Ide Utama
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME
Suhadi*) ABSTRACT: History records that women pre-Islamic Arabic has revealed their identity and position and glory, so worthy of being a pilot model of world civilization at the time, which in turn is next, Islam encourages. But history in the history also does not deny that Islam (read: the understanding of Islam) in the hands of some “defenders” are also played discrimination of women who then made the bearers of weapons by some groups that Islamic feminism nuanced misoginis (hatred of women). Islam does not “surprise” against feminism, because that’s what it became one big agenda from the beginning, even in Islam – if examined more deeply – very spoiled woman. But more than that, the Islamic clerics – through ‘moderate – also gave signs that feminism is not too far as he explores the hidden agendas behind feminism is dangerous. Keywords: Islamic history, feminism, responses
A. Pendahuluan Obor peradaban dahulu pernah di pegang oleh Timur pada masa Mesir kuno, Venessia, Babilonia dan Persia. Kemudian obor itu berpindah ke Barat pada masa Yunani dan Romawi. lalu kembali lagi ke Timur pada masa peradaban Islam Arab. Namun ketika kaum muslimin mengalami stagnasi dan keterbelakangan yang di sebabkan oleh kesalahannya dalam memahami agama dan aplikasinya, obor peradabanpun dengan cepat berpindah ke Barat dan mereka langsung menguasai kendali dunia hingga sekarang.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Sekarang ini Barat dengan dominasi dan hegemoninya hendak memaksakan kehendaknya untuk menguasai peradaban, ekonomi dan politik dunia dengan kemasan Globalisasi. Seluruh gerakan di Barat dari abad ketujuh belas sampai kini gagasannya selalu berkisar pada dua hal: kebebasan dan persamaan. Dan di antara gerakan kebebasan dan persamaan tersebut adalah kepeloporannya dalam memandang kebebasan wanita dan persamaan hak mereka dengan hak kaum pria di segala bidang sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan Hak Asasi Manusia yang telah merupakan ide sentral sejak abad ketujuh belas. Inilah yang kemudian di sebut sebagai gerakan Feminisme. Apa sebenarnya Feminisme ini, apa yang melatar belakanginya, bagaimana potret wanita sepanjang sejarah manusia dan bagaimana respon dunia Islam menyikapi Feminisme ini?, makalah ini - meski dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya - akan memaparkan dan mengulas persolan-persoalan di atas. B. Potret Wanita dalam Sejarah a. Kemuliaan Wanita di Arab Pra Islam Ahmad Syalabi-guru besar Sejarah dan Kebudayaan Islam dari Mesir-mengetengahkan bahwa ada suatu gejala yang boleh dikatakan kelihatan dengan jelas pada tiap-tiap kabilah pra Islam. Yaitu : adat menjaga dan membela perempuan, dan memandang kehormatan perempuan itu lebih tinggi harganya dari pada jiwa, harta dan anak-pinak.1 Salah satu dari tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka amat menjaga dan membela kehormatan perempuan ialah telah menjadi kebiasaan bagi mereka membawa perempuan-perempuan ke medan perang. Perempuanperempuan diletakkan di belakang balatentara yang berperang, dengan maksud agar mereka selalu ingat bahwa kekalahan berarti kehormatan kaum perempuan mereka akan diinjakinjak oleh musuh. Yang demikian itu dapat menjamin bahwa mereka akan berperang mati-matian melawan musuh.2
25
26
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Sementara itu Murtadha Muthahhari menukil dari alKasysyaf dan kitab-kitab Tafsir lainnya menyebutkan bahwa di zaman Jahiliyyah apabila seorang bayi wanita lahir maka orang yang mengucapkan selamat kepada ayah si bayi itu biasanya mengatakan “Hanian laka an-Nafijah”, artinya “selamat, semoga ia menjadi sumber kekayaan bagimu”. Ini berarti bahwa ayah si gadis kelak akan mengawinkan dia dan akan menerima Maskawin.3 Superioritas kaum perempuan juga mempunyai bukti sejarah bahwa di masyarakat Arab pra-Islam pernah mengalami sistem keluarga “Matrilinial” di mana pertalian keluarga dicatat dari pihak perempuan.4 Kitab-kitab klasik semisal an-Nasab az-Zaky, Nasabu Quraisy oleh Mash’ab az-Zubairy dan Jamharotu Ansab alArab oleh Ibnu Hazm mempersaksikan sejauh mana ahli-ahli silsilah itu mementingkan mempertengahkan para wanita dan bagaimana telitinya penulis-penulis Arab mencantumkan nama-nama wanita, silsilahnya hingga ke nenek moyang yang paling jauh.5 Bahkan banyak nama-nama Kabilah di Arab di ambil dari nama-nama para wanita semisal Bani Khandaf, Bani Dhariyah, Bani Jadilah, Bani Adiyah, Bani Raqqasy, Bani Muzayyanah, Bani Amilah, Bani Afra’, Bani Bahilah, Bani Salul dan Bani Abalah. Di kalangan raja juga ada yang mempopulerkan nama ibunya seperti Amr Ibn Hindun, Mundzir Ibn Ma’us Sama dan lain-lain.6 Lamya’ al-Faruqiy, seorang sarjana dalam sejarah musik dan kesenian Islam, yang juga dosen di Tample, Butler, Indiana, Pakistan dan Filipina, mencatat bahwa dalam masyarakat Arab Jahiliyah ada dua tipe utama perkawinan dipraktekkan. Tipe pertama menurutnya adalah perkawinan yang didasarkan atas suatu kebiasaan lama di kalangan orang-orang Arab yang menetapkan kekerabatan pada garis keturunan wanita. Baik perkawinan Endogami (antara anggota-anggota dari suku atau hayy yang sama) atau Exogami (antara anggota-anggota dua suku atau hayy yang berbeda).7 Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Smeth. Di masa
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
