SARI PUSTAKA
Stem Cell pada Tumor Muskuloskeletal
Oleh: dr. Putu Suehandika Caaksana
Pembimbing : dr. Gede Eka Wiratnaya SpOT
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH BAGIAN/SMFILMU BEDAH FK UNUD/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2015
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Terapi sel telah digunakan dalam berbagai spesialistis medis utuk mengembalikan fungsi dan meningkatkan kuaitas hidup. Dalam beberapa kasus terapi sel telah menjadi penyelamat hidup, misalnya dalam hal ini bebrapa jenis kanker yang melibatkan pembentukan sel darah dan
mempengaruhi system limfatik dengan terapi sel autologus dan allogenic dari
transplantasi sumsum tulang. Terapi pada gangguan sistem muskuloskeletal telah digunakan terutama untuk bone graft pada defek skeletal, tatalaksana dari delayed union dan nonunion, arthrodesis tulang belakang, tatalaksana osteonekrosis dan yang terbaru adalah bertujuan memperbaiki atau mengganti fungsi biologis dengan tissue engineering. Dalam sejarahnya rekonstruksi operatif pada defek tulang telah melibatkan implant dan bone graft. Penemuan tissue engineering dalam beberapa dekaade terakhir telah menumbuhkan minat yang luar biasa dalam mengeksploitasi potensi-potensi terapi yang berdasarkan sel dalam bidang orthopedic. Walaupun sejumlah studi berskala besar dan proyek penelitian telah dilakukan, namun masih belum ada studi yang bias dijadikan acuan. Beberapa pertanyaan masih terus dilontarkan tentang penggunaan terapi berbasis sel untuk aplikasi yang spesifik.
1.2 Tujuan 1. Menjelaskan tentang definisi, epidemiologi, dan klasifikasi Stem Cell 2. Menjelaskan tentang jenis stem cell pada Tumor Muskuloskeletal
1.3 Manfaat 1. Untuk akademisi: meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan terapi stem cell pada kasus-kasus ortopedi dan onkologi orthopedi 2. Untuk praktisi: meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan terapi dan jenis-jenis stem cell pada kasus-kasus ortopedi dan onkologi orthopedi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.
STEM CELL A. Epidemiologi Biologi stem cell secara umum merupakan suatu integrasi antara embriologi dengan
perkembangan
tingkat
seluler
menggunakan
teknik/rekayasa,
pencitraan dan prinsip – prinsip kultur sel (Appasani et al, 2011). Biologi ini berawal dari adanya bedah transplantasi organ atau jaringan yang mencetuskan/melahirkan rekayasa jaringan untuk merekonstruksi organ atau bagian dari organ dari awal pembentukannya dengan menggunakan sel – sel, matriks dan kerangka organ lainnya untuk membangun suatu material yang diinginkan (Habib et al, 2007). Tahun 1928, seorang embriolog Jerman Hans Spemann melakukan penelitian tentang transplantasi tingkat sel (nuclear transplantation), yaitu dengan mentransfer nukleus sel donor yang berada pada fase G0 (dormant) menggunakan embryo Salamander ke sel telur yang tidak dibuahi dan sudah dienukleasi sebelumnya (Lim H., 2006), dari penelitian kloning ini berkaitan dengan diferensiasi sel dan genetika pada perkembangan tubuh manusia. Kloning yang sejak tahun 1950an diartikan sebagai suatu bentuk replikasi beberapa mahluk hidup dengan menggunakan DNA dari satu generasi yang sama (Lim H, 2006). Kloning ini secara mendasar dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, dapat beruparekayasa genetik pada gen manusia ke binatang untuk memproduksi beberapa protein yang diperlukan untuk terapi pada manusia (Hybrid), kloning jaringan atau organ (paling sering dari stem cell) untuk kepentingan terapi (Therapeutic), atau suatu bentuk
kloning untuk memproduksi organisme hidup seutuhnya (Appasani et al, 2011; Lim H., 2006). Pada tahun 1996, penelitian kloning mencapai era baru setelah Ian Wilmut dan Keith Campbell berhasil melahirkan binatang pertama hasil kloning yaitu domba dari sel dewasa yang dinamakan Dolly. Kemudian diikuti oleh Richard seed tahun 1997 yang mengumumkan akan melakukan kloning pada manusia. Sejak saat inilah, penelitian tentang kloning semakin gencar. Namun, sejak tahun 2003 isu kloning pada manusia (reproductive clonning) menghilang begitu saja karena berkaitan dengan isu legalitas. Awal tahun 2000, enam ekor sapi berhasil dikloning menggunakan teknik baru. DNA sapi yang digunakan diambil dari sel fetus sapi. Kemudian donor selnya secara molekuler dibuat menua secara biologis dengan cara membiarkannya bereplikasi sampai di titik tertentu sel habis membelah dan menua. Kemudian nukleus tersebut ditanam ke sel telur sapi yang dienukleasi. Hasilnya, sel hasil kloning ini menjadi lebih muda dan baru dari sebelumnya meskipun sel donornya sudah menua. Hal ini menunjukkan bahwa sel hasil kloning tersebut lebih muda daripada umur kronologisnya. Mulai dari sinilah era baru terapi regeneratif yang didasari prinsip kloning therapeuticdimulai. (Lim H., 2006) Para peneliti biologi telah mengeksplorasi perkembangan embrio sejak dari kandungan sampai menjadi manusia seutuhnya. Embrio tersebut menggunakan suatu strategi yang sama secara berulang untuk mencapai spesialisasi seluler, pola jaringan dan organogenesis. Dan para peneliti percaya bahwa strategi sel tersebut adalah stem cell. Sel inilah yang memegang peran
