Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar dalam Pendidikan Amril Mansur Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru
Abstract: In Islamic educational context, the concept of performing good and forbidding evil is an integrated concept and becomes our responsisbility to realize it. The role of world schooling is more demanded in developing the mores of performing good and forbidding evil since the world schooling is a kind of much more formal education in formulating an individual character which be able to translate the concept of performing good and forbidding evil. In that frame, school as an educational institution has to reconstruct the methodological application of students’s ethic which leads to the concept of performing good and forbidding evil by developing (1) a reflective-axiological ethical thinking in students learning process and (2) an effort which lead to creating socio-moral ethics, especially from social practitioner either in or out of school environment. Keywords: Aktualisasi, moral, pendidikan, nahi, munkar
I. Pendahuluan Tidak diragukan lagi bahwa terminologi apa pun yang ditawarkan oleh para ahli tentang pendidikan, pada prinsipnya bermuatan progresif dan transpormatif. Hal ini dikarenakan memang setiap usaha pendidikan dalam bentuk apa pun baik formal, informal dan nonformal diarahkan akan terjadinya perubahan dan penyemInnovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
1
Amril Mansur
purnaan pada yang lebih baik; moralitas, etik, ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan sebagainya. Tegasnya dikatakan bahwa perubahan kearah yang lebih baik dalam pendidikan merupakan esensi dan kata kunci dalam pendidikan itu sendiri, sebaliknya, tentunya manakala tidak ada perubahan atau perubahan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan paling tidak menurut tujuan-tujuan yang telah ditentukan, berarti terjadi kegagalan untuk tidak mengatakan tidak ada pendidikan. Di Indonesia misalnya perubahan-perubahan yang ingin diraih melalui pendidikan terakumulasi saat ini di antaranya dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Tujuan Pendidikan Nasional adalah terwujudnya manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, berbudipekerti luhur, berkepribadian yang mantap dan bertanggung jawab. Sedangkan dalam Islam di antaranya seperti yang diungkap oleh Hasan al-Bana bahwa pendidikan itu diarahkan untuk melahirkan individu-individu yang memiliki kekuatan fisik, ketangguhan akhlak dan budi pekerti memiliki wawasan yang luas, mampu mengaktualisasikan potensi dan kreatifitas dalam dunia kerja, ketulusan akidah, memiliki kepribadian dan kokoh dalam ibadah dan amal shaleh serta bermanfaat bagi semua orang.1 Dari paparan tujuan pendidikan di atas terlihat bahwa perubahan yang diinginkan dalam pendidikan tidak saja menciptakan perubahan pada pisikal, tetapi juga pada psikis, tidak saja berdimensi pragmatis, tetapi juga idealis, tidak saja bernuansa profan, tetapi juga sakral, tidak saja pada lapangan ilmu pengetahuan, tetapi juga moral, tidak saja untuk kepentingan individual, tetapi juga sosial. Amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar yang secara umum dipahami sebagai sebuah perintah pada manusia untuk mengajak orang lain agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran, menunjukkan dalam Islam bahwa kemajuan atau peningkatan, dan perubahan atau pembebasan, katakanlah dari baik menjadi lebih baik, atau dari Anonim, Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang RI. No 2 Tahun 1989, Sinar Garafika & Jakarta, 1990, h.92-94. 1
2
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
perilaku amoral ke perilaku moral merupakan sesuatu yang dituntut dalam kehidupan Muslim dalam aktivitas kehidupan mereka. Kecuali akan pentingnya kemajuan dan perubahan dalam Islam melalui amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar seperti disebutkan di atas, juga ungkapan ini dapat dipahami pula sebagai instrumen untuk menciptakan keadaan yang lebih baik atau terhindar dari keadaan yang tidak baik. Dalam konteks seperti inilah dipahami bahwa amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar dapat pula disebut sebagai prinsip aplikatif dalam Islam pada dua dimensi pemahaman di atas yang mesti dilakukan oleh setiap Muslim, terlebih-lebih bila dikaitkan bahwa Islam sebagai agama transpormatif dan rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh kehidupan manusia dan alam jagad raya ke arah yang lebih baik dan membebaskan. Sehubungan dengan perubahan sebagai esensi pendidikan pada satu sisi dan fungsionalitas amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar pada sisi lain, maka dalam konteks pendidikan tentunya ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, yakni satu kali merupakan perubahan yang diinginkan dalam pendidikan, dalam hal ini dapat dikatakan sebagai esensi pendidikan, pada kali yang lain merupakan sebagian dari alat untuk tercapainya perubahan yang diinginkan, sekarang disebut sebagai alat bagi pendidikan. Penempatan keterkaitan dua bentuk amar ma’ruf wa nahy ‘an almunkar seperti inilah tulisan ini difokuskan dengan tanpa memisahkan satu dengan yang lainnya. Sedangkan untuk kejelasan kajian dalam tulisan ini, akan teraksen-tuasi pada pendidikan formal. Hal ini dikarenakan lembaga pendidikan seperti ini selain telah terencana, terprogram dan tersistematisasikan, lebih dari itu lembaga pendidikan seperti ini merupakan ujung tombak dan barometer bagi keberhasilan atau tidaknya perubahan-perubahan yang diinginkan dalam pendidikan nasional. Sementara ungkapan moral-etis dalam tulisan ini dimaksudkan lebih ditujukan pada perilaku moral yang didasari pada pemikiran reflektif dialektif dalam pencarian moral; moral deleberation dan Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
3
Amril Mansur
pembenaran moral; moral justification menuju ke keputusan moral, sehingga perilaku moral yang dihasilkan akan bersifat terbuka, luwes dan inklusif karena didasarkan oleh karakteristik berfikir reflektifdialektif yang terbuka dan sangat menerima penyempurnaan. Berbeda dengan pemikiran imperatif kategorik yang menuntut apa adanya dan tertutup akan ruang gerak pilihan-pilihan, tentunya akan menghasilkan perilaku moral dogmatis, rigid dan eksklusif.2
