PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KOMPARASI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG)
SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM OLEH : KHOIRUL ARI WAFA 09340129 PEMBIMBING : 1. LINDRA DARNELA, S.Ag., M.Hum. 2. BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum
ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013
ABSTRAK Pengembalian aset merupakan isu penting dalam memberantas korupsi dan mengembalikan kerugian keuangan negara. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) karena telah dianggap merugikan hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra-ordinary measures). Hal itu dapat dilihat pada Perangkat perundang-undangan yang memberikan ruang dalam memberantas dan mengembalikan kerugian negara, yaitu: Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang (UU TPPU). Kedua perundang-undangan tersebut mempunyai mekanisme dan hasil yang berbeda dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan mencari dan mengkaji lebih dalam perangkat perundang-undangan dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research) dengan pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu mengkomparasikan kedua undang-undang tersebut untuk mencari perbedaan dan hasil dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara. Hasil penelitian yang didapatkan adalah bahwa kedua perundangundangan tersebut memiliki perbedaan dan manfaat dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi. Perbedaanya adalah pertama, UU PTPK memiliki dua instrumen hukum, yaitu: instrumen pidana dan instrumen perdata, sedangkan UU TPPU hanya memiliki satu instrumen yaitu: instrumen pidana. Kedua, UU PTPK menggunakan konsep mencari serta mengumpulkan bukti untuk tersangka (follow the suspect), sedangkan UU TPPU menggunakan konsep mengikuti aset atau uang dalam mencari tersangka (follow the money). Ketiga, UU PTPK dalam pemberantasan korupsi bersandar pada prinsip praduga tak bersalah (presumtion of innoncene), sedangkan UU TPPU bersandar pada prinsip praduga bersalah (presumtion of guilty). Manfaat dari kedua undang-undang tersebut adalah samasama memberikan peluang untuk merampas aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, UU TPPU lebih memberikan ruang yang luas untuk mengindentifikasi pelaku tindak pidana lanjutan (underlying crime), serta mengembalikan kerugian negara dengan mekanisme yang cepat.
ii
MOTTO
“Jangan sesuatu
pernah yang
mengeluh
membuat
terhadap
anda
tidak
berdaya, Identifikasi ketidakberdayaan itu agar menjadi berdaya”.
vii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya besarku ini kepada: Kedua Orang Tuaku yang selalu mendoakan aku dan memfasilitasi kuliah SI di Uin-Suka Yogyakarta, aku selalu menyayangimu. Ayukku serta adikku yang kucintai. Buat
tulang
rusukku
memberikan inspirasi.
viii
yang
selalu
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Komparasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).”, penyusun guna melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada : 1. Bapak Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 3. Bapak Ach. Tahir, S.H.I., LL.M., M.A selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
ABSTRAK ..................................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
v
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
viii
KATA PENGANTAR ................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang............................................................................. Rumusan Masalah ....................................................................... Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. Telaah Pustaka ............................................................................ Kerangka Teoretik ...................................................................... Metode Penelitian ....................................................................... Sistematika Penulisan .................................................................
1 7 8 9 12 17 19
BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG .................................................
21
A. Tindak Pidana Korupsi ................................................................ 1. Pengertian Tindak Pidana ...................................................... 2. Pengertian Korupsi ................................................................ 3. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia ......................... B. Tindak Pidana Pencucian Uang ................................................... 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang ................................. 2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ............................ 3. Tahap-Tahap Pencucian Uang ............................................... C. Hubungan Antara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi ............................................................................ 1. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Korupsi .... 2. Kejahatan Kerah Putih (White-Collar Crime) ......................... xi
21 21 26 31 37 37 41 45 49 49 52
3. Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) Pencucian Uang .........
56
BAB III KAJIAN TEORETIS PENGEMBALIAN ASET DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG .........................................................................................................
59
A. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana ...................................... 1. Pengertian Aset Tindak Pidana ............................................... 2. Pembagian Jenis Perampasan Aset Tindak Pidana .................. a) Perampasan Aset dengan Mekanisme in Personam ........... b) Perampasan Aset dengan Mekanisme in Rem.................... 3. Pengembalian Aset Hasil Tindakk Pidana Korupsi ................. B. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ................................................................. 1. Menggunakan Mekanisme Pidana .......................................... 2. Menggunakan Mekaniseme Gugatan Perdata.......................... C. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ............................