penting dalam pembentukan dan pemeliharaan jaringan atau organ yang dibentuk. Sejak tahun 1950an – 1960an, semua sel yang berploriferasi dan ada pada jaringan tubuh yang beregenerasi dianggap memiliki potensi yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sehingga semua sel yang berploriferasi dapat dianggap suatu stem cell. Perkembangan dalam tubuh manusia tidak menghilang setelah lahir. Beberapa sel dalam tubuh manusia seperti sel – sel saraf, sel – sel otot jantung, dan sel – sel lensa mata tidak dapat bereproduksi lagi. Sekali sel ini ada, maka ia akan berfungsi sampai sel tersebut mati atau hostnya mati. Sedangkan sel – sel lainnya seperti sel – sel hepar, sel darah, sel pancreas dan beberapa jaringan tubuh tetap berkembang dan memperbanyak diri hanya dengan replikasi pada keadaaan tertentu. Seperti pada sel hepar yang mati, akan digantikan oleh sel hepar lain yang membelah. Kategori sel yang berasal dari sel – sel yang belum berdiferensiasi dikenal sebagai stem cells. Apabila sel ini membelah, maka dua sel turunannya memiliki dua pilihan yaitu tetap menjadi stem cell atau berdiferensiasi menjadi sel tipe lain setelah menerima signal dari dalam tubuh. Sel ini memiliki kemampuan untuk bereplikasi, berkembang menjadi lebih dari 230 tipe sel yang berbeda yang dapat menjadi berbagai macam jaringan dalam tubuh. Konsep stem cell ini pertama kali muncul dari penelitian hematologTill dan McCullough pada tahun 1909 terhadap hematopoietic stem cell serta oleh Leblond terhadap spermatogenesis dan kripta intestinal.Beberapa penelitian setelah itu berhasil mengisolasi stem cell seperti pada penelitian Gail Martin pada tahun 1974 di Universitas Collage London. Ia berhasil mempertahankan
stem cell yang rapuh tetap hidup pada petri dish. Sedangkan pada tahun 1981, ia yang pertama berhasil mengisolasi stem cell dari embrio tikus. Pada tahun 1998, ilmuan James Thomson dari Universitas Wisconsin berhasil mengisolasi stem cell dari embrio manusia. Sejak saat itu, perhatian terhadap potensial terapi menggunakan stem cell pada penyakit degeneratif dan trauma mulai meningkat (Lanza R. et al, 2006) Hal ini juga ikut didasari oleh peningkatan insiden penyakit degeneratif yang muncul (Tabel 1), sementara tidak banyak alternatif terapi yang ada ataupun terapi sebelumnya yang tidak memberi hasil yang maksimal. Seperti pada kerusakan sel islet Langerhans pankreas pada Diabetes Tipe I, penyakit Parkinsonisme, Cidera Medula Spinalis, ataupun pada penyakit tulang dan sendi yang mana penggunaan implant untuk penggantian sendi dengan prostetik menimbulkan nyeri, imobilitas sendi dan degenerasi tulang dan tulang rawan, sehingga diperlukan suatu implant yang biokompatibel terhadap keadaan ini. Stem cell merupakan salah satu alternatif terapi regeneratif yang mulai dikembangkan saat ini. (Vogelstein B. et al, 2003)
Tabel 1. Populasi Pasien di US yang Potensial untuk Terapi Berbasis Stem Cell Kondisi
Jumlah Pasien
Penyakit Kardiovaskuler
58 Juta
Penyakit Autoimun
30 Juta
Diabetes
16 Juta
Osteoporosis
10 Juta
Kanker
8,2 Juta
Penyakit Alzheimer
5,5 Juta
Penyakit Parkinson
5,5 Juta
Luka Bakar Berat
0,3 Juta
Spinal Cord Injury
0,25 Juta
Kelainan kelahiran
0,15 Juta / Tahun
Sumber : Vogelstein B. (2007)
Para peneliti percaya dengan kemampuan sel ini untuk digunakan sebagai pilihan terapi untuk menyembuhkan beberapa penyakit degeneratif dan atau yang tidak bisa disembuhkan.
B. Definisi Istilah Stem Cell muncul pada literatur ilmiah pada awal tahun 1868 oleh biologist Jerman Ernst Haeckel. Dalam menjelaskan teori evolusi Darwin, ia mengembangkan pohon filogenetik dan menggunakan istilah “Stammzelle” (Stem Cell) untuk menggambarkan leluhur organisme uniseluler dari semua organisme multiseluler. Dan pada tahun 1896, seorang embriologist Edmund Wilson mengulas kembali istilah tersebut sebagai suatu germ line ancestral cell. (Appasani et al, 2011; Marshak D., 2001). Menurut Weissman et al (2001), Stem Cell didefinisikan secara fungsional sebagai suatu sel yang memiliki kapasitas untuk memperbarui diri (self-renew) dan juga kemampuan untuk membentuk sel – sel yang berdiferensiasi. Namun, definisi ini hanyalah berlaku untuk embryonik atau fetal stem cells tidak pada adult stem cells. Hal ini menyebabkan perlunya parameter lain selain selfrenewal untuk mendefinisikan Stem cells secara umum. Parameter lain yang dapat digunakan adalah klonalitas dan potensi sel tersebut. `
Parameter klonalitas merupakan hal yang paling penting, karena stem cell ini merupakan sel – sel tunggal yang memiliki kapasitas untuk membentuk lebih banyak stem cell. Sedangkan parameter potensi stem cell meliputi potensi dan kapasitas sel berdifferensiasi menjadi sel yang spesifik (Hima B.A., Srilatha B., 2011; Lanza R. et al, 2006)
Potensi stem sel dapat dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu: 1. Totipotent Stem sel yang bersifat totipotent dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel meliputi sel embrionik (embrio)dan extraembrionik (plasenta dan yolk sac) sehingga bisa membentuk satu organisme yang komplit dan viabel. Sel berupa zygote yang merupakan sel telur yang telah terfertilisasi. 2. Pluripotent Stem sel yang bersifat pluripotent merupakan turunan dari stem sel totipotent yang memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel embrionik saja. Sel ini lebih lanjut tidak bisa berkembang menjadi organisme keseluruhan secara in utero. Sel embrionik ini kemudian membentuk inner cell mass dari blastosit. Sel ini dalam embrio berdiferensiasi menjadi tiga lapisan germinal yaitu mesoderm, ektoderm dan endoderm. 3. Multipotent Stem sel ini dapat berdiferensiasi menjadi sejumlah sel yang hanya memiliki hubungan dekat secara familial saja. Contohnya sumsum
tulang yang mengandung multipotent stem sel yang hanya dapat membentuk semua sel darah. 4. Oligopotent Stem sel dengan potensi ini dapat berdiferensiasi menjadi beberapa tipe sel saja seperti lymphoid atau myeloid stem sel dan sel epitel squamosa. 5. Unipotent Sel ini memiliki kemampuan untuk memproduksi hanya satu tipe sel saja seperti stem sel otot.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka stem cell didefinisikan sebagai suatu sel yang bersifat klonal, bisa memperbarui diri (self-renewal), potent yang bisa membentuk beberapa tipe diferensiasi sel. (Hima B.A., Srilatha B., 2011; Shi Y., Clegg D.O., 2008; Lanza et al, 2006)
C. Klasifikasi dan Derivasi Terdapat beberapa tipe stem sel yaitu: 1. Embryonic Stem Cells (ESC) Stem sel ini berasal dari embryo awal yang memiliki dua karakteristik penting yaitu self-renewal dan pluripotensi. Sel yang berasal dari blastosit bersifat pluripotent dan pada stadium ini dapat dikategorikan stem sel embrionik. Sel ini memiliki kemampuan untuk membelah diri dari generasi ke generasi sehingga bersifat imortal.
