Stabilitas Lereng dengan Perkuatan Geogrid Ghufran Fauzan
Geotechncal Engineer – GW & Associates, Bandung, Indonesia.
Budijanto Widjaja Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia.
Freddy Gunawan
Senior Geotechnical Engineer – GW & Associates, Bandung, Indonesia.
ABSTRAK: Kegagalan pada suatu konstruksi timbunan dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan air pori, tingginya sudut kemiringan lereng dan adanya lapisan tanah lunak di bawah timbunan. Studi yang dilakukan yaitu pada proyek pembangunan jalan akses pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) yang berlokasi di Jawa Barat. Lokasi longsor yang terjadi terletak pada lereng jalan akses yang dibangun dengan cara menimbun material tanah setempat berupa pasir berlanau dari hasil galian tanah untuk pembentukan geometri jalan. Posisi timbunan jalan akses berada di atas lapisan tanah asli berupa batuan yang diikuti dengan lapisan tanah asli berupa lempung dan pasir di sisi lembah lereng timbunan. Adanya lapisan tanah pasir lepas diindikasikan sebagai penyebab utama kelongsoran, di samping timbunan lereng jalan akses yang relatif tinggi yaitu 16 m dengan kemiringan 50. Analisis balik dilakukan untuk mendapatkan parameter tanah sesuai kondisi aktual di lapangan, di mana saat longsor tepat akan terjadi (faktor keamanan sebesar 1) dan untuk merepresentasikan posisi bidang gelincir yang terjadi. Oleh karena itu, dilakukan rehabilitasi timbunan jalan akses yang dibatasi oleh lahan relatif sempit menggunakan tanah merah untuk material timbunan geogrid setinggi 24 m. Kemiringan lereng timbunan direncanakan dengan kemiringan 45 dan dibuat dengan sistem terasering. Analisis numerik yang dilakukan menggunakan metode kesetimbangan batas dan metode elemen hingga. Hasil analisis rehabilitasi longsoran diperoleh besar deformasi pada timbunan arah vertikal 14 cm dan arah horisontal 12 cm serta nilai faktor keamanan sebesar 1.53. Kata Kunci: kegagalan timbunan, tanah lunak, rehabilitasi, geogrid, deformasi, nilai faktor keamanan
ABSTRACT: Failure in embankment construction could be affected by increasing of pore water pressure, slope steepness, and existence of soft soil layer below the embankment. This study conducted on access road of micro hydro power plant construction project located in West Java. Landslide occurred on access road slope made by embanking local soil material. This local soil material is silty sand from soil excavation for establishment of road geometry. Access road embankment is located above existing soil layer formed by rocks, clay, and sand on valley side of slope embankment. Existence of loose sand layer indicated as the main cause of landslide, besides the 16 m height of access road embankment with slope with an angle of 50. Back analysis was conducted to gain soil parameters according to actual condition, which is at the exact time landslide was about to occur (safety factor value of 1) and to represent the position of occurred sliding plane. Therefore, rehabilitation of access road embankment was conducted limited by relatively narrow land using red soil for 24 m high of geogrid embankment material. Embankment angle slope was planned with angle of slope 45 and made with terracing system. Numerical analysis was undertaken using limit equilibrium method and finite element method. Landslide rehabilitation analysis results 14 cm length of embankment vertical deformation, 12 cm length of embankment horizontal deformation, and safety factor value of 1.53. Keywords: embankment failure, soft soil, rehabilitation, geogrid, deformation, safety factor value
Titik Bor
1 PENDAHULUAN Kegagalan suatu konstruksi timbunan dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan air pori, tingginya sudut kemiringan lereng dan adanya lapisan tanah lunak di bawah timbunan. Makalah ini membahas mengenai kegagalan suatu konstruksi timbunan pada proyek pembangunan jalan akses pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) yang berlokasi di BH-7 Jawa Barat. Konstruksi timbunan pada tanah lempung lunak maupun pasir lepas merupakan suatu masalah yang sangat kompleks terhadap kestabilan lereng. Posisi timbunan jalan akses berada di atas lapisan tanah asli berupa batuan BH-9 yang diikuti dengan lapisan tanah asli berupa lapisan tanah lempung dan pasir di sisi lembah lereng timbunan. Adanya lapisan tanah pasir lepas di bawah timbunan, diindikasikan sebagai penyebab utama kelongsoran, di samping timbunan yang relatif tinggi yaitu 16 m dengan kemiringan 50. Untuk memprediksi parameter tanah yang sesuai dengan kondisi aktual di lapangan, dilakukan dengan analisis balik (back analysis). Analisis numerik dilakukan menggunakan program komputer dengan metode kesetimbngan batas Slide dan metode elemen hingga Plaxis menggunakan model Mohr Coulomb.
