Skripsi RESPON PETANI TERHADAP NEOLIBERALISME (Studi Kasus : Gerakan Petani Serikat Petani Sumatera Utara)
Disusun Oleh:
SOPIAN SITEPU 020906045 Dosen Pembimbing
: Drs. Heri Kusmanto, MA
Dosen Pembaca
: Drs. Warjio S.S., MA
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Sopian Sitepu : Respon Petani Terhadap Neoliberalisme (Studi Kasus : Gerakan Petani Serikat Petani..., 2008 USU Repository © 2009
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
I. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1. Latar Belakang .................................................................................
1
2. Rumusan Masalah ............................................................................
14
3. Batasan Masalah ..............................................................................
14
4. Tujuan Penelitian .............................................................................
14
5. Manfaat Penelitian ...........................................................................
15
6. Kerangka Teori .................................................................................
15
7. Defenisi Konsep ................................................................................
18
8. Metode Penelitian ............................................................................
19
9. Sistematika Penulisan ......................................................................
21
II NEOLIBERALISME ...........................................................................
22
A. Pengertian Neoliberalisme ................................................................
22
B. Nelibealisme dan Lembaga Pendukungnya .....................................
28
1. WTO ...........................................................................................
28
1.1 AoA (Agriment On Agricultur) ..................................................
31
1.2 TRIPs ..........................................................................................
32
2. IMF..............................................................................................
34
3. Multi National Coorporation (MNC) ..........................................
37
C. Respone Kebijakan Pemerintah ........................................................
38
1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 ..........................................
39
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 ............................................
41
D. Praktek Neoliberalisme di Indonesia dan Dampaknya bagi Petani di Sumatera Utara .................................................................................
46
1. Revolusi Hijau.............................................................................
46
2. Kebijakan Pangan Indonesia ......................................................
50
III. PROFIL SERIKAT PETANI SUMATERA UTARA (SPSU) .........
55
A. Tujuan dan Prinsip SPSU .................................................................
55
2
1. Tujuan Berdirinya SPSU ............................................................
55
2. Prinsip Dasar Organisasi SPSU .................................................
56
B. Bentuk Organisasi SPSU .................................................................
58
C. Struktur Organisasi SPSU ................................................................
59
D. Sejarah Singkat SPSU ......................................................................
61
E. Kondisi Politik Yang Mempengaruhi Bentuk Organisasi SPSU .....
67
1. Dari Federatif Menuju Unitaris ..................................................
69
2. Bentuk dan Sifat SPI ..................................................................
72
3. Azas dan Prinsip Perjuangan ......................................................
74
4. Tujuan Organisasi SPI ...............................................................
75
IV. ANALISIS DATA ................................................................................
77
A. Kondisi Sosial Yang Merugikan Petani ............................................
77
1. Ketimpangan Petani terhadap Akses Sumber-Sumber Agraria ..
79
2. Liberalisasi pasar di Sektor Pertanian .........................................
81
3. Penguasaan Perusahaan Pangan Besar di Sektor Pertanian .......
84
B. Strategi Perjuangan Organisasi Petani .............................................
87
1. Mewujudkan Organisasi Petani yang Kuat dan Mandiri ...........
88
1.1
Sarana dan Metode perjuangan Penguatan Organisasi ......
89
1.1.1
Pendidikan Organisasi ...........................................
89
1.1.2
Lembaga Keuangan Petani ....................................
90
2. Mengembangkan Perlawanan terhadap neoliberalisme .............
92
1.1
Melakukan Aksi-Aksi Langsung ......................................
93
1.1.1
Demstrasi/Aksi Masa ............................................
94
1.1.2
Aksi Pendudukan lahan .........................................
95
1.2 Membangun Koalisi Untuk Mendukung Perjuangan ...........
96
1.3 melakukan Lobi-lobi Politik .................................................
98
V. PENUTUP
.........................................................................................
103
A. Kesimpulan ......................................................................................
103
B. Saran ................................................................................................
104
VI. Daftar Pustaka
3
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Neoliberalisme dilahirkan oleh sebuah sistem ekonomi yang mendasarkan
pada sistem yang disebut dengan Kapitalis. Istilah ini menggambarkan pola hubungan antara pemilik atas alat-alat produksi (tanah, tambang, alat industri yang kebanyakan orang menyebutnya dengan modal) dengan para pekerja yang menjual jasa tenaga kerjanya. Dibawah sistem kapitalisme ini, keputusan-keputusan yang berhubungan dengan produksi dibuat oleh kaum pemodal dan untuk kepentingan atau tujuan pemiliknya. Sebagai suatu sistem ekonomi maka dasar pemikirannya dibangun atas dasar pemahaman bahwa kapitalisme dicirikan dengan adanya: 1. Pemilikan: 2. persaingan: 3. Rasionalitas. Dalam pengertiannya liberalisme adalah paham dari cita-cita barat dimana menurut anggapan mereka paham atau ideologi inilah yang paling berhasil dalam sejarahnya membawa kemakmuran bagi umat di dunia. Hal yang paling utama yang dipahami kaum liberal tentang liberalisme adalah kebebasan atau liberte individu. Mereka sepakat bahwa liberte ini menyiratkan hal-hal yang akan menyelamatkan dan mempertinggi kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan konstitusional, aturan hukum, dan toleransi. Pemikiran liberal ini diawali pada abad pencerahan (Renaisance). Pada zaman ini terjadi pertikaian serius antara agama Kristen dengan kaum ilmu pengetahuan. Terjadi perbedaan pendapat antara kaum ilmu pengetahuan dan gereja yang dianggap ajarannya dogmatis dan tidak beralasan. Pertikaian itu tidak terujukkan. Kaum
1
4
cendikiawan dan kaum pelopor ilmu pengetahuan modern melawan dogma-dogma gereja. Berdasarkan hasil penelitian empiris dan metode-metode ilmiah, mereka berhasil mengungkap teori-teori paradigmatik yang secara fundamental bertentangan dengan pandangan kitab suci dan doktrin gereja. Persoalannya adalah dalam sejarahnya, gereja merespon konflik tersebut dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Akibatnya banyak para pelopor ilmu pengetahuan menjadi korban kekerasan karena disiksa sampai mati. Namun pada proses perjalananya pertikaian tersebut dimenangkan oleh kaum ilmu pengetahuan. Kemenangan ilmu pengetahuan terhadap gereja menjauhkan manusia terhadap agama di belahan Eropa. Pada masa ini juga disebut dengan revolusi intelektual dan kebebasan berfikir. Banyak orang yang semakin berani menyuarakan kebebasan dan tidak merasa takut akan perbedaan pandangan, baik secara keilmuan maupun keagamaan. Secara substansi Renaissance dapat dianggap sebagai tanda berakhirnya zaman pertengahan. Pada akhirnya Liberalisme dapat difahami sebagai suatu ideologi yang menentang pandangan zaman pencerahan. Liberalisme menawarkan konsep alternatif tentang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya rasional dan mampu menjalankan urusannya tanpa memerlukan pangawasan dari gereja dan raja. Sebagai ganti paham hierarki kekuasaan, liberalisme memahami manusia pada dasarnya sama yakni memiliki hak yang sama, dan sama-sama mampu menjalankan kebebasan dan menyusun pemikiran mereka sendiri. 1
1
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta,PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Hal. 109
5
Dengan adanya perang sipil, ide-ide liberal perlahan-lahan berkembang. Pada abad ke-18 ide-ide liberal mencapai kawasan Eropa dan Amerika. Jhon Locke seorang pemikir liberal besar pertama - mengatakan bahwa semua individu dikaruniai oleh Tuhan dengan akal, sebagai alat manusia untuk dapat melihat apa yang benar dan salah, serta bagaimana seharusnya ia hidup. Inilah merupakan teori “hukum alam” yang menekankan tanggungjawab sosial seseorang yang menjadi acuan bagi berkembangnya paham liberal. 2 Abad ini juga melahirkan zaman yang disebut dengan hostiografi modern. Ditemukannya mesin-mesin cetak mempercepat proses perkembangan disiplin ilmu pengetahuan. Dalam proses perkembangannya juga banyak ditemukannya mesinmesin untuk memproduksi kebutuhan secara masal menjadi sebuah momen dan menjadi salah satu penyebab utama lahirnya era kapitalisme dimana akumulasi modal untuk kepentingan pribadi menjadi satu-satunya orientasi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Ebenstein menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme.
2
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, Yogyakarta: Qalam Indonesia, 2004, Hal. 22 John Lock (1632-1704) menerbitkan dua buah karya utamanya tentang politik, Two Treatises of Government, sebuah karya yang sering kali disebut sebagai Bibel Liberalisme Modern. Teori yang lebih koheren dan tidak terlalu ikonoklastik, sehingga terdengar terdengar kontrofersial.
6
Sedangkan Hayek memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi. Secara umum kapitalisme merupakan suatu ideologi barat yang mendasarkan pemikirannya pada paham individualisme, persaingan dan mengarahkan sistem perekonomian dengan tujuan mencari akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Salah satu pemikir besar Kapitalisme adalah Adam Smith yang melalui pemikirannya Negara-negara di Eropa menjalankan kebijakan Laissaze faire yakni suatu paham yang mempercayakan bahwa hanya pasar yang mampu menyelesaikan masalah perdagangan, suatu peralihan dari prakarsa publik kepada prakarsa perorangan. 3 Hakekat ekonomi pasar bebas menurut Adam Smith adalah setiap orang atau pelaku ekonomi harus dibiarkan bebas untuk melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan apa yang dianggap dapat menguntungkan dan paling memungkinkan dapat memenuhi kepentingan pribadinya. Namun pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonominya dikontrol secara moral dan legal politik oleh prinsip-prinsip keadilan dan aturan main hukum sebagai perwujudan keadilan. Secara substansi paham ini sangat mementingkan modal dan keuntungan pribadi, hal inilah yang mengawali sejarah ekonomi Eropa Barat. Dengan demikian paham ini disebut dengan teori liberal klasik Adam Smith. Teori Liberal klasik yang menopang kapitalisme runtuh setelah terjadi krisis besar pada tahun 1930-an yang disebut Malaise, walaupun sempat mencapai kejayaan
3
Muhammad Nurrudin, dkk., Melawan Neoliberalisme, Jakarta: Petani Press, 2003, Hal. 4 Adam Smith 1776 menulis buku Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, inti penulisan ekonom Inggris ini adalah menolak peran sentral Negara atau pemerintah dalam keikutsertaan perekonomian dan menyerahkan keputusan-keputusan ekonomi ini kepada kekuatan pasar.
7
di Inggris. Keadaan ekonomi yang mengalami pengetatan (kontraksi) yang besar di semua sektor menyebabkan pengangguran besar-besaran di mana-mana serta kekacauan sosial. Dalam kondisi ini muncullah gagasan John Maynard Keynes, yang mengatakan bahwa liberalisme bukanlah gagasan yang terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Dia memberikan gagasan bahwa Negara dan Bank Sentral harus ikut campur tangan dalam mengurangi pengangguran yang besar melalui mekanisme investasi. Kejayaan teori Keynespun mengalami keruntuhan, ternyata resep yang dibuat oleh ekonom Inggris ini melalui bukunya The End of Laissez Faire tahun 1926 tidak mampu lagi menopang kapitalisme. Pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an kapitalisme kambali jatuh dalam krisis. Tingkat pertumbuhan dan investasi kembali jatuh, pengangguran kembali meningkat, dan terjadi eksploitasi terhadap kekayaan alam. Dengan runtuhnya teori Keynes, akhirnya Kapitalisme menggunakan kembali paham liberal yang diperbaharui dan disebut dengan neoliberalisme. 4 Ciri pertama dan utama pandangan neoliberalisme ini adalah sikap bermusuhannya pada pemerintah atau Negara sampai titik yang paling ekstrim. Negara dianggap sebagai musuh bagi kebebasan dan kemandirian, khususnya Negara kesejahteraan dianggap destruktif terhadap masyarakat sipil dan dipandang sebagai sumber segala kejahatan, seperti kapitalisme dipandang dengan cara yang sama oleh kaum revolusioner. Berbeda dengan Negara, pasar merupakan institusi yang sangat diagungkan, pasar dianggap mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tanpa 4
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003, Hal. 65. Keynes mengkritik system kapitalisme klasik dengan menawarkan bahwa peran Negara sebagai pelaku ekonomi sangat penting di samping peran ekonomi pasar.
8
batas, karena lahir dari inisiatif individual. Disisi lain, Neoliberalisme bercirikan antara
lain
mengurangi
biaya
sosial
dan
penyediaan
fasilitas
umum,
privatisasi/swastanisasi, monopoli teknologi, penggunaan kekerasan melalui militer, dan pengurangan terhadap bantuan-bantuan sosial. Dalam pandangan Neoliberalisme pasar bebas merupakan suatu mekanisme yang menjanjikan kemakmuran, namun pada kenyataannya hal ini tidak terjadi bahkan sebaliknya. Seperti halnya perdagangan bebas yang menjamin pangan murah, pada kenyataannya justru menaikan harga pangan. Bahwa WTO (World Trade Organisation) dan TNCs (Trans National Coorforations) akan memproduksi pangan yang aman, namun juga pada kenyataanya dengan rekayasa genetika dan penggunaan pestisida membahayakan kehidupan manusia. Begitu juga dengan hak paten dan hak kekayaan intelektual dapat melegalisasi pencurian bibit dan menjualnya kembali kepada petani kecil. Dari pandangan inilah maka neoliberalisme akan melahirkan kebijakankebijakan mengenai liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi keuangan, privatisasi atau swastanisasi, pemotongan anggaran publik untuk pelayanan sosial, pemotongan subsidi bagi rakyat, dan mengurangi upah buruh. Dengan kata lain, bahwa liberalisasi perdagangan (pasar bebas) akan mengurangi peran negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan sebaliknya akan meningkatkan peran swasta dalam mengambil alih sebagian fungsi dari peran-peran negara tersebut melalui mekanisme pasar. Alasan
mengapa meliberalisasi perdagangan adalah bahwa liberalisasi
perdagangan akan memberikan peluang pemanfaatan terbaik atas berbagai sumber
9
daya yang ada. Pada pokok alasan itu pulalah teori keuntungan terletak. Alasan itu menguatkan bahwa seluruh pihak akan mendapatkan manfaat manakala Negaranegara mengkhususkan diri memproduksi pangan dan jasa secara efisien, yang biasa mereka produksi dengan biaya yang lebih rendah ketimbang Negara-negara lain. Mempertukarkan barang dan jasa tersebut dengan Negara lain merupakan prasyarat utama dari teori diatas. Penganut teori tersebut menyatakan bahwa dengan perdagangan bebas maka keuntungan dan kemakmuran akan diperoleh oleh tidak hanya orang kaya dan bahkan keuntungan yang berlipat akan diperoleh kaum miskn di Negara-negara berkembang. Disamping itu liberalisasi perdagagan dianggap oleh penganutnya akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena akan memberikan peluang-peluang bagi peningkatan akses pasar dan praktis akan memperbaiki pendapatan ekspor bagi Negara yang sedang berkembang. Penghapusan berbagai hambatan perdagangan yang mendistorsi perdagangan bebas akan dianggap mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kerangka okonomi kapitalistik ini, peningkatan produktivitas pertanian akan memberi keleluasaan pada masyarakat demi pengembangan sektor ndustri dan jasa, sembari menumbuhkan pula daya permintaan atas output sector tersebut. Singkatnya, system-system pertanian berbasis pasar merupakan mesin-mesin yang handal dari pembangunan ekonomi, persfektif neoliberalisme tersebut. Dengan pertumbuhan ekonomi yang ada-selanjutnya diasumsikan bahwa, dana yang didapat dari keuntungan ekspor-ekspor tersebut dapat memungknkan masyarakat untuk membeli lebih banyak lagi pangan ketimbang yang diproduksi oleh mereka sendiri,
10
namun sebaliknya klaim ini tidak didukung oleh fakta yang ada di Negara-negara berkembang. Teori keuntungan komparatif menegaskan bahwa Negara-negara miskin akan untung jika mereka mengikuti mekanisme pasar bebas, dan keuntungan itu dapat digunakan untuk membantu kaum miskin. Dan pada akhirnya keuntungan itu bisa jadi “menetes” ke kaum miskin. Seperti halnya teori “trickle down” (tetesan ke bawah). Yang menjadi permasalahan adalah bahwa teori itu bisa berlaku hanya jika perdagangan terjadi di antara Negara-negara yang tataran pembangunan ekonominya kurang lebih setara. Ketika perdagangan terjadi diantara Negara-negara makmur yang menjual barang-barang industri dan Negara-negara yang jauh lebih miskin yang menjual produk-produk primer, maka dampaknya adalah pihak terdahululah yang akan mendapat keuntungan akibat dari perbandingan harga nilai barang yang dipertukarkan. Seiring dengan kemajuan teknologi di era global, maka muncullah sebuah unsur baru, yaitu pemusatan kekuasaan pada sejumlah entitas yang lebih besar, adalah korporasi-korporasi transnasional (TNC), yang memonopoli segala dimensi perdagangan yang disebut sebagai pihak yang menang dalam neoliberalisme. Dalam pertanian juga berbagai korporasi transnasional menguasai alat-alat produksi dan memegang kendali atas kehidupan kaum miskin sehinga kaum petani gurem tercabut hak miliknya. Neoliberalisme justru memperkuat Negara-negara yang sudah kuat (Negara maju) yang notabene sudah mapan baik secara politik maupun ekonomi dari pada Negara berkembang yang masyarakatnya ditopang oleh usaha-usaha kecil dan
11
pertanian gurem. Pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi kepada nuansa neoliberalisme cenderung memihak pada korporasi-korporasi transnasional dari pada petani kecil. Dampak yang paling dialami dan sangat dirugikan adalah petani di Indonesia. Indonesia merupakan negara Agraris dimana petani merupakan masyarakat mayoritas dan bersifat strategis. Setidaknya ada lima alasan mengapa sektor pertanian menjadi strategis. Pertama, pertanian merupakan sektor yang menyediakan kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri (agro industri). Ketiga, memberikan kontribusi bagi devisa negara melalui komoditas yang diekspor. Keempat, menyediakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja pedesaan. Dan kelima, perlu dipertahankan untuk
keseimbangan ekosistem
(lingkungan). 5
Di Indonesia masuknya sistem kapitalisme dimulai dari ketika orang-orang Eropa berani mengarungi lautan menuju daerah baru yang kaya akan rempah-rempah dan bahan lainya untuk membuka pasar dan memonopolinya. Seperti pada abad 1617 kedaerah Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Tahun 1602 VOC menancapkan pengaruhnya secara ekonomi politik di Nusantara. Pada masa ini VOC telah melakukan praktek-praktek kapitalisme seperti adanya kebijakan sistem tanam paksa, Cultuurstelsel (1830-1870) dimana para petani juga diwajibkan ikut membangun proyek-proyek besar, dan bekerja di perkebunan melalui tahapan kolonialisasi, imperialisasi, dan liberalisasi. Dampak dari sejarah penjajahan di Indonesia yang paling dirasakan oleh petani kecil adalah masalah tanah. Hal ini menyebabkan petani di pedesaan semakin 5
Ibid, Hal. 65
12
terpuruk ketika ideologi developmentalisme menjadi pilihan paradigma pembangunan Orde Baru (ironisnya konsep ini bukan merupakan produk elit negara, melainkan hasil konstruksi kekuatan paham neoliberalisme) yang kenyataannya sangat problematik bagi petani. Dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi yang untuk operasionalnya memerlukan tanah, maka tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem neoliberalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan Negara. 6 Hal ini dapat dilihat dari tidak dilaksanakannya UUPA (Undang-Undang pokok Agraria) tahun 1960 secara benar dan peraturan-peraturan tentang tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah terkesan tumpang tindih serta semakin menjauhkan dari semangat yang ada pada UUPA tahun 1960 tersebut. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab perlawanan petani melakukan gerakan sosial sebagai manifestasi ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang bernuansa neoliberlisme dan sangat merugikan petani. Tidak hanya di sektor pertanahan, di sektor-sektor lain petani juga dirugikan. Seperti mekanisme pasar global yang diterapkan tidak adil oleh negara-negara maju. Paradigma pembangunan yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia membawa kita kepada mekanisme pasar global yang merugikan petani. Hal ini terjadi akibat proses pembangunan yang tunduk terhadap kesepakatan-kesepakatan yang diatur oleh WTO, IMF (International Monetary Fund), Paris Club, Bank Dunia dan lembaga Neoliberal lainnya. Dalam WTO terdapat tiga perjanjian yang berkaitan langsung dengan sektor
6
Mustain, Petani vs Negara (Gerakan social petani melawan hegemoni Negara), Jogjakarta: ARRUZZ MEDIA, Hal. 16
13
pertanian, yang memang menjadi tumpuan 220 juta rakyat Indonesia. Tiga perjanjian tersebut adalah Agreement on Agriculture (AoA). Trade Related Aspect of Intellectual Property rights (TRIPs) dan General Agreement on Trade in Service (GATs). 7 Perjanjian-perjanjian yang ada di WTO tersebut mengakibatkan pasar pangan dunia dikuasai oleh perusahaan multi nasional yang mengatur perdagangan pangan. Seperti halnya Du Pont, Affymetrix menguasai lebih kurang 80% distribusi padi diseluruh dunia. Sedangkan perusahaan Agribisnis lainnya, seperti Monsanto, Syentega (termasuk Astra Seneca, Novartis) menguasai hampir 2/3 pasar global pestisida, ¼ penjualan bibit global (termasuk hak patennya ) dan menguasi 100 % pasar global bibit transgenik. Dalam daftar perusahaan pestisida masih terdapat raksasa dunia lainnya seperti Bayer, Orynova dan Zeneca Mogen. Saat ini telah banyak kebijakan di bidang Agraria saling bertentangan dan tumpang tindih satu dengan yang lain, serta bertentangan dengan UUPA 1960 dan UUD
1945.
