Menilik Karakteri M K stik Fikih h Mu’am malat: Seb buah Pen ngantar Diajuukan untuk memenuhi m saalah satu tugaas Fikih Mu’am malat dalam Keuangan dan d Perbankaan Islam
Oleh: Muhammad Hikaam NIM: 08.22.00.1.08.011.0002
Dosen: Prof.. Dr. Fathurrrahman Djam mil, MA; Dr.. Surahman Hidayat, H MA A
G Gr ua at ho oo ra tee SSc oll ad du ch SSY YA AR DA TU ULLLLA RIIFF H AY YA AT AH H HIID SST TA AT AM UN NIIV KA AR TEE IISSLLA MIIC TY RT VEER Y JJA TA CU A RSSIIT AK
2009
DAFTAR ISI
Daftar Isi
i
Abstrak
1
Pendahuluan
1
Geneologi dan Dinamika Fikih Mu’amalat
2
Basis Ideologis dan Pandangan Dunia Intergral
6
Maqashid al-Syariah
8
Tawâzun dan Kombinasi
9
Misi realistis dan Fleksibelitas
10
Kesimpulan
12
Daftar Pustaka
ii
Menilik Karakteristik Fiqh al-Mu’âmalat: Sebuah Pengantar Muhammad Hikam Masrun Mahasiswa Magister Ekonomi Islam, SPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Abstrak Syariah memiliki cabang hukum-hukum praktis. Oleh sebagian ulama, hukum ini sendiri diklasifikasi menjadi empat cabang besar yaitu; ’ibâdah, mu’âmalat, munâkahat dan ’uqûbât. Dari keempat cabang besar ini, masing-masing ranah agaknya memiliki karakteristik unik. Makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan karakteristik fikih muamalat dari sisi epistimologi1nya. Melalui pendekatan induktif2 terhadap sumber-sumber pustaka, ditemukan bahwa fikih muamlat paling tidak memiliki empat karakter: (1) basis ideologis dan weltanschaung integral; (2) landasan maqâshid al-syarî’ah; (3) prinsip keseimbangan (tawâzun) dan kombinasi (jam’u); dan (4) misi realistis dan fleksibelitas.
Kata kunci: karakteristik; fikih muamalat; basis ideologis; maqashid alsyarîah, tawâzun dan jama’; misi realistis dan fleksibelitas.
A. Pengantar Fakta bahwa sejak akhir abad ke-20 terdapat pertumbuhan yang kuat dalam aktivitas komersial berbasis syariah di berbagai negara (baik mayoritas muslim atau nonmuslim)3 agaknya menjadikan Fiqih muamalat bacaan wajib dipelajari oleh para praktisi 1
Disiplin ilmu yang membahas ketentuan ilmu pengetahuan. Kadang disebut logika terapan, logika mayor, atau filsafat fundamental. (Rev. John J. Toohey, Notes on Epistemology, Georgetown Univ. 1952 ), h. 4 2 Pada abad ke-7/13 sebagaimana pandangan al-Qarâfi, induksi menjadi salah satu indikator hukum yakni merupakan alat untuk menemukan hukum (lihat: Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî alUshûl. (Cairo: Maktabat Kulliyyat al-Azhariyyah, 1973), h. 445, 448. 3 Ma’sum billah, Mohammad, Applied Islamic Law of Trade and Finance. 3th ed. (Selangor: Sweet & Maxwell Asia, 2007), h. 256.
1
lembaga-lembaga syariah. Pasalnya, notabene praktik lembaga-lembaga itu sangat berkaitan erat dengan bidang ini. Di Indonesia, tak sedikit direksi atau karyawan lembaga-lembaga syariah yang disinyalir tidak mengerti fikih muamalat baik secara filosofis ataupun praktis, sehingga diduga dapat berakibat pada kurang kompetitif dan kreatifnya lembaga-lembaga syariah. Ada beberapa penelitian yang menemukan hal ini di antaranya yang dilakukan BI bekerjasama dengan beberapa universitas di Indonesia (2000-2001). Hal ini bukan saja karena kajian di bidang fikih Islam klasik yang harus menyesuaikan dengan kompleksitas dunia keuangan modern, namun juga karena kajiankajian di bidang ini masih relatif muda. Oleh karena itu, usaha-usaha cukup serius untuk mengkaji dan mengembangkan bidang fikih muamalat menjadi sangat penting. Dalam bahasa F. E. Vogel dan S. L. Hayes,4 perlu pengkajian hukum islam dari empat pendekatan: (1) penafsiran; (2) seleksi; (3) kebutuhan; dan (4) strategi.
