1
SRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN LOGAS TANAH DARAT, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, PROVINSI RIAU
GUSTI RATIH INDRIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul ”Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Studi Kasus di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau’ adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas ini. Bogor, Februari 2011 Gusti Ratih Indriati A153050215
3
ABSTRACT Gusti Ratih Indriati, Private Forest Development Strategy in Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau Province. Under supervision of YUSMAN SYAUKAT and LUKMAN M. BAGA. Private forest is a planted forest or natural forest that located on the formal documented of private land. Based on the formal regulation, the development of private land accommodates forestry species both from planted stands and natural stands. The development of private land in Kuantang Singingi is less than provided land due to the other uses such as agriculture. However, the performance of the development of private forest in Kecamatan Logas Tanah Darat still can be improved through the implementation of strategic private forest development. The aim of the research is to identify the constrains and barriers of the implementation of private forest development in Kabupaten Kuantan Singingi, identify the strengths, weaknesses, opportunities, and threats of its development and formulate the most relevant strategies and aspects of sustainability in the development of private forest in Riau Province. Based on the result of the research, it is identified: internal strategic factors, external strategic factors, the alternatives of private forest development strategies, and the two alternatives of main development strategies. Internal strategic factors identified are as follows: 1. The strength factors are the provided land for private forest, land suitability, local market for private land products, effective land protection, and local species cultivated traditionally; 2. The weakness factors are the less status of land ownership, the less assistances and roles of local government, financial limitation, relatively long of plant rotation (5-7) years, and the limited skills of silviculture system. While, the external strategic factors consisted of opportunities and threats are recognized as: 2. Opportunity factors are the high of wood demand, the central government policy over private forest development, subjective preference toward wood product, the existence of formal regulation and local authority related to private forest development; 2. The threat factors are the conflicting of land ownership and uses, the less support of local authorities, no or less assistance from local authorities, the limited marketing (monopoly), and manipulative cooperation. Based on analyzing of SWOT Matrix, it is founded eight alternatives of private forest strategic developments in Kabupaten Kuantan Singingi as follow: a. The inventarisation of private forest distribution; b. The inventarization and proposed species collection of private forest species; c. The crash program of the improvement of private forest land status; d. The application of the modified silviculture system (economical sustainability); e. The supports and assistance from local authority; f. The regulation of the cooperation pattern over private forest development; g. The diversification of private forest products; h. The provision of financial scheme of private forest development. The two main alternative strategies have determined that of the provision of financial scheme of private forest development and the crash program of the improvement of private forest land status.
4
RINGKASAN GUSTI RATIH INDRIATI. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan LUKMAN M. BAGA. Hutan rakyat merupakan hutan tanaman dan atau hutan alam yang berada di atas lahan milik Masyarakat yang ditandai oleh hak atas tanah berupa alas titel/hak. Pada awalnya terminologi hutan rakyat dikenal melalui program penanaman tanaman hutan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL), penghijauan, penanamanblahan kritis dan lain-lain. Namun berdasarkan ketentuan yang ada hutan rakyat mengacu pada hutan hak yang mengakomodir jenis tegakan pada hutan hak yang berupa baik tegakan tanaman (hasil budidaya) dan ataupun tegakan alam (tumbuh secara alami). Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dilaksanakan pada lahan masyarakat seluas 108.958 ha. Tetapi realisasi dari kegiatan tersebut sampai sekarang belum tercapai karena adanya pemanfaatan untuk keperluan yang lain seperti pertanian semusim. Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi khususnya di Kecamatan Logas Tanah Darat masih dapat ditingkatkan apabila memperoleh upaya-upaya pembenahan terhadap aspek strategis pembangunan hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala dan masalah pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di kabupaten Kuantan Singingi, mengindetifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi serta merumuskan strategi yang relevan dalam pengelolaan hutan rakyat dalam rangka mencipatakan pembangunan hutan rakyat yang berkelanjutan di Provinsi Riau. Data diperoleh dengan metode wawancara mendalam kepada responden terpilih dengan menggunakan kuesioner (pedoman pertanyaan). Pada tahap selanjutnya melakukan pengolahan data awal antara lain editing data yang dilakukan terhadap jawaban yang telah ditulis dalam kuesioner dan catatan hasil wawancara serta dari Focus Group Discusion (FGD), selanjutnya dengan melakukan koding data yaitu mengadakan klasifikasi terhadap jawaban-jawaban responden dengan membubuhkan suatu kode pada jawaban tertentu yang pada dasarnya berarti menetapkan kategori yang sesuai dengan suatu jawaban tertentu. Selanjutnya melakukan. identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menggunakan analisis matriks SWOT. Untuk menentukan prioritas strategis pengembangan Hutan Rakyat Pul di Provinsi Riau digunakan matriks QSPM. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh empat : Pertama, faktor-faktor strategis internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: tersedianya lahan masyarakat untuk hutan rakyat, keseuaian lahan, terdapatnya pasar lokal bagi hasil hutan dari hutan rakyat, pengamanan tanaman yang lebih efektif dan banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara
5
tradisional, serta faktor-faktor yang menjadi kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: status kepemilikan lahan yang lemah, kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh lembaga formal di daerah, keterbatasan permodalan daur tanaman yang lama (5-7) tahun dan kurangnya kemampuan teknis sistem silvikultur; Kedua, faktor-faktor strategi eksternal meliputi peluang dan ancaman. Faktor-faktor peluang dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: kebutuhan hasil hutan kayu yang tinggi, kebijakan Dephut menggalakkan hutan rakyat, preverensi sujektif produk kayu daripada produk subsitudi, dan tersediannya ketentuan (peraturan) dan instansi formal yang menangani hutan rakyat, serta faktor-faktor ancaman dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: tumpang tindih kepemilikan lahan dan peruntukkan lahan, kurangnya keberpihakkan Pemda terhadap hutan akyat, kurangnya penyuluhan dari Pemerintan dan Instansi lain, keterbatasan pemasaran hasil hutan rakyat (monopoli) dan pola kerjasama yang bersifat manupulatif. Ketiga, berdasarkan hasil analisis terhadap Matrik SWOT diperoleh delapan alternative strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi yakni: a. Iventarisasi pesebaran hutan rakyat; b. Inventarisasi dan usulan jenis tanaman hutan rakyat; c. Crash program penetapan status lahan hutan rakyat; d. Aplikasi modifikasi sistem silvikultur (aspek kelestarian ekonomi); e. Dukungan dan bimbingan dari Pemerintah Daerah; f. Pengaturan pola kerjasama hutan rakyat; g. Diversifikasi hasil hutan dari hutan rakyat dan h. Penyediaan skema permodalan hutan rakyat. Keempat, berdasarkan analisis terhadap Matrik QSPM diperoleh hasil dua alternative strategi utama yang harus mendapatkan perhatian yakni: penyediaan skema permodalan hutan rakyat dan pelaksanaan crash program penetapan status lahan hutan rakyat.
.
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
SRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN LOGAS TANAH DARAT, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, PROVINSI RIAU
GUSTI RATIH INDRIATI
Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Drr. Ir. Henny K. Daryanto, MEc
9
Judul Tugas Akhir
:
Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Studi Kasus di Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau
Nama
:
Gusti Ratih Indriati
NRP
:
A153050215
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec
Tanggal Ujian : 30 Agustus 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
10
PRAKATA Selama lebih dari dua puluh tahun saya terlibat dalam kegiatan pembangunan hutan sebagai pegawai pemerintah dengan segala liku-likunya. Pengalaman ini telah memberikan saya wawasan dan pengetahuan yang luas tentang manajemen hutan dan esensi pembangunan itu sendiri. Dalam perspektif tersebut dapat dipahami bahwa pembangunan seharusnya meliputi : pembangunan social dan ekonomi masyarakat sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungannya. Belajar dari wawasan pembangunan tersebut dapat disimpulkan bahwa kunci pembangunan hutan yang berwawasan lingkungan salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Untuk itulah saya memperdalam pengetahuan saya dengan belajar pada Sekolah Pasca Sarjana dimana melalui program ini saya dapat memperoleh perspektif teoritis dan praktek pembangunan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat sesuai dengan profesi dan sector yang saya jalani. Atas apa yang telah saya capai ini pertama-tama saya bersyukur kepada Allah SWT atas segala rachmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis saya dan Studi saya pada Magister Profesional Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dan saya bersaksi bahwa Allah SWT adalah Maha Pemurah dan Pemberi kepada semua umatNya. Dengan selesainya Tesis ini tidak lupa lupa saya ucapkan terima kasih kepada segenap Pembimbing dari Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor atas segala arahan dan masukan yang berharga yakni : 1. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus sebagai Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah IPB, serta Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, masukan dan nasehat sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. 2. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS, Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 3. Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi MPD IPB. Dalam rangka memperoleh perspektif formal dari pembangunan hutan rakyat, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kuantan Singingi, Segenap Pejabat Eselon dan Stafnya seperti : Bapak Ir Ardi Nasri, Bapak Ir Surya Wardi Johar, Bapak Ir. M Yusuf Amin, Bapak Ir. Febrian Suanda serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi khususnya yang telah menyediakan waktunya untuk membagikan pemahamannya tentang hutan rakyat yang telah berlangsung di Kabupaten Kuantan Singingi, Kepada Para Kelompok Tani dan Perusahaan Mitra Masyarakat seperti Bapak Martunus, Bapak Bustamar, Bapak Joharudin, Bapak Saidina, Bapak
11
Ir. Kirmadi, Bapak Ir. Tabrani, Bapak Ir. Yoga, dan lain-lain, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaannya membagikan pengalaman dan pendapatnya tentang praktek pembangunan hutan rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi. Terakhir, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Abang, Kakak dan Adik atas doa dan dukungannya. Saya berhutang banyak atas segala yang telah kalian lakukan selama hidup saya dan kalianlah yang sungguh-sungguh mencintai saya. Buat teman-teman satu kelas, saya ucapkan terima kasih atas diskusi dan dukungan spiritnya. Akhirnya, saya mendedikasikan Tesis ini untuk yang tercinta Mas Dadang dan buah hati saya : Alif, Rafli, Raihan dan Rama. Kalian adalah “Cinta Abadi saya” yang telah membuat hidup saya menjadi lebih berwarna dan lebih bermakna.
Bogor, Juni 2010 Gusti Ratih Indriati
12
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang………………………………………………………... 1
1.2
Perumusan Masalah…………………………………………………..
1.3
Tujuan Penelitian……………………………………………………... 6
1.4
Manfaat Penelitian……………………………………………………. 6
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Hutan Rakyat.................................……………………………............
7
2.1.1
Bentuk Hutan Rakyat.................................................................
7
2.1.2 Peranan Hutan Rakyat ...............................................................
8
2.1.3
Pengelolaan Hutan Rakyat……………………………………
9
2.1.4
Pola Pengembangan Hutan Rakyat…………………………....
9
2.2 Desentralisasi Dalam Pembangunan Hutan Rakyat...............................
10
2.2.1
Kebijakan Pembangunan Hutan ............................................... 14
2.2.2
Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat ..................................
2.2.3
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan .......................... 20
2.2.4
Manajemen Hutan Lestari ........................................................ 27
16
2.3
Manajemen Strategi .............................................................................. 30
2.4
Penelitian Terdahulu.............................................................................. 33
III. METODE PENELITIAN 3.1
Kerangka Pemikiran………………………………………………….. 40
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………
41
3.3
Metode Pengumpulan Data…………………………………………...
43
3.4
Metode Analisis Data…………………………………………………
45
3.5
Pengolahan Data……………………………………………………… 47
13
3.6
Metode Analisis Data ………………………………………………..
48
3.7
Analisis Eksternal dan Internal……………………………………….. 48 3.7.1
Analisis Eksternal………………………………………….....
50
3.7.2
Analisis Internal………………………………………………
51
3.8
Penentuan Bobot Variabel……………………………………………. 53
3.9
Analisis Matriks SWOT………………………………………………
54
3.10 Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix)…………… 55
IV. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DI DAERAH PENELITIAN 4.1
4.2
Pembangunan Hutan Rakyat………………………………………….
57
4.1.1
Kebijakan Pemerintah Terhadap Hutan Rakyat……………… 57
4.1.2
Peran Pemerintah Daerah…………………………………….. 59
4.1.3
Penciptaan Peraturan Daerah…………………………………. 60
Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……….. 61 4.2.1
Sejarah dan Statistik Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……………………………………………………….. 61
4.3
4.2.2
Konflik Lahan antara Masyarakat dengan Perusahaan……….. 66
4.2.3
Pola Pembangunan Hutan Rakyat……………………………. 67
4.2.4
Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat………………… 69
Perspektif Perusahaan terhadap Pembangunan Hutan Rakyat (Strategi Penyelesaian Masalahan Melalui Aplikasi Tujuan Perusahaan)……………………………………………………………
4.4
71
4.3.1
Pembentukan Departemen Pembangunan Hutan Rakyat……… 71
4.3.2
Strategi Perluasan Areal Efektif Tanaman……………………
72
Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat ……………………………………………………
73
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Lingkungan Internal…………………………………………. 77 5.1.1. Kekuatan……………………………………………………… 77
14
5.1.2.
5.2
Kelemahan……………………………………………………. 79
Analisis Lingkungan Eksternal……………………………………….. 82 5.2.1
Peluang……………………………………………………….. 82
5.2.2
Ancaman……………………………………………………… 85
5.3 Hasil Evaluasi Faktor-Faktor Lingkungan Internal…………………… 87
5.4
5.5
5.3.1
Kekuatan……………………………………………………… 88
5.3.2
Kelemahan……………………………………………………. 90
Hasil Evaluasi Faktor-Faktor Lingkungan Eksternal…………………. 91 5.4.1
Peluang……………………………………………………….. 92
5.4.2
Ancaman……………………………………………………… 94
Alternatif Strategi Dalam Pengembangan Hutan Rakyat Di Kabupaten Kuantan Singingi……………………………………… 96 5.5.1
Strategi S-O………………………………………………….. 96
5.5.2
Strategi W-O………………………………………………….. 100
5.5.3
Strategi S-T…………………………………………………… 101
5.5.4
Strategi W-T………………………………………………….. 103
5.5.5
Prioritas Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi……………………………… 104
5.5.6
VI.
Implikasi Manajerial………………………………………….. 105
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan…………………………………………………… 109
6.2
Saran…………………………………………………………... 111
DAFTAR PUSTAKA
15
DAFTAR TABEL 1. Realisasi pembangunan Hutan Rakyat per Tahun 2009 di kabupaten Kuantan Singingi…………………………………………... 10 2. Penelitian Terdahulu Tentang Hutan Rakyat …………………………… 37 3. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dari Masing-Masing Desa ……………… 44 4. Data dan Metode Analisis ………………………………………………. 47 5. Kriteria Penilaian Faktor Internal dan Eksternal………………………… 48 6. Contoh Matrik FE (External Faktor Evaluation)………………………… 52 7. Contoh Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)..................................... 53 8. Pembobotan Terhadap Faktor Strategis Eksternal dan Internal…………. 55 9. Matriks SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
56
10. Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix)………………. 57 11. Beberapa Peraturan Dalam Pembangunan Hutan Rakyat ........................ 60 12. Realisasi Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2009…………………………………………… 63 13. Penggunaan Lahan di Kabupaten Kuantan Singingi…………………….. 64 14. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Pangan)…………..................... 65 15. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Sayur-sayuran) ................
.. 66
16. Jenis Komoditi, Luas Lahan dan Produksi Tanaman yang Dibudidayakan 80 17. Analisis Matriks Internal Faktor Evaluation (IFE)……………………… 91 18. Analisis Matriks Eksternal Faktor Evaluation (EFE) …………………... 95 19. Analisis QSPM…………………………………………………………... 108 20. Masalah dan solusi yang ditempuh dalam implementasi strategi pengembangan HTI Pulp di Provinsi Riau……………………………… 111
16
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Analisis Penyusunan Strategi ................................................
31
2. Tahap Masukan Proses Pengambilan keputusan ....................................
31
3. Tahap Penggabungan (Matching Stage) .................................................
32
4. Tahap Pengambilan Keputusan ...............................................................
33
5. Alur Pikir Penelitian…………………………………………………….
42
6. Matriks SWOT………………………………………………………….
46
7. Kategori Faktor Internal dan Eskternal ………………………………...
50
8. Matrik SWOT Strategi Pengembangan Hutan Rakyat
di Kabupaten Kuantan Singingi…………………………………………..
100
17
DAFTAR LAMPIRAN 1. Jawaban Responden Untuk Perhitungan Bobot Evaluasi Faktor Strategis (Internal dan Eksternal) dan Perhitungan Peringkat 2. Responden 3, Ir.Moh Yusuf Amin 3. Responden 4, Ir. Tabrani
18
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata
bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara lansung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tambang, sedang manfaat tidak langsung mencakup manfaat rekreasi, perlindungan tata air serta pencegahan erosi. Untuk itu hutan harus di urus dan dikelola,
dilindungi
dan
dimanfaatkan
secara
berkesinambungan
bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Semakin bertambahnya penduduk dan semakin banyak industri yang membutuhkan bahan baku kayu menuntut semakin besarnya kebutuhan bahan baku kayu yang harus dipasok, sehingga banyak mendorong timbulnya ekses negatif seperti perambahan hutan, penebangan liar, perladangan berpindah dan sebagainya yang akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Disisi lain, sumber bahan baku kayu yang selama ini berasal dari kawasan hutan produksi semakin berkurang oleh karena itu sewajarnya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kayu dan pengamanan lingkungan pemerintah mengajak masyarakat yang berkepentingan langsung untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan yang berwawasan lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut di atas, penyelenggaraan hutan dengan memperhatikan aspirasi dan mengikutsertakan masysrakat telah menjadi landasan utama, bahkan pemerintah wajib mendorong peranserta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (pasal 70 UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999). Salah satu bentuk peranserta
19
masyarakat dalam bidang kehutanan yang harus didorong oleh pemerintah antara lain adalah pembangunan hutan rakyat. Kehadiran hutan rakyat dewasa ini dirasakan semakin meningkat karena manfaat yang bersifat ekologis, ekonomi maupun sosial. Secara ekologis hutan rakyat berfungsi sebagai pelindung dan perbaikan tata air, konservasi tanah serta mempercepat proses rehabilitasi lahan kritis. Manfaat ekonomi dan sosisal dari hutan rakyat antara lain berperan penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Selain itu hasil dari hutan rakyat merupakan komoditas yang harus dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan berusaha. Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam programprogram pembangunan kehutanan di Indonesia. Dalam UU Pokok Kehutanan tahun 1967 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, istilah hutan rakyat disamakan dengan terminologi hutan milik. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat local (tanah adat). Didalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya; sengon (Paraseriantbes flcataria), jati (tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (swietenia mahagoni ) dan lain sebagainya. Pepohonan yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), dammar (Sborea javanica), sementara yang hasil utamanya berupa buah amtara lain kemiri, durian, kelapa dan bambo (Suharjito dan Darusman, 1998). Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas
lahan
milik.
Pengertian
semacam
ini
kurang
mempertimbangkan
kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan kata ‘rakyat’ kiranya lebih di tunjukan kepada pengelola yaitu ‘rakyat kebanyakan’, bukan karena status pemilik tanahnya. Dengan menekankan pada kata ‘rakyat’ membuka peluang bagi rakyat sekitar hutan untuk mengelola hutan di lahan negara. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dibakukan maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (menengah dan besar) menguasai lahan milik untuk mengusahakan hutan (Awang, 2005).
20
Hardjoseputro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah yakni hutan yang dimiliki oleh rakyat. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat terjadi adakalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis. Jadi hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan jenis tanaman kayu-kayuan yang pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau suatu badan usaha dengan bepedoman kepada ketentuan yang telah digariskna oleh pemerintah. Melalui Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) selama tahun 2003-2005 telah dibangun hutan rakyat khususnya di kawasan budidaya seluas 219.000 hektar dan hutan rakyat model kemitraan pada tahun 2005 seluas 2.000 hektar. Disamping dari hutan tanaman rakyat, Departemen Kehutanan selama periode 2006-2009 menargetkan penambahan hutan rakyat model kemitraan seluas 12 ribu hektar di 12 propinsi yaitu: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun agar target tersebut bisa tercapai, perlu adanya kebijakan regulasi dan sejumlah intervensi pemerintah (Winarno, 2009). Pada saat ini karakteristik pengelolaan hutan rakyat di lapangan adalah bersifat individual, oleh keluarga, tidak memiliki manajemen yang mantap, tidak responsive, sub-sistem dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini dalam perkembangannya ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar terhadap industri, tidak terencana, dan tidak sinkron dengan semangat ”kelestarian” khususnya aspek ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu diperlukan strategi baru untuk mengelola hutan rakyat.
1.2
Perumusan Masalah Perkembangan pembangunan kehutanan menuntut untuk memperhitungkan
keberadaan hutan rakyat. Hal ini berkaitan dengan semakin terasanya kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara, baik hasil kayu sebagai kayu pertukangan,
21
kayu industri, maupun kayu bakar. Selain itu pembangunan hutan rakyat juga berfungsi secara ekologis yaitu meniru untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan, serta fungsi sosial dan ekonomi yaitu sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat. Hutan rakyat juga dianggap sebagai salah satu alternatif dalam pembangunan sumberdaya hutan (SDH) seiring dengan kurang berhasilnya sistem pengelolaan yang selama ini diterapkan di Indonesia. Pembangunan hutan rakyat selain ditentukan oleh motivasi dari komunitas pemilik hutan rakyat, juga sangat ditentukan oleh strategi dan kebijakan pembangunan hutan rakyat serta peran otoritas terhadap upaya-upaya pembangunan hutan rakyat. Lebih lanjut hutan rakyat dapat dipertimbangkan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan baik untuk berperan aktif dalam pembangunan kehutanan melalui keterlibatan dalam proses pembangunannya sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Dalam prakteknya keterbatasan kapasitas dan kapabilitas masyarakat di dalam dan sekitar hutan (kelompok tani hutan rakyat) menyebabkan pembangunan hutan rakyat sering mengalami kendala. Hal ini menyebabkan praktek keikutsertaan dalam pembangunan kehutanan kadang bersifat semu serta sarat dengan manipulasi sumberdaya yang dimilikinya. Pada akhirnya, paradigma yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan massyarakat yang menjadi tujuan awal tidak dapat terlaksana. Kabupaten Kuantan Singingi juga sedang mencari bentuk administrasi pemerintahan daerah pada umumnya dan di sektor kehutanan khususnya. Kabupaten Kuantan Singingi merupakan kabupaten baru yang dibentuk tahun 1999 juga terinspirasi dari eforia pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah. Secara sektoral, luasnya kawasan hutan dan praktek pengelolan sumberdaya hutan di daerah sedikit banyak memberikan inspirasi bagi praktek management hutan pada lahan di luar kawasan hutan negara. Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi
dilaksanakan pada lahan masyarakat
seluas 108.958 ha tetapi realisasi dari kegiatan tersebut sampai sekarang belum mencapai luasan tersebut karena adanya pemanfaatan untuk keperluan yang lain
22
seperti pertanian semusim. Pembangunan hutan rakyat pada awalnya terinspirasi dari kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang dilaksanakan oleh pemerintah baik khususnya pemerintah daerah dimana kegiatan tersebut selain berupaya memperbaiki kondisi lahan juga memberikan kesadaran pada masyarakat akan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas lahan melalui penanaman tanaman. Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat melalui penanaman tanaman tahunan. Kondisi ini didorong juga oleh adanya lahan masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal sehingga terbengkalai berupa lahan semak belukar dengan produktivitas yang rendah Pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan selama ini berupa pola kerjasama antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Dalam hal kerjasama antara masyarakat dengan PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). Pola kerjasama ini dianggap sebagai pola yang paling mungkin dilaksanakan bila mengingat kepentingan dari masing-masing pihak. Bagi perusahaan dengan adanya pembangunan hutan rakyat dapat memenuhi bahan baku pulp dan kertas. Sementara bagi masyarakat, kerjasama ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Namun ketimpangan dalam kepemilikan sumber daya antara masyarakat dan perusahaan, mengakibatkan masyarakat sebagai pihak yang sangat bergantung pada pihak lain. Posisi masyarakat selama ini hanya sebagai penyedia lahan saja sehingga hanya sebagai obyek dan bukan pelaku dalam pembangunan hutan rakyat. Apabila hal ini berlangsung terus maka semangat pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan hutan rakyat akan sulit terlaksana. Namun melihat potensi lahan yang masih besar yang dapat dijadikan lahan hutan rakyat dan kebutuhan akan kayu bagi industri memberikan peluang akan kemudahan dalam pemasaran sehingga masyarakat akan mudah dalam memasarkan hasil hutan rakyatnya, sedangkan bagi perusahaan akan mendapatkan pasokan bahan baku demi keberlanjutan produksi. Berdasarkan kondisi tersebut, pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan singingi khususnya di Kecamatan Logas Tanah Darat masih dapat ditingkatkan apabila dilakukan upaya-upaya pembenahan terhadap aspek strategis
23
pembangunan hutan rakyat. Penelitian ini mencoba merumuskan alternatif strategi dan program pengembangan hutan rakyat yang lebih baik.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi kendala dan masalah pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di kabupaten Kuantan Singingi. 2. Mengindetifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 3. Merumuskan strategi yang relevan dalam pengelolaan hutan rakyat dalam rangka mencipatakan pembangunan hutan rakyat yang berkelanjutan di Provinsi Riau.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi petani
hutan rakyat terutama mencari solusi permasalahan yang dihadapi selama ini. Bagi pengembang ilmu, studi ini bisa menambah khasanah Kajian Pembangunan Daerah (KPD), teruatam yang terkait dengan hutan rakyat. Sedangkan bagi pemegang kebijakan diharapkan dapat menjadi masukan guna pembenahan dan atau perbaikan strategi dan kebijakan pembangunan hutan rakyat yang lebih sustainable baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan dimasa mendatang.
24
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah tegakan hutan yang di miliki oleh masyarakat baik
secara individu maupun berkelompok yang berada pada lahan pribadi dengan status kepemilikan lahan yang bervariasi. Sementara Manajemen Hutan berkaitan dengan segala daya dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola tegakan tanaman hutan dengan melakukan suatu praktek sistem silvikultur mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemanenannya. Manajemen yang dilakukan paling tidak berkaitan dengan upaya untuk perbaikan kesejahteraan dan sekaligus memelihara ekosistem hutan. Bila dikaitkan dengan karakteristik partisipasi tersebut Martinus (2000) menjelaskan bahwa dalam pembangunan hutan rakyat: a. Masyarakat memiliki akses dan control terhadap lahan dan sumberdaya hutan; b. Memiliki kontrol terhadap keputusan lokal, dapat memiliki inisiatif sendiri, dan berusaha sendiri; c. Memiliki cara penyelesaian terhadap permintaan atas sumberdaya yang meminimalkan konflik; d. Memiliki hubungan yang bersifat komplementar dan sinergik diantara pemilik hutan; e. pembagian yang merata atas keuntungan yang berkaitan dengan hutan. 2.1.1 Bentuk Hutan Rakyat Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu : (1) Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur. (2) Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanan secara campuran.
25
(3) Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Disamping pola-pola tersebut terhadap beberapa model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan potensi daerah masing-masing untuk mengembangkan tanaman kayu pada lahan masyarakat seperti hutan rakyat getah merah (Palaquium gutta) di P. Lingga, pengelolaan Hutan Kemenyan di Kabupaten Toba Samosir, Hutan Damar Mata Kucing di Lampung Barat, dan hutan rakyat campuran yang didominasi oleh tegakan “boangin” (Casuarina ungbuniana). Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan hutan rakyat sudah membudaya dibeberapa daerah. 2.1.2 Peranan Hutan Rakyat Mengingat latar belakang sekarang pembangunan hutan rakyat, maka setiap kegiatan hutan rakyat selalu berhubungan dengan perbaikan aspek sosial ekonomi rakyat yang terlibat beserta aspek lingkungan fisik dimana hutan rakyat itu berada. Dua aspek ini merupakan dua kelompok yang saling mempengarui satu sama lain. Upaya perbaikan pada satu aspek saja dengan mengabaikan aspek yang lain tidak akan memberikan hasil. Tetapi upaya perbaikan satu aspek dengan memperhatikan aspek yang lain akan memberikan efek yang simultan/ saling mendukung satu sama lain. Purwanto (2004) menyatakan
bahwa hutan rakyat memiliki potensi
untuk : (1) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. (2) pemenfaatan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengelolanya menjadi lahan yang subur. (3) Peningkatan produksi kayu bakar dan penyediaan kayu perkakas, bahan bangunan dam alat rumahtangga. (4) Penyedia bahan baku industri seperti kertas, korek api, dan lain-lain. (5) Menciptakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan. (6) mempercepat rehabilitasi lahan kritis. Direktur BIKPHH (2006) menjelaskan bahwa sejalan dengan upaya pemberantasan illegal logging, Uni Eropa telah memberikan respon melalui Forest Law Enforcement Governence and Trade –Voluntary Partnership
26
Agreement (FLEGTVPA) bahwa Negara-negara di eropa masyarakat status legalitas produk hasil hutan bagi pengekspor produk hasil hutannya ke eropa. Hal ini tentunya juga membuka peluang bagi hutan rakyat untuk dapat lebih berkembang diwaktu-waktu yang akan datang.
