PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP BANGUN RUANG DALAM PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN 03 SIDANEGARA KEDUNGREJA CILACAP TAHUN PELAJARAN 2009/2010
Skripsi
Oleh: ISTANTI X7108694
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia di dunia ini sangat membutuhkan pendidikan. Standarisasi dan profesionalisme pendidikan yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Dalam implementasi kurikulum di sekolah, guru dituntut untuk senantiasa belajar dan mendapatkan informasi baru tentang pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan pada umumnya (Mulyasa, 2009: 13). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (NSP) terdapat standar kompetensi lulusan yaitu digunakan sebagai penilaian penentuan kelulusan peserta didik, yang meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran, serta mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah satu mata pelajaran yang sering membebani siswa dalam menentukan kelulusan adalah Matematika. Matematika adalah salah satu pelajaran yang kita pelajari mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Tanpa bantuan Matematika kiranya tidak mungkin dicapai kemajuan yang begitu pesat baik dalam bidang obat-obatan, ilmu pengetahuan alam, tekhnologi, komputer dan sebagainya. Pada kenyataannya, jika diperhatikan hasil belajar Matematika masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena banyak mitos menyesatkan mengenai Matematika. Mitos-mitos salah ini memberi andil besar dalam membuat sebagian masyarakat merasa alergi bahkan tidak menyukai Matematika. Akibatnya, mayoritas siswa kita mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga tidak pernah atau malas untuk mempelajari Matematika. Menurut Ade Chandra Prayogi, S.Pd (http://www.friendster.com/adechandraprayogi. 02/02/2010) Ada lima beberapa mitos sesat yang sudah mengakar dan menciptakan persepsi negatif terhadap Matematika yaitu: (1) Matematika adalah ilmu yang sangat sukar sehingga hanya sedikit orang atau siswa dengan IQ minimal tertentu yang mampu memahaminya. (2) Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Mitos ini membuat siswa malas mempelajari Matematika dan akhirnya tidak mengerti apa-apa tentang Matematika.
Padahal, Matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. (3) Matematika selalu berhubungan dengan kecepatan menghitung. Memang, berhitung adalah bagian tak terpisahkan dari Matematika, terutama pada tingkat SD. Tetapi, kemampuan menghitung secara cepat bukanlah hal terpenting dalam Matematika. Yang terpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami Matematika sehingga pemahaman konsepnya meningkat. Melalui pemahaman konsep kita dapat mengukur kemampuan siswa dalam menyerap materi yang diajarkan, kita juga dapat menentukan permasalahan yang muncul atau dialami siswa dalam bidang studi Matematika. (4) Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita. Mitos ini jelas-jelas salah kaprah, sebab fakta menunjukkan bahwa Matematika sangat realistis. Dalam arti, Matematika merupakan bentuk analogi dari realita sehari-hari. (5) Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku, dan tidak rekreatif. Anggapan ini jelas keliru. Meski jawaban (solusi) Matematika terasa eksak lantaran solusinya tunggal, tidak berarti Matematika kaku dan membosankan. Tantangan bagi pendidikan adalah bagaimana menemukan dan menciptakan metode pendidikan dan mengkondisikan lingkungan yang cocok bagi kebutuhan individu-individu yang unik Mulyasa (2009: 50 ). Lemahnya tingkat berfikir siswa menjadi sebuah tantangan besar bagi para pendidik. Oleh karena itu guru dituntut harus mampu merancang dan melaksanakan program pengalaman belajar dengan tepat agar siswa memperoleh pengetahuan secara utuh sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna disini berarti bahwa siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata. Confusius pernah menekankan pentingnya arti belajar dari pengalaman dengan perkataan; “saya dengar dan saya lupa”, “saya lihat dan saya ingat”, “saya lakukan dan saya paham”. Salah satu sistem yang dapat diterapkan yakni siswa belajar dengan “melakukan”. Selama proses “melakukan” mereka akan memahami dengan lebih baik dan menjadi lebih antusias di kelas. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa belajar adalah suatu pemahaman bukan menghafal. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan yang diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui apa yang dipelajarinya.
Kenyataan telah membuktikan, pembelajaran yang berorientasi pada tingkat penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan persoalan dalam jangka panjang terutama dalam pelajaran Matematika, guru akan merasa berhasil dalam pembelajaran jika siswanya dapat menyelesaikan soal Matematika dengan benar pada saat materi tersebut diajarkan tanpa mengetahui apakah siswa memahami konsep materi dengan benar dan apakah pengetahuan yang diterima siswa akan bermakna. Berdasarkan informasi guru SDN 03 Sidanegara, pemahaman konsep Matematika siswa kelas IV belum seperti yang diharapkan. Kenyataan menunjukkan masih rendahnya tingkat penguasaan terhadap materi Matematika yang ada. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: siswa itu sendiri, kesiapan fasilitas pembelajaran, dan strategi dan model pembelajaran yang digunakan oleh guru kelas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman konsep siswa rendah dapat didentifikasikan antara lain sebagai berikut: Model pembelajaran yang digunakan guru kurang menarik dan tidak sesuai dengan kondisi siswa, Matematika dianggap pelajaran yang sulit dan membosankan, pembelajaran yang berlangsung kurang melibatkan siswa atau guru lebih aktif dari pada siswa, guru tidak mempersiapkan alat peraga yang mendukung untuk menjelaskan materi bangun ruang sederhana, media yang digunakan guru kurang bervariatif, dan pembelajaran tidak dikaitkan dengan situasi alami siswa. Dalam meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa, maka dalam pembelajaran harus menggunakan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan
anak.
Model
pembelajaran
kontekstual
adalah
pendekatan
yang
menghubungkan pembelajaran dengan keadaan alami siswa, sehingga siswa dapat memahami dengan mudah konteks yang mereka pelajari. Dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang bangun ruang, guru dapat mengkaitkan dengan situasi nyata siswa, dan salah satu alternatifnya adalah menggunakan benda nyata yang sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari sebagai media untuk menjelaskan materi bangun ruang pada kelas IV. Karena permasalah yang diteliti terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah penelitian ini sebagai berikut: Materi Matematika yang diteliti yaitu sifat-sifat bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya pada siswa kelas IV, model pembelajaran inovatif yang digunakan adalah model pembelajaran kontekstual, target
penelitiannya adalah pemahaman konsep siswa bangun ruang sederhana pada siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap. Dengan demikian dapat disimpulkan pemahaman konsep Matematika khususnya bangun ruang pada kelas IV SDN 03 Sidanegara masih rendah, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk meningkatkan pemahaman konsep Matematika menggunakan model atau pendekatan pembelajaran yang tepat. Dalam hal ini dapat digunakan pendekatan Contekstual Teaching and Learning ( CTL) atau model pembelajaran kontekstual. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Bangun Ruang dalam Pelajaran Matematika Siswa Kelas IV SDN 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010 ?
2.
Bagaimana proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010 ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika melalui model pembelajaran kontekstual pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010.
2.
Mendiskripsikan
proses
penerapan
model
pembelajaran
kontekstual
untuk
meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak berikut: a. Bagi siswa 1) Tumbuhnya motivasi siswa dalam proses pembelajaran Matematika. 2) Meningkatnya pemahaman konsep tentang materi yang dipelajari dalam Matematika. 3) Meningkatnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. b. Bagi guru 1) Meningkatnya pengetahuan guru tentang model pembelajaran inovatif yang bisa diterapkan untuk meningkatkan proses pembelajaran. 2) Meningkatnya kemampuan dalam mengatasi kesulitan dalam pembelajaran khususnya materi bangun ruang pada mata pelajaran Matematika dengan model pembelajaran kontekstual. 3) Meningkatnya
motivasi untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang
bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran. 4) Diperolehnya
media
pembelajaran
yang
cocok
untuk
pembelajaran
Matematika. c. Bagi Sekolah Meningkatnya kualitas pendidikan sekolah dan mampu mendorong untuk selalu mengadakan pembaharuan dalam proses pembelajaran ke arah yang lebih baik kualitasnya.
2.
Manfaat Teoretis
1) Memberikan masukan dan wawasan dalam peningkatan kualitas pembelajaran Matematika khususnya bangun ruang. 2) Menerapkan model pembelajaran yang lebih inovatif melalui model pembelajaran kontekstual sehingga pembelajaran lebih menarik dan bermakna bagi siswa.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. a.
Hakikat Pembelajaran Matematika
Pengertian Pembelajaran Pembelajaran berasal dari kata belajar, belajar ialah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 2) Pembelajaran menurut tim dosen strategi belajar dan mengajar UNS (M.G. Dwijiastuti, Usada, dan Sri Anitah, 2005: 6) adalah membelajarkan siswa menggunakan azas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa. Pembelajaran menurut Oemar Hamalik dalam St. Y. Slamet (2007: 110) adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, fotografi, audio, dan video tape. Fasilitas perlengkapan meliputi ruang kelas, perlengkapan, audiovisual, juga komputer. Prosedur meliputi jadwal dan penyampaian informasi, praktek, belajar dan sebagainya. Pembelajaran merupakan suatu proses belajar. Belajar memiliki banyak definisi. Mulyono Abdurrahman ( 2003: 28 ) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang biasa disebut dengan hasil belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Slameto (2003: 2) memberikan pengertian belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Proses pembelajaran 7
yang mendidik adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan untuk membantu peserta didik berkembang secara utuh baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi afektif dan psikomotorik (Nabisi Lapono. dkk, 2008: 44). Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, Elaine B. Johnson (2007: 18) memilih dua definisi berikut ini: “ A relatively permanent change in response potentiality which occurs as a result of rainforced practice and a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribableto the process of growth”, dari dua definisi ini dapat didefinisikan ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama belajar menghasilkan perubahan tingkah laku anak didik yang relatif permanen; kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan kodrati untuk tumbuh dan berkembang tanpa henti; dan yang ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal. Sedangkan Oemar Hamalik ( 2008: 27 ) belajar merupakan suatu proses, sutu kegiatan dan bukan hasil atau tujuan, belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari itu yaitu memahami. Pengalaman yang diperoleh berkat interaksi antara individu dengan lingkungan merupakan belajar dengan jalan mengalami. Dalam Oemar Hamalik (2008: 29) William Burton menyatakan bahwa: “Experiencing means living through actual situations and recting vigorously to various aspects of those situations for purposes apparent to the leaner. Experiencing includes whatever one does or undergoes which results in changed behavior, in changed value, meanings, attitudes, or skill.” Yang artinya pengalaman berarti kehidupan dalam situasi nyata yang secara sungguh-sungguh meliputi beberapa aspek dimana dalam situasi tersebut tujuannya untuk mendapatkan pembelajaran yang nyata. Pengalaman termasuk mengandung apa saja yang dijalani untuk menghasilkan perubahan tingkah laku, nilai, pengertian, sikap atau kemampuan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan sutu proses belajar individu untuk merubah tingkah laku kearah yang lebih baik dan perubahan itu relatif menetap. b. Pengertian Matematika Banyak orang yang beranggapan bahwa Matematika itu sama dengan aritmatika atau berhitung. Padahal, Matematika itu sendiri mempunyai cakupan yang lebih luas dari
pada aritmatika. Aritmatika sendiri sesungguhnya hanya merupakan bagian dari Matematika. Banyak berbagai pandangan dari para ahli tentang definisi dari Matematika. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (http//.www.google.com 02/02/2010). Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Menurut Kline di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) menyebutkan Matematika merupakan bahasa simbol dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif. Pengertian Matematika yang tercantum di dalam Kurikulum Matematika tahun 2004 adalah sebagai berikut, Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduksi, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya yang sudah diterima, sehingga keterkaitan antar konsep dalam Matematika bersifat sangat kuat dan jelas (Depdikbud, 2004: 2). Dalam situs internet (http//.www.syarifartikel.blogspot.com, 21/05/2010), Reyt.et, al. (1998:4) mengemukakan pendapatnya tentang Matematika yaitu, Matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2). Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam teori dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan Matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Johnson dan Rising (1978) menyatakan bahwa “ Mathematics is a creation of the human mind, concerned primarily with ideas, processes and reasoning.” Yang berarti bahwa Matematika merupakan kreasi pikiran manusia yang pada intinya berkaitan
dengan
ide-ide,
proses-proses,
dan
penalaran.
(
Http://p4tkMatematika.org/sd/geometriRuang.pdf /01/05/2010 ) Sedangkan menurut Soedjadi (dalam Moch Mansyur Ag dan Abdul Halim Fathani, 2007: 11) menyatakan bahwa definisi Matematika ada beraneka ragam dan definisi tersebut tergantung dari sudut pandang pembuat definisi. Di bawah ini beberapa definisi menurut Soedjadi: 1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik. 2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. 3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logic dan berhubungan dengan bilangan. 4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. 5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logic. 6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Johnson dan Myklebus di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Demikian pula Leaner di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa Matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas. Sedangkan menurut Paling di dalam Mulyono Abdurrahman (2003:252) mengemukakan bahwa Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban tehadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran dan menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Berdasarkan pendapat Paling di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya, manusia akan menggunakan: (1) Informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi; (2) Pengetahuan tentang bilangan, bentuk dan ukuran; (3) Kemampuan untuk menghitung, dan; (3) Kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubunganhubungan.
Dari beberapa pendapat tentang Matematika yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah bahasa simbolis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan yang memudahkan manusia berpikir dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
c.
