PENYULUHAN AGAMA TRASFORMATIF: Sebuah Model Dakwah Firman Nugraha Balai Diklat Keagamaan Bandung E-mail:
[email protected] Abstract
This study is motivated by the social dynamics of Muslims. This change has became part of the spirit of religion. Thus, the purpose this study was to determine the actualization of transformative religious counseling in the context of education development that spawned economic independence worshipers. With analytical descriptive method to MT al Munawaroh as the base models of the transformative religious counseling, from study conducted in mind that the program conducted as it is the actualization of dakwah bil hal which is independent livestock program. With this program worshipers MT al Munawaroh has several advantages such as: they help the economy because it has many additional economic resources labour and dry land farming. From the social aspect of religion, their understanding remains nurtured because mentoring is done. Kata kunci:
social of change, development, amar ma’ruf, nahyi munkar. A. Pendahuluan Wacana perubahan telah menjadi bagian dari konteks masyarakat pada umumnya. Perubahan itu sendiri mensyaratkan salah satunya ialah adanya ikon perubahan yang menjadi inspirator dan sekaligus motor penggerak menuju situasi yang lebih diinginkan pada setiap hal. Pada masyarakat, terutama masyarakat tradisional, kebergantungan terhadap aktor perubahan ini terasa begitu dominan. Hal ini bukan berarti tidak demikian
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
pada masyarakat modern. Meskipun pada masyarakat modern perubahan lebih dominan bergantung pada kerja terstruktur, namun adanya aktor perubahan tetap menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan sebagai simbol gerakan perubahan itu sendiri. Salah satu ikon perubahan pada masyarakat ialah para tenaga penyuluh agama. Dalam kerjanya tentu berhadapan dengan segudang problematika sebagaimana problematika masyarakat itu sendiri. Para penyuluh agama menjadi agent of change masyarakat menuju kehidupan yang lebih religius, dimana menempatkan nilainilai agama sebagai basis perubahan menuju kehidupan yang lebih harmonis, aman tentram dan sejahtera lahir maupun batin. Tantangan yang dihadapi penyuluh agama sebagai inspirator dan motor penggerak perubahan ini diantaranya ialah dari aspek sosio ekonomi masyarakat yang beragam, keragaman budaya, keragaman jenjang pendidikan dan pengetahuan masyarakat binanya yang berarti pula beragam tingkat pemahaman dan wawasan masyarakatnya. Tantangan ini baru bersifat internal kemasyarakatan. Belum lagi jika ditambahkan dengan tantangan-tantangan eksternal kemasyarakatan yang muncul dari kepentingan-kepentingan golongan tertentu yang mengancam harmonisasi interaksi di dalamnya. Diantara tantangan aktual dalam dakwah islam atau penyuluhan agama islam adalah mewujudkan dakwah bi al ’amal yakni suatu aksi nyata dalam mengangkat kehidupan ekonomi jamaah yang di bawah garis kemiskinan. Bagaimanapun isu ini seringkali menjadi alasan apologetik dalam melahirkan ragam problematika sosial lainnya. Alasan ekonomi sering manjadi alasan pembenaran atas tindakan tindakan yang dapat dikategorikan pelanggaran terhadap norma sosial keagamaan. Maka menjadi penting kiranya aktualisasi dakwah bi al ’amal ini untuk dijadikan proyeksi utama dalam aktifitas penyuluhan agama. Kajian ini mendeskripsikan fenomena pembinaan jamaah di Majlis Ta’lim dalam aspek sosial ekonomi sekaligus sebagai aktualisasi dakwah bi al ’amal (Penyuluhan Agama transformatif) sehingga mereka memiliki kemandirian dalam sumberdaya ekonomi.
2
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
B. Penyuluhan Agama Transformatif: Pengertian dan Landasan Teologis Penyuluhan Agama dalam dimensi akademis ditinjau dari perspektif ilmu dakwah adalah Irsyad Islam, derivasi dari istilahistilah ini dapat juga digunakan istilah-istilah ta’lim, tawjih, maw’izh nashihah dan isytisyfa (terapi dalam konteks psikoterapi) (Arifin, 2005). Lebih lanjut Arifin (2005) menjelaskan bahwa Irsyad Islam berarti proses pemberian bantuan terhadap diri sendiri (irsyad nafsiyah), individu (irsyad fardiyah) dan kelompok kecil (irsyad fiah qalilah) agar dapat keluar dari berbagai kesulitan untuk mewujudkan kehidupan pribadi, individu dan kelompok yang salam, hasanah thayibah dan memperoleh ridha Allah dunia akhirat. Pemberian bantuan tersebut dapat berupa ta’lim, tawjih, nashihah, maw’izhah, nashihah dan isytisyfa berupa internaslisasi dan transmisi pesan-pesan Tuhan. Disiplin ilmu Irsyad Islam adalah sistem POP perilaku yang dibantu (klien, mursyad bih) dan yang membantu (konselor, mursyid) berupa irsyad nafsiyah, irsyad fardiyah dan irsyad fiah qalilah berupa ta’lim, tawjih, nashihah, maw’izh dan isytisyfa yang melibatkan unsur konselor, klien, pesan, metode dan media dalam situasi tertentu guna mewujudkan tawhidullah dalam bentuk kehidupan pribadi, individu dan kelompok yang salam, hasanah, thayyibah dalam bingkai ridha Allah dunia akhirat. Sebagai bagian dari aktifitas dakwah Islam, maka sesungguhnya penyuluhan agama Islam memiliki visi dan misi yang senafas dengan dakwah itu sendiri. Ketika dakwah secara konseptual ada dalam ranah bi al qoul dan bi al ‘amal, maka demikian pula halnya dengan penyuluhan agama. Lebih dari itu dalam tuntutan Tupoksi seorang Penyuluh Agama yang notabene agen Pemerintah, Ia memiliki fungsi untuk melakukan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama. Fungsi ini tentu sejalan dengan dakwah bi al amal atau Penyuluhan agama transformatif. Sebagaimana visi Islam dalam Alquran surat Fushilat ayat 33:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
