. Dia bertindak karena wajib" Sora berhenti sejenak "Dalam menghadapi peristiwa di kelurahan Jenangan ini, jelas keselamatan rumah tangga ki lurah terancam. Di hadapan kedua demang dari Matahun itu, raden telah mengakui bahwa ni Ambari itu adalah isteri raden. Raden melakukan hal itu karena hendak menolong ni Ambari. Jelas raden telah melakukan suatu dharma sesuai dengan sifat seorang ksatrya. Tetapi apabila pengakuan itu terancam oleh suatu pembuk an, dakkah raden akan melanjutkan pertolongan itu? Ataukah raden hanya ingin ber ndak setengah jalan belaka? Kukatakan hal ini karena, kemungkinan besar Matahun akan mengirim pasukan untuk mempidana ki lurah. Betapa besar dosa ki lurah, betapa berat pidana yang akan dijatuhkan pada diri ki lurah apabila ternyata keterangannya bahwa ni Ambari itu sudah bersuami ternyata hanya suatu siasat untuk membohongi utusan tumenggung Adikara? Bukankah pertolongan raden itu bahkan hanya akan merupakan bencana maut bagi ki lurah?" Nararya tertegun. Sesaat kemudian ia baru dapat menjawab "Tetapi aku masih mempunyai tugas yang belum selesai" "Apakah tugas itu, raden?" seru Sora "apabila raden mempercayai diriku, aku sanggup untuk melakukannya" Nararya gelengkan kepala "Ah, memang ingin benar aku menyatakan kepercayaan kepadamu, ki Sora. Tetapi tugas itu bukan suatu pekerjaan yang nyata, melainkan derita yang belum nyata, belum tahu pula bila derita itu akan berakhir" Sora terkesiap. Timbul rasa keinginannya untuk mengetahui apa sesungguhnyatugas yang akan dilakukan Nararya.Maka ia memberanikan antuk bertanya. "Tidak nyata tetapi nyata. Sukar tetapi mudah. Mudah tetapi sukar" kata Nararya tersenyum "bertapa, ki Sora" "O" desuh Sora kemudian pikirnya melayang pada keterangan Nararya itu. Bertapa tentu
mempunyai tujuan yang besar. Ia tak mau menegas tujuan Nararya melakukan tapabrata itu. Namun iapun pernah menerima wejangan dari para orangtua maupun guru, tentang beberapa hal yang mengenai tapa. Setelah merenungkan ajaran itu dan mengaitkan dengan alam pikiran Nararya, bersualah Sora akan suatu kesimpulan. "Raden" katanya sesaat kemudian "tapabrata merupakan sarana untuk mencapai sesuatu dang dicita-citakan. Entah hal itu benar atau tidak, tetapi pada hakekatnya, setiap dharma yang baik, yang bersifat menolong, akan membuahkan sesuatu yang- memberi kebaikan kepada kita. Termasuk pula salah sebuah hal yang akan memberi isi kepada laku tapabrata. Dalam bertapa, kita mengosongkan pikiran, menghampakan seluruh gerak indera, mengheningkan cipta dan mensucikan batin. Karena hanya- apabila jiwa dan raga.kita sudah bersih, sudah hening maka kita akan dapat menanggapi sesuatu getaran gaib. Melakukan dharma pertolongan kepada yang membutuhkan pertolongan, tidaklah akan mencemarkan laku kita dalam bertapa. Bahkan kebalikannya akan menambah nilai dari apa yang hendak kita capai itu" Nararya terkesiap. Dipandangnya Sora. Pemuda itu hampir sebaya dengan dia tetapi mengapa mampu mengungkap isi ha nya "Ki Sora" serunya pula "adakah engkau menger apa yang menjadi keresahan hatiku?" "Semoga demikian, raden" "Tetapi Sora" kata Nararya pula "dalam tapabrata, hal itu harus dijauhkan" "Benar, raden" sambut Sora "memang selayaknya demikian. Tetapi keadaan raden berbeda. Apa yang raden ndakkan adalah sekedar memenuhi dharma seorang ksatrya yang selalu bersedia menolong kepada sesamanya, Kurasa, daklah hal itu akan mencemarkan laku tapabrata yang sedang raden laksanakan" "Tetapi ki Sora ...." "Ah. panggil saya Sora, raden. Aku lebih senang"
Nararya mengangguk "Tetapi aku tak dapat menetap lama di desa ini dan harus melanjutkan perjalananku. Tidakkah hal itu akan menimbulkan siksa kepada gadis itu ?" "Soal itu dapat dirundingkan. Kurasa bukan Halangan dan Sorapun bersedia untuk menjaga desa ini dari ancaman tumenggung Adikara, apabila raden akan melanjutkan perjalanan" Nararya terbeliak. Dipandangnya anakmuda itu dengan penuh perasaan. "Yang pen ng" kata Sora seolah tak mengacuhkan pandang Nararya "adakah raden berkenan hati kepada gadis itu atau tidak ?" Nararya tersenyum. Tanpa menjawab ia terus ayunkan langkah menuju ke dalam "Raden, hendak kemanakah engkau?" tegur Sora terheran-heran. "Memberi penjelasan kepada Ambari. Rupanya dia salah faham" kata Nararya tanpa berpaling. Lurah Jenangan tertawa. Sorapun tertawa. Keduanya girang karena Nararya bersedia mempersunting Mayang Ambari. Demi kebahagiaan puterinya, lurah Jenangan bersedia melepaskan kedudukannya. Demi membela Nararya, Sorapun rela mengundurkan diri sebagai bekel prajurit. Bahkan ia bersedia tinggal di Jenangan untuk melindungi keluarga ki lurah dan Ambari apabila Nararya melanjutkan perjalanan. Memang aneh sekali langkah Sora itu. Ia baru bertemu dengan Nararya tetapi ia sudah bersedia memberi pengorbanan. Ia sendiri tak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Rakyat Jenangan menerima kehadiran Nararya dan Sora dengan penuh kegembiraan.
(Oo-~dwkz^ismoyo~-oO)
II Memang cepat sekali waktu berlalu. Lebih cepat pula dalam perasaan orang yang sedang menikma kebahagiaan. Rasanya hanya sekejab belaka waktu secandra itu. Hal itu dialami Nararya. Tanpa terasa sudah secandra ia menetap di Jenangan, menikma kebahagiaan di samping Mayang Ambari. Andai tak mengemban tugas dari ramanya, rasanya ia tentu enggan meninggalkan desa itu.
Sora menyempatkan diri untuk menuju ke Matahun, menyelidiki berita tentang tumenggung Adikara. Perlu ia lakukan hal itu agar apabila tumenggung Adikara benar2 hendak mengirim pasukan, dapatlah ia memberi kabar kepada lurah Jenangan dan mengadakan persiapan seperlunya. Berita yang diperolehnya, cukup menggembirakan. Apa yang dicemaskan ternyata tak terjadi dan mungkin tak akan terjadi. Tumenggung Adikara telah diutus baginda Matahun menuju ke bandar Ganggu, selanjutnya berlayar ke Taliwang (Sumbawa) membeli kuda. Perjalanan itu tentu memakan waktu berbulan-bulan. Mudah-mudahan peris wa di desa Jenangan itu takkan menarik selera tumenggung itu lagi. Walaupun kemungkinan bahaya sudah berkurang, namun masih cemas juga Noyo dan Doyo, kedua punakawan tua, karena melihat bendaranya seolah tenggelam dalam alam kebahagiaan. Kedua punakawan itu mencari kesempatan untuk menjumpai Nararya. "Raden" kata Noyo dan Doyo "sudah cukup lama hamba rasa raden menetap di desaini. Tidakkah raden sudah tak berminat lagi untuk melaksanakan pesan rama raden ?" Nararya terkesiap. Apa yang diingatkan kedua punakawan itu memang benar. Jenangan hanya merupakan suatu persinggahan dari perjalanannya yang panjang. Bukan tujuan terakhir. Ia memberi jawaban "Baik, besok kita berangkat ke Singasari" Malam itu ia menyatakan maksud ha nya kepada lurah dan Mayang Ambari. Demikian pula Sora. Walaupun hal itu lambat atau cepat pas akan ba dan sebelumnya sudah diberitahu Nararya, namun berat juga ha Ambari melepasnya pergi. Belum cukup empat puluh hari ia meneguk kebahagiaan bersama raden Nararya, ia harus berpisah pula "Adakah aku bermimpi ?" ia berkata pelahan ketika malam itu berdiri di muka jendela memandang cakrawala. "Tidak Ambari, engkau tak bermimpi" tiba2 terdengar penyahutan dari belakang. Ambari berpaling dan menjerit tertahan "Raden ...." ia lari menghampiri dan disongsong kedua
lengan Nararya dengan mesra. Tiada pernah perasaan itu berbeda bahwa setiap kali dalam pelukan Nararya, ia merasa amat sentausa dan bahagia. Hidup itu suatu berkah, suatu keindahan yang berar . Tetapi kali itu, ia merasa cemas dalam pelukan Nararya. Cemas dan takut akan kehilangan lengan yang pernah membelainya dengan penuh kasih sayang, lengan yang menjadi penampung jiwa raganya, lengan tempat ia berlindung dan lengan yang pernah menerima penyerahan seluruh apa yang dimilikinya. Siapa yang akan membelai-belai dengan penuh kemesraan? Siapa pula yang akan memeluknya, memberinya kehangatan yang menyalakan api hidupnya? Siapa pula yang akan melindungi? Bukankah malam2 akan terasa dingin dan sepi? Bukankah impian hanya bersambut kebisuan hampa? "Ambari" kata Nararya "demikianlah perputaran roda kehidupan. Jalan itu ada selalu rata. Ada kalanya naik, ada kalanya menurun, lurus, berkeluk, bahkan ada kalanya penuh batu dan duri. Jangan kita menyumpah keadaan jalan itu tetapi yang pen ng bagaimana kita dapat mengatur langkah kaki agar tetap dapat melintasinya" "Tetapi raden" bisik Ambari tersendat "bukankah kesemuanya itu kita sendiri yang menciptakan ? Bukankah perpisahan ini takkan terjadi apabila raden tak menghendakinya ?" "Ambari" kata Nararya "engkau harus menyadari bahwa aku ini seorang ksatrya. Pantang bagi seorang ksatrya apabila tak dapat menunaikan tugas yang telah disanggupinya. Masih banyak tugas yang harus kulakukan terhadap negara dan rakyat. Dan engkau Ambari, kupercaya tentu dapat menghayati cita2 hidupku. Jangan kita persempit kebahagiaan itu dengan dinding2 rumah tangga tetapi luaskan kebahagiaan itu seluas negara kita dansebanyak rakyat kita. Jangan kita batasi kebahagiaan kita pada diri kita sendiri tetapi luaskan kebahagiaan itu pada anak cucu kita kelak. Dan kebahagiaan mereka tak mungkin akan berarti
