya jelaskan nanti, amar ma'ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan haram, termasuk ta'lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilawah, tazkiyah, ta'lim, dan ishlah (yang saya pakai untuk meringkaskan pengertian tentang "melepaskan beban dan belenggu-belenggu". 3. Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Tahun 2001). Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama, adalah fenomena nyata. Di masa lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan merisaukan.
Pluralitas
merupakan
kondisi
obyektif
dalam
suatu
masyarakat yang terdapat sejumlah group saling berbeda, baik strata 13
ekonomi, ideologi, keimanan (agama), maupun latar belakang etnis. Sedangkan isme artinya paham, pemahaman atau memahami. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pluralisms adalah paham yang menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama. Dalam kehidupan modern, masalah pluralisme dapat dikatakan sebagai agenda kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian dan respon secara aktif dan konstruktif dari para
pemikiran
dan
cendekiawan.
Dikatakan
demikian,
karena
bagaimanapun pluralisme merupakan kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari. la merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan yang telah menjadi ketentuan Tuhan. Pemahaman seperti ini sangat dibutuhkan dalam segala perilaku kehidupan, termasuk dalam membangun harkat dan martabat manusia. 4. Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Toleransi Agama (2004: 167). Toleransi beragama di Indonesia dikembangkan melalui berbagai cara, di antaranya melalui dialog karena dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tetapi bahasa bersama ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda. Dialog didefinisikan sebagai pertukaran ide yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap usaha mendominasi pihak lain harus dicegah; kebenaran satu pihak tidak berarti ketidakbenaran di pihak lain. Bahasa bersama lebih dari
14
sekadar kemiripan pembahasan; dia berdasarkan kesadaran akan masalah bersama, kita butuh alat untuk mencapai landasan bersama (Ghazali, 2004: 167). Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam berbagai
tingkat,
baik
lokal,
nasional,
maupun
internasional.
Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini. 5. Achmad (2001: ix). Toleransi Agama Kerukunan dalam Keragaman. Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin marak. Di antaranya: pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi. Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di
15
masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita-cita agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara citacita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalahmasalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk dikaji dan didalami. Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan terdahulu belum ada yang membahas Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi
Misionaris
Kristen. 1.5 Metoda Penelitian 1.5.1. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2002: 3). Jenis penelitian kualitatif yang dipakai adalah studi pustaka dan tokoh.
16
Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif berdasarkan data langsung dari subyek penelitian (Fuchan, Maimun, 2005: 59 – 61). Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan manajemen. Pendekatan ini diupayakan dengan menggunakan pemikiran secara mendalam dengan memahami substansi strategi dakwah M. Natsir. Metode ini menguraikan dan menjelaskan strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. 1.5.2. Sumber Data a. Data primer yaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan karya-karya M. Natsir tentang strategi dakwah dan misionaris Kristen b. Data sekunder yaitu dokumen-dokumen, notulis, foto-foto dan tulisan tentang M. Natsir (internet, jurnal-jurnal, surat kabar dan lain-lain). 1.5.3. Metode Pengumpulan Data Menurut Sumadi Suryabrata (1992: 84), kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya. Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik dokumentasi atau studi dokumenter yang menurut Arikunto (2002: 206) yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, 17
agenda, dan sebagainya Yang dimaksud dokumentasi dalam tulisan ini yaitu sejumlah data yang terdiri dari data primer dan sekunder. 1.5.4. Teknik Analisis Data Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif berdasarkan data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis. Analisis data kualitatif dalam studi tokoh ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap karakteristik konsep Natsir dengan cara menata dan melihatnya berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan pola atau tema tertentu. Mencari hubungan logis antar konsep Natsir dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan alasan mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga berupaya untuk menentukan arti di balik pemikiran tersebut berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan konsep Natsir sehingga dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek (Fuchan, Maimun, 2005: 59 – 61)
18
1.6 Sistematika Penulisan Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini. Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metoda penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan umum tentang strategi dakwah yang meliputi: Tentang Dakwah (pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur dakwah). Strategi dakwah (batasan strategi, strategi dakwah, misionaris) Bab ketiga berisi strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen yang meliputi: biografi M. Natsir, pendidikan dan karyakaryanya. Strategi dakwah M. Natsir dakwah dalam menghadapi misionaris Kristen Bab keempat berisi analisis strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen, meliputi: Pandangan M. Natsir tentang dakwah, konsep dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen dan strategi dakwah M Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran yang layak dikemukakan.
19
BAB II DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS
2.1 Dakwah 2.1.1 Konsep tentang Dakwah Kata da'wah (
) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:
"seruan, ajakan, panggilan, undangan, pembelaan, permohonan (do'a) (Pimay, 2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Menurut Anshari (1993: 11), dakwah adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT. Umar (1985: 1), dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Umary (1980: 52), dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sanusi (t.th: 11), dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki
kerusakan-kerusakan,
20
melenyapkan
kebatilan,
kemaksiatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 1). Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Zahrah (1994: 32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amr ma'ruf dan nahy munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai makna amr ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni mengesakan pada zat sifatNya. Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah
Islam
merupakan
aktualisasi
imani
(teologis)
yang
dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka
21
mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, , 1983: 2). Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut tersebut meskipun terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila dikaji dan disimpulkan maka dakwah akan mencerminkan hal-hal seperti berikut: pertama, dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar dan terencana; kedua, usaha yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan); ketiga, usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup bahagia sejahtera di dunia ataupun di akhirat. 2.1.2 Tujuan Dakwah Barmawie Umary (1984: 55) merumuskan, tujuan dakwah adalah memenuhi perintah Allah Swt dan melanjutkan tersiarnya syari'at Islam secara merata. Dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa pun. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman.
22
Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47). Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an menurut Aziz (2004: 68) adalah : 1. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
( :
) ...
Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7) (Depag RI,1978: 978). 2. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
(
)
Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS. ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375). 3. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.
23
(
:
)...
Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786). 4. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
( :
)
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534). 5. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam lubuk hati masyarakat.
(
:
)
Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87) (Depag RI,1978: 612). 2.1.3 Unsur-Unsur Dakwah Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut pautnya dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut tentang kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut adalah da'i (pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah), 24
materi
dakwah/maddah, wasîlah (media dakwah), tharîqah (metode), dan atsar (efek dakwah). a. Subjek Dakwah Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105). Menurut Helmy (1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugastugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh. Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam bidang dakwah, yaitu: 1. Hasjmy (1984: 186) menjelaskan tentang juru dakwah adalah para penasihat, para pemimpin dan pemberi periingatan, yang memberi nasihat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan kegiatan jiwa raganya dalam wa'ad dan wa id (berita pahala dan berita siksa) dan dalam membicarakan tentang
25
kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia. 2. M. Natsir (tth: 119) menjelaskan bahwa pembawa dakwah merupakan orang yang memperingatkan atau memanggil supaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada keuntungan Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial, sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat. Biar bagaimanapun baiknya ideologi Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada manusia yang menyebarkannya (Ya'qub, 1981: 37). Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuanketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban berdakwah, melakukan amar ma ruf nahi munkar. Jadi mustinya setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da’i karena sudah menjadi kewajiban baginya. Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidak mudah berdakwah dengan baik dan sempurna, karena pengetahuan dan kesanggupan setiap orang berbeda-beda pula. Namun bagaimanapun,
26
mereka wajib berdakwah menurut ukuran kesanggupan dan pengetahuan yang dimilikinya. Sejalan dengan keterangan tersebut, yang berperan sebagai muballigh dalam berdakwah dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Secara umum; adalah setiap muslim atau muslimat yang mukallaf, dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai penganut Islam. 2. Secara khusus; adalah mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan ulama (Tasmara, 1997: 41-42) Anwar Masy'ari (1993: 15-29) dalam bukunya yang berjudul: "Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah" menyatakan, syaratsyarat seorang da'i harus memiliki keadaan khusus yang merupakan syarat baginya agar dapat mencapai sasaran dan tujuan dakwah dengan sebaik-baiknya. Syarat-syarat itu ialah: Pertama, mempunyai pengetahuan agama secara mendalam, berkemampuan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan keterangan yang memuaskan. Syarat
kedua,
yaitu
tampak
.pada
diri
da'i
keinginan/kegemaran untuk melaksanakan tugas-tugas dakwah dan
27
penyuluhan semata-mata untuk mendapatkan keridaan Allah dan demi perjuangan di jalan yang diridhainya. Syarat ketiga, harus mempelajari bahasa penduduk dari suatu negeri, kepada siapa dakwah itu akan dilancarkan. Sebabnya dakwah baru akan berhasil bilamana da'i memahami dan menguasai prinsipprinsip
ajaran
Islam
dan
punya
kemampuan
untuk
menyampaikannya dengan bahasa lain yang diperlukan, sesuai dengan kemampuannya tadi. Harus mempelajari jiwa penduduk dan alam lingkungan mereka, agar kita dapat menggunakan susunan dan gaya bahasa yang dipahami oleh mereka, dan dengan cara-cara yang berkenan di hati para pendengar. Sudahlah jelas bahwa untuk setiap sikon ada katakata dan ucapan yang sesuai untuk diucapkan; sebagaimana untuk setiap kala-kata dan ucapan ada pula sikonnya yang pantas untuk tempat menggunakannya. Syarat keempat, harus memiliki perilaku, tindak tanduk dan perbuatan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan suri-teladan bagi orang-orang lain. Hamka, (1984: 228-233) berpandangan tentang standar seorang da'i dalam delapan kriteria sebagai berikut : 1. Hendaklah seorang da’i melihat dirinya sendiri apakah niatnya sudah bulat dalam berdakwah. Kalau kepentingan dakwahnya adalah untuk kepentingan diri sendiri, popularitas, untuk
28
kemegahan dan pujian orang, ketahuilah bahwa pekerjaannya itu akan berhenti di tengah jalan. Karena sudah pasti bahwa di samping orang yang menyukai akan banyak pula yang tidak menyenangi. 2. Seorang da’i mengerti benar soal yang akan diucapkannya. 3. Seorang da’i harus mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh, tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika memuji,dan tidak tergoncang, ketika orang-orang melotot karena tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai, meskipun ada cacat jasmani. 4. Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu tetapi bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani. 5. Seorang da’i harus mengerti pokok pegangan kita ialah Al Qur’an dan As Sunnah, di samping itu pun harus mengerti ilmu jiwa (Ilmu Nafs), dan mengerti adat-istiadat orang yang hendak didakwahi. 6. Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang membawa perdebatan, sebab hal itu akan membuka masalah khilafiyah. 7. Haruslah diinsyafi bahwa contoh teladan dalam sikap hidup, jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang keluar dari mulut.
29
8. Hendaklah seorang da'i itu menjaga jangan sampai ada sifat kekurangan yang akan mengurangi gengsinya dihadapan pengikutnya. b. Objek Dakwah Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang akan diajak ke dalam Islam secara kaffah (Muriah, 2000: 32). Pimay (2006: 29) berpandangan bahwa objek dakwah adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah. Mereka adalah orang-orang yang telah memiliki atau setidak-tidaknya telah tersentuh oleh kebudayaan asli atau kebudayaan selain Islam. karena itu, objek dakwah senantiasa berubah karena perubahan aspek sosial kultural, sehingga objek dakwah ini akan senantiasa mendapat perhatian dan tanggapan khusus bagi pelaksanaan dakwah Berdasarkan keterangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:
(
: )
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683). 30
Objek dakwah bisa juga terhadap manusia yang belum beragama Islam, karena dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama. Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u. Secara umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik (DEPAG RI, 1993: 5). Dari tiga klasifikasi besar ini mad'u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzâlim linafsih, muqtashid, dan sâbiqun bilkhairât. Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi (DEPAG RI, 1978: 890). Mad'u (obyek dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar.
31
2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa. 3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan orang tua. 4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman, buruh, pegawai negeri. 5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan miskin. 6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita. 7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya (Arifin, 2000: 3). c. Materi Dakwah Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh da’i kepada mad’u yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi manusia yang bersumber al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu membahas maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas, bisa dijadikan sebagai maddah dakwah Islam (Ali Aziz, 2004: 194) Materi dakwah, tidak lain adalah al-Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama yang meliputi akidah, syari'ah dan akhlak dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya (Wardi Bachtiar, 1997: 33). Maddah atau materi
32
dakwah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga masalah pokok M.Daud Ali (2000: 133-135 dan Asmuni Syukir (1983: 60-63): a. Akidah Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah iman atau keyakinan. Karena itu akidah Islam ditautkan dengan rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam. b. Syari’ah Syari’at dalam Islam erat hubunganya dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia. Syari’ah dibagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah ketetapan Allah yang berlangsung dengan kehidupan sosial manusia. Seperti hukum warisan, rumah tangga, jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya. c. Akhlak Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologi berati budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar, dan sifat
33
baik lainnya. Sedangkan yang negatif adalah akhlak yang sifatnya buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat. Akhlak tidak hanya berhubungan dengan Sang Khalik namun juga dengan makhluk hidup seperti dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Akhlak terhadap manusia contohnya akhlak dengan Rasulullah, orang tua, diri sendiri, keluarga, tetangga, dan masyarakat Akhlak terhadap Rasulullah antara lain 1. Mencintai Rasul secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya. 2. Menjadikan Rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan kehidupan 3. Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang dilarang (M.Daud Ali, 1997: 356). Akhlak terhadap orang tua antara lain : 1. Mencintai mereka melebihi cinta pada kerabat lainnya 2. Merendahkan diri kepada keduannya 3. Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat 4. Berbuat baik kepada Bapak Ibu 5. Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka. (M.Daud Ali, 1997: 357) Akhlak terhadap diri sendiri antara lain : 1. Memelihara kesucian diri
34
2. Menutup aurat 3. Jujur dalam perkataan dan perbuatan 4. Ikhlas 5. Sabar 6. Rendah diri 7. Malu melakukan perbuatan jahat Akhlak terhadap keluarga antara lain: 1. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga 2. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak 3. Berbakti kepada Ibu Bapak 4. Memelihara hubungan silaturahmi (M.Daud Ali, 1997: 357) Akhlak terhadap tetangga antara lain : 1. Saling menjunjung 2. Saling bantu diwaktu senang dan susah 3. Saling memberi 4. Saling menghormati 5. Menghindari pertengkaran dan permusuhan Akhlak terhadap masyarakat antara lain : 1. Memuliakan tamu 2. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, 3. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa
35
4.
Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain berbuat jahat/mungkar.
5. Memberi fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya. 6.
Bermusywarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama.
7. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita. 8. Dan menepati janji. Akhlak terhadap lingkungan hidup antara lain : 1. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup 2. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama flora dan fauna 3. Sayang pada sesama makhluk (M.Daud Ali, 1997: 358). d. Media Dakwah Arti istilah media bila ditinjau dari asal katanya (etimologi), berasal dari bahasa Latin yaitu "median", yang berarti alat perantara. Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median tersebut. Pengertian semantiknya media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah, yaitu segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (Syukir, 1983: 163).
36
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub (1973: 42-43) membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Wasilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Lisan, merupakan inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat
berbentuk
pidato,
ceramah,
kuliah,
bimbingan,
penyuluhan, dan sebagainya. 2. Tulisan, berupa buku majalah, surat kabar, surat menyurat (korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya. 3. Lukisan, di antaranya gambar, karikatur, dan sebagainya. 4. Audio visual, merupakan alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya. Wasilah ini contohnya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya. 5. Akhlak,
mengubah
perbuatan-perbuatan
nyata
yang
mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
37
Media
(terutama
media
massa)
telah
meningkatkan
intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini. e. Metode Dakwah metode dakwah biasa dikenal dengan istilah thariqah. Thariqah berhubungan dengan metode yang digunakan dalam dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam. Arifin (2003: 65) dalam bukunya yang berjudul: Ilmu Pendidikan Islam, menyatakan: metode berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti "melalui", dan "hodos" berarti "jalan atau cara", dengan demikian asal kata "metode" berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Munsyi (1982: 29) mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah". Pius Partanto (1994: 461) menjelaskan bahwa metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja. Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk
38
menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu dalam komunikasi, metode dakwah ini lebih dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Isra' 70;
{ } "Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik. Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain" (Depag RI,1978: 435).
39
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125).
(
:
)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421). Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b) mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan. Asmuni Syukir membagi metode dakwah menjadi tujuh, yaitu sebagai berikut : 1. Metode Ceramah ( retorika dakwah ). Metode ini banyak diwarnai oleh ciri karakteristik berbicara seorang da’i pada suatu aktivitas dakwah. Metode ini efektif bila objek dakwah berjumlah banyak.
40
2.
Metode tanya jawab adalah metode penyampaian materi dakwah dengan mendorong sasarannya (objek dakwah ) untuk menyatakan suatu yang belum dimnegerti dan Da’i berfungsi sebagai penjawab.
3. Metode mmujadalah (diskusi). Mujadalah yang dimaksud adalah mujadalah yang baik, ada argumen namun tidak ngotot sampai menimbulkan pertengkaran. 4. Metode percakapan pribadi. Metode ini bertujuan menggunakan kesempatan yang baik dalam percakapan antar Da’i dan pribadi dari individu yang menjadi sasaran dalam berdakwah. 5.
demonstrasi. Metode ini adalah berdakwah dengan memperlihatkan contoh, baik berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebagainya.
6. Metode pendidikan dan pengajaran. Dalam devinisi dakwah terdapat makna yang bersifat pembinaan, juga tedapat makna pengembangan. 7. Metode silaturahim. Metode ini digunakan oleh para juru penerang agama. Metode home visit (silaturahmi ) dapat dilakukan dua cara yaitu undangan tuan rumah dan atas inisiatif pribadi. ( Syukir, 1983 : 105-106 ) 2.2 Strategi 2.2.1. Pengertian Strategi
41
Strategi merupakan istilah yang sering diidentikkan dengan "taktik" yang secara bahasa dapat diartikan sebagai "corcerning the movement of organisms in respons to external stimulus" (suatu yang terkait dengan gerakan organisme dalam menjawab stimulus dari luar). Sementara itu, secara konseptual strategi dapat dipahami sebagai suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Pimay, 2005: 50). Strategi juga bisa dipahami sebagai segala cara dan daya untuk menghadapi sasaran tertentu dalam kondisi tertentu agar memperoleh hasil yang diharapkan secara maksimal (Arifin, 2003: 39). Strategi pada mulanya berasal dari peristiwa peperangan, yaitu sebagai suatu siasat untuk mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi berkembang untuk semua kegiatan organisasi, termasuk keperluan ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Strategi ini dalam segala hal digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tidak akan mudah dicapai tanpa strategi, karena pada dasarnya segala tindakan atau perbuatan itu tidak terlepas dari strategi. Adapun tentang taktik, sebenarnya merupakan cara yang digunakan, dan merupakan bagian dari strategi. Strategi yang disusun, dikonsentrasikan, dan dikonsepsikan dengan baik dapat membuahkan pelaksanaan yang disebut strategis (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 76). Menurut Hisyam Alie yang dikutip Rafi'udin dan Djaliel, untuk mencapai strategi yang strategis harus memperhatikan apa yang disebut SWOT sebagai berikut:
42
1. Strength (kekuatan), yakni memperhitungkan kekuatan yang dimiliki yang biasanya menyangkut manusianya, dananya, beberapa piranti yang dimiliki. 2. Weakness (kelemahan), yakni memperhitungkan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya, yang menyangkut aspek-aspek sebagaimana dimiliki sebagai
kekuatan,
misalnya
kualitas
manusianya,
dananya,
dan
sebagainya. 3. Opportunity (peluang), yakni seberapa besar peluang yang mungkin tersedia di luar, hingga peluang yang sangat kecil sekalipun dapat diterobos. 4. Threats (ancaman), yakni memperhitungkan kemungkinan adanya ancaman dari luar (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 77). 2.2.2. Strategi Dakwah Dengan demikian, strategi dakwah dapat diartikan sebagai proses menentukan cara dan daya upaya untuk menghadapi sasaran dakwah dalam situasi dan kondisi tertentu guna mencapai tujuan dakwah secara optimal. Dengan kata lain strategi dakwah adalah siasat, taktik atau manuver yang ditempuh dalam rangka mencapai tujuan dakwah (Pimay, 2005: 50). Dalam hubungannya dengan strategi dakwah, bahwa dakwah dalam hubungannya antara umat seagama dapat dilakukan dengan berupaya agar mad'u memahami bahwa perbedaan pendapat dalam aliran dan mazhab merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan demikian tidak bisa satu aliran atau mazhab meng-klaim sebagai yang paling benar. Sedangkan
43
pelaksanaan dakwah dalam hubungannya antar umat beragama, maka dakwah diupayakan untuk meyakinkan mad'u bahwa dalam beragama harus menghargai dan menghormati agama yang berbeda karena Nabi Muhammad pun sangat menghargai agama lain selain Islam. Demikian pula pelaksanaan dakwah dalam hubungannya antara umat beragama dengan negara adalah dapat diupayakan dengan menerangkan pada mad'u bahwa agama menyuruh mentaati yang memerintah yaitu menghormati dan menghargai ulil amri. Berkaitan dengan strategi dakwah Islam, maka diperlukan pengenalan yang tepat dan akurat terhadap realitas hidup manusia yang secara aktual berlangsung dalam kehidupan dan mungkin realitas hidup antara satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda. Di sini, juru dakwah dituntut memahami situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan, baik secara kultural maupun sosial-keagamaan. Strategi dakwah semacam ini telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu. Strategi dakwah Rasulullah yang dimaksud antara lain menggalang kekuatan di kalangan keluarga dekat dan tokoh kunci yang sangat berpengaruh di masyarakat dengan jangkauan pemikiran yang sangat luas, melakukan hijrah ke Madinah untuk fath al-Makkah dengan damai tanpa kekerasan, dan lain sebagainya (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 78). Kemudian, jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, maka juru dakwah harus memahami perubahan transisional dari transaksi pada kekuatan magis dan ritual ke arah ketergantungan pada sains dan kepercayaan serta
44
transisi dari suatu masyarakat yang tertutup, sakral dan tunggal ke arah keterbukaan, plural dan sekuler. Jadi, suatu strategi tidak bersifat universal. la sangat tergantung pada realitas hidup yang sedang dihadapi. Karena itu, strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah (Pimay, 2005: 53).
2.3 Konsep Misionaris Kata "konsep" berarti istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun dan Effendi, 1995: 33). Sedangkan kata "misionaris" berarti orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus (KBBI, 2004: 749). Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orangorang Kristen dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebar luaskannya ke berbagai negara. Saat ini, kaum misionaris Kristen sedang mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi yang mereka miliki, untuk menyebarluaskan ajaran Kristen kepada masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, tanpa mempedulikan perbedaan aliran maupun organisasinya (Muhaisy, 1994: 23). Adapun tujuan kristenisasi dapat dijelaskan bahwa semua orang menyangka, bahwa satu-satunya tujuan kristenisasi adalah menyebarkan ajaran Kristen. Padahal sebenarnya, menyebarkan ajaran Kristen adalah tujuan
45
sekunder, dan bukan tujuan primer dari semua organisasi misionaris. Apabila kita melempar pandangan ke Dunia Barat, yang kita temukan adalah dunia materi yang tidak mengenal dunia rohani sama sekali, bahkan tidak mengenal peraturan agama. Namun Amerika, yang menghamba kepada besi, emas, dan minyak (sebagaimana diungkapkan oleh Amin Raihani), telah menebar misionaris ke separuh wilayah bumi ini, dan mereka mengaku telah menyeru kepada kedamaian, kehidupan rohani, dan keselamatan agama. Demikian pula Perancis, yang kita kena) memiliki perundang-undangan sekuler. telah menancapkan misionarisnya di luar negeri (Muhaisy, 1994: 23). Tujuan utama mereka adalah imperialisme (penjajahan) yang sangat berbahaya. Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan kristenisasi sebagai sarana perniagaan, untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya. Yang
lain,
menjadikan kristenisasi sebagai sarana untuk
mengadakan perjalanan dan melancong gratis, karena dibiayai oleh organisasinya. Dan sebagian lagi, memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk memuaskan keinginan pribadinya. Selain itu, ada juga kelompok yang memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk menutupi perbuatan mereka yang menyimpang, seperti: freesex, homoseksual, lesbian, dan sebagainya. Bahkan, orang-orang Barat sendiri mengakui, bahwa gereja merupakan tempat untuk melakukan perbuatan menyimpang dan memalukan (Muhaisy, 1994: 24). Banyak sekali skandal seksual para pendeta yang telah terbongkar, yaitu mereka melakukan kegiatan seksual secara terselubung di dalam gereja. Belum lama ini telah terbongkar lagi sebuah skandal yang memalukan, yaitu
46
seorang pendeta Amerika yang mengambil anak-anak untuk dijadikan partner dalam hubungan seksualnya yang menyimpang (Muhaisy, 1994: 24). Kristenisasi adalah proses masuk dan tersebarnya pengaruh Kristen di kawasan tertentu. Kristenisasi di Indonesia dapat diartikan sebagai proses pengkristenan yang terjadi di Indonesia (Dermawan, 2002: 199). Akhir-akhir ini gerakan kristenisasi terhadap umat lslam yang dilancarkan oleh para missionaris semakin agresif, baik melalui cara yang halus sampai kepada cara yang kasar. Menurut Abu Deedat Syihab, strategi misi Kristen dapat disebut sebagai "Segitiga Imperialisme'' yang memuat sembilan strategi penghancuran kaum muslimin. Cara-cara tersebut adalah pemiskinan, penguasaan aset-aset ekonomi, penguasaan kekayaan alam, penguasaan aset informasi, penguasaan sistem politik dan hukum, penghancuran moral, deislamisasi, penghancuran militansi Islam dan konversi agama atau pemurtadan agama (Syihab, 2005: 45). Kristenisasi merupakan sebuah realitas. Hal ini ditegaskan dan diperkuat oleh ungkapan yang disampaikan oleh Berkhof dalam bukunya yang berjudul Sejarah Gereja: "Boleh kita simpulkan bahwa Indonesia adalah suatu daerah pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit firman Tuhan Jumlah orang Kristen Protestan sudah 13 juta lebih, akan tetapi jangan lupa kita berada di tengah-tengah 200 juta penduduk" (Berkhof, 1991: 321). Lebih lanjut dia mengatakan : "Jadi; tugas Zending gereja-gereja muda di benua ini masih luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak
47
seberapa banyak itu. yang perlu mendengar kabar gembira, tetapi juga kaum muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan injil. Bukan saja rakyat jelata, lapisan bawah yang harus ditaklukkan oleh Kristus, namun terutama para pemimpin masyarakat, kaum cendekiawan, golongan atas dan tengah" (Berkhof, 1991: 321). Indonesia merupakan pusat kristenisasi untuk wilayah Asia Pasifik. Informasi ini dapat diketahui melalui hasil seminar kerjasama Global Mission Singapure and Galilea Ministry Indonesia di Hotel Shangrila Jakarta pada tanggal 9-12 Juni 1998. Pendeta George Anatorae dari The Lord Family Church sebagaimana dikutip oleh Yusuf lsmail Al Hadid dalam bukunya yang berjudul Menghalau Missionoris dan Misi Sucinya Mengkristenkan Dunia mempresentasikan bahwa Indonesia akan dijadikan pusat perkembangan Kristen di Asia Pasifik (Al-Hadid, 2005: 201). Selain
itu,
Bambang,
Widjaja
mengatakan
bahwa
indonesia
merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya. Indonesia siap mengalami transformasi (Majalah Spirit, 2003: 13) yang besar. Menurut dia hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, melainkan suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Hal ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki pra kondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang ia rencanakan (Widjaja, 2003: 13).