2. Fetal Stem Cells Stem sel tipe ini merupakan sel primitif yang ditemukan pada organ tubuh fetus yang berusia gestasi 10 minggu. Stem sel fetal ini diisolasi dari darah fetal, sumsum tulang, liver dan ginjal. Darah fetal kaya akan sumber stem sel haemopoetik yang berploriferasi lebih cepat dibandingkan dengan darah tali pusat atau sumsum tulang. Sel ini sama dengan stem sel dewasa yang bersifat tissue-spesific. 3. Cord Blood Stem Cells Darah dari tali pusat mengandung beberapa stem sel yang secara genetik sama dengan bayi yang baru lahir dan bersifat multipotent. Saat lahir, darah pada tali pusat banyak mengandung stem selyang bisa membentuk sel darah (bloodforming stem cells) dan sel sistem imun. Stem sel darah dapat digunakansebagai terapi terhadap berbagai penyakit kelainan darah dan sistem imun seperti leukemia dan anemia sel bulan sabit. 4. Adult Stem Cells Stem sel dewasa ini disebut juga dengan stem sel somatik atau stem sel germline yang dapat diisolasi dari berbagai sumber termasuk dari otak, sumsum tulang, darah, pembuluh darah, otot skeletal, kulit dan liver. Sel – sel ini berada dalam keadaan tidak membelah (non-dividing state) sampai teraktivasi oleh penyakit atau adanya cidera. Mereka dapat ditemukan pada tubuh anak ataupun usia dewasa. Stem sel ini bersifat
multipotent yang secara umum berasal dari jaringan asalnya. Yang termasuk stem sel dewasa adalah stem sel mesenkim, stem sel adiposa, stem sel endotelial, stem sel dental pulp, dan lainnya. Salah satu contoh sumber stem sel mesenkim yang cukup banyak adalah pada tooth bud molar ketiga mandibular. Terapi regeneratif menggunakan stem sel telah lama dilakukan untuk merawat pasien dengan leukemia dan kanker darah atau tulang melalui transplantasi sumsum tulang. 5. Induced Pluripotent Stem Cells Induced Pluripotent Stem Cells (iPSC) merupakan stem sel yang dibentuk dengan menginduksi sel – sel spesifik tertentu untuk mengekspresikan gen yang secara normal ada pada stem sel embrionik yang mengontrol fungsi sel. Sel ini tidak termasuk stem sel dewasa tetapi memiliki kemampuan pluripotensi seperti stem sel embrionik yang dibentuk menggunakan pemrograman kembali secara epigenetik dengan faktor protein transkripsi untuk menghilangkan sifat tissuespesifiknya. Sel yang akan diprogram kembali dapat diambil dari jaringan darah atau kulit manusia dewasa. (Hima B.A., Srilatha B., 2011; Shi Y., Clegg D.O., 2008; Lanza et al, 2006) Setelah diisolasi, stem cell dapat ditumbuhkandi laboratorium dan dapat disimpan untuk keperluan tertentu. Stem cell dapat diisolasi dari : 6. Secara langsung dari massa sel bagian dalam dari embrio manusia saat stadium blastosit. Sumber embrio manusia ini
didapat dari fertilisasi in vitro. Teknik ini pertama kali diperkenalkan
oleh
James
Thompson
dari
Universitas
Wisconsin. 7. Dari jaringan fetal yang didapat dari kehamilan yang mengalami terminasi. Stem cellnya diambil dari bagian fetus yang n`
antinya berkembang menjadi organ sexual.
Pendekatan ini
diperkenalkan pertama
kali
oleh John
D.Gearhart dari Universitas John Hopkins. 8. Secara langsung dari massa sel bagian dalam dari embrio yang dikloning saat berada pada stadium blastosit. (Hima B.A., Srilatha B., 2011; Lanza et al, 2006) D. Transplantasi Stem Sel Terdapat 3 tipe dasar transplant stem sel tergantung dari asal stem sel tersebut yaitu autolog, allogenik dan singenik 1. Transplant stem sel autolog Pada tipe ini, stem sel milik pasien diambil sebelum pengobatan kanker dari sumsum tulang atau darah yang kemudian dibekukan. Setelah terapi radiasi atau kemoterapi dilakukan, stem sel tersebut dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Transplant ini juga tidak menyebabkan terjadinya reaksi penolakan dari tubuh terhadap stem sel tersebut. 2. Transplant stem sel Allogenik Stem sel tidak berasal dari pasien, tetapi dari donor yang memiliki tipe jaringan yang hampir sama dengan pasien. Donor biasanya berasal dari keluarga pasien. Darah dari plasenta dan
tali pusat dari bayi baru lahir juga bisa merupakan sumber stem sel allogenik. Keuntungan dari stem sel ini adalah dapat diambil sesering mungkin dari donor, bebas dari sel kanker dan juga dapat membentuk sel imunnya sendiri. 3. Transplant stem sel Singenik Transplant stem sel ini hanya dapat dilakukan pada donor dan resipien yang kembar identik atau triplet identik. E. Aspek Biologis Dasar molekuler pluripotensi suatu stem sel dapat didefinisikan berdasarkan 3 fokus dasar (Lanza et al, 2006) yaitu : 1. Pengaruh faktor – faktor ekstraseluler terhadap potensi sel dan aktivitas self-renewalnya (ligands, sitokin dan reseptor) Sel fibroblast dapat mempertahankan pluripotensi dari stem sel embrionik dengan cara mensekresikan faktor LIF (Leukemia Inhibiting
Factor)
atau
yang
disebut
dengan
DIA
(Differentiation Inhibiting Factor). LIF merupakan anggota dari keluarga sitokin IL-6 yang berhubungan secara struktural dan fungsional.LIF dapat mempengaruhi jumlah proliferasi sel atau progresi siklus sel dan bekerja pada fenotipe stem sel dengan cara mengaktivasi signaling cascade regulasi gen. Hilangnya pengaruh LIF akan menghilangkan marker potensi sel, dan akan memunculkan marker diferensiasi sel. LIF akan berikatan dengan reseptor LIF yang bersifat ligandspesifik yang berada di permukaan sitoplasma stem sel
Ikatan
LIF
dengan
reseptornya
akan
menimbulkan
heterodimerisasi gp130 dengan reseptor LIF menjadi kompleks LIFR/gp 130 yang akan menginduksi sinyal transduksi untuk mencegah differensiasi dan menginisiasi derivasi stem sel dari ekstrasel ke nukleus. Proses ini dapat dilihat dari diagram berikut
Gambar 1. Skema sharing reseptor sitokin dengan gp130 dalam signal transduksi Stem Cell
2. Aktivasi signaling pathways pada sel – sel pluripotent (JakSTAT dan ERK cascades) Heterodimerisasi gp130 menghasilkan sinyal transduksi berupa aktivasi kinase yang terhubungan dengan receptor Janus (Jak1, Jak2 dan Tyk2) yaitu kinase P-Y126, 173, 265 dan 275 serta Y 118-P melalui proses fosforilasi. Hal ini akan memicu pemancaran sinyal yang menyebabkan STAT3 mengalami fosforilasi, dimerisasi dan translokasike nukleus stem sel dan memicu self-renewal dari stem sel itu sendiri. Sedangkan bila
kinase Y 118-P
Gambar 2. Skema signaling pathways yang berkaitan dengan sifat self-renewal dan differentiation dari sel pluripotent
yang terfosforilasi akan menyebabkan SHP2 mengaktivasi jalur Ras dan terjadi translokasi ERK1 dan ERK2 ke nukleus dan memicu diferrensiasi.
3. Program transkripsi genetik (terutama Oct4 dan target gennya) Oct4
merupakan
faktor
transkripsi
yang
mengaktivasi
transkripsi gen dalam stem sel. Oct4 terekspresi tinggi dalam embrionik stem sel manusia yang pluripotent dan merupakan master regulator dari nasib perkembangan sel dari embrio preimplantasi.
Protein
ini
memiliki
kemampuan
untuk
mempertahankan fenotipe self-renewing dari stem sel. Oct4 tidak bekerja sendiri dalam menjalankan fungsinya. Protein ini bekerja bersama secara sinergis dengan faktor transkripsi lainnya yaitu Sox2. Selain kedua faktor ini, terdapat faktor lainnya yang berperan dalam mempertahankan fenotipe pluripotensi stem sel, yaitu Nanog dan FoxD3.Kadar relatif Oct4 dan Nanog mempengaruhi arah fenotipe yang terjadi terhadap perkembangan stem sel. Hal ini dapat dijelaskan dalam gambar berikut.
