SKRIPSI PENGARUH KOMPRES JAHE TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA RHEUMATHOID ARTHRITIS USIA 40 TAHUN KEATAS DI LINGKUNGAN KERJA PUSKESMAS TIGA BALATA 2015
Oleh ENI HARTATI LASE 130206157
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015
SKRIPSI
SKRIPSI PENGARUH KOMPRES JAHE TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA RHEUMATHOID ARTHRITIS USIA 40 TAHUN KEATAS DI LINGKUNGAN KERJA PUSKESMAS TIGA BALATA 2015
Skripsi ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di Program Studi Ners Fakultas Keperawatan & Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan
Oleh ENI HARTATI LASE 130206157
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015
i
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Data Mahasiswa Nama
: Eni Hartati Lase
Nim
: 130206157
Tempat, Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 26-02-1988 Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Kristen Protestan
Suku
: Nias
Anak ke
: 6 dari 6 bersaudara
Alamat
: Pardomuan Kasindir, Jorlang Hataran
2. Data Orang Tua Nama Ayah
: Arozato Lase (+)
Nama Ibu
: Damarasi Butar-butar
Agama
: Kristen Protestan
Alamat
: Pardomuan Kasindir, Jorlang Hataran, Kab. Simalungun
3. Riwayat Pendidikan 1.
Tahun 1994-2000
: SD Negeri 1 No 09180 Kasindir
2.
Tahun 2000-2003
: SLTP Negeri 1 Tiga Balata
3.
Tahun 2003-2006
: SMA Negeri 1 Tiga Dolok
4.
Tahun 2006-2009
: Akademi Keperawatan Pemkab Tapanuli Utara
5.
Tahun 2013-2015
: S1 Keperawatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
iii
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA MEDAN Skripsi, April 2015 Eni Hartati Lase Pengaruh Kompres Jahe Terhadap Intensitas Nyeri Rheumathoid Arthritis usia diatas 40 Tahun di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015 xi + 52 hal + 10 tabel + 5 gambar + 4 skema + 17 lampiran ABSTRAK Penyakit rematik dan keradangan sendi merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat, khususnya pada orang yang berumur 40 tahun keatas. Lebih dari 40 persen dari golongan umur tersebut menderita keluhan nyeri otot. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata tahun 2015. Metode penelitian ini adalah quasy-eksperiment dengan rancangan one group pre-test-post test design. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 06 maret 2015 sampai 20 maret 2015. Sampel sebanyak 30 responden yang menderita rheumathoid arthritis dan mengalami nyeri selama waktu penelitian. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi menggunakan lembar wawancara demografi dan lembar observasi skala nyeri numerik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata intensitas nyeri rheumathoid arthritis sebelum (pre-test) dilakukan kompres jahe adalah 4,73 dengan standar deviasi 1,311. Sedangkan rata-rata intensitas nyeri setelah (Post-test) kompres jahe adalah 2,13 dengan standar deviasi 1,008. Berdasarkan uji statistik wilcoxon ssigned rank testdidapatkan p-value 0,000 (< 0,05), berarti ada pengaruh yang signifikan kompres jahe terhadap intensitas nyeri rheumathoid arthritis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kompres jahe dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi intensitas nyeri rheumathoid arthritis. Dapat disimpulkan bahwa kompres jahe berpengaruh terhadap intensitas nyeri rheumathoid arthritis yang dapat dilanjutkan sebagai intervensi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh sipenderita. Saran bagi praktek keperawatan kompres jahe dapat digunakan sebagai terapi komplementer untuk mengurangi intensitas nyeri rheumathoid arthritis.
Kata kunci : Rheumathoid Arthritis, Intensitas Nyeri, Kompres Jahe Daftar pustaka : 30 (2001-2014)
iv
NURSING STUDY PROGRAM FACULTY OF NURSING AND MIDWIFERY UNIVERSITY OF SARI MUTIARA INDONESIA Mini-thesis, April 2015 Eni Hartati Lase The Effectivity of Ginger Compresses for Pain Intensity of Rheumathoid Arthritis in 40 years old in Tiga Balata Health Center on 2015. xi + 52 page + 10 table + 5 picture + 4 scheme + 17 enclosure ABSTRACT Rheumathoid disease and joint inflamation is the most diseases find in society, particularly in 40 years old. More than 40% from them suffer muscle pain. The objectives is knowing effect of ginger compresses in pain intensity who suffered Rheumathoid Arthtritis in 40 years old in Tiga Balata Health Center 2015. this study adopted quasy eksperimental method with pre-test and post test design. This research was conducted at Tiga Balata Health Center in march 06, 2015 until 20 march 2015. There are 30 respondens for this reseached who suffered rheumathoid arthritis and suffered pain. The sample in this research are with purposive sampling technique. Data collecting by interview and observation using interview and observation pain form. In this reseach noted that mostly respondent in their pain scale before ginger compresses (pre-test) at least 4,73 with standar deviasi 1.311. whereas pain intencity of rheumathoid arthritis after gingger comppresses (post-test) is 2,13 with deviasi standard 1,008. With wilcoxon sign rank test obtained such as rate of (p value = 000 < 0,05). This indicated that there is a significantly differences of pain intensity before ginger compresses with after ginger compresses (post-test). It is suggest to nurse that ginger compresses can use for complementary managing pain of rheumathoid arthritis could continue as intervention independent by patient. Advice for nursing practice that ginger compresses can use as complementary therapy to decrease pain intensity of rheumathoid arthritis. Keywords Bibliography
: Pain, Rheumathoid Arthritis, Ginger Compresses. : 30 ( 2001-2014)
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir Program SI Keperawatan di Universitas Sari Mutiara Indonesia, tahun 2015 dengan judul Penelitian “Pengaruh Kompres Jahe Terhadap Intensitas Nyeri Pada Penderita Rheumathoid Arthritis Usia diatas 40 tahun Di lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata”. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Parlindungan Purba, SH. MM, selaku Ketua Yayasan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
2.
Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes Selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia.
3.
Ns. Janno Sinaga, M.Kep. Sp.KMB selaku Dekan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara.
4.
Ns. Rinco Siregar, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Fakultas Keperawatan & Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
5.
Ns. Bunga Theresia Purba, M.Kep selaku pembimbing I, yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6.
Ns. Normi Sipayung, M.Kep selaku pembimbing II, yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
7.
Ns. Henny Syafitri, M.Kep selaku pembanding I, yang memberikan masukanmasukan dalam perbaikan skripsi ini.
8.
Ns. Galvani Volta Simanjuntak, M.Kep selaku pembanding II, yang telah memberikan masukan-masukan dalam perbaiki skripsi ini.
9.
dr. Donny selaku kepala Puskesmas Tiga Balata yang memberikan izin kepada penulis untuk memperoleh data dasar penderita dengan rheumathoid arthtritis di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata.
10.
Mama tersayang Damarasi Butar-butar yang selalu memberi dukungan moral maupun moril kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
11.
Buat kakak dan abangku tersayang serta adek Thessa, Theresia, Thor, Aderia, Elkana, Irvan dan Rachel yang selalu memberi kebahagiaan buat penulis selama proses pendidikan.
12.
Jona Ambarita, S.Pd yang selalu ada memberi semangat selama proses pendidikan penulis sampai penyelesaian skripsi ini.
13.
Buat teman-teman seperjuangan terkhusus Cindy, Devi, kak Vivien, Theresia yang selalu memberi masukan dan semangat selama penulisan skripsi ini.
14.
Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga kebaikannya mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada
skripsi ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.
Penulis
(Eni Hartati Lase)
vii
DAFTAR ISI
COVER DALAM PERNYATAAN PERSETUJUAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR SKEMA DAFTAR LAMPIRAN
i ii iii iv v vi vii ix xi xii xiii xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umun 2. Tujuan Khusus D. Manfaat Penelitian
1 1 4 4 4 4 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Rheumathoid Arthritis 1.Definisi Rheumathoid Arthritis 2.Klasifikasi Rheumathoid Arthritis 3.Etiologi Rheumathoid Arthritis 4.Patofisiologi 5. Pathway 6.Manifestasi klinis 7.Pemeriksaan Penunjang 8.Penatalaksanaan B. Konsep Nyeri 1.Definisi nyeri 2.Fisiologi nyeri 3.Klasifikasi nyeri 4.Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri 5.Penilaian rasa nyeri (Pain Assessment) 6.Penatalaksanaan rasa nyeri pada lansia C. Konsep Jahe 1.Definisi jahe 2.Kandungan kimia 3.Kegunaan D. Kompres Jahe
6 6 6 6 7 8 9 10 11 11 15 15 15 16 17 19 25 29 29 29 31 31
viii
E. Kerangka Konsep F. Hipotesis Penelitian
32 33
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1.Lokasi Penelitian 2.Waktu Penelitian C. Populasi dan Sampel Penelitian 1.Populasi penelitian 2.Sampel penelitian D. Metode Pengumpulan Data E. Defenisi Operasional F. Aspek Pengukuran G. Etika Penelitian H. Pengolahan Data I. Metode Analisa Data
33 33 33 33 33 34 34 34 35 35 36 37 37 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian B. Pembahasan
39 39 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran
51 51 51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1
Respon Fisiologi Terhadap Nyeri
27
3.1
Defenisi Operasional
36
4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
40
4.2
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
40
4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
41
4.4
Karakterisik Responden Berdasarkan Pekerjaan
41
4.5
Karakteristik Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Sebelum Kompres Jahe (Pre-test)
4.6
4.7
42
Karakteristik Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Setelah Kompres Jahe (Post-Test)
42
Analisa Intensitas Nyeri Pre-Post Test Kompres Jahe
43
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1
Skala Analog Visual (VAS)
25
2.2
Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10)
25
2.3
Skala Deskriptif Verbal
26
2.4
Skala Nyeri Wajah Wong & Baker
26
2.5
Tangga Analgesik WHO
30
xi
DAFTAR SKEMA
Halaman 2.1
Pathway Remathoid Artritis
8
2.2
Proses Terjadinya Nyeri
20
2.3
Kerangka Konsep Penelitian
38
3.1
Rancangan Penelitian One Group Pretest-Postest
39
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 2 Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 3 Lembar Demografi Responden Lampiran 4 Instrumen Penelitian Pre Test Lampiran 5 Instrumen Penelitian Post Test Lampiran 6 Format Standar Operasional Prosedur Lampiran 7 Surat izin memperoleh data dasar untuk proposal penelitian Lampiran 8 Surat balasan izin memperoleh data dasar untuk proposal penelitian Lampiran 9 Surat Izin Meneliti Di Puskesmas Tiga Balata Lampiran 10 Surat Selesai Meneliti Dari Puskesmas Tiga Balata Lampiran 11 Master Data Penelitian Lampiran 12 Hasil Analisa Univariat Lampiran 13 Uji Normalitas Shapiro Wilk Lampiran 14 Uji Normalitas Data Pre test setelah data Rank Case Lampiran 15 Hasil Uji Bivariat Wilcoxon Lampiran 16 Dokumentasi Lampiran 17 Lembar Konsultasi
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit rematik dan keradangan sendi merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat, khususnya pada orang yang berumur 40 tahun keatas. Lebih dari 40 persen dari golongan umur tersebut menderita keluhan nyeri sendi otot. Dalam hal ini masalah rematik dipandang sebagai salah satu masalah kesehatan utama sejak tahun 2000 (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2008 penyakit sendi/reumatik/encok/osteoartritis adalah penyakit yang sering terjadi dengan pertambahan umur terutama setelah berumur 45 tahun ke atas.