Beberapa
kebijakan
yang
menjalankan
prinsip-prinsip
bagi
terselenggaranya agenda Neoliberalisme di bidang agraria yaitu tentang Tap MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, UU tentang Sumber Daya Air, UU tentang pengelolaan sumber daya genetik, UU Perkebunan, UU Pengelolaan sumber daya alam. 8 Secara umum dampak dari kebijakan yang dikeluarkan tersebut dapat membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM dan eksploitasi terhadap sumber-
7 8
Ibid. hal. 8 Muhammad Nuruddin, dkk., Op.cit. hal. 67
14
sumber agrarian dimana hal ini didukung oleh agenda Neoliberalisme yaitu liberalisasi disegala lini. Antara lain hal ini disebabkan oleh Capital Violance (kekerasan yang dilakukan/disebabkan oleh modal), karena secara substansi keinginan yang ingin dicapai dalam kebijakan tersebut adalah optimalisasi pemanfaatan, meningkatkan nilai tambah, dan strategi pemanfaatan yang didasarkan pada optimalisasi manfaat, yang tentunya memberi peluang kepada modal untuk mengeksploitasi sumber-sumber agrarian. Selain itu juga makin menimbulkan kerancuan peraturan dibidang agraria yang telah menyebabkan ketidakadilan struktur penguasaan tanah. 9 Salah satu bentuk dan proses liberalisasi pada sumber agraria adalah munculnya RUU Sumber Daya Air yang kemudian disahkan. UU Sumber Daya Air hadir dengan alasan bahwa ingin melaksanakan reformasi tentang pengelolaan sumber daya air agar mampu memenuhi kebutuhan air rakyat secara efektif dan efisien. Air adalah kebutuhan manusia yang paling dasar setelah Oksigen, yang pemenuhan dan keberadaanya dijamin oleh Negara sesuai yang telah tercantum dalam UUD 1945 dan UUPA 1960. Secara filosofis air merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right). Dinyatakan pula bahwa air adalah benda sosial, budaya dan bukan komoditi ekonomi. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaanya telah dijamin konstitusi, yakni pada pasal 33 UUD 1945, yang kemudian di amandemen. Beberapa hal yang mendasar bertentangan dengan konstitusi adalah penerapan hak guna usaha yang mempersempit ruang masyarakat 9
Ibid.
15
dalam menggunakan air, memperluas peluang swasta dalam menguasai sumbersumber air, memperluas privatisasi dan menggunakannya demi kepentingan komersil. Dengan demikian air hanya dapat diperoleh bagi kelompok yang hanya mampu secara ekonomi. Air menjadi sesuatu yang dinilai berdasarkan hitungan ekonomi, ada penjualan dan ada pembelian yang tentunya mencari keuntungan merupakan satusatunya orientasi. 10 Keberadaan perkebunan di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda hingga hari ini juga banyak menimbulkan persoalan di tengah-tengah masyarakat khususnya petani. Pernyataan perkebunan sebagai salah satu devisa negara demi kemakmuran rakyat ternyata masih jauh dari kenyataan, bahkan sebaliknya. Di Sumatera Utara masalah pertanahan juga menjadi penyebab konflik yang ada baik antara petani dengan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta maupun dengan pemerintah yang tak kunjung selesai. Dalam merespon hal tersebut petani di Sumatera Utara mulai melakukan gerakan perlawanan dengan mengorganisir diri membentuk organisasi massa Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Beberapa hal yang menarik untuk dilihat dalam permasalahan ini adalah bagaimana petani di Sumatera Utara merespon dan melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberalisme tersebut melalui organisasi massa SPSU. Secara umum dapat digambarkan bentuk-bentuk perlawanan petani tersebut antara lain dilakukan dengan cara: 1.
Petani tidak menggunakan organisasi formal, dalam pengertian gerakan yang dilakukan kebanyakan melalui mekanisme non litigasi.
10
Ibid., Hal. 72
16
2.
Cenderung merahasiakan segala aktivitas organisasi dan melakukan perlawanan secara diam-diam, tidak melakukan konfrontasi langsung dengan penguasa.
3.
Melakukan media-media kampanye dan cendrung membangun aliansi atau jaringan dengan pihak lain yang sejalan dengan prinsip-prinsip perjuangan petani.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana respon Serikat Petani Sumatera Utara sebagai organisasi gerakan petani di Sumatera Utara terhadap Neoliberalisme. 3. Batasan Masalah Dalam melakukan penelitian penulis hendaknya membatasi masalah sehingga apa yang diteliti tidak keluar dari tujuan dan yang ingin diungkapkan dalam tema atau pun judul yang ada. Untuk itu penelitian ini hanya membahas pada: 1. Penelitian dilakukan di organisasi massa petani SPSU yang bertempat di Sumatera Utara. 2. Masalah yang ingin dilihat adalah bagaimana respone petani terhadap kebijakan Neoliberalisme oleh SPSU. 4. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bagaimana Neoliberalisme berdampak terhadap kehidupan petani di Sumatera Utara.
2.
Menggambarkan secara deskriptif karakteristik SPSU dalam merespone neoliberalisme.
17
5. Manfaat Penelitian 1.
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah khasanah kepustakaan ilmu politik.
2.
Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan kondisi petani kecil akibat dari neoliberalisme.
3.
Sebagai masukan bagi SPSU dalam melakukan gerakan sosial petani.
6. Kerangka Teori 6.1
Teori Gerakan Sosial Petani Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan mengakibatkan
banyak hal yaitu, pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan petani lapisan miskin dimana yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara (dalam hal ini yang terkait dengan kebijakan neoliberalisme). Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan cultural. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun Negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, khas kaum lemah seperti menghambat, perusakan, pura-pura tidak tahu, purapura menurut, masa bodoh, membakar, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif. 11
11
Ichsan Malik, dkk., Menyeimbangkan Kekuatan Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam, Jakarta : Yayasan Kemala, 2003, hal. 148
18
6.2
Teori Konflik Konflik berasal dari bahasa Latin, conflictus, yang artinya pertentangan.
Konflik ini terjadi diantara kelompok-kelompok dengan tujuan untuk memperebutkan hal-hal yang sama. Dengan demikian konflik merupakan gambaran dari sebuah permainan, baik untuk permainan yang memenangkan kedua belah pihak (Non-Zero Sum Conflict) maupun yang juga mengalahkan pihak lain (Zero-Sum Conflict) seperti kelas konflik yang terjadi pada masyarakat industri.12 Konflik juga dapat berarti suatu situasi yang menunjukkan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan. 13 Konflik dapat muncul karena alasan-alasan ekonomi, politik dan budaya. Alasan-alasan ekonomi biasanya menyangkut kepemilikan, distribusi atau akses terhadap sumber-sumber daya yang bersifat ekonomis. Sementara itu, konflik yang disebabkan alasan politis secara umum menyangkut perbedaan-perbedaan komunitas yang bersifat vertikal maupun horizontal. 14 Perbedaan-perbedaan vertikal berkaitan dengan struktur masyarakat yang beragam menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Perbedaanperbedaan tersebut akan menentukan posisi yang ditempati anggota masyarakat dalam kehidupan bersama. Selanjutnya perbedaan ini akan mengakibatkan perbedaan-perbedaan kepentingan. Perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal ini potensial meninggalkan konflik sebab perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan akses terhadap kekuasaan berbeda. Padahal dalam realitas kehidupan masyarakat, 12
Decki Natalis PB., Evolusi dan Sejarah Konflik Papua, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hal. 66-70 Ibid., hal. 148 14 Robinson Sembiring, Politea Militer dan Politik, Medan : USU Press, 2006, hal. 88 13
19
akses terhadap kekuasaan akan mempengaruhi kesempatan mendapatkan posisi yang terhormat, akses terhadap sumber ekonomi bahkan sumber informasi dan pengetahuan. Beberapa hal yang dijelaskan tersebut akan menyebabkan peluang terjadinya perbenturan antara kepentingan kelompok yang satu dengan yang lainnya. 15 Cara lain untuk mendiskripsikan konflik adalah dengan mempertimbangkan konflik. Dalam situasi konflik tertentu dua kelompok orang secara terus menerus saling bertentangan satu sama lain. Pola konflik ini dapat ditandai oleh suatu intensitas yang tinggi. Pola lainnya adalah masalah satu pemisahan silang (pemisahan tegas-tegas) dimana masalah-masalah yeng berbeda membagi orang secara berbedabeda pula dan tidak ada blok penentang yang permanen. 16 6.3
Teori Rasionalitas Petani
Teori rasionalitas petani berasumi bahwa setiap manusia pada dasarnya rasional dengan selalu mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam melakukan setiap tindakan. Dengan tetap mengakui adanya determinan faktor seperti solidaritas masyarakat petani yang kuat, subsistensi perekonomian petani dan hubungan produksi masyarakat, namun pengaruh rasionalitas tersebut selalu dalam konteks beroperasinya mekanisme kepentingan rasional individu komunitas. Latar belakang kebijakan politik juga diduga menjadi penyebab terjadinya krisis pertanian di Indonesia. Dengan menggunakan konsep perilaku birokrasi rasional dapat diasumsikan bahwa para birokrat adalah aktor rasional yang berusaha 15
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia, 1992, hal. 151-152 Mary Grisez K, Robert W. Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik, Jakarta : Bina Aksara, Hal. 151
16
20
memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Sebagai aktor rasional, mereka akan selalu berpikir bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan akan selalu didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri. Pilihan kebijakan publik tersebut ternyata telah mengakibatkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif. Misalnya, harga jual hasil pertanian jauh dibawah harga pasar dan tidak sesuai dengan ongkos produksi yang dikeluarkan, bahkan lebih banyak dinikmati oleh petani kaya dan harga manufaktur jauh lebih tinggi dari pada harga hasil produksi pertanian. 17 Persfektif
ekonomi-politik dapat menjelaskan keterpurukan dan reaksi
perlawanan yang dilakukan petani adalah akibat dari penetrasi kapitalisme dan neoliberalisme
yang
diejawantahkan
dalam
kebijakan
publik
yang
tidak
menguntungkan para petani yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap petani oleh para tuan tanah, Negara, dan kaum kapitalis. Asumsi pendekatan ekonomi-politik dapat disimpulkan bahwa gerakan perlawanan petani sebenarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual para petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akan merugikan dan bahkan mengancam mereka atau sekurangkurangnya perubahan ini dinilai menghalang-halangi usaha yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan demikian, pendekatan ini juga berasumsi bahwa petani juga berosientasi ke masa depan.
17
Ibid., Hal. 46
21
7. Defenisi Konsep Konsep merupakan unsur penting dan merupakan defenisi yang di pakai oleh peneliti untuk menggambarkan fenomena sosial yang ada. Adapun konsep-konsep yang ada dalam tulisan ini yaitu: 1. Neoliberalisme Neoliberalisme adalah suatu bentuk paham yang berkembang dalam paradigma liberalisme yang berorientasi pada akumulasi modal dalam bentuk materi. Paham ini percaya bahwa nuansa kompetisi dan mekanisme pasar bebas dengan mengurangi intervensi pemerintah dalam sektor perekonomian merupakan satu-satunya cara dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dalam prosesnya neoliberalisme melahirkan monopoli akses terhadap modal, pasar dan lain sebagainya oleh segelintir orang atau korporasi besar. Situasi ini berdampak negatif disektor lain, seperti petani kecil yang tidak memiliki akses terhadap modal dan pasar. Secara praktis neoliberalisme menyebabkan krisis subsistensi di kalangan kaum petani kecil yang dalam pelaksanaannya dijustifikasi oleh kebijakan negara yang positivistik.
2.
Respon Petani Respon petani merupakan suatu tanggapan, reaksi, jawaban atau perlawanan
yang dilakukan petani. Respon petani tersebut dilihat pada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) sebagai organisasi massa petani yang diejawantahkan dalam bentuk yang terorganisir dan terarah melalui program-program yang disusun dan terencana.
22
8. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 18 Metode deskriptif memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan sebenarnya. Karena itu dalam metode deskriptif peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. 19 b. Teknik Pengumpulan Data Data terbagi dua, yakni : 1. Data Primer Untuk mengumpulkan data primer, penulis melakukan wawancara mendalam dengan pihak SPSU dan para aktivis petani, maupun institusi yang mendukung perjuangan SPSU. Di samping itu juga dilakukan observasi untuk melihat secara objektif terhadap fakta-fakta atau kondisi objektif yang ada. 2. Data Sekunder Untuk mengumpulkan data sekunder, penulis akan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) antara lain dengan mengumpulkan data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan.
18 19
Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994, hal. 73 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES, 1989, hal. 4
23
c. Analisa Data Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati orang-orang. 20 Kemudian, langkah selanjutnya adalah menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. 9. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan Bab ini terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Definisi Konsep dan mengenai Metode Penelitian yang penulis gunakan serta Sistematika Penulisannya.
BAB II
: Neoliberalisme Pada bab ini akan dijabarkan pengertian neoliberalisme dan dampaknya bagi petani khsusunya di Sumatera Utara.
BAB III
: Profil Lembaga SPSU Bab ini berisikan tentang sejarah SPSU, karakteristik lembaga sebagai organisasi massa petani dan metode perjuangan yang digunakan.
20
Arief Furchan, Metoda Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional, 1992, hal. 21
24
BAB IV
: Analisa Data Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang diperoleh.
25
BAB II NEOLIBERALISME Dalam bab ini akan diuraikan pengertian tentang neoliberalisme secara komprehensif dan akan dilihat bagaimana pengaruh neoliberalisme berdampak terhadap petani melalui instrument yang menghegemoni dan lembaga-lembaga dunia pendukung paham neoliberalisme tersebut. Disamping itu juga akan dibahas bagaimana neoliberalisme tersebut sampai merambah dan dampaknya terhadap sector pertanian di Sumatera Utara. A. Pengertian Neoliberalisme
“Neoliberalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah hanya menjalankan fungsi deregulasi bagi mekanisme pasar dan hanya untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan”. 21 Mansour Fakih menyebutkan bahwa saat ini adalah saat berakhirnya era developmentalism, suatu proses perubahan sosial pasca Perang Dunia II yang dibangun diatas landasan paham modernisasi. Namun di negara-negara pusat kapitalisme, jawaban untuk mempercepat laju kapitalisme telah lama disiapkan bahkan sejak krisis kapitalisme di tahun 1930-an. Jawaban itu adalah globalisasi kapitalisme (neoliberalisme) 22 .
21
Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta, Resist Book, 2005, Hal. 67 Mansour Fakih. Jalan Lain ; Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Insist Press, 2002. Halaman 184 22
26
Kata Neo dalam neoliberalisme sebenarnya merujuk kepada bangkitnya kembali bentuk aliran ekonomi liberalisme lama yang cikal bakalnya dipicu oleh karya Adam Smith yang menumental, The Wealth of Nations, di tahun 1976. Filsuf moral asal Inggris itu, yang juga bapak mazhab ekonomi klasik atau yang lebih populer
disebut
dengan
perumus
kapitalisme
modern,
mempropagandakan
pentingnya penghapusan intervensi negara atau pemerintah dalam mekanisme 23 ekonomi, Sebagai gantinya Smith, menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif dan non tarif) dan restriksi. Kompetisi dan kekuatan individu yang bekerja dalam mekanisme pasar akan menciptakan keteraturan ekonomi. Smith menggunakan teorinya tentang “tangan-tangan tersembunyi” (invisible hand) yang menurutnya bakal mengatur dan mengorganisir seluruh relasi dan kehidupan ekonomi dan juga mendorong setiap individu untuk mencari sebanyak-banyaknya keuntungan ekonomi. 23
Negara
yang
menganut
sistem
demokrasi-menurut
pemahaman
neoliberalisme, daya tahan sebuah negara ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Seperti yang telah menjadi perdebatan teori-teori pembangunan bahwa kemakmuran hanya dapat dicapai hanya jika membebaskan pasar dari intervensi negara sehingga tercipta kompetisi dan akhirnya akan menghasilkan efisiensi dan produktifitas ekonomi yang tinggi. Sehingga terciptanya masyarakat yang lebih terdiferensiasi, dan perluasan kearah pluralisme sosial dan
23
Khudori, Neoliberalisme menumpas petani, Yoyakarta, Resist Book, 2004, Hal 16
27
pluralisme politik. Oleh sebab itu menurut ideologi neoliberalisme, persamaan kebebasan ekonomi setara dengan kebebasan politik.
Dengan kata lain, kebebasan dan pluralisme politik hanya mungkin terjadi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Inilah yang disebut Przeworski sebagai tarnsisi yang mengambil strategi “Modernizatioan via internationalization”. Menurut strategi ini, demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang mengalami transisi mengintegrasikan diri kedalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya negara-negara kapitalis maju. 24
Menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kebenaran dari tesis bahwa demokrasi bisa berjalan semestinya dan bertahan jika bersanding dengan kebijakan neoliberalisme? Faktanya hampir seluruh negara yang menjalankan kebijakan “Modernizatioan via internationalization” mengalami bencana krisis ekonomi dan politik yang akut. Kebijakan neoliberalisme yang dijalankan secara agresif ternyata menjerumuskan negara-negara yang mengalami transisi ke tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian politik liberal yang dijalankan gagal karena membawa negara kepada kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang tinggi. Beberapa ciri neoliberalisme yang menyebabkan kekuatan negara di reduksi oleh kekuatan modal, seperti:
1. Pasar yang berkuasa, bukan pemerntah atau negara. Membebaskan kegaiatan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah, walaupun kegiatan membawa dampak yang buruk terhadap rakyat dan kehidupan 24
Log. cit, Coen Husain Pontoh Hal. 20: menurut hipotesis ini kemakmuran atau kelimpahan ekonomi merupakan syarat kunci keberadaan kehidupan dmokasi.
28
bermasyarakat. Hal ini terlihat dari gencarnya tekanan swasta terhadap pemerintah untuk memperlemah serikat buruh serta perlunya penurunan upah buruh, bebasnya swasta membeli dan menggunakan tanah selamalamanya dan seluas-luasnya. 2. Mengurangi biaya untuk fasilitas dan pembangunan umum. Umpamanya dana untuk pendidikan, kesehatan, Penyediaan air bersih, dan pembangunan daerah secara umum harus dikurangi. 3. Mencabut peraturan-peraturan yang menngganggu keuntungan ekonomi. Misalnya dengan menghapus atau mengganti
peraturan tentang
melestarikan lingkungan, jaminan kondisi kerja, atau peaturan tentang kesehatan makanan dan lain-lin. 4. Privatisasi/swastanisasi dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan eisiensi pelayanan kepada rakyat, maka perusahaan milik negara harus dijual, termasuk penjualan jenis-jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan air, listrik, sekolah, rumah sakit, Bank, dan perkeretaapian. 5. Mencabut bantuan sosial. Bantuan negara/ pemerintah untuk orang miskin harus dicabut. 6. Pasar bebas. Di tingkat internasional, paham neoliberalisme berusaha untuk memudahkan perdagangan antar negara. Salah satu untuk mencapai kondisi ini maka diperlukan untuk mencabut semua konrtol yang dianggap menghalangi pasar bebas. Misalnya tentang bea/cukai, halangan investasi dan aliran lalulintas modal.
29
7. Monopoli teknologi yang hanya dapat dikuasai dan dikelola oleh pemilik modal untuk produksi masal. 8. Cendrung menggunakan militer dan kekerasan sebagai alat untuk mengintervensi disamping pasar bebas.
Apabila dorongan untuk mencari keuntungan individual adalah kapasitas yang alamiah, maka tidak boleh ada intervensi pemerintah atau monopoli negara karena hal itu hanya akan mengganggu kebebasan individu dalam berkompetisi. Dari gagasan inilah lahir apa yang kemudian disebut dengan pasar bebas (free markets), sebagaimana yang kita kenal saat ini.konsep lainnya dari neoliberalisme adalah comparative advantage (keunggulan komparatif). Menurutnya, setiap bangsa harus memaksimalkan kekayaannya bukan atas dasar surplus perdagangan, malainkan mengambil keuntungan dari pambagian kerja (division of labour) internasional berdasarkan perdagangan bebas. Smith berkata “bila sebuah negara asing dapat mensuplai kita dengan komoditi yang lebih murah dibanding yang kita buat sendiri, maka lebih baik kita membelinya dari mereka, dari sebagian hasil industri kita sendiri yang punya kelebihan-kelebihan dari yang lain”. Inilah hukum comparative advantage yang masih hidup dan banyak dipraktekan serta diamalkan di banyak negara hingga sekarang.