59 59 63 64 71 81
94 95 101
107
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ................................
119
A. Perbedaan Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU PTPK dan UU TPPU ........................... B. Manfaat Bagi Negara dalam Mengembalikan Kerugian Negara ...
119 135
BAB V PENUTUP ......................................................................................
142
A. Kesimpulan ................................................................................. B. Saran ...........................................................................................
142 144
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
145
LAMPIRAN Curriculum Vitae
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Perbedaan Antara Perampasan Aset Menggunakan Mekanisme in Personam Dengan Perampasan Aset Menggunakan Mekanisme in Rem ........
80
Tabel II. Pasal-Pasal Dalam UU PTPK Yang Menjadi Dasar Dilakukanya Perampasan Aset Atau Sarana Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Jalur Perdata. ................................................................................................
129
Gambar I . Skema Mekanisme Perampasan Aset Berdasarkan 67 Undangundang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ..................................................................................
124
Gambar II. Skema Mekanisme Perampasan Aset Melalui Gugatan Perdata ...
128
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembalian aset hasil korupsi merupakan isu strategis dan dipandang merupakan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini.1 Pentingnya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan,2 yang menjadi prinsip dasar dalam pembangunan. Indonesia Corruption Watch menyatakan, tahun 2012 merupakan tahun awas APBN, aset negara, serta konsesi sumber daya alam Indonesia. Partai politik disinyalir terus melakukan upaya pencarian sumber dana jelang pemilu legislatif
1 Badan Pembinaan Hukum Nasioanl Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hlm. 19. 2
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 12. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai populer dalam the United Nations Conference for Environment and Devolpment (UNCED), yang juga dikenal Earth Summit, pada tahun 1992. Konferensi ini didorong oleh laporan Our Common Future dari the World Commission on Environment and Development (UNCED) tahun 1987 yang juga dikenal dengan sebutan the Brundtland Commission. (the Brundtland berasal dari Gro Harlem Brundtland, politisi dan dokter perempuan asal Norwegia yang saat itu menjadi Ketua WCED). Istilah pembangunan berkelanjutan menjadi perdebatan. Dua tahun setelah ini dipopulerkan, lebih dari 140 definisi dibuat, tetapi definisi yang disepakati dan umumnya dikenal sebagai standar pengertian saat ini adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa kompromi (compromising) dengan kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan ada tiga aspek penting yang saling terkait erat, yaitu, ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut harus secara bersamaan dipertimbangkan dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan secara serasi dan seimbang demi kelangsungan hidup generasi berikutnya. (http:www.wordig.com/definiton/sustainable_development). Diakses Pada Tanggal 19 Juni 2013, Pukul 17.30 WIB.
1
2
dan pemilu presiden 2014. Korupsi politik ditengarai masih terus terjadi hingga 2014.3 Menurut Koordinator ICW Danang Widoyoko, sejumlah kasus dugaan korupsi terjadi menjelang dilaksanakannya pemilu. Contohnya mulai dari skandal Bank Bali pada 1999 hingga Bank Century pada 2008. Selain itu, ada tren peningkatan pemberian konsesi lahan sawit di sejumlah daerah menjelang pemilu kepala daerah. Lebih lanjut Danang mengatakan, "Akar masalahnya adalah partai politik belum mampu secara independen menggalang sumber dana, Partai politik masih bergantung pada cukong-cukong kaya".4 Survei terbaru ICW pada 2012 menunjukkan bahwa tren korupsi yang melibatkan
investasi
pemerintah,
keuangan
daerah,
dan
dana
sosial
kemasyarakatan menempati urutan teratas. Nilai kerugian negara terkait investasi pemerintah, keuangan daerah, dan dana sosial kemasyarakatan masing-masing mencapai Rp 439 miliar, Rp 417,4 miliar, dan Rp 299 miliar. Sementara itu, berdasarkan modusnya, penggelapan, laporan kegiatan proyek dan perjalanan pemerintah, serta penyalahgunaan/penyelewengan anggaran menempati urutan teratas. Nilai kerugian negara yang diakibatkannya masing-masing Rp 1,233 triliun, Rp 446,5 miliar, dan Rp 181,1 miliar. Atas data ini, ICW mengatakan, musuh utama Komisi Pemberantasan Korupsi adalah politisi yang menduduki jabatan pemerintahan.5 3
ICW:2012,TahunAwasAnggaran!,http://nasional.kompas.com/read/2012/01/29/1541186 0/ICW.2012.Tahun Awas Anggaran Diakses Pada Tanggal 25 Maret 2013, Pukul 20.30 WIB 4
Ibid. Saat Jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Minggu 29 januari 2012.