Saat ini diperkirakan paling tidak 355 juta penduduk dunia menderita rematik, yang artinya 1 dari 6 penduduk dunia mengalami penyakit rematik. Sementara itu, hasil survei di benua Eropa pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penyakit rematik merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai. Kurang lebih 50% penduduk Eropa yang berusia diatas 50 tahun mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal paling tidak selama 1 bulan pada waktu dilakukan survei (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan American College Of Rheumathology (2013) menyatakan bahwa sebanyak 52,5 juta atau sekitar 23 persen penduduk dewasa Amerika Serikat menderita rheumatoid arthritis.
Menurut Kalim, (2008) prevalensi rematik di kota Semarang sekitar 46% dan Bali 56%. Prevalensi rheumathoid arthtritis di Sumatera Utara sebanyak 22,2 % dari total penduduk wilayah daerah (Nainggolan, 2011). Dinas Kesehatan Kab. Simalungun, Pamatang Raya dari 10 penyakit terbanyak Reumathoid Arthritis merupakan angka kejadian kedua terbesar setelah ISPA yang di derita pada lansia yakni sebanyak 829 kunjungan.
1
2
Menua (menjadi tua) merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Nugroho. W, 2000).
Seseorang yang sudah mengalami lanjut usia akan mengalami beberapa perubahan pada tubuh/fisik, psikis/intelektual, sosial kemasyarakatan maupun secara spiritual atau keyakinan. Salah satu perubahan tersebut terjadi pada Sistem Muskuloskletal dimana tulang kehilangan cairan dan makin rapuh, tafosis, tubuh menjadi lebih pendek, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan menjadi sklerosis, atrofi serabut otot (Wahjudi Nugroho, 2000). Dengan meningkatnya usia fungsi otot dapat dilatih dengan baik namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian reumathoid arthritis ini sampai sekarang belum sepenuhnya dimengerti (Bjelle, 2004).
Berdasarkan kesepakatan para ahli di bidang rematologi, reumatik dapat terungkap sebagai keluhan dan/atau tanda. Dari kesepakatan, dinyatakan ada 3 keluhan utama pada sistem Muskuloskeletal yaitu : nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu : pembengkakan sendi, kelemahan otot, dan gangguan gerak (Divisi Geriatri Bagian/Smf Penyakit Dalam Rsup.H.Adam Malik Medan). Nyeri adalah proses biologis, psikologis, dan sosial yang kompleks dan faktor penting yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup bagi individu dengan arthritis (Sridhor dkk, 2003).
Penatalaksanaan rasa nyeri yang direkomendasikan oleh World Health Organization menganjurkan pengobatan nyeri pada lansia dilakukan secara konservatif dan bertahap untuk mengurangi terjadinya efek samping (Kasran & Rina, 2006). Prinsip utama pada penatalaksanaan rasa nyeri adalah menghilangkan serangan rasa nyeri. Manajemen nyeri yang efektif bagi lansia dapat dilakukan dengan pendekatan secara farmakologik dan non farmakologik (Kasran & Rina, 2006).
2
3
Tingginya prevalensi penyakit rheumathoid arthritis secara logis akan menimbulkan implikasi peningkatan biaya kesehatan dan permasalahan lain yang timbul selain masalah biaya ekonomi yang besar adalah efek samping yang diakibatkan pemakaian obat-obat sintetis untuk reumathoid arthritis seperti golongan NSAID dan Steroid. Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas (PSMBA) akibat obat-obat rematik dialami oleh 1 dari 50 pasien pemakainya. Penelitian di RSCM pada tahun 2005 oleh Marcellus Simadibrata dkk terhadap 1192 pasien PSMBA menunjukkan NSAID gastropathy merupakan PSMBA tersering (70 %) (Dinas kesehatan Provinsi Sumatera utara, 2010 ).
Salah satu intervensi non farmakologi yang dapat dilakukan perawat secara mandiri dalam menurunkan skala nyeri rheumathoid arhtritis yaitu dengan kompres jahe (Santoso, 2013). Jahe (Zinger Officinale (L) Rosc) mempunyai manfaat yang beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri, pemberi aroma, ataupun sebagai obat. Secara tradisional, kegunaannya antara lain untuk mengobati rematik, asma, stroke, sakit gigi, diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam dan infeksi ( Ali et al, 2008 dalam Hernani & Winarti, 2010). Beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zingerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik (stoilova et al.2007 dalam Hernani & Winarti, 2010).
Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick dan Boylan, 2002). Senyawa gingerol telah terbukti mempunyai aktivitas sebagai antipiretik, antitusif, hipotensif anti inflamasi dan analgesik (Surch et al. 1999 dalam Hernani & Winarti, 2010)
Berdasarkan penelitian Nurul Fitriyah, FMIPA UI,2012 tentang “Efek Ekstrak Etanol 70% Rimpang Jahe Merah (Zingiber Officinale Rosc. Var Rubrum) Terhadap Peningkatan Kepadatan Tulang Tikus Putih Betina RA (Rheumathoid Arthritis) Yang Diinduksi oleh Complete Freund’s Adjuvant” dimana hasil penelitian menunjukkan
3
4
bahwa dosis 56 mg/200 g berat badan tikus ekstrak jahe merah memiliki persentase penghambatan udem terbesar, setara dengan natrium diklofenak dosis 1 mg/200 g bb tikus, dan ketiga dosis ekstrak jahe merah memiliki efek dalam meningkatkan kadar kalsium tulang setara dengan natrium diklofenak dosis 1 mg/200 g berat badan tikus dan kontrol normal.
Badan Pusat Statistik 2010 menyatakan bahwa pada tahun 2025 jumlah lansia
akan
berkisar 34,22 juta jiwa hal ini akan mempengaruhi tingginya jumlah penderita reumathoid artritis di Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93% dari tahun 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34,22 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).
Data penderita rheumathoid arthtritis di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata pada tahun 2014 yaitu sebanyak 470 penderita ( SP2TP Puskesmas Tiga balata, 2014) yang mengeluh rasa nyeri baik pagi maupun malam serta efek samping dari penggunaan obat-obat sintesis untuk rheumatoid arthritis
dan tingginya komponen kimia jahe
seperti gingerol yang mampu memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti antiinflamasi dan analgesik. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti seberapa besar pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015?”
4
5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015. 2. Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi data demografi : usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan penderita rhematoid arthritis di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata tahun 2015.
b.
Mengidentifikasi intensitas nyeri pada penderita rheumatoid arthritis pada usia diatas 40 tahun sebelum dan sesudah dilakukan kompres jahe di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015.
c.
Menganalisa perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan kompres jahe pada penderita rheumatoid arthritis usia diatas 40 tahun di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Responden Memberikan masukaan pengetahuan dalam mengatasi nyeri rheumathoid arthritis, dimana responden dapat mandiri mengolah jahe sebagai terapi komplementer dalam mengatasi nyeri rheumathoid arthritis.
2.
Bagi Praktek Keperawatan Memberikan masukan pengetahuan terapi komplementer dengan kompres jahe yang dapat digunakan sebagai tindakan keperawatan baik di komunitas maupun di rumah sakit untuk mengurangi intensitas nyeri pada penderita rheumatoid arthritis.
3.
Bagi Pendidikan Keperawatan Memberikan masukan ilmiah kepada pendidik dan mahasiswa terhadap manajemen nyeri pada kasus rheumatoid arthritis yaitu melalui kompres jahe dapat dijadikan sebagai komplementer.
5
6
4.
Peneliti Selanjutnya Sebagai
salah
satu
data dasar dalam pengembangan penelitian tentang
keefektifan kompres jahe terhadap penurunan intensitas nyeri pada penderita rheumatoid arthritis.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Rheumatoid Arthritis 1.
Definisi Rheumatoid Arthritis Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
Rheumatoid arthtritis adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya (Puslitbang Biomrdis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2009)
Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-pasien rheumatoid artritis terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya.
2.
Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: a.
Rheumatoid arthritis clasik Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b.
Rheumatoid arthritis defisit Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
7
8
c.
Probable rheumatoid arthritis Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
d.
Possible rheumatoid arthritis Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
3.
Etiologi Rheumatoid Arthritis Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008), faktor resiko terjadinya rheumathoid artritis : a.
Faktor genetik Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk menderita penyakit ini.
b.
Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus Umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
c.
Faktor hormon estrogen Sering dijumpai remisi pada wanita hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor ketidakseimbangan hormonal estrogen.
d.
Faktor stress Pada saat stress keluar heat shock protein (HSP) yang merupakan sekelompok protein berukuran sedang (60-90 kDa) yang dibentuk oleh seluruh spesies pada saat stress.
e.
Penuaan Seiring dengan bertambahnya usia, struktur anatomis dan fungsi organ mulai mengalami kemunduran. Pada lansia, cairan synovial pada sendi
9
mulai berkurang sehingga pada saat pergerakan terjadi gesekan pada tulang yang menyebabkan nyeri. f.
Inflamasi Inflamasi meliputi serangkaian tahapan yang saling berkaitan. Antibodi imunoglobulin membentuk komplek imun dengan antigen. Fagositosis komplek imun akan dimulai dan menghasilkan reaksi inflamasi (pembengkakan, nyeri serta edema pada sendi).
g.
4.
Degenerasi
Patofisiologi & Pathway Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskuler, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Panus masuk ke tulang subchondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler.
Kartilago menjadi nekrosis, tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi di antara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang subchondrial bisa menyebabkan osteoporosis setempat.
Lamanya rhematoid arthritis berbeda dari tiap orang ditandai dengan masa adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Ada juga klien terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif (Mujahidullah, 2012).
10
Inflamasi non-bakterial disebabkan oleh infeksi, endokrin, autoimun,metabolik, dan faktor genetic, serta faktor lingkungan.
