SPATIO-TEMPORAL SEQUENTIAL PATTERN MINING UNTUK DETEKSI DINI KEBAKARAN PADA LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU
SODIK KIRONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining untuk Deteksi Dini Kebakaran pada Lahan Gambut di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016
Sodik Kirono NIM G651140566
RINGKASAN SODIK KIRONO. Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining untuk Deteksi Dini Kebakaran pada Lahan Gambut di Provinsi Riau. Dibimbing oleh IMAS SUKAESIH SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA. Kegiatan penyiapan lahan sering dilakukan dengan pembakaran yang tidak terkendali sering menyebabkan kebakaran sehingga menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi dini kebakaran terutama di lahan gambut. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola sequential titik panas di lahan gambut provinsi Riau menggunakan algoritme Douglas-Peucker dan konsep substring tree structure. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membantu memprediksi kemunculan titik panas pada lahan gambut di provinsi Riau dan melakukan deteksi dini (early detection system) kebakaran lahan gambut agar penyebaran kebakaran dapat diminimalkan. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap utama yaitu praproses data, pembentukan singular frequent pattern dengan algoritme Douglas-Peucker, pembentukan frequent sequential pattern dengan konsep substring tree structure, dan identitifkasi titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut. Penelitian dilakukan pada data titik panas yang diperoleh dari FIRMS untuk tahun 2000-2015, meskipun pembahasan difokuskan pada data tahun 2014 dan 2015. Penelitian menghasilkan tiga jenis pola sequential yaitu pola sequential tanggal, hari, dan lokasi. Pola sequential tanggal yang paling banyak muncul tahun 2014 adalah 11 Maret 2014 diikuti 13 Maret 2014, artinya bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tanggal 11 Maret 2014 dan kemudian muncul kembali pada tanggal 13 Maret 2014. Pola sequential tersebut terjadi pada 7 kabupaten/ kota yaitu Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan Meranti, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai. Pola sequential tanggal yang paling banyak muncul tahun 2015 adalah 9 Juni 2015 diikuti 11 Juni 2015 yang artinya bahwa kemunculan titik panas terjadi pada tanggal 9 Juni 2015 dan kemudian diikuti pada tanggal 11 Juni 2015. Pola sequential tersebut terjadi pada 4 kabupaten/ kota yaitu Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti. Pola sequential hari yang paling banyak muncul tahun 2014 adalah Kamis diikuti Jumat, artinya terjadi kemunculan titik panas pada hari Kamis kemudian diikuti pada hari Jumat pada lokasi yang sama atau dalam radius 1 kilometer. Pola sequential tersebut terjadi pada 9 dari 12 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Siak, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Rokan Hulu, Dumai, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hulu. Selain itu, pola yang paling banyak muncul lain adalah Jumat diikuti Sabtu diikuti Minggu, artinya terjadi kemunculan titik panas pada hari Jumat kemudian diikuti Sabtu dan kemudian diikuti Minggu. Pola sequential tersebut terjadi pada 7 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Bengkalis, Rokan Hilir, Siak, Dumai, Indragiri Hilir, Pelalawan, dan Kepulauan Meranti. Pola sequential hari yang paling banyak muncul tahun 2015 adalah Kamis diikuti Sabtu, artinya terjadi kemunculan titik panas pada hari Kamis kemudian pada radius 1 km diikuti kemunculan pada hari Sabtu. Pola tersebut penting karena
cenderung terjadi di akhir minggu. Pola sequential tersebut terjadi pada 8 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kepulauan Meranti, Pelalawan, dan Siak. Pola sequential lokasi yang paling banyak muncul tidak dapat ditentukan. Hal ini karena jumlah support masing-masing pola yang hampir sama. Selain itu, pola sequential lokasi juga tidak dapat digunakan untuk deteksi dini kebakaran, hal ini karena jumlah support yang relatif kecil. Penelitian juga menghasilkan persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut di provinsi Riau. Persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut pada tahun 2014 adalah 22.77%. Artinya, sekitar 22.77% titik panas yang terjadi di lahan gambut provinsi Riau adalah potensial kebakaran. Kata kunci: algoritme Douglas-Peucker, hotspot, peatland fire, sequential pattern mining, substring tree structure
SUMMARY SODIK KIRONO. Spatio-temporal Sequential Pattern Mining for Early Detection of Peatland Fire In Riau Province. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA. The process of land preparation is often conducted by burning process and it was sometimes become uncontrollable and cause many negative impact for environment. Therefore, it is needed to build early detection system for peatland fire. The objective of this research is to analyze sequential pattern from hotspot data in peatland area of Riau province using Douglas-Peucker algorithm and substring tree structure concept. It is expected that the result can help related parties including ministry of forestry, for preventing and early detection of fire in peatland area, so the spread of fire can be minimized. The main steps of this research are data preprocess, generating singular frequent patten using Douglas-Peucker algorithm, generating frequent sequential pattern using substring tree structure concept, and identifying hotspot that could become strong indicator of peatland fire. This research used hotspot data that were obtained from FIRMS for 2000-2015, meanwhile discussion focus on sequential patterns generated from data in 2014 and 2015. This research result 3 types of sequential pattern, namely sequential pattern of date, day, and location. The most interesting frequent sequential pattern of date in 2014 is March 11th 2014 then followed by March 13th 2014, meaning that there was hotspot occurrence in March 11th and then followed by March 13th 2014. The sequential pattern occurred in 7 districts, including Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan Meranti, Bengkalis, Rokan Hilir, and Dumai. Meanwhile, the most interesting frequent sequential pattern in 2015 is June 9th 2015 then followed by June 11th 2015, meaning that there was hotspot occurrences in June 9th and then followed by June 11th 2015. The sequential pattern occurred in 4 districts, including Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti. The most interesting frequent sequential pattern of day in 2014 is Thursday then followed by Friday in the location of radius of 1 km. The sequential patterns were occurred in 9 districts, including are Siak, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Rokan Hulu, Dumai, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hulu. Another interesting frequent sequential pattern in 2014 is Friday followed by Saturday and then followed by Sunday, meaning that there were hotspot occurrences in Friday followed by Saturday and then followed again by Sunday. The sequential pattern occurred in 7 districts, including Bengkalis, Rokan Hilir, Siak, Dumai, Indragiri Hilir, Pelalawan, dan Kepulauan Meranti. The most interesting sequential pattern of day in 2015 is Thursday and then followed by Saturday, meaning that there was hotspot occurrence in Thursday, and then in the radius 1 km was followed by Saturday. The sequential pattern is interesting because it is happened in weekend. The sequential patterns is occurred occurred in 8 district. They are Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kepulauan Meranti, Pelalawan, dan Siak.
The sequential pattern of location can’t be determined which one is more frequent than others because the support of every pattern is nearly even. Also, the sequential pattern of location can’t be used for early detecting peatland fire. It is because its support is very low. This research also produced percentage of hotspot that could become strong indicator of peatland fire in Riau province. The percentage that could become strong indicator of peatland fire is 22.77%, meaning that about 22.77% hotspot occurrence in peatland area in Riau province is potential of fire. Keywords: Douglas-Peucker algorithm, hotspot, peatland fire, sequential pattern mining, substring tree structure
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SPATIO-TEMPORAL SEQUENTIAL PATTERN MINING UNTUK DETEKSI DINI KEBAKARAN PADA LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU
SODIK KIRONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Komputer pada Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis berjudul Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining untuk Deteksi Dini Kebakaran pada Lahan Gambut di Provinsi Riau ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom dan Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing yang telah membimbing serta Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT selaku penguji yang memberikan saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa melalui program Fresh Graduate - Sinergi, serta FIRMS MODIS NASA, Badan Pusat Statistik Indonesia, dan Wetland International Programme Indonesia sebagai penyedia data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Eko Dikoro dan Ibunda Sainem yang sampai detik ini selalu memberikan dukungan, semangat, doa, dan curahan kasih sayang yang tiada terhingga, begitu juga dengan seluruh anggota keluarga yang menjadi penyemangat dan sumber doa bagi penulis untuk selalu melakukan yang terbaik. Terima kasih juga kepada teman-teman Pasca Sarjana Ilmu Komputer 2013 dan 2014 dan semua pihak baik yang terkait selama penelitian dan studi dilakukan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Sodik Kirono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penelitian Tentang Sequential Pattern Mining Lahan Gambut dan Kebakaran Lahan Gambut Titik Panas (Hotspot) Data Spasial Data Temporal Data Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining Algoritme Douglas-Peucker Substring Tree Structure Algoritme Prefixspan
5 5 6 6 8 9 9 9 10 11 12 14
3 METODE Wilayah Kajian Data dan Alat Tahapan Penelitian
16 16 16 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 Praproses Data 22 Pembentukan Singular Frequent Pattern dengan Algoritme Douglas-Peucker 24 Pembentukan Frequent Sequential Pattern Menggunakan Subsequence 29 Identifikasi Titik Panas yang Menjadi Indikator Kuat Kebakaran di Lahan Gambut 35 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
37 37 37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Perkembangan penelitian pada sequential pattern mining Contoh sequence, subsequence, element, item Contoh transaksi dalam sequence Data sequential S dengan item {a,b,c,d,e,f,g} Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut Atribut hasil seleksi dari data titik panas Data titik panas terurut berdasarkan tanggal Contoh data hasil konversi tanggal akusisi Data titik panas terurut berdasarkan latitude dan longitude Hasil konversi latitude dan longitude menjadi daerah/ lokasi Hasil konversi tanggal akuisisi menjadi hari Jumlah sequence lokasi tahun 2014 Contoh sequential kemunculan titik panas aspek spasial pada tahun 2014 Contoh data sequential lokasi dengan format masukan SPMF Jumlah sequence tanggal tahun 2014 Contoh sequential kemunculan titik panas aspek temporal pada tahun 2014 Contoh sequence hari hasil implementasi algoritme Douglas-Peucker Contoh data sequential tanggal dengan format masukan SPMF Contoh data sequential hari dengan format masukan SPMF Jumlah frequent subsequence lokasi yang terbentuk setiap tahun Pola sequential lokasi yang banyak muncul Jumlah frequent sequence berdasarkan tanggal Pola sequential tanggal banyak muncul Jumlah frequent sequence berdasarkan hari Pola sequential hari yang banyak muncul Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut
5 10 10 14 20 22 23 23 24 24 24 25 26 26 27 27 28 28 29 29 30 31 31 33 33 36 36
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Representasi titik panas dalam radius ±1 km2 Representasi data spasial model vektor: (a) titik, (b) garis, dan (c) poligon Representasi (a) segitiga, (b) segitga dalam model raster Ilustrasi algoritme Douglas-Peucker Contoh graf (a) graf tidak terhubung, (b) graf terhubung dengan cycle, dan (c) graf terhubung tanpa cycle (tree) Ilustrasi algoritme Douglas-Peucker Peta lahan gambut provinsi Riau Tahapan penelitian Lokasi pola sequential tanggal 11 Maret 2014 -1 13 Maret 2014 Lokasi pola sequential tanggal 9 Juni 2015 -1 11 Juni 2015 Lokasi pola sequential hari Kamis diikuti Jumat Lokasi pola sequential hari Jumat -1 Sabtu -1 Minggu Lokasi pola sequential hari Kamis -1 Sabtu
7 8 8 12 13 13 16 17 32 32 34 34 35
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Pola sequential lokasi kemunculan titik panas yang penting Pola sequential tanggal kemunculan titik panas yang penting Pola sequential hari kemunculan titik panas yang penting
40 42 45
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar ke empat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat (Najiyati 2005 dalam Sumargo et al. 2011). Lahan gambut berfungsi untuk pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim (IWL 2014), namun kelangsungan lahan gambut semakin hari semakin mengkhawatirkan (Muslim dan Kurniawan 2008). Menurut BBPPSDLP (2011), total luas lahan gambut di 3 pulau utama yaitu Sumatra, Kalimantan, dan Papua adalah 14 905 574. Lahan gambut terluas terdapat di pulau Sumatra yaitu 6 436 649. Tahun 2009, sekitar 51% atau 10,77 juta hektar lahan gambut telah mengalami perubahan penggunaan/ penutupan lahan dan pada periode 2000-2009 lahan gambut mengalami deforestasi seluas 2 juta hektar. Pulau Sumatra adalah penyumbang deforestasi terluas pada lahan gambut yaitu seluas 0.98 juta hektar (Sumargo et al. 2011). Tutupan hutan alam lahan gambut di Provinsi Riau pada tahun 2002 sekitar 2.280.198 ha dan tahun 2007 tutupan tersebut hanya tinggal 1.603.008 ha atau telah berkurang 19% dari luas hutan alam lahan gambut pada tahun 2002 (Muslim dan Kurniawan 2008). Manusia merupakan penyebab perubahan tutupan lahan terbesar lahan gambut. Salah satu penyebab terbesar adalah pembukaan dan pengalihfungsian lahan gambut. Proses pembukaan/ pengalihfungsian lahan gambut biasanya dilakukan dengan pembakaran (Muslim dan Kurniawan 2008). Pembakaran hutan adalah tindakan secara sengaja membakar yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola lahan untuk kegiatan pertanian dan perladangan, sedangkan kebakaran adalah proses pembakaran yang menyebar secara bebas dan tidak dapat dikendalikan dengan mengonsumsi serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, semak, dan dedaunan kering. Kebakaran pada lahan gambut didominasi oleh kebakaran bawah, api menjalar di bawah tanah. Meskipun pada permukaan tanahnya tidak terlihat api dan proses penjalarannya lebih lambat, namun kebakaran pada lahan gambut sulit dikendalikan (Syaufina 2008). Hal ini dikarenakan sumber api yang tidak diketahui letak pastinya menyebabkan sulitnya pengendalian. Dampak kebakaran hutan sangat merugikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kabut asap merupakan salah satu dampak terburuk dari kebakaran hutan. Kabut asap dapat mengakibatkan gangguan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Aktivitas penerbangan juga sering dibatalkan karena jarak pandang yang tidak memenuhi syarat. Aktivitas pendidikan juga terganggu karena kabut asap ini. Kemunculan titik panas pada suatu wilayah adalah indikator untuk mengetahui tingkat kebakaran hutan gambut (Musawijaya et al. 2001). Titik panas adalah suatu area yang terdeteksi memiliki temperature lebih dari ambang batas wajar yaitu 46,850C (Dephut 2000). Semakin banyak titik panas yang terdeteksi pada suatu daerah, kemungkinan terjadinya kebakaran semakin besar. Dalam periode 17 September 2015 sampai 24 September 2015, World Resource Institude (WRI) melaporkan kemunculan titik panas di Indonesia mencapai 13000 titik,
