SOIL WATER CONTENT AS LANDSLIDE TRIGGER AT GIRIMEKAR VILLAGE BANDUNG WEST JAVA PROVINCE KADAR AIRTANAH PEMICU LONGSOR DESA GIRIMEKAR KABUPATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT Iwan G. Tejakusuma Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan, Wilayah Dan Mitigasi Bencana Deputi Bidang TPSA – BPPT, Jl. M. H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 e-mail:
[email protected]
Abstract Landslide disaster become more often to occur in Indonesia causing considerable loss of lives, properties, as well as economic loss. In Legokhayam Village, Girimekar District, Bandung Regency, West Java, landslide happened in March 21, 2010 destroying 9 houses and another 9 houses were damaged. The landslide is caused mainly by geologic – lithologic conditions and slope and it was triggered by the rainfall. Type of landslide is soil slide mainly translational and to a less extent a rotational landslide. Soil water content was investigated to reveal the threshold for landsliding. Undisturbed soil samples from BH 01 and BH 02 were taken and analysed in the laboratory for their index properties and engineering properties. Slope stability analyses were done and simulate to investigate the critical soil water content for landslide. The results showed that safety factor for the slope at BH 01 is 0.832 whereas for BH 02 is 0.962. Critical soil water content for landslide is 90% for upper layer and 76% for lower layer in BH 01 and 82% for lower layer in BH 02. Landslide will occur if the water content of the soil exceeding those values. These values can be utilized for landslide early warning system in which warning can be given before the values exceeded. keywords: translational landslide, soil water content, slope stability, threshold
Abstrak Bencana longsor makin sering terjadi di Indonesia dan telah banyak menyebabkan korban jiwa, kehilangan harta benda dan kerugian ekonomi. Di Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat longsor terjadi pada 21 Maret 2010 menghancurkan 9 rumah dan 9 rumah lainnya rusak. Longsor tersebut dikontrol oleh faktor geologi – litologi dan kemiringan lereng dan terjadi dipicu oleh curah hujan.Tipe longsor adalah translasional dan sebagian kecil rotasional. Kadar airtanah diteliti untuk mengetahui ambang batas untuk longsor. Sampel tanah undisturbed dari lokasi BH 01 dan BH 02 diambil dan dianalisa di laboratorium untuk parameter index properties dan engineering properties. Analisis kestabilan lereng juga dilakukan dan disimulasikan untuk mengetahui kadar airtanah kritis untuk longsor. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor keamanan lereng di BH 01 adalah 0,832 dan di BH 02 adalah 0.962. Nilai kritis airtanah untuk
___________________________________________________________________________________ 34
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 15, No. 1, April 2013 Hlm.34-41 Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
longsor adalah 90% untuk lapisan atas dan 76% untuk lapisan bawah di BH 01 dan 82% untuk lapisan bawah di BH 02. Longsor akan terjadi bila kandungan airtanah melebihi nilai tersebut. Nilai tersebut dapat digunakan untuk sistem peringatan dini longsor. kata kunci: longsor translasi, kandungan airtanah, stabilitas lereng, ambang batas.