3
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
Penyuluhan Agama transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi keagamaan kepada masyarakat, yang memposisikan Penyuluh Agama sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil jamaah dengan cara melakukan pendampingan secara langsung. Dengan demikian, Penyuluhan Agama tidak hanya untuk memperkukuh aspek religiusitas jamaah, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan Penyuluhan Agama transformatif, Penyuluh Agama diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan problem kemanusiaan lainnya (Zada, 2006). Di sinilah, para Penyuluh Agama memiliki peran yang strategis dalam mengubah pandangan keagamaan jamaah. Sebab, pemahaman keagamaan jamaah biasanya sangat dipengaruhi oleh para tokoh Agama (ustadz, dai, kyai, termasuk Penyuluh Agama). Oleh karena peran mereka yang begitu besar dalam memproduksi pemahaman agama jamaah, maka sangat diperlukan model dakwah yang mampu melakukan perubahan dalam teologi dan praktik sosial. 1. Metodologi Penyuluhan Agama Transformatif Penyuluhan Agama transformatif dilakukan dalam dua metode, yaitu metode refleksi dan aksi. Daur refleksi dan aksi ini meniscayakan bahwa dakwah transformatif bukan sekadar berada dalam arena verbal, melainkan juga dalarn arena aksi. Selama mi memang yang menjadi basis gerakan dakwah adalah dakwah verbal dalam bentuk pengajian, majlis ta’lim, dan ceramah-dialog (radio dan televisi). Para Penyuluh Agama belum banyak menyentuh persoalan-persoalan riil yang menjadi problem masyarakat untuk selanjutnya melakukan agenda-agenda aksi konkret. Karena itulah, daur refleksi-aksi merupakan basis metodologis yang menjadi tonggak gerakan Penyuluhan Agama transformatif (Zada, 2006). Metode refleksi merupakan arena pengayaan ide-ide, gagasan, dan pemikiran tentang keagamaan transformatif sebagai
4
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
kerangka dalam melakukan kerja-kerja transformatif. Setiap problem yang muncul di jamaah direfleksikan sebagai basis konseptual, Pengendapan terhadap suatu problem sosial yang terjadi di masyarakat sangat diperlukan agar kerja-kerja sosial para Penyuluh Agama tidak kehilangan arahnya sehingga mampu mencari akar masalah yang sesungguhnya. Karena itulah, para Penyuluh Agama tentunya harus mengetahui secara persis dan menggali kebutuhan jamaah serta menggali potensi yang bermanfaat untuk memenuhi kehutuhan kelompok dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penting untuk diperhatikan, bila penyuluhan agama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jamaah, maka perlu pendekatan yang partisipatif. Dengan pendekatan ini kebutuhan digali oleh Penyuluh Agama bersama-sama jamaah. Pemecahan masalah direncanakan akan dilaksanakan bersama-sama. Bahkan, kegiatan pun dinilai bersama untuk memperbaiki aktivitas selanjutnya. Pendekatan semacam ini memerlukan sistem monitoring dan pelaporan. Dengan demikian, dakwah tidak dilakukan secara top down, yang kadang-kadang sampai di bawah tidak menyelesaikan masalah, Perencanaan model top down seringkali mengabaikan pemetaan masalah, potensi, dan hambatan spesifik berdasarkan wilayah atau kelompok (Mahfudh, 1996: 98-101). Pendekatan partisipatif menghendaki sasaran dakwah (jamaah) dilibatkan dalam perencanaan dakwah, bahkan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Di sinilah akan tumbuh dinamisasi ide dan gagasan baru, di mana para Penyuluh Agama berperan sebagai pemandu dialog-dialog keberagamaan yang muncul dalam mencari alternatif pemecahan masalah (Mahfudh, 1996: 113). Metode aksi merupakan arena eksperimentasi untuk melakukan perubahan di masyarakat secara konkret. Dalam metode ini para Penyuluh Agama mendampingi dan mengorganisir jamaah untuk menyelesaikan problem-problem sosial, terutama mengorganisir kaum marjinal (Majalah Ummat, 12 Jan 1998). Aksi para Penyuluh Agama bersama-sama jamaah merupakan agenda penting. Sehingga para Penyuluh Agama tidak lagi bekerja pada wilayah tausiyah (verbal) kepada jamaah, melainkan memberikan suri teladan tentang bagaimana mengentaskan kemiskinan, mengangkat derajat kaum pinggiran, menyuarakan suara hati
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
5
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
nurani rakyat, mengadvokasi kepentingan jamaah.
