ANALISIS PELAKSANAAN AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT. PELNAS LAUT SERAYA PUSAT SELATPANJANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2008 (Studi Kasus pada PT. Pelnas Laut Seraya)
SKRIPSI
OLEH SRI SUHARYATI Nim. 10973008138
PROGRAM S.1 JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2013
ANALISIS PELAKSANAAN AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT. PELNAS LAUT SERAYA PUSAT SELATPANJANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2008 (Studi Kasus pada PT. Pelnas Laut Seraya)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Serta Melengkapi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru OLEH SRI SUHARYATI Nim. 10973008138
PROGRAM S.1 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2013
ABSTRAK ANALISIS PELAKSANAAN AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT. PELNAS LAUT SERAYA PUSAT SELATPANJANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 36 Tahun 2008 (Studi Kasus pada PT. Pelnas Laut Seraya) OLEH : SRI SUHARYATI 10973008138 PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang Merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pelayaran dan penyewaan kapal kepada pihak lain, terutama kapal pegangkut barang dan jasa. Dalam penyusunan lapoan keuangan yang dilakukan perusahaan berdasarkan laporan keuangan komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Pelaksanaan Akuntansi Pajak Penghasian Badan pada Pt. Pelnas Laut Seraya telah menerapkan pajak yang sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008. Jenis Data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dalam bentuk jadi seperti Neraca, Laporan Laba Rugi, Daftar Penyusutan, Aktiva Tetap, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) serta struktur organisasi yang didapatkan dari bagian administrasi. Data tersebut di analisa dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil dari penelitian yang penulis dapatkan dari PT. Pelnas Laut Seraya membebankan Biaya-Biaya yang tidak diperkenankan dalam Undang-undang Perpajakan sebagai pengurang penghasilan perusahaan seperti : Biaya THR, Biaya Sumbangan, Premi Asuransi, Biaya Denda, sebagai pengurang penghasilan. Untuk itu penulis menyarankan perusahaan mengetahui tentang peraturan perpajakan yang berlaku yaitu Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Kata kunci : Pajak Penghasilan, Biaya THR, Sumbangan, Premi Asuransi, dan Denda.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis membuat skripsi dengan judul “Analisis Pelaksanaan Akuntansi Pajak Penghasilan Badan pada PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008”.
Adapun skripsi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian comprehensive guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Jurusan Akuntansi Konsentrasi perpajakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Demi tercapainya kesempurnaan skripsi ini, dengan segenap kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun. Dalam menyelesaikan skripsi ini Penulis mendapatkan banyak bimbingan, pengetahuan serta motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam skripsi ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Nazir, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
ii
2. Bapak Dr. Mahendra Romus, SP, M. Ec. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, dan selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, ilmu serta waktu yang diluangkan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semoga bapak selalu diberi kesehatan dan mendapat pahala atas ilmu yang telah diajarkan. serta Pembantu Dekan I, II dan III fakultas ekonomi dan ilmu sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau . 3. Bapak Dony Martias, SE, MM. selaku Ketua Jurusan Akuntansi dan sebagai Dosen Penasehat Akademis selama penulis kuliah di Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. 4. Bapak Khairil Henry, SE, M.Si, Ak. yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, ilmu serta waktu yang diluangkan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN SUSKA Riau yang telah memberikan ilmu, pengetahuan, wawasan dan pola fikir yang bermanfaat bagi penulis menuntut ilmu pada almamater ini. 6. Seluruh Karyawan/i Tata Usaha Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. 7. Pimpinan serta staf dan seluruh karyawan PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selat panjang Kabupaten Kepulauan Meranti yang telah memberikan informasi dan data kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. 8. Yang teramat kucintai, dalam do’a penuh air mata untuk yang kusayangi dan kuhormati ayahnda ( Abu Hasan) dan ibunda (Rosmi), yang susah payah tanpa mengenal lelah, pamrih dan patah semangat, mengajarkan mendidik dan membimbingku, dan memberikan do’a restu. Sehingga Penulis termotivasi
iii
untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Betapa besarnya syukurku mempunyai orang tua seperti ayah dan ibu, baktiku tak akan hilang. Terimakasih untuk segala pengorbanan dan nasehat yang diberikan. 9. Dedikasi buat saudaraku tersayang Asmidar, Zuryati, Abdul Rahmat, Ibrahim, Taufik, Nurhayati, Risma Indriyani , Hamidah, Putri Manja Sari, terima kasih atas kasih sayang dan cinta yang begitu tulus serta pengertian dan motivasinya semoga menjadi anak yang berguna, mudah rezekinya dan sehat selalu memperoleh kebahagian, amin Ya Allahumma Amin. 10. Terima kasih juga buat keponakanku Uu’n, keti, Kandi, Yayan, Harsan, Angga, Nayla, Hafiz, Rifal, Andika, Alif yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Terima kasih juga buat saudaraku Bapak Drs,H,Lukman Mukhtar beserta Istrinya Ibu Arni, dan kak Elviza fithri,SP, Bambang Irhas,SE, Faiza Hayati,S,Psi, Rudi Ade Hendriko,SE, Farhan Muttaqien,A,Mk, Sri Dewi Umiyati,A,Md, dan Nada Adila yang selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Terima kasih juga buat temanku Eli Desmi,A.Md, Arini Wati,SE, Riyadah, Zakiah, Sunita, kak Ana, kak Ina, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 13. Terima kasih buat Muhammad Faisal Harahap,ST, yang telah banyak memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Terima kasih buat Teman Seperjuangan Ellen Silvia Priyanti, Weni Fitriona, Debie Sukma, Rahmadona Sanjaya, Karno Suntoro, Fitri Sakinah, Siti Nurhazima dan seluruh angkatan Akuntansi E dan Konsentrasi Pajak 09.
iv
Setiap keringat dan air mata yang ku teteskan tak akan pernah menjadi siasia jika aku bangkit dan memberi bukti. Akhirnya kepada Allah saya mohon ampun dan memanjatkan doa semoga diberi limpahan rezeki. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan laporan Skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Saran beserta kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan Skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan pembaca sekalian. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pekanbaru, April 2013 Penulis
Sri Suharyati 10973008138
v
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAKSI. .................................................................................................
i
KATA PENGANTAR....................................................................................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
6
1.4 Kegunaan Penelitian ..............................................................
6
1.5 Metode Penelitian ..................................................................
7
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Akuntansi ..........................................................
10
2.2 Pengertian Akuntansi .............................................................
14
2.3 Perpajakan ..............................................................................
15
2.3.1 Pengertian Pajak ............................................................
15
2.4 Pajak Penghasilan ..................................................................
17
2.4.1Tujuan Laporan Keuangan Menurut Pajak ....................
19
2.5 Subjek Pajak Penghasilan .......................................................
22
2.6 Objek Pajak Penghasilan ........................................................
27
2.7 Wajib Pajak Badan .................................................................
34
2.7.1 Pengertian Badan dan Wajib Pajak Badan ..................
34
2.7.2 Pajak Penghasilan Badan ............................................
35
2.7.3 Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan.......
36
2.7.4 Pembukuan ..................................................................
37
2.7.5 Kewajiban Melakukan Pemotongan dan Pemungutan
38
vi
2.7.6 Hak Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan .................
43
2.7.7 Saat Terutang,Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan .
43
2.8
Perhitungan Laba Menurut Standar Akuntansi Keuangan ....
45
2.9
Perhitungan Laba Menurut Undang-undang Perpajakan.......
47
2.9.1 Biaya-biaya yang diperkenankan Sebagai Pengurang Penghasilan Bruto ...................................
48
2.9.2 Pengeluaran-pengeluaran yang Tidak Boleh Dibebankan
BAB III
BAB IV
Sebagai biaya ............................................................
56
2.10 Pajak Penghasilan Final ........................................................
62
2.11 Tarif Pajak..............................................................................
63
2.12 Perbedaan Laba Akuntansi dengan Penghasilan Kena Pajak
64
2.13 Akuntansi Pajak Penghasilan ................................................
68
2.14 Pajak Dalam Perspektif Islam ..............................................
71
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 3.1 Sejarah Singkat Perusahaan ...................................................
73
3.2 Aktivitas Perusahaan ..............................................................
74
3.3 Struktur Organisasi Perusahaan .............................................
75
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Subjek Pajak............................................................................
80
4.2 Objek Pajak ............................................................................
80
4.3 Pelaksanaan Akuntansi Berdasarkan Undang-Undang
BAB V
Perpajakan ...............................................................................
81
4.4 Beban (pengurang Penghasilan Bruto) ..................................
83
4.5 Pembukuan dan Pencatatan.....................................................
84
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .............................................................................