dilakukan adalah Standard Penetration Test (SPT). SPT dilakukan untuk memperoleh informasi konsistensi dan kepadatan dari tanah.
BH-2
BH-8
A BH-3 BH-4 BH-5
Area Longsor
U
Batas Lahan
BH-6 A
Legenda : Titik Bor
Gambar 1. Layout Rencana dan Lokasi Titik Bor
2 KONDISI LAPANGAN DAN KONDISI TANAH 2.1 Kondisi Lapangan
Gambar 2. Konstruksi Jalan Akses dengan DPT Batu Kali
Timbunan jalan akses telah di bangun menggunakan material pasir berlanau yang merupakan hasil penggalian lereng setempat untuk geometri jalan. Gambar. 1 menunjukkan layout rencana jalan akses dan lokasi penyelidikan tanah (dilakukan setelah kelongsoran terjadi). Timbunan jalan akses eksisting dilindungi dengan konstruksi dinding penahan tanah (DPT) batu kali dengan tinggi ±16 m (Gambar 2) dan kondisi kelongsoran pada jalan akses dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar. 3. Kondisi Longsoran pada Jalan Akses
2.2 Penyelidikan Tanah Di lokasi proyek dilakukan pemboran teknik dengan variasi kedalaman antara 10 m sampai dengan 16 m. Pengujian lapangan yang
Dari hasil coring yang dirangkum dalam borlog dapat diketahui kondisi pelapisan tanah di lokasi proyek. Selain SPT, juga
2.3 Hasil Uji Laboratorium Pengujian laboratorium dilakukan pada sampel tanah terganggu (DS) yang diambil pada saat pemboran teknik. Gambar 4 menunjukkan nilai kadar air (wn), batas plastis (PL), dan batas cair (LL) terhadap kedalaman. Nilai kadar air berkisar antara 24.0% – 63.6%. Gambar 5 menunjukkan nilai indeks plastisitas (PI) terhadap kedalaman yang berkisar antara 17 - 64. wn, PL, LL 0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
0 2
Kedalaman (m)
4 6 8 10 12 14 wn
PL
LL
16
Gambar. 4. Nilai Kadar Air (wn), Batas Plastis (PL) dan Batas Cair terhadap Kedalaman PI 0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
0 2
Kedalaman (m)
4 6 8 10 12 14 16
Gambar. 5. Nilai Indeks Plastisitas (PI) terhadap Kedalaman
Gambar. 6 menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku tanah yang diuji di laboratorium berdasarkan kurva plastisitas dari Cassagrande didominasi oleh tanah lempung dengan
plastisitas tinggi (CH) dan lempung dengan plastisitas rendah (CL). 70
U-Line
60 Plasticity Index (%)
direncanakan pengambilan sampel tak terganggu (UDS) dan sampel terganggu (DS) untuk kemudian dilakukan pengujian di laboratorium. Dalam pelaksanaan di lapangan, UDS tidak dapat diperoleh dari setiap titik bor karena pelapisan tanah yang didominasi oleh lapisan batuan.