jamaah,
dan
mengorganisir
Ini berarti kegiatan Penyuluhan Agama bukan sekadar memberikan “pengajian” di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan masyarakat luas, yang menyambutnya dengan tepukan tangan menggema di tengah-tengah lapangan. Melainkan lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi jamaah melakukan perubahan positif dan pengalaman dan wawasan agamanya. Pengembangan Penyuluhan Agama merupakan proses interaksi dan serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan. Kualitas ini meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengamalannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah perubahan sikap dan perilaku yang akan diorientasikan pada sumber-sumber nilai keislaman. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap Penyuluh Agama agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan. Karena itulah, efektivitas Penyuluhan Agama mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya, dan kedua, mendorong perubahan sosial (Mahfudh, 1996: 111-112). 2. Majlis Ta’lim dan Pemberdayaan Ekonomi Jamaah Setiap jamaah majlis ta’lim niscaya merupakan bagian inti dari keluarga muslim. Disiplin ilmu sosial memandang keluarga sebagai entitas dalam lingkungan sosial yang sangat fokal. Dalam disiplin ilmu ekonomi dikenal konsep domestic economy dan subsistence economiy yang pusat kajiannya ada pada keluarga. Demikian pula antropologi, dapat dikatakan telah cukup lama menjadikan keluarga sebagai basis penanganan masalah-masalah livehold strategies dan household mechanisms. Keluarga memiliki makna sentral dalam realitas sosial (Suharto, 2009: 170). Dalam perekonomian yang bersifat agraris, keluarga merupakan basis dari kegiatan ekonomi. Walaupun demikian, pada saat keluarga masih bersifat subsistem dalam berproduksi, sehingga ”marketable surplus” masih relatif sedikit, maka kelurga tidak cukup memberikan peranan dalam kegiatan perrekonomian
6
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
secara luas. Tetapi dengan kemajuan teknologi, maka jumlah barang yang diproduksi melebihi dari yang dubutuhkan, sehingga kelebihan ini harus disalurkan ke pasar atau keluarga-keluarga yang sudah mulai mempertimbangkan keadaan permintaan pasar dalam memproduksi barang/komoditinya. Keadaan ini menurut keluarga-keluarga itu untuk membentuk organisasi-organisa baru yang telah dikenal sebagai “firm” atau “enterprise”, yaitu bentuk usaha dengan bantuan buruh tetap atau tidak tetap. Setidak-tidaknya, mereka mulai mengerahkan tenaga kerja dalam keluarga sebagai substitusi tenaga buruh sebelum memikirkan pemakaian tenaga buruh dari luar keluarga. Di daerah perdesaan, usaha rumah tangga tampak menduduki posisi dominan, khususnya di sekitar pertanian, karena 34.1% tenaga kerja memimpin usaha pertanian rumah tangga. Ini ditunjang dengan data bahwa 25.9 % angkatan kerja berstatus sebagai pekerja keluarga. Situasi ini tentunya berbeda dengan di daerah perkotaan, karena di kota pimpinan usaha pertanian hanya meliputi 24.3 % sedangkan pekerja keluarga hanya 14.3 %. Perlu di ingat bahwa mereka yang bekerja di sektor pertanian di perdesaan dan perkotaan adalah 97 berbanding 3. Berarti secara absolut jumlah pimpinan usaha pertanian dan pekerja keluarga di perdesaan jauh lebih tinggi di bandingkan di kota (Guhardja dkk., 1993: 66). Keadaan status kerja yang memberi gambaran mengenai bentuk-bentuk usaha itu tidak hanya berbeda di desa dan di kota, tetapi berbeda juga menurut sektor-sektor ekonomi. Di sektor pengolahan dapat dibayangkan bahwa yang bekerja sebagai buruh lebih banyak, demikian juga yang menjadi pengusaha dengan buruh tetap. Sebaliknya, pekerja keluarga dan pengusaha rumah tangga lebih sedikit. Mereka yang bekerja sebagai buruh atau karyawan meliputi 37.1 % bahkan di kota meliputi 73.2 %, sedangkan pengusaha rumah tangga perdesaan meliputi 23.1 % dan di kota hanya 9.3 %. (Guhardja dkk., 1993: 66.) Hannato Sigit dan Abuzar (1983) dalam Guhardja, menyebutkan bahwa jika rumah tangga semakin besar, maka kesempatan bagi pencari pendapatan (income earner) akan memberikan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga (Guhardja dkk., 1993: 67-68.). Hasil penelitian banyak menunjukkan adanya koprelasi positif yang erat antara banyaknya Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
7
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
pencari pendapatan dengan tingkat pendapatan. Walaupun demikian, yang lebih berperan sebagai pencari pendapatan adalah salah seorang atau beberapa anggota. Pada umumnya kepala rumah tangga berperan kunci dalam menentukan besar kecilnya pendapatan yang dipengaruhi oleh: a. Tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga b. Latihan keterampilan yang pernah diikuti kepala keluarga c. Luas lahan yang dikuasai d. Fasilitas Kredit e. Sifat Pekerjaan Kepala Keluarga f. Lamanya Bekerja Perminggu 3. Kerangka Pemikiran Sejak awal Islam hadir di muka bumi ini memiliki visi transformatif. Dengan kata lain, bukan sekadar perubahan akidah dan Jahiliyah ke Islam, tetapi juga melakukan perubahan sosial dan masyarakat yang tidak adil, zalim, dan sewenang-wenang berubah menjadi masyarakat yang adil, damai, dan menghargai perbedaan kelas sosial. Karena itulah dakwah Islam yang dilakukan pertama kali memiliki visi yang jelas tentang landasan transformatif. Yakni, sikap teologis yang mengharuskan setiap kaum beragama untuk membawa dan membumikan ide-ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial yang adil. Islam transformatif menyangkut upaya penafsiran terhadap wahyu yang memihak orang-orang tersingkir, tertindas dan mobilitas sosial, atau bahkan tersubordinasi. Namun, ajaran Islam sekarang ini kehilangan makna substansialnya dalam menjawab problem-problem kemanusiaan. Keberagamaan masyarakat pada umurnnya belum bersifat transformatif; agama hanya dinilai sebagai suatu yang transendental atau di luar realitas sosial. Dan gambaran tersebut jangan heran bila acap kali kita temui sketsa atau potret agama yang kontradiktif, timpang, paradoks antara tingkat kesalehan individu dengan kesalehan sosial (Nugraha, 2012). Dakwah atau Penyuluhan Agama merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat
8
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
harus “diluruskan” agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi “penyakit” kolektif. Masyarakat harus dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain. Realitas sosial memang selalu membutuhkan tuntunan spiritual agar sejalan dengan petunjuk Tuhan (Suherlan-makalah). Kaum Muslim, sejak Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah Islam hingga zaman modern ini, telah dijadikan sebagai umat terbaik karena peran mereka dalam perubahan sosial (Q.S. Alu Imran: 110). Meminjam istilah M. Munir (2006: 253) rekayasa sosial (taghyir ijtima’i) adalah cara untuk mengubah tatanan kondisi masyarakat yang menyimpang, salah ke arah yang benar dan terarah. Selain itu ada ungkapan lain yang senada dengan rekayasa sosial yaitu : Ikhraj in al-zhhulumat ila al-nur (membebaskan manusia dari kegelapan menuju terang benderang); al-islah (reformasi); al-Dakwah ila Allah (menyeru ke jalan Allah); al-amru bi al ma’ruf wa al-nahyu an al-munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran); dan al-inzdar (peringatan) (Munir, 2006: 258). Dalam tinjauan sejarah bahwa rasulullah merupakan pelaku rekayasa sosial (agent social of change) dan agen pembangunan (agent of development). Asep S. Muhtadi menjelaskan bahwa dakwah Islam bila dilihat dari sisi prosesnya merupakan usaha transformasi sosial yang bergerak di antara keharusan ajaran dan kenyataan masyarakat yang menjadi objek utamanya, maka untuk mendukung hal tersebut dalam menyampaikan materi dakwah perlu memperhatikan aspek kultural. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kegiatan dakwah merupakan aktualisasi keimanan yang dimanifestasikan dalam suatu kegiatan manusia untuk melakukan rekayasa sosial melalui usaha mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan berprilaku sesuai dengan tuntutan sosial dan norma ajaran (Muhtadi, 2008: 119). Dalam visi transformatif, ada kepedulian terhadap nasib sesama yang akan melahirkan aksi solidaritas yang bertujuan mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh Tuhan jika ada kehendak dan upaya dan semua anggota kaum itu sendiri. Transformasi merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab, dalam proses
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
9
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi pada dasarnya juga adalah gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris (Abdurrahman, 1997: 4041). Visi transformatif ini bekerja berdasarkan dua prinsip (Suparta dan Hefni, 2003). Pertama, prinsip nahyu ‘anil munkar (mencegah kemungkaran). Prinsip ini menegaskan bahwa agama sangat membenci semua bentuk rekayasa sosial yang dapat mengikis dan menelanjangi harkat dan martabat manusia yang mengarah kepada terjadinya dehumanisasi. Jadi, prinsip ini sekaligus penegasan bahwa kefakiran beserta segala jenis fragmentasi sosialnya merupakan kekufuran yang harus diangkat derajatnya yang lebih tinggi.