Tinjauan tentang Pembelajaran Matematika Di dalam Mulyono Abdurrahman ( 2003: 253 ), Cockroft mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan ketrampilan Matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Ada beberapa pendekatan dalam pengajaran Matematika, masing-masing
didasarkan atas teori belajar yang berbeda (Mulyono Abdurrahman, 2003: 255), ada empat pendekatan yang paling berpengaruh dalam pelajaran Matematika, (1) urutan belajar yang bersifat berkembang (development learning sequences), (2) belajar tuntas (matery learning), (3) strategi belajar (learning strategies), dan (4) pemecahan masalah (problem sloving). Menurut Heruman (2007: 3) ada tiga langkah dalam pembelajaran Matematika yaitu : (1) penanaman konsep dasar; (2) pemahaman Konsep; dan (3) pembinaan keterampilan. Penanaman konsep dasar adalah pembelajaran suatu konsep baru Matematika ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Dari uraian diatas hakikat pembelajaran Matematika adalah suatu kegiatan atau proses yang dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar Matematika di sekolah.
d. Tinjauan tentang Matematika Sekolah Matematika sekolah (School Mathematic) adalah unsur atau bagian dari Matematika yang dipilih berdasarkan dan berorientasi pada kepentingan kependidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang dikemukakan oleh
Soedjadi (2000: 37). Di sini Matematika sebagai bidang studi pendidikan yang diajarkan di sekolah dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Menengah (SMU/SMK). Dalam dunia pendidikan Matematika di Indonesia dikenal adanya Matematika modern. Pada sekitar tahun 1974 Matematika modern mulai diajarkan di SD sebagai pengganti berhitung. Berhitung lebih menekankan pada pemahaman struktur dasar sistem bilangan dari pada mempelajari keterampilan dan fakta-fakta hafalan. Pelajaran Matematika modern lebih menekankan pada “mengapa” dan “bagaimana” Matematika, melalui penemuan dan eksplorasi (Mulyono Abdurrahman, 2003: 254). Ruang lingkup materi atau bahan kajian Matematika untuk Sekolah Dasar berbeda dengan di tingkat SLTP atau SMU/SMK. Sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa Sekolah Dasar yang berada pada tahap operasi konkret, maka cakupan materinya lebih sedikit dan bersifat dasar. Kemampuan mereka yang cenderung rendah dibanding siswa pada jenjang sekolah di atasnya, sehingga kemampuan bernalarnya relatif lebih rendah. Oleh karena itu pada jenjang Sekolah Dasar penggunaan pola pikir induktif dalam pengajaran suatu topik sering dilakukan, sebaliknya penggunaan pola pikir deduktif jarang dilakukan. Bidang studi Matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar mencakup tiga cabang yaitu aritmatika, aljabar dan geometri (Mulyono Abdurrahman, 2003: 253). 1) Aritmatika Aritmatika adalah salah satu cabang Matematika selain aljabar dan geometri. Menurut Dali S. Naga yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (2003: 253) aritmatika atau berhitung adalah cabang Matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan pehitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. 2) Aljabar Dalam perkembangan aritmatika selanjutnya, penggunaan bilangan sering diganti dengan abjad. Penggunaan abjad dalam aritmatika inilah yang kemudian disebut aljabar. Aljabar ternyata tidak hanya menggunakan abjad sebagai lambang bilangan yang diketahui atau yang belum diketahui tetapi juga menggunakan lambanglambang lain seperti titik (.), lebih besar (>), lebih kecil (<) dan sebagainya.
3) Geometri Geometri adalah cabang Matematika yang berkenaan dengan titik dan garis, tetapi ada juga yang mengatakan geometri adalah studi tentang ruang dan berbagai bentuk dalam ruang. Traves dkk (1987) menyatakan bahwa “ Geometry is the study of the relasionships among points, lines, angles, surfaces, and solids.” Yaitu geometri adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara titik, garis, sudut, bidang dan bangun-bangun
ruang.
(
Http://p4tkMatematika.org/sd/geometriRuang.pdf
01/05/2010) Agar dalam penyampaian materi Matematika dapat mudah diterima dan dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik Matematika sekolah. Menurut Soedjadi (2000: 13) Matematika memiliki karakteristik: (1) Memiliki obyek kajian abstrak; (2) Bertumpu pada kesepakatan; (3) Berpola pikir deduktif; 4) Memiliki symbol yang kosong dari arti; (5) Memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) Konsisten dalam sistemnya. Sedang menurut Depdikbud (1993: 1) Matematika memiliki ciri-ciri, yaitu (1) Memiliki obyek yang abstrak; (2) Memiliki pola pikir deduktif dan konsisten; dan (3) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). (http//.www.syarifartikel.blogspot.com, 21/05/2010) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan pelajaran Matematika sudah diajarkan sejak Sekolah Dasar, hanya saja materi yang diajarkan masih sederhana. Dalam Matematika Sekolah Dasar guru dituntut untuk menanamkan konsep Matematika, karena Matematika akan dipelajari hingga Perguruan Tinggi.
2. Hakikat Bangun Ruang Dalam buku Pemecahan Masalah Matematika, Clara Ika Sari Budhayanti, dkk (2008: 24) menerangkan bangun ruang adalah bangun yang memiliki tiga dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Menurut GBPP 2004 materi bangun ruang disampaikan di SD pada siswa kelas IV semester II meliputi: menentukan sifat-sifat (sisi, titik sudut, dan rusuk) bangun ruang sederhana, menggambar jaring-jaring kubus dan balok. Unsur-unsur bangun ruang yang dipelajari adalah sisi, rusuk dan titik sudut. Sisi adalah sekat pembatas atau bagian dan bagian luar. Pada bangun ruang ada sisi yang
datar seperti pada kubus, balok, prisma dan sebagainya. Adapula sisi yang berbentuk lengkung seperti pada tabung, kerucut dan bola. Rusuk adalah perpotongan dua bidang sisi pada bangun ruang, sehingga merupakan ruas garis. Ada rusuk yang berupa garis lurus seperti pada kubus, balok, prisma dan sebagainya, namun ada yang melengkung seperti pada tabung dan kerucut. Titik sudut merupakan perpotongan tiga bidang atau perpotongan tiga rusuk atau lebih. Adapun bangun ruang yang dipelajari untuk siswa kelas IV SD adalah kubus, balok, tabung, kerucut, dan bola.
a.
Sifat-Sifat Bangun Ruang 1) Kubus Kubus adalah bangun ruang yang dibentuk oleh enam bidang sisi berbentuk persegi yang kongruen. Kubus juga disebut bidang enam beraturan atau Hexaeder (Sumadi, 1996: 1-4). Menurut Heruman (2007: 110) bangun ruang kubus merupakan bagian dari prisma yang memiliki sisi yang sama besar. Adapun sifat-sifat kubus adalah:
a) Sisi-sisi pada kubus ABCD EFGH adalah: • sisi ABCD • sisi EFGH • sisi ABFE • sisi DCGH • sisi ADHE • sisi BCGF Jadi, ada 6 sisi pada bangun ruang kubus.
Sisi-sisi kubus tersebut berbentuk persegi (bujur sangkar) yang berukuran sama. b) Rusuk-rusuk pada kubus ABCD EFGH adalah: • rusuk AB • rusuk BC • rusuk AE • rusuk EF • rusuk FG • rusuk BF • rusuk HG • rusuk EH • rusuk CG • rusuk DC • rusuk AD • rusuk DH Jadi, ada 12 rusuk pada bangun ruang kubus. Rusuk-rusuk kubus tersebut mempunyai panjang yang sama. c) Titik-titik sudut pada kubus ABCD EFGH adalah: • Titik sudut A • Titik sudut E • Titik sudut B • Titik sudut F • Titik sudut C • Titik sudut G • Titik sudut D • Titik sudut H Jadi, ada 8 titik sudut pada bangun ruang kubus. 2) Balok Balok adalah bangun ruang yang dibentuk oleh enam bidang sisi berbentuk persegi panjang yang sisinya berhadapan kongruen, (Sumadi, 1996:5). Balok adalah bangun ruang yang dibatasi oleh tiga pasang (enam buah) persegi panjang dimana satu pasang persegi panjang saling sejajar (berhadapan) dan ukuran sama. Adapun sifat-sifat balok adalah:
a) Sisi-sisi pada balok ABCD EFGH adalah: • sisi ABCD • sisi EFGH • sisi ABFE • sisi DCGH • sisi ADHE • sisi BCGF Jadi, ada 6 sisi pada bangun ruang balok. Sisi ABCD = sisi EFGH
Sisi BCFG = sisi ADHE Sisi ABFE = sisi EFGH b) Rusuk-rusuk pada balok ABCD EFGH adalah: • rusuk AB • rusuk BC • rusuk AE • rusuk EF • rusuk FG • rusuk BF • rusuk HG • rusuk EH • rusuk CG • rusuk DC • rusuk AD • rusuk DH Jadi, ada 12 rusuk pada bangun ruang balok. Rusuk AB = rusuk EF = rusuk HG = rusuk DC Rusuk BC = rusuk FG = rusuk EH = rusuk AD Rusuk AE = rusuk BF = rusuk CG = rusuk DH
c) Titik-titik sudut pada balok ABCD EFGH adalah: • Titik sudut A • Titik sudut E • Titik sudut B • Titik sudut F • Titik sudut C • Titik sudut G • Titik sudut D • Titik sudut H 3) Tabung, Kerucut, dan Bola Bangun ruang tabung, kerucut, dan bola berbeda dengan kubus dan balok karena dalam bangun ruang ini terdapat sisi lengkung.
Bangun ruang tabung mempunyai 3 buah sisi, yaitu sisi lengkung, sisi atas, dan sisi bawah. Tabung mempunyai 2 buah rusuk, tetapi tidak mempunyai titik sudut. Bangun ruang kerucut mempunyai dua buah sisi, yaitu sisi alas dan sisi lengkung. Kerucut hanya mempunyai sebuah rusuk dan sebuah titik sudut yang biasa disebut titik puncak. Yang terakhir, bangun ruang bola hanya memiliki sebuah sisi lengkung yang menutupi seluruh bagian ruangnya.
b. Jaring-Jaring Kubus dan Balok Bangun ruang kubus dan balok terbentuk dari bangun datar persegi dan persegi panjang. Gabungan dari beberapa persegi yang membentuk kubus disebut jaring-jaring kubus. Sedangkan jaring-jaring balok adalah gabungan dari beberapa persegi panjang yang membentuk balok (Burhan Mustaqim dan Ary Astuty, 2008: 214).
c.
Pembelajaran Bangun Ruang dalam Matematika Didalam proses pembelajarannya siswa SD masih dalam tahap pembelajaran
oprasional konkret. Pada masa oprasional konkret yang dapat dipikirkan oleh anak masih terbatas pada benda-benda konkret yang dapat dilihat atau diraba. Benda-benda yang tidak tampak dalam kenyataan, masih sulit dipikirkan oleh anak, (Mulyono Abdurrahman, 2003: 170). Karenanya, pendekatan dan strategi pembelajaran bersandar pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun
sendiri
(dikonstruksi)
oleh
siswa
(Http://p4tkMatematika.org/sd/geometriRuang.pdf 01/05/2010). Ini berarti, suatu konsep rumus atau prinsip dalam geometri ruang seyogyanya ditemukan kembali oleh siswa dibawah bimbingan guru. Pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali, membuat mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, dan dalam hal ini juga sangat bermanfaat untuk bidang lainnya. Pembelajaran bangun ruang harus dimulai dari benda-benda konkret, ke bentukbentuk semi konkret kemudian menuju abstrak. Hal ini dapat diperjelas melalui skema berikut ini: Benda Konkret
Benda-benda nyata berdimensi tiga seperti tempat kapur tulis dadu atau yang lainnya.
Semi Konkret
Abstrak
Pengetahuan nyata tentang sifat-sifat /karakteristik dari benda-benda tersebut
Gambar di atas adalah bangun ruang kubus, walaupun kubus merupakan bangun ruang yang berdimensi tiga namun ketika gambarnya dibuat pada kertas, maka akan menunjukan perbedaan dengan bangun kubus yang sebenarnya. Sebagai akibatnya setiap sisi suatu kubus yang sejati atau pada kenyataan berbentuk persegi namun pada gambar bisa berbentuk persegi sebagaimana kenyataannya ataupun berbentuk jajar genjang. Halhal tersebut kadang menyulitkan para siswa (Puskur, 2002: 14). Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran bangun ruang pada siswa SD harus dimulai dari benda nyata atau konkret menuju semi konkret kemudian abstrak, hal ini untuk menghindarkan siswa dari miskonsepsi tentang sifat-sifat bangun ruang tersebut.
3.
Hakikat Pemahaman Konsep
a. Pengertian Pemahaman Pemahaman merupakan terjemahan dari comprehension. Purwadinata dalam ( Emiliani, 2000:7) menyatakan bahwa paham artinya "mengerti benar", sehingga pemahaman konsep artinya mengerti benar tentang konsep. Pemahaman berasal dari kata paham yang artimya (1) pengertian: pengetahuan yang banyak; (2) pendapat: pikiran; (3) aliran: pandangan; (4) mengerti benar (akan): tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me-i menjadi memahami, berarti: (1) mengerti benar (akan): mengetahuai benar; (2) memaklumi. Dan bila mendapat imbuhan pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses; (2) pembuatan; (3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (Depdikbud,1994:74). Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu proses, cara memahami atau cara mempelajari baik-baik supaya paham dan mengetahui banyak.
