SOLAR POWER SATELLITE (SPS), SUMBER ENERGI LISTRIK ALTERNATIF MASA DEPAN ANDIANTO P. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara Kebutuhan energi dunia akhir-akhir ini sangat meningkat tajam, terutama dengan munculnya negara-negara industri. Peningkatan ini akan sangat terasa pada dekade-dekade awal abad ke-21. Sebagai contoh, pada tahun 2000 kebutuhan energi listrik dunia akan mencapai 7~8 trilyun KWH dan pada tahun 2020 akan mencapai 14,5 trilyun KWH. Pada dekade ini, bahan bakar fossil dan gas bumi sebagai sumber energi primer hanya akan mampu menyumbang 5 trilyun KWH saja[1]. Padahal sumber primer jenis ini amat sangat terbatas, dan pada suatu saat kelak akan benar-benar habis. Tenaga nuklir sebagai alternatif diversifikasi sumber energi listrik hingga saat ini masih dibayangi masalah bahaya pencemaran radioaktif dan penanganan limbah yang rumit serta mahal sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat tak menghendaki kehadirannya karena tingkat resiko yang relatif sangat tinggi. Walaupun demikian, hingga saat ini energi nuklir sudah menyumbang 1,65 trilyun KWH dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2000 (3,5 trilyun KWH). Dengan ditemukannya teknologi pemrosesan ulang limbah nuklir, sumbangan dari sektor nuklir bisa ditingkatkan menjadi maksimum 6 trilyun KWH pada tahun 2010. Karena bahan uranium yang digunakan juga terbatas, maka titik tertinggi ini sulit sekali dilampaui, dan bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi penurunan. Jika pada dasawarsa ini pemrosesan limbah nuklir bisa lebih berhasil dan memungkinkan pengoperasian "breeder reator" (LMFBR-Liquid Metal Fast Breeder Reactor), maka bisa diharapkan penambahan energi hingga 2 trilyun KWH (maksimum). Dengan demikian maka di tahun 2020 kekurangan energi listrik dunia adalah sejumlah 4,5 trilyun KWH. Pemanfaatan energi matahari di permukaan bumi sebagai sumber energi listrik diperkirakan hanya akan mampu menyumbang kurang dari 1 trilyun KWH saja karena adanya ketergantungan pada kondisi cuaca dan siklus siang-malam, dan sangat sulit untuk ditingkatkan kapasitasnya karena masih rendahnya efisiensi sel fotovoltaik. Keadaan ini diperburuk dengan pendeknya periode iluminasi sinar matahari yang hanya sekitar 6~8 jam saja setiap harinya. Lebih jauh lagi, energi matahari yang sampai ke permukaaan bumi sudah jauh menyusut dibandingkan semasa masih di angkasa luar. Sebagai contoh, di orbit sinkron bumi (Geosynchronous Earth Orbit-GEO, sekitar 3600 km di atas khatulistiwa) kerapatan energi matahari masih sekitar 1360 W/m22[2],[6]. Setelah mengalami banyak penyerapan/pantulan selama perjalannya ke permukaan bumi, hanya tersisa sekitar 120 W/m2 (pada sudut latitude 50o). Di GEO, perioda iluminasi sinar matahari bisa mencapai 22 jam 48 menit tanpa gangguan cuaca sama sekali. Jika ditempatkan di GEO, panel sel surya akan menghasilkan daya 11,25 kali lebih besar dan waktu kerja hampir 3,8 kali lebih lama jika dibandingkan dengan panel yang sama di permukaan bumi. Dari kenyataan ini dapatlah dimengerti bahwa pengumpulan energi matahari di luar angkasa merupakan satu-satunya cara terbaik untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi matahari. Konsep inilah yang mendasari sistem SPS. Konsep yang ditemukan oleh Dr. P. E. Glaser pada tahun 1968 ini telah membuka cakrawala baru di bidang pemanfaatan secara maksimal energi matahari.