1. PENDAHULUAN Bencana longsor makin meningkat baik intensitas maupun frekuensinya pada beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang saling terkait baik faktor pemicu seperti curah hujan, kegempaan, aktivitas manusia maupun faktor pengontrol seperti geologi, litologi, kemiringan lereng, struktur geologi dan geohidrologi. Kondisi tektonik di Indonesia yang membentuk morfologi perbukitan, patahan, vulkanisme dan produk batuan vulkanik yang tidak terkonsolidasi serta iklim di Indonesia yang tropis basah, menyebabkan potensi longsor menjadi tinggi. Aktivitas manusia berupa perubahan penggunaan lahan memicu terjadinya bencana longsor. Perubahan iklim yang diperkirakan telah merubah pola curah hujan dimana salah satunya adalah durasi curah hujan menjadi lebih pendek namun dengan intensitas yang tinggi. Hal ini dapat menjadi pemicu untuk terjadinya bencana longsor. Berdasarkan data rekapitulasi kejadian dan korban bencana tanah longsor di Indonesia yang dihimpun oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, menunjukkan bahwa pada tahun 1990 sampai dengan 2002, jumlah kejadian longsor di Indonesia adalah sebanyak 940 kali dengan korban penduduk meninggal sebanyak 1.340 orang, luka-luka sebanyak 254 orang, rumah hancur 2.334 buah, rumah rusak 6.758 buah, lahan pertanian rusak 3.497 hektar serta jalan rusak sepanjang 12.042 meter. Sebagian besar kejadian longsor dipicu oleh curah hujan yang tinggi contohnya adalah longsor yang terjadi di terjadi di Bukit Pawinihan pada 4 Januari 2006 dan telah mengubur sebagian besar daerah pemukiman di dusun Gunungraja Wetan, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara. Tercatat tak kurang dari 81 orang tewas dalam kejadian bencana ini. Di Kabupaten Karanganyar, bencana longsor telah terjadi di Dusun Ngledoksari Kecamatan Tawangmangu, Provinsi Jawa Tengah. Longsor terjadi terjadi pada tangal 25 Desember 2007 dini hari sekitar jam 12 tengah malam dan jam 4 pagi. Jumlah korban 34 orang meninggal, 19 rumah rusak atau hancur. Bencana longsor ini dipicu oleh curah hujan. Pada awal tahun 2010 curah
hujan yang tinggi telah memicu terjadinya bencana longsor yang melanda daerah perkebunan the P.T. Chakra di Kampung Dewata, Ciwidey, Jawa Barat. Longsor ini telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 44 orang serta kerugian harta benda tak kurang dari 5 milyar rupiah. Kombinasi faktor antropogenik dan alam merupakan penyebab penting terjadinya longsor yang memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Namun demikian disamping longsor yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, longsor yang disebabkan oleh faktor alam atau bencana alam juga terjadi. Untuk mengurangi korban jiwa dan kerugian harta benda, upaya mitigasi diperlukan untuk meminimalkan dampak bencana longsor. Salah satu hal penting dalam lingkup upaya tersebut adalah mencari dan menentukan ambang batas kadar airtanah yang berpotensi longsor. Kejadian longsor yang banyak terjadi di Indonesia erat kaitannya dengan curah hujan sebagai pemicunya. Curah hujan yang jatuh pada suatu lereng sebagian akan berinfiltrasi ke dalam tanah dan kemudian menjenuhkan tanah. Kondisi sifat fisik tanah, kelerengan, lapisan tanah yang bervariasi antara lolos air dan kedap air serta jumlah air yang berinflitrasi akan mempengaruhi terjadinya longsor. Pada kondisi tertentu, interaksi dari kondisi tersebut, airtanah akan semakin jenuh oleh durasi curah hujan yang lama. Selain semakin jenuh bobot tanah juga akan semakin besar sehingga dengan kemiringan lereng tertentu dapat menyebabkan terjadinya longsor. Lapisan kedap air pada lapisan tanah juga memegang peranan penting dalam hal terjadinya longsor. Perubahan kondisi lereng yang pada awalnya stabil atau kritis menjadi labil dideteksi dari kadar airtanahnya. Kondisi batas maksimum kadar air dimana terjadi peningkatan berat isi tanah yang menyebabkan faktor keamanan lerengnya menjadi labil dapat dijadikan sebagai peringatan awal kelongsoran tanah. Lereng dapat dianalisis melalui perhitungan faktor keamanan lereng dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis tanah) dan bentuk geometri lereng. Secara khusus, analisis dapat dipertajam dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim, vegetasi, morfologi,
___________________________________________________________________________________ Kadar Airtanah Pemicu Longsor...............(Iwan G. Tejakusuma) Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
35