Arthtris Rheumathoid
Sinovitis
Tenosinovilis
Hiperemia dan pembengkaka n
Kelainan pada tulang
Invasi kolagen
Erosi tulang & kerusakan pada tulang rawan
Gambaran khas nodul subkutan
Kelainan pada jaringan ekstraartikular
Kelenjar linfe
Miopati sistemik
Nekrosis dan kerusakan dalam ruang sendi
Nyeri
Gambaran khas nodul subkutan
Ruptur tendon secara parsial atau total
Instabilitas dan deformitas sendi
Saraf
Inflamasi keluar ekstra- artikular
Atrofi otot Splenomegali
Hambatan mobilitas fisik
Perubahan bentuk tubuh pada tulang dan sendi
Gangguan mekanis dan fungsional pada sendi
Defisit perawatan diri
Kelemahan fisik
Resiko trauma
Anemia Osteoporosis generalisata
Neuropati perifer
Gangguan Sensorik Ansietas
Kebutuhan Informasi
Gangguan konsep diri, citra diri
Perikarditis, miokarditis, dan radang katup jantung Kegagalan fungsi jantung
Skema 2.1 : Pathway Rheumatoid artritis (Chikoners, 2014)
11
5.
Manifestasi Klinis Kriteria rheumathoid arthritis menurut ARA
(American Rheumatism
Association) (ARA, 1987; Daud, 2000). a.
Kaku pada pagi hari (morning stiffness) Pasien merasa kaku pada persendian dan di sekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b.
Artritis pada 3 daerah Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue swelling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang (hipeerostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang memenuhi kriteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan.
c.
Artritis pada persendian Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera di atas.
d.
Artritris Simetris Maksudnya keterlibatan sendi yang sama ; tidak mutlak bersifat simetris pada kedua sisi secara serentak (symmetrical polyarthritis simultaneously).
e.
Nodul reumatoid Yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ektensor atau daerah jukstarartrikular dalan observasi seorang dokter.
f.
Faktor rheumatoid serum positif. Terdapat titer abnormal faktor reumathoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol.
g.
Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas pada pemeriksaan sinar rontgen tangan posteroanterior
atau
pergelangan tangan, yang harus menunjukkan adanya erosi atau
12
dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
6.
Pemeriksaan Penunjang Tidak banyak berperan dalam diagnosis rheumatoid arthritis, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat : a.
Tes faktor reuma Biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
b.
Protein C-reaktif biasanya positif
c.
LED meningkat
d.
Leukosit normal atau meningkat sedikit
e.
Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik
f.
Trombosit meningkat
g.
Kadar albumin serum turun dan globulin naik
h.
Pada pemeriksaan rontgen Semua
sendi
dapat
terkena,
tapi
yang
tersering
adalah
sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan. (Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, Edisi ketiga)
7.
Penatalaksanaan Kekurangan terapi farmakologi dari golongan analgesik dan antiinflamasi seperti non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) dan disease modifyng antirhematoid drugs (DMARD) dapat memperberat kondisi osteoarthritis/RA karena konsumsi dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama (Brunner & Suddarth, 2010).
13
NSAID tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang efek analgesiknya lemah, tidak menghentikan kerusakan muskuloskeletal (WHO, 2010). Kekurangan terapi NSAID pada sistem organ yang lain dapat menyebabkan erosi mukosa lambung, ruam atau erupsi kulit, menimbulkan nekrosis papilar ginjal, gangguan fungsi trombosit dan meningkatkan tekanan darah (Brunner & Suddarth, 2010). a.
Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
b.
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan : 1) Aspirin Pasien dibawah 65 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl. 2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya
c.
DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses dekstruksi akibat reumathoid arthritis. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam
menekan
proses
reumatoid
akan
berkurang.
Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis reumathoid arthritis ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang digunakan adalah : 1) Klorokuin Paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibanding dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantunng pada dosis harian, berupa penurunan
14
ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik. 2) Sulfasalzin Dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan dalam dosis 1x500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. ssetelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/ hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah dan dispepsia. 3) D-penisilamin Kurang dipakai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan ssetiap 2-4 minggu sebesar dosis 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus. 4) Garam emas Adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap dua minggu sampai tiga bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap tiga minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritus , stomatitis, proteinuria, trombositopenia, aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2x3 mg. 5) Obat imunosupresif atau imunoregulator Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis harus ditingkatkan.
15
Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masihh dalam penelitian. 6) Kortikosteroid Hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosterid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
d.
Rehabilitasi Bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya antar lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat; latihan, pemanasan dan sebagainya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau minimal. Bila tidak juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif. Sering pula diperlukan alat-alat. Karena itu, pengertian tentang rehabilitasi termasuk: 1) Pemakaian alat bidai, tongkat/tongkat penyangga, walking machine, kursi roda, sepatu dan alat. 2) Alat ortotik protek lainnya 3) Terapi mekanik 4) Pemanasan : baik hidroterapi maupun elektroterapi. 5) Occupational therapy
e.
Pembedahan Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatn inni pada pasien artritis reumatoid umumnya bersifat
16
ortopedik, misalnya sinovektomi, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar dan sebagainya. (Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, Edisi ketiga)
B. Konsep Nyeri 1.
Definisi nyeri International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimmana terjadi kerusakan.
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial (Winscon Medical Journal 2003. Volume 102, No,7)
McCaffery (1980) menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasa nyeri.
2.
Fisiologi Nyeri Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat.
Reseptor nyeri merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahanperubahan partikular disekitarnya, reseptor ini dapat terbagi menjadi exteroreseptor, Telereseptor, Propioseptor dan Interoseptor.
17
Stimulus nyeri : biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik
Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer
Impuls nyeri diteruskan oleh serat afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn
Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)
Impuls melewati traktus spinothalamus
Impuls masuk ke formatio retikularis
Impuls langsung masuk ke thalamus Fast Pain
Sistem limbik
Slow Pain
Skema 2.2 : Proses terjadinya nyeri (Prasetyo,2010)
3.
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan awitan nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu nyeri akut dan kronik. a.
Nyeri akut Biasanya timbul secara mendadak dengan durasi yang singkat, terbatas dan pada umumnya berhubungan dengan suatu lesi yang dapat diidentifikasi.
b.
Sedangkan nyeri kronik Sifatnya menetap dan melampaui batas kesembuhan penyakit dan biasanya tidak ditemukan suatu penyakit atau kerusakan jaringan. Nyeri kronik pada lansia dapat menyebabkan lansia sangat tergantung pada orang lain, depresi dan kehilangan rasa percaya diri.
18
Menurut Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi yakni: 1) Nyeri superficial/kutaneus (Nyeri akibat stimulasi kulit) Karakteristik Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contoh penyebabnya : Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi. 2) Viseral dalam Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal Nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari organ yang terlibat. 3) Nyeri alih Terjadi pada nyeri visceral karena banyak organ-organ yang tidak punya reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensoris dan organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena. Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik 4) Radiasi Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri serasa akan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan. Nyeri punggung bagian
tubuh akibat diskus
intravertebral yang
rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf.
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Berger (1992) nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: a.
Lingkungan Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri. Suasana ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya jika suasana tenang, nyaman, dan bersih akan
19
membantu menciptakan perasaan rileks sehingga rasa nyeri dapat dikurangi. (Taylor, 1997). b.
Umur Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anakanak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya, sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adekuat (Berger, 1992).
c.
Kelelahan Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri Lelah juga mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri. Semakin diterima rasa nyeri akan semakin berkurang begitu juga sebaliknya (Alexander & Hill, 1987).
d.
Riwayat sebelumnya Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).
e.
Mekanisme pemecahan masalah Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri seseorang. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan rasa nyeri. Ini sangat membantu orang tersebut untuk menurunkan nyerinya, misal seseorang terbiasa membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri (Berger, 1992).
f.
Kepercayaan/agama Kepercayaan/agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan. Kadang-kadang nyeri dianggap sebagai peringatan sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut merasa pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997).
20
g.
Budaya, dan Budaya
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
mengartikan
nyeri,
bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997). h.
Orang-orang yang memberi dukungan. Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor, 1997).
5.
Penilaian Rasa Nyeri ( Pain Assessment) Untuk pasien yang mengalami nyeri kronis maka pengkajian yang lebih baik adalah dengan menfokuskan pengkajian pada dimensi perilaku, afektif, kognitif (NIH, 1986; McGuire, 1992 dalam Prasetyo, 2010)
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami klien. (Donovan & Girton,1984 dalam Prasetyo, 2010) mengidentifikasi komponen-komponen tersebut, diantaranya : a.
Penentuan ada tidaknya nyeri Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nnyata. Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru menyembunnyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.
21
b.
Karakteristik nyeri (Metode P,Q,R,S,T) 1) Faktor pencetus (P: Provocate) Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada klien, apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetus nyeri 2) Kualitas (quality) Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimatkalimat tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk dan lain-lain, dimana tiap-tiap klien mungkin berbedabeda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan. 3) Lokasi (R: Region) Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk menunjukkan semua bagian/ daerah yang dirasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar). 4) Keparahan (S: Severe) Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling
subjektif.
Pada
pengkajian
ini
klien
diminta
untuk
menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau berat. Namun kesulitannya adalah makna dari istilahistilah ini berbeda bagi perawt dan klien serta tidak adanya batasanbatasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat. Hal ini juga bisa disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing-masing individu berbeda-beda.
22
Visual Analog Scale (VAS) Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah batas yang paling sakit.
Tidak Sakit
Nyeri paling hebat
Gambar 2.1 : Skala Analog Visual (VAS) (Prasetyo, 2010 )
Verbal Numerical Rating Scale (VNRS) Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian diberi skala.
0
1
Tidak Nyeri
2
3
Nyeri Ringan
4
5
6
Nyeri Sedang
7
8
9
10
Nyeri Hebat
Gambar 2.2 : Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10) ( McCaffery et al, 1989)
Grafik Verbal Rating Scale
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Gambar 2.3 : Skala Deskriptif Verbal (Prasetyo, 2010)
Nyeri sangat hebat
23
Gambar 2.4 : Skala nyeri wajah Wong & Baker (Kozier & Erb, 2009)
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukan padanya dapat diseleksi dengan hati–hati, maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter & Perry, 2005).
5) Durasi (T : Time) Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat menyakan : “Kapan nyeri mulai dirasakan?”, “Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau dengan kata-kata lain yang semakna.
6) Faktor yang memperberat/memperingan nyeri. Perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang dapat meperberat nyeri pasien, misalnya peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stres dan yang lainnya, sehingga dengan demikian perawat dapat memberi tindakan yang tepat untuk menghindari peningkatan respon nyeri pada klien. Demikian halnya perawat perlu mengetahui apakah klien mempunyai cara-cara sendiri yang efektif untuk menghilangkan atau menurunkan nyerinya, seperti mengubah posisi, melakukan tindakan ritual, menggosok/massage bagian tubuh yang sakit, meditasi , atau
24
mengompres bagian tubuh yang nyeri dengan kompres dingin atau hangat.
c.