apabila saat ini tidak kita mulai tanamkan benih2 kebahagiaan itu keselumh negara kita. Engkau dapat meresapi kata-kataku, Ambari ?" Ambari serta merta melepaskan diri dari pelukan Nararya terus berlutut mencium kaki raden itu "Duh, raden junjungan nyawa hamba. Ambari seorang gadis desa yang picik pengetahuan. Kini terbukalah hati hamba akan langkah raden yang luas mencapai tujuan yang luhur itu. Berangkatlah, raden, Ambari akan mengantar dengan doa puji kepada dewata. Hamba akan menanti kedatangan raden sampai pada akhir hayat Perpisahan yang berat itu terasalonggar manakala masing2 telah memiliki penghayatan dan penger an. Walaupun dalam ha menangis namun Ambari melepas keberangkatan Nararya itu dengan senyum bahagia. Sora menepa janji untuk tetap menetap di Jenangan sehingga ia yakin bahwa ancaman dari tumenggung Adikara itu benar2 tak dilaksanakan. Sarat langkah Nararya yang meninggalkan kelurahan Jenangan bersama kedua pengiringnya itu, akhirnya lenyap ditelan kelebatan gerumbul pohon yang menjadi watek-bumi atau batas dari suatu desa. Nararya membayangkan, apabila ia menempuh jalan besar, tentu akan balah ia di pura Daha. Teringat pula akan janjinya kepada pangeran Ardaraja bahwa apabila telah selesai melakukan tugas, pangeran Daha itu memintanya supaya masuk menjadi prajurit Daha. Tetapi ia pun teringat pula akan Suramenggala yang pernah dikalahkannya itu. Tidakkah lurah prajurit itu akan mendendam kepadanya dan akan berusaha untuk merintangi agar dia jangan sampai masuk menjadi prajurit Daha. "Ah, ternyata manusia2 di pura kerajaan itu, temaha akan pangkat dan rakus kedudukan" pikirnya. Membayangkan gerak-gerik orang2 Daha itu, mbullah suatu dugaan dalam ha Nararya. Mengapa pangeran itu mengatakan bahwa Daha sedang giat mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengumpulkan prajurit2 yang gagah perkasa? Adakah suatu rencana yang
tersembunyi di balik persiapan Daha itu. Serentak iapun teringat akan cerita ramanya mengenai hubungan antara Daha dan Singasari. Kedua kerajaan itu dahulu merupakan satu kerajaan Panjalu. Kemudian sebelum wafat, prabu Airlangga menitahkan empu Bharada seorang mahayogi yang sakti untuk membagi dua dan diwariskan kepada kedua putera baginda: Maksud baginda, apabila baginda wrft. hendaknya kedua putera yang masing rmsing memiliki kerajaan Mendiri, dapat hidup rukun. Tetapi ternyata harapan baginda itu bukan saja tak terlaksana, bahkan akibatnya berlawanan dengan yang diharapkan. Daha dari Singasari selalu bermusuhan. Sampai kemudian Ken Arok berhasil merebut kekuasaan Singasari, mengalahkan prabu dandang Gendis dari Daha dan mernpersatukari Daha dengan Singasari. Sejak saat itu Daha dibawah kekuasaan Singasari. Kemudian ramanya pun menguraikan tentang istilah keturunannya. Ramanya, Lembu Tal, putera dari Mahisa Campaka yang kemudian bergelar Batara Nayasingamurti. Mahisa Campaka putera dari Mahisa Wonga Teleng. Dan Mahisa Wonga Teleng itu putera Ken Arok dengan Ken Dedes. Dengan demikian jelas Nararya itu keturunan dari Ken Arok atau baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi. Sedangkan baginda Kertanagara yang sekarang menjadi raja Singasari, adalah putera dari Rongga Wuni atau baginda Wisnuwardhana. Rangga Wuni putera dari Anusapati. Ansapati putera Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Dengan demikian Nararya itu menurut tingkat, adalah kemanakan baginda Kertanegara dari garis keturunan Ken Dedes. Teringat akan garis silsilah keturunanya, Nararya merasa memiliki hak atas tahta kerajaan Singasari apabila terjadi sesuatu pada diri baginda Dalam hubungan itu, secara wajib, ia harus membela Singasari. Gerak gerik orang Daha, cenderung menimbulkan prasangka yang akan
merugikan kepen ngan Singasari. Kemungkinan Daha akan menunggu kesempatan untuk memberontak, melepaskan diri dari kekuasaan Singasari. "Ah" akhirnya Nararya mendesuh napas "jika rangkai dugaanku itu benar, wajiblah aku membela Singasari. Namun benar atau tidak hal itu, kurang seyogya apabila aku bekerja pada Daha" "Paman, kita biluk ke selatan" serunya tiba2. Noyo dan Doyo yang sudah terlanjur berada beberapa tombak meninggalkan Nararya di belakang, terkejut "Mengapa ? Bukankah kita harus mengambil jalan ini apabila akan menuju Singasari?" seru mereka heran. "Ya, tetapi kita akan tiba di pura Daha" jawab Nararya "pada hal aku tak menghendaki kita tertahan lagi di pura itu. Lebih baik kita mengambil jalan ke selatan. Sedikit mengitar tetapi bebas dari rintangan" Lebih nyaman bagi perasaan Nararya berjalan. Alam pedesaan yang sepi dan pegunungan yang sunyi. Keheningan alam terbuka menyedapkan mata, menyejukkan pikiran. Terbuka pula ha nya akan suburnya bumi, indahnya alam dan luasnya telatah negara. Hutan2 masih membelantara, tanah2 masih memadang. Mereka menan tangan2 manusia untuk dibuka dan digarap. Dan betapa makmur dan kaya hutan dan bumi itu akan memberi kehidupan kepada para kawula. Hutan takkan terbuka sendiri, bumipun takkan merekah sendiri. Pohon2 takkan berbondongbondong mengantar diri kepada manusia, bibit2 takkan tumbuh sendiri, apabila manusia tak mau berusaha. Tiada yang turun sendiri dari langit kecuali hujan. Pun hujan itu turun bukan semata-mata untuk memberi kesegaran dan kesejukan pada manusia, melainkan untuk memberi imbalan atas jasa bumi. Karena tanpa bumi, sumber2 air, sungai2 dan parit2 akan bertumpah ruah menjadi lautan. Air menguapkan awan, awan mencairkan hujan. Hujan meresap ke dalam bumi, kembali kepada sumbernya. Demikian Nararya melambung dalam angkasa lamunan walaupun kakinya masih berjalan di bumi "Mahabesarlah keagungan Hyang
Widdhi yang telah menciptakan bumi, langit dan seisi alam dengan sempurnanya. Manusia merupakan insan yang terkasih. Apa yang diminta dengan segala kesungguhan hati oleh manusia, tentu direstuiNYA. Tetapi harus dengan sarana usaha dan daya upaya. Dewata takkan menghujankan berkah apabila manusia itu tidak berusaha. Demikian pula, hutan dan alam bumi yang terbentang luas ini, tak mungkin memberi manfaat kepada kita apabila kita tak mengusahakannya" Tiba2 ia teringat akan ucapan gurunya, resi Sinarnaya "Nararya, aku hanya dapat memberi pet unjuk tetapi tak kuasa memberimu. Segala sesuatunya semata-mata tergantung pada usahamu sendiri" "Jika demikian" ia melanjut pula "bertapa ke makam eyang buyut Ken Arok di Kagenengan itu hanya mencari petunjuk. Kemudian yang penting adalah usaha untuk melaksanakan petunjuk itu" Bukan karena tak mau mengajak bicara kedua punakawannya itu untuk menghilangkan kesepian dalam perjalanan, tetapi berbicara dengan mereka hanya menambah beban pemikiran dan mungkin kemengkalan. Karena sikap dan alam pembicaraan mereka seolah masih seper kanakkanak. Lebih baik ia mengisi kesepian itu dengan merenung dan melamunkan apa yang pernah terjadi dan apa yang akan terjadi. Sedaplah kiranya berjalan melamun ditempat yang sunyi. Beberapa hari kemudian ke ka ba di sebuah jalan pegunungan mereka terkejut mendengar suara riuh macam kaki kuda menderap bumi. Ditempat yang sesunyi seper saat itu, hembusan angin, derak pohon, bunyi burung mengepak sayap bahkan daun kering yang berguguran jatuh, mudah terdengar. Dan suara riuh di kejauhan itupun cepat menyusup kedalam telinga mereka. "Hujan, raden" seru Noyo Nararya gelengkan kepala "Bukan, derap kuda mencongklang" sahutnya. Ia memberi isyarat agar
kedua punakawannya itu berhen dan waspada "mudah-mudahan jangan terjadi sesuatu. Lebih baik kita menyingkir ke tepi jalan apabila mereka tiba" ia memberi pesan kepada Noyo dan Doyo. Suara riuh itu makin terdengar dekat dan beberapa kejab kemudian dari tikung jalan dibalik sebuah gerumbul pohon, muncullah lima ekor kuda yang dilarikan kencang oleh penunggangnya. Saat itu surya sudah condong ke barat. Sekeliling penjuru, alam menampakkan kelengangan yang sayu. Derap kuda itu memecah kesunyian, menyibak ketenangan tanah pegunungan dipenghujung hari. Debu mengepul, bumi bergetar. Ke ka ba pada sepelepas pandang mata, Nararya segera dapat melihat orang-orang yang mengendarai kuda itu. Kuda berjumlah lima ekor tetapi penunggangnya hanya empat orang. Lelaki2 yang bertubuh perkasa dan berwajah seram, membekal pedang dan tombak. Sebagai gan daripada kuda yang tak berpenunggang itu. tampak menggunduk sebuah buntalan kain hitam, entah apa isinya. Dengan ha 2 keempat orang itu pengawal kuda bermuat buntalan kain hitam, Yang dua disebelah kanan, yang dua di kiri. Tentulah buntalan itu sebuah benda yang berharga. Pikir Nararya "Ah, lebih baik aku menyingkir ke tepi" ia hendak mengajak kedua punakawannya tetapi terlambat. Rombongan penunggang kuda itu pada lain kejabpun sudah tiba. Hanya terpisah dua tombak dari tempat Nararya. "Hai, berhen " ba2 salah seorang penunggang yang terdepan dari sebelah kanan berteriak. Sambil melarikan kuda, diapun sudah menyiapkan tombak. Nararya terkejut. Ia dan kedua punakawannya berhen . Akan menimbulkan kecurigaan apabila ditegur orang dak menjawab tetapi menyingkir pergi. Nararya hendak menjawab pertanyaan orang itu. Dia sudah siap dengan keterangan bahwa, ia hanya seorang pejalan yang kebetulan lalu ditempat itu. "Mampuslah!" selekas ba, penunggang kuda bertubuh perkasa itu terus menusuk Nararya.