B. Geneologi dan Dinamika Fikih Mu’amalat Secara diakronik, syariat mencakup tiga prinsip penting: (1) ’adam al-haraj (tidak mempersulit); (2) taqlîl al-takâlîf (efisiensi dan praktis); (3) al-tadarruj fî al-tasyrî’ (gradualitas hukum) (Ahmad, al-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, h. 67). Syariat yang mengandung berbagai perintah dan aturan Allah kepada seluruh manusia, menurut Zaydan (1976), dapat dijabarkan dalam tiga ranah: (1) al-ahkâm al-i’itiqâdiyyah (balasan yang berhubungan dengan keyakinan) seperti keyakinan akan Allah dan hari terakhir; (2) al-ahkâm al-akhlâqiyyah (balasan yang berhubungan dengan moralitas dan etika) seperti perintah untuk bersikap jujur; dan (3) al-ahkâm al-’amaliyyah (balasan yang terkait dengan perkataan, perbuatan individu dan hubungannya dengan orang lain) atau yang disebut dengan fikih.5 Secara geneologis, terma fikih agaknya berasal dari beberapa ayat dan hadits Nabi Muhammad. Hal ini setidaknya karena mindset dan sumber epistimologi umat muslimin generasi pertama sangat dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan primer berupa Alquran
4
Lihat: Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return karya Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (Kluwer Law International, 1998). 5 Zaydan, Abd al-Karîm, al-Madkhal li Dirâsat al-Syarî’ah al-Islamiyyah. (Baghdad: Muassasah al-Risâlah wa Maktabah al-Quds, 1976), h. 67.
2
dan Hadits.6 Dalam Alquran sendiri kata faquha terdapat di 11 tempat dengan konteks hinaan terhadap orang-orang yang tidak menggunakan hati mereka untuk memahami sesuatu dengan tepat. Ibn ’Âsyûr menyebutkan bahwa faquha berarti kemampuan untuk memahami obyek yang rumit.7 Lalu ada salah satu hadits kondang tentang karunia kebaikan apabila agama dipahami dengan benar dan baik (fiqh).8 Atau riwayat mengenai doa nabi kepada Ibn ’Abbas agar di’faqih’kan dalam agama dan dikaruniai ta’wîl.9 Dengan demikian, sesuai keterangan al-Qanûji, pada awalnya, fikih sangat identik dengan pemahaman yang integral dan komprehensif terhadap agama. Namun, al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) mengklaim bahwa fikih pada masa awalnya digunakan untuk menyebut ilmu tentang akhirat dan penyelaman penyakitpenyakit hati.10 Namun klaim al-Ghazali agaknya ahistoris karena sebelumnya, Athâ bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah menggunakan terma fikih dengan konotasi umum11. Abu Hanifah (w. 150 H./767 M.) juga mendefinisikannya dengan sangat umum, ”ma’rifat alnafs mâ lahâ wa mâ ’alayhâ”.12Selanjutnya, tak bisa disangkal pengaruh besar al-Syafii (w. 205 H./819M.)13 hingga fikih semakin mengalami penyempitan makna dan direduksi
6
Bandingkan misalnya dengan keterangan Mann’â Khalil al-Qatthân, Târîkh al-Tasyri’ al-Islâmî, alTasyrî’i wa al-Fiqh, (Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasr wa al-Tawzî’i, 1996), h. 189; Ahmad, Muhammad Abd al-Muthallib, al-Nizâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, (Cairo, Muassasat Dar al-Tahrîr li alTabh’i wa al-Nasyr, t.th), h. 73. 7 Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 5/52; al-Qamûs al-Fiqhî 8 “Man yurid Allahu bihî khairan yufaqqihhu fi al-dîn”. Al-Jâmi, li al-Bukhâri (1/39); Shahih Muslim (2/718); Sunan al-Tirmidzi (10/145); Sunan Ibn Mâjah (1/265); Sunan al-Dârimi (1/255); al-Muwathha (2/900); dll. Syu’aib al-Arnâûth mereseleksi bahwa sanadnya Shahîh. 9 H.R. Bukhâri dan Muslim. 10 Al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Ihyâ Ulumi al-Dîn. vol 1. h. 34. 11 Ketika memuji Ummil Mu’minîn, Aisyah. (lihat: Muwathha, vol 1, h. 92; al-Mustadrak, vol. 4, h. 15) 12 ‘Âbidîn, Ibn, Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Ibshâr fî Fiqh Madzhab al-Imâm Abî Hanîfah. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), vol. 1, h. 66; al-Qanûjî, Shiddiq bin Hasan, Abjad al-Ulûm. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1978), vol. 2, h. 400. 13 Dalam al-Risâla, al-Syâfii meletakkan legal maxim, atau teori hukum Islam pertama. Secara garis besar buku tersebut setidaknya berisi (1) bahwa hukum harus secara ekslusif berasal dari teks yang diwahyukan, (2) Sunnah kenabian merupakan hukum yang mengikat, (3) pertentangan tidak akan terjadi antara Sunnah dan Alquran, (4) secara hermenetis, kedua sumber itu saling melengkapi, (5) sebuah aturan hukum yang berasal dari teks-teks yang tidak diragukan dan ditransmisikan secara luas adalah pasti dan tidak terjadi pertentangan, sedangkan sebuah aturan yang disimpulkan melalui ijtihad atau qiyas memungkinkan terjadinya pertentangan, (6) ijtihad dan qiyas, sebagaimana dukungan terhadpa pemakaian instrument consensus, ditentukan oleh sumber-sumber yang diwahyukan (lihat al-Syâfi’î, Muhammad bin Idrîs, alRisâlah. (Cairo: Musthafâ al-Bâbî al-Halabî, t.th); Hallaq, Wael. B., A History of Islamic Legal Theories, diindonesiakan menjadi Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 45.