sebelum kedatangan Muhammad saw., di dalam masyarakat Arab terdapat sistem keluarga, yang berbentuk matriarkal, di mana pertalian keluarga dicatat dari sisi perempuan. Di bawah sistem ini kaum perempuan menyambut kedatangan kaum lakilaki ke dalam tendanya, anak keturunan mereka adalah milik perempuan dan masuk ke dalam keanggotaan suku mereka dan kaum perempuan memiliki hak untuk menyingkirkan kaum laki-laki menurut kehendaknya. Keadaan semacam ini masih berlangsung di masa Muhammad dan masih terus berlangsung hingga dua abad setelah datangnya Islam.8 Smeth lebih tegas lagi mengatakan bahwa kaum perempuan pada masa pra-Islam bahkan mempunyai hak penuh menguasai kaum laki-laki, sehingga mereka berhak mengusir kaum laki-laki sekehendaknya sendiri dan anak keturunannya menjadi bagian dari suku pihak perempuan. Inilah budaya Matriarkhi. Bahkan perkawinan Muhammad (sebelum menjadi Rasul) dengan Khadijah, menurut Fatima Mernisi, masih terpengaruh oleh budaya Matriarkhal dengan bentuk perkawinan Matrilinial, dimana yang melamar adalah pihak perempuan: “Dialah (Khadijah) yang melamar Nabi saw, karena dia menemukan pada diri beliau kualitas-kualitas yang paling dihargai bagi seorang laki-laki.9 Posisi matrilinial, menurut Smeth masih bertahan hingga dua abad setelah datangnya Islam. Oleh karena itu adalah benar jika Nawel El- Saadawi menganggap bahwa kaum perempuan Arab pada masa Islam masih lebih terhormat ketimbang perempuan Eropa, karena perempuan Arab masih mempunyai hak untuk membelanjakan uangnya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sepanjang menyangkut kedua hal ini (mengelola dan membelanjakan uangnya sendiri) istri-istri orang Arab menurut Saadawi lebih baik di banding saudarasaudara mereka di Amerika dan Eropa, karena wanita Arab tetap memakai namanya setelah menikah dan membelanjakan uangnya dengan kebebasan penuh tanpa membutuhkan segala macam bentuk perizinan dari suaminya.10 Salah satu rahasia besar yang membuat orang-orang Arab pra Isl”am menghormati wanita adalah karena “danyang” atau yang “mbaurekso” dalam arti perintis dan pemakmur pertama
27
28
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
negeri Arab dengan Makkah sebagai Ummul quronya adalah seorang wanita. Wanita ini menurut kepercayaan mereka adaah seorang dewi yang dikirim tuhan untuk menyulap tanah gersang Arab menjadi surga kehidupan. Melalui hentakan mukjizat kaki putranya yang masih bayi mungil,memancarlah sumber kehidupan; air zamzam. Sejak saat itulah denyut kehidupan di negeri Arab dimulai. Karena itu pulalah sebagai simbol kehormatan, patung-patung besar yang dituhankan orang-orang Arab adalah patung-patung perempuan. Ali Shariati dengan ketajaman analisisnya menulis bahwa di sebelah barat Ka’bah ada sebuah tembok rendah yang berbentuk setengah lingkaran dan menghadap ke Ka’bah. Bangunan ini disebut Hijr Ismail. Hijr berarti pangkuan atau pakaian wanita sebelah bawah. Sarah, istri Ibrahim, mempunyai seorang budak hitam yang berasal dari Ethiopia bernama Hajar. Budak ini sedemikian miskin dan hinanya sehingga Sarah tidak berkeberatan jika Ibrahim menikahinya untuk memperoleh keturunan. Walaupun tidak cukup terhormat untuk menjadi istri kedua Ibrahim, tetapi Allah menghubungkan lambang Hajar dengan lambang-Nya sendiri (Ka’bah). Di atas pangkuan Hajarlah Ismail dibesarkan. Di sanalah rumah Hajar dan kuburannya berada di dekat pilar Ka’bah yang ketiga. Betapa anehnya!- tulis Syari’ati- Jika tak seorang manusia, sekalipun ia nabi, boleh dikuburkan di dalam masjid maka mengapakah rumah seorang budak perempuan hitam sampai berada di sebelah rumah Allah? dan di situ pula Hajar, ibu Ismail, dikuburkan. Bangunan ka’bah memanjang ke arah kuburannya, dengan perkataan lain: rumah Allah menghadap ke pangkuan Hajar! Di antara Hijr Ismail dengan Ka’bah ada sebuah gang sempit. Allah memerintahkan agar ketika melakukan Thawaf kita mengelilingi kedua bangunan ini dan tidak mengelilingi ka’bah saja dengan melalui gang tersebut; jika tidak demikian maka ibadah haji yang kita lakukan itu tidak akan diterima oleh Allah.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Orang-orang yang berkeyakinan Monotheisme (tauhid) serta menerima undangan Allah untuk menunaikan ibadah haji harus menyentuh Hijr Ismail ini ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah. Kuburan seorang sahaya perempuan hitam Afrika dan ibu yang baik ini merupakan sebagian dari Ka’bah, dan hingga Kiamat nanti manusia-manusia senantiasa akan berthawaf mengelilinginya. Allah Yang Maha Besar adalah Sendirian. Tak seorang manusia pun dan tak sesuatu pun yang dibutuhkan-Nya. Walaupun demikian, di antara sekalian makhluk-Nya yang sangat banyak ini Dia telah mengangkat seorang manusia sebagai yang termulia di antara mereka yaitu seorang perempuan. Kepada yang terhina dan terlemah diantara makhlukmakhluk-Nya ini Allah memberikan tempat di sisi-Nya dan sebuah ruangan di dalam rumah-Nya. Dia telah datang ke rumah Hajar, menjadi tetangganya, dan menempati ruangan yang sama dengan Hajar. Ritual-ritual haji adalah untuk memperingati Hajar. Perkataan Hijrah bersumber dari perkataan Hajar; demikian pula halnya dengan Muhajir (orang yang ikut melakukan Hijrah). Nabi Muhammad berkata : “Muhajir yang ideal adalah yang berbuat seperti Hajar”. Hijrah adalah sebuah perbuatan seperti yang pernah dilakukan Hajar. Selanjutnya perkataan Hijrah dapat pula berarti peralihan dari hidup biadab menjadi hidup beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Di dalam bahasa-ibunya sendiri namanya (Hajar) berarti “kota”. Jika nama sahaya Ethiopia yang berkulit hitam ini melambangkan peradaban. Selanjutnya setiap hijrah seperti yang pernah dilakukannya adalah sebuah gerakan menuju peradaban!.11 Demikian Ali Syari’ati. Sedangkan Bintu asy-Syathi’-Mufassirah terkenal itumenulis bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyah dahulu sangat mementingkan kemuliaan keturunan Ayah dan kesucian keturunan Ibu, serta kemurnian asal-usul. Seorang ahli pikir mereka, Aktsam ibn Shaify, berkata: “ Janganlah kamu tergoda karena kecantikan wanita, sehingga kamu lupa menyelidiki
29
30
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