II. Amar Ma’ruf Wa Nahy’ An al-Munkar: Prinsip AplikatifRekonstruktif Moralitas-Etis Sosial-Individual Ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar di dalam al-Qur’an ditemukan diantaranya pada surah Ali Imran Ayat 104, 110 dan 114, al-A’raf ayat 157, al-Taubah ayat 71 dan 112, al-Hajj ayat 41 dan Luqman ayat 17. Bila dicermati ternyata ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini didahului dengan aktivitas-aktivitas seperti beriman dalam surat Ali Imran ayat 114 dan al-Taubah ayat 71. Kemudian shalat dan taat kepada Allah SWT pada surah al-Hajj ayat 41 dan Luqman ayat 17. Selanjutnya kata khair (baik) pada surah Ali Imran ayat 104 dan 110. Kata taat pada surah al-Taubah ayat 112. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sarat dengan muatan teologis keberagamaan dan moralitas-etis. Karakteristik ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar seperti dituturkan di atas akan sangat jelas sekali manakala ditelaah lebih jauh akan makna dari dua potong kalimat yang ada dalam ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini. Umpamanya kata ma’ruf memiliki makna yang berkonotasi ihsan3 dan fadhilah 4 yang menurut Dalam perspektif etika Islam diantaranya perilaku moral dibagi dalam dua ategoris, yakni perilaku moral dogmati dan perilaku moral etis Uraian lebih lanjut tentang epistemik pembagian ini baca lebih lanjut lanjut Amril M, Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib alISFAHANI, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2002, h. 109-110. 3 Raghib al-Isfahani. Mu’jam al-Mufradad Alfaz al-Qur’an, Ed. Nadim Man’asyliy, dan akl-Khatib al-‘Araby, ttp,tt.h.243. Selanjutnya ditulis Raghib al-Isfahani, Mu’jam. 2
4
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
perspektif etika Islam merupakan suatu moral-etis sosial-individual yang sangat diinginkan berkembang dalam kehidupan muslim. Secara etimologis al-Qur’anik, kata ma’ruf adalah istilah yang diberikan pada setiap perbuatan yang berdasarkan rasio dan syari’ah. Kata ‘arafa sebagai akar kata ma’ruf mengandung pengertian tentang pengetahuan yang lebih ditujukan akan pencarian pemahaman secara komprehensif melalui penelaahan konsekuensi dan implikasi dari suatu objek pengetahuan yang dikaji. Kata ini dilawankan dengan kata munkar.5 Karakteristik pengetahuan pada ma’ruf seperti ini pada prinsipnya secara saintifik-filosofis termasuk dalam model berfikir reflektif-dialektif. Artinya bentuk berfikir yang mengutamakan pemikiran yang memandang ke depan setelah menganalisis dari berbagai sudut dengan mempertimbangkan plus minus dari suatu objek yang dipikirkan yang di antaranya dengan melihat konsekuensi dan implikasi menuju suatu keputusan yang terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia. Sama halnya juga dengan kata munkar sebagai lawan dari kata ma’ruf tentunya memiliki bentuk berfikir yang sama pula. Kata munkar secara umum ditujukan pada perilakuperilaku yang keji yang bertentangan dengan syari’at dan rasio, bermaknakan pada bentuk sikap dan prilaku yang menolak akan kebenaran kendatipun secara rasio diakui kebenarannya atau telah diterima sebagai sebuah kebenaran.6 Dalam kehidupan sehari-hari perilaku munkar ini di antaranya selain tampil dalam bentuk kategori yang keji, juga perilaku cuek atau masa bodoh akan kesalahan dan kekeliruan. Mengetahui sesuatu dengan melakukan penelaahan-penelaahan sebagai makna dari kata ‘arafa sesungguhnya ditemukan pula pada kata ‘alama sebagai akar kata ‘ilm yang berarti juga mengetahui Raghib al-Isfahani, al-Zari’a ila Mukarim al-Syari’a. Ed. ‘Abd Yazid al-‘Ajami, dar al-Wafa’, Kairo, 1987. h. 131 selanjutnya ditulis Raghib alIsfahani, al-Zari’a. 5 Raghib al-Isfahani, Mu’jam…, h. 343. 6 Ibid. h. 345. 4
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
5
Amril Mansur
dengan melakukan penelaahan-penelaahan. Untuk ‘alama mengetahui terhadap sesuatu itu lebih ditujukan pada pencarian hakekat dari suatu objek baik pada aspek substansinya maupun pada aspek ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum yang diberlakukan untuk objek yang diteliti, dan atau pula baik yang bersifat teoritis maupun yang praktis yang di dapat me-lalui akal maupun syari’ah (agama).7 Dari perbedaan makna dua kata seperti dipaparkan di atas, terlihat bahwa pengetahuan yang ingin diraih oleh ma’ruf lebih terarah kepada pemahaman akan konsekuensi dan implikasi yang ditimbulkan dari suatu objek yang diketahui, sedangkan pada ‘ilm pengetahuan yang ingin diraih lebih pada pencarian substansi dari objek atau hukum-hukumnya baik dalam bentuk pengetahuan teoretis maupun praktis. Sedemikian rupa dapat pula dikatakan bahwa pengetahuan pada ma’aruf lebih menunjuk pada pengetahun nilai aksiologis-etis bagi kehidupan umat manusia, sedangkan pada ‘ilm lebih menunjukkan pada pengetahuan ontologis-metafisis, namun demikian bukan berarti dalam Islam khususnya, ilmu terlepas dari keberpihakan etis. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muatan moraletis sangat sarat dan kental dalam ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, bukan saja karena ungkapan ini secara etimologis dan kontekstual memang bernuansakan makna moral, melainkan juga secara epistimologis menunjukkan akan muatan moral-etis seperti telah diungkap di muka. Kecuali itu, dari perspektif kehidupan sosial, kandungan makna di dalam ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini berkonotasikan pula untuk senantiasa memunculkan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat melalui perintahnya kepada manusia Muslim untuk senantiasa berbuat ma’ruf atau yang terbaik dan mencegah dari melakukan perbuatan yang munkar. Kemudian diiringi pula dengan menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif yang secara Perbedaan pencarian pengetahuan dari dua kata ini secara simplisit dapat dibaca lebih lanjut umpamanya Raghib al-Isfahani, Mu’jam…op.cit, h. 343 dan 345. Raghib al-Isfahani, al-Zari’a, h. 345-346. 7
6
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