5
Ibid.
3
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.6 Tindak pidana korupsi, yang popular didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (publik) untuk keuntungan pribadi.7 Pada
dasarnya korupsi merupakan masalah ketidakadilan sosial.
Purwaning M. Yanuar mengutip pendapat dari Jong-sung You mengatakan bahwa kita lebih sering melihat korupsi sebagai persoalan keadilan sosial daripada persoalan pembangunan, tetapi tidak ada teori keadilan ataupun literatur tentang korupsi yang membahas korupsi sebagai bentuk ketidakadilan.8 Selanjutnya dalam studi S. Gupta yang dikutip oleh Purwaning M. Yanuar, bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi, membuat sistem pajak menjadi kurang progresif, mengurangi tingkat dan efektivitas pengluaran/pembelanjaan dan formasi
sumber
daya
manusia,
melanggengkan
ketimpangan
distribusi
kepemilikan aset dan ketimpangan akses ke pendidikan, dan selanjutnya mengakibatkan ketimpangan pendapatan serta mengakibatkan kemiskinan.9
6
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika 2008), hlm. 34.
7
Selain unsur ‘memperkaya diri sendiri’ dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur memperkaya juga diterapkan Kepada ‘korporasi’ dan ‘orang lain’. 8
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 37.
9
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 38.
4
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali mengakibatkan bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Purwaning M. Yanuar mengutip pendapat Dimitri Vlasis yang mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi. Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer ke dan ditempatkan di luar negeri, yang dilakukan melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.10 Mengingat dampak korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan menghambat laju pembangunan serta dikatakan sebagai masalah ketidakadilan sosial adalah sangat penting untuk menghentikan urat nadi dari perbuatan korupsi tersebut. Sehingga yang harus dilakukan adalah menggunakan semaksimal mungkin perangkat perundang-undangan dengan tujuan mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Perangkat
Undang-undang
yang
memberikan
peluang
untuk
mengembalikan kerugian negara dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 10
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 40.
5
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang (UU TPPU). UU PTPK mempuyai dua instrumen hukum dalam mengembalikan kerugian negara yaitu melalui instrumen pidana dan instumen perdata. Kedua instrumen tersebut mempunyai mekanisme dan hasil yang berbeda. Untuk instumen pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara. Instrumen perdata diatur dalam Pasal 32,11 Pasal 3312 dan Pasal 3413 serta Pasal 38C14 UU PTPK. Instrumen perdata hanya dapat dilakukan jika instrumen pidana mengalami kesulitan atau tidak dapat menjangkaunya. Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga terdapat dalam UU TPPU dengan melihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PPATK (Pusat
11
Dalam Pasal ini ditentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. 12
Ketentuan ini menetapkan bahwa dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 13
Ketentuan ini menetapkan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 14 Dalam Pasal ini ditentukan bahwa apabila setalah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
6
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang tercantum dalam Pasal 64 ayat (1) UU TPPU, yang menyatakan bahwa15: “PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain.” Selanjutnya isi Pasal 65 ayat (1), sebagai berikut: “PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i.”
Penghentian sementara Transaksi yang mencurigakan yang dilakukan oleh PPATK akan di analisis, dan laporan atau analisisnya akan diserahkan kepada penyidik. Dalam hal tidak ada orang atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi tersebut, PPATK menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.16 Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.17
15 Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian. 16
Ibid, Pasal 67 ayat (1)
17
Ibid, Pasal 67 ayat (2)
7
Dan pengadilan harus memutuskan Harta Kekayaan tersebut dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.18 Perbedaan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang terdapat pada kedua Undang-undang tersebut menarik perhatian penulis untuk melakukan pengkajian lebih dalam guna mengetahui perbedaan dan manfaat yang dihasilkan dalam rangka pengembalian aset negara. Penulis memfokuskan pengkajian pada instrumen perdata yang ada dalam UU PTPK dan mekanisme yang cepat di dalam UU TPPU. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di dalam skripsi ini yang berjudul “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Komparasi UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahannya sebagai berikut : 1. Apa Perbedaan Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU PTPK dan UU TPPU? 2. Manakah Yang Lebih Memberikan Manfaat Bagi Negara dalam Mengembalikan Kerugian Negara?