keturunannya yang jelas; karena sebenarnya perkawinan dengan isteri-isteri yang mulia itu merupakan tangga untuk menuju kemulyan. Abu Amar ibnu’I ‘Ala’ menghafalkan kata-kata dari salah seorang Hukama’ Arab Jahiliyah : “ saya tidak mau menikahi seorang wanita, sebelum saya memperhatikan anak-anak saya yang akan dilahirkannya”. Mendengar kata-katanya itu, seorang temannya berkata: “ bagaimana caranya anda memperhatikan anak-anakmu yang akan dilahirkan oleh seorang wanita?” Hakim itu menjawab: “Saya memperhatikan ayah dan ibu wanita itu, tentu saja kelak wanita itu akan melanjutkan sifat-sifat ayah dan ibunya. Mungkin keinginan mereka yang begitu kuat untuk memiliki keturunan yang mulia itu dapat menafsirkan untuk kita, bagaimana mereka benci menjadi tawanan. Dalam sejarah diterangkan, bahwa “Fatimah binti Kharsyab” menjatuhkan dirinya dari Haudaj, dari keranda di atas unta, pada waktu ia tertawan. Akhirnya ia mati seketika itu juga, dalam keadaan menyebut berulang kali pepatah : “ Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah” kata Bintu asy-Syathi’: “Saya hampir tidak menemukan, di dalam buku-buku yang telah saya baca, suatu bangsa di zaman purba, yang mempunyai kedudukan wanita yang mulia seperti bangsa Arab. Al Mubarrid mencatat dalam bukunya “Al Kamil”, beberapa baris sya’ir dari Sulaik ibn Salakah, yang menggambarkan perasaans yang menyusahkan dan meletihkan, karena adanya budak-budak wanita, yang menjadi hina karena perbudakan dan menjadi rendah nilainya karena selalu dipamerkan, sedang harta kekayaannya tidak cukup untuk menebus mereka”.12 Demikian Bintu asy-Syathi’ Tidak jarang pula penghargaan kepada perempuan telah menyeleweng dan berlebih-lebihan sampai menimbulkan bencana, serta menyebabkan perbuatan-perbuatan yang memberi malu dan noda bahkan kemusyrikan. Hal-hal kecil karena wanita bisa memicu peperangan tak berkesudahan. Akibatnya banyak tawanan perempuan dan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
janda,inilah awal budaya poligami di Arab. Bahkan karena adanya harapan yang berlebihan untuk menjaga agar wanita selalu terhormat pernah terjadi suatu insiden memalukan dari oknum Arab, yaitu mengubur anak perempuannya hiduphidup karena di khawatirkan nanti akan bernoda atau ditawan musuh. Sejarah mencatat insiden ini terjadi pada Bani Asad dan Bani Tamim.13 Pemujaan yang berlebihan pada wanita membuat mereka membuat patung-patung berjenis wanita, 3 patung besar yang paling di hormati; al-Latta, Manat dan al-Uzza adalah berjenis kelamin wanita. b. Kemuliaan Wanita dalam Islam Setelah Islam hadir posisi wanita semakin di pertegas dan di perjelas. Hak-hak mereka dalam berbagai bidang di atur oleh Syariat dengan seimbang dan selaras dengan sifat mulya kewanitaannya. Dan hal tersebut di tegaskan langsung oleh Tuhan: “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan” (QS.3:195). Begitu pula dalam Surat al-Nisa’ ayat 32: “Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang di anugerahkan kepadanya”. Juga Surat al-Taubah ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagin sebagian yang lain”. c. Wanita – wanita di belahan dunia yang lain Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Qur’an terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha, Zoroaster, dan sebagainya. Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiranpemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan dikalangan
31
32
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjual belikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra atau seni. Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah “Dewi Cinta” yang terkenal dalam peradaban Yunani.14 Undang-undang di Athena sendiri ( kota Filsafat dan Filosof, negeri pencetus Demokrasi) tidak mengizinkan siapapun memperoleh pengajaran kecuali kaum laki-laki merdeka saja. Pintu pendidikan itu mutlak tertutup bagi kaum perempuan. Di kota ini, Plato telah berupaya menerapkan di kota “Republik”-nya prinsip-prinsip kesetaraan gender di bidang pendidikan dan kebudayaan. Hanya saja ia tidak mampu melakukannya, sebab gagasannya tentang prinsip itu mendapat banyak kecaman dari para pemikir dan filosof waktu itu. Aristoteles, filosof Yunani, malahan merasionalisasi kritikan tersebut bahwa secara almiah, perempuan memang tidak sedikitpun dibekali dengan perangkat pikir. Sehingga, kehidupan perempuan wajib berkutat pada urusan rumah tangga dan asuh-mengasuh anak. Aristoteles pernah mengatakan bahwa posisi perempuan di hadapkan laki-laki menyerupai posisi hamba di hadapan tuan, pekerja di hadapan ilmuwan, dan orang Barbar di hadapan orang Yunani, dan bahwa derajat laki-laki jauh lebih unggul di atas perempuan . Hal serupa dikatakan oleh orator Yunani terkemuka, Justin, “ kita mengambil istri-istri hanya agar mereka melahirkan anak-anak kita secara sah.15 Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak keluarganya yang laki-laki. Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa “Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita”.16 Kitab Hindu Brahman menganggap bahwa perempuan tidak memiliki wewenang (ahliyyah) penuh, dan laki-lakilah yang menjadi penguasa atas dirinya sepanjang zaman. Sebagai contoh, dalam pasal 147 Kitab Undang-Undang Manu tercatat bahwa perempuan tidak memiliki hak apapun semasa hidupnya.17 Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan “Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya”. Dalam ajaran Yahudi yang telah diselewengkan, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dalam agama Yahudi, Talmud menyuruh agar waspada terhadap perempuan, karena dianggap berbahaya. Ketika itu ia berkhotbah di hadapan publik Yahudi: “Bagi manusia, lebih baik berjalan di belakang singa daripada berjalan di belakang perempuan”. Dalam kitab suci mereka juga tertera bahwa perempuan sudah semestinya menjadi subordinat laki-laki dan laki-laki berkuasa atas perempuan (kitab kejadian 2: 12).18 Dalam pandangan sementara pemuka atau pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita
33
34