©2003 Digitized by USU digital library
1
Prinsip dasarnya adalah pengumpulan energi matahari oleh satelit di luar angkasa (pada orbit sinkron bumi), lalu mengirimkan energi tersebut dalam bentuk gelombang radio ke bumi, dan kemudian mengubahnya kembali menjadi energi listrik. Karena pengumpulan energi matahari (dengan menggunakan sel fotovoltaik) dilakukan di luar angkasa maka pengaruh cuaca dihilangkan dan siklus siang-malam nyaris tak terjadi. Bahkan unjuk kerjanya meningkat tajam karena di luar angkasa (di GEO) panel sel surya akan menerima iluminasi cahaya lebih dari 22 jam untuk setiap harinya. Secara teoritis kapasitas daya yang mampu dibangkitkan oleh sebuah satelit jenis ini cukup besar (5~10 GW) dan dampak lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh pembangkit energi berbahan bakar fossil/nuklir.
©2003 Digitized by USU digital library
2
Bab II Konsep Dasar Solar Power Satellite (SPS) Dr. Peter E. Glaser pada tahun 1968 telah mencetuskan konsep dasar SPS[4]. Di dalam konsep ini, energi matahari dihimpun oleh sebuah satelit yang ditempatkan di orbit sinkron bumi dan lazim disebut dengan spacetenna (space antenna). Energi yang terhimpun dalam bentuk energi listrik dikirimkan ke bumi dalam bentuk energi elektromagnetik (gelombang radio). Menggunakan sebuah pemancar berdaya ultra tinggi, energi radio ini dikirimkan ke bumi, dan diterima oleh sebuah sistem antena penerima (rectifying antenna, rectenna) yang akan mengubahnya menjadi energi listrik kembali dan didistribusikan ke pemakai. Prinsip yang sangat sederhana ini ternyata memerlukan pertimbangan, perhitungan dan evaluasi banyak aspek dengan cermat dan mendalam, karena sistem ini boleh dikatakan baru sama sekali dan menuntut penggunaan teknologi sangat tinggi. Karena terbatasnya ruang maka tulisan ini hanya akan membahas secara garis besar aspek kontruksi spacetenna, rectenna, dan dampak lingkungan. Spacetenna Yang menjadi masalah paling utama adalah pembangunan satelit penampung energi matahari di orbit sinkron bumi adalah satelit ini harus berukuran raksasa, karena harus menghimpun energi matahari yang sanggup menghasilkan energi listrik yang optimal. Sebagai contoh, dengan tingkat teknologi masa ini, agar mampu menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW diperlukan jajaran sel fotovoltaik berukuran 5x10x0,5 km[5]. Teknologi pembuatan sel surya ini hingga saat ini masih terus disempurnakan agar mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dari yang mampu dicapai pada 1 dekade terakhir ini (18% untuk silikon dan 21% untuk gallium arsenide[6],[7]), antara lain dengan penyempurnaan sel silikon celah pita-ganda (multiband gap) dan sel silikon nir-bentuk (amorphous silicon cells). Konversi arus listrik searah yang dihasilkan sel surya ke gelombang radio (dalam hal ini mikrogelombang) dilakukan dengan tabung klystron, magnetron, atau solid state amplifier berdaya tinggi. Frekuensi kerja yang dipilih adalah sebesar 2,45 GHz dengan alternatif frekuensi 5,8 GHz. Pemilihan frekuensi ini erat kaitannya dengan pertimbangan karakteristik peredaman mikrogelombang oleh atmosfir, efisiensi dan masalah efek pemanasan ionosfir oleh mikrogelombang. Sistem dan diameter antena pengirim yang digunakan untuk mengirimkan energi mikrogelombang ke bumi akan mempengaruhi kemampuan daya yang dipancarkan, kerapatan daya di ionosfir, diameter antena penerima, dan daya listrik arus searah yang akan dihasilkan oleh rectenna. Tabel 1 memberikan gambaran karakteristik sistem mikrogelombang dalam kaitannya dengan diameter antena yang digunakan pada frekuensi 2,45 GHz[8]. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW di permukaan bumi tanpa melewati batas ambang kerapatan daya 23 mW/cm2 di atmosfir, maka diperlukan diameter rectenna sebesar 1 km. Batas ambang kerapatan daya sebesar maksimum 23 mW/cm2 diperkirakan cukup aman bagi mahluk hidup yang melintas berkas.