86
5.2 Saran........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung dari masyarakat, guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Secara teoritis pajak mempunyai dua fungsi pokok yaitu sebagai sumber penerimaan negara (budgetary function) dan sebagai alat mengatur dan mengontrol kegiatan sektor swasta dalam suatu perekonomian. Dunia usaha adalah salah satu roda pembangunan yang menentukan secara langsung arah pembangunan yang sedang berjalan, karena itu perlu diciptakan suasana yang kondusif bagi dunia usaha untuk tumbuh dengan pesat. Hal ini menyababkan penerimaan negara lewat pajak untuk semakin meningkat, asal perkembangan tersebut disertai sikap mental yang jujur, tertib dan tapat waktu dalam memenuhi kewajiban pajaknya dan yang tidak kalah penting sikap mental aparat pemerintah sebagai pemungut pajak atau yang dikenal sebagai fiskus, sehingga kalangan dunia usaha semakin bergairah dalam menjalankan usahanya. Pemungut pajak merupakan pemasukan dana yang pontensial bagi negara. Oleh karena itu, dituntut kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah terhadap wajib pajak pada hakikatnya merupakan perwujudan pengabdian dan peran wajib
1
2
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah berulang kali mengadakan perubahan, penambahan, dan penyesuaian atas perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yang pada akhirnya bertujuan untuk menguggah kesadaran para wajib pajak untuk membayar pajaknya dengan benar. Tetapi masalahnya, pajak sering dianggap sebagai beban yang memberatkan yang harus dibayar, sehingga tidak jarang wajib pajak berusaha untuk memperkecil pajaknya dengan merekayasa pembukuannya. Jadi dapat dibayangkan betapa besarnya penerimaan negara yang diselundupkan jika semua wajib pajak di Indonesia berlaku demikian. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan pemeriksaan pajak terhadap semua wajib pajak, untuk memastikan kebenaran jumlah pajak terutang. Pemerintah merasa perlu untuk menciptakan sistem perpajakannya yang sederhana dan mudah mengerti oleh setiap wajib pajak maupun pemungut pajak, dengan tujuan untuk memudahkan para wajib pajak dalam membayar pajaknya. Sistem pembayaran pajak yang berlaku saat ini adalah self assessment sistem dimana sistem ini mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besar pajak terutangnya. Dari pengertian ini jelas, bahwa penekanannya adalah wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa adanya campur tangan dari fiskus. Konsekuensi dari dijalankannya sistem ini adalah bahwa masyarakat harus benar-benar memahami tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajaknya, seperti kapan harus membayar pajak,
3
bagaimana menghitung besar pajak, kepada siapa pajak dibayarkan dan sanksi apa yang akan diterima bila melanggar ketetapan-ketetapan perpajakan. Salah satu sistem perpajakan tersebut berhasil adalah dengan adanya kemampuan masyarakat untuk dapat menghitung pajaknya sendiri. Adapun alat yang digunakan dalam perhitungan pajak adalah akuntansi. Akuntansi dirancang sedemikian rupa agar transaksi yang tercatat diolah menjadi informasi yang berguna. Akuntansi merupakan urut-urutan tahapan, dan salah satu tahapannya adalah menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku sehingga untuk menetapkan jumlah laba kena pajaknya perlu diadakan penyesuaian karena adanya perbedaan antara laba fiskal dan laba komersial. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalam pengakuan penghasilan dan biaya. Besarnya Pajak Penghasilan dapat dihitung berdasarkan laba menurut akuntansi atau laba kena pajak dengan tarif sebagaimana diterapkan fiskal. Dalam perhitungan laba rugi, jumlah pajak penghasilan akan dapat berbeda antara laba menurut akuntansi komersial dan laba menurut pajak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan yang bersifat sementara, maupun bersifat tetap. Maka akan dilakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal. Kewajiban pajak yang dibebankan kepada wajib pajak didasarkan atas besar penghasilan yang diperoleh pada suatu periode berjalan sesuai dengan undang-undang.
4
PT. Pelnas Laut Seraya merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa angkutan laut dan keagenan. Didalam laporan keuangan yang disusun oleh PT. Pelnas Laut Seraya terdapat beberapa komponen biaya yang menurut undang-undang perpajakan tidak boleh diakui sebagai pengurang dari penghasilan bruto, sehingga akan menyebabkan perbedaan besarnya penghasilan sebelum pajak antara laporan komersial dan laporan fiskal. Didalam laporan keuangan yang disusun oleh PT. Pelnas Laut Seraya terdapat kesalahan dalam menghitung laba kena pajak, yaituPada PT. Pelnas Laut Seraya Penulis melakukan pengamatan bahwa didalam akun tunjangan hari raya sebesar Rp 44.136.985,- Perusahaan memberikan sembako dan uang saku kepada 16 orang karyawan kantor senilai @ Rp.2.750.000,- Didalam ketentuan perpajakan pemberikan THR dalam bentuk sembako dan uang saku tidak dapat menjadi
pengurang
penghasilan
bruto,
karena
didalam
Undang-undang
Perpajakan itu disebut sebagai biaya Natura. Hal ini jelas sekali tertulis dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf e. Perusahaan ini memasukkan biaya sumbangan kedalam biaya lain-lain sebesar Rp. 200.000.000,- sebagai pengurang penghasilan. Sumbangan yang dimaksud adalah sumbangan untuk organisasi masyarakat dan politik serta sumbangan untuk lingkungan disekitar perusahaan. Dalam peraturan pajak, sumbangan seperti ini bukanlah objek pajak dan biaya ini seharusnya tidak mengurangi penghasilan kena pajak yang tertulis didalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf g. Sumbangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 14/PMK.03/2005 (bencana alam NAD dan
5
Sumatera Utara) Nomor 94/PMK.03/2006 (bencana alam gempa bumi diYogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah). Selain biaya yang diatas perusahaan juga memasukkan premi asuransi ke dalam akun biaya lain-lain untuk kepentingan pribadi sebesar Rp. 170.000.000,- sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini jelas sekali tertulis di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf d. Di dalam peraturan Undang-undang perpajakan denda tidak boleh dijadikan sebagai pengurang penghasilan. Tetapi penulis menemukan bahwa Perusahaanini memasukkan denda kedalam akun biaya lain-lain sebesar Rp. 25.000.000,- biaya ini tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. Karena menyangkut biaya untuk mendapatkan penghasilan kena pajak yang tertulis didalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1) huruf k. Dari permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti dengan judul “Analisis Pelaksanaan Akuntansi Pajak Penghasilan Badan pada PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka dapat penulis kemukakan perumusan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah Pelaksanaan Akuntansi Pajak Penghasilan Badan pada PT. Pelnas Laut Seraya telah menerapkan pajak yang sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008?
6
2.
Apakah PT. Pelnas Laut Seraya telah menerapkan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008?
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui apakah Pelaksanaan Akuntansi Pajak Penghasilan Badan pada PT. Pelnas Laut Seraya telah menerapkan pajak yang sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008?
2.
Untuk mengetahui apakah PT. Pelnas Laut Seraya telah menerapkan perhitungan pajak terhutang sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008?
1.4 Kegunaan Penelitian 1.
Untuk menambah wawasan penulis tentang bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan
berdasarkan
Undang-undang
Perpajakan
serta
Pajak
Penghasilan pada PT. Pelnas Laut Seraya. 2.
Bagi perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyajikan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.
3.
Sebagai bahan referensi bagi penulis selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana perusahaan dapat menerapkan perhitungan dan penerapan pajak dalam prakteknya.
1.5 Metode Penelitian 1.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada PT. Pelnas Laut Serayayang berlokasi di Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti.
7
2.
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan penulis adalah a. Data Primer Yaitu data yang mengenai cara penyusunan laporan keuangan dan penerapan ketentuan akuntansi pajak yang digunakan oleh perusahaan dan diperoleh dari Kepala Bagian Akuntansi dan Perpajakan. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dalam bentuk jadi atau sudah ada seperti: Neraca, Laporan Laba Rugi, Daftar Penyusutan, Aktiva Tetap, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) serta struktur organisasi.
3.
Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara (interview), yaitu dengan melakukan tanya jawab dengan bagian administrasi keuangan untuk mendapatkan data tentang tata cara perhitungan pajak penghasilan. 2. Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data-data perusahaanperusahaan seperti laporan keuangan (Neraca, Laporan Laba-Rugi), daftar penyusutan aktiva tetap, SPT dan SSP.
4.
Analisis data Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif yang mana semua data telah terkumpul dianalisis dengan menghubungkan antara penerapan akuntansi pajak di perusahaan dengan ketentuan umum
8
perpajakan yang berlaku, yang kemudian ditarik kesimpulan sebagai hasil akhir dari penelitian ini. 1.6 Sistematika Penulisan Agar
lebih
memahami
mengenai
susunan
proposal
ini,
penulis
membaginya dengan uraian pokok dari masing-masing bab sebagai berikut: BAB I
: Merupakan bab pendahuluan yang berisikan atau menguraikan secara
singkat
mengenai
latar
belakang
permasalahan,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
: Dalam bab ini berisikan tentang uraian teoritis yang akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan hal-hal yang menjadi pembahasan penelitian.
BAB III
: Bab ini akan menguraikan tentang hal-hal yang terkait dengan objek penelitian yaitu PT. Pelnas Laut Seraya. Disini akan dibahas mengenai sejarah perusahaan, struktur organisasi serta bidang kegiatan yang berhubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh).
BAB IV
: Pada bab ini merupakan penjelasan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang akan menguraikan mengenai PT. Pelnas Laut
Seraya
sehubungan
dengan
Undang-undang
Pajak
Penghasilan serta penerapannya pada perusahaan tersebut, biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan, kewajiban pajak, dan akuntansi pajak. BAB V
: Berisi kesimpulan penulis terhadap masalah-masalah yang ada dan
saran-saran
perusahaan.
yang
diharapkan
dapat
berguna
bagi
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelaksanaan Akuntansi Penyelenggaraan pembukuan di Indonesia yang merupakan kewajiban bagi suatu perusahaan harus berpedoman pada suatu dasar hukum atau kerangka dasar, yang disebut Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Kerangka dasar ini merumuskan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para pemakai eksternal. Kerangka dasar SAK yang mendasari laporan keuangan antara lain membahas tentang: 1.
Tujuan laporan keuangan,
2.
Karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasidalam laporan keuangan,
3.
Definisi, pengakuan, dan pengukuran unsur-unsur yangmembentuk laporan keuangan, dan
4.
Konsep modal serta pemeliharaan modal. Adapun tujuan penyusunan kerangka dasar adalah dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak berikut ini: a.
Komite penyusunan SAK dalam pelaksanaan tugasnya.
b.
Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalahakuntansi yang belum diatur dalam SAK.
c.
Auditor, dalam
memberikan pendapat
mengenai
apakahlaporan
keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
9
10
d.
Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan SAK. SAK juga merupakan pedoman dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan suatu perusahaan dan unit-unit ekonomi lainnya
Dasar hukum pelaksanaan akuntansi (pembukuan) bagi perusahaan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 6 dan Undang-Undang Perpajakan No. 16 Tahun 2000 Pasal 28. 1.
Pasal 6 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) Ayat (1) Setiap orang yang menyelenggarakan suatu perusahaan diwajibkan membuat catatan-catatan dengan cara demikian sehingga sewaktu-waktu dari catatan itu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya. Ayat (2) Dari tahun ke tahun, dalam waktu enam bulan yang pertama dari tiap-tiap tahunnya ia diwajibkan menandatangani sendiri sebuah neraca yang tersusun sesuai dengan kebutuhan perusahaan itu. Ayat (3) Ia diwajibkan menyimpan selama tiga puluh tahun untuk bukubuku dan dokumen sumber yang bersangkutan. Dan ia pun diharuskan menyimpan surat-surat kawat dan surat-surat lain selama sepuluh tahun.
2.
Pasal 7 KUHD Hakim bebas untuk kepentingan masing-masing akan memberikan kekuatan bukti sedemikian rupa kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana diberikannya.
menurut
pendapatnya
dalam
tiap-tiap
kejadian
harus
11
3.
Pasal 12 KUHD Tiada seorang dapat dipaksa akan memperlihatkan buku-bukunya, melainkan untuk keperluan mereka yang langsung berkepentingan terhadap buku-buku itu sebagai waris, sebagai yang berkepentingan dalam suatu perusahaan, sebagai pesero, sebagai perangkat seorang pengurus atau wakil, dan akhirnya pun dalam hal kepailitan. Peraturan pokok yang mengatur pembukuan tercantum dalam KUHD pasal 6 yang berbunyi: Mewajibkan pada setiap orang yang menjalankan perusahaan untuk mengadakan catatan-catatan mengenai keadaan kekayaan perusahaan dan mengenai semua hal tentang perusahaannya sedemikian rupa sehingga setiap saat dapat diketahui hak dan kewajibannya. Selain itu, kewajiban pelaksanaan pembukuan bagi perusahaan di Indonesia diatur dalam UU Perpajakan No. 16 Tahun 2000 Pasal 28 yang di antaranya mengatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut. a.
Orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung penghasilan kena pajak atau harga perolehan dan penyerahan barang atas jasa guna penghitungan jumlah pajak terutang berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan perpajakan.
b.
Bagi wajib pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari kewajiban untuk mengadakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus
12
menyelenggarakan pencatatan untuk dijadikan dasar pengenaan pajak terutang. c.
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memerhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
d.
Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri atas catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank daftar utang piutang dan daftar persediaan barang dan pada setiap tahun pajak berakhir wajib pajak harus menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi atau laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.
e.
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
f.
Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak harus disimpan selama 10 tahun.
2.2 Pengertian Akuntansi Akuntansi merupakan bahasa bisnis yang memberikan informasi atau mengkomunikasikan kondisi bisnis dan hasil usaha perusahaan pada suatu waktu atau periode tertentu dalam bentuk laporan keuangan.
13
Secara umum akuntansi (Accounting) dapat diartikan sebagai : “sistem informasi yang mengukur aktivitas bisnis memroses data menjadi laporan, dan mengomunikasikan hasilnya kepada pengambil keputusan” (Horngren, 2007). Informasi adalah data yang berguna, diolah sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang tepat, informasi yang telah dihasilkan oleh akuntansi dibutuhkan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk menentukan kinerja perusahaan. Pengertian akuntansi lainnya menurut Accounting Principles Board (APB) Statement No. 4 yang dikutip dalam buku Teori Akuntansi Keuangan (Harahap, 2005: 4-5) yaitu: “Akuntansi adalah suatu kegiatan jasa. Fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam memilih suatu alternatif diantara beberapa alternatif” (Harahap, 2005 : 4-5). Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan didalam perusahaan, organisasi dan lembaga pemerintah. Akuntansi adalah seni dalam mengukur, berkomunkasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan. Inti
dari
pengertian
akuntansi
berdasarkan
tujuannya
adalah
memungkinkan penyediaan informasi yang bersifat financial kepada siapa memerlukan, untuk mencapai tujuan tersebut, maka akuntansi memerlukan teknik, antara lain teknik pencatatan, teknik pengawasan, teknik laporan keuangan, teknik
14
pemeriksaan hasil pencatatan dan sebagainya. Sehingga data yang disajikan sebagai bahan informasi merupakan data yang dapat dipertanggungjawabkan. 2.3 Perpajakan 2.3.1 Pengertian Pajak Dalam suatu negara pastilah terdapat pemerintahan yang berperan mengatur seluruh kepentingan masyarakat, dalam menjalankan roda pemerintahan diperlukan biaya yang jumlahnya sangat besar untuk memperlancar jalannya pemerintah, yang salah satunya bersumber dari pajak. Terdapat banyak definisi atau batasan pajak yang dikemukakan oleh para pakar, yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Ada beberapa pengertian tentang pajak menurut para ahli dimana memberikan definisi yang berbeda-beda. Pajak menurut P.J.A Andriani seperti yang dimuat dalam buku Manajemen Perpajakan oleh Muhammad Zain (2008: 15) : “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksa) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang lansung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Pajak menurut Rochmat Soemitro seperti yang dimuat dalam buku Hukum Pajak oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004:5). “Pajak adalah iuran iuran rakyat kepada kas negara bedasarkan undangundang (yang dapat dipaksa) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi),
15
yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Rochmat Soemitro mengatakan bahwa pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang bisa langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum atau seperti halnya distribusi (Wirawan B.Ilyas 2004:5) Menurut Andriani dalam Bohari, (2006:23) pajak adalah iuran pada Negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang digunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah. Menurut Soemaham Idjaja, pajak ialah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. (Purwono, 2010:6) Dari pengertian-pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah: 1.
Iuran masyarakat kepada negara, dimana swasta atau pihak lain tidak boleh memungut.
2.
Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksa) dimana mempunyai kekuatan hukum.
3.
Tanpa batas jasa (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk.
4.
Untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
16
2.4 Pajak Penghasilan Menurut UU PPh Pasal 4 Ayat 1 No. 36 Tahun 2008, yang dimaksud dengan penghasilan adalah : Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima statu diperoleh wajib pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pajak Penghasilan ialah :“Suatu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak ( Resmi, Siti, 2008). Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. ( Mardiasmo,2009:129). Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak (orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. Ketentuan material mengenai Pajak Penghasilan (PPh) sebagian besar dimuat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Dengan disahkannya Undang-undang No. 36 Tahun 2008, maka untuk melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan mulai 01 Januari 2009 ada beberapa Undang-undang yaitu :
17
a.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
b.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991
c.
Undang-undang Nomorr 10 Tahun 1994
d.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
e.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Sedangkan ketentuan formal mengenai Pajak Penghasilan dimuat dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagai yang telah beberapa kali diubah yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 memberikan definisi Pajak Penghasilan. Pengertian Pajak Penghasilan sebagaimana yang dimuat dalam Pasal (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. 2.4.1 Tujuan Laporan Keuangan Menurut Pajak 2.4.1.1 Tujuan Penyusunan atau Pembuatan Laporan Keuangan Adalah: Menyediakan informasi posisi keuangan, kinerja keuangan, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi oleh siapapun yang tidak dalam posisi meminta laporan keuangan khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi tertentu. Dalam memenuhi tujuannya, laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh manajemen (stewardship) atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.
18
2.4.1.2 Adapun Tujuan dari Laporan Keuangan Pajak adalah : 1.
Memberikan informasi-informasi yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PPh) dan Dasar Pengenaan Pajak (PPN)
2.
Membantu wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang
3.
Mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan sistem self assessment, terutama apabila sedang terjadi pemeriksaan atau penyidikan pajak.
2.4.1.3 Ciri Kualitatif Laporan Keuangan Pajak : 1.
Dapat dipahami oleh petugas/pemeriksa pajak.
2.
Sensitivitas informasi, bukan materialitas.
3.
Laporan Keuangan Fiskal disajikan secara jujur, dengan itikad baik, substansi penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, substansi beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) adalah beban untuk mendapatkan, menagih, dan menerima penghasilan yang merupakan obyek pajak yang dihitung dari penghasilan neto.
4.
Dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya, terutama untuk kompensasi kerugian, utang-piutang antar periode, dan perbandingan pengakuan laba atau rugi yang menuntut konsistensi kebijakan akuntansi pajak. Perubahan kebijakan akuntansi pajak dimungkinkan dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak dengan mengajukan permohonan dilengkapi alasan.
19
5.
Laporan keuangan fiskal harus tepat waktu, paling lambat akhir bulan keempat setelah berakhirnya tahun buku.
6.
Akuntansi Pajak harus independen terhadap akuntansi komersial.
7.