Gambar 2. Skema peran Oct4, Nanog dan LIF pada stem cell terhadap fenotipe perkembangan stem cell
Selain pluripotensi, kemampuan suatu sel untuk sel-renewal secara kontinyu invitro merupakan suatu karakteristik fenotipe dari ES Cells.Sifat self-renewal diperoleh melalui mekanisme pencegahan
terhadap
terjadinya
diferensiasi
dan
memelihara/mempertahankan mekanisme proliferasi. 4. Pencegahan Diferensiasi Faktor transkripsi GATA-4 dan GATA-6 merupakan faktor yang berperanan dalam diferensiasi sel. Penekanan terhadap faktor ini akan memicu self-renewal. Protein LIF atau Oct-3/4 dapat menekan regulasi faktor transkripsi GATA sehingga proses diferensiasi dapat dicegah 5. Gen E-Ras yang terekspresi spesifik pada stem sel embrionik dapat menstimulasi phosphatidylinositol-3-OH
F. Aspek Klinis Stem sel mesenkim terdapat pada berbagai jaringan yang mengalami proses turnover dan memiliki sel mesenkim progenitor. Saat ini, progenitor mesenkim telah diisolasi dari sumsum tulang, otot, lemak, kulit, kartilago, dan tulang. Setiap pembuluh darah dalam tubuh juga memiliki sel – sel mesenkim.Stem sel mesenkim (MSC) merupakan sel progenitor yang memiliki kemampuan mesengenik untuk berubah menjadi beberapa sel dan jaringan sesuai dengan lineage pathway yang dipilih.
Gambar 3. Skema proses mesengenic sumsum tulang
Pada orang dewasa, MSC pada sumsum tulang digunakan sebagai suplai progenitor untuk kepentingan turnover normal dan repair-regeneration dari jaringan tubuh yang mengalami kerusakan. Hal ini didasari oleh fakta bahwa MSC terlibat dalam proses pada hematopoesis dan bone turnover sehingga ia terlibat dalam jalur mesengenesis dan hematogenesis. Hal ini menyebabkan penggunaan kultur MSC sebagai sumber progenitor eksogen dapat memperbaiki beberapa jaringan melebihi kapasitas normal dan ketersediannya (Lanza et al, 2006; Vogelstein et al, 2006 )
Beberapa aspek klinis MSC yang penting dalam hal terapi regeneratif adalah: 1. Bone Repair
Pada nonunion, MSC dapat membantu regenerasi tulang yang aktivitas regenerasinya tidak baik. Pada beberapa penelitian menggunakan defek model nonunionfemur menunjukkan proses regenerasi struktural yang baik. 2. Cartilage Repair Kartilago adalah jaringan yang relatif avaskular dan tidak memiliki kemampuan regenerasi ataupun repair walaupun hanya defek kecil saja. Meskipun kondrosit telah digunakan sebelumnya untuk memperbaiki defek, ia masih sangat susah untuk berintegrasi dengan
host.
Sehingga
digunakan
biomaterial
(scaffold)
hyaluronan (HA) karena pada sel embrionik mesenkim dari jaringan prekartilago memiliki kandungan HA yang tinggi. HA ini menyediakan lingkungan mikro yang induktif untuk MSC untuk masuk ke dalam lineage kondrogenik serta membantu integrasi dengan host. 3. Regenerasi Sumsum Tulang Injeksi kembali MSC ke dalam sumsum tulang dapat dilakukan untuk refabrikasi stroma sumsum tulang yang cidera. Cara ini dapat dilakukan pada pasien kemoterapi radiasi yang menerima transplantasi sumsum tulang. 4. Regenerasi Otot Sel MSC dapat juga diinjeksi ke dalam otot spesifik yang mengalami distrofi agar komponen baru dystrophin dapat disintesis pada myotube yang mengalami gangguan. Pada kasus ini, donor MSC didiferensiasi menjadi myoblast skeletal yang kemudian
digabungkan dengan myotube host yang dapat memicu sintesis dan distribusi dystrphin. Hal in juga dapat dilakukan pada sel miosit jantung. 5. Lemak Sel MSC telah digunakan untuk menginduksi jalur adiposit sehingga dapat mengakumulasi droplet lemak secara masif. Droplet lemak autolog ini dapat digunakan untuk keperluan bedah plastik. 6. Repair Tendon Autolog MSC dapat juga digunakan untuk keperluan tendon repair seperti tendon Achilles atau Patellar. Hal ini dilakukan dengan memberikan gel yang mengandung MSC-contracted collagen disekitar jahitan tendon. 7. Terapi Gen Beberapa penyakit genetik seperti penyakit polysaccharide storage atau Osteogenesis imperfecta dapat diberikan terapi Allo-MSCs untuk mengobati defek genetiknya. Prinsip pengobatannya dengan transplantasi sumsum tulang dengan tambahan kultur expandedMSCs.
II.
TUMOR MUSKOLOSKELETAL Tumor muskuloskeleteal atau neoplasia tulang adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-selnya tidak pernah menjadi dewasa. Istilah tumor sering digunakan sebagai pengganti istilah neoplasma, walaupun sebenarnya kurang tepat karena tumor hanya berarti benjolan, tetapi karena istilah tumor
sudah biasa dipakai maka untuk selanjutnya akan dipakai istilah tumor. (Hutagalung et al, 2005)
A. Epidemiologi Angka kejadian tumor tulang bila dibandingkan dengan tumor jenis lain adalah kecil, yaitu hanya kurang lebih 1% dari seluruh tumor di tubuh manusia. Tumor bersifat gana bila tumor berkemampuan untuk menyebar ke tempat lain (mampu bermetastasis) dan dikatakan jinak bila tidak mampu untuk bermetastasis. Paru-paru merupakan organ yang paling sering dihinggapi oleh anak sebar tumor ganas. (Hutagalung et al, 2005) Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedang tumor tulang sekunder merupakan anak sebr tumor ganas organ non-tulang yang bermetastasis ke tulang. (Hutagalung et al, 2005) Sebagian besar tumor tulang primer adalah jinak dan dari sekian banyak jenis tidak menimbulkan tanda dan gejala maka tumor tersebut akan tetap tidak terdeteksi atau terdeksi secara tidak sengaja pada emeriksaan radiologi karena alas an yang lain. Maka dari itu kejadian nyata dari tumor jinak adalah sangat sulit untuk ditentukan. Kejadian keganasan pada tumor tulang justru sebaliknya, tercatat dengan baik pada register organisasi kanker secara nasional. Tidak termasuk keganasan system lymphohematopoietic (khususnya plasma cell tumor/ myeloma dan limfoma maligna, dan yang lebih jarang leukemia) adalah lebih berasal dari sumsum tulang daripada tumor tulang yang sebenarnya. Insiden tahunan di Amerika telah diperkirakan 8/106. Hal ini berhubungan dengan baik dengan rata-rata 500 kasus yang terdiagnosis
tiap tahun di Inggris and beberapa dari 2.500 kasus di Amerika. Laebih dari 75% dari tumor tulang ganas adalah osteosarcoma, chondrosarcoma, and Ewing’s sarcoma. Angka kejadian pada tumor tulang ganas memperlihatkan distribusi spesifik yang berhubungan dengan usia: pada grup usia 0-40 tahun, puncak insiden berada pada rentang usia 10-20 tahun (terutama osteosarcoma and Ewing’s sarcoma) dan pada grup usia diatas 40 tahun ada peningkatan tetap
angka kejadian hingga grup usia 80 tahun (terutama chondrosarcoma
pada derajat yang lebih rendah yaitu osteosarcoma yang berhubungan dengan Paget’s) (Dorfman and Czerniak 1995, 1998; Unni et al. 2005). Tumor tulang jinak dan kondisi non neoplastik juga menunjukkan grup usia yang sangat signifikan. Kemiripan kedua hal ini yang menunjukkan distribusi yang dominan pada jenis tumor tulang jinak dan ganas sangat membantu dalam mendiagnosis lesi pada tulang. Kombinasi informasi antara usia, lokasi, dan temuan pada gmbaran radiologis dapat meberikan gambaran secara nyata diagnosis definitive dengan cepat, dan kadang-kadang konfirmasi morfologi tidak sepenuhnya diperlukan (seperti pada kasus kista tulang, fibrous dysplasia, non-ossifying fibroma, penyakit tulang Paget’s). untuk para Patologis, kesadaran pada grup usia ini dan distribusi lokasi adalah sangat penting, dimana pada saat morfologi diagnosis terjadi pada lokasi yang sangat jarang terjadi dan terjadi pada grup usia yang sangat tidak biasa,diagnosis definitive harus lebih berhati-hati dibuat dan dievaluasi kembali.
