DIALYSIS THERAPY IN METHANOL INTOXICATION I Wayan Sudhana Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK Intoksikasi methanol masih sering terjadi dimasyarakat. Hampir semua kejadian intoksikasi methanol akibat tertelan, baik tidak disengaja, percobaan bunuh diri, atau dicampur dengan ethanol karena harganya yang lebih murah1,2. Methanol (methyl alchohol) tidak berwarna dan cenderung tidak berbau, merupakan senyawa alkohol yang digunakan dalam kegiatan industri dan kebutuhan rumah tangga1,2. Toksisitas methanol relatif rendah. Efek toksik muncul akibat hasil metabolisme methanol di hati yaitu asam format yang bersifat toksik. Methanol diubah menjadi formaldehyde di hati oleh enzim alcohol dehydrogenase. Formaldehyde segera dioksidasi oleh enzim formaldehyde dehydrogenase menjadi formic acid6. Diagnosis intoksikasi methanol ditentukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Onset dan beratnya intoksikasi metanol tergantung pada akumulasi kadar asam format yang terbentuk. Gejala dapat meliputi gangguan pada sistem saraf pusat, penglihatan, dan saluran cerna. Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik (asam format) dengan pemberian fomepizole atau ethanol, dan meningkatkan eliminasi asam format melalui hemodialisis (HD) dan pemberian asam folat2. Methanol merupakan zat dengan berat molekul rendah, tidak berikatan dengan protein, dengan volume distribusi yang rendah sehingga ideal diekskresi melalui HD. Tindakan HD pada intoksikasi methanol bertujuan untuk mengeliminasi methanol dan asam format serta mengkoreksi asidosis metabolik. The American Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan bahwa HD dipertimbangkan pada kondisi asidosis metabolik (pH < 7,25-7,3), gangguan penglihatan, penurunan tanda vital, gagal ginjal, atau gangguan elektrolit yang tidak memberi respon dengan terapi konvensional1. Kata kunci : methanol, asam format, hemodialisis
1
2
PENDAHULUAN Methanol (methyl alchohol) merupakan senyawa alkohol yang digunakan dalam kegiatan industri dan juga terdapat pada cairan pembersih kaca mobil, antifreeze dan bahan bakar model pesawat terbang. Methanol memiliki rumus kimia CH3OH, tidak berwarna, dan cenderung tidak berbau1,2. Intoksikasi methanol di Amerika serikat relatif jarang terjadi, sekitar 10002000 kasus dilaporkan setiap tahunnya3. Hampir semua kejadian intoksikasi methanol akibat tertelan, baik secara tidak disengaja, percobaan bunuh diri, atau akibat digunakan sebagai pengganti atau dicampur dengan ethanol karena harganya yang lebih murah1,2. Di indonesia, belum didapatkan angka kejadian pasti intoksikasi methanol, namun sebagian besar kasus intoksikasi methanol disebabkan penyalahgunaan methanol seperti minum minuman beralkohol yang dicampur methanol pada arak oplosan. Intoksikasi methanol dapat menyebabkan mual muntah dan depresi saraf pusat ringan yang dilanjutkan dengan periode laten sekitar 12-24 jam kemudian dan dilanjutkan dengan kondisi asidosis metabolik, gangguan penglihatan berupa mata kabur sampai kebutaan dan kematian1. Angka mortalitas rata-rata pada beberapa studi dengan 400 pasien bervariasi antara 8-36% namun meningkat sampai 50-80% ketika kadar bikarbonat serum < 10 mEq/L dan atau pH darah < 7,1 saat terapi dimulai4,5.