batuan/tanah maupun situasi setempat. Kondisi lingkungan tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dan merupakan karakter perbukitan rawan longsor (Hirnawan, 1993). Berdasarkan angka faktor keamanan suatu lereng dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu lereng labil, kritis dan lereng stabil. Pada suatu lereng yang pada awalnya stabil atau kritis, bisa menjadi labil karena intensitas hujan yang berlebihan. Intensitas hujan tersebut akan meningkatkan kadar air dan kemudian akan meningkatkan berat isi tanah. Ketika berat isi tanah tersebut terus meningkat dan sampai pada titik tertentu karena berat sendirinya menyebabkan suatu kondisi yang tidak stabil dan akhirnya bisa longsor. Hasil penelitian ini kemudian dapat dijadikan sebagai acuan penting dalam penerapan teknologi peringatan dini longsor. Oleh karena itu dalam paper ini akan dibahas penelitian longsor khususnya penentuan ambang batas kadar airtanah yang dapat menimbulkan longsor dengan studi di daerah Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 2. BAHAN DAN METODE Dalam penelitian ambang batas kadar airtanah untuk longsor di Girimekar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ini dilakukan dengan metode sebagai berikut: Pengumpulan data sekunder topografi, geologi, litologi, struktur, data kelerengan, curah hujan, penggunaan lahan, aktivitas manusia pada daerah sekitar. Penelitian dan pengukuran lapangan mencakup geologi, struktur, hidrologi, hidrogeologi, kondisi geologi bawah permukaan dan kelerengan. Melakukan pemboran dan pengambilan sampel tanah dengan metode undisturbed sampling. Melakukan analisis laboratorium sifat fisik dan mekanik batuan. Parameter yang diukur meliputi index properties, Atterberg limit (plastic limit, liquid limit dan plasticity index), analisa butir (analisa saringan dan hidrometer), triaxial test dan consolidation. Melakukan penghitungan kestabilan lereng dan kadar airtanah dari hasil analisis laboratorium dan lapangan dengan program GeoStudio. Simulasi kestabilan lereng dengan mencari batas kritis dan kadar airtanah kadar air pada kondisi batas kritis tersebut kemudian dihitung. Diagram alir diuraikan pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir langkah menggunakan software GeoStudio.
kerja
Sampel tanah untuk analisis laboratorium geoteknik diambil dari lokasi pemboran BH-01 di lokasi o o koordinat 06 52’ 58,5” Lintang Selatan dan 107 41’ 44,4” Bujur Timur pada kedalaman 400 cm – 450 cm dan BH-02 yang terletak di lokasi koordinat o o 06 52’ 58,6” Lintang Selatan dan 107 41’ 44,8” Bujur Timur. Pengujian laboratorium dari sampel tanah diambil dari 2 (dua) tabung sampel tanah undisturbed dari lubang pemboran pada lubang bor BH-01 pada kedalaman sampel 100 cm – 150 cm, dan pada kedalaman sampel 400 cm – 450 cm serta BH-02 pada kedalaman 400 cm – 450 cm. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 2. Sampel diambil dengan kondisi undisturbed, oleh karena itu pengambilan sampel dilakukan dengan menekan tube silinder ke dalam tanah dengan bantuan mesin bor tangan seperti yang dapat dilihat pada gambar 3 dan 4. Sampel tanah yang didapat kemudian dianalisis di laboratorium yang mencakup parameter Index Properties, Atterberg Limit (Plastic Limit, Liquid Limit, Plasticity Index), analisa butir (analisa saringan dan hidrometer), Triaxial Test dan Consolidation Test.
___________________________________________________________________________________ 36
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 15, No. 1, April 2013 Hlm.34-41 Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
BH-02
Lokasi Pengambilan Sampel Batuan di Legokhayam, Desa Girimekar
BH-01
Gambar 4. Sampel tanah undisturbed yang telah diambil untuk analisis laboratorium. Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel tanah di lokasi BH-01 dan BH-02, Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Lokasi Longsor Di Desa Girimekar Daerah yang mengalami longsor di daerah Desa Girimekar, Kabupaten Bandung adalah di Kampung Legokhayam. Kampung ini berada sekitar 14 kilometer dari kota Bandung ke arah timur. Kesampaian daerah relatif mudah dapat menggunakan kendaraan bermotor mobil hingga lokasi longsor. Dari Kota Bandung dapat ditempuh dengan mobil ke arah timur melalui terminal Cicaheum dan jalan raya Ujungberung. Dari terminal Cicaheum masih ke arah timur sekitar 7 kilometer hingga lokasi SMAN 24 Bandung dan segera setelah lokasi sekolah ini kemudian belok ke kiri di jalan Cijambe terus ke utara sejauh sekitar 3 kilometer ke lokasi longsor. Secara geografis lokasi o Kampung Legokhayam berada pada 107 41’ 40,6” o Bujur Timur dan 06 53’ 09,0” Lintang Selatan. 3.2. Kondisi Geologi Kabupaten Bandung
Gambar 3. undisturbed. .