2 dengan 50% kemunculan di pulau Sumatra berada pada lahan gambut (Minnemeyer 2015). Data titik panas memiliki aspek spasial dan temporal serta memiliki ukuran dimensi maupun data yang cukup besar. Kemampuan analisis secara manual akan membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Teknik data mining dapat menjadi salah satu teknik alternatif yang dapat digunakan. Data mining memungkinkan menemukan pola yang lebih akurat dengan sumber daya yang lebih terbatas. Selain itu, teknik data mining memungkinkan menghasilkan pola yang tidak dihasilkan oleh teknik lain. Salah satu pola tersebut adalah pola sequential. Pemanfaatan pola sequential berdasarkan aspek spatio-temporal memungkinkan untuk menghasilkan prediksi urutan kemunculan titik panas pada tempat dan waktu tertentu. Beberapa penelitian dalam prediksi terjadinya kebakaran hutan yang dilakukan belum banyak yang menggunakan kedua aspek spasial dan temporal, hanya salah satu dari keduanya. Beberapa penelitian terkait dengan pencarian pola sequential dari data spatiotemporal telah dilakukan oleh Tan et al. (2001), Cao et al. (2005), dan Cheng dan Wang (2006). Tan et al. (2001) melakukan penelitian untuk menemukan pola penting pada data Earth Science. Metode yang digunakan adalah metode asosiasi seperti dalam Agrawal dan Srikant (1994). Sebelum dimasukkan ke algoritme tersebut, terlebih dahulu dilakukan proses untuk menghilangkan pola musiman, auto korelasi, dan diubah ke market basket data. Metode asosiasi digunakan untuk mencari pola-pola baik yang bersifat sequential maupun non-sequential. Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknik asosiasi yang diusulkan oleh Agrawal dan Srikant (1994) dapat digunakan untuk menemukan pola penting baik yang bersifat sequential dan non-sequential pada data Earth Science dengan terlebih dahulu mengubah bentuk datanya. Cao et al. (2005) melakukan penelitian untuk menemukan pola sequential pada spatio-temporal series data. Teknik yang digunakan adalah mengubah sekuens yang asli menjadi daftar dari segmen-segmen sekuen dan mendeteksi wilayah yang region dengan heuristik. Algoritme yang digunakan adalah algoritme Douglas-Peucker (Douglas and Peukcer 1973) dan substring tree structure (Cao et al. 2005). Penelitian telah berhasil menemukan pola singular frequent pattern dari data spatio-temporal dengan mengelompokkan segmen tidak hanya dari kemiripan bentuk tetapi juga kedekatan jaraknya. Selain itu, dihasilkan juga pendekatan substring tree baru untuk mempercepat pencarian pola yang lebih panjang. Cheng dan Wang (2006) telah melakukan penelitian untuk melakukan peramalan dan prediksi kebakaran dengan menggunakan data spatio-temporal untuk mencegah kebakaran hutan. Mereka memperkenalkan metode baru yaitu Improved Spatiotemporal Intregated Forecasting Framework (ISTIFF). Algoritme tersebut telah diujikan untuk memprediksi kebakaran hutan di Kanada. Berdasarkan hasil prediksi yang didapat, akurasi yang dihasilkan lebih baik daripada metode lain seperti ARIMA dan STIFF. Beberapa penelitian yang menggunakan pola sequential pada data titik panas telah dilakukan oleh Nurulhaq dan Sitanggang (2015), dan Agustina dan Sitanggang (2015). Nurulhaq dan Sitanggang (2015) memanfaatkan algoritme Prefixspan untuk menemukan pola sequential tanggal pada data titik panas di provinsi Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan pola sequential penting dengan panjang sequence bervariasi dengan support 1% sampai 11% dan
3 menyimpulkan bahwa interval kemunculan titik panas menjadi indikator kuat kebakaran adalah 3 hari. Selain itu, Agustina dan Sitanggang (2015) juga melakukan penelitian untuk mendapatkan pola sequential pada data titik panas di provinsi Riau namun dengan algoritme yang berbeda yaitu Clospan serta menambahkan factor cuaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa algoritme Clospan dapat menemukan pola sequential pada data titik panas di provinsi Riau dan menyimpulkan bahwa wilayah yang kerap muncul titik panas adalah dengan precipitation 0.3 per inchi per 6 jam dan suhu 29.440C. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola sequential dapat ditemukan dari data spatio-temporal seperti titik panas dan pola sequential yang dihasilkan dapat digunakan untuk memprediksi kemunculan titik panas atau kebakaran dan deteksi dini pada kebakaran. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengambil topik tentang pemanfaatan data spatio-temporal untuk melakukan deteksi dini kebakaran pada lahan gambut berdasarkan pola sequential dari data spatio-temporal-nya. Teknik data mining yang akan digunakan adalah algoritme Douglas-Peucker dan substring tree structure, seperti yang diusulkan oleh Cao et al. (2005). Keluaran dari teknik ini adalah pola sequential kemunculan titik panas di lahan gambut di provinsi Riau. Studi kasus akan difokuskan pada provinsi Riau dengan data berupa data titik panas tahun 2000 sampai 2015 yang diperoleh dari FIRMS. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak terkait dalam melakukan deteksi dini dan pengendalian kebakaran di lahan gambut di provinsi Riau berdasarkan aspek spasial dan temporalnya. Perumusan Masalah Pencegahan dan deteksi dini perlu dikembangkan untuk mencegah semakin banyaknya kebakaran lahan gambut. Sistem prediksi kebakaran pada lahan gambut dengan melihat pola kemunculan titik panas dapat menjadi salah satu alternatif. Sistem prediksi yang telah dikembangkan pada beberapa penelitian terdahulu belum menggunakan kedua aspek yaitu spasial dan temporal. Beberapa penelitian hanya menggunakan aspek spasial atau temporal-nya saja, sehingga hasil pola yang didapatkan hanya bisa memprediksi kebakaran berdasarkan tempat atau waktunya saja, bukan keduanya. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang dapat memprediksi kemunculan titik panas yang mencakup dua aspek yaitu aspek spasial dan temporal. Hal ini berguna untuk membantu memprediksi kebakaran lahan gambut berdasarkan pola tempat dan pola waktunya, sehingga diharapkan hasilnya lebih akurat. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pola sequential titik panas yang dapat digunakan untuk membantu melakukan deteksi dini kebakaran lahan gambut. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk analisis pola sequential titik panas di lahan gambut di provinsi Riau menggunakan algoritme Douglas-Peucker dan konsep substring tree structure berdasarkan aspek spasial dan temporal sehingga dapat digunakan untuk membantu deteksi dini kebakaran lahan gambut.
4 Manfaat Penelitian 1
2
Manfaat penelitian ini adalah Membantu memprediksi kemunculan titik panas pada lahan gambut di provinsi Riau berdasarkan pola sequential yang didapatkan dari data titik panas berdasarkan aspek spasial dan temporal-nya. Melakukan deteksi dini (early detection system) kebakaran lahan gambut
Ruang Lingkup Penelitian Untuk membatasi lingkup penelitian agar pembahasan berfokus pada tujuan yang telah ditetapkan, maka diberikan ruang lingkup dan batasan sebagai berikut: 1 Cakupan wilayah penelitian adalah provinsi Riau sampai level desa 2 Data titik panas yang digunakan adalah data titik panas di provinsi Riau tahun 2001 sampai 2015 diambil dari website FIRMS-MODIS NASA pada alamat https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download 3 Data lahan gambut yang akan digunakan adalah data lahan gambut provinsi Riau diperoleh dari Weatland International
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penelitian Tentang Sequential Pattern Mining Tabel 1 berikut menunjukkan perkembangan penelitian tentang titik panas, spatio-temporal data, dan sequential pattern mining. Tabel 1 Perkembangan penelitian pada sequential pattern mining No. 1
2
3
4
5
6
Penulis Tan et (2001)
Kontribusi al. Menggunakan teknik asosiasi standard untuk menemukan pola asosiasi sequential dan non-sequential pada data spatio-temporal, Earth Science Data Pei et al. (2004) Memperkenalkan metode baru untuk menemukan pola sequential dengan pendekatan bukan Apriori melainkan melakukan ekplorasi prefix pada pola sequential
Cao et (2005)
al. Memodelkan masalah mining pola sequential dari data spatio-temporal dengan memperhatikan aspek spasial dan temporalnya dari objek bergerak Chen dan Wang Mengaplikasikan spatio(2006) temporal data mining dan knowledge discovery (stdmkd) dan memperkenalkan metode baru Improved Spatio-temporal Intregated Forecasting Framework (ISTIFF) untuk melakukan prediksi kebakaran. Nurulhaq dan Menemukan pola sequential Sitanggang pada data titik panas di provinsi (2015) Riau dengan algoritme Prefixspan Tria dan Menemukan pola sequential Sitanggang berdasarkan data cuaca pada (2015) data titik panas di provinsi Riau dengan algoritme Clospan
Data Earth Science Data
Data sequence hasil pembentukan dari generator yaitu C10T8S8I8 dengan jumlah item 1000 dan 10000 sequence Jalur pergerakan bis di Patras, Yunani
Area kebakaran di Kanada tahun 1959 - 1999
Data titik panas di provinsi Riau
Data titik panas dan cuaca di provinsi Riau
6 Lahan Gambut dan Kebakaran Lahan Gambut Lahan gambut adalah daerah dengan lapisan tanah yang kaya akan bahan organik (kandungan C-organik > 18%) dengan tingkat ketebalan antara 50 cm atau lebih. Lahan gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang telah mati dan tertimbun di dalam tanah, berbeda dengan tanah mineral yang terbentuk dari pelapukan batuan atau letusan gunung berapi. Kondisi tanah gambut yang miskin akan unsur hara dan jenuh air menyebabkan sisa-sisa tanaman tidak dapat melapuk/ terdekomposisi dengan sempurna sehingga menyebabkan timbunan terus bertambah (Agus dan Subiksa 2008). Lahan gambut mempunyai beberapa sifat fisik. Sifat fisik lahan gambut yang pertama dalah kandungan berat isi (bulk density) yang sangat rendah yang menyebabkan lahan gambut tidak dapat menahan atau menjadi penyangga. Hal ini menyebabkan kondisi tanah menjadi agak lembek, sehingga ditanami tanaman perkebunan pun tanaman sering kali roboh. Sifat fisik yang kedua adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering tidak bisa menyerap air lagi ketika dibasahi dan mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar (Agus dan Subiksa 2008). Selain itu, gambut kering juga tidak dapat lagi menyerap unsur hara dan sifat berubah menjadi seperti arang sehingga pada musim kemarau sangat rentang terjadi kebakaran (Chotimah 2002 dalam Widyati 2011). Kebakaran pada lahan gambut tidak seperti kebakaran pada hutan bukan gambut. Kebakaran yang dapat terjadi pada lahan non gambut adalah kebakaran tajuk, artinya hanya tanaman saja yang terbakar sedangkan tanahnya tidak terbakar. Selain itu, api hanya muncul di atas tanah saja. Berbeda dengan kebakaran pada lahan non gambut, kebakaran pada lahan gambut dapat terjadi pada permukaan maupun dalam tanah. Hal ini karena sifat dari tanah gambut sendiri yang merupakan sisa dari bahan organik yang tidak terurai sempurna sehingga dapat terbakar. Selain itu, rongga-rongga pada gambut yang sudah mengering juga dapat menjadi jalur api sehingga kebakaran juga dapat muncul di dalam tanah gambut. Oleh karena itu, kebakaran lahan gambut lebih sulit dipadamkan dan bisa meluas dengan cara merambat di bagian bawah permukaan tanah (ground fire) secara tidak terkendali meskipun kebakarannya tidak menyala (Syaufina 2008). Hal ini karena sulitnya menemukan sumber api dan mengalirkan air ke sumber air tersebut. Titik Panas (Hotspot) Titik panas merupakan istilah untuk suatu daerah (yang direpresentasikan dengan titik) yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan ambang batas yang ditentukan (Dephut 2000). Titik panas dapat menjadi indikator kebakaran hutan, namun bukan kejadian kebakaran hutan (Musawijaya et al. 2001). Titik panas dipantau dengan penginderaan jarak jauh (remote sensing) menggunakan satelit. Salah satu satelit yang digunakan untuk pemantauan titik panas adalah Earth Observing System (EOS). EOS merupakan satelit milik NASA. Satelit Tera mengorbit bumi dari arah utara ke selatan pada pagi hari, sedangkan satelit Aqua mengorbit bumi dari arah utara ke selatan pada sore hari. Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan instrumen
7 utama pada Terra dan Aqua. MODIS dari Terra dan Aqua memantau keseluruhan permukaan bumi setiap 1 sampai 2 hari. Satu piksel citra MODIS merepresentasikan titik panas dalam radius 1 km. MODIS akan merepresentasikan titik panas dalam radius 1 km sebagai 1 titik, artinya jika dalam radius 1km terdapat lebih dari 1 titik panas akan tetap terdeteksi sebagai 1 titik. Adapun jika ada titik panas yang terdeteksi dalam radius 1 km dan terdapat di perbatasan piksel maka akan terdapat banyak titik panas yang direpresentasikan oleh MODIS. Ilustrasi representasi titik panas oleh MODIS dapat dilihat pada Gambar 1 (Giglio 2003).
Gambar 1 Representasi titik panas dalam radius ±1 km2 Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komponen MODIS dalam mendeteksi titik panas. Komponen tersebut adalah tutupan awan, tutupan asap, dan tutupan pepohonan. Faktor tersebut akan membuat MODIS tidak akurat dalam mendeteksi titik panas, bahkan menjadi tidak bisa mendeteksi titik panas yang ada. Selain itu, ada batasan MODIS dapat mendeteksi titik panas. Ketidaksesuaian sudut pengambilan, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah api, dan arah angin dapat membuat data MODIS yang didapat menjadi sangat tidak sesuai dengan aslinya. Pada kondisi seperti ini, besar minimal titik panas yang dapat dideteksi adalah 1000m2. Pada kondisi yang sangat sesuai (pada titik terendah, sedikit atau tidak ada asap, permukaan tanah relatif seragam, dan sedikit atau tidak ada awan) titik panas dengan besar 100m2 dapat dideteksi (FIRMS 2013). Titik panas yang dideteksi dalam jumlah yang besar pada suatu kelompok dan terjadi secara terus menerus bisa menjadi indikator kebakaran. Meskipun tidak semua titik panas adalah indikator kebakaran. Misal daerah industri dan pemukiman padat yang atapnya terbuat dari seng dapat menyebabkan suhu lingkungan meningkat dan tertangkap oleh satelit EOS sebagai titik panas. Analisis lebih jauh tentang titik panas diperlukan untuk menentukan kebenaran dari titik panas tersebut sebagai kebakaran sesungguhnya atau bukan.