3
menjadi sebuah disiplin keilmuan yang terbatas pada pengetahuan seputar fatwa dan argumentasinya.14 Terma mu’âmalat sendiri awalnya digagas oleh murid-murid/pengikut utama alSyafi’i atau yang dikenal di dunia fikih dengan nama ashhâb al-Syâfi’î15 untuk mengklasifikasikan pembahasan-pembahasan yang terdapat di dalam fikih. Mereka membagi fikih dalam empat kategori utama: (1) al-ibâdat, (2) al-mu’âmlât, (3) almunâkahât, dan (4) al-’uqûbât. Belum jelas secara pasti siapa nama murid penggagas taksonomi tersebut. Namun yang diketahui, oleh mereka, mu’amalat diartikan sebagai hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan keberadaan dan konsistensi hidup manusia (al-ahkâm al-syar’iyyah allatî tata’allaq bi baqâi al-syakhs).16 Al-Zarqâ (1959) membagi fikih mu’amalah kepada dua sub: (1) hak-hak publik dan (2) hak-hak privat. Seperti didimodifikasi oleh Syafii Antonio (2001), kesimpulan Zarqa bisa diskemakan sebagai berikut. Muamalah Hak privat/spesial Hukum pidana
Hak publik Hukum perdata
Hubungan internal
Hubungan Luar
Hubungan internasional Administrasi
Ekonomi
Konstitusi
Finansial Sewa-menyewa
Asuransi
Perbankan
Pergadaian
Ventura
Sumber: Antonio, Muhammad Syafii (2001), Bank Syariah: dari Teori ke Praktik 14
Lihat : Al-Qanûjî, Shiddiq bin Hasan, Abjad al-Ulûm. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1978), vol. 2, h. 400. 15 Al-Qanûjî, Shiddiq bin Hasan, Abjad al-Ulûm. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1978), vol. 2, h. 400. Di antara mereka yaitu Ahmad bin Umar bin Surayj al-Baghdâdi (w. 303); Harmalah al-Tujaibi (166243)Abd al-Malik bin Abdullah al-Juwaini (419-478); al-Ghazali (w. 505 ). Angkatan pertama ashhâb alSyafii yang paling dikenal adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaythi, Abu Tsaur Ibrahim Khalid, Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi, Musa bin Abi al-Jârûd, al-Râfi’i, al-Rûyani, dan Ibrahim bin Yahya al-Muzani. 16 Terma al-mu’âmalat (mu’amalat) lebih jamak dipakai dikalangan ulama klasik, sebagian mereka menggunakan terma al-mubâya’ât. (Lihat: Mas’ûd, ‘Ubayd Allah, Syarh al-Talwîh ‘alâ al-Taudhîh. vol. 3 h. 440; Amîr al-Hâjj, Ibn, al-Taqrîr wa al-Tahbîr. [Cairo: al-Mathba’ah al-‘Âmirah, 1418], vol 5, h. 421)
4
Sementara Muhammad Akram Laldin (2006) mengidentikkan fiqh al-mu’âmalat dengan fiqh al-âdat (fikih tradisi) yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antar individu dengan makhluk Allah yang lain. Menurutnya, pembahasan terbanyak disiplin fikih terletak pada bagian ini.17 Tesis Laldin dapat dipahami karena ia membagi fikih hanya dalam dua katagori utama; fiqh al-ibâdah dan fiqh al-mu’âmalat, lebih diciutkan daripada klasifikasi ashhâb al-Syâfi’i sebelumnya. Menurut Laldin, fiqh al-mu’âmalat setidaknya memiliki sembilan sub-kategori: (1) aturan yang berkaitan dengan hukum keluarga dan wilayah privat (al-ahwâl alsyakhshiyyah) yang mencakup pernikahan, perceraian, warisan, dst; (2) aturan yang berkaitan dengan transaksi komersial antara pihak yang terkait (ahkâm al-mu’âmalah) yang mencakup berbagai bentuk kontrak bisnis seperti jual beli, piutang, dst; (3) aturan yang concern terhadap manajemen finansial sebuah negara atau sistem ekonomi negara Islam (fiqh al-iqtishâd) yang mencakup diskusi sumber pendapatan negara dan bagaimana pengelolaan idealnya, regulasi institusi finansial seperti bank dan asuransi, dst ; (4) aturan yang berkaitan dengan administrasi pengadilan Islami (18ahkâm al-qadhâ wa thuruq al-itsbât) yang berkenaan dengan prosedur peradilan, kualifikasi jaksa, hukum pembuktian, dst; (5) aturan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban non muslim di negara Islam (ahkâm al-dzimmi wa al-musta’mîn) yang mencakup kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi mereka, hak mereka, dan kewajiban mereka untuk membayar jizyah kepada pemerintah; (6) ahkâm al-siyar yaitu aturan yang menentukan hubungan antara pemerintahan islami (islamic government) dan pemerintahan asing (a foreign government) yang meliputi mekanisme pengiriman delegasi diplomatik, jihad, dst; (7) kaidah-kaidah pengaturan sistem politik islami (ahkâm al-siyâsah aw nizhâm alsiyâsah), meliputi konstitusi negara, mekanisme pengangkatan dan kualifikasi kepala negara, (rentang) kekuatan eksekutif, dst; (8) hukum kriminal dalam Islam (ahkâm aljinâyah) yang mencakup hukuman atas perbuatan kriminal di masyarakat, baik yang mekanisme hukumannya telah ditetapkan di Alquran atau Sunnah ataupun yang tidak