2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat Berdasarkan ketentuan formal yang ada maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya didasarkan pada semangat desentralisasi melalui pelimpahan kewenangan dan administrasi pada pemerintahan daerah. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa serta instansi formal disektor kehutanan daerah dianggap lebih mengetahui potensi dan persebaran hutan rakyat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengurusan administrasi formal pembangunan hutan rakyat merupakan bukti dari semangat tersebut. Oleh karena itu efektivitas dan efisiensi peran daerah menjadi sangat penting untuk memfasilitasi, mengkoordinasi, dan meregulasi pengembangan hutan rakyat1. Sejalan dengan semangat desentralisasi, pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi juga sedang mencari bentuk administrasi pemerintahan daerah pada umumnya dan di sektor kehutanan khususnya. Dimana Kabupaten Kuantan Singingi merupakan kabupaten baru yang dibentuk tahun 1999 yang juga terinspirsi dari eforia pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah. Secara umum, luasnya kawasan hutan dan praktek pengelolan sumberdaya hutan di daerah sedikit banyak memberikan inspirasi bagi praktek management hutan pada lahan di luar kawasan hutan Negara. 2.1.4
Pola Pengembangan Hutan Rakyat Pola pengembangan hutan rakyat, pada prakteknya masih berjalan sampai
dengan saat ini baik dari aspek pelaksanaannya di lapangan serta kesediaan data realisasi kegiatannya. Hutan rakyat yang dilaksanakan melalui program lain 1
Peraturan Menteri No. P51/2006, P.62/2006 dan P.31/2007 melibatkan kepala bupati/walikota, desa dan dinas kabupaten/kota untuk melaksanakan administrasi formal hutan rakyat (penunjukan P@SKAU dan pemeriksaan lapangan dan rekomendasi potensi dan permohonan blanko SKAU ke Dishut Provinsi) di daerah
27
seperti GNRHI, penghijauan dan lain-lain tidak menjadi objek studi mengingat pada hutan rakyat dengan pola tersebut tidak terekam data yang pasti dilapangan. Studi hutan rakyat pada studi ini mengacu kepada praktek pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan secara intensif oleh masyarakat dan lembaga non pemerintah/swasta yang secara intensif dilaksanakan di lapangan. Perkembangan pembangunan hutan rakyat yang masih terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi mengindikasikan bahwa pola pembangunan yang ada akan menjadi tren ataupun pola yang akan dilaksanakan diwaktu-waktu yang akan datang. Untuk itu evaluasi terhadap pelaksanaannya merupakan upaya yang bermanfaat guna perbaikan dan pembenahannya di waktu yang akan datang. Berdasarkan data yang ada maka realisasi pembangunan hutan rakyat setiap tahun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Realisasi pembangunan Hutan Rakyat per Tahun 2009 di kabupaten Kuantan Singingi Kerjasama awal
Kerjasama baru
60.00
2 daur
6 daur
470.00
239.00
2 daur
6 daur
Sikijang
160.00
124.00
2 daur
Singaruntang Petapusan
Sigaruntang
140.00
70.00
2 daur
6 daur
5
PHBM Petapusan
Setiang
517.00
133.00
2 daur
6 daur
6
Teratak Baru
Teratak Baru
450.00
176.00
2 daur
6 daur
7
Gunung Melintang
Gn.Melintang
295.00
295.00
1 daur
6 daur
2,160.00
1,097.00
No
Nama HR
Lokasi (Desa)
Luas (ha)
1
HR Lubuk kKebun
Lubuk Kebun
120.00
2
HR Rambahan
Rambahan
3
HR Sikijang
4
jumlah
Jumlah peserta
Sumber : Departemen Planning PT. Riau Andalan Pulp and Paper
2.2 Desentralisasi Dalam Pengembangan Hutan Rakyat Beberapa definisi desentralisasi dalam kontek Indonesia pada dasarnya berkaitan dengan pergeseran manajemen, otoritas dan peran institusi,. Berdasarkan beberapa definisi maka dijelaskan bahwa desentralisasi adalah masalah “transfer manajemen” (Yuono, 2001), “pendelegasian wewenang” Usman
(2001)
sedangkan
Koswara
(2001)
mendefinisikan
sebagai
“Pendelegasian otoritas” berturut-turut dari pemerintah pusat kepada pemerintah
28
daerah, dari pemerintah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah. Sejak diimplementasikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, ada beberapa pergeseran administrasi pada banyak sektor kecuali ”Lima Sektor” yang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat yakni urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, pengadilan, moneter dan fiskal serta agama. Kedua undang-undang ini menentukan kebijakan baru yang berhubungan dengan pergeseran desentralisasi otoritas dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan keseimbangan fiskal antara tingkat pemerintahan. Usman (2001) mengklarifikasi lima prinsip dasar bagi desentralisasi yakni “Demokrasi, Keterlibatan, Masyarakat dan pemberdayaan, Kesetaraan dan Keadilan, Pengenalan akan potensi dan keberagaman dalam agama dan Penguatan Legistatif daerah” yang menjadi batas minimal dalam implementasi desentralisasi. Diantara beberapa sektor, sektor kehutanan adalah salah satu sektor yang didesentralisasi ke pemerintah daerah. Implementasi desentralisasi sektor kehutanan ini telah menyedot perhatian dari masyarakat baik dalam negeri maupun internasional yang mengharapkan perlunya implementasi yang baik dari aspek prosesnya2 a.
Desentralisasi Administrasi Ada beberapa perubahan peran dan tanggungjawab antara tingkat
pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota dalam manajemen sumberdaya hukum berdasarkan perspektif ini maka pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sehingga pelaksanaan/ petugas yang memiliki otoritas berada di lapangan yakni oleh pemerintah daeerah (Usman, 2001) Pemerintah provinsi memiliki peran ganda yakni merupakan daerah otonom sekaligus sebagai representasi dari pemerintah pusat di daerah. Pemerintah provinsi bertanggug jawab dalam mengelola beberapa aspek khususnya yang berkaitan dengan administrasi lintas kabupaten ataupun beberapa otoritas yang belum ditangani oleh pemerintah kabupaten (Usman, 2001)
2
Lembaga nasional dan internasional seperti Greenpeace, Uni Eropa, dan LSM dalam negeri telah banyak menyuarakan akan lemahnya penyelenggaraan managment hutan lestari sejak 2000 dan degradasi konservasi hutan seperti koncervasi Hutan Tanjung Putting (Lampung Post, April 26, 2006)
29
Kabupaten memegang peran dan tanggung jawab sebagaimana di tentukan dalam UU No. 2/1999 dalam batas wilayah. Dalam pelaksanaannya, ada kepentingan ekonomi dan politisi yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka memegang kontrol dan manajemen sumberdaya hutan yang mengakibatkan penataan ulang terhadap struktur institusional (Simarmata, 2000) dimana lebih jauh dijelaskan bahwa struktur pemerintah baru dan cenderung lebih memantapkan kebijakan kabupaten. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi/ menciptakan “ketegangan wewenang” antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. b. Desentralisasi Kehutanan Pembahasan tentang ketentuan formal yang terkait dengan sektor kehutanan sesungguhnya tidak dapat terlepas dari isu pergeseran kewenangan antara pemerintah daerah serta pendelegasian administrasi pemerintahan. Kehutanan adalah salah satu sektor yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah tentunya studi tentang hutan rakyat juga tidak terlepas dari semangat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan formal yang dibuat pemerintah sedikit banyak menujukan semangat yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka untuk memberikan wawasan tentang administrasi formal tentang hutan rakyat perlu penjelasan pendorong dan semangat pemerintahan daerah dalam menangani masalah sektor kehutanan. A. Pendorong Desentralisasi Kehutanan Sejelan dengan proses desentralisasi di Indonesia, terjadi tekanan pada pemerintah pusat untuk memantapkan kerangka pada system politik yang demokratis dan fungsi pemerintahan yang demokratis. (Usman, 2001). Proses ini mempengaruhi sektor kehutanan yang dicirikan oleh peran yang lebih pada pemerintah daerah terhadap manajemen sumber daya hutan. Salah satu tujuan yang paling utama dari desentralisasi adalah pelaksanaan administrasi dan pelayanan yang lebih efektif (Usman, 2001) yang menganggap bahwa pemerintah daerah lebih mengerti dan lebih responsif terhadap keinginan dari masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat. Usman (2001) menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 paling tidak ada dua prinsip utama yakni pemerataan dan keadilan
30
dan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang memperkuat semangat desentralisasi. Masyarakat lokal mengklaim keuntungan atas sumber daya hutan yang dieksploitasi di wilayahnya yang sebelumnya dianggap tidak fair dimana manajement hutan sebelumnya dianggap lebih menguntungkan pemerintah pusat. Karena hal ini maka dianggap perlu untuk memberikan kuota yang lebih akan sumberdaya hutan bagi daerah. Sehingga disentralisasi dijadikan momentum untuk memberikan legitimasi formal bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah secara lebih signifikan. Simarmata (2001) menyimpulkan bahwa desentralisasi paling tidak memberikan efek perubahan pada peraturan daerah, peningkatan pendapatan daerah, kontrol terhadap manajemen sumber daya alam dan pemerintah dan institusi lokal. Untuk itu berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 31/2002 tentang pemerintahan Daerah, desentralisasi manajemen hutan dilaksanakan melalui: - Desentralisasi melalui distribusi wewenang dan tanggung jawab pada peran dinas kehutanan provinsi dan kabupaten / kota. - Dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui unit pelaksana teknis dibawah Kementrian Kehutanan. - Tugas perbantuan oleh kehutanan daerah terhadap otoritas Kementrian Kehutanan. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan peningkatan peran pemerintah daerah dan pelimpahan wewenang pada pemerintah daerah yang lebih rendah. Hal ini dilaksanakan guna melaksanakan peran-peran baru dari pemerintah daerah untuk malaksanakn upaya-upaya yang berkaitan dengan kebijakan dan peraturan serta pemberdayaan masyarakat. B.Penciptaan Peraturan Daeerah Akibat dari peningkatan peran dan tanggung jawabnya, pemerintah daerah harus mengelola administrasi publiknya. Hal yang paling nyata dari peningkatan ini adalah perubahan-perubahan melalui penciptaan peraturan daerah khususnya
31
yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang nampaknya menjadi topik utama diskusi antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat3 Tujuan yang nyata dari penciptaan peraturan daerah adalah untuk meningkatan pendapatan daerah (Saad, 2001) dimana “penciptaan peraturan berkaitan dengan pajak lokal dan levie namun tidak mempertimbangkan income dan asset”. Lebih jauh Usman (2001) menyatakan bahwa otonomi lebih berkaitan dengan “otoritas untuk mengelola dan peningkatan pendapatan” yang dilakukan oleh pemerintah daeah sebagai indikasi keberhasilan implementasi proses desentralisasi. Walaupun sampai saat ini masih terdapat masalah yang berkaitan antara peningkatan pajak dan levi dengan penyediaan layanan oleh pemerintah daerah (Usman, 2001). Simarmata (2000) menyimpulkan bahwa paling tidak 6000 peraturan daerah telah diterbitkan oleh 368 kabupaten dimana 3000 diantaranya telah dan dalam revisi karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Lebih jauh studi yang dilakukan oleh Chistanty (2004) disebutkan bawa kurang lebih 340 peraturan daerah ditahun 2001 dari 28 provinsi dianggap tidak konsisten dan bahkan menyalahi aturan yang lebih tinggi yakni sebanyak 35 (10 %) sampai serius, 144 (42 %), dan 58 (17 %) agak serius. 2.2.1 Kebijakan Pembangunan Hutan Berkaitan dengan management hutan oleh pemerintah, sebagai mana dijelaskan Perencanaan Kehutanan Nasional menetapkan kebijakan utama disektor kehutanan yakni pemberantasan illegal logging, pencegahan dan mangemen kebakaran hutan, rekstrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan desetralisasi sektor kehutanan4. (Wardoyo, 2004) menyatakan bahwa kebijakan kehutanan sejak 1999 mengarah pada praktek maneagemen hutan yang sejalan dengan prinsip kelestarian sebagai respon pada kesepakatan nasional dan internasional dalam management sumberdaya hutan. 3
4
Adanya beberapa negosiasi antara beberapa pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terhadap sumber daya alam yang dimiliki walaupun secara formal telah peraturan yang menetapkan tentang hal tersebut. Hal ini biasanya terjadi pada daerah-daerah yang memliki kekayaan alam yang banyak. (contoh: Pemerintah Kalimantan Tengah tentang Eksploitasi Hutan). Program Perencanan Pembangunan Kehutanan (Departemen Kehutanan)
32
Kebijakan ini ditunjukan dalam Peraturan MentriNo.576/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator Manajement Sumberdaya Alam yang Lestari Peraturan Menteri No. 610/1993 yang menetapkan kriteria dan indikator bagi Manajemen Sumberdaya Hutan Lestari pada tingkat unit. Implementasi manajemen hutan terdiri dari manajemen hutan, penyusunan perencanaan manajemen hutan, perencanaan pengusahaan hutan dan perencanaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.34/2002 dimana implementasi pengusahaan hutan yang lestari adalah syarat utama dalam perpanjangan ijin pengusahaan hutan sebagaimana dicantumkan pada Ayat 50. untuk itu, pemerintah melakukan penilaian pada kinerja managemen hutan pada konsesi sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat 1. Penilaian
kinerja
manajemen
hutan
pada
konsesi
dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Menteri No. 4795/2002 dan No.206/2002 dimana menentukan kriteria dan indikator bagi pengusahaan hutan alam yang lestari. Sementaara penilaian kelestarian hutan tanaman dilaksanakan dalam Peraturan Mentri No.177/2003 dan No.178/2003 dimana masing-masing menetapkan kriteria dan indikator dari kelestarian pengusahaan hutan tanaman. Sistem konsesi yang telah dilaksanakan sejak 1970 memungkinkan pemegang konsesi untuk memungut kayu di hutan (Christanty, 2004) dimana hal ini menjadi cikal bakal skema pengusahaan hutan di Indonesia. Dimana dalam pelaksanaannya kepada pemegang diwajibkan menyusun Rencana Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahunan dan Rencana Karya Tahunan dibawah bimbingan dan arahan dari Pemerintah (Dinas Kehutanan). Untuk mangontrol pemintaan kayu dari hutan, penilaian Industri Pengolahan Kayu Hulu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 pasal57 ayat 2 dan 3 dilaksanakan tiap 3 tahun yang menilai kinerja industri kehutanan dan menetapkan prosedur dan kriteria penilaian industri kehutanan. Menunjuk pada pasal 57 Peraturan Mentri No. 6884/2002 dan No. 303/2003 menetapkan kriterian dan prosedur evaluasi industri kehutanan dan prosedur penilaian industri kehutanan. Namun sejalan dengan semangat desentralisasi maka sesuai ketentuan…..maka
kepada
Industri Pengolahan Kayu hanya
diwajibkan
melaporkan kepada pemerintah tentang rencana produksinya sebagaimana
33
tertuang dalam (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri). Hal ini merupakan perubahan kebijakan yang ditunjukan untuk mempermudah ketentuan perijinan oprasional industri disektor kehutanan. 2.2.2 Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat Pembangunan hutan rakyat pada awalnya adalah merupakan strategi pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam dalam bentuk eksploritasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Departemen kehutanan mengagendakan bahwa tahun 2010 -2024 akan melakukan penanganan hutan rakyat secara lebih serius. Kebutuhan bahan baku industri kehutanan yang mencapai 80 juta m3 pertahun masih jauh dalam kemampuan hutan Negara untuk memenuhinya yakni baru sebesar 25 juta m3 pertahun5. Lebih jauh ditetapkan bahwa pola kemitraan yang telah dibangun (seperti:di Bandar Lampung sejak tahun 2007) dan akan dilaksanakan sebagai pilar utama yakni : kelompok tani hutan rakyat, pengusaha industri kehutanan dimana pemerintah baik berupa pola kemitraan umum maupun kemitraan inti plasma akan menjadi perhatian utama pemerintah. Disamping itu, akan difokuskan kebijakan yang mendukung berdirinnya sentra-sentra industri kehutanan dan basis data tentang hutan rakyat. Namun dalam prespektif yang lebih luas, proses penurunan kualitas hutan yang terus berlangsung selama ini di sebabkan oleh illegal logging, perambahan, kelangkaan bahan baku industri, dan penurunan kualitas ekosistem hutan, serta isu kesejahteraan
masyarakat
sekitar
yang
menyebabkan
pemerintah
harus
memformulasikan program-program prioritas untuk mengatasinya. Sementara (Purwanto,2004) menyatakan bahwa pembangunan hutan rakyat terinspirasi dari kisah sukses dari proyek kegiatan penghijauan dalam penanganan lahan kritis. Kemudian manfaat ekonomi yang telah dirasakan oleh masyarakat peserta penghijauan memberikan inspirasi bagi mereka untuk mengembangkan sendiri budidaya tanaman kehutanan sehingga berkembang sentra-sentra hutan rakyat. Namun dari dua latar belakang tersebut memiliki persamaan atau satu isu sentral
5
Publikasi dari Departemen Kehutanan pada 23 juni 2009 (pukul 07 : 51): Dephut Agendakan Penanganan Hutan Rakyat”(Dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat Provinsi lampung).
34
yakni kesejahteraan masyarakat.Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat merupakan cikal bakal upaya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kebanyakan permasalahan kehutanan adalah berpangkal dari isu kesejahtraan masyarakat sekitar hutan. Dimana taraf hidup masyarakat yang masih bersifat subsisten mengakibatkan tekanan yang besar terhadap karena hutan dianggap sebagai sumberdaya yang paling dekat dan berada di lingkungannya. Berpijak dari isu utama tersebut maka pemerintah mencanangkan program pemberdayaan masyarakat desa hutan. Dan program pembangunan hutan rakyat adalah salah satu perwujudannya. Disisi lain, kebijakan ini sekaligus memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat dalam upaya keberlangsungan industri kehutanan, penurunan illegal logging, perambahan dan sekaligus peningkatan kwalitas ekosistem hutan. Syahadat (2006) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai 3 (tiga) yaitu: a. Fungsi konservasi, b. Fungsi Lindung, dan c. Fungsi produksi. Sedangkan pemanfaatan hutan rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu, b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan c. Pemanfaatan jasa lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut maka pengembangan hutan rakyat dimungkinkan budidaya tanaman hutan sebagai penghasil kayu sekaligus hasil hutan ikutan seperti buah, bungan, lebah, resin dan lain-lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa pasal 15, ayat (2), Peraturan Mentri Kehutanan No. P.26/2005 menyataka bahwa pemanfaatan hutan hak/rakyat yang berfungsi produksi dapat berupa : a. Pemanfaatan hasil hutan kayu; b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan c. pemanfaatan jasa lingkungan. Kebijakan ini kemudian disusul dengan ketentuan penataan hasil hutan dari hutan hak oleh pemerintah .hal ini dilakukan untuk memberikan melindungi hak-hak masyarakat atas hasil hutannya, memberikan jaminan legalitas kepada pihak-pihak yang mempergunakan hasil hutan dari hutan hak serta sebagai pembeda dengan hasil hutan yang berasal dari hutan negara. Namun mengingat kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat baik perseorangan maupun kelompok maka penatausahaan hasil hautan dari hutan hak ditetapkan ketentuan formal yang lebih sederhana dibandingkan dengan peñatausahaan dari hutan Negara.
35
Kebijakan pembangunan hutan rakyat setidaknya mempertimbangkan dua aspek utama yaitu legalitas lahan dan jenis tanaman yang diusahakann. Sesuai pasal 2 P. 51/2006, legalitas lahan ditetapkan berdasarkan ketentuan kepemilikan lahan yang dibuktikan atas title/hak atas tanah sementara Pasal 4 menetapkan jenis tanaman dianggap sebagai hasil upaya budidaya masyarakat. Semangat yang menjadi dasar pembangunan hutan rakyat mengacu pada ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam P.51/2006 adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya terhadap masyarakat yang memiliki area yang secara formal memiliki setatus kepemilikan terhadap lahannya. Lahan tersebut sesuai Pasal 1 butir c menyatakan bahwa lahan masyarakat merupakan lahan perorangan atau masyarakat diluar kawasan hutan Negara berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun. Sehingga hutan rakyat juga merupakan hutan hak. Sesuai pasal 1 butir a. ditetapkan bahwa Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan (hutan Negara) dan dibuktikan dengan alas title atau hak atas tanah. Guna dilaksanakan
mencapai
semangat
melalui
peningkatan
ketentuan
ini
kesempatan
maka kerja
implementasinya dan
peningkatan
produktivitas lahan. Guna menjamin status kepemilikan terhadap hasil hutannya, ditetapkan dokumen kepemilikan hasil hutan dari hutan rakyat yang berupa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dimana ketentuan ini merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah No. 34/2002 penerapan SKAU ini dimaksudkan sebagai upaya penerapan peredaran hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 P.51/2006 Kegiatan pembangunan hutan disamping aspek lahan sesungguhnya berkaitan dengan jenis tanaman yang diusahakan. Mempertimbangkan perlunya ketentuan yang mengatur penggunaan SKAU, pemerintah menetapkan jenis yang mempergunakan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan dari hutan hak dari jenijenis baru dari daerah yang mempergunakan SKAU setelah terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari Departemen Kehutanan. Terbukanya usaha dari daerah mengenai jenis tanaman hutan rakyat yang dapat diusahakann disebabkan
36
oleh keterbatasan data base yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan mengenai sebaran dan jenis tanaman pada hutan rakyat di daerah6. Namun untuk jenis-jenis tanaman yang sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi bahan konsumsi (makanan) dankebutuhan kayu masyarakat maka pengangkutannya mempergunakan Nota yang diterbitkan penjual sebagaimana ditetapkan Pasal 10.a. P.33/2007. Untuk jenis-jenis yang ditetapkan dalam P.51/2006 pada awalnya berpedoman pada Keputusan Mentri Kehutanan No. 126/2003 yang selama ini diterapkan pada pengusahaan hutan Negara. Namun mengingat ketentuan tersebut dirubah dengan menambahkan kode “KR” yang merupakan inisial Kayu Rakyat. Ketentuan ini untuk mengidikasikan bahwa untuk jenis-jenis yang belum dianggap /diatur sebagai kayu tanaman pada hutan rakyat masih terdapat kewajiban pemenuhan kewajiban kepada Negara berupa Provinsi Sumber Daya Hutan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk jenis-jenis yang lain yang belum ditetapkan sebagai jenis-jenis tanaman pada hutan rakyat merupakan tegakan alam yang tumbuh secara alami sehingga merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Negara. Pemerintah daerah pada tingkat desa memegang peranan penting dalam menentukan legalitas status lahan dan tanaman yang hendak dimanfaatkan dalam hutan rakyat. Sesuai dengan Pasal 5 P.51/2006, Pejabat Daerah di Desa (Kepala Desa/Lurah) diangkat sebagai penerbit Dokumen SKAU. Penetapan Pejabat Daerah sebagai asessor dalam pemanfaatan hutan rakyat didasarkan pada anggapan bahwa Pejabat Daerah adalah pihak yang paling mengetahui atas status hutan rakyat ditempatnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kebenaran praktek pemanfaatan hasil hutan dari hutan rakyat7
6
Lampiran P.33/2007 menetapkan jenis kayu rakyat yang dapat diangkut mempergunakan Blanko SKAU dan terdapat ketentuan jenis-jenis tertentu yang dap dianggap sebagai jenis tanaman yang berasal dari hutan rakyat. Hal ini didasarkan pada karakteristik jenis0-jenis tanaman pada msingmasing daerah (ie. Bayur (Pterospermum javanicum ), Terap (Arthocarpun elasticus) dan Medang(Litsea sp) hanya diakui di Provinsi Sumatera Barat. Namun sebaliknya terdapat jenisjenis yang tidak dianggap sebagai tanaman rakyat)ie. Jati (Tectona grandis ) dan Mahoni (Swietenia sp) yang tidak berlaku di Banten, Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Sulteng, NTT dan NTB. 7 Pasal 5.P.51/2006 menetapkan bahwa Kepala Desa /Lurah diangkat sebagai Pejabat Penerbit Dokumen SKAU yang diangkat oleh Bupati/ Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten / kota.
37
2.2.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesungguhnya didasari pada paradigma pemberdayaan masyarakat walaupun masih terdapat kendala dan masalah dalam aplikasinya serta terdapat variasi keterlibatan masyarakat karena adanya variasi sumberdaya yang dimilikinya. a.
Isu Pemberdayaan Masyarakat Disamping upaya peningkatan pendapatan daerah, desentralisasi juga
dianggap sebagai dinggap sebagai kesenpatan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Usman (2001) menyatakan bahwa dua diantara lima prinsip dasar dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan dan peningkatan pemerataan dan keadilan. Walaupun dalam praktekya masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pemberdayaan masyarakat karena desentralisasi dalam kasus tertentu masih tetap menghambat pemberdayaan masyarakat karena adanya dominasioleh elit-elit di Daerah(Simarmata, 2000). Walaupun begitu disisi lain banyak LSM nasional dan daerah telah menyesuaikan kepentingan masyarakat melalui kritik terhadap praktek administrasi pemerintah dan eksploitasi sumberdaya alam yang memberikan manfaat bagi perbaikan governance, akuntabilitas, keadilan dan lainlain. b. Spektrum Partisipasi Dalam menjelaskan pertisipasi masyarakat dalam manajemen hutan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui peran dan posisi masyarakat pelaksanaan pembangunan hutan masyarakat baik secara individu, posisinya dalam komunitasnya maupun peran dan posisinya dalam proses kerjasama dengan pihak lain. Karena rakyat secara indipidu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat maka peran dan posisi rakyat dan komunitasnya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk itu maka pembangunan hutan rakyat sesungguhnya harus dilihat dalam konteks proses partisipasi yang terjadi. Martinus (2000) menyatakan ada tujuh tipe partisipasi berdasarkan (Hobley, 1996) yakni: 1. Keberadaan masyarakat dalam badan tersebut tidak dipilih dan tidak memiliki kewenangan (manipulative participation);
38
2. Masyarakat hanya diberitahu apa yang telah diputuskan melalui pengumuman oleh administatur (passive participation); 3. Masyarakat dipintai pendapatnya namun analisis dan keputusan dibuat oleh pihak luar (participation by consultation); 4. Masyarakat mengeluarkan sumberdaya berupa (yaitu lahan dan tenaga) dan memperolah penghasilan, makan dan intensif lain tetapi mereka tidak dapat memperpanjang
intensif
yang
diterima
bila
partisipasinya
berakhir
(participastion for material incentives); 5. Masyarakat dapat memberikan jawaban atas tujuan program yang dibuat oleh pihak luar (funcional participation); 6. Masyarakat terlibat dalam proses analisis, perumusan rencana dan pembentukan dan penguatan institusi lokal. Partisipasi adalah hak dan bukan alat untuk mencapai tujuan. Satu kelompok memegang control atas keputusan dan sumberdaya dan berperan dalam mempertahankan keberlangsungan pola partisipasinya dan prakteknya (interactive participation); 7. Inisiatif masyarakat secara mandiri dimana kontak dengan pihak luar didasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Meereka menentukan atas keputusan dan sumberdaya yang depergunakan (self mobilization); Lebih
jauh
Martinus
(2000)
menjelaskan
bahwa
Inoue
(1998)
mengklasifikasikan partisipasi masyarakat dengan pihak luar dalam proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat sebagai tenaga kerja yang diupah, sukarela, penyedia dana, dan lain-lain (participatory to-down approach); 2. Perencanaan dibuat oleh pihak luar dan masyarakat melaksanakan dan setiap perubahan atas rencana dilakukan melalui diskusi, seminar dan lain-lain (professional-guided participatory approach); 3. Proses belajar dimana professional berperan sebagai fasilitator Martinus (2000) menyatakan bahwa tiga kategori ini merupakan penyederhanaan dari tujuh partisipasi sebagaimana tersebut di atas. Dimana participatory to-down approach meliputi : manipulative participation,passive participation, participation by consultation and participation for material incentives, Propessional-guided participactory approach meliputi: fungsional
39
participation dan the endogenous bottm-up approach meliputi: interactive participation and self-mobilization.
1.
Status dan Kepemilikan Lahan Istilah area hutan berdasarkan UU No. 4/1999 memberikan otoritas kepada
Kementrian Kehutanan untuk menerapkan manajemen hutan pada kawasan hutan. Sebelumnya istilah kawasan hutan diterapkan untuk memantapkan area hutan melalui koordinasi yang melibatkan beberapa sektor yang terkait dan tingkat pemerintahan untuk memformulasikan kawasan hutan definitive melalui Integrasi dan harmonisasi tata ruang Provinsi (RTRWP) dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Kawasan hutan didefinisikan sebagai areal ditata dan diatur oleh pemerintah dimana kawasan hutan sebagaimana dijelaskan dalam bagian 2 pasal 5 berupa Hutan Negara dan IUPHHK. Hutan rakyat sesungguhnya berada di luar kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang tersebut namun penetapan RTRWP menjadi hal yang krusial untuk menetapkan legal status dari lahan hutan rakyat. Namun dalam studi ini yang dibahas adalah kawasan hutan yang diluar kawasan hutan Negara yakni areal yang memiliki alas title atau hak yang dimiliki oleh masyarakat atau badan tertentu yang disebut dengan Hutan Hak/Rakyat. Dalam hal ini pemerintah menerapkan peraturan formal tentang manajemen hutan hak yang dikeluarkan oleh Instansi Sektoral Pemerintah. Dalam implementasinya instansi sektoral baik di pusat maupun di daerah secara aktif menerapkan sistem administrasinya dengan melibatkan peran instansi non sektoral di daerah baik di tingkat pemerintahan desa, kecamatan maupun kabupaten sebagai pemegang otoritas di lapangan. Verifikasi legalitas pelaksanaan pembangunan hutan rakyat sangat ditentukan oleh peran dan integritas pemegang otoritas di daerah karena dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi baik de-fakto maupun de-jure terhadap permohonan pembangunan hutan hak. Otoritas tidak mensyaratkan perijinan bagi pembangunan hutan rakyat tetapi bersifat klarifikasi hak atas tanah bagi pelaksana. Namun pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan atas hutan
40
rakyat masih diawasi dan dibawahi pembinaan pemerintah dan instansi sektoral di daerah. Lebih jauh dalam praktek di lapangan, keberadaan hutan rakyat dan hutan adat sering dipertukarkan keberadaannya untuk kepentingan tertentu khususnya berkaitan dengan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak luar (perusahaan). Walaupun UU No. 41/1999 mengatur mengenai keberadaan hutan adat sebagaimana dituangkan dalam bagian 2 Ayat 5 tetapi pembuktian keberadaannya merupakan hal yang sulit. Hal ini disebabkan keberadaan hutan adat8 tidak tertulis dan merupakan warisan dari generasi ke generasi yang kadang-kadang tidak secara utuh ditransformasikan / dilimpahkan kepada komunitasnya karena adanya perubahan susunan komunitas karena perpindahan penduduk dan masuknya pendatang dari luar.
2.
Manajemen Hutan Manajemen hutan adalah suatu bentuk manajemen yang khusus yang
menggabungkan antara manajemen pembangunan dengan aplikasi teknologi yang mengadaptasi kondisi alam dan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Untuk itu pemahaman tentang fungsi dan klarifikasi hutan serta aplikasi sistem silvilkultur adalah sesuatu modal dasar yang harus dikuasai.
3.
Fungsi dan Klasifikasi Hutan Manajemen hutan berhubungan dengan upaya mengelola sumber daya
hutan yang sesuai dengan tujuan dari suatu perencanaan melalui implementasi beberapa kegiatan. Nugroho (2002) menyatakan bahwa manajemen hutan berhubungan dengan aplikasi aspek teknis yang sesuai terhadap tegakan hutan yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan. Manajemen hutan dilaksanakan berdasarkan konsep kelestarian fungsinya yakni konservasi, perlindungan dan pengusahaan. Fungsi konservasi dan perlindungan dilaksanakan melalui pemeliharaan dan peningkatan keberadaanya sementara pengusahaan hutan dilaksanakan berupa ekstraksi atas maksimum tiap 8
Hutan adat adalah hutan dalam wilayah suatu komunitas tertentu sebagai bagian siklus hidup komunitas tersebut (Raden B. and Nababan A, 2003. at http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/Pengelolaan _Hutan_Berbasis.html at July 20, 2006)
41
dari produksi hutan. Berdasarkan istilah fungsi hutan kebijakan manajemen hutan telah diterapkan beberapa kebijakan yang menentukan administrasi dan praktek terhadap sumber daya hutan. Menurut UU No.41/1999 ,fungsi hutan diklasifikasikan sebagai fungsi perlindungan, preseropasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan konservasi ditunjukan untuk mempertahankan tumbuhan dan satwa yang ada di hutan tersebut dan memelihara ekosistemnya. Hutan lindung ditunjukan sistem penyangga kehidupan, memelihara sistem air, mencegah banjir, kontrol erosi, pencegahan intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah. Hutan produksi difungsikan sebagai produksi hasil hutan yang terdiri dari hutan tetap, hutan produksi terbatas, hutan konversi. Fungsi-fungsi hutan tersebut didasarkan pada klasifikasi yang ditentukan oleh kelerengan, sensifitas erosi dan tingkat curah hujan9. Dalam prakteknya pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan lebih berpedoman kepada menejemen fungsi hutan produksi yakni menghaslkan hasil hutan kayu. Aspek-aspek lainnya dari kondisi fisik dan lahan pada hutan rakyat seperti asfek konservasi dan preservasi tidak/ kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari praktek system silivikultur yang diterapkan yakni berupa Sistim Silvikultur Tebang Habis (THPB). Walaupun secara fisik, masih perlu beberap pertimbangan yang mempertimbangkan aspek-aspek yang lain dari menejemen hutan.