Kedua, prinsip amar bil ma’ruf (memerintah pada
kebajikan). Prinsip ini berawal dan sebuah keyakinan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam lokus sosial yang sederajat dan terhormat. Meskipun demikian, bila ternyata manusia dilahirkan dalam kondisi kepayahan yang memprihatinkan, semua itu harus diubah. Nilai-nilai universal kemanusiaan (juga agama), semisal keadilan sosial, kemakmuran dan kebebasan, mesti diwujudkan secara nyata melalui redistribusi sosial sebagai bagian yang tak bisa dipisahkan dan komitmen suci keimanan dan tauhid. Artinya, terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial merupakan suatu kemutlakan, kemestian dan sebuah keberagamaan yang benar.
Dalam melakukan kegiatan rekayasa sosial perlu ada tindakan sosial. Kegiatan dakwah harus melakukan hal itu. Tindakan sosial merupakan perbuatan manusia yang dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, tindakan merupakan hasil proses belajar. Umumnya setiap manusia akan bertindak berdasarkan akal, ia akan menyeleksi berbagai alternatif untuk mencapai tujuan seoptimal mungkin. Tindakan mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan bermasyarakat, seseorang berhubungan dengan orang lain melalui tindakan (Setiawan, 2012). Selanjutnya dalam melakukan tindakan sosial tersebut akan terjadi interaksi sosial maksudnya adalah hubungan dinamis
10
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
antara orang dengan orang, kelompok dengan kelompok, maupun antara orang dengan kelompok, interaksi terjadi apabila individu bertindak sedemikian rupa sehingga menimbulkan reaksi dari individu lainnya. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Mengutip H. Bonner, interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya (Gerungan, 2004: 62). Dalam praktiknya interaksi sosial dibedakan menjadi imitasi, sugesti, indentifikasi, dan simpati. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak dan komunikasi. Kontak sosial merupakan aksi individu atau kelompok yang mempunyai maksud dari pelakunya dan ditangkap oeh individu atau kelompok lain. Kontak dapat dibedakan menjadi kontak langsung dan kontak tidak langsung. Kontak langsung dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok. Selain itu kontak dapat bersifat positif dan negatif. Agar Islam bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruktif, sebagaimana telah diulas di atas, maka perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalildalil normatif yang ada dalam Alquran dan Hadits harus diturunkan dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi historis, kekiniaan, dan membumi. Di sini, para ulama atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama. Ulama diharapkan berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya-upaya re-interpretasi agama, sehingga pesan-pesan yang dibawa agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi dan cinta kasih yang terkandung dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. C. Penyuluhan Agama Transformatif Model Pembinaan Ekonomi Jamaah Di Majlis Ta’lim Al Munawaroh Sindanglaya dan Mekarmanik merupakan desa transisional dalam tipologi sosiologi pembangunan. Penduduknya muslim
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
11
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
dengan kemampuan akses sumberdaya ekonomi yang terbatas dan pendidikan rendah. Kondisi ini pula mungkin yang menjadikan Mekarmanik pada medio 2000-an santer dikabarkan sebagai basis pemurtadan dengan iming-iming ekonomi. Hal ini diantaranya ditengarai dengan berdirinya Griya Krida di Sekesalam yang juga sering menjadi kegiatan rohani umat kristiani. Maka tidaklah berlebihan kiranya jika nama tesebut juga sering diubah menjadi Greja Kristus Sejati. Lain dari itu terbukti beberapa penduduk lokal ada yang beralih keyakinan dari Islam menjadi Kristen. Namun demikian sesungguhnya pergulatan perjuangan dakwah telah terus dilakukan oleh para Dai baik dari lingkungan sekitar maupun dari luar daerah. Diantara pelaku dakwah yang telah berupaya menjaga komitmen iman di tengah berbagai tantangan sosial ekonomi jamaah adalah Majlis Ta’lim al Munawaroh. MT al Munawaroh ini bukanlah didirikan oleh kaum santri, melainkan kesadaran spiritual yang menyentuh sebuah keluarga muslim sederhana yang ingin berbagi kesadaran dakwah dengan menyediakan bangunan untuk kegiatan keagamaan. Sebagai pengisi kegiatan dakwah sering juga mendatangkan ustadz dari luar kota bahkan dari Cililin Kab. Bandung Barat. MT al Munawaroh yang sejak berdirinya tahun 1982-an sampai sekarang tampak mulai bergeser pradigma dakwahnya dari kultural individual ke aktual sosial. Semula dakwah lebih banyak dalam kegiatan tausyah, ta’lim, dengan muatan materi keagamaan an-sich seputar fiqh ibadah mulai bertambah dengan muatan materi sosial keagamaan. Perubahan ini secara gradual mulai tahun 2009 setelah perjalanan panjang seakan tertidur dalam habituasi konvensional. Perubahan pradigma dakwah itu sendiri terbuka dan banyak dipengaruhi oleh dinamika sosial yang ada. Ketika jendela informasi semakin meluas dan cakrawala pengetahuan menjadi lebih terbentang menjadikan jalinan koordinasi semakin kaya. Diantara lembaga keagamaan yang memang peduli dengan kehidupan sosial ekonomi umat Islam adalah Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid Bandung. Kerjasama mulai dibangun antara DPU DT melalui program Misykat dengan MT Al Munawaroh dalam pembinaan Jamah yang lebih komprehensif, baik aspek spiritualitas, maupun sosial ekonomi jamaah. Program yang dipilih merupakan hasil pemetaan potensi sumberdaya jamaah. Tiopologi jamaah di Mekarmanik dan
12
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