8 Data Spasial Data spasial dalah data yang menyimpan informasi fenomena geografi. Data spasial mempunyai field tambahan pada database untuk menyimpan informasi spasialnya (Rolf 2001). Informasi spasial bisa dalam bentuk diskret ataupun kontinu. Titik, garis, dan area adalah tipe data spasial diskret, sedangkan contoh tipe data spasial kontinu adalah elevation dan precipitation (Chang 2008). Model data spatial dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu vektor dan raster. Model data vektor menggunakan titik dan koordinat (x,y) untuk membentuk titik (point), garis (line), dan area/ permukaan (polygon) (Chang 2008). Karakteristik data titik adalah mempunyai koordinat tunggal (x,y), tidak mempunyai panjang maupun luasan. Karakteristik data garis adalah pasangan koordinat yang memiliki awal dan akhir (x1, y1); (x2,y2), mempunyai panjang tetapi tidak mempunyai luasan. Karakteristik data poligon adalah pasangan koordinat dengan titik awal dan titik akhir yang sama (x1,y1 = xn, yn), mempunyai panjang dan mempunyai luasan. Contoh representasi data spasial model vektor dapat dilihat pada Gambar 2. (x4, y4)
(x3, y3)
(x2, y2)
(x1, y1)
(x1, y1)
(x1, y1)
(x2, y2)
( ( ( b) a) c) Gambar 2 Representasi data spasial model vektor: (a) titik, (b) garis, dan (c) poligon Contoh data spasial berupa titik adalah letak sekolah, letak rumah, dan letak SPBU. Contoh data spasial berupa garis adalah sungai, dan jalan. Contoh data spasial berupa poligon adalah lapangan sepak bola, area perumahan, dan pulau. Model data raster menggunakan petak-petak (grid) yang merepresentasikan objekobjek spasial (Chang 2008). Setiap satu grid adalah representasi satu piksel gambar. Lokasi piksel dinyatakan dengan baris ke-m dan kolom ke-n. Contoh representasi data spasial model raster dapat dilihat pada Gambar 3a dan 3b.
(a)
(b)
Gambar 3 Representasi (a) segitiga, (b) segitga dalam model raster
9
Model data vektor sangat baik untuk merepresentasikan objek spasial yang sifatnya diskret, sedangkan data raster cocok untuk merepresentasikan objek spasial yang sifatnya kontinu. Data spasial terdiri dari dua aspek yaitu aspek spasial dan aspek non spasial. Aspek spasial adalah lokasi objek, sedangkan aspek nonspasial adalah atribut lain selain lokasi seperti nama objek. Data Temporal Data temporal adalah data mengandung informasi time-stamp (sequence karakter yang menunjukkan waktu kejadian). Time-stamp dapat dibentuk dengan valid time (waktu sebenarnya misal 3 Maret 2005), transaction time (elemen waktu yang dimasukkan database), dan bi-temporally (valid time dan transaction time) (Mitsa 2005). Ada beberapa tipe dari data temporal yaitu statistic data, sequences, time stamped, time series, dan fully temporal. Statistic data adalah data temporal mempunyai Zero temporality. Sequences adalah susunan urutan kejadian atau transaksi. Meskipun sequences tidak secara langsung merujuk pada temporal, ada hubungan temporal yang bersifat kualitatif antar item data. Tidak seperti sequences, time stamped mempunyai informasi yang berhubungan dengan waktu secara jelas. Hubungan dapat dikuantitatifkan, seperti dapat ditentukan jarak temporal antar elemen data secara jelas. Bentuk khusus dari time stamped adalah time series data. Pada time series data, data kejadian mempunyai jarak dengan skala yang seragam. Tipe yang terakhir adalah fully temporal. Pada fully temporal, masing-masing data bersifat fully time dependent. Penarikan kesimpulan dari data fully time dependent juga sangat bersifat temporal (Shahnawaz 2011). Data Spatio-Temporal Data spatio-temporal direpresentasikan dalam format tiga dimensi yaitu 2 dimensi untuk informasi spasial dan satu dimensi untuk aspek temporal (Mitsa 2010). Aspek spasial yang dimaksud adalah longitude dan latitude, sedangkan aspek temporal yang dimaksud adalah waktu kejadian. Sering kali pada data spatiotemporal sangat sulit menemukan kejadian pada lokasi yang sama dan waktu yang sama. Kejadian yang sering adalah terjadi pada tempat yang sama tetapi waktu berbeda. Untuk mengatasi hal ini maka waktu dapat saja dibuat menjadi sebuah interval. Sequential Pattern Mining Sequence adalah urutan dari elemen-elemen (transaksi). Contoh sequence adalah s = <e1, e2, e3…>, dengan e adalah elemen (transaksi). Setiap elemen terdiri kumpulan kejadian-kejadian (item). Contoh elemen adalah ei =
. Setiap elemen adalah atribut yang dihubungkan dengan suatu lokasi atau waktu tertentu. Panjang sequence |s| adalah banyaknya unsur-unsur sequence, sedangkan k-sequence sebuah sequence yang terdiri dari k kejadian (item). Itemset adalah himpunan kelompok item, dan k-itemset adalah itemset dengan jumlah item k (Han dan Kamber 2006). Ilustrasi sequence, subsequence, element, dan item dapat dilihat pada Tabel 2.
10 Tabel 2 Contoh sequence, subsequence, element, item Contoh data sequence
Contoh subsequence
Contoh element Contoh item
< {2,4} {3,5,6} {8} >
< {2} {3,5} >
< {3,5,6} >
3
< {1,2} {3,4} >
< {1} {3} >
< {3,4} >
4
< {2,4} {2,4} {2,5} >
< {2} {4} >
< {2,4} >
2
Sequential pattern mining adalah teknik data mining yang mencari pola dari subsequence yang sering muncul (frequent subsequence). Subsequence adalah sebuah rangkaian yang terbentuk dari rangkaian lain dengan menghapus beberapa elemen tanpa menghapus urutan dari elemen sisanya. Dari Tabel 1, terlihat bahwa <{2}{3,5}> adalah subsequence dari < {2,4} {3,5,6} {8} >. Frequent subsequence adalah subsequence dengan kemunculan lebih dari pattern. Support adalah bagian dari database transaksi yang mengandung itemset (Han dan Kamber 2006). Ilustrasi penentuan frequent subsequence dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Contoh transaksi dalam sequence SID
sequence
10
20
<(ad)c(bc)(ae)>
30
<(ef)(ab)(df)cb>
<(ab)c> adalah sebuah subsequence dari , jika diberikan nilai minimum support 2, maka <(ab)c> adalah frequent subsequence. Hal ini dikarenakan ada setidaknya ada 2 subsequence <(ab)c> dari seluruh transaksi pada database, dan oleh karena itu <(ab)c> juga merupakan sequential pattern. Sequential pattern mining telah diimplementasikan oleh Nurulhaq dan Sitanggang (2015) serta Agustina dan Sitanggang (2015). Kedua penelitian tersebut berhasil menemukan pola sequential pada data titik panas di Provinsi Riau. Perbedaan kedua peneltian tersebut adalah Nurulhaq dan Sitanggang (2015) menemukan pola sequential dengan algoritme prefixspan (Pei et al. 2004), sedangkan Agustina dan Sitanggang (2015) menemukan pola sequential dengan algoritme Clospan. Agustina dan Sitanggang (2015) juga memasukkan unsur cuaca dalam pembahasannya. Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining Spatio-temporal sequential pattern mining adalah bentuk aplikasi dari sequential pattern mining. Sebuah spatio-temporal sequence S adalah daftar lokasilokasi (x1, y1, t1), (x2, y2, t2), …, (xn, yn, tn), dengan ti menunjukkan timestamp dari lokasi (xi, yi) dengan nilai I = 1, 2, 3, … n. Lokasi suatu kejadian biasanya tidak terulang pada objek yang sama, sehingga objek yang tadinya hanya sebuah deretan lokasi spasial (series of spatial locations) menjadi suatu wilayah (region) spasial.
11 Pendekatan paling sederhana untuk melakukannnya adalah dengan menggunakan regular grid (spatial decomposition) untuk membaginya menjadi region dengan memperhatikan parameter yang ditetapkan (Cao et al. 2005). Spatio-temporal mengakomodasi aspek spatial data mining dan temporal data mining. Pendekatan pertama yang dapat digunakan untuk menyelesaikan spatio-temporal data mining adalah dengan menanamkan aspek temporal pada spatial data mining system, sedangkan pendekatan kedua adalah menanamkan aspek spasial pada temporal data mining system (Roddick dan Spiliopoulou 1999). Beberapa teknik data mining yang dapat digunakan untuk data spatiotemporal adalah menemukan periodic pattern dan mining association rules, amun data spatio-temporal tidak serta merta dapat dilakukan mining menggunakan teknik tersebut. Hal ini dikarenakan ukuran spatio-temporal data yang cenderung besar. Salah satu cara mengurangi ukuran data spatio-temporal adalah dengan reduksi, teknik yang sangat dikenal adalah line simplification. Ide utama dari line simplification adalah poligon yang memiliki banyak segmen garis lurus dapat direpresentasikan cukup dekat dengan poligon lain yang memiliki lebih sedikit segmen garis lurus. Selain diperlukan teknik reduksi, query khusus data spatiotemporal juga diperlukan. Misalkan ada sekumpulan titik dalam 3-D, Q = (x1, y1, t1), (x2, y2, t2),..., maka query spatio-temporal yang dapat dijalankan adalah sebagai berikut (Mitsa 2010): 1 Dimana (Q,t)? – Jawaban dari pertanyaan ini adalah lokasi objek Q pada waktu t 2 Kapan (Q,t,y)? – Jawaban dari pertanyaan ini adalah waktu objek Q melewati titik x,y Algoritme Douglas-Peucker Algoritme Douglas-Peucker pertama kali diperkenalkan oleh David Douglas and Thomas Peucker pada tahun 1973. Algoritme ini digunakan untuk mengurangi jumlah titik untuk merepresentasikan sebuah garis (Douglas and Peukcer 1973). Algoritme ini menggunakan algoritme dengan pendekatan top down. Algoritme Douglas-Peucker merupakan salah satu algoritme terbaik dalam pemilihan titik pemisah (splitting point) (White 1985). Pada pengembangan selanjutnya, algoritme Douglas-Peucker dapat digunakan untuk menentukan frequent singular pattern dari sebuah data spatio-temporal (Cao et al. 2005). Algoritme Douglas-Peucker dapat dituliskan seperti pada Algoritme 1 dan ilustrasi penerapan algoritme DouglasPeucker dalam mengurangi jumlah titik untuk merepresentasikan garis dapat dilihat pada Gambar 4. Algoritme 1 menjelaskan bahwa jika jarak maksimum titik ke garis lurus dalam bidang datar lebih dari nilai threshold maka polyline 1 akan terbentuk dari vertex awal ke titik maksimumnya. Proses dilanjutkan dengan membentuk polyline 2, yaitu penting garis dari titik maksimumnya ke vertex terakhir. Gambar 4 (Barrilot et al. 2001) menjelaskan bahwa garis dengan banyak kombinasi garis lurus akan dibagi menjadi beberapa segmen dan dengan threshold tertentu maka setiap segmen akan digabungkan menjadi sebuah garis kembali dengan lebih sedikit garis lurus. Algoritme 1 - Douglas-Peucker (Douglas dan Peucker 1973) DP(Polyline, Segment, Threshold) dmax ← greatest distance from Polyline to Segment
12 pmax ← corresponding farthest Polyline vertex if dmax > Threshold then Polyline1 ← All Polyline segments from pi (first vertex) to pmax Polyline2 ← All Polyline segments from pmax to pf (last vertex) Segmen 1 ← [pi, pmax] Segmen 2 ← [pmax, pf] Return DP(Polyline1, Segment1) DP(Polyline2, Segmen2) else Return {Segment} end if end program
max
Threshold
Polyline, Segment
Final Segments
max
Polyline1, Segment1
(a)
Polyline2, Segment2 (b)
(c)
Gambar 4 Ilustrasi algoritme Douglas-Peucker Bentuk poligon awal pada Gambar 4a dihitung masing-masing titik pertemuan garis dengan garis horizontal yang terbentuk ujung masing-masing garis. Selain itu, poligon akan di pecah menjadi beberapa polyline dan segment (Gambar 4b). Selanjutnya, pada masing-masing polyline, untuk jarak titik pertemuan dua garis dengan horizontal antar dua ujung segment-nya kurang dari threshold maka akan dibuat menjadi sebuah garis saja, sedangkan untuk yang jarak lebih dari threshold, maka akan tetap menjadi dua garis. Tahap akhir adalah menggabungkan kembali polyline dan segment menjadi sebuah poligon (Gambar 4c). Proses pembentukan sequence dan singular frequent pattern dengan algoritme Douglas-Peucker melewati dua tahap yaitu filtering dan verification. Tahap filtering dilakukan dengan memisahkan segment dan menghitung jarak antar segment, sedangkan pada tahap verifikasi, algoritme melakukan penggabungan segmen ke spatial region ketika perbedaan jarak terpenuhi. Substring Tree Structure String adalah sederetan simbol yang tidak tertentu panjangnya, yang dianggap sebagai panjang satu unit (World Agreement Agenda O812). String dibentuk dari gabungan beberapa string lain. String yang merupakan penyusun atau bagian dari string yang lain disebut substring. Misal ada sebuah string “ILMUKOMPUTER”, “ILMU” adalah contoh substring dari string tersebut.
13 Tree adalah graf tak berarah dengan semua node terhubung dan tidak membentuk cycle. Graf adalah pasangan terurut antara vertex (node) dan edge (penghubung) yang dapat dinotasikan sebagai G = {V, E}. Beberapa contoh jenis graf (termasuk tree) dapat dilihat pada Gambar 5a, 5b, dan 5c.
Node
Edge
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Contoh graf (a) graf tidak terhubung, (b) graf terhubung dengan cycle, dan (c) graf terhubung tanpa cycle (tree) Gambar 5a menunjukkan jenis graf tidak terhubung karena ada satu buat titik (node) yang tidak terhubung dengan titik lainnya. Gambar 5b menunjukkan jenis graf terhubung sekaligus mengandung cycle, sedangkan gambar 5c adalah contoh graf terhubung tanpa cycle. Gambar 5c juga merupakan contoh dari tree. Substring tree dapat digunakan untuk menghitung panjang substring dengan elemen yang berbeda-beda. Substring tree adalah sebuah rooted directed tree yang root-nya terhubung ke banyak substring sub-tree. Masing-masing node pada subtree terdiri dari elemen pola dan counter, yang menghitung jumlah substring yang berkontribusi ke pola yang dibentuk oleh path dari root ke node. Contoh substring tree dapat dilihat pada Gambar 6 (Cao et al. 2005). Tree dibuat dari hasil ekstraksi substring yang mengandung elemen-elemen yang berbeda dengan ri = (xi, yi, ti) (Cao et al. 2005). Penentuan pola frequent dari substring tree dapat digunakan konsep stack. Masing-masing elemen stack terdiri dari pola, jumlah, dan level, yang menandakan pola telah mencapai leaf atau belum. Langkah pertama menentukan pola frequent yaitu menambahkan pola yang berasosiasi dengan children dari root ke dalam stack. Kemudian secara iteratif akan menghasilkan pola yang memiliki frekuensi tertinggi dari dalam stack. Jika yang pola yang dihasilkan bukan pada level leaf dan frequent, maka pola tersebut dikeluarkan dari dalam stack dan digabungkan dengan elemen children-nya serta memasukkan pola tersebut ke dalam stack kembali. Sebaliknya pola hanya akan dikeluarkan jika frequent. Proses ini akan berlangsung sampai tidak ada pola yang ada pada stack. Output akhir dari algoritme substring tree structure adalah frequent closed pattern (Cao et al. 2005).