Sudah barang tentu pemuda itu terkejut sekali. Ia tak kenal dan tak bersalah kepada orang itu, mengapa dia hendak membunuhnya? Cepat Nararya loncat menghindar ke samping. Maksudnya hendak memberi keterangan agar orang jangan salah faham. Tetapi penunggang kuda itu memang liar sekali. Luput menusuk Nararya, ia gerakkan tombak menyapu Noyo dan Doyo yang masih tegak terlongong karena terkejut. "Aduh! Aduh!" susul menyusul Noyo dan Doyo menjerit dan rebah ditanah, Bahu kedua punakawan itu termakan tombak, berlumuran darah dan berguling-guling jatuh dan menjerit-jerit. Tanpa menghiraukan korbannya, rombongan penunggang kuda itupun segera memacu kudanya kencang2. Peris wa itu terjadi cepat sekali. Hampir secepat mata mengejab. Nararya terpisah jauh dengan kedua punakawannya. Ia sendiri tertegun melihat perbuatan penunggang kuda itu. Serangan penunggang kuda kepada Noyo dan Doyo hanya menyibak rasa kejutnya tetapi tak menyempatkan ia untuk memberi pertolongan. Bahkan sebelum ia sempat bergerak, rombongan penunggang kuda itupun sudah mencongklang jauh "Hai, berhen !" cepat ia lari memburu tetapi debu2 yang mengepul tebal itu menghalang pandang matanya. Ke ka kepul debu menipis, rombongan penunggang itupun sudah merupakan titik2 hitam dalam keremangan senja. Terpaksa Nararya kembali ke tempat punakawannya. Mereka Sudah duduk tetapi masih meraung-raung kesakitan, diseling dengan hamun makian dan sumpah, serapah kepada penyerangnya "Jika tahu keparat itu hendak membunuh aku, tentu lebih dulu akan kuhantam kepalanya"' "Pengecut itu menyerang tanpa memberitahu. Jika kelak berjumpa lagi, aduh ..." Noyo mendekap erat2 luka pada bahunya yang karena ia bergerak maka luka itupun merigalirkan darah lagi.
Geli dalam ha Nararya mendengar sesumbar kedua hambanya itu. Tetapi ia kasihan juga mereka menderita luka maka dibiarkannya saja mereka mengingau menurut dendam kemarahannya. Biasanya, rasa sakit akan berkurang apabila si penderita dapat menumpahkan isi ha nya, entah merin h entah menyumpah. Tetapi heran juga Nararya terhadap kedua punakawannya itu. Walaupun sudah menghambur makian, melantangkan sesumbar, tetapi mereka masih merintih-rintih kesakitan pula. "Coba kuperiksa" kata Nararya seraya menghampiri. Noyo terluka pada bahunya, Doyo pada lengannya. Untung karena menusuk sambil melarikan kuda, luka itu walaupun berdarah tetapi tak parah. "Tunggu dulu disini, kucarikan obat" kata Nararya seraya melangkah ke dalam gerumbul pohon. Ia mencari pohon kemlanding, memetik daunnya lalu diremas sampai lembut. Ia kembali lagi ketempat kedua pengiringnya, melumurkan remasan daun kemlanding itu pada luka mereka. "Siapakah mereka, raden" tanya Noyo setelah lukanya tak mengalirkan darah dan rasa sakitpun berkurang. Nararya gelengkan kepala "Aku sendiripun tak tahu tetapi yang jelas gerak gerik mereka memang mencurigakan" "Apakah buntalan kain hitam yang dimuatkan dipunggung kuda itu, raden" tanya Doyo. "Entahlah" jawab Nararya "kemungkinan benda yang amat berharga ...." ba2 ia hen kan kata2, mengerut dahi. Serentak teringat akan peris wa di candi Wengker. Tidakkah keempat penunggang kuda, sejenis kaum perampok seper gerombolan Singa Barong itu? Jika demikian halnya, jelas buntalan kain hitam itu tentu barang2 hasil rampasan. Serentak Nararya berbangkit "Noyo, Doyo, tunggulah disini" "Hendak kemanakah. raden?" seru kedua hamba itu terkejut.
"Mengejar kawanan perampok berkuda tadi" sahut Nararya seraya lepaskan langkah. "Jangan raden" Noyo dan Doyo serempak berbangkit dan melangkah "amat berbahaya mengejar orang pada petang hari menjelang malam. Dan lagi belum tentu mereka itu kawanan perampok. Yang ketiga, apabila mengejar tidakkah raden akan terhambat dalam perjalanan ke Kagenengan ?" Nararya tertegun, menghela napas. Beralasan juga kata2 kedua hambanya itu. Memang kadang2 mereka dapat mengeluarkan pendapat yang baik ”Baiklah" katanya "apakah kalian sudah kuat berjalan?" Karena yang terluka bahu dan lengannya, kedua hamba itupun mengatakan sanggup untuk beijalan. Merekapun kua r akan kemalaman di hutan. Nararya segera melanjutkan perjalanan. Hari makin gelap, malam segera tiba. Mereka gegaskan langkah agar mencapai sebuah desa. Belum berapa lama berjalan, mereka mulai melihat bayang2 hitam yang menggunduk dikeremangan malam. Nararya girang karena menduga bayang2 hitam itu tentu gerumbul pohon yang menjadi tanda batas desa. Tiba2 mereka terkejut melihat suatu pemandangan yang aneh. Sekerumun api merekah dari kegelapan, bergerak-gerak maju,makin lama makin besar makin banyak pula jumlahnya. "Obor" kata Nararya setelah memperhatikan beberapa saat dan melihat api2 itu bertangkai, dipegang oleh bayangan hitam. Tentulah kawanan penduduk yang hendak mencari katak atau berburu binatang. Pikirnya. Secepat ia menerka, secepat itu pula kerumun api itu makin dekat. Dan Nararya tak meragukan dugaannya lagi. Memang api itu adalah batang obor yang dibawa oleh sekelompok orang. Di ngkah cahaya obor, Nararya dapat melihat bahwa orang2 itu membekal senjata. Walapun pakaiannya bukan seragam keprajuritan tetapi mereka adalah lelaki2 yang bertubuh tegap. Dan cepat mepekapun ba di hadapan Nararya. Melihat Nararya dan kedua pengiringnya, mereka
segera berhamburan mengelilingi dan berteriak-teriak "Inilah penjahatnya, hayo kita tangkap!" Nararya terkejut ke ka mendapatkan dirinya bersama Noyo dan Doyo telah dikepung. Seorang lelaki berbaju hitam pendek, menghunus pedang, segera melangkah maju "Lekas bilang, siapakah kalian ber ga ini!" ia memberi isyarat agar rombongannya yang berjumlah hampir duapuluh orang itu menghentikan gerak dan teriakannya. Setelah memberitahu nama dan perjalanannya. Nararya bertanya "Siapakah yang ki Sanak cari itu?" diam2 ia sudah mempunyai dugaan bahwa rombongan orang itu tentu hendak mengejar penjahat. Melihat wajah Nararya yang tampan dan tutur bahasanya lembut, rombongan lelaki2 itu saling bertukar pandang, sementara lelaki yang melangkah ke hadapan Nararya itu berkata "Jawablah dengan jujur, apakah engkau bukan kawan dari penjahat2 berkuda?" "O" seru Nararya makin jelas "ki sanak hendak mencari rombongan orang berkuda? Ya, benar, memang mereka telah lewat di jalan ini" "Hm" desuh orang itu "jika tahu bahwa mereka lalu disini, mengapa dak kalian tangkap? Jelas kalian tentu kawan mereka" "Ya, tangkapi Bunuh!" serempak menggelegarlah rombongan orang2 itu bersoraksorak. Namun Nararya tak terkecoh oleh kehirukan itu "Ki sanak sekalian" serunya nyaring "lihatlah" ia Segera menarik Noyo "bukankah lengan paman ini terluka? Dan lihat pula ini" ia menarik Doyo dan menunjukkan bahunya "juga paman ini terluka bahunya. Salah seorang penunggang kuda itu telah menusuk mereka" Rombongan itupun sirap seke ka. Teriakan Nararya amat mengejutkan mereka. Bagaikan halilintar menelan bunyi cengkerik. Dan luka pada kedua orang itu pun menyerap perha an mereka. Lelaki yang berhadapan dengan Nararya tadipun terkesiap "O" desuhnya "mereka menyerang kalian?" "Ya" sahut Nararya lalu menuturkan perbuatan salah seorang dari keempat
penunggang kuda dikala berpapasan dengan mereka ber ga tadi "hendak kukejar manusia liar itu tetapi dia mencongklangkan kudanya sepesat angin sedang aku hanya berlari" Orang itu meminta maaf dan memerintahkan kawan-kawannya supaya berkumpul lagi. Atas pertanyaan Nararya orang itu menerangkan "Kami adalah petugas2 kademangan Lodoyo yang hendak mengejar perampok2 berkuda tadi" "O" seru Nararya "memang kuduga mereka tentulah kawanan perampok. Apakah yang dirampok?" "Benda pusaka peninggalan kerajaan Panjalu" "Oh" teriak Nararya "apakah benda pusaka itu? Pedang, tombak atau senjata pusaka?" Orang itu gelengkan kepala "Bukan, melainkan sebuah gong peninggalan empu Bharada" "Hai" Nararya melonjak kaget "gong pusaka peninggalan empu Bharada yang sakti itu?" Orang itu mengangguk "Tiada dua Bharada kecuali empu Bharada yang pernah di tahkan prabu Airlangga untuk membelah kerajaan Panjalu jadi dua dan empu itu melaksanakannya dengan terbang sambil mencurahkan air kendi dari langit" "Jika demikian gong itu memang sebuah pusaka yang amat berharga sekali" kata Nararya "tetapi mengapa berada di kademangan? Kademangan manakah itu? Dan daerah manakah tempat ini?" "Engkau sudah memasuki telatah Balitar. Apabila terus ke selatan akan ba di kademangan Lodoyo. Disitu terdapat sebuah candi bernama Gandi Simping. Gong empu Bharada itu oleh baginda Kertanagara dari kerajaan Singasari di tahkan disimpan dalam candi itu dan demang Lodoyo dititahkan pula untuk menjaganya baik-baik" "O" desuh Nararya pula agak heran "mengapa pusaka semacam itu tak disimpan saja dalam keraton Singasari ? Bukankah lebih aman ?" "Aku bernama Kebo Saloka, berpangkat bekel bhayangkara dari, keraton Singasari. Melihat kesetyaan dan keberanianku, karena umurku sudah setengah tua, maka baginda
Kertanagara berkenan menitahkan aku sebagai penjaga gong pusaka itu, bersama resi Para yang di tahkan baginda untuk mengepalai candi itu. Demang Lodoyopun diperintahkan untuk membantu tenaga2 penjaga" "Apakah resi Para dan ki demang berada disini?" "Tidak, mereka masih berada di candi untuk memeriksa bekas2 jejak penjahat itu" "Lalu bagaimana tujuan ki bekel sekarang ini?" tanya Nararya pula. "Mengejar penjahat itu" "Kemana?" tanya Nararya. Kebo Saloka tertegun tak dapat menjawab. Ia hanya mengatakan hendak menyusur jejak penjahat itu melalui jalan2 yang telah dilalui mereka. "Sayang ki bekel tak berkuda" kata Nararya "sekalipun begitu, aku bersedia ikut ki bekel untuk mengejar mereka" Noyo dan Doyo terkejut "Raden" seru mereka gopoh "kita belum tahu siapa penjahat itu. Tidakkah hal itu akan makan waktu lama?" Nararya tertegun. Memang benarlah kata2 kedua hambanya itu. Namun kali ini lain pula penilaiannya. Gong peninggalan empu Bharada itu merupakan pusaka yang wajib diselamatkan dan dijaga. Entah siapa kawanan penjahat yang telah mencuri itu, tetapi wajiblah ia membantu usaha orang2 kademangan itu untuk membekuk penjahatnya. Kemungkinan tentu ada sebabnya mengapa prabu Kertanagara menaruhkan gong pusaka itu di Lodoyo. Mengapa tidak disimpan di keraton atau di lain tempat yang lebih sentausa. Tertarik perha an Nararya akan rahasia yang menyelimut di balik gong pusaka empu Bharada. Biarlah tujuannya ke Kagenengan terhen beberapa waktu tetapi gong pusaka itu memang berharga untuk didapatkan, kembali. Adakah ini suatu k2 permulaan daripada jalan kearah menyongsong Wahyu Agung itu?