4. Sistem Silvikultur Dalam praktek menejemen hutan,dikenal istilah system silvikultur yang mengelola tegakan tanaman. Ada beberapa definisi silvikultur namun yang paling umim adalah ditekankan pada fungsi hutan dan pemeliharaan ekosistemnya. Smith (1986) menyatakan bahwa sivikultur menerapkan perlakuan terhadap tegakan dalam rangka memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan sementara Nyland (1996) menekankan pada kelestarian hutan pada :Fungsi Ekologi” dan “Ekosistem Hutan”. Dalam study ini, sistem silvikultur yang
9
Definisi Bahan Planologi Kehutanan
42
dilaksanakan adalah bertujuan untuk mengelola tegakan untuk menghasilkan kayu dengan tetap mempertahankan fungsi ekologinya. Beberapa definisi silvikultur dapat dijelaskan sebagai berikut: -
Praktek sivikultur adalah aplikasi berbagai perhatian terhadap tegakan hutan untuk memelihara dan meningkatkan pengusahaan untuk berbagai tujuan (Smith, 1986)10
-
Silvikultur memasukan fungsi ekologi pada jangka panjang dan kesehatan dan produktifitas ekosistem hutan (Nyland, 1996)11
-
Silvikultur
adalah
seni
dan
ilmu
untuk
mengontrol
kemantapan,
pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan untuk mencapai berbagai tujuan sumberdaya hutan12 -
Silvikultur
adalah
seni
dan
ilmu
untuk
mengontrol
kemantapan,
pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai sipemilik dan masyarakat dalam rangka kelestarian13 Umumnya sistem silvikultur menerapkan program perencanaan yang mengelola sepanjang umur tegakan untuk mencapai tujuan tertentu seperti produksi kayu, pengembangan satwa, kualitas air, rekreasi dan estetika ataupun gabungan diantaranya. Namun secara umum aspek yang menjadi pertimbangan utama adalah produk hasil hutan dan regenerasi tegakan hutan. Berdasarkan komposisi umum tegakan, ada dua tipe tegakan hutan dalam praktek manajeman hutan di Indonesia yakni hutan seumur (even-aged-stand) dan tidak seumur (uneven aged stands).berdasarkan tingkat intervensi manusia, Evan (2000) mengklasivikasi sumberdaya hutan sebagai tegakan tidak terganggu (undisrubed forest), hutan yang dimodifikasi (semi natural forest) dan hutan tanaman (forest plantation). Hutan buatan dilaksanakan dengan melakukan 10
“Sivikultural practice consists pf the varios treatments that may be applied to forest stand to maintain and enhance their utilityfor any purpose” David M Smith (1986) 11 “Silviculture also ensures the long-term continuity pf essential ecilogic functions, and the health end productivity of forested ecosystems’ Ralph Nyland (1996) 12 “Silviculture is the art end science of controlling the establishment ,growth, coposition, and quality of forest vegetation for the full range of forest resource objective” pada http://www.for.gov.bc.ca/hfp/training /00014/chap1frt.htm 13 “Silviculture is the art and science of controlling the establishment, growth,composition,health, and quality of forests meet diverse needs values of landowners and society on a sustainable basis”
43
aforestasi atau reforestasi (Evan, 2000) dengan melakukan penanaman pada lahan hutan. Ada beberapa sistem silvikultur yang digunakan seperti penebangan sistem jalur (stip clear cut system), penebangan system blok (blok clear cut system),dan lain-lain
14
.Tegakan hutan ini secara umum dicirikan oleh tegakan yang seumur
dengan jenis yang sama pada satu petak sebagai bagian dari konsesi. Di Indonesia, tegakan seumur terdapat pada hutan tanaman dengan sistem tebang hasil dan permudaan buatan. Umumnya hal ini terjadi setelah perlakuan regenerasi tertentu melalui replanting, coppicing, dan lain-lain dimana dimaksudkan untuk mencapai kondisi monakultur (satu jenis species tanaman). Tegakannya memiliki ukuran/ dimensi yang relative seragam “bell-shape diameter distribution” dengan sebagian kecil tegakan yang seragam dibawah ratarata diameter seluruh tanaman. Dalam tegakan seumur dikenal adanya rotasi yang menentukan siklus dan regenerasi tegakan sebagaimana ditetapkan dalam rencana manejemen hutan. Beberapa ciri tegakan seumur adalah memiliki satu kelas umur, memiliki canopy dan ketinggian yang seragam15. Sementara tegakan tidak seumur diciptakan oleh kelas umur radom dalam tegakanya seperti “multi-cohort” atau all-aged” atau jika ada kelompok kecil bagian yang seumur. Distribusi umur tegakan dipenuhi oleh siklus gangguan yang bersifat radom yang menyebabkan kematian yang terbesar “scattered mortality” yang membuat distribusi kelas umur yang tersebar dalam seluruh tegakan. Masing-masing tegakan bersaing memperoleh cahaya, bertahan dari gangguan angin, hama dan penyakit,. Dalam kontek Indonesia hutan alam dari hutan buatan cenderung bersifat tegakan tidak seumur. Manajemen
hutan
alam
menerapkan
diantaranya
pengurangan
keberagaman hutan sehingga tegakan menjadi lebih mudah diprediksi keadaannya dalam hal pembangunan tegakan atau “stand development” dan melalui terobosan “regenerasi cutting” supaya memberikan kesempatan regenerasi secara terus menerus. Definisi tegakan tidak seumur dicirikan oleh adanya lebih dari satu kelas
14 15
Devinisi dapat diperiksa pada http://www.for.gov.bc.ca/htf/training/00014varclear.htm#clear) Definisi tegakan seumur : “Even-aged stands generally have one age class, although two age classes can be found in some two-layered natural or managed stands. These stands generally have a well-developed canopy with a regular top at uniform height” (http://www.for.giv.bc.ca/hfp/training/00014/chap1frt.htm)
44
umur, tinggi, dan diameter yang terdistribusi berupa seedling sapling, pole dan pohon16. Dalam manajemen hutan ada dua tipe sistem sivikultur yang diterapkan dikenal sistem tebang pilih dari sistem tebang habis dengan sistem pemudahan buatan. Kedua sistem silvikultur ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Sistem tebang pilih diterapkan pada hutan yang merupakan tegakan klimak. Tingkat pemanenannya didasarkan pada batas tiap tegakan hutan. Tingkat ekploitasididasarkan pada batas tingkat tiap dari tegakan hukum supaya tegakan yang masih tinggal masih dapat tumbuh dan mencapai hutan klimak melalui proses alami. Tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada lahan hutan yang dimulai dari penanaman jenis pohon hutan dimana secara fisik sesuai dengan kebutuhan
bahan
baku
industri
ataupun
keuntungan
ekonomi
melalui
pemeliharaan dan nilai tegakan. Kepentingan fisik dan ekonomi menentukan jenis dan siklus/ rotasi penanaman hutan. Hal ini mengarah pada pemilihan jenis yang biasanya bersifat cepat tumbuh dan secara ekonomi bernilai tinggi bila dipasarkan baik kepada industri maupun pemanfaatan lainya. Rotasi jenis tanaman menentukan ukuran hutan/konsensi dan jumlah petak yang dibuat guna menetapkan
tingkat
pemanenan
minimal
yang
secara
ekonomi
masih
menguntungkan pada setiap tahunnya pada petak-petak secara bergiliran sampai kembali kepada petak semula. 2.2.4 Manajemen Hutan Lestari Didalam sektor kehutanan ada konsep yang berhubungan dengan kelestarian dalam pengelolaan hutan. Penilaian yang dilakukan dalam manajemen hutan tersebut berhubungan dengan kemampuan/ upaya untuk mengelola tegakan hutan sehingga terdapat keberlangsungan kegiatan persiapan lahan., penanaman, pemeliharaan dan pemanenan secara kontinyu sepanjang tahun. Dan pada gilirannya keberlangsungan pengelolaan tegakan hutan memberikan dampak pada
16
Definisi tegakan tidak seumur “uneven-aged stands have at least thee well-represented and well-defined age classes, differing in height, age,and diameter. Often these classes can be broadly defined as : regeneration (or regeneration and sapling), pole, and maure (or small and large sawn timber” (http//www.for.gov.bc.ca/hfp/training/00014/chap1frt.htm))
45
pelestarian ekosistem dan pembangunan ekonomi dan kultur pengelolanya yang dalam hal ini adalah masyarakat pengelola hutan rakyat. Sejalan dengan tujuan dari
studi
ini
maka
kelestarian
dimaksudkan
untuk
memformulasikan
keberlangsungan paengusahaan, kemantapan lahan , dan sumber daya hutan rakyat, kontinyuitas pemanfaatan dan peredaran hasil hutan dari hutan rakyat dan peningkatan sosial ekonomi rakyat. Untuk memperluas wawasan tentang manajemen hutan, dicoba dijelaskan tentang definisi dan prinsip pengelolaan hutan lestari. 1) Definisi Menejemen Hutan Lestari Seperti sektor kehutanan, hutan rakyat seharusnya mempergunakan prinsip kelestarian pembangunan. Konsep kelestarian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai keseimbangan antara tiga peran sumberdaya hutan yakni berhubungan dengan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Namum aspek lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dengan maksud untuk menjaga dua aspek lainnya. Mekanisme ini secara alami berlangsung seperti itu dan bukannya sebaliknya. Menurut ITTO, definisi menejemen hutan lestari mendefinisikan bahwa : Manajemen hutan lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang jelas dari manajemen yang berhubungan dengan produksi yang kontinyu dari produk dan layanan hutan tertentu tanpa mengurangi nilai hutannya dan produksi diwaktu yang akan datang tanpa mengabaikan dampak negative terhadap lingkungan fisik dan sosial17 Penjelasan lebih lanjut tentang pembangunan lestari (Gregopoulus, 2002) mendefinisikan pada aspek sosial manusia sepenuhnya dimana dalam hal ini menyangkut: pemberantasan kemiskinan, stabilitas populasi, penciptaan lapangan kerja, hak azazi manusia
dan lain-lain yang harus disusun dalam kerangka
pembangunan lestari. 2) Prinsip Manajemen Hutan Lestari
17
Depinisi ITTO tentang menejemen Hutan Lestari adalah : Sustainable forest management is the processof managing forest to achieve one or more clearly specified objectives of management with regard to the productin of a continuous flow of desired forest products and services without undue reduction of its inberent clues and future productivity and without undue undesirable effects on the physical and social environment”
46
Sample et al (1996) menyatakan bahwa ada cara untuk melihat menejemen
hutan
yang
mempertimbangkan
konsep
kelestarian
dimana
menunjukan pergeseran bagaimana cara mengelola sumberdaya hutan yang tidak hanya memfokuska pada produksi kayu tetapi juga memelihara kualitas ekosistem. Konsep kelestarian manajemen hutan dimulai dengan mengelola proses biologi dengan kepentingan sosial ekonomi dari pihak-pihak yang sesuai dengan dimensi tempat dan waktu. Menejemen hutan memperkuat produktivitas sumberdaya hutan atau hasil hutan lestari dengan melaksanakan silvikultur untuk menjaga dan meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini dilakukan untuk mencegah gangguan social ekonomi yang terkait dengan definisi sumberdaya hutan melalui karakteristik pengusahaan yang terbaharukan dari sumberdaya hutan. Dalam konsep pengusahaan hutan, manajemen hutan sebagaimana didefinisikan oleh Sample et al (1996) menunjukan bahwa sumberdaya hutan dikelola untuk memproduksi hasil secara periodik dalam aspek volume kayunya. Dalam manajemen ini tidak dimaksud untuk meningkatkan produksi tetapi lebih cenderung pada upaya untuk meningkatkan kualitas tegakan dan hasilnya. Peningkatan produksi akan merusak stabilitas kualitas tegakan dimana pada gilirannya akan mengurangi hasilnya. Dan akan makin terlihat dampaknya dalam jangka yang panjang. Sample
et al (1996) mendefinisikan
manajemen hutan lestari
berhubungan dengan “sustained-yield forestry, non declining-even flow, custodial management, dan multiple uses”. Sustained-yield foresty merefleksikan upaya untuk menjaga produksi kayu yang teratur dan mejaga proses alami dari produktifitasnya yang mengarah pada pemanfaatan hutan yang lebih luas yang menjamin keberadaan hutan. “Non declining –even flow” menunjukan tingkat produksi tahunan yang tetap yang sama atau lebih kecil dari tingkat reversibilitas hutan untuk mempermuda kembali. “Custodial management” menunjukan preservasi keberadaan hutan terhadap ancaman illegal logging, kebakaran hutan, konversi lahan untuk menjaga fungsi ekosistem hutan. Sementara “Multiple Uses” menujukan upaya untuk meningkatkan tingkat produksi yang dapat diperbaharui
47
yang dihasilkan dari produksi yang tetap tanpa mengurangi produktivitas lahan hutan. Dengan mempertimbangkan semua peran hutan akan mendefinisikan konsep menejemen hutan lestari secara tepat yang cenderung menyeimbangkan pendekatan terhadap produksi hutan lestari dan fungsi hutan yang banyak sebagai representasi dari nilai pasar dan non pasar.
2.3 Manajemen Strategi Strategi adalah bakal tindakan yang menuntut keputusan manajemen puncak dan sumberdaya perusahaan untuk merealisasikannya. Strategi mempengaruhi kehidupan organisasi dalam jangka panjang, paling tidak selama lima tahun. Oleh karena itu, sifat strategi adalah berorientasi ke masa depan. Strategi mempunyai konsekuensi multifungsional atau multidivisional dan dalam perusahaannya perlu mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang dihadapi perusahaan (David, 2004). Tahapan manajemen strategi diawali dengan perumusan strategi. Strategi dirumuskan melalui tahapan: 1) analisis arah, yaitu untuk menentukan visi-misitujuan jangka panjang yang ingin dicapai, 2) analisis situasi, yaitu tahapan membaca situasi dan menentukan Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman yang menjadi dasar perumusan strategi, 3) penetapan strategi, yaitu tahapan untuk identifikasi alternatif dan memilih strategi yang akan dijalankan. Tahap selanjutnya setelah perumusan strategi adalah implementasi strategi, yaitu membuat rencana pencapaian 9sasaran) dan rencana kegiatan (program dan anggaran) yang sesuai dengan visi-misi-tujuan dan strategi yang telah ditetapkan (Tripomo dan Udan, 2005). Menurut David (2004) proses penyusunan strategi dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan. Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, sehingga dapat diambil keputusan yang signifikan dengan kondisi yang ada. Kerangkan analisa penyusunan strategi menurut David (2004) tertera pada Gambar 1.
48
Tahap 1: Tahap Masukan (Input Stage)
Tahap 2: Tahap penggabungan Analisis (Matching Stage)
Tahap 3: Tahap Pengambilan Keputusan (Decision stage) Gambar 1. Kerangkan Analisis Penyusunan Strategi
Tahap Masukan Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. Data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar organisasi. Sedangkan data internal dapat diperoleh di dalam organisasi itu sendiri. Tahap masukan proses penyusunan strategi tertera pada Gambar 2.
Tahap Masukan (Input Stage)
Analisa Faktor Internal (IFE) Analisa Faktor Eksternal (EFE)
Gambar 2. Tahap Masukan Proses Penyusunan Strategi
49
Tahap penggabungan – Analisis Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan organisasi, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Dalam hal ini digunakan model matrik SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematika untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan organisasi. Dengan demikian perencanaan strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT. Tahap penggabungan ini tertera pada Gambar 3. Tahap Penggabungan - Analisis (Matching Stage)
SWOT Analisis
Gambar 3. Tahap Penggabungan (Matching Stage) Proses Penyusunan Strategi Matrik Strengths – Weaknesses – Opportunities – Threats (SWOT) merupakan mathing tools yang penting untuk membantu mengembangkan empat tipe strategi. Keempat tipe strategi yang dimaksud adalah: Strategi SO (Strength – Opportunity), Strategi WO (Weakness-Opportunity), Strategi ST (Strengththreat), dan strategi WT (Weakness-Threat). Strategi SO menggunakan kekuatan internal organisasi untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar organisasi. Strategi WO bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal organisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Strategi ST bertujuan untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Strategi WI merupakan
50
taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.
Tahap Pengambilan Keputusan Setelah tahapan-tahapan terdahulu dibuat dan dianalisa, maka tahap selanjutnya adalah menetapkan strategi atau Decision Stage. Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) merupakan teknik yang secara obyektif dapat menetapkan strategi alternatif yang diprioritaskan. QSPM adalah alat yang direkomendasikan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key diidentifikasikan
success factors internal-eksternal yang telah
sebelumnya.
Tujuan
QSPM
adalah
untuk
menetapkan
kemenarikan relatif (relative attractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan. Tahap pengambilan keputusan ini tertera pada Gambar 4. Tahap pengambilan Keputusan (Decision Stage)
QSPM
Gambar 4. Tahap Pengambilan Keputusan dalam Proses Penyusunan Strategi
2.4 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian tentang hutan rakyat telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut mengamati beberapa sisi yang berbeda tentang hutan rakyat baik aspek pengusahaannya faktor-faktor penentu kegiatan keterlibatan hutan rakyat, inventarisasi dan identifikasi pola pengusahaan hutan rakyat, potensi dan keanekaragaman jenis, sertifikasi serta sistem pemasarannya. Penelitian tersebut berupa penelitian tingkat sarjana dan jurnal penelitian. Kajian terhadap beberapa penelitian tersebut dapat diserap faktor-faktor penggerak minat petani terhadap pelaksanaan kegiatan hutan rakyat dan sistem pengusahaannya. Secara umum pelaksanaan kegiatan sistem pengusahaan hutan rakyat didorong oleh kesadaran petani hutan rakyat untuk meraih kesempatan peningkatan keserjahteraan dengan mengalokasikan sumber daya lahan sistem
51
budidaya, pilihan jenis dan sistem pemasarannya. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat diperbandingkan kemungkinan alternatif strategi pengembangan hutan rakyat yang paling sesuai untuk kondisi sosial dan kultur masyarakat lokal. Untuk tingkat sarjana, penelitian yang dilakukan adalah mengidentifiksi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat guna mencapai perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja. Pada penelitian lain diinventarisasi jenis tanaman dan pola pengusahaannya, potensi serta sistem pemasarannya. Azmi (2008) dalam penelitiannya mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk mengikuti hutan rakyat. Tujuan penelitian adalah: 1) mengidentifikasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), 2) mengevaluasi pengaruh program PHBM terhadap pendapatan dan curahan kerja khususnya bagi masyarakat yang menjadi peserta program, 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk ikut serta dalam program PHBM. Data yang diperoleh merupakan data primer dan sekunder yakni melalui wawancara dengan responden dan data statistik terkait. Pengambilan responden dilaksanakan secara purposive sampling terhadap pihak-pihak yang relevan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif yakni untuk mengetahui permasalah dan implementasi program PHBM dan mengetahui pengaruh program terhadap pendapatan dan curahan kerja keluarga. Dari hasil kedua analisis ini dipergunakan untuk mengetahui prospek program PHBM selanjutnya. Hasil dari
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : faktor-faktor
pendapatan dan curahan kerja anatara peserta dan non perseta program PHBM tidak signifikan. Namun manfaat program PHBM menymbangkan pendapatan sebesar 21,31%. Safitri
(2009),
mengidentifikasi
dan
menginventarisasi
pola-pola
pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengidentifikasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan 2) mengetahui beberapa karakteristik hutan rakyat (pola pengelolaan,
52
pola penggunaan lahan, struktur tegakan dan ratio antara pohon kayu dan pohon buah. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif dipergunakan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat khususnya pola pengelolaan, pola penggunaan lahan sementara data kualitatif dipergunakan untuk mengetahui struktur tegakan, ratio dan potensi hutan rakyat. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : 1) pola pengelolaan hutan rakyatnya adalah agroforestry (wanatani), hutan rakyat campuran dan hutan rakyat murni, 2) jenis yang umum diusahakan adalah mahoni, 3) tingkat penggunaan lahan relatif kurang intensif yakni sebesar : 72,72% dengan potensi rata-rata : 0,74 m3/Ha, 4) hutan rakyat di Kec. Biru-Biru bukan merupakan pendapatan utama petani. Prastiyo (2009) mengidentifikasi potensi dan pemasaran
produk dari
hutan rakyat bambu (Studi Kasus Desa Petumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat). Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui potensi dan sistem pengelolaan hutan rakyat bambu di Desa Pertumbukan Kec. Wampu Kabupaten Langkat, 2) mengetahui produk-produk bambu yang dihasilkan dari hutan rakyat bambu, 3) mengetahui saluran pemasaran produk-produk bambu. Data diperoleh berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa inventarisasi bambua, data sosek, bentuk pengelolaan dan hasil pemasaran sementara data sekunder meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data pemerintahan desa dan kecamatan. Pengambilan data primer dengan metode sensus yakni mengambil seluruh petani hutan rakyat bambu yang ada d Desa Pertumbukan. Wawancara dan diskusi diberlakukan kepada responden/ pelaku (aktor utama atau yang mewakili) yang terkait/ berperan dalam hutan rakyat bambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) potensi bambu adalah 77 rumpun/Ha dengan jumlah 3.446 batang/ha, 2) produk yang dihasilkan berupa tepas kodean dan tepas sisik, 3) saluran pemasaran yang diterapkan berupa 5 saluran distribusi. Untuk tingkat pasca sarjana, penelitian yang dilakukan lebih bersifat makro yang mengangkat aspek yang strategis seperti penerapan sertifikasi serta
53
pengenalan jenis tanaman hutan rakyat yang diusahakan dalam rangka mengetahui kecenderungan pemanfaatan antara sebagai penghasil kayu dan non kayu. Maryudi (2005) dalam rangka peningkatan nilai jual produk dari hutan rakyat mencoba mengangkat isu sertifikasi produk hasil hutan rakyat. Ide ini berangkat dari asumsi sertifikasi produk hutan rakyat merupakan kesempatan bagi petani hutan rakyat untuk meningkatkan rentabilitas petani hutan rakyat. Namun berdasarkan pengalaman di lapangan, sertifikasi hutan rakyat belum dapat terlaksana secara optimal. Dalam penelitian tersebut dicoba untuk diuraikan beberapa kendala dalam sertifikasi hutan rakyat. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa kendala sertifikasi Hutan Rakyat dikelompokkan dalam dua hal yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal berupa : kurangnya keperdulian petani tentang sertifikasi, tingginya biaya sertifikasi dan proses managemen yang lemah dan belum berkembangnya kelembagaan hutan rakyat. Sedangkan kendala eksternal : kurangnya minat pasar terhadap produk bersertifikat, persyraratan yang ketat akan sertifikasi, Hal-hal tersebut menyebabkan upaya sertifikasi produk hutan rakyat menjadi kurang menjadi prioritas petani dan belum dapat dijalankan dengan baik. Sementara Sendjoto (2008) mencoba mengidentifikasi keanekaragaman tanaman pada Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran hutan rakyat di Kabupaten Tanah Laut serta menginventarisasi jenis tanaman/tumbuhan dan potensinya. Bahan dan metode yang dipergunakan adalah penapisan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Tanah Laut terhadap batas fungsi kawasan, pemaduserasian dengan citra landsat, dan penafsiran hutan rakyat pada citra landsat, sehingga pada akhirnya diperoleh peta kerja lokasi penelitian. Dari peta tersebut lokasi kemudian disurvei lapangan. Dari setiap lokasi, dicatat informasi tentang jenis hutan rakyat, jenis tanaman, tahun tanam, dan luas tanaman serta dibuat plot ukur
(20x20) m2. Potensi hutan rakyat (jumlah jenis
tanaman/tumbuhan, jumlah batang, volume) dihitung berdasarkan tiga parameter (jenis tanaman, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang). Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa : 1) hutan rakyat di Kabupaten Tanah laut diusahakan secara monokultur dan multikultur, 2) hutan
54
rakyat monokultur seperti : karet, kelapa, jati dan akasia sementara hutan rakyat multikkultur meliputi beberapa jenis yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan pemiliknya, 3) dari kerapatan dan potensi tanaman, kecenderungan yang diusahakan oleh petani adalah (i) tanaman yang hasil utamanya bukan kayu, (ii) durian dan rambutan untuk kelompok kayu lain. Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan cukup signifikan berkaitan dengan objek penelitian yang akan diamati dalam penelitian strategi pembangunan hutan rakyat di Kec. Logas Tana Darat. Walaupun dalam penelitian tersebut belum banyak menyinggung tentang hal-hal yang bersifat strategis seperti peran kebijakan formal, lembaga di daerah, potensi dan kelemahan petani hutan rakyat untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan hutan rakyat. Namun gambaran umum penelitian tersebut menunjukkan bahwa petani harus berpendapat
secara
mandiri
untuk
mengambil
keputusan
melaksanakan
pembangunan/ pengelolaan hutan rakyat atau tidak. Karakteristik yang sangat berbeda antara pola pembangunan hutan rakyat para petani dalam penelitianpenelitian tersebut dengan petani hutan rakyat di Kec. Logas Tanah Darat adalah ada tidaknya peran/ bimbingan pihak luar dalam kegiatan tersebut. Rangkuman mengenai hutan rakyat yang telah dilaksanakan terdahulu dapat diperiksa pada Tabel 2 Tabel 2. Penelitian Terdahulu tentang Hutan Rakyat No 1.
Nama dan Judul Penelitian Azmi (2008) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PMBH) Serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Dan Curahan Kerja (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
Kesimpulan
2.
Safitri (2009) Identifikasi dan Inventarisasi Bentuk pengelolaa hutan rakyat di Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Biru-Biru adalah Kecamatan Biru-Biru Kabupaten hutan rakyat agroforestry Deli Serdang (wanatani), hutan rakyat
Faktor pendapatan dan curahan kerja petani peserta PHBM dan petani non PHBM tidak berbeda nyata namun manfaat PHBM tetap dapat dirasakan karena dapat menyumbangkan 21,31 % pendapatan. Status kepemilikan lahan dan usahatani pribadi dan kepemilikan profesi lain dibdang non usahatani memperkecil peluang program PHBM.
55
campuran dan hutan rakyat murni. Karakteristik hutan rakyat campuran berupa campuran tanaman pertanian dan tanaman kayu-kayuan dengan pola swadaya. Intensitas penggunaan lahan yang rendah (72,72 %) dengan jenis yang dominan Mahoni (Swietenia mahagoni) dengan potensi per Ha: 0,74 m3. Hutan rakyat bukan merupakan sumber pendapatan utama petani (peringkat ke-2 setelah pertanian) dengan kontribusi pendapatan sebesar Rp. 47.900.000,(21,82%). 3.
Prastiyo (2009) Identifikasi Potensi dan Pemasaran Produk Dari Hutan Rakyat Bambu (Studi Kasus Desa Petumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat) .
4.
Maryudi (2005) Beberapa Kendala Sertifikasi Hutan Kendala sertifikasi Hutan Rakyat Rakyat dikelompokkan dalam dua hal yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal berupa : kurangnya keperdulian petani tentang sertifikasi, tingginya biaya sertifikasi dan proses managemen yang lemah dan belum berkembangnya kelembagaan hutan rakyat. Sedangkan kendala eksternal : kurangnya minat pasar terhadap produk bersertifikat, persyraratan yang ketat akan sertifikasi, Hal-hal tersebut menyebabkan upaya sertifikasi
Potensi bambu sebesar 77 rumpun/Ha dengan jumlah 3.446 batang/Ha. Produk yang dihasilkan adalah tepas kodean dan tepas sisik. Saluran pemasaran menerapkan 5 pola distribusi (lembaga pemasaran yang terdiri dari para petani). Pengepul I : petani yang sekaligus agen lokal, Pengepul II : agen yang datang dari luar desa, Pengepul III : pengusaha panglong, dan konsumen akhir (masyarakat)
56
produk hutan rakyat menjadi kurang menjadi prioritas petani dan belum dapat dijalankan dengan baik. 5.
Sendjoto (2008) Keanekaragaman Tanaman pada Hutan rakyat di Kabupaten Tanah Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah laut diusahakan secara Laut Kalimantan Selatan monokultur dan multikultur. Hutan rakyat monokultur seperti : karet, kelapa, jati dan akasia sementara hutan rakyat multikkultur meliputi beberapa jenis yang diusahakan sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut No. 522/202/PPHH/Dishut tanggal 21 Mei 2007, pada hutan rakyat campuran ditemukan 16 jenis kayu rakyat dan 27 jenis kayu lain. Sementara menurut SK Menhut No. 272/Menhut-V/2004 terdapat 44 jenis tanaman hutan rakyat dan 16 diantaranya tergolong dalam tanaman multiguna. Dari kerapatan dan potensi tanaman, kecenderungan yang diusahakan oleh petani adalah (i) tanaman yang hasil utamanya bukan kayu, (ii) durian dan rambutan untuk kelompok kayu lain.
57
III. METODE PENELITIAN 3.1
Kerangka Pemikiran Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya,
merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Hutan rakyat sudah berkembang dikalangan masyarakat sejak lama yang dilakukan oleh masyarakat di lahan-lahan miliknya. Hal ini dapat dilihat adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), baik berupa tanaman satu jenis maupun dengan pola tanaman campuran. keterlibatan pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat ditandai dengan adanya Inpres Penghijauan Tahun 1976 pada lahan-lahan yang kritis dan terlantar. Tujuan dari pengelolaan hutan rakyat adalah meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan, memenuhi kebutuhan mayarakat pengguna bahan baku kayu untuk industri, pertukangan dan kayu energi, terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik khususnya hutan milik rakyat, menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan masyarakat pedesaan. Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagai Usaha Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah, maka pengurusan pengelolaan hutan rakyat telah diserahkan kepada DATI II yang mencakup pembinaan kegiatan penanaman pohon-pohonan, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan. serta adanya Peraturan Menteri Kehutanan No 01/2004 tentang lima kebijakan prioritas, dimana salah satunya berkaitan dengan pemahaman luas tenta hutan rakyat ‘mejadikan proyek-proyek hutan sebagai kebijakan memberdayakan ekonomi masyarakat yang tinggi di dalam dan sekitar hutan’. Hal ini menunjukkan Pengembangan pembangunan hutan rakyat tidak terlepas dari peran instansi terkait dan pemerintah daerah.