Respon fisiologis Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres, stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologi.
Respon fisiologis terhadap Nyeri Respon simpatik
Peningkatan frekuensi pernapasan Dilatasi saluran bronkiolus Peninngkatan frekuensi denyut jantung Vasokontriksi perifer (Pucat, peningkatan tekanan darah) Peningkatan kadar glukosa darah Diaforesis Peningkatan tegangan otot Dilatasi pupil Penurunan motilitas saluran cerna
Respon parasimpatik
Pucat Ketegangan otot Penurunan denyut jantung tau tekanan darah Pernapasan cepat dan tidak teratur Mual muntah Kelemahan atau kelelahan
Tabel 2.1 : Respon Fisiologis terhadap Nyeri (Prasetyo, 2010) Perawat perlu mengkaji klien berkaitan dengan adanya perubahanperubahan pada respon fisiologis terhadap nyeri di atas untuk mendukung diagnosa dan membantu dalam memberikan terapi yang tepat.
25
d.
Respon prilaku Respon prilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara lain : merubah posisi tubuh, menngusap bagian yang sakit, menopang bagian nyeri yang sakit, menggeretakkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis, mengerang, mengaduh, menjerit, meraung.
e.
Respon Afektif Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam melakukan pengkajian. Ansietas (kecemasan) perlu digali dengan menanyakan pada pasien.
f.
Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan dalam kegiatan sehari-harinya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatankegiatan sehari-hari, sehingga perawat juga mengetahui sejauh mana ia dapat membantu progran aktivitas pasien. Perubahan-perubahan yang perlu dikaji antara lain : perubahan pola tidur (apakah nyeri mengganggu pola tidur klien), pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari misal : makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan pola interaksi terhadap orang lain (apakah nyeri mengganggu dalam berinteraksi terhadap orang disekitarnya).
g.
Persepsi klien tentang nyeri Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap nyeri, bagaimana klien mengghubungkan antara nyeri yang ia alami dengan proses penyakut atau hal lain dalam diri atau lingkungan disekitarnya.
26
h.
Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan untuk menurunkan nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan apakah bisa digunakan saat klien menjalani perawatan di rumah sakit. Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat memasukkannya dalam rencana tindakan.
6.
Penatalaksanaan Rasa Nyeri Pada Lansia Walaupun lansia lebih banyak mengalami rasa nyeri dibandingkan populasi lainnya, namun laporan rasa nyeri pada lansia seringkali lebih rendah dan pengobatannya tidak adekuat. Keadaan komorbid seringkali terjadi pada lansia. Banyak penderita berusia lebih dari 65 tahun menderita penyakit non-reumatik seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, hipertensi dan penyakit ginjal yang membatasi aktifitas fungsional.
Pada tahun 1998, American Geriatrics Society mempublikasikan pedoman praktek klinik untuk penatalaksanaan rasa nyeri kronik pada lansia. Sejak itu banyak kemajuan penting dalam bidang farmakologi dan strategi untuk menilai serta mengelola rasa nyeri pada lansia. Prinsip utama pada penatalaksanaan rasa nyeri adalah menghilangkan serangan rasa nyeri. Penatalaksanaan nyeri yang efektif bagi lansia terdiri dari pendekatan secara farmakologik dan nonfarmafologik. a.
Pendekatan farmakologik Lansia sangat rentan untuk mengalami efek samping suatu pengobatan, oleh karena itu pada pemberian obat untuk mengobati rasa nyeri perlu diperhatikan dosis yang akan diminum. Usia berhubungan erat dengan efek metabolisme obat di dalam tubuh, jadi pemberian obat pada lansia harus dilakukan dengan hati-hati.
27
World Health Organization (WHO) mengembangkan pendekatan secara medikasi untuk mengontrolrasa nyeri pada penderita kanker yang ternyata bermanfat pula bagi penderita rasa nyeri lainnya. Protokol WHO menganjurkan penatalaksaan rasa nyeri dilakukan secara konservatif dan bertahap untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selanjutnya pasien diberikan pengobatan bila obat yang diberikan pada tahap awal tidak efektif. Pendekatan secara “tangga analgesik” (analgesic ladder) diawali dengan pemberian nonopioid analgesik asetaminofen, siklo-oksigenase 2 (CO-2)
inhibitor
dan
obat
anti
inflamatori
non
steroid
(OAINS/nonsteroidal anti-inflammatory drugs/NSAIDs).
Gambar 2.5 : Tangga Analgesik WHO (Prasetyo, 2010)
Asetaminofen merupakan pilihan utama untuk mengobati rasa nyeri ringan sampai sedang pada lansia dan pemberiannya harus dibatasi. Misalkan pemberian asetaminofen 4000 mg sehari (dosis 4 kali 1000mg) dalam jangka lama dapat menimbulkan gangguan pada hepar. Penggunaan
28
OAINS jangka panjang harus dihindari karena seringkali terjadi efek samping misalnya perdarahan gastrointestinal dan gangguan fungsi ginjal. Bila
diperlukan
dapat
diberikan
pengobatan
adjuvan
(adjuvant
medications) untuk mengobati rasa nyeri kronik pada lansia seperti golongan steroid, antikonvulsan, anestesi lokal topikal dan antidepresan (Kasran & Kusumaratna, 2006)
Pada “tangga kedua” bila rasa nyeri sedang sampai berat asetaminofen dapat ditambah golongan opioid (hidrokodon, oksikodon, kodein) dan tramadol. Tramadol dapat digunakan pada lansia yang mengalami gangguan gastrointesital (konstipasi) dan ginjal Bila digunakan golongan opioid maka dosis asetaminofen atau oksikodon dapat diturunkan (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Pengobatan secara topikal dapat pula digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang bersifat neuropatik atau sindrome rasa nyeri kompleks regional Lidokain 5% secara topikal sangat bermanfaat untuk mengatasi rasa nyeri yang terjadi pada postherpetic neuralgia. Preparat topikal aspirin, kapsaisin, antidepresan trisiklik, lidokain, OAINS dan opioids dapat mengurangi rasa nyeri terutama gangguan muskuloskeletal (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Untuk mengobati rasa nyeri yang berat (“tangga analgesik” ketiga) dapat digunakan obat golongan opioid. Sebuah studi di Amerika Serikat tentang strategi untuk mengobati rasa nyeri pada lansia menunjukkan penggunaan obat analgesik merupakan strategi yang paling banyak digunakan. Obatobat yang digunakan adalah golongan asetaminofen, aspirin, COX-2 inhibitors dan opioids. Beberapa penulis menambahkan dan memodifikasi menjadi empat “tangga pengobatan” yaitu dengan prosedur intervensi seperti blok sistem saraf, pembedahan, prosedur operatif, dan pengobatan
29
perilaku kognitif bagi penderita dengan rasa nyeri yang tidak dapat dikendalikan (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Prosedur lain untuk mengurangi rasa nyeri dengan menggunakan neural ablation dapat mengurangi atau menghilangkan ketergantungan pada golongan analgesik opioid. Termasuk teknik neural ablation adalah dengan menyuntikkan alkohol atau fenol, krioanalgesik atau tindakan operatif pada jalur nociceptive. Namun penelitian menunjukkan pengobatan operatif dengan blok saraf tidak efektif untuk mengobati rasa nyeri kronik pada lansia.
Interpretasi dari prosedur intervensi ini sudah menerima banyak kritik dari berbagai studi dan perlu dikaji lebih lanjut. Polifarmasi dan frekuensi kondisi “komorbid” pada lansia merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan ketika membuat keputusan dalam pemberian obat sebagai terapi rasa nyeri. Monitoring harus dilakukan secara seksama pada pasien lansia yang memperoleh pengobatan multipel tidak saja untuk menilai efektivitas pengobatan tetapi juga memonitor kemungkinan muncul reaksi efek samping dari pengobatan yang diperoleh (Kasran & Kusumaratna, 2006).
b.
Pendekatan Non Farmakologi Walaupun pendekatan secara farmakologik lebih banyak digunakan dalam penatalaksaan rasa nyeri, intervensi secara non-farmakologik merupakan strategi yang harus dimasukkan pada penatalaksanaan rasa nyeri kronik pada lansia. Pendekatan non-farmakalogik merupakan pengobatan yang efektif untuk rasa nyeri yang ringan dan sedikit terjadi efek samping (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Teknik mengurangi stres (stressreduction), konseling psikososial dan terapi fisik/pekerjaan (physical/occupational), transcutaneous electric
30
nerve stimulation (TENS), akupuntur dan olahraga teratur bermanfaat untuk mengobati rasa nyeri kronik (Kasran & Kusumaratna, 2006).
Pengobatan alternatif komplementer (complementary and alternative medication/ CAM) dapat pula diberikan, terutama bagi penderita yang menyukainya (Kasran & Kusumaratna, 2006). Pendidikan pada pasien dan pendampingnya dalam penatalaksanaan rasa nyeri sangat diperlukan dan efektivitas dari program ini dalam meningkatkan penanganan rasa nyeri telah dilaporkan.
Pendidikan dapat diberikan secara perorangan atau kelompok dengan menggunakan media cetak untuk mendorong pasien dan pendampingnya memahami bahwa penanganan rasa nyeri meliputi terapi secara farmakologik dan nonfarmakologik (Kasran & Kusumaratna, 2006). Kegagalan untuk mengobati rasa nyeri pada lansia seringkali terjadi bila edukasi pada penderita dan pendampingnya tidak cukup memadai. Penderita dengan rasa nyeri kronik tidak hanya disarankan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mencegah terjadinya disfungsi, tetapi diperkenalkan pula penggunaan terapi panas, dingin atau mengurut (massage) (Kasran & Kusumaratna, 2006).
C. Konsep Jahe 1. Definisi Jahe Tanaman jahe (Zingiber officinale) telah lama dikenal dan tumbuh baik di indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya sangat luas dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biscuit, kembang gula dan berbagai minuman. Jahe adalah tumbuhan tahunan dengan tinggi 50-100 cm. Tumbuhan ini memiliki rimpang tebal berwarna coklat kemerahan. Daunnya sempit berbentuk lanset dengan panjang tangaki 10-25 cm dan terdapat daun kecil pada dasar bunga. Mahkota bunga bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, berwarna ungu tua
31
dengan bercak krem-kuning. Kelopak bunga kecil, berbentuk tabung dan bergerigi tiga (Ross, 1999).