Pemahaman merupakan tingkatan kedua dari tujuan ranah kognitif berupa kemampuan memahami atau mengerti tentang isi pembelajaran yang dipelajari tanpa perlu menghubungkannya dengan isi pelajaran lainnya menurut Davis (Dimyati & Mudjiono, 2006: 203). Sedangkan menurut Arikunto di dalam buku belajar dan pembelajaran (Dimyati & Mudjiono, 2006: 203) mengatakan bahwa dalam pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana diantara fakta-fakta atau konsep. Menurut Driver (dalam Suzana, 2003:22) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari pengertian ini ada tiga aspek pemahaman, yaitu: (1) Kemampuan mengenal; (2) Kemampuan menjelaskan; (3) Kemampuan menginterpretasi atau menarik kesimpulan. Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkam pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami, (Em Zul, Fajari & Ratu Aprilia Senja, 2008: 607-608). Sedangkan dalam Elaine B. Johnson (2007: 185) untuk mencapai suatu pemahaman maka kita harus berpikir kritis. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Berkenaan dengan proses pemahaman, di dalam Suwarto dan St. Y. Slamet (2007: 136), Nunan menyatakan bahwa inti pemahaman tercakup dalam satu inti yang sederhana, pemahaman adalah upaya membangun jembatan antara pengetahuan yang baru dengan yang sudah diketahui. Ada beberapa ahli yang mempelajari ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara hierarkis. Diantara ahli yang mempelajari ranah-ranah kejiwaan tersebut adalah Bloom, Krathwohl, dan Simpson. Hasil penelitian mereka dikenal dengan taksonomi instruksional Bloom dan kawan-kawan. Salah satu jenis perilaku adalah perilaku pemahaman, yaitu yang mencakup menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27). Pemahaman konsep merupakan tipe belajar yang lebih tinggi dibandingkan tipe belajar pengetahuan. Nana Sudjana di dalam buku strategi belajar mengajar (Dwijiastuti, dkk, 2005: 34) menyatakan bahwa pemahaman dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, yaitu kesanggupan memahami makna yang terkandung di dalamnya; (2) tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran,
yaitu memahami grafik, menghubungkan dua konsep yang berbeda, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok; dan (3) tingkat ketiga adalah pemahaman ekstrapolasi, yakni kemampuan memahami dibalik yang tertulis, tersurat dan tersirat, meramalkan sesuatu atau memperluas wawasan. Suatu pendapat implikasi yang kaya dan yang rumit tentang proses pemahaman meliputi (1) Pemahaman adalah aktif bukan pasif; (2) Pemahaman merupakan sejumlah besar pengambilan keputusan; (3) Pemahaman adalah merupakan dialog antara penulis dan pembaca (Suwarto dan St. Y. Slamet, 2007: 137). Menurut Machener (dalam Sumarmo, 1987: 24), untuk memahami suatu objek secara mendalam, seseorang harus mengetahui: (1) Objek itu sendiri; (2) Relasinya dengan objek lain yang sejenis; (3) Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; (4) Relasi dual dengan objek lain yang sejenis; (5) Relasi dengan objek dalam teori lainnya. Menurut Sumarmo (1987: 24) ada 3 macam pemahaman, yaitu: (1) Pengubahan (translation);
(2) Pemberian arti
(interpretation);
(3) Pembuatan
ekstrapolasi
(extrapolation). Pemahaman siswa terhadap konsep Matematika menurut NCTM (dalam Munggaranti, 2007: 25) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Membuat contoh dan non contoh penyangkal; (3) Mempresentasikan suatu konsep dengan model, diagram, dan simbol; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk yang lain; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syaratsyarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan dan membedakan konsepkonsep. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah proses mengetahui inti atau ide pokok dari suatu keadaan, masalah atau sesuatu hal yang kita pelajari. Pemahaman yang baik harus disertai pengertian terhadap ekspresi yang dihadapi. Memahami berarti mengerti benar tentang sesuatu yang dipelajari. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat kesalahan yang sedikit atau siswa dapat mengerjakan semua tugas-tugas.
b. Pengertian Konsep
Konsep atau pengertian merupakan kondisi utama yang diperlukan untuk menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya berdasarkan kesamaan stimulus dan objek-objeknya (Djamarah & Zain, di dalam Trianto, 2007: 158). Sedangkan Carrol (dalam Trianto,2007: 158) mendefinisikan konsep sebagai suatu abstaksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok atau kejadian. Konsep adalah kategori-kategori yang mengelompokkan objek, kejadian dan karakteristik berdasarkan ciri atau bentuk umum (Zark & Tversky, 2001). Anak yang sudah memahami konsep suatu objek akan lebih mudah menerapkan dalam pemecahan permasalahan, misalnya saat anak diminta menyebutkan buah-buahan, maka anak akan menyebutkan apel, jeruk, nanas dan lain sebagianya tanpa harus dijelaskan terlebih dahulu. Banyak pengertian tentang konsep yang berkembang dikalangan ahli kognitif dan pendidikan, misalnya saja, Hulse, Egeth, dan Deese (dalam Suharnan, 2005) mendefinisikan konsep sebagai sekumpulan atau seperangkat sifat yang dihubungkan oleh aturan-aturan tertentu. Dalam Suwarto dan St. Y. Slamet (2007: 3) konsep adalah kata yang menyatakan astraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. Konsep merupakan bayangan mental, ide dan proses. Pembentukan konsep merupakan ketajaman berpikir dalam mengklasifikasikan objek atau ide (Solso, 2001). Walgito (1992) mengemukakan bahwa konsep merupakan konstruksi simbolik yang menggambarkan ciri-ciri suatu objek atau kejadian, (misalnya konsep tentang manusia, segitiga, merah, belajar, dsb). Dengan kemampuan manusia untuk membentuk konsep atau pengertian, memungkinkan manusia untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan benda-benda atau kejadian-kejadian. Konsep adalah elemen dari kognisi yang membantu menyederhanakan dan meringkas informasi (Hahn & Ramscar, dalam Santrock, 2007). Teori Vygotsky mengatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa, daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini (Trianto, 2007: 107)
Menurut Morgan (1989) konsep adalah konstruksi atau gambaran untuk susunan simbolik yang mewakili suatu kejadian atau hal yang umum dan sering terjadi (Morgan, 1989). Kemampuan manusia dalam membentuk suatu konsep memudahkan manusia dalam mengkategorisasikan sesuatu. Konsep warna “merah” misalnya, kita dapat mengklasifikasikan objek-objek yang berwarna merah atau tidak. Contoh yang lain adalah “buah-buahan”, kita dapat mengklarifikasikan mana yang merupakan buah dan mana yang bukan. Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Siswa mengembangkan suatu konsep ketika mereka mampu mengklasifikasikan atau mengelompokan benda-benda atau ketika mereka dapat mengasosiasikan suatu nama dengan kelompok benda tertentu ( Mulyono Abdurrahman, 2003: 254 ). Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel di dalam (Trianto, 2007: 94) adalah bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar menjadi bermakna maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Dari pemaparan pendapat tentang konsep di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penguasaan konsep adalah merupakan proses belajar mental yang lebih tinggi untuk menentukan apa inti dari setiap hal yang dipelajari untuk membantu menyederhanakan dan meringkas informasi yang didapat, sehingga membantu proses mengingat lebih efisien.
4. Hakikat Model Pembelajaran Kontekstual a.
Pengertian Model Pembelajaran Proses pembelajaran di sekolah tidak lepas dari perangkat dalam pembelajaran
seperti metode, strategi, prencana pembelajaran, media, kurikulum, dan lain sebagainya. Salah satu diantara yang lainnya adalah model pembelajaran. Terdapat banyak model pembelajaran baru, yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan aktifitas pembelajaran. Model yakni cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan informasi dari guru, dimana informasi tersebut dibutuhkan untuk mencapai kompetensi pengajaran (Dwijiastuti, dkk, 2005: 5).
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain menurut Joyce di dalam (Trianto, 2007: 5). Arends dalam (Trianto, 2007: 5-6), menyatakan “The term teaching model refers to a particular appoarch to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system.” Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah: (1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Kardi dan Nur, di dalam Trianto, 2007: 6) Dalam kehidupan sehari-hari, kata model digunakan dalam beberapa konteks. Dalam lingkup pendidikan istilah model telah lama digunakan. Model mengajar merupakan patokan bagi guru untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar. Model pembelajaran adalah suatu pola instruksional yang memberikan proses sepesifikasi dan penciptaan situasi lingkungan tertentu yang mengakibatkan para siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan khusus pada tingkah laku mereka (Dwijiastuti, dkk, 2005:24).
b. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual Kontekstual adalah suatu pendekatan pendidikan yang berbeda, melakukan lebih dari pada menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam keadaan mereka sendiri (Elaine B. Johnson, 2007: 64).
Pengertian Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex). Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian” (Depdiknas, 2001: 591). Kontekstual (contextual) diartikan “sesuatu yang berhubungan dengan konteks (contex)” (Depdiknas, 2001: 591). Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman konsep siswa dalam menyerap sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa yang mereka pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang berasumsi sebagi berikut. Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka (siswa) memiliki yaitu ingatan, pengalaman, dan balikan (respon), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan untuk menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut ( Gafur, 2003: 1 ). Penemuan makna adalah ciri utama dari Model pembelajaran kontekstual. Di dalam kamus “makna” diartikan sebagai arti dari sesuatu atau maksud ( Elaine B. Johnson, 2007: 35 ). Ketika diminta untuk mempelajari sesuatu yang tidak bermakna, para siswa biasanya bertanya, “Mengapa kami harus mempelajari ini?”. Karena otak terus-menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang bermakna, proses mengajar harus melibatkan para siswa dalam pencarian makna. Model pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Shawn & Anna (2003) Contextual Teaching and Learning (CTL) is e new instructional approach rapidly being adopted, particularly science teacher, accros the nation. It is a conception of teaching and learning in which teachers relate subject matter to real world situations. It motivates students to apply what they learn to their lives as a family members, citizen, and workers and engage in the hard work that learning requires. ( http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ 02/02/2010).
Pengertian diatas yaitu CTL merupakan pendekatan instruksional baru yang diadopsi terutama untuk pengetahuan guru di negara. CTL adalah sebuah konsep dari mengajar dan belajar dimana guru menghubungkan suatu subjek dalam situasi dunia nyata siswa. CTL memotivasi siswa untuk menerapkan apakah mereka belajar untuk kehidupan, keluarga, warganegara, dan pekerja. Proses mengajar harus memungkinkan para siswa memahami arti pelajaran yang mereka pelajari. Dalam model pembelajaran kontekstual pembelajaran kontekstual meminta para siswa melakukan hal itu. Karena kontekstual mengajak para siswa membuat hubungan-hubungan yang mengungkapkan makna, maka kontekstual memiliki potensi untuk membuat para siswa berminat belajar. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Menurut kerangka berpikir atau asumsi di atas model pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran (pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dari pemahaman konsep akan lebih bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kontekstual pada prinsipnya sebuah pembelajaran yang berorientasi pada penekanan makna pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang nyata.
c.
Sistem Model Pembelajaran Kontekstual Sistem dalam model pembelajaran kontekstual mencakup delapan komponen (
Elaine B. Johnson, 2007: 65-66) berikut ini: 1.
Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
2.
Melakukan pekerjaan yang berarti
3.
Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
4.
Bekerja sama
5.
Berpikir kritis dan kreatif
6.
Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
7.
Mencapai standar yang tinggi
8.
Menggunakan penilaian autentik. Sistem model pembelajaran kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang
bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dalam konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka (Elaine B. Johnson, 2007: 67 ). Ketika dalam pembelajaran mereka menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan komponen-komponen kontekstual, yang sesuai dengan kebutuhan manusia untuk mencari makna dan kebutuhan otak untuk menjalin pola-pola, secara intuitif mereka mengikuti cara yang sesuai dengan penemuan-penemuan dalam psikologi dan penelitian tentang otak. Mereka menghubungkan isi dari subyek-subyek akademik dengan pengalaman-pengalaman para siswa sendiri untuk memberi makna dalam pelajaran. Pada waktu yang bersamaan, tanpa disadari, mereka telah mengikuti tiga prinsip yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern sebagai prinsip yang menunjang dan mengatur segalanya di alam semesta menurut Brooks & Brooks, Dewey, Kovalik, Thorndike ( dalam Elain B. Johnson, 2007: 68). Dengan kata lain, cara mengajar yang menggunakan komponen-komponen kontekstual sesuai dengan kerja alam. Kesesuaian dengan cara alam adalah alasan mendasar yang menyebabkan sistem kontekstual memiliki kekuatan yang luar biasa untuk meningkatkan kinerja siswa.
d. Tujuan Model Pembelajaran Kontekstual Model Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui peningkatan pemahaman konsep makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan anggota bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya diperlukan guru-guru yang
berwawasan kontekstual, materi pembelajaran yang bermakna bagi siswa, strategi, metode dan teknik belajar mengajar yang mampu mengaktifkan semangat belajar siswa, alat peraga pendidikan yang bernuansa kontekstual, suasana dan iklim sekolah yang juga bernuansa kontekstual sehingga situasi kehidupan sekolah dapat seperti kehidupan nyata di lingkungan siswa. Model
pembelajaran
kontekstual
diharapkan
terjadi
pembelajaran
yang
menyenangkan, tidak membosankan, siswa bisa kerja sama, belajar secara aktif, berbagai sumber disekitar siswa bisa digunakan sehingga siswa akan lebih kritis, dan guru lebih kreatif. Kalau model pembelajaran kontekstual ini dapat dilakukan dengan baik oleh para pendidik, tentunya sedikit banyak akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Semoga dengan model pembelajaran kontekstual standar kompetensi yang harus dimiliki oleh pesarta didik dapat dicapai. Dalam kelas yang menerapakan model pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru membantu siswa untuk mengkaitkan materi Matematika yang sedang dipelajari dengan pengalaman yang sudah dimiliki oleh siswa atau mengkaitkannya dengan dunia nyata, kemudian siswa secara mandiri mengkonsepkan pengetahuan baru yang didapatnya. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan model pembelajaran kontekstual.
e.