48
BAB III STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN
3.1 Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jambatan, Baukia, Alahanpanjang Minangkabau Sumatra Barat, 17 Juli 1908- dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. Kampung Jambatan terletak di balik Gunung Talang Solok Provinsi Sumatra Barat (Rozikin, 2009: 221). Ia seorang negarawan muslim, ulama intelektual, pembaru dan politikus muslim Indonesia yang kenamaan dan disegani, bergelar Datuk Sinaro Pandjang. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado, seorang pegawai pemerintah Belanda. Ibunya bernama Khadijah, dari keturunan suku Caniago. Ketika berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar pada HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah di Padang dan tinggal bersama makciknya. Kemudian ia dipindahkan oleh orang-tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sini ia menerima cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia mengaji Al-Qur'an, pagi hari belajar pada HIS, dan sore hari belajar di Madrasah Diniyah. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke HIS Padang dan tinggal bersama kakaknya, Rabi'ah. Pada tahun 1923 ia meneruskan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat SMP sekarang) di Padang. Di sini ia menjadi anggota JIB (Jong Islamieten Bond) cabang Padang. Pada tahun 1927 ia melanjutkan ke
49
AMS (Algemenc Middelbare School/setingkat SMA sekarang) di Bandung. Di MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di AMS, ia tertarik untuk lebih menekuni ilmu pengetahuan agama. Waktu luangnya digunakan untuk belajar agama pada Persatuan Islam di bawah bimbingan Ustad A. Hassan. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930. Nilai prestasi yang
diperolehnya
menduduki
memungkinkannya bangku
mendapatkan
beasiswa
perguruan
untuk tinggi
(http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C,
diakses
tanggal 5 September 2009). Sejak sekolah di MULO, ia sudah mulai mengenal semangat perjuangan. la masuk menjadi anggota kepanduan pada JIB. Ketika belajar di AMS ia menjadi anggota JIB cabang Bandung dan kemudian diangkat menjadi ketua (1928-1932). Minatnya terhadap politik, perhatiannya terhadap nasib
bangsanya
yang
tertindas,
dan
tekadnya
untuk
meluruskan
kesalahpahaman umat terhadap ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam bidang politik dan dakwah serta menolak setiap tawaran dari pemerintah Belanda, seperti meneruskan sekolah ke Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah. Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokohtokoh gerakan politik seperti H Agus Salim, Wihono Purbohadijoyo, dan Syamsurijal. Karena kegigihannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan ia menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Di samping itu, jiwa dai yang telah dimilikinya sejak muda terus
50
dibinanya sampai masa usia tuanya (http:// swaramuslim. net/ printer friendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses tanggal 5 September 2009). Sejak tahun 1932 sampai 1942, Mohammad Natsir diangkat sebagai direktur Pendidikan Islam di Bandung; dari tahun 1942 sampai 1945, sebagai kepala Biro Pendidikan Kotamadia Bandung (Bandung Syiakusyo); dan dari tahun 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada tahun 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kabinet Hatta ke-1) ia menjadi menteri Penerangan RI; dan dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua umum Partai Masyumi. Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia menjadi perdana menteri negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemilu tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari tahun 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota Konstituante RI dan sejak tahun 1958 menjadi deputi perdana menteri PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) sampai akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sejak tahun 1962 sampai dengan tahun 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta. Sejak dibebaskan dari tahanan, ia aktif pada organisasi-organisasi Islam internasional, seperti pada Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress) pada tahun 1967 yang bermarkas di Karachi, sebagai wakil presiden. Pada tahun 1969 ia masuk menjadi anggota Rabitah al-Alam alIslami (World Moslem League) di Mekah. Pada tahun 1976 ia menjadi anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A'la al-'Alami li al-Masajid)
51
yang bermarkas di Mekah. Sedangkan di Indonesia sejak tahun 1967 sampai dengan masa usia tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, al-Majlis al-A'la al-Indunisi li ad-Da'wah al-Islamiyah). Di samping jabatan dan kegiatan di atas, ada beberapa kegiatan dan jabatan lainnya yang sempat dijalaninya, seperti sebagai penulis tetap artikel pada majalah Pembela Islam dan Suara Republik, penasihat delegasi Indonesia dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda, serta penasihat SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia). Karena peran yang dimainkannya pada dunia Islam internasional, ia mendapat penghargaan King Faisal Foundation dari Arab Saudi. Kebiasaan menulis Mohammad Natsir sudah dimulai sejak sekolah di AMS. Pada waktu menduduki kelas IV AMS ia menulis sebuah analisis tentang "Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula bagi Rakyat di Pulau Jawa." Terdorong oleh kemauannya untuk membela Islam dari pihak yang merendahkannya dan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang Islam, ia menulis artikel-artikel, seperti Muhammad als Profeet dan Quran en Evangelie pada tahun 1929. Pada tahun 1931 ia menulis Kon tot Het Gebed dan Kebangsaan Muslimin. Tahun 1932 ia menulis De Islamietische Vrouw en Haar Recht. Buku-buku hasil karya lainnya ialah Fiqh ad-Da'wah, Capita Selecta, Kebudayaan Islam, dan ad-Din au al-Ladiniyyah (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, jili4, 1994: 21).
52
3.2 Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen 3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama Menurut Natsir (1983: 200) di dalam pembinaan Negara Indonesia janganlah ada warganegara non Islam yang sesak nafas apabila mendengar bahwa umat Islam hendak melaksanakan ajaran Islam dalam masyarakat dan Negara RI yang dicintai ini. Selanjutnya Moh Natsir mengatakan, bahwa Islam memberantas intoleransi agama, menegakkan kemerdekaan beragama dan meletakkan dasar bagi keragaman hidup antar agama. Kemerdekaan menganut agama, adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-tiap Muslimin dan Muslimat, Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing-masing, baik di gereja ataupun di Mesjid. Umat Islam berseru kepada seluruh teman sebangsa yang beragama lain, bahwa negara ini adalah Negara bersama, yang ditegakkan untuk bersama, atas dasar toleransi dan tenggang rasa, bukan untuk satu golongan yang khusus. Sebagaimana seruan Muhammad kepada sesama warganegara yang berlainan agama, Islam memerintahkan supaya menegakkan keadilan dan keragaman di antara saudara. Allah, adalah Tuhan kami dan Tuhan saudara. Bagi kami amalan kami, bagi saudara amalan saudara, tidak ada persengketaan agama antara kami dengan saudara. Allah akan menghimpun kita di hari kiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali. Islam memberantas kemiskinan dan kemelaratan, dan memberantas perhambaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Islam adalah dasar hidup yang luas bagi semua golongan dalam lingkungan bangsa-bangsa, termasuk
53
bangsa Indonesia dalam keragaman dan kesatuan. Islam adalah induk dari serba-sila yang telah berurat berakar dalam kalbu umat Islam di seluruh dunia dan menjadi pedoman hidup serta sumber kekuatan lahir bathin dan sebagian besar bangsa Indonesia, semenjak berabad-abad. Menurut Natsir (1983: 202) ada orang yang berkata bahwa takut adalah nasihat yang tidak baik dari orang yang penuh ketakutan dan kekuatiran susah diharapkan pandangan yang jernih dalam menilai sesuatu keadaan. Menurut istilah orang sekarang, tidak mudah baginya melihat sesuatu dengan ukuran yang sebenarnya. Tambahan pula takut apabila sudah sampai ke puncaknya, akan dipakai jadi sumber kekuatan oleh yang takut, dengan cara-cara orang di dalam ketakutan, dengan segala akibat-akibatnya, yakni dengan terburu nafsu dan sebagainya dengan hasil yang sama sekali tidak diharapkannya sendiri. Pada galibnya, kekuatan yang bersumber pada ketakutan dan dipergunakan dalam ketakutan akibatnya ialah kerusakan. Di kalangan masyarakat Indonesia, ketakutan sering kali mempengaruhi jalan pikiran orang dan kalau tidak sama-sama awas, ketakutan inipun mungkin menjadi salah satu pendorong dari pikiran dan langkah-langkah selanjutnya. Tatkala Undang-Undang Dasar Sementara RI dibicarakan dalam Parlemen, ternyata bahwa pasal 18 UUDS tersebut yang menjamin kemerdekaan beragama di RI dirasakan oleh saudara-saudara-sebangsa kita yang beragama Kristen belum cukup menjamin kemerdekaan beragama di negeri ini.
54
Bunyi pasal 18 tersebut : "Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran" . Ternyata bahwa ada semacam keragu-raguan di kalangan para anggota Parlemen, terhadap sikap umat Islam di sini, tentang kemerdekaan beragama ini. Keragu-raguan ini, syukur sudah dapat dihilangkan di kalangan Parlemen, setelah mengadakan rapat yang khusus tentang itu. Hapusnya keragu-raguan ini di kalangan Parlemen, belum berarti bahwa ketakutan ataupun kekuatiran di dalam masyarakat tentang sikap umat Islam terhadap kemerdekaan beragama ini, sudah lenyap pula. Selama ketakutan yang demikian itu masih hidup di dalam masyarakat, adalah kewajiban bagi masyarakat, berusaha dengan giat untuk menghilangkan kekuatiran kita. Menurut Natsir (1983: 203) usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing orang, sebab, ini mengenai satu segi dari ideologi bangsa Indonesia yang harus didukung, tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa umumnya. Sudah ada satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang dihadapi
oleh negara kita, yakni : "Menjaga keragaman hidup di dalam
lingkungan RI ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya". 1. Perlu ditegaskan bahwa tauhid pada hakekatnya adalah suatu revolusi rohani yang membebaskan manusia dari pada kungkungan dan tekanan jiwa dengan arti yang seluas-luasnya. Tauhid membebaskan manusia
55
daripada segala macam ketakutan terhadap benda dan takhayul dalam bentuk apapun juga. Tauhid membawa orang iman kepada Tuhan, terhadap siapa dia menundukkan jiwanya. Keimanan kepada Tuhan itu diperoleh dengan jalan yang bersih daripada segala macam paksaan. Sunatullah, bahwa sesuatu keyakinan yang sebenar-benarnya keyakinan, tidak dapat diperoleh dengan paksaan 2. Maka agama yang sebenar-benarnya agama, menurut Islam ialah agama yang sesuai dengan sunatullah ini. Yakni tidaklah bernama agama, jika agama itu hanya berupa buah bibir, sekedar pemeliharaan diri dari bahaya luar, tidak tumbuh subur di dalam jiwa yang bersangkutan. Berkenaan dengan ini maka dengan tegas Islam mengemukakan kaidahnya: "Tidak ada paksaan dalam, agama". (Al-Qur'an). Ini pokok pandangan Islam terhadap agama umumnya. 3. Keimanan adalah karunia Ilahi, yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran dan didikan yang baik, dengan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. Umat Islam berpegang kepada khithah memanggil orang ke jalan Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an: "Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pendidikan yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik" Orang Islam hanya disuruh memanggil, dan memanggil dengan cara yang bersih dari segala yang bersifat paksa. 4. Di dalam pergaulan hidup sehari-hari, di mana perbedaan tidak dapat dipertemukan, perbedaan tentang paham, amal, agama dan sebagainya,
56
maka seorang Islam tidak boleh tinggal pasif dan tenggelam serta lumpuh hatinya melihat persimpang-siuran perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim di dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agamaagama itu. Seorang Muslim itu diwajibkan untuk mengambil inisiatif, menjernihkan kehidupan antar-agama dengan memanggil orang-orang yang beragama lain, yang mempunyai kitab berpedoman kepada Wahyu Ilahi :
(
:
)
Artinya: "Ya, Ahli Kitab, marilah bersama-sama berpegang kepada Kalimah yang bersamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu jua" (QS. Al-Imran: 64). 5. Umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu walau dari manapun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam menegakkan kejernihan hidup antar agama ini. Dengan penuh keyakinan akan kebenaran yang ada pada sisinya dan keluasan dada yang ditimbulkan oleh kalimat tauhidnya, kalimat tauhid yang membawa keyakinan kepadanya, bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia, maka seorang Muslim harus memancarkan di sekelilingnya jiwa tasamuh (toleransi) dalam menghadapi agama lain. Ajaran Islam menghadapi orang yang berlainan agama, adalah sebagai berikut : "Katakanlah : Aku diperintah untuk berlaku adil di antara kamu, Allah adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu dan tidaklah ada perselisihan antara kamu dan kami. 57
Allah akan. menghimpun antara kamu dan kami. Dan kepadanyalah tempat kita semua kembali ! (QS. As-Syura:15). 6. Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antar agama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. la itu aktif, yaitu aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa mencari titik persamaan antar bermacam-macam perbedaan, Bukan itu saja, kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan umat non Islam tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masingmasing dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya. Al-Qur'an mengajarkan: "Seorang Muslim diperintah untuk berjuang mempertahankan orang yang kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya lantaran mereka bertuhankan Allah. la harus berjuang untuk mempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyang dan mesjid-mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah".