©2003 Digitized by USU digital library
3
Tabel 1 Karakteristik sistem mikro gelombang pada 2,45 Ghz Batas Ionosfir 23 mW/Cm2
Karakteristik Diameter antena pengirim (km) Daya gelombang-mikro terkirim (GW) Kerapatan daya di ionosfir (mW/cm2) Daya DC keluaran dari rectenna (GW) Diameter rentenna agar mampu menangkap 88% energi terkirim (km)
1 6,5 23 5
1,36 3,53 23 2,72
1,53 2,78 23 2,14
2 1,6 23 1,2
10
7,6
6,8
5
Daya sebesar 5 GW per satelit ini diperkirakan sebagai daya optimum, baik dipandang dari segi teknis maupun ekonomis. Daya ini bisa ditingkatkan hingga 10 GW bila penyempurnaan efisiensi sel surya berhasil dengan baik. Dimensi fisik satelit yang sangat besar ini menuntut teknologi dan biaya yang sangat tinggi. Dengan telah dikuasainya teknologi pengiriman awak dan peralatan ke luar angkasa dengan menggunakan pesawat ulang-alik, maka masalah transportasi pada dasarnya bisa diatasi. Panel-panel sel surya bagian demi bagian diangkut ke orbit rendah (low earth orbit/LEO) dengan pesawat ulang-alik, dan dirakit di orbit ini. Jadi harus disediakan sebuah stasiun perakitan di orbit ini. Pada tahapan kerja tertentu, hasil rakitan komponen satelit ini dikirim ke GEO dengan menggunakan mesin pendorong bertenaga listrik. Efisiensi total dari sistem SPS ini diperkirakan sebesar 7,5%, dengan distribusi efisiensi seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Umur hidup (life time) sebuah SPS diperkirakan tidak kurang dari 30 tahun dengan periode perawatan setiap 5 tahun. Grumman Aerospace Corporation[1] memproyeksikan bahwa tingkat produksi yang mampu dihasilkan dengan teknologi tahun 2000-an adalah 7 satelit (maksimum) per-tahun. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pembangunan sebuah sistem SPS memakan waktu yang relatif sangan pendek dibandingkan pembangunan jenis pembangkit energi listrik lainnya. Tabel 2 Distribusi Efisiensi Sistem SPS Sistem/Elemen/Faktor
Efisiensi
Orientasi pengarahan panel sel surya GaA1As (sel surya) (tipikal) Perancangan lariksel surya (ketaksepadanan, interkoneksi,dll) Pemantulan sinar matahari Distribusi ke subsistem antena Distribusi di dalam slip-ring dan antena Konversi DC ke RF (peredam atmosfir, pegumpulan oleh rectenna dan konversi RF ke DC) Distribusi antar muka daya
©2003 Digitized by USU digital library
91% 19,6% 87,6% 90% 92% 96% 65% 98%
4
Rectenna Dengan daya keluaran yang diharapkan sebesar 5 GW per satelit, maka rectenna yang ditempatkan di permukaan bumi harus berdiameter 10 km. antena ini akan terdiri dari 10 milyar komponen dipole yang berfungsi menerima berkas mikrogelombang dan mengubahnya ke energi listrik (arus searah). Efisiensi yang diharapkan adalah sebesar 84%[1]. Seluruh konstruksi antena beserta bangunan pendukungnya diperkirakan akan menempati daerah seluas 200 Km2, termasuk zona penyangga seluah 100 km2. Lokasi stasiun rectenna ditentukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, yakni diusahakan dampak lingkungan yang sekecil mungkin. Ada beberapa alternatif yang mungkin dipilih sebagai lokasi stasiun rectenna, antara lain: 1. di