18
Ibid, Pasal 67 ayat (3)
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui perbedaan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan UU PTPK dan UU TPPU. b. Untuk mengetahui lebih jauh yang lebih memberikan manfaat bagi negara dalam mengembalikan kerugian negara. 2. Kegunaan Penelitian a. Secara teoritis, penyusun berharap karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan dapat memberikan informasi mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Serta dapat menjadi tambahan
literatur
atau
bahan
informasi
ilmiah
yang
dapat
dipergunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah pengembalian aset hasil Tindak Pidana Korupsi. b. Secara praktis, menambah wawasan bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya termasuk masukan bagi pemerintah, dan aparat penegak hukum dalam mengambil langkah-langkah kebijakan
9
yang tepat dan efisien guna menciptakan suatu konsep yang lebih spesifik dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. D. Telaah Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya maka penulis mengadakan penulusuran terhadap penelitianpenelitan yang telah ada sebelumnya diantaranya adalah sebagai berikut: Tesis karya Wahyudi Hafiludi Sadeli, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait dalam Tindak Pidana Korupsi”.19 Tesis tersebut mengkaji substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum dalam mekanisme perampasan aset terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap pihak ketiga yang terkait. hasil penelitian menyarankan untuk membentuk peraturan perundangundangan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk dapat menerapkan mekanisme perampasan aset dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi; memberikan perluasan di dalam mekanisme perampasan aset terhadap pihak ketiga; memberikan definisi yang jelas terhadap pihak ketiga sehingga secara kedudukan hukum dan secara hak dan tanggungjawabnya dalam mekanisme peradilan pidana memiliki penafsiran yang sama dan dapat lebih memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga dalam penyelesaian perkara pidana secara umum maupun secara khusus. Perbedaanya adalah pada aspek penelitianya yakni Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait dalam Tindak 19
Wahyudi Hafiludin Sadeli, “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait dalam Tindak Pidana Korupsi”, Tesis (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010).
10
Pidana Korupsi. Persamaanya adalah sama-sama meneliti pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Skripsi Riani Atika Nandalubis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Resotratif (Resotratif Justice)”.20 Skripsi tersebut membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan konsep keadilan resotratif, serta mengkaji dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengmbalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendekatan keadilan resoratif sebagai salah satu tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses pengmbalia aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep ini sejalan dari tujuan keadilan restoratif dan pengembalian asetpun sejalan dan harmonis. Perbedaannya adalah pada aspek penelitiannya yang membahas Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan mengkaitkan konsep keadilan resotarif. Persamaannya adalah sama-sama meneliti tentang Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Skripsi karya Kahfiya Hasbi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul “Penerapan Keadilan Restoratif dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”.21 Skripsi tersebut membahas mengenai kemungkinan penerapan konsep keadilan restoratif ke dalam 20 Riani Atika NandaLubis, “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Resotratif (Resotratif Justice)”, Skripsi (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011). 21 Kahfiya Hasbi, “Penerapan Keadilan Restoratif dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Skripsi (Depok: Fakultas Hukum Indonesia, 2011).
11
pengembalian aset tindak pidana pencucian uang. Dan dijelaskan bahwa dimungkinkan juga untuk menerapkan keadilan restoratif dalam tindak pidana lainya, seperti tindak pidana perekonomian. Perbedaannya adalah pada aspek penelitiannya yakni Penerapan Keadilan Restoratif dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Persamaannya adalah samasama meneliti tentang Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana korupsi. Skripsi Hankoso Satrio W, fakultas hukum universitas indonesia, dengan judul “Perampasan Aset dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454k/Pid/Sus/2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie)”.22 skripsi tersebut mengakaji tentang paradigma baru dalam memcahkan persoalan permberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan rezim anti pencucian uang dalam hal perampasan aset, dengan memfokuskan terhadap kasus dengan terdakwa bahasyim assifie. Perberdaanya adalah pada aspek penelitanya yakni perampasan aset dalam penganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan studi putusan. Persamaanya adalah sama-sama meneliti tentang pengembalian aset dari hasil tindak pidana korupsi. Beberapa literatur yang telah disebutkan diatas, belum ada yang membahas tentang “Pengembalian Aset (asset recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Komparasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 22 Hangkoso Satrio W, “Perampasan Aset dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454k/Pid/Sus/2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie)”, Skripsi (Depok: Fakultas Hukum Indonesia, 2012).