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mempunyai ruh atau tidak. Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Di antara kata-kata agama kristen berbunyi: perempuan pada kodratnya buruk, lemah bawaan, pembawa petaka, biang bahaya, sumber kekacauan, dan bergelimang kejahatan”. Begitu pula Thomas Aquinas, yang dikenal kalangan Kristiani sebagai penyebar kasih, menyatakan salah satu ungkapannya: “Keharusan perempuan tunduk pada laki-laki sesungguhnya disebabkan oleh kelemahan kodrati daya gerak dan fisiknya sekaligus, dan laki-laki adalah pangkal sekaligus ujung dari perempuan. Allah telah memerintahkan perempuan untuk tunduk patuh.19 Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundangundangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill-yang merupakan dokter wanita pertama di dunia-menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.20 Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Qur’an. C. Pengertian dan Sejarah lahirnyaFeminisme a. Pengertian Feminisme dan Gender.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interprestasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini- yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya- secara bersama- sama memoles “peran gender” kita.21 Sedangkan pengertian feminisme adalah gerakan wanita yang berusaha dan menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut pemikiran Feminisme Liberal bahwa asumsi dasar berakar pada kebebasan dan kesamaan yang rasional, kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini yang paling penting bagi mereka.22 Feminisme Radikal beranggapan bahwa ketidak adilan berakar pada jenis kelamin beserta idiologi patriarkinya. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Feminisme Marxis menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis. Feminisme Sosialis menganggap ketidakadilan bukan
35
36
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
karena kegiatan produksi atau reproduksi, melainkan karena manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan penilaian dan anggapan (social contruction).23 b. Sejarah lahirnya Feminisme Di dunia Barat, sesudah abad ketujuh belas, timbul suatu gerakan dibidang masalah kemasyarakatan, bersamaan dengan terjadinya gelombang pasang perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah, yang kemudian memperoleh sebutan sebagai “Gerakan Hak-Hak Asasi Manusia”. Para penulis dan pemikir abad ketujuh belas dan kedelapan belas menyiarkan ide-ide mereka tentang hak-hak asasi manusia yang alami, intrinsik, dan tidak dapat disangkal dengan kegigihan yang mengagumkan. Rousseau, Voltaire, dan Montesquieu termasuk di antara kelompok penulis dan pemikir tersebut. Masalah pokok yang diberi perhatian oleh kelompok penulis dan pemikir tersebut ialah bahwa manusia menurut watak alami dan bawaannya memiliki serangkaian hak dan kebebasan. Tak ada seorang individu atau kelompok pun, dengan cara bagaimanapun atau dengan alasan apa pun, yang dapat menyangkal hak dan kebebasan seorang individu atau kelompok. Bahkan pemilik hak itu sendiri pun tidak dapat dengan sukarela dan seenaknya mengalihkan hak tersebut kepada orang lain. Semua orang, raja atau rakyat, kulit putih atau hitam, kaya atau miskin, sama dan sederajat sekaitan dengan hak dan kebebasan manusia itu.24 Gerakan intelektual dan sosial ini lalu membuahkan hasil, mula-mula di Inggris, kemudian di Amerika, dan sesudah itu di Perancis melalui revolusi, perubahan bentuk pemerintahan, dan pengajuan petisi. Ide-ide ini berangsur-angsur menyebar ke negara lain. Revolusi industri mengilhami gerakan perempuan karena pekerjaan mereka terganti mesin. Pada abad kesembilan belas, gagasan baru mengenai hak ekonomi, sosial, dan politik manusia dicanangkan, dan perubahan-perubahan pun terjadi, yang berpuncak pada munculnya sosialisme dan tuntunan pemberian bagian keuntungan kepada kaum proletar dan pengalihan kekuasaan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
pemerintahan kepada kelompok pembela kelas pekerja. Pada abad kedua puluh, masalah hak-hak wanita muncul menimpali hak-hak kaum pria, dan untuk pertama kali, dalam “ Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia” yang disusun tahun 1948 setelah perang Dunia Kedua oleh PBB, persamaan hak antara wanita dan pria dinyatakan dengan jelas. Seluruh gerakan sosial di Barat, dari abad ketujuh belas sampai kini, gagasannya selalu berkisar pada dua hal: ‘Kebebasan’ dan ‘Persamaan’. Meskipun kenyataannya gerakan hak-hak wanita di Barat mengikuti urutan yang sama dengan gerakan lainnya, dan sejarah hak-hak wanita di Eropa penuh dengan kesulitan yang luar biasa sejauh menyangkut kebebasan dan persamaan mereka, namun dalam hal ini pun yang dibicarakan masih juga tidak lain kecuali ‘Kebebasan’ dan ‘Persamaan’ belaka.25 Para pelopor gerakan ini memandang kebebasan wanita dan persamaan hak mereka dengan hak kaum pria sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan hak asasi manusia yang telah merupakan ide sentral sejak abad ketujuh belas. Meraka mengklaim bahwa tanpa memperoleh jaminan kebebasan wanita dan menegakkan hak yang sama bagi wanita dan pria maka setiap rujukan kepada hak dan kebebasan manusia tidak berarti apa-apa. Lagi pula, mereka percaya segala kesulitan di dalam keluarga timbul karena tiadanya kebebasan wanita dan karena perbedaan hak mereka dengan pria, dan bahwa dengan diperolehnya hak-hak tersebut, maka seluruh kesulitan dalam keluarga akan terpecahkan. Sebagian ahli sejarah melihat gerakan feminis kontemporer lahir dari antirasisme, yang menuntut bahwa “tanpa persaudaraan (sisterhood) kulit hitam, tidak akan ada persaudaraan”. Di berbagai belahan dunia, gerakan-gerakan rakyat dan revolusioner mempriorititaskan pelbagai aspek keadilan sosial. Dalam perlawanannya terhadap regim militer yang represif, di Amerika Latin gerakan revolusioner dengan ideologi sosialis menjadi gerakan rakyat yang paling berhasil. Di Afrika Selatan, perjuangan adalah menentang apartheid dan rasisme. Di India terjadi protes rakyat melawan sistem dan eksploitasi kasta maupun kesukuan yang telah mengakar.
