Dalam karya Hendri Yulius, ada kepedihan, kesengsaraan, dan kemarahan para perempuan. Penggambaran yang begitu memabukkan, seakan mendorong pada sebuah pertanyaan: “apa gender manusia yang bernama Hendri Yulius sebenarnya?". Namun, dalam dunia kata, penulis mempunyai kesempatan untuk melebur dalam alam semesta tersendiri, dan bahkan untuk melupakan sejenak identitasnya. Ia terkadang harus menjadi seperti pemeran, yang mahir mengubah wujudnya menjadi mahluk-mahluk berbeda. Dan dengan kemampuan seperti ini, saya yakin Hendri akan menjadi salah satu penulis penting di Indonesia. Soe Tjen Marching, akademisi, komponis, dan pemimpin redaksi majalah Bhinneka
Nuansa distopik dan erotis terlihat dalam kumpulan cerpen Hendri, yang banyak menggambarkan perempuan berada di posisi marginal dan didominasi oleh kaum pria. Penulisan bergaya yang sangat visualistik dan empatik membuat saya tidak cukup kuat mental untuk membaca beberapa cerita sampai akhir. Calvin Michael Sidjaja, penulis novel Jukstaposisi: Cerita Tuhan Mati dan nominator “Best Young Writer” Khatulistiwa Literary Award 2008
Daftar Isi Prolog: Kejadian Sepuluh Riwayat Kitab 1.
Ular dalam Vagina
2.
Bulan Merah Darah
3.
Di Bawah Hujan Salju, Ada Dendam
4.
Menjelang Subuh
5.
Birahi Perempuan Medusa
6.
Sepotong Hadiah untuk Adikku
7.
Ibu Kami Ternyata Seekor Monyet!
8.
Kutukan Bulan Purnama
9.
Sonata Tengah Malam
10.
Penyanyi Dangdut dan Malam Berdarah
11.
Tiga Seni Kematian
Epilog: Wahyu
Bulan Merah Darah The beauty myth is not about women at all. It’s about men’s institutions and institutional power. -Naomi Wolf-
Datanglah kemari, wahai perempuan. Aku menginginkanmu untuk menghapus segala rasa kesendirian ini. Ada rasa dahaga yang ingin kupuaskan. Malam ini juga. Saat bulan purnama berkabut menyemburat di atas langit. Diiringi dengan lolongan serigala bulan merah.
***
W
aktuku kecil, ayah dan ibu selalu membanggakanku di depan kolega dan kerabat keluarga ketika kami sedang berada pada sebuah perhelatan. Mereka memujiku, bukan karena kepandaian atau nilai-nilai raporku yang hanya berada sedikit di atas rata-rata. Bukan itu keunggulanku. Nilaiku pas-pasan dan kadang aku sudah merasa bersyukur bila bisa naik kelas. Sebab, salah satu hal yang aku benci adalah menghapal catatan yang diberikan oleh
guru, serta menjumlah angka-angka. Orang tuaku tahu hal itu, dan tidak pernah memarahiku. Bagi, mereka yang penting aku naik kelas sehingga tidak semakin memberatkan mereka dalam hal biaya. Meskipun otakku tergolong rata-rata, aku mempunyai sesuatu yang bisa menutupi itu, yaitu kecantikanku. Orang tuaku pun sepakat tentang hal itu. Seperti yang telah kujelaskan tadi, mereka selalu memujaku bak puteri raja setiap kali bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal. Kadang aku pun merasa tidak nyaman, harus bertingkah anggun dan menerima kerabat-kerabat mereka dengan tangan terbuka. Meski terkadang beberapa dari mereka membuatku enggan untuk berkenalan lebih dekat. Aku teringat ada Oom Sam, teman ayah waktu SMA, yang tiba-tiba terkesima dengan diriku dan langsung memelukku saat kami berkenalan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahan dengan bau mulutnya yang menyeruak saat bibirnya bertemu dengan kulit pipiku yang mulus. Atau Bima, putra bawahan ayah yang suka sekali main jorok-jorokan di luar rumah. Main masak-masakan dengan menggunakan tanah dan daun-daunan bersama anak-anak kompleksnya, atau juga perang-perangan dengan sesama anak lelaki