Komponen Model Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran berbasis kontekstual menurut Sanjaya (Sugiyanto, 2009: 17)
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yakni kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya. Model pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen yaitu: 1.
Kontruktivisme, yaitu pengetahuan siswa dibangun oleh dirinya sendiri atas dasar pengalaman, pemahaman konsep, persepsi dan perasaan siswa, bukan dibangun atau diberikan oleh orang lain. Jadi, guru hanya berperan dalam menyediakan kondisi atau memberikan suatu permasalahan.
2.
Inquiry (menemukan), dalam hal ini sangat diharapkan bahwa apa yang dimiliki siswa baik pengetahuan dan ketrampilan diperoleh dari hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat dari apa yang disampaikan guru. Inkuiri diperoleh melalui
tahap observasi (mengamati), bertanya (menemukan dan merumuskan masalah), mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisa dan membuat kesimpulan. 3.
Bertanya, dalam pembelajaran kontekstual, bertanya dapat digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan siswa. Sehingga siswa pun akan dapat menemukan berbagai informasi yang belum diketahuinya.
4.
Masyarakat Belajar, hal ini mengisyaratkan bahwa belajar itu dapat diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Masyarakat belajar ini dapat kita latih dengan kerja kelompok, diskusi kelompok, dan belajar bersama.
5.
Pemodelan, agar dalam menerima sesuatu siswa tidak merasa samar atau kabur dan bingung maka perlu adanya model atau contoh yang bisa ditiru. Model tak hanya berupa benda tapi bisa berupa cara, metode kerja atau hal lain yang bisa ditiru oleh siswa.
6.
Refleksi yaitu cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari sebelumnya, atau apaapa yang sudah dilakukan dimasa lalu dijadikan acuan berpikir. Refleksi ini akan berguna agar pengetahuan bisa terpatri dibenak siswa dan bisa menemukan langkahlangkah selanjutnya.
7.
Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessement ) yaitu penilaian yang sebenarnya terhadap pemahaman konsep siswa. Penilaian yang sebenarnya tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, sehingga dalam penilaian sebenarnya tidak bisa dilakukan hanya dengan satu cara tetapi menggunakan berbagai ragam cara penilaian.
f.
Kegiatan dalam Model Pembelajaran Kontekstual
Urutan kegiatan pembelajaran kontekstual menurut Gafur (2003, 6-7) diunduh dalam (http://www.sekolahku.info.com.13/02/2010 ) adalah sebagai berikut: 1.
Pembelajaran Pendahuluan (Pre-instructional Activities) Pada umumnya kegiatan pembelajaran pendahuluan atau kegiatan awal dilaksanakan dengan kegiatan apersepsi atau prates. Dalam pembelajaran kontekstual, selain melaksanakan kegiatan tersebut kegiatan pembelajaran pendahuluan dikembangkan dengan kegiatan lain yang merupakan penjabaran dari prinsip “keterkaitan”
(relating). Kegiatan ini meliputi: pemberian tujuan, ruang lingkup materi (akan lebih baik dilengkapi peta konsep yang menggambarkan struktur atau jalinan antara materi), manfaat atau kegunaan suatu topik baik untuk keperluan sekarang maupun belajar yang akan datang, manfaat atau relefansinya untuk bekerja dikemudian hari, dll. Dari pembelajaran pendahuluan yang melibatkan kegiatan prates, dapat diketahui kesiapan siswa untuk menerima materi pembelajaran. Siswa yang sudah menguasai pembelajaran diperbolehkan mempelajari topik berikutnya sedangkan siswa yang belum menguasai topik pelajaran diberi pembekalan atau matrikulasi. Setelah itu, mereka diperbolehkan mempelajari topik berikutnya. 2.
Penyampaian Materi Pembelajaran (Presenting Instructional Materials). Hal yang sangat penting untuk diperkatikan oleh guru penyampaian materi pembelajaran dalam pembelajaran kontekstual hendaknya jangan terlalu banyak penyajian yang bersifat “ekspositori (ceramah, dikte), dan deduktif”. Namun sebaliknya gunakanlah sebanyak mungkin metode penyajian atau presentasi seperti inquisitory, discovery, diskusi, inventori, induktif, penelitian mandiri”. Penyampaian materi pembelajaran diupayakan senantiasa menantang siswa untuk dapat memperoleh “pengalaman langsung, menemukan, menyimpulkan, serta menyusun sendiri konsep yang dipelajari”. Sejalan dengan konsep di atas, penyampaian materi pelajaran lebih mengarah pada prinsip pengalaman langsung, penerapan, dan kerjasama. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah alat peraga dan alat bantu sebagai alat pemusatan perhatian seperti “paduan warna, gambar, ilustrasi, penegas visual”. Kaitannya dengan masalah ini guru dapat memilih dan mengembangkan sendiri alat peraga maupun alat bantu pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
3.
Pemancingan Penampilan siswa (Eliciting Performance) Siswa merupakan subjek pembelajaran, bukan objek pembelajaran. Oleh sebab itu, siswalah yang lebih banyak berperan aktif dalam pembelajaran dari pada guru. Dalam hal ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu menyiapkan fasilitas dan kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif belajar. Untuk dapat mengaktifkan siswa dalam belajar, guru harus mampu memancing penampilan siswa (eliciting performance). Hal ini dimaksudkan untuk membantu
siswa dalam menguasai materi atau mencapai tujuan pembelajaran melalui kegiatan latihan (exercise) dan praktikum. Berdasarkan konsep di atas, prinsip pembelajaran kontekstual yang di gunakan dalam kegiatan ini adalah penerapan dan alih pengetahuan. Dengan demikian orientasi kegiatan siswa pada kegiatan pelatihan dan penerapan konsep dan prinsip yang dipelajari dalam konteks dan situasi yang berbeda, bukan sekedar kegiatan menghafal. 4.
Pemberian Umpan Balik (Providing Feedback) Pada umumnya pemberian umpan balik (providing feedback) dilakukan melalui kegiatan pascates. Hasilnya kemudian diinformasikan kepada siswa sebagai bahan umpan balik. Umpan balik itu sendiri diartikan yaitu” informasi yang diberikan kepada siswa mengenai kemajuan belajarnya”. Dalam prinsip pembelajaran kontekstual tidak dinyatakan secara eksplisit mengenai prinsip pembelajaran yang mengarah pada kegiatan umpan balik. Namun demikian, secara inplisit pemberian umpan balik dapat dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung baik dalam bentuk penilaian prates, penilaian proses, maupun pascates. Bahan umpan balik dapat diambil dari hasil penilaian melalui kegiatan pengamatan guru terhadap siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip belajar kontekstual. Aspek-aspek yang dinilai antara lain keaktifan siswa, penarikan simpulan, dan penerapan konsep. Selain itu umpan balik dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: Siswa diberi tugas mengerjakan soal-soal latihan, lalu diberi kunci jawaban. Dengan mengetahui kunci jawaban, mereka akan mengetahui apakah jawabannya benar atau salah. Umpan balik yang baik adalah umpan balik yang lengkap. Jika salah, siswa diberitahukan kesalahannya, mengapa salah, kemudian dibetulkan. Jika jawaban siswa benar, mereka diberi konfirmasi agar mereka mantap bahwa jawabannya benar. Agar siswa dapat menemukan sendiri jawaban yang benar, ada baiknya umpan balik diberikan tidak secara langsung (delay feedback) misalnya “jawaban yang benar anda baca lagi pada halaman 34”. Berdasarkan uraian di atas, pemberian umpan balik dapat melalui informasi hasil penilaian proses dan hasil pekerjaan siswa dalam mengerjakan soalsoal latihan, tugas-tugas, baik individu maupun kelompok, serta informasi dari hasil penilaian lainnya.
5.
Kegiatan Tindak Lanjut (Follow Up Activities). Kegiatan tindak lanjut dalam pembelajaran kontekstual, merupakan pembelajaran tingkat tinggi. Hal ini dikarenakan bentuk kegiatan tindak lanjut berupa “mentransfer pengetahuan (transfering) dan pemberian pengayaan (enrichment)”. Sebagaimana prinsip belajar trasfering dalam pembelajaran kontekstual, siswa akan belajar pada tataran yang lebih tinggi yakni belajar untuk dapat menemukan dan mencapai strategi kognitif. Kegiatan tindak lanjut berikutnya yakni “pengayaan yang diberikan kepada siswa yang telah mencapai prestasi sama atau melebihi dari yang ditargetkan, dan alat peraga diberikan kepada siswa yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam mencapai target pembelajaran yang telah ditentukan”. Dengan demikian komponen pembelajaran tindak lanjut dilaksanakan dengan cara menemukan prinsip pembelajaran alih pengetahuan (transfering). Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip model pembelajaran kontekstual dapat
diintegrasikan kedalam kegiatan pembelajaran yang biasa dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan sistem model pembelajaran kontekstual ini, guru dapat dengan segera melakukan perubahan dan pengembangan sistem pembelajaran yang dapat memberikan peluang lebih banyak terhadap keberhasilan belajar siswa.
g.
Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual Adapun kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kontekstual yang dikutip
dari (http//.www.anisah89.blogspot.com, 21/05/2010) adalah: 1.
Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual a) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. b) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran kontekstual menganut aliran
konstruktivisme,
dimana
seorang
siswa
dituntun
untuk
menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. 2.
Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual a) Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam model pembelajaran kontekstual. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksakan kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar menyadari dan dengan sadar dapat menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam dalam hal ini, tingkat kemampuan siswa yang berbeda-beda akan menyebabkan hasil pembelajaran dan tujuan pembelajaran sulit tercapai sacara merata. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kontekstual yang
dijabarkan di atas maka model pembelajaran kontekstual ini sangat cocok diterapkan untuk anak usia sekolah dasar, karena dengan diterapakan model pembelajaran kontekstual tersebut maka anak akan selalu berpikir kritis untuk menemukan dan mengkontruksi pengetahuan yang diperolehnya.
B. Penelitian Yang Relevan Relik Indarti (2005) tentang “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Pokok Bahasan Bangun Ruang dengan Model PAKEM melalui Alat Peraga Matematika Buatan Siswa Di Kelas V SD Negeri Turunan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali”, menyimpulkan bahwa alat peraga Matematika bangun ruang buatan siswa sendiri terbukti dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Sebelum tindakan pencapaian KKM ratarata nilai ulangan harian hanya 50% siswa yang dapat memahami pembelajaran luas dan
volume bangun ruang, pada siklus I menjadi 65% dan siklus II menjadi 80%. Terjadi peningkatan peningkatan pemahaman konsep tentang materi bangun ruang. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengambil mata pelajaran Matematika
materi
banngun
ruang,
sedangkan
perbedaannya
adalah
hmodel
pembelajaran yanng dipakai adalah PAKEM sedangkan dalam penelitian ini menggunakan model pembelajaran kontekstual.
C. Kerangka Berpikir Setiap guru harus memiliki wawasan yang luas apabila guru menginginkan tercapai tujuan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru harus menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan setiap materi yang diajarkan. Melihat kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kontekstual pada pembelajaran Matematika dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan peseta didik dalam memahami konsep bangun ruang. Model pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang didapat, atau suatu pembelajaran yang mengkaitkan pengetahuan dengan dunia nyata yang pernah dialami oleh siswa. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk kritis dan kreatif dalam mengkaitkan materi dengan dunia nyata sehingga pengetahuan yang dimiliki dapat lebih bermakna. Dalam penelitian ini, kondisi awal yang dihadapi pada SD Negeri 03 Sidanegara adalah pembelajaran Matematika belum menerapkan model pembelajaran kontekstual. Siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami materi bangun ruang yang diajarkan, ini ditunjukan dari hasil evaluasi awal sebelum dilakukan penelitian. Kemudian dilakukan penelitian tentang penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika. Dalam penelitian ini, peneliti bekerja sama dengan guru kelas IV untuk melaksanakan proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual. Penelitian dimulai dari Siklus I, pada siklus pertama ini telah diterapkan model pembelajaran kontekstual, hasil belajar siswa meningkat namun masih ada beberapa siswa yang belum mecapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yaitu nilai 65. Kemudian guru melanjutkan ke siklus II dengan model pembelajaran kontekstual namun dengan perlakuan yang berbeda dengan
siklus I yaitu guru menambahkan beberapa metode pembelajaran dalam kegiatan inti, hasil siklus II menunjukan peningkatan yaitu hanya terdapat 3 orang siswa yang tidak mencapai KKM, melihat target penelitian ini yang hanya menginginkan 80% siswa mencapai nilai diatas KKM, maka penelitian ini dihentikan, karena pada siklus II hasil belajar siswa naik yaitu sebanyak 88% siswa telah mencapai KKM. Dengan hasil tersebut menunjukan bahwa pemahaman konsep bangun ruang meningkat. Dari uraian di atas dapat digambarkan melalui skema sebagai berikut: Kondisi Awal
Guru belum menggunakan model pembelajaran kontekstual
Siswa: pemahaman konsep bangun ruang rendah
Tindakan
Dalam pembelajaran guru menggunakan model pembelajaran kontekstual
Siklus I (hanya 68% siswa yang mencapai KKM)
Kondisi Akhir
Melalui model pembelajaran kontekstual pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika dapat meningkat
Siklus II (88% siswa mencapai KKM, penelitian dihentikan)
Gambar 1. Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap”.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian 1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 03 Sidanegara, Kedungreja, Cilacap. Pemilihan tempat tersebut didasarkan pada pertimbangan: a.
Pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika pada kelas IV masih rendah.
b.
Pada tahun sebelumnya dalam proses pembelajaran Matematika belum menggunakan model pembelajaran kontekstual.
2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester dua (genap) Tahun ajaran 2009/2010. Lebih tepatnya bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2010 atau selama 6 bulan. Untuk penelitian di SDN 03 Sidanegara dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2010 yang terdiri dari 2 siklus, masing-masing siklus terdiri dari 3 kali pertemuan. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a.
Refleksi awal yang dilaksanakan pada minggu ketiga bulan maret.
b.
Silklus I dilaksanakan pada tanggal 23-30 Maret 2010 dengan rincian: tanggal 23 pertemuan I, tanggal 25 pertemuan II, dan tanggal 30 pertemuan III.
c.
Refleksi siklus I tanggal 1 April 2010, karena hasil yang didapat belum tuntas, maka dilanjutkan kesiklus II.
d.
Siklus II dilaksanakan pada tanggal 6 - 13 April 2010 dengan rincian: tanggal 6 April pertemuan I, tanggal 8 April pertemuan II, dan tanggal 13 April pertemuan III, karena hasil yang didapat sebanyak 80 % siswa telah mencapai KKM maka penelitian dihentikan.
e.
Penyusunan hasil penelitian dan konsultasi skripsi, akhir April sampai Juni 2010. (Lampiran 1, halaman 78)
38
B. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara, Kedungreja, Cilacap, dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang siswa yaitu 12 anak perempuan dan 13 anak laki-laki.
C. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Karena data yang akan diperoleh atau dikumpulkan berupa data yang langsung tercatat dari kegiatan di lapangan, maka bentuk pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif kualitatif dan jenis penelitiannya adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). 2. Strategi Penelitian Pada strategi penelitian ini langkah-langkah yang diambil adalah strategi tindakan kelas model siklus karena objek penelitian yang diteliti hanya satu sekolah. Adapun rancangan penelitiannya sebagai berikut: a.
Perencanaan Dalam tahapan perencanaan peneliti membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membuat soal-soal dan menyiapkan media pembelajaran.
b.
Tindakan Dalam penelitian ini dilaksanakan penelitian kolaboratif, jadi guru kelas yang bertugas untuk mengajar sesuai RPP yang dibuat peneliti menggunakan model pembelajaran kontekstual.
c.
Pengamatan Peneliti melakukan observasi atau pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang diamati antara lain keaktifan siswa, cara mengajar guru dalam menerapkan model pembelajaran kontekstual, dan sejauh mana model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan proses pembelajaran.
d.
Refleksi Peneliti melakukan refleksi terhadap hasil yang didapat dalam setiap siklus apakah telah berhasil atau belum dengan melihat hasil evaluasi siswa. D. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh ( Arikunta, 2007 : 107). Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini, sebagian besar berupa data kualitatif. Data atau informasi tersebut meliputi: 1.
Informan, yaitu guru dan siswa kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap.
2.
Arsip dan Dokumen a. Arsip
: Kurikulum dan Silabus 2006 Mapel Matematika.
b. Dokumen
: Daftar nilai hasil tes dan dokumentasi selama proses pembelajaran.
3.
Hasil pengamatan selama dilaksanakan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data di atas meliputi observasi, kajian dokumen, dan tes yang masing-masing diuraikan berikut ini: 1.
Observasi Observasi merupakan salah satu alat pengumpul data yang dilakukan dengan mengamati atau mencatat secara sistematis tentang semua gejala yang terjadi. Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrument ( Arikunta, 2007: 204). Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung. Observasi langsung (direct observation) adalah observasi yang dilakukan tanpa perantara (secara langsung) terhadap objek yang diteliti. Observasi dilakukan pada siswa kelas IV dan guru kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara untuk mengetahui proses penerapan model pembelajaran kontekstual dan untuk mengetahui keaktifan siswa selama proses kegiatan belajar mengajar.
2.
Wawancara Tujuan melakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya (Suwarto dan St. Y. Slamet, 2007: 48). Wawancara dilakukan terhadap kepala sekolah, guru, siswa untuk menggali informasi guna
memperoleh data yang berkaitan dengan proses dan hasil pembelajaran bangun ruang kelas IV menggunakan model pembelajaran kontekstual. 3.
Tes Pemberian tes dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan yang diperoleh siswa setelah kegiatan pembelajaran dan pemberian tindakan. Tes yang diberikan kepada siswa, yakni tes objektif dan subjektif dengan materi bangun ruang.
4.
Perekaman Perekaman dengan latar kamera foto, untuk memperjelas deskripsi berbagai situasi dan perilaku subjek yang diteliti dalam model pembelajaran kontekstual.
F. Validitas Data Untuk menjamin validitas data yang digunakan dalam penelitian ini, maka digunakan dua trianggulasi, yaitu: 1.
Trianggulasi data (sumber) yaitu mengumpulkan data sejenis dari sumber yang berbeda. Adapun caranya adalah membandingkan data hasil tes dengan hasil catatan lapangan, dan membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil lapangan, menurut Meleong (dalam Sukajati, 2008: 60). Dalam penelitian ini data yang dibandingkan untuk mengetahui pemahaman konsep bangun ruang siswa kelas IV adalah data yang berasal dari wawancara dan data observasi selama proses pembelajaran berlangsung.
2.
Trianggulasi metode yaitu mengumpulkan data yang berbeda mengarah pada sumber data yang sama dengan menggunakan metode pengumpulan yang berbeda. Metode yang digunakan untuk menjamin kevaliditasan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan observasi secara langsung dan wawancara.
G. Teknik Analisis Data Menurut Patton (dalam Moelong, 2007: 280) teknis analisis data adalah proses katagori uraian data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, katagori dan satuan
uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran
yaitu memberikan arti yang
signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis Interaktif. Model analisis interaktif mempunyai tiga buah komponen pokok yaitu Reduksi data, Sajian Data, Penarikan kesimpulan atau verifikasi menurut Miles (dalam Sukajati, 2008: 60) 1.
Reduksi data yaitu merupakan proses penelitian, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data yang muncul dari catatan lapangan yang berlangsung terusmenerus selama pengumpulan data, antara lain penyeleksian data melalui ringkasan atau uraian singkat;
2.
Penyajian data, yang merupakan sekumpulan informasi yang tersusun secara sistematis dan digunakan untuk penarikan kesimpulan dan tindakan;
3.
Penarikan simpulan, untuk mencapai kesimpulan yang beralasan dan tidak lagi berbentuk kesimpulan yang coba-coba, maka verifikasi dilakukan sepanjang penelitian berlangsung.
H. Indikator Kerja Penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap. Hal ini ditandai dengan siswa yang mencapai KKM (nilai 65) lebih dari 80% jumlah siswa seluruhnya. Adapun rincian indikator kerjanya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Indikator Keberhasilan Tindakan Penelitian untuk Aspek Kualitas Proses Aspek yang diukur (Aspek Proses)
Target Capaian
Cara Mengukur
Kualitas Proses
1. Guru dapat menerapkan
Diamati saat pembelajaran
model pembelajaran
berlangsung menggunakan
kontekstual dalam kelas
lembar observasi kinerja
sehingga pembelajaran
guru dan lembar observasi
menjadi hidup.
aktifitas siswa, oleh peneliti atau observer.
2. Siswa aktif dalam pembelajaran yaitu motivasi belajar siswa meningkat, siswa aktif mengajukan pertanyaan dan menjawab.
Tabel 2. Indikator Keberhasilan Tindakan Penelitian untuk Aspek Pemahaman Konsep Aspek yang diukur
Target Capaian (dihitung
(Pemahaman
dari jumlah siswa yang
Konsep Bangun
mencapai target tertentu)
Ruang) Kemampuan
Siklus I
Siklus II
64%
84%
Cara Mengukur
Dihitung dari jumlah siswa
memahami konsep
yang memperoleh nilai 65
sifat-sifat kubus
keatas dari evaluasi
dan balok
pertemuan pertama.
Kemampuan
72%
92%
Dihitung dari jumlah siswa
memahami konsep
yang memperoleh nilai 65
sifat-sifat kerucut,
keatas dari evaluasi
tabung, dan bola.
pertemuan kedua.
Kemampuan
68%
88%
Dihitung dari jumlah siswa
menemukan jaring-
yang memperoleh nilai 65
jaring kubus dan
keatas dari evaluasi
balok.
pertemuan ketiga.
Ketuntasan hasil
68%
88%
belajar
Dihitung dari rata-rata prosentase ketuntasan belajar siswa dari ketiga pertemuan dalam masingmasing siklus.
I.
Prosedur Penelitian Tindakan
Prosedur penelitian tindakan merupakan gambaran secara lengkap mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian. Tindakan yang ditempuh dimaksudkan untuk mengubah kondisi atau perilaku yang mencakup rencana, tindakan, observasi dan refleksi. Rencana tindakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini:
Siklus I
Siklus II
Perencanaan I
Perencanaan II
Refleksi
Tindakan
Refleksi
Observasi
Pembelajaran siklus II berhasil maka siklus dihentikan.
Tindakan
Observasi
Gambar 2. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa prosedur rencana tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Siklus I a. Rencana
1) Peneliti menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan materi bangun ruang sederhana, yang kemudian diberikan kepada guru kelas IV yang akan melaksanakan pembelajaran. Masing-masing siklus terdiri dari 3 kali pertemuan, masing masing pertemuan alokasi waktunya 2 x 35 menit. 2) Peneliti menyiapkan soal yang akan diujikan 3) Peneliti menyiapkan media pembelajaran 4) Peneliti menyiapkan lembar observasi b. Tindakan Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang dibuat peneliti dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran berlangsung selama 3 kali pertemuan. Dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator sedangkan siswa yang menemukan sendiri pemahaman konsep Matematika tentang bangun ruang. c. Observasi Peneliti melakukan observasi selama kegiatan pembelajaran Matematika tentang bangun ruang berlangsung. Pengamatan atau observasi dilaksanakan untuk mengamati cara guru mengajar dengan model pembelajaran kontekstual dan pengamatan terhadap keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan lembar observasi. d. Refleksi Mengadakan refleksi dari evaluasi selama kegiatan pelaksanaan tindakan berlangsung. Hasil evaluasi siswa menunjukan pemahaman siswa tentang bangun ruang masih rendah, maka perlu dilaksanakan siklus ke-II.
2.
Siklus II a. Rencana
1) Peneliti menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang berbeda dengan yang diterapkan dengan siklus I dengan materi bangun ruang, yang kemudian diberikan kepada guru kelas IV yang akan melaksanakan pembelajaran. 2) Peneliti menyiapkan soal yang akan diujikan 3) Peneliti menyiapkan media pembelajaran 4) Peneliti menyiapkan lembar observasi. b. Tindakan Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang dibuat peneliti dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual yang dalam kegiatan inti berbeda dengan siklus I. Pembelajaran siklus II berlangsung selama 3 kali pertemuan. Dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator sedangkan siswa yang menemukan sendiri pemahaman konsep Matematika tentang bangun ruang. c. Observasi Peneliti melakukan observasi selama kegiatan pembelajaran Matematika tentang bangun ruang berlangsung. Pengamatan atau observasi dilaksanakan untuk mengamati cara guru mengajar dengan model pembelajaran kontekstual dan pengamatan terhadap keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan lembar observasi. d. Refleksi Mengadakan refleksi dari evaluasi dan observasi selama kegiatan pelaksanaan tindakan. Hasil evaluasi siswa menunjukan pemahaman siswa tentang bangun ruang memuaskan, siswa telah mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) maka penelitian ini diberhentikan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 03 Sidanegara Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010. Tempat penelitian ini berlokasi di pemukiman penduduk. Staf yang ada di SD ini terdiri dari: 6 guru kelas, 1 guru agama islam, 1 guru penjaskes atau olahraga, 1 kepala sekolah, dan 1 penjaga sekolah. Siswa-siswa yang bersekolah di SDN 03 Sidanegara sebagian besar dari keluarga yang mempunyai latar belakang ekonomi sedang. Orang tua siswa sebagian besar bekerja sebagai petani, sehingga mereka kurang perhatian terhadap perkembangan belajar anaknya, akibatnya masih banyak anak yang mengalami kesulitan belajar. Pada kelas IV yang jumlah siswanya 25, masih banyak siswa yang kurang memahami konsep dari materi-materi yang dipelajari. Hal ini yang menjadikan alasan peneliti untuk mengadakan penelitian pada siswa kelas IV tentang pemahaman konsep bangun ruang pada pelajaran Matematika. Dalam hal ini peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas yaitu dengan siklus berulang. Masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Pada siklus I, pertemuan pertama membahas tentang sifat-sifat kubus dan balok. Pada pertemuan ini siswa disuruh menyebutkan benda-benda disekitar yang berbentuk kubus dan balok, kemudian siswa mengamati benda yang berbentuk kubus dan balok, serta menunjukan dan menyebutkan jumlah sisi, rusuk, dan titik sudut. Pada pertemuan kedua materi yang dipelajari adalah sifat-sifat tabung, kerucut dan bola. Pada pertemuan ini guru menyuruh siswa menemukan benda yang berbentuk tabung, kerucut dan bola, kemudian dengan media bangun tersebut siswa suruh mengamati dan disuruh menyebutkan perbedaan jumlah sisi, rusuk, dan titik sudut yang dimiliki ketiga bangun tersebut. Pada pertemuan ketiga, materi yang dipelajari adalah jaring-jaring kubus dan balok. Pada pertemuan ini guru menyuruh siswa membuat jaring-jaring kubus dan balok kemudian dihubungkan menjadi bangun ruang kubus dan balok. 47
Hasil yang dicapai siswa pada siklus I kurang memuaskan yaitu jumlah siswa yang tuntas atau nilai mencapai KKM kurang dari 80%, maka dilanjutkan dengan siklus II. Pada siklus II juga terdiri dari 3 kali pertemuan. Pada pertemuan pertama guru menambahkan motode kerja kelompok untuk mengidentifikasikan sisi, rusuk, dan titik sudut. Pada pertemuan kedua guru menyuruh siswa menggambar ketiga bangun ruang tersebut kemudian siswa membandingkan dengan gambar yang sebenarnya. Pada pertemuan ketiga guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 siswa dan masing-masing siswa telah ditugasi untuk membawa benda-benda yang terbuat daru kertas atau kardus yang berbentuk bangun ruang kemudian memotong benda tersebut menjadi berbagai macam bentuk jaring-jaring yang berbeda.