37
38
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Perjuangan nasionalis terjadi di seluruh dunia.26 D. Respon Islam Terhadap Feminisme; Liberal, Radikal dan Moderat. Pada awal bukunya yang berjudul “Pertarungan antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat di wilayah Islam”, Ustadz Abul-Hasan An-Nadwi mengatakan : “Pada pertengahan abad ke-19 M. Dunia Islam menghadapi problem yang sangat kompleks dan berbahaya. Masa depan Dunia Islam sebagai dunia yang mempunyai kepribadian dan eksistensi, tergantung pada sikap yang diambil dalam menghadapi problem tersebut. Problemnya adalah lahirnya peradaban Barat yang baru, yang melahirkan kehidupan, kegiatan, ambisi, kekuatan penyebaran, dan kekuasaan. Ini termasuk peradaban manusia terkuat yang dikenal oleh sejarah”. Dunia Islam tidak akan mampu maju walaupun selangkah, tanpa terlebih dahulu memberi jawaban yang pasti atas pertanyaan: “Sikap apa yang (akan) diambil oleh negara-negara dunia Islam dalam menghadapi peradaban Barat? Manhaj apa yang hendak dijadikan pedoman untuk menyelaraskan masyarakat muslim dengan kehidupan modern dan mengabulkan tuntutan-tuntutan zaman modern? Dan, sampai sejauh mana tingkat kecerdikan dan keberanian kaum muslimin untuk menghadapi problem tersebut?”27 Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan khususnya tentang isu Feminisme, akan menentukan kedudukan kaum muslimin di peta (pentas) dunia, dan akan diketahui pula masa depan Islam di negara-negara Dunia Islam. Demikianlah problem yang dihadapi oleh dunia Islam. a. Pandangan Liberal Pandangan ini menyetujui isu Feminisme secara mutlaq, menginginkan kesetaraan dalam segala bidang bahkan dalam
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
bidang Syariat sekalipun. Mereka menyuarakan persamaan lakilaki dan perempuan dalam bidang Waris, persaksian, perwalian, Imam Sholat dan lain-lain. Mereka menuntut penghapusan Poligami,melepas Hijab dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh pendukung pandangan ini diantaranya adalah kelompok-kelompok nasionalis di berbagai negara yang nota bene mereka tidak memahami Islam dengan baik, disamping lembaga-lembaga tertentu yang “didanai” dari Barat. Orang-orang semisal Qasim Amin, Rifa’ah alThahthawi,Malak Hefni Nashif, Huda Sya’rawi, Munirah Tsabit Musa, Sa’d Zaghlul,Asmawi Nashr Hamid, Syahrur dan lain-lain meski mereka menyuarakan kemerdekaan perempuan namun menurut hemat penulis masih dalam tataran ijtihad dan membangun argumentasinya dengan amanah intelektual dan sangat ilmiah serta hanya pada bidang-bidang tertentu dalam masalah perempuan. Bahkan Amina Wadud pun yang menghebohkan sebagai Imam Sholat Jum’ah masih dalam wilayah diatas. Dan patut pula di catat bahwa mereka di wilayahnya masing-masing bukan ulama yang kapabel di bidangnya, bukan Fuqoha’ dan juga bukan Mufti atau Qadli. Ini berbeda dengan misalnya Nawal el-Saadawi dan kelompok-kelompok di Indonesia semisal Wardah Hafidz, Musdah Mulia, JIL dan lainnya yang rata-rata mereka hanya punya semangat berteriak tanpa punya karya ilmiah yang berbobot sesuai yang di teriakkannya di bidang feminisme. Kita menyaksikan sebagian perempuan di negeri Arab dan Islam pada umumnya, menolak hukum Islam, ada yang secara terang-terangan, ada pula sebagian yang sembunyisembunyi. Mereka menafsirkan hukum-hukum itu sesuai dengan kehendak mereka agar seiring dengan cara pandang dan tradisi Barat. Di antara mereka ada yang menentang talak, ada yang menentang poligami, ada pula yang menentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, juga yang menolak pembayaran mas kawin oleh laki-laki, ada sebagian lagi yang menolak hukum ketentuan waris. Mereka adalah para “tawanan”
39
40
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pemikiran barat sekuler. Jumlah mereka tentu saja sangat sedikit, tidak perlu diperhitungkan dalam masyarakat kita, namun media massa mem-blow up peran mereka, menyuarakan aspirasi mereka, dan menyebarkan berita mereka di wilayah yang demikian luas.28 Konferensi perempuan di Kairo menuntut penghapusan iddah (masa tunggu) perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, dan mengantinya dengan surat keterangan dokter saja. Adapun peristiwa yang benar-benar mungkar adalah apa yang terjadi di Maroko, seputar apa yang mereka sebut “rencana kerja nasional untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan”. Produk konferensi itu, antara lain, ingin menghentikan praktek poligami, sesuatu yang dihalalkan Allah untuk orangorang Islam yang memenuhi syarat, menganjurkan kaum hawa yang ditalak meminta bagian separo dari kekayaan suaminya sebagaimana berlaku dalam masyarakat Barat, talak harus ditetapkan oleh pengadilan, penghapusan kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada kaum laki-laki, dan persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, juga hal-hal lain semisalnya. b. Pandangan Radikal Kontras dengan fenomena di atas kita banyak melihat masyarakat yang mengekang kaum hawa. Isu feminisme secara mutlaq di maknai produk kafir, Islam bagi merekapun dimaknai dengan sempit. Wanita dilarang mengendarai kendaraan atau bekerja di luar rumah kecuali terpaksa. Mereka juga memasung hak-hak politik perempuan; kaum perempuan tidak mempunyai hak pilih dalam pemilu, apalagi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Anehnya, pemasungan hak perempuan ini dilakukan dengan atas nama Islam dan hukum Syariah. Kelompok-kelompok Islam konserfatif, “Salafy” maupun garis keras ikut bertanggung jawab dalam pembelengguan ini.