INTOKSIKASI METHANOL Methanol (methyl alchohol, CH3OH) juga dikenal sebagai alkohol kayu digunakan secara luas sebagai pelarut dalam industri dan campuran untuk bahan bakar gasoline. Toksisitas methanol tetap merupakan masalah yang umum terjadi khususnya pada kelas sosio ekonomi yang rendah. Hampir semua kejadian intoksikasi methanol akibat tertelan, baik secara tidak disengaja, percobaan bunuh diri, atau akibat digunakan sebagai pengganti ethanol karena harganya yang lebih murah1,2. Kadar methanol yang dapat menimbulkan toksisitas berkisar dari 15-500 ml 40% larutan sampai 60-600 methanol murni. Risiko intoksikasi methanol dapat
3
meningkat pada kondisi tetrahydrofolate di hati rendah yang mempengaruhi kecepatan metabolisme asam format1. Methanol relatif memiliki toksisitas yang rendah. Efek toksik muncul akibat hasil metabolisme methanol di hati yaitu asam format yang bersifat toksik. Methanol
diubah
dehydrogenase.
menjadi
formaldehyde
Formaldehyde
dioksidasi
di
hati oleh
oleh enzim
enzim
alcohol
formaldehyde
dehydrogenase menjadi formic acid / asam format. Metabolisme asam format tergantung pada kadar tetrahydrofolate yang akan membentuk 10-formyl tetrahydrofolate yang dapat mengubah asam format menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Waktu paruh asam format sekitar 20 jam pada manusia6.
Gambar 1. Metabolisme methanol. ADH : alchohol dehydrogenase; FDH : formaldehyde dehydrogenase; F-THF-S: 10-formyl tetrahydrofolate synthetase.1
Formaldehyde bersifat toksik namun akibat proses metabolismenya yang cepat menjadi asam format sekitar 1-2 menit, kadarnya hampir tidak pernah terdeteksi pada tubuh setelah keracunan methano1. Asam format dimetabolisme lebih lambat sehingga terjadi akumulasi asam format dalam tubuh pada keracunan methanol. Asidosis metabolik terjadi akibat efek asam format terakumulasi yang menghambat
akivitas
cytochrome
oxidase
pada
mitokondria
sehingga
mengganggu proses metabolisme oksidasi intrasel dan memicu metabolisme anaerobik. Pada tahap lebih lanjut, pembentukan asam laktat yang berlebih juga dapat menyebabkan kondisi asidosis laktat dan memperburuk asidosis1,7. Toksisitas pada mata terjadi akibat efek toksik asam format secara langsung. Asam format mengikat cytochrome oxidase sehingga menghambat fungsi mitokondria pada retina dan saraf optik serta menyebabkan deplesi ATP retina dan saraf optik. Kerusakan yang terjadi pada mata berupa edema diskus
4
optikus, kerusakan selubung mielin dan lesi nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan1,2.
DIAGNOSIS INTOKSIKASI METHANOL Diagnosis intoksikasi methanol didapatkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Onset dan beratnya intoksikasi metanol tergantung pada akumulasi kadar asam format yang terbentuk. Gejala dapat meliputi gangguan pada sistem saraf pusat, penglihatan, dan saluran cerna. Gejala diawali dengan depresi ringan sistem saraf pusat diikuti periode laten 12-24 jam1,2. Konsumsi ethanol secara bersamaan dapat memperpanjang periode laten sampai lebih dari 24 jam. Suatu studi pada 323 pasien yang minum whisky yang mengandung methanol didapatkan periode laten berkisar dari 40 menit sampai 72 jam dengan rata-rata 24 jam dimana periode laten bukan merupakan faktor prognostik derajat berat ringannya intoksikasi methanol8. Periode laten kemudian dilanjutkan dengan munculnya asidosis metabolik yang tidak terkompensasi dan gangguan penglihatan. Gejala lainnya yang dihubungkan dengan gangguan penglihatan meliputi sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut dan sesak nafas1,2,9. Gangguan penglihatan bervariasi dari pandangan kabur, berkurangnya lapang pandang sampai kebutaan. Tanda klinis didapatkan berkurangnya refleks pupil dan pada pemeriksaan funduskopi didapatkan hiperemis dan edema diskus optikus,
peripapilary retinal edema. Adanya dilatasi pupil yang tidak
memberikan respon menunjukkan adanya cedera otak mayor atau disfungsi dari jalur visual utama dengan resiko tinggi hilangnya penglihatan secara permanen. Bradikardia, syok, koma berkepanjangan, kejang, asidosis yang persisten dan anuria merupakan faktor prognostik yang serius. Kematian pada intoksikasi methanol biasanya akibat dari gagal nafas dan henti nafas mendadak1,2,4. Nyeri kepala, vertigo, lemas, dan bingung umum terjadi pada intoksikasi metanol ringan sampai sedang. Adanya kejang dan koma menunjukkan adanya edema otak. Nekrosis putamen otak merupakan komplikasi yang jarang terjadi dengan gejala ekstrapiramidal seperti Parkinson yaitu kaku, tremor ringan, wajah kaku. Nekrosis putamen terjadi akibat berkurangnya aliran darah serebral dengan atau akumulasi dari asam format pada putamen1,2.