Neoliberalisme kemudian dikenal sebagai sebuah kendaraan yang mengusung satu proyek besar dunia; globalisasi pasar, dengan cara-cara seperti bagaimana yang disebutkan oleh Manfred B. Steger, bahwa kelompok globalis neoliberal berupaya menyemaikan pengertian yang tidak kritis mengenai “globalisasi” kealam pikir
30
masyarakat dengan klaim yang mereka sebut sebagai keuntungan universal dari liberalisasi pasar, yaitu : peningkatan standar hidup global, efisiensi ekonomi, kebebasan individu dan demokrasi, serta kemajuan teknologi yang belum pernah ada sebelumnya 25 . Menurut Mansour Fakih, Globalisasi pada dasarnya merupakan proses pesatnya perkembangan kapitalisme, yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari Perusahaan Transnasional (Trans National CorporationsTNCs) dengan dukungan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional (International Financial Institutions-IFIs) yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Global (World Trade Organization-WTO) 26 . Dengan demikian, proses neoliberalisme yang diwacanakan berakibat pada monopoli negara-negara kaya terhadap negara berkembang di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di Asia, Indonesia merupakan contoh yang paling baik untuk menggambarkan bagaimana dampak dari hegemoni neoliberalisme tersebut khususnya bagi para petani. Pengkerdilan peran negara menyebabkan negara tidak mampu melindungi petani, nelayan, dan rakyatnya secara maksimal. Dengan monopoli yang demikian maka irama permainan pertanian global akan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama koorporasikoorporasi transnasional (TNC). Dengan kekuatannya TNC-TNC ini menghisap surplus yang besar dari negara-negara dunia ketiga dan subsidi dari negara-negara tempat TNC beroperasi. Perkembangan-perkembangan ini akan meluncur seiring 25
Manfred B. Steger. GLOBALISME; Bangkitnya Ideologi Pasar, Jogjakarta: Lafadl Pustaka, 2005. Halaman 17 26 Log. Cit,.Mansour Fakih. Jalan Lain ; Manifesto Intelektual Organik. Hal. 192
31
dengan tersingkirnya dan marjinalisasi petani-petani kecil, baik yang ada di negara maju dan yang tersebar di negara sedang berkembang dan miskin di belahan selatan dunia. Dengan kekuatan lobynya untuk menyetir
dan mempengaruhi setiap
keputusan penting dalam berbagai kesepakatan-kesepakatan multilateral serta institusi-institusi keuangan global penyebar ideologi neoliberalisme, pertanian dunia akan
berada
dalam
cengkraman
neoliberalisme.
Inilah
yang
dinamakan
neoliberalisme pertanian. B.
Neoliberalisme dan Lembaga Pendukungnya 1. WTO (World Trade Organization) Salah satu strategi untuk melancarkan agenda Neoliberalisme tersebut diantaranya melalui lembaga WTO. GATT (General Agreement on Trade and Tariff)
merupakan suatu kesepakatan multilateral yang
menciptakan kerangka kerja sama perdagangan internasional. GATT dibentuk pada tahun 1948 dengan tujuan untuk menghapuskan proteksi perdagangan melalui penghapusan tarif dan kuota. Semakin lama GATT semakin berpengaruh pada beberapa perundingan perdagangan yang kemudian
menghasilkan
pemotongan
tarif.
Ada
beberapa
putaran
perundingan yang dilakukan berturut-turut mulai di Jenewa (1947), Annecy (1948), Kennedy (1964-1067), Tokyo (1973-1979) dan putaran Uruguay (1986-1994). 27 Putaran Uruguay merupakan perundingan yang komprehensif. Sampai dengan masa berakhirnya pada tahun 1994 dalam suatu pertemuan 27
Log. Cit, Irma Yanni, Melawan Neoliberalisme, Petani Press, Hal. 52
32
tingkat menteri di Marakesh, Maroko. Putaran Uruguay telah menghasilkan suatu reformasi global di bidang perdagangan dan hasilnya juga semakin luas termasuk memasukan sektor pertanian dan tekstil di dalam kesepakatannya. Di putaran Uruguay ini juga cakupan perdagangan dunia telah diperluas dengan memasukan hal-hal lain seperti GATS (kesepakatan umum tentang perdagangan dan jasa), TRIPS (kesepakatan tentang HAKI atau hak milik intelektual), TRIMS (kesepakatan tentang ketentuan investasi). Yang pada akhirnya putaran Urugay ini mencapai kesepakatan untuk membentuk organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization). WTO secara formal terbentuk pada tanggal 1 januari 1995, dimana satu per lima anggotanya adalah negara yang sedang berkembang. Tidak lama setelah putaran Uruguay berlalu beberapa anggotanya mengkritik WTO dan menyatakan WTO hanya mengakomodir kepentingan negaranegara maju saja. Satu kritik pedas yang disampaikan oleh Luis Fernando Jaramillo yang mengatakan: 28 ”Cukup jelas bahwa hasil putaran Uruguay tidak dilaksanakan untuk kepentingan negara-negara yang berkembang.....dan tidak diragukan lagi, negara yang berkembang merupakan pihak yang kalahbaik secara perorangan ataupun kolektif.”
WTO merupakan suatu arena konflik politik-ekonomi guna mengembangkan kompetisi dan menciptakan kesempatan untuk melakukan 28
Ibid, Hal. 54. Luis Fernando Jaramillo adalah ketua dari kelompok G77 di New York dan utusan tetap Colombia di PBB.
33
kompetisi dan menciptakan kesempatan monopoli dan ekspansi usaha. Intinya adalah untuk meliberalisasi pasar guna memenuhi ambisi negaranegara kapitalis agar pasar Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dapat terbuka bebas. Negara-negara maju ini sangat membutuhkan pasar untuk menjual surplus produksinya dan mengeluarkan modalnya sehingga bisa mendapat bahan baku yang murah dan upah buruh yang sangat murah guna mengembangkan monopoli usahanya agar berkembang dan tidak bangkrut. Bukan hanya barang yang bisa bergerak bebas tapi juga termasuk jasa dan investasi juga harus bebas bergerak. Negosiasi-negosiasi perdagangan dunia banyak dilakukan di forum WTO. Negosiasi tersebut akan mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan menguntungkan satu pihak dan membebani pihak yang lain. Contohnya, perjanjian perdagangan melarang hampir semua subsidi termasuk juga untuk sarana produksi pertanian. Kondisi tersebut menekan pendapatan petani di negaranegara berkembang yang tidak mendapatkan subsidi seperti yang terjadi di Indonesia. Perjanjian perdagangan tersebut menggariskan tentang perlunya keseragaman sistem perdagangan dunia. Langkah ini diyakini akan meningkatkan efisiensi perdagangan. Hal tersebut akan mengakibatkan negara anggota WTO suka atau tidak suka, mau tidak mau harus melakukan penyesuaian berdasarkan komitmen yang disepakati. Di sektor pertanian, akan merubah sistem pertanian di negara-negara berkembang secara radikal.
34
Padahal kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya negara-negara berkembang jelas tidak sama dengan kondisi negara-negara maju. Akibatnya praktek perdagangan tersebut cederung menjadi perdagangan yang yang tidak adil, dan bahkan menghisap akibat level playing field yang berbeda antara negara maju dengan negara-negara berkembang. Hal ini terlihat pada termarjinalisasikanya posisi petani berlahan sempit (gurem) dengan melakukan praktek pertanian dengan teknologi sederhana yang menghuni negara-negara berkembang. Dan di sisi lain, petani di negara maju selain mendapat dukungan penuh dari pemerintah, dengan penguasaan lahan yang luas dan menggunakan teknologi modern. Sudah sangat jelas yang terjadi kemudian adalah ketidak adilan akibat peraturan yang unfair. 1.1 AoA (Agreement on Agriculture) Sebelum putaran Uruguay, pertanian tidak termasuk dalam negosiasi perdagangan multilateral. Putaran Uruguay memasukan perdagangan hasil-hasil pertanian termasuk tekstil dan sandang kedalam kesepakatan perdagangan internasional. Secara tradisional, suatu negara selalu mengenakan tarif ( bea dan cukai), hal ini guna mengontrol import produksi hasil pertanian dan sebagai suatu instrumen untuk melindungi dan mengembangkan pertaniannya. Beberapa negara maju terutama USA dan Eropa memberikan subsidi pada produksi pertaniannya sehingga ekspor yang
35
dilakukan menjadi berharga sangat murah, sehingga merusak pasar di tingkat internasional. 29 Ketentuan tentang pertanian (AoA) berusaha menciptakan sistem perdagangan hasil pertanian yang berorientasi pasar. Menghapuskan subsidi dan proteksi terhadap hasil pertanian, sehingga menghasilkan kehancuran di pasar produksi pertanian dunia. AoA juga mengharuskan pengurangan subsidi terhadap produk-produk pertanian dan ekspor hasil pertanian.
Wilayah kerja AoA terdiri dari: a. Akses pasar(pengurangan tarif dan pembatasan impor) b. Pengurangan subsidi terhadap pertanian c. Pengurangan subsidi ekspor hasil pertanian. AoA juga mengatur ketentuan tentang kesehatan termasuk juga stadar pangan higiensi dan ketentuan inspeksi. Setiap angota harus membuat komitmen dalam wilayah kerja ini menurut jadwal tertentu.
1.2 TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) Selain perjanjian pertanian, perjanjian WTO lain yang membawa perubahan mendasar pada sektor pertanian adalah persetujuan mengenai hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights/TRIPs). Sejak januari
29
Ibid, Hal. 55
36
tahun 2000, negara-negara berkembang anggota WTO berkewajiban melakukan harmonisasi undang-undang nasionalnya agar sejalan dengan kesepakatan TRIPs. Hasil putaran Uruguay, TRIPs meurpakan salah satu hasil utama yang paling kontroversial dan memicu perdebatan di seluruh dunia. Sebab, perjanjian itu dianggap tidak konsisten dengan tujuan WTO. Untuk sektor petanian, pasal 27 merupakan pasal yang paling sering dipermasalahkan, yaitu yang berisi antara lain 1, Paten diberikan untuk semua penemuan, baik dalam bentuk produk atau proses,tanpa melihat tempat dari mana asal dan pembuatan suatu penemuan dan dalam semua bidang teknologi. 2, Negara anggota WTO dapat menetapkan penemuan yang tidak diberikan paten, sepanjang penemuan tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. 3, Negara-negara anggota WTO dapat menetapkan penemuan yang tidak dapat diberikan hak paten, seperti metode pemeriksaan, pengobatan dalam rangka penanganan manusia dan hewan. 30 Bila dicermati isi dari TRIPs dapat memunculkan beberapa implikasi pematenan atas mahluk hidup pada masyarakat tradisional dan petani, seperti halnya masyarakat petani tidak lagi dapat menjalankan aktifitas yang biasa mereka lakukan- yang terkait erat dengan perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati tanpa seijin pemegang paten. 30
Log Cit, Hudori, Neoliberalisme menumpas petani, Yogyakarta, Resist, Hal 94
37
Bila perlindungan paten diberlakukan, seyogyanya petani dan masyarakat tradisional juga unya hak untuk mendapatkan paten atas benihnya, persoalannya, ketentuan TRIPs mengatakan paten hanya dapat diberikan bagi inovasi yang dapat digunakan dalam skala industri. Padahal poses-proses bioteknologi yang menghasilkan bibit unggul tidaklah berdiri sendiri, tetapi perlu kearifan masyarakat tradisional. Akhirnya TRIPs memunculkan sejumlah implikasi serius, yang dalam konteks pertanian, terutama keragaman hayati. TRIPs akan mendorong terjadinya privatisasi keragaman hayati yang berada dalam kancah publik. Padahal sejarah mengajarkan, privatisasi sumber daya publik selalu berakhir dengan kerusakan atau penipisan sumber daya tersebut melalui monopoli kepemilikan keragaman hayati beserta pengetahuannya, menegasikan inovasi tradisional masyarakat adat/lokal, membuka peluang pembajakan sumber daya hayati yaitu pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumber daya genetika beserta kearifan tradisional masyarakat adat
tanpa
sepengetahuan
dan
persetujuan masyarakat setempat, dan mendorong erosi keragaman hayati. 2.
International Monetary Fund (IMF) Kehancuran dunia khususnya kehancuran ekonomi dunia sebagai akibat Perang Dunia II telah mendasari pertemuan diBretton Woods Hampshire Amerika Serikat pada 1-22 Juli 1944 yang dihadiri oleh 45 perwakilan pemerintahan. Pertemuan ini memunculkan pembentukan
38
International Monetary Fund (IMF). IMF dibentuk oleh 29 negara dengan menandatangani artikel perjanjian guna mengatasi depresi yang sangat besar yang dialami Amerika Serikat pada tahun 1930-an yang berdampak pada perekonomian negara-negara dunia ketiga. Adapun tujuan pembentukan IMF melalui promosi kerjasama moneter/keuangan internasional (Bank Dunia/World Bank) adalah untuk peningkatan perdagangan internasional dengan memberikan hutang kepada negara-negara yang telah menjadi anggotanya. Menurut IMF agar hutang tersebut bisa dikembalikan maka negara-negara yang diberikan bantuan tersebut harus menjalankan Structural Adjusment Program (SAP). Termasuk didalamnya adalah penurunan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap Dolar, pertumbuhan yang berorientasi ekspor, privatisasi, dan peningkatan praktek-praktek yang mendukung pasar bebas. Dengan kata lain negara yang ingin meminjam kepada IMF harus dengan syarat yang berakibat pada: (1), dipinggirkannya peran pemerintah sebagai badan publik dalam penyediaan berbagai layanan dasar untuk publik, (2) menjadikan berbagai jasa layanan dasar penunjang hidup sebagai barang dagangan (komoditas) yang dikuasai swasta, dan (3) sebagai konsekuensi dari keduanya, terjadinya pergeseran berbagai interaksi sosial dan kultural yang semula berorientasi pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan jasa layanan dasar untuk diri mereka sendiri direduksi secara implisit menjadi hubungan antara konsumen dan produsen atau justru antara penjual dan pembeli. Pada kondisi rendahnya akses publik terhadap modal/kapital, hal ini
39
akan mengakibatkan akses masyarakat kepada berbagai jasa layanan dasar serta politik menjadi sangat rendah. Di Indonesia, pelaksanaan pembangunan dengan menggunakan dana bantuan (pinjaman) kepada IMF dengan syarat yang ditentukan IMF tersebut telah mendesak pelaksanaan konsep pembangunan di bidang industri dan berorientasi ekspor. Pada gilirannya mau-tidak mau akan mengurangi jumlah perluasan lahan pertanian di Indonesia. Pengurangan luas lahan pertanian ini dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan lahan bagi pengembangan lokasi atau kawasan industri baik itu industri pabrik, perkebunan, pariwisata, perumahan dan pembangunan skala besar lainnya. Pada dasarnya kebijakan oleh IMF tersebut dikemas di dalam sebuah dokumen yang disebut dengan Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP), yang lebih poluler disebut dengan Letter of Intent(LoI). LoI tersebut harus disetujui dan dilaksanakan pemerintah Indonesia. Untuk merealisasikan langkah-langkah dalam LoI, melalui Bank Dunia maupun ADB (Bank Pembangunan Asia) telah menyediakan dana pinaman yang harus digunakan untuk melaksanakan sejumlah langkah mandat reformasi yang berbentuk penyesuaian struktural. 31 Salah satu dampak penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia tersebut bisa disaksikan pada sektor pertanian, dimana penyesuaian ini pada gilirannya
berpengaruh
langsung
terhadap
ketahanan
pangan
kita.
Penyesuaian yang tertuang dalam LoI tersebut direspon oleh pemerintah 31
Ibid, Hal. 194
40
dangan mengeluarkan kebijakan, antara lain penghapusan monopoli import berbagai komoditas pangan pokok dan strategis (beras, gula, terigu dan gandum), penetapan tarif bea masuk, penghapusan subsidi pangan, penghapusan subsidi pupuk dan berbagai sarana produksi pertanian kepada petani. 3.
Multi National Coorporations (MNCs) Dari uraian tentang implikasi neoliberalisme terhadap petani diatas, kita dapat memahami bagaimana sesungguhnya ”perang” yang terjadi antara negara khususnya dunia ketiga dengan MNCs dalam perebutan kekuasaan ekonomi. Negara dilucuti peran dan kekuasaanya sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dipaksa untuk tunduk pada kepentingan perusahaanperusahaan raksasa MNCs tersebut. Perkembangan
peragangan
yang
terjadi
dewasa
ini
adalah
berkembangnya pertanian bioteknologi lewat rekayasa genetika yang menghasilkan tanaman transgenik. Lewat rekayasa genetika pertanian transgenik telah meluas. Keberhasilan komersialisasi produk transgenik didukung oleh kemampuannya dalam posisi yang acceptable dalam ranah sosio-politik, dan ini sangat disadari oleh perusahaan multi nasional. Pelipatgandaan model tersebut sangat progresif dengan penambahan jumlah luasan tanaman transgenik yang sangat fantastis. Misalnya sebesar 46%
41
kedelai yang ditanam di seluruh dunai saat ini adalah merupakan kedelai transgenik. 32 Singkatnya adalah terjadi monopoli teknologi dan beserta globalisasi paradigma monokultural. Karena benih dipatenkan, petani yang semula bisa menangkarkan bibit untuk keperluannya sendiri, kini mereka dipaksa untuk membeli benih produk MNC dengan harga yang sangat mahal dan tidak bisa di benihkan kembali oleh petani. Saat ini Monsanto memiliki hak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika yang berhubungan dengan riset tanaman transgenik 33 . Maka semua pengguna bioteknologi dasar tersebut harus meminta ijin dan membeli dari Monsanto. Ini memicu kontroversi karena ide dasar hak paten adalah publik mendapatkan akses ke produk yang aman. C. Respon kebijakan pemerintah Selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis beras yang paling parah. Akibat krisis pangan yang akut di pedesaan, terjadi penjarahan terhadap perkebunan, hutan, bahkan tambak. Krisis ekonomi ini diyakini punya andil besar terhadap kejatuhan Preisden Soeharto. Kelangkaan pangan merupakan persitiwa politik yang mengguncangkan, kala ”warga
berulangkali
menunjukan
kemampuannya
untuk
menjatuhkan
pemerintahan yang gagal dalam kebijakan pangan ini”. Sejauh sebuah rezim 32
Ibid, Hal. 49, rekayasa genetika merupakan teknologi untuk mengubah susunan materi genetic sel hidup untuk menghasilkan senyawa yang diinginkan atau bahkan mengubah fungsi-fungsi secara berbeda dengan sel-sel yang lain yang tidak mengalami manipulasi. 33 Monsanto merupakan perusahaan penelitian produk transgenic yang tidak lain adalah sponsor utama MNC.
42
mampu mengontrol sumber-sumber dasar tersebut, menjaganya dari ancaman kelangkaan, dan yang jauh lebih penting adalah menstabilkan harga dikalangan konsumen dan konstituen strategis maka sejauh itu pula stabilitas politik dapat dijamin dengan mantap. Bagitu juga sebaliknya, kekuasaan politik dapat terguncang karena gagal menjaga stabilitas harga pangan. Hal ini akan lebih nyata lagi terlihat di berbagai negara berkembang dan miskin, seperti di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Dalam masyarakat politik seperti itu, persoalan pangan dapat menjadi ancaman bagi stabilitas politik yang laten dan bisa menyebabkan keguncangan sewaktu-waktu. Untuk mengantisipasi kekacauan politik dan ekonomi yang kian memburuk, Pemerintah Indonesia merepone dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang kooperatif dengan lembaga-lembaga ekonomi internasional. Hal tersebut menghasilkan beberapa kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang publik, seperti keluarnya:
1. Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 (tentang perkebunan) Sejarah penguasaan tanah agraria di Indonesia sejak jaman feodal dikuasai oleh raja-raja secara mutlak. Feodalisme adalah sistem perekonomian dimana raja dan keluarganya merupakan tuan dan rakyat adalah abdi. Jadi dalam sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah merupakan milik raja, bangsawan. Juga rakyat adalah milik raja yang tenaganya dapat diserahkan demi kepentingan penguasa tersebut.
43
Begitu juga pada masa kolonial dapat digambarkan secara umum bahwa penguasaan tanah dikuasasi oleh para penjajah kapitalisme kolonoalis Belanda dengan berbagai kesepakatan dengan para Raja. Sistem kolonial ini ditandai dengan 4 ciri pokok yaitu: dominasi, eksploitasi dan depedensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini pada umumnya didukun oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi. Dengan demikian pribumi dikenakan ”tanam paksa”, kerja rodi dan dipaksa untuk tidak memiliki modal produksi sendiri seperti tanah. Dengan tuntutan perkembangan kapitalisme tersebut pada tahun 1602 mereka membentuk gabungan perseorangan Belanda atau disebut dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC diberi oleh pemerintah Belanda hak eksklusif dalam melakukan monopoli perdagangan di daerah jajahannya demi memenuhi kebutuhannya. 34 Demikian hal ini berlangsung selama berabad-abad, yang menimbulkan penindasan dan penderitaan bagi penduduk pribumi yang berkepajanjangan. Hal ini terlihat dari pengembangan usaha pertanian perkebunan dengan satuan-satuan berskala besar. Akibat sosial dari penguasaan dari tanah sebagai alat produksi pertanian oleh kolonial adalah hubungan kelas sosial antara kelas sosial yang terlibat adalah buruh dengan pemilik modal: buruh adalah mayoritas manusia yang menjual tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah 34
Noer Fauji Rachman, Dinamika Perjalanan Politik Agraria, Bandung, 1994 hal 12.
