Stabilitas Gula Kelapa Beriodium Pada Berbagai Kemasan dan Suhu Penyimpanan Oleh: Rifda Naufalin, Rifah Ediati dan Maulana Alfiansyah
ABSTRAK Palm sugar is sugar produced from evaporating sap of palm trees. Palm sugar is a potential product to fortified with iodine so it can be used as an alternative food source of iodine in order to address the problem of Iodine Deficiency Disorders. Problems in the fortification of iodine is the stability of iodine during storage. One effort that can be done to maintain the stability of iodine is by packaging and storage at a particular temperature. The purpose of this research is to determine the effect of type of packaging utilization to the iodine content of iodized palm sugar, determine the effect of storage temperature to the iodine content of iodized palm sugar, determine the effect of the combination of types of packaging and storage temperature for maintaining the stability of iodine during storage. This research using Randomized Complete Design (RCD) with the two factors. The first factor is the type of packaging (P) consist of 3 type i.e polyethylene plastic (P1), polypropylene plastic (P2), and aluminum foil (P3). The second factor is the storage temperature (T) consist of 2 type i.e room temperature (28-30 ºC) (T1) and cold temperature (9-11 ºC) (T2). Variables observed include moisture content, ash content, iodine content, total solids, and sugar reduction. The data obtained were analyzed by Analysis of Variance to determine the effect of treatment on the confidence level of 95%, when it shows slightly or significantly influence it followed by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at 95% confidence level. The results shows that combination of type packaging and storage temperature to the stability of iodine in iodized palm sugar until the 6th week is a type of aluminum foil packaging and cold storage temperatures (P3T2) with iodine content as big as 34.24 ppm.
PENDAHULUAN Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius mengingat dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Selain pembesaran kelenjar gondok, kekurangan iodium jika terjadi pada wanita hamil mempunyai risiko terjadi keguguran, lahir mati, sampai cacat bawaan. Jika terjadi pada bayi yang lahir dapat mengakibatkan gangguan perkembangan syaraf, mental, dan fisik yang disebut kretin. Semua gangguan ini dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah, rendahnya produktivitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat pembangunan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
1
Berdasarkan survei pemetaan GAKI secara nasional di Indonesia pada tahun 2003, diketahui secara umum bahwa Total Goiter Rate (TGR) pada anak sekolah masih berkisar 11,1%. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten adalah endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2% endemik berat. Survei serupa pernah dilakukan pada tahun 1998 dengan TGR sebesar 9,8%. Hasil survei tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi GAKI masih cukup besar. Fortifikasi iodium dipilih karena merupakan salah satu upaya yang cukup mudah dan murah dalam penanggulangan GAKI. Fortifikasi iodium perlu dilakukan pada bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat menggunakan bahan pangan yang sudah mentradisi dan banyak dihasilkan di suatu daerah tertentu. Selama ini fortifikasi iodium telah dilakukan pada garam, air minum, susu, dan roti. Bahan makanan lain yang juga potensial untuk difortifikasi dengan iodium adalah gula kelapa. Gula kelapa tepat digunakan sebagai pangan pembawa karena penggunaannya yang cukup luas dalam berbagai jenis makanan, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri makanan. Salah satu permasalahan dalam fortifikasi iodium adalah stabilitas iodium selama penyimpanan. Stabilitas iodium sangat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan udara di sekitarnya. Kemasan yang umum digunakan untuk mengemas gula kelapa yaitu daun pisang atau plastik polietilen. Kelemahan dari kemasan ini adalah permeabilitas pengemas terhadap uap air dan gas yang keluar masuk cukup banyak sehingga dapat mempercepat gula menjadi lembek. Apabila gula tersebut mengandung iodium, maka kandungan iodium akan mudah teroksidasi. Modifikasi kemasan gula kelapa beriodium dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kualitas selama penyimpanan, yaitu dengan menggunakan plastik polipropilen dan alumunium foil. Penyimpanan pada suhu ruang juga dikhawatirkan dapat mempercepat kehilangan iodium dalam gula kelapa. Hal ini disebabkan bahwa pada keadaan kelembaban tinggi dan suhu yang panas, gula kelapa memiliki kecenderungan untuk menyerap uap air lebih banyak yang mengakibatkan iodium mudah teroksidasi. Untuk itu penyimpanan pada suhu dingin diharapkan dapat menjaga stabilitas iodium pada gula kelapa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis kemasan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, dan mengetahui pengaruh kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik untuk menjaga stabilitas iodium selama penyimpanan. Manfaat penelitian adalah dapat memberikan informasi kepada produsen dan konsumen mengenai jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang baik untuk mempertahankan stabilitas iodium gula kelapa beriodium selama penyimpanan.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai April 2011 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,