A-Line
50
CH
40 MH
30 20
CL
10 CL - ML
ML
0 0
20
40
60
80
100
120
Liquid Limit (%)
Gbr. 6. Perilaku Tanah pada Lokasi Proyek Berdasarkan Kurva Plastisitas Cassagrande
Pada sampel batuan yang diperoleh dari hasil coring dilakukan uji tekan uniaksial (Uniaxial Cempressive Strength Test) dan uji slaking (Slake Durability Test). Uji tekan uniaksial pada prinsipnya adalah memeberikan suatu beban aksial yang menyebabkan sampel batuan pecah tanpa adanya kekangan dalam arah larteral. Tegangan maksimum hingga sampel mengalami keretakan atau bahkan pecah disebut dengan kuat tekan uniaksial (qu). Selain itu uji slaking juga dilakukan untuk mengetahui apakah material tersebut tergolong tanah atau batuan. Jika terjadi slaking, maka material tersebut dapat digolongkan sebagai tanah. Batuan durabilitasnya sangat tinggi sehingga sulit mengalami slaking karena poriporinya lebih kuat menahan tekanan air dan udara yang terjadi. Oleh karena itu, uji slaking dilakukan untuk menentukan durabilitas tanah/batuan di laboratorium dengan beberapa siklus pengeringan dan penjenuhan. Pengeringan dan penjenuhan merupakan faktor utama dalam proses pelapukan. Tabel 1 memberikan informasi resume hasil uji laboratorium batuan. Tabel 1. Rangkuman Hasil Uji Laboratorium untuk Sampel Batuan No Titik Depth (m) qu (MPa) E (MPa)
BH-4 6.5 – 7.0 27 0.2 4440
BH-5 8.0 – 8.5 16.3 0.3 4333
BH-6 13.75 – 14.25 2.2 0.42 1105
Deere & Miller (1966) mengembangkan klasifikasi batuan secara umum berdasarkan hubungan antara kuat tekan uniaksial (qu) dan modulus elastisitas (E) seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Berdasarkan nilai i, batuan
diklasifikasikan dalam 5 kelas, mulai dari kekuatan sangat rendah hingga sangat tinggi. Berdasarkan nilai modulus, batuan dibagi menjadi 5 kelas yaitu dari kekakuan sangat rendah (deformasi non elastis) hingga sangat kaku.
2.4 Kondisi Pelapisan Tanah Dari hasil penyelidikan tanah dapat dilakukan pendugaan pelapisan tanah pada jalan akses (potongan A-A). Kondisi pelapisan tanah dapat dilihat pada Gambar 8. Posisi Jalan Akses
SILTY SAND
SAND SILTY CLAY
ROCK SILTY CLAY
CLAY
MUDSTONE CLAY
Gambar 8. Kondisi Pelapisan tanah pada Jalan Akses Gambar 7. Klasifikasi Batuan (Deere & Miller, 1966)
Dari hasil uji uniaksial dapat dikategorikan berdasarkan Gambar 7 untuk sampel batuan pada BH-4 tergolong pada batuan lunak (low strength) dengan nilai qu 270 kg/cm2 sedangkan pada sampel batuan BH-5 dan BH-6 nilai qu berada pada rentang 22 kg/cm2 – 163 kg/cm2 termasuk dalam kategori sangat lunak (very low strength). Gamble (1971) mengembangkan klasifikasi batuan berdasarkan nilai slake durability index (Id) (Tabel 2). Klasifikasi batuan berdasarkan hasil uji slaking dapat diperiksa pada Tabel 3. Tabel 2. Klasifikasi Batuan berdasarkan Uji Slake Durability Test (Gamble, 1971) Id(2) 0 – 30 30 – 60 60 – 85 85 – 95 95 – 98 98 – 100
Classification Very Low Low Medium Medium High High Very High