Pengambilan
sampel
tanah
Daerah
Girimekar
Geomorfologi daerah Kampung Legokhayam dan sekitarnya merupakan perbukitan sedang hingga relatif curam dengan kemiringan lereng sekitar 10º hingga 40º dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (dpl). Lokasi longsor dan Kampung Legokhayam terletak di sisi lereng sebelah barat jalan raya dimana pada bagian baratnya dijumpai aliran anak sungai yang dapat kering diwaktu musim kemarau. Daerah Kampung Lekoghayam dan sekitarnya disusun oleh hasil gunungapi muda tak teruraikan berupa pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat dimana sebagian berasal dari Gunung Tangkubanparahu dan sebagian dari Gunung Tampomas (Qyu); hasil gunungapi tua tak teruraikan berupa breksi gunungapi, lahar, dan lava
___________________________________________________________________________________ Kadar Airtanah Pemicu Longsor...............(Iwan G. Tejakusuma) Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
37
berselang seling (Qvu) (Silitonga, 2003, Peta Geologi Lembar Bandung), sedangkan tanah pelapukan berupa lempung pasiran dengan ketebalan lebih dari 3 meter. Penggunaan lahan di daerah ini pada bagian atas dan tengah lereng berupa kebun campuran sedangkan pada bagian bawah berupa pesawahan dan pemukiman atau perkampungan. Berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah Terjadi Gerakan Tanah Provinsi Jawa Barat bulan Maret 2010 (Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau PVMBG), daerah tersebut termasuk zona potensi terjadi gerakan tanah menengah artinya daerah ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan tinggi, dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Legokhayam, Girimekar
BANDUNG
Gambar 5. Peta geologi daerah Kampung Legokhayam, Desa Girimekar dan sekitarnya (dari Silitonga, 2010).
3.3. Longsor di Girimekar Kabupaten Bandung Longsor di Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat terjadi pada Minggu, 21 Maret 2010, pukul 21.00. Longsor yang terjadi mempunyai panjang crown atau bagian kepala atau mahkota longsor berbentuk tapal kuda sepanjang sekitar 300 meter, dengan tinggi gawir longsor mencapai sekitar 4 meter. Sedikitnya 9 rumah hancur atau rusak dan 9 rumah terancam.
Gambar 6. Longsor di Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Menurut Badan Geologi (2010) longsor terjadi tidak sekaligus namun berlangsung selama beberapa jam dimulai dengan retakan, rekahan pada bagian tanah dan rumah dan kemudian anjlok. Kondisi longsor pada waktu survei dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Kondisi airtanah Kampung Legokhayam pada daerah dekat jalan raya cukup dalam yaitu sekitar 11 meter sedangkan pada bagian bawah lereng dijumpai mata air yang selalu berair walau di musim kemarau. Sementara itu kondisi sungai di ujung bawah lereng mempunyai debit yang cukup besar di musim hujan, namun ketika musim kemarau sungai ini bahkan bisa kering. Hal ini menunjukkan kondisi daerah hulu yang parah dimana diperkirakan telah terjadi pembukaan hutan atau eksploitasi hutan serta perubahan tata guna lahan dari yang bervegetasi pohon besar dan lebat menjadi lahan terbuka. Berdasarkan analisis lapangan longsor yang terjadi adalah tipe longsor gelinciran (slides) dimana gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui suatu bidang gelincir yang dapat diduga. Menurut klasifikasi longsor oleh Varnes (1978) longsor yang terjadi adalah tipe Translational Slides – Earth Slides sedangkan menurut Hutchinson (1988) longsor yang terjadi adalah tipe Translational Slide – Slab or Flake Slides. Gerakan yang terjadi utamanya adalah translasional dan susunan materialnya banyak yang tidak berubah di bagian atas, namun di bagian kaki atau toe dijumpai bahan longsoran yang berupa rombakan tanah. Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa gerakan rotasional juga terjadi dalam besaran yang relatif kecil. Longsor yang terjadi di Kampung Legokhayam ini terjadi dipicu oleh curah hujan dan dikontrol oleh