2
UNSOED Purwokerto dan Laboratorium Kimia, Fakultas MIPA, UNNES Semarang. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nira kelapa, kalium iodat (KIO3), akuades, plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil. Bahan kimia untuk analisis meliputi larutan akuades, NaOH 2%, KNO3 1%, akuabides, asam arsenit, ammonium sulfat untuk analisis kadar iodium, dan reagen nelson untuk analisis gula reduksi. Alat yang digunakan untuk pembuatan gula kelapa beriodium terdiri atas kompor, wajan, pengaduk, gelas ukur, termometer, labu ukur, dan cetakan gula. Alat yang digunakan untuk analisis meliputi timbangan analitik, glassware, oven, termometer, cawan porselin, desikator, tanur, spektrofotometer, erlenmeyer, vortex mixer, pipet, dan lemari pendingin dengan spesifikasi 220 V ~ 50 Hz 75 W; 1,1 A. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial. Faktor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Jenis kemasan (P) dengan tiga taraf percobaan, P1 = plastik polietilen, P2 = plastik polipropilen, P3 = alumunium foil; Suhu penyimpanan (T) dengan dua taraf percobaan yaitu T1 = suhu ruang, T2 = suhu dingin. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 0, 2, 4, dan 6. Variabel yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, kadar iodium, total padatan, dan kadar gula reduksi. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada tingkat kepercayaan 95%. Apabila menunjukkan pengaruh yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Penelitian ini menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu faktor jenis pengemas dan faktor suhu penyimpanan. Adapun jenis pengemas yang digunakan adalah plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil. Sedangkan suhu penyimpanan yang digunakan adalah penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin. Besarnya suhu penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin selama 6 minggu dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Distribusi suhu ruang dan suhu dingin selama penyimpanan. Variabel yang diamati pada penelitian meliputi kadar air, kadar abu, kadar iodium, total padatan, dan kadar gula reduksi. Data hasil pengamatan variabel tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan pada variabel yang diamati Variabel yang diamati Pengamatan
P1T1
P1T2
P2T1
P2T2
P3T1
Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Minggu ke-6 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Minggu ke-6 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Minggu ke-6 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Minggu ke-6 Minggu ke-0 Minggu ke-2
Kadar Air Kadar Abu (% bb) (% bk) 7,86 8,25 8,56 9,16 7,86 7,68 8,25 8,71 7,86 7,31 7,79 8,44 7,86 7,46 7,56 7,98 7,86 6,62
3,15 2,47 1,95 0,80 3,15 2,57 2,04 0,96 3,15 2,71 2,06 0,80 3,15 2,63 1,82 0,84 3,15 3,12
4
Kadar Iodium (ppm)
Total Padatan (% bb)
36,54 35,22 32,11 31,32 36,54 34,98 32,72 32,19 36,54 34,22 33,85 32,74 36,54 35,68 34,58 33,79 36,54 35,07
92,14 91,75 91,44 90,84 92,14 92,32 91,75 91,29 92,14 92,69 92,21 91,56 92,14 92,54 92,46 92,02 92,14 93,38
Kadar Gula Reduksi (% bk) 5,22 4,20 3,20 2,46 5,22 4,78 3,45 2,60 5,22 4,40 3,61 2,44 5,22 4,84 3,48 2,72 5,22 4,47
P3T2
Minggu ke-4 Minggu ke-6 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Minggu ke-6
7,48 8,16 7,86 7,15 6,84 7,58
2,08 1,16 3,15 2,82 2,09 1,18
35,25 33,18 36,54 35,46 35,18 34,24
92,52 91,84 92,14 92,85 93,16 92,42
3,45 2,41 5,22 4,67 3,59 2,71
Hasil analisis ragam pengaruh jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) serta interaksi antara keduanya (PXT) terhadap variabel yang diamati pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati pada minggu ke-6 Perlakuan T PXT 1 Kadar air * tn tn 2 Kadar abu * tn tn 3 Kadar iodium ** * tn 4 Total padatan * tn tn 5 Kadar gula reduksi tn * tn Keterangan: P = jenis kemasan; T = suhu penyimpanan; PXT = interaksi pengaruh perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan; * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn = berpengaruh tidak nyata. No.