44
Hak rakyat atas tanah merupakan hak dasar dari setiap manusia dan rakyat mempunyai hak pengelolaan yang bersifat mandiri dan mempunyai kemerdekaan dalam menentukan pengelolaanya. Demikian juga hubungan antara manusia dengan tanah merupakan hubungan yang bersifat sosio religius sehingga tanah tidak dapat hanya dipandang sebagai aset produksi semata. Hak rakyat atas tanah sebagai hak dasar manusia harus dijamin ketersediaanya oleh negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat semesta. Penguasaan tanah secara terpusat pada individu maupun kelompok dengan skala besar tidak dibenarkan dan negara sebagai penjamin harus melaksnakan fungsinya untuk melakukan distribusi tanah untuk pemenuhan hak dasar tersebut. Udang-Undang perkebunan tetap memandang tanah sebagai asset produksi semata. Tanah yang mempunyai hubungan sosial religius apabila dibutuhkan untuk usaha perkebunan dan di atas tanah tersebut terdapat masyarakat atau hak rakyat terlebih dahulu ada mereka wajib dilakukan musyawarah. Prinsip musyawarah pada dasarnya memang merupakan sebuah prinisip yang sangat diharapkan dalam setiap pengambilan keputusan bersama. Undan-Undang perkebunan tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar musyawarah karena musyawarah diarahkan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. 2. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 (tentang sumber daya air) Air merupakan potensi yang ada di alam, menjadi kebutuhan yang mendasar bagi semua mahluk hidup yang ada di bumi. Oleh karena itu air
45
menjadi bagian syarat terpenuhinya hak azasi manusia. Hak yang setara atas air bagi setiap individu merupakan hak dasar manusia. Privatisasi pengelolaan air dan komersialsiasi sebagaimana terdapat dalam undang-undang no.7 tahun 2004 bertentangan dengan hak dasar tersebut. Sementara hak ini dijamin oleh UUD 1945. Undang-undang sumber daya air no.7 tahun 2004 ini membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan penguawas regulasi. Negara sebagai regulator dan swasta sebagai penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminya keselamatan dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Atas dasar itulah, substansi yang mendorong privatisasi dan komersialisasi
air
dalam
undang-undang
no.7
tahun
2004
akan
membahayakan kepentingan dan kesejahteraan seluruh laspisan masyarakat. Air menjadi salah satu contoh upaya pemilik modal global untuk menguasai sumber daya negara berkembang dan bertujuan untuk menarik keuntungan. Agenda libealisasi yang dititipkan pada sejumlah undang-undang merupakan pola umum yang dijalankan lembaga kapitalis global. Undang-undang ini mendapat penolakan dari kelompok-kelompok masyarakat. Terdapat pasal-pasal yang memberikan peluang pengelolaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air kepada swasta yang tidak dibatasi.
46
Dengan demikian privatisasi tidak sebatas penyerahan penyediaa air minum, namun juga pengelolaan air untuk berbagai kepentingan, khususnya irigasi pertanian, energi dan industri. Undang-undang yang baru ini lebih didominasi oleh kepentingan ekonomis. Pengaruh Bank Dunia ikut menentukan substansi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh undang-undang ini. Hadirnya undang-undang no. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air merupakan bagian dari persyaratan pinjaman Bank Dunia untuk program WATSAL (Water resources sector adjusment loan) sebesar USD 300 juta yang ditandatangani pada april 1998. sejak tahun 1998 kebijakan tentang air yang baru tersebut dirumsukan dengan ketelibatan Bank Dunia, Bapenas dan Kimpraswil. Seak awal Bank Dunia telah menyatakan bahwa lembaga tersebut tidak akan memberikan pinjaman baru apabila kebijakan pengelolaan air, khususnya untuk irigasi pertanian tidak diubah. Undang-undang ini memberi ruang yang luas bagi swasta untuk menguasai air (air tanah, segala bentuk air permukaan dan sebagian badan sungai). Instrumen Hak Guna Usaha dalam pasal 7,8, dan 9
35
menjadi dasar
35
UU Sumber Daya air No.7 Tahun 2004 pasal 7: (1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air, (2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya., Pasal 8: (1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi.,(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila, (a) cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air; (b) ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar; atau (c) digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.(3) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Pasal 9: (1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah
47
alokasi dan penguasaan sumber-sumber air kepada swasta. Instrument Hak Guna Usaha ini menjadi dasar pengelolaan air dan menjiwai sebagian besar pasal-pasal dalam undang-undang seumber daya air. Undang-undang ini juga membatasi bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat. Di luar batasan kriteria penggunaan sehari-hari dan pertanian rakyat yang ditentukan pemerintah, akan dikategorikan sebagai kepentingan komersial. Oleh karena itu maka penggunaan air di luar batasan tersebut akan diwajibkan mendapatkan izin dan tentunya akan dikenakan biaya. Begitu banyak aktivitas masyarakat yang selama ini dilakukan tanpa nuansa komersial akan terhambat terhadap akses air tersebut. Dengan adanya batasan penggunaan air kepada masyarakat, maka alokasi air bagi kepentingan akan semakin besar. Pengaturan ini membuat pemanfaatan air mengalir kepada kepentingan komersial semakin besar dan yang mampu dari sisi eknomi. Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang air tersebut, swasta memiliki peluang yang cukup besar untuk menguasai sumber-sumber air milik bersama masyarakat. Sumber-sumber air bersama masyarakat dapat dikuasakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah kepada swasta atau perorangan untuk mengelolanya. Walaupun dalam isi undang-undang tentang air no. 7 tahun 2004 tidak menyebutkan ”privatisasi” namun jelas pelibatan swasta dalam berbagai bentuk dan tahap pengelolaan air menunjukan adanya agenda privatisasi.
yang bersangkutan.(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi
48
Privatisasi atas penyediaan air minum, pengelolaan sumber daya air, dan irigasi pertanian dimungkinkan oleh undang-undang sumber daya air ini, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 40 (ayat 4 dan 5). 36 Pertanian akan menjadi mahal oleh karena mendapatkan air akan membutuhkan biaya yang lebih besar ditengah tingginya biaya produksi tani seperti pupuk, bibit dan pemasaran hasil pertanian yang tidak menentu. Petani yang mendapatkan air dari pengelola swasta akan membayar biaya pengelolaan air. Beban ini menjadi bertambah besar karena menurut undangundang sumber daya air (pasal 41 ayat 3) maka pembangunan dan pemeliharaan irigasi menjadi tangungan petani dan tidak lagi disubsidioleh pemerintah. Petani khususnya petani sawah , tidak akan mampu bertahan di sektor pertanian dengan kondisi seperti ini. Dan agenda kedaulatan pangan akan semakin jauh dari harapan rakyat Indonesia. Disamping itu juga beberapa undang-undang yang dihasilkan seperti undang-undang no.25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing, undangundang no.22 tahun 2001 tentang minak dan gas bumi, dan undang-undang no.11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan terdapat muatan yang meliberalisasi sumber-sumber pertanian. Secara tidak langsung, lahirnya
36
Pasal 40 ayat 4: Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Ayat 5: Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk: a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau; b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.
49
undang-undang ini akan merugikan pertanian dan mementingkan kekuatan modal asing.
D. Praktik Neoliberalisme di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Petani di Sumatera Utara 1. Revolusi Hijau Apa yang melatar melatarbelakangi yang disebut dengan revolusi hijau adalah suatu kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang rezim Orde Lama. Sejak masa kemerdekaan, impor beras meningkat dari sekitar 0,3 juta ton hingga mancapai 1 juta ton (diawal 1960-an) dan menyusut sampai hanya menjadi 0,2 juta ton pada akhir rezim orde lama. 37 Pada masa pemerintahan Orde Baru sangat disadari bahwa pentingnya ketersediaan bahan pangan, khususnya adalah beras. Jalan yang ditempuh adalah dengan apa yang disebut dengan Revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan istilah yang dikenal sejak tahun 1960-an. Pengertian istilah ini adalah suatu program intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras. Program ini mengenalkan dan meluaskan penggunaan teknologi dalam teknik bertani. Sejak awal, tujuan program ini adalah untuk meningkatkan produksi beras secara luar biasa, tanpa mengubah bangunan sosial pedsaan.
37
Noer Fauji Rachman, Dinamika Perjalanan Politik Agraria, Bandung, 1994 hal 146.
50
Revolusi Hijau memperoleh dukungan besar dari sumber-sumber pembiayaan anggaran pembangunan. Sumber ini berasal dari dua pokok, yaitu: pinjaman dan hibah internasional, dan pendapatan dari minyak bumi. Pinjaman hibah ini diperoleh dari suatu kelompok badan donor yang disebut dengan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). Sedangkan pendapatan dari minyak bumi diperoleh dari lonjakan harga minyak bumi di pasar internasional perbarrel dari US$ 3 sampai US$ 36 di tahun 1982. Dari sumber tersebut dianggarkan sekitar 20% untuk membangun sarana-sarana fisik maupun program pengadaan produksi beras yang luar biasa. 38 Selanjutnya
pemerintah
menerapkan
kebijakan
baru
yang
berintikan subsidi seperti subsidi pupuk, kredit pertanian, pembelian padi oleh pemerintah, dan pengadaan sarana produksi tani. Keberhasilan Revolusi Hijau dalam menigkatkan produksi beras tidak perlu diragukan lagi. Ditinjau dari segi produksi yang dihasilkan, rangkaian subsidi tersebut menunjukan hasil yang luar biasa. Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan masa akhir tahun 1960an. Sehingga Indonesia yang tadinya mengimport beras jutaan ton di masa Orde Lama, pada tahun 1985 bisa mengalami swasembada beras. Dibalik prestasi ”Swasembada Beras” tersebut, terdapat suatu proses yang biasa disebut sebagai diferensiasi agraria. Diferensiasi
38
Ibid Hal. 147
51
agraria adalah pergerakan suatu kelompok-kelompok sosial yang merupakan akibat dari masuknya unsur baru di sektor agraria. Hanya 20% hingga 30% rumah tanga di pedesaan yang diuntungkan dengan Revolusi Hijau. Mereka berhasil menjadi petani kaya yang berkecukupan. Mereka bukanlah petani-petani yang mandiri, melainkan bergantung pada subsidi negara dan perlindungan ekstra negara. Mereka mengonsentrasikan sejumlah tanah dan menggunakan sejumlah teknologi baru dalam proses produksinya. Konsekuensinya, lambat laun mereka menjadi kapitalis-kapitalis pertanian, yang mempekerjakan buruh tani untuk tanah-tanahnya yang cukup luas. Apa yang sedang terjadi adalah pengelompokan sosial yang didalamnya terdapat: elit-elit pemerintah lokal yang memonopoli, menginvestigasi dan mengambil keuntungan dari program pemerintah dan sumber daya-sumber daya lokal: petani-petani yang kaya yang diuntungkan dengan konsentrasi tanah yang dilakukan: dan petani-petani miskin yang subsisten dan buruh-buruh tani yang merupakan mayoritas penduduk desa. Fakta yang terlihat adalah bahwa petani pemilik lahan dengan luas lebih kurang 0,5 Ha hanya sekitar 20%, sedangkan sebagian besar masyarakat di desa hanya memliki sedikit tanah (kurang dari 0,25% Ha) lebih dari itu adalah mereka yang tidak punya tanah sama sekali. Dengan struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang ini tentu semakin jelas
52
bahwa program Revolusi Hijau yang menghasilkan swasembada pangan masih belum mampu mengangkat nasib petani. Perubahan politik pada masa jatuhnya rezim orde baru ternyata juga memukul sektor pertanian dalam negeri. Jatuhnya perekonomian dalam negeri semakin memperlemah negara untuk melindungi petani dengan subsidi. Melalui proses peminjaman hutang kepada IMF dan kesepakatan WTO di sektor pertanian, negara mulai mengurangi subsidi di beberapa bagian termasuk pertanian. Dengan demikian secara otomatis, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar yang semakin memperkuat peran swasta tanpa ada intervensi atau kontrol dari pemerintah. Disamping itu juga dampak dari Revolusi Hijau dengan menggunakan pestisida atau penggunaan bahan-bahan pupuk dan obatobatan kimia dalam sarana produksi pertanian mengakibatkan para petani tergantung terhadap penggunaan obat-obatan tersebut. Menjadi permasalahan adalah ketika subsidi terhadap pupuk mulai dicabut pemerintah sehingga harga pupuk di pasar semakin tidak terkendali. Kenaikan harga pupuk dan obat-obatan pertanian ini tidak sebanding dengan harga kenaikan hasil produksi pertanian yang ada. Faktanya, hal ini dirasakan oleh petani yang ada di seluruh Indonesia yang notabene secara umum tergantung terhadap asupan pupuk dan obat-obatan pertanian. Tidak terkecuali di Propinsi Sumatera Utara, menurut data, di Kabupaten Asahan kenaikan harga pupuk dan pestisida mencapai angka
53
lebih dari 100%. Seperti pupuk KCL dalam karungan 50 Kg sebelumnya hanya Rp. 130.000,- per zak kini menjadi Rp. 325.000,-. Begitu juga NPK yang lazim digunakan petani sebelumnya Rp. 180.000,- menjadi 380.000,- per zak, dan beberapa jenis pupuk lain. Demikian juga dengan herbisida merk Round Up yang semula harganya Rp.45.000,-/liter menjadi 80.000,-/liter. Pestisida merk Touch-Down Rp. 50.000,menjadi Rp. 100.000,-/ liter. 39 Hal ini juga terjadi di daerah lain di Sumatera Utara. Disamping itu juga penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia secara besar-besaran pada Revolusi Hijau juga berdampak hingga sekarang. Dampak penggunaan bahan-bahan kimia tersebut sangat merugikan bagi kesehatan dan berbahaya. Di beberapa negara dilarang mengkonsumsi hasil pertanian yang mengandung zat aditif tersebut. Hal ini menyebabkan tidak diterimanya hasil produksi pertanian dalam negeri di luar negeri akibat zat aditif (unsur-unsur kimia beracun yang merugikan kesehatan). Contohnya, jeruk dan hasil sayuran dari petani Beras Tagi Kabupaten Karo yang dikembalikan dari Singapora dan beberapa negara lainya sehingga menyebabkan akses pasar terhadap hasil pertanian tersebut menjadi sangat terbatas. 40 2. Kebijakan Pangan Indonesia
39 40
Harian Waspada, 20 Februari 2008 Sumber. Harian SINDO. Edisi Selasa 20 Maret 2007
54
Liberalisasi perdagangan kini telah menyebabkan impor pangan secara besar-besaran ke negara-negara sedang berkembang, sehingga merusak penghidupan petani gurem (petani kecil) dan tidak berandil sama sekali pada upaya mewujudkan ketahanan pangan. Konsep penting Adam Smith tentang pasar bebas (free market) yang akan melahirkan keunggulan komparatif (keuntungan yang diperoleh akibat pembagian kerja) ternyata menimbulkan monopoli oleh entitas seperti MNC terhadap sektor pertanian secara umum. Hal ini mengakibatkan ketergantungan dan melemahkan ketahanan pangan negara-negara berkembang secara luas. Sepanjang era reformasi, kebijakan pangan, terutama beras mengalami pasang surut yang begitu dinamis. Dinamika itu bergerak seiring dengan naik-turunya kekuatan tawar (bergaining position) pemerintah dengan berbagai kekuatan penekan atau sektor swasta. Kebijakan pangan khususnya beras era Orde Baru yang semula terkesan cukup kuat ketika kendali pemerintahan berpindah dari Soeharto kepada Ir. B.J. Habibie menjadi tidak teratur. Lemahnya posisi terhadap lembaga donor, membuat kebijakan pangan yang dirumuskan tunduk terhadap kesepakatan IMF. Pada tahun 1998 kebijakan pangan Indonesia berubah drastis. Akibat tekanan IMF, pemerintah meliberalisasi pasar beras domestik dimana beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia secara umum. Kebijakan ini menyebabkan pencabutan subsidi pertanian dan
55
proteksi produk pertanian dihapuskan, kacuali subsidi benih. Pasar beras domestik yang semula tertutup dan pelaksanaan importnya dimonopoli oleh BULOG (Badan Urusan Logistik) mulai terbuka bagi pelakupelaku industri lain. Disamping itu juga status semula BULOG sebagai STE (State Trading Enterprise) oleh pemerintah reformasi dihapuskan status STE-nya, sehingga hak-haknya secara tidak langsung ikut hilang. Sedangkan negara-negara lain seperti Malaysia, India, Filipina, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia tetap mempertahankan peran lembaga STE mereka. 41 Dengan
demikian
secara
tidak
langsung
pemerintah
menyerahkan kebijakan pangan domestik kepada mekanisme pasar dalam komposisi yang besar. Dalam hal ini pasar mengambil peran yang sangat besar atau dapat dikatakan pasar sangat menentukan terhadap ketahanan pangan dalam negeri. Efek domino yang terjadi adalah impor besar-besaran terhadap bahan makanan pokok dan intensitasnya menjadi semakin lama semakin tinggi. Ditambah lagi dengan bea masuk yang rendah atau hampir 0% akibat kesepakatan yang terjadi di WTO dan lembaga keuangan dunia, para importir swasta berloma-lomba memasukan beras import. Jika tahun-tahun sebelumnya angka import beras Indonesia bergerak antara 1,5 sampai 2 juta ton, pada tahun 1998, tercatat hingga 7.200.000 ton beras import yang masuk ke Indonesia. Di sisi lain dampak yang terjadi adalah harga hasil produk pertanian jatuh 41
Log Cit. Khudori. Neoliberalisme Menumpas Petani. Resist Book. Yogyakarta. 2004. Hal 228
56
menyentuh angka 700 sampai 800/ Kg pada panen awal tahun 2000. 42 Bulog juga sebagai lembaga yang dapat memonopoli dan sebagai stabilisator ketahanan pangan juga harus menggunakan dana komersil yang berorientasi pasar untuk membiayai beban operasionalnya. Kedaulatan pangan tercapai bila kita tidak didikte oleh fluktuasi produksi dan harga pangan internasional, tidak tergantung benih (transgenik, hibrida dan benih unggul) yang sebagian besar dikuasai perusahaan multi nasional, petani berdaulat atas tanah dan produknya terlindungi dan tidak dibiarkan berjuang sendirian di pasar persaingan global. Reforma agraria merupakan jalan yang harus ditempuh dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Dengan mewujudkan reforma
agraria
sejati,
diharapkan
dapat
menangkal
kebijakan
neoliberalisme WTO dan juga sebagai prasyarat tegaknya kedaulatan pangan. Aspek ini harus diimplementasikan segera sebagai faktor utama dalam kebijakan pertanian. Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk memproduksi makanan sendiri dengan cara yang berkesinambungan dan harmonis dengan kebudayaan dan tradisi sendiri. Hal ini juga selaras dengan ketahanan sumber daya agraria dan kekayaan-keanekaragaman hayati bangsa Indonesia sendiri. Karena hakekatnya, pertanian memang lebih seperti jalan hidup (way of life) ketimbang komoditas yang diperdagangkan seperti yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) WTO. 42
Ibid. Hal 229
57
Semenjak tahun
1996 pula Indonesia menjadi pengimpor
produk pangan utama, seperti beras, gandum, gula, kedelai dan jagung. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel,jeruk,pir, kentang, bawang, dan lain-lain. 43 Ditengah
isu
krisis
pangan,
Indonesia
dengan
alasan
kerawanan pangan mengimpor beras. Hal ini akan merugikan petani akibat dari jatuhnya harga gabah ditingkat petani lokal. Pemerintah Sumatera Utara sebagai propinsi penghasil beras nasional menerima masuknya beras impor. Dari data Badan Ketahanan Pangan Sumut, jika dihitung berdasarkan total konsumsi sebanyak 1,9 juta ton (sudah termasuk kebutuhan industri, bibit, dan lainnya). Oleh karena itu, langkah Pemerintah Propinsi Sumut menerima 24.000 ton beras impor akan mematikan para petani Sumut. Bahkan lebih jauh lagi, masuknya
43
Hasil diskusi dengan Henry Saragih. Selasa 15 Januari 2008
58
beras impor tersebut tidak terlepas dari kepentingan neoliberalisme perdagangan beras. 44
44
Artikel ARAS. www.fspi.or.id Selasa 15 Januari 2008
59
BAB III PROFIL SERIKAT PETANI SUMATERA UTARA (SPSU)
A. Tujuan dan Prinsip SPSU 1. Tujuan Berdirinya SPSU Serikat Petani Sumatera Utara berdiri adalah untuk kepentingan kaum tani itu sendiri. Karena selama ini petani Sumatera Utara telah banyak mengalami penderitaan baik langsung maupun yang tidak langsung akibat dari tatanan ekonomi, politik serta kebijakan yang tidak memihak kepada petani karena pengaruh neoliberalisma. Oleh karena itu, SPSU merupakan Organisasi Tani yang berasal dari kaum tani untuk membela kepentingan petani. SPSU mendorong kaum tani di Sumatera Utara untuk diajak berpikir, belajar memahami Undangundang dan peraturan Pemerintah, serta meluangkan waktu untuk berorganisasi dan menyisihkan sebagian keuangannya untuk membangun sebuah Organisasi Tani Independent SPSU. Selama ini perjuangan petani dalam mempertahankan haknya-haknya bersifat kasus-perkasus. Dari pengalaman-pengalaman petani yang berjuang mempertahankan haknya, maka terlihat bahwa ketika konflik semangat petani bangkit. Namun ketika konflik mereda, maka perjuangan petani pun semakin melemah. Ketika terbentuk organisasi pada saat terjadi konflik, organisasi tersebut merupakan organisasi ad hoc atau organisasi aksi/komite. Biasanya lawan-lawan petani itu adalah Meliter, Pemerintah, dan Pengusaha yang refresive.