sampai berguling-guling di atas tanah. Saat kami harus berkenalan, aku benci sekali dipaksa untuk berjabat tangan dengannya. Begitu telapak tangan kami berdua saling berjalinan, terasa ada sisa-sisa tanah yang ikut melekat pada telapak milikku. Bagiku, kecantikan itu harus dijaga. Ibu dan ayah pun bilang begitu. Aku harus teratur merawat kulitku dan mandi yang bersih. Kulitku memang putih mulus mirip seperti badan guci porselen impor dari Cina. Bola mataku berwarna agak kecokelatan, menuruni buyutku yang konon katanya orang blasteran Indonesia dengan Latin. Kuku jemariku terpotong rapi, membuat tiap ruasnya terkesan lentik. Ibuku tak pernah alpa memotongi kukuku bila sudah mulai tumbuh. Guratan alis di atas mataku pun hitam tebal. Tetapi, kadang yang membuat orang berdecak kagum tidak hanya itu saja. Ada satu hal yang biasanya membuat mereka—khususnya yang berjenis kelamin perempuan—mengiri, yaitu rambutku. Ya, helaian rambut panjang sepinggangku benar-benar terlihat begitu indah. Warnanya hitam agak kecokelatan—lagi-lagi mungkin karena turunan buyutku. Di bawah sinar matahari, rambutku terlihat berkilauan seperti air danau yang terbias saat siang terik. Apalagi bila angin berhembus, tiap helainya akan menari-nari mengikuti gerakannya. Mirip seperti salur-salur rumput laut yang bergerak ritmis mengikuti gelembung buih air laut. Rambutku selalu dibiarkan tergerai, tak pernah kucoba untuk mengikatnya atau menjepitnya. Untuk apa? Hanya akan merusak. Membuatnya terlihat patah-patah. Begitu kata ibu saat aku ingin mengikuti mode rambut yang dikuncir mirip ekor kuda, seperti yang sedang trend di sekolah. Kupikir-pikir betul juga apa yang dikatakan oleh ibu. Tidak banyak orang yang memiliki rambut yang secantik dan seindah diriku. Beberapa guru bahkan menyuruhku untuk mendaftar jadi bintang iklan shampoo. Mendengar itu, aku hanya tersenyum simpul. Lagipula, ibu pasti tidak setuju bila aku ikut-ikutan kegiatan itu. Dan benar saja saat kuberitahukan pada ibu, dia bilang kalau dunia hiburan lebih banyak maksiatnya. Lebih baik belajar dan punya suami yang sempurna. Tampan, mapan, dan baik hati. Itu sudah cukup. Kamu tidak perlu bekerja dan tinggal duduk di rumah mengurus anak-anak. Makanya, kamu harus pandai-pandai menjaga kecantikanmu. Perempuan buruk rupa tak akan laku di pasaran, ujar ibu. Aku hanya mengangguk saja. Tetapi, aku selalu optimis akan mendapat pria sempurna itu suatu saat ketika aku dewasa. Yang mungkin tidak beda jauh dengan yang pernah diceritakan oleh dongeng-dongeng. Atau mungkin juga seperti figure Kent, kekasih Barbie.
Aku tidak pernah absen untuk mengikuti perkembangan boneka Barbie dan Kent keluaran terbaru. Pun dengan koleksi kostum mereka yang terkadang lebih mahal dari pakaian manusia sungguhan. Berbagai boneka Barbie dengan pakaian berbeda-beda—mulai dari yang berbikini saja, berpakaian astronot, perawat, sampai bergaun serba gemerlap—memenuhi rak kamarku. Seprai ranjangku pun tak mau kalah. Bercorak gambar Barbie.