Variabel
P
1. Kadar air Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kemasan berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium pada minggu ke-6. Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan alumunium foil (P3) pada minggu ke-6 berturut-turut yaitu 8,93% bb; 8,21% bb; dan 7,87% bb. Sedangkan hasil analisis ragam untuk perlakuan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata pada minggu ke-6. Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan penyimpanan suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 yaitu 8,59% bb dan 8,09% bb. Nilai rata-rata kadar air pada berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2. Nilai rata-rata kadar air untuk berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6. Kemasan dapat menjadi penghalang antara produk dan lingkungan, mengontrol transmisi cahaya, transfer panas, air dan gas serta mencegah masuknya mikroba atau serangga (Suyitno, 1990). Kemasan yang digunakan untuk mengemas gula kelapa beriodium adalah plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil. Ketiga jenis pengemas ini memiliki permeabilitas terhadap uap air yang berbeda. Handayani (2008) menyebutkan bahwa permeabilitas terhadap uap air dari plastik polietilen 0,82 g/hari.m2.mmHg, sedangkan permeabilitas terhadap uap air dari plastik polipropilen sebesar 0,67 g/hari.m2.mmHg. Akibatnya selama penyimpanan terjadi perubahan kelembaban lingkungan dalam kemasan dari setiap kemasan yang digunakan yang dapat mempengaruhi kadar air produk. Interaksi perlakuan antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium. Pengaruh interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap kadar air gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar air gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
6
Gambar 3 menunjukkan bahwa mula-mula beberapa interaksi perlakuan gula kelapa beriodium mengalami penurunan kadar air terlebih dahulu sebelum mengalami peningkatan. Hal ini diakibatkan oleh sifat permeabilitas kemasan terhadap uap air. Pada awal penyimpanan, kemasan mampu menahan uap dari luar untuk tidak masuk ke dalam kemasan. Akibatnya udara di dalam kemasan kelembabannya lebih kering daripada kelembaban produk. Hal inilah yang membuat kadar air bahan berkurang karena uap air keluar dari produk. Setelah penyimpanan beberapa minggu, jumlah uap air yang masuk ke dalam kemasan pun semakin banyak. Akibatnya udara yang ada di dalam kemasan menjadi lembab dan membuat uap air masuk ke dalam produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulchan dan Endang (2007) yang menyebutkan bahwa berbagai kemasan memiliki keunggulan dan kelemahan, khususnya terhadap permeabilitas beberapa jenis gas dan uap air, sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan molekul-molekul gas baik dari luar kemasan maupun sebaliknya dari makanan ke luar. Adanya perpindahan tersebut dapat menimbulkan berbagai perubahan dari bahan yang dikemas. 2. Kadar abu Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 pengaruh perlakuan jenis kemasan (P) berpengaruh nyata pada kadar abu gula kelapa beriodium, sedangkan pengaruh perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata. Nilai rata-rata kadar abu pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 0,88% bk; 0,82% bk; dan 1,17% bk. Sedangkan nilai rata-rata kadar abu gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 berturut-turut adalah 0,92% bk dan 0,99% bk. Nilai rata-rata kadar abu pada berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Nilai rata-rata kadar abu untuk berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6.