17
Laldin, Muhammad Akram, Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence. (Kualalumpur: CERT Publications, 2006), h. 10. 18 Pada naskah asli tertulis al-ahkâm..[dengan alif dan lâm]. Hal ini diulangi pada kata-kata al-ahkam selanjutnya, pada 9 sub-kategorisasi Laldin tersebut.
5
ada; (9) aturan lainnya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan makhluk Allah, seperti pemeliharaan lingkungan, binatang, dst.19 Dengan demikian, oleh beberapa ilmuan, fikih mu’amalat mengalami reklasifikasi dan cenderung akomodatif-reflektif terhadap perubahan dan tantangan yang terjadi dalam masyarakat.
C. Basis ideologis dan weltanschaung integral Di antara kekeliruan fatal dalam pandangan dunia ilmiah adalah ilusi bahwa umat manusia perlahan-lahan akan berkembang dan berevolusi menuju keadaan yang sangat maju—puncak peradaban--yang hingga kini belum terlihat, berkat upaya ilmiah dan skeptisime buta terhadap segala segala sesuatu yang bersifat sakral. Di lain pihak ada kebanggaan dengan capaian manusia modern namun dibarengi dengan ketidakpedulian terhadap krisis moral dan penderitaan yang menimpa manusia secara keseluruhan.20 Global Policy Forum (GPF) mencatat bahwa pada abad ke-20 saja terjadi lebih dari 100 juta kasus kematian sebagai korban ikutan (collateral damage) dari berbagai perang yang dilakukan dalam rangka mendominasi dunia. Hampir 3 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS sehari, sementara 225 orang terkaya di dunia, jika digabungkan, kekayaan mereka mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS, yang setara dengan pendapatan per tahun sekitar 2,5 miliar penduduk termiskin di dunia.21 Sepuluh juta hektar hutan tradisional hancur setiap tahun atau setara dengan luasnya lapangan bola setiap dua detik.22 Fenomena ini tampaknya hanya puncak gunung es dari masalah yang sangat mengakar. Terlepas dari perdebatan apakah fenomena di atas dilatar belakangi oleh lemahnya moral, yang jelas menutup mata terhadap masalah tersebut merupakan suatu persoalan moral. Sebetulnya, dua ratus tahun terakhir merupakan periode pertama dalam sejarah manusia di mana pandanganl-dunia dominan mengedepankan keunggulan standar moral 19
Laldin, Muhammad Akram, Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence. (Kualalumpur: CERT Publications, 2006), h. 10-11. 20 Diolah dari God, Islam, and the Skeptic Mind: a Study of Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil, karya Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad. (Kualalumpur: Blue Nile Publishing, 2004). Diterjemahkan ke Indonesia, 5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Iterhadapnya, (Bandung: Mizan, 2008). 21 www.igc.apc.org/global policy/socecon/inequal/gates99.html 22 www.greenpeace.com/-forests
6