*** SEMAKIN aku bertumbuh dewasa, semakin tampak anggun dan cantik pula diriku. Rambutku masih panjang tergerai. Lekuk tubuhku teramat sangat sintal. Kakiku panjang bagai belalang. Dadaku menyembul padat berisi. Semua lelaki yang melihatku kadang berdecak penuh kagum. Bahkan, banyak dari mereka yang nekad mengirimku berpucuk-pucuk surat cinta atau merepotkan ibuku di rumah dengan puluhan telepon misterius. Sayangnya, tak ada satu pun yang bisa mengisi relung hatiku. Tidak ada lelaki sesempurna yang pernah kubayangkan dalam kepalaku. Mereka berbeda jauh dengan pangeran yang menyelamatkan Snow White. Mereka berbeda jauh dari Kent yang berdada bidang, berkulit cokelat matang, berahang tegas. Aku tak ingin menyerahkan diriku begitu saja pada sembarang lelaki. Aku ingin lelaki…yang sempurna. Yang tampan. Yang gagah. Yang kaya. Seusai menyelesaikan bangku SMA, aku tidak ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Sudah cukup bagiku bertahun-tahun menekuri buku-buku pelajaran yang malah membuat kepalaku pusing kelimpungan. Sudah cukup bertahun-tahun aku dipenjara dengan baju seragam yang membuatku tak bisa menunjukkan kepiawaianku dalam memilih gaya. Sudah cukup aku harus berpusing-pusing ria mengerjakan tugas-tugas sekolah yang menyiksa pikiranku siang-malam. Sudah selesai semuanya. Kubilang pada ibu: aku ingin kursus salon dan membuka usaha sendiri. Sebab aku lebih tertarik pada bisnis kecantikan ketimbang harus berhadapan dengan deretan angka yang tertera pada lembaran laporan keuangan perusahaan.
Awalnya, ibu dan ayah kurang setuju terhadap pilihanku. Tetapi, kuyakinkan lagi mereka bahwa ini adalah pilihan yang tepat untukku. Apalagi, dengan kemampuan otakku yang pas-pasan beserta niatku yang setengah-setengah, bisa-bisa aku menyelesaikan kuliahku dalam waktu lebih dari sembilan tahun. Bahkan, kemungkinan terburuknya aku keburu dikeluarkan secara tak terhormat dari sana. Drop-Out. Beberapa malam setelah kuutarakan hal itu, akhirnya mereka menyetujui pilihanku. Keesokan harinya aku mendaftar di sebuah kursus salon ternama di kotaku. Tempat itu kebetulan dikelola oleh seorang penata rambut terkenal yang sudah terpercaya dan profesional. Aktris-aktor, bahkan rumah produksi film pun sering mengontraknya untuk menangani gaya rambut mereka. Di sana aku belajar dengan keras. Berlatih menguasai teknik memotong aneka model rambut. Tak hanya itu, berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan dunia kecantikan pun kulakoni. Creambath, rias pengantin, rebonding, dan masih banyak lagi. Pada masa-masa kerja praktekku yang melelahkan, Fanita—sahabat karibku semenjak duduk di kelas 2 SMP mengenalkanku dengan teman kakak lelakinya yang bernama Richard. Kami berdua berkenalan di sebuah kafe Jazz. Fanita memang benar-benar seorang mak comblang yang hebat. Dia bisa menebak tipe kekasih ideal kami berdua. Aku sungguh jatuh hati pada Richard semenjak pertama kali bertemu. Jantungku berdegup kencang. Tak henti-hentinya aku meremas tanganku. Mencoba untuk mengenyahkan rasa gugup yang semakin mendera. Richard. 