7
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji et al., 1996). Kalium iodat merupakan bentuk garam mineral, sehingga perubahan kadar abu diduga salah satunya berhubungan dengan kadar iodium dalam gula kelapa. Pengaruh interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap kadar abu gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kadar abu gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T). Kadar abu mengalami penurunan selama penyimpanan, hal ini diduga salah satunya disebabkan oleh menurunnya kadar iodium. Naufalin et al. (2002) menyebutkan bahwa penurunan kadar abu pada gula kelapa selama penyimpanan diduga berhubungan dengan ketidakstabilan iodium selama penyimpanan. Hal ini juga dapat dilihat dari analisis kadar iodium yang cenderung menurun selama penyimpanan. 3. Kadar iodium Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan jenis kemasan (P) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium. Sedangkan interaksi kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata. Kadar iodium pada berbagai jenis kemasan (P) gula kelapa beriodium pada minggu ke-6 ditunjukkan pada Gambar 6.
8
Gambar 6. Nilai rata-rata kadar iodium untuk berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar iodium tertinggi terjadi pada penggunaan jenis kemasan alumunium foil. Hal ini diduga karena alumunium foil mempunyai permeabilitas terhadap uap air yang lebih rendah dibandingkan kemasan yang lain sehingga reaksi oksidasi berjalan lebih lambat. Berdasarkan hasil penelitian, interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium mengalami penurunan setiap minggunya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kadar iodium gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T). Penurunan kadar iodium selama penyimpanan diduga berhubungan dengan stabilitas iodium selama penyimpanan. Kestabilan iodium sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kelembaban udara, panas, dan cahaya. Menurut Lotfi et al. (1996), senyawa iodium dapat hilang dengan mudah apabila garam yang diiodisasi digunakan pada kondisi basah, terkena cahaya
9
langsung, panas, kondisi asam yang relatif tinggi, atau kondisi garam yang tidak murni. Selama penyimpanan juga terjadi reaksi oksidasi karena adanya kontak dengan uap air, sehingga iodium menjadi rusak yang berakibat pada penurunan kadar iodium. Chauhan (1992) menyebutkan bahwa air berperan penting dalam mekanisme hilangnya iodium melalui reaksi oksidasi. Reaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: IO3- + 6H+ + 5e- → 1/2 I2 + 3H2O + I2 Nilai rata-rata kadar iodium gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 berturut-turut adalah 32,41 ppm dan 33,41 ppm. Nilai rata-rata pengaruh perlakuan suhu penyimpanan terhadap kadar iodium pada minggu ke-6 ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai rata-rata kadar iodium untuk perlakuan suhu penyimpanan (T) pada minggu ke-6. Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan kadar iodium yang disimpan pada suhu ruang (T1) lebih besar dibandingkan dengan kadar iodium yang disimpan pada suhu dingin (T2). Hal ini diduga karena pada suhu ruang, gula kelapa menyerap lebih banyak uap air karena sifatnya yang higroskopis. Semakin banyak uap air yang diserap, maka kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi akan semakin besar sehingga kerusakan iodium juga akan semakin besar. Total padatan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan jenis kemasan (P) berpengaruh nyata terhadap total padatan gula kelapa beriodium, sedangkan perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi antara jenis
10
kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan gula kelapa beriodium. Nilai rata-rata total padatan pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 91,07% bb; 91,79% bb; dan 92,13% bb. Sedangkan nilai rata-rata total padatan gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 berturut-turut adalah 91,41% bb dan 91,91% bb. Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap total padatan gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Total padatan gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T). Total padatan adalah bahan yang tersisa setelah air yang terkandung dalam sampel diuapkan semua. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada beberapa interaksi perlakuan, mula-mula total padatan mengalami peningkatan terlebih dahulu sebelum mengalami penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam produk. Total padatan berbanding terbalik dengan kadar air. Saat total padatan mengalami peningkatan, kadar air dalam bahan mengalami penurunan. Sebaliknya, saat total padatan mengalami penurunan maka kadar air dalam bahan mengalami peningkatan. 4. Kadar gula reduksi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan jenis kemasan (P) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi gula kelapa beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi, dan interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata. Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu
11
penyimpanan (T) terhadap kadar gula reduksi gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kadar gula reduksi gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T). Gula reduksi adalah golangan gula yang memiliki kemampuan untuk mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar gula reduksi mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan kadar gula reduksi diduga karena terjadinya reaksi Maillard selama penyimpanan. Menurut Fennema (1996), reaksi Maillard terjadi karena adanya persenyawaan antara gula reduksi dengan protein dan menghasilkan produk berupa pigmen coklat yang disebut melanoidin. Terbentuknya melanoidin mengakibatkan perubahan warna gula kelapa menjadi makin coklat. Reaksi Maillard dapat terjadi dalam periode penyimpanan yang relatif lama bahkan dalam suhu yang relative rendah. Oleh karena gula reduksi digunakan dalam reaksi Maillard, maka terjadi penurunan kadar gula reduksi selama penyimpanan. Nilai rata-rata pengaruh suhu penyimpanan (T) terhadap kadar gula reduksi gula kelapa beriodium pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Nilai rata-rata kadar gula reduksi untuk perlakuan suhu penyimpanan (T) pada minggu ke-6.