Apabila akuntansi komersial tidak mampu menerbitkan laporan keuangan tepat waktu, akuntansi pajak harus mampu menerbitkan laporan keuangan fiskal sendiri. Koreksi fiskal merupakan salah satu cara praktis dalam penyusunan laporan keuangan fiskal.
2.4.1.4 Pendekatan dalam Menyusun Laporan Keuangan Fiskal Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi.Pada pendekatan ini, wajib pajak harus menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Dengan demikian, setidaknya ada 2 (dua) laporan yang disusun oleh wajib pajak, yaitu: 1.
Laporan keuangan komersial
2.
Laporan keuangan fiskal Ketentuan pajak merupakan standar
yang terpisah dari
praktek
akuntansi.Pada pendekatan kedua, wajib pajak bebas menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi. Untuk kepentingan pajak, wajib pajak menyusun sebuah laporan keuangan fiskal melalui proses penyesuaian dan rekonsiliasi antara praktek akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi. Pada pendekatan terakhir, laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi. Namun, preferensi diberikan kepada ketentuan pajak apabila terdapat pengaturan yang tidak sejalan dengan standar akuntansi.
20
2.4.1.5 Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal Pajak tidak mengatur secara khusus mengenai cara atau alur dalam menyusun sebuah laporan keuangan. Oleh karena itu, wajib pajak dapat mengikuti alur penyusunan laporan keuangan yang terdapat dalam akuntansi komersial. Laporan keuangan dimulai dari pencatatan dokumen-dokumen dasar yang terjadi dalam sebuah transaksi ke dalam buku harian atau jurnal harian. Kemudian, jurnal harian tersebut dimasukkan (posting) ke dalam buku besar. Pada akhir periode, dari buku besar disusun neraca saldo sebelum penyesuaian. Dengan penyesuaian terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi pada akhir tahun dan catatan penutup (closing entries), disusunlah sebuah neraca saldo setelah penyesuaian. Dari neraca saldo setelah penyesuaian tersebut, diperoleh sebuah laporan keuangan komersial. Untuk kepentingan pajak, laporan keuangan komersial disesuaikan dengan ketentuan pajak yang berlaku sehingga diperoleh sebuah laporan keuangan fiskal. Penyesuaian laporan keuangan komersial dengan ketentuan pajak lebih dikenal dengan sebutan rekonsiliasi fiskal. 2.5 Subjek Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2008 subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau
21
memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika subjek pajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka disebut wajib pajak. Penggolongan subjek pajak menurut Undang-undang Tahun 2008 Berdasarkan Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dandi antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: (1)
Yang menjadi subjek pajak adalah: a.
1. Orang pribadi; 2.Warisan
yang
belum
terbagi
sebagai
satu
kesatuan
menggantikan yang berhak; b.
Badan; dan
c.
Bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3)
Subjek pajak dalam negeri adalah: a.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
22
b.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1.
Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
2.
Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3.
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
(4)
Subjek pajak luar negeri adalah: a.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
23
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (5)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a.
Tempat kedudukan manajemen;
b.
Cabang perusahaan;
c.
Kantor perwakilan;
d.
Gedung kantor;
e.
Pabrik;
f.
Bengkel;
g.
Gudang;
h.
Ruang untuk promosi dan penjualan;
i.
Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.
Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k.
Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l.
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
24
m. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n.
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o.
Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh
penyelenggara
transaksi
elektronik
untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet. (6)
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2)
sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: (1)
Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2adalah: a.
Kantor perwakilan negara asing;
b.
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar
25
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c.
Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1.
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; Dan
2.
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d.
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2)
Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2.6 Objek Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk : (pasal 4 ayat 1).
26
a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c.
Laba usaha;
d.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1.
Keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan,dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2.
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
3.
Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran,pemecahan atau pengambilalihan usaha; 4.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pihak yang bersangkutan;
27
5.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
28
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. Surplus Bank Indonesia. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final ( pasal 4 ayat 2) : a.
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
Penghasilan berupa hadiah undian;
c.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e.
Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Yang dikecualikan dari objek pajak ( pasal 4 ayat 3)adalah: a.
1. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
29
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b.
Warisan;
c.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf b sebagaipengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
f.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2.
Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
30
disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; g.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
j.
Dihapus;
k.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1.
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau
yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. l.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
31
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan n.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Adapun jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak
Penghasilan menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dapat dikelompokkan menjadi : a.
Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti: gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaries, akuntan, pengacara dan sebagainya.
b.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan
c.
Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalti, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan dan sebagainya.
d.
Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan diatas, seperti : a) Keuntungan karena pembebasan hutang
32
b) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing c) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva d) Hadiah undian. (Azhari S, 2006 : 44) 2.7 Wajib Pajak Badan 2.7.1 Pengertian Badan dan Wajib Pajak Badan Menurut UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan (subjek pajak) yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotongan pajak tertentu. (Djoko Muljono, 2010:9) Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
33
Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, setiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam Undang-Undang. 2.7.2 Pajak Penghasilan Badan Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP. Adapun subjek dari PPh Badan yaitu : a.
Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
b.
Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia. Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
34
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2.7.3 Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan : 1.
Kewajiban mendaftarkan diri Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP. Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP,Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atau ayat (2). 2.
Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan. Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
35
2.7.4 Pembukuan Menurut UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa Neraca dan laporan Laba Rugi untuk periode tahun pajak tersebut. Maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi atau laba pada saat tahun pajak berakhir. (Billy, 2010:172) Ketentuan
mengenai
Pembukuan.
Pembukuan
tersebut
harus
diselenggarakan dengan: a.
Memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b.
Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan,
c.
Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
d.
Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
36
Prinsip Taat Asas : Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi 2.7.5 Kewajiban Melakukan Pemotongan dan Pemungutan Diantaranya yaitu : 1.
Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
2.
Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
3.
Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum
bisa diuraikan sebagai berikut: a.
PPh Pasal 21/Pasal 26 Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh. Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang
37
termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty. Kewajiban PPh Pasal 21 atau Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi: a) SPT Masa PPh Pasal 21 atau 26 pada setiap Masa Pajak. Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa pajak.PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. b) SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak. Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
38
c) PPh Pasal 23 Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh. d) PPh Pasal 26 Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh. Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya; 1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
39
2) Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26. e) PPh Final Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah.Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut. f)
PPh Pasal 25 Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya. g) PPh Pasal 29 Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.
40
h) PPN Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku. 4.
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5.
Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6.
Kewajiban membuat faktur pajak
7.
Kewajiban melunasi bea materai
8.
Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
2.7.6 Hak Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu : a.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
b.
Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
c.
Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
d.
Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
e.
Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
f.
Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
g.
Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan pajak oleh DJP.
41
h.
Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
i.
Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya fiskal.
2.7.7 Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan Saat terutang dari pajak penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak). Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau Bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima
42
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak yang terutang (PPh pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir. 2.8 Perhitungan Laba Menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Untuk memudahkan pembaca laporan keuangan agar memperoleh gambaran yang jelas, maka laporan keuangan yang disusun harus diidentifikasi dengan nama perusahaan, jenis laporan, tanggal atau periode waktu tertentu dan juga harus diperhatikan judul, catatan kaki, tanda mata uang dan peraturanperaturan dalam laporan keuangan yang berdasarkan pada prinsip akuntansi yang lazim. Sedangkan laporan keuangan yang lengkap menurut Standar Akuntansi Keuangan terdiri dari komponen-komponen: a.
Neraca
b.
Laporan laba-rugi
c.
Laporan perubahan ekuitas
d.
Laporan arus kas
e.
Catatan atas laporan keuangan (IAI, 2009 : 1.2)
43
Laporan laba rugi merupakan laporan utama untuk melaporkan kinerja dari suatu perusahaan selama periode tertentu. Informasi tentang kinerja suatu perusahaan, terutama tentang profitabilitas, dibutuhkan untuk mengambil keputusan tentang sumber ekonomi yang akan dikelola oleh suatu perusahaan di masa depan. (IAI, 2009 : 25.1) a.
Penghasilan (income) Penghasilan adalah penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
Penghasilan meliputi
pendapatan
(revenue)
dan
keuntungan (gains). Definisi penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (2009 : 23.1) adalah: Kenaikan manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. b.
Beban (expense) Pengertian Beban Menurut Standar Akuntansi Keuangan adalah: Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang menyebabkan penurunan entitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanaman modal. Sedangkan Biaya adalah semua pengurang terhadap penghasilan.
44
c.
Pengakuan Penghasilan dan Beban Pengakuan (recognition) adalah proses secara formal untuk mencatat atau menggabungkan suatu pos didalam perkiraan dan laporan keuangan suatu perusahaan (IAI, 2009). Menurut Standar Akuntansi Keuangan, penghasilan diakui dalam laporan laba rugi kalau kenaikan manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aktiva atau penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Sedangkan beban diakui dalam laporan laba rugi kalau penurunan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan penurunan aktiva atau peningkatan kewajiban yang telah terjadi dan dapat diukur dengan andal.
2.9
Perhitungan Laba Menurut Undang-Undang Perpajakan Sebagaimana telah diketahui bahwa ada wajib pajak yang diharuskan
membuat pembukuan. Perhitungan PPh tahunan bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan ini dimulai dengan menghitung penghasilan neto untuk mendapatkan dasar pengenaan pajaknya, biasanya disebut penghasilan kena pajak. a.
Biaya Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 6, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dibagi dua golongan yaitu : 1.
Beban atau biaya yang mempunyai manfaat tidak lebih dari satu tahun, misalnya : biaya gaji, biaya administrasi dan biaya bunga.
45
2.
Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, misalnya : pembebanan dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Kemudian pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh wajib pajak
dapat pula dibedakan menjadi : a.
Biaya yang boleh diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan bruto (deductible expenses).
b.
Biaya yang tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan bruto (non deductible expenses).
Untuk kepentingan penghitungan pajak, biaya yang diperkenankan sebagai pengurangan penghasilan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).Dalam Pasal 6 UU PPh diatur mengenai biaya yang berkenaan sebagai pengurangan penghasilan bruto atau biaya fiskal diatur dalam Pasal 9 UU PPh. 2.9.1 Biaya-biaya yang Diperkenankan Sebagai Pengurang Penghasilan Bruto Untuk kepentingan perhitungan pajak, biaya yang diperkenankan sebagai pengurangan penghasilan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Dalam Pasal 6 UU PPh diatur mengenai biaya yang berkenaan sebagai pengurangan penghasilan bruto atau biaya fiskal diatur dalam Pasal 9 UU PPh. Adapun
biaya-biaya
yang
diperkenankan
sebagai
pengurangan
penghaasilan bruto sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 UU PPh tersebut antara lain:
46
1.
Biaya-biaya 3M (Mendapat, Menagih dan Memelihara penghasilan) Biaya-biaya 3M meliputi biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan Pajak Penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
2.
Biaya Penyusutan dan Amortisasi Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU PPh boleh dibebankan sebagai biaya.
3.
Iuran Kepada Dana Pensiun Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
47
4.
Kerugian Karena Penjualan atau Pengalihan Harta Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan (aktiva tetap) atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
5.
Biaya Penelitian dan Pembangunan Perusahaan yang Dilakukan di Indonesia Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya.
6.
Biaya Beasiswa, Magang dan Pelatihan Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
7.
Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir dengan syarat: a.
Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
b.
Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya
48
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang uang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. c.
Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
d.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak.
8.
Biaya
yang
pembebanannya
berkaitan
dengan
berkaitan
kepemilikan
dengan
perawatan
aktiva
tertentu
maupun
yang
penyusutan
diperlakukan secara khusus, antara lain kepemilikan: a.
Biaya Telepon Seluler Biaya yang berkaitan dengan telepon seluler diatur dalam keputusan Dirjen Pajak Nomor 220 Tahun 2002 tentang perlakuan pajak penghasilan atas biaya pemakaian telepon seluler yang mengatur hal-hal sebagai berikut : Pasal 1 ayat (1) yaitu: Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I sebagaimana dimaksud
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
520/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03.2002. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) yaitu: Atas biaya yang berkaitan dengan biaya berlangganan atau pengisian pulsa dan perbaikan telepon
49
seluler yang dimiliki dan dipergunakan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah tahun pajak yang bersangkutan. b.
Biaya Kendaraan Bus, Minibus atau yang Sejenisnya Biaya yang berkaitan dengan kendaraan bus, minibus atau yang sejenisnya diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 220 Tahun 2002.
c.
Biaya Kendaraan Sedan atau yang Sejenisnya Biaya yang berkaitan dengan kendaraan sedan atau yang sejenis diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 220 Tahun 2002.
9.
Biaya “Entertainment” dan Sejenisnya Biaya entertainment dan sejenisnya sering juga disebut dengan biaya representasi, namun jamuan dan sejenisnya untuk mendpatkan, menagih dan memelihara penghasilan.Biaya sebagaimana dimaksudkan tersebut pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU PPh. Pembebanan biaya-biaya tersebut sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 27 Tahun 1986 dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar-benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materil). Syarat-syarat formal yang harus dipenuhi terhadap biaya-biaya tersebut dapat
dikurangkan
dari
penghasilan
brutonya,
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan.
Wajib
Pajak
harus
50
10. Biaya Natura dan Kenikmatan Tertentu Pengeluaran-pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Adapun penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto atau dibebankan sebagai biaya oleh pemberi kerja tetapi bukan merupakan imbalan bagi karyawan, antara lain: a.
Penyediaan makanan atau minuman secara bersama-sama bagi seluruh pegawai di tempat kerja.
b.
Merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti: a)
Pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja.
b)
Pakaian seragam petugas keamanan (satpam).
c)
Antar jemput karyawan.
c.
Penginapan untuk anak kapal dan sejenisnya.
d.
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
11. Biaya Natura dan Kenikmatan Daerah Tetentu Biaya natura dan kenikmatan daerah tertentu dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tetapi bukan merupakan penghasilan bagi karyawan diatur
51
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000, daerah tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut adalah daerah terpencil. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut adalah sepanjang tidak tersedia di daerah tersebut, sehingga pemberian kerja harus menyediakan sendiri adalah sarana dan prasarana serta fasilitas di lokasi kerja. 12. Biaya Sumbangan yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Biaya sumbangan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto antara lain: a.
Biaya dalam rangka Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA)
b.
Bantuan kemanusiaan di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.
2.9.2 Pengeluaran-pengeluaran yang Tidak Boleh Dibebankan Sebagai Biaya Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menetapkan biaya atau pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut: a.
Pembagian laba Yang terdapat didalam pasal 9 ayat 1 huruf a yaitu “Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi”, pembagian laba tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian
52
laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan. b.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali : 1.
Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
2.
Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3.
Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan.
4.
Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
5.
Cadangan biaya penanaman kembali untuk sebuah sawah, kehutanan, dan
6.
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
d.
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e.
Penggantian dan imbalan dalam bentuk natura Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya pemberian dalam bentuk beras, gula, tepung, mentega dan lain-lain serta fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma tidak boleh dibebankan
53
sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.Pasal 9 ayat (1) huruf e yaitu : “Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan”, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
h.
Pajak penghasilan.
i.
Biaya untuk kepentingan pribadi Pasal 9 ayat (1) huruf i yaitu : “Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya”.
54
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
l.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Adapun pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut: a) Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham b) Pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam c) Pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. n.
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final (PP138 Tahun 2008).
o.
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU PPh.
p.
Pajak Penghasilan yang ditangguhkan oleh pemberi penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang PPh tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak.
55
q.
Kerugian dari harta atau hutang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
r.
Bunga pinjaman untuk membeli saham Bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak.Bunga pinjaman yang tidak boleh dibayarkan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambahan harga perolehan saham.
s.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, namun untuk jenisjenis usaha tertentu yang secara ekonomi memang diberikan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi diikemudian dapat melakukan pembentukan dana cadangan.
t.
Premi asuransi Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal ini sejalan dengan orang pribadi tersebut pada saat menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut merupakan objek pajak. Sedangkan premi asuransi yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah premi asuransi yang dibayarkan atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan
56
sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak. u.
Harta yang dihibahkan Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU PPh tidak boleh dijadikan pengurang penghasil bruto, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri pemeluk agama islam kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyatanyata dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengolahan zakat. (Azhari S, 2008 : 48-63) Pasal 9 ayat (2) yaitu: “pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai massa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 atau pasal 11A”.
2.10 Pajak Penghasilan Final Pajak penghasilan final adalah pajak penghasilan yang telah dilunasi, kewajiban pajak yang telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak boleh digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final.
57
Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan transaksi atau usaha tertentu sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Pajak penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan yang terutang. Berikut ini dikemukan beberapa contoh penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final. Tabel II.I Daftar Penghasilan dikenakan PPh Final No 1. 2.
Jenis Penghasilan Bunga deposito, tabungan Bunga dan premium SWAP/Forwad Bunga diterima anggota koperasi Transaksi saham serta sekuritas lainnya dibursa efek antara lain saham diterima orang pribadi atau badan Saham diterima pendiri
Tarif 20% 20%
Bunga obligasi dengan kupon, diskonto obligasi dengan kupon Diskonto obligasi tanpa bunga Pengalihan tanah atau bangunan
11.
Sewa tanah dan atau bangunan Jasa konsultan manajemen Jasa maklon internasional
12. 13.
Penerbangan luar negeri Pelayaran dalam negeri
2.64% 1.2 %
14.
Konstruksi pengusaha kecil, pengadaan s/d 1 milyar BBM jenis premix, suoer TT dan gas oleh penyalur agen pertamina
2%
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10.
15.
Dasar Hukum Ps 4 (2) UU PPh Ps 4 (2) UU PPh
15%
Keterangan Bunga Bunga dan premium Bunga
0.1%
Bruto
Ps 4 (2) UU PPh
0.5%
Ps 4 (2) UU PPh
20%
Seluruh saham pendiri Bruto bunga
20%
Selisih lebih
Ps 4 (2) UU PPh
5%
Ps 4 (2) UU PPh
10%
Nilai tertinggi harga jual antara NJOP Sewa bruto
4%
Bruto-PPn
2.1%
Biaya pembuatan bahan baku Bruto Peredaran bruto DPP-PPn
KMK 543/2003KMK 417/1996 KMK 417/1996 KMK 417/1996
Penjualan
KMK 384/2001
0.3%
Ps 4 (2) UU PPh
Ps 4 (2) UU PPh
Ps 4 (2) UU PPh
Ps 4 (2) UU PPh
58
16. 17. 18.