"Tidak" cepat Nararya menghapus pemikiran semacam itu "bukan karena wahyu itu yang mendorong aku akan merebutnya kembali. Bukan pula keinginan apa2 yang bersifat peribadi, tetapi memang gong pusaka itu harus direbut kembali dari tangan penjahat. Pusaka peninggalan semacam itu tak boleh hilang atau jatuh di tangan penjahat" "Tetapi benarkah engkau melihat sendiri sebuah buntalan kain hitam di punggung kuda mereka?" ulang bekel Kuda Saloka. "Ya" sahut Nararya "buntalan kain hitam sebesar pemeluk tangan orang. Tampaknya kuda itu berlari sarat membawanya" kata Nararya. "Benar" sabut Kuda Saloka "jika demikian tentulah gong pusaka itu. Ketahuilah, bahwa walaupun besarnya hanya sepemeluk tangan orang tetapi gong Pradaitu beratnya sama dengan seekor lembu"' "Jika demikian mari kita lekas berangkat, ada harapan kita dapat mengejar mereka" seru Nararya. Tetapi bekel Kuda Saloka mencegah "Jangan terburu nafsu. Siapakah sesungguhnya dirimu ini, ki bagus? Mengapa kedua orang itu menyebutmu raden?" Nararya terkesiap. Walaupun telah dipesan ternyata Noyo dan Doyo telah lupa dan menyebutnya raden. Tetapi hal itu tak mengapa. Yang menjadi pemikirannya adalah kedua punakawannya yang terluka. Memang benar, kurang layak kalau mengajak mereka ikut dalam pengejaran itu "Ki bekel, sesungguhnya aku bernama Nararya, putera resi Sinamaya di gunung Kawi. Aku habis melakukah perintah rama ke Wengker dan dalam perjalanan pulang aku sengaja mengambil jalan di daerah selatan. Untuk menambah pengalaman sekalian menikma pemandangan alam" Memang sejak melihat wajah Nararya, bekel Kuda Saloka sudah menarik kesimpulan bahwa pemuda itu tentu bukan pemuda kebanyakan. Ia mempunyai kesan baik terhadap Nararya dan ia percaya penuh atas keterangan pemuda itu "Baiklah raden. Apabila raden setuju, akan
kusuruh salah seorang rombonganku untuk membawa kedua pengiringmu itu ke kademangan. Biarlah mereka menunggu di kademangan sampai nanti kita kembali" Nararya girang sekali. Ia menerima usul itu lalu memerintahkan Noyo dan Doyo ikut ke kademangan. Setelah seorang dari rombongan kademangan membawa Noyo dan Doyo pergi, barulah Nararya berangkat bersama rombongan bekel Kuda Saloka. Malam makin sunyi ditelan kekelaman. Bekel Kuda Saloka tak tahu bagaimana harus menyusuri jejak kawanan penjahat itu. Ia hanya menurutkan jalan besar yang merentang ke arah utara. Pikirnya, karena naik kuda, kawanan penjahat itu tentu menempuh jalan besar. Untuk menghilang rasa sepi dan dingin maka Nararya bertanya tentang peris wa hilangnya gong Prada itu. "Aku nggal disebuah bangunan batu, dekat candi Simping dan resi Para nggal dalam candi bersama seorang murid yang bernama putut Gubar. Kemarin siang, putut Gubar disuruh resi Para ke Balitar untuk berbelanja keperluan sesaji dan bahan-bahan untuk dapur. Petang hari putut Gubar tergopoh-gopoh pulang dengan membawa berita bahwa resi Para dan aku, diundang ki demang Lodoyo karena perlu diajak berunding tentang persiapan2 upacara pemandian dan sesaji untuk Gong Prada. Memang tiap tahun gong pusaka itu tentu dimandikan dengan suatu upacara" "O" seru Nararya "mengapa?" "Hal itu dimulainya sejak baginda Kertanagara naik tahta menggan kan rahyang ramuhun baginda Wisnuwardhana" kata bekel Kuda Saloka "oleh tah baginda maka ap Asyura, Gong Prada supaya dimandikan dengan sebuah upacara yang khidmat dan doa mantra agar gong suci itu tetap memancarkan daya kesak an untuk menangkal kutuk yang dilimpahkan sang mahayogi empu Bharada kepada pohon kamal tetapi yang kemudian akibatnya memancarkan daya malapetaka sehingga Daha dan Jenggala yang telah dipecah dari kerajaan Panjalu oleh empu sak itu, selalu
pecah benar-benar. Kedua kerajaan itu selalu bermusuhan dan perang" Nararya terpikat perha annya sehingga ia tak merasakan kedinginan malam di tengah musim kemarau. "Telah berjalan bertahun upacara pemandian Gong Prada itu dan nyatanya sampai sekarang, baginda Kertanagara dapat memerintah dengan aman" lanjut bekel Kuda Saloka pula. "O, jika demikian" tukas Nararya "amat pen nglah ar gong pusaka itu bagi keamanan dan keselamatan negara" Bekel Kuda Saloka mengangguk "Benar, raden. Itulah pula sebabnya maka baginda menitahkan aku, seorang bhayangkara-pendamping baginda, untuk menjaga candi tempat penyimpan gong pusaka itu" "Tetapi ki bekel" seru Nararya "bukankah tugas sebagai bhayangkara-pendamping yang selalu menjaga keselamatan baginda itu lebih penting dari tugas di candi Simping?" Bekel Kuda Saloka menghela napas "Ah, raden, apabila membicarakan peris wa itu, mungkin darahku akan naik lagi" Nararya matan tenggelam dalam rasa keinginan tahu. Maka dengan ramah ia meminta bekel Kuda Saloka untuk menceritakan hal itu "Tetapi apabila ki bekel berat ha , akupun tak memaksa" katanya. Bekel Kuda Saloka tertawa. Entah bagaimana, walaupun perkenalannya dengan Nararya itu baru berlangsung beberapa saat, namun ia sudah menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda itu. Ada suatu perasaan, yang ia tak menger sendiri, bahwa pemuda itu seolah mempunyai kewibawaan yang layak ditaati. "Baik, raden" katanya "menurut wawasanku dalam pemerintahan di pura Singasari memang terdapat gejala2 perebutan pengaruh diantara para menteri. Di-antaranya yang berhasil menonjolkan diri adalah demang Aragani. Sejak demang itu berhasil mempersembahkan siasat dalam peperangan di Gelagah Arumantara pasukan Singasari dengan pasukan pangeran
Kanuruhan sehingga dalam peperangan itu pangeran Ka-nuruhan menderita kekalahan, maka demang Aragani segera dinaikkan pangkat sebagai tumenggung dan makin mendapat kepercayaan penuh dari baginda" "Sedemikian dekat hubungan antara tumenggung Aragani dengan baginda Kertanagara sehingga menimbulkan kecemasan para mentri2 lain, terutama patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti, kepala angkatan perang Singasari" "Tetapi ki bekel" tak tahan Nararya untuk tak bertanya "apabila untuk mengatur pemerintahan, apa buruknya baginda erat berhubungan dengan tumenggung Aragani. Bukankah Aragani telah berjasa dalam peperangan di Gelagah Arum? Eh, siapakah pangeran Ka-nuruhan itu, ki bekel?" "Pangeran Kanuruhan adalah putera dari rahyang ramuhuh Wisnuwardhana yang dilahirkan dari seorang selir. Sesungguhnya rahyang ramuhun Wisnuwardhana amat kasih kepada putera sulungnya itu karena baik wajah maupun perangainya, hampir sama dengan ayahandanya. Tetapi karena putera sulung itu lahir dari selir maka baginda Wisnuwardhana hanya memberinya bumi di Gelagah Arum dan menggiatnya sebagai kanuruhan. Antara baginda Kertanagara dengan kakandanya pangeran Kanuruhan, tak akur. Baginda Kertanagara menghendaki agar Glagah Arum tunduk pada Singasari. Dalam eh a-citanya untuk mempersatukan seluruh nuswantara, perabu Kertanagara hanya menghendaki sebuah kerajaan yalah Singasari. Tetapi pangeran Kanuruhan menolak dan akhirnya terjadilah peperangan diantara kedua saudara itu" Bekel Kuda Saloka berhen sejenak lalu melanjutkan pula "Dan sesungguhnya, tumenggung Araganilah yang menjadi biangkeladi dari peperangan itu. Diapun menghasut baginda agar menggempur Glagah Arum. Patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti berusaha untuk mencegah tetapi tak dihiraukan baginda. Baginda lebih percaya pada Aragani. Dan setelah Gkigah Arum dapat
dihancurkan maka baginda makin erat dan percaya kepada Aragani" ia berhen pula "jika hubungan itu dalam rangka mengatur pemerintahan, memang layak. Tetapi ternyata Aragani hendak merusak jiwa baginda dan melemahkan semangat baginda" "O" Nararya terkejut "bagaimana caranya?" "Tumenggung itu selalu menghaturkan tuak apabila menghadap baginda. Dengan dalih bahwa tuak itu merupakan obat pelipur yang dapat menghilangkan segala kele han pikiran dan menambah kesegaran semangat, bagindapun mulai terpikat. Aragani makin giat mengumpulkan tuak hingga sampai membeli tuak dari Bali. Melihat gejala2 yang tak sehat itu, pada suatu hari aku memberanikan diri untuk menyongsong kedatangan tumenggung Aragani ke keraton. Kuperingatkan bahwa hendaknya janganlah dia merusah jiwa dan semangat baginda dengan tuak. Dia hanya tertawa mencemoh. Beberapa bulan kemudian, baginda memindahkan aku ke Lodoyo untuk menjaga Gong Prada, sedang kedudukanku digan oleh senopa -pendamping Bandupoyo yang sekarang" "Eh, ki bekel, bagaimana dengan kelanjutan cerita putut Gubar itu?" tiba2'Nararya teringat. "O, benar" kata bekel Kuda Saloka "malam itu aku bersama resi Para menuju ke Lodoyo. Tetapi ki demang pergi ke Balitar dan kami terpaksa menunggu di kademangan. Kami menunggusampai-jauh malam baru ki demang pulang. Tetapi alangkah kejut kami ke ka ki demang, mengatakan bahwa dia tak merasa mengundang kami berdua. Bahkan diapun marah karena merasa telah dipermainkan orang yang mengatakan bahwa buyut Lodoyo mengundangnya datang ke Balitar. Sampai disana, buyut Balitarpun tercengang karena merasa tak memanggil ki demang” "Siapakah yang menyampaikan undangan kepada ki demang?" tanyaku. "Putut Gubar, murid ki resi Para" sahut demang Lodoyo. Saat itu aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tak wajar. Karena putut Gubarlah yang menyampaikan berita tentang kami dipanggil ki demang Lodoyo. Kemudian demang