Gambar 6 Ilustrasi algoritme Douglas-Peucker
14
Algoritme Prefixspan Algoritme Prefix-projected Sequential Pattern Mining (Prefixspan) adalah salah satu bentuk dari tree data structure. Prefixspan dapat menemukan seluruh pola tetapi dengan mengurangi proses pembentukan kandidat sequence. Prefixspan mengurangi ukuran dari database dan mengarahkan pada proses pencarian yang lebih cepat dan penggunaan memori yang lebih sedikit (Pei et al. 2004). Algoritme prefixspan cenderung lebih cepat daripada algoritme untuk menemukan pola sequential lain seperti SPADE dan Clospan (Verma dan Mehta 2014). Algoritme Prefixspan selengkapnya dapat dilihat pada Algoritme 2 berikut. Algoritme 2 – Prefixspan (Pei et al. 2004) 1 Find length-1 sequential patterns. The given sequence S is scanned to get item (prefix) that occurred frequently in S. For the number of time that item occurs is equal to length-l of that item. Length-l is given by notation <pattern> : . 2 Divide search space. Based on the prefix that derived from first step, the whole sequential pattern set is partitioned in this phase. 3 Find subsets of sequential patterns. The projected databases are constructed and sequential patterns are mined from these databases. Berikut merupakan contoh mendapatkan pola sequential dari data pada Tabel 2 (Pei et al. 2004). Tabel 4 Data sequential S dengan item {a,b,c,d,e,f,g} Sequence_id 1 2 3 4
Sequence <Jumat (Jumat Sabtu Minggu)( Jumat Minggu) Senin (Minggu Rabu) <(Jumat Senin) Minggu (Sabtu Minggu) (Jumat Selasa)> <(Selasa Rabu) (Jumat Sabtu) (Senin Rabu) Minggu Sabtu> <Selasa Kamis (Jumat Rabu) Minggu Sabtu Minggu> 1 Mendapatkan pola sequential dengan panjang 1-item. Memindai database satu kali untuk mendapatkan semua item berulang. Didapatkan item berulang dengan panjang 1-item adalah <Jumat>:4, <Sabtu>:4, <Minggu>:4, <Senin>:3, <Selasa>:3, :3, dan :1. Notasi “<pola>: jumlah” menunjukkan pola yang dihasilkan dan jumlah support dalam database. 2 Membagi ruang pencarian Pola sequential yang didapatkan dibagi menjadi enam bagian berdasarkan prefix/ awalannya, yaitu pencarian pola dengan prefix <Jumat> sampai . 3 Mendapatkan pola sequential berikutnya berdasarkan ruang pencarian
15 Pola sequential berikutnya dapat diperoleh dengan membagun proyeksi database dan menemukannya secara rekursif.
16
3 METODE Wilayah Kajian Wilayah kajian yang diteliti adalah provinsi Riau. Provinsi Riau dibentuk dengan penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957, yang kemudian diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958. Riau terletak di 01° 05’ 00” Lintang Selatan - 02° 25’ 00” Lintang Utara atau antara 100° 00’ 00” - 105° 05’ 00” Bujur Timur. Riau memiliki luas wilayah 107.932,71 km2 membentang dari lereng Bukit Barisan hingga selat Malaka, dengan luas daratan 89.150,15 km2 (Riau 2013). Riau memiliki luas lahan gambut sekitar 4.043.601 ha atau sekitar 56,1% dari seluruh luas lahan gambut di pulau Sumatra (Muslim dan Kurniawan 2008). Peta lahan gambut di provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 7 (Muslim dan Kurniawan 2008).
Gambar 7 Peta lahan gambut provinsi Riau Data dan Alat Data penelitian yang digunakan adalah data kemunculan titik panas dari tahun 2000-2015 untuk wilayah provinsi Riau yang diunduh dari website FIRMS pada https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download. Penelitian juga menggunakan data lahan gambut provinsi Riau yang diperoleh dari Wetlands International. Selain itu, digunakan juga peta geografis provinsi Riau sampai level desa yang didapat dari Badan Pusat Statitistik (BPS). Perangkat lunak yang digunakan adalah QuantumGIS, Rstudio, Sequential Pattern Mining Framework (SPMF), DBMS MySQL, text editor Notepad++, dan Microsoft Excel. QuantumGIS digunakan untuk melakukan praproses data dan
17 visualisasi data. Rstudio digunakan melakukan pembentukan sequence. SPMF digunakan untuk mencari frequent subsequence. DBMS MySQL digunakan mempermudah mencari lokasi/ tanggal terjadinya pola I yang didapatkan dari perangkat lunak SPMF. Notepad++ sebagai teks editor untuk mentransformasi format data dan menampilkan frequent subsequence yang didapat. Microsoft Excel untuk mengolah titik panas baik sebelum maupun sesudah dilakukan praproses data. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dilakukan seperti pada Gambar 8. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data titik panas, praproses data, pembentukan frequent singular pattern menggunakan algoritme Douglas-Peucker, pembentukan frequent sequential pattern menggunakan konsep substring tree structure, dan identifikasi titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran di lahan gambut.
Gambar 8 Tahapan penelitian Pengumpulan Data Titik Panas Data kemunculan titik panas di provinsi Riau yang digunakan didapat dari website Fire Information Resources Management System (FIRMS) MODIS dan dapat diunduh secara gratis pada alamat https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/ download. Proses pengunduhan tidak bisa langsung dilakukan pada saat itu juga. Ketika akan mengunduh, akan disajikan peta dunia yang bisa dipilih wilayah yang akan diunduh. Setelah dipilih, akan dibuatkan sebuah permintaan untuk mengunduh. Alamat pengunduhan dikirimkan ke email. Alamat tersebutlah digunakan untuk mengunduh. Data lahan gambut di provinsi Riau diperoleh dari Weatland International. Selain kedua data di atas, digunakan juga data wilayah provinsi Riau sampai level desa. Data wilayah Riau sampai level desa didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Praproses Data Praproses data dilakukan untuk memperbaiki data dan menyesuaikan data dengan masukan algoritme yang akan digunakan. Praproses data yang dilakukan
18 pada penelitian ini meliputi beberapa tahap yaitu overlay data titik panas, seleksi atribut, dan pengkodean data. Proses overlay adalah proses menumpangtindihkan beberapa peta yang sama sistem koordinatnya untuk mendapatkan informasi baru yang lebih spesifik. Overlay dilakukan untuk mendapatkan data titik panas yang hanya berada pada lahan gambut provinsi Riau saja. Proses overlay dilakukan dengan cara melakukan operasi geometri intersect pada data titik panas di provinsi Riau dengan peta lahan gambut di Provinsi Riau. Proses overlay dilakukan menggunakan perangkat lunak QuantumGIS. Proses intersect pada QuantumGIS dapat dilakukan dengan cara memilih menu Vector >> Geoprocessing Tools >> Intersect. Layer masukan adalah yang cakupannya lebih luas, dan layer pemotong (intersect) adalah yang lebih kecil. Oleh karena itu, yang menjadi layer masukan adalah data titik panas di provinsi Riau dan yang menjadi layer intersect adalah lahan gambut di provinsi Riau. Praproses data selanjutnya adalah seleksi atribut. Seleksi atribut dilakukan untuk memilih atribut yang relevan terhadap analisis spasial dan temporal. Atribut yang dipilih adalah latitude, longitude, dan tanggal akuisisi. Latitude dan longitude mewakili aspek spasial, sedangkan tanggal akuisisi mewakili aspek temporal. Tahap praproses selanjutnya adalah pengkodean data. Pengkodean data dilakukan untuk menyesuaikan data dengan masukan algoritme sequential pattern mining yang digunakan pada perangkat lunak yang digunakan. Pengkodean data dilakukan pada ketiga atribut yang dipilih yaitu atribut latitude, longitude, dan tanggal. Atribut latitude dan longitude diubah menjadi suatu indeks lokasi. Atribut tanggal akuisisi data titik panas diubah menjadi indeks tanggal. Pengkodean data juga dilakukan untuk mendapatkan atribut hari. Hasil dari praproses data digunakan untuk membentuk sequence. Sebuah sequence akan terdiri dari beberapa elemen sequence berupa indeks lokasi dan indeks tanggal. Pembentukan Singular Frequent Pattern dengan Algoritme Douglas-Peucker Implementasi algoritme Douglas-Peucker dilakukan pada dua aspek yaitu aspek spasial dan temporal. Implementasi algoritme Douglas-Peucker tidak langsung diterapkan algoritmenya, hanya konsep dan alurnya saja yang diadopsi. Hal ini dikarenakan ide dasar algoritme Douglas-Peucker adalah untuk menyederhanakan bentuk poligon dari suatu objek yang bergerak (Douglas and Peucker 1973). Berbeda dengan pergerakan objek, titik panas adalah objek yang berbeda dengan kemunculan pada tempat tertentu. Oleh karena itu dilakukan analogi atau hanya idenya saja yang digunakan. Algoritme Douglas-Peucker diaplikasikan untuk membentuk sequence dengan mengelompokkan titik panas sampai panjang tertentu berdasarkan threshold yang ditetapkan. Titik panas dianalogikan seperti titik pergerakan objek, sedangkan sequence kemunculan titik panas dianalogikan sebagai bentuk poligon dari pergerakan objek. Tahap filtering dilakukan dengan cara membagi titik panas menjadi beberapa segment sesuai dengan threshold yang ditentukan. Segment tersebut akan disebut dengan subsequence. Subsequence akan digunakan untuk membentuk sequence melalui tahap verifikasi dengan cara menghitung jarak antar subsequence dibandingkan dengan threshold. Jika jarak masih lebih kecil dari threshold, maka
19 masih dalam satu sequence, namun jika jarak lebih besar dari threshold, maka akan membentuk sequence baru. Nilai threshold adalah ambang batas untuk membentuk sebuah sequence. Threshold pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu threshold lokasi dan threshold tanggal. Threshold tanggal adalah selisih tanggal yang digunakan untuk membuat sebuah sequence, sedangkan threshold lokasi adalah selisih lokasi yaitu latitude dan longitude yang juga digunakan untuk membentuk sebuah sekuens. Implementasi pada aspek spasial dilakukan untuk membentuk sequence lokasi kemunculan terjadinya titik panas. Tahap filtering dalam pembentukan sequence dilakukan dengan mengelompokkan data titik panas yang terjadi pada tanggal tertentu menjadi sebuah subsequence. Selanjutnya adalah dilakukan tahap verifikasi. Tahap verifikasi dilakukan dengan menggabungkan beberapa subsequence menjadi sequence utuh. Penggabungan dilakukan dengan melihat selisih tanggal terjadinya kemunculan titik panas. Jika selisih kurang dari threshold maka akan bergabung menjadi sebuah sequence, namun jika selisihnya lebih dari threshold maka akan menjadi sequence berbeda. Implementasi pada aspek temporal dilakukan untuk membentuk sequence waktu kemunculan terjadinya titik panas. Tahap filtering dalam pembentukan sequence dilakukan mirip dengan aspek spasial, hanya saja parameter yang digunakan bukanlah tanggal tetapi lokasi. Kemunculan titik panas pada lokasi tertentu pada urutan tanggal tertentu akan menjadi sebuah subsequence. Subsequence tersebut masuk ke tahap verifikasi untuk membentuk sequence utuh. Sequence utuh dibentuk dengan menggabungkan kemunculan titik panas yang selisih lokasinya terjadinya kemunculan titik panas kurang dari threshold. Keluaran dari tahap ini adalah sequence lokasi, sequence tanggal, dan sequence hari. Sequence hari adalah representasi lain dari sequence tanggal. Representasi hari ditambahkan untuk menganalisis terjadinya kemunculan titik panas dalam pola hariannya. Pembentukan Frequent Sequential Pattern Menggunakan Substring Tree Structure Setelah didapatkan data sequence dari hasil implementasi algoritme DouglasPeucker, selanjutnya dilakukan pencarian pola sequence yang frequent dengan konsep substring tree structure. Konsep substring tree structure digunakan karena memang hasil pemrosesan data titik panas adalah sebuah sequence dalam bentuk string. String yang dimaksud adalah string lokasi dan string tanggal. Tree structure digunakan karena untuk mempercepat proses pencarian frequent pattern. Implementasi konsep substring tree structure dilakukan menggunakan algoritme Prefixspan. Algoritme Prefixspan dipilih karena proses pencarian frequent pattern dengan tree tidak harus memeriksa satu per satu sequence sampai semua sequence selesai untuk menentukan substring tersebut frequent atau tidak. Penentuan frequent pattern dapat dilihat dari awalannya saja, sehingga algoritme yang dipakai adalah algoritme Prefixspan. Implementasi algoritme Prefixspan dilakukan pada perangkat lunak SPMF (Fournier-Viger et al. 2014). Implementasi algoritme Prefixspan membutuhkan satu parameter awal yaitu minimum support. Metode penentuan nilai minimum support yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan trial dan error. Implementasi algoritme Prefixspan dilakukan pada dua aspek yaitu aspek spasial dan aspek temporal.