1.
Deskripsi Kondisi Awal
Sebelum melaksanakan proses penelitian, terlebih dahulu melakukan kegiatan survey awal dengan tujuan untuk mengetahui keadaan nyata yang ada di lapangan. Proses ini dilakukan melalui observasi dan tes awal pelajaran Matematika pokok bahasan bangun ruang di kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap, dengan hasil awal antara lain: guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dalam menjelaskan materi pelajaran, kegiatan pembelajaran kurang hidup, guru tidak menyiapkan media yang bervariasi dalam menjelaskan materi pelajaran, guru kurang sigap dalam merespon jawaban siswa, guru kurang banyak memberikan contoh soal, guru kurang aktif dalam mengelola kelas. Sedangkan permasalahan yang ditemui pada diri siswa yaitu: siswa kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran, siswa kurang memperhatikan penjelasan dan tugas dari guru, siswa masih banyak yang takut untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru. Dari hasil evaluasi awal sebelum diterapkan model pembelajaran kontekstual pada pelajaran Matematika materi bangun ruang menunjukan pemahaman konsep siswa masih rendah yaitu dari 25 siswa hanya 44% atau 11 siswa yang mendapatkan nilai diatas batas KKM ( nilai 65 ), sedangkan ada 14 anak yang nilainya di bawah KKM. Fakta hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar siswa mendapatkan nilai rendah. Dengan demikian dapat dikatakan pemahaman konsep siswa tentang bangun
ruang masih kurang, maka perlu ditingkatkan. Berdasarkan data nilai yang diperoleh pada tes awal dapat dibuat tabel frekuensi sebagai berikut: Tabel 3 Data Frekuensi Nilai Tes Awal Sebelum Tindakan No
Nilai
Frekuensi
Prosentase
1
21-30
0
0%
2
31-40
1
8%
3
41-50
4
16%
4
51-60
9
36%
5
61-70
7
28%
6
71-80
4
16%
7
81-90
0
0%
25
100%
JUMLAH
Berdasarkan tabel 3 tentang frekuensi nilai awal siswa tentang pemahaman konsep awal siswa tentang bangun ruang dapat digambarkan:
Gam bar 3. Grafik Nilai Awal Siswa Sebelum Tindakan
Tabel 4. Hasil Tes Awal Keterangan
Ujian Awal
Nilai terendah
40
Nilai tertinggi
80
Rata-rata nilai
60,16
Siswa belajar tuntas
44%
Analisis hasil evaluasi dari tes awal siswa diperoleh nilai rata-rata kemampuan awal siswa kelas IV tentang bangun ruang yaitu 60,16 dari hasil rata-rata nilai siswa tersebut masih dibawah nilai rata-rata yang diinginkan dari pihak guru, peneliti dan sekolah adalah 65. Sedangkan besarnya prosentase siswa tuntas belajar yaitu 44%, dari pihak sekolah ketuntasan siswa diharapkan mencapai lebih dari 80%. Dari hasil analisis tes awal tersebut, maka dilakukan tindak lanjut untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa, proses kegiatan belajar mengajar khususnya pada materi bangun ruang.
B. Deskripsi Data Tindakan
Deskripsi pelaksanaan tindakan dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari paparan siklus I dan paparan siklus II. 1. Tindakan Siklus I Deskripsi data tindakan siklus I terdiri dari paparan data perencanaan, data tindakan, data observasi dan data refleksi. a. Tahap perencanaan Tahap perencanaan dilaksanakan sebagai awal untuk melakukan tindakan pada kegiatan pembelajaran. Adapun langkah-langkah persiapan peneliti dalam tahap perencanaan yaitu: Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, peneliti membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang kemudian didiskusikan dengan guru kelas IV yang akan melaksanakan pembelajaran. Peneliti juga menyiapkan media dan soal yang akan digunakan oleh guru kelas IV dalam pembelajaran bangun ruang, pelaksanaan tindakan siklus I disepakati menjadi tiga kali pertemuan yang masing-masing pertemuan alokasi waktunya 2x 35 menit yaitu pada hari selasa 23 Maret 2010, kamis 25 Maret 2010, dan selasa 30 Maret 2010.
Dengan berpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD kelas IV, peneliti melakukan langkah-langkah perencanaan pembelajaran materi bangun ruang menggunakan model pembelajaran kontekstual.
Standar Kompetensi : Memahami hubungan antara bangun ruang sederhana dan hubungan antara bangun datar. Kompetensi Dasar : a. Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana. b. Menentukan jaring-jaring balok dan kubus. Indikator: a) Menyebutkan sifat-sifat kubus dan balok. b) Menyebutkan sifat-sifat bangun ruang tabung, kerucut, dan bola. c) Menggambarkan bangun ruang sederhana sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki. d) Menggambarkan dan membuat berbagai jaring-jaring kubus. e) Menggambarkan dan membuat berbagai jaring-jaring balok. b. Pelaksanaan Tindakan : Dalam siklus I ini dibagi menjadi tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama membahas tentang sifat-sifat kubus dan balok, pertemuan kedua membahas tentang sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola, sedangkan pertemuan ketiga membahas tentang jaring-jaring kubus dan balok. Pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) Pertemuan Pertama Dalam pelaksanaan tindakan dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan awal, inti dan penutup. Kegiatan awal disini adalah sebelum pelajaran dimulai guru memimpin doa, mengabsen siswa kemudian mengkodisikan kelas. Apersepsi yang dilakukan guru adalah siswa disuruh membedakan bangun ruang dan bangun datar yaitu dengan media buku dan ruang kelas dan kubus.
Sedangkan kegiatan intinya adalah melaksanakan pembelajaran mengenai sifat-sifat kubus dan balok serta menggambar kubus dan balok. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : a) Guru meminta siswa mengamati lingkungan sekitar ruang kelas dan disuruh menemukan benda-benda disekitar kelas yang merupakan bangun ruang dan yang termasuk bangun datar, kemudian menyebutkan perbedaan kedua bangun tersebut. b) Siswa mengidentifikasikan benda-benda tersebut mana yang merupakan kubus dan balok kemudian diidentifikasikan perbedaan kedua bangun tersebut. c) Salah seorang siswa disuruh maju dan membedakan kedua bangun tersebut. d) Melalui diskusi dengan teman sebangku siswa disuruh membedakan mana yang disebut sisi, rusuk, dan titik sudut. e) Beberapa siswa maju dan menunjukan mana yang disebut sisi, rusuk, dan titik sudut yang dimiliki oleh kubus dan balok. f) Guru memberikan apresiasi pada siswa yang menunjukan sisi, rusuk, dan titik sudut kubus dan balok dengan benar. g) Siswa mengerjakan contoh soal latian yang dibuat oleh guru. h) Guru menyuruh siswa maju kedepan untuk menjawab soal tersebut kemudian dibahas bersama-sama. Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep sifat-sifat kubus dan balok dengan menyimpulkan materi yang dipelajari. Setelah itu siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan pertama. (Lampiran 5, halaman 85)
2) Pertemuan kedua Pertemuan kedua membahas tentang sifat-sifat bangun ruang tabung, kerucut, dan bola. Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya hanya apersepsinya yang berbeda yaitu guru mengulang pelajaran yang kemarin dan disuruh menyebutkan macam-macam bangun ruang sederhana.
Kegiatan inti dalam pertemuan kedua ini adalah: a) Guru meminta siswa menyebutkan benda-benda disekitar kelas yang merupakan bangun ruang tabung kerucut dan bola. b) Siswa mengamati benda-benda disekitar yang termasuk tabung, kerucut dan bola. c) Guru membagi siswa dalam 6 kelompok kemudian melalui pengamatan secara berkelompok siswa menyebutkan persamaan dan perbedaan ketiga bangun ruang tersebut. d) Masing-masing kelompok mengutarakan pendapatnya secara bergantian di depan kelas. e) Guru memberikan tugas
masing-masing kelompok untuk melakukan
pengamatan dan menyebutkan jumlah sisi, rusuk dan titik sudut. f) Guru memberikan apresiasi pada kelompok yang menyebutkan sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola dengan benar g) Guru menyuruh masing-masing siswa menggambarkan tabung, kerucut dan bola. Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola dengan menyimpulkan materi yang dipelajari. Setelah itu siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan kedua. (Lampiran 5, halaman 90)
3) Pertemuan ketiga Pertemuan ketiga membahas tentang jaring-jaring kubus dan balok. Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya hanya apersepsinya yang berbeda yaitu memberikan pertanyaan “Kubus kalau dibuka dinamakan apa?”. Kegiatan inti dalam pertemuan ketiga ini adalah: a) Guru membagi siswa kedalam lima kelompok, kemudian guru memberikan tugas pada semua kelompok untuk membuat jaring-jaring kubus dan balok. b) Siswa secara berkelompok membuat berbagai jenis jaring-jaring kubus dan balok. c) Guru mengamati cara siswa membuat jaring-jaring kubus dan balok.
d) Masing-masing kelompok memperlihatkan hasil pekerjaan kelompok yang mereka buat. e) Guru menyuruh masing-masing kelompok menyatukan salah satu jaring-jaring kubus dan balok yang mereka buat. f) Kelompok yang tercepat dan paling rapih diberikan apresiasi oleh guru. Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep menemukan jaring-jaring kubus dan balok
dengan
menyimpulkan materi yang dipelajari. Setelah itu siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan ketiga. (Lampiran 5, halaman 94)
c. Observasi Peneliti melakukan pengamatan tingkah laku dan sikap siswa selama pembelajaran Matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berlangsung serta observer mengamati keterampilan guru kelas IV dalam mengajar dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual.
d. Analisis dan Refleksi Dari hasil penelitian siklus I, peneliti melakukan analisis dan refleksi hasil pembelajaran pada masing-masing pertemuan didapatkan ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus I ini masih kurang, maka perlu dilanjutkan kesiklus II. Adapun data hasil belajar siswa tentang pemahaman konsep bangun ruang pada siklus I adalah sebagai berikut: Pada siklus I guru melakukan evaluasi pada masing-masing pertemuan, jadi ada 3 hasil evaluasi dengan indikator yang berbeda pada siklus I ini. 1) Hasil Nilai pada Pertemuan Pertama Siklus I Tabel 5. Data Frekuensi nilai pada Pertemuan Pertama Siklus I Indikator : menyebutkan sifat-sifat kubus dan balok serta menggambar kubus dan balok. No
Nilai
Frekuensi
Prosentase
1
31-40
0
0%
2
41-50
1
4%
3
51-60
7
28%
4
61-70
11
44%
5
71-80
4
16%
6
81-90
2
8%
7
91-100
0
0%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 5 tentang frekuensi nilai pada pertemuan pertama siklus I tentang sifatsifat kubus dan balok dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Gamb ar 4. Grafik Nilai Siswa Pertemuan Pertama Siklus I
Tabel 6. Hasil Tes Pertemuan Pertama Siklus I Keterangan
Hasil Nilai
Nilai terendah
50
Nilai tertinggi
85
Rata-rata nilai
66,8
Siswa belajar tuntas
64%
2) Hasil Nilai Siswa pada Pertemuan kedua Siklus I Tabel 7. Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Kedua Siklus I
Indikator
:
Menyebutkan
sifat-sifat
tabung,
kerucut,
dan
bola
serta
menggambarkannya. No
Nilai
frekuensi
Prosentase
1
41-50
0
0%
2
51-60
7
28%
3
61-70
8
32%
4
71-80
7
28%
5
81-90
2
8%
6
91-100
1
4%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 7 tentang frekuensi nilai pada pertemuan kedua siklus I tentang sifatsifat tabung, kerucut, dan bola dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Gambar 5. Grafik Nilai Pertemuan kedua Siklus I Tabel 8. Hasil Tes Pertemuan Kedua Siklus I Keterangan
Hasil Nilai
Nilai terendah
55
Nilai tertinggi
95
Rata-rata nilai
70,4
Siswa belajar tuntas
72%
3) Hasil Nilai Siswa pada Pertemuan Ketiga Siklus I Tabel 9. Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Ketiga siklus I Indikator : menentukan jaring-jaring kubus dan balok. No
Nilai
frekuensi
Prosentase
1
41-50
0
0%
2
51-60
6
24%
3
61-70
9
36%
4
71-80
6
24%
5
81-90
2
8%
6
91-100
2
8%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 9 tentang frekuensi nilai pada pertemuan ketiga siklus I tentang menentukan jaring-jaring kubus dan balok dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Gambar 6. Grafik Nilai Pertemuan Ketiga Siklus I Tabel 10. Hasil Nilai Pertemuan Ketiga Siklus I Keterangan Hasil Nilai Nilai terendah
52
Nilai tertinggi
100
Rata-rata nilai
70,24
Siswa belajar tuntas
68%
Dari hasil evaluasi ketiga pertemuan diatas maka dapat digambarkan ditarik satu kesimpulan pemahaman konsep siswa masih rendah yaitu dirata-rata dari hasil evaluasi ketiga pertemuan tersebut adalah 68% siswa tuntas belajar atau meningkat 24% dari keadaan awal siswa yang hanya 44%. Grafik perbandingan prosentase siswa belajar tuntas pada siklus I dengan keadaan awal adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Grafik Perbandingan Prosentase Siswa Belajar Tuntas Awal dengan Siklus I 2.