58
Dalam pengembangan hutan rakyat diperlukan strategi yaitu dengan mengindetifikasi faktor-faktor baik faktor internal yaitu kekuatan yang dimiliki dari potensi sumberdaya yang dapat melindungi dari persaingan yang dapat menciptakan suatu kemajuan di dalam suatu kegiatan atau usaha, serta faktor kelemahan yang timbul dalam pengembangan hutan rakyat. Selain factor internal, factor eksternal juga akan berpengaruh yaitu faktor peluang yang merupakan unsure lingkungan yang dapat memungkinkan suatu kegiatan atau usaha mencapai keberhasilan yang tinggi. Serta faktor ancaman yang merupakan unsur lingkungan yang dapat mengganggu atau menghalangi kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Dengan melakukan analisis faktor internal dan eksternal akan diperoleh strategi yang dapat dipergunakan dalam pengembangan hutan rakyat sehingga pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dapat
terjaga serta adanya perubahan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut diatas, maka penelitian difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan hutan rakyat serta bagaimana strategi yang akan dilakukan dalam pengembangan hutan rakyat. kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 5.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Riau Kecamatan Logas Tanah Darat
Kabupaten Kuansing. Peta lokasi disajikan pada Lampiran 1. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai Januari 2010 sampai Februari 2010. Sebagai pembanding dilakukan evaluasi di beberapa kecamatan lain di Kabupaten Kuantan Singingi maupun kabupaten lain di Provinsi Riau untuk menambah khasanan praktek pembangunan hutan rakyat yang secara sosial-kultural memiliki kemiripan dengan masyarakat di Kecamatan Logas Tanah Darat. Studi ini memilih Kabupaten Kuantan Singingi sebagai objek penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa di kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten
yang
telah
lama
melaksanakan
pembangunan
hutan
rakyat
18
dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Riau selain Kabupaten Pelalawan. 18
Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Kab. Kuantan Singingi, Petani Hutan Rakyat dan Perusahaan HTI, kegiatan hutan rakyat yang masih berjalan sampai sekarang dimulai sejak tahun 1979an.
59
Disamping itu pola pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan meliputi wilayah yang luas yakni: 2.160 Ha serta memiliki karakteristik yang dapat mewakili mayoritas pola umum pembangunan hutan rakyat di Provinsi Riau bila ditinjau dari aspek kelembagaan, sosial dan ekonomi masyarakat serta biofisik lahannya serta kemudahan akses untuk mencapai lokasi hutan rakyat.
Strategi Pembangunan Hutan Rakyat
Tujuan Pembangunan Hutan Rakyat
Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat dan Desentralisai
Peran Instansi Sektoral dan Pemda
Kendala dan Masalah Sosek masyarakat dan lingkungan
Analisis Internal
Praktek Pembangunan Hutan Rakyat :Masalah dan kendala
Strategi Pengembangan Hutan Rakyat
Perbaikan Kinerja Hutan Rakyat : Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Gambar 5. Alur Pikir Penelitian
Kendala dan Masalah Praktek Manajemen Hutan dan Aspek Kelestarian
Analisis Eksternal
60
Di Kabupaten Kuantan Singingi dari 12 kecamatan meliputi lima kabupaten yang di dalamnya terdapat kelompok tani hutan rakyat yang masih aktif sampai dengan saat ini yakni Kec. Kuantan Hilir, Pengean, Logas Tanah Darat, Cerenti dan Inuman. Hutan rakyat yang telah dilaksanakan mencakup lahan masyarakat seluas: 108.958 Ha19.Walaupun realisasi hutan rakyat sampai dengan saat ini belum mencapai luasan tersebut karena adanya pemanfaatan untuk keperluan lain seperti: Pertanian semusim dan lain-lain namun melihat kecenderungan yang ada maka luas hutan rakyat berpotensi meningkat diwaktuwaktu yang akan datang20. 3.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data
primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan menetapkan responden yang relevan melalui observasi, wawancara dan pengisian kuesioner yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling) melalui tiga tahap pengambilan data. Pengambilan data dilakukan melalui tiga tahap. Tahap I yakni menentukan faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Tahap II mengetahui bobot dan peringkat setiap unsur strategis faktor internal dan eksternal. Tahap III menentukan strategi kemenarikan relative (relative attractiveness) dari strategi yang bervariasi yang telah diperoleh dari analisis SWOT. Dalam studi ini penetapan
responden
didasarkan
pada
semua
pihak
yang
mempengaruhi/menentukan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi yakni petani, instansi pemerintah, perusahaan dan pihak lain. Secara spesifik, lokasi penelitian diarahkan pada desa-desa yang wilayahnya terdapat hutan rakyat. Sebanyak 4 desa ditetapkan secara purposive sebagai lokasi penelitian. Desa-desa tersebut adalal Desa Situgal, Lubuk Kebun, Rambahan dan Desa Sikijing. Diperoleh jumlah KK di 4 desa contoh sebesar 455 19 20
Berdasarkan kompilasi data dari Potensi Desa/Kelurahan Kabupaten Kuantan Singingi 2005 dan data hutan dari Prusahan HTI Tabrani (2009) menyatakan bahwa sampai dengan saat ini masih terdapat permohonan kerjasama pembanguna hutan rakyat dari beberapa kelompok tani pada beberapa kecamatan dan desa lain yang belum terealisasi khususnya desa yang berbatasan dengan desa yang telah melaksanakan pembangunan hutan rakyat
61
KK, jumlah responden ditentukan sebanyak 10%, sehingga sampel penelitian sebanyak 46 orang yang akan dipilih secara acak yang dilakukan dengan mengundi seluruh desa yang berisi nama tokoh-tokoh desa untuk selanjutnya dipilih sebanyak 46 orang (Kepala desa, ketua LKMD, ninik mamak, ketua kelompok tani, dll). Syarat responden adalah mereka yang namanya tercantum pada daftar anggota kelompok tani yang mendapatkan program pendampingan pada program hutan rakyat. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dari masing-masing desa yang mengikuti program hutan rakyat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dari masing-masing desa di Kecamatan Logas Tanah darat yang mengikuti program hutan rakyat Kecamatan
Logas Tanah Darat
Desa
Jumlah (KK)
Situgal
75
Lubuk Kebun
60
Rambahan
220
Sikijang
100
Jumlah
455
Dalam hal ini dipilih pejabat pemerintah-pemerintah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab pada kegiatan pembangunan hutan
rakyat.
Instansi pemerintah yang menjadi responden adalah pemerintah daerah baik di Kabupaten Kuantan Singingi, Kecamatan, dan Desa serta instansi sektoral kehutanan yakni Dinas Kehutanan Kabupaten Kuantan Singingi. Syarat responden adalah mereka yang secara struktural berwenang dan bertanggungjawab pada kegiatan pembangunan hutan rakyat. Pada studi hutan rakyat di Kab. Kuantan Singingi terdapat pihak perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan tanaman yang ikut secara aktif terlibat dalam pembangunan hutan rakyat melalui mekanisme kerjasama. Masyarakat responden dari pihak perusahaan adalah mereka yang terlibat secara langsung di lapangan maupun pejabat yang menentukan kebijakan tentang
62
program kerjasama dengan masyarakat khususnya pada pembangunan hutan rakyat.
3.4.
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan melalui analisis SWOT guna merangkum
kekuatan, kelemehan peluang dan ancaman yang ada untuk selanjutnya dilakukan analisa QSPM yang bertujuan untuk mengevaluasi analisis internal dan eksternal untuk secara objektif disusun alternative yang paling tepat. 1.
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi sebagai factor secara sistematis untuk
merumuskan strategi yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths)dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses)dan ancaman (Threats), Rangkuti, 1979. Kekuatan (Strenght) adalah unsur dari potensi sumberdaya yang dapat melindungi dari persaingan yang dapat menciptakan suatu kemajuan didalam kegiatan atau usaha. Kelemahan (Weaknesses) adalah unsure dari potensi sumberdaya yang dapat bersaing sehingga tidak dapat menciptakan suatu kemajuan didalam kegiatan atau usaha. Peluang (Opportunities) adalah unsur lingkungan yang dapat memungkinkan atau kegiatan atau usaha untuk keberhasilan yang tinggi. Ancaman (Treaths) adalah unsur lingkungan yang dapat mengganggu atau menghalangi suatu kegiatan atau uasaha dan dapat menggagalkan kegiatan atau menghalangi suatu kegiatan bila tidak ada tindakan pengelolaan yang tegas segera diambil. Berdasarkan hasil identifikasi kedua faktor yaitu internal dan eksternal, kemudian dilakukan analisis SWOT yang menghasilkan strategi operasional serta program kegiatan pokok berdasarkan arahan dalam desain pengembangan hutan rakyat di Propinsi Riau.
63
Matrik SWOT disajikan pada gambar barikut ini: STRENGTH (S)
Faktor Internal
Faktor Eksternal
WEAKNESS (W)
Menentukan faktor-faktor Menentukan faktor-faktor yang merupakan yang merupakan kekuatan internal kelemahan internal
OPPORTUNITIES (O)
STRSTEGI S-O
STRTEGI W-O
Menentukan faktor- Menghasilkan strategi faktor yang merupakan yang menggunakan peluang eksternal kekuatan untuk memanfaatkan peluang THREAT (T) STRATEGI S-T
Menghasilkan strategi yang menggunakan kelemahan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI W-T
Menentukan faktor-faktor Menghasilkan strategi yang merupakan yang menggunakan ancaman eksternal kekuatan untuk mengatasi ancaman Gambar 6. Matriks SWOT
Menghasilkan strategi yang menggunakan kelemahan untuk mengatasi ancaman
2. Analisis QSPM Berdasarkan analisis internal dan eksternal yang ada, dilakukan perumusan strategi yang melalui evaluasi secara objektif terhadap terhadap semua alternative strategis yang dianggap paling tepat melalui Analisa QSPM. David (2007) menyatakan bahwa analisis QSPM memberikan kelebihan relative dari pilihan strategi untuk menetapkan strategi yang paling tepat diantara pilihan yang ada. Lebih jauh David (2007) menyatakan bahwa dalam memilih tindakan spesifik yang didasarkan pada hasil evaluasi terhadap alternative strategi yang ada mempertimbangkan juga aspek tingkah laku termasuk pemikiran tanggung jawab politik, budaya, etika dan sosial. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam kepada petani (responden) terpilih dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Data yang dikumpulkan dan sumbernya disajikan pada Tabel 4 berikut ini:
64
Tabel 4. Data dan Metode Analisis No 1
Data
Tujuan Penelitian
Metode
Jenis
Analisis
Sumber
Identifikasi
Luas Lahan,
Petani
Analisis
Masalah dan
Kapabilitas,
Responden
Deskriptif
Kendala
Petani, Permodalan Petani responden,
Analisi
Internal dan
Instansi Pemerintah,
Deskriptif
Eksternal
Peraturan, Pihak Lain
dll 2
3
Analisis Faktor
Perumusan
SWOT
SWOT
Strategi
3.5
Petani responden,
SWOT
Instansi Pemerintah,
Analisis
Peraturan, Pihak Lain
dan QSPM
Pengolahan Data Tahapan awal pengolahan data antara lain editing data yang dilakukan
terhadap jawaban yang telah ditulis dalam kuesioner dan catatan hasil wawancara serta dari Focus Group Discusion (FGD), selanjutnya dengan melakukan koding data yaitu usaha mengadakan klasifikasi terhadap jawaban-jawaban responden dengan membubuhkan suatu kode pada jawaban tertentu yang pada dasarnya berarti menetapkan kategori yang sesuai dengan suatu jawaban tertentu. Tahapan terakhir yaitu melakukan penyusunan tabel yang memuat jumlah dan prosentase untuk setiap kategori. Dengan menggunakan kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai faktor internal maupun faktor eksternal sebagai berikut: Tabel 5. Kriteria Penilaian Faktor Internal dan Eksternal Penilaian Kekuatan/Peluang Penilaian Kelemahan/Ancaman Nili (+)
Keterangan
Nilai (-)
Keterangan
4
Sangat berpengaruh
4
Sangat berpengaruh
3
Berpengaruh
3
Berpengaruh
2
Cukup berpengaruh
2
Cukup berpengaruh
1
Berpengaruh kecil
1
Berpengaruh kecil
65
3.6
Metode Analisis Data Data dan informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisa dengan
menggunakan beberapa alat analisis. Tahap analisis diawali dengan menganalisa keadaan umum sektor kehutanan di Provinsi Riau umumnya dan di Kabupaten Kuantan Singingi khususnya yang kemudian dikaitkan dengan visi dan misi Dinas Kehutanan Kabupaten Kuantan Singingi. Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menggunakan analisis matriks SWOT. Untuk menentukan prioritas strategis pengembangan Hutan Rakyat Pul di Provinsi Riau digunakan matriks QSPM.
3.7
Analisis Eksternal dan Internal Analisis EFE dan IFE digunakan untuk mengindetifikasi faktor-faktor
yang berpengaruh dalam penentuan strategi yang akan digunakan. Faktor yang berasal dari luar merupakan peluang dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan Hutan Rakyat dan faktor yang berasal dari dalam merupakan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Pada kasus Kecamatan Logas Tanah Darat, inisiatif pembangunan hutan rakyat didorong oleh kesadaran masyarakat atas peluang untuk memanfaatkan kesempatan ekonomi berupa pembangunan hutan tanaman yang sedang gencar dilaksanakan di daerah21. Masyarakat berusaha menawarkan pembangunan lahan guna dimanfaatkan sebagai lahan hutan tanaman. Dengan memperhatikan subjek-subjek yang berperan dalam pembangunan hutan rakyat maka penetapan faktor internal dan eksternal didasarkan kepada pihak-pihak yang berperan dan mengkaji kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh petani hutan rakyat yang meliputi kapasitas dan kapabilitasnya untuk dapat melaksanakan pembanguan hutan rakyat. Subjek-subjek yang meruakan faktor internal adalah petani itu sendiri sementara faktor eksternal meliputi pihak perusahaan dan pihak-pihak lain yang 21
Pada tahun 1990an, di Kec. Logas Tanah Darat gencar pembukaan lahan dan penyiapan lahan untuk dibangun hutan tanaman oleh PT. Riau Andalan Pulp and Paper yang meliputi areal puluhanribu hektar yang tersebar pada beberapa kecamatan. Kerjasama pembangunan hutan rakyat adalah hasil musyawarah setelah sebelumnya terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar hutan (Martunus, 2009)
66
menentukan seperti dinas kehutanan, pemda, BPN, lembaga keuangan dan lainlain. Berdasarkan hal tersebut, maka faktor internal yang berpengaruh terhadap pembangunan hutan rakyat adalah semua sumberdaya yang dimiliki oleh petani. Mitra pembangunan hutan rakyat petani dalam hal ini pihak perusahaan merupakan faktor ekternal karena dalam perjanjian tersebut juga dipersyaratkan kelayakan atau pemenuhan kepentingan bagi pihak perusahaan22. Sementara itu banyak aspek-aspek lain yang berpengaruh namun berada di luar jangkauan petani hutan rakyat seperti : ketersediaan permodalan, keberpihakan otoritas, peraturan, ketrampilan system silvikultur, dan lain-lain. Hubungan antara faktor internal dan eksternal dapat dijelaskan sebagai berikut: Eksternal:
- Bank dan asuransi (Permodalan, perkreditan, asuransi) - Pemda, Dishut, BPN (Ketentuan formal, kebijakan, otoritas, status dan legalitas) - LSM (Pemihakan dan Bimbingan) - Perusahaan (Skill dan system silvikultur) - Pasar (lokal dan internasional) Internal: Petani - Sumberdaya lahan; - Masyarakat agraris; - Jenis-jenis tanaman lokal - Kearifan lokal
Gambar 7. Kategori Faktor Internal dan Eksternal 3.7.1 Analisis Eksternal (External Factor Evaluation) Pada tahapan ini dilakukan evaluasi terhadap faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman dalam bentuk matriks EFE. Evaluasi faktor strategi eksternal dimaksudkan untuk mengetahui seberapa baik strategi pembangunan Hutan Rakyat saat ini merespon peluang dan ancaman yang
22
Kirmadi (2009), ada beberapa penyelesaian kasus sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat belum tertangani ataupun berakhir di kepolisian dan pengadilan karena tidak terjadi kata sepakat dalam perundingan diantara keduanya.
67
ada. terdapat lima langkah yang harus dilakukan dalam mengembangkan matriks EFE (David, 2007) sebagai berikut: 1. Mengindetifkasi dan menelaah secara mendalam terhadap setiap faktor yang merupakan kunci strategis. 2. Memberikan bobot kepada masing-masing faktor kunci strategis eksternal dari 0,0 (kurang penting), sampai 1,0 (amat penting). Pemberian bobot dilakukan dengan metode paired comparison jumlah seluruh bobot sama dengan 1. 3. Memberikan peringkat 1 sampai 4 kepada masing-masing faktor eksternal kunci untuk menunjukkan seberapa efektif strategi pengembangan Hutan Rakyat saat ini merespon faktor tersebut dimana: − Peringkat 1 = respon yang jelek − Peringkat 2 = respon rata-rata − Peringkat 3 = reson di atas rata-rata − Peringkat 4 = respon luar biasa 4. Mengalikan
bobot
masing-masing
factor
dengan
peringkat,
untuk
memperoleh skor terbobot (weighted score). Jika hasil yang diperoleh adalah 1 (satu) berarti situasi eksternal sangat tidak baik atau tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada serta tidak mampu mengatasi ancaman yang ada. Nilai 4 berarti situasi eksternal sangat baik yaitu mampu memanfaatkan peluang yang ada. 5. Menjumlahkan seluruh skor terbobot untuk mendapatkan skor terbobot total (total weighted score) Tabel 6. Contoh Matrik FE (External Faktor Evaluation) Faktor Strategis Eksternal 1 Peluang 1.
………………….
2.
………………….
3.
………………….
4.
………………….
5.
………………….
Bobot
Peringkat
Skor terbobot
68
2 Ancaman 1.
………………….
2.
………………….
3.
………………….
4.
………………….
5.
………………….
Total Sumber: David (2007)
3.7.2 Analisis Internal (Internal Factor Evaluation) Evaluasi juga dilakukan terhadap faktor-faktor strategis internal yang dihasilkan dari analisis fungsional, dimana faktor-faktor tersebut dapat berupa kekuatan dan kelemahan organisasi yang dapat disajikan dalam bentuk Matriks EFE. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa baik strategi organisasi saat ini dalam memanfaatkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan yang ada. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh matriks IFE (David, 2007) adalah sebagai berikut: 1. Mengindetifikasikan dan menelaah secara mendalam terhadap setiap faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan bagi dalam pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 2. Memberikan bobot dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (terpenting) pada setiap faktor. Bobot yang diberikan pada suatu faktor menunjukkan seberapa penting faktor itu menunjang keberhasilan dalam pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 3. Memberikan peringkat kepada masing-masing faktor dari 1 sampai 4, dengan definisi: Peringkat 1 = Kelemahan Utama Peringkat 2 = Kelemahan Kecil Peringkat 3 = Kekuatan kecil Peringkat 4 = Kekuatan utama 4. Mengalikan bobot masing-masing faktor dengan peringkat untuk memperoleh skor terbobot.
69
5. Menjumlahkan seluruh skor terbobot untuk mendapatkan skor terbobot total. Total nilai terbobot dari 1,0 sampai dengan 4,0 dengan nilai terbobot rata-rata 2,5. Total nilai terbobot berada di bawah 2,5 merupakan ciri organisasi yang lemah secara internal, sedang total nilai terbobot yang terbobot yang berada di atas 2,5 menunjukkan posisi internal yang kuat (David, 2007). Tabel 5 berikut ini menyajikan matrik IFE (Internal factor Evaluation) yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 7. Contoh Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) Faktor Strategis Internal
Bobot
Peringkat
Skor terbobot
3 Kekuatan 1.
………………….
2.
………………….
3.
………………….
4.
………………….
5.
………………….
4 Kelemahan 1.
………………….
2.
………………….
3.
………………….
4.
………………….
5.
………………….
Total
1.0 Sumber: David (2007)
Skor terbobot total mengambarkan seberapa baik resonden merespon faktor-faktor strategis internalnya yang ada sekarang dan yang diharapkan. Jumlah nilai berkisar 1,0 untuk yang terendah dan tertinggi 4,0 dengan rata-rata 2,5. Total nilai di bawah 2,5 menunjukan ciri organisasi yang lemah secara internal, sedangkan di atas 2,5 posisi internal yang kuat (David, 2007).
70
3.8
Penentuan Bobot Variabel Pembobolan untuk masing-masing faktor strategis pada matriks EFE dan
matriks IFE menggunakan metode paired comparison (Kinnear dan Taylor, 1996). Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah sebagai berikut: 0 = Jika Indikator horizontal kurang penting dari indikator vertikal 1 = Jika indikator sama penting dari indikator vertikal 2 = Jika indikator horizontal lebih penting dari indikator vertikal Bentuk penilaian pembobotan diilustrasikan pada Tabel 6. Bobot tiap variable diperoleh dengan menentukan nilai setiap variable terhadap jumlah nilai keseluruhan variable dengan menggunakan rumus:
………………………………. (1) Keterangan: I
= 1, 2, 3,……….,n = Bobot variable ke-i = Nilai variable ke-i
N
= Jumlah Variabel
Tabel 8. Pembobotan Terhadap Faktor Strategis Eksternal dan Internal No
Faktor Strategis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sumber: Kinnear dan Taylor (1996)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
71
3.9
Analis Matriks SWOT (Strength, wakness, opportunity, threats) Dalam mengembangkan alternative strategi digunakan matriks SWOT
untuk membantu dalam melakukan pencocokan antara kekuatan dan peluang (strategi SO), kekuatan dan ancaman (strategi ST), peluang dan kelemahan (strategi WO) serta kelemahan dan ancaman (strategi WT). Tahapan yang dilakukan dalam menggunakan matriks SWOT adalah sebagai berikut: a. Membuat daftar peluang eksterna;l b. Membuat daftar ancaman eksternal; c. Membuat daftar kekuatan internal; d. Membuat daftar kelemahan internal; e. Mencocokan kekuatan internal dan peluang eksternal serta melakukan pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi SO; f. Mencocokan kelemahan internal dan peluang eksternal serta melakukan pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi WO; g. Mencocokan kekuatan internal dan ancaman eksternal serta melakukan pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi ST; h. Mencocokan kelemahan internal dan ancaman eksternal serta melakukan pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi WT; Tabel berikut mengilustrasikan matriks SWOT yang digunakan dalam penelitian ini. Strengths (S) Faktor-Faktor Kekuatan Internal Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Weakness (W) Faktor-Faktor Kelemahan Internal Strategi WO Opportunities (O) Ciptakan strategi yang Faktor-faktor meminimalkan peluang eksternal kelemahan dengan memanfaatkan peluang Strategi WT Threats (T) Ciptakan strategi yang Faktorfaktor meminimalkan Ancaman eksternal kelemahan dan mengatasi ancaman Tabel 9. Matriks SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
72
3.10
Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) Analisis QSPM bertujuan untuk menetapkan kemenarikan relative
(relative attractivess) dari strategi yang bervariasi yang telah diperoleh dari analisis SWOT. Strategi prioritas yang dipilih berdasarkan hasil analisis QSPM dianggap paling baik untuk diimplementasikan. Untuk mendapatkan strategi prioritas dengan menggunakan analisis QSPM tahapan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Membuat daftar, ancaman, kekuatan dan kelemahan. Informasi ini diperoleh dari hasil identifikasi melalui pengisian kuesioner yang tertuang dalam matriks IFE dan EFE. b. Memberi bobot (weight) pada masing-masing faktor internal dan eksternal. Bobot ini sama dengan yang ada pada IFE dan EFE. c. Meneliti matrik-matrik pada analisa SWOT dan mengidentifikasi strategi alternative yang pelaksanaannya harus dipertimbangkan. d. Menetapkan Attractiveness Score (AS) yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan relative untuk masing-masing strategi yang terpili. Batasan nilai attractiveness score adalah 1 berarti menarik, 2 berarti agak menarik, 3 berarti menarik dan 4 berarti sangat menarik. e. Menghitung Total Attractiveness Score (TAS) yang diperoleh dari perkalian bobot (weight) pada tahap b dengan attractiveness score pada tahap d diatas pada masing-masing baris. Total Attractiveness Score menunjukan relative attractiviness dari masing-masing alternative strategi. f. Menghitung jumlah Total Attractiveness Score Dari Beberapa nilai Total Attractiveness Score yang diperoleh, maka score yang tertinggi menjadi strategi prioritas atau pilihan utama. Tabel 10. Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix)
73
Faktor-
Bobot
faktor
Alternatif Strategi Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3
Kunci
Strategi ken
AS
TAS
Peluang Ancaman Kekuatan Kelemahan Total Sumber: David, 2007
Keterangan: AS : Attractiveness Score TAS: Total Attractiveness Score
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
74
IV. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DI DAERAH PENELITIAN
4.1
Pembangunan Hutan Rakyat: Kebijakan dan Peran Pemerintah Daerah Pada bab ini dijelaskan kebijakan dan peran instansi formal di daerah
dalam praktek pembangunan hutan rakyat. Tentu saja pelaksanaannya harus berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat namun begitu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan instansi sektoral di daerah lebih menentukan dalam memberikan fasilitas, arahan dan pendampingan di lapangan serta informasi. Disamping itu akan diuraikan persepektif instansi lain yang terlibat baik kelompok tani hutan rakyat/masyarakat terhadap hutan rakyat maupun perusahaan dalam melihat hutan rakyat sebagai solusi pemecahan masalah sekaligus jalan keluar yang sejalan dengan tujuan perusahaan. 4.1.1
Kebijakan Pemerintah Terhadap Hutan Rakyat Praktek
manajemen
hutan
rakyat
dilaksanakan
dalam
rangka
memberikan hasil optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan hutan oleh masyarakat. Masyarakat diharapkan dapat memahami aspek silvikultur hutan tanaman sekaligus pengelolaan lahan dan tanaman pada hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat. Atas kesadaran tersebut pemerintah menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan hutan khususnya berkaitan dengan budidaya tanaman hutan pada lahan masyarakat guna meningkatkan kondisi lahan dan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk mendukung upaya ini pemerintah menetapkan beberapa peraturan yang berkaitan dengan
upaya
pemberdayaan masyarakat
melalui keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat dan menetapkan ketentuan penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi manajemen hutan yang efektif serta jaminan kepemilikan hasil hutan rakyat serta tahap pemanfaatan hasil hutan dalam hutan rakyat. Sifat khusus dari praktek manajemen
75
tanaman hutan memerlukan pengetahuan dasar yang berkaitan dengan budidaya tanaman hutan (silvikultur) yang belum banyak dipahami oleh masyarakat guna menghasilkan tegakan akhir yang optimal sesuai dengan tujuannya. Sementara itu ditengah praktek illegal logging yang sedang marak pada saat ini, pemerintah merasa perlu untuk menetapkan peraturan yang menjamin kepemilikan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat yang dapat dibedakan dengan hasil hutan yang illegal baik semenjak masih dilahan hutan tanaman maupun pada saat peredaran / pemanfaatan hasi hutannya. Lebih jauh ketentuan yang telah disusun berusaha untuk lebih memberikan jaminan kepemilikan hasil hutan rakyat sejalan dengan kegiatan pemanfaatan hasil hutan yang membedakan antara hasil hutan dari hutan rakyat dengan hasil hutan dari hutan negara . Dalam hal ini paling tidak ada beberapa strategi yang ingin dicapai dalam kebijakan hutan rakyat yakni: pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi sekaligus perbaikan kualitas lingkungan melalui produktivitas lahan masyarakat. Dalam perspektif yang lebih luas maka produk hasil hutan pada hutan rakyat akan dapat mendukung pada upaya jaminan sertifikasi produk hasil hutan yang mengarah pada manajemen hutan lestari yang menjadi syarat bagi pasar produk hasil hutan (Lembaga Ekolabel Indonesian-LEI) yang sampai saat ini masih belum terimplementasi dengan baik. Peraturan yang merujuk pada upaya pembangunan hutan rakyat sesungguhnya dapat disajikan pada beberapa ketentuan di sektor kehutanan maupun peraturan daerah yang secara simultas mendukung pada upaya-upaya tersebut. Beberapa peraturan yang telah ditetapkan dan sangat menentukan pada pembangunan hutan rakyat disajikan di Tabel 11. Dalam perspektif rencana strategi pembangunan daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuansing telah memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang dituangkan
baik
Pembangunan
dalam
Sektoral
Rencana Kehutanan
Pembangunan yang
disebut
Daerah dengan
dan
Rencana
Master
Plan
Pembangunan Kehutanan. Secara institusional, Pemerintah Daerah
memiliki struktural lembaga
formal yang secara khusus mengatur administrasi daerah yang berkaitan dengan
76
pembangunan hutan rakyat23. Hal ini menunjukkan bahwa secara administrasi dan kewewenangan daerah untuk menangani masalah pengembangan hutan rakyat sangat mungkin untuk dapat dilaksanakan secara baik.. Tabel 11. Peraturan Dalam Pembangunan Hutan Rakyat No
5
Peraturan Keterangan UU No. 41/1999 jo UU No Undang-undang pokok kehutanan 19/2004 Peningkatan wewenang daerah dalam UU No. 32/2004 pelaksanaan administrasi daerah UU No. 25/2000 Kewenangan Pemerintah Daerah Ketentuan tentang Penyusunan Rencana UU No. 34/2002 Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan UU No. 44/2004 Perencanaan Hutan
6
UU No. 45/2004
Perlindungan Hutan
7
P.26/2005
8
P.51/2006
9
P.62/2006
10
P.33/2007
Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak Tata cara dan ketentuan penggunaan dokumen angkutan hasil hutan dari hutan hak atau Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Ketentuan penggunaan dokumen angkutan hasil hutan dari hutan hak terhadap jenis-jenis yang belum diatur oleh pemerintah Perubahan ketentuan legalitas lahan hak
1 2 3 4
Sumber: Situs Departemen Kehutanan (2009) di www.dephut.go.id
4.1.2
Peran Pemerintah Daerah Sesuai dengan dokumen formal rencana jangka panjang Pemerintah 24
Daerah , nampaknya peran Pemerintah Daerah sebagai regulator dan fasilitator serta penjamin (evaluator dan pengontrol) nampaknya belum maksimal. Hal ini terungkap dari pendapat masyarakat peserta pembangunan hutan rakyat yang 23
24
Di Dinas Kehutanan Kab. Kuantan Singingi terdapat bidang dan seksi yang menangani hutan rakyat yakni: Bidang Pengembangan Usaha Kehutanan dan Seksi Hutan Kemasyarakatan dan Htan Rakyat (Sumber: Master Plan Kehutanan Kab. Kuansing); Master Plan Kehutanan Kabupaten Kuantan Singingi, Pemerintah Daerah berperan sebagai: regulator dan fasilitator dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif sinergistik serta penjamin (evaluator dan pengontrol) bahwa proses pengelolan hutan telah berada pada jalur yang tepat dalam pencapaian pengelolaan hutan lestari.