20 Setelah didapatkan pola sequential kemunculan titik panas, selanjutnya dilakukan pencarian lokasi kemunculan titik panas tersebut, terutama untuk sekuens tanggal dan hari yang belum ada informasi lokasinya. Lokasi didapatkan dengan bantuan kueri pada database. Setelah lokasi didapatkan, untuk memperjelas dan mempermudah analisis maka dilakukan ploting pola sequential kemunculan titik panas yang frequent terhadap peta wilayah provinsi Riau. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan lokasi kemunculan titik panas sampai level desa. Ploting dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak QuantumGIS. Spatio-temporal sequential pattern tanggal, hari, dan lokasi yang telah didapatkan dianalisis. Aspek spatio-temporal dapat dijawab dengan dua query pada data spatio-temporal berikut : 1 Dimana (Q,t)? – pertanyaan ini menjawab pola kemunculan titik panas pada lahan gambut dari aspek spasial. Aspek spasial akan bergerak menurut polanya sedangkan aspek waktu dianggap konstan. Keluaran dari analisis ini adalah diketahui pola sequential lokasi kemunculan titik panas pada tanggal tertentu. Representasi lokasi menggunakan latitude dan longitude. 2 Kapan (Q,t,y)? – pertanyaan ini menjawab pola kemunculan titik panas pada lahan gambut dari aspek temporal. Aspek temporal akan diperhatikan dan aspek spasial dianggap konstan. Keluaran dari analisis aspek temporal adalah diketaui pola sequential waktu kemunculan titik panas pada lokasi tertentu. Representasi waktu menggunakan tanggal dan hari. Untuk mempermudah dalam melakukan analisis, proses analisis dibantu dengan visualisasi pada perangkat lunak QuantumGIS. Visualisasi dilakukan dengan menumpangtindihkan pola spasial maupun temporal yang sudah didapat dengan peta provinsi Riau. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lokasi kemunculan titik panasnya. Lokasi kemunculan titik panas dapat dianalisis baik tingkat kabupaten, kecamatan, maupun desa. Identifikasi Titik Panas yang Menjadi Indikator Kuat Kebakaran di Lahan Gambut Identitikasi titik panas yang dapat menjadi indikator kuat kebakaran di lahan gambut dapat diperoleh dari pola sequential yang didapatkan. Titik panas sebagai indikator kebakaran lahan gambut direpresentasikan dalam persentase yang artinya nilai persentase tersebut adalah jumlah titik panas yang dapat menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut. Nurulhaq dan Sitanggang (2015) telah menghitung persentase penentuan titik panas sebagai indikator kuat kebakaran seperti pada Tabel 5. Kolom pola sequential pada Tabel 5 berisi pola-pola sequential yang dianggap penting dengan masing-masing nilai support-nya. Persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran di lahan gambut didapat dari pembagian antara total support dari pola yang penting dengan total titik panas. Tabel 5 Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut Pola sequential 4879 -1 4881 -1 4908 -1 4913 -1 4600 -1 4605 -1
Support 242 526 213
Total support
Total titik panas
Persentase (%)
981
10 000
9.81
21
Tabel 5 menunjukkan contoh pola sequential tanggal yang dianggap penting. Dari pola sequential pertama dapat diketahui bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tanggal 4879 (11 Maret 2014) kemudian diikuti pada tanggal 4881 (13 Maret 2014) dengan nilai dukungan data 242. Artinya, ada sebanyak 242 data sequence yang mengandung pola tersebut. Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut didapat dari pembagian antara total support dari pola sequential yang penting dengan total data titik panas yang ada.
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Praproses Data Jumlah titik panas di provinsi Riau dari tahun 2000-2015 adalah 140.931. Oleh karena ruang lingkup penelitian adalah data titik panas di lahan gambut di provinsi Riau saja, maka perlu dilakukan praproses data. Praproses data dilakukan untuk memproses data sehingga sesuai dengan kebutuhan tujuan penelitian dan algoritme yang digunakan dan dihasilkan pola sequential yang baik. Praproses yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap yaitu : Overlay Data Titik Panas dan Seleksi Data Proses overlay dilakukan untuk mendapatkan data titik panas di provinsi Riau yang hanya terdapat pada lahan gambut. Jumlah titik panas pada lahan gambut di provinsi Riau dari tahun 2000 – 2015 adalah 98 920. Pemilihan atribut dilakukan dengan melihat keterkaitan atribut dengan proses analisis. Analisis aspek spasial dipilih atribut latitude dan longitude yang merepresentasikan lokasi dari titik panas, sedangkan analisis aspek temporal dipilih atribut tanggal akuisisi yang merepresentasikan waktu terjadinya titik panas. Oleh karena itu, atribut titik panas yang digunakan untuk pemrosesan selanjutnya dan analisis adalah atribut latitude, longitude, dan tanggal akuisisi. Keterangan masingmasing atribut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Atribut hasil seleksi dari data titik panas No 1
Atribut Latitude
2
Longitude
3
Tanggal akuisisi
Deskripsi Nilai koordinat latitude/ garis lintang data titik panas Nilai koordinat longitude/ garis bujur data titik panas Tanggal kemunculan titik panas
Tipe Numerik Numerik Tanggal
Pengkodean Data Setelah selesai dilakukan proses overlay dan seleksi atribut, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan proses pengkodean data. Proses pengkodean dilakukan pada atribut tanggal akuisisi. Atribut tanggal akuisisi yang tipe awalnya tanggal diubah menjadi integer. Selain itu, proses pengkodean juga dilakukan pada latitude dan longitude, diubah menjadi integer juga sebagai indeks lokasi. Tipe integer dipilih untuk menyesuaikan dengan masukan algoritme dan tools yang digunakan. Pengkodean data yang pertama yaitu melakukan pembulatan pada nilai latitude dan longitude menjadi 2 digit angka di belakang koma dari yang tadinya 3 sigit. Nilai latitude dan longitude mempunyai satuan derajat (degree). Satu derajat nilai sama dengan sekitar 111 km pada permukaan bumi. Nilai latitude dan longitude direpresentasikan dalam tiga angka di belakang koma. Representasi 3 angka di belakang koma menjadikan nilai atribut latitude dan longitude mempunyai nilai yang sangat spesifik. Hal ini mengakibatkan sulitnya mendapatkan data sequential (Nurulhaq dan Sitanggang 2015). Hal ini karena
23 hanya sedikit lokasi dengan nilai latitude dan longitude tertentu yang memiliki kemunculan titik panasnya lebih dari 1 kali. Oleh karena itu, nilai latitude dan longitude dibulatkan menjadi dua angka di belakang koma untuk mendapatkan beberapa kemunculan titik panas pada area dengan diameter kurang dari 1 km. Dari hasil pembulatan, kemunculan titik panas pada lokasi dengan latitude dan longitude tertentu menjadi tidak unik lagi, artinya memiliki lebih dari satu kemunculan, sehingga data sequential dapat terbentuk. Pembulatan dilakukan dengan rounding. Jika nilai atribut lebih dari 0.005 maka akan dibulatkan menjadi 0.01, sedangkan jika nilai atribut kurang dari 0.005 maka akan dibulatkan menjadi 0.00. Pengkodean data selanjutnya yaitu dilakukan pada atribut tanggal akuisisi. Sebelum dilakukan proses konversi, terlebih dahulu data titik panas diurutkan berdasarkan tanggal kemunculan, sehingga terlihat tanggal pertama dalam data titik panas seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Data titik panas terurut berdasarkan tanggal Latitude 0.84 0.77 0.83 0.83
Longitude 101.61 101.64 101.60 101.59
Tanggal Akuisisi 11/1/2000 11/1/2000 11/1/2000 11/1/2000
Tanggal pertama kemunculan titik panas menjadi acuan dalam melakukan konversi data. Tanggal pertama tersebut akan dikonversi menjadi nilai integer 1, dan akan bertambah satu untuk setiap tanggal berikutnya. Proses konversi dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel. Contoh hasil konversi data tanggal dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Contoh data hasil konversi tanggal akusisi Latitude 0.84 0.77 0.94 2.02
Longitude 101.61 101.64 101.49 100.46
Tanggal Akuisisi 11/1/2000 11/1/2000 11/11/2000 12/4/2000
Integer 1 1 11 34
Tabel 8 menunjukkan bahwa tanggal 1 November 2000 dikonversi menjadi nilai integer 1 karena merupakan data pertama pada data set. Data kedua juga merupakan kemunculan tanggal 1 November 2000, sehingga dikonversi juga menjadi nilai integer 1. Tanggal 11 November dikonversi menjadi 11 karena memang selisih dari tanggal 1 adalah 10 hari, sehingga dikonversi menjadi integer juga selisih 10 hari, begitu juga dengan tanggal 4 Desember 2000 yang dikonversi menjadi nilai integer 34 karena selisih dengan tanggal 1 November 2000 adalah 33 hari. Transformasi ketiga yaitu dilakukan pada atribut latitude dan longitude. Atribut latitude dan longitude akan digabungkan untuk membentuk indeks lokasi. Sebelum dilakukan pembuatan indeks, terlebih dahulu data diurutkan menurut
24 latitude, kemudian longitude, kemudian tanggal akuisisi seperti terlihat pada Tabel 9. Selanjutnya dilakukan proses konversi dilakukan dengan perangkat lunak R. Contoh hasil konversi atribut latitude dan longitude menjadi atribut daerah (berisi indeks lokasi) dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 9 Data titik panas terurut berdasarkan latitude dan longitude Latitude -0.85 -0.84 -0.84 -0.84
Longitude 102.81 102.66 102.66 102.67
Tanggal akuisisi 8/16/2005 7/30/2003 7/30/2003 8/6/2004
Tabel 10 Hasil konversi latitude dan longitude menjadi daerah/ lokasi Daerah 1 2 2 3
Latitude -0.85 -0.84 -0.84 -0.84
Longitude 102.81 102.66 102.66 102.67
Tanggal Akuisisi 8/16/2005 7/30/2003 7/30/2003 8/6/2004
Tabel 10 menunjukkan bahwa lokasi latitude -0.85 dan longitude 102.81 dikonversi menjadi indeks lokasi 1. Kemudian, meskipun latitude -0.84 dan longitude 102.66 muncul pada record nomor 2 dan 3, namun tetap keduanya diindeks dengan 2 karena memang keduanya lokasi yang sama. Lokasi latitude 0.84 dan longitude 102.67 memiliki nilai latitude dan longitude berbeda dari sebelumnya sehingga dikonversi menjadi indeks lokasi 3. Pengkodean data selanjutnya adalah mengkodekan atribut hari dari atribut hari. Atribut hari ditambahkan untuk membantu keperluan analisis. Atribut hari didapatkan dari hasil konversi tanggal menjadi hari. Contoh hasil konversi tanggal menjadi hari dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai atribut hari didapatkan dengan mencocokkan tanggal dengan hari yang berasosiasi menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Tabel 11 Hasil konversi tanggal akuisisi menjadi hari Latitude 0.84 0.77 0.94 2.02
Longitude 101.61 101.64 101.47 100.46
Tanggal Akuisisi 11/1/2000 11/1/2000 11/11/2000 12/4/2000
Hari Rabu Rabu Sabtu Senin
Pembentukan Singular Frequent Pattern dengan Algoritme Douglas-Peucker Setelah selesai dilakukan praproses data, selanjutnya adalah implementasi algoritme Douglas-Peucker. Algoritme Douglas-Peucker diimplementasikan untuk
25 mendapatkan sequence dan singular frequent pattern. Implementasi dilakukan pada dua aspek yaitu aspek spasial dan aspek temporal. Implementasi Algoritme Douglas-Peucker pada Aspek Spasial Aspek spasial dianalisis untuk menentukan pola pergerakan kemunculan titik panas pada urutan daerah berdasarkan tanggal kemunculannya. Algoritme DouglasPeucker diimplementasikan pada data titik panas dari tahun 2000 – 2015. Setelah data titik panas setiap tahunnya diurutkan berdasarkan tanggal, kemudian berdasarkan latitude, dan kemudian berdasarkan longitude, selanjutnya diimplementasikan algoritme Douglas-Peucker. Implementasi algoritme DouglasPeucker diimplementasikan untuk data per tahun. Tujuan dilakukan per tahun adalah untuk mengetahui perubahan pola per tahun kemunculan lokasi titik panas pada suatu daerah. Salah satu parameter yang harus ditentukan dalam algoritme DouglasPeucker adalah threshold. Threshold yang digunakan adalah 2 sampai 5 atau 6 hari. Hal ini karena kemunculan titik panas berturut-turut pada selang 2 sampai 5 atau 6 hari merupakan indikator kuat kebakaran lahan (Syaufina 2003). Threshold tersebut digunakan untuk membatasi rentang kemunculan titik panas yang masih dianggap dalam sebuah sequence. Jumlah sequence lokasi tahun 2014 yang dihasilkan dari algoritme Douglas-Peucker dengan threshold 3 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah sequence lokasi tahun 2014 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah Titik Panas Awal 40 1 093 4 070 3 826 4 940 18 365 7 159 2 736 3 376 7 199 2 981 4 823 4 668 10 990 19 409 3 343
Jumlah Sequence 23 474 1 514 1 423 1 812 4 806 2 557 1 246 1 468 2 771 1 481 2 039 1 975 3 271 5 185 1 440
Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 muncul titik panas pada lahan gambut sebanyak 19.409 data. Dari data tahun 2014 tersebut terbentuk menjadi 5185 sekuens. Contoh sequential kemunculan titik panas pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 menjelaskan sequential lokasi kemunculan titik panas pada tahun 2014. Kolom tanggal akuisisi pada Tabel 5 menunjukkan urutan tanggal terjadinya kemunculan titik panas. Kolom daerah adalah urutan lokasi terjadinya kemunculan
26 titik panas. Kemunculan titik panas pada tanggal yang sama dipisahkan dengan tanda spasi, dan kemunculan titik panas pada tanggal berbeda namun dalam satu sequence dipisahkan dengan tanda “|1”. Tanda “|2” digunakan untuk menunjukkan bahwa data lokasi sudah terletak pada sequence yang berbeda. Dari Tabel 12 sequence pertama, diketahui bahwa kemunculan titik panas terjadi pada lokasi 8884 (desa Bandar Jaya, kabupaten Bengkalis) pada tanggal 4811 (2 Januari 2014) kemudian diikuti pada lokasi 8887 (desa Bandar Jaya, kabupaten Bengkalis) pada tanggal 4813 (4 Januari 2014). Sequence ketiga menunjukkan bahwa terjadi kemunculan bersamaan pada lokasi 1635 (desa Simpang Agung, kabupaten Indragiri Hilir) dan 1637 (desa Simpang Gaung, kabupaten Indragiri Hilir) pada tanggal 5121 (8 November 2014). Tabel 13 Contoh sequential kemunculan titik panas aspek spasial pada tahun 2014 No 1 2 3
Tanggal Akuisisi 4811 4813 4906 4907 5121
Daerah 8884 |1 8887 |1 |2 1316 |1 1319 |1 |2 1635 1637 |1 |2
Data pada Tabel 13 dilakukan penyesuaian format dengan masukan SPMF. Contoh masukan SPMF untuk sequence daerah/ lokasi dapat dilihat pada Tabel 14. Pada SPMF, setiap event pada sequence yang sama dipisahkan dengan tanda spasi. Setiap subsequence dalam satu sequence dipisahkan dengan tanda “-1”. Setiap sequence dipisahkan dengan tanda “-2”. Tabel 14 Contoh data sequential lokasi dengan format masukan SPMF No 1 2 3