5
Acute kidney injury (AKI) dapat terjadi pada intoksikasi methanol. Studi oleh Verhelst et al pada seri kasus dari 25 pasien intoksikasi methanol didapatkan prevalensi AKI sebesar 60%. Mekanisme terjadinya AKI belum begitu jelas, dan diduga multifaktorial baik secara langsung maupun tidak langsung. efek langsung terjadinya AKI masih berupa dugaan dimana diduga terjadi cedera pada sel tubulus yang kemungkinan akibat efek osmotik dari tingginya konsentrasi methanol di darah dan/atau efek sitotoksik akibat akumulasi asam format pada sel tubulus proksimal. Efek tidak langsung terjadi akibat hemolisis dan mioglobinuria juga seringkali ditemukan10. Adanya asidosis metabolik berat dengan peningkatan anion gap dan osmolar gap mendukung kuat adanya intoksikasi methanol atau etylene glycol. Namun beberapa kondisi lain juga dapat memberikan gambaran abnormalitas laboratorium yang hampir sama seperti ketoasidosis diabetik, alcoholic ketoacidosis, gagal organ multipel, gagal ginjal kronis. Kadar methanol dalam darah > 20mg/dL sudah dianggap toksik dan kadar > 40mg/dL dianggap sangat berbahaya1,2. Pemeriksaan radiologis yang bermanfaat pada kasus intoksikasi methanol meliputi CT scan kepala dan MRI scan kepala. Gambaran yang paling sering adalah nekrosis bilateral pada putamen yang ditandai dengan hipodensitas pada putamen atau lebih jarang nucleus caudatus. Gambaran radiologis lainnya adalah edema cerebri dan lesi pada subcortical white matter khususnya lobus frontal, oksipital dan parietal. Nekrosis pons bilateral, nekrosis cerebelum bilateral, dan perdarahan subarachnoid merupakan temuan radiologis yang lebih jarang. dimana perdarahan serebral merupakan komplikasi yang jarang1.