dan etika yang bebas dari pengaruh agama atau Tuhan.23 Pemikiran seperti ini dikenal berasal dari dinamika yang terjadi pada abad ke-17 dan ke-18 atau periode yang disebut sebagai ”Zaman Pencerahan”, ketika revolusi sains dan teknologi mulai mempersoalkan dan menggantikan sistem agama dan otoritas gereja. Dapat diduga ideologi sekuler merupakan reaksi terhadap gereja katolik dengan perannya yang semakin otoriter, tidak hanya dalam perkara-perkara agama, tetapi juga masalah-masalah ekonomi dan politik, serta diskriminasinya terhadap kalangan masyarakat yang bukan Katolik. Ketika Nabi Muhammad datang membawa Islam, saat itu Islam dihadapkan kepada nilai atau doktrin (ideologi) status quo. Dapat diduga terjadilah dialektika ideologis antara doktrin islam dan status quo. Dialektika dan pertentangan ini untungnya secara alami membawa distingsi antara kedua doktrin, sehingga masing-masing dapat diidentifikasi dan diverifikasi.24 Di sisi lain, ideologi dianggap menjadi landasan adanya ring of control yang sangat fundamental dalam keberlangsungan suatu entitas.25 Dalam hal ini, wordview Islam, mengenai Tuhan sebagai satu-satunya kekuasaan meniscayakan Tuhan sebagai sumber etika. Tuhan tidak bisa dipandang sebagai Penguasa tatanan dunia alam dan fisik, tetapi juga dipandang sebagai penguasa tatanan moral dan spiritual. Tuhan tidak membiarkan manusia dalam kebingungan tanpa petunjuk mengenai bagaimana manusia harus berperilaku. Sebaliknya, Tuhan telah menanamkan pada manusia amanah dan perjanjian-Nya, yang tidak dapat diemban oleh seluruh makhluk lainnya di alam semesta, dan yang jika amanah dan perjanjian itu diwujudkan, hal itu akan memungkinkan manusia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi. Itu berarti bahwa khalifah harus menjaga dan menjalankan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam bahasa Capra (1996) pandangan ini berarti memandang dunia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah dari lingkungan hidup alam dan pengakuan terhadap nilai intrinsik dari semua makhluk hidup.26 Pendapat Capra tentang realitas ini tidak bertentangan dengan Islam—paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri 1996, 44)—yang melihat realitas sebagai suatu entitas yang tidak terpisah-pisah. Artinya, 23
Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, 5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Islam terhadapnya. (Bandung: Mizan, 2008), h. 249. 24 Lihat misalnya QS. Al-Baqarah: 256. 25 Nu’mân, Fikri Ahmad, al-Nazhariyyat al-Iqtishâdiyyah fî al-Islâm. (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1985), h.78 26 Lihat misalnya buku Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan. (Terj. Bahasa Indonesia) (Yogyakarta: Bentang, 1997).
7
bila menurut tradisi Islam realitas bersifat hierarkis27yang terdiri atas realitas materi, realitas psikis, realitas spiritual, asmâ shifâtiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), maka tingkatan-tingkatan tersebut diciptakan agar manusia dapat mengenal Tuhannya. Karenanya Allah menciptakan realitas-realitas lain yang lebih rendah dari Diri-Nya dan sebagai ’refleksi’ dari diri-Nya. Oleh karena itu tidak aneh bila dalam tradisi islam, ilmu pengetahuan dibangun untuk mengenal Tuhan dan realitas nyata.28 Dengan demikian, sulit dimungkiri bahwa fikih muamalat yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dan bersumber secara ideologis kepada Alquran dan Sunnah (textus receptus) tidak bersifat ideologis. Maksudnya adicita dan doktrin dari kedua sumber tersebut sangat mewarnai dinamika fikih mu’amalat. Secara parsial, komitmen ini misalnya sangat kental pada saat khalifah Abu Bakar memerangi penolak zakat. Bersumber dan terinspirasi dari sumber ideologis primer inilah diturunkan sumber-sumber fikih mu’amalat lainnya seperti al-Ijma’ dan Qiyas. Dengan begitu, secara garis besar, sumber-sumber yang disepakati oleh ulama fikih ada empat: Alquran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun di sisi lain, terdapat sumber-sumber hukum yang menjadikan realitas sebagai ’korpus dominann’ya. Sumber-sumber hukum yang identik dengan realitas sebagai korpus dominannya ini di antaranya adalah al-’urf, al-mashâlih al-mursalah, al-istihsân, ’amal ahl al-madînah, syar’ man qablanâ. Dalam menyikapi ini, ulama berbeda pendapat dan perbedaan ini berimplikasi terhadap karakteristik fikih mu’amalat sebagaimana akan dijelaskan secara khusus pada karakteristik fleksibelitas.