Tanggal Akuisisi 4811 4813 4906 4907 5121
Daerah 8884 -1 6620 -1 -2 10991 -1 1319 -1 -2 1635 3670 -1 -2
Implementasi Algoritme Douglas-Peucker pada Aspek Temporal Aspek temporal dianalisis untuk menentukan pola pergerakan kemunculan titik panas pada urutan tanggal berdasarkan lokasi kemunculannya. Algoritme Douglas-Peucker diimplementasikan pada data titik panas dari tahun 2000 – 2015. Setelah data titik panas setiap tahunnya diurutkan berdasarkan latitude dan longitude, kemudian berdasarkan tanggal kemunculan, selanjutnya diimplementasikan algoritme Douglas-Peucker. Implementasi algoritme DouglasPeucker diimplementasikan untuk data per tahun. Tujuan dilakukan per tahun adalah untuk mengetahui perubahan pola per tahun kemunculan tanggal titik panas pada suatu daerah. Threshold ditentukan dengan cara trial and error. Threshold yang digunakan adalah 0.02. Hal ini dikarenakan cakupan dari kebakaran hutan adalah 1 km sehingga untuk satu pola sequential dibatasi di bawah 0.02 derajat (2km). Threshold tersebut digunakan untuk membatasi rentang kemunculan titik panas yang masih
27 dianggap dalam sebuah sequence. Jumlah sequence tanggal dan hari yang dihasilkan dari algoritme Douglas-Peucker dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah sequence tanggal tahun 2014 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah Titik Panas Awal Jumlah Sequence 40 29 1 093 596 4 070 2 327 3 826 1 951 4 940 2 697 18 365 8 340 7 159 4 048 2 736 1 726 3 376 1 982 7 199 4 350 2 981 1 953 4 823 2 900 4 668 2 739 10 990 4 942 19 409 8 453 3 343 1 922
Dari Tabel 15, dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 muncul titik panas pada lahan gambut sebanyak 19 409 data. Data tahun 2014 tersebut terbentuk menjadi 8453 sekuens. Contoh sequential kemunculan titik panas aspek temporal pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Contoh sequential kemunculan titik panas aspek temporal pada tahun 2014 No 1 2 3
Daerah 10 27 69 70
Tanggal Akuisisi 5089 |1 |2 5091 5095 |1 |2 5066 |1 5071 |1 |2
Tabel 16 menjelaskan sequential tanggal kemunculan titik panas pada tahun 2014. Kolom daerah adalah urutan lokasi terjadinya kemunculan titik panas. Kolom tanggal akuisisi menunjukkan urutan tanggal terjadinya kemunculan titik panas. Kemunculan titik panas pada lokasi yang sama dipisahkan dengan tanda spasi, dan kemunculan titik panas pada tanggal berbeda namun dalam satu sequence dipisahkan dengan tanda |1. Tanda |2 digunakan untuk menunjukkan bahwa data tanggal sudah terletak pada sequence yang berbeda. Dari Tabel 15 sequence pertama dapat diketahui bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tanggal 5089 (9 Oktober 2014) di lokasi 10 (desa Keritang, kabupaten Indragiri Hilir). Sequence kedua menunjukkan bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tangga 5091 (9
28 Oktober 2014) kemudian tanggal 5095 (13 Oktober 2014)) di lokasi 27 (desa Keritang, kabupaten Indragiri Hilir). Dari sequence ketiga, dapat diketahui bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tanggal 5066 (14 September 2014) di lokasi 69 (desa Sekayan, kabupaten Indragiri Hilir), kemudian diikuti oleh kemunculan pada 5071 (15 September 2014) di lokasi 70 (desa Sekayan, kabupaten Indragiri Hilir). Selain diimplementasikan menjadi sequence tanggal, algoritme DouglasPeucker juga diimplementasikan untuk menghasilkan sequence hari. Sequence hari dihasilkan untuk mengetahui pola kemunculan titik panas berdasarkan harinya. Contoh sequence hari hasil implementasi algoritme Douglas-Peucker dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Contoh sequence hari hasil implementasi algoritme Douglas-Peucker No 1 2 3
Daerah 10 27 69 70
Hari Selasa |1 -2 Kamis Minggu |1 -2 Minggu |1 Jumat |1 -2
Kolom daerah pada Tabel 17 menunjukkan urutan lokasi kemunculan titik panas pada nilai latitude dan longitude tertentu. Kolom hari menunjukkan sequence hari kemunculan titik panas pada lokasi tertentu. Kemunculan titik panas pada lokasi yang sama namun pada hari berbeda dipisahkan dengan tanda spasi. Kemunculan titik panas pada lokasi berbeda namun masih dalam satu sequence dengan tanda |1. Tanda -2 digunakan untuk menunjukkan bahwa data hari sudah terletak pada sequence yang berbeda. Sebagai contoh, dari sequence pertama dapat diketahui bahwa pada lokasi 10 (desa Keritang, kabupaten Indragiri Hilir) terjadi kemunculan titik panas pada hari Selasa. Sequence kedua menunjukkan bahwa pada lokasi 27 (desa Keritang, kabupaten Indragiri Hilir) terjadi kemunculan titik panas pada hari Kamis dan Minggu. Sequence ketiga menunjukkan bahwa pada lokasi 69 (desa Sekayan, kabupaten Indragiri Hilir) terjadi kemunculan titik panas pada hari Minggu, kemudian diikuti pada hari Jumat di lokasi 70 (desa Sekayan, kabupaten Indragiri Hilir) pada hari Rabu. Data pada Tabel 16 dan 17 dilakukan penyesuaian format dengan masukan SPMF. Contoh masukan SPMF untuk sequence tanggal dapat dilihat pada Tabel 18 dan sequence hari pada Tabel 19. Pada SPMF, setiap event pada sequence dipisahkan dengan tanda spasi. Setiap subsequence dalam satu sequence dipisahkan dengan tanda “-1”. Tanda -2 digunakan untuk antar memisahkan antar sequence. Tabel 18 Contoh data sequential tanggal dengan format masukan SPMF No 1 2 3
Daerah 10 27 69 70
Tanggal Akuisisi 5089 -1 -2 5091 5115 -1 -2 5066 -1 5071 -1 -2
29 Tabel 19 Contoh data sequential hari dengan format masukan SPMF No 1 2 3
Daerah 10 27 69 70
Hari Selasa -1 -2 Kamis Minggu -1 -2 Minggu -1 Jumat -1 -2
Pembentukan Frequent Sequential Pattern Menggunakan Subsequence Implementasi algoritme Prefixspan pada aspek spasial Threshold pattern yang digunakan adalah dimulai dengan jumlah 2 sequence. Hal ini karena kemungkinan kemunculan titik panas pada lokasi yang sama dalam waktu 2 sampai 5 atau 6 hari berturut-turut sangat kecil. Jumlah frequent sequential tanggal titik panas dari aspek temporal yang terbentuk untuk setiap tahunnya dengan nilai minimum support 2 sampai 5 dapat dilihat pada Tabel 20. Nilai support yang memenuhi sangat kecil. Pola yang ditampilkan hanya pola dengan nilai support terbesar untuk setiap panjang item, untuk selangkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 20 Jumlah frequent subsequence lokasi yang terbentuk setiap tahun Tahun Jumlah 2000 2 2001 1406 2002 9156 2003 2395 2004 15538 2005 1791 2006 1433 2007 2080 2008 1458 2009 4510 2010 833 2011 2145 2012 4058 2013 1963 2014 3871 2015 2082
Minimum Support 2 2 2 2 2 5 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2
Dari keseluruhan pola sequential yang terbentuk, pembahasan pola sequential frequent hanya difokuskan pada tahun 2014 dan 2015. Tahun 2014 dan 2015 dipilih karena pada tahun tersebut banyak terjadi kebakaran hutan, bahkan paling tinggi pada selang 2000-2015. Tabel 21 menunjukkan pola yang penting dari data tahun 2014 dan 2015 pada setiap panjang event. Pola lokasi yang dianggap penting adalah pola frequent sequence lokasi dengan panjang sequence lebih dari 1-item. Hal ini
30 karena kemunculan pada lokasi yang sama berturut-turut pada selang 2 sampai 5 atau 6 hari adalah indikator kuat kebakaran lahan gambut. Tabel 21 Pola sequential lokasi yang banyak muncul Support (%) Pola sequential lokasi 10707 -1 10707 10708 10708 10708 0.0000132 2014 2 10709 10709 10710 0.0000132 2015 2 869 870 -1 870 872 Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014, pola lokasi kemunculan titik panas dengan panjang 2-event dengan nilai support tertinggi adalah 10707 -1 10707 10708 10708 10708 10709 10709 10710 (kabupaten Bengkalis) yang berarti bahwa terjadi kemunculan titik panas pada lokasi 10707 (desa Tanjung Leban, kabupaten Bengkalis), kemudian dalam selang 2 sampai 5 atau 6 hari diikuti kemunculan pada lokasi 10707 10708 10708 10708 10709 10709 10710 (desa Tanjung Leban, kabupaten Bengkalis). Pola tersebut didukung oleh 0.000132% atau 2 data sequence. Hal ini penting karena pada awalnya hanya 1 lokasi kemunculan, namun beberapa hari kemudian muncul di beberapa lokasi yang berdekatan. Hal ini mengindikasikan potensial kebakaran karena bisa jadi titik panas tersebut adalah api yang menyebar. Pola sequential 10707 -1 10707 10708 10708 10708 10709 10709 10710 (desa Tanjung Leban, kabupaten Bengkalis) muncul pada tanggal 4875 (7 Maret 2014) kemudian diikuti pada tanggal 4879 (11 Maret 2014) dan 4877 (9 Maret 2014) kemudian diikuti pada tanggal 4881 (13 Maret 2014). Selain itu, diketahui juga pada tahun 2015 terdapat pola sequential dengan panjang 2-event juga dengan nilai support tertinggi yaitu 869 870 -1 870 872 dengan nilai support 0.0000132% atau 2 sequence. Pola tersebut berarti terdapat kemunculan titik panas pada lokasi 869 (desa Tanjung Sari, kabupaten Indragiri Hulu) 870 (desa Sungai Rabit, kabupaten Indragiri Hilir), kemudian beberapa hari kemudian diikuti kemunculan pada lokasi 870 872 (desa Sungai Rabit, kabupaten Indragiri Hilir). Pola ini penting karena terdapat kemunculan baru (872) di dekat lokasi kemunculan lama yang menghilang (869). Hal ini dimungkinkan sebagai titik panas yang berpindah. Pola sequential 869 870 -1 870 872 muncul pada tanggal 5378 (23 Juli 2015) kemudian diikuti pada tanggal 5384 (29 Juli 2015) dan 5377 (22 Juli 2015) kemudian diikuti pada tanggal 5383 (28 Juli 2015). Pola sequential lokasi yang terbentuk tidak dapat ditentukan pola yang penting/ menarik. Hal ini karena nilai support masing-masing pola yang ada hampir sama. Selain itu, pola sequential lokasi juga tidak dapat digunakan untuk melakukan prediksi kemunculan titik panas/ deteksi dini titik panas. Hal ini karena jumlah support masing-masing pola sequential yang ada sangat kecil. Tahun
Panjang-event
Implementasi algoritme Prefixspan pada aspek temporal Threshold minimum support yang digunakan adalah 1%. Hal ini dikarenakan pada nilai minimum support kurang dari 1%, terdapat banyak sekali pola yang dihasilkan sehingga kesulitan dalam proses analisis. Threshold kurang dari 1% juga mengindikasikan bahwa pola yang dihasilkan hanya sedikit didukung data, sehingga kemungkinan terjadinya kembali akan sangat kecil. Jumlah frequent
31 sequential tanggal titik panas dari aspek temporal yang terbentuk untuk setiap tahunnya dengan nilai minimum support 1% dapat dilihat pada Tabel 22. Sama dengan pembahasan pada pola sequential lokasi, pembahasan pada pola sequential tanggal dan hari juga hanya difokuskan pada pola penting tahun 2014 dan 2015. Tabel 23 memberikan informasi pola sequential tanggal yang penting dari data titik panas pada setiap panjang event. Pola yang ditampilkan hanya pola dengan nilai support terbesar untuk setiap panjang item, untuk selangkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 22 Jumlah frequent sequence berdasarkan tanggal Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah 9 125 53 77 56 82 51 44 58 42 39 41 50 150 87 57
Tabel 23 Pola sequential tanggal banyak muncul Tahun 2014 2015
Panjang-event 2 2
Pola sequential tanggal 4879 -1 4881 5364 -1 5366
Support (%) 2.5 1.1
Berdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa pada tahun 2014 frequent sequence berdasarkan tanggal yang penting adalah 4879 (11 Maret 2014) -1 4881 (13 Maret 2014), artinya bahwa terjadi kemunculan titik panas pada tanggal 11 Maret 2014 dan kemudian muncul kembali pada tanggal 13 Maret 2014. Pola tersebut didukung oleh 2.5% atau sekitar 215 data sequence, artinya 215 data sequence dari keseluruhan data sequence pada tahun 2015 mengandung pola 4879 (11 Maret 2014) -1 4881 (13 Maret 2014). Kemunculan pola sequential tersebut terjadi pada 7 kabupaten/ kota yaitu Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan Meranti, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai. Lokasi kemunculan pola sequential tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
32
Gambar 9 Lokasi pola sequential tanggal 11 Maret 2014 -1 13 Maret 2014 Pola sequential tanggal penting dari data titik panas tahun 2015 adalah 5364 (9 Juni 2015) -1 5366 (11 Juni 2015) yang artinya bahwa kemunculan titik panas terjadi pada tanggal 9 Juni 2015 dan kemudian diikuti pada tanggal 11 Juni 2015. Pola tersebut didukung oleh 1.1% atau sekitar 23 data sequence. Kemunculan pola sequential 5364 -1 5366 terjadi pada 4 kabupaten/ kota yaitu Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti. Lokasi kemunculan pola sequential tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Lokasi pola sequential tanggal 9 Juni 2015 -1 11 Juni 2015 Selain representasi tanggal, aspek temporal juga direpresentasikan dengan hari. Jumlah pola sequential hari yang frequent dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 23 menjelaskan jumlah pola sequential hari frequent dari data titik panas tahun 2000-2015 dengan minimum support 1%.
33 Tabel 24 Jumlah frequent sequence berdasarkan hari Tahun Jumlah 2000 6 2001 134 2002 53 2003 93 2004 66 2005 116 2006 54 2007 35 2008 59 2009 43 2010 15 2011 29 2012 51 2013 167 2014 145 2015 55 Pembahasan pola sequential hari yang penting yang ditampilkan hanya tahun 2014 dan 2015. Pembahasan juga dilakukan hanya pada satu pola sequential hari pada setiap panjang event. Tabel 25 menunjukkan pola sequential hari penting dari data titik panas tahun 2015. Pola yang ditampilkan hanya pola dengan nilai support terbesar untuk setiap panjang item, untuk selangkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pola penting adalah kemunculan titik panas pada 2 sampai 5 atau 6 hari berturutturut pada area di bawah 2 km. Tabel 25 Pola sequential hari yang banyak muncul Tahun 2014 2015
Panjang-event
Pola sequential tanggal 2 Kamis -1 Jumat 3 Jumat -1 Sabtu -1 Minggu 2 Kamis -1 Sabtu
Support (%) 6.1 1.8 3.27
Pola sequential hari yang penting dengan panjang 2-event pada tahun 2014 adalah Kamis -1 Jumat, artinya terjadi kemunculan titik panas pada hari Kamis kemudian diikuti pada hari Jumat pada lokasi yang sama atau dalam radius 1 kilometer. Pola tersebut didukung oleh 6.1% atau 526 data sequence, yang artinya sebanyak 526 dari keseluruhan sequence pada tahun 2014 mengandung pola sequential Kamis -1 Jumat. Pola ini penting karena terjadi mendekati akhir minggu. Kemunculan pola sequential tersebut terjadi pada 9 dari 12 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Siak, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Rokan Hulu, Dumai, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hulu. Lokasi kemunculan pola sequential tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.