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Tulis Qardhawi: “Saya pernah berkunjung di India, Pakistan dan negara-negara lain. Disana saya menyampaikan ceramah di berbagai mesjid diseluruh pelosok negeri. Namun, aneh sekali bahwa saya tidak melihat seorang perempuanpun yang hadir dimajlis ceramah saya. Ketika hal ini saya tanyakan kepengurus mesjid, mereka menjawab, “Agama melarang hal itu”. Spontan saya katakan pada mereka, “Perempuan boleh pergi ke sekolah, kampus, pasar, bahkan bepergian ke luar negeri, apakah hanya masjid saja satu-satunya kawasan yang terlarang untuk mereka?. Mengapa perempuan muslimah dilarang pergi kerumah Tuhannya, sementara perempuan Nasrani bebas pergi ke gereja, perempuan Yahudi bebas ke sinagog,dan perempuan penyembah berhala pergi ke kuil?.”29 c. Pandangan Moderat Pandangan ini di serukan oleh mayoritas Ulama, Fuqoha’, Mufti dan Qadli di berbagai dunia Islam. Menurut mereka, dari dua fenomena paradoks di atas, perempuan muslimah terjebak di antara komunitas: yang terlalu mengekang dan yang lain memberikan kebebasan tanpa batas. Kedua praktek ini jauh dari syariat Islam yang hanif. Mereka menyerukan bahwa kita harus mencegah dua sikap ekstrem dalam urusan perempuan, jangan sampai berlebihan dalam mengekang sebagaimana para pengekang dengan mengatasnamakan agama, namun tidak juga memberikan kebebasan tanpa batas untuk berbuat sesuka hatinya atas nama kebebasan. Tidak ada sisi positif dalam kedua sikap itu. Yang dituntut dalam hal ini adalah sikap moderat, dan itulah yang sesuai dengan sistem Islam. Kita harus juga membantu para wanita untuk menjadi istri yang salehah, ibu yang salehah, dan warga negara yang baik. Kita tidak bisa melarang mereka bekerja jika mereka dan keluarganya membutuhkan, sebagaimana kisah dua orang gadis (putri-putri Nabi Syu’aib yang tua renta, yang ditolong oleh Nabi Musa ketika mengambil air), atau masyarakat sendiri membutuhkan tenaganya, seperti menjadi guru di
41
42
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
lembaga-lembaga pendidikan yang khusus perempuan, dokter perempuan, perawat,dan pekerjaan lain sejenisnya. Jika kaum perempuan baik, maka anak-anak dan keluarganya baik, baik pula kehidupannya Bo:Allah swt. berfirman:”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat.” (at-Taubah:71). Kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar merupakan inti kewajiban sosial dan politik yang menjadi misi utama negara Islam. Allah swt. berfirman:”Mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar”. (Al-hajj: 41) Patut diketahui bahwa firman Allah surat At-Taubat: 71 merupakan pendamping dari firman Allah:”Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat makruf”. (At-Taubat: 67) Logikanya, jika perempuan dan laki-laki munafik, bekerja sama untuk merusak tatanan sosial, mencampur-aduk dan mengganti nilai-nilai dasar, hingga berani menganjurkan berbuat kemungkaran dan melarang berbuat kebajikan, maka menjadi suatu keharusan bagi perempuan mukminah dan lakilaki mukmin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. E. Mewaspadai fakta lain di balik gerakan Feminisme Ulama-ulama moderat mengingatkan bahwa dalam perkembangan ini telah dilupakan bahwa ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan di samping persamaan dan kebebasan. Persamaan dan kebebasan adalah kondisi yang perlu, tetapi keduanya belumlah cukup. Kesederajatan hak pria dan wanita dari sisi pandang nilai material dan spiritualnya adalah satu hal, tetapi persamaan, keseragaman, dan keidentikannya adalah hal lain lagi. Dalam perkembangan ini, dengan sengaja atau tidak, ‘kesederajatan’ telah diartikan ‘keidentikan’, ‘kesamaan’ atau ‘keseragaman’. Kualitas telah dibaurkan dengan kuantitas, dalam usaha untuk menonjolkan “kepriaan”
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
wanita, “kewanitaan” –nya telah dilupakan. Para ulama ini juga mengungkap fakta-fakta lain dibalik isu feminisme ini, di antaranya adalah: a. Feminisme adalah Agenda Terselubung Kapitalisme Para ulama mengingatkan ada faktor-faktor lain yang bekerja, yang hendak mengambil keuntungan dari ‘kebebasan’ dan ‘persamaan’ wanita Salah satu faktor itu adalah bahwa aspirasi-aspirasi kapitalis terlibat dalam arus ini. Karena para pemilik pabrik industri hendak menarik kaum wanita dari rumah mereka ke pabrik-pabrik, dan karena mereka hendak memanfaatkan potensi ekonomis kaum wanita ini, maka mereka mengibarkan panji hak-hak wanita, kemerdekaan ekonomi mereka, kebebasan mereka, persamaan hak mereka dengan hak pria; dan hanya kaum kapitalislah yang bisa dan berusaha memenuhi tuntutantuntutan ini secara sah. Dalam bab sembilan dari bukunya The Pleasures of Phipilosophy, Will Durant mengatakan, “sampai sekitar tahun 1900, kaum wanita hampir tidak mempunyai suatu hak apapun yang harus dihormati kaum pria menurut hukum”. Durant kemudian menulis tentang sebab-sebab perubahan status wanita pada abad kedua puluh, “Emansipasi ‘wanita’ adalah suatu insiden dari Revolusi Industri”. Kemudian lanjutnya, “Mereka (kaum wanita) adalah tenaga kerja yang lebih murah dari kaum pria; para majikan lebih menyukai mereka sebagai pekerja ketimbang kaum pria, yang lebih mahal dan suka memberontak. Seabad yang lalu, di Inggris, kaum pria mendapatkan kesulitan untuk memperoleh pekerjaan, namun plakat-plakat mengundang mereka untuk mengirimkan istri dan anak-anak mereka ke pabrik-pabrik ….Langkah hukum pertama dalam emansipasi para nenek kita adalah undangundang tahun 1882 yang menetapkan bahwa sejak waktu itu kaum wanita berhak memiliki sendiri uang yang mereka peroleh. Undang-undang tersebut bersifat moral dan Kristiani, dan diusulkan oleh para pemilik pabrik di House of Commons untuk menggoda para wanita Inggris agar mau melayani mesin-