12
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)”. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang lainnya, yaitu penelitian ini mengkomparasikan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan menggunakan dua undang-undang yang pertama, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. E. Kerangka Teoretik Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.23 Menurut Romli Atmasasmita; tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara.24 Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan terhadap bangsa dan negara yang ditandai dengan hilangnya aset-aset publik untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Karena itu, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam hubungan ini, John Rawls menyatakan bahwa subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama 23 Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 24
Romli Atmasasmita, Pengkajian mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional, Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004, hlm. 2.
13
sosial.25 Perhatian utama keadilan sosial adalah keadilan institusi atau apa yang disebutnya sebagai struktur dasar masyarakat.26 Teori keadilan sosial Rawls didasarkan pada ide-ide kontrak sosial yang diungkapkan oleh; Locke, Rousseau, dan Kant.27 Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah ketidakberpihakan, dan melalui kontrak sosial, individu-individu masyarakat secara bersama-sama menghasilkan barang-barang sosial, bukan untuk konsumsi individual.28 Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori keadilan sosial. Dan teori keadilan ulitarianisme sebagi pendukung. Karena menurut penulis teori ini cocok untuk menjawab permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan sudut pandang teori keadilan sosial, tugas dan tanggung jawab pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berada pada negara, yang direpresentasikan oleh pemerintahan negara, yang meliputi tugas dan tanggung jawab nasional di mana negara berhadapan dengan warga negaranya, dan Tanggung jawab internasional. Sebaliknya, negara penerima aset hasil tindak pidana korupsi mempunyai tugas dan tangggung jawab untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi tersebut kepada negara korban.29 Tanggung jawab
25
John Rawls, A Theory of Justice-Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2011, hlm. 7-8 26
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 21.
27 John Rawls, A Theory of Justice-Teori Keadilan..., hlm. 12. Sebagimana dinyatakan teks, Rawls menganggap karya Locke Second Treatise of Government, karya Rousseau The Social Contract, dan karya etis Kant mulai dengan The foundations of Metaphysics of Morals sebagai tradisi kontrak yang definitif. 28
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 21.
29
Ibid, hlm. 22.
14
negara sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan tujuan pembentukan negara Republik Indonesia, yaitu membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.30 Pendekatan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan teori keadilan
sosial
memberikan
justifikasi
bagi
negara
dalam
melakukan
pengembalian aset sebagaimana dikemukakan oleh Michael Levi yang dikutip oleh Purwaning M. Yanuar sebagi berikut:31 1) Alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas dana-dana untuk melakukan kejahatan lain di masa yang akan datang; 2) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak memiliki hak yang pantas atas aset-aset tersebut;
30
Hal ini dinyatakan dalam Alinea keempat Mukadimah UUD 1945 sebagai berikut: “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesehahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. 31
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi…, hlm. 24.
15
3) Alasan prioritas/mendahului (priority) yaitu karena tindak pidana memberikan hak mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut aset hasil tindak pidana daripada yang hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana; 4) Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena kenyataanya kekayaan diperoleh melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilk kekayaan tersebut. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari upaya pemulihan kesejahteraan sosial, merupakan lingkup kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi didasarkan pada teori-teori dan asas-asas hukum yang diakui dalam hukum pidana.32 Mengenai utilitarianisme, George P Flechter mengatakan bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral dalam tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis biaya/keuntungan dan kerugian dalam mengadopsi rencana aksi tertentu.33 Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana: yang benar untuk dialakukan adalah yang menghasilkan kebaikan besar.34 Jadi kedua teori ini sangat memabantu menjadi dasar argumentasi dalam rangka pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
32
Ibid.