B. Klasifikasi Sebagian besar klaisfikasi dari tumor musculoskeletal berdasarkan temuan pada jaringan dominan dari berbagai lesi. Mengetahui garis sel dimana tumor
berkurang dapat membantu baik dalam diagnosis dan rencana terapi. Maka dari itu ada beberapa pitfalls dalam pendekatan ini adalah. 1. Jaringan yang paling menginvasif belum tentu merupakan jaringan asal tumor. 2. Belum tentu ada hubungan antara beberapa kondisi dalam satu ktegori 3. Tidak ada hubungan antara lesi jinak dan ganas dengan jaringan yang sama (misal: osteoma dan osteosarcoma) 4. Lesi ganas pada tulang yang paling umum dan tumor metastatic sesungguhnyaa bukan merupakan tumor tulang atau tidak berasal dari mesenkim. (apley)
C.
Presentasi Klinis 1. Riwayat Penyakit Riwayat penyakit pasien biasanya berkepanjangan, dan ini berpengaruh terhadap penundaan untuk mendapatkan terapi. Pasien dapat sepenuhnya tanpa memiliki tanda dan gejala hingga timbul suatu kelainan yang ditemukan pada saat pemeriksaaan radiologis X-ray. Hal ini mungkin terjadi pada lesi jinak yang dan beberapa diantaranya umum terjadi pada anak-anak dan sangat jarang pada yang berusia lebih dari 30 tahun dan biasanya dapat terjadi resolusi secara spontanseperti yang terjadi pada non-ossifying fibroma. Lesi ganas juga dapat memiliki karakteristik yang sama yaitu tanpa tanda dan gejala jika mereka tumbuh dengan lambat atau tumbuh pada lokasi yang dimana tersedia ruang yang cukup saat terjadi ekspansi yang mecolok misalnya pada rongga pelvis. Usia menjadi salah satu factor yang sangat berguna, karena banyak lesi jinak terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja begitu pula dengan beberapa tumor ganas primer misalnya adalah Ewing’s Tumor dan osteosarcoma. Chondrosarcoma dan fibrosarcoma secara khas terjadi usia yang lebih tua biasanya pada decade ke empat dan decade ke enam, sedangkan myeloma yang merupakan tumor yang paling umum diantara kedua jenis tumor tulang jarang terlihat sebelum decade ke enam. Pada pasien-pasien dengan usia di atas 70 tahun lesi metastase tulang adalah yang tersering dibandingkan dengan semua jenis tumor primer. Parameter berikutnya adalah rasa nyeri yang merupakan keluhan yang umum dirasakan dan memberikan sedikit indikasi sifat dari
lesi, tetapi bagaimanapun tingkat progresivitas dan nyeri yang tidak henti-hentinya merupakan tanda-tanda yang sering ditakutkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh ekspansi tumor yang bersifat sangat cepat dan peregangan dengan jaringan di sekeliling lesi, perdarahan pada sentral dan degenerasi dari tumor, atau fraktur patologis yang baru saja terjadi. Tetapi pada kasus dengan lesi yang kecil dapt juga menimbulkan sensasi rasa nyeri yang luar biasa jika lesi terenkapsulasi pada padatnya masa tulang seperti pada yang terjadi pada osteoid osteoma. Pembengkakkan
(swelling),
atau
timbulnya
benjolan
merupakan penanda, walaupun serigkali pasien baru akan mecari saran jika benjolan disertai dengan rasa nyeri atau benjolan terus bertambah besar dalam perkembangannya. Riwayat trauma sebelumnya yang sering ditemukan tidak dapat dianggap sepele walaupun tidak memiliki makna yang signifikan. Akan tetapi, apakah riwayat trauma tersebut mengawali perubahan patologis atau hanya merupakan penarik perhatian pada apa yang sebenarnya telah terjadi masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Kelainan neurologis dapt disebabkan oleh penekanan atau peregangan pada susunan saraf tepi. Penurunan fungsi fungsi saraf lebih menunjukkan hal yang lebih buruk dan menunjukkan invasi pada tumor yang bersifat agresif. Fraktur patologis bisa merupakan tanda awal atau bias jadi merupakan satu-satunya tanda klinis. Kecurigaan timbul jika cidera yang dialami bersifat sangat ringan, pada orang-orang berusia lanjut, dimana fraktur yang terjadi biasanya terjadi pada daerah cortico-cancellous
junction, semua patah tulang pada daerah midshaft dianggap sebagai fraktur patologis sampai dibuktikan sebaliknya. (appley) 2. Pencitraan Penanganan kasus tumor tulang sebaiknya dilakukan oleh multidisiplin karena masing-masing disiplin mempunyai kelebihan dan kekurangan yang bias saling mengisi untuk mendapatkan hasil yang optimal, baik dalam hal diagnosis maupun terapi. (Hutagalung, 2005) Ada berbagai modalitas yang tersedia saat ini, mulai dari yang konvensional sampai yang canggih, mulai dari yang paling murah sampai paling mahal. Tetapi dasar untuk melakukan diagnosis pada tumor tulang pada umumnya adalah pemeriksaan yang efektif, murah, dan bermanfaat maksimal. Artinya teknik Pemilihan modalitas harus didasarkan atas efisiensi pemilihan modalitas . Macam-macam Modalitas Modalitas pemeriksaan radiodiagnostik yang tersedia adalah: a. Foto polos b. ScanningNuklir c. Comtputerized Tomographic imaging (CT Scan) d. Angiografi e. Ultrasonography (USG) f. Magnetic Resonance Imaging (MRl)
a. Foto Polos
Dengan foto polos kita akan dapar melihat lokasi lesi, keadaan matriks tulang, tepi lesi, reaksi periosteal,dan keadaan jaringan lunak. Untuk lesi-lesi tulang jinak, pemeriksaan foto polos kadang-kadan memberikan hasil yang spesifik seperti nonossifying fibroma (NOF) atau simple bone cyst (SBC). b. Scanning Nuklir Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk melihat kondisi tulang secara menyeluruh, harganya murah tetapi tidak spesifik, misalnya melihat metastasis di tempat lain. c. Computerized Tomography Scanning (CT Scan) Pemeriksaan ini baik untuk melihat lesi pada bagian sentral tulang, dapat melihat kerusakan korteks serta kalsifikasi jaringan lunak, perluasan tumor, dan keterlibatan system neurovascular. CT scan juga baik untuk mengetahui struktur tumor, misalnya lemak dalam struktur tumor. Jadi, pemeriksaan ini baik untuk melihat kelainan lokal tumornya. Selain itu, CT scan thoraks juga digunakan pada kasus-kasus tumor tulang, untuk melihat metastase paru secara lebih dini dibandingkan dengan foto thoraks konvensional. Tetapi pemeriksaan ini cukup mahal harganya,dan di Indonesia penyebarannya belum merata dibandingkan dengan radiografi konvensional. d. Angiografi Angiografi merupakan pemeriksaan yang jarang dilakukan pada kasus-kasus tumor tulang. Angiografi hanya digunakan untuk kasus-kasus embolisasi peri-operatif.