43
44
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mesin pabrik mereka. Mulai tahun itu hingga saat ini, sedotan yang tak terlawan dari motivasi keuntungan telah menarik kaum wanita dari pekerjaan rumahnya yang membosankan kedalam pembudakan kepada pabrik”. Hal-hal inilah yang mendorong si kapitalis untuk mengambil keuntungan dari eksistensi wanita; bukan keuntugan dari kekuatan fisiknya sebagai sekadar pekerja sederhana yang turut mengambil bagian bersama kaum pria dalam produksi, melainkan dari kemampuannya, untuk menarik perhatian dengan kecantikannya, dengan memperdagangkannya martabat dan kehormatannya, dengan daya pikatnya, untuk menawan pikiran dan kemauan dan mengubahnya demi memaksakan konsumsi kepada para konsumen. Dan ini jelas semuanya dilakukan atas nama ‘kebebasan’ dan kedudukan wanita yang telah menjadi ‘sama’ dengan kaum pria. Politik juga tidak ketinggalan dalam memanfaatkan faktor ini; kita dapat membaca upaya ini secara teratur dalam surat kabar dan majalah. Dalam segala ihwal, eksistensi wanita di eksploitasi, dan wanita digunakan sebagai alat untuk melaksanakan tujuan kaum pria, juga dengan selubung ‘kebebasan’ dan ‘persamaan’.30 b. Feminisme Melanggengkan Stereotipe Gender Perusahaan-perusahaan multinasional melanggengkan stereotipe gender, sebagian besar melalui iklan. Mereka juga mengekalkan gagasan bahwa kultur utara, kultur kulit putih, merupakan tujuan akhir bagi perkembangan bertahap semua kultur lainnya. Sebagian perusahaan multinasional membawa serta seluruh paket kultural (barat), menawarkan kepada karyawan kesempatan untuk membeli kosmetik dan pakaian barat melalui perusahaan. Dalam proses tersebut perusahaan multinasional menghancurkan produk lokal, produk asli dan memiskinkan kultur lokal tempat mereka beroperasi. “Imperialisme” kultural ini merupakan gema lain dari kolonialisme. Sebagaimana elit kelas menengah lokal di kolonikoloni yang dengan cepat mengadopsi pakaian dan kebiasaan barat, kini meerekapun memperoleh mesin cuci, pemasak nasi
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
listrik dan jean. Dampak kultur multinasional tidak netral gender; iklan mengulang kembali etos kolonial; perempuan adalah hiasan, konsumen domestik, ibu rumah tangga dan ibu. Perusahaan multinasional memang bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meningkatnya kemelaratan di dunia, tetapi dalam hubungan filial mereka dengan proses kolonial dan pengaruhnya kepada ekonomi setempat, mereka bisa memainkan peran penting dalam mendukung struktur kelas dan kekuasaan setempat, menguatkan pola dominasi laki-laki yang ada. Sifat tidak dapat dipercaya dan tak terikat dari perusahaan multinasional mengandung makna bahwa meskipun mereka mempekerjakan kaum perempuan, mereka tidak begitu banyak memperbaiki status perempuan dalam jangka panjang.31 c. Penghormatan Terhadap Perempuan Bersifat Labiriah Semata, Bukan Pada Hakikatnya Barat memang menampakkan penghormatannya terhadap wanita, membebaskannya dari kezaliman laki-laki, suami, dan semisalnya. Barat juga menghapus keyakinankeyakinan terdahulu yang menyatakan bahwa perempuan tidak mempunyai roh, perempuan tidak lain adalah perangkap setan, dan sebaginya. Akan tetapi perempuan di Barat sesungguhnya hanya dihormati lahiriahnya, sedangkan batinnya mereka terhina. Perempuan di Barat dipekerjakan layaknya laki-laki. Ia dituntut sebagaimana layaknya tuntutan atas laki-laki. Kaum perempuan digiring ke pabrik-pabrik tak ubahnya kaum lakilaki. Mereka lupa bahwa struktur tubuhnya berbeda dengan struktur tubuh laki-laki, lingkup kerjanya pun seharusnya tidaklah sama dengan lingkup kerja laki-laki. Para cendekiawan dan pemerhati masalah perempuan menyatakan ketidak setujuannya atas apa yang terjadi di Barat, semisal Alex Carol dalam bukunya Manusia Tak Dikenal. Maka tidaklah mengherankan jika di Barat tumbuh suatu
45
46
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
“jenis kelamin” yang dinamakan “jenis ketiga”. Mereka adalah para pekerja harian yang pekerjaannya melelahkan untuk ukuran seorang perempuan yang memiliki kelembutan tubuh, namun di sisi lain mereka tidak tergolong jenis yang kuat (lelaki). Dengan demikian, ia menjadi berjenis “kelamin” yang tidak jelas. Bukan seorang laki-laki, bukan pula perempuan. Perempuan di Barat telah menjadi alat pemuas dan pengumbar nafsu seksual. Sebab itu lahirlah t :gaya model pakaian perempuan yang filosofinya adalah keindahan dan menarik perhatian serta mengundang selera syahwat, tidak sekedar didasarkan pada tujuan menutupi tubuh dan perasaan malu, sebagaimana yang terdapat dalam Islam. Demikian pula, perempuan telah menjadi komoditi komersial melalui iklaniklan. Perempuan bahkan menjadi bintang iklan sekalipun untuk produk yang hanya berkaitan dengan urusan dan hajat lelaki. Keluarga dan nilai-nilai rumah tangga telah hancur di Barat. Kita melihat perempuan-perempuan tidak melihat, tidak hidup dalam naungan keluarga, tidak berkumpul bersamasama suami dalam nuansa cinta, kasih sayang, dan kedamaian. Padahal cinta, kasih sayang, dan kedamaian itu, disebutkan al-Qur’an sebagai fondasi kehidupan berkeluarga yang harus ditegakkan. Bahkan lebih dari itu, perempuan-perempuan Barat berhubungan dengan laki-laki hanya sebagi teman kumpul kebo, tanpa ikatan tanggung jawab pernikahan yang mengikat harta, akhlak, masyarakat, dan agama. Dari sinilah kita mendengar bencana besar itu, yaitu seruan penghalalan aborsi secara mutlak tanpa batasan dan aturan yang mengikat. Seorang perempun dianggap bebas atas tubuhnya sendiri. Agama, akhlak, dan nilai-nilai luhur kemanusiaan tidak berhak turut campur terhadapnya. Lebih menyedihkan lagi, seruan semisal ini di back up oleh partai-partai besar di USA dan negara lainnya. Partai-partai ini meletakkan aborsi sebagai daftar tema unggulan dalam kampanye-kampanyenya, bahkan PBB pun berusaha memaksakan pelegalannya. Ini terjadi di konferensi kependudukan di Kairo. Saat itu, para pemuka agama, dari kalangan Islam maupun Nasrani, berdiri melawan ajakan