77
kadang masih mempertanyakan ketentuan formal yang berkaitan dengan hutan rakyat serta hal-hal yang bersifat teknis. Pemerintah masih bersifat fasilitator pasif yang terbatas pada pemenuhan ketentuan formal terhadap pelaksanaan pembangunan hutan rakyat seperti penunjukan petugas penerbit SKAU, namun kurang berperan secara aktif dalam beberapa hal yang penting seperti : bimbingan dan penyuluhan secara kontinyu baik yang terkait dengan status lahan, praktek sistem silvikultur, peran dan posisi tawar masyarakat, serta manajemen hutan lestari. Keterlibatan pemerintah daerah terjadi apabila terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Peran pemerintah dalam hal ini lebih sebagai mediator diantara . Kedua belah pihak. Penyelesaian konflik biasanya berakhir dengan program kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan. Namun persentase keterlibatan pemerintah daerah dalam kasus klaim tersebut merupakan sebagian kecil saja dari pola kerjasama pembangunan hutan rakyat yang terjadi secara mandiri diantara kedua belah pihak. Pelaksanaan pembangunan hutan rakyat diinisiasi oleh masyarakat itu sendiri baik secara perorangan, kelompok maupun melibatkan pihak lain seperti perusahaan. Pemerintah mulai berperan bila terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan terkait dengan tumpang tindih lahan, ataupun pengesahan program kerjasama antara masyarakat dengan pihak luar (perusahaan). 4.1.3
Penciptaan Peraturan Daerah Pada tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi menerbitkan
Peraturan Daerah yakni Perda No 29 Tahun 2001 tentang retribusi terhadap izin pemanfaatan kayu rakyat. Namun Perda ini dibatalkan oleh Pemerintah Pusat melalui Permendagri No.9 Tahun 2003. Penerapan izin retribusi oleh pemerintah daerah tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni pusat atau Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pajak Bumi dan Bangungan (PBB) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sesungguhnya telah dikenakan oleh ketentuan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Lebih jauh pengenaan retribusi pada prakteknya tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah terkait dengan
78
operasional kegiatan hutan rakyat di lapangan. Disamping itu ketentuan tersebut lebih bersifat disintensif terhadap minat masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan hutan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah kurang memahami semangat dan isi ketentuan-ketentuan formal yang telah dirumuskan oleh Pemerintah Pusat. Esensi peran pemerintah dalam pembangunan hutan rakyat yang sesungguhnya lebih merupakan upaya pemberdayaan masyarakat melalui keikusertaan mereka dalam pembangunan hutan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraannya kurang dapat dilaksanakan dengan baik.
4.2
Pembangunan Hutan Rakyat Di Kabupaten Kuantan Singingi Untuk memberikan gambaran tentang praktek pembangunan hutan rakyat
oleh masyarakat, bab ini akan menggambarkan kerangka legal dan institutional manajemen pembangunan hutan rakyat baik dari aspek peraturan operasional dan strategi untuk menjelaskan praktek pembangunan hutan rakyat. Praktek pembangunan hutan rakyat akab dijelaskan melalui aspek teknis dan praktek manajemen hutan yang mempengaruhi praktek pengusahaan pembangunan hutan rakyat. 4.2.1 Sejarah dan Statistik Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Pembangunan hutan rakyat pada awalnya terinspirasi dari kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang dilaksanakan oleh pemerintah baih khususnya pemerintah daerah dimana kegiatan tersebut selain berupaya memperbaiki kondisi lahan juga memberikan kesadaran pada masyarakat akan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas lahan melalui penanaman tanaman. Kegiatan berupa bantuan bibit kepada masyarakat disambut baik oleh warga yang dilanjutkan dengan kegiatan penanaman dan bantuan pemeliharaan berupa penyuluhan dan pemberian pupuk. Selama masa pelaksanaan kegiatan tersebut masyarakat mendapatkan pencerahan tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari aspek ekologi maupun ekonominya. Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat melalui penanaman tanaman tahunan. Kondisi ini didorong juga oleh adanya lahan masyarakat yang belum dimanfaatkan secara
79
optimal sehingga terbengkalai berupa lahan semak belukar dengan produktivitas yang rendah. berdasarkan data statistik pemanfaatan lahan di Kabupaten Kuantan Singingi, luas lahan kawasan budidaya sebesar: 251.599 Ha maka areal pertanian masyarakat adalah seluas: 65.240 Ha. Sementara berdasarkan kondisi tutupan lahan, lahan masyarakat adalah berupa lahan terbuka, rumput/alang-alang dan semak mencapai 173.293,10 Ha atau mencapai 32,46% dari seluruh tutupan lahan. Namun tidak dapat diperoleh data pasti tentang persentase pemanfaatan lahan masyarakat untuk kegiatan pertanian/budidaya tanaman. Berdasarkan data tersebut diatas, dapat digambarkan bahwa banyak lahan yang belum dimanfaatkan merupakan kesempatan yang baik untuk dilakukan penanaman tanaman tahunan dalam pemanfaatannya. Namun kesadaran tersebut tidak cukup memberikan kemampuan kepada masyarakat
untuk
melakukan
pembangunan
hutan
rakyat.
Masyarakat
memerlukan sumber pendanaan yang diperlukan untuk melaksanakan pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Oleh sebab itu maka adanya kesempatan kerjasama pembangunan hutan tanaman oleh pihak luar (perusahaan) khusunya berkaitan dengan aspek pembiayaan dirasakan sebagai kesempatan yang bagus untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Realisasi pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dapat diperiksa pada tabel berikut:
6
Nama Hutan Rakyat HR Lubuk Kebun HR Rambaha n HR Sikijang Sigarunta ng PHBM Petapusan Teratak Baru
7
Gunung Melintang
No
1 2 3 4 5
Jumlah
Realisasi Kegiatan Teba Penan Pemeli ngan aman haraan
Masa Perjanjian (awal)
Perjanjian Kerjasama Baru
√
2 daur
6 daur
√
√
2 daur
6 daur
Lokasi (Desa)
Luas
Jumlah Peserta
Lubuk Kebun
120
60
√
√
Rambaha n
478
239
√
Sikijang
160
124
√
√
√
2 daur
6 daur
Sigarunta ng
140
70
√
√
√
2 daur
6 daur
Stiang
517
133
IP
IP
IP
2 daur
6 daur
450
176
√
√
√
2 daur
6 daur
295
295
√
√
√
1 daur
6 daur
2160
1097
Teratak Baru Gunung Melintan g
Sumber: Departemen Community Development (PT. Riau Andalah Pulp and Paper
Tabel 12. Realisasi Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2009
80
Di Kabupaten Kuantan Singingi yang seluas: 754.000 Ha terdapat 12 Kecamatan yang terdiri dari 209 desa. Dari 12 Kecamatan tersebut hutan rakyat terdapat pada 5 kecamatan yakni: Kuantan Hilir, Pangean, Logas Tanah Darat, Cerenti dan Inuman25. Dari data tersebut terlihat bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat diklasifikasi dalam tiga hal yakni: lahan sawah, lahan pemukiman dan lahan bukan sawah. Berdasarkan data yang ada lahan sawah mencapai: 24.664 Ha atau 3,27%, pemukiman: 115.703 Ha atau 15,34% sementara lahan bukan sawah seluas: 613.845 atau 81,39%. Dari data yang ada terhadap pelaksanaannya serta hasil pengamatan di lapangan pada lahan bukan sawah umumnya merupakan kebun karet, dan kebun kelapa sawit namun sebagian besar merupakan semak belukar yang tidak diusahakan oleh masyarakat. Namun dapat lebih baik detil tentang penggunaan lahan tidak diperoleh secara lebih detil. Namun luas penggunaan lahan pada Kabupaten Kuantan Singingi disajikan pada Tabel 13.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kecamatan
Kuantan Mudik Hulu Kuantan Gunung Toar Singing Singingi Hilir Kuantang Tengah Benai Kuantan Hilir Pangean Logas Tanah Darat Cerenti Inuman Jumlah
Luas (Km2)
Penggunaan Lahan (Ha) Lahan Sawah
Pemukiman
1.385,92 384,40 165,25 1.953,66 1.530,97 291,74 249,36 263,06 145,32 380,34
1.744 605 1.446 532 4.937 2.925 4.883 4.697 51
14.263 368 1.571 1.186 1.186 3.997 3.601 14.961 2.927 937
Lahan Bukan Sawah 110.797 37.098 24.605 11.256 11.256 80.443 20.337 39.839 4.858 35.506
456,00 450,01 7.656,03
866 1.708 4.661
23.603 45.461 115.703
13.514 15.241 613.845
Sumber: Potensi Desa/Kelurahan Kabupaten Kuantan Singingi (2005)
Tabel 13 Penggunaan Lahan di Kabupaten Kuantan Singingi
25
Sumber: Data Potensi Desa/Kelurahan Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2005
81
Namun berdasarkan data Dinas Pertanian (tahun 2006), terdapat pemanfaatan lahan untuk pertanian khususnya padi sawah sehingga hasil padi menempati urutan tertinggi yang disusul oleh hasil ubi kayu. Data pemanfaatan lahan untuk pertanian tanaman pangan dapat disajikan pada Tabel 14. No
Jenis Tanaman Pangan
Lahan Panen
Produksi (Ton)
1
Padi sawah
9.128
29.941
2
Padi lading
284
576
3
Jagung
219
470
4
Ubi kayu
351
3.760
5
Kacang tanah
174
162
6
Ubi jalar
114
897
7
Kacang kedelai
26
26
8
Kacang hijau
72
72
10.386
35.904
Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Kuantan Singingi
Tabel
14. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Pangan) di Kabupaten Kuantan Singingi Sementara ini terdapat pemanfaatan lahan untuk sayur-sayuran yang terdiri
dari cabe, ketimun dan lain-lain disajikan pada Tabel 15.
No 1
Jenis Tanaman Pangan Cabe
2
Lahan Panen (Ha)
Produksi (Ton)
217
350
Ketimun
168
463
3
Terong
108
233
4
Kacang panjang
27
387
5
Bayam
117
317
6
Kangkung
88
267
917
2.041
Jumlah
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2009.
Tabel 15. Pemanfaatan Lahan Pertanian (Tanaman Sayur-sayuran) di Kabupaten Kuantan Singingi
82
Jenis yang diusahakan dalam hutan rakyat selama ini adalah jenis yang diperuntukkan pada pemenuhan bahan baku industri kehutanan khususnya industri pulp yakni jenis Akasia (Accacia mangium). Penetapan jenis ini lebih didasarkan pada kepentingan perusahaan mitra sementara masyarakat belum dapat/tidak bisa memformulasikan
jenis
yang
sesuai
dengan
preferensinya.
Martunus26
menyatakan bahwa jenis tanaman yang dikembangkan dalam hutan rakyat seharusnya juga meliputi jenis-jenis yang lain yang menjadi kepentingan masyarakat seperti tanaman buah-buahan. Melihat sistem pengelolaannya yang dilaksanakan melalui penanaman dan penebangan semua terhadap tanaman yang ada menyebabkan masyarakat tidak bisa mengandalkan hutan rakyat sebagai penghasilan pokok tetapi lebih bersifat tabungan pada masa tebangnya yang ditentukan umur daurnya (Zaini)27. Keberlanjutan pembangunan hutan rakyat hanya lebih didorong oleh kesempatan untuk mengoptimalkan lahan masyarakat karena hamper seluruhnya kegiatan pembangunan hutan rakyat dilaksanakan oleh perusahaan. Sementara upaya keterlibatan
masyarakat
dalam
kegiatan
persiapan
lahan,
penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan tidak mendapatkan respon yang baik dari pihak perusahaan karena kendala produktivitas dan efisiensi kegiatan (Tabrani)28. Lebih jauh dijelaskan bahwa kegiatan pengamanan hutan rakyat yang melibatkan masyarakat dirasakan sangat membebani dari aspek pembiayaan dan operasional. Kendala lain yang dihadapi oleh masyarakat adalah kurangnya pengalaman masyarakat untuk membudidayakan tanaman kehutanan. Disamping itu, perlunya aplikasi modifikasi system sislvikultur sehingga sesuai dengan keadaan di lapangan sangat membebani petani hutan rakyat untuk terlibat secara aktif di lapangan. Hal-hal tersebut lebih mendorong mereka untuk menyerahkan pelaksanaan pembangunan tersebut kepada pihak perusahaan.
26
Sebagaimana dinyatakan oleh Martunus ketua kelompok tani peserta program hutan rakyat di Desa Rambah Kec Logas Tanah Darat yang juga merupakan tokoh masyarakat yang dituakan di wilayahnya. 27 Sebagaimana dinyatakan oleh Zainis Kis Kepala Desa Rambah yang berperan sebagai wakil pemerintah di Desa Logas Tanah Darat 28 Sebagaimana dinyatakan oleh Tabrani petugas perusahaan yang memfasilitasi program kerja sama pembangunan hutan rakyat
83
4.2.2. Konflik Lahan antara Masyarakat dengan Perusahaan Di Kuantan Singingi, pembangunan hutan rakyat diawali oleh adanya konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan hutan tanaman industri (perusahaan). Isu berawal dari adanya lahan masyarakat berdasarkan pendapat masyarakat pada areal ijin perusahaan. Adanya klaim oleh masyarakat pada pembangunan hutan tanaman adalah merupakan hal yang lazim terjadi. Apabila klaim ini melibatkan masyarakat sekitar hutan maka perusahaan hutan tanaman (perusahaan) biasanya melakukan upaya pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mencari jalan keluar guna pemecahan permasalahan yang ada29. Apabila upaya ganti rugi bukan merupakan pilihan dalam penyelesaian masalah tersebut maka kerjasama dalam pembangunan hutan tanaman bersama antara perusahaan dengan masyarakat merupakan alternative yang dipilih. Hal ini dilakukan guna memberikan alternative kepada masyarakat mengalihkan tekanan masyarakat terhadap areal kerja perusahaan dengan berusaha membantu masyarakat untuk meningkatkan produktivitas lahannya yakni dengan melakukan penanaman tanaman kehutanan pada lahan masyarakat30. Pembangunan hutan tanaman pada lahan masyarakat (hutan rakyat) merupakan alternative yang saling menguntungkan baik dari aspek kepentingan masyarakat maupun perusahaan hutan tanaman. Disatu sisi masyarakat dapat meningkatkan produktifitas lahannya sementara disisi lain perusahaan dapat meningkatkan realisasi tanaman yang juga merupakan sumber bahan baku bagi industri kehutanan31.
29
30
31
Perusahaan membantu menata lahan masyarakat (selain lahan tanaman efektif yang merupakan lahan tidur) Desa Rambahan untuk ditata menjadi petak lahan yang jelas dan membantu mendaftarkan lahan tersebut pada Pemerintahan Desa dan Kecamatan. Perusahaan membantu menata lahan masyarakat (selain lahan tanaman efektif yang merupakan lahan tidur) Desa Rambahan untuk ditata menjadi petak lahan yang jelas dan membantu mendaftarkan lahan tersebut pada Pemerintah Desa dan Kecamatan.. Di Kabupaten Kuansing, seluas: 49.000 Ha adalah merupakan konsesi PT.RAPP yang terkait dengan industri pulp dan kertas dengan nama yang sama yang berlokasi di kabupaten Pelalawan (Kabupaten tetangga). Terhadap masyarakat yang ikut dalam pembangunan hutan rakyat PT. RAPP melakukan perjanjian kerjasama pembangunan hutan rakyat dimana setelah masak tebang perusahaan akan membeli dan menampung tanaman masyarakat tersebut.
84
4.2.3 Pola Pembangunan Hutan Rakyat Pola pembangunan hutan rakyat di lapangan adalah pola kemitraan antara kelompok tani hutan rakyat dengan perusahaan32. Penanaman dilaksanakan pada lahan petani hutan rakyat. Persiapan diawali dengan pengumpulan dokumen yang terkait dengan status lahan peserta pola kemitraan dengan menunjukkan surat tanahnya kepada ketua kelompok untuk selanjutnya dilakukan penilaian oleh pihak perusahaan. Umumnya surat tanah yang dimiliki oleh petani berupa SKT dan SKGR yang diterbitkan oleh Lurah/ Kepala Desa yang diketahui oleh Camat dan beberapa diantaranya bahkan belum memiliki dokumen status lahan sama sekali.Namun diantaraa peserta tersebut tidak terdapat lahan dengan status yang lebih tinggi seperti hak milik, hak guna usaha dan lain-lain. Namun, status lahan ini masih perlu dikonfirmasikan lebih lanjut khususnya dengan dinas kehutanan kabupaten dan provinsi. Berdasarkan hasil pelaksanaan di lapangan, banyak kasus dimana lahan masyarakat dengan dengan dokumen SKT dan SKGR ternyata berada dalam kawasan hutan negara. Terhadap kasus seperti ini pihak perusahaan terpaksa tidak dapat mengikutsertakan pemilik lahan dalam pola kerja sama ini. Namun untuk lahan petani yang belum memiliki alas titel lahan sama sekali pihak perusahaan bersedia membantu dengan pembiayaan oleh pihak perusahaan seluruhnya ataupun sebagian. Perusahaan dalam pola ini berusaha untuk menghindarkan pola yang berpotensi berakhir dengan kasus-kasus okupasi pada hutan negara. Pelaksanaaan pembangunan diawali dengan persiapan lahan dan penanaman setelah sebelumnya kepada petani diberikan pinjaman/porskot sebagai tanda jadi atas kerjasamanya. Dalam pelaksanaannya perusahaan menanggung semua biaya pembangunan hutan rakyat sementara masyarakat dapat terlibat sebagai tenaga kerja baik sebagai pemborong maupun pelaksana harian kegiatan persiapan lahan dan penanaman. Namun dalam pelaksanaannya hal ini tidak dapat dilaksanakan Karena masyarakat tidak dapat memenuhi kualifikasi dan persyaratan teknis kegiatan yang dipersyaratkan (Kirnadi, 2009)33..
32 33
Presentase bagi hasilnya adalan 40 (petani) : 60 (perusahaan) setelah dikurangi biaya produksi dan eksploitasi. Kimardi (2009) adalah petugas perusahaan yang mengurusi program Hutan Rakyat dan Hutan Tanaman Rakyat. Dia menyatakan bahwa beberapa orang yang menjadi tokoh di masyarakat
85
Mempertimbangkan presentasi kelompok tani hutan rakyat tersebut, maka kegiatan pemeliharaan dilaksanakan oleh perusahaan namun pada kelompok tani dibentuk satuan pengamanan tanaman dengan pemberian upah (Tabroni, 2009)34. Selama masa pemeliharaan sampai masa daur (panen) secara operasional hanya satgas pengamanan yang secara aktif terlibat dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat. Sehingga kebutuhan sehari-hari petani didasarkan pada kegiatan ekonomi yang tidak terkait dengan pembangunan hutan rakyat35. Setelah masa daur (sesuai perjanjian kerjasama) penebangan dan pemanenan dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Hal ini dilaksanakan dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas kerja. Dalam ekstraksi ini Perusahaan menggunakan peralatan berat yang tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh kelompok tani. Sementara itu pembagian hasil tebangan dilaksanakan berdasarkan kubikasi yang ditentukan oleh hasil pengukuran hasil hutan di industri36. Hal ini menyebabkan pemanfaatan tanaman oleh perusahaan tidak dapat langsung dinikmati oleh kelompok tani. Berbagai realisasi pembayaran sering didasarkan pada beberapa negoisasi yang sering dilaksanakan dengan pembayaran secara bertahap. Namun begitu, peserta pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ini cenderung diikuti oleh peserta kelompok tani yang lebih banyak pada daur berikutnya. Hal ini didasari pada pertimbangan masyarakat bahwa lahan yang mereka miliki akan lebih produktif apabila dilibatkan dalam pola kerjasama tersebut.
34
35
36
ditugaskan untuk melaksanakan pengamanan tanaman pada hutan rakyat. Dan kepada personil satuan ini diberikan upah oleh perusahaan Tabroni (2009) adalah petugas perusahaan yang mengurusi program Hutan Rakyat dan Hutan Tanaman Rakyat. Dia menyatakan bahwa beberapa orang yang menjadi tokoh di masyarakat ditugaskan untuk melaksanakan pengamanan tanaman pada hutan rakyat. Dan kepada personil satuan ini diberikan upah oleh perusahaan. Martunus (2009), Selama masa pemeliharaan tanaman hutan rakyat petani bekerja sebagai buruh, beruru, memancing, dan menanam padi, cabe, menyadap karet serta tanaman semusim lainnya. Lebih jauh disampaikan bahwa penghasilan masyarakat dari panen padi bias mencapai Rp. 6 juta/tahun (1 karet 15 kg/hari (Rp. 3.5 juta/bulan bila seharga Rp. 10 ribu/kg).. Martunus (2009), menyatakan bahwa penghasilan petani hutan ralkyat per hektar rata-rata kurang dari Rp. 5 juta/Ha (4,8 juta) dengan masa daur (enam) tahun.
86
4.2.4 Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Dengan adanya program hutan rakyat dengan pola kerjasama dengan perusahaan ini masyarakat menganggap bahwa ini kesempatan yang baik bagi upaya peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktivitas lahannya dimana sebagian besar merupakan lahan tidur yang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena keterbatasan sumber dana (Rafa’i, 2009). Namun dengan berjalannya waktu, setelah melalui daur I selama 7 (tujuh) tahun masyarakat merasa bahwa pola ini belum cukup memberikan kontribusi secara ekonomi yang memadai kepada masyarakat (Martunus, 2009). Untuk itu beberapa kelompok tani hutan rakyat menginginkan adanya perbaikan perjanjian kerjasama melalui perubahan daur yang lebih cepat yakni 4 (empat) atau 5 (lima) tahun untuk sekali tanam. Disamping itu pola bagi hasil yang didasarkan pada potensi kayu (berdasarkan kubikasi) yang dihasilkan dari hutan rakyat dirasakan memberikan petani hutan rakyat. Oleh karena itu masyarakat menginginkan pola bagi hasil didasarkan pada luas lahan masyarakat yang digunakan dalam program hutan rakyat37. Hal ini perlu diterapkan apabila dalam pelaksanaannya masyarakat tidak terlibat aktif dalam kegiatan persiapan lahan sampai dengan pemanenan kayu pada hutan rakyat tersebut. Berdasarkan hal tersebut sesungguhnya produktivitas lahan adalah tanggung jawab pihak perusahaan. Lebih dari itu, masyarakat menginginkan peningkatan pendapatan dari bagi hasil program hutan rakyat38. Namun pola bagi hasil berdasarkan realisasi produksi (kubikasi) lahan masyarakat dapat dilaksanakan apabila masyarakat terlibat secara langsung dalam kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Walaupun ada beberapa kelompok tani hutan belum menyatakan akan menerima program hutan rakyat pada daur berikutnya, adanya beberapa kelompok yang menyatakan bersedia ikut dalam program hutan rakyat pada daur yang berikutnya menunjukkan bahwa masyarakat masih tertarik pada program tersebut 37 38
Masyarakat menginginkan agar pola bagi hasil didasarkan pada luasan lahan yang digunakan dan bukan didasarkan pada hasil kayu yang diperoleh dari lahan tersebut (Martunus, 2009) Masyarakat memperbandingkan bahwa apabila lahan tersebut dipergunakan untuk penanaman palawija maka kebutuhan beras, sayur dan kebutuhan bumbu (cabe dll) dapat dipenuhi dan hasilnya relative lebih besar bila dibandingkan penggunaan lahan tersebut untuk hutan rakyat yakni diatas Rp. 3 juta/Ha. Namun begitu masyarakat tidak dapat menjelaskan sumber dana yang akan digunakan apabila lahan tersebut hendak dikelola sendiri (Zaini, 2009).
87
namun menginginkan renegosiasi dengan pihak perusahaan tentang system kerjasama baik yang menyangkut sistem bagi hasil maupum pola keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaannya. Penggunaan isu alternatif
pemanfaatan lahan masyarakat untuk
penanaman kelapa sawit pada lahan masyarakat lebih bersifat upaya peningkatan posisi tawar masyarakat pada perusahaan untuk memberikan alternatif kerjasaman yang lebih menguntungkan. Hal ini terbukti pada lambat/terhambatnya program pembangunan kelapa sawit melalui pola KKPA maupun program K2I karena kendala struktural, teknis dan operaional di lapangan39. Argumentasi masyarakat terhadap pola kerjasama tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya tingkat keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan hutan rakyat merupakan hal yang harus dipenuhi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pola kerjasama pada hutan rakyat adalah alternatif yang paling realistis untuk saat ini mengingat persyaratan yang mudah dan pembiayaan yang hampir sepenuhnya ditanggung oleh pihak perusahaan sambil menunggu alternative lain yang lebik baik diwaktu yang akan datang. Satu aspek lagi yang menjadi kelemahan hutan rakyat adalah bahwa sistem ini tidak/belum dapat memberikan pendapatan rutin selama masa daur yang menyebabkan masyarakat lebih merasa bahwa hutan rakyat adalah sekedar tabungan dimasa yang akan datang dan tidak menjadi perhatian utama sumber pencaharian masyarakat. Disamping itu sistem silvikultur tebang abis yang diterapkan dirasakan sebagai sistem yang kurang tepat karena setelah masa daur (penebangan tanaman) masyarakat merasa bahwa aset mereka berupa tanaman telah hilang dan mereka harus kembali pada kondisi semula yakni melakukan penanaman pada lahannya. Masyarakat mengingkan agar produktifitas lahannya (berupa tanaman) dapat terus dipertahankan dan dapat mengambil keuntungan ekonomi dari lahannya tersebut seperti pada penanaman tanaman kelapa sawit dan karet.
39
Kebanyakan penanaman kelapa sawit dilakukan oleh beberpa anggota masyarakat yang secara finansial mampu untuk melaksanakan secara mandiri.
88
4.3 Perspektif Perusahaan terhadap Pembangunan Hutan Rakyat (Strategi Penyelesaian Masalah Melalui Aplikasi Misi Perusahaan) Keterlibatan perusahaan dalam pembangunan hutan rakyat sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan dan kepentingan perusahaan untuk mencapai tujuannya yakni akomodai kepentingan masyarakat dari peningkatan kesejahteraan serta strategi perusahaan untuk memanfaatkan momentum kerjasama ini menjadi sebuah kesempatan untuk mencapai tujuannya. Sesuai
dengan
peraturan
No.
523/Kpts-II/1997
yang
kemudian
dicabut/diganti oleh P.11/Menhut-II/200140, pembinaan terhadap masyarakat sekitar hutan diwajibkan kepada perusahaan pemegang konsesi lahan hutan untuk melaksanakan program pembinaan kepada masyarakat desa di dalam dan sekitar hutan yang meliputi aspek social, ekonomi, dan lingkungan. Dengan ketentuan yang baru ini, pembinaan masyarakat sekitar hutan merupakan program pembangunan jangka panjang dan tidak merupakan program yang sifatnya sporadic. Berdasarkan mandat tersebut maka perusahaan melakukan konsultasi dan kerjasama dengan tokoh masyarakat untuk merencanakan program kegiatan di desa yang ditunjuk. Beberapa program kerjasama pada awalnya lebih bersifat bantuan kepada masyarakat baik berupa penyediaan prasarana fisik, bantuan penyuluhan bimbingan, pengadaan sarana produksi pertanian, dan lain-lain. Namun program tersebut kemudian berkembang menjadi pembentukan programprogram kerjasama yang melibatkan kepentingan kedua belah pihak. Tabrani (2009) menyatakan bahwa peningkatan volume program kerjasama dengan masyarakat mengharuskan perusahaan membentuk departemen tersendiri yang khusus menangani program pembangunan hutan rakyat. 4.3.1 Pembentukan Departemen Pembangunan Hutan Rakyat Pembangunan hutan rakyat oleh perusahaan pada awalnya termasuk dalam salah satu program Community Developmnt (CD) yang terdapat dalam organisai 40
Keputusan Menhut No 523/Kpts-II/1997 mewajibkan perusahaan untuk menyusun rencana pembinaan terhadap masyarakat desa sekitar hutan (terdiri dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang dicantumkan dalam dokumen tersendiri. Namun ketentuan tersebut kemudian dirubah/diganti dengan P.11/Menhut-II/2004 dimana program pembinaan masyarakat desa sekitar hutan digabungkan dengan rencana kerja jangka panjang perusahaan yakni pengelolaan hutan secara lestari.
89
perusahaan. Departemen ini melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan masalah peningkatan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dimana sesuai ketentuan tentang pembinaan masyarakat desa sekitar hutan, perusahaan banyak terlibat dalam program-program kerjasama dengan masyarakat. Besarnya areal kerja perusahaan mengindikasikan banyak masyarakat yang terliabt dalam program pembinaan tersebut. Salah satu bentuk program pembinaan tersebut adalah upaya pemanfaatan lahan masyarakat yang tidak/kurang produktif untuk dapat dimanfaatkan guna penanaman tanaman hutan. Program pemanfaatan lahan masyarakat tersebut belakangan lebih dikenal dengan hutan rakyat. Dengan
semakin
meningkatnya
progam
pemanfaatan
lahan-lahan
masyarakat tersebut dan semakin kompleknya pengurusan administrasi dan operasionalnya di lapangan maka perusahaan membentuk departemen khusus yang menangani program kerjasama pemanfaatan lahan tersebut dan terpisah dengan Department of Community Development (DoCD) yang tetap menangani masalah pembinaan masyarakat desa hutan. Lebih jauh, dengan semakin meningkatnya volume kegiatan pembangunan membentuk departemen tersendiri yang mengurusi kegiatan.Belakangan bahkan dibentuk anak perusahaan yang menangani kerjasama pembangunan hutan rakyat dengan masyarakat dan pihakpihak lainnya41. 4.3.2 Strategi Perluasan Areal Efektif Tanaman Mengingat
pesatnya
perkembangan
pembangunan
hutan
rakyat
belakangan ini, menyadarkan perusahaan bahwa pembangunan hutan rakyat dapat menjadi strategi pembangunan hutan tanaman yang lebih efektif dan efisien karena perusahaan tidak perlu memohon penambalan areal konsesi kepada
41
Di PT. RAPP, terdapat Departemen khusus yang menangani kerjasama dengan masyarakat berupa pembangunan hutan rakyat yakni Departement of Foresty dimana sebelumnya masuk dalam Departemen Community Development, namun kemudian karena besarnya peningkatan kegiatan di Departemen tersebut serta pertimbangan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kerjasama dengan masyarakat manajemen PT. RAPP membentuk perusahaan tersendiri yakni PT. Nusa Prima Manunggal yang menandatangani dan melaksanakan kerjasama pembangunan hutan rakyat (Tabrani, 2009).