niscaya dapat mendorong ke arah munculnya perilaku moral-etis dan beradab serta merintangi ke arah munculnya perilaku yang tidak bermoral dan merugikan individu dan masyarakat. Dalam konteks seperti ini dapat pula dikatakan bahwa sasaran amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, bermisikan reformatif dan transformatif seperti yang diinginkan dalam paradigma teori ilmu-ilmu sosial kontemporer saat ini.8 Dua bentuk misi amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar seperti ini, memang cukup beralasan, mengingat keinginan menjalankan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar di masyarakat, terlebih dahulu pelakunya berperilaku sesuai dengan misi dan sasaran yang diinginkan oleh amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini.9 Begitu pula perhatian terhadap kondisi, dalam hal ini dapat dikatakan struktur dan sistem masyarakat, juga menjadi konsens pada ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini, kendatipun untuk yang terakhir ini, setuju atau tidak, kurang mendapat sentuhan dan perhatian dalam praktek kehidupan Muslim. Nuansa lain yang dapat ditangkap dari makna ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini adalah menuntut dua aksi namun merupakan satu kesatuan, yakni aksi emansipasi untuk amar ma’ruf dan aksi liberasi untuk nahy ‘an al-munkar. Dikatakan aksi emansipasi mengingat makna kata ma’ruf berorientasi pada perubahan ke arah peningkatan yang kecuali berakar dari model pemikiran reflektifdialektif seperti yang telah dijelaskan di muka, juga makna emansipasi berkonotasi pada peningkatan misalkan dari kurang baik menjadi baik, bahkan menjadi lebih baik. Hal yang sama juga untuk nahy ‘an al-munkar, selain secara metodologis menggunakan berfikir reflektif, juga makna liberasi ini berkonotasi pada pembebasan dari Paradigma reformatif dalam ilmu-ilmu sosial menekankan perubahan yang terjadi pada person-person dan masyarakat, sedangkan transformatif menekankan perubahan itu terjadi pada struktur dan sistem. Baca lebih lanjut Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka pelajar dan Insist, Yogyakarta, 2001, h.23-30. 9 Islam sangat konsens dan mengecam orang yang hanya pandai berucap, tetapi enggan berbuat diantaranya ditemukan pada surah. 8
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
7
Amril Mansur
hal-hal yang tidak/kurang baik/nyaman ke arah kebaikan dan kenyamanan.10 Bila makna aksi emansipasi dan liberasi dalam ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini dihubungkan dengan aktivitas pendidikan, tentu tertampilkan dalam upaya perilaku nyata mendidik maupun tertampilkan dalam bentuk penciptaan kondisikondisi yang kondusif tercapainya perubahan-perubahan yang diinginkan yang telah terangkum dalam tujuan pendidikan nasional misalnya. Tegasnya, bahwa apa pun bentuk ativitas pendidikan maupun dalam bentuk sistem yang diberlakukan benar-benar dapat mencapai tujuan pendidikan. Sebaliknya tentunya, sangat tidak diinginkan bila terjadi pragmentasi dan pengotakan-pengotakan yang tidak seiring sejalan dalam segala aktivitas pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar yang berdimensikan aksi emansipasi dan liberasi seperti yang dipaparkan di atas menjadikan ungkapan ini merupakan gerakan sosial dam masal, bukan individual. Implikasi dari gerakan semacam ini di sekolah, sebagai sebuah lembaga, tentunya semua yang terkait, langsung maupun tidak dalam aktivitas pendidikan benar-benar memberikan kontribusi maksimal pada pencapaian perubahan-perubahan yang diinginkan sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan. Sebaliknya tanpa adanya kesadaran dan tindakan kebersamaan dan masal dalam setiap denyut nafas kehidupan sekolah, maka sulit untuk meraih tujuan pendidikan, terlebih lagi bila tampilnya perilaku-perilaku atau kondisi-kondisi yang bertentangan dengan yang diharapkan.
III.Fungsionalitas Pendidikan Menuju Perubahan Perilaku Moral-Etis: Sebuah Rekonstruksi Sosial Seperti telah diungkap di muka bahwa perubahan merupakan esensi pendidikan, sehingga proses pendidikan pun diidentikkan dengan 10
8
Lihat lebih lanjut diantaranya Kamus Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
proses perubahan itu sendiri, sehingga dapat diartikan pula bahwa keberhasilan pendidikan sangat ditentukan dari sejauh mana perubahan dalam proses pendidikan itu telah dapat dicapai. Pertanyaan yang mendasar di sini adalah dalam bentuk apa perubahan-perubahan yang dikatakan esensi pendidikan itu dan bagaimana pula kaitankaitannya dengan masyarakat dimana pendidikan berlangsung. Diakui memang cukup beragam bentuk perubahan yang diinginkan dalam pendidikan, namun yang pasti perubahanperubahan yang diinginkan dalam pendidikan itu sangat terkait dengan sikap, pandangan hidup dan cita-cita dari suatu kelompok, masyarakat dan bangsa di mana pendidikan itu berjalan. Bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah hidupnya yang ditandai pula dengan karakteristik masyarakatnya yang agamis, negara sedang berkembang, bermoral dan berbudaya, masyarakatnya yang sangat plural, tentunya perubahan-perubahan yang ingin diraih dalam pendidikan terarah pada penyempurnaan dan perbaikan jati diri bangsa Indonesia dan pemenuhan cita-cita riil nasional bangsa Indonesia tersebut dalam konteks kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang di tengah-tengah kehidupan global. Tujuan Pendidikan Nasional seperti telah disinggung di atas pada prinsipnya merupakan akumulasi dari keinginan bangsa Indonesia akan perubahan yang akan didapat melalui pendidikan. Keinginan perubahan-perubahan tersebut menyebar dari keagamaan, moralitas-etis, pengetahuan dan keterampilan sampai pada kepribadian yang baik sebagai bentuk perubahan-perubahan yang semestinya ditumbuhkembangkan melalui pendidikan, utamanya disekolah. Hal ini berarti bahwa aktivitas pembelajaran sebagai bagian penting dalam pendidikan mestilah mampu merubah sikap dan prilaku anak didik melalui materi-materi pelajaran yang didapatnya di sekolah. Dalam bahasa teknis pendidikan dikatakan bahwa pembelajaran tidak saja dalam bentuk transfer ilmu, tetapi juga dalam bentuk transformasi nilai dari ilmu yang didapat anak didik yang teraktualisasi dalam kehidupan sosial mereka secara nyata. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
9
Amril Mansur
Upaya untuk menumbuhkembangkan semua bentuk perubahan yang diinginkan dalam pendidikan, diakui memang telah dilakukan melalui penjabaran dan pensistematisasian tujuan pendidikan ke dalam tujuan-tujuan institusional, instruksional umum dan khusus dari berbagai bidang studi pelajaran. Sesuai dengan jenjang dan tingkat pendidikan. Ini setidaknya terlihat dari sebaran muatan kurikulum dengan sebaran materinya masing-masing. Hanya saja bila diamati lebih lanjut hasil yang diraih melalui bentuk usaha yang telah dilakukan, kelihatannya aktivitas pembelajaran cenderung berlangsung pada peralihan perubahan pada aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik), sementara pada aspek moral-etis transformatif untuk tidak mengatakan belum tercapai cenderung terabaikan. Padahal untuk yang terakhir ini dinilai sebagai sasaran utama dalam pendidikan kita. Diakui bahwa transformasi nilai moral-etis dalam pendidikan merupakan problema besar dalam pendidikan kita saat ini, bahkan beberapa bidang studi yang dinilai sebagai materi yang secara langsung bersentuhan dengan perubahan moral-etis masih perlu dipertanyakan peran dan efektivitasnya dalam pembelajaran di sekolah, tentunya dengan tanpa bermaksud menafikan akan peranan materi lainnya. Sedemikian rupa berbagai pertanyaan pesimistis dengan mudahnya mencuat dari berbagai kalangan masyarakat, seperti sudah tidak mampu lagikah pendidikan membangun perubahan moral-etis sebagaimana yang diharapkan dalam Tujuan Pendidikan Nasional, atau andaikan materi yang secara nyata diarahkan untuk menciptakan perubahan perilaku moral-etis pada anak didik kewalahan untuk mewujudkannya, maka bagaimana pula dengan materi-materi lain yang secara langsung tidak bersentuhan dengan transfer moral-etis? Berbagai usaha memang telah dilakukan untuk menjawab problema pendidikan seperti yang ditampilkan oleh pertanyaanpertanyaan semisal di atas. Menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran sekolah umpamanya, dapat dinilai, merupakan salah satu bentuk upaya nyata untuk menjawab persoalan 10