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
maksiat berupa aborsi yang tidak berperikemanusiaan ini. Ajakan maksiat ini bergaung justru ketika manusia mengira bahwa dirinya telah mencapai puncak peradabannya.32 F. Penutup. Isu Feminisme disadari atau tidak telah menjebak umat Islam dalam dua sikap ekstrim; berlebihan dan ceroboh, atau antara dua kejahiliaan “Jahiliah abad ke-14 mewariskan tradisi pemasungan kaum perempuan dari masa-masa kemunduran sejarah Islam, dan Jahiliah abad ke-20 mengadopsi tradisi peradaban Barat dalam bentuk penanggalan perempuan dari kemuliaan akhlak, seperti harga diri, rasa malu, dan sopan santun”. Perempuan tertindas di tengah-tengah komunitas yang religius sebagaimana iapun tertindas di tengah-tengah komunitas yang “progresif”. Ia ditindas atas nama Tuhan, di eksploitasi, atau “di-seksploitasi” atas nama kesempatan dan popularitas. Mengambil segala yang bermanfaat dari isu feminisme demi kemajuan umat Islam khususnya kaum perempuan adalah suatu keniscayaan sembari tetap menjunjung tinggi akidah, syariat, etika dan tradisi umat Islam. Ini tidak berarti menutup pintu bagi amandemen yang berlangsung untuk beberapa hukum fikih dan masih dalam kerangka syariat Islam dengan segenap madzhab dan alirannya, hanya saja, amandemen ini harus dilakukan oleh ulama yang diakui keahliannya, ahli fiqih Islam, yang tidak fanatik dengan pendapat–pendapat lama, dan tidak menafikan berbagai pemikiran kontemporer. Hanya dengan inilah umat Islam akan tetap eksis dalam kancah percaturan dunia global.
47
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
48
Endnotes Suhadi , M.S.I. adalah dosen STAIN Kudus lulusan Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud li al-Mamlakat al-Arabiyyah al-Su’udiyyah, Ma’had al-Ulum al-Islamiyyah wa al-Arabiyyah fi Indonesia (LPBA/LIPIA), fakultas Syariah al-Aqidah Jakarta dan S2 IAIN Walisongo Semarang. ** Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa penggunaan kosakata wanita lebih halus daripada kosakata perempuan, sementara sebagian kalangan mengatakan sebaliknya. Penulis memilih netral dengan menggunakan dua kosakata tersebut secara bergantian dalam tulisan ini. 1 Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya, M. Sanusi Latief, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997, hlm. 67. 2 Ibid. 3 Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, Bandung: Pustaka, 2000, hlm. 130. 4 Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004, hlm. 135. 5 ‘Aisyah Abdurrahman Bintu asy- Syathi’, Tarajim Sayyidat bait an-nubuwwah, Beirut: Dar asy-Syuruq, tth. hlm. 35. 6 Ibid. 7 Aksin Wijaya, op-cit, hlm.136 8 Ibid, hlm.137 9 Ibid. 10 Ibid, hlm.138 12 Aisyah Abdurrahman Bintu asy-syathi’, op-cit, hlm. 32-34 13 lihat Ahmad Syalabi, op-cit, hlm. 68 14 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 296 15 M.Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, terj. Mujtaba Hamdi, Jakarta: Azan, 2001, hlm. 4 16 M.Quraish Shihab, op-cit, hlm. 297 17 M. Anas Qasim Ja’far, op-cit, hlm. 2 18 Ibid, hlm. 5 19 Ibid 20 M.Quraish Shihab, op-cit, hlm. 297 *
RESPON ISLAM TERHADAP FEMINISME Suhadi
Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, terj. Hartian Silawati, Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 1996, hlm. 2-3. 22 Mulyo Hadi Purnomo, Kekuasaan Perempuan Dalam Keluarga dan Cita-Cita Persamaan Gender, Surakarta: 2000, hlm, 34. 23 Idi Subandi Ibrahim, Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: 1998, hlm, 12. 24 Murtadha Muthahhari, 0p-cit, hlm.vi 25 Ibid, hlm.vii 26 Julia Cleves Mosse, op-cit, hlm.129-130 27 Abu al-Hasan an-Nadwi, as-Shira’ Baina al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyyah fi al-Aqthar al-Islamiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, tth. 28 Yusuf Qaradhawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Terj. Yoga Izza Pranata, Solo:Inter Media, 2001, hlm.209 29 Ibid, hlm.203-204 30 Murtadha Muthahhari, op-cit, hlm.x-xi 31 Julia Cleves Mosse, op-cit, hlm.127-129 32 Yusuf Qaradhawi, op-cit, hlm.38-41 21
49
50
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA ‘Aisyah Abdurrahman Bintu asy- Syathi’, Tarajim Sayyidat bait an-nubuwwah, Beirut : Dar asy-Syuruq, tth. Abu al-Hasan an-Nadwi, as-Shira’ Baina al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyyah fi al-Aqthar al-Islamiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, tth. Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya, M. Sanusi Latief, Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 1997. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004. Ali Shari’ati, Haji, terj. Anas Mahyuddin, Bandung : Pustaka, 1995. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang : CV.Toha Putra,1989 Idi Subandi Ibrahim, Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : 1998. Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, terj. Hartian Silawati, Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 1996. M.Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, terj. Mujtaba Hamdi, Jakarta : Azan, 2001. M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1998. Mulyo Hadi Purnomo, Kekuasaan Perempuan Dalam Keluarga dan Cita-Cita Persamaan Gender, Surakarta : 2000. Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, Bandung : Pustaka, 2000. Yusuf Qaradhawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Terj. Yoga Izza Pranata, Solo : Inter Media, 2001.