56 60
Oleh karena itu, salah satu tujuan dibentuknya Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) ini adalah dalam rangka mengatasi masalah-masalah petani. Tujuan praktis SPSU adalah memperjuangkan kebutuhan dasar bagi kaum tani Sumatera Utara dalam jangka pendek (petani butuh tanah, bibit, pemasaran, pupuk, obat-obatan dan lain-lain). Sedangkan tujuan strategis SPSU adalah memperjuangkan kepentingan petani Sumatera Utara serta menempatkannya pada posisi yang diperhitungkan oleh pemerintah. Salah satu tujuan strategis itu adalah dengan merombak sistem politik negara yang bersifat otoriter menjadi sistem politik yang demokratis, dimana ada keterlibatan aktif dari seluruh lapisan masyarakat termasuk petani. Atau merombak sistem ekonomi yang bersifat menindas rakyat menjadi sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat. Tujuan praktis dan strategis tersebut merupakan harapan bagi seluruh kaum tani di Sumatera Utara. 2. Prinsip dasar Organisasi SPSU Dalam konstitusinya, prinsip perjuangan ditegaskan sebagai nilai-nilai yang harus dipegang dan dipatuhi oleh semua komponen SPSU dalam menjalankan roda organisasi dan dalam memperjuangkan tujuan yang ingin dicapai. Dalam menjalankan roda organisasi dan memperjuangkan tujuan yang ingin dicapai tersebut, SPSU berlandaskan pada prinsip; Berketuhanan, Kesadaran Petani, Keadilan dan Kesetaraan Antar golongan, Non-Kekerasan, Kesadaran Lingkungan Hidup, Keadilan dan Kesetaraan Antar Jenis Kelamin, Parsipatorik dan Demokratis, Terorganisir dan Terencana, Mandiri, Anti-
61
Diskriminasi, Solidaritas/Kesetiakawanan, dan Nonpartisan serta gerakan sosial. Prinsip-prinsip perjuangan SPSU selain menjadi pegangan dalam menjalankan roda organisasi dan memperjuangkan tujuan, juga menjadi prinsip yang harus dijalankan oleh semua petani, karena itu proses menjalankan prinsip sama pentingnya dengan tujuan mencapai prinsip 45 . Sebagai organisasi petani yang berwatakkan gerakan sosial dan bersifat perjuangan massa dan kader petani yang berdaulat dan mandiri, maka strategi perjuangan yang ditempuh oleh SPSU adalah : (a) Memadukan seluruh persoalan politik, ekonomi, social dan budaya petani dalam satu format gerakan sosial secara tepat, menyeluruh, terencana, sistematis, terus-menerus, dan penuh perhitungan. (b) Kekuatan Organisasi sebagai pelaku utama perjuangan (massa riil, massa strategis, kader, dan pimpinan) yang ditopang oleh kekuatan social budaya basis organisasi (logistik, solidaritas, kerjasama, swadaya, dan nilai-nilai social budaya lainnya yang dapat mendukung perjuangan). (c) Bersama-sama dengan petani lainnya (massa taktis organisasi dan kalangan petani tertindas lainnya) yang sejalan dengan Pandangan, Azas, Tujuan, Prinsip Perjuangan, dan kepentingan SPSU, untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan agraria yang adil, kedaulatan petani, system ekonomi yang adil, dan system budaya yang egaliter, yang merupakan tujuan dari perjuangan SPSU bagi keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
45
Pasal 11 Anggaran Dasar SPSU.
62
(d) Bersama-sama dengan kalangan rakyat lainnya (non-petani) yang sejalan dengan Pandangan, Azas, Tujuan, Prinsip Perjuangan, dan kepentingan SPSU, untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan agraria yang adil, kedaulatan petani, system ekonomi yang adil, dan system budaya yang egaliter, yang merupakan tujuan dari perjuangan SPSU bagi keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. (e) Menggunakan institusi-institusi sosial budaya lainnya yang sejalan dengan Pandangan, Azas, Tujuan, Prinsip Perjuangan, dan kepentingan SPSU, untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan agraria yang adil, kedaulatan petani, system ekonomi yang adil, dan system budaya yang egaliter, yang merupakan tujuan dari perjuangan SPSU bagi keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Strategi perjuangan tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan permasalahan, kebutuhan, kehendak, kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh massa dan kader petani, yang merupakan dasar dari pengambilan keputusan terhadap kegiatan dan perjuangan organisasi 46 . B.
Bentuk Organisasi SPSU Dalam Anggaran Dasarnya, SPSU menegaskan diri sebagai organisasi yang
berbentuk federasi, yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi tani tingkat lokal (selanjtnya disebut OTL) yang berada di wilayah hukum Sumatera Utara yang menjadi anggota secara sukarela, dan resmi bergabung di dalamnya karena adanya 46
Pasal 12 Anggaran Dasar SPSU.
63
pandangan, tujuan, prinsip perjuangan, dan kepentingan yang sama. Organisasi yang bersifat federatif memiliki ciri-ciri : a. Keanggotaannya bukan perorangan tetapi Kelompok atau Organisasi Tani. b. Masing-masing anggota memiliki AD/ART yang berbeda. c. Nama dan program kerja anggota tidak harus sama dengan SPSU. Pilihan bentuk organisasi yang federatif disebabkan alasan kondisi politik yang sangat represif dan otoritarian dimasa lahirnya SPSU, untuk menghindari penghancuran gerakan petani yang telah dibangun. Apabila sebuah organisasi Unitarian mendapat pukulan keras dari pemerintah, misalnya pembubaran, maka organisasi di tingkat yang paling rendahpun akan turut bubar. Sebab organisasi Unitarian hanya memiliki AD/ART yang satu dengan wilayah kerja dan tingkatan yang berbeda. Tetapi apabila bentuk organisasi Federasi dibubarkan, ini tidak dengan otomatis dapat membubarkan Organisasi Tingkat Lokal (OTL) yang menjadi anggotanya di tiap desa. C. Struktur Organisasi SPSU Sebagai organisasi yang berbasiskan massa, struktur organisasi SPSU terdiri dari Kongres, Badan Pengurus SPSU, dan Anggota SPSU 47 . Kongres merupakan institusi pengambilan keputusan tertinggi organisasi, dan dilaksanakan setiap 4 tahun sekali. Badan Pengurus SPSU terdiri dari Badan Pengurus ditingkat perserikatan, Badan Pengurus ditingkat Unit dan Badan Urusan Internal Organisasi. Badan Pengurus ditingkat perserikatan terdiri atas Badan Pimpinan Pelaksana ditingkat
47
Pasal 17 Anggaran Dasar SPSU
64
perserikatan (BPP SPSU) dan Dewan Perwakilan Petani ditingkat perserikatan (DPP SPSU). Badan Pengurus ditingkat unit terdiri atas Badan Pelaksana Unit (BPU SPSU) dan Dewan Perwakilan Unit (DPU SPSU). a. kongres Kongres merupakan institusi pengambilan keputusan tertinggi organisasi, dan dilaksanakan setiap 4 tahun sekali. Peserta kongres adalah seluruh Badan Pengurus SPSU, dan utusan dari seluruh organisasi tani lokal (OTL) anggota SPSU. Secara khusus, kongres memiliki wewenang untuk : 1. Menyusun, merubah, menyempurnakan, menetapkan dan mensahkan AD/ART SPSU. 2. Menetapkan dan mensahkan Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO). 3. Memilih, menetapkan, dan mensahkan serta memberhentikan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal BPP SPSU. 4. Melantik DPP, dan BPP SPSU. 5. Membahas, menerima atau menolak pertanggungjawaban Badan Pengurus Serikat (DPP dan BPP) SPSU. 6. Menetapkan kebijakan lainnya yang mengikat seluruh anggota, yang bersifat strategis. 7. Merumuskan resolusi-rosolusi organisasi. b. badan pengurus Badan pengurus terdiri atas badan pengurus ditingkat perserikatan, badan pengurus ditingkat unit dan badan urusan internal organisasi. Badan
65
pengurus ditingkat perserikatan terdiri dari Badan Pimpinan Pelaksana (BPP) dan Dewan Perwakilan Petani (DPP). Badan pengurus ditingkat unit terdiri dari Badan Pelaksana Unit (BPU) dan Dewan Pimpinan Unit (DPU). Badan pengurus yang dipilih berasal dari Kader petani perempuan dan atau kader petani laki-laki yang menduduki jabatan sebagai pengurus di OTL anggota SPSU, dan atau kader petani perempuan dan atau kader petani laki-laki, yang menduduki sebagai pengurus di unit perserikatan SPSU. c.
anggota Anggota SPSU adalah Organisasi Petani di tingkat lokal, bukan perseorangan. Untuk menjadi anggota SPSU harus memenuhi kriteria sebagai Organisasi Tani yang berada di tingkat lokal (desa, dusun), baik berdasarkan satuan jenis kelamin, satuan usaha tani yang dikelola, dan berdasarkan satuan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan asas, pandangan, prinsip, dan kepentingan SPSU.
D.
Sejarah Singkat Serikat Petani Sumatera Utara Kuatnya dominasi pengaruh neoliberalisme di Indonesia terlihat dari tidak
mampunya pemerintah membuat kebijakan yang berpihak kepada petani. Melalui kebijakan yang berorientasi pada kapitalisme global tercermin dari lahirnya undangundang yang sangat liberal. Hal ini menyebabkan tidak mampunya Indoensia berdaulat secara utuh. Kebijakan yang dilahirkan sangat berorientasi kepada pasar bebas, yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia sangat tergantung kepada mekanisme pasar global yang unpredictable. Keguncangan pasar global berakibat
66
langsung kepada ketahanan ekonomi dalam negeri, seprti naiknya harga Bahan Bakar minyak, menyebabkan juga naiknya harga minyak dalam negeri, begitu juga kelangkaan pangan dunia menyebabkan guncangan terhadap ketahanan pangan dalam negeri ditengah banyaknya jumlah rakyat yang menjalani hidupnya sebagai petani. Di sisi lain,petani, nelayan, juga kaum miskin kota merupakan golongan yang paling dirugikan dalam hal ini. Ditengah beratnya beban hidup yang tidak sebanding dengan harga jual produksi yang mereka hasilkan menyebabkan semakin terpuruknya hidup mereka ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. Ditengah situasi yang demikian muncullah gagasan untuk melahirkan suatu wadah organisasi yang muncul dari rakyat yang terpinggirkan secara politik, ekonomi dan sosial. Hal ini menggejala dan merupakan pilihan yang strategis menjadi wadah perjuangan bersama. Ditengah keterpurukan nasib petani tersebut lahirlah Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) sebagai sintesis antara aktivis dan rakyat (petani) di Sumatera Utara. Perkembangan organisasi SPSU ini tidak hanya pada tingkatan local, namun juga sampai kepada tingkat nasional dan berbentuk unitaris. Lahirnya SPSU merupakan bentuk respon dari situasi politik , ekonomi ditingkat local, nasional maupun internasional yang ada. Embrio Serikat Petani Sumatera Utara berasal dari komite-komite aksi petani yang tersebar di beberapa desa di berbagai kabupaten. Komite-komite aksi petani ini muncul atas pengorganisasian dan pendampingan yang dilakukan oleh aktifis
67
Sintesa 48 .Sintesa sendiri muncul dari gagasan-gagasan di forum diskusi menjadi lembaga pengembangan masyarakat. Sintesa atau Yayasan sintesa (Sinar Tani Indonesia) didirikan pada tahun 1987. Embrio Sintesa dimulai dari suatu kelompok studi mahasiswa Universitas Sumatera Utara di Medan bernama “Sintesa Forum Studi” yang sudah aktif sejak 1985 dibawah sistem NKK/BKK yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru. Dalam perjalanan mereka mengalami kejenuhan dengan serangkaian diskusi-diskusi problematika sosial masyarakat, tanpa ada tindakan yang dapat dilakukan didalam ruang aktifitas kampus yang dibatasi. Dalam kondisi tersebut, mereka memunculkan gagasan untuk mengimbangi rangkaian diskusi intelektual mereka dengan melakukan pengorganisasian dan pendampingan masyarakat di pedesaan. Pada awalnya sintesa memulai pendampingannya dengan proyek Teknologi Tepat Guna (TTG) berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga mycrohydro di desa Lobu Rappa yang terpinggirkan dibawah mega proyek PLTA Asahan. Dalam perjalanan selanjutnya Sintesa memasuki arah baru dalam perkembangan visi dan misinya yang mulai terfokus pada masalah penguatan petani. Persoalan perampasan lahan petani yang marak terjadi dimasa meningkatnya pembangunan perusahaanperusahaan perkebunan Sumatera Utara mendorong Sintesa terlibat dalam advokasi persoalan tanah petani. Dimasa tersebut, cikal bakal SPSU mulai lahir dari komitekomite aksi petani sebagai wadah perjuangan ditingkat lokal yang muncul atas dampingan yang dilakukan aktifis Sintesa. Komite-komite aksi tersebut menyebar di
48
Sintesa merupakan LSM yang konsen terhadap permasalahan petani dan mencurahkan aktifitasnya untuk membangun dan menguatkan organisasi massa petani ditingkat lokal maupun nasional.
68
beberapa Kabupaten yang memiliki basis konflik agraria di 16 desa di 3 Kabupaten (Asahan, L. Batu dan Tapanuli Selatan) telah melahirkan beberapa Sejalan dengan terbentuknya komite-komite aksi di tingkat lokal tersebut, juga terindentifikasi beberapa calon kader petani yang sering dilibatkan oleh sintesa dalam pertemuan petani baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional. Pelibatan petani dalam pertemuan dimaksudkan sebagai proses pendidikan bagi calon kader petani agar lebih memahami persoalan-persoalan petani secara menyeluruh. Dalam upaya memperkuat perjuangan petani ditingkat wilayah, komitekomite aksi yang diorgnaisir aktifis Sintesa didorong untuk melakukan konsolidasi melalui pertemuan-pertemuan yang bertujuan menyamakan persepsi dan keinginan bersama untuk membentuk organisasi petani ditingkat Propinsi. Pertemuan untuk mempersiapkan pembentukan organisasi petani tingkat propinsi secara intensif dilakukan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Juni 1994 di Pesantren KH Ahmad Basyir Parsariran, Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pertemuan diikuti oleh 53 peserta terbagi atas: Petani 30 orang dari 6 Kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapaanuli Utara, Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang), Mahasiswa 5 orang dan dari aktifis LSM sekaligus fasilitator dan moderator sebanyak 15 orang. Di akhir pertemuan pada tanggal 3 Juni 1994, utusan-utusan dari komite-komite aksi petani yang hadir berhasil membuat deklarasi yang bunyinya sebagai berikut ; "Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Kami Petani Sumatera Utara dengan ini menyatakan Membentuk Organisasi Petani".
69
Setelah mengikrarkan bersama deklarasi pembentukan organisasi petani, peserta pertemuan tersebut langsung membentuk panitia pekerja yang akan mempersiapkan nama dan AD/ART sekaligus mempersiapkan kongres pertamanya. Hasil pembahasan di panitia pekerja yang bersidang pada tanggal 28 Agustus s/d 1 September 1994 di Kisaran menyepakati nama organisasi petani yang akan didirikan, dengan nama Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Panitia pekerja juga telah menyelesaikan draft AD/ART yang akan dibawa ke Kongres SPSU yang pertama. Sedangkan menurut hasil musyawarah panitia, kongres SPSU ke-I akan diadakan pada tanggal 1 s/d 3 Nopember 1994 di tempat yang ditentukan kemudian. Panitia Pekerja ini kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Kongres. Panitia Pekerja dan Panitia Penyelenggara secara bersama mengadakan konsolidasi ke daerah-daerah dan mengadakan pertemuan-pertemuan untuk persiapan kongres. Akibat
situasi
politik
yang
tidak
memungkinkan
pada
masa
itu,
mengakibatkan penundaan beberapa kali. Salah satu penyebab penundaan kongres pertamanya adalah penggrebegan kantor Sintesa oleh Kodim dan Polres Asahan akibat aktifitas pengorganisiran petani yang dilakukan Sintesa. Pengawasan ketat oleh rezim penguasa juga dilakukan terhadap aktifitas yang dilakukan oleh komite-komite aksi dibeberapa desa. Kondisi tersebut memaksa Panitia Pekerja dan Panitia Penyelenggara Kongres-I SPSU lebih berhati-hati dalam melakukan konsolidasi. Kongres pertama SPSU akhirnya dapat dilaksanakan pada 26 - 29 September 1997, di Desa Lobu Rappa, Bandar Pulo, Asahan.
70
Posisi tawar yang kuat akan semakin mempermudah perjuangan petani melalui gerakan petani yang terorganisir dan memiliki jaringan yang luas. Dalam upaya memperkuat basis massanya, SPSU melakukan langkah-langkah ekspansi kewilayah lain dengan membentuk organisasi-organisasi tani lokal baru. Keanggotaan SPSU merupakan Organisasi Tani Lokal (OTL) yang awalnya lahir dari komitekomite aksi yang terlibat dalam pendeklarasian SPSU. Dalam perkembangan selanjutnya, SPSU memperluas basis massa dukungannya dengan melakukan ekspansi ke wilayah lain, dengan mendirikan OTL baru maupun menarik kelompokkelompok tani yang sudah ada untuk berintegrasi kedalam SPSU. Hingga saat ini SPSU telah memiliki anggota sebanyak 103 OTL yang tersebar di 8 Kabupaten, 63 Kecamatan dan 105 Desa. SPSU juga telah memiliki massa riil, massa strategis, dan massa taktis. Massa riil SPSU merupakan jumlah keseluruhan anggota yang terhimpun dibawah OTL-OTL anggota SPSU. Hingga saat ini massa riil SPSU berjumlah 6.825 KK (27.300 jiwa, dengan asumsi 4 jiwa/ KK) 49 . Kesadaran atas kebutuhan perjuangan yang lebih besar telah mendorong SPSU dan aktivis pendukungnya melakukan perluasan gerakan petani tidak hanya di Wilayah Sumatera Utara. Lahirnya SPSU juga telah mendorong lahirnya serikatserikat petani tingkat propinsi di wilayah Sumatera. SPSU memiliki peran besar dalam mendorong dan memberikan dukungan terhadap lahirnya serikat-serikat petani di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung. SPSU menjadi tuan rumah yang memfasilitasi Rapat Pimpinan Organisasai Petani se-
49
GBHO SPSU Periode 2004-2008 dan Laporan Perkembangan SPSU
71
Sumatera utara dan utusan petani dari Jawa dan Bali,. Pertemuan ini melahirkan deklarasi berdirinya Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) pada tanggal 8 Juli 1999 di Desa Lobu Rappa, Asahan. Sebelum melahirkan FSPI, SPSU juga terlibat sebagai pendiri dan anggota aktif
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang
berkedudukan di Bandung . Di tingkat internasional, SPSU menjalin hubungan internasional yang baik dengan berbagai organisasi tani dan organisasi prodemokrasi di luar negeri. SPSU merupakan satu-satunya serikat petani dari Indonesia yang resmi menjadi anggota Federasi Petani Sedunia (La Via Campessina) yang bermarkas pusat di Honduras, Amerika Latin, di mana anggotanya tersebar di lima benua. La Via Campesina dikenal sebagai organisasi yang radikal dan keras menentang tatanan ekonomi global yang kapitalistik. Setelah melahirkan FSPI sebagai payung organisasi petani ditingkat nasional, SPSU menyerahkan keanggotaan di La Via Campesina terhadap FSPI sebagai perwakilan organisasi petani dalam keanggotaan di La Via Campesina. Dalam perjalannya, SPSU dalam rangka mewujudka tujuan strategisnya melakukan dampingan-dampingan baik dalam segi peningkatan ekonomi, pendidikan politik dan hukum, dan mendampingi petani yang berkonflik tanah dengan pihakpihak yang terkait. E. Kondisi Politik yang Mempengaruhi bentuk Organisasi SPSU Setalah tumbangnya rezim orde baru, keran-keran politik semakin terbuka bagi masyarakat luas. Masyarakat semakin mampu menyuarakan kepentingan politiknya. Namun disamping itu ternyata kondisi tersebut tidak membawa prubahan
72
yang signifikan terhadap perubahan masyarakat khususnya kaum tani. Kondisi ini malah semakin menguatkan pengaruh korporasi global di barbagai segi kehidupan bangsa. Melalui elit-elit komparador yang mengisi jabatan politik sebagai aparatur negara berhasil membuat kebijakan yang sangat ramah dengan pasar dan cedrung liberal. Munculnya kebijakan tentang penanaman modal asing, kebijakan migas, perkebunan, kehutanan dan kebijakan tentang sumber daya air semakin merugikan para petani, ditambah lagi dengan naiknya harga bahan bakar minyak juga pasar bebas membuat petani semakin terpinggirkan.