27 tahun. Manajer keuangan sebuah perusahaan multinasional. Dia memang bukan berasal dari keluarga kaya-raya, tetapi otaknya yang gemilang telah mengantarkannya ke jabatan yang prestisius itu. Gagah perawakannya. Tubuhnya menjulang tinggi bak seorang atlet basket. Dadanya berlekuk bidang, laiknya ksatria siap perang. Rambutnya hitam kelam. Dia memperlakukanku dengan sangat sopan, layaknya seorang putri. Aku seperti menemukan citra pangeran-pangeran dongeng itu dalam dirinya. Setelah beberapa bulan saling mengenal melalui telepon, pesan pendek, dan kencan singkat di malam minggu, kami sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih jauh. Pacaran. Setahun kemudian, dengan dukungan modal dari ayah, aku mengontrak sebuah ruko untuk dijadikan usaha salon. ***
TERNYATA, terkadang kehidupan manusia bisa berubah seratus delapan puluh, bahkan tiga ratus enam puluh derajat sekaligus. Usaha salonku memang berjalan lancar-lancar saja, namun kondisi kesehatanku semakin memburuk. Sering aku merasa kepalaku berkedut-kedut. Perih setengah mati, seperti ada yang sedang mengoyak gumpal otakku. Tubuhku berangsur-angsur semakin melemah. Tak bisa lagi aku berdiri lama-lama. Sampai suatu ketika, aku terjatuh tak sadarkan diri ketika aku sedang menggunting rambut klienku. Dipapah oleh Richard, aku dibawa ke rumah sakit terdekat. Dokter memeriksaku dan menyuruhku untuk dirontgen. Dan benar saja, aku didiagnosis terkena kanker otak. Berbahaya bila aku tidak segera mengambil langkah yang tepat. Bisa-bisa nyawaku tak lama lagi melayang. Dokter menyarankanku untuk mengikuti sesi kemoterapi. Beliau juga memberikanku berbotol-botol pil—aku sendiri tak tahu fungsinya apa—untuk kuminum secara rutin setiap hari. Aku tahu kemoterapi perlahan-lahan akan membuat rambutku meranggas. Aku tak ingin kecantikanku luruh. Aku tak ingin rambut indahku mesti digantikan oleh buatan pabrik yang palsu. Terlebih lagi, aku takut Richard akan meninggalkanku. Namun, saat kuutarakan semua gundah-gulanaku, Richard langsung memelukku dan berjanji dia tak akan meninggalkanku sampai kapan pun. Dikecupnya bibirku dengan hangat. Hatiku jadi semakin mantap untuk mencoba cara pengobatan kemoterapi itu. Apa yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi setelah sekian waktu aku mengikuti sesi kemoterapi itu. Perlahan-lahan rambutku mulai berguguran. Setiap kali aku menyisir rambut, segumpal helai rambutku tersangkut di antara jari-jarinya. Tidak hanya itu, tubuhku yang dulu sintal pun semakin kurus. Obat-obatan itu ternyata racun bagi keindahan tubuhku. Berat badanku menyusut hingga menyerupai mayat hidup. Dan rambutku juga akhirnya botak. Bila aku ingin keluar dari rumah, kukenakan kerudung merah untuk menutupinya. Membuat anak-anak teringat akan tokoh dongeng Si Jubah Merah bila melihatku. Kecantikanku yang mulai berkurang itu ternyata memberi dampak pada hubunganku dengan Richard. Dari gerak-gerik Richard yang mulai sering menghindar, aku tahu bahwa cepat atau lambat dia akan mengkhianati janjinya. Benar saja, suatu sore, kupergoki dia sedang bergandengan mesra dengan perempuan berparas bak model keluar dari suatu restoran. Aku geram. Emosiku memuncak. Kuambil langkah seribu sebelum dia masuk ke dalam mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Dia tercengang ketika aku muncul dan menahan pintu mobil yang baru saja dia buka. Kutarik dalam-dalam liurku sebelum kumuntahkan tepat mengenai wajahnya. Sumpah serapahku bertaburan menghujaninya. Semenjak hari itu, aku sudah tak berniat berhubungan lagi dengannya.