gurun pasir 2. di tengah hutan 3. di lepas pantai 4. di pulau kosong Selain di gurun pasir yang praktis tidak berpenghuni sehingga masalah dampak kesehatan akibat energi mikrogelombang pada mahkluk hidup praktis tak ada, maka di lokasi-lokasi lainnya masalah ini harus diperhitungkan pada satwa yang menghuni lokasi tersebut. Stasiun Rectenna di Gurun Pasir Stasiun ini di bangun di tengah-tengah gurun pasir di sekitar katulistiwa. Keuntungannya adalah, dengan adanya sumber energi listrik yang sangat besar ini maka daerah gurun di sekitar stasiun akan dengan mudah dihijaukan karena pompapompa air raksasa bertenaga listrik bisa dioperasikan. Gurun pasir dalam waktu yang relatif singkat akan berpotensi sebagai lahan pertanian dan daerah perindustrian. Dengan demikian secara tidak langsung SPS bisa membatasi meluasnya gurun, bahkan bisa mengurangi luasnya. Stasiun penerima di gurun pasir merupakan pilihan yang terbaik. Hanya saja, tidak setiap negara memiliki gurun dan tidak setiap gurun yang ada terletak di khatulistiwa. Stasiun Rectenna di Tengah Hutan Pembangunan stasiun rectenna di tengah hutan harus memperhatikan habitat binatang dan tumbuhan yang ada. Dari semua jenis stasiun di tengah hutan ini yang paling tidak menguntungkan karena dengan adanya pembangkit energi listrik yang besar akan menimbulkan kerusakan hutan, walau secara tidak langsung. Dengan adanya sumber energi yang besar, dengan sendirinya industri yang besar akan muncul dan kerusakan lingkungan (betapapun terbatasnya) akan terjadi. Stasiun Rectenna Lepas Pantai Stasiun ini ditempatkan jauh di lepas pantai (misalnya pada zona ekonomi khusus 200 mil dari pantai) yang bebas dari gempa tektonik, relatif sepi dari laulintas laut dan nelayan, serta sebisa mungkin berada di sekitar garis khatulistiwa. Ada empat jenis struktur konstruksi stasiun rectenna yang saat ini dikenal : struktur tiang pancang, struktur dongkrak, struktur mengambang, dan struktur semitenggelam. Perbandingan unjuk kerja ke empat struktur ini ditunjukkan pada Tabel 3. Dari ke empat jenis struktur ini, maka struktur semi-tenggelam (semisubmersible) memiliki karakteristik yang terbaik.
©2003 Digitized by USU digital library
5
Tabel 3 Perbandingan unjuk kerja berbagai jenis stasiun rectenna. STRUKTUR
tiang pancang mengambang semi tenggelam
KESTABILAN
baik
baik
baik
PERGERAKAN
tak ada
besar
kecil
KEDALAMAN
sangat dangkal
dalam
dalam
GEMPA BUMI
rawan
aman
aman
baik
baik
baik
MASALAH KONSTRUKSI
tak ada
tak ada
tak ada
BIAYA
sedang
sedang
relatif tinggi
KEMAMPUAN GERAK
Stasiun Rectenna di Pulau Kosong Pulau kosong yang terbaik adalah pulau karang (kosong) dengan luas minimal 15x15 km dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Dengan tiadanya tumbuhan maka diperkirakan populasi burung/satwa lainnya juga rendah. Yang harus diperhatikan adalah lalu-lintas laut yang ada di sekitar pulau yang dijadikan stasiun. Semakin jarang lalu-lintas yang ada tentu semakin baik. Lokasi rectenna di pulau kosong merupakan pilihan yang terbaik bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia.