Hasil tembakau Semen Selisih lebih hasil revaluasi
0.15% 0.25% 10%
Harga bandrol DPP-PPn Selisih lebih kompensasi
KMK 401/2001
Sumber : Azhari s, Pajak Penghasilan, 105 2.11 Tarif Pajak Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh, tarif PPh yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No. 36 Tahun 2008) dan tarif lainnya. Sistem penerapan tarif pajak penghasilan sesuai dengan pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua, yaitu wajib pajak orang pribadi dalam negeri, dan wajib pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha tetap. Tabel II.2 : Pengenaan Tarif Pajak Wajib pajak dalam negeri orang pribadi Lapisan penghasilan kena pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,Diatas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 250.000.000.Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000 Diatas Rp 500.000.000,Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
Tarif pajak 5% 15% 25% 30% Tarif pajak 25%
Sumber : Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perpajakan. Dijelaskan Tarif tertinggi 28% dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
59
huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. 2.12 Perbedaan Laba Akuntansi dengan Penghasilan Kena Pajak Laba dalam akuntansi dihitungkan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sedangkan penghasilan kena pajak dihitung menurut UndangUndang Perpajakan dalam satu tahun, laba akuntansi dan laba menurut pajak (penghasilan kena pajak) besarnya pasti berbeda, yang mana perbedaan tersebut disebabkan karena adanya selisih jumlah pendapatan dan biaya-biaya yang digunakan untuk menghitung besarnya laba. Selisih tersebut timbul karena adanya ketidaksesuaian antara peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dalam hal pengakuan penghasilan dan beban-beban tertentu. Perbedaan antara peraturn-peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), maka terdapat ada 2 jumlah pendapatan, yaitu penghasilan kena pajak dan laba akuntansi. Perbedaan antara Sandar Akuntansi Keuangan dan peraturan perpajakan dalam laporan keuangan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok sebagai berikut : 1.
Perbedaan Tetap (permanent Difference) Perbedaan Tetap (permanent Difference) adalah : Perbedaan yang disebabkan adanya perbedaan pengakuan beban dan pendapatan antara pelaporan komersial dan fiskal. Pendapatan dan beban tertentu diakui pada SPT namun tidak diakui pada laporan keuangan atau sebaliknya. Perbedaan ini mengakibatkan laba fiskal berbeda dengan laba komersial. (Purba dan Andreas, 2005:8). Undang-Undang pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 menjelaskan penerimaan dan pengeluaran yang tidak mempengaruhi dan bukan merupakan objek pajak penghasilan badan seperti:
60
a.
Pendapatan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa tertentu yang sudah dikenakan pajak final.
b.
Penggantian imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang ditetapkan lain dalam peraturan menteri keuangan.
c.
Jumlah imbalan yang melalui kewajaran yang dibagikan kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa; seperti pemberian gaji yang terlalu besar, pembayaran bunga atas pinjaman diatas bunga pasar dan sebagainya.
2.
d.
Beban kontribusi social seperti sumbangan dan zakat,
e.
Sanksi perpajakan berupa denda dan bunga,
f.
Beban-beban yang berkaitan dengan jamuan,
g.
Pajak penghasilan,
h.
Dan lain-lain. (Purba dan Andreas 2005:8-9)
Perbedaan Waktu (Temporary Difference) Perbedaan Waktu (Temporary Difference) adalah : Perbedaan yang disebabkan adanya perbedaan waktu dan metode pengakuan penghasilan dan beban tertentu menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan ini mengakibatkan pergeseran pengakuan beban antara satu tahun pajak ke tahaun pajak lainnya. (Purba dan Andreas 2005:9) Dalam hal ini baik menurut akuntansi maupun menurut pajak sama-sama
mengakui bahwa suatu penerimaan merupakan penghasilan, atau suatu pengeluaran merupakan biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan. Yang berbeda adalah menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan suatu penerimaan (seluruh atau sebagian) harus diakui sebagai penghasilan dan suatu pengeluaran (seluruh atau sebagian) harus diakui sebagai biaya yang boleh sebagai
61
pengurangan penghasilan pada suatu tahun pajak. Sedangkan menurut akuntansi suatu penerimaan diakui sebagai penghasilan atau suatu pengeluaran atau suatu pengeluaran harus diakui sebagai biaya pada tahun pajak yang berlainan. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut : a.
Penyisihan piutang ragu-ragu, yang berdasarkan perpajakan akan diakui jika telah nyata-nyata tidak dapat ditagih dan diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Berdasarkan pelaporan komersial, piutang usaha dapat disisihkan berdasarkan analisa umur piutang tersebut.
b.
Sewa guna usaha pembiayaan (Capital Lease), tidak boleh disusutkan oleh si penyewa, sehingga angsuran pokok sewa guna usaha harus diakui sebagai biaya. Pelaporan komersial mengharuskan penyusutan bagi aktiva yang berasal dari sewa guna usaha pembiayaan (Capital Lease).
c.
Penilaian persediaan dapat berbeda antara pelaporan perpajakan dan komersial. Perpajakan hanya mengakui dua metode yaitu metode rata-rata (Average) dan metode masuk pertama keluar pertama (FIFO), sementara dalam pelaporan komersial kita mengenal metode lain seperti masuk terakhir keluar pertama (LIFO), nilai terendah antara harga perolehan dan nilai realisasi bersih dan lain-lain.
d.
Dalam perpajakan penyusutan aktiva tetap baik yang berwujud maupun yang tak berwujud dikenal dengan dua metode penyusutan, yaitu metode garis lurus (Straight Line Methode) dan metode saldo menurun (Decline Balance Methode).
62
Perbedaan waktu ini disebabkan karena : a)
Karena saat terealisasi dan/ atau istilah basis akrual berbeda antara akuntansi dan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b)
Karena
metode
pembebanan
yang
digunakan
seperti
metode
pembebanan biaya penyusutan dan amortisasi. Sedangkan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2009 : 46 :4) 1.
Perbedaan temporer kena pajak (Taxable Temporary Differences) Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak: a. b.
2.
Dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal; atau Pada saat pengakuan awal aset atau kewajiban dari sutau transaksi yang: i. Bukan transaksi penggabungan usaha; dan ii. Pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal.
Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (Deductive Temporary Difference) Aset pajak tangguhan (Defferences Tax Asset) diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan sepanjang besar kemungkinan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangkan laba fiskal pada masa depan. Kecuali aset pajak tangguhan yang timbul dari (IAI, 2009: 46:6) a.
b.
Goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan PSAK No. 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha; atau Pengakuan awal aset atau kewajiban pada suatu transaksi yang: i. Bukan transaksi penggabungan usaha; dan ii. Tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba fiskal.
63
2.13 Akuntansi Pajak Penghasilan Akuntansi pajak ialah akuntansi yang diterapkan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Tujuan akuntansi pajak ialah untuk mempermudah perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, cara penyajian atau pengakuan pajak yang ditangguhkan serta memudahkan pengisisan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan. Adapun akuntansi Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah pencatatan yang dilakukan terhadap angsuran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 25. a.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.
b.
Pajak Penghasilan Pasal 23 Ketentuan dalam Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Adapun pemotongan PPh Pasal 23 terdiri atas : 1.
Badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT atau perwakilan perusahaan negeri lainnya. Pemotongan
64
ini sifatnya otomatis dan tidak ada penunjukan sebagai pemotongan PPh Pasal 23. 2.
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pihak yang wajib membayarkan penghasilan. Penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 adalah : 1.
Dividen
2.
Bunga
3.
Royalti
4.
Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal21
5.
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
6.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
7.
Imbalan ssehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupuan badan.
c.
Pajak Penghasilan Pasal 25 Ketentuan Pasal 25 UU PPh mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Untuk menghitung PPh Pasal 25 adalah besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yeng terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
65
a.
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
b.
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
c.
Dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
2.14 Pajak dalam Persfektif Islam Pajak adalah suatupembayaran yang dilakukan kepada pemerintah yang pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal penyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum. Dalam islam juga dikenal dengan istilah zakat. Zakat adalah sebagian harta dengan persyaratan tertentu yang ALLAH SWT wajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu. Perpajakan yang diterapkan pemerintah melalui Undang-undang wajib ditunaikan oleh kaum muslimin, selama itu untuk kepentingan pembangunandi berbagai bidang dan sektor kehidupan yang ditentukan oleh masyarakat secara lebih luas, seperti sarana prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi, pertanahan dan keamanan, atau bidang-bidang lainnya yang telah ditetapkan bersama. Alasan keharusan kaum muslimin menunaikan kewajiban pajak yang ditetapkan Negara, disamping penunaian kewajiban zakat, antara lain solidaritas social dan tolong menolong antara sesama kaum muslimin dan sesama umat manusia dalam kebaikan dan takwa merupakan kewajiban yang harus di penuhi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daruguthni dari Fatimah Binti
66
Qayis, Rasulullah Saw Bersabda.” Sesungguhnya dalam harta ada kewajiban lain diluar zakat”. Allah Swt berfirman dalam surat At-taubah : 29
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Jizyah adalah pajak perkepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang yang bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan dari meraka. Atas dasar alasan diatas, maka sah-sah saja adanya dua kewajiban bagi kaum muslimin (terutama kaum muslimin di Indonesia), yaitu kewajiban menunaikan zakat dan pajak secara sekaligus. Zakat adalah salah satu Rukun Islam, karena itu status hukumnya adalah wajib, sama dengan Rukun-rukun islam lainnya, sebagaimana Al-Qur’an dan hadits berikut ini :
67
Artinya: Pungutlah zakat dari harta benda mereka, yang akan membersihkan dan mensucikan mereka. (Qs At-taubah : 103). BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
3.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. Pelnas Laut Seraya adalah sebuah perusahaan nasional yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berkedudukan Dikota Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti Kecamatan Tebing Tinggi. PT. Pelnas Laut Seraya didirikan pada tanggal 24 maret 1997 dengan akta No 38 Oleh Notaris Syawal Sutan S.H. dengan nama PT. Sri Laut Jaya, kemudian nama perusahaan diubah menjadi PT Laut Seraya dengan Akta No. 21 Oleh Notaris Johari S.H pada tanggal 26 februari 1998. Anggaran dasar perusahaan telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan akta No.19 Oleh Notaris Iswanu Mahendradi, S.H, pada yanggal 28 juli 2008. Perubahan tersebut telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan keputusan No. AHU-67221. AH.01.02 Tahun 2008 tanggal 22 September 2008. Adapun tujuan dan lapangan usaha perusahaan ini adalah berusaha dalam bidang jasa angkutan laut dan keagenan. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut diatas, perusahaan melaksanakan kegiatan usaha sebagai berikut: 1.