TERAPI INTOKSIKASI METHANOL Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik yaitu asam format dan meningkatkan eliminasi asam format melalui HD atau pemberian folinic acid/folic acid. Manajemen awal pasien dengan kecurigaan intoksikasi methanol berupa evaluasi untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Kumbah lambung, perangsangan refleks muntah atau
6
arang aktif hanya bermanfaat jika diberikan dalam 30-60 menit setelah paparan karena absorpsi methanol di saluran intestinal yang cepat2. Jika pasien datang dengan gejala gangguan penglihatan dan kondisi asidosis berat dengan dugaan kecurigaan intoksikasi methanol, prioritas awal adalah mengkoreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, pemberian folinic acid untuk meningkatkan metabolisme asam format menjadi CO2 dan H2O, bila ada dapat diberikan fomepizole atau ethanol untuk menghambat metabolisme methanol menjadi asam format dan dilakukan HD untuk koreksi abnormalitas metabolik, mengekskresi methanol dan asam format dalam darah. Seringkali pasien dengan intoksikasi methanol juga mengkonsumsi ethanol sehingga perlu diberikan thiamin 100 mg intravena1. The American Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan pemberian ethanol atau fomepizole untuk terapi intoksikasi metanol berdasarkan kriteria berikut : konsentrasi plasma methanol >20mg/dL atau riwayat konsumsi methanol dengan osmolal gap serum > 10mOsm/L atau kecurigaan kuat keracunan methanol dengan paling tidak dua dari : pH < 7,3; HCO3- < 20mEq; dan osmolal gap > 20mOsm/L1,2. Ethanol memiliki afinitas 10-20x lebih tinggi terhadap alcoholic dehydrogenase (ADH) dibandingkan dengan methanol. Meskipun belum disetujui FDA, ethanol telah digunakan dalam manajemen intoksikasi methanol. Ethanol memiliki beberapa keuntungan yaitu harganya yang murah, mudah didapatkan, dapat diberikan secara oral atau intravena namun diperlukan kadar serum yang tinggi sekitar 100mg/dL, memerlukan monitoring kadar ethanol serial setiap 1-2 jam pada awal dan 2-4 jam setelah tercapai kondisi yang diinginkan, dan dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat dan depresi nafas sehingga perlu dimonitor di ruang ICU1,2. Fomepizole (4-Metylpyrazole) memiliki afinitas 500-1000 kali lebih tinggi terhadap ADH dibandingkan dengan ethanol dan dapat menghambat ADH pada konsentrasi yang lebih rendah. Fomepizole memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ethanol yaitu afinitasnya yang lebih tinggi, efek samping minimal, tidak mempengaruhi kesadaran, tidak diperlukan monitoring yang ketat, dan tidak meningkatkan osmolalitas serum sehingga menilai respon lebih mudah. Adapun
7
kekurangannya adalah sulit didapatkan dan harganya yang mahal, sekitar 5000 US dollar untuk terapi selama 48 jam1,2. Studi oleh Brent et al menunjukkan bahwa pemberian loading dose 15 mg/kg fomepizole intravena dilanjutkan dengan bolus 10mg/kg intravena setiap 12 jam selama untuk 4 dosis berikutnya dan dilanjutkan dengan 15mg/kg setiap 12 jam dapat memberikan kadar fomepizole serum lebih dari 0,8mg/L11. Tabel 1. Rekomendasi dosis terapi ethanol1
TERAPI DIALISIS Methanol merupakan zat dengan berat molekul rendah, tidak berikatan dengan protein, dengan volume distribusi yang rendah sehingga ideal dilakukan HD1. Tindakan HD pada intoksikasi methanol digunakan untuk mengeliminasi methanol dan asam format serta mengkoreksi asidosis metabolik. The American Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan bahwa HD dipertimbangkan pada kondisi metabolik asidosis (pH < 7,25-7,3), gangguan penglihatan, penurunan tanda vital, gagal ginjal, atau abnormalitas elektrolit yang tidak memberi respon dengan terapi konvensional1,2. Berbagai studi menunjukkan bahwa HD intermiten lebih superior dalam mengeliminasi methanol dari serum penderita dibandingkan continous venovenous hemodialysis/hemodiafiltration (CVVHD/HDF) (1,2,4,12). Studi oleh Zakharov et al pada outbreak intoksikasi methanol di Republik Ceko didapatkan waktu paruh eliminasi rata-rata methanol dan asam format 54% dan 56% lebih pendek pada HD intermiten. Dari studi ini didapatkan bahwa kecepatan aliran darah dan aliran dialisat yang lebih tinggi, membran dialisis yang lebih luas dihubungkan
dengan
peningkatan
eliminasi
methanol.