Tindakan Siklus II
Tindakan siklus II dilaksanakan mulai tanggal 6 April 2010 sampai dengan 13 April 2010, perencanaan kegiatan dilaksanakan 3 kali pertemuan. Adapun tahapan kegiatan pada siklus II ini meliputi: a.
Tahap Perencanaan Pada tahapan ini peneliti mengkaji perencanaan pada siklus I, yang diketahui terjadi peningkatan tetapi belum mencapai batas yang ditetapkan peneliti yaitu 80%
pada materi bangun ruang. Oleh karena itu peneliti melakukan konsultasi dengan guru kelas IV untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam pelajaran Matematika. Sebagai tindak lanjut penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman konsep dan proses pembelajaran maka kegiatan perencanaan pada siklus II, peneliti membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang indikartornya sama dengan siklus I, tetapi dalam kegiatan pembelajaran ditambah beberapa metode seperti kerja kelompok, unjuk kerja dan sebagainya. Rencana pembelajaran kemudian didiskusikan dengan guru kelas IV yang akan melaksanakan pembelajarannya. Adapun indikator yang ingin dicapai dalam siklus II ini sama dengan siklus I karena pada siklus I, kesemua indikator tersebut belum tercapai maksimal. Indikatornya yaitu : a) Menyebutkan sifat-sifat kubus dan balok b) Menyebutkan sifat-sifat bangun ruang tabung, kerucut, dan bola c) Menggambarkan bangun ruang sederhana sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki d) Menggambarkan dan membuat berbagai jaring-jaring kubus e) Menggambarkan dan membuat berbagai jaring-jaring balok. b. Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran Matematika melalui penerapan model pembelajaran kontekstual dalam siklus II ini dibagi dalam tiga kali pertemuan yang masing-masing pertemuan alokasi waktunya adalah 2 jam pelajaran. 1) Pertemuan Pertama Dalam pelaksanaan tindakan dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan awal, inti dan penutup. Kegiatan awal disini adalah sebelum pelajaran dimulai guru memimpin doa, mengabsen siswa kemudian mengkodisikan kelas. Apersepsi yang dilakukan guru adalah menanyakan unsur-unsur apa saja yang dimiliki bangun ruang. Sedangkan kegiatan intinya adalah melaksanakan pembelajaran mengenai sifat-sifat kubus dan balok serta menggambar kubus dan balok. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut :
a) Guru menyuruh siswa mengeluarkan kubus dan balok yang telah mereka bawa dari rumah kemudian membagi mereka dalam beberapa kelompok kecil. b) Guru meminta siswa secara berkelompok untuk mengamati kubus dan balok yang mereka bawa dan disuruh mengukur panjang masing-masing rusuknya. c) Guru memberi contoh mengidentifikasi sisi kubus dengan menulisi kubus. d) Guru menyuruh siswa menulisi setiap titik kubus dengan satu huruf, setelah itu mereka disuruh mengidentifikasikan nama sisinya, setelah ditemukan sisi tersebut disilang supaya tidak disebutkan kembali, begitu juga dengan rusuk dan titik sudut. e) Guru
menyuruh
beberapa
siswa
maju
untuk
menunjukan
cara
mengidentifikasikan sisi, rusuk, dan titik sudut. f) Masing-masing siswa disuruh menuliskan nama sisi, rusuk, dan titik sudut yang ditulis pada kubus yang mereka bawa. g) Guru mengamati hasil pekerjaan siswa Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep sifat-sifat kubus dan balok dengan menyimpulkan materi yang dipelajari. Siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan pertama siklus II. (Lampiran 9, halaman 107 ) 2) Pertemuan Kedua Pertemuan kedua membahas tentang sifat-sifat bangun ruang tabung, kerucut, dan bola. Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya hanya apersepsinya yang berbeda yaitu guru mengulang pelajaran yang kemarin dan disuruh menyebutkan macam-macam bangun ruang sederhana. Kegiatan inti dalam pertemuan kedua ini adalah: a) Guru meminta siswa menyebutkan benda-benda disekitar kelas yang merupakan bangun ruang tabung, kerucut dan bola. b) Guru meminta siswa mengamati dan menyebutkan jumlah sisi, rusuk, dan titik sudut yang dimiliki oleh tabung, kerucut, dan bola. c) Melalui pengamatan siswa dapat menemukan jumlah sisi dan bentuk sisi ketiga bangun tersebut.
d) Guru membantu siswa untuk memperjelas pemahaman konsep mereka dengan cara membandingkan gambar tabung dan tabung yang sebenarnya dan siswa disuruh mengamatinya. e) Siswa maju untuk menjelaskan perbedaan gambar tabung dengan tabung yang sebenarnya, yaitu menunjukan yang dinamakan sisi, rusuk dan titik sudut pada tabung yang sebenarnya dan pada gambar di papan tulis. f)
Guru menyuruh siswa yang lain untuk menggambar kerucut dan mambandingkan sifat-sifatnya antara gambar dan bangun yang sebenarnya.
g) Guru memberikan apresiasi pada siswa yang telah berani maju untuk mencoba menyebutkan sifat-sifat bangun ruang tersebut. h) Guru memperjelas materi dengan cara membuka bagian tabung dan kerucut untuk membuktikan sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola. Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola dengan menyimpulkan materi yang dipelajari. Siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan kedua siklus II. (Lampiran 9, halaman 113) 3) Pertemuan Ketiga Pertemuan ketiga membahas tentang jaring-jaring kubus dan balok. Kegiatan awal sama seperti pertemuan sebelumnya hanya apersepsinya yang berbeda yaitu memberikan pertanyaan “Kubus itu terdiri dari berapa persegi, lalu bagaimana cara membuktikannya?”. Kegiatan inti dalam pertemuan ketiga ini adalah: a) Guru meminta masing-masing siswa mengeluarkan kardus korek api atau bangun ruang yang berbentuk balok dan bangun ruang yang berbentuk kubus yang telah mereka bawa. b) Guru membagi siswa kedalam lima kelompok, kemudian guru memberikan tugas pada semua kelompok untuk menyayat atau menggunting kardus atau kubus dan balok yang mereka bawa menjadi jaring-jaring kubus dan balok yang berbeda. c) Guru mengamati hasil pekerjaan siswa.
d) Kelompok yang telah selesai membuat jaring-jaring menempelkan satu jaring-jaring balok di papan tulis, hingga semua kelompok menempelkannya. e) Guru mengamati jaring-jaring balok yang ditempelkan siswa di depan kelas kemudian mencoba untuk merekatkannya menjadi balok kembali, ada beberapa jaring-jaring yang bentuknya benar tapi setelah direkatkan kembali tidak menjadi balok yang utuh. f)
Guru menyuruh siswa menyatukan kembali menjadi bangun ruang kubus atau balok yang tidak ditempelkan di depan kelas, karena tidak setiap potongan dapat membetuk jaring-jaring yang benar.
g) Siswa menggambarkan jaring-jaring kubus dan balok di buku tulis Kegiatan penutup adalah setelah selesai guru menjembatani siswa untuk menemukan konsep menemukan jaring-jaring kubus dan balok
dengan
menyimpulkan materi yang dipelajari. Siswa disuruh mengerjakan soal evaluasi pertemuan ketiga siklus II. (Lampiran 9, halaman 117 )
c.
Observasi Peneliti
melaksanakan
observasi
terhadap
pelaksanaan
pembelajaran
menggunakan model pembelajaran kontekstual. Objek yang diobservasi sama dengan siklus I, yaitu sikap siswa selama proses pembelajaran Matematika dengan model pembelajaran kontekstual berlangsung, dan ketrampilan guru ketika mengajar menggunakan model pembelajaran kontekstual. Hasil observasi yang dilakukan peneliti menunjukan adanya perbedaan antara siklus I yang telah dilaksanakan. Pada siklus II ini terjadi kegiatan pembelajaran yang lebih aktif dan lebih hidup dari pada sebelumnya, minat siswa mengikuti pelajaran Matematika menunjukan peningkatan yaitu siswa lebih aktif dalam mengajukan pertanyaan serta menjawab pertanyaan.
d. Analisis dan Refleksi Hasil analisis data terhadap pelaksanaan pembelajaran Matematika materi bangun ruang dengan penerapan model pembelajaran kontekstual pada siklus II secara umum menunjukan perubahan, ini dapat dilihat dari analisis hasil tes pada
siklus II ini yang diketahui terjadi peningkatan yang cukup mengagumkan. Dari hasil tes siklus II ini rata-rata siswa telah mencapai batas KKM yang ditetapkan yaitu sebanyak 80% dengan nilai 65, hasil yang dicapai adalah 88% siswa kelas IV pada siklus II ini telah berhasil.
1) Hasil Nilai pada Pertemuan Pertama Siklus II Tabel 11. Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Pertama Siklus II Indikator : menyebutkan sifat-sifat kubus dan balok serta menggambar kubus dan balok. No
Nilai
Frekuensi
Prosentase
1
41-50
0
0%
2
51-60
1
4%
3
61-70
8
32%
4
71-80
10
40%
5
81-90
4
16%
6
91-100
2
8%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 11 tentang frekuensi nilai pada pertemuan pertama siklus II tentang sifat-sifat kubus dan balok dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Gambar 8. Grafik Nilai Pertemuan Pertama Siklus II Tabel 12. Hasil Tes Pertemuan Pertama Siklus II Keterangan
Hasi Nilai
Nilai terendah
60
Nilai tertinggi
100
Rata-rata nilai
75,12
Siswa belajar tuntas
84%
2) Hasil Nilai pada Pertemuan Kedua Siklus II Tabel 13. Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Kedua Siklus II Indikator : Menyebutkan sifat-sifat tabung, kerucut, dan bola No
Nilai
Frekuensi
Prosentase
1
41-50
0
0%
2
51-60
2
8%
3
61-70
6
24%
4
71-80
10
40%
5
81-90
4
16%
6
91-100
3
12%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 13 tentang frekuensi nilai pada pertemuan kedua siklus II tentang sifatsifat tabung, kerucut, dan bola dapat digambarkan kedalam grafik sebagai berikut:
Gambar 9. Grafik Nilai Pertemuan Kedua Siklus II Tabel 14. Hasil Tes Pertemuan Kedua Siklus II Keterangan
Hasil Nilai
Nilai terendah
60
Nilai tertinggi
100
Rata-rata nilai
78,2
Siswa belajar tuntas
92%
3) Hasil Nilai pada Pertemuan Ketiga Siklus II Tabel 15. Data Frekuensi Nilai pada Pertemuan Ketiga Siklus II Indikator : menentukan jaring-jaring kubus dan balok. No
Nilai
Frekuensi
Prosentase
1
41-50
0
0%
2
51-60
3
12%
3
61-70
6
24%
4
71-80
8
32%
5
81-90
5
20%
6
91-100
3
12%
25
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 15 tentang frekuensi nilai pada pertemuan ketiga siklus II tentang menentukan jaring-jaring kubus dan balok dapat digambarkan kedalam grafik sebagai beri kut:
9 8
Ga
7 6
mba
5
r 10.
4
Gra
3
fik
2
Nila
1
i
0
Pert 41-50
51-60
61-70
71-80
81-90
91-100
emu an
Ketiga Siklus II Tabel 16. Hasil Tes Pertemuan Ketiga Siklus II Keterangan
Hasil Nilai
Nilai terendah
60
Nilai tertinggi
100
Rata-rata nilai
80,2
Siswa belajar tuntas
88%
Dari hasil evaluasi ketiga pertemuan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan pemahaman konsep meningkat yaitu dilihat dari rata-rata hasil evaluasi ketiga pertemuan pada siklus II tersebut adalah 88% siswa tuntas belajar atau meningkat 20% dari siklus II, atau meningkat sebesar 44% keadaan awal.
Tabel 17. Perbandingan Prosentase Siswa Belajar Tuntas
Keterangan
Prosentase Siswa Belajar Tuntas
Keadaan awal
44%
Siklus I
68%
Siklus II
88%
Berdasarkan tabel 17, maka dapat digambarkan perbandingan dengan keadaan awal, siklus I, dan siklus II adalah sebagai berikut:
Gambar 11. Grafik Perbandingan Siswa Belajar Tuntas
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada siklus I dan siklus II dapat dinyatakan bahwa pembelajaran Matematika menggunakan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara, baik hasil belajar secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
1.