Pada saat ini eforia tentang reformasi telah melahirkan gerakan anti-state, anti-sentralistik, anti-militeristik dan anti-otoritas yang menimbulkan kekacauan. Di sisi lain demokrasi dianggap sejalan dengan faham neoliberalisme, pluralisme, individualisme dan hak azasi manusia yang semakin memperkecul kedaulatan negara secara politik. Amandemen UUD 45 yang suda dilakukan empat kali ternyata tidak mampu membuat kondisi ini menjadi baik, bahkan sebaliknya membuat rakyat semakin terpuruk dan terpecah belah. Kebijakan politik multi-partai, pemekaran wilayah sebagai dampak dari renggangnya hubungan pusat-daerah, dan calon independen juga bisa disebut contoh kebijakan yang akan menambah potensi konflik rakyat, tidak terkecuali rakyat tani. Sementara itu di belahan dunia yang lain, fase yang terjadi adalah kebalikan dari fase perpecahan, yakni fase penyatuan kembali. Sebagai contoh, masyarakat Eropa sekarang bersatu ke dalam EU, masyarakat Afrika sekarang menggagas Uni Afrika, masyarakat di Amerika Selatan sekarang menghidupkan Masyarakat Kawasan Andean.
73
1. Dari Federatif Menuju Unitaris
Dengan adanya tantangan-tantangan yang semakin tidak ringan tersebut, organisasi tani (FSPI) diarahkan bergerak maju dari bentuk yang federasi menuju organisasi perjuangan kaum tani yang bentuknya kesatuan/unitaris. Dengan demikian mengarahkan pelbagai perbaikan dalam fondasi dan irama kerja sebagai ormas tani yang kuat. Pada Kongres III FSPI yang diadakan pada tanggal 2-5 Desember 2007 di Wonosobo, Jawa Tengah, dihasilkan kesepakatan perubahan bentuk organisasi dari bentuk federatif menjadi unitaris, dan merubah nama menjadi Serikat Petani Indonesia (SPI). Dengan perubahan tersebut, bentuk dan format organisasi tani FSPI yang selama ini ada berubah kedalam satu kesatuan bentuk dan format organisasi unitaris. 50
Ada dua pekerjaan pokok dalam mencapai cita-cita organisasi tani, pertama, ke dalam diperlukan sebuah kesatuan kaum tani secara nasional. Yang dicirikan dengan struktur yang jelas, adanya arah dan panduan kerja konkrit serta dinamis dalam bergerak, terpimpin, cita-cita yang disertai program dan capaian-capaian yang terukur jelas, adanya penghargaan dan sanksi tegas, serta membangkitkan kembali ikatan kelas, budaya dan sosial kaum tani dengan berbagai aktivitas kebudayaan. Membangun mekanisme dari bawah, atas kebutuhan kaum tani, yang radikal, militan dan massif. Kedua, ke luar diperlukan suatu kerja-kerja penggalangan sekutu. Karena kaum tani menyadari
50
Mukadimah AD/ART SPI Periode 2007-2008 Hal 7
74
tidak bisa melakukan sendiri dalam pencapaian cita-cita organisasi. Maka harus dibangun suatu persatuan yang kuat baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Perubahan dari FSPI menjadi SPI, secara langsung turut berpengaruh terhadap keberadaan dan status SPSU. Karena SPSU merupakan salah satu organisasi pelopor yang menggagas dan mendorong perubahan format organisasi tani nasional dari federatif menjadi unitaris. Dengan demikian, status SPSU telah berganti menjadi bagian dari organisasi kesatuan Serikat Petani Indonesia yang berkedudukan di wilayah. Sesuai dengan ketentuan peraturan organisasi (AD/ ART SPI), kedudukan SPSU beralih menjadi struktur kepengurusan SPI di tingkat wilayah sebagai DPW SPI Sumut. Perubahan format organisasi tersebut juga berpengaruh terhadap status dan posisi anggotaanggota kelompok tani SPSU. Keputusan untuk merubah bentuk dan format organisasi dari federatif ke unitaris yang dipelopori oleh SPSU, sebelumnya telah disepakati oleh OTL-OTL anggota SPSU pada Kongres ke-IV yang diadakan pada 18-20 November 2007, sebelum diambil keputusan ditingkat nasional untuk merubah format organisasi menjadi unitaris. 51 Analisis terhadap kondisi internal SPSU juga menjadi landasan perubahan bentuk organisasi menuju unitaris. Dengan adanya faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap gerak SPSU, maka bentuk federatif dianggap memiliki berbagai kelemahan-kelemahan seperti:
51
Dokumen Organisasi SPI tahun 2007
75
•
Kampanye dan aksi-aksi yang dilakukan di tingkat basis dengan tingkat nasional atau sebaliknya tidak menyatu, terpisah sehingga membuat sulit untuk membangun opini publik, dan menyatukan kekuatan. Hal ini disebabkan beberapa diantaranya oleh simbol-simbol yang dipakai sangat beragam, dan nama-nama organisasi yang sangat beragam.
•
Relasi federasi dengan serikat yang ada cenderung menghilangkan sama sekali otoritas dari pimpinan di level nasional untuk ikut serta dan terlibat secara mendalam di level propinsi atau kebawahnya, padahal banyak persoalan yang terjadi di level propinsi/wilayah ke bawah dapat diatasi kalau federasi punya wewenang, sebaliknya juga anggota serikat dan jajarannya ke bawah memandang relasinya dengan federasi hanyalah sebatas mitra saja.
•
Perbedaan di tingkat Propinsi sampai kelevel basis sangat beragam, sehingga dengan model Organisasi ini justru lebih banyak memfasilitasi perbedaan yang terjadi, bukan menjadi mempersatukan diantara perbedaan yang terjadi. Rakyat dan kaum tani Indonesia itu sudah sangat beragam, yang dibutuhkan adalah mempersatukannya, bukannya memfasilitasi perbedaan itu. Sebab tanpa di pelihara atau difasilitasipun perbedaan dan pluralitas itu akan terus terpelihara. Sebab perbedaan itu sudah menjadi bagian masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah founding fathers Indonesia membuat simbolisasi burung Garuda , dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini menunjukkan untuk kemajuan Indonesia
76
itu, perbedaan-perbedaan itu dipersatukan, bukannya membuka peluang perbedaan-perbedaan tersebut. Sebab kenyataannya rakyat Indonesia telah berbeda-beda dalam sosial budaya, dan juga geografis, serta historisnya. •
Pihak luar memandang Organisasi yang berbentuk federasi bukanlah satu kesatuan. Sehingga kekuatan luar dengan gampang mempengaruhi bahkan memecah belah dan memisahkan Organisasi kita dari satu kesatuan.
•
Berbagai
kesulitan
dan
kelemahan
ketika
menangani
konflik
pertanahan/agraria ketika berhadapan dengan pemerintah, kepolisian, bahkan aparat desa, karena Organisasi berbentuk federatif dipandang sebagai pendamping petani dan tidak mewakili petani.
Secara konstitusional, struktur SPI berjenjang dari tingkat nasional hingga ke tingkat basis (desa/ dusun). Ditingkat nasional diinterpretasikan dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP), ditingkat provinsi diinterpretasikan dengan Dewan Pengurus Wilayah (DPW), ditingkat kabupaten diinterpretasikan dengan Dewan Pengurus Cabang (DPC), ditingkat kecamatan diinterpretasikan dengan Dewan Pengurus Ranting (DPR), serta ditingkat desa/ dusun diinterpretasikan dengan Dewan Pengurus Basis (DPB).
77
2. Bentuk dan Sifat SPI Didalam AD/ART SPI, sebagai organisasi yang unitaris berbentuk kesatuan. Dalam hal ini SPI dalam gerak perjuangan memiliki satu Visi yang terstruktur mulai dari tingkat pusat hingga daerah atau yang sering disebut dengan basis mengikuti jenjang pembagian wilayah Administratif Pemerintah Negara Indonesia. Dalam pengambilan kebijakan SPI sebagai satu organisasi kesatuan memiliki garis komando dan kebijakan yang tegas dan mengikat menurut jenjang Organisasi dibawahnya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat merupakan kewajiban bagi jenjang di bawahnya, berbeda dengan bentuk federasi sebelumnya yaitu bersifat himbawan. 52 Sebagai organisasi kesatuan, SPI memiliki ciri, diantaranya: 2. keanggotaan bukan kelompok, melainkan orang-perorang yang tergabung dalam kelompok. 3. memiliki AD/ART yang sama dari pusat hingga basis. 4. memiliki atribut organisasi yang sama, seperti bendera, lambang, dan lagu yang sama sebagai identitas organisasi. SPI sebagai Organisasi petani bersifat Organisasi perjuangan massa, dimana kader merupakan ujung tombak Organisasi yang menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai Organisasi.. Untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diusung SPI juga bersifat independen untuk menjaga kemurnian
52
Pasal 3. Anggaran Dasar SPI
78
perjuangan, dalam arti bahwa SPI tidak memihak kepada kelompok manapun yang tidak sesuai dengan nilai-nilai perjuangan yang disepakati. 53 3
Asas dan Prinsip Perjuangan SPI berjuang dengan mengerahkan segenap potensi dan kekuatan yang dalam struktur Organisasi, massa petani dan kader yang ada mulai dari DPP, DPW, DPC, DPR, dan DPB. Dalam perjuangannya tersebut harus berpegang teguh pada prinsip –prisnip dan asas organisasi SPI sesuai AD/ART yaitu Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia;
Permusyawaratan
Kebijaksanaan/Perwakilan,
dan
yang Keadilan
Dipimpin Sosial
bagi
oleh Seluruh
Hikmah Rakyat
Indonesia. 54 Dengan landasan asas tersebut Serikat Petani Indonesia memiliki prinsip perjuangan yang juga menjadi prinsip pelaksanaan GBHO 55 yaitu: • Seluruh gerak langkah dan perjuangan SPI senantiasa dilandasi prinsip penegakan Kedaulatan Politik Petani, Kedaulatan Politik Rakyat, dan Kedaulatan Politik Bangsa dan Negara dalam pergaulan Nasional dan Internasional • Seluruh gerak langkah dan perjuangan SPI senantiasa dilandasi prinsip berdikarinya Ekonomi Petani, Rakyat, Bangsa, dan Negara dalam pergaulan Nasional dan Internasional
53
Pasal 4. Anggaran Dasar SPI Pasal 5 Anggaran Dasar SPI 55 Asas dan Prinsip Perjuangan. GBHO SPI. Hal 2 54
79
• Seluruh gerak langkah dan perjuangan SPI senantiasa dilandasi prinsip kebudayaan petani, rakyat, bangsa, dan negara. yang berkepribadian, mempunyai harkat, martabat, dan harga diri dalam pergaulan Nasional dan Internasional. 4. Tujuan Organisasi SPI Untuk mencapai suatu tatanan kehidupan yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyat dan secara khusus bagi petani maka diperlukan beberapa tujuan strategis yang harus dicapai, seperti: 4.1 Tujuan Sosial ekonomi 1.
Terjadinya
perombakan,
pembaruan,
pemulihan
dan
penataan
pembangunan rakyat, bangsa dan negara yang mandiri, adil dan makmur, secara lahir dan batin, material dan spiritual; baik dalam kebijakan maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari 2.
Bahwa peri kehidupan ekonomi yang mandiri, adil dan makmur tersebut diwujudkan dalam tatanan agraria yang adil dan beradab
3.
Tatanan
agraria
tersebut
dapat
dicapai
dengan
dilaksanakan
Pembaruan Agraria Sejati oleh petani, rakyat, bangsa, dan negara 56 . 4.2
Tujuan Sosial-Poilitik 1.
Mendorong perombakan model pembangunan politik nasional dan internasional, agar tercipta kehidupan politik yang bebas, mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
56
mampu memajukan kesejahteraan umum, sanggup
Pasal 8 Anggaran Dasar SPI
80
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
sanggup
untuk
ikut
melaksanakan ketertiban dunia 2.
Kehidupan politik tersebut hanya dapat dicapai jika rakyat berdaulat secara politik baik dalam kebijakan maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari
3.
Kedaulatan politik rakyat tersebut hanya dapat dicapai jika petani berdaulat secara politik baik dalam kebijakan maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari
4.3
Tujuan Sosial-Budaya 4. Mendorong terjadinya perombakan, pembaruan,
pemulihan dan
penataan model pembangunan kebudayaan nasional dan internasional, agar tercipta
kehidupan budaya yang berkemanusiaan, adil dan
beradab 5. Peri kehidupan kebudayaan tersebut hanya dapat dicapai jika petani, rakyat, bangsa, dan negara mengembangkan kebudayaan yang berkepribadian, mempunyai harkat, martabat dan harga diri baik dalam kebijakan maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam pergaulan nasional dan internasional.
81
BAB IV ANALISA DATA Pada bagian ini penulis akan menjelaskan SPI-SU sebagai organisasi petani sebagai wadah perjuangan petani di Sumatera Utara dalam melakukan penentangan terhadap neoliberalisme sebagai respone yang dilakukan. Dengan memaparkan kondisi yang merugikan petani sehingga memunculkan SPI-SU sebagai kekuatan politik di Sumatera Utara sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Disamping itu akan dijelaskan bagaimana strategi perjuangan serta metode yang digunakan. A. Kondisi Sosial yang Merugikan Petani Pergolakan petani yang muncul senantiasa berhubungan dengan perubahan ekonomi dan politik yang jauh lebih dalam yang menimpa petani. Perubahanperubahan yang terjadi dalam kondisi objektif yang menguasai masyarakat secara keseluruhan, dan umumnya sebagai hasil dari perubahan-perubahan lain yang akhirnya menghasilkan jenis-jenis keganjilan status, kemerosotan status secara relatif dan ancaman kemerosotan lebih lanjut dimasa depan. Integrasi masyarakat kedalam pasar yang lebih besar melampaui batas-batas negara, dorongan untuk mengkomersialisasikan hasil pertanian, kemudian komersialisasi atas kepemilikan tanah, gangguan atas hak-hak petani, pada umumnya menjadi sebab langsung yang mendorong munculnya pergolakan petani. Organisasi gerakan tani Serikat Petani Sumatera Utara yang kini berbentuk unitaris dan berubah menjadi Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara bukanlah organisasi gerakan yang lahir dengan begitu saja, melainkan hasil dari akumulasi proses panjang dan rangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Kondisi 78 82
sosial, ekonomi, politik dan budaya petani yang terpinggirkan dibawah represi pemerintahan orde baru serta pengorganisasian petani didesa-desa yang dilakukan oleh kelompok diskusi mahasiswa mendorong lahirnya organisasi gerakan petani ini. Persoalan yang paling dihadapi petani akibat kapitalis global (neoliberal) mengakibatkan kehidupan petani semakin terpuruk dan terpinggirkan baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Disamping itu, negara sebagai institusi pengambilan kebijakan tidak dapat melindungi sektor pertanian, ini terbukti dari kebijakan yang cendrung liberal dan ramah terhadap pasar bebas serta mengabdi hanya kepada pemilik modal besar. Beberapa Undang-Undang seperti UndangUndang penanaman modal asing, migas (minyak dan gas bumi), perkebunan, sumber daya air dan banyak lagi undang-undang yang mengakibatkan masyarakat khususnya petani semakin terpuruk. Hal ini semakin diperparah dengan dicabutnya
subsidi
terhadap
pupuk,
bahan
bakar
minyak,
pendidikan,
penghapusan tarif impor serta tidak adanya jaminan harga terhadap produksi hasil pertanian di pasar oleh pemerintah. Ironisnya pengambilan kebijakan ini malah tidak terjadi secara signifikan di negara-negara maju yang mengusung wacana neoliberalsime
tersebut,
malah
sebaliknya
negara-negara
maju
sangat
memproteksi sektor-sektor pertanian dengan memberikan subsidi. Secara umum bentuk-bentuk neoliberalisme di sektor pertanian dapat dibagi menjadi tiga bagian:
83
1. Ketimpangan Petani terhadap Akses Sumber-Sumber Agraria atau Tanah Tanah merupakan merupakan sumber penghidupan tidak hanya bagi petani bahkan bagi seluruh mahluk hidup lainnya. Bagi petani, tanah merupakan sumber yang pokok dalam melakukan aktivitas pertanian. Tanpa tanah petani tidak mungkin melakukan kegiatan bercocok tanam. Keberadan tanah bagi petani, selain berniali ekonomis, sebagai sumber kehidupan bahkan bermakna idiologis. Ironisnya, sejak zaman feodal berlanjut ke zaman kolonial, hingga sekarang (yang identik dengan nasib kehidupan petani tersebut) tidak banyak menunjukan adanya tanda-tanda perbaikan. Kehidupan petani selalu saja terombang-ambing oleh kebijakan negara yang selalu berubah-ubah. Ideologi developmentalisme yang diterapkan era Orde Baru pada kenyataannya sangat problematik bagi petani, dengan ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran. Pemahaman modal bagi kapitalis global di sektor pertanian adalah tanah. Industrialisasi bagi kapitalisme global sangat membutuhkan tanah bagi berlangsungnya operasional produksi. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena lebih menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan menggunakan intervensi kebijakan negara.
84
Jika diperhatikan secara cermat, sebenarnya latar belakang konflik tanah Sumatera Utara umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik yang diselenggarakan oleh negara maupun pihak swasta) dengan masyarakat petani. Keadaan ini juga dibenarkan oleh Ketua Umum SPI Wilayah Sumut Wagimin: Kepemilikan lahan melalui HGU yang diberikan pemerintah ke pada pihak investor sering mengesampingkan hak-hak petani yang sudah lama sebenarnya lebih dahulu menguasai lahan. Ketimpangan ini terjadi ketika pemerintah membuka dan memperluas lahan-lahan perkebunan melalui Undang-Undang penanaman modal asing, disini sebenarnya karakteristik konflik tanah di Sumatera Utara. Data-data dari hasil investigasi sementara Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa di Sumatera Utara sendiri setidaknya terdapat 169 kasus perampasan lahan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, militer, perusahaan negara serta perusahaan swasta dengan luas lahan yang disengketakan mencapai ± 494.016,92 Ha. Hal ini diperparah lagi dengan tidak dijalankannya UUPA tahun 1960. Akan tetapi, setelah periode Orde Baru, di mana peraturan yang menyangkut pertanahan diabaikan bahkan dibekukan, fenomena meningkatnya pemilikan tanah
secara absentee 57
meningkat kembali. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mencatat jumlah rumah tangga miskin 2006 sebanyak 944.972 dengan jumlah penduduk miskin 1,97 juta jiwa atau sekitar 15,66 persen dari total 12,64 juta penduduk Sumut. Sebagian di antara penduduk miskin itu menyebar di sekitar
57
Endang Suhendar, 2008, Kondisi dan Permasalahan di Sektor Pertanian, Konsorsium Pembaruan Agraria. Absentee merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan kepemilikan lahan suatu daerah oleh penduduk daerah lain.
85
perusahaan perkebunan dan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Sumatera Utara sebagai propinsi yang dikenal karena luas perkebunannya, hingga kini masih mengandalkan perkebunan sebagai primadona ekonominya di tengah kondisi masyarakat sekitar perkebunan yang miskin karena tidak memiliki lahan. Dari 7.168.680 ha luas propinsi Sumatera Utara, 1.634.723 Ha diantaranya adalah lahan perkebunan dimana separuh darinya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara dan swasta 58 . Kecendrungan penguasaan lahan oleh pemilik modal baik oleh negara ataupun swasta secara besar-besaran telah menegaskan bahwa yang dihadapi oleh petani bukan hanya negara namun juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang pengaruhnya cendrung cukup kuat. Berbagai kebijakan negara dan pengaruh neoliberal sebagaimana yang telah dikemukakan di atas secara langsung ataupun tidak telah banyak petani Sumatera Utara kehilangan tanahnya. 2. Liberalisasi Pasar di Sektor Pertanian Pada prinsipnya petani dalam memproduksi bukan didasarkan pada modal atau demi keuntungan modal. petani bertani pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Liberalisme memandang ini sebagai komoditas perdagangan, sehingga petani melalui asupan modal dan mekanisme pertanian yang berorientasi pasar mengakibatkan terjadinya pertanian monokultur sebagai produk unggulan untuk memenuhi tuntutan pasar global. Liberalisasi pasar sebenarnya agenda atau strategi perusahaan58
Data Dinas Perkebunan Sumatera Utara tahun 2003.
86
perusahaan besar untuk menguasai pasar di negara berkembang. Dengan memberlakukan AoA maka tarif impor menjadi nol, yang pada dasarnya ini sangat merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Liberalisasi pasar bebas secara tidak langsung akan menyebabkan penyerbuan ekspor pangan dari negara maju yang memproduksi hasil-hasil pertanian secara besar-besaran. Sebelum perjanjian AoA, Indonesia tercatat sebagai negara eksportir beras ke sembilandi dunia. Tapi tiga tahun setelah AoA tahun1998, Indonesia bukan saja tidak lagi menjadi begara eksportir beras, tapi justru beralih menjadi negara importir nomor pertama dunia. Dan predikat itu masih melekat hingga sekarang. Impor pangan Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan rata-rata volume import 3,2 juta ton pertahunnya. Bagi petani di desa, dampak penumpukan angka import ini sangat terasa, yang tidak mampunya harga jual produksi di pasar dengan biaya produksi yang dikeluarkan sehingga sektor pertanian mengalami kehancuran. Di daerah juga mengalami impor pangan yang merupakan daerah surplus beras. Di sisi lain dampak yang paling dirasakan petani adalah dicabutnya subsidi atas input-input pertanian sejak tahun 1998, hal ini didasari oleh perjanjian yang terjadi di AoA. Hal ini menyebabkan turunya produktivitas pertanian, karena petani terlanjur diarahkan pada pertanian konvensional yang berasupan input-input pertanian dengan biaya tinggi. Dampaknya bukan saja hama dan penyakit merajalela tanpa ampun. Biaya produksi pun melambung
87
tinggi dan petani merugi.Hal ini juga di benarkan oleh Heri Purwanto sebagai Sekjen SPI Wilayah Sumut: Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian merupakan agenda perusahaan-perusahaan pangan besar untuk menguasai pasar pangan di dunia ketiga, sehingga muncul perjanjian yang mempermudah terjadinya pasar bebas. Yang akhirnya muncul perdagangan pangan yang tidak berkeadilan. Ini juga melemahkan nilai jual petani. Disamping itu mendorong pertanian monokultur. Ini mendorong kebijakan pemerintah yang mengakibatkan tidak terlindunginya petani oleh negara karena nilai jual petani yidak ditentukan oleh pemerintah melainkan pasar.