Sindanglaya adalah petani lahan kering dan buruh. Dari pemetaan ini maka dipilih pemberdayaan sumberdaya ekonomi keluarga berbasis peternakan. Program ini dinamakan Desa Ternak Mandiri. Peternakan yang dikembangkan adalah peternakan Domba untuk pemotongan pada saat idul Qurban. Model pelaksanaannya adalah MT al Munawaroh dan DPU DT menyediakan bibit ternak yaitu menjelang enam bulan sebelum idul qurban. Bibit ternak ini didistribusikan kepada Jamaah yang menjadi anggota kelompok desa ternak mandiri. Setiap jamaah berbeda dalam perolehan bibit domba yang akan dipelihara. Perbedaan ini pada dasarnya lebih kepada dasar kemampuan jamaah itu sendiri. Jadi jamaah diberi kebebasan untuk memilih, sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya. Pembinaan dan pendampingan kader dakwah dalam koordinasi MT al Munawaroh dan DPU DT melalui pembinaan kerohanian, pendampingan pakan ternak dan pendampingan pemeliharaan kesehatan ternak. Jadi dalam hal ini tanggung jawab jamaah yang menjadi anggota program Desa Ternak Mandiri adalah menyediakan kandang dan rumput sebagai komoditas konsumsi utama ternak. Pembinaan kepada jamaah juga dilakukan dengan menyertakan mereka dalam program pengajian di DPU DT. Disamping itu jika mereka memiliki anak-anak kecil usia sekolah dengan prestasi yang memenuhi persayaratan diberikan bantuan pembiayaan pendidikan dari DPU DT. Demikian pula halnya jika ada anak-anaklaki laki yang masih belum disunat, mereka diikut sertakan dalam program sunat massal. Upaya-upaya pendampingan dan pembinaan ini merupakan bagian dari uapaya dakwah yang mengedepankan visi aktualisasi dakwah berbasis kebutuhan jamaah. Lain dari itu sebagi upaya memupuk kesadaran dan tanggungjawab mereka terhadap amanah yakni ternak yang mereka pelihara. Hal ini dilakukan karena tidak sedikit dalam dinamika masyarakat masih tersimpan anggapan bahwa barang atau apapun itu yang dititipkan kepada mereka apalagi dari pemerintah dianggap sebagai benda hibah. Yang tidak akan ditelusuri pertanggungjawabannya dikemudian hari. Adanya program ini disamping pembinaan keagamaan juga pembinaan mental dalam hal tanggungjawab bersama. Dengan
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
13
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
program inipun terbukti bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan ruang terbuka dalam konteks pembinaan. Mereka sebagai refresentasi masyarakat tradisional yang memiliki ketergantungan cukup kuat terhadap aktor perubahan, dalam hal ini kader dakwah atau penyuluh agama. Saling kepercayaan antara masyarakat sebagai Jamaah binaan dengan pihak majlis ta’lim selaku Pembina terus tumbuh terjalin. Kepercayaan menjadi modal penting dalam upaya maju bersama. Program ini sendiri bukan tidak ada tantangan atau kendala. Kendala yang sering muncul terutama berkenaan dengan kondisi jamaah itu sendiri. Beberapa peristiwa penting yang pernah terjadi antara lain matinya domba ternak. Penanganan terhadap kasus ini adalah dilakukan secara musyawarah dengan asas mencari penyebab kematian. Jika mati karena kesalahan peternak seperti keiru memberi pakan atau karena telat memberi pakan, maka peternak diminta mengembalikan harga pokok pembelian. Namun jika ternak mati karena penyakit peternak tidak memikul tanggungjawab apapun. Demikian pula jika terjadi pencurian. Jika pencurian dikarenakan keteledoran peternak maka peternak memikul tanggung jawab seperti kematian karena keteledoran. Dan jika pencurian terjadi diluar kemampuan peternak, maka peternak tidak memikul tanggungjawab apapun. Dengan adanya program Desa Ternak Mandiri ini, jamaah mendapat tambahan sumberdaya ekonomi keluarga. Mereka selama kurun pemeliharaan ternak tidak terganggu aktifitas ekonomi sehari-harinya. Karena pilihan pada ternak ini sendiri merupakan hasil kajian yang disesuaikan dengan kebiasaan Jamaah. Sebagai simulasi bagaimana mereka memperoleh tambahan nilai ekonomis dari setiap ternak yang mereka pelihara disajikan dalam tabel berikut: Tabel Simulasi keuntungan jamaah Selisih keuntungan No
Jamaah
Jumlah Domba
Harga pokok (000)
Harga jual (000)
Nilai keuntungan
60%
40 %
Jamaah (000)
MT dan DPU (000)
1
Abidin
5
3000
6000
3000
1800
1200
2
Kana
4
2400
4800
2400
1440
960
14
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
3
Yadi
3
1800
3600
1800
1080
920
4
Eman
2
1200
2400
1200
720
480
5
Sabah
6
3600
7200
3600
2160
1440
Dari tabel diatas diketahui bahwa keuntungan jamaah cukup besar. Ini adalah jika mereka tidak menjual melalui MT al Munawaroh atau DPU DT. Sementara itu mereka diberi keleluasaan untuk menjual ternak peliharaannya kepada pihak lain selama tidak dibawah standar harga di atas. Kenyataannya satu ekor domba bias mencapai 1,5 juta rupiah jika dijual perorangan. Dengan demikian keuntungan mereka bertambah dari selisih harga yang ditetapkan oleh MT al Munawaroh dan DPU DT sebagai pebina dan pendamping. Adanya peluang demikian serta kepercayaan yang terus dipelihara satu sama lain semakin meningkatkan potensi ketertarikan jamaah untuk mengikuti program ini dalam rangka pembinaan spiritualitas sekaligus sosial ekonomi mereka. Keuntungan demikian mereka lakukan untuk enam bulan bekerja sebagai peternak. D. Analisis Implementasi Penyuluhan Agama Transformatif dalam Pemberdayaan Ekonomi Jamaah Majlis Ta’lim Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, Islam telah mengubah kehidupan sosiobudaya dan tradisi keruhanian masyarakat Indonesia. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha. Islam masuk ke Indonesia melalui jalan dakwah yang panjang yang dilakukan oleh para Dai dan beberapa negara, seperti bangsa Arab dan Gujarat (Suryanagara,1995: 75-81). Dakwah Islam yang dilakukan para Dai di masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama kepercayaan, Hindu dan Budha. Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
15
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
Keberhasilan para Dai di abad ke-16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Para tokoh Agama ketika itu memainkan peran penting sebagai penyebar agama hingga pengayom masyarakat. Sehingga hubungan antara tokoh Agama dengan jamaahnya sangat dekat, tanpa sekat yang menjauhkan antara keduanya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal untuk menarik simpati dan masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halalharam, melainkan memberikan spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemudian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat (Suryanagara, 1995: 103 – 108). Dalam sejarah, memang dai/Penyuluh Agama pada awalnya menjadi cultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Horikoshi (1987) memberi penegasan bahwa peran kyai sekaligus sebagai Penyuluh Agama tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika jamaah yang diperlukan. Peran ganda Penyuluh Agama; sebagai ahli agama dan pendamping jamaah sesungguhnya merupakan wujud dan pemahaman Islam yang sempuma (Islam Kaffah). Sebab, selama ini para Penyuluh Agama lebih banyak memfokuskan peran penyebaran Islam ke masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Islam yang seringkali dipahami hanya sebagai persoalan ibadah saja, yang pemaknaannya masih terbatas pada