12
Gambar 11 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kadar gula reduksi pada gula kelapa beriodium yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin. Perbedaan kadar gula reduksi ini diduga diakibatkan oleh perbedaan kecepatan reaksi Maillard yang cenderung lebih aktif pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini juga dapat dilihat pada kenampakan warna gula kelapa beriodium yang lebih coklat pada gula kelapa beriodium yang disimpan di suhu ruang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Jenis kemasan terbaik yang mampu menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium adalah alumunium foil (P3). 2. Penyimpanan pada suhu dingin (T2) merupakan suhu penyimpanan yang lebih baik dalam menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium. 3. Kombinasi perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik terhadap stabilitas iodium gula kelapa beriodium sampai minggu ke-6 adalah jenis kemasan alumunium foil dan penyimpanan suhu dingin (P3T2) dengan kadar iodium 34,24 ppm. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mencari suhu penyimpanan optimum untuk menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium. 2. Perlu adanya pengujian organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan gula kelapa beriodium.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chenmist, 25th Edition. Publisher AOAC., Inc., Washington. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedanawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Astawan, M. 2003. Iodium Cegah Lost Generation. (On-Line). http:// http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1043213364,24317. Diakses 30 November 2010. Binnerts, W.T. 1954. Determinan of iodine in milk. Analitica Chemica Acta. 10:78-80. Chauhan, S.A., A.M. Bhatt, M.P. Bhatt, and K.M. Majeethia. 1992. Stability of Iodized Salt with Respct to Iodine Content, India Research and Industry.
13
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan Garam Beriodium. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, Jakarta Desrosier, N.W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan oleh Muchji Muljohaardjo. 1988. UI-Press, Jakarta. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc, New York. Hadisaputro, S., T. Suhartono, Suhardjono, H.S. Setyawan, B.B. Basuki, T. Djokomoeljanto, Banandari, A. Sartono, A. Udijono, Darmono, dan B. Sutrisno. 1996. Survey Pemetaan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Jawa Tengah. Tim GAKI Fakultas Kedokteran Undip dan Kanwil Depkes Propinsi Jawa Tengah, Semarang. Handayani, H.T. 2008. Studi Kemunduran Mutu Polong Panili Kering Selama Penyimpanan Pada Berbagai Kemasan Plastik. Skripsi. UNS, Solo. Lotfi, M., M.G.V. Mannar, R.J.H.M. Merx and P.N. van den Heuvel. 1996. Micronutrient Fortification of Foods. Current Practises, Research, and Oppurtunities. The Micronutrient Initiative and International Agriculture Centre, The Netherlands. Naufalin, R., B. Sustriawan dan P. Arsil. 2002. Fortifikasi Iodium dalam Gula Kelapa dan Evaluasi Stabilitasnya selama Penyimpanan sebagai Alternatif Upaya Pencegahan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sulchan, M dan N. W. Endang. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 57, Nomor: 2, Februari 2007. Suyitno. 1990. Bahan-Bahan Pengemas. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
14