Continous
renal
replacement therapy (CRRT) dapat bermanfaat pada pasien dengan kondisi
8
hemodinamik yang tidak stabil dengan MAP kurang dari 70. Lama waktu dialisis pada intoksikasi methanol berfokus pada kadar methanol dan asam format serum. Karena pemeriksaan methanol dan asam format seringkali tidak tersedia, maka derajat berat asidosis metabolik (defisit basa) dan anion gap yang tinggi digunakan sebagai penanda secara tidak langsung. Studi ini merekomendasikan waktu HD minimum 8-11 jam pada HD intermiten dan 18-24 jam pada CVVHD/HDF12. Beberapa studi menunjukkan peranan HD dalam mengeleminasi asam format masih kontroversi. Hasil penelitian dari Kerns et al mendapatkan bahwa terapi dialisis tidak menurunkan waktu paruh asam format dan ditarik kesimpulan bahwa dialisis manfaatnya kecil pada penanganan intoksikasi methanol bila kadar methanol dalam serum rendah. Sedangkan Hovda et al mendapatkan terapi dialisis diperlukan untuk mempercepat eleminasi asam format walaupun kadar asam format tidak tinggi dalam darah. Sebagai tambahan dari penelitiannya pasien dengan intoksikasi methanol berat dan asidosis metabolik dengan lama waktu paruh asam format yang panjang mencapai 77 jam (normalnya 2,5 sampai 12,5 jam), inisiasi HD dapat menurunkan waktu paruh lebih dari 20 kali sampai 2,9 jam2. Pada penelitian acak terkontrol ketat yang digunakan sebagai panduan terapi intoksikasi methanol dengan derajat yang berbeda-beda. Terapi HD yang dikaitkan dengan pemberian fomepizole merupakan terapi yang rasional pada sebagian besar penderita intoksikasi methanol. HD mempercepat eleminasi methanol dan memperkuat eleminasi asam format dan menormalkan asidosis metabolik. Juga merupakan prosedur terapi yang relatif aman, sedangkan peranan fomepizol menghambat terjadinya akumulasi asam format. Terapi kombinasi ini menurunkan morbiditas dan mortalitas dan mengurangi lama rawat di rumah sakit. Pada penelitian lain yang berdasarkan pengalaman klinis mendapatkan hasil yang sama. Terapi ini diteruskan sampai konsentrasi methanol dibawah 16mg/dl atau kalau memungkinkan methanol tidak terdeteksi dalam darah dan pH darah diatas 7,3. Sayangnya fomepizole sangat sulit didapatkan dan harganya sangat mahal. Sebagai gantinya terapi HD dapat dikombinasi dengan pemberian ethanol, tetapi
9
pemberian ethanol mempunyai efek samping yang tidak baik yaitu menyebabkan atau memperburuk sedasi1,5. Disebutkan eleminasi methanol dan metabolit toksiknya yaitu asam format dengan terapi HD lebih superior dari pada peritoneal dialisis. Kecepatan rata-rata eleminasi methanol selama prosedur ini kira-kira 125-215ml/menit tergantung kecepatan airan darah saat HD1.