Demikianlah tegasnya ajaran Islam menurut Natsir (1983: 205) berkenaan dengan hal ini. Demikian pula sunnah junjungan Nabi Muhammad saw dan khithah amal para sahabatnya, yang nyata-nyata dapat bertemu dalam tarikh dan riwayat, dalam melaksanakan ajaran Islam dalam peri kehidupan antar-agama. Ini pulalah khithah yang hendak ditegakkan dan dilaksanakan
58
oleh ummat Islam; di dalam negara RI ini, semata-mata bukan lantaran apaapa, tetapi lantaran mengharapkan keridaan Ilahi. Setelah menjelajah apa yang tersebut di atas, maka yang hendak dipertanyakan: Kalau tidaklah ajaran Islam yang menjamin kemerdekaan beragama dan menyuburkan kehidupan beragama di Indonesia ini dengan cara yang positif itu, tunjukkanlah ideologi manakah lagi selain daripada Islam yang mampu mengemukakan konsepsi yang lebih tegas dari pada yang diajarkan oleh Islam itu. Jawab pertanyaan di atas ini ialah : Kalau orang memang hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup antar agama di tengah-tengah penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini sebagai dasar dari kesatuan Negara, maka tidak ada lain pemecahan, melainkan memesrakan paham tersebut dan meluaskan paham itu dalam kepulauan Indonesia yang indah dan permai ini, yang memang watak rakyatnya pada dasarnya adalah bersifat tasamuh (toleransi) itu. Tiap-tiap orang yang berpikiran sehat, seorang patriot tanah air, ataupun seorang ahli negara yang hendak menegakkan kesatuan negara, tak dapat tidak apabila berani bersikap jujur, pasti akan mendapat dalam pelaksanaan ajaran Islam itu jawaban pertanyaan tersebut, dengan toleransi ajaran Islam yaag dikemukakan itu memelihara dan menyuburkan keragaman dart perdamaian antar agama dalam Negara Indonesia ini.
59
Apa yang dibawa oleh Islam itu bukanlah monopoli umat Islam saja, akan tetapi milik yang akan menyelamatkan kesejahteraan pribadi seluruh masyarakat dalam dunia ini. Maka adalah kewajiban dari tiap-tiap umat Islam: 1. Memahami ajaran Islam ini bagi diri masing-masing dengan sungguhsungguh. 2. Menjadikan ajaran ini jadi pakaian hidup: dalam berkata, bertindak dan berlaku terhadap masyarakat di sekelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut. 3. Memancarkan
pengertian
ini
di
sekelilingnya
dengan
tidak
membelakangkan agama dan kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan. Dengan demikian apa yang sekarang merupakan ketakutan dan kekuatiran di kalangan bangsa Indonesia yang beragama lain, pasti akan lenyap, dan akan timbullah pengertian baru yang lebih segar, sebagai dasar yang subur untuk pembangunan lahir dan bathin bagi Negara dan isinya. Itulah dia Negara yang yang diliputi oleh keampunan Ilahi. 3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/Katholik di Indonesia Menurut Natsir (1983: 207) kegiatan Missi Kristen/Katholik di Indonesia, tampak meningkat. Ummat Islam yang miskin, adalah sasaran utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat strategi dan bujukan-bujukan serta dana-dana missi tersebut. Organisasiorganisasi Missionaris itu bermacam-macam, dan cara-cara yang mereka
60
jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila-(Kebebasan Menganut Agama). Missi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung perasaan ummat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen di lingkungan kaum Muslimin. Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah Kristen, tumbuh "bagaikan jamur di musim hujan", di seluruh pelosok Indonesia. Keadaan yang demikian, telah menimbulkan suatu peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu : perusakan gereja di beberapa tempat dan daerah. Menghadapi misionaris Kristen dan atau Kristenisasi bukanlah dengan cara perusakan gereja apalagi kekerasan fisik terhadap umat Kristen, akan tetapi umat Islam harus melakukan strategi yaitu: 1. Pembangunan Masjid Masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Masjid merupakan lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. Hal itu tampak dari adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Atas hal itu, maka umat Islam harus memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik di kota maupun di pedesaan. 2. Pengiriman Da'i Dalam rangka membina umat Islam terutama di pedesaan dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh terhadap pendangkalan akidah, pemurtadan dan segala strategi yang diluncurkan para misonaris Kristen, maka perlu adanya pengiriman da'i ke
61
tempat tempat tersebut. Para da'i dapat direkrut dari masyarakat desa sendiri, dan ia harus dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman da'i ini diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keimanan dan keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat dibentengi dari berbagai pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran nativisme (ajaran yang digali dari bumi sendiri) maupun pengaruh misionaris Kristen yang cukup pesat perkembangannya. 3. Penerbitan Perlu adanya tulisan-tulisan yang berisi ajaran Islam mulai dari persoalan akidah, syari'ah maupun akhlaq. Tulisan tersebut dapat dituangkan dalam buku, majalah, brosur dan lain-lain. Majalah dan buku tersebut harus bisa menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah maupun terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaandan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, supaya mereka dapat memahami agama dan persoalan-persoalan sosial secara tepat. Dalam rangka menjaga keserasian dalam pelaksanaan penyebaran agama di Indonesia, Pemerintah telah menyelenggarakan "musyawarah antar agama" di Jakarta. Pancasila menentukan adanya kebebasan menganut agama antara Islam, Kristen, Protestan, Katholik dan Hindu-Bali. Ini bukan berarti bahwa meng-kristen-kan orang-orang Islam itu sesuai dengan Pancasila. Kalau tokoh
62
mau berlomba-lomba akan mengembangkan agama-agama masing-masing itu silahkan lakukan di kalangan bangsa Indonesia yang belum menganut sesuatu agama. Platform Pancasila menghendaki adanya saling harga menghargai di antara golongan-golongan agama-agama itu. Kalau orang Islam dikristenkan adalah bertentangan dengan prinsip itu. Kalau di suatu lingkungan masyarakat yang hampir tidak ada dijumpai orang-orang Kristen, kemudian akan didirikan suatu gereja yang megah, menjadi pertanyaan sekarang apakah masih ada harga menghargai seperti yang dimaksudkan oleh Pancasila itu? Supremasi atau kekuasaan mutlak dalam materi dan keuangan diakui ada pada fihak Kristen, yang dipergunakan untuk mengkristenkan orang-orang Islam yang amat lemah dan miskin dalam kebendaan, hal ini sangat melukai hati kaum Muslimin. Pengrusakan gereja-gereja itu sudah tentu melukai kaum Kristen. Tetapi janganlah dilihat persoalan itu dengan suatu symptomatis approach, dengan sekedar melayani gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas, lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri, karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang yang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius. Suatu contoh tentang supremasi materiil itu, misalnya, membagi-
63
bagikan beras kepada orang-orang Islam di daerah yang miskin dan melarat dengan menganjurkan mereka yang telah disuapi dengan beras itu agar masuk Kristen, menurut agama Islam orang Islam yang masuk Kristen itu adalah munafik, dan percayalah, kalau orang-orang seperti itu lahirnya masuk Kristen adalah mereka itu munafik Kristen pula, sebab jadi Kristen karena beras. Identitas orang-orang Islam jangan diganggu. Perdamaian Nasional hanya bisa dicapai kalau masing-masing golongan agama, di samping memelihara identitas masing-masing juga pandai menghormati identitas golongan lain dan hentikan segera melahirkan golongan-golongan munafik beragama itu. Terhadap bangsa-bangsa asing yang mau membantu rakyat Indonesia, kalau betul-betul jujur, mengapa diserahkan melalui missionarismissionaris asing Kristen atau Katholik? Jangan diadakan zending asing yang campur tangan memecah kedamaian ummat Islam dan Kristen Indonesia di tanah air Indonesia. Sebagai contoh pula, Bung Natsir menanyakan, apa artinya penjualanpenjualan mentega yang memakai tanda dan semboyan Advent, sedangkan mentega itu dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran? Hal itu menimbulkan kejengkelan di kalangan ummat Islam yang sadar. Kalau kejengkelan seperti itu sudah menumpuk dan tidak bisa mencari jalan ke luar, maka akibatnya susah menyelesaikannya. Natsir menambahkan agar jiwa Kristus yang begitu murni jangan dipakai untuk tujuan yang tidak murni dan ikhlas. Janganlah hal itu sampai menjadi suatu peaceful agression, suatu penyerangan bersemboyan damai. Tindak tanduk seperti itu segera harus
64
dihentikan oleh pihak Kristen. Akhirnya Natsir mengatakan, coba beritahu kepada saya, adakah kalangan Islam yang mencetak buku-buku Agama Islam dan membagi-bagikannya dengan gratis atau dengan harga yang amat murah, tetapi dengan cara setengah paksa keluarga-keluarga Kristen dan Katolik, sebagaimana yang setiap kali dilakukan oleh orang Kristen dan Katolik terhadap rumah tangga rumah tangga Islam, 3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama Sudah tidak diragukan lagi, bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki keragaman hidup antar-agama itu sebagai tradisi, berabad-abad. Sekarang kalau keragaman itu terganggu, apa sebabnya? Jawabnya ialah, bukan sematamata oleh karena masing-masing golongan agama itu merasakan ada perintah Ilahy, supaya melakukan tugas dakwah agama masing-masing. Tetapi, sebabnya ialah resep-lama dari misi dan zending yang kembali menjelma di tanah air ini, yaitu resep "la conquete du monde musulman", (penaklukkan dunia Islam) yang menjelma dalam tindak tanduk missi dan zending di negeri ini, yang menjadikan ummat Islam sebagai sasarannya. Ummat Islam merasakan bahwa mereka sedang terancam. Mulanya secara instinctief, lambat laun mereka menyadari, bahwa Agama mereka sedang menjadi sasaran dari satu kegiatan kristenisasi yang terarah dan expansif. Lalu merekapun merasa terpanggil oleh panggilan suci untuk membela dan mengamankan Agama dan Ummat mereka daripada bahaya pengkristenan itu.
65
Apabila aksi dan reaksi ini dibiarkan berjalan terus, maka sangat dikekhawatiran terhadap keselamatan perikehidupan bernegara, sekarang dan untuk di masa depan. Maka tugas masyarakat sekarang ialah, menjawab pertanyaan "Apakah bangsa ini memeluk bermacam-macam agama, yang sudah sama-sama berjuang dan ingin terus menegakkan Negara Republik Indonesia ini sebagai negara bersama, bisa mencari dan mendapat satu modus vivendi (metode yang memungkinkan antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam sementara waktu dengan jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan sementara, jalan tengah) yang menjamin keragaman hidup antar-agama, dengan tidak mengkhianati keyakinan agama masing-masing?" Menurut Natsir (1983: 212) dalam menjalankan kewajiban dakwah, orang Islam memiliki strategi dakwah dengan mengacu pada kode dan ethik, sebagai pedoman. -
Antara lain kode ethik ini, menegaskan bahwa keyakinan agama tidak boleh (dan memang tidak bisa) dipaksa-paksakan. "Tidak ada paksaan dalam keyakinan-agama" Oleh karena itu dakwah harus dilakukan "dengan kebijaksanaan (hikmah), dengan didikan yang baik-baik (mau'idzah hasanah) dan dengan bertukar fikiran dengan cara yang terbaik (mujadalah billatihiya ahsan)"