Berdasarkan bentuk, warna dan ukuran rimpang, ada 3 jenis jahe yang dikenal, yaitu jahe putih besar/jahe badak, jahe putih kecil atau emprit dan jahe sunti atau merah secara umum ketiga jahe tersebut mengandung pati, minyak atsiri, serat, sejumlah kecil protein, vitamin, mineral, dan enzim proteolik yang disebut Zingibain (Denyer et al 1994 dalam Hernani dan Winarti, 2010).
Tanaman jahe memiliki beberapa sebutan, antara lain gember (Aceh), halia (Gayo). Goraka (Manado). halia, sipadao (Minangkabau), lai (Sunda), jahe (Jahe), jae (Madura), lia tana’,lia (Gorontalo), gihoro, gisoro (Ternate). (Heyne, 1987). Di luar negeri dikenal dengan nama ginger, red ginger (Inggris), sunthi (Kanada), adrak, sunthi (Hindi) Djahe (Belanda) (Ross,1999; Khare, 2007).
2. Kandungan Kimia Jahe mengandung minyak atsiri (1-3%), oleoresin, dan protease. Oleoresin jahe mengandung banyak zat aktif dan sebagian besar memberikan efek rasa pedas, yaitu gingerol (Monografi ekstrak, 2004 ; Singh, Kpoor, Singh, P., Heluani, Lampasona, & Catalan, 2008) Minyak atsirinya terdiri dari monoterpen seperti geranial (citral a) dan neral (citral b) dan sesquiterpen seperti bisabolone, zingiberen dan sesquithujen. Gingerol, shogaol, dan paradol merupakan senyawa identitas dalam jahe merah yang dikenal memiiki berbagai macam aktivitas biologis termasuk sebagai antiinflamasi, shogaol dan zingeron banyak terdapat pada jahe yang sudah menjadi serbuk, sebaliiknya jumlahnya sedikit pada jahe yang masih segar. Gingerol memiliki gugus fenol yang bersifat termolabil, sehingga bila terkena panas dan udara maka akan berubah menjadi shogaol dan zingerol. Shogaol bisa berubah menjadi paradol (Sing et all, 2008).
Kandungan jahe bermanfaat untuk mengurangi nyeri osteoarthritis karena jahe memiliki sifat pedas, pahit dan aromatic dari oleoresin seperti zingeron, gingerol
32
dan shogaol. Oleoresin memiliki potensi antiinflamasi dan antioksidan yang kuat. Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga sirkulasi perifer (Swarbrick dan Boylan, 2002)
Hasil penelitian Nasuda et al.1995 dan Kim et all. 2005 menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi. Beberapa senyawa, termasuk gingenol, shagaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti efek antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik dan kondiokton.
Penelitian tentang manfaat jahe adalah Jolad, (2004) meneliti kandungan rizoma jahe segar dan Wohlmuth, (2005) meneliti kandungan zat aktifnya dari oleoresin yang terdiri dari giingerol, sungaol dan zingeberence yang merupakan homolog dari fenol melalui proses pemanasan. Degradasi panas dari gingerol menjadi gingerone, shogaol dan kandungan lain terbentuk dengan pemanasan rimpang kering dan segar pada suhu pelarut air 100 C (Badreldin, 2007). Komponen jahe mampu menekan inflamasi dan mampu mengatur proses biokimia yang mengaktifkan inflamasi akut dan kronis seperti osteoarthritis dengan menekkan pro-inflamasi sitokinin dan cemokin yang diproduksi oleh sinoviosit, condrosite, leukosit dan jahe ditemukan secara efektif menghambat ekspresi cemokin (Phan, 2005).
3. Kegunaan Jahe memiliki banyak kegunaan. Penelitian untuk menguji aktivitas farmakologi maupun untuk mengisolasi komponen aktif sudah banyak dilakukan dan semakin berkembang. Pada pengobatan tradisional China dan India, jahe merah digunakan untuk mengatasi penyakit batuk, diare, mual, asma, gangguan pernapasan, sakit gigi, dan arthritis reumatoid, dyspepsia, dan morning sickness. Beberapa efek farmakologi yang sudah diuji baik pada hewan coba maupun
33
secara in vitro adalah anti oksidan, antiemetik, antikanker, antinfalamasi akut maupun kronik, antipireti, dan analgesik (Joanne, Anderson, Phillipson, 2007; Ross,1999)
D. Kompres Jahe Kompres jahe dapat menurunkan nyeri reumathoid artritis (Santoso, 2013). Mengompres berarti memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang memerlukannya (Poltekes Kemenkes maluku, 2011 dalam Fanada, 2012).
Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai gingerol. Pada suhu tinggi gingerol akan berubah menjadi shogaol yang memiliki efek panas dan pedas dibanding gingerol (Misrah, 2009). Efek panas dan pedas pada jahe inilah yang dapat meredakan nyeri, kaku dan spasme otot pada arthritis reumatoid. Sehingga jahe juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit, jahe juga banyak mempunyai khasiat seperti antihelmetik, antirematik, dan peluruh masuk angin. Jahe mempunyai efek untuk menurunkan sensasi nyeri juga meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan, penggunaan panas pada jahe selain memberikan reaksi fisiologis, antara lain : meningkatkan respon inflamasi (Utami, 2005).
34
E. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kompres jahe
Intensitas Nyeri Reumathoid Artritis
Variabel Confounding 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lingkungan Kelelahan Riwayat penyakit sebelumnya Kepercayaan/agama Budaya Orang-orang yang memberi dukungan
Skema 2.3 : Kerangka konsep penelitian intensitas nyeri rheumathoid arthritis
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti
F.
Hipotesis Penelitian Ha
: Ada pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumatoid arthritis usia diatas 40 tahun di wilayah kerja Puskesmas Tiga Balata.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian quasy eksperiment atau percobaan dimana kegiatan percobaan bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan One Group pretest-postest, dimana rancangan ini tidak memiliki kelompok pembanding (kontrol) tetapi dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan peneliti menguji perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Pratiknya, 2011)
Pretest
Perlakuan
01
P
Post test 02
Skema 3.1 : Bentuk rancangan penelitian One Group Pretest-postest (Pratiknya, 2011) Keterangan : 01
: Sebelum Kompres (Pre-test)
P
: Pemberian Kompres
02
: Sesudah Kompres (Post-test)
01-02 : Perbedaan nyeri sebelum dan sesudah perlakuan
B. Lokasi dan waktu penelitian 1.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata, dimana penduduk yang berada di wilayah kerja puskesmas Tiga Balata khususnya penduduk usia diatas 40 tahun menderita reumathoid artritis.
35
36
2.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1.
Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang sudah didiagnosa dokter menderita Reumathoid Arthritis di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2014 sebanyak 470 jiwa terhitung sejak Januari-Desember 2014.
2.
Sampel Sampel pada penelitian ini adalah penderita dengan nyeri rheumathoid arthtritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015. Adapun pengambilan
sample pada penelitian ini dengan teknik
Purposive Sampling dengan rumus sampel tunggal untuk perkiraan rerata (Sastromoro, 2010). =[
]²
Rumus sampel tunggal perkiraan rerata (Sastroasmoro, 2010)
Keterangan : n
: Besar sampel : Nilai Z pada derajat kemaknaan (Biasanya 90% = 1,28)
S
: Simpang baku nilai rerata dalam populasi, s (dari pustaka)
d
: Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan : 10% (0,10), 5% (0,05) atau 1% (0,01) 1,28 =[
0,410 ]² 0,1
0,5248 =[ ]² 0,1 = [5,248]²
= 27,5 + (10 %
27,5 )
37
= 27,5 + 2,75 = 30
Jadi sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 responden, dengan kriteria sebagai berikut : a.
Kriteria inklusi Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana
subjek penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012 ). Kriteria dalam penelitian ini adalah : 1) Berusia diatas 40 tahun yang menderita penyakit reumathoid arthritis. 2) Pasien dengan intensitas nyeri 1- 6. 3) Dapat berkomunikasi dengan baik. 4) Sedang tidak mengkonsumsi obat RA. b.
Kriteria eksklusi 1) Pasien tidak berada dilokasi pada saat penelitian dilakukan. 2) Menderita komplikasi penyakit lain. 3) Tidak bersedia menjadi responden. 4) Tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
D. Metode Pengumpulan Data 1. Data primer Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan menggunakan lembar wawancara serta observasi menggunakan lembar observasi intensitas nyeri pretest dan postest dengan skala intensitas nyeri numerik (0-10). Adapun waktu pemberian intervensi adalah 20 menit dan 20 menit setelah intervensi intensitas nyeri diukur kembali. 2. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari bagian SP2TP Puskesmas Tiga Balata, 2014.
38
E. Defenisi Operasional Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga defenisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Setiadi, 2007). No
Variabel
1
Independen: Kompres jahe
2
Dependen : Skala Nyeri
Defenisi
Cara Pengukuran Memberikan rasa nyaman pada SOP klien yang merasakan nyeri dengan menggunakan jahe sebanyak 20 gr, jahe segar dikupas dan dibersihkan kemudian diparut dan tempel jahe ke daerah sendi yang sakit selama 20 menit lalu ukur intensitas nyeri setelah 20 menit itervensi kompres. lakukan pengompresan jahe setiap nyeri menyerang. Tingkat ketidaknyamanan pada Observasi daerah sendi yang dirasakan seseorang yang bersifat aktual atau potensial akibat terjadinya kerusakan jaringan.
Hasil Ukur Dilakukan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skala Ukur Nominal
Rasio
Tabel 3.1 : Defenisi Operasional
F. Aspek Pengukuran Penelitian ini tidak menggunakan uji validitas dan reliabilitas instrument. Adapun aspek pengukuran pada penelitian ini menggunakan lembar observasi nyeri dengan skala intensitas nyeri numberik ( 0 – 10 ).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 3.1 Aspek pengukuran Skala Intensitas Nyeri Numerik ( McCaffery et al, 1989)
39
G. Etika Penelitian Sebelumnya peneliti mendapatkan izin dari Kepala Puskesmas Tiga Balata. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian kepada responden, serta kerahasiaan data yang diberikan. Responden berhak untuk menerima dan menolak untuk menjadi responden dalam penelitian. Bila calon menyetujui menjadi
responden,
maka
peneliti meminta responden untuk menandatangani
persetujuan yang telah disediakan. Setelah mendapat persetujuan peneliti melakukan penelitian dengan etika peneliti meliputi : 1. Lembar persetujuan (Informed Consent). Sebelum kompres hangat dilakukan, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti kepada responden yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian. Setelah mendapat persetujuan dari responden baru peneliti mulai melakukan penelitian dengan melakukan kompres hangat jahe. 2. Tanpa nama (Anonymity) Tidak mencantumkan nama responden dalam lembar wawancara yang digunakan, tetapi menukarnya dengan kode inisial nama responden, termasuk dalam penyajian hasil penelitian. 3. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi tersebut dijamin oleh peneliti, hanya kelompok dan tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012).