16
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
pola hubungan hamba dengan Tuhan (vertikal). Sehingga penyebaran dakwah yang terjadi di jamaah lebih banyak menyoroti persoalan ibadah kepada Allah SWT secara ekslusif, tanpa memaknainya secara luas. Padahal, Islam memiliki spirit pembebasan, yang meniscayakan pola hubungan yang tidak saja vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pola hubungan yang horisontal terhadap sesama manusia. Sehingga Islam sebagai agama memiliki tanggung jawab sosial agar jamaah memiliki perilaku sosial yang bertanggungjawab, transparan, dan berkeadilan. Islam sebagai agama yang membebaskan semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan, kewenang-wenangan, dan kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga Islam tidak kehilangan orientasi horisontalnya dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia. Belum lagi problem sosial tentang maraknya praktik korupsi yang terjadi di masyarakat dan sistem penyelenggaraan negara (birokrasi). Islam yang hanya memiliki orientasi vertikal merupakan karakter Islam yang ekslusif dan tidak memiliki semangat perubahan. Padahal, sejak dan awal, Islam didakwahkan memiliki orientasi kemanusiaan yang sangat kuat agar terjadi keseimbangan sosial dalam masyarakat. Menurut Sayyid Qutb (tt.: 128), umat Islam harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan, karena mereka adalah umat yang terbaik. Allah menghendaki supaya kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan. Karena itu, kepemimpinan tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliyah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar. Inilah kewajiban mereka sebagai konsekwensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Menempati posisi khairu ummah (sebaik-baik umat) bukanlah karena berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan, dan serampangan. Posisi ini adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaaran dan menegakkannya di atas yang makruf disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang makruf dan mana yang
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
17
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
munkar itu. Kegiatan itu harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan terhadap tata nilai dan untuk mengetahui dengan benar mengenai yang makruf dan yang munkar (Quthb, tt: 128).
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan proyek jangka panjang kaum Muslim, karena kehidupan dunia ini tak akan bebas dari kemunkaran serta manusia pun tak akan sempurna melakukan kebajikan. Selama dunia ini berputar, maka selama itu pula kemunkaran berlangsung dan manusia tak akan pernah sempurna berbuat kebaikan. Diutusnya para nabi dan rasul yang misi dakwahnya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran membuktikan bahwa kemunkaran akan terus menyelimuti perilaku masyarakat dan baiknya perilaku masyarakat senantiasa memerlukan peringatan dan pembinaan. Para Penyuluh Agama harus menyadari bahwa dakwah memerlukan kesabaran. Mereka tak perlu terlalu berambisi agar masyarakat semua Islam dan baik beragamanya. Mereka hanya bertugas untuk menyampaikan risalah Islam yang mereka yakini kebenarannya. Dakwah harus digunakan sebagai cara melakukan transformasi sosial (perubahan sosial). Oleh karena itu, para Penyuluh Agama harus memiliki komitmen dan semangat yang terus bergelora dalam menyuarakan kebenaran. Tanpa harus memaksa orang untuk ikut ajakannya, seorang Penyuluh Agama dituntut menjaga kesucian hatinya. Teologi yang dibangun dalam penyuluhan agama transformatif didasarkan pada jejak-jejak Rasulullah dalam melakukan aktivitas dakwah dan basis doktrinal yang terdapat dalam al-Quran. Penyuluhan agama transformatif memiliki argumentasi teologis yang kuat bahwa kerja dakwah mi bukan hanya pemikiran rasional semata, melainkan juga menjadi perhatian dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. Nabi Muhammad Saw di Mekah sudah sadar bahwa misi dakwah yang utama selain persoalan akidah juga bagaimana menjawab problem-problem sosial yang terkait dengan masalah kemiskinan, kefakiran, ketidakadilan ekonomi, rendahnya moralitas dan kernanusiaan, kezaliman, dan ketidakdilan yang dilakukan masyarakat Arab. Problem konkret di masyarakat Arab ketika itu menghendaki seorang juru dakwah yang tidak hanya melakukan perubahan kepercayaan dan keimanan, tetapi yang secara konkret mampu membangun kesadaran baru untuk
18
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
mengatasi problem ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik, yang dihadapi masyarakat Arab. Dakwah Nabi Muhammad bukan hanya penyebaran akidah Islam, tetapi juga untuk mengubah struktur masyarakat yang sudah bobrok. Nabi Muhammad berbeda dengan pendakwah lain, tidak berminat mengajarkan moralitas individu di dalam tatanan sosial yang bobrok. Persoalan yang dia hadapi bukanlah moralitas bawaan individu semata; bagi beliau persoalan moral juga merupakan persoalan sosial, dan dengan demikian moralitas barunya hanya bisa dibangun dengan jalan mengubah struktur sosial yang sudah usang (Engineer, 2000: 19). Karena itulah, pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad menghasilkan tiga jenis transformasi (Hilmy, 2008: 248-250). Pertama, transformasi sosiokultural. Sebelum Nabi Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenal amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan; kelas terhormat yang menindas (syarif/ the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (mustadh’afin/the oppressed). Islam turun membawa pesan egalitarianisme di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia herdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya (QS. 48:13). Konsep transformasi yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja hagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama.