itupun menerima undangan dari putut Gubar yang mengatakan kalau buyut Balitar memanggilnya. Demang Lodoyo dan resi Para juga terkejut ke ka kuutarakan tentang kecurigaanku terhadap putut Gubar. «Segera kuajak resi Para pulang. Ternyata putut Gubar tak berada dalam candi. Setelah kami cari beberapa waktu, barulah kami ketemukan dia terikat pada sebatang pohon, mulutnya disumbat, kaki tangan dan tubuhnya diikat. Setelah kami tolong, ia memberitahu bahwa sepulang dari berbelanja ke Balitar, ba2 ia dihadang oleh empat orang lalu ditangkap dan diikat pada pohon. Pakaiannya dilucuti. "Jika demikian jelas kalau putut Gubar yang menyampaikan berita kepada kita itu, bukan putut Gubar ini melainkan salah seorang dari keempat orang yang menghadangnya itu" kataku kepada resi Para. Resi Para kerutkan dahi "Mari kita periksa keadaan candi" katanya. Setelah memeriksa dengan teli , ada terdapat suatu apa yang hilang. Tetapi ke ka kami memeriksa tempat penyimpanan gong Prada, kami menjerit kaget. Gong suci itu telah hilang. Jelas keempat orang yang. menghadang putut Gubar itulah yang mencuri. Mereka menggunakan siasat yang cerdik, memanggil aku dan resi Para ke Ledoyo sementara demang Ledoyo disiasa supaya pergi ke Balitar, Waktu setengah malam itu cukup bagi mereka untuk mengangkut gong Prada. Demikian bekel Kuda Saloka mengakhiri ceritanya, Nararya mengangguk. Diam2 ia memuji kecerdikan penjahat yang telah berhasil mengambil gong pusaka itu "Ki bekel" katanya sesaat kemudian "menurut jejak dan dugaan, siapakah kiranya yang melakukan pencurian itu?" Bekel Saloka menghela napas "Sukar untuk mengatakan dengan pas . Karena sudah berpuluh tahun gong pusaka itu tersimpan dalam candi Simping dengan selamat dan baru kali
ini peris wa itu terjadi" "Menurut dugaan ki bekel, kira2 siapakah yang cenderung untuk dicurigai melakukan pencurian itu?" kata Nararya. "Menilik jalan yang mereka tempuh ini, akan menuju ke pura Daha" kata bekel Kuda Saloka "tetapi kusangsikan apakah akuwu Daha yang memerintahkan pencurian itu? Karena sukar untuk menduga, apa tujuannya jika benar fihak Daha yang memerintahkan pencurian itu?" "Ki Demang" kata Nararya sesaat kemudian ”kecuali Daha, adakah di daerah lain terdapat gerombolan penjahat yang sering mengganggu keamanan?" Bekel Kuda Saloka merenung sejenak "O, benar raden" serunya sesaat kemudian "digunung Kelud sudah beberapa lama muncul sebuah gerombolan perampok yang sering melakukan perampokan ke beberapa daerah. Namun sampai sekian lama belum pernah Balitar diganggu" Saat itu hari sudah menjelang terang tanah dan merekapun ba di desa Ponggok. Bekel Kuda Saloka mengajak rombongannya beris rahat di desa itu. Mereka singgah ditempat lurah Ponggok. Lurah terkejut menerima kedatangan mereka namun disambutnya juga dengan ramah. Ke ka mendengar tentang peris wa hilangnya gong Prada, lurah itu makin terkejut. Atas pertanyaan bekel Saloka, lurah menyatakan bahwa sejak semalam didesanya tak pernah dilalui oleh rombongan orang berkuda. "Pernahkah ki lurah mendengar tentang gerombolan gunung Kelud yang mengganggu rakyat?" "O, benar" seru lurah Ponggok "memang sejak beberapa waktu ini di gunung Kelud telah muncul gerombolan penyamun. Tetapi agak istimewa juga mereka itu" Nararya terkesiap "Bagaimana?" "Mereka dak mau mengganggu rakyat jelata tetapi hanya- merampok orang2 kaya terutama pembesar2 kerajaan Singasari" "O, jika demikian" sambut Nararya "apakah mereka memusuhi Singasari atau sekurang-
kurangnya orang-orang yang mendendam kepada Singasari?" Lurah Ponggok mengangguk "Kemungkinan begitu, tetapi entah bagaimana keadaan yang sebenarnya"' Setelah mendapat keterangan dari lurah maka Nararya segera berunding dengan bekel Kuda Saloka "Ki bekel, dalam mengejar jejak penjahat itu, kita harus menyusuri se ap kemungkinan yang mengandung kemungkinan. Desa ini, mempunyai dua simpang jurusan. Yang ke barat, akan mencapai Daha dan yang ke utara akan ba di gunung Kelud. Kedua fihak itu mempunyai kemungkinan yang layak kita selidiki" Sejenak merenung, bekel Kuda Saloka memberi tanggapan "Jika keterangan ki lurah itu benar, maka gerombolan di gunung Kelud itu mempunyai kemungkinan yang lebih besar" "Mengapa?" tanya Nararya. "Mereka bersikap memusuhi Singasari. Sedang Dahar jelas mengunjuk sikap setya dibawah kekuasaan Singasari. Apakah alasan Daha untuk mencuri gong pusaka itu?" Nararya tak lekas menyahut melainkan merenung. Peristiwa pertemuannya dengan pangeran Ardaraja. putera akuwu Jayakatwang di Daha, terbayang pula. Betapa jelas ia mendengar keterangan putera akuwu Daha yang menyatakan bahwa Daha giat sekali membentuk pasukan yang kuat, mencari prajurit2 yang. gagah. Walaupun tak jelas mengatakan tentang maksud tujuannya, tetapi apakah tujuan gerakan mereka itu? Dan menilik sejarahnya, Daha selalu berperang dengan Singasari. Daha mau tunduk pada Singasari karena kalah. Tetapi apabila Daha sudah memiliki pasukan yang kuat, adakah mereka masih taat kepada kekuasaan Singasari? Kemudian teringat pula ia akan keterangan dari ramanya bahwa akuwu Jayakatwang yang sekarang memerintah Daha itu seorang akuwu yang pandai dan digdaya, memiliki senopa dan mentri yang pandai. Dalam hubungan itu apabila mereka sudah mempunyai angkatan perang yang kuat, tidakkah akan terjadi per-obahan dalam alam pikiran
mereka? Namun karena ia belum memiliki gambaran yang jelas tentang keadaan Daha, tak beranilah ia mengemukakan pendapatnya secara pas "Ki bekel, segala sesuatu dalam dunia ini tak langgeng sifatnya. Terutama pikiran dan pendirian manusia. Mudah sekali goyah dan berobah. Dan untuk mencari jejak gong pusaka itu setiap kemungkinan harus kita telusur" "Tetapi akan makan waktu lama apabila kita harus menyelidiki ke Daha kemudian ke gunung Kelud" sanggah bekel Kuda Saloka. Nararya tersenyum kemudian berkata dengan nada bersungguh "Ki bekel, aku sudah berjanji akan menyediakan tenaga dan pikiran bahkan bila perlu jiwaku untuk mendapatkan gong Prada itu. Karena gong itu merupakan pusaka peninggalan yang bersejarah. Dan apabila benar mempunyai daya pengaruh gaib untuk menolak bala dari empu Bharada, maka lebih wajib kita mendapatkan kembali" "Maksud raden?" tanya bekel Kuda Saloka. "Berilah aku lima orang pengikut yang akan menyertai aku ke gunung Kelud. Sedangkan ki bekel bersama sisa kawan2 rombongan ini yang menuju ke Daha" kata Nararya. Bekel Kuda Saloka menimang sejenak lalu menjawab "Ah, lebih baik aku yang ke gunung Kelud dan-raden yang ke Daha" "Mengapa? " tanya Nararya. "Karena lebih besar kemungkinan gerombolan gunung Kelud itu yang melakukan pencurian. Bila raden ke gunung Kelud, bahayanya tentu lebih besar. Padahal akulah yang bertanggung jawab atas hilangnya benda pusaka itu dan raden hanya membantu saja" Nararya tertawa "Ki bekel, salah pandanganmu itu. Berbicara tentang tanggung jawab, pendirianku beda dengan ki bekel. Gong Prada itu benda pusaka yang telah menjadi milik kerajaan. Dan gong pusaka itu dianggap mempunyai khasiat gaib untuk menolak bala agar negara jangan sampai -terlanda bahaya peperangan lagi. Sehingga demikian gong pusaka itu
mempunyai nilai sebagai suatu sarana yang mendatangkan keamanan dan ketenteraman rakyah Berbicara soal keamanan negara dan ketenteraman rakyat, bukanlah semata tanggung jawab dari para narapraja melulu tetapi se ap kawula negara juga mempunyai tanggung jawab. Karena rakyat dan negara ibarat tanah dengan pohon" Bekel Saloka tertegun. "Mengapa kuminta ki bekel yang menuju Daha, bukanlah karena Kelud lebih besar kemungkinannya untuk diduga. Karena dalam soal itu, kita masih belum dapat memas kan dan menurut hematku, kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama. Hanya aku merasa sebagai seorang pemuda gunung yang belum pernah menjelajah pura, tentu akan canggung dan tak leluasa. Hal itu mudah menimbulkah kecurigaan orang atau petugas2 pemerintah Daha. Beda halnya apabila ki bekel yang sudah pernah menjabat sebagai bhayangkara keraton tenfu lebih faham akan seluk beluk keadaan dan alam kehidupan pura. Demikian pula dalam cara2 untuk menyelidiki, ki bekel tentu jauh lebih berpengalaman dari diriku. Bukankah demikian, ki bekel?" Bekel Kuda Saloka mengangguk. Alasan yang di-kemukakan pemuda itu memang tepat. Akhirnya ia menerima saran Nararya "Tetapi raden, bilakah kita akan bertemu kembali?" "Sepuluh hari kemudian, hasil atau tidak hasil, kita bertemu di desa ini lagi" kata Nararya. Demikian setelah beris rahat beberapa waktu, kedua rombongan itupun segera berangkat. Nararya membawa lima orang menuju ke gunung Kelud. Bekel Kuda Saloka dengan duabelas orang menuju ke Daha. Dalam menempuh perjalanan ke gunung Kelud, Nararya seolah membebaskan pikiran., dari tujuannya bertapa di candi Kagenengan. Ia menganggap bahwa bertapa itu adalah untuk kepen ngan diri peribadi. Dan ia pun belum dapat membayangkan, apakah hasil daripada usahanya bertapa itu nan . Hal itu bukan berar ia tak menganggap hal itu pen ng.