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
di atas, seiring dengan kuatnya desakan peningkatan kuantitas dan kualitas dalam pembelajaran bidang studi yang secara langsung bersetuhan dalam pembentukan perilaku moral-etis anak didik. Terlepas dari silang pendapat atau pro dan kontra masuknya kembali pendidikan budi pekerti dengan segala problematika yang mengiringinya, sesungguhnya ada sesuatu hal yang terlupakan, yakni aspek metodologis yang mengarah secara langsung pada perwujudan perilaku moral-etis anak didik di sekolah, terutama jika dilihat pendapat umum yang telah kita terima bahwa pembentukan moral-etis di sekolah bukanlah tanggung jawab orang perorang, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif bagi semua personal di sekolah, siapa saja, dalam keadaan dan waktu kapan saja dan tempat dimana saja.11 Menyadari akan pentingnya usaha masal dan kolektif dari berbagai aspek kehidupan sekolah, tentunya peranan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar dalam konteks makna seperti telah diuraikan di atas sangat perlu dihidup suburkan dalam setiap denyut nafas kehidupan sekolah, baik dilihat sebagai instrumen pendidikan maupun tujuan pendidikan. Sebagai instrumen pendidikan, karena amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar yang memiliki karakteristik aksi emansipasi dan liberasi sebagai gerakan masal dan sosial. Sebagai instansi pendidikan dikarenakan anak dilatih berfikir reflektifdialektif atau perilaku moral-etis yang dihadapinya, sehingga anak akan menjadi cerdas, kritis dan memiliki kemauan menerapkn nilainilai moral-etis melalui ilmu yang didapatnya. Kecuali itu, upaya merealisasikan peranan maksimal penddikan sekolah terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara akademis dijawab oleh pemikiran rekonstruksionisme. Pada intinya dalam konteks pendidikan pemikiran ini menekankan adanya perbaikan sosial masyarakat melalui lembaga pendidikan. Artinya lembaga pendidikan, eksplisit sekolah diposisikan sebagai wadah untuk memecahkan problema-problema masyarakat dengan mengutaJack R. Frankel, How to Teach Values, an Analytic Approach, Englewood Cliff, New Jersey, 1977, h. 3. 11
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
11
Amril Mansur
makan kebersamaan, kooperatif-kolektif ketimbang perorangan, sehingga pendidikan sekolah menjadi bagian terpenting dalam masyarakat, tidak terisolasi apalagi tidak bersentuhan sama sekali dengan permasalahan masyarakat.12 Diakui bahwa kemunculan pemikiran rekostruksionisme dalam pendidikan sesungguhnya tidak lepas dari keinginan yang amat kuat untuk memberikan solusi bagi kondisi sosial masyarakat yang telah berjalan menyimpang dari yang diinginkan. Penyimpangan ini terjadi akibat kuatnya hegemonisasi industri dan teknologi serta gaya hidup pragmatis dalam budaya kehidupan masyarakat Amerika khususnya dan Barat umumnya. Sedemikian rupa masyarakat dalam segala aktivitasnya, termasuk pendidikan sekolah, terkungkung oleh struktur dan sistem yang dikendalikan oleh kemajuan-kemajuan dan logika saintifik, atau rasionalisasi bertujuan meminjam istilah Habermas, yang dianggap sebagai alat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada sebaliknya hegemonisasi seperti ini justru mensubordinasikan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini dijadikan sebagai alat untuk kepentingan industrialisasi dan teknologi, sehingga nilai-nilai kemanusiaan, agama, moral dan etika tereduksi dan termanipulasi ke dalam kepentingan pragmatis, teknologi dan industri. Kalaupun terdapat hubungan manusia antara sesama, maka hubungan itu lebih bergerak dalam pola-pola manipulasi dan impersonal. Gambaran kehidupan masyarakat seperti diungkap di atas secara jelas ataupun samar, telah kelihatan dan secara perlahan-lahan telah berkembang dalam kehidupan sebahagian masyarakat Indonesia dan tidak tertutup kemungkinan akan meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, yang pada gilirannya tentu juga akan memberi kontribusi akan kegagalan pencapaian tujuan pendidikan kita. Imbas kehidupan seperti apa yang diutarakan di atas dalam dunia pendidikan sekolah umpamanya paling tidak terlihat dari Imam barnadib, Ke Arah Perspektif baru Pendidikan, DepdikbudDikti RI, PPLPTK, Jakarta, 1988, h. 44-45. 12
12
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
kinerja pembelajaran yang lebih pada penekanan transfer ilmu pengetahuan dari pada transformasi nilai ilmu pengetahuan, padahal yang terakhir ini sangat diperlukan manakala kita masih ingin mempertahankan perubahan-perubahan perilaku moral-etis, agamis dan kepribadian manusia Indonesia tercapai melalui seluruh aktivitas pendidikan. Kecuali itu memang pendidikan masih dipercaya sebagai lembaga rekonstruksi masyarakat seperti yang tertampilkan pada hampir seluruh masyarakat Indonesia melalui upaya-upaya memperdekat hubungan sekolah dan masyarakat. Tanpa bermaksud mengecilkan bentuk-bentuk usaha nyata sekolah dan guru yang telah dilakukan dan akan terus dikembangkan dalam rangka menciptakan perilaku moral-etis bagi anak didik khususnya dan lingkungan sekolah umumnya, terasa masih kurang mendapat sentuhan dan perhatian. Indikasi ini setidaknya terlihat dari masih kuatnya dominasi model pembelajaran transfer ilmu pengetahuan ketimbang transformasi nilai-nilai ilmu pengetahuan, terlebih-lebih bukan bermaksud menuduh dan mengadili pada materi-materi yang dipersepsikan tidak memiliki kaitan langsung pada perilaku moral-etis di sekolah. Sikap pengkotak-kotakan fragmentaris dan atomistis seperti ini seyogyanya tidak perlu tampil ke depan dalam kehidupan sekolah, karena bukankah semua person di sekolah memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencapai perbaikan dan peningkatan perilku moral-etis pada anak didik yang telah diungkap sebelumnya. Tujuan Pendidikan Nasional yang sangat kental dengan nuansa pembentukan perilaku moral-etis dan kepribadian utuh dengan kombinasi kecerdasan, keterampilan serta tanggung jawab yang tinggi, sejatinya sangat menuntut usaha bersama dari setiap personal kependidikan dalam setiap denyut aktivitas pendidikan di sekolah. John Childs sebagaimana dikutip oleh Jack F. Freinkel13 menuturkan secara eksplisit bahwa organisasi dari suatu sistem sekolah pada dasarnya merupakan upaya moral. Oleh karena itu segala bentuk aktivitas sekolah tidak boleh terlepas dari moral. Pendidikan moral 13