Tabel 3. Slake Durability Index No Titik Bor BH-4 BH-5 BH-6
Depth (m) 6.5 – 7.0 8.0 – 8.5 13.75 – 14.25
Slake Durability Index Id(2) Tingkat (%) Durabilitas 99 Very high 97 High 21 Very low
Berdasarkan data pemboran BH-4 dari permukaan jalan akses pelapisan tanah didominasi oleh tanah pasir kelanauan kepadatan sedang hingga sangat padat dengan nilai NSPT 7 – 45 hingga kedalaman 7.5 m. Pada kedalaman lebih dari 7.5 m ditemukan lapisan batuan dasar. Pada titik BH-5 di mana lokasi pemboran berada tepat di sisi bawah area timbunan jalan akses, pelapisan tanah pada kedalaman 4 m terdiri dari lapisan lempung kelanauan konsistensi sangat teguh dengan NSPT 28, kemudian pada kedalaman 4 m sampai dengan 8.5 m ditemukan lapisan pasir kepadatan sangat lepas hingga sedang dengan rentang NSPT anatara 3 sampai 15 dan dikuti oleh lapisan batuan dasar pada kedalaman lebih dari 8.5 m. Pada titik BH-6 pelapisan tanah pada kedalaman 0 m sampai 10 m terdiri dari lapisan lempung kelanauan konsistensi teguh dengan rentang NSPT 9 – 14. Dari hasil uji laboratorium dapat diketahui bahwa lapisan tanah lempung merupakan lempung dengan plastisitas tinggi (CH) dengan nilai indeks plastisitas (PI) 26. Di bawah lapisan lempung ditemukan lapisan batu lanau (mudstone) hingga kedalaman 13 m dengan rentang NSPT antara 27 – 40 dan lapisan lempung keras hingga kedalaman 15 m dengan NSPT lebih dari 50.
3 ANALISIS STABILITAS LERENG DAN DESAIN PERKUATANNYA Longsoran pada jalan akses dapat diprediksi akibat: 1. Kuat geser tanah menurun akibat peningkatan tekanan air pori 2. Timbunan yang relatif tinggi dengan sudut kemiringan yang relatif tinggi (curam) Analisis stabilitas lereng dilakukan pada potongan jalan akses sampai dengan lembah sisi selatan yang berbatasan dengan batas lahan. Sehubungan dengan telah terjadi kelongsoran pada lereng eksisting, perlu dilakukan analisis balik (back analysis) untuk mengetahui parameter kuat geser tanah pada saat longsor terjadi. Berdasarkan data uji lapangan (SPT) dan uji laboratorium dapat dilakukan analisis pendugaan parameter tanah yang dikonfirmasi dengan hasil back analysis. Pemodelan dan pelapisan tanah dapat dilihat pada Gambar 9 dan parameter tanah dengan model Mohr Coulomb yang digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter Tanah yang Digunakan dalam Analisis Soil Layer 1 Upper Clay 2 Sandy Clay 3 Clay 4 Silty Clay 5 Clay 6 Silty Sand 7 Silty Clay 8 Sand 9 Mudstone 10 Clay 11 Rock 12 Fill
kN/m3 15 16 16 16.5 16 18 16 17 17.5 17 20 16
c’ kPa 10 6 8 4.43 4 13 7 1 10 10 500 60
’ 26.85 24.80 25.8 26 24 40 28.1 28 29 29 -
E kPa 8000 6400 32000 30400 4800 20000 14400 10000 24000 20000 250000 10000
0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.3 0.33 0.3 0.33 0.33 0.35 0.33
Hasil perhitungan back analysis menunjukkan bahwa indikasi longsor yang terjadi diakibatkan adalnya lapisan pasir lepas di bawah timbunan lereng jalan akses (Gambar 10).