34
Gambar 11 Lokasi pola sequential hari Kamis diikuti Jumat Pola sequential hari yang penting dengan panjang 3-event pada tahun 2014 adalah Jumat -1 Sabtu -1 Minggu, artinya terjadi kemunculan titik panas pada hari Jumat kemudian diikuti Sabtu dan kemudian diikuti Minggu pada lokasi yang sama. Pola Jumat -1 Sabtu -1 Minggu didukung oleh 1.8% atau sekitar 158 data sequence, yang artinya sebanyak 158 data sequence dari total sequence tahun 2014 mengandung pola tersebut. Pola sequential hari Jumat -1 Sabtu -1 Minggu penting karena cenderung terjadi di akhir minggu. Kemunculan pola sequential Jumat -1 Sabtu -1 Minggu terjadi pada 7 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Bengkalis, Rokan Hilir, Siak, Dumai, Indragiri Hilir, Pelalawan, dan Kepulauan Meranti. Lokasi kemunculan pola sequential tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Lokasi pola sequential hari Jumat -1 Sabtu -1 Minggu Pola sequential hari yang penting pada tahun 2015 dengan panjang 2-event adalah Kamis -1 Sabtu, yang artinya terjadi kemunculan titik panas terjadi pada hari Kamis, kemudian diikuti hari Sabtu, pada rentang waktu 2-5 hari dan radius kurang dari 2 km. Pola tersebut didukung oleh 3.27% atau sekitar 63 data sequence pada tahun 2015 yang artinya sebanyak 63 data sequence dari total sequence tahun 2015 mengandung pola Kamis -1 Sabtu. Pola tersebut penting karena cenderung terjadi di akhir minggu. Kemunculan pola sequential tersebut terjadi pada 8 kabupaten/ kota di provinsi Riau yaitu Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kepulauan Meranti, Pelalawan, dan Siak. Lokasi kemunculan pola sequential tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.
35
Gambar 13 Lokasi pola sequential hari Kamis -1 Sabtu Pada penelitian ini, beberapa pola sequential yang dihasilkan ada pola lompat, seperti Kamis diikuti Sabtu, dan di Jumat tidak muncul. Hal ini dimungkinkan karena super sequence dari Kamis diikuti Sabtu yang berurut ada, tetapi dengan nilai support di bawah 1%. Contoh adalah super sequence dari Kamis diikuti Sabtu adalah Kamis diikuti Jumat diikuti Sabtu. Jika dipecah menjadi subsequence maka akan menghasilkan pola Kamis diikuti Jumat, Jumat diikuti Sabtu, dan Kamis diikuti Sabtu. Pola Jumat diikuti Sabtu ada pada sequence yaitu didukung oleh sekitar 35 atau 1.82% data sequence, artinya ada sekitar 35 data sequence yang mengandung subsequence Jumat diikuti Sabtu. Pola Kamis diikuti Jumat, didukung sekitar 29 atau 1.5% data sequence, artinya ada sekitar 29 data sequence yang mengandung subsequence Kamis diikuti Jumat. Untuk pola Kamis diikuti Sabtu, sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yaitu didukung oleh sekitar 63 data sequence, yang artinya ada sekitar 63 data sequence yang mengandung pola Kamis diikuti Sabtu. Adapun super sequence Kamis diikuti Jumat diikuti Sabtu didukung oleh 17 data atau 0.88%, yang artinya ada sekitar 17 data sequence mengandung pola Kamis diikuti Jumat diikuti Sabtu. Identifikasi Titik Panas yang Menjadi Indikator Kuat Kebakaran di Lahan Gambut Penentuan titik panas sebagai indikator kuat kebakaran di lahan gambut didapatkan dari pola sequential yang terbentuk, yaitu dari pola sequential tanggal saja. Hal ini karena belum ada penelitian lebih lanjut tentang pola sequential hari dan lokasi yang dapat digunakan sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut. Persentase titik panas sebagai indikator kebakaran lahan gambut dari pola sequential tanggal tahun 2014 dan 2015 dapat dilihat pada Tabel 26.
36 Tabel 26 Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut Pola sequential
Total support
Sequential tanggal tahun 2014 Sequential tanggal tahun 2015
1 860 179
Total titik panas Persentase (%) 19 409 9.58 15 102 1.18
Tabel 26 menunjukkan pada tahun 2014 terdapat 9.58% titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran pada lahan gambut, artinya 9.58% data titik panas tersebut adalah potensial tinggi terjadi kebakaran pada lahan gambut. Persentase tahun 2015 yang hanya 1.18% belum dapat disimpulkan karena data titik panas yang diolah baru sampai 31 Juli 2015, padahal banyak terjadi kemunculan titik panas setelah bulan Juli. Kelemahan pada perhitungan persentase titik panas pada Nurulhaq dan Sitanggang (2015) adalah dimungkinkan banyak titik panas yang dihitung berulang. Hal ini karena penentuan dihitung dari jumlah support titik panas yang ada pada subsequence. Padahal, dimungkinkan satu titik panas muncul pada beberapa pola subsequence tersebut dan menjadikan persentase tidak akurat. Selain itu, menghitung support dari subsequence yang frequent juga tidak merepresentasikan titik panas yang muncul, karena satu subsequence bisa terdiri dari satu atau lebih titik panas. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani titik panas yang berulang adalah dengan mendaftarkan semua titik panas pada pola subsequence yang menarik dan menghilangkan yang duplikat sehingga tidak ada titik panas yang dihitung berulang. Persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Persentase titik panas sebagai indikator kuat kebakaran lahan gambut Pola sequential Sequential tanggal tahun 2014 Sequential tanggal tahun 2015
Jumlah titik panas dalam frequent sequence 4421 374
Total titik panas Persentase pada dataset awal (%) 19 409 22.77 15 102
2.47
Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014, titik panas yang menjadi indikator kebakaran lahan gambut di provinsi Riau adalah 22.77%, artinya sekitar 22.77% dari total kemunculan titik panas pada lahan gambut provinsi Riau adalah potensial kebakaran yang sebenarnya. Persentase tahun 2015 belum dapat disimpulkan karena data yang dipakai belum lengkap sampai Desember 2015.
37
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada penelitian ini, telah didapatkan pola sequential tanggal, hari, dan lokasi menggunakan algoritme Douglas-Peucker dan konsep substring tree structure dari data titik panas tahun 2000-2015. Pola sequential tanggal yang memiliki kemunculan paling banyak adalah 11 Maret 2014 kemudian diikuti 13 Maret 2014. Sementara itu, pola sequential hari kemunculan titik panas yang memiliki kemunculan paling banyak adalah Kamis diikuti Jumat, dan Jumat diikuti Sabtu kemudian diikuti Minggu. Pola sequential lokasi kemunculan paling banyak tidak dapat ditentukan karena jumlah kemunculan pola yang ada hampir sama dan memiliki nilai support yang sangat kecil. Kemunculan titik panas yang dapat menjadi indikator kuat terjadinya kebakaran lahan gambut dapat diperoleh dari sequence tanggal. Persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran di lahan gambut yang didapatkan dari pola sequential tanggal adalah sebesar 22.77% pada tahun 2014 yang artinya ada sekitar 22.77% kemunculan titik panas yang merupakan potensial kebakaran lahan gambut yang sebenarnya. Saran 1
2
Saran yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah : Perlu dicari metode lain untuk menentukan persentase titik panas yang menjadi indikator kuat kebakaran lahan gambut sehingga menghasilkan persentase yang lebih akurat. Perlu dilakukan verifikasi ke lapangan untuk menentukan pola sequential yang terbentuk merupakan kebakaran yang sesungguhnya atau bukan.
38
DAFTAR PUSTAKA Agrawal R, and Srikant R. 1995. Mining sequential patterns. 11th International Conference on Data Engineering : 3–14 Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia Agustina T, Sitanggang IS. 2015. Sequential patterns for hotspot occurences based weather data using Clospan algorithm. 2015 Third International Conference om Adaptive and Intellegent Agroindustry (ICAIA), pages : 301 - 305 Barrilot X, Hangouet JF, dan Kadri-Dahmani H. 2001. Generalization of the “Douglas and Peucker” algorithm for cartographic applications. [Internet]. [diunduh 2014 Nov 04]. Tersedia pada http://w.icaci.org/files/documents/ ICC_ proceedings/ICC2001/icc2001/file/ f13019.pdf [BBPPSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Peta lahan gambut Indonesia Skala 1: 250 000. Kementrian Pertanian Indonesia Cao H, Mamoulis N, Cheun DW. 2005. Mining frequent spatio-temporal sequential patterns. Fifth IEEE International Conference on Data mining, pages : 82-89 Chang KT. 2008. Introduction to geographic information system, 4th Edition. New York (US): McGraw-Hill Cheng T, Wang J. 2006. Applications of spatio-temporal data mining and knowledge discovery (stdmkd) for forest fire prevention. Citeseer, 1 : 8–11. [Dephut] Departemen Kehutanan (ID). 2000. A guide to hotspot and forest fires in Sumatra. [Internet]. [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PHPA/FFPCP/articles/FFPCP%20% Hotspot%20Guide.htm [FIRMS] Fire Information for Resource Management System. 2015. MODIS collection 5 active fire product user’s guide, v2.5. [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 04]. Tersedia pada: https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download/ tmp/firms269841445313602_MCD14MDT.zip. Douglas DH, Peucker TK. 1973. Algorithms for the reduction of the number of points required to represent a digitized line or its caricature. Canadian Cartographer, 10(2): 112–122 Fournier-Viger P, Gomariz, Gueniche TA, Soltani A, Wu C, Tseng VS. 2014. SPMF: a Java Open-Source Pattern Mining Library. Journal of Machine Learning Research (JMLR), 15: 3389-3393 Giglio L, Descloitres J, Justice CO, Kaufman Y. 2003. An enhanced contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environment, 87:273-282. Gorawski M, Jureczek P. 2009. Using Apriori-like algorithms for spatio-temporal pattern queries. Proceedings of the International Multiconference Computer Science and Information Technology, 4: 43 – 48 Han J, Kamber M. 2006. Data mining: Concepts and techniques, 2nd edition. San Fransisco (USA): Elsevier Inc. [IWL] Indonesia Wetlands (ID). 2014. Peta dan atlas distribusi lahan gambut. [Internet]. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada:http://indonesia.wetlands.
39 org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/idID/Default.aspx Minnemeyer S. 2015. Indonesian Fires Create “Hazardous” Levels of Air Pollution in Singapore. [Internet]. [diunduh 2015 November 11]. Tersedia pada: http://www.wri.org/blog/2015/09/indonesian-fires-create-%E2%80%9 Chazardous%E2%80%9 D-levels-air-pollution-singapore Mitsa T. 2010. Temporal Data mining. New York (US): CRC Press, Taylor and Francis Group Musawijaya M, Hidayat A, Kustiyo, Khomarudin MR, Siahaan Y, Maswardi. 2001. Pemantauan titik panas indikator kebakaran hutan/lahan di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional: Laporan Pemantauan Bulan Oktober 2001 Muslim, Kurniawan S. 2008. Fakta Hutan dan Kebakaran 2002-2007: Informasi atas perubahan hutan gambit/ rawa gambut Riau, Sumatra – Indonesia. Pekanbaru (IDN) : Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Nurulhaq NZ, Sitanggang IS. 2015. Sequential Pattern Mining on Hotspot Data in Riau Province using The Prefixspan Algorithm. 2015 3rd International Conference on Adaptive and Intellegent Agroindustry (ICAIA) Pei J, Han J, Mortazavi-Asl B, Wang J, Pinto H, Chen Q, Dayal U, Hsu MC. 2004. Mining Sequential Patterns by Pattern-Growth: The Prefixspan Approcah. IEEE Transaction on Knowledge and Data Engineering, 16(10): 1-17 [Riau] Pemerintah Provinsi Riau (ID). 2013. Data Umum. [Internet]. [diunduh pada 2014 Sep 30]. Tersedia pada: http://www.riau.go.id/riau1/index.php?/ detail/61 Roddick JF dan Spiliopoulou M. 1999. A Bibliography of Temporal, Spatial and Spatio-temporal Data mining Research. SIGKDD Explorations, 1(1) : 38 Rolf ADB. 2001. Principles of Geographic Information Systems. Enschede (NLD): The International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC) Shahnawaz M, Ranjan A, Danish M. 2011. Temporal Data mining: An Overview. International Journal of Engineering and Advanced Technology (IJEAT), 1 : 20-24 Sumargo W, Nanggara S.G., Nainggolan F.A., Apriani I. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia, Periode Tahun 2000-2009. Bogor : Forest Watch Indonesia Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Tan P, Steinbach M, Kumar V, Potter C, Klooster S, Torregrosa A. 2001. Finding spatio-temporal patterns in earth science data. KDD, Workshop on Temporal Data mining, 19. Verma M, Mehta D. 2014. Sequential Pattern Mining: A Comparison between GSP, SPADE and Prefix SPAN. International Journal Of Engineering Development And Research (IJEDR), 2(3) : 3016 - 3036 White ER. 1985. Assessment of line-generalization algorithms using characteristic points. The American Cartographer, 12(1):17–27 Widyati E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman. 4(2): 57-68
40
LAMPIRAN Lampiran 1 Pola sequential lokasi yang banyak muncul Tahun 2014
Panjangevent 2
3
Pola 10731 10731 12219 12218 12219 12390 13108 13494 13429 13494 13904 13970 13903 13904 13903 13904 13970 13903 13970 13904 13970 13903 13903 13903 13903 13903 13904 13903 13903 13903 14560 2288 5821 869 870 870 1389 1389 10731 13903 13904 13903 13903 13903
10731 10812 10812 12218 12218 12391 13168 13429 13429 13903 13903 13903 13903 13903 13903 13903 13904 13903 13904 13970 13903 13970 13903 13971 13904 13904 13904 13970 13970 13971 14560 2289 5821 869 870 872 872 1389 1390 1390 10731 13903 13903 13904 13903 13904 13970 13903 13970
Support 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
10812 13903 13903
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2
13903 13903
2 2
41
Tahun
2015
Panjangevent
2
Pola 13903 13903 13903 10731 10892 10892 10892 10892 11465 11464 4976 5158 6070 6072 6073 6070 6071 6070 6071 6072 6070 6071 6072 6073 6070 6071 6073 6070 6072 6070 6072 6073 6070 6073 6071 6072 6071 6072 6073 6071 6073 6072 6073 9607
13904 13903 13904 13970 13903 13970 13903 10731 10891 10892 10893 11464 11465 4939 5157 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 6071 9607
Support 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Pola yang ditampilkan hanya pola dari tahun 2014 dan 2015. Hal ini karena pola yang dihasilkan selama 15 tahun sangat banyak namun dengan nilai support yang sama.