Jack R. Frankel, op.cit, h.2-3
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
13
Amril Mansur
ini mesti berlangsung dalam setiap waktu di sekolah, tidak saja hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam kehi-dupan interaksi keseharian guru, siswa dan staf. Dengan demikian penanaman dan pengembangan perilaku moral-etis di sekolah tidak saja tanggung jawab person tertentu atau materi pelajaran tertentu, situasi dan kondisi tertentu dan lain sebagainya, tetapi merupakan gerakan massal tanpa mengenal batas ruang dan waktu tertentu. Dalam kondisi seperti inilah seyogyanya pendidikan sekolah dihidup suburkan, sehingga ungkapan bahwa pembentukan perilaku moral anak didik di sekolah berlangsung bagaikan “pisau bermata dua” dapat dieleminir, atau paling tidak sikap guru-guru dari bidang pelajaran tertentu yang berlindung dibalik ungkapan ini atas ketidakberhasilan mereka membangun perilaku moral-etis anak didik mereka, tidak lagi mencuat ke permukaan. Perlunya upaya masal di sekolah untuk membentuk dan membina perilaku moral-etis anak didik seperti diungkap di atas, pada prinsipnya merupakan penciptaan kondisi yang kondusif baik internal maupun eksternal bagi keberlangsungan pendidikan moral di sekolah. Dari perspektif etika Islam upaya seperti ini memang telah menjadi semacam persyaratan dalam penumbuhkembangan perilaku moral anak. Al-Farabi (w.950 M) seorang filsuf besar Islam klasik menuturkan bahwa keberhasilan pendidikan akhlak pada setiap orang tidak saja terkait dengan potensi bawaan, tetapi juga dengan kondisi yang mengitari keberlangsungan perilaku akhlak itu.14 Jadi dapat disimpulkan bahwa aktivitas masal dan kolektif serta penciptaan kondisi-kondisi yang kondusif bagi penumbuhkembangan perilaku moral-etis sebagaimana perubahan yang diinginkan dalam tujuan pendidikan nasional melalui aktivitas pendidikan merupakan unsur-unsur yang perlu mendapat perhatian dan sentuhan secara maksimal dalam aktivitas pendidikan sekolah.
Al-Farabi, “Fusul al-Muntazaa fi’ilm Akhlaq” dalam Majid Fakhry, al-Fikr al-Akhlaqy al-‘Araby Juz II, al-Ahliyah, Beirut, 1980, h. 69 14
14
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
IV.Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar: Sebuah Rekonstruksi Aplikatif dalam Pembelajaran di Sekolah Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sangat bermuatan moral-etis yang tidak saja dapat dinilai sebagai alat pembentukan dan pembinaan perilaku moral-etis, sekaligus juga merupakan substansi perilaku moral-etis itu sendiri, sedemikian rupa menjadikan ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an almunkar ini sangat layak mendapat perhatian dalam pendidikan sekolah saat ini, guna menumbuhkembangkan perubahan-perubahan perilaku moral-etis sebagaimana yang telah dipatok dalam tujuan pendidikan nasional. Kelayakan-kelayakan demikian bagi amar ma’ruf wa nahy ‘an almunkar untuk direkomendasikan sebagai instrumen sekaligus substansi pendidikan dalam hal ini sebagai tujuan pendidikan saat ini dinilai cukup memiliki alasan yang kuat. Untuk kepentingan ini paling tidak dapat dilihat dari karakteristik fundamental dari ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini, yakni pembentukan berfikir reflektif-dilektif, aksiologis-etis dan sebagai gerakan masal dan kolektif. Melalui pembentukan berfikir reflektif-dialektif aksiologis-etis, anak didik secara cerdas untuk mengapresiasi suatu perbuatan atau sikap terhadap objek yang ditelaah dengan mengkaji konsekuensi dan implikasinya serta diiringi pula dengan upaya terus menerus memilih dan memilah mana yang terbaik dari berbagai pilihan hasil penelaahan yang telah dilakukan dalam spektrum moral-etis dengan merujuk pada ajaran agama dan ilmu pengetahun yang telah dan sedang dipelajarinya. Artinya keputusan moral-etis yang diambil oleh anak didik adalah hasil pemikiran kritis dari upaya maksimal dari dirinya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan pesan-pesan moral ajaran agama maupun norma-norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakatnya. Dalam konteks seperti ini lah transformasi nilai dari ilmu pengetahuan yang didapat oleh anak didik berlangsung dalam dirinya. Sisi lain kelayakan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sebagai Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
15
Amril Mansur
aksi kolektif dan massal dikarenakan substansi misi dan tujuannya dengan meminjam teori ilmu-ilmu sosial ke arah perbaikan bersifat reformatif sekaligus transformatif. Dimaksudkan dengan reformatif mengingat gerakan perubahan dan perbaikan yang terkandung dalam ungkapan ini adalah pergerakannya dilakukan secara dialektif dan penuh kearifan yang dimulai dari individu menuju pada masyarakat atau kondisi-kondisi yang mengitarinya.15 Ke arah perbaikan dan perubahan untuk bentuk ini dapat kita sebut bergerak dari internal ke eksternal yang tampil dalam bentuk koreksi diri menuju koreksi sosial masyarakat yang selalu terus dilakukannya sebagai buah dari penerapan berfikir reflektif-dialektif aksiologis-etis seperti telah dipaparkan di atas. Dengan demikian perilaku moral-etis dalam bentuk terbuka pada peningkatan dan penyempurnaan selain dimiliki anak didik, juga semua yang telah dimilikinya akan diupayakan pula pada masyarakat dan kondisi sosial yang mengitarinya, sehingga perilaku moral-etis yang dimiliki anak didik tidak terhenti pada dirinya yang hanya menciptakan keshalehan individual, tetapi juga pada penciptaan keshalehan sosial, bahkan masyarakat ditempatkan sebagai batu uji bagi keshalehan individual dalam etika Islam.16 Dimaksudkan dengan rekonstruktif mengingat ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini berkarakter masal dan kolektif yang tidak saja kepada perilaku faktul tetapi juga diiringi dengan penataan kondisi-kondisi, seperti struktur dan sistem yang kondusif yang secara niscaya dapat menumbuhkembangkan perilaku moraletis anak didik di sekolah melalui setiap ilmu dan aktivitas pendidikan yang dialaminya. Dalam praktik kependidikan di sekolah saat ini amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar kurang mendapat perhatian yang semetinya, untuk tidak mengatakan terabaikan. Andai pun ditemukan, tampilannya belum menyentuh apa yang disebut dengan metodis, sistematis dan Mansour Fakih, op. cit, h. 23-24 Untuk menelaah lebih lanjuttentang keterkaitan keshalehan individual dan keshalehan individual dan keshalehan sosial dapat dilihat lebih lanjut diantaranya Amril M, Etika…op.cit, h. 289-290. 15