Sebagai contoh yang paling dirasakan oleh petani Karo yang pada umumnya menanam sayur dan buah-buahan sebagai hasilnya, banyak petani Karo yang merugi karena tingginya harga pupuk dan pestisida bahkan sangat sulit didapat tidak sebanding dengan harga jual. Ironisnya pupuk yang sudah di cabut subsidinya pun sulit didapat di pasar. Dalam nuansa neoliberal ini explorasi hasil-hasil alam dilakukan secara besar-besaran juga berdampak terhadap sektor pertanian. Dengan produksi tani yang berorientasi pasar dan ditengah krisis bahan bakar minyak-jagung merupakan prioritas utama
dijadikan bioenergi sebagai pengganti bahan
bakar minyak. Disamping itu, jagung berperan penting dalam peternakan. Tiap tahun 450 juta ton jagung diperlukan untuk produksi 700 juta ton pakan ternak. Tahun 2006, Indonesia mengimpor sekitar 1,5 juta ton jagung untuk kebutuhan pakan ternak dalam negeri. 59 Belum lagi jagung bagi manusia. Yang menjadi permasalahan, bagaimana kita bisa menghasilkan makanan bagi penduduk dengan lahan yang terus menyempit akibat pertanian yang 59
Burhanudin Sundu, Bioenergi dan Krisis Pangan, Harian Kompas 31 Januari 2008
88
berorientasi kepada pasar global. Keadaan yang lebih tragis lagi ketika pangan untuk konsumsi manusia dan hewan ternak dialihfungsikan untuk konsumsi kendaraan, pabrik, dan listrik? 3. Penguasaan Perusahaan-Perusahaan Pangan Besar di Sektor Pertanian Eksploitasi terhadap petani tidak hanya dilakukan melalui penguasaan atau perampasan tanah sebagai alat produksi petani, tetapi juga penguasaan benih bahkan hingga penguasaan cara produksi petani yang dijalankan melalui hegemoni pemikiran. Revolusi Hijau merupakan salah satu cara untuk menguasai dan mengkooptasi pola pikir dan cara produksi petani. Revolusi Hijau merupakan suatu strategi menggusur corak pertanian tradisional yang sudah
berlangsung
ribuan
tahun.
Dengan
dipelopori
perusahaan
Transnasional/ Multinasional yang berorientasi komersial, pemerintah Orde Baru melakukan homogenisasi corak dan ragam pertanian tradisional dan menggantikannya dengan satu bentuk pertanian konvensional yang seragam, dengan alasan memacu produksi pertanian dan meningkatkan penghasilan petani. Selama ribuan tahun, petani memproduksi, menyimpan, menyeleksi dan menanam kembali benih mereka sendiri tanpa tergantung dari kekuatan luar. Tiba-tiba petani harus membeli benih, bergantung dengan pupuk kimia, pestisida dan harus mengeluarkan biaya produksi untuk membeli. Petani harus membeli
benih
dari
perusahaan
Multinasional/
Transnasional
yang
memproduksi benih, pupuk dan obat-obatan kimia. Masalah yang muncul dalam jangka waktu panjang atas dijalankannya Revolusi Hijau, bahwa petani
89
semakin tergantung terhadap benih dan obat-obatan yang diproduksi perusahaan-perusahaan Agrokimia. Benih yang ditanam petani harus dibeli, karena hasil tanaman benih unggul yang mereka panen jika ditanam kembali akan mendapatkan hasil yang rendah dan terancam gagal karena mudah diserang berbagai hama. Tanah dan ekosistem kehilangan keseimbangannya dan menjadi rusak. Akibatnya, petani dipaksa memberikan pupuk dan obat-obatan dalam dosis dan jumlah yang terus meningkat setiap tanamnya, terhadap luas lahan dan tanaman yang sama. Tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani, dan ketika gagal panen datang baik akibat kondisi alam maupun kerusakan ekosistem akibat dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida, petani dengan mudahnya jatuh dalam perangkap rentenir dan tengkulak. Jeratan hutang para rentenir yang semakin menumpuk, memaksa para petani kecil menjual lahannya, sehingga jumlah petani yang tidak memiliki lahan semakin meningkat. Keterlibatan perusahaan transnasional maupun multinasional dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di negara berkembang dirasakan cukup dominan saat ini . Karena hal ini secara langsung berkaitan dan didukung sepenuhnya oleh negara-negara maju di mana perrusahaan
itu berada.
Dengan menerapkan berbagai instrumen peraturan dan perjanjian kerjasama yang dibuat menyebabkan setiap negara harus tunduk dan wajib mematuhi apa-apa yang telah menjadi keputusan bersama. Misalnya, setiap negara yang menjadi anggota WTO tidak boleh menutup pasarnya untuk kepentingan
90
produk impor barang dari negera lainnya. Hal ini sesuai dengan prinsip liberalisasi yang diterapkan dalam organissai ini. Namun demikian dalam banyak hal, tak jarang keputusan yang dilahirkan antara negara maju dan negara berkembang, lebih banyak merugikan negara berkembang. Sehingga, yang terjadi kemudian polarisasi kepentingan sekaligus
kekuatan antara
negara maju di satu sisi dengan negara-negara berkembang di sisi lain. Dalam situasi inilah kemudian banyak muncul blok-blok di dunia ini, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan, sosial dan keamanan, seperti ASEAN, OPEC, NATO, GATT, WTO, AFTA, Kelompok G 7. Semuanya ini sebenarnya menggambarkan suatu keadaan betapa sebenarnya persoalan yang dihadapi oleh petani tidaklah hanya sekedar menyangkut persolan lahan, pupuk dan bibit semata, melainkan juga berkaitan dengan kepentingan dunia yang lebih luas. Dewasa ini hanya segelintir perusahaan Trans Natinal Coorporatian yang menguasai sektor pertanian dari mulai hulu hingga hilir produksi. Bisa dibayangkan kemudian apa yang terjadi bagi petani kecil yang tidak memiliki lahan serta modal seadaanya. Harga dasar gabah anjlok (Bulog hanya menetapkan 10% terhadap harga gabah petani di tengah tingginya harga pangan dunia), harga beras domestic turun akibat dari membanjirnya produkproduk impor yang dikenakan bebas pajak 0%. Pasar dunia dikuasai oleh perusahaan raksasa dunia yang mengatur perdagangan pangan. Sebagai contoah padi, menurut data SPI – pasarnya telah dikuasai oleh perusahaan Amerika yaitu Cargill yang menguasai 80% pasar padi di dunia. Du Pont,
91
Affymetrix menguasai 85% pasar terigu dunia. Perusahaan agribisnis lainnya seperti Monsanto, Syentega menguasai hampir 2/3 pasar global pestisida, ¼ penjualan bibit global dan menguasai 100% pasar global bibit transgenic. B. Strategi Perjuangan Organisasi Tani Dengan kondisi kehidupan petani yang semakin terpuruk akibat dari neoliberaisme dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak, kehidupan petani yang yang sebelumnya dihantui oleh ketidakjelasan semakin diperparah dengan ketidak menentuan. Kehidupan petani dari hari ke hari bukan malah menjadi baik, melainkan justru terperosok kedalam jurang kemiskinan struktural. Semuanya mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Kondisi diatas tidak semerta-merta mengkristalkan perlawanan petani secara massif melalui organisasi tani. Kondisi yang melatar belakangi munculnya kekecewaan dan rasa tidak puas petani belum tentu terwujud dalam bentuk perlawanan terbuka dan terorganisir. Kesadaran petani yang muncul untuk kemudian membangun organisasi tani dengan mendirikan Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumut tidak lepas dari proses keterlibatan kaum intelektual organik yang bergerak melakukan pendampingan dan pendidikan terhadap petani. Tak ada pilihan lain bagi petani saat ini kecuali menentang habis semua bentuk penindasan dan penipuan yang selalu mengganggu kehidupan sebagai petani. Apa yang rakyat petani lakukan selama ini selaku petani, sangatlah tidak sebanding dengan apa yang diperoleh, baik dari negara maupun dunia pada umumnya. Sebaliknya petani acap mendapat perlakuan yang tidak adil dan ditindas, baik oleh rezim yang berkuasa maupun oleh rezim dunia internasional yang bernama kapitalisme global. Revolusi di bidang bioteknologi lewat berbagai temuan jenis
92
tanaman transgenik yang diperkenalkan kepada petani bukanlah sebuah solusi untuk mengatasi kekurangan pangan dunia, tapi lebih merupakan pemenuhan atas kepentingan bisnis semata. Dengan mengacu pada kondisi yang menghimpit petani tersebut maka disusun arah perjuangan organisasi dengan tujuan untuk mewujudkan pembaruan Agraria dan kedaulatan rakyat menuju keadilan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan arah dan tujuan utama: 1. Mewujudkan Organisasi Petani yang Kekuatan dan Mandiri Dari berbagai kerja-kerja organisasi dan pengalaman praktek, serta analisis terhadap organisasi, maka SPI memiliki kebutuhan kekuatan kader dan massa tani yang mempunyai kesatuan harapan, tujuan, gerak langkah, serta kesatuan bentuk organisasi. Organisasi kesatuan tersebut ditumbuhkan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, nasional yang terkonsolidasi dengan baik serta mampu pula berperan aktif di level internasional. Untuk menjawab tantangan dimasa yang akan datang diperlukan organisasi perjuangan yang mempunyai integritas keorganisasian, mempunyai kecepatan dan ketepatan dalam pengambilan keputusan, mempunyai disiplin organisasi yang baik, mempunyai kader dan massa dalam jumlah dan kualitas yang cukup dan memadai, sehingga mampu menjadi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi kaum tani. SPI juga melaksanakan kerja-kerja mempersatuan gerakan rakyat bersama-sama dengan organisasi buruh, organisasi nelayan, organisasi
93
masyarakat adat, organisasi kepemudaan dan mahasiswa/pelajar, serta partai politik yang progresif. 1.1
Sarana dan metode perjuangan penguatan organisasi 1.1.1
Pendidikan Organisasi Dalam rangka menuju gerakan sosial yang kuat dan untuk
mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan
maka dibutuhkan kekuatan
kaum tani yang memiliki kesadaran dan kemandirian dalam memperjuangkan cita-cia kaum tani tersebut. Kedaulatan kaum tani hanya mampu diperjuangkan oleh petani yang memiliki kesadaran sosial dan kemandirian kaum tani itu sendiri. Secara praktis untuk menuju cita-cita tersebut diperlukan
peningkata
kesadaran
kritis
oleh
kader-kader
yang
memperjuangkan kepentingan petani. Pendidikan
yang
dilakukan
pengetahuan dan pemahaman
diarahkan
untuk
meningkatkan
kader dan massa tani terhadap struktur
organisasi dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh SPI, sehingga terjadi pemerataan pemahaman dan persepsi bagi anggota. Demikian juga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Kader dan massa tani terhadap berbagai persoalan yang dihadapi mulai dari tingkat basis, nasional, hingga internasional. Meningkatkan keterampilan dalam memperkuat organisasi tani sebagai organisasi gerakan berbentuk unitaris, meningkatkan keterampilan dalam melakukan berbagai perjuangan atas hak-hak demokrasi dan hak-hak konstitusional kaum tani. Meningkatkan keterampilan tentang teknik-teknik
94
pertanian berkelanjutan yang mampu memacu berkembangnya
ekonomi
petani. Pendidikan dan latihan ini juga harus melahirkan kader-kader petani yang andal, tangguh dan militan, serta mampu melahirkan pemimpinpemimpin petani yang berwatak demokratis, berkemampuan politik sesuai asas SPI, dan mengakar pada massa. Dalam menjalankan pendidikan-pendidikan tersebut setidaknya ada dua hal penting yang digariskan oleh organisasi, yakni internalisasi nilai-nilai perjuangan organisasi (ideologisasi) serta penguatan kemampuan teknis, baik kemampuan teknis kepemimpinan hingga taknis pertanian. Meski telah ditekankan pentingnya dua hal tersebut dalam proses pendidikan yang dijalankan, dalam prakteknya masih terdapat kekurangan-kekurangan dimana pendidikan yang dilakukan terfokus pada proses pendidikan kemampuan teknis semata, sebagaimana diakui oleh Wagimin ; ”Pendidikan mengenai bagaimana menanamkan nilai-nilai perjuangan organisasi di anggota, inikan masih sangat sedikit, masih sangat lemah. Pendidikan bukan hanya menyediakan murid, tetapi juga harus ada guru atau fasilitator yang bagus. Kalau bicara soal ini, perlu ada fsilitatorfasilitator yang tangguh, kemudian yang paham tentang perjuanganperjuangan organisasi, perjuangan petani. Kemudian juga harus ada kaderkader yang dipersiapkan untuk itu. Ini kedepan yang akan jadi prioritas organisasi.”
1.1.2
Lembaga Keuangan Petani Lembaga keuangan petani merupakan salah satu strategi yang
dibangun untuk menguatkan perekonomian petani. Lembaga kauangan ini dibangun dan dikelola oleh petani secara mandiri. Langkah ini dilakukan
95
karena sulitnya akses terhadap permodalan oleh pihak lain, tanpa kecuali oleh pemerintah. Disamping itu juga Lembaga Keuangan Petani (LKP) secara lebih jauh untuk mewujudkan kehidupan petani yang lebih sejahtera dan tidak tergantung kepada pihak manapun. Karena permasalahan petani tidak berhenti sampai pada kepemilikan alat produksi saja, tetapi juga bagaimana petani mandiri dan berdaulat dalam mengolah lahannya, memproduksi serta memasarkan hasil pertaniannya. Secara lebih luas Lembaga Keuangan Petani merupakan salah satu jenis dari ekonomi rakyat, karena dibangun dan dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Sekjen SPI Wilayah Sumatera Utara lebih lanjut menerangkan tujuan didirikannya LKP, sebagai berikut: LKP ini pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh petani yang selama ini sangat kesulitan terhadap akses modal untuk pemenuhan sarana produksi taninya sendiri. Pada awalnya program LKP ini dilakukan oleh Yayasan Sintesa pada tahun 1996, dan ini cocok di terapkan di petani. Untuk menjalankan LKP ini sebenarnya memang dibutuhkan pemahaman yang utuh dari petani itu sendiri, oleh karena itu dibutuhkan pendidikan dan pendampingan secara intens oleh kaderkader petani yang sudah tedidik. Pada prinsipnya LKP dikelola secara gotong royong di basis-basis petani. Disamping kemudahan terhadap akses modal dengan adanya LKP ini, juga mengasah dan membangun nilai-nilai solidaritas sebagai modal sosial di petani. Lembaga Keuangan Petani banyak dijalankan oleh basis-basis SPI wailayah Sumatera Utara yang telah memenangkan kasus tanah pada umumnya. Karena masalah petani tidak hanya pada kepemilikan atau akses terhadap tanah, kendatipun itu merupakan hal yang pokok bagi petani. Setelah memenangkan perjuangan atas tanah belajar dari pengalaman ternyata banyak petani yang berhenti hanya sampai disitu. Padahal jika di amatai secara
96
mendalam masalah peranian setelah memiliki lahan juga bagaimana produksi itu di jalankan, dan bagaimana pemasaran hasil produksi tersebut untuk mewujudkan kedaulatan petani. Disamping itu sebagai pengembangan dan peningkatan keuangan petani, SPI mulai membangun perekonomian pedesaan melalui sistem koperasi yang berbasis pada kekayaan lokal dan memaksimalkan peran aktif masyarakat pedesaan dengan menggunakan prinsip solidaritas, gotong royong, mengutamakan pembangunan sektor pertanian serta membangun ekonomi pedesaan yang berkelanjutan. Saat ini, basis massa yang telah memenangkan perjuangan atas kepemilikan lahan dan masih berlanjut dan terlibat aktif dalam perjuangan selanjutnya hanya dilakukan oleh beberapa basis. Diantaranya adalah basis Tunas Baru Pardembanan dan basis Tani Jaya yang berada di Asahan. Basis Tani Jaya yang berangkat dari kasus tanah dan telah memenangkan kepemilikan lahan secara de facto, saat ini masih terlibat aktif dalam gerakan yang dijalankan oleh organisasi dengan menjalankan aktifitas pengembangan ekonomi petani. Bahkan basis ini menjadi model percontohan basis yang berhasil menjalankan Lembaga Keuangan Petani bagi basis-basislain di SPI Wilayah Sumatera Utara bahkan bagi SPI yang ada di wilayah lain. 2. Mengambangkan Perlawanan Terhadap Neoliberalisme Dalam Mukadimah Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga SPI dituliskan bahwa:
97
“Kami menolak sistem ekonomi kapitalistik yang telah merampas tanah-tanah petani, menghancurkan lingkungan hidup, menjerat petani pada sistem perdagangan yang tidak adil, serta mengabaikan dan mengkooptasi hak-hak masyarakat adat. Kesemuanya itu mengakibatkan hancurnya tatanan ekonomi petani yang menjadi basis kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.” 60 Sistem dan formasi ekonomi nasional yang berserah diri dan menghamba pada mekanisme dan liberalisasi pasar disertai terintegrasinya mekanisme keuangan global. Telah melahirkan dominasi negara-negara kaya terhadap negara Indonesia. Dengan dominasi tersebut maka segala bentuk corak produksi negaranegara kaya akan secara langsung mempengaruhi perubahan, baik budaya, teknologi, dan tentunya ekonomi politik di Indonesia. Maka perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi dan menghisap seperti perusahaan-perusahaan transnasional (TNC), tuan tanah, kebijakan yang anti pembaruan agraria sejati, serta induknya yaitu rezim nekolim yang terkristalisasi dalam bentuk lembaga keuangan internasional seperti
Dana
moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terus digencarkan. Termasuk di dalamnya perjuangan membangun hubungan produksi yang adil dan makmur (adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan). Untuk mewujudkan adanya
kebijakan negara yang pro
pedesaan, pro petani, dan pro rakyat miskin. 1.1. Melakukan aksi-aksi langsung Aksi-aksi langsung merupakan satu metode yang digunakan oleh SPI untuk mendesak tuntutan dengan cara memobilisasi massa secara besar-besaran. Aksi
60
Arah dan Strategi GBHO SPI, hal: 3
98
langsung juga dalam rangka mengkonsolidasikan massa petani yang ada dan sebagai media untuk Show of Force kepada publik. Aksi-aksi langsung yang dilakukan oleh SPI wilayah Sumut banyak dilakukan pada masa bentuk organisasi masih dalam bentuk federatif, diantaranya: 1.1.1
Demonstrasi/ Aksi massa Demonstrasi atau aksi massa yang dilakukan oleh SPI Wlayah
Sumut, selain bertujuan untuk menyikapi kebijakan dan persoalan yang menindas petani, juga dijadikan sebagai media pendidikan bagi basis massa serta bentuk penegasan garis perjuangan sebagai organisasi massa gerakan. Aksi massa yang dilakukan dan diikuti oleh SPI mulai dari aksi-aksi lokal, regional, nasional hingga internasional. Sasaran dan tujuan aksi akan berbedabeda menurut tingkatanaksi yang dilakukan. Aksi-aksi lokal yang dilakukan oleh basis massa SPI ditingkat Kabupaten, lebih cenderung sebagai reaksi atas tekanan yang dihadapi basis anggota SPI Wilayah Sumut yang sedang memperjuangkan kasus tanah. Selain aksi-aksi yang reaksioner, aksi-aksi lokal juga dilakukan untuk mendesak pemerintahan ditingkat kabupaten untuk segera merespon dan menuntaskan tuntutan-tuntutan perjuangan petani akan hak atas tanahnya. Aksi-aksi lokal ini biasa dilakukan oleh basis anggota SPI Wilayah Sumut yang berada di satu wilayah. Saat ini , aksi-aksi lokal SPI Wilayah Sumut pada masa SPSU yang memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya adalah aksi lokal yang dilakukan diwilayah Kabupaten Asahan. Hal ini disebabkan diwilayah tersebut terdapat
99
dua basis anggota SPI-SU yang mengalami ekskalasi konflik dengan skala lebih tinggi. Keberadaan basis yang memperjuangkan kasus tanah belum tentu berpengaruh terhadap intensitas aksi massa ditingkat lokal. Salah satu kelemahan dari aksi-aksi lokal yang ada bahwa aksi-aksi tersebut masih cenderung reaksioner dari tekanan pihak lawan. Belum sampai pada membangun aksi lokal yang berkelanjutan untuk menekan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah setempat. Aksi-aksi lokal perjuangan kasus tanah akan diikuti oleh aksi massa yang lebih besar ditingkat propinsi, ketika aksi-aksi lokal yang dilakukan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aksi ditingkat propinsi dilakukan untuk menyikapi kebijakan pemerintah di daerah maupun pusat, serta menyikapi isu-isu nasional dan internasional seperti impor beras, penolakan terhadap Bank Dunia, IMF dan lembaga perdagangan dunia WTO serta kesepakatan yang dihasilkannya. 1.1.2
Aksi pendudukan lahan Dalam
memperjuangkan
keadilan
struktur
agraria
terutama
dijalankannya land reform, SPI-SU memiliki keyakinan bahwa cara-cara yang efektif untuk segera mewujudkannya adalah dengan melakukan aksi-aksi langsung pendudukan lahan oleh petani. Kemenangan petani atas penguasaan lahan hanya dapat dilakukan melalui aksi-aksi langsung pendudukan lahan. Karena hingga saat ini, Payung hukum berupa Undang-undang Pokok Agraria yang menjamin keadilan struktur agraria tidak berjalan sama sekali. Bahkan
100
lembaga negara serta lembaga peradilannya dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya untuk memihak rakyat. Saat ini, menurut data SPI-SU ada
delapan basis SPI-SU yang
berkonflik dengan pihak lain yaitu pihak perkebunan baik yang dikelola oleh negara maupun oleh pihak swasta yaitu: Tabel I Data basis SPI-SU yang berkonflik dengan pihak Perkebunan
NAMA BASIS TANI
LAHAN KONFLIK
LAWAN KONFLIK
WILAYAH
NO. 1.