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, al-Quran arnat
menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, al-Quran juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS 2:219). Bagi mereka yang tertindas, Allah tidak saja telah menganjurkan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, namun juga menjanjikan mereka kernenangan (QS. Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
19
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
28:5). Di negara kita, keadilan masih menjadi barang luxurious, terlebih bagi kalangan lemah- tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal mi arnat dirasakan manakala kita melihat kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik.
Ketiga, sikap terhadap agama lain, Keterbukaan, toleransi, dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam. Al-Quran telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan dalani beragama (QS 2:256), bagimu agamamu, hagiku agamaku (QS. 109:6), dan al-Quran telah mengajarkan penghorrnatan kepada semua Nabi yang diturunkan Allah ke dunia (QS. 4:150-151). Toleransi yang kuat dalam sejarah Islam di Madinah telah melahirkan sikap-sikap yang moderat dan pro perdamaian, sehingga terjadi masyarakat pluralistik yang damai. Model Pembinaan Ekonomi jamaah melalui program desa ternak mandiri di Mekarmanik tampaknya memenuhi lima indikator penyuluhan agama transformatif (Zada, 2006). Pertama, dan aspek materi penyuluhan agama; ada perubahan yang berarti; dan materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, Pembina Majlis Taklim Al Munawaroh selaku Penyuluh Agama sudah mulai memperkuat materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti, kemiskinan, dan kemerdekaan ekonomi melalui kemandirian. Dalam konteks ini Penyuluh Agama tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrawi. Materi-materi sosial yang relevan dengan zaman sekarang menjadi penting sekali karena banyaknya problemproblem sosial yang dihadapi masyarakat. Penyebaran Islam sosial ke masyarakat secara terus menerus melalui penyuluhan agama merupakan cara yang ampuh untuk mengubah pemahaman keagamaan masyarakat, bahwa beribadah bukan saja secara vertikal kepada Allah, tetapi juga secara horisontal terhadap sesama manusia. Sehingga akan terjadi suatu masyarakat yang saleh individual dan saleh sosial. Ibaratnya ibadahnya rajin, kepekaan sosialnya juga tinggi, sehingga ada keharmonisan dalam beragama secara sosial. Hal ini diwujudkan selain dengan pendampingan materil terhadap pengelolan ternak mandiri juga dilkukannya pembinaan mental spiritualitas mereka secara kontinyu. Dari aspek materi juga ada perubahan; dari materi penyuluhan agama yang ekslusif ke inklusif. Para Penyuluh Agama tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi non muslim. Mekarmanik telah menjadi bagian dari
20
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
basis upaya Kristenisasi sudah tampaknya sudah menjadi pengetahuan bersama para juru dakwah. Namun demikian, upaya transformatif yang dilakukan pembina MT Al Munawaroh lebih riil dari sekedar verbalized apologetik dengan hanya mencoba memojokkan agama lain sebagai agama yang di tolak Allah sementara kebutuhan kehiduan duniawi jamaah tidak terperhatikan. Karena itulah, penyuluhan agama diarahkan pada paradigma beragama yang toleran dan inklusif. Paradigma mi telah menjadi semangat teologi al-Quran bahwa Islam bukanlah agama yang memusuhi umat lain, hanya karena berbeda agamanya. “Kalimatun sawa” (titik temu) antar berbagai agama yang sudah digambarkan dalam al-Quran menjadi kata kunci dalam penyuluhan agama transformatif. Bahwa setiap agama diajak untuk mencari titik temu agar jalinan kerukunan dapat tercipta dan terbina dengan baik. Bahkan penghormatan kepada agama lain sudah menjadi praktik Rasulullah Saw ketika di Madinah yang ditunjukkan dengan hidup berdampingan bersama agama Yahudi, dan kaum Musyrik untuk membangun komunitas baru secara bersama-sama. Bahkan, dalam kisahnya, Rasulullah Saw pernah mempersilahkan kepada pendeta Nasrani yang hendak melaksanakan kebaktian. Rasulullah justru mengizinkan masjid Nabawi dijadikan sebagai tempat kebaktian kaum Nasrani. Teologi toleran yang diajarkan dalam al-Quran dan praktik Rasulullah ini dalam penyuluhan agama transformatif menjadi bagian penting tak terpisahkan sebagai bagian dari membangun semangat kompetitif.
Kedua, dan aspek metodologi terjadi perubahan; dan model monolog ke dialog. Penyuluh Agama merubah cara penyampaian penyuluhannyanya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan sudah melakukan dialog langsung dengan jamaah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh Penyuluh Agama dengan kemampuan yang dimilikinya. penyuluhan agama yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah. penyuluhan agama dengan model dialog inilah yang akan memancing keaktifan jamaah untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial dalam dimensi keagamaan. Jika yang dilakukan hanya melulu pengajian monolog, tanpa adanya umpan balik dan jamaah, maka yang terjadi adalah sekadar menghilangkan dahaga spiritual, bukan melakukan perubahan Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
21
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
pemahaman, sikap dan perilaku sosial. penyuluhan agama dengan model dialog dilakukan dalam rangka mencapai citacita penyuluhan agama transformatif.
Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Penyuluh Agama telah menggunakan institusi yakni Majlis Ta’lim sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Dalam kerja-kerja transformasi, agenda perubahan biasanya didukung oleh basis massa atau institusi yang pada gilirannya akan digunakan sebagai perangkat kerja perubahan. Maka, dalam penyuluhan agama transformatif, institusi merupakan indikator penting untuk memuluskan jalan perubahan. Kekuatan kerja penyuluhan agama transformatif, bukan saja secara individual pada diri sang Penyuluh Agama, tetapi juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga bargaining position (posisi tawar) terhadap negara, pelaku pasar, dan masyarakat bisa didapat relatif lebih mudah. Tanpa institusi yang menjadi pendukung, Penyuluh Agama transformatif akan kesulitan untuk melakukan aksi terhadap stakeholder-stakholder yang ada di sekitarnya. Pembinaan Ekonomi jamaah MT Al Munawaroh selain basis institusi internal juga tampak dengan adanya jalinan kerjasama yang solid dengan DPU DT sebagai pihak yang menyediakan donasi, bantuan perawatan ternak dan pemasaran ternak domba dari para jamaah. Kerjasama niscaya menjadi kekuatan penting yang seyogianya didukung oleh sikap-sikap transparan dan akuntabel. Sikap ini sesungguhnya merupakan warisan nabi dengan siddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Dengan mengembangkan sikap ini oleh paenyuluh agama dan para jamaah niscaya kerja dakwah atau penyuluhan agama transformatif akan menjadi modalitas besar bagi umat Islam dalam menuju transformasi sosial keagamaannya.
Keempat, ada wujud keberpihakan pada mustad’afin, Penyuluh Agama terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya terutama dengan nasib petani yang terkesan tidak tersentuh program pemerintah dan kondisi alam yang berat. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi Penyuluh Agama yang menggunakan pendekatan transformatif, Rasa empati sosial terutama ditujukan pada si korban, baik itu korban penindasan, korban permainan ekonomi, dan masih banyak lagi. Empati terhadap korban menjadi
22
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
modal dasar untuk melakukan langkah strategis guna membantu para korban penindasan, kemiskinan, dan permainan politik.
Kelima,
Penyuluh Agama melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak Penyuluh Agama yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dan penyuluhan agama transformatif adalah mencetak para Penyuluh Agama yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks inilah, penyebaran penyuluhan agama di masyarakat mesti dilandasi oleh visi yang benar tentang perdamaian, kesalehan sosial, dan Sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di sinilah, para aktivis dakwah (Penyuluh Agama) memiliki peran yang strategis dalam mengubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para Penyuluh Agama (ustadz, kyai). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. E. Penutup Aktualisasi Penyuluhan Agama transformatif dalam rangka penyuluhan pembangunan yang melahirkan kemandirian ekonomi jamaah dimulai dari kesadaran reflektif atas fenomena sosial keagamaan yang pada jamaah. Kesadaran reflektif ini diikuti olah aksi nyata yang mendasar pada permasalahan dan sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan dari dan oleh jamaah itu sendiri. Ada lima langkah aktual yang dilakukan dalam mewujudkan penyuluhan agama transformatif, yakni mengubah paradigma penyuluhan dari monolog ke dialog; memperkaya materi penyuluhan dari dimensi ukhrawi an-sich dengan kebutuhan riil jamaah; mengembangkan jaringan kerja antar institusi; penyuluh agama secara konsisten serius dengan keberfihakan kepada kaum mustad ‘afin dan mendampingi mereka dalam proses transformasi sosial keagamaan.[]
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
23
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahamn, Moeslim. 1997. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus. “Agama Harus Jadi Roh, Bukan Formalitas” dalam Majalah Ummat, 12 Jan 1998 Arifin, Isep Zaenal.2005. Bimbingan dan Konseling Islam dalam Ilmu Dakwah (Makalah Seminar di IAIN Padang, 2005) Engineer, Asghar Ali. 2000 Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: LKiS. Gerungan, W. Psikologi Sosial, 2004. Jakarta: Rineka Cipta. Given, Lisa M. 2008. The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods Volume 1&2. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore : SAGE Publications. Inc Guhardja, Suprihatin dkk., 1993. Pengembangan Sumberdaya Keluarga, Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hasymi, A.1994. Dustur Dakwah dalam Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang. Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M. Mahfudh, KH. M.A. Sahal. 1996. Nuansa Fiqih Sosial, Jakarta: LKiS. Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru, Bandung: Rosdakarya. Munir, M. dan Wahyu Ilaihi, 2006. Manajemen Dakwah. (Jakarta: Rahmat Semesta. Munzir, Suparta dan Hefni Harjani (ed), 2004. Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana. Nugraha, Firman. ‘Agama dan Perubahan Sosial’ dalam Jurnal Tatar Pasundan, Vol. VI, 16, Bandung: alai Diklat Keagamaan Bandung, Qutb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Quran. Jilid II. Jakarta: Gema Insani Press.
24
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
Firman Nugraha: Penyuluhan Agama Transformatif: Sebuah Model Dakwah
Setiawan, Asep Iwan. ‘Dakwah dan Perubahan Sosial’ dalam Jurnal Tatar Pasundan Vol. III, 3, Bandung: Balai Diklat Keagamaan Bandung. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alpabeta. Suharto, Edi, 2009. Membangun masyarakat Memberdayakan rakyat, Bandung : Refika Aditama. Suherlan, Ian. Dakwah dan Tanggungjawab sosial (Makalah) Suryanagara, Ahmad Mansyur, Bandung: Mizan.
1995.
Menemukan Sejarah.
Zada, Khamami. 2006. Dakwah Transformatif: mengantar da’i sebagai pendamping Masyarakat. Lakpesdam NU.
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 7 No. 21 | Edisi Januari – Juni 2013
25