©2003 Digitized by USU digital library
6
Bab III Dampak Lingkungan Aspek lingkungan yang akan dibahas di sini adalah dampak yang berkaitan dengan penggunaan gelombang elektromagnetik (mikrogelombang) berdaya tinggi terhadap ekosistem dan kesehatan. Secara umum, ada empat aspek lingkungan dominan yang harus dipertimbangkan dampaknya akibat penggunaan mikrogelombang, yaitu : 1. Dampak mikrogelombang terhadap mahluk hidup. 2. Dampak atmosfir. 3. Dampak pemanasan ionosfir. 4. Dampak pada astronomi. Dampak mikrogelombang terhadap mahkluk hidup Radio mikrogelombang tidak memiliki cukup energi untuk mengionisasi molekul (tidak seperti radiasi sinar-X dan emisi radioaktif lainnya), tetapi memiliki kemampuan agitasi. Jika intensitas radiasi mikrogelombang yang digunakan cukup tinggi (dalam tingkat mW/cm2) maka gelombang ini akan menyebabkan kenaikan suhu molekul. Tubuh mahkluk hidup akan mulai meningkat suhunya bila dikenai radiasi sebesar 4~30 mW/cm2. Sebuah studi menyebutkan bahwa batas ambang aman bagi mahkluk hidup (terutama manusia) adalah 5 m/cm2 pada daerah frekuensi 1,5~100 GHz[9],[10]. Banyak studi telah dilakukan untuk mempelajari dampak yang ditimbulkan oleh mikrogelombang terhadap mahkluk hidup, namun sejauh ini belum ada kesepakatan untuk merumuskan secara pasti besarnya energi yang aman bagi mahkluk hidup serta dampak apa saja yang mungkin timbul jika batas aman ini dilewati. Namun demikian, mengambil dari kenyataan sehari-hari tentang penggunaan energi pengulang telekomunikasi terrestrial/TV, radar, dlsb.) dengan aman, maka bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kerapatan energi mikrogelombang sebesar 5 mW/cm2 bisa dianggap memadai. Kerapatan energi mikrogelombang di dalam dan di dekat rectenna seperti dilukiskan pada Gambar 2.5 masing-masing adalah 23 mW/cm2 dan 0,005 mW/cm2. Kerapatan energi sebesar ini bisa dipandang aman bagi mahkluk hidup (terutama manusia) mengingat bahwa dalam kenyataan sehari-hari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun radio, TV dan sumber- sumber lainnya (mengambil contoh di AS) bisa mencapai 5x10-6 mW/cm2[5]. Dengan mengambil jarak minimum 25 km dari daerah zona penyangga rectenna, akan diperoleh kerapatan energi yang hampir sama dengan bilangan ini. Artinya, pada jarak yang relatif dekat dengan rectenna bisa diperoleh zona yang benar- benar aman bagi mahluk hidup. Yang sulit untuk dihindari adalah bila ada sekawan burung yang mungkin terbang tepat di pusat berkas mikrogelombang. Dampak Atmosfir Ini adalah dampak yang timbul pada saat perakitan spacetenna. Pada lapisan terrendah atmosfir bumi tempat segala macam kehidupan berlangsung, dampak paling serius yang ditimbulkan adalah pencemaran akibat semburan gas buang roket peluncur (HLLV - high lift launch vehicle) selama peluncuran berlangsung. Efek ini memang bisa mengakibatkan perubahan cuaca lokal dan penurunan kualitas udara bersih. Derajat perubahan cuaca ini memang sangat tergantung pada kondisi meteorologis, ukuran dari pesawat peluncur dan frekuensi peluncuran. Inilah efek tak langsung dari sistem SPS terhadap lingkungan atmosfir bumi. Efek ini akan menurun tajam bila penyempurnaan mesin-mesin roket pendorong berhasil dengan baik, atau sampai ditemukannya bahan bakar roket berbahan pencemaran rendah. ©2003 Digitized by USU digital library
7
Namun demikian, secara global efek ini diperkirakan masih jauh lebih rendah dibandingkan efek serupa yang ditimbulkan oleh mesin-mesin pembangkit konvensional berbahan bakar fossil, yang terus menerus menghasilkan pollutan selama masa hidupnya. Dampak Pemanasan Ionosfir Energi mikrogelombang yang menembus ionosfir dapat meningkatkan aras energi ambient dan suhu elektron yang membentuk lapisan D, E, dan F, yakni pada daerah yang terkena lintasan energi. Efek yang terjadi mirip dengan efek pemanasan ohmis, yakni meningkatnya suhu fisik. Peningkatan suhu pada lapisan F dapat menyebabkan