90
pemerintah serta pengawasan dan pengamanan blok tanaman yang diserahkan kepada masyarakat pemilik lahan42. Banyaknya pemilik lahan produktif di sekitar konsesi perusahaan dapat menjadi peluang bagi perusahaan untuk menambah luas hutan tanaman pada waktu-waktu yang akan dating. Kecenderungan ini telah terbukti dengan penambahan kapling ataupun lahan baru dari masyarakat pada kegiatan penanaman rotasi berikutnya43 dimana dalam pelaksanaannya perusahaan lebih bersifat akomodatif terhadap peningkatan animo masyarakat tersebut. Hal ini juga mengakibatkan perusahaan harus
menanggung biaya
pemantapan lahan
masyarakat tersebut. Bahkan Kirmadi (2009)44menyatakan bahwa hutan rakyat seharusnya dapat dilaksanakan tidak hanya pada lahan yang tidak produktif di ladang/kebun saja tetapi juga dapat dilaksanakan di pekarangan yang melibatkan lahan yang cukup luas. Berdsarkan data statistic lahan pemukiman di Kab. Kuantan Singingi mencapai 115.703 Ha.
4.4 Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat di Kecamatan Logas Tanah Darat. Kasus sengketa lahan yang banyak terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi memaksa kedua belah pihak yakni masyarakat sekitar hutan dan perusahaan untuk berunding. Perundingan biasanya dilaksanakan dengan dihadiri oleh Muspida setempat guna menduduknya status formal yang sesungguhnya atas status lahan yang disengketakan. Namun guna mengatasi ketegangan diantara kedua pihak biasanya berakhir dengan peningkatan bantuan kepada masyarakat oleh perusahaan dan ataupun dengan skema pola kerjasama pembangunan hutan rakyat. Tanggapan kedua pihak terhadap pola kerjasama pembangunan hutan rakyat ini ddianggap sebagai simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua 42
43 44
Pengawasan dan penanaman blok tanaman hutan rakyat diserahkan kepada masyarakat pemilik lahan dan pihak perusahaan membantu biaya operasional petugas yang ditunjuk oleh masyarakat. Di Desa Rambah pada rotasi I peserta hutan rakyat sebanyak 175 KK (tahun 2002) kemudian pada rotasi II penanaman HR pesertanya menjadi 302 KK. Kirmadi adalah petugas perusahaan yang mengawali negosiasi hingga pelaksanaan pembangunan hutan rakyat di Kab. Kuantan Singingi. Walaupun pada saat ini yang bersangkutan bertugas pada departemen yang lain dalam perusahaan tersebut.
91
belah pihak. Walaupun penyusunan formulasi kontrak kerjasama pada awalnya berlangsung alot karena kedua pihak harus mempertimbangkan banyak aspekaspek berpotensi merugikan mengingat kontrak ini akan berlansung relative lama dan dituntut untuk dapat memperkirakan situasi yang akan terjadi pada kurun waktu 7-8 tahun yang akan datang (prospektif)45. Kerjasama pembangunan hutan rakyat dilaksanakan antara kelompok masyarakat tani hutan rakyat dengan pihak perusahaan yang dituangkan dalam kontrak kerjasama. Kotrak kerjasama tersebut dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Hutan Rakyat. Pihak masyarakat diwakili oleh ketua kelompok sedangkan pihak perusahaan diwakili oleh petugas yang bertanggung jawab di bidang pembinaan masyarakat desa hutan atau bidang perencaan yang bertugas mencari alternative perluasan areal tanaman hutan tanaman. Kontrak ini berlaku untuk masa tertentu yang biasanya berlaku selama dua daur tanaman. Perbaikan dan perpanjangan kontrak kerjasama didalam atau setelah masa kontrak dilaksanakan berdasarkan kesepakatan diantara kedua belah pihak. Dalam kontrak tersebut ditetapkan lama masa kontrak yang didasarkan pada umur ekonomi dan umur teknis jenis tanaman yang sesuai dengan persyaratan bahan baku bagi industry penerima hasil hutan46. Untuk itu maka jenis yang
dibudidayakan
seluruhnya
merupakan
jenis
yang
nantinya
akan
dimanfaatkan oleh pihak perusahaan. Jenis tersebut ditanam pada seluruh areal efektif lahan masyarakat tanpa menyisakan untuk jenis-jenis lain yang memungkinkan untuk diversifikasi hasil/ produk hutan rakyatnya47. Penetapan harga kayu per satuan (m3) hasil tebangan pada hutan rakyat ditetapkan di awal kontrak. Besaran nilai harga per satuan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara ketua kelompok tani hutan rakyat dengan pihak perusahaan. Dalam penetapan harga per satuan tersebut, masing-masing mempertimbangkan 45 46
47
Pada awal perundingan, pertemuan antara perusahaan dengan petani hutan rakyat berlangsung beberapa kali dan memakan waktu yang lama (3-4 bulan), Tabroni (2009); Jenis yang diusahakan adalah species Acacia sp dimana umur 7-8 tahun dianggap telah memenuhi syarat ekonomi dan teknis sebagai bahan baku industry pulp dan kertas. Namun belakangan muncul kebijakan bahwa pada umur 6 tahun secara teknis telah dapat dipanen walaupun sejalan dengan kebijakan ini ada desakan dari kelompok tani hutan rakyat untuk mengurangi daur sehingga dapa mengurangi lama masa kontrak kerjasama yang akan dibuat. Karena pertimbangan efektifitas lahan maka seluruh lahan masyarakat tersebut ditanami dan tidak ditanam jenis yang lain seperti : tanaman unggulan local, tanaman kehidupan, dll yang bermanfaat bagi masyarakat.
92
komponen-komponen pengeluaran pembangunan hutan rakyat dan peluang pendapatan apabila lahan tersebut dimanfaatkan untuk budidaya jenis tanaman yang lain. Dalam praktek, pihak perusahaan berusaha menekan harga jual kayu hasil hutan dengan alasan besarnya biaya pembuatan tanaman dan rendahnya harga kayu yang diterima di industry48. Sementara petani hutan rakyat mempertimbangkan peningkatan harga jual kayu berdasarkan lamanya kontrak kerjasama dan besarnya kehilangan kesempatan ekonomi yang diterimanya atas lahan mereka karena lahan tersebut tidak dapat diusahakan untuk komoditi yang lain49. Dalam pembangunan hutan rakyat tersebut, pihak perusahaan menanggung biaya-biaya pemantapan status lahan masyarakat50, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan sementara petani hutan rakyat dapat ambil bagian dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat tersebut serta kegiatan pengamanan tanamannya dengan tingkat upah yang ditetapkan oleh pihak perusahaan51. Penetapan besaran pembayaran hasil hutan rakyat untuk petani ditetapkan oleh pihak perusahaan berdasarkan besar hasil hutan yang diterima oleh pihak perusahaan di lokasi industry52. Dengan kata lain petani hutan rakyat harus menanggung angka koreksi (pengurangan) hasil hutan akibat ekploitasi yang dilaksanakan oleh perusahaan53. Sementara administrasi dan pendataan kegiatan eksploitasi hutan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak perusahaan. Pelaporan hasil penerimaan hasil hutan di industry yang dilaksanakan oleh pihak perusahaan dilaporkan kepada ketua kelompok tani hutan rakyat untuk diteruskan kepada seluruh anggota. Setelah ketua kelompok tani mengetahui dan 48 49
50 51
52
53
Pihak perusahaan memperlakukan nilai hasil hutan kayu rakyat sama dengan hasil hutan dari perusahaan (hutan tanaman industry). Kelompok tani hutan rakyat berasumsi bahwa bila lahan tersebut bila ditanami kelapa sawit atau tanaman semusim seperti : padi, cabe, dllnya akan memperoleh hasil yang lebih besar (lebih besar dari Rp. 4,8 juta/ 5-6 tahun). Perusahaan mengkonfirmasikan kepada Kantor Pertanahan tentang status lahan masyarakat tersebut untuk selanjutnya mendapatkan pengesahan/ pengakuan tentang status lahannya.. Dalam pelaksanaannya, petani hutan tidak dapat terlibat dalam kegiatan (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan) karena tidak dapat memenuhi standar kerja dan standar upah yang ditetapkan oleh perusahaan. Di industry diterbitkan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dari hutan rakyat yang mencantumkan asal petak dan kubikasi kayu yang diterima, alat angkut dan nomor polisi alat angkut. Dalam prakteknya, kubikasi yang diterima di industry biasanya lebih kecil dari kubikasi standing stock berdasarkan survey. Hal ini menyebabkan pengurangan penerimaan petani hutan karena eksploitasi menyisakan kayu yang tertinggal di lapangan maupun pengurangan tonase di industry.
93
menyetujui hasil pelaporan tersebut, selanjutnya dijadwalkan rencana pembayaran kepada anggota pada lokasi yang disepakati dengan dihadiri oleh seluruh anggota kelompok tani hutan. Pada kesempatan tersebut juga dibicarakan tentang evaluasi pelaksanaan kegiatan dan kelanjutan kontrak kerjasama diantara kedua belah pihak54.
54
Dalam prakteknya, kesempatan tersebut dipergunakan untuk merenegosiasi perjanjian kerjasama yang akan dibuat seperti penetapan harga per satuan tidak didasarkan pada kubikasi yang dihasilkan tetapi berdasarkan luasan, perubahan masa daur dan lain-lain. Dalam perpanjangan kontrak biasanya ada peserta yang mengundurkan diri namun lebih banyak anggota baru yang ikut bergabung. Dalam perundingan ini ketua kelompok tani hutan berperan sebagai penengah antara perusahaan dengan anggota kelompok tani.
94
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Lingkungan Internal Analisis lingkungan internal dilaksanakan guna mengamati berbagai faktor
internal yang berpengaruh pada pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Faktor-faktor internal tersebut merupakan kondisi eksisting dan Keadaan lingkungan yang dimiliki dan mempengaruhi performa pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantang Singingi. Faktor ini merupakan faktor-faktor yang merupakan kekuatan yang bias dimanfaatkan dan sekaligus titik-titik kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaannya selama ini. Faktor-faktor internal diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner tahap pertama yang merupakan identifikasi terhadap faktor-faktor yang dianggap secara dominan mempengaruhi keberhasilan dan prestasi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Identifikasi faktor-faktor internal tersebut diklasifikasikan sebagai kekuatan dan kelemahan.
5.1.1 Kekuatan Dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi, faktor-faktor kekuatan yang dimiliki adalah sebagai berikut: 1)
Tersedianya Lahan Masyarakat Untuk Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi dengan luas lahan sebesar yang seluas:
754.000 Ha, dari 12 Kecamatan tersebut hutan rakyat terdapat pada 5 kecamatan yakni: Kuantan Hilir, Pangean, Logas Tanah Darat, Cerenti dan Inuman. Dari data tersebut terlihat bahwa lahan sawah mencapai: 24.664 Ha atau 3,27%, pemukiman: 115.703 Ha atau 15,34% sementara lahan bukan sawah seluas: 613.845 atau 81,39%. 2)
Kesesuaian Lahan Berdasarkan data penutupan lahan dapat diketahui bahwa hampir seluruh
penutupan lahan adalah berupa vegetasi dengan tingkat ketebalan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di Kabupaten Kuantan Singingi memiliki kesesuaian untuk berbagai jenis vegetasi. Secara dominan lahan yang ada
95
ditumbuhi oleh beberapa jenis tanaman tahunan seperti: karet, kelapa, jengkol, durian, mangga, kelapa sawit, sengon, aksi, dan lain-lain. Sementara itu terdapat juga beberapa tanaman semusim seperti: cabe, padi tadah hujan, jagung dan lainlain. Berdasarkan tutupan lahan maka dari data tersebut pada umumnya berupa lahan yang bervegetasi atau dilakukan penanaman. Walaupun terdapat istilah lahan kristis namun klasifikasi tersebut lebih dianalogikan dengan tingkat penutupan lahan dimana lahan dengan vegetasi pohon dianggap sebagai lahan yang tidak kritis sementara lahan yang ditutupi oleh semak belukar dianalogikan sebagai lahan kritis. Namun dalam kenyataannya di lapangan,
lahan
tersebut
masih
berpotensi
untuk
dapat
ditingkatkan
produktivitasnya. 3)
Terdapatnya Pasar Bagi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat Pola kerjasama pembangunan hutan rakyat yang selama ini yang terjadi,
memberikan jaminan pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat. Pola pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan kebanyakan merupakan kerjasama antara petani hutan rakyat dengan perusahaan. Sesuai dengan kesepakatan sebelum pelaksaan pembangunan telah disepakati bahwa hasil tebangan hutan rakyat langsung dibeli oleh pihak perusahaan. Disamping itu, praktek jual beli kayu dari hutan tanaman yang dilakukan antara masyarakat dengan pembeli menunjukkan adanya peluang pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat. Tentu saja pola ini berlaku untuk pembangunan hutan rakyat dengan pola kerjasama. 4)
Pengamanan Tanaman yang Lebih Efektif Jarak
antara
lokasi
hutan
rakyat
dengan
petani
hutan
rakyat
memungkinkan dilakukan kegiatan pengamanan oleh masyarakat secara lebih baik. Disamping itu, pembentukan kelompok tani hutan rakyat mendukung upaya pengaman tanaman hutan rakyat yang dilakukan secara komunal. 5)
Banyaknya Jenis Tanaman yang Telah Dibudidayakan Secara Tradisonal Budidaya tanaman tahunan oleh masyarakat yang telah dilaksanakan
selama ini memberikan peluang alternatife jenis tanaman hutan rakyat yang akan diusahakan. Vegetasi yang ada dapat diklasifikasikan sebagai tumbuhan (tumbu han alami) dan tanaman (dibudidayakan). Tumbuhan alami pada umumnya berupa
96
jenis tumbuhan tropika basah seperti ratusan jenis kelompok meranti dan keruing serta ratusan kelompok jenis lainnya. Sementara tanaman yang dibudidayakan dapat dikelompokkan sebagai tanaman yang telah lama dibudidayakan (semenjak nenek moyang) seperti: durian, jengkol, kelapa, rambutan, mangga dan lain-lain serta jenis yang baru dibudidayakan seperti: sengon, jati, akasia, kelapa sawit, dan lain-lain. Namun berdasarkan data resmi diperoleh bahwa tanaman jenis karet dan kelapa sawit termasuk yang terluas dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Berdasarkan data resmi Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2006 diperoleh data sebagaimana Tabel 16. Tabel 16. Jenis komoditi, luas lahan dan produksi tanaman yang dibudidayakan di Kabupaten Kuantan Singingi No
Jenis Komoditi 1
Karet
2
Kelapa
3
Luas Lahan Tanam
Produksi (Ton)
(Ha) 157.070,12
145.740,40
4.421,30
5.832,35
Sawit
111.793,05
318.780,69
4
Kopi
3.89,40
247,61
5
Cengkeh
16,80
2,59
6
Pinang
304,95
110,17
7
Enau
19,60
16,56
8
Lada
45,65
13,17
9
Coklat
3.225,43
3.279,27
10
Kemiri
105
22
277.391,03
474.044,81
Jumlah
Sumber: Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2006
5.1.2
Kelemahan Faktor-faktor kelemahan yang mempengaruhi pengembangan hutan
rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalag sebagai berikut: 1)
Status Kepemilikan Lahan yang Lemah Dasar dokumen kepemilikan lahan dalam pembangunan hutan rakyat
umumnya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti
97
Rugi (SKGR). Namun legalitas kedua dokumen tersebut kadang tidak dapat dilakukan konfirmasi pada Badan Pertanahan Nasioanl (BPM) setempat. Banyak permohonan rekomendasi legalitas status lahan dalam rangka verifikasi pelayanan dokumen angkutan dari hutan rakyat tidak dapat diberikan klarifikasi oleh BPN. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan AKT dan SKGR hanya terbatas pada pemerintahan desa dan kecamatan saja. Lebih jauh, keberadaan/lokasi lahan pada SKT dan SKGR untuk hutan rakyat tumpang tindih dengan lahan Negara seperti lahan hutan Negara, lahan konversi seerti: perkebunan, lahan pinjam pakai seperti: pertambangan, lokasi industry dan lain-lain. 2)
Kurangnya Pemahaman dan Bimbingan oleh Lembaga Formal di Daerah Pembatalan perda tentang hutan rakyat menunjukkan bahwa pemerintah
daerah kurang memahami status dan perannya dalam pengaturan administrasi formal pengembangan hutan rakyat di daerah. Kebijakan pusat tentang pelayanan yang terkait pembangunan hutan rakyat yang lebih ditekankan pada aspek pembinaan dan stimulasi pelaksanaan kegiatan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Kebijakan daerah lebih ditekankan pada aspek perijinan dengan menerapkan retribusi atau pungutan tanpa memberikan fasilitas ataupun dispensasi terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat yang ada. 3)
Keterbatasan Permodalan Minat petani hutan rakyat untuk mengembangkan hutan rakyat pada
lahannya tidak dapat dilaksanakan secara mandiri. Pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan pihak luar (perusahaan) dikarenakan keterbatasan permodalan. Kondisi ini menyebabkan petani hutan rakyat tidak dapat dengan leluasa mengembangkan hutan rakyat sesuai dengan kepentingannya karena harus terikat dengan perjanjian yang ada. Sumberdaya lahan yang ada dari petani hutan tidak cukup memberikan posisi tawar yang bagus karena keterbatasan modal, ketrampilan dan monopoli pasar. Walaupun tidak harus berpatokan pada standar pembangunan hutan rakyat yang resmi sebagaimana ditetapkan oleh Departemen Kehutanan55 namun dapat menjadi gambaran bahwa pembangunan hutan rakyat membutuhkan biaya yang 55
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 26/Menhut-II/2009 Tanggal: 14 April 2009 STANDARD BIAYA PEMBANGUNAN HTAN TANAMAN INDUSTRI
98
tidak sedikit. Tantangannya adalah kemampuan petani untuk menyederhanakan komponen pembiayaan dan efisiensi pengeluaran disamping pemilihan jenis dan teknik budidayanya. 4)
Daur Tanaman Yang Lama (5-7) Tahun Sistem silvikutur dengan satu jenis tanaman (monokultur) dengan setahun
tanam yang sama menyebabkan petani hutan rakyat harus menunggu 5-7 tahun untuk memperoleh hasil berupa panen raya pada akhir daur. Karakteristik tanaman hutan yang memerlukan waktu yang lama tidak memberikan manfaat yang bersifat harian pada petani hutan rakyat sehingga perlu pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, pemanfaatan ruang tumbuh diantara tanaman hutan rakyat belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan keterlibatan petani hutan rakyat pada areal hutan rakyat setelah dilakukan penanaman dimana kegiatan pemeliharaan dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Untuk itu, modifikasi system pengelolaan yang memungkinkan aktifitas petani hutan rakyat pada blok tanaman hutan rakyatnya baik berupa kegiatan pemeliharaan serta pemanfaatan ruang tumbuhnya dapat mengatasi kebutuhan antara petani hutan rakyat selama menungu masa panen raya. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (Universitas Brawijaya, 2005) telah mengembangkan teknik pengembangan hutan rakyat dengan “Sistem Empat Strata” dimana Strata I terdiri dari tanaman pagar, Strata II Tanaman Pokok, Strata III berupa tanaman penguat teras (rumput gajah) dan tanaman semusim seperti: jagung kedelai, kacang hijau dan sayura, dan Strata IV terdiri dari: Sistem penggemukan ternak. Dengan system tersebut kegiatan petani hutan rakyat dapat berlangsung sepanjang tahun sementara tanaman hutannya tetap terpelihara. Sementara untuk Kabupaten Kuantan Singingi tentu diperlukan modifikasi bila hendak mengacu system tersebut. Namun semangat yang paling utama dari system tersebut adalah pemanfaatan ruang tumbuh yang ada dengan berbagai kegiatan pertanian yang produktif sambil menunggu masa panen raya dari hutan rakyatnya. 5)
Kurangnya Kemampuan Teknis Sistem Silvikultur
99
Pembangunan hutan rakyat masih merupakan barang baru bagi petani. Sementara pengembangan hutan rakyat perlu kemampuan teknis system silvikultur guna merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kaidah dan karakteristik tanaman hutan. Dimana setiap kesalahan dalam perencanaaan dan manajemen pembangunan hutan tidak dapat dengan segera dilakukan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh proses pertumbuhan tanaman yang berlangsung lambat dan dampak tindakan manajemen yang baru dapat diketahui setelah memakan waktu yang lama. Lebih jauh, investasi yang tidak sedikit dalam pembangunan hutan rakyat mengakibatkan kurangnya kepercayaan etani untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri. Hal ini menyebabkan pembangunan hutan akyat dipercayakan kepada pihak perusahaan yang dianggap lebih memiliki pengalaman dan dapat mengantisipasi kemungkinan kegagalan pembangunan pada tahap yang masih awal. Walaupun petani sudah memperkirakan bahwa kegagalan pembangunan hutan rakyat oleh pihak perusahaan tidak merugikan petani secara financial karena sumberdaya yang dikerjasamakan berupa hutan rakyat pasti memberikan keuntungan kepada petani hutan rakyat baik berupa financial maupun peningkatan produktivitas lahannya.
5.2
Analisis Lingkungan Eksternal Analisis lingkungan eksternal dilakukan dengan mengevaluasi beberapa
faktor yang mempengaruhi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Dalam pendekatan ini dipertimbangkan aspek politik, ekonomi, social dan teknologi (PEST). Faktor-faktor lingkungan ekspternal ini diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner yang diklasifikasikan menjadi peluang dan ancaman sebagai berikut.
5.2.1 Peluang Faktor-faktor peluang yang dimiliki dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah sebagai berikut: 1)
Kebutuhan Hasil Hutan Kayu Yang Tinggi
100
Daya dukung hutan negara berupa hutan alam dan hutan tanaman di Kabupaten Kuantan Singingi bahkan di Provinsi Riau sebagai pensuply bahan baku kayu bagi industry kehutanan masih jauh cukup. Hal ini dapat dilihat dari besarnya kayu yang masuk di industry hasil hutan didatangkan dari luar daerah bahkan dari luar provinsi. Sementara itu, pengangkutan hasil panen dari hutan rakyat seluruhnya diperuntukan bagi industry yang berada di luar daerah sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Seluruh hasil hutan yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan kayu local sebesar 5% dari produksinya sekalipun. Hal ini menyebabkan industry di daerah tersebut masih harus mendatangkan hasil hutan dari daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan hasil hutan kayu untuk industry didalam dan luar Kabupaten Kuantan Singingi masih relative tinggi. 2)
Kebijakan Departemen Kehutanan Yang Menggalakan Hutan Rakyat Kebijakan Departemen Kehutanan untuk menggalakkan hutan rakyat
sebagai pendukung pemenuhan bahan baku industri kehutanan dapat menjadi sinyal yang baik bagi keberpihakan pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat. Kebijakan yang akan dilaksanakan meliputi perbaikan system silvikultur, pola
kerjasama
dan
skema
permodalan
guna
mendukung
berjalannya
pembangunan hutan rakyat yang hendak diterapkan tidak akan merubah praktek pembangunan hutan rakyat yang telah ada. Namun diberikan arahan perbaikanperbaikan pelaksanaannya dan sekaligus menstimulasi pada pembentukan praktek-praktek pembangunan melalui pembentukan kelompok tani hutan rakyat. Sementara itu, kepada pemerintah daerah akan diberikan arahan guna dapat menyajikan potensi dan persebaran hutan rakyat di daerahnya. 3)
Preferensi Subjektif Tentang Penggunaan Produk Kayu Dibandingkan Bahan Produk Substitusi Produk yang terbuat dari kayu secara subjektif masih dianggap sebagai
produk pilihan disbanding dengan produk substitusi yang terbuat dari bahan lainnya. hal ini dapat dibuktikan dengan masih besarnya minat produk furniture yang terbuat dari kayu dibandingkan dengan bahan plastic, melamin, dan lain-lain. Lebih dari itu, hasil hutan kayu juga dipergunakan untuk pembuatan kertas dan
101
pulp yang diperlukan oleh dua industry besar di Provinsi Riau dimana memerlukan bahan baku kayu yang relative besar. 4)
Tersedianya Ketentuan (Peraturan) dan Institusi Formal Yang Menangani Pengembangan Hutan Rakyat Terbitnya beberapa ketentuan yang terkait dengan hutan rakyat seperti
P.51/2007 dan P.33/2007 dan lain-lain, paling tidak dapat memberikan arahan awal bagi pelaksanaan adminstrasi formal didaearah dalam menangani pembangunan hutan rakyat. Ketentuan tersebut tentu harus dilanjutkan dengan ketentuan ketentuan lainnya seperti: hal-hal yang terkait dengan peran pemerintah daerah, hak dan kewajiban petani hutan rakyat, pengaturan pola kerjasama pembangunan hutan rakyat, penyuluhan dan pendampingan, insetif bagi pelaksana hutan rakyat dan lain-lain. Sementara itu, adanya institusi formal di daerah yang menangani secara khusus tentang hutan rakyat setidaknya dapat menjadi tempat rujukan bagi pelaksana pembangunan hutan rakyat untuk memperoleh arahan dan bimbingan serta konfirmasi legalitas pelaksanaannya di lapangan. Walaupun institusi tersebut harus juga secara proaktif mendoronh upaya-upaya peningkatan pembangunan hutan rakyat melalui penyuluhan, bimbingan dan arahan serta menjadi fasilitator bagi pelaksanaan kegiatan baik dari aspek teknis maupun finansial. 4)
Dukungan Dunia Internasional Terhadap Ekolabeling Budidaya tanaman hutan melalui hutan rakyat sudah sejalan dengan misi
global tentang kelestarian sumberdaya khususnya tanaman hutan. Hasil hutan dari hutan rakyat sesungguhnya berasal dari lahan yang ditingkatkan produktivitasnya melalui kegiatan penanaman dan pemanenan dan bukan dari pemanfaatan sumberdaya hutan alam. Hal ini memberikan harapan bahwa produk yang berasal dari hutan rakyat dapat diterima tidak hanya di pasar local tetapi juga di pasar dunia. Kritik dunia internasional tentang degrasi hutan tidak terjadi terhadap produk hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan hasil hutan dari hutan rakyat dapat menjadi sumber bahan baku setidaknya bagi industry likal dan industri dari di luar daerah . Lebih jauh, apabila sertifikasi terhadap hutan rakyat dapat dilaksanakan maka daya tarik akan usaha hutan rakyat dapat semakin
102
meningkat. Ahmadi (2005) menyatakan bahwa sertifikasi hutan rakyat dapat menjadi semacam attraction bagi petani hutan rakyat untuk tetap berkomitmen dengan usahanya karena mekanisme pasar memberikan insentif berupa harga yang tinggi (premium price) dan akses pasar yang lebih baik (improved-market accesses)56
5.2.2.1 Ancaman Faktor ancaman yang dihadapai dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah sebagai Berikut: 1)
Tumpang Tindih Kepemilikan dan Peruntukan Lahan Keterbatasan legalitas dokumen lahan hutan rakyat masih menjadi kendala
bagi kelancaran pembangunan hutan rakyat. Dokumen SKT dan SKGR yang umumnya dipergunakan bagi legalitas lahan hutan rakyat seringkali gagal dimintakan konfirmasi baik dari lembaga pertanahan, instansi sektoral, maupun wilayah kerja pemerintah daerah baik dalam satu wilayah maupun dengan wilayah tetangga. Banyak terjadi klaim lahan oleh lebih dari satu petani hutan rakyat ataupun kelompok petani hutan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa perlu upayaupaya guna menetapkan status lahan hutan rakyat dan menjamin legalitas kepemilikannya. Rencana Tata Ruang Wilayah Propovinsi (RTRP) yang baru dimana didalamnya terdapat status peruntukkan lahan baik milik masyarakat maupun perusahaan berbasis lahan seperti: perkebunan, dan kehutanan belum dapat disahkan. Sementara Perda No. 10/199457 sudah tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan karena bebagai sebab seperti perubahan jumlah kabupaten/kota karena adanya pemekaran, keluarnya wilayah Kepulauan Riau dari administrasi pemerintah Provinsi Riau dan lain-lain. Penyusunan kembali rencana tata ruang menjadi sangat sulit mengingat berbagai kepentinga antar pihan baik dalam satu wilayah maupun antar wilayah serta antar strata pemerintahan. Sejalan dengan semangat desentralisasi memberikan kekuatan pada arus bawah untuk 56
57
Ahmadi (2005): Hutan Rakyat seluas: 800 Ha dengan jenis Jati dan Mahoni di Dua Desa di Kabupaten Wonosobo telah mendapatkan sertifikasi (lolos uji sertifikasi hutan rakyat dari Kendari mendapatkan sertifikasi dari Forest Stewardship Conci (FSC) di Tahun 2005. Perda No. 10/1994 adalah Rencana Tata Ruang WIlayah Provinsi Riau yang sedang dilakukan revisi
103
menyuarakan keinginannya namun gagal mencapai sinkronisasi dan akomodasi atas kepentingan pihak lain. 2)
Kurangnya Keberpihakan Pemerintah Daerah Terhadap Hutan Rakyat Kurangnya
keterlibatan
pemerintah
daerah
terhadap
pelaksanaan
pembangunan hutan rakyat sering dianggap sebagai kurangnya keberpihakan pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan pembangunan hutan rakyat. Posisi pemerintah daerah lebih bersifat pasif yakni memberikan arahan dan bimbingan sejauh diminta oleh pelaksana pelaksana pembangunan hutan rakyat. Namun tidak/kurang memberikan fasilitas dan mediasi guna kelancaran pembangunan hutan rakyat. Banyak keterlibatan pemerintah daerah dipicu oleh terjadinya konflik baik antara petani hutan maupun antara masyarakat dengan perusahaan. 3)
Kurangnya Penyuluh Dari Pemerintah dan Instansi Lain Kurangnya kemampuan teknis sistem silvikultur dalam pembangunan
hutan rakyat sedikit banyak juga disebabkan oleh kurangnya peran pemerintah dan instansi yang terkait untuk memberikan penyuluhan pada masyarakat. Keberhasilan pembangunan hutan rakyat pada beberapa daerah di Indonesia biasanya tidak lepas dari peran atau asistensi dari pihak luar seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik local maupun lur negeri (Ahmadi, 2005)58 sehingga keterbatasan peran pihak luar yang kompeten berpotensi menghambat informasi yang seharusnya dapat menjadi pendorong petani hutan rakyat untuk menginovasi pembangunan dan manejemen hutannya. 4)
Keterbatasan Pemasaran Hasil Hutan Dari Hutan Rakyat (Monopoli) Keterbatasan permodalan petani hutan rakyat dalam pembangunan hutan
rakyat menyebabkan petani harus bekerjasaman dengan pihak luar yakni perusahaan. Perjanjian kerjasama ini telah mengikat petani untuk menjual hasil hutan dari hutan rakyatnya kepada pihak yang telah ditetapkan oleh mitra (perusahaan). Praktek seperti ini rawan terhadap monopoli sehingga petani tidak dapat memperoleh alternative pasar dengan harga yang lebih baik. Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan ketrampilan petani dalam budidaya tanaman 58
Ahmadi (2005): Hutan Rakyat di Wonosobo dibangun dibawah bimbingan beberapa LSM (ie. Arupa dan Persepsi), Worl Wide Fund for Nature (WWF) sementara Hutan Rakyat di Kendari dibawah bimbingan Tropical Forest Trust.