-
Sesuai dengan kode dan ethik itu pula, kami Ummat Islam tidak menganggap Ummat Masehi sebagai orang-orang heiden atau orang animis yang masih belum beragama. Ummat Masehi bagi umat Islam
66
adalah apa yang disebut Ahli-Kitab, yang mempunyai kedudukan yang khusus dalam penilaian umat Islam terhadap Ahli-Kitab (Masehi dan Yahudi). Umat Islam diperintahkan untuk menyerukan: "Aku diperintah supaya berlaku adil terhadapmu.Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan-mu jua,Bagi kami amalan kami, bagi-mu (pulalah) amalan-mu. Tak ada (alasan untuk) sengketa antara kita (dalam urusan agama);Allah jua akan menghimpun kita (semua). Dan kepada-Nya-lah kita akan (samasama) kembali!" (Al-Qur'an : As-Syura 15). Kami berseru kepada Saudara-saudara kami Ahli Kitab : ............"Marilah kita sama-sama kembali kepada titik-pertemuan antara kami dan Saudarasaudara, yakni supaya kita tidak menyembah selain daripada Allah, dan supaya tidak mendewakan antara satu sama lain ........!"(Al-Qur'an: Al 'Imran 64). Demikian seruan umat Islam kepada Saudara-saudara Ahli-Kitab. Sekiranyapun seruan ini tidak diterima, maka itu bagi orang Islam, sama sekali tidak menutup pintu untuk sama-sama hidup berdampingan secara damai. 3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi Menurut Natsir (1983: 243) Indonesia menjadi sasaran Kristenisasi dari segenap penjuru dunia. Dari Eropah, di mana ada "World Council of Churches", yang berpusat di Geneva, dan dari Vatikan yang berpusat di Roma dan berpuluh-puluh lembaga-lembaga missi dan zending di luar kedua badan tersebut, dari Amerika Serikat, seperti Baptis, Advent, Yehova, "Students Crusade for Christ", dan lain-lain, besar dan kecil. Semua itu datang ke Indonesia dengan tenaga-tenaga bangsa asing berupa pendeta-pendeta, guruguru agama dan pekerja-pekerja sosial (social workers), dipelopori oleh sarjana-sarjana dan mahasiswa-mahasiswa ahli riset. Datang ke sini dengan alat-alat modern untuk propaganda agama Kristen, seperti film, kaset-kaset,
67
buku-buku dan bacaan, malah juga kapal-kapal penginjil yang mendatangi pantai-pantai dan kepulauan-kepulauan seperti pulau Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain. (Kapal penginjil "Logos", "Stella Maris", "Ebenezer" dan lain-lain). Menurut Natsir (1983: 243) di daerah-daerah di luar Jawa seperti Nusatenggara, Kalimantan, missi dan zending itu telah mempunyai alat-alat komunikasi modern sendiri berupa pemancar-pemancar radio, dan pesawatpesawat terbang cesna, dan di mana perlu, bisa dapat lisensi dari Departemen Perhubungan R.I. untuk membuat landasan pesawat terbang sendiri. Pegawai-pegawai Pemerintah dan jawatan pos-pun mendapat "service" dari dinas-penerbangan missi/zending itu, terutama di daerah-daerah yang terpencil. Umpamanya dari Timur Kupang ke Waingapu, dua kali seminggu. Di Irian Barat tidak usah disebut lagi karena di sana itu sudah merupakan warisan dari Kolonial Belanda dulu. Peta yang diterbitkan oleh Dewan Gereja Indonesia (Council of Churches in Indonesia) sepintas lalu dapat memberi gambaran yang nyata bagaimana kepulauan Indonesia ini sudah dibagi-bagi menjadi sasaran dari tidak kurang ratusan Gereja di bawah pimpinan Dewan Gereja Indonesia. Menurut Natsir (1983: 244) untuk ekspansi Kristenisasi ini, baik Dewan Gereja Sedunia, ataupun Vatikan dan Lembaga-lembaga Missi luar negeri lainnya mengadakan approach baru, yaitu approach "Pembangunan Ekonomi" dengan semboyan "Dari Gereja ke Masyarakat". Sudah ada satu Lembaga yang bernama C.C.P.D. (Council of Churches Participation on
68
Development = Majlis Partisipasi Gereja dalam Pembangunan), yang aktif dibidang "pembangunan ekonomi" dengan berbagai cara, pembangunan desadesa pertanian dengan latihan keterampilan, pemberian-pemberian kredit langsung kepada petani melalui lembaga-lembaga yang dinamakan Credit Union, transmigrasi dan lain-lain. C.C.P.D. menjadikan empat negara di dunia ini sebagai proyek utamanya, yaitu Ethiopia, Kamerun, Caribia, dah Indonesia. Sangat naif dan bodoh sekali apabila dikatakan bahwa organisasi-organisasi missi dan zending dari luar negeri itu dengan modal yang tidak terbatas dan dengan para ahli, baik di bidang agama ataupun dibidang teknik riset, semata-mata berdatangan ke Indonesia ini sekedar untuk menolong meningkatkan kesejahteraan dan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia saja, seperti umpamanya yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional, Ford Foundation dan lain-lainnya. Dalam prakteknya juga tidak begitu. Pada tiap-tiap Rumah Sakit yang didirikan pasti di tiap-tiap kamar ada tergantung palang salib, dan tiap-tiap sekolah yang diakui bermutu tinggi, mewajibkan kepada murid-murid yang beragama Islam, agar turut, serta dalam mengikuti pelajaran Injil dan turut serta pula dalam melakukan Rituil ibadah secara Kristen. Di Sekolah-sekolah Menengah umpamanya, tidak diberi kesempatan bagi murid-murid yang beragama Islam melaksanakan Ibadat seperti sholat Jum'at dan Asar umpamanya. Apalagi untuk menerima pelajaran agama Islam. Kejadian di beberapa sekolah, di mana baik murid-muridnya ataupun guru-gurunya yang merupakan mayoritas beragama Islam, diharuskan mengaji
69
Injil dari lembaga missi asing yang bernama: "The Gideons International" hanyalah satu contoh dari keadaan yang umum. Di mana-mana dilakukan pembelian tanah dan rumah (milik orang Islam) yang strategis tempatnya untuk digunakan oleh missi dan zending, dengan harga yang luar biasa tingginya. Pemilik-pemilik Islam yang berada dalam keadaan serba miskin secara berangsur-angsur menyingkir ke pinggiran lagi. Di desa Cigugur, di kaki gunung Ceremai dekat Kuningan Jawa Barat, umpamanya, satu rumah kecil mungil di mana sebelumnya dilakukan tablightabligh agama Islam dan yang kebetulan berada di hadapan gereja, dengan mudah saja dibeli oleh Gereja dan di suatu daerah digunakan untuk satu poliklinik Kristen yang bernama "Sekar Kemulyaan". Begitulah seterusnya berlaku, baik di kota-kota besar,. maupun di pedalaman Indonesia. Di Indonesia, gereja-gereja didirikan di tengah-tengah desa orang Islam dan sawah-sawah. Petugas-petugas missi membeli tanah yang tempatnya strategis dengan harga yang sangat tinggi (2 kali, malah 3 kali dari harga biasa) guna mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Apabila si pemilik tanah memperlihatkan keengganannya menjual (kepada missi), maka petugas-petugas missi mengirim orang (lain) yang membeli tanah itu atas namanya sendiri, akan tetapi sesudah itu dijual lagi kepada missi. Gereja membagi-bagi beras, pakaian dan uang. Gereja meminjamkan uang atau bahan-bahan kepada para petani miskin dengan syarat supaya mereka memasukkan anak-anaknya ke sekolah missi.' Banyak anggota-anggota dari Partai Komunis yang sudah dilarang dan
70
sedang berada dalam tahanan atau penjara didekati, oleh petugas-petugas missi. Petugas-petugas itu menawarkan beras dan uang tunai yang akan diserahkan secara kontinu kepada famili dari
orang-orang Komunis yang
sedang dalam tahanan dengan syarat agar mereka nanti menanda tangani satu keterangan dimana mereka mengakui sudah masuk agama Katholik. Pekerja-pekerja industri textil yang kehilangan mata pencaharian dalam keadaan ekonomi yang sulit ini ditawarkan bantuan berupa beras dan uang tunai. Rumah-rumah besar yang telah diwariskan pemilik-pemilik kaya untuk keluarganya, dijual kepada missi. Banyak toko-toko dan rumah-rumah tempat tinggal dirombak menjadi gereja-gereja. Club-club, ruang-ruang bacaan, perpustakaan, tempat berenang dan lapangan olahraga dibuatkan untuk pemuda-pemuda bukan Kristen. Puteri-puteri Kristen mencoba merayu pemuda-pemuda Islam masuk Kristen. Pemuda-pemuda Kristen merayu puteri-puteri Islam masuk Kristen. Pernah terjadi bahwa guru-guru Islam yang menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an mengenai Yesus dikenakan tahanan oleh petugas Pemerintah yang beragama Kristen atau diseret oleh pemuda-pemuda Kristen kepada petugas-petugas Pemerintah. Rumah dari keluarga Islam dikunjungi oleh petugas-petugas missi yang mendesak supaya mendengarkan penerangannya mengenai agama Kristen. Sebenarnya warga Indonesia Kristen dan warga Indonesia Islam, di waktu sama-sama keluar dari penjajahan, pada hakekatnya, sama-sama miskin kalau dikatakan miskin, dan sama-sama kaya kalau dikatakan kaya. Akan
71
tetapi, dengan terus mengalirnya ratusan juta dollar ke Indonesia, dari negerinegeri industri di Eropah, Amerika, dan lain-lain untuk missi dan zending, keadaan mendadak sontak sudah berubah. Di kota-kota besar ataupun kecil, berdirilah seperti jamur sesudah hujan, gedung-gedung besar, berlapis-lapis berupa Rumah Sakit Kristen, Universitas Kristen, Percetakan Kristen, Christian Center, Youth Center Advent, dan sebagainya. Terus terang, organisasi-organisasi dakwah dan Sosial Islam seperti Muhammadiyah, Jami'atul Washliyah dan lain-lain takkan mungkin dapat menandinginya. Bagaimana pedati-kuda disuruh berlomba dengan kereta ekspres. Pendeknya D.G.I./Vatikan/C.C.P.D., dan lembaga-lembaga missi dan zending luar negeri itu, bukan tandingannya bagi ormas-ormas dan yayasanyayasan Islam. Malah dinas-dinas Pemerintah RI di bidang sosial, pertanian, peternakan, kesehatan dan lain-lain dari Kabupaten kebawah pun bisa atau sudah kewalahan, lantaran tak cukup tenaga dan dana operasionil. Di tengah-tengah keadaan itu semua, ummat Islam yang awam merasakan dirinya sebagai "armoed-zaaiers", perlambang kemiskinan yang sewaktu-waktu, musim paceklik bisa menadahkan tangan, menerima susu kaleng dan bulgur luar negeri dari tangan Romo Pastur atau tuan Domine dari Jerman, Amerika dan lain-lain. Oleh karena itu, Dr. Verkuyl sebagai sarjana yang terkenal aktif dalam gerakan zending, juga untuk Indonesia, hendaknya jangan heran, apabila ummat Islam di Indonesia ini merasakan agamanya dalam kepungan. Kata-kata ini tidak berlebih-lebihan.
72
Menurut Natsir (1983: 248) dalam tahun 1967 dalam satu permusyawaratan antar-agama yang sengaja diadakan oleh Pemerintah di kantor Dewan Pertimbangan Agung (D.P.A), Presiden Suharto pernah mengadakan suatu
appeal agar hendaknya ummat beragama memusatkan
perhatiannya dalam mempertinggi mutu agama golongan masing-masing, dan menjaga agar jangan ada satu golongan Agama merasakan dirinya sebagai sasaran propaganda dari agama yang lain. Dari pihak golongan Islam diajukan sebagai suatu "Modus vivendi" satu rumusan piagam antar-agama yang sesuai dengan appeal Presiden Suharto tersebut. Akan tetapi, sebagaimana Dr. Verkuyl barangkali juga sudah mengetahui, pihak Kristen baik Protestan maupun Katholik sama-sama menolaknya mentah-mentah. Maka semenjak itu berlakukah apa yang terlihat sekarang sebagai gejala "Free fight for all", dengan "survival of the fittest" di bidang agama. Gejala yang menimbulkan satu situasi yang dapat pujian oleh Dr. Verkuyl, lantaran "dipermukaan air" kelihatannya rukun, indah sekali akan tetapi yang hanya tampaknya demikian, justru lantaran pada pihak ummat Islam, syukur masih ada kekuatan untuk mengontrol diri dan menekan perasaan, atau ada kepatuhan bercampur takut kepada pihak penguasa. (Kuatir kalau-kalau nanti dituduh "ekstrim kanan" pula, atau dianggap "menentang Rencana Pembangunan Pemerintah" dan sebagainya dan sebagainya (Natsir (1983: 248).