mengumpulnya energi mikrogelombang dan menyebabkan penyimpangan pada garis magnetik bumi. Secara langsung efek ini menyebabkan penurunan kualitas telekomunikasi. Pada beberapa kasus juga diperkirakan timbulnya interferensi pada komunikasi satelit yang menggunakan frekuensi kerja yang berdekatan. Dengan demikian pemilihan lokasi stasiun rectenna di daerah terpencil atau di lepas pantai akan sangat membantu menghindari timbulnya interferensi. Dampak pada Astronomi Sebagian besar komponen SPS, yakni panel-panel fotovoltaik, dihadapkan mengarah ke matahari, dan sebagian yang lain (antena, rangka, dll) tidak menghadap ke matahari sehingga memungkinkan timbulnya pantulan sinar matahari ke bumi. Jika pantulan yang dihasilkan oleh keseluruhan sistem satelit cukup besar, maka ada kemungkinan timbulnya efek cahaya yang cukup terang di waktu malam yang tampak dengan jelas dari bumi (night sky brightness effect). Efek ini tentu tidak menguntungkan bagi dunia astronomi. Cahaya yang dihasilkan oleh sebuah SPS diperkirakan seterang cahaya planet Venus dan bisa mengganggu astronomi optis. Efek night sky brightness bisa ditekan dengan pemakaian sesedikit mungkin bahan-bahan yang mudah memantulkan cahaya matahari. Sedangkan astronomi radio yang menggunakan panjang gelombang sentimeter pada teleskop radionya hanya akan terganggu bila lokasinya berdekatan dengan lokasi rectenna atau bila teleskopnya mengarah langsung ke SPS. Belum ditemukan cara yang tepat untuk mengatasi efek ini.
©2003 Digitized by USU digital library
8
Bab IV Kesimpulan Dari deskripsi tentang sistem SPS dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari pertimbangan aspek teknologi, sistem SPS sangat mungkin diwujudkan dalam waktu dekat. 2. Dampak lingkungan dari sistem ini relatif rendah, walau untuk beberapa kasus masih diperlukan studi yang lebih intensif. 3. SPS sangat layak digunakan sebagai alternatif diversifikasi sumber energi di abad ke 21, bahkan ada kemungkinan akan menjadi satu-satunya alternatif sumber energi terbarukan di masa depan. Daftar Pustaka • • • • • • • • • • • • • •
Manned Space Operations in the 1980's and Energy Programs as Viewed by Grumman Aerospace Corporation", Presentation for Keidanren Federation of Economic Organizations, Japan, Apr. 1985. G.R. Woodcock and D.L. Gregory, "Orbital Solar Energy Technology Advances," Record af the 10th IECEC, Aug. 1975. K. Itoh, "Searching for Inexhaustive Energy in Space", 25th Anniversary Memorial Lecture, Oyama Technical College, Japan, 1990 (Japanese). P.E. Glaser, "Power from the Sun", Science, vol. 162, No. 3856 (Nov. 1968). "Sattelite Power Systems Concept Development and Evaluation Program", Program Assessment Report Statement of Findings, DOE/NASA, Nov. 1980. Vincent A. Caluori and Henry Oman, "Photovoltaic Solar Power Sateelites", Record of the 12th IECEC, Sept. 1977. A.D. Tonelli and W.V. Mc Rae, "Design and Analysis of A 5000 MW GaA1As Satellite Power System", Record of the 12th IECEC, Sept. 1977. G.D. Arndt and L.G. Monford, "Solar Power Satellite System Sizing Tradeoffs", NASA Technical Paper 1804, Scientific and Technical Information Branch, 1981. David M. Pozar, "Microwave Engineering", Addison-Wesley Publishing Company, 1990. Y. Yamashita and H. Hashimoto, "Concept of SPS Offshore Receiving Station and Potential Sites", Proceeding of the 3 ISAS Space Energy Symposium, Maret 1994. Yuliman Purwanto, "Solar Power Satellite (SPS) : Sumber Baru Energi Listrik Abad ke-21 dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia", Makalah pada Seminar dan Kongres XX PPI-Jepang, Kyoto, 1991. Yuliman Purwanto, "Solar Power Satellite (SPS) : Sumber Energi Listrik pada Abab XXI", KOMPAS, 28 Sept. 1995. L. Wilardjo, "Satelit Daya Surya, Mungkinkah?", SUARA PEMBANGUNAN, 30 Des. 1995. Yuliman Purwanto, "Satelit Daya Surya Akan Segera Datang?" SUARA PEMBANGUNAN, 3 Feb. 1996.
©2003 Digitized by USU digital library
9