___________________________________________________________________________________ 38
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 15, No. 1, April 2013 Hlm.34-41 Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
geologi, litologi dan kemiringan lereng. Curah hujan menjenuhkan tanah yang kemudian menjadi lebih berat karena airnya terus bertambah. Dengan bertambahnya airtanah maka tekanan pori air khususnya pada batas lapisan dengan bagian bawah yang relatif kedap air menjadi tinggi. Perubahan gaya-gaya juga terjadi dimana akhirnya gaya luncur menjadi lebih besar dan longsor terjadi. Secara umum, curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar air (water content; ω, %) dan kejenuhan air (saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar airtanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah (mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan faktor keamanan lereng (Bowles, 1989; Hirnawan, 1993). Hubungan antara kadar airtanah dan longsor erat kaitannya seperti yang telah diuraikan diantaranya oleh Jotisankasa dan Hansa (2008), Sharma et al (2006), Tsai (2010) dan Fang et al (2012). Oleh karena itu analisis akan dilakukan untuk mengetahui kadar airtanah pemicu longsor di daerah Legokhayam.
Properties
Atterberg
Butiran (%)
Triaxial Test
Konsolidasi
2
Cv cm /det
Tabel 1. Hasil tes index properties dan engineering properties sampel BH-01. Jenis uji
Simbol dan satuan
Index
w%
BH-01 100cm 150cm 52,46
BH-01 400cm450cm 36,36
1,64 1,53 2,72 86,01 43,87 42,14 0 3 67 30 0,28 9,93 0,54 1,55 0,78 x 10-3
1,67 1,23 2,73 85,19 49,63 35,56 0 8 61 31 0,29 9,65 0,62 1,30 0,97 x 10-3
Tabel 2. Hasil tes index properties dan engineering properties sampel BH-02. Jenis uji
Index Properties
Atterberg
3.4. Analisis Laboratorium Geoteknik dan GeoStudio Hasil analisis laboratorium geoteknik yang mencakup index properties dan engineering properties dari lokasi pengambilan sampel seperti yang telah diuraikan di atas memberikan hasil seperti pada tabel di bawah ini. Hasil analisis laboratorium tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng dengan program GeoStudio. Jumlah lapisan tanah yang digunakan dalam analisis adalah dua lapisan utnuk BH 01, dengan masing-masing diwakili oleh material properties hasil pengeboran di kedalaman 1 yaitu antara 1 sampai dengan 1,5 m dan kedalaman 2 yaitu antara 4 sampai dengan 4,5 m sedangkan untuk BH 02 yang dipakai adalah pada kedalaman 4 sampai dengan 4,5 meter.
3
γ t/m e Gs LL % PL % PI % Kr % Ps % Lanau % Lempung % 2 C kg/cm o μ Cc 2 Pc kg/cm
Butiran (%)
Triaxial Test
Konsolidasi
Simbol dan satuan w% 3 γ t/m e Gs LL % PL % PI % Kr % Ps % Lanau % Lempung % 2 C kg/cm o μ Cc 2 Pc kg/cm 2 Cv cm /det
BH-02 400 cm 450 cm 46,21 1,64 1,39 2,69 79,55 42,32 37,22 0 2 67 31 0,30 9,09 0,60 1,60 1,06 x 10-3
Sebagai masukan data, profil muka tanah atau lereng digunakan data topographic correction dari pengukuran profil muka tanah di lapangan yang dilakukan di lokasi studi sebelum pengambilan contoh tanah dengan pengeboran. Data-data tersebut di atas, kemudian dimasukkan ke dalam program GeoStudio dengan memilih sub analisis SLOPE/W. Slope/W pada dasarnya menganalisis besaran gaya dan momen keseimbangan untuk faktor keamanan. Slope/W menggunakan metode finite element untuk menghitung faktor stabilitasnya. Langkah-langkah input data ke dalam program Geo Studio/Slope-W diringkas pada gambar 1.