33
Ibid, hlm. 25.
34 Karen Leback, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Penerjemah Yudi Santoso, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm. 14
16
Keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi rakyat. Teori pengembalian aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada intitusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandasi pada prinsip dasar:“berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara”. Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak indivudu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip “berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat”. Tindak pidana korupsi adalah tindakan yang merampas aset, yang merupakan hak negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Sehingga akibatnya, masyarakat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera.35 Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai masalah hukum yang relatif baru dan sebagai perkembangan tuntutan masyarakat, baik nasioanl maupun internasioanal, akan keadilan sebagaimana diuraikan di atas menutut adanya perubahan hukum atau bahkan legislasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam sistem hukum Indonesia dengan memperhatikan perkembangan hukum internasional dalam pengembalian aset.36 35
Ibid, hlm. 31.
36
Ibid, hlm.
17
F. Metode Penelitian Untuk mencapai apa yang diharapkan dengan tepat terarah dalam penelitian, penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), berupa peraturan perundang-undangan, buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.37 2. Sifat Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan agar dapat diperoleh data yang akurat mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undangundang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3. Pendekatan Penelitian Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian, yaitu pendekatan
undang-undang (statute
approach),
pendekatan
kasus
(case
approach), pendekatan sejarah (history approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).38 37 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11. 38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 22.
18
Dalam hal ini Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undangundang (statute approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach). 4. Sumber Data Data yang akan dipergunakan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undangundang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Jo. UndangUndang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun data sekunder yaitu
bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainya, atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.39 5. Teknik Pengumpulan Data Pencarian data primer berupa peraturan perundang-undangan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Juga dari berbagai tulisan yang telah ada, dengan bersumber pada kepustakaan dan arsip. Pencarian data primer akan dilakukan 2 (dua) cara, yaitu : 1) Membaca berbagai tulisan yang berupa laporan-laporan yang biasanya tidak diterbitkan, dan dapat ditemukan pada tempat penyimpanan arsip.
39 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 24.
19
2) Membaca bahan hukum primer, sekunder dan tersier, berupa peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku, artikel dan beritaberita dalam surat kabar atau majalah, ensiklopedia dan kamus. 6. Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.40 Penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yakni usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.41 Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari teori atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisis Apa perbedaan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undangundang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang. G. Sistematika Penulisan Agar penulisan karya ilmiah Skripsi ini dapat terarah dan sistematis maka dibutuhkan sistem penulisan yang baik. Secara singkat penyusun menyampaikan sistematika skripsi sebagai berikut:
40
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 263. 41 Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1990), hlm. 139.
20
BAB I, berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II, berisi gambaran umum mengenai tinjaun umum tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang meliputi tentang tinjauan umum tindak pidana, korupsi, tindak pidana pencucian uanag serta hubungan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi. BAB III, berisi gambaran umum mengenai kajian teoritis pengembalian aset hasil tindak pidana, pembagian jenis perampasan, pengembalian aset hasil korupsi berdasarkan UU PTPK danUU TPPU. BAB IV, berisi tentang penyajian data dan pembahasan hasil penelitian yang sekaligus menjawab permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini diadakan, yaitu tentang perbedaan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan UU PTPK dan UU TPPU, serta manakah yang lebih memberikan manfaat bagi negara dalam mengembalikan kerugian negara BAB V, berisi simpulan dan saran yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa terdapat perbedaan antara mekanisme pengembalian/ perampasan aset hasil tindak pidana korupsi antara Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Perbedaan tersebut adalah pertama, UU PTPK mempunyai dua instrumen hukum yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata, sedangkan UU TPPU hanya mempunyai satu instrumen hukum yaitu instrumen pidana. Kedua, UU PTPK menggunakan konsep mengumpulkan bukti untuk tersangka (follow the suspect), sedangkan UU TPPU menggunakan konsep mengejar aset atau uang dari tersangka (follow the money). Ketiga, UU PTPK dalam strategi pembarantasan korupsi bersandar pada praduga tak bersalah (presumtion of innoncene), sedangkan UU TPPU dalam membuktikannya bersandar pada praduga bersalah (presumtion of guilty). Keempat, UU PTPK dalam menggunakan