Gambar 9. Pemodelan dan Pelapisan Tanah pada Jalan Akses
Gambar 10. Hasil Back Analysis pada Lereng Jalan Akses Menggunakan Metode Elemen Hingga (FK = 1.007)
Untuk rehabilitasi diperlukan perkuatan dan perubahan geometri lereng agar meningkatkan stabilitas lereng. Dengan perlunya pelebaran jalan akses dan lahan di sisi bawah lereng yang sempit, maka tinggi timbunan lereng yang relatif tinggi dengan sudut kemiringan lereng yang curam tidak dapat dihindarkan. Rehabilitasi untuk perkuatan lereng jalan akses direncanakan dengan menggunakan perkuatan geogrid. Tipe dan spesifikasi geogrid yang digunakan adalah sebagai berikut: Tipe : P150 Ultimate tensile strength : 178 kN/m Long term all. Design load : 98 kN/m Elongation : <12% Analisis perkuatan lereng dengan geosintetik dilakukan dengan metode konvensional, metode kesetimbangan batas dengan bantuan program komputer Slide dan metode elemen hingga dengan bantuan program Plaxis untuk mengetahui deformasi yang terjadi. Penentuan jumlah lapis perkuatan dilakukan dengan
mempertimbangkan nilai faktor keamanan dan deformasi yang akan terjadi pada timbunan. Gbr. 11 menunjukkan pemodelan geometri rehabilitasi lereng jalan akses dengan kemiringan 45 dengan tinggi masing-masing timbunan adalah ±6 m. Beban kerja (surcharge load) jalan akses direncanakan sebesar 1.5 ton/m2.
panjang minimum geogrid, lapisan batuan di belakang lereng timbunan perlu digali hingga panjang total geogrid memenuhi kriteria desain. Material timbunan direncanakan menggunakan tanah merah yang dipadatkan lapis per-lapis dengan tinggi maksimum setiap lapisan 15 cm. Jarak perkuatan geogrid lapis per-lapis @ 1.0 m
EL. ±428.505
EL. ±422.505
Jarak perkuatan geogrid lapis per-lapis @ 0.5 m
Geogrid Lmin = 22 m
EL. ±416.505
EL. ±410.505
Gambar 12. Model Perkuatan Geogrid pada Lereng Jalan Akses Gambar 11. Model Geometri Lereng Jalan Akses
Dari perhitungan metode konvensional perkuatan geogrid yang direncanakan pada model geometri lereng di atas terdiri dari 2 jenis interval. Pada bagian timbunan paling bawah, jarak interval geogrid adalah 0.5 m dan 1 m (Gambar 12) pada tiga bagian timbunan atas. Panjang minimum geogrid dapat ditentukan dengan menentukan panjang pengangkuran (Le) terlebih dahulu (Koerner, 2005) sebagai berikut:
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai faktor keamanan (FK) stabilitas lereng untuk kondisi effective stress analysis (ESA) adalah 1.52 (Gambar 13). Nilai FK ini masih lebih besar dari batas minimum yang diisyaratkan yaitu 1.30.
Untuk kesetimbangan horizontal dengan H = 0, maka 2ELe = Tall (SF)
(1)
L = L + Le
(2)
Di mana = kuat geser tanah pada geotekstil E = effiensi transfer kuat geser tanah pada geotekstil Le = panjang pengangkuran perlu di luar potensi bidang gelincir Tall= kuat tarik ijin geotekstil SF = nilai faktor keamanan (1.5) L = jarak maksimum dari permukaan lereng ke bidang gelincir arah horizontal L = panjang total setiap lapis geotekstil Dengan panjang total setiap lapis geogrid (L) adalah 22.0 m maka untuk mencapai
Gambar 13. Hasil Analisis Stabilitas Lereng Jalan Akses dengan Perkuatan Geogrid kondisi ESA (FK = 1.52)
Untuk mengetahui besarnya deformasi timbunan dan gaya-gaya yang bekerja pada geogrid, dilakukan analisis dengan menggunakan metode elemen hingga. Hasil analisis menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi adalah 14 cm arah vertikal dan 12 cm untuk arah horizontal (lihat Gambar 14 sampai Gambar 16).