16
16
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
kolektif pelaksanaannya terkesan tampil lebih dalam bentuk pragmentaris, sporadis dan individualistis. Sehubungan dengan upaya menampilkan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar dalam pendidikan sekolah yang meliputi dua karakteristik fundamental di dalam ungkapan ini, yakni sebagai substansi moral-etis yang sekaligus menjadi tujuan dalam pendidikan dan sebagai instrumen pendidikan dalam rangka menumbuhkembangkan perilaku moral-etis sebagaimana yang telah ditentukan dalam tujuan pendidikan nasional kita. Untuk itu rekonstruksi kinerja pendidikan di sekolah sudah semestinya dibenahi sesuai dengan misi dan tujuan ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini. Upaya ke arah perbaikan seperti yang diinginkan itu paling tidak dapat dilakukan dalam bentuk, antara lain: 1. Menumbuhkembangkan model berfikir reflektif-dialektif aksiologis-etis dalam setiap materi pelajaran dan problema sosial Diakui bahwa kegiatan pendidikan di sekolah selalu didasari pada kurikulum. Biasanya, seluruh aktivitas pembelajaran di kelas maupun di luar kelas diusahakan sesuai menurut kurikulum yang telah ditetapkan, bahkan manakala ditemukan hal-hal baru, boleh jadi, merupakan problema sosial, namun belum dimuat di dalam kurikulum, nyaris akan ditinggalkan dan dianggap tidak perlu untuk dihadapkan kepada anak didik dalam pembelajaran. Model praktek pembelajaran sekolah seperti ini lah yang banyak dinilai oleh para ahli menjadikan sekolah mengisolasi diri dari masyarakatnya dan keberlangsungan pembelajaran lebih pada mengutamakan pentransferan ilmu pengetahuan ketimbang pentransformasian nilai ilmu pengetahun yang didapat anak didik di sekolah.17 Dalam berfikir reflektif-dialektif aksiologisetis, sebagai karakteristik utama amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, praktek pembelajaran seperti diungkap di atas sangat tidak diharapkan, karena melalui berfikir seperti ini anak didik tidak saja 17
Lihat lebih lanjut Imam Barnadib, op. cit, h. 52-53
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
17
Amril Mansur
dimatangkan berfikir kritis aksiologis etis tentang problema moralitas-etis yang tengah dihadapi masyarakat, tetapi juga menerapkan berfikir seperti ini terhadap ilmu-ilmu pengetahuan yang didapat anak melalui mata pelajaran yang dipelajarinya di sekolah. Khusus untuk yang terakhir ini dikatakan bahwa tidak dibenarkan sama sekali adanya keterpisahan antara ilmu pengetahuan an sich dengan nilai aksiologis-etis yang pada prinsipnya terjalin kuat dengan ilmu pengetahun tersebut. Tegasnya dapat dikatakan dalam aktivitas pembelajaran dikelas dalam penyampaian materi pelajaran apa pun, tidak boleh terlepas dari keberpihakan aksiologis-etis, sehingga anak didik nantinya tidak hanya kaya akan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilainilai aksiologis-etis dari berbagai ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Hal yang sama juga diberlakukan pada bidang studi agama dan bidang studi yang dianggap secara langsung bersentuhan dengan persoalan penumbuhkembangan moral-etis bagi anak didik. Dalam perspektif etika Islam keberpihakan aksiologis-etis ini tidak saja didasari pada pencarian objektiflogis humanis, tetapi juga pada ajaran agama bahkan ajaran agama merupakan dasar berfikir dalam pencarian moral-etis.18 Secara metodis, apliksi berfikir reflektif-dialektif aksiologis-etis dalam pembelajaran di sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan apa yang disebut dengan values classification,19 yakni suatu pendekatan yang lebih menelaah pada proses-proses dinamika nilai dan moral di dalam kehidupan masyarakat dengan memperhatikan manfaat dan mudharatnya pada keberlangsungan seluruh kehidupan umat manusia dan
Kuatnya posisi ajaran agama, khususnya ketetapan-ketetapan agama dalam pencarian perilaku moral-etis dinyatakan secara tegas oleh hampir seluruh filsuf Islam yang membangun perilaku moral-etis dalam bentuk paduan rasionalis-eksoteris dan sufis-esoterria. Baca lebih lanjut Amril M, Etika…,op.cit, h.101-142. 19 Jack R. Fraenkel, op.cit, h.2-3. 18
18
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
dirinya. Dalam skop yang lebih kecil paling tidak keberlangsungan kehidupan di sekolah dan diri anak didik itu sendiri sebagai siswa. Dalam pelaksanaannya pendekatan ini dilakukan melalui tiga proses kegiatan yaitu choosing, prizing dan acting. Dimaksudkan dengan choosing adalah proses pilihan bebas dari berbagai alternatif nilai-nilai dan moral dari hasil berfikir kritis. Prizing adalah suatu proses penetapan moral yang menguntungkan (sa’dah) berdasarkan pilihan-pilihan yang berakhir dengan penerimaan akan suatu nilai moral. Acting merupakan proses kesediaan secara sadar melakukan perilaku moral-etis dengan segera tanpa merasa terpaksa, tetapi merupakan suatu kebutuhan.20 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dari perspektif amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar perilaku moral-etis tumbuhkembang dalam kehidupan anak didik di sekolah sangat memungkinkan untuk dicapai manakala dalam segala aktivitas pembelajaran pada setiap bidang studi atau mata pelajaran memberlakukan berfikir relektif-dialektif aksiologis-etis. Karena dengan berfikir seperti ini lah anak didik terus diajak menggali nilai-nilai moral-etis yang memang terkandung dalam mempelajari berbagi ilmu pengetahuan melalui bidang studi atau mata pelajaran yang diberikan di sekolah, sehingga ilmu pengetahuan yang beragama didapat oleh anak melalui sekolah, tidak terlepas dari nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Melalui bentuk pembelajaran seperti inilah setidaknya persoalan laten yang selama ini merisaukan masyarakat akan kekurangberdayaan sekolah sebagai lembaga penumbuhkembangan perilaku moral-etis anak didik dapat dieliminir, atau sebaliknya melalui berfikir seperti ini pula sekolah akan dapat menepis kerisauan masyarakat tersebut, kendatipun mesti diakui bahwa sekolah bukan satu-satunya lembaga untuk itu, sekalipun juga tidak dapat dipungkiri, bahwa sekolah
20
Ibid, h. 32-33.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
19
Amril Mansur
2.