H. Pengolahan Data 1. Editing Setelah selesai melakukan penelitian, maka lembar wawancara demografi dan lembar observasi dikumpulkan dan peneliti melakukan pemeriksaan ulang dari lembar wawancara demografi dan observasi dengan benar dan tidak ada tertinggal satu kuisionerpun.
40
2. Coding Mengubah data responden dan hasil wawancara demografi tersebut yakni dengan memberi pengkodean (Bilangan) seperti Jenis Kelamin “Laki-Laki” diberi kode 1, “Perempuan” diberi kode 2, Pendidikan “SD” diberi kode 1, “SMP” diberi kode 2, “SMA” diberi kode 3, “D3/S1” diberi kode 4, dan Pekerjaan “Karyawan” diberi kode 1, “Petani” diberi kode 2, “Pegawai” diberi kode 3. 3. Entry data Setelah peneliti mengubah data responden dan hasil observasi kedalam bentuk angka (Kode), selanjutnya peneliti memasukkan data tersebut kedalam program computer yaitu dalam bentuk master tabel. 4. Tabulating Selanjutnya peneliti memasukkan data tersebut kedalam bentuk distribusi frekuensi tabel-tabel sesuai dengan tujuan penelitian atau yang diinginkan peneliti untuk mempermudah pengolahan data berikutnya.
I. Metode Analisa Data 1.
Analisis univariat Analisa univariat dilakukan untuk mengidentifikasi data demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan penderita rheumathoid arthritis yang mengalami nyeri di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata tahun 2015.
2.
Analisis Bivariat Analisa bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat perbedaan antara variabel dependen sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan dengan mengunakan uji t-paired jika data berdistribusi normal, dan dari uji normalitas Shapiro Wilk diketahui bahwa data pada penelitian ini tidak berdistribusi normal dengan nilai p = 0,00 data dikatakan normal apabila nila p > 0,5 sehingga untuk analisa bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arhtiris usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015. A. Hasil Penelitian Pada bab ini menyajikan hasil penelitian tentang pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015 telah dilaksanakan selama 14 hari dari tanggal 6 Maret 2015 sampai dengan 20 Maret 2015. Peneliti mengumpulkan data selama 1 hari yaitu data sekunder penderita rheumathoid arthritis dari Puskesmas Tiga Balata dan peneliti melakukan anamnese kepada penderita rheumathoid arthritis tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dimana responden penelitian diambil berdasarkan pertimbangan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Responden pada penelitian ini berjumlah 30 orang. Penelitian dilakukan dengan mengobservasi tingkat nyeri yang dialami penderita rheumathoid arthritis sebelum dan sesudah pemberian kompres jahe sebanyak 1 kali saat nyeri menyerang selama 20 menit dengan jumlah jahe 20 gram .
Hasil penelitian akan dijelaskan dalam dua bagian, yaitu analisis univariat yang menggambarkan data demografi penderita rheumathoid arthritis, dan intensitas nyeri rheumathoid arthritis sebelum dan sesudah kompres jahe, sedangkan analisa bivariat memaparkan tentang pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja puskesmas Tiga Balata tahun 2015.
41
42
1.
Analisa Univariat a.
Data Demografi 1) Karakteristik Jenis Kelamin Responden Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentasi (%)
Perempuan Laki-laki Total
21 9 30
70 30.0 100.0
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 21 orang (70 %).
2) Karakteristik Usia Responden Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Usia (Tahun)
Fkrekuensi (n)
Persentasi (%)
40 41 43 44 46 48 50 51 54 58 59 60 61 64 67 70 71 73 Total
3 1 1 1 1 3 2 1 2 2 1 2 3 1 3 1 1 1 30
10.0 3.3 3.3 3.3 3.3 10.0 6.7 3.3 6.7 6.7 3.3 6.7 10.0 3.3 10.0 3.3 3.3 3.3 100.0
43
Berdasarkan tabel diatas usia terendah adalah 40 tahun dan usia tertinggi yaitu 73 tahun. 3)
Pendidikan Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Frekuensi (n)
Persentase (%)
SD SMP SMA D3/S1 Total
5 3 20 2 30
16.7 10.0 66.7 6.6 100.0
Berdasarkan tabel diatas mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SMA yaitu sebanyak 20 orang (66,7 %). 4)
Pekerjaan Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Jenis Pekerjaan
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Bertani Pegawai Total
23 7 30
76.7 23.3 100.0
Berdasarkan tabel diatas mayoritas pekerjaan responden adalah bertani yaitu sebanyak 23 orang (76,7 %).
44
b.
Intensitas Nyeri Sebelum Dan Setelah Kompres Jahe 1) Intensitas nyeri sebelum kompres jahe (Pre-test) Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Sebelum Kompres Jahe Intensitas Nyeri
Frekuensi (%)
Persentase (%)
2 3 4 5 6 Total
3 1 9 5 12 30
10.0 3.3 30.0 16.7 40.0 100.0
Berdasarkan tabel di atas mayoritas tingkat intensitas nyeri responden adalah 6 sebanyak 12 responden (40 %).
2) Intensitas nyeri sesudah kompres jahe (Post-test) Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Nyeri Pasien Setelah Dilakukan Kompres Jahe Intensitas Nyeri
Frekuensi (n)
Persentase (%)
0 1 2 3 4 Total
2 5 12 9 2 30
6.7 16.7 40.0 30.0 6.6 100.0
Dari tabel diatas mayoritas intensitas nyeri setelah kompres jahe (posttest) adalah 2 sebanyak 12 orang.
45
2.
Analisa bivariat Analisa bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian kompres jahe terhadap penurunan intensitas nyeri rheumathoid arthritis pada usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015. Tabel 4.7 Analisa Intensitas Nyeri Pre-Post Test Kompres Jahe Mean
SD
Pre-test
4.73
1.311
Post-test
2.13
1.008
P. Value 0,000
Berdasarkan hasil analisa Wilcoxon sign rank test, diketahui nilai rata-rata intensitas nyeri sebelum kompres jahe (Pre-test) sebesar 4.73 dengan standar deviasi 1.311 dan rata-rata intensitas nyeri setelah kompres jahe (Post-test) sebesar 2.13 dengan standar deviasi 1.008. Nilai p-value (Asymp. Sig 2 tailed) sebesar 0,000 dimana kurang dari (< 0,1) sehingga dapat ditarik kesimpulan Ho ditolak dan Ha diterima yaitu ada pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015.
46
B. Pembahasan Analisa Perbedaan Intensitas Nyeri Sebelum (Pre-Test) Dan Sesudah (PostTest) Kompres Jahe. Intensitas nyeri pada data pre-test kompres jahe tertinggi adalah intensitas nyeri 6 sebanyak 12 responden, intensitas nyeri terendah yaitu 2 sebanyak 3 responden dan pada data post-test kompres jahe intensitas nyeri tertinggi adalah 4 sebanyak 2 responden, intensitas nyeri terendah yaitu 0 dengan 2 responden .
Dari hasil analisa data dengan menggunakan wilcoxon signed rank test untuk mengetahui kekuatan pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri rheumathoid arthtritis menghasilkan rata-rata (mean) intensitas nyeri sebelum diberikan kompres jahe sebesar 4,73 dengan standar deviasi 1,311. Rata-rata (mean) intensitas nyeri setelah diberikan kompres jahe sebesar 2,13 dengan standar deviasi 1,008.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p Value (α) sebesar 0,000. Dengan demikian nilai p Value lebih kecil dari 0,1 sehingga Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skala nyeri rheumathoid arthritis yang bermakna antara sebelum kompres jahe dan setelah kompres jahe dan dapat disimpulkan bahwa hipotesisnya ada pengaruh kompres jahe terhadap perubahan intensitas nyeri rheumathoid arthritis pada usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015.
Sensasi nyeri yang kita sebut sebagai nyeri adalah modalitas sensorik yang paling istimewa. Nyeri merupakan salah satu submodalitas sensasi somatik seperti sentuhan, tekanan dan rasa posisi serta memiliki fungsi protektif yang penting, yaitu sebagai peringatan untuk menghindari ataupun mengobati cedera. Nyeri adalah persepsi ; yaitu pengalaman emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Intensitas nyeri yang dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga rangsangan yang sama dapat menghasilkan respon yang berbeda pada setiap individu dalam kondisi yang serupa (Kasran dan Kusumaratna, 2006).
47
Proses nyeri merupakan adanya sensitisasi dari nosireseptor sesudah cedera atau inflamasi berasal dari pelepasan senyawa-senyawa kimia oleh sel yang cedera di daerah sekitarnya. Substansi ini termasuk prostalglandin. Prostalglandin E2 merupakan metabolit asam arakidonat dan dihasilkan oleh enzim siklooksigenase yang dilepaskan dari sel yang mengalami cedera (Jabbour & Sales, 2004).
Pada penderita reumathoid arthritis adanya inflamasi yang disebabkan oleh proses imunologik pada sinovial yang mengakibatkan sinovitis dan pembentukan pannus yang akhirnya menyebabkan kerusakan sendi, kerusakan yang terjadi pada sel dan jaringan akan membebaskan berbagai mediator substansi radang. Asam arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel penyimpanan lipid oleh asil hidrosilase sebagai respon adanya noksi. Asam arakidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur siklooksigenase yang membebaskan prostalglandin, prostasiklin, tromboksan. Prostalglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan. Karena prostalglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri maka aspirin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase mampu menekan gejala-gejala tersebut (Mohan, 2012).
Hal ini didukung oleh penelitian Mantiri dkk, 2013 melihat perbandingan efek analgesik perasan rimpang jahe dengan aspirin dosis terapi, adapun hasilnya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan yang diberi aspirin terhadap kelompok perlakuan perasan rimpang jahe dosis I, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara pemberian aspirin dengan perasan jahe dosisi II dan III, dan tidak terdapat perbedaan antara pemberian perasan rimpang jahe dosis II dan III, jadi dosis maksimal perasan rimpang jahe adalah 8 mg/20 gr BB. Dosis terapi terhadap mencit, aspirin diberikan sebanyak 0,4mg/20 gr BB mencit sedangkan perasan jahe diberikan dosis I yaitu 4 mg/20 gr BB, dosis II 8 mg/20 gr BB dan Dosis III 16 mg/20 gr BB.
48
Adapun efek analgesik kompres jahe berhubungan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam jahe. Senyawa-senyawa gingerol, shogaol, zingerole, diary (heptanoids dan derivatnya) terutama paradol diketahui dapat menghambat sikooksigenase sehingga terjadi penurunan pembentukan atau biosintesis dari prostaglandin yang menyebabkan berkurangnya rasa nyeri (Hernani dan Winarti, 2010).