instrumen
pidana
tidak
seluruhnya
dipergunakan
pembuktian terbalik begitupun dengan instrumen perdata tidak terdapat
142
143
kewajiban tersangka (dalam hal ini tergugat) untuk secara sepihak membuktikan keseluruhan harta, karena tunduk pada hukum perdata dan waktu dalam mekanisme tersebut tidak ada kepastian dalam arti memerlukan waktu yang panjang. Sedangkan UU TPPU memberikan kewajiban tersangka/terdakwa untuk membuktikan Harta Kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana, hal ini meringankan jaksa dalam rangka membuktikan dakwaan dan mewujudkan pengembalian aset hasil tindak
pidana
korupsi,
walaupun
jaksa
masih
berkewajiban
membuktikan tindak pidana. Berpedoman pada Pasal 67 UU TPPU mekanisme yang cepat dan terukur dalam pengembalian aset hasil korupsi. 2. Bahwa secara manfaat dan efektif pengembalian atau perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, UU PTPK memiliki alternatif instrumen hukum yaitu melalui gugatan perdata, jika melalui instrumen pidana hanya menjagkau tindak pidana asal (predicate crime), selanjutnya melalui gugatan perdata untuk mengisi kekosongan hukum namun ada berbagai hambatan yang tidak sedikit untuk diminimalisir seperti mengutamakan pembuktian formil dan tidak ada pembuktian terbalik karena tunduk pada hukum perdata, sedangkan UU TPPU dapat menjangkau tindak pidana lanjutan (criminal proses) dan memiliki sarana yang ampuh dan dapat menjangkau tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara dengan delik yang berdiri sendiri.
144
B. Saran Berdasarkan uraian dan kesimpulan maka saran yang dapat diberikan yaitu: 1. Diharapakan Mekanisme pengembalian atau perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata direvisi dengan berpedoman pada sistem civil forfeiture yang digunakan seperti di negara Amerika dan UNCAC dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi dengan memberikan kewajiban pembalikan beban pembuktian kepada tersanga (tergugat). Agar sarana gugatan perdata menjadi sarana yang sangat efektif dan ampuh dalam rangka mengembalikan kerugian negara. 2. Diharapkan Mekanisme pengembalian atau perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dalam UU TPPU Pasal 67 perlu di Implementasikan segera mengigat PPATK sudah mengirmkan rekomendasi ke Mahkamah Agung perihal hukum Acara Pasal tersebut. Karena saat ini masih belum ada peraturan pelaksana.
145
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: UII Press . 2011 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993. Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. Fuady, Munir. Bisnis Kotot, Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004. Hartanti, Evi.Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2006 ___________Tindak Pidana Korupsi. Cetakan Ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hadi, Sutrisno. Metodologi Reserch Untuk Penulisan Paper, Thesis Dan Desertas. cet. Ke XXI. Yogyakarta: Andi Offset. 1992. Hanitijo, Ronny Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982. Husni, Frieda Hasbullah. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberikan Kenikmatan. Jakarta: Ind-Hill Co. 2002. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Iqbal, M. Hasan. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Leback, Karen. Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice. Bandung: Nusa Media. 2012.
146
Lopa, Baharudin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas. 2001. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. 1987. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2008. Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2009. Manthovani, Reda dan R. Narendra Jatna. Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia. Jakarta: CV. Malibu. 2012. M. Yanuar, Purwaning. Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Bandung: Alumni. 2007. Muhamad, Rusli. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 2011. Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia: Normatif, Teorits, Praktis dan masalahnya. Bandung: PT. Alumni. 2007. Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. Pidana Penjara Mau Kemana. Jakarta: CV Indhill CO. 2007. Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994. Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2002.
147
Ramelan, Reda Mantovani dan Pauline David. Panduan Untuk Jaksa Penutut Umum Indonesia Dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan. Jakarta: Pusdiklat Kejaksaan RI. 2008. Ramelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003. Rawls, John. A Theory of Justice-Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2003. Surachman, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik. Bandung: Tarsito 1990. Syamsudin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru. 1999. Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. __________ Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. edisi ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2009 Yustiavanda, Ivan, Arman Nefi dan Adiwarman. Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal. Indonesia: Ghalia. 2010. Yusuf, Muhamad. Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Kompas. 2013.