104
hutan rakyat sehingga harus mempercayakan secara penuh kepada pihak mitra untuk memilih jenis, teknik penanaman dan pemeliharaan serta pelaksanaan pemanenan dan pemasarannya. 5)
Pola Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat Yang Bersifat Manipulatif Praktek kerjasama yang selama ini sesungguhnya hanya menempatkan
petani hutan rakyat sebagai penyedia lahan dan sama sekali tidak menempatkan petani hutan rakyat sebagai mitra yang sesungguhnya dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat. Sumbernya lahan dan ketersediaan tenaga kerja seharusnya dipergunakan oleh mitra (perusahaan) untuk dilibatkan dalam berbagai tahap kegiatan pembangunan hutan rakyat seperti: penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pembangunan sarana dan prasarana, serta aspek kegiatan lainnya. Praktek kerjasaman ini lebih bersifat namun menempatkan petani hutan rakyat sebagai penyedia lahan sesungguhnya menyebabkan petani menjadi pihak yang menerima hasil tanpa melakukan kegiatan pembangunan sama sekali. Dan kerjasama seperti ini tidak memungkinkan petani hutan memperoleh transfer pengetahuan sehingga kerjasama seperti ini lebih bersifat manipulatif.
5.3
Hasil Evaluasi Faktor-Faktor Lingkungan Internal Faktor-faktor lingkungan internal meliputi kekuatan dan kelemahan dalam
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Analisis terhadap faktor-faktor penentu internal dilaksanakan dengan menggunakan matrik IFE sehingga diperoleh bobot, peringkat dan nilai terbobot. Bobot yang diperoleh dalam matrik IFE kemudian dipergunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan factor penentu tersebut yang menunjang keberhasilan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Total nilai terbobot yang diperoleh dari matriks IFE kemudian menjadi dasar untuk mengetahui respon dari pihak yang menjadi responden (Pihak Pemerintah, Petani Hutan Rakyat, dan Perusahaan) dalam memanfaatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan. Hasil analisis matriks IFE dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi disajikan pada table 17 berikut. Berdasarkan matrik IFE (Internal Faktor Evaluation) tersebut di atas diperoleh total skor terbobot sebesar 2,813. Hal ini menunjukkan bahwa
105
responden yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi sudah merespon dengan baik faktor-faktor internal dalam pengembangan hutan rakyat yakni melebihi skor terbobot lebih dari 2,5 (David, 2007). Hasil evaluasi faktor-faktor strategis internal pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dapat diperiksa pada Tabel 17.
5.3.1 Kekuatan 1)
Ketersediaan Lahan untuk hutan Rakyat Banyaknya lahan yang belum di manfaatkan secara produktif di kabupaten
kuantan singingi. Hal ini ditunjukan pada luasnya lahan bukan sawah maupun pemukiman yang umumnya berupa semak belukar yakni mencapai : 613845 Ha (81,39%). Hal ini belum termasuk lahan pemukiman yang sesungguhnya masih memberikan peluang guna penanaman jenis tanaman hutan rakyat yakni pada lahan seluas : 115.703 Ha (155%). Sementara pada lahan sawah juga masih digunakan untuk ditanami pada beberapa lokasi disamping sebagai penguatan teras sering juga berfungsi sebagai peneduh yakni seluas : 24.664 Ha (3,24 %). Skor terbobot 0,592 menunjukkan bahwa kesediaan lahan bagi hutan rakyat dipertimbangkan sebagai kekuatan utama dalam pengembangan hutan rakyat. Tabel 17. Analisis Matriks Internal Faktor Evaluation (IFE) Factor Strategis Internal
Bobot
Peringkat
Skor Terbobot
Kekuatan (Strengths) 1. Tersedianyan lahan masyarakat untuk Hutan Rakyat 2. Kesuburahan lahan
0,148
4
0,592
0,142
3
0,426
3. Terdapatnya pasar lokal bagi hasil hutan dari hutan rakyat 4. Pengamanan tanaman yang lebih efektif 5. Banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional Kelamahan (Weaknesses)
0,069
3
0,197
0,135
4
0,540
0,110
3
0,330
1. Status kepemilikan lahan yang lemah
0,080
2
0,160
2. Kurangnya pemahaman dan bimbingan dari lembaga formal di derah 3. Keterbatasan permodalan
0,076
2
0,152
0,069
2
0,138
4. Daur tanaman yang lama (5-7) tahun
0,106
2
0,212
5. Kurangnya kemampuan teknis system silvikultur Total
0,066
1
0,066
1
2,813
106
2)
Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan berada di urutan kedua setelah ketersediaan lahan
dengan bobot 0,142. keberhasilan penanaman jenis tanaman seperti : karet, sonokeling, sengon, dan lain-lain baik dalam program reboisasi dan rehabilitasi lahan maupun pembangunan hutan tanaman
menunjukan bahwa lahan di
Kabupaten Kuantan Singingi memungkinkan untuk dibuat hutan rakyat. Hal ini didukung oleh keberhasilan penanaman beberapa jenis yang secara tradisional dibudidayakan oleh masyarakat seperti : durian, jengkol, karet, dan beberapa tanaman buah seperti mangga, kelapa dan lain-lain. Skor terbobot 0,426 menunjukkan bahwa kesesuaian lahan dianggap sebagai kekuatan kecil oleh responden dalam pengembangan hutan rakyat di kabupatrn Kuantan Singingi 3)
Terdapatnya Pasar Lokal Bagi Hasil Hutan Dari Hutan Rakyat Keberadaan pasar lokal
mempunyai bobot 0,069 dengan tingkat
kepentingan yang berada di urutan kelima. Besarnya kebutuhan hasil hutan kayu dari hutan Negara yang tidak dapat di penuhi pengusaha hutan alam dan hutan tanaman menunjukan bahwa potensi kebutuhan kayu sangatlah tinggi. Lebih dari itu, maraknya illegal logging disamping akibat dari uapaya mendapatkan kayu yang murah sesungguhnya mengindetifikasi bahwa kebutuhan kayu yang tinggi. Disamping itu, masih beroperasinya industri pengolohan dan lokasi-lokasi penampungan kayu menunjukkan bahwa pasar kayu bagi hasil hutan dari hutan rakyat masih terbuka lebar. Skor terbobot 0,197 menunjukkan bahwa pasar lokal bagi hasil hutan dari hutan rakyat menjadi kekuatan kecil dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 4)
Pengamanan Tanaman Yang Lebih Efektif Blok lahan hutan rakyat umumnya berada di dalam atau di dekat desa yang
umumnya memiliki akses tidak menentu. Kadang memanfaatkan jalan desa ataupun jalan HPH dan HTI yang telah dibuat oleh perusahaan. Lokasi yang relative dekat tersebut dilaksanakan secara bersama-sama secara bergiliran dalam
107
satu kelompok tani hutan rakyat. Biasanya kelompok tani hutan rakyat membuat jadwal patroli yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengamankan tanaman dari bahwa kebakaran, gangguan hama dan penyakit serta kegiatan pemeliharaan sampai dengan masa panen. Skor terbobot 0,540 menunjukkan bahwa pengamanan tanaman yang lebih efektif dianggap sebagai kekuatan utama dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 5)
Banyaknya Jenis Yang Telah Dibudidayakan Secara Tradisional Banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional mempunyai
bobot 0,110 dengan tingkat kepentingan pada urutan keempat. Banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional memberikan peluang pengembangan hutan rakyat yang lebih besar khususnya yang berkaitan dengan diversifikasikan hasil hutan serta hasil hutan ikutan dari hutan rakyat. Skor terbobot 0,330 menunjukkan bahwa factor tersebut dianggap sebagai kekuatan kecil dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi.
5.3.2
Kelemahan
1)
Status Kepemilikan Lahan Yang Lemah Status kepemilikan lahan yang lemah mempunyai bobot 0,080 dengan
tingkat kepentingan pada urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan memegang peranan penting dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Singingi. Skor terbobot 0,160 menunjukkan bahwa faktor status tanah kurang direspon secara baik oleh pihak yang terlibat dalam pembangunan hutan rakyat. 2)
Kurangnya Pemahaman dan Bimbingan Oleh Lembaga Formal di Daerah Kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh instansi Pemerintah di Daerah
memiliki tingkat kepentingan pada urutan ketiga dengan bobot 0,076. Hal ini didasarkan pada dilaksanakan secara mandiri oleh mayarakat. Skor terbobot 0,152 menunjukkan bahwa faktor tersebut kurang mendapatkan respon dari pihak responden.
108
3)
Keterbatasan Permodalan Keterbatasan permodalan memiliki bobot 0,69 dengan tingkat kepentingan
pada urutan keempat. Pola kerjasama pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi pada saat ini lebih menempatkan masyarakat sebagai penyedia lahan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki oleh masyarakat peserta kelompok tani hutan rakyat. Skor terbobot 0,138 berarti kelemahan tersebut merupakan kelemahan kecil dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 4)
Daur Tanaman Yang Lama (5-&) Tahun Daur tanaman yang memiliki bobot 0,106. Hal ini menunjukkan bahwa
factor tersebut menjadi pertimbangan yang penting. Pemanfaatan hasil yang baru dapat diterima oleh masyarakat pada masa panen (5-&) tahun mepakan waktu yang lama. Hal ini menyebabkan hutan rakyat belum dapat memberikan dukungan pada kebutuhan ekonomi kelompok tani hutan rakyat sehari-hari. Namun skor terbobot 0,212 menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan faktor kelemahan kecil dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 5)
Kurangnya Kemampuan Teknis Sistem Silvikultur Keterbatasan teknis system silvikultur memiliki bobot 0,066 dengan
tingkat kepentingan paling rendah. Namun faktor ini memiliki skor terbobot 0,066. Hal ini menunjukkan bahwa faktor tersebut merupakan kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi.
5.4
Hasil Evaluasi Faktor-Faktor Lingkungan Eksternal Faktor- faktor lingkunagn eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang
dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Faktor-faktor tersebut dievaluasi dengan menggunakan matrik EFE sehingga diperoleh bobot peringkat dan nilai terbobot. Hasil dari penghitungan bobot dalam matrik EFE dipergunakan untuk mengetahui kepentingan faktor penentu yang menunjang keberhasilan dalam
109
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Nilai total terbobot yang diperoleh dari matrik EFE menjadi tolak ukur untuk mengetahui respon dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan hutan rakyat. Hasil evaluasi faktor eksternal di Kabupaten Kuantan Singingi disajikan pada Tabel 18. Dari evaluasi faktor-faktor eksternal dengan mempergunakan matrik EFE diperoleh total skor terbobot 2.386. Hal ini menunjukkan bahwa responden (pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi kurang dapat menerapkan/menjalankan strategi dengan memanfaatkan dan mengantisipasi ancaman yang ada. Bila berpedoman kepada (David, 2007), maka nilai terbobot dibawah 2,5 menunjukkan bahwa pihak-pihak (responden) tersebut belum menjalankan strategi secara efektif dengan memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman. Hasil evaluasi faktor-faktor eksternal dapat dijelaskan sebagai berikut.
5.4.1 Peluang 1)
Kebutuhan Bahan Baku Kayu Yang Tinggi Kebutuhan bahan baku kayu yang tinggi yakni 0,120 dengan tingkat
kepentingan berada pada urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa tersebut sangat strategis karena terkait dengan belum dapat dipenuhinya kebutuhan kayu hutan Negara baik hutan alam maupun hutan tanaman. Skor terbobot 0,360 menunjukkan bahwa faktor tersebut disambut dengan baik oleh responden. 2)
Kebijakan Departemen Kehutanan Yang Menggalakkan Hutan Rakyat Kebijakan pemerintah yang dalam hal ini pemerintah pusat terhadap
perkembangan hutan rakyat memiliki bobot 0,125. Hal ini menunjukkan bahwa faktor tersebut dapat memberikan dukungan pada pelaku pembangunan hutan rakyat baik dari aspek administrasi formal maupun bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan. Skor terbobot 0,375 menunjukkan bahwa faktor tersebut dipertimbangkan dengan baik oleh responden dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi.
110
Tabel 18. Analisis Matriks Eksternal Faktor Evaluation (EFE) Faktor Strategis Eksternal Peluang (Opportunites) 1. Kebutuhan Hasil Hutan Kayu Yang Tinggi 2. Kebijakan Departemen Kehutanan menggalakan Hutan Rakyat 3. Preferansi Subjektif terhadap Produk Kayu Dibandingkan Bahan Produk Substitusi 4. Ketersediaan Ketentuan (Peraturan) dan Institusi Formal Yang Menangani Pengembangan Hutan Rakyat 5. Dukungan Dunia Internasional Terhadap Ekolabing Ancaman (Threats) 1. Tumpang Tindih Kepemilikan dan Peruntukkan Lahan 2. Kurangnya Keberpihakan Pemerintah Daerah Terhadap Hutan Rakyat 3. Kurangnya Penyuluhan dari Pemerintah dan Instansi Lain 4. Keterbatasan Pemasaran Hasil Hutan dari Hutan Rakyat (Monopoli) 5. Pola Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat Yang Bersifat Manipulatif Total
3)
Bobot
Peringkat
Skor Terbobot
0,120 0,125
3 3
0,360 0,375
0,119
3
0,357
0,081
2
0,162
0,096
3
0,288
0,083 0,113
2 2
0,166 0,226
0,100
2
0,200
0,070
1
0,070
0,091
2
0,182
1
2,386
Preferensi Subjektif tentang Penggunaan Produk Kayu Dibandingkan Produk Substitusi Preferensi yang cenderung mempergunakan kayu dibanding produk
subsitusinya memiliki bobot 0,119 dengan tingkat kepentingan berada pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa hasil hutan rakyat hendaklah tetap menghasilkan produk kayu sebagai hasil hutan utamanya. Preferensi ini berangkat dari pemikiran bahwa hutan rakyat adalah seperti hutan Negara yang menanam dan atau memelihara tegakan guna dimanfaatkan hasilnya berupa kayu. Skor terbobot 0,357 menunjukkan bahwa faktor tersebut dipertimbangkan dengan baik oleh responden dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 4)
Tersedianya Ketentuan (Peraturan) dan Institusi Formal Yang Menangani Pengembangan Hutan Rakyat Adanya peraturan dan institusi formal yang bertanggung jawab pada
pengembangan hutan rakyat memiliki bobot 0,081 dengan tingkat kepentingan pada urutan kelima. Di Kabupaten Kuantan Singingi, pembangunan hutan rakyat sampai saat ini dilaksanakan atas inisiatif kelompok tani hutan rakyat untuk
111
memanfaatkan lahannya yang belum produktif. Kerjasama dengan perusahaan dilaksanakan lebih untuk mengatasi keterbatasan permodalan. Sementara pemahaman kelompok tani hutan rakyat tentang ketentuan yang mengatur tentang hutan rakyat sangat terbatas . disamping itu, bimbingan dari pemerintah bisa dianggap sangat terbatas bila tidak bisa dikatakan tidak sama sekali. Peran Pemerintah Daerah masih bersifat pasif. Dan menunggu kebutuhan kelompok tani hutan rakyat. Keterlibatan pemerintah biasanya hanya terbatas pada saat panen tanaman hutan rakyat. Hal ini menunjukan bahwa selama persiapan lahan sampai dengan pemeliharaan pembangunan hutan rakyat dilaksanakan secara mandiri oleh kelompok tani hutan rakyat. Skor terbobot 0,162 menunjukan bahwa faktor tersebut dipertimbangkan secara sedang oleh responden. 5)
Dukungan Dunia Internasional Terhadap Ekolabelling Isu internasional yang berkaitan dengan ekolabelling mempunyai bobot
0,096 dengan tingkat kepentingan berada pada urutan keempat. Hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat dapat dianggap sebagai produk hasil hutan yang tidak berasal dari hasil hutan merusak kelestarian sumberdaya hutan. Hal ini dapat meningkatkan daya jual produk hasil hutan dimasa mendatang. Skor terbobot 0,288 menunjukan bahwa faktor tersebut dipertimbangkan secara baik oleh responden dalam pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi.
5.4.2 Ancaman 1)
Tumpang Tindih Kepemilikan dan Peruntukan Lahan Tumpang tindih kepemilikan dan peruntukan rakyat lahan memiliki bobot
0,083 dengan tingkat kepentingan berada pada urutan keempat. Lemahnya setatus kepemilikan lahan rentan akan terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan baik antar masyarakat maupun dengan pihak perusahaan. Disamping itu, belum ditetapkannya rencana tata ruang di Kabupaten Kuantan Singingi masih membuka peluang tumpang tindih peruntukan lahan. Skor terbobot 0,166 menunjukan bahwa faktor tersebut dipertimbangkan secara sedang oleh responden.
112
2)
Kurang Keberpihakan Pemerintah Daerah Terhadap Hutan Rakyat Kurangnya dukungan pemerintah daerah terhadap pembangunan hutan
rakyat memiliki bobot 0,113 dengan tingkat kepentingannya berada pada urutan pertama. Hal ini menunjukan bahwa factor tesebut merupakan factor strategi dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Kabupatan Kuantan Singingi. Mengungat ketentuan-ketentuan yangmengatur tentang hutan rakyat lebih mengedepankan peran aparat di daerah maka perhatian dan dukungan pemerintah daerah merupakan hal yang sangat peting. Skor terbobot 0,226 menunjukan bahwa factor ini direspon secara sedang oleh responden. 3)
Kurangnya Penyuluhan dari Pemerintah dan Instansi Lain Penyuluhan dari Pemerintah dan Instansi lain memiliki bobot 0,100
dengan tingkat kepentingan berada di urutan 2. Pembangunan hutan rakyat dilaksanakan atas kesadaran petani hutan rakyat untuk memberdayakan lahannya. Selama masa pembangunan hutan rakyat dapat dikatakan tidak terdapat peran pemerintah khususnya yang berupa bimbingan dan arahan. Skor terbobot 0,200 menunjukkan bahwa faktor tersebut direspon sedang. 4)
Pola Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat Pola kerjasama kelompok tani hutan rakyat yang bersifat manipulatif
mamiliki bobot 0,091 dengan tingkat kepentingan berada pada urutan kedua. Pola kerjasama yang dibuat memposisikan masyarakat sebagai penyedia lahan namun kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber penghidupan masyarakat lainnya selama masa daur sampai sebelum panen. Skor terbobot 0,182 menggambarkan bahwa faktor tersebut direspon sedang oleh responden dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. 5)
Keterbatasan Pemasaran Hasil Hutan Pemasaran hasil hutan rakyat yang hanya diperuntukkan bagi bahan baku
industry (perusahaan mitra) memiliki bobot 0,070 dengan tingkat kepentingan
113
berada pada posisi pertama. Skor terbobot 0,70 menunjukkan bahwa pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat kurang direspon dengan baik.
5.5
Alternatif
Strategi
Dalam
Pengembangan
Hutan
Rakyat
Di
Kabupaten Kuantan Singingi Alternatif
strategi dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Kuantan Singingi dilaksanakan dengan pendekatan analisis SWOT. Analisis matrik SWOT merupakan langkah selanjutnya setelah dilakukan analisis IFE dan EFE yakni dengan mencocokan faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan dengan faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang berpengaruh dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi. Berdasarkan matrik SWOT tersebut, dirumuskan delapan alternatif strategi melalui Strategi S-O Strategi W-O , Strategi S-T dan Strategi W-T sebagai berikut: Strategi 1 : Inventarisasi Persebaran Hutan Rakyat Strategi 2 : Crass Program Penetapan Status Lahan Hutan Rakyat Strategi 3: Aplikasi Modifikasi Sistem Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi) Strategi 4 : Skema Permodalan Untuk Hutan Rakyat Strategi 5 : Dukungan dan Bimbingan Dari Pemerintah Daerah Strategi 6 : Inventarisasi dan Usulan Jenis Tanaman Hutan Rakyat Strategi 7 : Pengaturan Pola Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat Strategi 8 : Diversifikasi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat
5.5.1 Strategi S-O Strategi S-O atau strategi kuatan atau peluang adalah strategi yang memanfaatkan kekuatan internal phak yang terlibat dalam pengembangn hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi tersebut menghasilkan dua alternative strategi dibawah ini.
114
1)
Investarisasi Persebaran Hutan Rakyat Strategi inventarisasi persebaran hutan rakyat yakni memanfaatkan faktor
kehutanan yang memiliki bobot dan peringkat tertinggi yakni tersedianya lahan masyarakat untuk hutan rakyat yang merupakan modal utama dan didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti kesesuaian lahan, tersedianya pasar lokal bagi hutan rakyat, pengamanan tanaman yang lebih efektif dan banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional. Kedelapan alternatif strategi tersebut dapat diperiksa pada gambar berikut:
Faktor Internal
STRENGHT (S) 1. Tersedianya lahan masyarakat untuk hutan rakyat 2. Kesesuaian lahan 3. Terdapatnya pasar local bagi hasil hutan dari hutan rakyat 4. Pengamanan tanaman yang lebih efektif 5. Banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional
WEAKNESSES (W) 1.Status kepemilikan lahan yang lemah 2.Kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh Lembaga formal di daerah 3.Keterbatasan Permodalan 4.Daur tanaman yang lama (5- 7) tahun 5.Kurangnya kemampuan teknis system silvi-kultur
STRSTEGI S-O 1. Inventarisasi Persebaran hutan rakyat (S1,S2,S3,S4,S5,O1,O2,O3,O4, O5) 2. Inventarisasi Usulan Jenis Tanaman Hutan Rakyat(S1,S2,S3,S4,S5,O1,O2,O3,O4, O5)
STRATEGI W-O 1. Crass Program Penetapan Setatus Lahan Hutan Rakyat (W1,W2,O2,O4, O5) 2. Aplikasi Modifikasi Sistem Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi) W2,W4 W5,,O2,O4,) 3. Skema Permodalan Untuk Hutan Rakyat (W2,W3 T2T3T4T5).
Faktor Eksternal
OPPORTUNITIES (O) 1. Kebutuhan hasil hutan kayu yang tinggi 2. Kebujakan Dephut menggalakan hutan rakyat 3. Preperensi subyektif produk kayu dari subtsitusi 4. Tersedianya ketentuan (peraturan) dan instansi formal yang menangani hutan rakyat 5. Dukungan internasional terhadap ekilabelling
115
THREATS (T) 1. Tumpang tindih kepemilikan dan peruntukan lahan 2. Kurangnya keberpihakan pemda terhadap hutan rakyat 3. Kurangnya penyuluhan dari pemerintah dan intansi lain 4. Keterbatasan pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat (monopoli) 5. Pola kerjasama yang bersifat menipulatif
1. 2.
STRATEGI S-T Dukungan dan Bimbingan dari Pemerintah Daerah (S1,S2,S3,S4,S5T1T2T3T4T5 ) Pengaturan Pola Kerjasama Hutan Rakyat (S1,S2,S3,4,S5, T5 )
STRATEGI W-T 1. Diversifikasi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat (W4,W5 T3T4,).
Gambar 8. Matrik SWOT Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Inventarisasi persebaran hutan rakyat perlu segera dilaksanakan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui potensi jenis dan luas hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Potensi tersebut dapat berupa tanaman yang telah dibudidayakan maupun potensi lahan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Tipe masyarakat yang agresif sesungguhnya sangat mudah beradaptasi dengan aflikasi sistem silvikultur yang memenuhi asas-asas kelestarian baik aspek sosial, ekonomi
maupun
sosial.
Dalam
P.51/Menhut-II/2007
sesungguhnya
dipersyaratkan kepada pemerintah kota dan kabupaten untuk dapat melakukan inventarisasi terhadap potensi dan penyebaran hutan rakyat di daerahnya. Namun ketentuan ini belum dapat dilaksanakan. Hambatan utamanya adalah keterbatasan dan akurasi data serta belum tersedianya dana untuk melakukan inventarisasi. Usulan proyek inventarisasi potensi hutan rakyat tidak menjadi prioritas utama pembangunan baik disektor kehutanan dan pemerintah Desa. Disamping itu apabila ada dilaksanakan pemerintah perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait khususnya lembaga pertahanan dan pemerintah desa 59 Seluruh faktor-faktor kekuatan yang ada digunakan untuk memanfaatkan peluang utama yang memiliki tingkat kepentingan adalah kebijakan Departemen Kehutanan menggalakan hutan rakyat, dan di dukung oleh faktor-faktor lainnya yang relevan seperti preferansi subjek produk kayu dibandingkan produk substitusinya, tersedia ketentuan formal
yang secara jelas mengatur tentang
administrasi hutan rakyat serta lembaga formal di daerah yang menangni 59
Ir Ardi Nasri (Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kuantan Siangingi)
116
pembangunan hutan rakyat serta kesesuaian pengembangan hutan rakyat dengan prinsip-prinsip ekolabelling dimana seluruhnya merupakan tanaman yang dihasilkan dari lahan hak dan dibudidayakan oleh masyarakat. 2)
Inventarisasi Jenis Tanaman Hutan Rakyat Strategi
inventarisasi
dan
usulan
jenis
tanaman
hutan
rakyat
memanfaatkan faktor kekuatan yang memiliki bobot dan peringkat tertinggi yang tersedianya lahan masyarakat untuk hutan rakyat yang merupakan kekuatan utama dan didukung oleh faktor-faktor kekuatan lainnya yaitu : kesesuaian lahan, terdapatnya pasar lokal dari hasil hutan dari hutan rakyat, pengamanan tanaman yang lebih efektif dan banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional. Seluruh faktor-faktor yang ada digunakan untuk memanfaatkan peluang berupa kebutuhan hasil hutan kayu yang tinggi, kebijakan Departemen Kehutanan untuk menggalakan hutan rakyat, preferensi subjektif terhadap produk kayu dibandingkan produk substitusinya, tersedianya ketentuan, (peraturan) dan instansi pormal di daerah yang menangani hutan rakyat serta kesepakatan global tentang ekolabelling. Inventarisasi dan usulan jenis tanaman hutan rakyat merupakan cikal bakal pengembangan hutan rakyat dimasa mendatang. Ketentuan jenis yang ditetapkan dalam P.51/Menhut-II/2007 adalah didasarkan kepada data base yang telah dimiliki oleh Departemen Kehutanan berdasarkan karakteristik masing-masing daerah. Namun sesungguhnya masih terdapat banyak jenis yang ada didaerah belum terangkum dalam data base tersebut. Terhadap ketentuan tersebut masih terbuka untuk diusulkan jenis-jenis lokal yang baru untuk ditetapkan sebagai jenis tanaman rakyat. Penetapan tersebut memiliki implikasi yang signifikan dalam pelayanan administrasi formal di daerah dimana jenis yang telah ditetapkan memberikan kemudahan verifikasi untuk kepemilikan produk hasil hutan dari hutan rakyat di daerah. Sementara jenis yang belum ditetapkan, pelayanan administrasinya akan dikenakan berdasarkan P.33/Menhut-II/2007. dimana dalamketentuan ini akn dilakukan verifikasi yang lebih detail mengingat legalitas asal produk hasil hutannya harus dapat dipastikan berasal dari lahan yang sah.
117
5.5.2 Strategi W-O Strategi W-O atau Strategi kelemahan peluang merupakan strategi mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi tersebut menghasilkan dua pilihan strategi dibawah ini yaitu : 1)
Crash Program Penetapan Stataus Lahan Hutan Rakyat Strategi crash program penetapan status lahan hutan rakyat dan kurangnya
pemahaman dan bimbingan lembaga formal didaerah terhadap pembangunan hutan rakyat. Seluruh kelemahan tersebut harus diatasi dengan memanfaatkan peluang yakni berupa dukungan kebijakan Departemen Kehutanan guna menggalakan pembangunan hutan rakyat, aplikasi ketentuan (peraturan) dan kemantapan instansi formal di daerah yang menangani hutan rakyat serta kesamaan semangat pembangunan hutan rakyat dengan asas-asas ekolabelling yang telah menjadi isu global. 2)
Aplikasi Modifikasi Sistem Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi) Strategi aplikasi modifikasi sitem silvikultur (aspek kelestarian ekonomi)
dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh lembaga formal di daerah, daur tanaman yang lama (5-8) tahun dan kurangnya kemampuan teknis kelompok tani hutan rakyat. Faktor-faktor kelemahan tersebut diatasi dengan memanfaatkan faktor-faktor peluang yang ada yaitu kebijakan Departemen Kehutanan untuk menggalakan hutan rakyat dan ketersediaan ketentuan (peraturan) dan instansi formal yang menangani hutan rakyat. Kebijakan Departemen Kehutanan yang berencana menggalakan program pembangunan hutan rakyat akan memberikan kesempatan yang bagus bagi pembangunan hutan rakyat. Kebijakan tersebut meliputi sistem kerjasama, sistem budidaya, dan permodalan. Sementara itu ketentuan yang ada mengenai hutan rakyat perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang memberikan insentif bagi pengembangan hutan rakyat di daerah. Kebijakan yang bersifat disinsentif akan menyebabkan keengganan pelaku pembangunan hutan rakyat untuk melaksanakan kegiatan. Perlu diingat bahwa pengembangan hutan rakyat
118
sesungguhnya berkaitan erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan/ atau peningkatan kesejahtraan. Hal ini dapat dilihat dalam praktek selama ini dimana peningkatan produktivitas lahan masyarakat kelompok tani hutan lebih merupakan tabungan daripada sumber penghidupan pokok masyarakat. Lebih jauh peraturan daerah dan lembaga formal di daerah diharapkan dapat merekomendasikan sistem sivikultur yang memenuhi aspek kelestarian ekonomi. Praktek selama ini dalam pembangunan hutan rakyat dengan pola kerjasama dengan perusahaan, kegiatan penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan yang seharusnya dapat menjadi peluang pekerjaan bagi petani hutan rakyat tidak dapat dipenuhi karena lemahnya keterampilah petani hutan rakyat sehingga tidak dapat memenuhi standar
kualitas kerja yang ditentukan oleh
perusahaan. Hal ini menyebabkan daur tanaman yang lama (5-7) tahun hanya memberikan manfaat ekonomi bagi petani hutan rakyat pada saat masa panen. Sementara selama masa penyiapan lahan sampai dengan menungu masa panen petani hutan rakyat harus mencari sumber penghidupanyang lain. Untuk itu, modifikasi sistem silvikultur dapat diterapkan mulai dari : sistem sivikultur tebang pilih, sistem budidaya multikultur dengan jenis-jenis Multi Purpose Tree Special (MPTS), serta pemanfaatan ruang tumbuh diantara tegakan dengan tanaman semusim.