Simpang Kopas
600 Ha
2. 3. 4. 5. 6 7 8
Damak Maliho Batu VI Mekar Jaya Aek Kuasan Aek Nagali Titi Putih Lidong timur
198 Ha 300 Ha 554 Ha 100 Ha 120 Ha 420 Ha 160 Ha
1.2
PT. Jaya Baru Pertama PTPN. IV Adolina PT. Asian Agri PTPN II Perhutani PT. Asian Agri PT. RGM Perhutani
Asahan Deli Serdang Asahan Langkat Asahan Asahan Asahan Asahan
Membangun Koalisi untuk mendukung perjuangan Membangun kedaulatan petani tidak hanya dilakukan sendiri oleh petani.
Untuk mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan bagi seluruh elemn masyarakat perlu dilakukan sinergisitas gerakan dengan elemen masyarakat tertindas lainnya. Untuk itu SPI-SU senantiasa melakukan hubungan dengan elemen buruh, petani, kaum miskin kota baik ditingkat lokal maupun internasional dan elemen lainnya untuk menyatukan visi bersama. Mendorong lahirnya gerakan sosial rakyat, bagi SPI-SU bukan berarti hanya menggerakkan kekuatan kaum tani semata. Perubahan secara universal harus
101
diperjuangkan bersama-sama dengan kalangan rakyat tertindas lainnya yang nonpetani. Pentingnya mendorong lahirnya gerakan rakyat bersama-sama dengan kalangan non-petani dalam kerangka memperbesar perlawanan terhadap musuh bersama dikalangan rakyat tertindas, serta mendesakkan perubahan yang lebih universal. Gambaran Landsberger terhadap gerakan tani di Mexico, Bolivia dan China bahwasanya gerakan tani di negara-negara tersebut memiliki sekutu-sekutu yang kuat dan aktif. Keberhasilan gerakan tani tersebut diraih setelah lawanlawannya berhasil diserang oleh kelompok-kelompok kuat disamping petani sendiri 61 . Cita-cita untuk mendorong perubahan yang lebih besar yang dilakukan oleh gerakan tani bersama dengan gerakan rakyat lainnya, digambarkan oleh Heri Purwanto sebagai berikut ; Harus disadari bahwa persoalan petani juga berkaitan dengan persoalan yang lain, buruh, miskin kota dan sebagainya. Karena kebanyakan buruh dan miskin kota juga asalnya dari petani desa yang ke kota. Di SPI-SU, untuk menyamakan pandangan terhadap persoalan rakyat, ada aliansi untuk membicarakan persoalan disetiap sektor. Disitulah akan menemukan akar persoalan, kenapa persoalan rakyat terjadi dan tidak memandang persoalan petani, buruh dan sektor lainnya secara terpisah-pisah. Jadi ada sebuah sistem yang menjadi persoalan dan musuh bersama. Kalau dari sisi strategisnya, kita memandang mayoritas bangsa ini adalah orang miskin. Yang miskin ini kebanyakannya adalah petani, buruh, nelayan dan miskin kota. Nah, ketika kita bisa membangun kekuatan ini, bisa kita manfaatkan untuk kepentingan strategis organisasi menjadi sebuah kekuatan penekan terhadap pengambil kebijakan. Untuk yang praktis, bisa membantu mendesakkan isu-isu masingmasing sektor yang menjadi kebutuhan masing-masing sektor ini. Dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Petani SPSU nomor 010/ SK/ DPP/ SPSU/ 07/ 2002, berdasarkan pertimbangan bahwa Bahwa SPI-SU pada
61
Log Cit,. Landsberger. Hal. 80
102
masih federatif sebagai organisasi perjuangan petani tertindas, tidak akan mampu membangun suatu dunia baru, tanpa adanya kerjasama dengan sesama rakyat miskin non-petani. Eksklusivisme gerakan harus dihindari sehingga Aliansi Rakyat Miskin merupakan suatu keniscayaan. Oleh karenanya, dalam naskah tersebut ditegaskan bahwa ; pertama, SPI-SU terdahulu harus menunjukkan sikap yang proaktif dan bertindak sebagai pelopor dalam mendorong lahirnya aliansi rakyat miskin tersebut sesuai prinsip dan semangat 1. Solidaritas (Solidarity), 2. Kemampuan Mengatur Diri Sendiri (Self Management), 3. dan Pelaksanaan Aksi Langsung (Direct Actions) yang selama ini menjiwai pergerakan petani dari masa ke masa. 1.3
Melakukan Lobi-lobi politik Lobi-lobi politik dilakukan dalam rangka mempengaruhi kebijakan yang
berkaitan dengan petani baik langsung maupun tidak langsung. Lobi-lobi politik ini menunjukan bahwa gerakan petani yang dilakukan SPI-SU memiliki kekuatan yang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan. Untuk menunjang lobi politik tersebut perlu adanya kekuatan politik, yaitu kekuatan massa petani yang berkarakter. Aksi-aksi langsung yang dilakukan oleh SPSU senantiasa diiringi oleh tindakan politik untuk menekan lembaga-lembaga negara hingga merebut kekuasaan atas lembaga-lembaga pemerintahan ditingkat desa. Tindakan politik merebut kekuasaan lembaga pemerintahan desa bertujuan untuk memperkuat gerakan yang dilakukan. Di basis-basis massa yang sedang memperjuangkan kasus tanah, menguasai lembaga ditujukan untuk memperkuat dukungan dan melegitimasi atas aksi-aksi pendudukan lahan. Sedangkan di basis-
103
basis massa yang sudah memenangkan perjuangan atas tanah ataupun di basisbasis massa yang tidak mengusung perjuangan atas kasus tanah, merebut lembaga pemerintahan desa bertujuan untuk mendesakkan isu-isu perjuangan yang lebih luas. Sebagaimana halnya yang pernah dilakukan oleh Basis Tani Jaya di Asahan, yang telah berhasil memenangkan perjuangan atas pemilikan lahan yang disengketakan. Meski gagal dalam pertarungan merebut posisi kepala desa, setidaknya dapat dilihat bahwa tindakan politik tersebut memiliki tujuan untuk mendesakkan tuntutan-tuntutan yang lebih lanjut dari perjuangan sebelumnya berupa perjuangan atas bukti kepemilikan formal atas lahan yang telah dikuasai, perbaikan fasilitas desa, pembukaan peluang terhadap akses modal dan pemasaran dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Wagimin ; ”Kalau kita lihat persoalan-persoalan petani, itukan banyak hal. Seperti persoalan akses modal, pasar dan akses sumber daya dan lain sebagainya. Dengan kita merebut posisi politik pemerintahan desa, harapannya aksesakses yang tadinya tertutup, bisa dibuka melalui posisi penguasaan lembaga pemerintahan desa. Kalau posisi ini tidak direbut, akan sulit kita mengakses itu. Persoalan kasus tanah yang paling penting adalah pengakuan dari desa. Pengakuan dari desa merupakan suatu bukti yang paling penting untuk persoalan kasus tanah. Yang diharapkan dengan merebut posisi kepala desa, petani-petani yang punya persoalan kasus tanah akan dapat legitimasi dari desa bahwa tanah yang diperjuangkan adalah tanah milik masyarakat.”
Berbeda dengan basis massa SPI-SU di Kabupaten Simalungun, Kepala Desanya merupakan kader sekaligus menjabat sebagai pengurus SPI-SU di Unit Simalungun pada waktu SPSU dan masih berbentuk federatif. Meski posisi kepala desa tersebut diperoleh bukan dari hasil proses tindakan politik yang langsung dijalankan ditingkat basis massanya, setidaknya penguasaan atas lembaga
104
pemerintahan desa tersebut sangat berperan dalam menjalankan kampanye dan praktek pertanian berkelanjutan serta mendesak lembaga-lembaga pemerintahan diatas pemerintahan desa untuk mendukung dan membuka akses modal dan pemasaran. Keberhasilan yang telah dicapai, setidaknya berupa dukungan dari Pemerintah Kabupaten yang menjadikan desa tersebut program percontohan pengembangan pertanian organik di Kabupaten Simalungun. Ditingkat kabupaten maupun propinsi, tindakan politik yang dilakukan belum sampai pada merebut posisi-posisi penguasaan lembaga pemerintahan. Tindakan politik yang dilakukan masih sebatas membangun kaukus politik dengan partai politik maupun fraksi-fraksi di legislatif yang sejalan dan siap mendukung perjuangan yang dijalankan oleh SPSU. Kaukus politik tersebut dibentuk sebagai media untuk menarik dukungan dan membangun kekuatan untuk mendesakkan isu-isu yang sedang diperjuangkan oleh SPI-SU. Saat ini, kaukus politik yang dibangun ditingkat propinsi telah melibatkan Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional serta Partai Demokrat. Meski demikian, dukungan yang diperoleh masih belum signifikan dalam mendorong perjuangan yang dilakukan oleh SPI-SU. Sebagaimana dituturkan oleh Wagimin ; “Kaukus ini sebenarnya diharapkan akan mampu membantu kerja-kerja organisasi dalam hal soal khususnya penyelesaian persoalan-persoalan yang ada di SPSU. Nah, sampai hari ini efektifitas kaukus politik yang dibangun ini belum begitu jelas, apakah soal mempengaruhi kebijakan dan lainnya. Masih hanya sebatas, kalau ada persoalan yang dihadapi SPSU dan akan dibawakan ketingkat yang lebih tinggi misalnya DPRD, paling-paling hanya mudah ketemu dengan beberapa pejabat yang ingin kita jumpai. Tetapi sampai bagaimana kaukus ini punya pemahaman dan mampu menyelesaikan
105
persoalan-persoalan yang dihadapi petani, sampai saat ini belum kelihatan secara nyata.” Selain karena masih longgarnya hubungan dengan Partai Politik tersebut, kaukus politik tersebut belum sampai pada dipermanenkan sebagai lembaga yang mengikat hingga kesepakatan-kesepakatan bersama yang kuat. Untuk sementara, dukungan-dukungan yang diperoleh masih sebatas dukungan reaksioner atas kasus-kasus yang perjuangan tanah Basis-basis anggota SPI-SU. Selain itu, di tingkatan internal SPI-SU sendiri juga merasakan kelemahannya dalam mengefektifkan peran dan fungsi kaukus politik tersebut, sebagaimana pernyataan yang dilanjutkan oleh wagimin ; “Karena di SPI-SU sendiri harus diakui sumber daya yang dimiliki terbatas. Sehingga kerja-kerja politik yang harus dilakukan tertinggal. Jadi SPI-SU tidak punya sumber daya yang cukup untuk menggarap semua itu. Kalau anggota kaukus ini-kemauan mereka relatif untuk terus menyuarakan perjuangan petani. Karena anggota kaukus ini orang yang berlatar belakang dan berasal dari partai politik. Jadi ketika tidak ada mekanisme yang dibuat, seperti pertemuan rutin dan sebagainya, persoalan-persoalan yang dibicarakan akan terlupakan. Orientasi para nggota kaukus politik itu tetap sebagai orang yang mewakili partainya.”
dengan bentuk struktur organisasi berbentuk unitaris, SPI-SU memiliki kekuatan politik yang lebih besar. Ini terlihat dari peran aktif SPI-SU untuk terlibat langsung dalam momen politik di tingkat propinsi. Dengan berafiliasi dengan elemen lain yang konsren terhadap pendidikan politik dan kondisi sosial (kekuatan nalayan, buruh, penggiat sektor informal di perkotaan, tukang beca, LSM dan elemen masyarakat lainnya) yang ada di Sumatera Utara SPI-SU mampu membentuk kaukus politik yang lebih besar dan lebih tersistematis dalam
106
menyuarakan kepentingan petani di tingkat propinsi. Seperti yang ditegaskan oleh Wagimin: Pilihan politik untuk terlibat langsung dalam politik praktis bukanlah sesuatu yang tabu bagi kita di SPI-SI, pilihan ini merupakan atas kemauan dan kesadaran kita akan kebutuhan gerakan petani yang kita usung. Gerakan politik merupakan fase yang lebih lanjut dengan berdasarkan kekuatan sosial masyarakat. Namun kita juga tidak boleh melupakan gerakan sosial yang kita jalankan, tetap saja gerakan sosial seperti penguatan pendidikan, ekonomi serta penguatan organisasi yang lebih utama.
107
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Paradigma neoliberalisme merupakan lahir dari paham liberal yang untuk mencapai kesejahteraan maka akumulasi modal (Kapitalizm) menjadi tujuan utama dalam paradigma ini. Secara umum kapitalisme merupakan suatu ideologi barat yang mendasarkan pemikirannya pada paham individualisme, persaingan dan mengarahkan sistem perekonomian dengan tujuan mencari akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai hal itu maka pasar perdagangan harus di bebaskan dari intervensi lembaga-lembaga Negara, artinya pencabutan subsidi di segala jenis lini kehidupan social masyarakat. Negara dalam pandangan liberal adalah dimana system pemerintahan yang hanya berperan sabagai regulator semata. Dimana pelaku ekonomi swasta memiliki peran yang dominan dalam melakukan aktivita ekonomi. Neoliberal telah menjadi system tata dunia baru yang sangat ekspolitatif terhadap Negara dunia ketiga dunia. Akhirnya pihak swasta memiliki kekuasaan dalam memonopoli sector-sektor yang menjadi kebutuhan vital masyarakat dunia ketiga sehingga teradinya ketimpangan social di tengah masyarakat. Neoliberal merupakan system penjajahan baru bagi Negara berkembang. Dampak yang dirasakan ada diberbagai segi kehidupan. Bagi petani khsusunya di Indonesia serta wilayah yang ada, dengan paradigma neoliberal mendistorsi hak-hak petani. Tidak adanya kepastian harga dipasar, minimnya perlindungan pemerintah melalui UU bagi petani,dan tidak tersedianya sumber-sumber agraria yang tidak terdistribusi secara merata
menyebabkan kondisi petani menjadi sangat sulit.
103
108
Ketimpangan ini menjadikan konflik antara petani dan kekuatan-kekuatan ekonomi global yang menghisap. Di Sumatera Utara kondisi ini di respone oleh petani dengan melakukan gerakan-gerakan perlawanan untuk memutus ketergantungan terhadap kekuatan neoliberal globall yang terorganisir dan tersistematis. Gerakan ini dimulai dari penguatan massa petani dari segi ekonomi, social, dan politik bagi petani. Kekuatan ini menjadi suatu kekuatan baru dimana dapat melakukan tekanan politik dan peningkatan kehidupan petani pada umumnya di Sumatera Utara. Tuntutan-tuntutan yang disuarakan tidak hanya sebatas pada tuntutan hak-hak petani atas tanah, tetapi juga menyangkut kedaulatan pangan, pemberian akses terhadap modal dan pemasaran, sistem kenegaraan yang demokrasi dan berpihak kerakyatan, sistem perdagangan dan ekonomi dunia yang berkeadilan tanpa WTO, IMF dan Bank Dunia, pertanian
berkelanjutan,
hingga
cita-cita
membangun
dunia
baru
tanpa
neoliberalisme. SPI-SU lahir dari petani yang memiliki kesadaran akan kondisi yang menghimpitnya. Dengan didampingi oleh intelektual organik yang konsisten dan berpihak terhadap gerakan yang dilakukan petani, mampu mengambangkan gerakan sampai ke tingkat internasional dengan memadukan gerakan massa dan tindakantindakan politik. Gerakan massa ini dilakukan dengan aksi-aksi langsung seperti pendudukan lahan yang dirampas perkebunan besar, bertani organik, membangun perekonomian petani dan pendidikan-pendidikan kritis. Gerakan politik dengan membangun aliansi ke berbagai kekuatan rakyat seperti buruh, nelayan, dan miskin kota yang menyuarakan perubahan baru.
109
Proses peruangan SPI-SU pada awalnya berbentuk federatif telah mendorong lahirnya organisasi di tingkat nasional, ini dibuktikan dengan adanya Federasi Serikat Petani Indonesia, serta membangun keterlibatan dengan La Via Campesina yang merupakan
kekuatan
tani
dunia
yang
menentang
neoliberalisme.
Dengan
pengembangan analisis terhadap gerakan petani dilakukan maka dibentuk suatu formulasi gerakan petani dalam bentuk organisasi yang Unitaris. Pilihan bentuk organisasi unitaris ini dilakukan mengingat kondisi yang dihadapi petani kedepan penuh dengan tantangan dan tintangan akibat cengkaraman neoliberal tersebut, maka diperlukan organisasi kesatuan yang lebih kuat dan cepat dalam merespone kondisi kekinian. B. Saran Dengan perubahan bentuk dari organisasi federatif ke unitaris, gerakan petani sebenarnya masih memiliki kelemahan secara internal. Pertama Kurangnya kader aktif yang ada di SPI- SU sendiri, mengingat bentuk organisasi unitaris yang membutuhkan ketelibatan banyak orang dalam melakukan proses pengorganisiran yang kuat. Kedua kurangnya kemampuan leadership yang dilakukan oleh fungsionaris organisasi SPI-SU sehinga organisasi terkesan berjalan lamban. Ketiga pembenahan pendidikan juga sangat diperlukan dalam membangun pola pikir kritis petani. Keempat, mengingat kondisi refresip yang mulai dilakukan pemerintah maka dibutuhkan penguatan kader yang ada, dan menemukan formulasi kreatif untuk menjawab kebutuhan secara bersama-sama bagi petani. Kelima, kurangnya kemampuan SPI-SU dalam melakukan proses regenerasi kader yang ada maka diperlukan keterlibatan pemuda tani, mahasiswa dan elemen potensial lainnya untuk
110
membentuk intelektual organic yang lahir dari petani dan memiliki komitmen dalam perjuangan petani.
111
DAFTAR PUSTAKA
Adamz, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir (Konsep, ragam, Kritik, dan Masa depannya), Jogjakarta: Qalam Fakih, Mansour, 2003, Bebas Dari Neoliberalisme, Jogjakarta: Insist FSPI, 2003, Melawan Neoliberalisme, Jakarta: Petani Press Furchan, Arief, 1992, Metoda Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional Grisez Kweit, Mary, 1986, Konsep dan Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara Malik,
Ichsan, dkk., 2003, Menyeimbangkan Kekuatan Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam, Jakarta : Yayasan Kemala
Mustain, Dr., 2007, Petani VS Negara (Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara), Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Natalis PB., Decky, Evolusi dan Sejarah Konflik Papua, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Nawawi, Hadari, 1994, Penelitian Terapan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Singarimbun, Masri, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES Sembiring, Robinson, 2006, Politea Militer dan Politik, Medan : USU Press Suhelmi, Akhmad, 2001, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Suryana, Akhmad dan Sudi Murdianto, 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, Jakarta: LPEM FE UI Husein Pontoh, Coen, 2005, Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta: Resist Book. Sintesa dan SPSU. 1998. Pembangunan berbuah sengketa; Kumpulan kasus-kasus sengketa pertanahan sepanjang orde baru, Medan: Sintesa dan SPSU.
112
Sintesa dan SPSU. 1998. Perlawanan Kaum Tani; Analisis terhadap Gerakan Petani Indonesia Sepanjang Orde Baru, Medan: Sintesa dan SPSU. SPI-SU. 2008. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Serikat Petani Indonesia, Jakarta: SPI. SPI-SU. 2008. Garis-garis Besar Haluan Organisasi Serikat Petani Indonesia, Jakarta: SPI. Media Cetak Medan Bisnis, 4 April 2006. Halaman 15. “Petani Pasir Mandoge Tuntut P.T. BSP Keluar dari Lahan Pertanian” Harian Waspada, 20 Februari 2008, “Petani Asahan Kesulitan Pupuk” Harian SINDO, 20 Maret 2007, ”Petani Karo sulit Akses Pasar” Dokumen Makalah ARAS, Selasa 15 Januari 2008, Impor Beras Kepentingan Siapa,
113