___________________________________________________________________________________ Kadar Airtanah Pemicu Longsor...............(Iwan G. Tejakusuma) Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
39
Tabel 1. Angka keamanan kondisi kritis di BH 01. Lapisan
(gr/cm3)
ø (o )
c(kN/m2)
1
1.07
2.04
90
2
1.22
2.17
76
SF 0.832
Untuk BH 02, angka keamanan kondisi kritis adalah seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Angka keamanan kondisi kritis di BH 02. Gambar 6. Analisis kestabilan lereng dengan GeoStudio –Slope/W.
Dalam analisis angka keamanan yaitu dengan metode Bishop, kondisi struktur tanah diwakili oleh parameter kohesi (C) dan sudut geser dalam (). Sedangkan parameter berat volume tanah /unit berat () merupakan parameter yang dapat berubah karena faktor luar yaitu karena hujan sehingga dapat menyebabkan perubahan kadar air dan berat volumenya. Analisis selanjutnya dibuat suatu masukan parameter baru, dimana kondisi berat volume tanah dibuat variabel sedangkan parameter yang lain yaitu kohesi dan sudut gesernya tetap. Dalam analisis ini dilakukan coba-coba (trial and error) sehingga dengan masukan berat volume tertentu menghasilkan angka keamanan (SF) baru kurang dari atau sama dengan 1 (SF < 1,0). Kondisi lingkungan dimana faktor keamanan lerengnya adalah kurang dari 1 menunjukkan kondisi tidak stabil. Keamanan lereng dapat menjadi tidak stabil karena peningkatan kadar air yang disebabkan adanya pengaruh faktor eksternal yaitu hujan. Air hujan akan meningkatkan kadar air pori tanah sehingga berakibat pula dengan peningkatan berat isi butiran. Dasar pemikiran yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan melakukan trial pada input berat isi butiran sampai didapatkan kondisi angka faktor keamanan kurang dari 1. Hal ini berarti pada batas angka tersebut (berat isi butiran) kondisi kelerengan menjadi tidak stabil yang dapat berakibat longsor. Penggunaan program GeoStudio disini akan memudahkan dalam proses trial yang dimaksud. Untuk parameter masukan yang lain berupa sudut geser dalam, kohesi dan profil muka tanah adalah tetap seperti kondisi awal. Berdasarkan analisis tersebut, didapatkan angka keamanan kondisi kritis pada BH 01 seperti pada tabel di bawah ini.
(gr/cm3)
ø (o )
c(kN/m2)
SF
20.4
9.09
30
0.962
Dengan mengetahui berat volume baru (wet), maka dapat dihitung kadar airnya menggunakan persamaan sebagai berikut:
dry
wet dry wet , atau = dry 1
dimana:
dry : berat volume kering wet : berat volume basah : kadar air (%) Hasil perhitungannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Kadar air di BH 01 pada kondisi kritis. Lapisan
dry (gr/cm3)
wet (gr/cm3)
(%)
1
1.07
2.04
90
2
1.22
2.17
76
Kadar air () pada kondisi batas atau kritis di BH 01, didapatkan nilai untuk lapisan 1 adalah 90% dan untuk lapisan 2 adalah 76%, artinya curah hujan dengan intensitas tertentu yang menyebabkan kadar airtanah meningkat menjadi 90% pada lapisan 1 atau lapisan bagian atas dan lapisan 2 atau lapisan bawah menjadi 76% akan menyebabkan tanah menjadi tidak stabil.