73
BAB IV ANALISIS STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN
4.1 Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah Natsir sebagai salah seorang pejuang dan da’i yang memberi pengertian dakwah yaitu usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan, mannusia dan seluruh umat. Konsepsi tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar ma’ruf nahyi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing
pengalamannya
dalam
perikehidupan
perseorangan,
perikehidupan berumah tangga (usrah), perikehidupan bermasyarakat dan perikehidupan bernegara (Shaleh, 1976 ). Menurut Natsir (dalam Luth, 1999 : 131) ada tiga unsure dakwah yaitu: pertama: Amal perbuatan lisan, kedua : aktualisasi Islam dengan karya-karya nyata, ketiga : kepribadian terpuji sebagai sokogurunya. Pemahaman konsep dakwah seperti ini mempunyai implikasi terhadap perubahan masyarakat, baik dari sosiokulturalnya maupun geopolitiknya, adapun masyarakat pada level sosio kultural yang sederhana, hanya menghendaki perubahan seadanya dengan memotivasi mereka dengan konsep Islam bagi perubahan. Hal ini berbeda dengan masyarakat pada level geopolitiknya dengan tingkat tajam berfikir dan kemampuan daya kritis yang kuat. Dalam level ini masyarakat menghendaki perubahan yang lebih mendasar dimana perubahan itu sendiri
74
mempunyai implikasi nyata dalam kehidupan. Dalam hal ini, ajaran Islam tidak dipahami sebagai dukungan sosial untuk kemajuan hidupnya. Dalam konteks ini, tugas dakwah Islam ini lebih diarahkan sebagai kewajiban pribadi, buakan sebagai kewajiban kolektif. Artinya semua orang harus berdakwah untuk dirinya, keluarganya, danmasyarakat dimana saja dan kapan saja, supaya dapat memacu adanya “perubahan”. Untuk bangsa Indonesia dengan komunitas muslim sebagai mayoritas tunggal maka logis kalau ajaran Islam di negeri ini. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidak demikian adanya. Artinya, Masyumi dengan dakwah politiknya bisa berhasil, tentu warna kehidupan bernegra sudah pasti lain, mungkin mayoritas muslim Indonesia akan hidup dalam bimbingan ajaran Islam yang sekaligus menjadi tolak ukurnya. M. Natsir memang serius dengan sebuah obsesi yang tampak ideal, yaitu bagaimana memperjuangkan Islam secara politis pada elite birokrat, baik dalam pemerintahan orde lama maupun orde baru. Tarjet yang di inginkan adalah bagaimana mengislamkan umat Islam di Indonesia. Karena sebagai mayoritas tunggal, ini merupakan satu dilema besar sebagai pencerminan kehidupan Islam. Hal ini tidak boleh di diamkan begitu saja, harus diperjuangkan secara serius melalui kekuatan politik. Kendatipun gagal karena dibubarkan oleh kekuasaan Soekarno, M.Natsir tetap memiliki komitmen yang kuat tentang dakwah Iskam itu. Inilah yang terlihat dalam pernyataanya, “kalau dulu, kita berdakwah dengan politik tetapi sekarang kita bberpolitik melalui dakwah.” Melalui pernyataan m.Natsir ini dapat di ketahui kemauanya
75
yang kuat untuk menyampaikan dakwah Islam melalui jalur politik secara formal. Akan tetapi apa hendak dikata kemauannya tersebut tidak dapat izin dari pihak penguasa. Sebgai konsekuensi dari pernyataan tersebut maka isi dakwah Islam yang lebih digemari oleh m. Natsir tampak bergeser. Artinya pada tahun 199330an dakwah Islam m.Natsir lebih terfokus pada materi Islam sebagai petunjuk ritual. Disana, M. Natsir tanpak tegas mengajarkan tauhid, sholat, dan lain-lain dengan satu muara, yaitu ingin menjadikan masyarakat Islam supaya “ mengamalkan” ajaran Islam. Hal tersebut berubah ketika M.Natsir ikut mengambil bagian pada sejumlah jabatan politis tahun 1940-an. Lebih terasa lagi adalah ketika M. Natsir menjadi ketua umum Masyumi pada tahun 1949-1958 dan menjadi perdana mentri RI pada tahun 1950-1951. orienrasinya pada materi dakwah tanpak berubah, yaitu ingin menjadikan kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam di Indonesia. Karenanya, M. Natsir tanpaknya lebih intens berbicara, menulis, bahkamn menggalang potensi-potensi umat yang dipandangnya memiliki nuansa politik dan komitmen yang kuat terhadap kepentingan Islam. Hal tersebut tidak saja dilakukannya pada masa pemerintahan orde lama, tetapi juga pada masa pemerintahan orde baru. Tema-tema dakwah yang mendapatkan perhatiannya adalah masalah politik, ekonomi, pendidikan, dan hal-hal yang dipandang sebagai kekuatan yang melemahkan Islam. Dalam pemerintahan Orde Baru, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan M. Natsir sebagai pemimpinnya hingga wafatnya, selalu
76
berjuang dan berdakwah. Misi dakwah yang dikembangkan oleh DDII tanpaknya sangat vokal dan agak kritis terhadap siapa saja yang ingin memadamkan ajaran Islam, tidak peduli apakah interen Umat Islam, terlebih lagi terhadap kelompok selain Islam. Dalam konteks ini, secara transparan dapat terlihat bagaimana M. Natsir berbicara dengan elite birokrasi di Indonesia tentang beberapa hal yang dipandang merugikan masyarakat. Demikian juga terhadap pemimpin-pemimpin spiritual agama lain, M. Natsir juga berbicara soal nasib umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Terlepas dari kekurangan M. Natsir sebagai mannusia dalam bidang dakwah Islam, beliau memiliki kepribadian yang utuh. Kemampuan menulis dan ceramah mi bar serta ikut sertanya dalam setiap gerakan masyarakat dalam dakwah nyata, apalagi didukung olehn kepribadiannya yang begittu teguh maka beliau pantas diberi penghargaan sebagai “ mujahid dakwah “. Kalau pemerintah Orde Baru hingga saat ini masih belum memberi pengharagaan kepada M. Natsir sebagai salah satu pahlawan nasional, itu hanya pertimbangan politis saja. Akan tetapi, umat Islam tentunya akan memberi penghargaan moral yang lebih tinggi dari sekedar pahlawan nasional. M. Natsir pantasdisebut “mujhid dakwah “, tidak saja pada skala nasional tetapi juga dalam skala internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan tokoh-tokoh dunia tentang andil M. Natsir terhadap kepentingan umat pada masa hidupnya. hanya saja disayangkan, generasi penggantinya tidak sehebat beliau sehingga ada praduga sepertiny telah terjadi stagnasi kepemimpinan. Hal tersebut disebabkan karena orang-orang kepercayaannya
77
hanya sekedar mengandalkan kehebatannya sebagai pemimpin besar dan berlindung dibawah kepemimpinannya yang sangat kharismatik. Mereka tidak atau kurang berani menimba Ilmu dan pengalaman darinya. Tidak terpikirkan oleh M. Natsir untuk membina kader penggantinya yang lebih andal karena kesibukannya mengurus kepentingan dakwah. Hal ini bisa terjadi pada siapapun, termasuk M. Natsir, karena tidak diprogramkan terlebih dahulu. Memang diakuui, menciptakan generasi yang handal bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, upaya menciptakan generasi pengganti itu harus dimulai sejak dini sehingga kalaupun kemampuan itu tidak sama persis minimal berada tidak terlalu jauh dibawah kemampuan pemimpin yang digantikan. Katakanlah seperti Nabi Muhammad SAW, beliau tidak menciptakan para sahabatnya menjadi nabi-nabi sesudahnya. akan tetapi, mereka para sahabat mendapat bimbingan langsung secara intensif dari beliau. Karena itu, dalam sejarah Islam diketahui sesudah wafatnya nabi, masih ada penggantinya, yaitu Khulafa ar-Rasyidin. Diakui atau tidak., pola kepemimpinan yang bertumpu hanya pada seseorang merupakan kelemahan terbesar dari umat Islam pada umumnya pola ini tampaknya tidak percaya pada kemampuan generasi penggantinya. Dengan kata lain, pola kepemimpinan ini hanya mengakui kehebatan dan kelebihan pribadi pemimpinnya dan meniadakan kehebatan serta kelebihan generasi berikutnya. M. Natsir sebenarnya tidak termasuk pada pola kepemimpianan tersebut, dalam artian secra hukum. Maksudnya, secara teoretis/ hukum, M.
78
Natsir mempunyai orang-orang kepercayaan yang duduk bersamanya salam memimpin DDII, dan sudah barang tentu beliau secara langsung ataupun tidak membimbing atau mengader orang-orang dekatnya sebagai penggantinya. Akan tetapi, bila dilihat kenyataanya, M. Natsir tampaknya tidak bisa menghindarkan diri dari pola kepemimpinan tersebut, karena setelah wafatanya M. Natsir, tidak lahir “ M. Natsir M. Natsir baru yang sehebat beliau. Ternyata, melisannkan pepatah “ patah tumbuh hilang berganti “ atau “patah satu tumbuh seribu “ itu tidak mudah tetapi kenyataanya tidak demikian. Hal ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor sebagai penyebabnya. Pertama, lemahnya progaram pembinaan kader sebagai penerus generasi atau terlalu percaya pada kemungkinan munculnya kader-kader penerus secara ilmiah. Kedua, ada kecenderungan sang pemimpin untuk membesarkan harapan yang berlebihan pada masanya bahwa setelah ia tiada, pasti ada pengganti yang lebih baik dari dirinya, sehingga urusan pembinaan generasi diserahkan kepada seleksi alam. Ketiga, da semacam penyakit takut kalah bersaing dalam masa kepemimpinan seseorang,sehingga proses generasi berjalan tanpa bimbingan atau tanpa disiapkan. Hal ini semakin parah lagi ketika ada praduga bahwa yang disiapkan itu boleh jadi dapat mengambil alih kepemimpinannya secara paksa karena ada kepentingan-kepentingan tertanam ( vetsed interst ). Jalan keluar menghadapi kendala ini adalah berdakwah sambil menyiapakan generasi pengganti dengan program-program yang terarah.
79
Untuk hal tersebut, konsep dakwah Islam juga harus diarahkan pada proses terbentukkant regenerasi dalam arti luas sehingga dalam wajah masyarakat Islam terliahat ada kelanjutan proses alih generasi, bukan stagnasi dalam generasi kita menyadari bahwa mencarai pemimpin seperti M. Natsir bukan hal yang muadah, tetapi tidak akan tumbuh pemimpin-pemimpin seperti beliau kalau tidak diupayakan melalaui program-program pengaderan. Bahkan, janagn bermimoi untuk mendapatkan tipe-tipe pemimpin seperti M. Natsir kalau hanya diserahkan kepada seleksi alam. Ada hal yang perlu disempurnakan dalam gerakan dakwah yang dilakukan oleh M. Natsir. Dakwah Islam yanng dilakukan beliau hanya terfokusnya pada pendekatan formal, terutama dalam menghadapi elite birokrasi. Tidak tampak pendekatan dakwah yang bersifat lebih kekeluargaan atau dari hati kehati seperti bapak dengan anaknya. Pendekatan yang serba formal inilah yang menimbulkan jarak yang cukup jauh dengan penguasa sehingga menimbulkan sikap kurang akrab dan bershabat yang membawa konsekuensi kecurigaan pihak elite birokrasi terhadap misi dakwah yang di emban oleh M. Natsir. Tampaknya, M. Natsir dalam gerakan dakwahnya, terkesan sebagai seorang mubaligh yang menyampaikan kebenaran dengan berorientasi pada apa yang disebut qul al- haq walau kaana murran ”katakanlah yang benar walaupun rasanya pahit”. Tugasnya menyampaikan informasi dakwah dalam arti tabligh. Ia tidak memainkan peran dakwahnya sebagai da’i pengundang yang objek dakwah dijemput dan dihormati ketika menerima informasi dakwah. Sebenarnya, dakwah yang bertumpu pada amar
80
ma ruf nahi munkar harus lebih di artikan sebagai undangan atau mengundang para objek dakwah dengan diberi penghormatan sebagai tamu, diajak berbicara dari hati kehati, didengar keluhan dan kesulitan apa yang sedang dihadapi oleh mereka ( objek dakwah ), kemudian sang da’i mencoba memberi solusi dengan pilihan-pilihan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan mereka. Sudah barang tentu tawaran pilihan tersebut diikuti dengan cara-cara yang arif dengan bahasa yang santun. Dakwah Islam dalam arti sekadar
tabligh atau asal menyampaikan
saja tanpa memperhatikan siapa dan apa yang sedanng dihadapi oleh objek dakwah, apalagi tidak memberikan solusi dan hanya sekedar menuding, sudah waktunya dihindari karena cara tersebut dipandang tidak menyelesaikan masalah, malah bisa sebaliknya. M. Natsir tampaknya masih menghendaki kekuatan politik sebagai alat dakwah amar ma ruf nahi munkar. Kehendaknya ini dapat dibaca pada ucapan “ kalau dulu, kita berdakwah melalui politik maka sekarang, kita berpolitik melalui jalur dakwah. 4.2. Konsep Dakwah M Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen M. Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga upaya besar, yaitu 1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung kristenisasi, 3) menulis dua karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan Kristen di Indonesia dan Mencari Modus Vivendi antarumat Beragama di
81
Indonesia, dan 3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Palus 11 di Vatikan dengan permohonan agar membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan penduduk yang mayoritas muslim. M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama, yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia (pelayanan yang berkedok sosial), dan modus vivendi. M. Natsir mengatakan, Kegiatan misi Kristen/Katolik di Indonesia tampak meningkat setelah meletusnya pemberontakan Komunis G. 30 S/PKl. Keluarga orangorang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin, adalah sasaran utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut. Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam, dan cara yang mereka jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila (kebebasan menganut agama) (Natsir, 1983: 207).
Pada tahun 1967, misi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung perasaan umat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen di lingkungan kaum muslim. Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen tumbuh bagaikan jamur di musim hujan di seluruh pelosok Indonesia. Keadaan yang demikian itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu perusakan gereja di Meulaboh, Aceh, pada bulan Juni 1967, perusakan gereja di Ujungpandang (Makasar) bulan Oktober 1967, dan perusakan sekolah Kristen di Palmerah, Slipi, Jakarta (Natsir, 1983: 207).. Agama
Kristen Katolik di Indonesia tampaknya
benar-benar
memanfaatkan kesempatan dengan melakukan upaya kristenisasi secara terbuka pasca G. 30 S/PKI. Peluang ini ternyata berhasil merayu sebagian
82
umat Islam untuk berpindah ke agama mereka. Yang lebih demonstratif lagi adalah sebagai minoritas, mereka tidak segan-segan mendirikan gereja, sekolah-sekolah di tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim. Mereka tidak segan-segan melakukan ajakan Kristenisasi dari rumah ke rumah kepada umat Islam dengan membagikan sejumlah materi yang menjadi kebutuhan masyarakat Islam. Alasannya sederhana, yaitu bantuan sosial dan kepedulian mereka terhadap nasib sebagian umat Islam yang memerlukan bantuan. Jika diteliti, sebenarnya kegiatan seperti ini tidak lebih dari suatu penyerangan yang bersemboyan kedamaian. Dari segi ini, Kristen/Katolik melalui misionarisnya tampak sudah melampaui batas, sebab mereka sudah tidak mengindahkan lagi etika beragama, atau dengan pengertian lain, para misionaris Kristen/Katolik tampak demonstratif memasuki rumah-rumah orang Islam dengan berbagai dalih untuk menyampaikan pekabaran Injil. Sebagai contoh kecil, dapat dikemukakan
suatu
kejadian
misi
mereka
yang
membawa
korban
meninggalnya H. Achmad al-Amudi di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. "Pada hari Minggu pukul 11.15, rumah H. Achmad al-Amudi di Jalan Pendowo Lawang, Kabupaten Malang, tanggal 7 Oktober 1979 didatangi 3 (tiga) orang tamu, masing-masing bernama Sukamto, Utu Hutapea, dan Tri Sulistio. Ketiga orang tersebut mengaku dari Gereja Advent, Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, yang bermaksud menyampaikan ajaran Yesus Kristus, dengan membawa beberapa brosur. H. Achmad al-Amudi memberi kesempatan duduk di ruang tamunya. Mengetahui maksud yang demikian itu, H. Achmad lantas mengatakan bahwa dia orang Islam dan sudah mempunyai keyakinan sendiri. Karena tamu 83
tersebut memaksa menyampaikan ajakannya, maka terjadilah perdebatan dan akhirnya H. Achmad meminta agar ketiga orang tersebut keluar dari rumahnya. Pada saat tolak-menolak di halaman rumah, maka berteriaklah H. Achmad, 'kurang ajar'. Orang tidak mau 'kok dipaksa-paksa.' Setelah berkata demikian, ia meninggal dunia karena emosi dan shock. Menurut keterangan Anis (21 tahun, putra tertuanya), ia sempat melihat dorong-mendorong antara ayahnya dengan Sukamto dan mendengar perdebatan ayahnya dengan ketiga tamu itu. Terakhir, ia ikut membantu ayahnya yang roboh ke tanah. Dikabarkan, sebelum bertamu ke rumah korban H. Achmad, ketiga misionaris Advent tersebut mendatangi rumah Saleh yang juga beragama Islam di jalan Pendowo. Walaupun terjadi dialog soal Tuhan Yesus sebagai juru selamat dan lain-lain, Saleh tetap tidak menggubris rayuan mereka. Kemudian tamu tersebut menuju ke rumah Ny. Edy yang tidak jauh dari rumah korban. Ny. Edy beragama Katolik dan suaminya beragama Kung Fu Cu. Dalam pertemuan itu, Sukamto mengatakan, 'Mengapa Nyonya tidak memaksa suami Nyonya masuk Kristen?' Demikian tamu itu menganjurkan. Diberitakan juga, sebelum melakukan kegiatan 'penyebaran agama', Gereja Advent Lawang meminta izin kepada Kepala Desa Lawang, A. Hadi. Mereka meminta izin akan beranjangsana ke rumah-rumah pengikutnya. Permintaan itu diizinkan dengan syarat tidak boleh masuk ke rumah orang yang sudah menganut agama Islam. Ternyata, mereka menyimpang dan masuk ke rumah-rumah orang Islam. Dari situlah terjadi peristiwa H. Achmad al-
84
Amudi, yang saat itu menimbulkan ketegangan dan keresahan umat Islam di Lawang. Demikian ucap A.Hadi. Peristiwa di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, ajaran Kristen/Katolik yang selama ini berpangkal pada kasih sayang seperti yang digembar-gemborkan, ternyata diselewengkan oleh para misionaris, atau mungkin ajaran itu sekadar bermakna simbolik untuk memperlancar misi mereka menambah pengikut agama mereka. Kedua, peristiwa itu tampak tidak etis karena para misionaris tidak segan-segan melakukan pemaksaan terhadap masyarakat yang telah memeluk agama lain. Ketiga, menempuh segala cara dengan mengecoh para pejabat desa untuk kepentingan misionaris. Terhadap hal-hal seperti inilah, M. Natsir angkat bicara, yang dikenal dengan sebutan "tiga saran untuk tiga pihak". Untuk menghindari agar insiden-insiden semacam itu tidak terulang lagi, ia menyarankan hal-hal berikut. 1) Golongan Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk 'membawa pekabaran Injil sampai ke ujung bumi supaya menahan diri dari maksud dan tujuan program kristenisasi itu. 2) Orang Islam pun harus dapat menahan diri, jangan cepat-cepat melakukan tindakan-tindakan fisik. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila orang Kristen dapat menahan diri. 3) Sementara itu, pemerintah harus bertindak cepat terhadap pihak Kristen yang telah tidak mematuhi larangan pemerintah, agar tidak timbul perasaan tidak berdaya di kalangan orang Islam, seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum terhadap rongrongan pihak lain.