20
merupakan suatu lembaga yang paling terencana dan siap untuk penumbuhkembangan moral-etis pada anak didik mereka. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengaplikasian amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar dalam pendidikan, khususnya dalam pembelajaran di sekolah membawa implikasi pada penerapan metodologis pembelajaran; dari pentransferan ilmu pengetahuan an sich bergerak pada pentransformasian nilai-nilai aksiologis-etis dari ilmu pengetahuan yang didapat oleh anak didik di sekolah yang sangat didambakan oleh kehidupan masyarakat. Dalam konteks seperti ini dikatakan bahwa berfikir reflektif-dialektif aksiologis-etis sebagai buah dari amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar akan mendekatkan dan mempercepat tercapainya cita-cita pendidikan nasional kita. Menumbuhkembangkan Tanggungjawab Sosial Moral-Etis di Sekolah Seperti telah diungkap dimuka bahwa ungkapan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar menghendaki keterlibatan pengupayaan individual dan massal, sekaligus juga berarti menuntut tanggung jawab individu dan sosial, maka tentunya dalam konteks ini sekolah sebagai lembaga masyarakat memiliki tanggung jawab atas perubahan ke arah perbaikan kualitas kehidupan masyarakat dan sosial, termasuk perilaku moral-etis masyarakat dan anak didik mereka yang juga merupakan bahagian dari masyarakat. Sehubungan dengan peranan sekolah sebagai lembaga sosial seperti diungkap di atas, menjadikan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sangat memberikan kontribusi yang besar bagi penumbuhkembangan perilaku moral-etis bagi anak didiknya khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada dasarnya kemunculan kewajiban moral dan rasa tanggungjawab moral tidak saja dari individu saja, namun juga dari masyarakat. Kemunculan tanggung jawab moral dari individu ini tidak terlepas dari kemampuan berfikir seseorang terhadap persoalan-persoalan moral yang dihadapinya dan yang Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
diingininya. Menumbuhkembangkan berfikir reflektif-dialekitf, aksiologi-etis pada dasarnya merupakan upaya menumbuhkan tanggung jawab moral dari individu. Hal ini dikarenakan melalui kecakapan berfikir seperti ini seseorang akan memiliki pengertian-pengertian dan alternatif-alternatif menuju suatu keputusan moral untuk dirinya dan masyarakatnya, kemudian memastikan dirinya berprilaku sesuai dengan pilihannya, sekaligus bertanggungjawab atas pilihan moralnya tersebut.21 Sedangkan peranan masyarakat akan tanggungjawab moral juga tidak kalah strategisnya dibanding individu seperti diajukan di atas. Alasan yang mendasar untuk hal seperti ini adalah bahwa bukanlah masyarakat yang mengatur kehidupan individu, terlepas dari polarisasi yang ditemukan dalam teori ini, namun dalam konteks sekolah, sekolah tentunya tidak dapat melepaskan diri dari dua sudut pandang yang telah ditampil di atas. Sebagai lembaga sosial menjadikan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang juga memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkembangkan tanggung jawab dan kewajiban moral pada anak didik dan seluruh perangkat di sekolah. Untuk hal ini paling tidak sekolah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Orientasi Motivasional Dimaksudkan dengan orientasi motivasional di sini adalah segala sesuatu yang dapat menstimuli perilaku moral-etis menuju pada peningktan dan kepuasan bagi pelakunya dan memiliki keinginan yang kuat untuk menghidari sekecil-kecilnya akibat yang ditimbulkan oleh suatu perilaku amoral. Dalam upaya perwujudannya dimensi-dimensi seperti kognitif, afektif, dan evaluatif terus dilibatkan. Pentingnya dilibatkan ketiga dimensi ini disebabkan proses tumbuhnya suatu perilaku secara psikologis sangat tergantung pada dua dimensi yang pertama,22 sedangkan evaluatif sebagai Muhmidayeli, Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J Rousseau: Suatu Telaah Perbandingan Filsafat Moral, Susqa Press, Pekanbaru, 2001, h. 131. 21
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
21
Amril Mansur
2.