5.5.3 Strategi S-T Strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan pelaksana pembangunan hutan rakyat menghindari ancaman eksternal yang ada, dengan alternative strategi sebagai berikut : 1)
Dukungan dan Bimbingan dai Pemerintah Daerah Memberikan dukungan dan bimbingan oleh pemerintah daerah kepada
kelompok petani hutan rakyat merupakan strategi yang memanfaatkan faktor kekuatan lahan masyarakat untuk hutan rakyat, kesesuaian lahan, ketersediaan pasar lokal, banyaknya jenis yang dibudidayakan secara tradisional. Seluruh faktor tersebut dipergunakan untukmengatasi/ menghindari ancaman seperti tumpang tindih kepemilikan dan peruntukan lahan, kurangnya keberpihakan
119
Pemda terhadap hutan rakyat, kurangnya penyuluhan dari pemerintah dan instansi lain, keterbatasan pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat, dan pola kerjasama yang bersifat manipulatif. Untuk melaksanakan strategi ini maka peran pemerintah daerah sangat menentukan untuk memastikan bahwa semua komponen dalam pengembangan hutan rakyat dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat memberikan insentif bagi minat masyarakt untuk ikut terlibat sebagai petani hutan rakyat. 2)
Pengaturan Pola Kerjasama Pembangunan Hutan Rakyat Strategi pola kerjasama pembangunan hutan rakyat ditujukan untuk
memberikan kepastian keadilan pola kerjasama tersebut khususnya bagi petani hutan rakayat dan pihak lain yang menjadi mitranya sehingga dapat saling mendukung dan memperoleh manfaat dari pembangunan hutan rakyat tersebut. Strategi tersebut dilaksanakan dengan memanfaatkan kegiatan berupa : ketersediaan lahan masyarakat untuk hutan rakyat, kesesuaian lahan, ketersediaan pasar likal bagi hasil hutan dari hutan rakyat, dan banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional untuk mengatasi ancaman pola kerjasama yang besifat manipulatif. Pengaturan pola kerjasama diupayakan agar dapat menjamin peran masyarakat berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya yang merupakan factor kekuatannya untuk dapatturut serta secara proposional dalam pembangunan hutan rakyat. Optimalisasi faktor kekuatan yang dimiliki oleh petani hutan rakyat akan dapat membentuk model peran masing-masing pihak baik kelompok tani hutan rakyat dan perusahaan untuk memutuskan model kerjasama yang paling tepat. Model kerjasama tersebut tentu berbeda-beda pada satu daerah dengan daerah yang lain. Namun proses pembentukan model kerjasama hendaknya berangkat dari pertimbangan kepemilikan sumberdaya dengan peran masing-masing secara adil. Untuk itu, ketersediaan aspek permodalan dapat menjadi prakondisi yang memberikan peluang yang lebih besar kepada petani hutan rakyat untuk dapat lebih berperan dalam praktek pembangunan hutan rakyat.
120
5.5.4 Strategi W-T Strategi kelemahan ancaman adalah strategi mengatasi kelemahan internal untuk menghindari ancaman lingkungan eksternal yang ada. Strategi tersebut menghasilkan dua opsi yakni : 1)
Diversifikasi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat Strategi diversifikasi hasil hutan dari hutan rakyat merupakan strategi yang
dihasilkan dari upaya untuk mengatasi kelemahan karakteristik pembangunan hutan rakyat yakni : daur tanaman yang lama (5-7) tahun dan kurangnya kemampuan teknis sistem silvikultur dan dengan menhindari ancaman keterbatasan pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat. Sistem silvikultur klasik yang membutuhkan waktu yang lama menyebabkan pembangunan hutan rakyat kurang dapat dilaksanakan oleh petani hutan rakyat secara mandiri. Disamping itu juga keterbatasan pengetahuan tentang teknik sistim silvikultur menyebabkan masyarakat petani hutan rakyat lebih mempercayakan pembangunan hutan rakyat kepada pihak mitra (perusahaan). Hal ini menyebabkan berbagai faktor kekuatan khususnya sumbedaya lahan yang ada dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak mitra. Praktek seperti ini membatasi alternative pemasaran produk yang dihasilkan karena produkhasil hutan yang dihasilkan lebuh ditujukan bagi pemenuhan satu pasar tertentu. Hal ini menjadikan pemasaran hasil hutan dari hutan rakyat sangatlah terbatas. Sesungguhnya masih terbuka peluang untuk dilakukan modifikasi praktek sistim silvikultur yang memungkinkan diversifikasi hasil hutan dari hutan rakyat. Sistim silvikultur tebang pilih pada tegakan yang mutikultur memungkinkan kegiatan penanaman dan pemeliharaan yang berlangsung secara kontinyu dengan berbagai alternatif produk hasil hutan. Disamping itu, budidaya multikultur memungkinkan untuk diperoleh hasil hutan ikutan seperti getah, resin, madu dan lain-lain yang menambah pendaptan petani hutan rakyat.
2)
Skema Permodalan Untuk Hutan Rakyat
121
Strategi skema permodalan untuk hutan rakyat merupakan strategi yang diterapkan dengan mengatasi kelemahan internal guna menghindari ancaman ekternal. Pembangunan hutan rakyat yang merupakan pembiayan tidak sedikit memaksa petani hutan rakyat mencari mitra untuk mendukung pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk itu, guna mendukung kemandirian petani hutan rakyat dalam melaksanakan kegiatan perlu kiranya disediakan skema pemodalan dengan bunga yang kecil. Dalam hal ini peran pemerintah diperlukan mengingat pembangunan hutan rakyat sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai program pemberdayaan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Departemen Kehutanan dalam program pengembangan hutan rakyat berupaya menyediakan skema permodalan. Walaupun sampai dengan saat ini masih belum dapat diformulasikan secara nyata. Keberhasilan mengatasi kelemahan ini dapat menghindarkan petani hutan rakyat dari kurangnya keberpihakan pemerintah daerah, kurangnya penyuluhan keterbatasan pemasaran hasil hutan dan keterpaksaan petani hutan rakyat ikut dalam pola kerjasama yang bersifat manifulatif.
5.5.5 Prioritas Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi Untuk menetapkan prioritas strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi dilakukan dengan analisis QSPM. Analisis ini merupakan kelanjutan dari analisis SWOT sebagai tahapan dalam pengambilan keputusan. Alternative strategi yang diperoleh dari analisis SWOT kemudian dihitung kembali dengan menetapkan nilai kemenarikan relative (AS). Strategi yang mempunyai nilai total kemenarikan relative (TAS) tertinggi menjadi prioritas strategi. Hasil analisis QSPM dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingidapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Analisis QSPM Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi
122
No Alternatif Strategi 1 Skema Permodalan Hutan Rakyat 2 Crash Program Penelitian Status Lahan Hutan Rakyat 3 Inventarisasi Pemberdayaan Hutan Rakyat 4 Aplikasi Modifikasi Sistim Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi) 5 Inventarisasi dan Usulan Jenis Tanaman Hutan Rakyat 6 Pengetahuan Pola Kerjasama Hutan Rakyat 7 Dukungan dan Bimbingan dari Pemerintah Daerah 8 Diversifikasi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat
Nilai TAS 5,884 5,790
Prioritas
5,691 5,648
III IV
5,276
V
5,274 5,044 5,022
VI VII VIII
Dari hasil hasil analisis QSPM pada Tabel 19 tersebut diatas diperoleh bahwa delapan alternatif strategi yang menjadi prioritas strategi dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah strategi Permodalan Hutan Rakyat dengan nilai TAS tertinggi yakni sebesar 5.884. penyediaan skema permodalan nampaknya menjadi perhatian utama dari kebanyakan responden baik dari petani hutan rakyat, perusahaan maupun pemerintah daerah. Petani bergantung pada pihak mitra yakni perusahaan untuk dapat melaksanakan setiap tahap pembangunan hutan rakyat. Sementara perusahaan berusaha mamanfaatkan kewajiban pembinaannya pada masyarakat desa sekitar hutan untuk dapat mencapai dua tujuan sekaligus yakni melakukan pembinaan dan memenuhi kebutuhan bahan baku kayu perusahaan. Sementara pemerintah daerah melihat keterbatasan permodalan sebagai kunci kemandirian petani hutan rakyat untuk melaksanakan pembangunan hutan rakyat.
5.5.6 Implikasi Manajerial Keterbatasan hutan Negara dalam memenuhi kebutuhan hasil hutan berupa kayu perlu dicarikan jalan keluar yang paling tepat. Dalam hal ini pengembangan hutan rakyat dapat menjadi salah satu jalan keluar dari permasalahan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala dan masalah yang dihadapi baik bersifat struktural maupun manajerial yang perlu dirumuskan strategi pengemembangan yang lebih efektif dan efesien. Untuk itu beberapa masalah dan jalan keluar yang dapat ditempuh disajikan pada Tabel 20. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan strategi tersebut adalahsebagai berikut:
I II
123
1)
Skema Permodalan Hutan Rakyat Kepala Desa dan Camat melakukan menindaklajuti usulan permohonan
skema permodalan oleh petani hutan rakyat dan melakukan verifikasi terhadap keberadaan dan potensi hutan rakyat yang ada diwilayah yang selanjutnya diterbitkan Surat Pengantar oleh kepala Desa dan Camat kepad Bupati/Walikota untuk dapat diberikan Rekomendasi Skema Permodalan Hutan Rakyat. Berdasarkan surat tersebut kemudian Bupati /Walikota menerbitkan Rekomendasi Skema Permodalan Hutan Rakyat kepada Lembaga Keuangan yang ditunjuk. 2)
Crash Program Penetapan Status Lahan Hutan Rakyat Pelaksanaan pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan oleh petani
hutan rakyat baik yang bersifat mandiri maupun bekerjasama dengan pihak perusahaan kebanyakan berada pada lahan dengan dokumen kepemilikan tanah berupa Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) dan Surat Keterangan Tanah (SKT). Dan hanya sebagian kecil saja yang berada pada lahan dengan Surat Hak Milik. Untuk dokumen SKGR dan SKT dalam penggunaannya dilapangan sering terjadi tumpang tindih penetapan lahannya khususnya yang berkaitan dengan batas desa dan lahan Negara (hutan negara). Sementara peningkatan status kepemilikan lahan oleh masyarakat sering mengalami kendala khususnya berkaitan dengan proses pengurusan dan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itu, pemerintah harus melakukan inisiatif dengan melakukan verifikasi dan telaah terhadap kepemilikan lahan petani hutan rakyat. Program ini harus melibatkan berbagai komponen baik lembaga pemerintah, LSM, dan masyarakat. Dalam menetapkan status lahan, lembaga yang terkait baik dari sektor maupun pemerintah daerah yang terkait dengan pertahanan dapat berkoordinasi untuk melakukan verifikasi terhadap legalitas dokumen lahan yang dijadikan lokasi hutan rakyat.
3)
Inventarisasi Persebaran Hutan Rakyat
124
Guna mengetahui potensi hutan rakyat di daerahnya, Bupati dan Walikota dapat memerintahkan kepada jajaran dibawahnya khususnya Camat dan Kepala Desa, dinas yang ditunjuk, serta Badan Pertahanan Nasional untuk melaksanakan inventarisasi dan survei keberadaan dan potensi hutan rakyat diwilayahnya. Hasil kegiatan tersebut akan menetapkan persebaran dan luas lahan hutan rakyat lahan yang potensial menjadi hutan rakyat, jenis yang akan ditanam, kelompok petani hutan rakyat, legalitas lahan dan lain-lain. Data tersebut kemudian dijadikan dokumen guna pengambilan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan program pengembangan hutan rakyat. Program tersebut dapat berupa rencana kegiatan pembinaan dan penyuluhan, skema permodalan, dan lain-lain. Tabel 20. Masalah dan Program yang Ditempuh Dalam Implementasi Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Provinsi Riau No
1
4)
Masalah (Prioritas Strategi) Skema Permodalan Hutan Rakyat
Solusi
Pelaksana
- Usulan Petani Hutan Rakyat - Verifikasi Kepala Desa dan Camat - Rekomendasi Bupati/Wlikota - Pemberian fasilitas pinjaman dengan bunga ringan - Asuransi tanaman - Verifikasi status kepemilikan lahan petani hutan rakyat - Pemberian status kepemilikan lahan
- Kepala Desa dan Camat - Bupati dan Walikota - Kepala Desa - Bank Pemerintah/swata/Lem baga Keuangan - Dinas Kehutanan Kab/Kota - Badan Pertahanan Nasional - Pemda Kab/Kota dan Desa - Dinas Kehutanan Kab/Kota - Badan Pertahanan Nasional - Bupati dan Walikota - Petani hutan rakyat - Dinas kehutanan Kab/Kota - Pemda Kab/Kota dan Kepala Desa - Perguruan Tinggi
2
Crash Program Penetapan Status Lahan Hutan Rakyat
3
Inventarisasi Hutan Rakyat
Persebaran
- Survey dan pemetaan potensi hutan raakyat di Kab/Kota. - Penetapan oleh Bupati/Walikota
4
Aplikasi Modifikasi Sistim Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi)
- Perubahan dari sistem tebang habis menjadi tebang pilih. - Menanam bebagai jenis (dalam unit petak/antar petak). - Jenis yangtermasuk dalam Multi Purpose Tree Species (MPTS)
Aplikasi Modifikasi Sistem Silvikultur (Aspek Kelestarian Ekonomi)
125
Praktek sistem silvikultur selama ini dalam pembangunan hutan rakyat tidak dapat memberikan kontinyuitas penghasilan kepada petani hutan rakyat. Dalam pembangunan hutan rakyat dalam pola kerjasama tidak memberikan kesempatan kepada petani hutan rakyat untuk terlibat dalam kegiatan penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan yang disebabkan oleh keterbatasan kualitas dan kemampuan pekerjaan terhadap standar kerja yang dipersyaratkan oleh pihak mitra. Selama masa penyiapan lahan sampai dengan pemeliharaan tanaman, petani hutan rakyat harus mencari penghidupan yang lain guna memenuhi kebutuhannya sehari-hari seperti: menanam padi, cabe, menjadi tukang dan lain-lain. Walaupun ada beberapa petani hutan rakyat yang masih mempertahankan kebun sebagai penghasilan utamanya. Manfaat ekonomi hanya diperoleh masyarakat pada saat panen setelah menunggu selama kurun waktu daur (5-7) tahun. Kondisi ini masih diperparah lagi apabila kondisi /potensi tegakan tanamannya tidak terlalu bagus (potensi terendah). Untuk itu modifikasi sbagai jenis tanaman. hutan sistem sivikultur perlu dilakukan agar dapat memenuhi persyaratan kelestarian ekonomi bagi petani hutan rakyat. Sistem silvikultur tebang pilih akan memberikan kontinyuitas kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pengembangan terhadap tegakan pada lahan hutan rakyat. Tegakan dengan berbagai kelas umur dapat memberikan kontinyuitas hasil Jenis yang dibudidayakan terdiri dari berbagai jenis yang komersial. Berbagai jenis tersebut dapat ditanaman satu petak ataupun sistem satu petak dengan berbagai jenis tanaman. Hutan rakyat yang homogen ini disamping memberikan keuntungan ekonomi juga dapat memberikan resistensi hutan rakyat terhadap hama dan penyakit. Sementara pemilihan jenis haruslah dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan atau Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti hasil kayu, buah, getah, bahkan aspek perlindungan dan lain-lain.
126
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan : 1) Masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal yakni yang bersifat institutional dan non institusional; 2) Masalah dan kendala institutional yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat adalah : a. Kurangnya pemahaman dan dukungan lembaga formal di daerah khususnya Pemerintah Daerah dimana walaupun ketentuan formal telah dibuat oleh Pemerintah Pusat namun kebijakan daerah yang dibuat cenderung bersifat non insentif terhadap usaha pengembangan hutan rakyat; b. Belum adanya lembaga keuangan yang bersedia/ menawarkan skema permodalan bagi usaha pengembangan hutan rakyat. Hal ini disebabkan oleh karakteristik klasik hutan rakyat yakni tingkat pengembalian modal yang rendah serta resiko investasi yang tinggi; c. Penanganan pengembangan hutan rakyat sangat bersifat sektoral sehingga tidak/ kurang melibatkan instansi lainnya seperti : Badan Pertanahan Nasional, Perangkat Pemerintah Daerah lainnya seperti Kecamatan dan Desa; d. Belum adanya sinkronisasi mengenai status lahan antar instansi menyebabkan dualisme klaim antara berbagai instansi pemerintah atas suatu areal. Sektor memiliki klaim yang berbeda dengan pemerintah daerah atas status lahan dan diperparah oleh tidak adanya sinkronisasi rencana tata ruang antar tingkat pemerintahan di daerah. Dobel klaim atas lahan karena adanya surat tanah yang sama-sama diterbitkan oleh instansi yang sama dan lain-lain. 3) Kendala dan masalah non institutional yang terjadi dalam pengembangan hutan rakyat adalah :
127
a. Lemahnya status kepemilikan lahan oleh petani hutan rakyat menyebabkan pengembangan hutan rakyat kurang dapat dilaksanakan dengan baik. Status lahan yang tidak pasti akan menghambat petani untuk memperoleh mitra usaha, pinjaman modal dan bimbingan dari instansi yang berkepentingan; b. Petani hutan rakyat umumnya memiliki keterbatasan permodalan dimana hal ini menyebabkan ketergantungan usahanya pada pihak lain dan menghambat pengembangan hutan rakyat secara mandiri; c. Karakteristik usaha kehutanan yang memerlukan waktu relatif lama untuk memungut hasilnya menambah beban bagi masyarakat dan menghambat minat petani untuk mengembangan hutan rakyat secara mandiri; d. Sistem budidaya kehutanan yakni “system silvikultur” yang relatif belum dikenal oleh petani hutan rakyat menghambat petani untuk mengusahakan hutan rakyat secara lebih efisien dan berdaya guna dalam kaitannya
dengan pemanenan hasil hutan dan hasil hutan
ikutannya; 4) Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategis internal diperoleh kesimpulah bahwa: (a) Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: tersedianya lahan masyarakat untuk hutan rakyat, keseuaian lahan, terdapatnya pasar lokal bagi hasil hutan dari hutan rakyat, pengamanan tanaman yang lebih efektif dan banyaknya jenis yang telah dibudidayakan secara tradisional; dan (b) Faktor-faktor yang menjadi kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: status kepemilikan lahan yang lemah, kurangnya pemahaman dan bimbingan oleh lembaga formal di daerah, keterbatasan permodalan daur tanaman yang lama (5-7) tahun dan kurangnya kemampuan teknis sistem silvikultur; 5) Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategi eksternal diperoleh kesimpulan bahwa: (a) Faktor-faktor kesempatan dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: kebutuhan hasil hutan
128
kayu yang tinggi, kebijakan Dephut menggalakkan hutan rakyat, preverensi sujektif produk kayu daripada produk subsitudi, dan tersediannya ketentuan (peraturan) dan instansi formal yang menangani hutan rakyat; dan (b) Faktor-faktor ancaman dalam pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi adalah: tumpang tindih kepemilikan lahan dan peruntukkan lahan, kurangnya keberpihakkan Pemda terhadap hutan akyat, kurangnya penyuluhan dari Pemerintan dan Instansi lain, keterbatasan pemasaran hasil hutan rakyat (monopoli) dan pola kerjasama yang bersifat manupulatif; 6) Berdasarkan hasil analisis terhadap Matrik SWOT diperoleh delapan alternatif strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi yakni: a. Iventarisasi pesebaran hutan rakyat. b. Inventarisasi dan usulan jenis tanaman hutan rakyat. c. Crash program penetapan status lahan hutan rakyat. d. Aplikasi modifikasi sistem silvikultur (aspek kelestarian ekonomi). e. Dukungan dan bimbingan dari Pemerintah Daerah. f. Pengaturan pola kerjasama hutan rakyat. g. Diversifikasi hasil hutan dari hutan rakyat dan. h. Penyediaan skema permodalan hutan rakyat. 7) Berdasarkan analisis terhadap Matrik QSPM diperoleh hasil dua alternatif strategi utama yang harus mendapatkan perhatian yakni: penyediaan skema permodalan hutan rakyat dan pelaksanaan crash program penetapan status lahan hutan rakyat.
6.2 Saran : Mengatasi masalah dan kendala pembangunan hutan rakyat, beberapa pendekatan dan atau upaya yang dapat diterapkan sebagai berikut : 1) Memperhatikan alternative strategi yang direkomendasikan oleh berbagai pihak maka penyediaan skema permodalan untuk pembangunan hutan rakyat hendaknya dapat difasilitasi oleh Pemerintah dan Lembaga Keuangan (Pemerintah dan/atau swasta). Dana tersebut dapat disediakan
129
oleh Pemerintah Daerah melalui program pengembangan hutan rakyat baik melalui keproyekkan maupun pinjaman dana bergulir; Disamping itu dapat diupayakan penyediaan dana dari perbankan dengan bunga lunak serta asuransi tanaman hutan rakyat yang lebih fleksibel; 2) Guna memberikan kepastian usaha pengembangan hutan rakyat, perlu dilakukan penetapan status hutan rakyat oleh tim yang terdiri dari instansi yang terkait baik sektoral maupun Pemerintah. Dibentuk program penetapan status tanah yang melibatkan Dinas Kehutanan, Pemerintah Desa, dan Badan Pertanahan Nasional serta instansi lainnya melalui crash program yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah dan Pusat; 3) Guna mendapatkan gambaran potensi hutan rakyat di daerah, disarankan untuk dilakukan inventarisasi potensi dan persebaran hutan rakyat sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan hutan rakyat di masa mendatang. Untuk itu, pemerintah daerah agar mengalokasikan dana untuk inventarisasi dan penetapan hutan rakyat di daerahnya dimana otoritas di desa akan menjadi pelaksana dan penanggung jawab setiap program pengembangan hutan rakyat yang didanai oleh pemerintah; 4) Guna menjamin kelestarian ekonomi usaha pengembangan hutan rakyat, modifikasi aplikasi sistem silvikultur hendaknya dapat diterapkan melalui penyuluhan dan bimbinan oleh instansi yang terkait. Dimana karakteristik usaha kehutanan yang memakan waktu lama harus diupayakan diperoleh “hasil antara” dan “hasil sampingan” sambil menunggu hasil akhir berupa hasil hutan rakyat. Hasil antara dapat diperoleh dari budidaya pertanian lainnya seperti sayur, buah-buahan, obat-obatan dan lain-lain. Sementara hasil sampingan dapat berupa kayu hasil penjarangan, getah, damar dan lain-lain yang dapat dipungut yang terkait dengan jenis hutan rakyat yang diusahakan.
130
DAFTAR PUSTAKA Anonimous (2006), Penatausahaan hasil Hutan Rakyat Sebagai Upaya Mendorong Pembangunan Kehutanan Berbasis Masyarakat; Anonimous (2006) Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran hasil Hutan: Penatausahaan Hasil Hutan Rakyat sebagai Upaya Mendorong Pembangunan Kehutanan Berbasis Masyarakat (Prodising Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-36); Anonimous. (2009), Dephut Targetkan Hutan Rakyat Tanbah 500 Hektar pada 2009, http//.kapanlagi.com (29 Oktober 2009); Awang, 1999. Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Tengah. Harapan dan Tantangan, Jurnal Hutan Rakyat. PKHR, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta; Ahmad Maryadi, (2005). Beberapa Kendala Bagi Sertifikasi Hutan Rakyat; Budhisastrarini T, (2005). Ragam Pola Hutan Rakyat di Dlingo Bantul. Petani, Ekonomi, dan Konservasi. Pustaka Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. Christianty, L.et al., 2004. Decentralization and the Forestry Sector: Opportunities and Challenges; David,Fred R (2004), Management Strategi; Konsep-konsep. Kresno Saroso (alih bahasa), Ahmad Lukman, Melvi (Ed), Penerbit INDEKS kelompok Gramedia Jakarta. Departemen kehutanan ,(1977), Keputusan Mentri Kehutanan No. 49/KptsII/1977, tentang Hutan Rakyat Departemen kehutanan ,(2007). Peraturan Mentri Kehutanan nomor: P.33/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Mentri Khutanan nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak. Epi Syahadat (2006), Kajian Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan dan Hutan Rakyat Sebagai dasar Acuan Pemanfaatan Hutan Rakyat; Hardjanto, (2001). Dampak krisis Ekonomi dan Moneter Teerhadap Usaha Kehutanan Masyarakat di Jawa, ResiliensiKehutanan Masyarakat di Indonesia, Debut Press. Yogyakarta. Hinrichs A, (2008). Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. GTZ. Jakarta; Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (Universitas Brawijaya)(2005), Perhutanan dan Perkebunan Community Base Martinus N.et al (2000), Local Forest Management in Indonesia: A contradiction Between National Forest Policy and Reality; Manan S, (1997). Hutan Rimbawan dan Masyarakat .IPB Press. Bogor;
131
Nasir, (1988). Metode Penelitian, Chalia Indonesia, Jakarta; Nugroho (2002), Sistem Hak Pengusahaan Hutan dan Management Hutan; Purwanto S.,(2004), Model-model Pengelolaan Hutan Rakyat (Private Forestriy Model) Rangkuti, (1997), Analisis SWOT Teknik Pembedahan Kasus Bisnis, Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta; Rahmawaty, (2004).Tinjauan Aspek Pengembangan Hutan Rakyat . program Studi Menejemen Hutan. Universitas Sumatra Utara; Sample, V. A., and Sedjo, R.A., 1996. sustainable in Forest management: An Evolving Concept Supriadi, (2005). Pengembangan hutan Rakyat Petani, Ekonomi, dan Konservasi. Pustaka Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta; Simon, (2008). Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Pustaka Pelajar. Yogyakarta Tripomo, T dan Udan. 2005. Manajemen Strategi. Cetakan Pertama. Penerbit Rekayasa Sains. Bandung. Usman, S. 2001. Indonesia’s Decentralization Policy: Initial Experiences and Emerging Problems; Wardjo W, Ir, Msc, (2004) Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan Lestari: Mengefektifkan Instrument Sertifikasi dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Lestari;
132
Lampiran 1. Jawaban Responden Untuk Perhitungan Bobot Evaluasi Faktor Strategis (Internal dan Eksternal) dan Perhitungan Peringkat A.Perhatian Bobot 1. Faktor Strategis Internal A = Tersedianya lahan masyarakat untuk Hutan Rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi B = Kesesuian Lahan C = Terdapatnya Pasar Lokal Bagi Hasil Hutan dari Hutan Rakyat D = Pengamanan Tanaman Yang Lebih Efektif E = Banyaknya Jenis Tanama Yang Telah di Budidayakan Secara Tradisional F = Status Kepemilikan Lahan Yang Lemah G = Kurangnya Pemahaman dan Bimbingan Oleh Lembaga Formal DI Daerah H = Keterbatasan Permodalan I = Daur Tanaman Yang Lama (5-7) Tahun J = Kurangnya kemampuan Teknis Sistem Silvikultur Responden 1, Ir. Ardi Nasri Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
0 0 1 1 0 0 0 0 0
B
C
D
2
2 2
1 0 0
0 2 1 0 0 1 2 0
2 2 1 1 2 2 1
0 0 0 0 1 0
E
1 1 0 2 0 0 0 2 0
F
2 2 1 2 2 1 1 2 1
G
2 2 1 2 2 1
H
2 1 0 2 2 1 1
1 2 1
2 1
G
H
I
J
2 0 0 1 0 0 0 0
2 2 1 2 2 1 1 1 2
0
Jumlah
Bobot
16 10 3 16 12 4 4 6 15 4 90
0.178 0.111 0.033 0.178 0.133 0.044 0.044 0.076 0.167 0.044 1
Jumlah
Bobot
15 15 4 15 15 9 2 7 7 1 90
0.167 0.167 0.044 0.167 0.167 0.100 0.022 0.078 0.078 0.011 1
Responden 2, Ir. Surya Ward Johar Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
1 0 1 1 0 0 0 0 0
B
C
D
1
2 2
1 1 0
0 1 1 0 0 0 0 0
2 2 1 1 2 2 0
1 0 0 0 0 0
E
1 1 0 1 0 0 0 0 0
F
2 2 1 2 2 0 0 0 0
2 2 1 2 2 2 2 2 1
2 2 0 2 2 2 0 1 0
I
2 2 0 2 2 2 0 1 0
J
2 2 2 2 2 2 1 2 2
133
Lampiran 2. Responden 3, Ir.Moh Yusuf Amin Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
2 1 1 0 2 1 0 0 0
B
C
D
0
1 2
1 2 1
0 0 1 1 0 1 1 0
1 1 2 0 0 0 1
E
2 1 1 0
2 2 2 2 1 2
1 0 1 0 1
F
0 1 0 0 1 1 1 1 0
G
1 2 2 0 2 1 1 1 1
H
2 1 2 0 1 1 1 0 1
I
2 1 2 1 2 1 1 2
J
2 2 1 0 1 2 1 1 1
1
Jumlah
Bobot
11 14 10 3 11 13 7 9 5 7 90
0.122 0.156 0.111 0.033 0.122 0.144 0.078 0.100 0.056 0.078 1
Jumlah
Bobot
14 13 13 12 5 4 7 6 8 8 90
0.165 0.144 0.144 0.133 0.056 0.044 0.078 0.067 0.089 0.089 1
Jumlah
Bobot
13 8 3 14 5 10 13 8 10 6 90
0.144. 0.089 0.033 0.156 0.056 0.111 0.144 0.089 0.111 0.067 1
Responden 4, Ir. Febrian Suanda Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
1 1 1 0 0 0 0 1 0
B
C
D
1
1 1
1 1 1
1 1 1 0 0 0 0 1
1 0 1 1 0 0 0
0 0 1 1 1 0
E
2 1 2 2 1 1 1 1 2
F
2 2 1 2 1 1 2 2 1
G
2 2 1 1 1 1 1 1 1
H
2 2 2 1 1 0 1 1 2
I
1 2 2 1 1 0 1 1
J
2 1 2 2 0 1 1 0 1
1
Responden 5, Ir. Kirmadi Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
0 0 1 0 1 1 1 1 0
B
C
D
2
2 2
1 0 0
0 2 1 1 1 1 1 1
2 1 2 2 2 1 1
0 0 1 1 1 0
E
2 1 1 2 2 2 1 1 1
F
1 1 0 2 0 1 1 1 1
G
1 1 0 1 0 1 0 1 0
H
1 1 0 1 1 1 2 2 1
I
1 1 1 1 1 1 1 0 1
J
2 1 1 2 1 1 2 1 1
134
Lampiran 3. Responden 6, Ir. Tabrani Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
0 0 1 1 1 0 1 1 1
B
C
D
2
2 1
1 1 2
1 1 1 1 0 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1
E
F
1 1 1 2
G
1 1 1 1 1
H
2 2 1 1 1 1
I
1 1 1 1 1 1 2
J
1 2 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1
1 1 1 1
0 1 0
1 1
1
E
F
G
H
I
1 2 1 1 1 1 2 1 1
Jumlah
Bobot
12 11 9 9 8 9 9 8 8 7 90
0.133 0.122 0.100 0.100 0.089 0.100 0.100 0.089 0.089 0.078 1
Responden 7, Ir. Robby Faktor strategi Internal A B C D E F G H I J Jumlah
A
0 0 1 1 0 0 0 0 0
B
C
D
2
2 2
1 1 0
0 1 1 1 2 0 0 1
2 1 2 1 1 2 1
1 0 0 0 1 1
1 1 1 1 0 0 1 1 1
2 1 0 2 2 1 2 2 1
2 0 1 2 2 1 1 2 1
2 2 1 2 1 0 1 2 2
2 2 0 1 1 0 0 0 1
J
2 1 1 1 1 1 1 0 1
Jumlah
Bobot
16 10 4 13 11 5 6 5 11 9 90
0.178 0.111 0.044 0.144 0.122 0.056 0.067 0.056 0.122 0.100 1