Perkembangan Hasil Belajar Kognitif Siswa
Perkembangan hasil belajar kognitif siswa mengalami perkembangan yaitu dari keadaan awal sebelum dilakukan model pembelajaran kontekstual siswa yang tuntas KKM hanya 44% dari jumlah 25 siswa. Pada siklus I dilaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, siswa yang tuntas KKM menjadi 68% atau meningkat sebanyak 24% dari keadaan awal. Setelah dilakukan tindak lanjut kembali dalam siklus II, siswa yang tuntas KKM menjadi 88% atau meningkat 44% dari keadaan awal siswa atau meningkat 20% . Dari hasil belajar tersebut dapat disimpulkan pemahaman konsep bangun ruang pada siswa kelas IV mengalami perkembangan.
2. Dari
observasi
Perkembangan Hasil Belajar Afektif Siswa selama
pembelajaran
Matematika
menggunakan
model
pembelajaran kontekstual berlangsung, diperoleh data hasil belajar afektif siswa sebagai berikut: a.
Perhatian, minat, dan motivasi siswa selama model pembelajaran kontekstual diterapkan meningkat.
b.
Siswa lebih aktif dan kreati dalam proses pembelajaran, yang ditunjukan dengan sering menjawab dan mengajukan pertanyaan kepada guru.
c.
Interaksi antar siswa berjalan dengan baik.
d.
Kerjasama antar siswa meningkat.
3. Perkembangan Hasil Belajar Psikomotorik Siswa Dari
observasi
selama
pembelajaran
Matematika
menggunakan
model
pembelajaran kontekstual berlangsung, diperoleh data hasil belajar psikomotorik siswa sebagai berikut: a.
Siswa selalu mempersiap alat-alat untuk belajar tanpa disuruh oleh guru.
b.
Siswa tidak malu mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan.
c.
Siswa mau maju kedepan untuk menjawab pertanyaan dari guru.
d.
Siswa mampu menjelaskan jawaban di depan kelas menggunkan media bangun ruang.
e.
Siswa terampil menggunakan media pembelajaran.
f.
Siswa langsung membentuk kelompok ketika disuruh bekerja kelompok.
4.
Hasil Obsevasi Bagi Guru Selama Pelaksanaan Penelitian
Dari data observasi aktifitas guru selama pembelajaran Matematika menggunakan model pembelajaran kontekstual dalam siklus I dan siklus II maka diperoleh hasil observassi sebagai berikut: a.
Guru membuka pelajaran dengan baik, dan memberikan apersepsi sebelum memulai pelajaran Matematika.
b.
Guru mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
c.
Guru selalu memberikan apresiasi bagi muridnya yang berani maju, bertanya, dan menjawab pertanyaan.
d.
Guru menjembatani siswa dalam menemukan konsep materi bangun ruang yang diberikan.
e.
Posisi guru saat pembelajaran berlangsung sudah bagus, guru tidak selalu di depan kelas.
f.
Guru mengecek hasil belajar siswa. Dari analisis data dan observasi selama pembelajaran Matematika, secara umum
menunjukan perubahan yang signifikan. Guru telah berhasil menerapkan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang bangun ruang.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman konsep pada siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara Kedungreja Cilacap Tahun Pelajaran 2009/2010, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep bangun ruang dalam pelajaran Matematika di kelas IV SD Negeri 03 Sidanegara, yaitu ditunjukan dengan prosentase siswa yang tuntas KKM (nilai 65) yaitu meningkat 24% dari keadaan awal yang hanya 44% menjadi 68% pada siklus I. Setelah dilakukan tindak lanjut kesiklus II, hasil belajar siswa meningkat lagi menjadi 88% (siswa yang mencapai KKM sebanyak 23 anak), atau meningkat sebesar 20% dari siklus I. Dari peningkatan hasil belajar siswa tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman konsep siswa tentang bangun ruang meningkat. 2. Model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keaktifan proses pembelajaran yang berlangsung. Peningkatan ini dapat dilihat dari observasi yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung untuk melihat keaktifan siswa dan cara guru mengajar
menggunakan
model
pembelajaran
kontekstual.
Melalui
model
pembelajaran kontekstual guru hanya bertugas untuk sebagai informan dan membantu siswa dalam memahami konsep bangun ruang pada kelas IV, dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif bertanya, menjawab, dan menjelaskan materi yang sedang dipelajari hal ini yang akan membuat model pembelajaran kontekstual lebih hidup dan bermakna. Hambatan yang dihadapi selama melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual yang diterapkan pada kelas IV untuk meningkatkan pemahaman konsep yaitu, banyak siswa yang kesulitan belajar sendiri untuk menemukan suatu pemahaman konsep, karena mereka terbiasa mendapatkan penjelasan dari guru atau dapat dikatakan ada beberapa siswa yang belum bisa untuk berpikir secara kritis, siswa masih bingung untuk mengutarkan pendapat mereka atau 71
bingung dalam merangkai kata-kata yang sesuai sehingga banyak siswa yang malu untuk maju kedepan. Adapun hal dilakukan guru dalam mengatasi masalah diatas adalah guru
menggunakan bermacam-macam media pembelajaran yang sesuai
sebagai pemodelan, guru membantu siswa memahami materi dengan bersama-sama menyimpulkan materi, guru membantu siswa dalam merangkai kata-kata yang sesuai, guru memberikan apresiasi bagi siswa yang mau mengutarakan pendapatnya di depan kelas baik salah maupun benar, dibentuk kelompok belajar, jadi sebelum salah seorang siswa maju mereka telah dapat menjelaskan konsepnya kepada teman satu kelompok mereka. Melihat keseluruhan proses pembelajaran terjadi peningkatan yang berarti.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pelajaran Matematika materi pokok bangun ruang pada siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara, berdasarkan hasil tersebut maka dapat dibuat implikasi sebagai berikut ini: a. Pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
kontekstual
dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam Matematika karena dalam penerapan model pembelajaran kontekstual, guru menghubungkan antara pengetahuan yang diperoleh siswa dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya dan guru juga menghubungkan materi dengan dunia nyata siswa yaitu dengan membawa benda-benda yang sering mereka temui untuk dijadikan media pembelajaran sehingga dapat membantu memudahkan siswa dalam mengkonsepkan materi bangun ruang, selain itu juga dalam proses pembelajaran juga menggunakan beberapa metode pembelajaran seperti metode pemberian tugas, kelompok, unjuk kerja, inquiri, penelitian, dan demonstrasi. Selain dengan penggunaan model
guru juga
menggunakan media yang bermacam-macam seperti kardus kapur tulis, kardus yang berbentuk balok, tempat pensil yang berbentuk tabung, kerucut, bola, gambar berbagai bangun tersebut untuk membandingkan bangun asli dengan gambar apakah ciri-cirinya
sama dengan sifat-sifat bangun ruang tersebut dengan demikian cara mengkonsepkan siswa akan lebih kritis karena gambar dengan bangun aslinya sangatlah jauh berbeda. b. Penggunaan model pembelajaran kontekstual secara tepat dan optimal sehingga pemahaman konsep Matematika meningkat. Yaitu dengan melakukan perencanaan dengan baik yaitu membuat rencana pembelajaran dengan bahasa yang rinci dan mudah dipahami oleh guru kelas (karena penelitian ini merupakan penelitian kolaboratif dengan guru kelas IV), kemudian dikonsultasikan dalam guru kelas IV agar dapat mendapat masukan dari rencana yang telah dibuat, melaksanakan model pembelajaran kontekstual secara tepat dapat meningkatkan keberhasilan pembelajaran, sehingga siswa menjadi aktif bukan guru yang aktif atau studens center, melakukan evaluasi setiap akhir pertemuan jadi guru mengetahui sejauh mana siswa dapat menyerap atau memahahami konsep materi yang diberikan oleh guru, dan refleksi terhadap pembelajaran guna mengetahui peningkatan pemahaman siswa dan sebagai bahan balikan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bagus lagi sehingga pemahaman konsep siswa dapat meningkat. c. Selama proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual, cara mengajar guru meningkat, guru menjadi semangat untuk mengajar Matematika, adapun yang dilakukan guru selama pembelajaran berlangsung adalah guru bertindak sebagai informan untuk memberikan informasi kepada siswa-siswanya jadi guru tidak selalu menggunakan metode ceramah untuk menjelaskan materi yang diajarkan melainkan dalam menjelaskan materi pelajaran guru melakukan tanya jawab supaya siswa mau belajar, posisi guru juga tidak selalu di depan kelas, guru berpindah-pindah posisi mengajar guru juga memberikan pujian baik dalam bahasa verbal maupun non verbal, dalam menggunakan beberapa metode dalam mengajar guru semakin mantap, guru juga semakin luwes dalam mengajar menggunkan model pembelajaran kontekstual, selain itu juga guru lebih peka terhadap siswa. Cara mengajar guru secara keseluruhan telah menunjukan peningkatan. d. Adapun aktifitas siswa yang dapat dilihat atau diobservasi selama proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual dalam pelajaran Matematika adalah, siswa menjadi lebih aktif yaitu siswa tidak malu menyampaikan jawan di depan kelas, tidak malu untuk bertanya, siswa selalu berebut maju dengan mengangkat tangannya,
siswa dapat berkomunikasi dengan teman-teman dalam pembelajaran yaitu mereka akan secara sadar bergabung dengan kelompoknya tanpa banyak membuang waktu, siswa juga lebih kritis dalam menerima materi, mereka dituntut untuk mengkonsepkan materi pelajaran yang mereka terima.
C. Saran
Sesuai dengan simpulan dan implikasi hasil penelitian mengenai penerapan model pembelajaran kontekstual pada siswa kelas IV SDN 03 Sidanegara, maka dapat diberikan saran-saran atau sumbangan pemikiran untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan pada umumnya dan meningkatkan pemahaman konsep siswa terhadap materi pelajaran pada khususnya, sebagai berikut : 1. Bagi Sekolah Sekolah hendakanya menciptakan suasana lingkungan belajar baik kelas maupun lingkungan luar menjadi nyaman sesuai dengan kebutuhan peserta didik sehingga siswa dapat belajar bukan hanya di kelas tapi di lingkungan luar sekolahpun mereka dapat belajar. 2. Bagi Guru a. Dalam menjelaskan materi pelajaran guru sebaiknya jangan terlalu sering menggunakan metode ceramah, tapi guru harus menggunakan model-model pembelajaran inovatif seperti kontekstual (CTL). b. Untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang materi pelajaran, sebaiknya guru mengkaitkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata siswa. c. Untuk meningkatkan interaksi belajar, sebaiknya guru berusaha menjadi teman dalam belajar, bukan menjadi seseorang yang ditakutkan oleh siswanya. d. Guru sebaiknya menggunakan lebih banyak lagi media dalam pelajaran untuk membantu siswa memahami materi. 3. Bagi Siswa a. Peserta didik hendaknya ikut berperan aktif dalam pembelajaran dengan ikut memberikan pendapat tentang materi pelajaran yang dipelajari dan cara mengajar yang mereka sukai, supaya terjadi interaksi pembelajaran yang menyenangkan.
b. Siswa hendaknya mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari sekolah kedalam kehidupan sehari-hari ataupun sebaliknya. c. Siswa hendaknya lebih berani untuk menyampaikan pendapatnya di depan kelas, ataupun untuk mengajukan pertanyaan. d. Siswa hendaknya tidak hanya belajar di sekolah tetapi mereka juga harus aktif mencari pengetahuan diluar jam sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Mustaqim dan Ary Astuty. 2008. Ayo Belajar Matematika untuk SD dan MI Kelas IV. Jakarta: CV Buana Raya. Chandra Prayogi. Matematika. http://www.friendster.com/adechandraprayogi. diunduh 02/02/2010. Clara Ika Sari Budhayanti, dkk. 2008. Pemecahan Masalah Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dwijiastuti, dkk. 2005. Strategi Belajar Mengajar I. Surakarta: UNS Press. Gafur. 2003. Pembelajaran Kontekstual. http://www.sekolahku.info.com. diunduh 13/02/2010. Gatot Muhsetyo. 2008. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Hasibuan dan Moedjiono. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Heruman. 2007. Model Pembelajaran Matematika Di SD. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Johnson. Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan. Johnson
dan Rising. Pengertian Matematika. /geometriRuang.pdf diunduh /01/05/2010.
http://p4tkMatematika.org/sd
Mulyasa. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Mulyono Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Moch Masykur Ag dan abdul Halim Fathoni. 2007. Matematical Intelegent. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Moesono, Djoko dan Sujono. 2003. Matematika IV Mari Berhitung. Jakarta: Balai Pustaka. Nabisi Lapono, dkk. 2008. Belajar dan Pembelajaran SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Nana Sudjana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung. Rosda Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Sinar Grafika. 76
Puskur.
2002. Geometri Ruang. diunduh 01/05/2010.
http://p4tkMatematika.org/sd/geometriRuang.pdf
Reyt. et. al. Pembelajaran Matematika. http//.www.syarifartikel.blogspot.com. diunduh 21/05/2010, Sarwiji Suwandi. 2009. Model Asessmen Dalam Pembelajaran. Surkarta: UNS Press. Slamet. St. Y. dan Suwarto. 2007. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Soedjadi. R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sugiyanto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: UNS Press. Suharsimi Arikunto. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sukajati. 2008. Penelitian Tindakan Kelas di SD. Yogyakarta: Depdikbud. Swahn dan Anna. 2003. CTL. http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ diunduh 02/02/2010. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.