Gambar 14. Deformasi Arah Vertikal Hasil Analisis dengan Metode Elemen hingga sebesar 14 cm
Gambar 16. Perpindahan Total Hasil Analisis Stabilitas Lereng Jalan Akses dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga
Gaya tarik maksimum yang terjadi pada geogrid adalah sebesar 2 kN/m, nilai ini masih lebih kecil dari batas tarik ijin dari spesifikasi geogrid. Gbr. 17 menunjukkan geometri pemasangan geogrid, detail pemasangan secondary reinforcement, panjang lipatan geogrid, dan geotekstil non wooven pada sisi permukaan lipatan (facing) dapat diperiksa pada Gambar 18 dan Gambar 19.
Gambar 15. Deformasi Arah Horizontal Hasil Analisis dengan Metode Elemen hingga sebesar 12 cm
GEOGRID L = 22.0 m Spasi = 1.0 m
Detail - B
Detail - A GEOGRID L = 22.0 m Spasi = 0.5 m
Gambar 17. Geometri Pemasangan Geogrid pada Lereng Jalan Akses
DETAIL - A Primary Reinforcement
3.
45° Geotextile non wooven
Geogrid
Gambar 18. Pemasangan Geogrid Detail A untuk Spasi 0.5 m
4. 5.
DETAIL - B Secondary Reinforcement
6. 45° Geotextile non wooven
Geogrid (Primary Reinforcement)
Gambar 19. Pemasangan Geogrid Detail B untuk Spasi 1 m
4 ANALISIS STABILITAS LERENG DAN DESAIN PERKUATANNYA Berdasarkan hasil analisis dan rehabilitasi lereng pada kasus ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kegagalan pada lereng timbunan jalan akses diprediksi akibat lemahnya daya dukung tanah pondasi timbunan, oleh karena itu perlu dilakukan pembersihan pada lapisan tanah lunak maupun timbunan lama. Dasar timbunan harus ditempatkan di atas tanah yang baik. 2. Perkuatan geogrid yang direncanakan dengan panjang 22 m dan terdiri dari dua jenis interval lapisan yaitu; jarak interval geogrid 0.5 m untuk timbunan paling
7.
bawah dan 1 m untuk tiga bagian timbunan atas (lihat Gambar 17). Hasil analisis stabilitas lereng menunjukkan bahwa nilai faktor keamanan lereng timbunan jalan akses dengan perkuatan geogrid adalah 1.52. Selain itu hasil analisis menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi pada arah vertikal adalah sebesar 14 cm dan arah horizontal adalah sebesar 12 cm. Agar panjang total geogrid tercapai, maka lapisan batuan di belajang lereng timbunan perlu digali. Material timbunan perlu diuji terlebih dahulu di laboratorium untuk mengetahui kelayakannya sebagai material timbunan. Uji yang dilakukan seperti uji kompaksi dan CBR Untuk memeperoleh mutu timbunan yang diisyaratkan, dapat dilakukan trial embankment. Dari hasil trial embankment dapat digunakan sebagai acuan untuk kontrol pelaksanaan timbunan Untuk uji mutu timbunan selama masa konstruksi, dapat dilakukan dengan uji sondir (CPT) dengan memenuhi nilai minimum tahanan ujung rata-rata (qc) sebesar 20 kg/cm2.
DAFTAR PUSTAKA Das, M. Braja. Principles of Geotechnical Engineering, Sixth Edition. Sacramento: Thomson. FHWA. 2001. Mechanically Stabilized Earth Walls and Reinforced Soil Slopes Design and Construction Guidelines. FHWA-NHI-00-043. Jeager, Charles. 1979. Rock Mechanics and Engineering, Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Koerner, Robert. M. 2005. Designing with Geosynthetics. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Sivakugan, Ngaratnam. Sanjay Kumar Shukla, and Braja M. Das. 2013. Rock Mechanics An Introduction. Boca Raton : CRC Press.