dimensi ketiga disebabkan bukankah bentuk pemikiran reflektif-dialektif aksiologis-etis sangat membutuhkan kecerdasan evaluasi terhadap perilaku moral-etis baik yang telah dimilikinya maupun yang akan dimilikinya dalam perilaku moral etis ke depan. Pentingnya ketiga dimensi ini dalam penumbuhkembangan motivasional perilaku moral-etis dapat dijelaskan paling tidak sebagai berikut. Dimensi kognitif ini pada dasarnya menunjukkan pada pengetahuan pelaku tentang perilaku moral-etis secara objektif dan rasional, sedangkan dimensi afektif menunjukkan akan tanggapan emosional pelaku terhadap perilaku moral-etis yang dihadapainya, artinya penekanan pada pemunculan sikap suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap problema moral yang dihadapinya. Terakhir dimensi evaluatif menunjukkan akan adanya penumbuhkembangan sikap dialektif dialogis dari suatu problema moral yang dihadapinya ke arah yang lebih baik. Menumbuhkembangkan Kesadaran Praktisi-Sosial Dimaksudkan dengan kesadaran praktisi sosial secara sederhana dapat dikatakan bahwa adanya kesesuaian antara ucapan dan tindakan yang dianggap sebagai basis bagi keberadaan perilaku dan masyarakat. Kesadaran praktisi seperti ini menghendaki adanya kemampuan untuk mengetahui pada pelaku akan norma-norma dan konsekuensinya yang hidup dalam masyarakat, sedemikian rupa menjadikan pelaku kesadaran praktisi-sosial ini tidak saja hanya mampu mengetahui apa yang mesti ia kerjakan, meskipun paling tidak dalam pengetahuan yang tak terucapkan, juga dituntut mampu mengetahui bagaimana bertindak dalam konteks kehidupan sosial misalnya mengetahui tentang bagaimana mematuhi peraturan, kendatipun fungsionalitas peraturan untuk hal seperti ini tidak lebih sebagai media pembangkit praktisi-sosial.23 Ini menunjukkan bahwa 22 23
22
Raghib al-Isfahani, al-Zari’a…op.cit, h Lihat lebih lanjut Daniel Ross “Anthony Giddens” dalam Peter Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
pelaku ‘amal ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar tidak tampil dalam bentuk perilaku moral-etis mekanis-rutinis, tetapi merupakan perilaku yang tampil sebagai hasil pemikiran reflektif-dialektif aksiologis-etis dan metodis. Penumbuhkembangan kesadaran praktisi sosial ini seyogianya tidak lagi ditujukan hanya pada orang perorang tertentu, tempat dan waktu tertentu, tetapi juga ditunjuk pada seluruh personal sekolah dalam setiap kesempatan aktivitas sekolah. Sedemikian rupa nantinya perilaku moral-etis dalam konteks amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar ini akan menjadi suatu kebutuhan kolektif, sebagai bentuk perwujudan kesadaran praktisi sosial dalam diri individu yang tidak akan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu.24 Melalui kesadaran praktik-sosial inilah baik person maupun kelompok akan membentuk suatu masyarakat yang sadar akan fungsionalitas amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sebagai suatu kebutuhan dan aktivitas kolektif yang dinilai memiliki daya instrumental yang dapat menumbuhkembangkan perilaku moral-etis di dalam seluruh aktivitas kehidupan sekolah, sehingga anggapan yang mencuat selama ini bahwa persoalan moral-etis hanya tugas orang dan tempat tertentu dan tidak semua orang dan tempat aktivitas sekolah dapat dihilangkan. Pembentukan perilaku moraletis memang bukan kewajiban segelintir orang, tetapi merupakan kewajiban bersama. Model kehidupan sekolah seperti inilah yang dapat menciptakan perilaku moral dalam kehidupan sekolah yang pada gilirannya juga akan sangat memudahkan tumbuhkembangnya perilaku moral-etis pada anak didik, setidaknya Beiharz (ed), Social Theory A Guide to Central Thinkers, Allen and Unwin Pty, Ltd. 1991, h. 193 24 Bandingkan dengan kesadaran kolektif menurut Emile Durheim yang menurutnya bahwa kesadaran ini lah yang membentuk komunitas yang tidak jarang kesadaran individu akan dapat ditelan dalam kehidupan masyarakat. Lihat lebih lanjut misalnya Djuretna Imam Muhni, M.A, moral dan religi, Kanisius, Yogyakarta, 1994. h. 36. Lihat juga Beryl langer “Emile Durkheim” alam Peter Beiharz (ed) Social, h. 107-102 Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
23
Amril Mansur
sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional kita seperti yang telah ditampilkan dimuka.
V. Kesimpulan Aktualisasi moral-etis tidak hanya ditujukan pada kemauan individu untuk melakukannya, tetapi juga menyangkut sistem dan kondisi yang memungkinkan tampilnya moral-etis dalam kehidupan seseorang. Sedemikian rupa akan pentingnya dua dimensi ini menjadikan amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar merupakan sesuatu yang sangat diperlukan mengingat hal tersebut memiliki dua dimensi, baik melalui motivasional maupun kesadaran praktisi sosial. Dalam konteks pendidikan pengaplikasiannya dapat dilakukan melalui semacam gerakan kolektif bagi setiap personal pendidikan di mana tanggung jawab moral yang dianggap sebagai kewajiban personal untuk kalangan tertentu semisal ahli agama. Dalam konteks amar ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar persepsi seperti ini sudah mesti ditinggalkan.
24
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Aktualisasi Moral-Etis Amar Ma’ruf Wa Nahy ‘An al-Munkar
BIBLIOGRAFI Al-Farabi, “Fusul al-Muntazaa fi’ilm Akhlaq” dalam Majid Fakhry, al-Fikr al-Akhlaqy al-‘Araby Juz II, al-Ahliyah, Beirut, 1980. al-Isfahani, Raghib, al-Zari’a ila Mukarim al-Syari’a. Ed. ‘Abd Yazid al-‘Ajami, dar al-Wafa’, Kairo, 1987. al-Isfahani, Raghib. Mu’jam al-Mufradad Alfaz al-Qur’an, Ed. Nadim Man’asyliy, dan akl-Khatib al-‘Araby, ttp,tt. Amril M, Etika Islam, Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib alISFAHANI, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2002, Anonim, Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang RI. No 2 Tahun 1989, Sinar Garafika: Jakarta, 1990, Barnadib, Imam, Ke Arah Perspektif baru Pendidikan, Depdikbud-Dikti RI, PPLPTK, Jakarta, 1988, Beiharz, Peter. (ed), Social Theory A Guide to Central Thinkers, Allen and Unwin Pty, Ltd. 1991. Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka pelajar dan Insist, Yogyakarta, 2001 Frankel, Jack R. How to Teach Values, an Analytic Approach, Englewood Cliff, New Jersey, 1977, Muhmidayeli, Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J Rousseau: Suatu Telaah Perbandingan Filsafat Moral, Susqa Press, Pekanbaru, 2001. Muhni,Djuretna Imam. M.A, moral dan religi, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
25