e. Ultrasonography (USG) Pemeriksaan USG banyak bermanfaat untuk kasus-kasus tumor jaringan lunak tetapi sulit untuk kasus tumor tulang, terutama yang belum menginfiltrasi jaringan lunak. Kegunaan USG antara lain adalah untuk membedakan jenis tumor kistik atau solid, tumor bersifat hipervaskularar atau tumor bersifat sebagai AVM dengan menggunakan colour Doppler. Selain itu USG digunakan sebagal alat pemandu Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) atau biopsy tumor. f. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan ini sangat penting untuk evaluasi tumor jaringan lunak dan tulang oleh karena dapat meliha t lesi tumor dalam potongan multiplanar, sagital, aksial dan koronal, tidak ada radiasi serta sangat baik untuk melihat kelainan pada jaringan lunak seperti fascia otot, dan system neurovaskular. Untuk keperluan local staging MRI amat superior. Kelemahan MRI adalah sulit melihat kalsifikasi dan distribusinya hanya terdapat pada beberap tempat dan biaya pemeriksaanya cukup mahal untuk saat ini.
Setelah kita mengerti kemampuan masing-masing alat diagnostic pencitraan maka dapat disimpulkan bahwa sebagai langkah awal diagnostic, diperlukan foto konvensional untuk melihat keadaan tulang secara utuh, melihat lesinya, korteks tulang serta reaksi periosteal, kalsifikasi jaringan lunak atau adanya soft tissue swelling.
Pemeriksaan lanjutan adalah mungkin bone scan untuk melihat lesi di tempat lain bila kita curiga lesi bersifat ganas. Kadang-kadang dibutuhkan CT Scan atau MRI untuk melihat loka tumorya dan foto thoraks atau CT Scan thoraks uvaluasi metastasis paru.
3. Pattern lesi Pattern lesi dapat dibagi atas: a. Geografik b. Motheaten c. Permeatif Berdasarkan patternnya dapat dilihat agresivitas lesi. Geografik lebih tidak agresif dibandingkan dengan motheaten dan permeatif. a. Geografik Lesi yang berbentuk geografik pada umumnya tidak agresif atau lesi jinak, dapat dilihat batasnya dengan bagian yang
sehat. Tetapi ada beberapa lesi dengan bentuk ini yang ganas misalnya metastasis, sarcoma atau myeloma. Tipe geografik ini dapat dibagi atas beberapa bagian tergantung dari batas lesinya:
Geografik dengan tepi sklerotik. Jenis ini ditemukan pada SBC, enchondroma, serta fibrous dysplasia.
Geografik tepi tidak sklerotik tetapi tegas Tipe ini sering ditemukanpada GCT, aneurysmal bone cyst, enchondroma, dan chondroblastoma.
Geografik dengan tepi tidak tegas Tipe
ini
sering
osteosarcoma
dan
ditemukan
pada
choondrosarcoma,
GCT, dan
ABC, juga
ditemukan pada osteomyelitis b. Motheaten Lesi jenis ini lebih agresif yang menunjukkan bahwa tumor tumbuh cepat. Karakteristik lesi ini adalah lesi litik yang bervariasi besarnya, mengenai tulang cancellous dan korteks, jadi tampak sebagai lesi yang mulai dari permukaan endosteal menuju keluar. Semakin lama akan terjadi kerusakan korteks tulang dan tumor ekstensi masuk ke dalam jaringan lunak. Lesi mempunyai batas yang tidak tegas dan zona transisi yang lebar. Pattern seperti ini ditemukan pada osteosarcoma, chondrosarcoma, dan juga osteomyelitis.
c. Permeatif Ini adalah bentuk yang menunjukkan lesi paling agresif. Karakteristik lesi ini adalah lesi litik kecil-kecil dengan bentuk oval multipel dan paling banyak terlihat pada korteks tulang. Lesi seperti ini ditemukan pada Ewing tumor, leukimia, chondrosarcoma, dan metastasis.
4. Tepi Lesi dan Zona Transisi Pada umumnya dapat dianggap lesi jinak bila tepi tegas, tapi sklerotik, dan zona transisi yang pendek. Tetapi kadang-kadang ada beberapa jenis tumor yang mempunyai penapilan seperti jinak padahal ganas, misalnya pada plasmasitoma dan teleangiectatic osteosarcoma.
5. Besar dan Bentuk Lesi Kecepatan partumbuhan tumor tidak mempunyai korelasi dengan derajat keganasa, meskipun tumor yang ganas pada umumnya
mempunyai
ukuran
yang
besar.