D. Maqâshid al-Syarî’ah Dalam
sejarah
penurunan
Alquran,
ditemukan
bahwa
surat
al-An’âm
mengandung pandangan yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip universal hukum. Prinsip-prinsip umum ini menyangkut pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta seseorang. Setelah Nabi Muhammad pindah ke Madinah, surat al-Baqarah (yang diturunkan di Madinah) kemudian mengkonfirmasi isi surat al-An’am dengan perincian 27
Lihat misalnya: Nasr, Seyyed Hossein, the Neeed for Sacred Science. (Richmon: Curzon Press, 1993); Bakar, Osman, Tauhid dan Sains. (Bandung: Putaka Hidayah, 1994); Triyuwono, Metodologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Orientasi Masa Depan. (Salam II, 1998). 28 Lihat keterangan Triyuwono, Iwan, Organisasi dan Akuntansi Syariah. (Yogyakarta: LK3s, 2000 ), h. xxi-xxii
8
dan penyebutan beberapa ketentuan mengenai jual beli, makanan, hutang-piutang, gadai, qisash, dan lainnya.29 Sebagian besar perincian yang disampaikan dalam surat al-Baqarah berisi mengenai diskursus fikih muamalat. Dengan demikian fikih mu’amalat sangat berkelit kelindan dengan al-muhâfadzah ’alâ al-kulliyyât al-khams atau memelihara lima aksioma sangat mendasar dalam hukum, yaitu (1) hifzh al-dîn (menjaga Agama); (2) hifz al-nafs (menjaga diri); (3) hifz al-’Irdh (menjaga kehormatan); (4) hifz al-nasl (menjaga keturunan); (5) hifz al-mâl (menjaga harta) atau dapat disebut dengan qawâid kulliyyah. Dalam klasifikasi al-Ghazali, beberapa hal di atas dimasukkan ke dalam kategori dharuriyât (sangat diperlukan) dalam pengertian bahwa mengabaikannya mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa, hak milik, akal, dan lain-lain. Tingkat klasifikasi kedua adalah terdiri dari tujuan-tujuan yang penting (hâjiyyât). Contoh dari tujuan ini adalah pentingnya mencatat perjanjian utang piutang. Hal ini dianggap penting untuk meyakinkan masyarakat yang teratur dan berkeadilan. Sementara tingkat klasifikasi dan yang paling kurang penting disebut al-Ghazali dengan tahsin/tawsi’a. Sebagai contohnya adalah adanya nomor surat dalam surat-surat perjanjian yang pada dasarnya berfungsi sebagai penyempurna surat-surat perjanjian tersebut.
E. Prinsip keseimbangan (tawâzun) dan kombinasi (jam’u) Di antara prinsip yang tampaknya inheren dalam fikih muamalat adalah prinsip keseimbangan dan kombinasi antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat (mashlahat/public interest). Contoh hal ini adalah konsepsi al-hajr (al-man’u min altasharrufât al-mâliyyah) yang dilakukan atas dua raison d’etre; (1) karena melindungi kepentingan al-mahjûr ’alyhi (pemilik hak/harta); (2) untuk melindungi kemaslahatan umum. Demikian pula, dalam hal ganti rugi pelebaran tanah masyarakat yang akan dijadikan fasilitas umum seperti pasar, jalan dan lainnya; dalam wakaf, dst. Prinsip ini sejatinya juga sesuai dengan landasan dualisme visi dalam Alquran, yaitu selamat di dunia dan akhirat. 29
Bandingkan: Hallaq, Wael. B., A History of Islamic Legal Theories, diindonesiakan menjadi Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 290.