Tetapi hilangnya Gong Prada itu ia anggap lebih pen ng untuk diusahakan kembalinya. Hal itu sesuai dengan dharmanya baik sebagai seorang ksatrya. maupun sebagai seorang kawula. Sebagai seorang ksatrya ia membantu pada bekel Kuda Saloka yang bertanggung jawab atas keamanan gong pusaka itu. Sebagai seorang kawula, ia menunaikan wajib untuk memperjuangkan benda milik negara yang dicuri orang. Dan pusaka itu mempunyai arti besar bagi keamanan negara. Pada hari kedua menjelang petang, balah Nararya di kaki gunung Kelud. Nararya mengajak kelima pengiringnya berhen . Ia memutuskan akan mendaki ke puncak gunung pada keesokan harinya. Karena ada perumahan penduduk, ia mencari sebuah tempat peris rahatan di bawah pohon besar. Ke ka malam ba, sekonyong-konyong ia mendengar suara sungu atau terompet dari tanduk, melengking memecah kesunyian. Serentak ia melonjak bangun "Apakah itu?" "Macam bunyi sungu ditiup" sahut salah seorang rombongannya yang bernama Juwaru. "Mungkin tak jauh dari tempat ini terdapat perkampungan" seru pula kawannya yang lain. "Lalu apa bunyi sungu itu?" tanya Juwaru. "Mungkin anak2 bermain meniup sungu" kata kawannya itu. "Tidak mungkin" ba2 seorang kawannya yang lain bernama Bera membantah "bukarikah di kademangan Lodoyo tak pernah terdengar anak2 bermain meniup sungu?" Bera tak dapat menjawab dan juwarupun membenarkan "Jika demikian, tentu ...." belum selesai ia berkata, ba- ba terdengar pula suara sungu menyambut suara sungu pertama yang sudah hampir reda itu. Kemudian ke ka nada suara sungu yang kedua itu menurun, terdengar pula suara sungu yang ketiga. Tiap kali jaraknya makin jauh keatas gunung. "Hm" desuh Juwaru "jika demikian jelas suatu pertandaan dari gerombolan yang bersarang di gunung ini" Nararya mengangguk "Ternyata mereka mempunyai susunan penjagaan yang teratur. Cepat sekali kedatangan kita mereka ketahui dan segera melaporkan kepada pimpinannya"
Kemudian Nararya mengatur siasat "Kawan2, sebentar lagi gerombolan perampok itu tentu akan turun kemari. Jelas mereka tentu lebih besar jumlahnya. Maka baiklah kita atur, siasat. Mudahmudahan siasat ini dapat mengurangi kekuatan mereka. Paling tidak memecah perhatian mereka" "Silahkan raden memberi petunjuk. Kami pasti akan siap melakukan" kata Juwaru dan kawan2. "Aku dan salah seorang dari kamu berlima, yang akan menyambut mereka. Sedang yang empat orang supaya memencar diri bersembunyi di empat penjuru sekeliling tempat ini. Apabila terjadi pertarungan, buatlah gerakan agar mereka ketakutan karena mengira bahwa kita membawa sejumlah besar anakbuah. Apabila mereka membagi orang untuk memburu ketempat kalian jangan melawan tetapi pancinglah agar mereka mengejar kalian dan tercerai berai dari induk gerombolannya. Sementara aku yang akan menghadapi kepala gerombolan itu dan menangkapnya"' Kelima orang itu setuju. Seorang yang bernama Pamot dipilih untuk menemani Nararya. Yang empat orang segera berpencar ke empat penjuru. Tak lama dari lereng gunung turun serombongan orang lelakientah berapa jumlahnya. Tetapi menilik jumlah batang obor yang mengiring perjalanan mereka, jumlahnya tak kurang dari duapuluh batang. Tak berapa lama merekapun tiba di tempat Nararya menunggu. Kesan pertama, Nararya melihat gerombolan itu memiliki suatu tata peraturan yang teratur. Dari keseragaman pakaian mereka yang serba hitam sampai dengan susunan mereka berjalan yang diatur seper sebuah barisan yang berjalan dua orang. Pada ap lima pasang terdapat seorang kepala kelompok yang berjalan disamping. Juga langkah kaki mereka menarik perha an Nararya karena teratur dalam derap yang seragam. Agak heran Nararya ke ka pandang matanya yang mencari kepala gerombolan itu, masih tetap
belum bersua. Karena pada umumnya dalam pasukan, pemimpinnya tentu mengenakan busana yang berbeda dengan anakbuahnya. Juga dalam gerombolan penyamun tentu demikian juga. Misalnya gerombolan Singa Barong. Singa Barong cepat dapat dikenal sebagai kepala gerombolan. Tetapi dak demikian dengan gerombolan gunung Kelud ini. Siapakah gerangan kepala gerombolan itu? Nararya bertanya-tanya dalam hati. Gerombolan itu berhen pada jarak lima langkah dari tempat Nararya. Begitu berhen maka anakbuah yarig bagian belakang terus bergerak melingkari Nararya. Nararya terkejut tetapi terlambat. Ia dan Pamot sudah berada dalam kepungan mereka. Tiba2 dari tiga kepala kelompok tadi, tampillah seorang lelaki muda, bertubuh tegap, ke hadapan Nararya "Siapakah ki sanak ini ?" serunya tenang dan nyaring. "Aku pengalasan dari kademangan Lodoyo" sahut Nararya yang kemudian,balas bertanya orang itu. "Tanpa tedeng aling2, ki sanak sedang berhadapan dengan Lembu Peteng kepala gerombolan gunung Kelud" kata orang muda itu "lalu apa maksud kedatangan ki sanak kemari?" "Akan meminta agar ki sanak suka mengembalikan gong Prada kepadaku" kata Nararya "karena gong pusaka itu adalah milik kerajaan Singasari" Nararya tak mau terlalu panjang menanyakan adakah gerombolan Lembu Peteng itu yang mencuri gong pusaka. Ia tahu, pencuri tak mungkin mau mengaku. Maka langsung saja ia meminta kembali gong pusaka. Dalam hal itu dia memang benar. Tetapi pada lain langkah, secara tak disadari ia telah melakukan kesalahan. Wajah kepala gerombolan Lembu Peteng yang semula tenang walaupun dituduh sebagai pencuri gong Prada, ba2 berobah tegang demi mendengar Nararya menyebut kerajaan Singasari. "Ki pengalasan" serunya dengan getar "jika gong itu milikmu ataupun milik rakyat, walaupun bukan aku yang mengambil tetapi aku bersedia mencarikan sampai ketemu. Tetapi karena gong
pusaka itu milik kerajaan Singasari, hm, jangan harap aku, Lembu Peteng, akan mengembalikannya" "O" desuh Nararya "mengapa ki Lembu bersikap demikian? Tidakkah kita ini kawula kerajaan Singasari yang wajib membantu negara. Gong Prada itu mempunyai hikmah yang dapat menjaga ketenangan dan kesejahteraan negara" "Pengalasan" seru Lembu Peteng "kepadamu tak perlu ku uraikan mengapa alasanku bersikap demikian. Cukup kukatakan, jika raja Singasari yang datang kemari meminta kepadaku, barulah kukembalikan benda itu" "Dan kalau aku ?" tanya Nararya. Lembu Peteng menatap wajah pemuda itu,sahutnya "Baik, engkaupun akan kuberikan asal engkau dapat memenuhi imbalannya" Mendengar itu berserilah wajah Nararya "Terima kasih, ki Lembu Peteng. Berapakah imbalan yang engkau kehendaki?" Lembu Peteng tertawa cemoh "Bukan uang yang kuminta tetapi benda pusaka harus digan dengan benda pusaka juga" Nararya tak terkecoh walaupun keliru menduga. Ia menegas "Benda pusaka apakah yang engkau kehendaki, ki Lembu Peteng?" "Benda pusaka dari setiap orang yang hendak meminta kembali gong pusaka itu kepadaku" sahut Lembu Peteng. "Benda pusaka dari diriku? Pada hal aku tak memiliki pusaka apa2" seru Nararya. "Ada" jawab Lembu Peteng "engkaupun mempunyai benda pusaka yang kuinginkan itu" Nararya terbeliak, serunya "Apakah itu ?" "Batang kepalamu !" seru Lembu Peteng tertawa. Nararya terbeliak "Oh" desuhnya "janganlah ki Lembu bergurau. Benarkah engkau menghendaki benda pusaka kepalaku ini? " "Lembu Peteng tak pernah menjilat kata" seru kepala gerombolan itu "jika. engkau serahkan batang kepalamu, gong Prada itu tentu akan kukembalikan"
Nararya sudah siap dengan jawaban yang segera dilancarkannya "Baik, ki Lembu, aku bersedia menyerahkan batang kepalaku ini. Tetapi aku kuatir, apakah engkau mampu mengambilnya" "Untuk mengambil batang kepalamu?" ulang Lembu Peteng kemudian tertawa gelak2 "mungkin lebih sukar memetik buah kepala daripada mengambil batang kepalamu, pengalasan" "Jika demikian, silahkan" sambut Nararya "tetapi akupun ingin mengajukan permohonan" "Katakan" "Yang mengambil batang kepalaku ini harus engkau sendiri ki Lembu. Jangan anakbuahmu" Lembu Peteng tertawa "Baiklah" "Nan dulu" ba2 Nararya berseru ke ka melihat Lembu Peteng bersiap "apa katamu jika engkau tak mampu mengambil batang kepalaku?" Lembu Peteng kerutkan dahi tetapi secepat itu ia tertawa pula "Aku bersedia memenuhi permintaanmu" "Baik, ki Lembu" kata Nararya "kita nanti bicara lagi setelah kita selesai adu kesaktian" "Mengapa tak mau mengatakan sekarang?" seru Lembu Peteng. "Aku belum tentu menang" sahut Nararya "mengapa aku harus berkokok dulu? Nan apabila aku menang barulah aku mau mengatakan. Bukankah engkau bersedia memenuhi apa saja yang kuminta?" Karena sudah terlanjur mengatakan maka Lembu Petengpun mengiakan. Kemudian ia bersiap. Sekalian anakbuah gcrombolanpun berbenah, menyurut mundur agar gelanggang lebih lapang dan mengatur tempat penjagaan. Dalam meniti sikap dan gaya serangan yang dibuka Lembu Peteng, tahulah Nararya bahwa kepala gerombolan gunung Kelud itu memandang rendah kepadanya. Sesungguhnya ingin Nararya marah. Tetapi setelah beberapa saat bertukar cakap dengan Lembu Peteng, ia mendapat kesan bahwa kepala gerombolan itu memiliki sifat2 yang tegas, berani dan teguh peraturan. Juga dalam nada