Penelitian lain Susanti, (2014) tentang pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri penderita arthritis reumathoid sebanyak 20 orang lansia yang menderita rheumathoid arthritis dengan rata-rata nyeri sebelum kompres jahe (pre-test) yaitu 3,80 dengan standar deviasi 1,005 dan rata-rata nyeri setelah kompres jahe (posttest) yaitu 2,80 dengan standar deviasi 1,005 berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan p value 0,000 (<0,05), berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri artritis rheumathoid pada lansia.
Penelitian yang dilakukan Masyhurrosyidi, 2013, tentang pengaruh kompres hangat rebusan jahe terhadap tingkat nyeri sub akut dan kronis pada lanjut usia dengan osteoarthritis lutut di puskesmas Arjuna kecamatan Klojen Malang Jawa Timur menunjukkan bahwa tingkat signifikansi 0,05 dimana secara keseluruhan ada hubungan yang bermakna antara tingkat intensitas nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres hangat rebusan jahe dengan p-value 0.000.
Penelitian Susanti, 2014, melihat pengaruh kompres hangat jahe terhadap penurunan skala nyeri arthritis rheumathoid pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batu Sangkar Tahun 2014 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan kompres hangat jahe terhadap penurunan skala nyeri arthritis rheumathoid pada lansia dengan p-value 0,000.
Dari penjelasan yang telah peneliti uraikan, dapat ditarik asumsi bahwa rheumathoid arthritis merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan nyeri pada daerah sendi, hal ini diakibatkan oleh terjadinya kerusakan ataupun
49
peradangan pada daerah sendi, khususnya sinovial yang mengalami kerusakan ataupun sinovitis akibat dari reaksi antigen-antibodi sehingga mengaktifkan mediator (prostaglandin dan leukotrien) ke pembuluh darah, otot polos serta kelenjar-kelenjar yang akhirnya menimbulkan nyeri (Sabinsa Corporation, 2007).
Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh, kompres jahe terlihat memiliki pengaruh dalam mengurangi intensitas nyeri rheumathoid arthritis dimana seluruh responden mengalami penurunan intensitas nyeri setelah perlakuan kompres jahe selama 20 menit, namun penurunan intensitas nyeri yang dialami oleh responden berbeda-beda, dimana responden yang mengalami penurunan intensitas nyeri 4 sebanyak 5 orang (16,7%), responden yang mengalami penurunan intensitas nyeri 3 sebanyak 11 orang (36,7), responden yang mengalami penurunan intensitas nyeri 2 sebanyak 11 orang (36,7) dan responden yang mengalami penurunan intensitas nyeri 1 sebanyak 3 orang. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko antara lain psiko-kultural dan sifat nyeri yang merupakan persepsi dan perbedaan individu dan perasaan subjektif dari setiap perasaan nyeri antara dua orang yang berbeda pula.
C. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan 1.
Variabel-variabel yang mempengaruhi nyeri seperti stress, letih, riwayat nyeri, kegemukan dan aktifitas belum diamati oleh peneliti. Hal tersebut bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi penurunan nyeri dalam penelitian ini.
2.
Homogenitas lokasi nyeri dalam penelitian ini belum diamati oleh peneliti, hal tersebut bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi intensitas nyeri dalam penelitian ini.
3.
Jumlah jahe yang digunakan pada penelitian ini sama disetiap lokasi nyeri, sehingga peneliti mengamati kemungkinan jumlah jahe berpengaruh dengan luas lokasi nyeri.
4.
Peneliti tidak mengamati durasi pengaruh kompres jahe terhadap penurunan intensitas nyeri.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh kompres jahe terhadap penurunan Intensitas nyeri rheumathoid arthritis pada usia diatas 40 tahun di lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015 didapat kesimpulan sebagai berikut : 1.
Distribusi berdasarkan data demografi a.
Berdasarkan distribusi jenis kelamin responden dengan rheumathoid arthritis 70% responden merupakan perempuan.
b.
Berdasarkan distribusi usia responden dimana usia tertinggi 73 tahun dan terendah 41 tahun.
c.
Berdasarkan distribusi pekerjaan responden 76,7 % bekerja sebagai bertani.
2.
Identifikasi intensitas nyeri pre-test dan post-test Sebelum dilakukan kompres jahe rata-rata intensitas nyeri yang dialami responden adalah 4,73 dan setelah dilakukan kompres jahe rata-rata intensitas nyeri yang dialami responden adalah 2,13.
3.
Ada pengaruh kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis usia diatas 40 tahun dengan nilai p-value 0,000.
B. Saran 1.
Bagi Responden Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan dalam mengatasi nyeri dengan intensitas nyeri 1-6. Masyarakat dapat mengolah dan menggunakan jahe sebagai obat alternatif untuk mengurangi intensitas nyeri rheumathoid arthritis.
2.
Bagi praktek keperawatan Penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam tindakan keperawatan sebagai terapi komplementer dalam managemen nyeri khususnya pada penderita penyakit kronis dengan intensitas nyeri 1-6.
50
51
3.
Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan terhadap managemen
nyeri
dengan
kategori
intensitas
nyeri
1-6.
Sebagai
alternatif/komplementer untuk mengurangi nyeri rheumathoid arthtritis. 4.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian terkait dengan kompres jahe. a. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis perlu diteliti. b. Perbandingan tingkat efektifitas kompres jahe antara jahe segar dengan jahe yang sudah direbus terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid arthritis perlu diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Bazzichi et al, 2005. Quality Of Life Rheumathoid Arthritis : Impact of Disability and Lifetime Depresive Spectrum Symptomatology. Diperoleh 25 maret 2015 Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, EGC, Jakarta. Daud. Rizasyah. 1998. Diagnosis dan Penatalaksanaan Artritis Reumatoid. Cermin Dunia Kedokteran No.129, 2000. Diperoleh 22 Juli 2014) Fanada. Mery. 2012. Pengaruh Kompres Hangat Dalam Menurunkan Skala Nyeri Pada lansia Yang Mengalami Nyeri Rematik Di Panti Sosial Tresna Werdha. Badan Diklat Sumatera Selatan. Palembang. Diperoleh 13 November 2014 Fitriyah. Nurul. 2011. Efek Rimpang Jahe Merah (Zingiber Officinale Rosc. Var. Rubrum) terhadap Peningkatan Kepadatan Tulang Tikus Putih Betina RA (Rheumatoid Arthritis) yang Diinduksi oleh Complete Frund’s Adjuvant. Universitas Indonesia. 02 Juli 2014 Hernani Winarti. 2010. Kandungan Bahan Aktif Jahe dan Pemanfaatannya Dalam Bidang Kesehatan, Status Teknologi Hasil Penelitian Jahe. Bogor. Diperoleh 01 Juli 2014 Jabbour & Sales. 2004. Prostalglandin Receptor Signalling And Function in Human Endometrial Pathology. Diperoleh 28 maret 2015 Kasran. Kusumaratna. 2005. Penatalaksanaan Rasa Nyeri Pada Lanjut Usia. Universa Medica Januari-Maret 2006, Vol 25 No. 1. Diperoleh 03 Juli 2014 Koswara. Sutrisno, 2010. Jahe, Rimpang Sejuta Khasiat. Ebookpangan.com 1 juli 2014 Kozier & Erb, 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis, Edisi 5, EGC, Jakarta. Lelo. A, Hidayat, Juli. S, 2004. Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid Yang Rasional pada Penanggulangan Nyeri Rematik. 25 Maret 2015 Mansjoer. Arif dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Media Aesculapius, Jakarta. Indonesia.
Mantiri dkk, (2013). Perbandingan Efek Analgesik Perasaan Rimpang Jahe Merah (Zingiber Officinale var. rubrum Thelaide) Dengan Aspirin Dosis Terapi Pada Mencit (Mus Musculus). 2 April 2015 Masyhurrosyidi. Hadi et al. 2013. “Pengaruh Kompres hangat Rebusan Jahe terhadap Tingkat Nyeri Sub akut dan Kronis Pada Lanjut Usia dengan Osteoarthtritis Lutut. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang”. 01 Juli 2014 McCaffery,M.,Boebe,A;et al. 1989. Pain: Clinical Manual For Nursing Practice, Mosby St.Lois, Mo. Mujahidullah. Khalid, Yogyakarta.
2012.
Keperawatan
Geriatrik,
Pustaka
Pelajar,
Nainggolan. Olwin, 2009. Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Maj kedokt, volum: 59. Nomor: 12, Desember 2009. 09 November 2014 Notoatmodjo. Soekidjo. 2012. Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Pratiknya. Ahmad Watik, 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran &Kesehatan. Edisi 9, PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Rachmawati et al . 2006. Nyeri Musculoskeletal dan Hubungannya Dengan Kemampuan Fungsional Fisik Pada Lanjut Usia. Universa Medicina, Oktober-Desember 2006, Vol.25 No.4. Diperoleh 22 November 2014 Santoso. Singgih, 2009. Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan dengan SPSS 17. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Santoso. Hieronymus Budi, 2013. Tumpas Penyakit dengan 40 Daun & 10 Akar Rimpang, Cahaya Jiwa, Yogyakarta. Sastroamoro, S & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi 3. Jakarta : CV Sagung Seto Setiadi, 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu. Yogyakarta. Sigit. Nian Prasetyo, 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Graha Ilmu, Yogyakarta. Syafei. Candra, 2010. Permasalahan Penyakit Rematik Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan (Bone and Join Decade). Proceeding Book Rheumatology Update 2010. 11 Desember 2014
Tejasari et al, (2002). Aktivitas Stimulasi Komponen Bioaktif Rimpang Jahe (Zinger Officinale Roscoe) Pada Sel Limfosit B Manusia Secara In Vitro. Jurnal. Teknol dan Industri Pangan, Vol. XIII, No.1 th.2002. Diperoleh 11 Desember 2014
Lampiran 1
Permohonan Menjadi Responden Kepada Yth : Responden Ditempat Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Eni Hartati Lase
NIM
: 13.02.06.157
Saya mahasiswa Jurusan Program Studi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia yang akan mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Kompres Jahe Terhadap Intensitas Nyeri Pada Penderita Rheumathoid Artritis Usia > 40 Tahun Di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata 2015”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kompres jahe terhadap penurunan intensitas nyeri reumathoid arthrtitis.
Sehubungan dengan hal tersebut dan dengan kerendahan hati saya mohon kesediaan saudara/i untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua data maupun informasi yang dikumpulkan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika bersedia untuk menjadi respnden, mohon saudara/i untuk menandatangani pernyataan kesediaan menjadi responden. Atas perhatian dan kesediaan saudara/i, saya ucapkan terimakasih.