9
F. Misi realistis dan fleksibelitas Ahmad mencatat bahwa selama fase Mekah-Madinah, dalam konteks perkaraperkara rumah tangga/privat (al-ahwâl al-syakhshiyyah), aktivitas ekonomi (almu’âmalat al-iqtishâdiyyah), dan hukum-hukum sipil, Alquran dan Sunnah hanya memberikan garis-garis besarnya, dan memberikan kesempatan bagi masyarakat saat itu untuk beraktualisasi dalam hal-hal yang terperinci dan belum diatur.30 Oleh karena itu, selain karena alasan sumber hukum yang kadang tidak disepakati oleh ulama, ranah hukum sangat berpotensi melahirkan ukuran hukum yang berbeda-beda. Tak heran, bila kemudian Al-Mâwardi mengambil kesimpulan bahwa muamalat identik dengan keringanan (takhfîf) sehingga yang menjadi indikator penting (legalitas atau ilegalitas)nya adalah adanya larangan. Sementara ibadah merupakan ranah taklîf (beban tugas) yang indikator legalitas atau ilegalitasnya tergantung dengan keberadaan perintah (teks imperatif).31 Dan sesuai dengan defenisi umumnya, muamalat cenderung berhubungan dengan urusan dunia (yang belum diatur). Dalam hal ini Nabi pernah bersabda, ”Antum ’alamu bi umûr dunyâkum”. Patut digaris bawahi bahwa kata ”umûr” secara diksional memiliki posisi signifikan karena ia menegasikan kesan bahwa agama sama sekali tidak terlibat dalam perkara dunia. Dan justru, kata ini mengindikasikan bahwa urusan-urusan lain yang belum diatur oleh nabi menjadi korpus terbuka, lahan aktualisasi dan kreatifitas yang benar. Oleh karena itu, Nabi tidak langsung mengatakan ”Antum ’alamu bi dunyâkum.” Sebagai contoh praktis, Nabi Muhammad pernah bersabda dalam persoalan Salam (in-front payment sale), ”man aslafa fî syain falyuslif fî kaylin ma’lum wa waznin ma’lûm ilâ ajalin ma’lûm.”32 Atau ketika ditanya tentang pekerjaan yang baik, dijawab oleh beliau, ”’amal al-rajul bi yadihi wa kullu bay’in mabrûr.”33 Dalam qaidah fiqhiyyah juga disebutkan, ”al-ashl fî al-asyyâ al-ibâhah hattâ yarid al-dalîl ’alâ khilâfihâ”.
30
Ahmad, Muhammad Abd al-Muthallib, al-Nizâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, (Cairo, Muassasat Dar al-Tahrîr li al-Tabh’i wa al-Nasyr, t.th), h. 73. 31 Al-Mâwardi, Abu al-Hasan, al-Hâwi al-Kabir. (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. 16. h. 240. 32 Sunan al-Tirmidzi (5/272); Musnad al-Syâfi’î (2/73); Sunan al-Dâraquthnî (7/95); al-Mu’jam al-Kabîr li al-Thabrânî (9/337); al-Mu’jam al-Shagîr (2/193); Syarh al-Sunnah li al-Baghawî (4/16). 33 Musnad Ahmad (4/141); al-Mustadrak li al-Hâkim (5/261); Sunan al-Bayhaqî (2/422); Mushannaf ibn Abi Syaybah (5/372); al-Mu’jam al-Kabîr (4/372).
10
Namun, Rasulullah sendiri, seperti telah diungkapkan, memberikan prinsipprinsip yang tidak bisa tawar dan harus dipatuhi oleh siapapun. Seperti saat itu, permasalahan yang dihadapi oleh Rasulullah adalah potensi disintegritas dan kemiskinan,34 maka persaudaraan seakidah (ukhuwwah islâmiyyah) dijadikan misi pertama dan utama masyarakat Madinah. Oleh karenanya, ketika beberapa orang (muslim) berniat untuk menyewakan tanah mereka kepada orang-orang fakir, Rasulullah melarang mereka. Beliau bersabda, ”man kâna lahû ardhun falyazra’hâ aw yamnahhâ akhâhu wa lâ yuâjirhâ iyyâhu.”35 Oleh karena itu, karakter misi di sini sangat ditentukan dengan realitas sosial yang aktual. Berbeda dengan maqâshid al-syarî’ah yang stagnan dan tampak given, penentuan misi hukum sangat tergantung pada kemampuan tertentu seorang mujtahid dalam membaca realitas di sekitarnya.
34
Lihat keterangan Muhammad Abd al-Muthallib Ahmad, al-Nizâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, (Cairo, Muassasat Dar al-Tahrîr li al-Tabh’i wa al-Nasyr, t.th), h. 72. 35 Sunan al-Nasâî (7/44); Jâm’i al-Ushûl (11/8505); Musnad al-Syâmiyyîn (4/82).