bahasanya, bukanlah seorang golongan kasar dan jahat tetapi lebih menyerupai seorang prajurit yang bengis. Dan masih ada sebuah hal yang menarik perha an, bahwasanya Lembu Peteng mengunjuk sikap yang tak senang kepada raja dan kerajaan Singasari. Dalam merangkai kesan kcarah suatu kesimpulan balah Nararya pada suatu k keputusan, bahwa ia akan mengalahkan kepala gerombolan itu dengan cara yang lunak, jangan sampai membuatnya malu atau mendendam. Apabila mungkin, ia ingin tahu apakah yang terjadi pada diri kepala gerombolan itu dalam hubungannya dengan kerajaan Singasari. Setelah menghindar dari sebuah terjangan tinju Lembu Peteng, Nararya segera berkisar ke samping dan menampar bahu kepala gerombolan itu. Tetapi ia segera, tertumbuk kejutan besar ketika sambil berputar tubuh, Lembu Peteng mengirim sebuah tendangan kearah perut. Pada jarak yang sedekat itu dan menghadapi gerak kaki yang sedemikian cepat, Nararya tak sempat menghindar ataupun menangkis lagi. Dalam saat yang berbahaya hanya sebuah jalan yang dapat ia tempuh. Sambil agak mengisar sedikit ke samping ia terus menyongsong maju merapat lawan. Dengan demikian ujung kaki Lembu Peteng berada disisi tubuh Nararya, agak menjorok ke belakang. Dan tubuh Nararya saat itu berada disisi paha Lembu Peteng. Bukan kepalang kejut Lembu Peteng atas gerakan lawan yang tak terduga-duga itu. Memang dengan cara itu, Nararya hanya menderita kesakitan kecil karena pahanya terlanggar lututnya tetapi kini ia berbalik terancam. Untuk menolong agar Nararya jangan sempat mencengkeram paha maka dengan menggembor keras, Lembu Peteng segera ayunkan kedua tangannya dalam gerak mengacip leher lawan. Tetapi serempak dengan gerakannya itu, ia rasakan dadanya agak sakit dan tiba3 Nararya loncat mundur melepaskan diri. Gemparlah sekalian anakbuah gerombolan gunung Kelud ke ka menyaksikan pertandingan yang seru itu. Gerakan yang berlangsung amat cepat itu tak menyempatkan mereka untuk
dapat melihat jelas apa yang telah terjadi. Dalam pandang mereka, setelah melancarkan ilmu bentakan aji Senggoro Macan yang kumandangnya menyerupai aum harimau, kemudian kedua tangan bergerak mengacip kearah leher, tampak Nararyapun loncat mundur. Mereka menganggap Nararya tentu terluka. Maka mereka segera menghambur sorak gegap gempita menyongsong kemenangan Lembu
Peteng. "Berhen !" ba2 Lembu Peteng memekik nyaring sehingga gema sorak yang bergempita itu, sirap seke ka. Kini seluruh anakbuah gunung Kelud memandang kearah pemimpinnya dengan heran. Tampak Lembu Peteng tegak dengan wajah gelap. Sedang ke ka mereka beralih pandang, tampak Nararya berdiri dengan tenang' Apakah yang terjadi ? Demikian mereka bertanya-tanya dalam ha , namun tak bersua jawaban. Terpaksa mereka menunggu dengan penuh perhatian. "Ki Lembu Peteng" ba2 Nararyalah yang membuka pembicaraan lebih dulu "aku tak sanggup melawan engkau. Aku menyerah, terserah bagaimana engkau hendak mempedaya diriku"
Sekalian anakbuah gunung Kelud hampir hendak meledakkan pekik teriak yang menggetarkan angkasa tetapi mereka meragu karena kuatir akan dibentak Lembu Peteng lagi. Dan keraguan itu lebih dipertandas ketika melihat pemimpin mereka yang diam saja. Sama sekali tak mengunjukkan sikap seorang jago yang menang bertanding. Tampak pemimpin gerombolan itu menundukkan kepala memeriksa dadanya, kemulian mengangkat muka dan memandang Nararya dengan terbeliak. "Maaf, ki Lembu" seru Nararya seraya melangkah menghampiri "aku lancang mengambil benda yang tentunya engkau sayangi. Maka sekarang hendak kukembalikan kepadamu" Nararya menyongsongkan tangan kanannya yang menggenggam lalu membuka genggamannya.
Lembu Peteng termmgu-mangu ke ka melihat bahwa dalam telapak tangan pemuda itu ternyata berisi sejemput bulu rambut. Jelas bulu itu adalah rambut yang tumbih pada dadanya. Dalam memeriksa tubuhnya tadi, diam2 ia terkejut karena bulu lebat yang menghias dadanya telah hilang dan gundul dibagian tengahnya. Kini tahulah Lembu Peteng apa yang telah terjadi. Rasa sakit aneh yang terasa pada dadanya tadi tak lain adalah ke ka Naraiya mencabut segenggam bulu dadanya. Ia malu, marah dan penasaran. Tetapi pada lain saat, pikiran yang sadar segera melintas "Ah, ternyata pemuda itu bukan hendak menghina aku melainkan karena tak mau mencelakai diriku. Bukankah jika mau, ia dapat meninju dadaku daripada hanya mencabut bulu dada saja" Pemikiran itu segera mengembangkan, suatu rasa syukur atas. kebaikan ha Nararya. Kemuiian mbul pula suatu rasa kesadaran bahwa jelas pemuda yang dihadapinya itu berilmu lebih tinggi dari dirinya. Menyadari akan semua yang terjadi pada sekelilingnya, lembu Peteng melangkah maju sehingga rapat berhadapan dengan Nararya "Sinatrya, apa yang engkau kehendaki? Aku bersedia menyerahkan jiwaku" serunya seraya menegakkan kepala. Nararya tertegun, menatapnya "Mengapa, ki Lembu Peteng?" "Engkau telah melepaskan kebaikan kepadaku" kata Lembu Peteng "Sebagai gan menghunjam dadaku, engkau hanya mencabut segenggam bulu dadaku" "Karena kupercaya, dadamu tentu berlapis kekuatan sekeras baja, tak mungkin nju akan berhasil membobolkannya" seru Nararya. "Sinatrya" seru Lembu Peteng dengan nada sarat "jangan bergurau, lekas engkau sebutkan permintaanmu" Nararya terkesiap, kemudian berkata "Sebelum mengatakan apa2, aku hendak bertanya. Maukah ki sanak menjawab dengan jujur?" "Silahkan"
"Adakah gong Prada itu berada padamu?" "Tidak!" Nararya terbeliak, menatap Lembu Peteng lekat2, seolah hendak menembus isi ha kepala gerombolan itu. Beberapa jenak kemudian, ia berkata "Jika demikian, silahkan ki sanak pergi" Kini bergan Lembu Peteng yang tertegun "Pergi?" ulangnya setengah tak percaya "bukankah engkau belum menjatuhkan pidana kepadaku?." Nararya tersenyum "Mengapa harus menjatuhkan pidana? Kita tak bermusuhan. Aku hendak mencari gong Prada yang hilang itu. Jika engkau tak mengambil, mengapa aku harus bermusuhan denganmu" "Tetapi aku sudah berjanji akan menerima apapun yang engkau kehendaki apabila aku kalah" bantah Lembu Peteng. "Ya, dan aku sudah mengatakannya. Silahkan engkau membawa anakbuahmu pulang" kata Nararya. "Tetapi itu bukan hukuman" "Kedatanganku kemari bukan hendak menghukum orang tetapi hendak mencari gong pusaka itu” "Apakah engkau tak marah karena seolah tadi aku mengakui bahwa gong pusaka itu aku yang mengambil?" masih Lembu Peteng bertanya. "Tidak" jawab Nararya "aku dak marah melainkan justeru tertarik perha anku untuk mengetahui, apa sebab engkau bersikap begitu ?" "O, jika demikian" kata Lembu Peteng "akan kuterangkan. Tetapi rasanya kurang layak berbicara disini. Maukah tuan singgah ke tempat kami di Lembah Badak?" Nararya gelengkan kepala "Maaf, aku ada waktu. Aku harus cepat2 ke Daha menyusul kawan2 yang menyelidiki ke sana" Habis berkata Nararya terus berputar tubuh dan ayunkan langkah. Tetapi ia terkejut ke ka anakbuah Lembu Peteng masih tetap tegak ditempatnya, bahkan serempak menghunus tombak dan pedangnya. Dengan begitu jalan Nararya terhadang "Kawan2, sukalah memberi