Lesi
yang
tumbuhnya lambat biasanya bentuknya memanjang. 6. Matriks Tulang Matriks tulang terdiri dari matriks osseous dan kartilago. Matriks osseous diproduksi oleh osteoblast dan terlihat sebagai garis hiperdens seperti pada myositis ossificans parosteal osteosarcoma. Matriks kartilago ditemukan sebagai bercak kalsifikasi,
flokulasi
atau
pungtata
misalnya
pada
chondrosarcoma. 7. Reaksi Periosteal Pada keadaan normal tidak ditemukan reaksi periosteal ditemukan pada keadaan hyperemia, inflamasi, atau tumor, digunakan untuk menilai aktivitas lesi dan aktivitas biologic. Reaksi periosteal dapat dibagi atas: a. Reaksi periosteal kontinu b. Reaksi periosteal diskontinyu c. Reaksi periosteal kompleks
a. Reaksi periosteal kontinyu Adalah reaksi periosteal yang solid, lamellar, dan spikula. Reaksi periosteal ini terlihat 10-21 hari setelah terjadi lesi. Reaksi periosteal yang lamellar dan berlapis pada umumnya memperlihatkan proses yang agresif seperti Ewing tumor, osteosarcoma, dan osteomyelitis. Reaksi periosteal yang berbetuk spikula seperti sunburst atau hair on end pada umumnya memperlihatkan proses di bawahnya bersifat ganas. Sunburst ditemukan pada osteosarcoma, hemangioma, dan metastasis, sedangkan hair on
end
ditemukan
pada
osteosarcoma,
matastasis,
talasemia. b. Reaksi Periosteoal yang diskontinu Pada tipe ini proses mineralisasi tidak terjadi secara kontinyu
sehingga
terjadi
pembentukkan
buttresses,
truncated lamellar, dan segitiga Codman. c. Reaksi periosteal kompleks
8. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan darah seringkali diperlukan untuk menyingkirkan kondisi lain seperti infeksi, kelianan metabolic tulang, atau brown tumor pada kasus hiperparatiroid. Anemia, peningkatan
ESR dan peningkatan serum alkaline phospatase adalah temuan non spesifik, namun jika penyebab lain disingkirkan, hal ini dapat membantu dalam diferensiasi antar lesi jinak dan ganas. Serum protein elektroforesis dapat membuktikan suatu abnormalitas pada pada fraksi globulin dan pada urin dapat terkandung Bence Jones protein pada pasien dengan myeloma. Peningkatan
serum
acid
phospatase
menunjukan
suatu
karsinoma prostat. (appley) 9. Diagnostik Patologi Tumor Tulang Pada kasus dimana gejala klinik dan gambaran radiologiknya tidak spesifik, keputusan untuk menetukan jenis tindakan, tergantung kepada diagnosis yang ditegakkan oleh spesialis patologi. Tanpa data klinik dan radiologic, beberapa lesi tulang antari lain fraktur healing (kalus), kondroblastoma, granuloma eosinofilik, ABC, dan beberpa jenis lesi jinak lainnya bisa keliru didiagnosis sebagai tumor ganas. Disamping itu tidak jarang terjadi kekeliruan mendiagnosis kondrosarkoma dengan derajat
keganasan
rendah
sebagai
tumor
jinak
dan
osteosarkoma dengan derajat keganasan rendah sebagai tumor jinak dan osteosrkoma parosteal sebagai ostekondroma. (erol) 10. Spesimen jaringan Tumor Jaringan biopsy sangat penting untuk menegakkan diagnosis histologik yang pasti, sebelum menentukan pengobatan yang akan diberikan. a. Prosedur intaraoperatif/ Frozen Section
b. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) c. Biopsy d. Kuretase e. Reseksi dan amputasi
11. Teknik Diagnostik Adjunctif a. Histokimia, Imunohistokimia, dan Elektron Miskropik b. Sitogenetika/ Teknik Genetika Molekuler (Lars Gunnar) 12. Staging Dalam menterapi tumor terdapat dua prinsip utama yang harus dipertimbangkan yaitu: lesi harus dihilangkan secara cukup luas untuk memastikan tidak tumbuh kembali, namun juga tetap menjaga kerusakan seminimal mungkin. Keseimbangan dari kedua tujuan ini tergantung pada pengetahuan kita tentang 1) bagaimana sifat dan karaketeristik tumor itu sendiri tumor itu sendiri, dan 2) seberapa jauh tumor itu telah menyebar. Jawaban dari kedua pertanyaan ini terdapat dalam system staging yang dikembangkan oleh Eneking. a. Agresivitas Derajat tumor tidak hanya ditentukan oleh karakteristik sitologis namun juga berdasarkan sifat mereka secara klinis, dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu:
Lesi jinak
Lesi ganas.
b. Penyebaran
Dengan beranggapan bahwa tidak terjadi proses metastase, ekstensi local pada tumor adalah hal terpenting untuk menetukan sebrapa banyak jaringan yang harus dihilangkan . lesi yang terdapat pada ruang jaringan
yang
terkapsulisasi,
ruang
sendi,
atau
kelompok otot dengan diselimuti fascia disebut intracompartmental. Tumor yang melakukan ekstensi ke dalam atau keluar penampang fascia tanpa pembungkus alami dan penyebaran kea rah proksimal atau distal disebut ekstra kompartemen.
13. Metode Terapi a. Eksisi Tumor
Eksisi Intracapsular (Intralesional) dan Kuretase
Eksisi Marginal
Eksisi Luas (Wide Excision)
Eksisi Radikal
a. Limb Salvage b. Amputasi c. Kemoterapi Multi Agen d. Radioterapi
D. Stem Cell Pada Tumor Muskuloskeletal Terapi regenerative pada system musculoskeletal beradasarkan kepada aplikasi cell yang cocok biomaterial dan atau factor. Untuk pendekatan yang efektif , banyak asapak yang harus menjadi bahan pertimbangan termasuk umur, penyakit, target jaringan, dan beberapa factor lingkungan. Usaha penelitian yang signifikan telah dilkakukan pada decade terakhir bertujuan untuk mengembangkan terapi berdasarkan
sel yang spesifik, dan secara khusus stem cell mesenkimal dewasa yang multipont menyimpan sesuatu yang menjajnjikan untuk sebuah strategi regenerative. Translasi klinis terapi seperti ini bagaimanapun tetap masih menjadi suatu pekerjaan yang belum selesai. Pada area klinik, autologus cell telah dipanen, diproses, dan dikelola sesuai dengan protocol pada aplikasi target. Pendekatan secara satu langkah, seperti injeksi langsung dari konsentrat darah yang belum diproses atau dengan aspirasi dari sumsum tulang, atau pembuatan yang telah dimodifikasi dengan cara synthesis. Penggunaan stem cell yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti.
E. Stem Cell pada Muskuloskeletal Tumor Sarcoma pada tulang
secara klinis dan molekuler adalah terdiri dari heterogenous
malignancy yang memiiki karakteristik dengan berbgaia derajat defirensiasi mesenkimal. Walaupun perkembangan pada penanganan medis dan pembedahan, survival rate untuk high grade tumor tetap bertahan pada tingkat 50-70%. Stem cell tumor telah banyak berpengaruh akhir-akhir ini terhadap pathogenesis dari tumor high grade. Disana akan dipaparkan keberadaan dari subpopulasi kecil yang dapat memperbaharui diri dan mampu membentuk suspended spherical, clonal koloni, yang disebut juga dengan sarcospheres, yang berdiri mandiri, dan kondisi lapar akan serum. Sel sarcoma tulang ini adalh merupakan specimen jaringan yang berekspresi diaktivkan STAT3 dan maker gen dari pluripotent embryonik stem cell (ES), Oct ¾ dan Nanog. Sarcoma tulang termasuk osteosarcoma dan chondrosarcoma adalah beberapa diantara kelompok keganasan mesnkim yang memberikan tampilan kinis, histology, dan molekuler reterogenitas. Osteosarcoma adalah malignansi yang paling umum pada saat anak-nak dan remaja yaiu sekitar 60% dibandingkan dengan subtype sarcoma tulang lain pada masa anakanak. Aspek biologis dari sarcoma genesis tidak dipahami secara baik. Studi terbaru menyebutkan peran stem cell pada pathogenesis ddari leukemia, tumor otak, dan kanker payudara. Teori stem cell menyebutkan bahwa subpopulasi tumor yang sama dengan stem cellcnormal, yaitu memiliki kemampuan meisahkan diri secara simetris, memproduksi sel anak dan sel lain yang dapat berdiferensiasi, yang mana pada kelompok tertentu yag secara umum menyebabkan pembesaran tumor. Stem cell yang jarang ini bertanggung jawab untuk memulai dadn manjaga pertumbuhan tumor jika tidak dihilangkan secara menyeluruh dengan pembedahan atau kemoterapi bisa menimbulkan rekurensi local atau jauh.