85
Adapun dalam konteksnya dengan istilah diakonia, maka yang dimaksud dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan sikap tidak toleran orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Terhadap diakonia ini, M. Natsir dan kawan-kawannya (K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi) pernah mengirim surat terbuka kepada Paus Yohanes Paulus II melalui Duta Besar Tahta Suci di Jakarta. Mantan Perdana Menteri RI, mantan Menteri Agama RI, mantan Menteri Negara RI, dan mantan Menteri Agama RI ini membeberkan bagaimana lihainya misi Kristen/Katolik melalui diakonia di Indonesia. Dalam surat tersebut, M. Natsir dan kawan-kawannya berkomentar soal diakonia sebagai berikut. "But we witness with concern that the progress of the Indonesian development is being hampered by the disharmony of relationship between Muslims and Cristians, caused by the abuse of diakonia and intolerant attitude of the Cristian towards the Muslims in Indonesia. This condition should not be allowed to continue, because m national life we have to recognize the necessity of tolerance and mutual respect." Sebagai lampiran surat tersebut, M. Natsir dan kawan-kawannya membeberkan kegiatan-kegiatan misionaris Kristen di Indonesia. Ditunjukkan ada 13 (tiga belas) poin kegiatan mereka, yaitu: a
memilih desa-desa yang terpencil dan membantu orang-orang miskin,
b
menawarkan pekerjaan,
c
perbaikan rumah,
d
pertunjukan-pertunjukan film,
e
kursus-kursus latihan gratis,
f
meniru kebiasaan orang Islam,
86
g
penyalahgunaan transmigrasi,
h
membangun gereja-gereja dan kapel liar,
i
kawin campur,
j
perkumpulan-perkumpulan koperasi,
k
penyalahgunaan kedudukan,;
l
pendidikan di sekolah-sekolah Kristen, dan
m merawat yang sakit dan menguburkan mayat. Memperhatikan misi tersebut dengan diakonianya, dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya umat Islam telah terkepung oleh upaya kristenisasi dalam berbagai aspek. Kenyataan ini disadari oleh pemerintah. Ini terbukti dengan lahirnya beberapa surat dari pemerintah yang bertujuan mengatur tata cara penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Keputusan-keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.l Tahun 1979. M. Natsir rupanya mempunyai pemikiran khusus soal kristenisasi di Indonesia. Maksudnya adalah kegiatan kristenisasi yang telah melampaui batas kode etik beragama ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Ini karena bila umat Islam kehabisan kesabarannya akan timbul tragedi yang paling berbahaya yang mengancam nasib kelompok minoritas khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, perlu dicari pemecahannya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rangka mencari jalan keluar
87
ini, M. Natsir mengajukan perlunya warga yang beragama Kristen dan Islam sama-sama mengadakan modus vivendi. Adapun tujuan modus vivendi menurut M. Natsir adalah menciptakan kehidupan berdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut dapat dipahami karena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut. Pertama, antara pemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi. Kedua, agar semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan pemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama di negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional. Keempat, menghindari terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia ini. Kelima, tidak kalah pentingnya adalah mengajak semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan salah satu perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam keragaman beragama. Terhadap poin kelima ini, M. Natsir mengatakan, "Kami umat Islam berseru kepada seluruh teman-teman sebangsa yang beragama lain bahwa negara itu adalah negara kita bersama, yang kita tegakkan untuk kita bersama, atas dasar toleransi, tenggang rasa, bukan untuk satu golongan yang khusus. Kami berseru, sebagaimana seruan Muhammad kepada sesama warga yang berlainan agama. Kami diperintahkan supaya menegakkan keadilan dan keragaman di antara Saudara. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan Saudara. Bagi kami, amalan kami; bagi Saudara, amalan Saudara. Tidak ada persengketaan agama antara kami dan Saudara. Allah akan menghimpun kita di hari kiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali." Konsep dakwah M. Natsir melalui modus vivendi tersebut patut dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan 88
Republik Indonesia, karena konsep tersebut menyangkut pemeliharaan stabilitas dan kelanjutan pembangunan nasional. Dengan demikian, baik pemerintah maupun masyarakat melalui tokoh-tokoh agama masing-masing, memperhatikan secara sungguh-sungguh. Sebab, hanya dengan modal mengamalkan trilogi kerukunan, masyarakat bangsa Indonesia dapat hidup damai. M. Natsir mengatakan, "Sekarang, posisi masing-masing sudah jelas. 1. Umat Islam Indonesia sudah mengulurkan tangan mengajukan satu modus vivendi demi kerukunan hidup antaragama. 2. Presiden Soeharto sudah berkali-kali menganjurkan agar satu golongan agama jangan dijadikan sasaran dakwah oleh agama lam. 3. Menhankam/Panglima ABRI telah memperingatkan agar jangan memakai penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan untuk pemindahan agama (proselytisme). 4. Konferensi bersama Misi Kristen dengan Dakwah Islam yang berlangsung di Genewa tahun 1976 pun sudah menyadari dan menyarankan agar diakonia dihentikan. 5. Prinsipnya, di tingkat atas, sudah tercapai hasil-hasil yang positif. Tinggal realisasinya oleh para pelaksana lapangan secara praktisnya." Tampaknya, para petinggi gereja menyambut harapan M. Natsir tersebut dengan dingin. Kalaupun ada pemimpin umat Kristiani yang ikut dalam Forum Komunikasi dan musyawarah antara umat beragama itu pun hanya sekadar simbol belaka. Mereka, para petinggi gereja, tidak terlihat kesungguhannya ikut mengendalikan umatnya dari hal-hal yang tidak baik terhadap umat Islam minoritas di daerah-daerah. Bahkan, mereka terkesan menutup mata atau bahkan mengatur strategi dari belakang terhadap pembakaran mushala, penganiayaan umat Islam, pembakaran kios-kios, warung-warung, dan toko-toko milik umat Islam, seperti terjadi di Kupang NTT, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dan Provinsi Timor-Timur barubaru ini. 89
Insiden tersebut sebenarnya sangat menyakitkan hati umat Islam di Indonesia sehingga dalam hati kecilnya ingin membalas. Akan tetapi, berkat kearifan para pemimpin spiritual Islam di Indonesia dalam meredam gejolak emosi para pengikutnya, massa Islam dapat terkendali. Untungnya umat Islam tidak terpancing dan mau main hakim sendiri atas peristiwa tersebut sehingga umat Kristiani sebagai kelompok minoritas di Indonesia dapat terlindungi keselamatan jiwanya. Hal ini diungkapkan oleh Tarmizi Thaher, mantan Menteri Agama RI, "Kasus Timtim merupakan ujian berat bagi bangsa Indonesia, terutama bagi umat Islam. Untungnya, umat Islam tidak terpancing untuk melakukan pembalasan atas perlakuan yang diterima di Timtim. Bayangkan, kalau umat Islam dari semua provinsi melakukan pembalasan kepada umat lain, apa tidak akan terjadi malapetaka seperti di Bosnia?" Viktor Tanja, Pendeta Protestan asal Nusa Tenggara Timur, memuji sikap umat Islam yang tak beraksi negatif, padahal menurut pemikiran Viktor, umat Islam akan membalas, sebagai reaksi kebringasan peristiwa Timtim (dan juga di beberapa daerah di NTT). Katanya, "Saya sangat memuji sikap umat Islam yang sejuk-sejuk saja dan tidak bereaksi keras atas musibah di provinsi termuda Indonesia." Akan tetapi, pujian itu segera ditimpali Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah (waktu itu), "Melihat penampilan lahiriah (fisik umat Islam) memang tak bereaksi, tapi batin umat Islam sangat terkoyak."