jalan. Persoalanku dengan ki Lembu Peteng sudah selesai" Tetapi anakbuah gunung Kelud itu tetap tegak di tempatnya, memandang Nararya dengan sikap hendak menyerang apabila pemuda itu melanjutkan langkah. Nararya terkejut. Cepat ia berputar tubuh hendak menegur Lembu Peteng. Ternyata kepala gerombolan itu sudah berada di belakangnya. "Ki Lembu Peteng, harap suruh anakbuahmu menyisih ke samping" seru Nararya.. Lembu Peteng tersenyum "Mereka sudah mendapat perintahku dan melaksanakannya" Nararya terbeliak "Engkau sudah memberi perintah ?" ia menegas. Lembu Peteng mengangguk "Mereka telah mendengar aku mengundang tuan ke Lembah Badak maka rnerekapun siap mengiring tuan ke sana" Nararya tertawa mencemoh "O, kutahu, ki sanak. Bukankah engkau hendak menawan aku ? Jika demikian akupun terpaksa akan menghadapi" "Sinatrya" seru Lembu Peteng "engkau salah faham. Walaupun Lembu Peteng saat ini hanya sebagai seorang kepala gerombolan di gunung, tetapi jiwaku masih jiwa ksatrya seperti dulu. Engkau telah mengunjukkan kebesaran jiwa yang menundukkan hatiku. Sebagai ganti melukai diriku, engkau hanya mencabut segumpal bulu dadaku. Dan akupun sudah berjanji akan rela menerima hukuman apapun yang hendak engkau jatuhkan. Walaupun engkau ternyata tak mau menghukum, tetapi aku tetap akan menjalankan hukuman itu" "Ki Lembu Peteng ...." "Walaupun gong Prada itu bukan aku yang mencuri, tetapi aku sanggup akan mencarikan sampai ketemu. Maka kuundang tuan ke pesanggrahan kami untuk bicara lebih lanjut. Jika tuan ingin mendengar, akan kuceritakan kissah perjalanan hidupku mengapa sampai menjadi kepala gerombolan digunung ini. Pun kuminta, apabila tuan tak keberatan, memberi keterangan, tentang peristiwa hilangnya gong pusaka itu agar kami dapat segera mulai melakukan pencarian"
Nararya terkesiap. Ia agak malu ha karena telah menduga salah terhadap kepala gerombolan itu. Akhirnya ia menerima undangan Lembu Peteng. Dikala belum jauh menempuh perjalanan, ba2 mereka mendengar suara gemuruh dari empat penjuru. Antara mirip derap langkah kaki orang dengan derap lari kuda. "Siap" teriak Lembu Peteng memberi perintah kepada anakbuahnya " barisan Jaladri-pasang dan panah" Nararya terkejut mendengar aba-aba yang dikeluarkan Lembu Peteng. Jaladri-pasang atau laut pasang merupakan gelar tata barisan perang. Adakah gerombolan gunung Kelud itu dila h dengan barisan yang menggunakan gelar dalam peperangan? Ah,makin keras dugaannya bahwa Lembu Peteng itu tentu bukan berasal dari golongan penjahat. Kemungkinan bekas perwira atau lurah prajurit. "Jangan” cepat ia mencegah "tak perlu menyiapkan barisan. Mereka adalah para rombongan pengalasan dari kademangan Lodoyo yang menyertai aku dan kuperintahkan mereka bersembunyi dibeberapa tempat" Untuk melonggarkan keraguan Lembu Peteng, Nararya mengiring keterangannya dengan tertawa kecil. Lembu Peteng ikut tertawa "Jika demikian ajaklah mereka ke pesanggrahan kami" katanya. Tetapi Nararya mengatakan tak perlu. ”Biarlah mereka menunggu di kaki gunung” Selama melakukan pendakian, Nararya sempat pula memperhatikan keadaan gunung itu. Terdapat beberapa desa. Setiap tiba disehuah desa, tentu disambut dengan beberapa orang penduduk. Hubungan penduduk dengan gerombolan Lembu Peteng, baik sekali. Mereka tak menganggap Lembu Peteng sebagai gerembolan jahat, bahkan kebalikannya sebagai pelindung pedesaan itu. Memang Lembu Peteng amat keras sekali memegang tata tertib peraturan.
Anakbuahnya dilarang mengambil, mengganggu milik penduduk, mengganggu kaum wanita, menerima pemberian apabila tanpa memberi jasa. Bahkan wajib memberi pertolongan dan membantu kebutuhan dan kepentingan mereka. Berkat peraturan yang keras dan tertib dari Lembu Peteng, ada beberapa anakmuda di pedesaan daerah situ yang menyatakan hendak masuk menjadi anakbuah. Lembu Peteng keras sekali dalam tata peraturan. Siapa yang melanggar, tentu akan diberi hukuman berat bahkan kalau tak dapat diampuni, tentu dibunuh. Tetapi ia amat memperha kan kepen ngan anakbuahnya. Sebagai pemimpin ia tak mau diis mewakan tetapi menghendaki pelayanan yang sama dengan anakbuahnya, baik makan, pakaian dan tempat nggal. Itulah sebabnya di kaki gunung tadi Nararya bingung mencari siapa yang menjadi pimpinan gerombolan itu. Setelah beberapa waktu mendaki, mereka menuju sebuah puncak yang disebut gunung Sumbing yang bentuknya lurus mirip sapu lidi. Tiba di bawah puncak itu mereka menyusur lereng dan akhirnya tiba disebuah lembah. "Inilah sarang kami" kata Lembu Peteng mengajak tetamunya masuk ke dalam sebuah gua. Gua itu telah dibangun dan diperlengkapi dengan segala pekakas sehingga merupakan sebuah bangunan yang luas dan tenang. Di muka gua terbentang sebuah halaman yang luas di kelilingi pohon2. Memandang kearah selatan, samar2 tampak daerah Balitar. Sehabis makan dan minum, Lembu Peteng memerintahkan anakbuahnya kembali ke tempat masing2, sementara ia duduk bercakap-cakap dengan Nararya "Benarkah engkau seorang pengalasan dari kademangan Lodoyo?" Lembu Peieng mulai mengajukan pertanyaan. Setelah menyaksikan, bicara dan meresapi keadaan gerombolan gunung Kelud, terutama peribadi Lembu Peteng, timbullah kesan yang baik dalam hati Nararya. Dengan terus terang ia
menuturkan tentang dirinya. "O, pantas" seru Lembu Peteng "memang aku tak percaya apabila raden seorang pengalasan. Baiklah raden, akan kuceritakan sekelumit perjalanan hidupku" Ternyata Lembu Peteng seorang pimpinan pengawal pangeran Kanuruhan di Glagah Arum. Karena hanya berpangkat rendah di kerajaan Singasari, Aragani pernah menghadap pangeran Kanuruhan dan menawarkan kerjasama. Ia sanggup membantu pangeran Kanuruhan untuk merebut tahta Singasari dari tangan baginda Kertanagara, asal pangeran Kanuruhan berkenan mengangkatnya sebagai pa h apabila kelak berhasil menjadi raja Singasari. Pangeran Kanuruhan menolak karena betapapun Kertanagara itu adalah adindanya. Ia rela menjadi pangeran Kanuruhan di Glagah Arum dan tak menginginkan tahta kerajaan karena Kertanagara sebagai putera yang lahir dari permaisuri lebih berhak atas tahta itu. Tetapi Aragani tetap melancarkan bujukan2 antara lain dengan mengemukakan bahwa walaupun dilahirkan dari ibu garwa selir tetapi pangeran Kanuruhan lebih tua dan merupakan putera sulung dari rahyang ramuhun Wisriuwardhana: Juga para mentri dan kawula Singasari lebih suka pangeran Kanuruhan yang menjadi raja daripada baginda Kertanagara yang keras. Bujukan lidah beracun dari Aragani itu tetap ditolak bahkan karena jengkel, pangeran Kanuruhan menitahkan Lembu Peteng mengusir Aragani. Seke ka itu Aragani diseret ke luar. Rupanya karena kesakitan ia marah dan memukul. Lembu Peteng membalas. Dengan langkah terseokseok ia nggalkan Glagah Arum. Namun sebelum pergi, ia melantangkan ikrar bahwa kelak ia pas akan membalas hinaan dari pangeran Kanuruhan itu. Beberapa tahun kemudian benar juga tentara Singasari menyerang Glagah Arum. Karena kalah besar jumlah pasukannya, Glagah Arum pecah dan pangeran Kanuruhanpun menderita luka parah. Pada saat itu Lembu Peteng mengajak kawan2 mengamuk. Tetapi pangeran Kanuruhan memanggil
dan mencegahnya. Saat itu pangeran mandi darah dan tengah menghadapi maut "Lembu Peteng, apakah engkau setya kepadaku?" Lembu Peteng berlutut menyembah kaki pangeran serta menyatakan kesetyaannya sampai diakhir hayat. Pangeran Kanuruhan tersenyum "Baik, nggalkan aku dan lekas engkau cari puteraku. Lindungi dan selamatkanlah dia dari kematian" Lembu Peteng meragu tetapi pangeran Kanuruhan segera membentaknya. Akhirnya dengan bercucuran airmata dia nggalkan pangeran di tengah medan laga yang bergenangan darah. Dia mengamuk membuka jalan darah dalam kepungan prajurit Singasari. Walaupun menderita beberapa luka, akhirnya ia dapat lolos juga. Gedung kediaman pangeran telah dibakar. Seper orang gila, dia kalap menerjang api untuk mencari putera pangeran yang masih kecil. Tetapi sia2. Dan pangeran Kanuruhan akhirnyapun gugur. Peperangan telah selesai, Glagah Arum diduduki prajurit Singasari. Lembu Peteng terpaksa lolos tinggalkan kota dan melanjutkan usahanya mencari putera pangeran Kanuruhan. Sampai beberapa hari ketika tiba disebuah desa, ia mendengar keterangan dari seorang tua bahwa apabila datang seorang prajurit Glagah Arum yang hendak mencari putera pangeran, supaya disampaikan kepadanya bahwa putera pangeran Kanuruhan selamat. Tak perlu mencarinya. Kelak apabila sudah tiba saatnya, putera pangeran Kanuruhan itu akan disuruhnya mun