Stem cell memiliki potensi untuk memperbaiki diri dan menghasilkan perkembangan hierarki dari sel-sel yang ada. Metodologi kultur yang dilakukan oleh Reynold et al menunjukkan bahwa otak mamalia dewasa mengandung sel yang menumbuhkan kloni neurosfer yang digunakan untuk mengisolasi dan mengategorikan sel yang diduga memilki atribut dari stem ddan sel progenitor. Kondisi system pertumbuhan yang berat pada system ini dapat menyebabkan diferensiasi pada beberapa sel atau hanya sel primitive ang terpilih dengan mengeliminasi sel yang tidak dapat bertahan. Pada studi yang dilakukan oleh Gibbs et al. didapatkan bahwa untuk menentukan bahwa sarcoma tulang dapat menghasilkan stem cell pertama kali adalah dengan melakukan kultur dari biopsy chondrosarcoma atau osteosarcoma yang tidak diterapi. Begitu juga dengan osteosarcoma cell line MG 63. Dri hasil evaluasi didapatkan kemampuan untuk menciptakan kloni sferikal dan merbaharui diri pada system neurosfer yang kita miliki. Setela 10-14 hari Sembilan bone sarcoma awal dan MG63 membentukkoloni sferikal (sarcosfer) yang memiliki frekuensi yang sama seperti pada tumor otak dan kganasan pada payudara.
BAB III PENUTUP Terapi sel telah digunakan dalam berbagai spesialistis medis utuk mengembalikan fungsi dan meningkatkan kuaitas hidup. Dalam beberapa kasus terapi sel telah menjadi penyelamat hidup, misalnya dalam hal ini bebrapa jenis kanker yang melibatkan pembentukan sel darah dan mempengaruhi system limfatik dengan terapi sel autologus dan allogenic dari transplantasi sumsum tulang. Terapi pada gangguan sistem muskuloskeletal telah digunakan terutama untuk bone graft pada defek skeletal, tatalaksana dari delayed union dan nonunion, arthrodesis tulang belakang, tatalaksana osteonekrosis dan yang terbaru adalah bertujuan memperbaiki atau mengganti fungsi biologis dengan tissue engineering. Studi yang dilakukan membuktikan bahwa stem cell juga terdapat pada tumor musculoskeletal, yang memgang peranan penting dalam pertumbuhan tumor itu sendiri, dan pengaruhnya terhadap perkembangan sel tumor menjadi ganas. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari lebih jauh terhadap peran stem cell pada tumor musculoskeletal sehingga kita dapat megetahui cara-cara pa yang dapt ditempuh atau mungkin saja menemukan modalitas terapi yang lebih baik untuk meningkatkan angka harapan hidup pada kasus tumour ganas muskuloskeletal
DAFTAR PUSTAKA 1. Csaki C, Matis U, Mobasheri A, Ye H, Shakibaei M (2007) Chondrogenesis, Osteogenesis and adipogenesis of canine mesenchymal stem cells: a biochemical, morphological and ultrastructural study. Histochem Cell Biol 128:507-520. 2. Dubois SG, Floyd EZ, Zvonic S, Kilroy G, Wu X, Carling S, Halvorsen YDC, Ravussin E, Gimble JM (2008) Isolation of Human Adipose-derived Stem Cells from Biopsies and Liposuction Specimens. In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.69-79. 3. Fraser JK, Zhu M, Wulur I, Alfonso Z (2008) A d i p o s e - D e r i v e d S t e m C e l l s . In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.59-67. 4. Gomillion CT, Burg KJL (2006) Stem cells and adipose tissue engineering. Biomaterial 27:6052-6063. 5. Gregory CA, Prockop DJ (2007) Fudamentals of Culture and Characterization of Mesenchymal Stem/Progenitor Cells (MSCs) from Bone Marrow Stroma. In Culture of Human Stem Cells, R.I. Freshney, G.N. Stacey, J.M. Auerbach. Editors. WileyInterscience: Canada, p.207-232. 6. Gronthos S, Zannettino ACW (2008) A Method to Isolate and Purify Human Bone 7. Marrow Stromal Stem Cells . In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.45-57. 8. Hui JHP, Li L, Teo YH, Ouyang HW, Lee EH (2005) Comparative Study of the Ability of Mesenchymal Stem Cells Derived from Bone Marrow , Periosteum, and Adipose Tissue in Treatment of Partial Growth Arrest in Rabbit. Tissue Eng 11:904912. 9. Justesen J, Pedersen SB, Stenderup L, Kassem M (2004) Subcutaneus Adipocytes Can Differentiate into Bone-Forming Cells in Vitro and in Vivo. Tissue Eng 10:381391 10. Kern S, Eichler H, Stoeve J, Kluter H, Bieback K (2006) Comparative Analysis of Comparative Analysis of Mesenchymal Stem Cells from Bone Marrow and Adipose Tissue for Osteogenic Differentiation ( Experimental study to the mesenchymal stem cell ) Andri Winoto Mesenchymal Stem Cells from Bone Marrow, Umbilical Cord Blood, or Adipose Tissue. Stem Cells 24:1294-1301.
11. Knippenberg M, Helder MN, De Blieck- Hogervost JMA, Wuisman PIJM, Klein- N u l e ndJ ( 2007 ) Prostaglandins Differentially Affect Osteogenic Differentiation of Human Adipose Tissue-Derived Mesenchymal Stem Cells. Tissue Eng 13:2495-2503. 12. Lee EH, Hui JHP (2006) The potential of stem cells in orthopaedic surgery. J Bone Joint Surg [Br] 88-B:841-851. 13. Margaret W, Radhika P, William S, and Roxanne LR (2008) Isolation and Culture of Bone Marrow-Derived Human Multipotent Stromal Cells (hMSCs). In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.3-25. 14. Meyer U, Wiesmann HP (2006) Bone andCartilage Engineering. Springer. 15. Muschler GF, Nakamoto C, Griffith LG (2004) Engineering Principles of Clinical Cell-Based Tissue Engineering. J Bone Joint Surg [Am] 86-A:1541-1558. 16. Pittenger MF (2008) Mesenchymal Stem Cells from Adult Bone Marrow. In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.27-44. 17. Pountos I, Jones E, Tzioupis C (2006) Growing bone and cartilage. J Bone Joint Surg [Br] 88-B:421-426. 18. Reger RL, Tucker AH, Wolfe MR (2008) Differentiation and Characterization of Human MSCs. In Mesenchymal Stem Cells, D.J. Prockop, D.G. Phinney, B.A. Bunnell. Editors. Humania Press: Totowa, p.93-107. 19. Safford KM, Rice HE (2007) Tissue Culture of Adipose-Derived Stem Cells. In Culture of Human Stem Cells, R.I. Freshney, G.N. Stacey, J.M. Auerbach. Editors. Wiley- Interscience: Canada, p.303-315. 20. Schaffler A, Buchler C (2007) Concise Review: Adipose Tissue-Derived Stromal Cells – Basic and Clinical Implications for Novel Cell-Based Therapies. Stem Cells 25:818-827. 21. Stem
Cell
Information
(2009)
Stem
Cell
Information.
Available
at
http://www.nih.com, cited on 2 January 2009, 05.10 AM. 22. Vats A, Tolley NS, Buttery LDK, Polak (2004) The stem cell in orthopaedic surgery. J Bone Joint Surg [Br] 86-B:159-164. 23. Wall ME, Bernacki SH, Loboa EG (2007) Effects of Serial Passaging on the Adipogenic and Osteogenic Differentiation Potential of Adipose-Derived Human Mesenchymal Stem Cells. Tissue Eng 13:1291-1298.