148
B. Skripsi/ Tesis dan Disertasi Agustina, Rosa. “Perbuatan Melawan Hukum”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. 2003. Atika NandaLubis, Riani. “Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Resotratif (Resotratif Justice)”. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2011. Hasbi, Kahfiya. “Penerapan Keadilan Restoratif dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Indonesia. 2011. Sadeli, Hafiludin Wahyudi. “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait dalam Tindak Pidana Korupsi”. Tesis. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2010. Satrio W, Hangkoso. “Perampasan Aset dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454k/Pid/Sus/2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie)”. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Indonesia. 2012. C. Jurnal, Artikel dan Internet Badan Pembinaan Hukum Nasioanl Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Laporan Lokakarya tentang Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi. 2009. Bima Priya Santosa. Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu. Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010.
149
Direktoral Jendral Hukum dan Perundanga-Undangan. Sejarah Pembentukan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Departemen Hukum dan PerundangUndangan RI. 2000. Henny Marlyna. “Pengembalian Aset Korupsi Melalui Instrumen Hukum Perdata”. Makalah Disampaikan Pada Konfernsi Nasio nal Hukum dan Politik 2011 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok. 27 Oktober 2011. http://dangse.wordpress.com/2009/01/17/sejarah-pemberantasan-korupsi-diindonesia. ICW:2012._Tahun_Awas_Anggaran!,_http://nasional.kompas.com/read/2012/01 /29/15411860/ICW.2012. Tahun.Awas. Anggaran. Memberantas Korupsi dengan Menerapkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana_Pencucian_Uang”,http://www.facebook.com/note.php?note_id=1 34447996578689. PPATK. Proceedigs: Pelaksanaan Pemaparan Mengenai Sistem Perampasan Aset di Amerika Serikat Dan Diskusi Mengenai Rancangan UndangUndang tentang Perampasan Aset Di Indonesia. Jakarta: Pelaporan dan Analisis Transaksaksi Keuangan. 2008. Romli Atmasasmita. Pengkajian mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional. Proposal. Departemen Kehakiman dan HAM RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2004. Suradji.dkk, Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
150
Nasioanl Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hlm. 1 (Dalam
Prof.
Dr.
Muladi,
Hakikat
Suap
dan
Korupsi
http://kompas.co.id). Tim Penyusun. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: s.n. 2006. Tim Penyusun. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jakarta. 2012). Yunus Husain. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penanganan Korupsi Untuk Aparat Penegak Hukum dan Auditor. Padang. Pada tanggal 22 september 2005. ____________ “Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia (Asset Forfeiture of Crime in Indonesia)”. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 No. 4. Desember 2010. ____________ “Indonesia Masuk Daftar Hitam Soal Pencucian Uang”, www.perspektifbaru.com Pengertian Aset atau Aktiva tetap Berwujud dan_Tidak_Menurut_Para_Ahli_Definisihttp://www.sarjanaku.com/2012 /12/pengertian-aset-atau-aktiva-tetap.html. Wasdo Simbolon, Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Hubungannya Dengan_Tindak_Pidana_Asal_http://outsourcingwasdo.blogspot.com/20 10/04/tindak-pidana-pencucian-uang-serta.html.
151
D. Peraturan PerUndang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _________Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. _________Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. _________Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi _________Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. _________Undang-undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi. _________Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijke Wetboek] United Nations. United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances. 1988. _____________United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC). 2003. Diterjemahkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime. Jakarta: UNODC. 2009.
CURICULUM VITAE A. Identitas Diri Nama
: Khoirul Ari Wafa
Tempat / Tempat Tingggal
: Sugih Waras, 11 Februari 1992
Nama Ayah
: M. Romli
Nama Ibu
: Nurtri hayati, S.Pdi.
Asal Sekolah
: MA Al-Mujahidin Ciptodadi, Sukakarya (Lubuk Linggau-Sumatera Selatan)
Alamat Rumah
: Sugihwaras, Lubuk Linggau, Sumsel.
Email
:
[email protected]
Facebook
: irul.wafa
No. HP
: 0817279037
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SDN 2 Sugihwaras Lulus 2003 b. MTS Al-Mujahidin Ciptodadi Lulus 2006 c. MA Al-Mujahidin Ciptodadi Lulus 2009 d. Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Yogyakarta, 28 Juni 2013
Khoirul Ari Wafa 093400129