Berusaha dalam bidang jasa angkutan laut dalam dan luar negeri dengan kapal milik maupun carter.
2.
Berusaha dalam bidang jasa keagenan dari berbagai peusahaan pelayaran (angkutan laut).
3.2 Aktivitas Perusahaan
68
PT. Pelnas Laut Seraya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pelayaran
dan
keagenan.
Dimana
dalam
pengoperasiannya
perusahaan
memerlukan pegawai atau karyawan yang memiliki kemampuan dibidang masingmasing agar perusahaan dapat berjalan67 dengan baik dan mendapatkan keuntungan yang besar. Dibidang pelayaran, selain menggunakan kapal sendiri, perusahaan ini juga menyewakan kapal-kapalnya pada pihak lain, terutama kapal pengangkut barang. Sedangkan pada bidang keagenan, perusahaan ini menyediakan jasa yaitu pihakpihak lain bisa mengurus surat-menyuratpemberangkatan kapal keluar negeri. Adapun tata cara penyewaan kapal adalah sebagai berikut: 1.
Pemakai alat/kapal didalam atau diluar negeri dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Sewa kapal dihitung mulai tanggal atau hari tibanya kapal dibawa oleh penyewa.
b.
Biaya membawa alat/kapal pulang pergi ditanggung sepenuhnya oleh penyewa atau pemakai.
2.
Keamanan alat: kondisi kapal ditanggung sepenuhnya oleh pemakai. Uang makan ABK (anak buah kapal), kapten, pihak-pihak yang bersangkutan yang berada didalam kapaldalam waktu penyewaan ditanggung sepenuhnya oleh penyewa sesuai dengan tarif yang disepakati secara bersama.
3.
Besarnya tarif sewa disepakati secara musyawarah baik dari pihak pemberi sewa dan penyewa.
3.3 Struktur Organisasi Perusahaan Setiap perusahaan memerlukan suatu struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai serta operasi yang hendak dijalankan. Struktur
69
organisasi merupakan salah satu fungsi manajemen perusahaan. Dengan adanya struktur organisasi maka dapat diperoleh gambaran mengenai bagian-bagian yang ada dalam perusahaan serta koordinasi antar bagian-bagian tersebut, sehingga aktivitas perusahaan dapat terselenggara dengan baik dan lancar. Agar kerjasama terjalin dengan baik, maka masing-masng individu harus mengetahui dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya diorganisasi tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada struktur organisasi PT. Pelnas Laut Seraya pada gambar III.I. PT. Pelnas Laut Seraya menganut tipe struktur organisasi hirarki (garis) dan staf, dimana antara bagian yang satu dengan yang lain bersifat fungsional dan bertanggung
jawab
kepada
direktur
menurut
kekuasaan.
Sedangkan
penyelenggaraan atau bawahan hubungannya bersifat garis (line). Untuk mengetahui lebih rinci tugas dari struktur organisasi PT. Pelnas Laut Seraya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Direktur Utama Tugas dan tanggung jawabnya: 1) Menetapkan dan memberikan keputusan terakhir secara bijaksana dalam penyelesaian hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan. 2) Bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menyangkut tentang perusahaan. 3) Menandatangani segala sesuatu yang diperlukan berhubungan dengan urusan perusahaan. 4) Memberikan persetujuan terakhir mengenai keluar masuknya dana.
2.
Wakil Direktur Tugas dan tanggung jawabnya:
70
a) Memberikan masukan bagi perusahaan untuk mencapai kemajuan dan tujuan perusahaan. b) Menggantikan
tugas
pokok
dari
direktur
utama
apabila
yang
bersangkutan tidak ada atau berhalangan. c) Mengetahui seluk-beluk pekerjaan diperusahaan dan memonitor agar tatap berjalan dengan lancar. 3.
Kepala Bagian Administrasi dan Keuangan. Tugas dan tanggung jawabnya: a) Membantu kasir dalam penagihn piutang perusahaan. b) Memonitor pekerjaan dari bagian administrasi dan merevisi apabila terdapat kekeliruan. c) Mengaudit setiap pendapatan dan pengeluaran dana dari kasir sebelum dimasukkan ke pembukuan. d) Membuat laporan penerimaan dan pengeluaran kas perbulan kepada pimpinan perusahaan. Dimana bagian administrasi dan keuangan ini terbagi 2 (dua) yaitu: 1) Bagian Administari a) Membuat daftar gaji b) Membuat surat masuk dan surat keluar. c) Membayar pajak perusahaan dan jamsostek d) Menyiapkan arsip atau file e) Bertanggung jawab terhadap perlengkapan kantor. 2) Bagian Keuangan a) Membuat pembukuan b) Menyiapkan masalah tagihan
71
c) Melakukan penagihan atau pengeluaran d) Membuat rincian setoran dan pajak Singapore. 3) Kepala Bagian Operasional dan Perlengkapan Tugas dan tanggung jawabnya: a) Bertanggung jawab terhadap pimpinan akan kelancaran jalannya kapal dan barang (ekspor dan impor). b) Mengatur jalannya bongkar muat barang dan jadwal kapal agar dapat berjalan lancar. c) Ikut terjun kelapangan apabila terdapat hal-hal yang harus ditangani langsung. Dimana bagian operasional tugasnya terdiri dari: a) Membuat dokumen ekspor atau impor b) Membuat manifestasi c) Membayar pajak barang impor ( Bea Masuk PPN, PPH) d) Mengurus kedatangan/keberangkatan kapal: a.
Bea dan Cukai
b.
Syahbandar
c.
Pelabuhan
d.
Karantina Kesehatan
e.
Imigrasi Pendaratan
f.
Mengurus Dokumen-dokumen ekspor-impor.
Sedangkan bagian perlengkapan tugasnya terdiri dari: a.
Menyediakan air dan minyak bagi kebutuhan dikapal
b.
Menyediakan kebutuhan makanan dikapal
72
c.
Menyediakan alat-alat dan perlengkapan lainnya bagi kebutuhan dikapal.
4) Bagian Pemasaran Tugas dan bagian ini adalah : a.
Mencari eksportir dan importer yang dapat menjadi pelanggan perusahaan
b.
Bernegoisasi dan membuat tarif bagi eksportir dan importer yang menjadi pelanggan perusahaan.
Gambar III.I Struktur Organisasi PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang DIREKTUR UTAMA
WAKIL DIREKTUR
BAGIAN ADMINISTRASI KEUANGAN
Bagian Adm
Bagian Keuangan
BAGIAN OPERASIONAL PERLENGKAPAN
Operasional
Sumber : PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang
BAGIAN PEMASARAN
Perlengkapan
73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan inti dari skripsi ini, dimana pada bab ini akan dibahas secara terperinci mengenai hal-hal yang telah dikemukakan di pendahuluan. 4.1 Subjek Pajak PT. Pelnas Laut Seraya merupakan Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 01.102.078.1.219000. PT. Pelnas Laut Seraya terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkalis Kepri terhitung sejak tanggal 26 februari 1998. Adapun kewajiban pajak PT. Pelnas Laut Seraya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar tersebut adalah Kewajiban PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, dan PPh Pasal 29. PT. Pelnas Laut Seraya merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayaran, penyewaan kapal kepada pihak lain, terutama kapal pegangkut barang dan jasa. 4.2 Objek Pajak PT. Pelnas Laut Seraya, merupakan perusahaan yang objek pajaknya berasal dari kegiatan usaha dan pendapatan lain-lain. Dari laporan keuangan PT. Pelnas Laut Seraya dapat diketahuibahwa PT. Pelnas Laut Seraya mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 8.174.396.872,46 yang bersumber dari: 1.
Kegiatan Usaha Pendapatan
Rp. 24.406.469.865,00.-
74
Beban pokok pendapatan
Rp. 11.383.938.758,00.-
Beban penjualan
Rp. 1.362.584.138,00.-
Beban ADM dan Umum
Rp. 3.452.662.078,00.-
Jumlah beban operasi
73
Laba rugi usaha 2.
Rp. (16.199.184.974,00.-) Rp.
8.207.284.891.00,-
Pendapatan Lain-lain Pendapatan jasa
Rp. 13.112.017.09.-
Bagian atas laba
Rp. (2.125.104.00)
Amortisasi laba
Rp. 25.833.333.00.-
Bunga pinjaman bank
Rp. (69.708.264.63)
Jumlah
Rp. (32.888.017.54)
Laba sebelum pajak
Rp. 8.174.396.872.46
4.3 Pelaksanaan Akuntansi Berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Dari akuntansi komersial, seseorang dapat memperoleh suatu konsepsi bahwa tiap organisasi (satuan usaha atau aktivitas) memerlukan informasi tentang keadaan yang sudah terjadi selama suatu periode tertentu. Informasi itu disajikan oleh akuntansi kepada manajemen atau pihak lain sehingga dapat diambil suatu penilaian dan kesimpulan yang terjadi serta keputusan yang dilakukan selanjutnya. Bagaimana informasi itu diramu, dikemas dan disajikan sangat ditentukan oleh praktek dan kelaziman yang berlaku dalam profesi akuntansi serta diselaraskan dengan pembaca dan tujuan pembuatan laporan. Tujuan akuntansi komersial antara lain untuk menyediakan laporan dan informasi keuangan serta informasi yang lain kepada pimpinan perusahaan.