Medan,
Maret 2015
Peneliti
(Eni Hartati Lase)
Lampiran 2
SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Nama Peneliti
: Eni Hartati Lase
Judul Penelitian
: Pengaruh Kompres Jahe Terhadap Intensitas Nyeri Pada Penderita Rheumathoid Artritis Usia > 40 Tahun Di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata, Tahun 2015.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Jurusan Program Studi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
Saya mengetahui bahwa informasi yang saya berikan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan.
Demikian pernyataan persetujuan menjadi responden dari saya semoga dapat dipergunakan seperlunya.
Tanggal
:
No Responden
:
Tanda Tangan
:
Lampiran 3
PENGARUH KOMPRES JAHE TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA RHEUMATHOID ARTHRITIS USIA > 40 TAHUN DI LINGKUNGAN KERJA PUSKESMAS TIGA BALATA, 2015
No. Responden
Kuisoner Data Demografi
Jenis Kelamin
:
Usia
: ……. Tahun
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Laki-laki
SD
SMA
SMP
Diploma/Sarjana
Karyawan
Bertani
Pegawai
Diagnosa Medis
:
Obat Yang Dikonsumsi:
Perempuan
Lampiran 4
INSTRUMEN PENELITIAN Lembar Observasi Intensitas Nyeri Penderita Rheumathoid Arthritis sebelum (Pre Test) Kompres Jahe di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015 No Responden
PETUNJUK Lingkarilah nomor/skala yang sesuai dengan nyeri yang dirasakan dengan patokan untuk tidak nyeri 0, nyeri ringan (1-3), Nyeri sedang (4-6), nyeri berat (7-10).
Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10) ( McCaffery et al, 1989)
0
1
2
3
Tidak Nyeri Nyeri Ringan
4
5
6
Nyeri Sedang
7
8
9
10
Nyeri Berat
DIMANA LOKASI NYERI ? Lingkari/ beri tanda pada gambar dibawah, daerah nyeri yang Bapak/ibu rasakan
Lampiran 5
INSTRUMEN PENELITIAN Lembar Observasi Intensitas Nyeri Penderita Rheumathoid Arthritis Sesudah (Post test) Kompres Jahe di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata tahun 2015
No Responden
PETUNJUK Lingkarilah nomor/skala yang sesuai dengan nyeri yang dirasakan dengan patokan untuk tidak nyeri 0, nyeri ringan (1-3), Nyeri sedang (4-6), nyeri berat (7-10).
Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10) ( McCaffery et al, 1989)
0
1
2
3
Tidak Nyeri Nyeri Ringan
4
5
6
Nyeri Sedang
7
8
9
Nyeri Berat
10
Lampiran 6
PROSEDUR PELAKSANAAN PENGARUH KOMPRES JAHE TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA RHEUMATHOID ARTHTRITIS PADA USIA > 40 TAHUN DI LINGKUNGAN KERJA PUSKESMAS TIGA BALATA TAHUN 2015
1.
Tujuan (Purpose) Tujuan diberikannya kompres jahe adalah :
2.
a.
Memberikan rasa nyaman
b.
Memberikan efek hangat
c.
Mengurangi rasa nyeri
Ruang Lingkup ( Scope) Adapun batasan dalam melakukan prosedur ini adalah pemilihan jahe yang baik, waktu pengompresan pun harus diperhatikan, jangan terlalu sebentar + 20 menit.
3.
Referensi (Reference) Koswara, sutrisno. 2010, jahe, rimpang dengan sejuta khasiat. Hernani & Cristina Winarti. 2010, Kandungan Bahan Aktif Jahe Dan Pemanfaatanya Dalam Bidang kesehatan.
4.
Definisi (Definition) Kompres Jahe yaitu pengompresan dengan rimpang jahe segar yang telah diparut dan diletakkan pada daerah tubuh yang nyeri selama 20 menit.
5.
Prosedur (Procedure) Untuk pelaksanaan kompres jahe dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : Alat dan Bahan ; Peralatan yang dibutuhkan : 1) Parutan Jahe 2) Timbangan Bahan : 1) Jahe 20 gram
Untuk pelaksanaan kompres jahe dapat mengikuti langkah-langkah berikut ini : 1) Siapkan jahe 20 gram 2) Cuci jahe dengan air sampai bersih 3) Lalu jahe yang telah dibersihkan diparut dan 4) Di tempel pada daerah sendi yang nyeri selama 20 menit. 20 menit setelah intervensi ukur intensitas nyeri yang dirasakan penderita. 5) Setelah selesai bereskan semua peralatan yang telah dipakai. 6. Dokumentasi (Documentation)
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11 Lampiran 11
MASTER DATA No Responden
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pretest
Posttest
2
Usia 58
1
Pretestk 3
Posttestk 2
0.1
3
2
4
2
59
3
3
2
0
2
0.3
2
61
1
6
3
3
1
2
2
0.4
2
73
3
2
4
2
3
2
0.5
2
60
3
2
6
2
3
2
0.6
1
54
2
67
4
3
5
2
3
2
3
3
1
71
2
3
3
1
67
2
4
3
2
48
3
3
3
2
61
2
2
3
0.12
2
61
2
4
2
3
2
2
2
0.13
1
46
3
2
6
3
3
2
0.14
1
40
3
2
6
2
3
2
0.15
2
60
1
54
1
2
4
2
3
2
2
3
2
41
2
3
3
2
51
2
1
2
2
48
2
1
2
0.20
2
43
2
4
1
3
3
2
2
0.21
2
64
2
2
4
3
3
2
0.22
1
67
3
2
5
3
3
2
0.23
2
50
4
3
6
4
3
3
0.24
2
58
3
3
4
1
3
2
2
48
0
2
1
2
40
2
3
2
1
70
2
3
2
2
40
3
3
2
0.29
1
50
3
2
6
2
3
2
0.30
2
44
2
2
5
2
3
2
0.2
0.7 0.8 0.9 0.10 0.11
0.16 0.17 0.18 0.19
0.25 0.26 0.27 0.28
3 2 1 3 3
3 3 3 3
3 3 1 3
3 2 2 2 3
2 2 2 2
2 3 2 2
4 5 6 6 6
5 6 3 2
2 6 4 6
Keterangan: Jenis Kelamin 1 : Laki-laki 2 : perempuan
Pendidikan 1 : SD 2 : SMP 3 : SMA 4 : D3/S1
Pekerjaan 1 : Karyawan 2 : Petani 3 : Pegawai
Lampiran 12
Hasi Uji Univariat Karakteristik Jenis Kelamin Responden Penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Perempuan
21
70.0
70.0
70.0
Laki-laki
9
30.0
30.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Statistics Karakteristik Usia Responden penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015 N
Valid
30
Missing
0
Mean
55.33
Minimum
41
Maximum
73
Lampiran 13
Karakteristik Usia Responden penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015 Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
41
2
6.7
6.7
6.7
42
1
3.3
3.3
10.0
43
2
6.7
6.7
16.7
44
1
3.3
3.3
20.0
46
1
3.3
3.3
23.3
48
3
10.0
10.0
33.3
50
2
6.7
6.7
40.0
51
1
3.3
3.3
43.3
54
2
6.7
6.7
50.0
58
2
6.7
6.7
56.7
59
1
3.3
3.3
60.0
60
2
6.7
6.7
66.7
61
3
10.0
10.0
76.7
64
1
3.3
3.3
80.0
67
3
10.0
10.0
90.0
70
1
3.3
3.3
93.3
71
1
3.3
3.3
96.7
73
1
3.3
3.3
100.0
30
100.0
100.0
Total
Karakteristik Pendidikan Responden Penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
5
16.7
16.7
16.7
SMP
3
10.0
10.0
26.7
SMA
20
66.7
66.7
93.3
D3/S!
2
6.7
6.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
SD
Karakteristik Pekerjaan Responden Penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Wiraswasta
23
76.7
76.7
76.7
Pegawai
7
23.3
23.3
100.0
Total
30
100.0
100.0
Intensitas Nyeri Penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015 Sebelum Kompres Jahe
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
3
10.0
10.0
10.0
3
1
3.3
3.3
13.3
4
9
30.0
30.0
43.3
5
5
16.7
16.7
60.0
6
12
40.0
40.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Intensitas Nyeri Penderita Rheumathoid Arthritis di Lingkungan Kerja Puskesmas Tigs Balata Tahun 2015 Setelah Kompres Jahe
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
6.7
6.7
6.7
1
5
16.7
16.7
23.3
2
12
40.0
40.0
63.3
3
9
30.0
30.0
93.3
4
2
6.7
6.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
0
Tingkat Penurunan Intensitas Nyeri Pada Penderita Rheumathoid Arthritis Di Lingkungan Kerja Puskesmas Tiga Balata Tahun 2015 Sebelum dan Sesudah Kompres Jahe
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
3
10.0
10.0
10.0
2
11
36.7
36.7
46.7
3
11
36.7
36.7
83.3
4
5
16.7
16.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
Lampiran 13
Uji Normalitas Shapiro Wilk
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov
Pre Test
Shapiro-Wilk
Statistic
Df
Sig.
Statistic
df
Sig.
.233
30
.000
.829
30
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov
Post Test
Shapiro-Wilk
Statistic
Df
Sig.
Statistic
df
Sig.
.214
30
.001
.910
30
.015
a. Lilliefors Significance Correction
Lampiran 14
Uji Normalitas Data Pre-test setelah Rank Case Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
Rank of pre
30
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 30
100.0%
Descriptives Statistic Rank of pre
Mean
Std. Error
15.50000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
12.37394
Upper Bound
18.62606
5% Trimmed Mean
15.75000
Median
16.00000
Variance
1.528466
70.086
Std. Deviation
8.371751
Minimum
2.000
Maximum
24.500
Range
22.500
Interquartile Range
15.500
Skewness Kurtosis
-.165
.427
-1.507
.833
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic Rank of pre
df
.259
a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk
Sig. 30
.000
Statistic .826
df
Sig. 30
.000
Lampiran 15
Hasil Uji Bivariat Ranks N Post Test - Pre Test
Mean Rank
Sum of Ranks
a
13.50
351.00
b
.00
.00
Negative Ranks
26
Positive Ranks
0
Ties
4
Total
30
c
a. Post Test < Pre Test b. Post Test > Pre Test c. Post Test = Pre Test
Test Statistics
b,c
Post Test - Pre Test a
Z
-5.099
Asymp. Sig. (2-tailed) Monte Carlo Sig. (2-tailed)
.000 Sig. 90% Confidence Interval
Monte Carlo Sig. (1-tailed) 90% Confidence Interval
.000 Lower Bound
.000
Upper Bound
.000
Sig.
.000
Lower Bound
.000
Upper Bound
.000
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test c. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000.
Lampiran 16
Lampiran 17
Lampiran 18