90
Malah, ada juga pemuda Islam mendesak mantan Ketua P.P Muhammadiyah agar diberi izin membakar gereja, tetapi Amien dengan tugas menjawab, "Jangan ikut-ikut gila." Kini, peristiwa itu telah berlalu dan pasti meninggalkan bekas luka yang mendalam bagi umat Islam. Mudah-mudahan saja peristiwa itu tidak menjadi api dalam sekam. Tugas pemimpin-pemimpin Islam akan semakin berat dan teruji, apakah suaranya masih dihargai umat atau tidak. Sementara itu, pihak umat agama lain, terutama para petinggi spiritual mereka, supaya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia ini sudah sangat toleran dan ekstra sabar demi persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap dan sifat ini jangan dijadikan alasan untuk terus melakukan penganiayaan dan penindasan terhadap umat Islam. Kasus Timtim, Kupang, NTT, serta Larantuka Kabupaten Flores Timur, Ketapang cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi semua pihak. Sifat tahu diri serta sikap pengendalian diri sangat penting artinya dalam menjaga keutuhan hidup bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, menjadi kewajiban semua pihak menjaganya. Demi pembangunan nasional, sangat diperlukan sikap kerja sama antarumat beragama untuk membangun negara RI, sambil bersenandung, "Kemesraan ini janganlah cepat berlalu." M. Natsir tampaknya sangat antusias mengusahakan agar trilogy kerukunan itu benar-benar terlaksana secara nyata, bukan sebagai biasan bibir belaka. Hanya saja, M. Natsir lupa bahwa kepentingan tertanam (vested interest) pada masing-masing umat beragama dan semua kekuatan yang ada
91
dalam masyarakat itu pada dasarnya ingin menguasai, ingin menang, dan ingin dikatakan paling baik. Dengan demikian, sikap ingin menguasai sulit dihindari, bahkan sering menjadi motivasi utama bagi masing-masing pihak untuk mengalahkan pihak lain. Hal inilah yang tidak diperhitungkan M. Natsir sehingga apa yang dilakukannya dalam banyak hal, ada yang menjegal. Akibatnya, keinginan M. Natsir tidak semua terpenuhi sebagaimana yang diharapkannya. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya. M. Natsir hanya memperhitungkan kuantitas umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Beliau lupa bahwa secara politis, umat Islam yang mayoritas itu tidak mempunyai kualitas yang bisa diandalkan sehingga bukan merupakan hal yang baru, meskipun dari segi jumlah umat Islam di negeri ini merupakan mayoritas, tetap saja pengaruhnya terasa sebagai minoritas. Baru belakangan ini mulai terasa gemanya setelah adanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sasaran dari isi-isi dakwah M. Natsir sebagaimana tersebut, pada dasarnya ditujukan kepada: a
para politisi yang memiliki kekuasaan politik, termasuk lembaga-lembaga politiknya,
b
para ekonom, pengusaha, dan para konsumennya,
c
para pendidik, peserta didik, dan kelompok intelektual lainnya yang mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan,
d
para penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan sebagai pelaksana roda pemerintahan,
92
e
para kaum sekuler dengan berbagai paham sekularismenya, dan f. para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lain, termasuk di dalamnya masyarakat sebagai pengikut/penganut agama masing-masing. Menurut penulis, dari sasaran-sasaran tersebut, kuncinya terletak pada
penguasa/pemerintah, karena pemerintah mempunyai otoritas mutlak untuk melakukan suatu perubahan. Dengan pengertian lain, kemauan para elite birokrasi sangat menentukan warna kehidupan beragama di negara kita ini. Dengan demikian, bisa dipahami mengapa M. Natsir begitu vokal terhadap kebijakan penguasa/pemerintah yang menurutnya perlu diluruskan. M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan isi-isi dakwah dan sasarannya sebagaimana tersebut di atas. Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memiliki kemampuan intelektual yang utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuh pesan dakwah yang disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial. Dalam dimensi spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa Islam itu meliputi ajaran spiritual dan sosial. Di samping mengamalkan ajaran agama, umat
Islam
juga
harus
mengerti politik,
mapan
dalam
ekonomi,
berpendidikan, dan memiliki kepekaan sosial terhadap setiap masalah yang
93
terjadi di lingkungannya. Ini semua merupakan hal yang sangat baik bagi kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Akan tetapi, ketika M. Natsir membicarakan masalah politik sebagai isi dakwahnya, terkesan ada kepribadian yang tidak utuh pada dirinya. M. Natsir ketika menyoroti kebijakan para penguasa, termasuk para pejabat negara, di matanya mereka seperti manusia-manusia yang tidak mempunyai jasa atau serba salah. Semestinya, M. Natsir secara jujur mengatakan kelebihan dan kekurangan mereka sehingga tidak terjadi penilaian sepihak oleh siapa pun juga. Kejujuran ini sangat penting karena akan diikuti oleh para da'i atau pengikut yang menjadikannya sebagai idola mereka. Sebagai gambaran global, hal ini terjadi pada majalah bulanan Media Dakwah yang dikelolanya. Pada majalah mi, para dewan redaksi atau penulis artikel jika menyoroti masalah-masalah politik selalu dengan nada negatif. Hal-hal semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi lagi, karena bagaimanapun juga akan menimbulkan sikap pro dan kontra bagi pembacanya. Bukan merupakan hal yang mustahil jika hal tersebut akan membentuk opini umat yang akan menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka sangat disayangkan karena dakwah Islam terus dibenturkan dengan kepentingan emosional pribadi. Ini merupakan kerugian bagi umat Islam secara keseluruhan dan dapat menjadi indikasi bahwa dakwah Islam tidak berhasil memperbaiki umat. Hal yang senada juga terjadi ketika M. Natsir membicarakan masalah sekularisme. Bagi M. Natsir, sekuler itu seperti horor dan hal yang
94
menjijikkan. Karena itu, tidak ada tempat buat paham sekuler di negeri ini. Tidak hanya itu, orang-orang yang dianggapnya membawa paham sekuler, di mata M. Natsir semuanya serba salah, padahal tidak semua sekuler itu salah/menjijikkan. Sekuler dalam pandangan Barat secara terminologis tidak dapat dibenarkan. Istilah ini, bukan saja M. Natsir yang menolaknya, tetapi juga umat Islam pada umumnya, karena pengertian sekuler tersebut akan menolak campur tangan agama dalam urusan keduniaan. Ini yang disebut bahaya terselubung bagi umat beragama. Penulis melihat bahwa istilah sekuler secara harfiah mempunyai arti sangat positif, yaitu "memberi perhatian terhadap masalah-masalah dunia" atau berkenaan dengan kehidupan dunia. Demikian tulisan Harun Nasution dalam bukunya, Islam Rasional. Istilah ini sebenarnya sesuai dengan isyarat dari beberapa ayat yang terdapat dalam AlQur'an surat al-Baqarah ayat 201, surat al-Qashash ayat 77, dan lain sebagainya. Sebenarnya, sasaran dakwah M. Natsir pada intinya ditujukan kepada penguasa negara. Hanya saja, M. Natsir tidak begitu akrab dengan penguasa sehingga menyebabkan sasaran dakwah ini hanya tinggal sebagai teori belaka. M. Natsir merasa kecewa terhadap sikap para penguasa yang kurang memperhatikan imbauan, harapan, dan kritiknya. Demikian sebaliknya, para penguasa merasa disepelekan oleh kritik M. Natsir yang vokal melalui media massa. Sebagai mujahid dakwah, M. Natsir seharusnya berpikir demi kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam. Seharusnya, ia mau mengalah
95
dan menjalin hubungan baik dengan para penguasa, kemudian mengajak mereka secara arif untuk kepentingan umat Islam dan negara RI. Sikap inilah yang sebenarnya diharapkan oleh umat Islam, karena bagaimanapun juga kewibawaannya dan suaranya masih didengar oleh pihak penguasa. Sayang sekali, sikap ini tidak muncul pada pribadi M. Natsir sehingga jurang pemisah dengan penguasa semakin melebar. Akibatnya, ibarat peribahasa, "Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah." 4.3. Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, bahwa dalam menghadapi misionaris Kristen, Natsir mengetengahkan tiga strategi dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu strategi pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan berbagai media cetak Pertama, Pembangunan Masjid. M. Natsir mengatakan bahwa masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Dengan demikian, masjid dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. M. Natsir melihat adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, beliau menganggap penting memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik di kota maupun di pedesaan.
96
Menurut penulis bahwa perhatian M. Natsir terhadap pembinaan intern umat Islam melalui masjid, terutama masjid-masjid di pedesaan, itu merupakan sesuatu yang mulia. Ini karena dengan masjid tersebut, umat Islam dapat mengonsolidasi dirinya terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya. Wujud dari konsolidasi tersebut akan melahirkan umat Islam yang memiliki kepribadian sebagaimana yang dikehendaki Islam. Di samping itu, ikut sertanya DDII secara nyata di masyarakat membuktikan bahwa DDII yang dimotori oleh M. Natsir itu bukan sekadar organisasi teoretis, tetapi juga praktis. Hal ini menunjukkan betapa pedulinya DDII terhadap kehidupan keagamaan umat Islam. Kedua, Pengiriman Dai. Dalam rangka membina umat Islam terutama di pedesaan dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai
pengaruh
terhadap
pendangkalan
akidah,
pemurtadan,
dan
sebagainya, DDII mengirimkan dai ke tempat-tempat tersebut. Dakwah yang dilaksanakan oleh M. Natsir, selain melalui hal-hal tersebut, juga melalui pengiriman da'i ke daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi. Para dai umumnya direkrut dari masyarakat desa sendiri. Mereka dididik dan dilatih, dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman dai ini diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keimanan dan keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat dibentengi dari berbagai pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran nativisme (ajaran yang digali
97
dari bumi sendiri) maupun pengaruh misionaris Kristen yang dewasa ini cukup pesat perkembangannya. M. Natsir memahami bahwa para da'i yang melaksanakan tugas di daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi itu menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang tidak sedikit, baik yang menyangkut keadaan di lapangan (medan) maupun sarana yang mereka perlukan dalam melaksanakan tugasnya. Umumnya, sarana yang dipergunakan para dai itu kurang memadai jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para misionaris Kristen. Para misionaris ini antara lain mempergunakan pesawat terbang dalam melaksanakan tugasnya, seperti di daerah pedesaan dan pedalaman Kalimantan. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan mengirim bantuan secukupnya sesuai dengan kemampuan yang ada. Sekalipun bantuan yang diberikan oleh M. Natsir kepada para dai yang sedang melaksanakan tugasnya itu tidak seberapa besar, namun mereka yang sebelumnya telah dibekali dengan semangat iman yang mantap, tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Banyak di antara mereka yang telah berhasil melaksanakan tugasnya. Bagi sebagian mereka yang telah berhasil, mendapat beasiswa untuk belajar ke negara-negara Timur Tengah. Hal ini diberikan selain sebagai imbalan atas tugas-tugas mereka, juga untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas ilmu dan agama mereka yang berguna untuk kegiatan dakwah kepada masyarakat di masa yang akan datang. Ketiga, Penerbitan. M. Natsir tampaknya belum begitu puas atas dakwah bi al-hal seperti tersebut. la merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu
98
melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh DDII. Mulai dari brosur berupa lembaran sampai pada majalah ataupun buku-buku yang ditulisnya sendiri maupun orang lain. Majalah dan buku-buku tersebut menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, supaya mereka dapat memahami agama dan persoalan-persoalan sosial secara tepat. Paling tidak ada lima penerbitan dakwah yang dikelola secara tertib, dan itu semuanya dikerjakan di kompleks sekretariat DDII, Jalan Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat. Adapun kelima penerbitan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, majalah serial Media Dakwah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan menengah. Kedua, majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk konsumsi awam, berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadits, dan lain-lain. Ketiga, Serial Khutbah Jum'at, khusus memuat bahan-bahan khutbah Jumat untuk para da'i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan pengelolaan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, majalah Sahabat, bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk anak yang saleh. Kelima, Buletin Dakwah, terbit setiap hari Jumat yang terdiri atas empat halaman. Isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh semua pihak. Di samping itu, DDII menerbitkan tabloid Al-Salam sampai sekarang. Isinya menyangkut masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan. Dengan penerbitan-penerbitan tersebut, terjalinlah hubungan yang kontinu dengan wilayah-wilayah, sedikit banyaknya juga
99
dikembangkan bahan-bahan dakwah yang dapat dikatakan "satu nafas" dan "satu bahasa". Demikianlah M. Natsir merancang dakwah Islam melalui DDII dalam bidang penerbitan yang sampai sekarang menjadi bahan bacaan umat Islam. Dengan misi ini, dakwah Islam yang digemakan melalui DDII akan meluas. Inilah salah satu karya nyata M. Natsir yang selalu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap umat Islam. Hal tersebut dibuktikan melalui dua etape perjuangan yang tidak pernah berhenti, yaitu etape perjuangan politik dalam Orde Lama dan atape perjuangan dakwah dalam Pemerintahan Orde Baru. Kelanjutan perjuangan ini menunjukkan bahwa M. Natsir benar-benar ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan umat Islam. Hanya saja keinginan tersebut tidak semuanya terlaksana karena adanya kendala internal dan eksternal. Secara internal, pola dakwah yang dikembangkan M. Natsir sangat formal dan terkesan beroposisi dengan pihak penguasa. Sedangkan secara eksternal, sikap M. Natsir tersebut mau tidak mau mengundang rasa tidak suka dari pihak penguasa yang dalam beberapa hal secara langsung ataupun tidak hambatan tersebut dirasakan oleh M. Natsir dalam mengembangkan dakwahnya.
100
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan pada temuan berbagai sumber, hasil karya M. Natsir dan berupa tulisan tentang Natsir yang penulis paparkan di awal maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwa dalam dimensi spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah. Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. 5.1.2. Pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen dengan melahirkan konsep modus vivendi yaitu menciptakan kehidupan berdampingan secara damai. Modus vivendi dapat dipahami karena umat Islam di Indonesia menginginkan terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama, dan menghindari terjadinya perang agama. 5.1.3. Strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M. Natsir mengetengahkan tiga strategi dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu
strategi pertama adalah
memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi
101
terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan berbagai media cetak. 5.2. Saran-saran Meskipun konsep dan strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen kurang memuaskan atau mungkin masih dianggap kurang memadai dalam menguraikan, namun setidaknya dapat dijadikan masukan bagi masyarakat terutama para da'i. Konsep tokoh ini dapat dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya dalam menghadapi misionaris Kristen 5.3. Penutup Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepurapuraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini.
102
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Amrullah, 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta.
Anshari, Hafi. 1993. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas. Arifin, M., 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Arikunto Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rinika Cipta. Berkhof, H.. 1991. Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia. Dermawan, Andy et. al, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: LESFI. Fuchan, Arief, dan Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghazali, Adeng Muchtar, 2004. Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia. ------. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang Dialogis, Bandung: Pustaka Setia, 2005 Hadid, Yusuf Ismail, 2005. Menghalau Missionaris dan Misi Sucinya Mengkristenkan Dunia, Yogyakarta: Pustaka Fahima. Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani
Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution. 2003. Ensiklopedi Aqidah Islam. Jakarta: Prenada Media. M. Amirin, Tatang. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Ma'arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme Di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka. Madjid, Nurcholish, 2000. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. -------. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya. Munsyi, Abdul Kadir. 1981. Metode Diskusi Dalam Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas. Nabil bin Abdurrahman al-Muhaisy. 1994. Virus Fikrah Melemahkan Ketahanan Ummat. Jakarta: Wacanalazuardi Amanah
103
Natsir, M.. 1983. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah. --------. 1985. Fiqhud Da'wah. Jakarta: Media Dakwah. --------.1973. Capita Selecta, Jakarta : Bulan Bintang. --------. 1982. Pesan Islam Terhadap Orang Moderen. Jakarta : Media Dakwah. --------.1988. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : Giri Mukti Pasaka Njotorahardjo, Niko et.al. Transformasi Indonesia, Jakarta: Metanoia. Pimay, Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis. Semarang: Rasail. Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan
Sanusi, Shalahuddin. t.th. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam. Semarang: CV Ramadhani. Shihab, M. Quraish. 1988. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah. Siagian, Harbangan, 1994, Manajemen Suatu Pengantar, Semarang: Satya Wacana. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3 ES. Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu dakwah, Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suriasumantri, Jujun S. 1993. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryabrata, Sumardi. 1992. Metodologi penelitian, Jakarta: Rajawali Pers (Cet. VVII). Syihab, Abu Deedat, 2005. Membongkar Gerakan Pemurtadan Umat Islam: Dokumen Kristenisasi, Jakarta: Pustaka Tazkiya Az Zahra. Umar, Toha Yahya,1985, Ilmu Dakwah, Jakarta, Widjaja. Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani. Ya'qub, Hamzah. 1973. Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah. Bandung: CV Diponegoro. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI.
104
Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Referensi lain: Harian Kompas, 7 Juli 2004. Harian Suara Merdeka, 10 April 2006. Majalah Spirit, 2003
105
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Sri Wahyuni
NIM
: 1105054
Tempat / tgl. lahir
: Kayu Aro, Kerinci Jambi 06 Juni 1986
Alamat Asal
: Jl. Hanura Bento Kayu Aro Kerinci Jambi
Pendidikan
: - SDN 91/III Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th. 1999 - MTss Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th 2002 - MA Al-Ikhsan Purwokerto lulus th 2005 - Fakultas Dakwah Jurusan MD IAIN Walisongo Semarang angkatan 2005
Demikian daftar riwayat hidup pendidikan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan harap maklum adanya.
Sri Wahyuni
106