75
Akuntansi perpajakan dapat dirumuskan sebagai bagian dari akuntansi yang menekankan kepada penyusunan surat pemberitahuan pajak (tax return) dan pertimbangan
konsekuensi
perpajakan
terhadap
transaksi
atau
kegiatan
perusahaan. Dimana, akuntansi perpajakan tersebut secara khusus menyajikan laporan keuangan dan informasi lain kepada administrasi pajak. Adapun penyajiannya bertujuan untukmemenuhi kewajiban perpajakan (tax compliance), walaupun secara teknis proses penyajian laporan tidak diatur secara rinci dalam
ketentuan perpajakan, pengukuran dan penilaian atas suatu fakta yang sangat dipengaruhi oleh ketentuan perpajakan. Ketentuan perpajakan merupakan produk lembaga legislatif yang mengikat semua anggota masyarakat (termasuk profesi akuntan). Den gan demikian, apabila terjadi ketidaksesuaian antara ketentuan perpajakan dan praktek atau standar
akuntasi yang berlaku umum, maka Undang-undang Perpajakan mempunyai prioritas untuk dipatuhi atas praktek dan kelaziman akuntansi. Apabila tidak
mematuhi ketentuan itu dapat membawa kerugian material bagi perusahaan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dan hasil wawancara yang diperoleh penulis, maka penulis menarik kesimpulan bahwa pada PT. Pelnas Laut Seraya belum
menerapkan pelaksanaan Akuntansi pajak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku yaitu Undang-Undang No.36 Tahun 2008. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang informasi mengenai pelaksanaan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. Maka dari itu perusahaan menggunakan pedoman akuntansi secara umum atau disebut juga secara komersial 4.4 Beban (Pengurang Penghasilan Bruto)
76
Sesuai mengurangkan
dengan
peraturan
penghasilan
bruto
perpajakan dikurangi
bahwa dengan
wajib
pajak
dapat
biaya-biaya
yang
diperkenankan oleh Undang-undang Perpajakan. Dari laporan keuangan, secara terperinci dapat dilihat bahwa PT. Pelnas Laut Seraya memasukkan biaya-biaya yang tidak diperkenankan menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan yang ditetapkan oleh peraturan perpajakan yang antara lain adalah: 1.
Didalam laporan keuangan yang disusun oleh PT. Pelnas Laut Seraya terdapat kesalahan dalam menghitung laba kena pajak, yaitu: Pada PT. perusahaan Laut Seraya Penulis melakukan pengamatan bahwa di dalam akun tunjangan hari raya sebesar Rp 44.136.985,-Di dalam akun tunjangan hari raya Perusahaan memberikan sembako dan uang saku kepada 16 orang karyawan kantor senilai @ Rp.2.750.000,- Di dalam ketentuan perpajakan pemberikan THR dalam bentuk sembako dan uang saku tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, karena didalam perpajakan itu disebut sebagai biaya Natura. Hal ini jelas sekali tertulis dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf e.
2.
Perusahaan ini memasukkan biaya sumbangan kedalam biaya lain-lain sebesar Rp.200.000.000,- Sumbangan yang dimaksud adalah sumbangan untuk organisasi masyarakat dan politik serta sumbangan untuk lingkungan disekitar perusahaan. Dalam peraturan pajak, sumbangan seperti ini bukanlah objek pajak dan biaya ini seharusnya tidak mengurangi penghasilan kena pajak yang tertulis didalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf g. Sumbangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
77
Indonesia Nomor 14/PMK.03/2005 (bencana alam NAD dan Sumatera Utara) Nomor 94/PMK.03/2006 (bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah). Di dalam akun biaya lain-lain perusahaan ini memasukkan juga biaya premi asuransi untuk kepentingan pribadi sebesar Rp.170.000.000,- dan biaya ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak yang tertulis di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf d. 3.
Perusahaan memasukkan biaya denda ke dalam akun biaya lain-lain atau denda sebesar Rp. 25.000.000,- biaya ini tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. Karena menyangkut biaya untuk mendapatkan penghasilan kena pajak yang tertulis di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1) huruf k.
4.5 Pembukuan dan Pencatatan PT. Pelnas Laut Seraya dalam melakukan sperhitungan Pajak Penghasilan menggunakan pembukuan. Ini berarti PT. Pelnas Laut Seraya telah melakukan pembukuan yang meliputi, proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang dan jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
78
BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian, mengemukakan saransaran sebagai masukkan pada PT. Pelnas Laut Seraya Pusat Selatpanjang. 5.1 Kesimpulan 1.
Dalam perhitungan laba perusahaan, peraturan perpajakan tidak selalu sejalan dengan Undang- undang Perpajakan, peraturan perpajakan mengatur perhitungan laba fiskal untuk menentukan laba kena pajak, sedangkan prinsip akuntansi yang berlaku umum diterapkan untuk menentukan laba akuntansi (komersial).
2.
Dalam penyajian beban pajak dalam perhitungan laba rugi, perusahaan belum malaksanakan sesuai dengan Undang-undang Perpajakan.
3.
Perusahaan memasukkan beberapa komponen biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yaitu diantaranya: 1.
Biaya Tunjangan Hari Raya (THR) Menurut undang-undang Perpajakan No.36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf e. biaya tunjangan hari raya tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
2.
Biaya Sumbangan, dan Premi Asuransi
79
Menurut undang-undang Perpajakan No.36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf g. Biaya ini tidak dapat dibebankan sebagai penghasilan kena pajak. Dan biaya premi asuransi untuk kepentingan pribadi, biaya ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak yang tertulis di dalam Undang-undang No. 78 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf d. 3.
Denda Menurut Undang-undang Perpajakan No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1) huruf k. Biaya ini tidak boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan.
5.2 Saran 1.
Laporan keuangan perusahaan yang disusun oleh perusahaan tidak dapat menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan karena adanya perbedaanperbedaan
dalam
perhitungan
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakcocokan antara laporan keuangan perusahaan yang dibuat berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan laporan keuangan yang disesuaikan dengan Undang-undang Perpajakan. Oleh karena itu perlu adanya rekonsiliasi fiskal terhadap laporan keuangan perusahaan. 2.
Pelaporan keuangan harus dikembalikan pada konsep yang paling mendasar yakni hanya ada satu laporan keuangan untuk semua kepentingan. Dalam kaitannya dengan perpajakan, perusahaan harus menyampaikan SPT yang dilengkapi dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan Undang-undang Perpajakan serta dilampiri dengan perhitungan laba rugi fiskal untuk mengetahui besarnya pajak terhutang.
80
3.
Dengan menyadari pentingnya informasi perpajakan bagi perusahaan dalam melaksanakan peraturan-peraturan perpajakan yang ada, maka perusahaan dituntut untuk mempelajarinya. Karena dengan adanya kesalahan perusahaan dalam menentukan biaya deductible dan non deductible menyebabkan kemungkinan adanya denda atau sanksi atas kesalahan tersebut apabila dilakukan pemeriksaan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak yang dapat merugikan perusahaan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan merekrut tenaga ahli dalam perpajakan atau memberikan pelatihan perpajakan.
4.
Perusahaan harus meningkatkan pemahamanya terhadap peraturan perpajakan, sehingga dapat lebih memahami biaya-biaya yang dapat maupun tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Surat At-Taubahayat 29 Al-Qur’an Surat At-TaubahAyat 103 Ivan, Billy, Tansuria, 2010, Pokok-pokok Ketentuan Umum Perpajakan, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. Bohari, 2006, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi Offset, Yogyakarta. Dirjen Pajak, 2006, Petujuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan 26, CV. Tamita Utama, Yogyakarta. Horngren, T. Charles, 2007. Akuntansi, Jilid 1, Edisi ke 7. Penerbit Erlangga. Ikatan Akuntansi Indonesia, 2009. Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta. Ilyas B, Wirawan & Richard Burton. 2004. Hukum Pajak. Edisi ke 4. Jakarta. Salemba Empat. Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi 2009. Yogyakarta Muljono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak-pajak Penghasilan. KUP, Yogyakarta. Purba, Marisi, dan Andreas. 2005, Akuntansi Pajak Penghasilan. Penerbit Notro Press, Jakarta. Purwono, Herry. 2010, Dasar-dasar Perpajakan dan Akuntansi Pajak, Erlangga, Jakarta. Resmi, Siti. 2008, Perpajakan:Teori dan Kasus, Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta. Syafri, Sofyan, Harahap, 2005. Teori Akuntansi, Edisi Revisi 2011, Rajawali Pers, Jakarta. S, Azhari, 2006. Pengantar Hukum Pajak dan Perpajakan. UNRI PRES. , 2008. Pengantar Hukum Pajak dan Perpajakan. UNRI PRES. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 09/PJ.42/2002.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007. Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. Ditetapkan tanggal 23 September 2008. Zain, Muhammad. 2008. Manajemen Perpajakan, Jakarta : Salemba Empat. Url: Http://Societykamaru.Blogspot.Com/2013/03/Dasar-Hukum-PelaksanaanAkuntansi. Html