BEBERAPA LAPORAN KASUS INTOKSIKASI METHNOL Wulansari R, Sudhana W dkk (2002)di RSUP Sanglah Denpasar Bali melaporkan, 15 pasien, semua laki-laki masuk rumah sakit (MRS) karena keracunan methanol, umur 21-25 tahun, gejala keracunan muncul 24-48 jam setelah minum alkohol. Keluhan utama saat MRS berupa sesak nafas 9 (60%) pasien, pengelihatan kabur 1 (6,7%) pasien, tidak sadar 4 (26.7%) pasien dan mualmuntah 1 (6.7%) pasien. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kondisi sadar 9 (60%) pasien, pernafasan Kussmaul 13 (86.7%) pasien, seizure 1 (6.7%) pasien, shock 1 (6.7%) pasien,,pada mata yaitu pupil dilatasi dengan refleks yang menurun 4 (26.7%) pasien. Pasien diterapi dengan sodium bikarbonat, thiamin i.v & asam folat oral. Enam (42.9%) pasien dilakukan terapi HD, delapan (53.3%) pasien meninggal. Sudhana et al (2002) melaporkan dari 15 pasien keracunan methanol tersebut 60% dengan gagal ginjal akut (AKI), asidosis metabolik dengan kompensasi paru merupakan gambaran utama kelainan analisis gas darah. Kemudian pada tahun 2009 Hanoch, Sudhana W, Raka Widiana juga dari RSUP Sanglah Denpasar Bali, 2009, melaporkan dari 31 pasien, 29 (93,54%) pasien laki-laki, umur 18-57 tahun. Dengan gejala klinis kesadaran menurun 14 (45,16%) pasien, gangguan visus 22 (70,96%) pasien, keluhan gastro intestinal (nyeri epigastrium, mual dan muntah) 21 (67,74%) pasien. Hasil pemeriksaan laboratorium pH < 7,1 didapatkan 17 (54,83%) pasien, pH 7,1 – < 7,2 didapatkan pada 6 (19,35%) pasien, pH 7,2 - 7,35 didapatkan pada 7 (22,58%) pasien, pH >7,35 didapatkan pada satu (3,22%), kadar HCO3 < 10 (90,32%) pasien, sedangkan kadar HCO3 > 10
didapatkan pada 28
didapatkan pada 3 (9,68%)
pasien. Serum creatinine > 1,5 mg/dL didapatkan pada 13 (41,93%) pasien. Dari semua pasien, 17 pasien dengan pH < 7,1 didapatkan tiga pasien yang masih
10
hidup (telah menjalani HD), sedangkan 14 (45,16%) pasien meninggal akibat asidosis berat, dimana hasil analisis gas darahnya didapatkan 100% pasien dengan pH<7,1 dan HCO3<10, 3 pasien meninggal dalam perjalanan kerumah sakit. Gangguan visus terjadi hampir pada semua pasien intoksikasi methanol (70,96%). Kasus terakhir, baru-baru ini seorang pemuda umur 23 tahun asal dari kota Manado jalan-jalan ke Denpasar Bali, MRS tanggal 16 July 2015 jam 22.00 – meninggal 18 July 2015 jam19.00, datang dengan keluhan utama kesadaran menurun, dua hari sebelumnya pasien minum alkohol (arak oplosan) sampai mabuk bersama teman-temannya, sehari kemudian mengeluh sakit kepala dan mual-mual, sepuluh jam sebelum MRS mengeluh sesak nafas dan dua jam sebelum MRS terjadi penurunan kesadaran. Saat MRS hasil pemeriksaan AGD didapatkan pH 6,8, Na bikarbonat sangat rendah sampai tidak terukur, kemudian segera dilakukan HD, paska HD pH membaik menjadi 7,06 dan Na bikarbonat 7,6, deprogram HD setiap hari, tetapi pasien meninggal setelah dua hari perawatan.
PROGNOSIS Prognosis keracunan methanol berhubungan dengan jumlah methanol yang dikonsumsi, kadar asam format yang terbentuk dan derajat asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang lebih berat memiliki prognosis yang lebih buruk. Berdasarkan literatur angka mortalitas pada intoksikasi methanol mencapai 50-80% ketika kadar bikarbonat serum < 10 mEq/L dan atau pH darah < 7,1 saat pasien datang kerumah sakit4,5. Penelitian yang lain menemukan, walaupun konsentrasi methanol digunakan sebagai indikator untuk inisiasi HD, akan tetapi prognosis terutama kematian atau kebutaan permanen dihubungkan dengan derajat asidosis, bukan tingginya kadar methanol dalam serum1.