42 Lampiran 2 Pola sequential tanggal yang banyak muncul Tahun Panjang-event 2000 2001 2
3
2002
2
2003
2
2004
3 2
2005
2
Pola sequential tanggal 246 251 250 248 124 248 250 246 120 122 122 248 248 250 493 497 493 657 493 495 472 854 854 952 855 860 948 950 951 950 950 1201 1331 1325 1325 1323 1327 1544 1560 1588 1563
248 252 252 250 125 251 251 250 122 124 125 250 251 251 494 498 497 658 495 497 473 855 856 955 856 861 950 951 952 952 951 1202 1332 1327 1328 1325 1328 1545 1562 1590 1565
251 250 252
952
Support 10 10 10 16 19 19 34 6 7 7 9 9
24 24 25 26 27 28 30 19 19 21 22 24 30 41 48 63 26 27 29 32 32 34 41 101 101 102 116
43 Tahun
Panjang-event
2006
2
2007 2008
2 2
3 2009 2010 2011 2012
2 2 2
2013
2
Pola sequential tanggal 1697 1698 1562 1563 1546 1547 1560 1561 1562 1565 1585 1586 1544 1547 1560 1563 1949 1951 2104 2105 2293 2294 2666 2669 2667 2668 2666 2667 2668 2669 2667 2669 2667 2668 2669 3636 3638 3841 3842 4301 4302 4303 4305 4301 4303 4301 4305 4613 4616 4614 4617 4682 4683 4616 4617 4615 4618 4617 4618 4613 4615 4613 4618 4615 4619 4614 4616 4616 4616 4614 4615 4614 4618 4618 4619 4613 4614 4616 4618 4616 4619 4615 4616 4614 4619
Support 125 130 134 83 87 88 97 99 42 70 17 20 26 27 50 58 24 43 48 28 31 36 36 87 87 79 77 64 60 55 54 54 271 223 199 194 174 163 162 116 111 110
44 Tahun
Panjang-event Pola sequential tanggal Support 3 4614 4616 4618 107 4613 4614 4614 119 4615 4616 4618 49 4613 4613 4614 49 4614 4616 4617 50 4613 4614 4615 53 4614 4615 4618 60 4614 4618 4619 69 4613 4614 4616 74 4614 4616 4614 74 4616 4618 4619 77 4614 4616 4619 81 4 4614 4616 4618 4619 52 2014 2 4861 4863 101 4881 4882 103 4875 4879 108 4867 4868 110 4876 4877 118 4876 4879 118 4874 4875 119 4863 4865 134 4877 4879 173 4868 4868 204 4879 4881 215 4875 4877 85 4863 4864 87 4875 4876 90 4865 4868 93 4879 4882 97 4893 4895 98 2015 2 5379 5380 21 5377 5378 22 5364 5366 23
45 Lampiran 3 Pola sequential hari yang banyak muncul PanjangTahun event 2000 2001 2 Selasa Rabu Sabtu Selasa Senin Senin Rabu Selasa Jumat Minggu Jumat Minggu Minggu Rabu Minggu Senin Jumat Jumat Minggu Kamis Jumat Jumat Rabu Sabtu Jumat Rabu 3 Minggu Jumat Senin Selasa Rabu 2002 2 Jumat Senin Selasa Selasa Sabtu Selasa Rabu Minggu Sabtu
Pola sequential
Support -
Senin Senin Sabtu Minggu Jumat Selasa Minggu Selasa Rabu Rabu
10 10 10 10 11 13 14 14 16 16
Senin Selasa Jumat Jumat Minggu Minggu Senin Senin Jumat Selasa
17 17 18 20 23 27 28 54 6 6
Minggu Minggu Sabtu Selasa Senin Minggu Minggu Minggu Jumat Sabtu Rabu Jumat Senin Selasa Minggu Kamis Jumat Senin
7 7 8 8 11 16 17 6 6 100 27 28 28 28 30 31 32 33
Selasa Senin Senin Senin Minggu
46 PanjangTahun event
2003
Kamis Jumat Kamis Jumat Minggu Sabtu Sabtu Senin Senin Jumat Selasa Minggu 3 Jumat 2 Minggu Senin Jumat Minggu Selasa Selasa Kamis Jumat Rabu Selasa Selasa Selasa Sabtu Minggu Minggu Jumat Sabtu Kamis Rabu Rabu Senin Kamis Rabu Jumat Minggu Jumat Senin 3 Selasa Senin
Pola sequential Kamis Selasa Jumat Senin Selasa Sabtu Minggu Selasa Senin Minggu Rabu Senin Sabtu Selasa Selasa Jumat Senin Minggu Rabu Jumat Minggu Kamis Jumat Senin Kamis Minggu Jumat Rabu Selasa Sabtu Minggu Minggu Selasa Minggu Selasa Jumat Senin Kamis Sabtu Rabu Minggu Selasa
Minggu
Senin Senin
Support 37 41 48 55 56 57 57 57 60 63 75 85 28 98 93 76 74 69 56 55 51 49 44 41 40 39 36 35 34 32 32 31 30 29 29 26 25 22 21 19 19 19
47 PanjangTahun event
2004
2005
Selasa Minggu Selasa Minggu 2 Sabtu Sabtu Minggu Selasa Sabtu Rabu Kamis Senin Minggu Minggu Sabtu Minggu Minggu Jumat Jumat Kamis Selasa Selasa Senin Kamis Rabu Kamis 3 Kamis Rabu Selasa 2 Selasa Sabtu Selasa Kamis Jumat Kamis Minggu Selasa Jumat Senin Rabu Rabu Sabtu
Pola sequential Senin Selasa Minggu Senin Minggu Sabtu Sabtu Jumat Selasa Jumat Selasa Selasa Rabu Kamis Senin Selasa Senin Sabtu Minggu Sabtu Kamis Rabu Senin Jumat Kamis Minggu Sabtu Kamis Kamis Jumat Kamis Senin Minggu Rabu Senin Rabu Sabtu Minggu Jumat Jumat Senin Rabu
Selasa Minggu Selasa Selasa
Minggu Kamis Kamis
Support 24 26 30 41 105 107 26 27 27 32 37 39 39 41 43 44 45 47 55 60 68 68 71 73 73 75 27 31 32 100 101 107 109 117 130 131 141 142 146 154 164 181
48 PanjangTahun event Kamis Jumat Rabu Senin Minggu Selasa Sabtu Senin Kamis Sabtu Rabu Kamis Minggu Sabtu Selasa Jumat Senin Senin Rabu Jumat Selasa Minggu Senin Kamis 3 Senin Sabtu Minggu Selasa Senin Selasa Minggu Sabtu Sabtu Senin Rabu Selasa Sabtu Jumat Selasa Sabtu Kamis Jumat
Pola sequential Jumat Senin Sabtu Sabtu Selasa Kamis Selasa Kamis Sabtu Minggu Kamis Kamis Senin Senin Rabu Sabtu Rabu Selasa Minggu Selasa Minggu Kamis Minggu Selasa Selasa Senin Senin Selasa Rabu Rabu Senin Minggu Senin Selasa Kamis Kamis Senin Sabtu Selasa Minggu Jumat Sabtu
Kamis Selasa Selasa Selasa Kamis Kamis Senin Senin Senin Rabu Sabtu Kamis Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Senin
Support 182 195 197 198 199 213 214 256 258 306 320 332 352 354 381 413 449 505 84 88 89 93 96 98 112 113 121 122 125 126 133 139 143 189 85 86 88 91 91 91 96 97
49 PanjangTahun event 2006 2 Kamis Sabtu Minggu Jumat Senin Kamis Jumat Selasa Sabtu Selasa Kamis Sabtu Rabu Minggu Senin Rabu Minggu Jumat Senin Selasa Jumat 2007 2 Sabtu Selasa Kamis Minggu Kamis Kamis Selasa Jumat Selasa Minggu Sabtu Senin Minggu 2008 2 Kamis Jumat Kamis Selasa Rabu Minggu Minggu Rabu
Pola sequential Jumat Minggu Sabtu Rabu Kamis Minggu Senin Kamis Selasa Jumat Sabtu Senin Jumat Senin Rabu Kamis Selasa Minggu Selasa Rabu Sabtu Selasa Minggu Selasa Jumat Kamis Jumat Jumat Minggu Rabu Senin Minggu Selasa Selasa Jumat Sabtu Minggu Minggu Selasa Rabu Selasa Senin
Support 101 132 40 40 43 44 47 47 47 51 52 54 59 69 70 72 72 74 80 93 99 17 18 18 21 21 22 22 23 25 29 39 42 42 19 20 20 20 20 20 22 23
50 PanjangTahun event
3 2009
2
2010
2
2011
2
2012
2
Pola sequential Senin Senin Selasa Kamis Sabtu Senin Minggu Selasa Jumat Kamis Senin Rabu Selasa Selasa Selasa Jumat Selasa Kamis Sabtu Selasa Minggu Rabu Selasa Jumat Rabu Senin Minggu Kamis Rabu Selasa Sabtu Minggu Jumat Minggu Jumat Selasa Sabtu Rabu Minggu Selasa Senin Minggu Selasa
Support
Kamis Rabu
23 23
Kamis Minggu Selasa Senin Rabu Jumat Selasa Senin Kamis Kamis Kamis Rabu Sabtu Jumat Sabtu Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Minggu Jumat Selasa Senin Jumat Kamis Rabu Minggu Senin Sabtu Jumat Minggu Senin Minggu Kamis Selasa Rabu Selasa Senin Senin
27 31 32 33 36 42 44 48 62 71 19 27 140 43 47 47 49 52 54 57 60 63 71 72 87 94 20 22 26 26 33 50 30 35 39 39 65 75 84 27
Selasa Kamis
51 PanjangTahun event
2013
Minggu Kamis Senin Kamis Selasa Kamis Rabu Sabtu Selasa Sabtu Jumat Selasa Jumat Sabtu Jumat Jumat Rabu Minggu Minggu Senin 2 Rabu Selasa Sabtu Senin Jumat Rabu Jumat Jumat Kamis Jumat Selasa Rabu Rabu Minggu Rabu Senin Kamis Rabu Selasa Jumat Sabtu Kamis
Pola sequential Jumat Senin Kamis Sabtu Minggu Jumat Jumat Minggu Kamis Selasa Minggu Rabu Senin Senin Selasa Sabtu Kamis Senin Selasa Selasa Sabtu Jumat Minggu Selasa Rabu Senin Senin Sabtu Jumat Minggu Rabu Minggu Kamis Senin Jumat Kamis Selasa Rabu Senin Selasa Selasa Sabtu
Support 28 28 28 30 31 32 32 34 35 35 37 38 39 39 41 47 47 49 51 63 103 106 113 135 140 143 146 165 166 196 210 211 237 241 291 51 51 526 55 57 57 64
52 PanjangTahun event
2014
Sabtu Senin Kamis Rabu Kamis Selasa Minggu Kamis Minggu Selasa Minggu Sabtu Senin 3 Rabu Rabu Kamis Selasa Rabu Rabu Kamis Jumat Rabu Selasa Rabu Jumat Rabu Selasa Rabu Rabu Jumat 4 Rabu Rabu 2 Sabtu Jumat Jumat Selasa Sabtu Minggu Kamis Rabu Rabu Minggu
Pola sequential Rabu Jumat Minggu Selasa Senin Minggu Selasa Rabu Jumat Kamis Rabu Senin Rabu Kamis Jumat Rabu Rabu Kamis Jumat Jumat Sabtu Kamis Rabu Kamis Rabu Minggu Rabu Jumat Jumat Minggu Jumat Jumat Jumat Senin Rabu Sabtu Kamis Rabu Sabtu Kamis Jumat Jumat
Jumat Minggu Rabu Minggu Senin Sabtu Minggu Minggu Minggu Kamis Rabu Jumat Senin Jumat Rabu Senin Senin Rabu Jumat Minggu Senin
Support 71 73 73 77 78 81 81 83 86 89 93 95 95 103 109 50 51 53 54 54 60 60 60 67 71 76 78 84 85 85 49 53 101 112 118 133 145 156 169 185 202 210
53 PanjangTahun event
2015
Senin Selasa Sabtu Kamis Kamis Minggu Jumat Selasa Selasa Jumat Sabtu Jumat Selasa Minggu Kamis Rabu Senin 3 Selasa Jumat Minggu Kamis Kamis Jumat Kamis Minggu Sabtu Selasa Jumat Rabu Minggu Selasa Minggu Selasa 2 Minggu Kamis Rabu Sabtu Minggu Sabtu Senin Sabtu Rabu
Pola sequential Selasa Minggu Selasa Minggu Selasa Kamis Selasa Rabu Jumat Sabtu Minggu Minggu Kamis Selasa Jumat Minggu Kamis Rabu Sabtu Senin Jumat Jumat Minggu Jumat Selasa Minggu Kamis Sabtu Kamis Selasa Minggu Selasa Kamis Selasa Senin Senin Selasa Senin Rabu Kamis Kamis Jumat
Kamis Selasa Selasa Selasa Sabtu Selasa Minggu Kamis Selasa Jumat Minggu Jumat Rabu Selasa Jumat Selasa
Support 213 233 237 242 257 268 293 312 331 339 383 395 482 515 526 86 99 102 107 111 112 117 117 127 136 141 154 158 91 91 92 98 99 20 21 21 21 22 22 23 23 24
54 PanjangTahun event
Pola sequential Selasa Selasa Senin Senin Rabu Kamis Sabtu Jumat Senin Sabtu Rabu Kamis
Kamis Rabu Sabtu Rabu Sabtu Jumat Senin Sabtu Selasa Minggu Kamis Sabtu
Support 24 24 25 26 27 29 33 35 40 47 61 63
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 13 Mei 1991 dari ayah bernama Eko Dikoro dan ibu bernama Sainem. Penulis merupakan anak kelima dari 6 bersaudara. Pada tahun 2010, penulis menamatkan pendidikan di MAN 2 Banjarnegara. Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Ilmu Komputer di Institut Pertanian Bogor atas bantuan beasiswa Fresh Graduate-Sinergi 2014. Dalam menyelesaikan program Magister di Program Studi Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun tesis dengan judul “Spatio-Temporal Sequential Pattern Mining untuk Deteksi Dini Kebakaran pada Lahan Gambut di Provinsi Riau”. Sebagian dari tesis dipublikasikan di jurnal Telecommunication Computing Electronics and Control (TELKOMNIKA). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Rekayasa Perangkat Lunak (2013), Sistem Operasi (2013), dan Data Mining (2014). Penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Komputer (HIMALKOM) pada tahun 2012 dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Banjarnegara (IKAMABARA) di IPB pada tahun 2012, serta berbagai kegiatan kepanitiaan seperti IToday (2012), Pesta Sains Nasional (2012), dan Olimpiade Mahasiswa IPB (2012). Selain itu, penulis juga aktif menjadi salah satu pengajar di LPK Tepi Sawah desa Cikonjen Kabupaten Bogor. Penulis melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan di International Collaboration Office (ICO) IPB pada bulan Juli-Agustus 2013. Selain itu, penulis juga menjadi pemakalah pada Seminar Nasional dan Arsip Tahunan Bidang MIPA (SEMIRATA) 2014.