11
G. Kesimpulan Dengan demikian, secara garis besar, bidang muamalat setidaknya memiliki karakteristik berikut: 1) Paradigmanya berlandaskan pada basis-basis ideologis yang berdiri di atas weltanschung menyeluruh terhadap realitas dan manusia. Motivasi-motivasi spiritual yang lahir dari paradigma ini diharapkan akan menjadi dasar yang kokoh bangunan fikih mu’amalat. Ini berimplikasi bahwa flatform bidang mu’amalat bersifat kemanusiaan. Artinya ketimbang hanya menjadikan produksi dan profitabilitas sebagai tujuan, bidang mu’amalat menjadikan motivasi etika dan kemanusiaan (fitrah) sebagai driver untuk menjalankan perangkatnya (ware). 2) Muamalat sejatinya berbuah pada maqâshid al-syarîah dan visi sosial yang jelas. Oleh karena visi tersebut berkaitan dengan otoritas dan perangkat sosial maka bidang mu’amalat akan berinteraksi dengan kekuasaan dan sanksi moral atau agama. Dengan demikian, mu’amalat paling tidak harus memiliki landasan universalitas36, keadilan, kesamaan kesempatan,37 tolong-menolong dan takaful38. 3) Sebagai manefesto keadilan dan takaful, diperlukan adanya prinsip keseimbangan (tawâzun) dan kombinasi (jam’u) antara kebebasan individu dan maslahat masyarakat; antara kebebasan individu dan intervensi negara dalam bidang mu’amalat; 4) Misi realistis nan kuat dan fleksibelitas dalam penerapan dan gaya. Hal ini juga disertai dengan kemampuan untuk berdinamika sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.39
36
QS. al-Anbiyâ: 21. Lihat: QS. al-Nisâ: 3;129;135; QS. Al-Mâidah: 8; al-Mâidah:1; al-An’âm: 152; Hûd: 85; al-Syu’arâ: 181; al-Anbiyâ: 21. 38 Lihat: Al-Mâidah: 2. 39 Al-Mubârak, Muhammad, Nizhâm al-Islâm, al-Iqtishâd; Mabâdi wa Qawâid ‘Ammah, Beirut, Dar alFikr al-Islâmi, t.th., h. 168. 37
12
13
Daftar Pustaka Amîr al-Hâjj, Ibn, al-Taqrîr wa al-Tahbîr. Cairo: al-Mathba’ah al-‘Âmirah, 1418 Ahmad, Saiyad Fareed, dan Saiyad Salahuddin Ahmad, 5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Islam terhadapnya. Bandung: Mizan, 2008 Al-Qanûjî, Shiddiq bin Hasan, Abjad al-Ulûm. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1978 Al-Mubârak, Muhammad, Nizhâm al-Islâm, al-Iqtishâd; Mabâdi wa Qawâid ‘Ammah, Beirut: Dar al-Fikr al-Islâmi, t.th Ahmad, Muhammad Abd al-Muthallib, al-Nizâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm. Cairo, Muassasat Dar al-Tahrîr li al-Tabh’i wa al-Nasyr, t.th Bakar, Osman, Tauhid dan Sains. (Bandung: Putaka Hidayah, 1994); Hallaq, Wael. B., A History of Islamic Legal Theories, diindonesiakan menjadi Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Laldin, Muhammad Akram, Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence. Kualalumpur: CERT Publications, 2006 Al-Mâwardi, Abu al-Hasan, al-Hâwi al-Kabir. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Ma’sum billah, Mohammad, Applied Islamic Law of Trade and Finance. 3th ed. Selangor: Sweet & Maxwell Asia, 2007 Nu’mân, Fikri Ahmad, al-Nazhariyyat al-Iqtishâdiyyah fî al-Islâm. Beirut: al-Maktab alIslâmî, 1985 Nasr, Seyyed Hossein, the Neeed for Sacred Science. Richmon: Curzon Press, 1993 Al-Qarâfi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Cairo: Maktabat Kulliyyat al-Azhariyyah, 1973 Al-Qatthân, Mann’â Khalil, Târîkh al-Tasyri’ al-Islâmî, al-Tasyrî’i wa al-Fiqh, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasr wa al-Tawzî’i, 1996 Rev. John J. Toohey, Notes on Epistemology, Georgetown: Georgetown University, 1952 Triyuwono, Iwan, Metodologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Orientasi Masa Depan. Salam II, 1998. ______________, Organisasi dan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: LK3s, 2000.
1
Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return. Kluwer Law International, 1998. Zaydan, Abd al-Karîm, al-Madkhal li Dirâsat al-Syarî’ah al-Islamiyyah. Baghdad: Muassasah al-Risâlah wa Maktabah al-Quds, 1976
2