___________________________________________________________________________________ 40
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 15, No. 1, April 2013 Hlm.34-41 Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
Tabel 4. Kadar air di BH 02 pada kondisi kritis. Lapisan
dry (gr/cm3)
wet (gr/cm3)
(%)
1
1.12
2.04
82
Kadar air () pada kondisi batas atau kritis di BH 02, didapatkan nilai 82%, artinya curah hujan dengan intensitas tertentu yang menyebabkan kadar airtanah meningkat menjadi 82% pada lapisan tersebut akan menyebabkan tanah menjadi tidak stabil. Nilai kritis kadar airtanah tersebut yang menyebabkan suatu lereng menjadi tidak stabil dapat digunakan sebagai salah satu parameter masukan penting dalam peringatan dini longsor. 4. KESIMPULAN Bencana longsor telah terjadi di Kampung Legokhayam, Desa Girimekar, Kecamatan Cilengkrang, Jawa Barat pada 21 Maret 2010 yang menghancurkan 9 rumah dan merusak 9 rumah lainnya. Tipe longsor yang terjadi adalah tipe longsor gelinciran (slides) dengan gerakan utama translasional dan sebagian kecil rotasional. Longsor ini dipicu oleh curah hujan yang tinggi dan dikontrol oleh kondisi geologi dan litologi setempat. Longsor terjadi dengan mekanisme penjenuhan tanah oleh air hujan pada lapisan tanah yang relatif lulus air yang terdapat di atas lapisan yang relatif kedap air. Kemiringan lereng merupakan faktor pengontrol yang penting. Analisis kestabilan lereng dengan program GeoStudio dengan menggunakan hasil analisis laboratorium sampel tanah undisturbed yang diambil dari lokasi BH 01 dan BH 02 yang meliputi index properties dan engineering properties. Hasilnya menunjukkan bahwa lereng mempunyai angka keamanan kondisi kritis pada BH 01 adalah 0,832 sedangkan pada BH 02 adalah 0,962. Kadar air () pada kondisi batas atau kritis di BH 01, untuk lapisan 1 adalah 90% dan untuk lapisan 2 adalah 76%. Pada BH 02 kadar air pada kondisi krtisi adalah 82%. Curah hujan dengan intensitas tertentu yang menyebabkan kadar airtanah akan menyebabkan tanah menjadi tidak stabil dan diperkirakan longsor akan terjadi.
Bowles, JE. 1989. Sifat-sifat Fisik dan Geoteknis Tanah. Penerbit Erlangga. Fang H., P. Cui, L. Z. Pei, dan X. J. Zhou, 2012. Model testing on rainfall-induced landslide of loose soil in Wenchuan earthquake region, Natural Hazards Earth System Science, 12, 527–533. Hirnawan, R. F. 1993. Ketanggapan Stabilitas Lereng Perbukitan Rawan Gerakan Tanah atas Tanaman Keras, Hujan dan Gempa. UNPAD. Hutchinson, J. N. 1988. General Report: Morphological and geotechnical parameters of landslides in relation to geology and hydrogeology. Proceedings, Fifth International Symposium on Landslides (Ed: Bonnard, C.), 1, 3-35. Rotterdam: Balkema. Jotisankasa A. dan Hansa Vathananukij, 2008. Investigation of soil moisture characteristics of landslide-prone slopes in Thailand, International Conference on Management of Landslide Hazard in the Asia-Pacific Region 11th -15th November 2008 Sendai Japan. Sharma, R H, Nakagawa, H, Baba, Y, Muto, Y dan Ano M, 2006. Laboratory experiments on moisture content variation and landslides caused by transient rainfall, Annual Journal of Hydraulic Engineering, Vol. 50, February, pp. 16. Silitonga, P. H., 2003. Peta Geologi Lembar Bandung, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi. Tsai, Tung-Lin, 2010. Influences of soil water characteristic curve on rainfall-induced shallow landslides, Environmental Earth Science 2010. Varnes, D. J. 1978. Slope movement types and processes. In: Special Report 176: Landslides: Analysis and Control (Eds: Schuster, R. L. & Krizek, R. J.). Transportation and Road Research Board, National Academy of Science, Washington D. C., 11-33.
DAFTAR PUSTAKA Badan Geologi, 2010. Laporan Survei Longsor di Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi.
___________________________________________________________________________________ Kadar Airtanah Pemicu Longsor...............(Iwan G. Tejakusuma) Diterima 21 Februari 2013; terima dalam revisi 20 Maret 2013; layak cetak 8 April 2013
41