RINGKASAN Intoksikasi methanol masih sering terjadi di masyarakat. Methanol relatif memiliki toksisitas yang rendah. Efek toksik muncul akibat hasil metabolisme methanol di hati yaitu asam format yang bersifat toksik.
11
Gambaran klinis umumnya berat & berbahaya, Gejala awal dapat berupa depresi SSP seperti sakit kepala, pusing, mual, koordinasi terganggu, kebingungan. Diagnosis berdasarkan riwayat minum alkohol sebelumnya, pemeriksaan klinis dan laboratorium didapatkan tanda asidosis metabolik, hasil pemeriksaan sampel positif mengandung methanol. Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik yaitu asam format dan meningkatkan eliminasi asam format melalui HD atau pemberian folinic acid / folic acid. HD intermiten lebih superior dalam mengeliminasi methanol dari serum penderita
dibandingkan
dengan
continous
veno-venous
hemodialysis
/
hemodiafiltration maupun peritonial dialisis. Kombinasi terapi HD dan pemberian fomepizole dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penderita intoksikasi methanol.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Barceloux DG, Bond GR, Krenzelok EP, Cooper H, Vale JA, American Academy of Clinical Toxicology Ad Hoc Committee on the Treatment Guidelines for Methanol P. American Academy of Clinical Toxicology practice guidelines on the treatment of methanol poisoning. Journal of toxicology Clinical toxicology. 2002;40(4):415-46.
2.
Kraut JA, Kurtz I. Toxic alcohol ingestions: clinical features, diagnosis, and management. Clinical journal of the American Society of Nephrology : CJASN. 2008;3(1):208-25.
3.
Litovitz TL, Klein-Schwartz W, White S, Cobaugh DJ, Youniss J, Drab A, et al. 1999 annual report of the American Association of Poison Control Centers Toxic Exposure Surveillance System. The American journal of emergency medicine. 2000;18(5):517-74.
4.
Hovda KE, Hunderi OH, Tafjord AB, Dunlop O, Rudberg N, Jacobsen D. Methanol outbreak in Norway 2002-2004: epidemiology, clinical features and prognostic signs. Journal of internal medicine. 2005;258(2):181-90.
5.
Megarbane B, Borron SW, Trout H, Hantson P, Jaeger A, Krencker E, et al. Treatment of acute methanol poisoning with fomepizole. Intensive care medicine. 2001;27(8):1370-8.
6.
Tintinalli JE. Serum methanol in the absence of methanol ingestion. Annals of emergency medicine. 1995;26(3):393.
12
7.
Shahangian S, Ash KO. Formic and lactic acidosis in a fatal case of methanol intoxication. Clinical chemistry. 1986;32(2):395-7.
8.
Bennett IL, Jr., Cary FH, Mitchell GL, Jr., Cooper MN. Acute methyl alcohol poisoning: a review based on experiences in an outbreak of 323 cases. Medicine. 1953;32(4):431-63.
9.
Teo SK, Lo KL, Tey BH. Mass methanol poisoning: a clinico-biochemical analysis of 10 cases. Singapore medical journal. 1996;37(5):485-7.
10.
Verhelst D, Moulin P, Haufroid V, Wittebole X, Jadoul M, Hantson P. Acute renal injury following methanol poisoning: analysis of a case series. International journal of toxicology. 2004;23(4):267-73.
11.
Brent J, McMartin K, Phillips S, Aaron C, Kulig K, Methylpyrazole for Toxic Alcohols Study G. Fomepizole for the treatment of methanol poisoning. The New England journal of medicine. 2001;344(6):424-9.
12.
Zakharov S, Pelclova D, Navratil T, Belacek J, Kurcova I, Komzak O, et al. Intermittent hemodialysis is superior to continuous veno-venous hemodialysis/hemodiafiltration to eliminate methanol and formate during treatment for methanol poisoning. Kidney international. 2014;86(1):199-207.