*** AKU telah kehilangan semuanya. Kecantikan, kekasih, bahkan kesehatanku sendiri. Umurku terasa semakin lama semakin singkat. Setelah kehilangan Richard, aku belajar bahwa lelaki hanya ingin mencintai perempuan yang cantik. Mereka hanya ingin perempuan-perempuan yang bertubuh seperti gitar, berdada busung, dan berbokong sintal a la seorang model. Satu hal yang jelas mereka tak akan pernah melirik seorang perempuan botak, bertulang pipi menonjol, dan bertubuh kerempeng seperti diriku ini. Aku mulai menyimpan kebencian untuk perempuan-perempuan cantik. Setiap kali mereka datang ke salonku, aku melayani mereka sambil mengucap ribuan sumpah dan kutuk dalam hati. Apalagi bila melihat mereka tersenyum penuh percaya diri karena penampilan mereka, ingin rasanya kutusukkan gunting ke lehernya hingga berlubang dan darah mengucur deras bagai pipa air yang bocor. Kebencian itu kulampiaskan sesampainya aku di rumah. Kuambil boneka Barbie yang masih kusimpan hingga sekarang, dan kuhempaskan ke atas ranjang. Kutarik rambutnya sekuat tenaga sampai lepas dari kulit kepalanya. Lalu, matanya kutusuk dengan jarum atau benda tajam hingga berlubang. Setelah itu, aku bisa tertawa puas selebar-lebarnya hingga sudut bibirku nyaris terasa mau sobek. Tetapi, aku tidak pernah mengetahui bila boneka pun bisa merasa sakit. Suatu malam pintu kamarku berdecit terbuka. Dari luar terdengar suara lolongan anjing menyambut malam. Ada derap langkah mendekatiku. Aku berusaha membuka kelopak mataku yang masih diberati oleh kantuk. Beringsut aku berusah melihat siapa yang datang. Kudapati sesosok perempuan bule dengan wajah yang amat sangat familiar. Ya, aku sungguh mengenalinya. Barbie. Dia berukuran layaknya seorang manusia sungguhan sekarang. Tetapi, ada yang berbeda dari dirinya yang biasa. Kepalanya botak. Hanya tersisa beberapa helai rambut saja. Darah kental mengalir dengan deras dari kulit kepalanya yang dikoyak paksa. Wajahnya terlihat mengerikan bercampur kesakitan. Mata kirinya tertusuk pecahan kaca dan terus mengucurkan darah. Gaun pengantin putihnya berlumuran darah pula. Dia berjalan mendekatiku. Aku ketakutan melihatnya. Bulu kudukku meremang. Barbie mendekatiku dan mengerang.
Kudengar dia berkata melalui tatapan mata kanannya yang masih utuh: “Tahukah kau kalau aku sudah cukup tersiksa? Sewaktu aku masih di pabrik, tangan-tangan pekerja itu dengan kasar menjahiti kulit kepalaku dengan rambut buatan mereka. Rasanya perih sekali. Dan kau malah mengoyak kepalaku hingga begini.” Barbie berusaha naik ke atas ranjangku. Aku terpojok. Tak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Punggungku sudah menempel ke tembok yang dingin. Barbie duduk di atas ranjang dan menggeser tubuhnya mendekatiku. Tangannya bergerak menyentuh kulit kepalaku yang botak. Dia menegakkan jari-jarinya yang berkuku tajam, kemudian menekannya pada kulit kepalaku. Seketika aku menjerit kesakitan. Kuku-kuku tajamnya terasa melesak semakin dalam. Darah mulai memercik dari kulit kepalaku yang mulai koyak. Semakin lama rasa perih itu semakin menyiksaku. Aku berteriak sekuat tenaga. Sampai pita suaraku nyaris mau putus.