SKALA PENGUKURAN SHIFT KERJA, BEBAN KERJA, DAN PERSEPSI KESEHATAN SEBAGAI STRESSOR DENGAN FASILITAS MANAJEMEN UNTUK PENANGGULANGANNYA Ho Hwi Chie; Rida Zuraida Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Binus University Jl. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat 11480
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT Human circadian system causes employees on night shift are at risk of experiencing increased stress, increased workload. Additionally, they should face the consequences of different health condition compared to employees who work on a normal shift during the day. This paper discussed the size of stress levels of employees who work in a night shift system based on (1) workload and (2) health condition, as well as (3) employee’s biological, social, and psychological condition. Other studies have shown that support from company can help employees cope with stress. The support is like management facilities, such as support from supervisor to subordinate, and training support to improve necessary skills. Thus, besides the size of employee stress levels, this study also discusses the relation of company support as stress management. The result is a measurement model of stress level obtained based on Likert scale of 5. In this model, work shift stressors are measured by self-perception of self-satisfaction by the work shift. For occupational health perception, SF-36 is used to measure self-perception of health quality. As for the workload, the measurement of four resources at works using the scale of visuality, audiotory, cognitive, and psycomotor. The implication shows that this stressor measurement scales need to be tested to see the reliability and validity of the work environment in Indonesia, as well as to test the correlation between the variables used with management facilities received by employees. Keywords: stressor, SF-36, VACP analysis, management facility
ABSTRAK Sistem circadian manusia menyebabkan karyawan yang mendapat shift malam beresiko mengalami peningkatan stress, peningkatan beban kerja serta menerima konsekuensi kesehatan yang berbeda dengan karyawan yang bekerja pada shift normal di siang hari. Pada paper ini dibahas ukuran tingkat stres karyawan yang bekerja dalam sistem shift berdasarkan (1) beban kerja dan (2) kesehatan yang dirasakan oleh karyawan, serta berdasarkan aspek (3)biologis, sosial, dan psikologi karyawan. Penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan dari perusahaan dapat membantu karyawan dalam menanggulangi stress. Dukungan ini berupa fasilitas manajemen yang terdiri dari dukungan atasan bawahan, dan dukungan pemberian pelatihan untuk meningkatkan keahlian atau skill yang diperlukan serta keahlian karyawan itu sendiri. Sehingga, selain membahas ukuran tingkat stress karyawan, penelitian ini juga membahas bagaimana hubungannya dengan dukungan dari perusahaan sebagai penanggulangan stress. Hasilnya adalah diperolehnya model pengukuran tingkat stress yang didasarkan pada skala 5 Likert. Pada model ini, stressor shift kerja diukur berdasarkan persepsi kepuasan diri yang dialami atas shift kerja. Untuk persepsi kesehatan kerja, digunakan SF-36 untuk mengukur persepsi kualitas kesehatan diri. Sedangkan untuk beban kerja, digunakan pengukuran empat resource diri dalam bekerja menggunakan visual, audiotory, cognitive, psycomotor skala sebagai alat ukurnya. Implikasinya adalah bahwa skala pengukuran stressor ini perlu diuji coba untuk melihat realibilitas dan validitasnya pada lingkungan kerja di Indonesia, serta untuk menguji korelasi antar variabel yang digunakan dengan Fasilitas manajemen yang diterima karyawan. Kata kunci: stressor, SF-36, VACP analysis, fasilitas manajemen
Skala Pengukuran Shift Kerja … (Ho Hwi Chie; Rida Zuraida)
15
PENDAHULUAN Manusia memiliki sistem circadian yang mengatur tubuh untuk bekerja atau beraktivitas di siang hari (ergotrophic phase) dan beristirahat dan mengumpulkan energi kembali di malam hari (throtopic phase) (Kroemer, 2003). Karyawan yang mendapat shift malam atau harus bekerja di malam hari pada saat fase relaksasi dalam menimbulkan dampak fisik dan psikologi. Aspek lainnya yang dapat dianggap beban oleh pekerja adalah terisolasinya dari kehidupan sosial serta hubungan keluarga. Kondisi ini menyebabkan timbulnya stres pada karyawan. Stres kerja merupakan reaksi terhadap ketidaksesuaian tuntutan kerja dengan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaanya (Kroemer, 2009). Stres juga merupakan faktor fisik, kimiawi, dan emosional yang dapat menyebabkan tekanan pada tubuh atau mental dan dapat menjadi salah satu faktor bagi timbulnya penyakit. Stres merupakan interaksi individu dengan lingkungan. Namun, secara lebih terperinci stres merupakan suatu respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologi dan atau fisik secara berlebihan (Luthans, 2006). Penyebab stres kerja antara lain jenis pekerjaan, tingkat kesulitan kerja, beban kerja yang kompleks, pekerjaan yang bersifat monoton, tanggung jawab yang berat, supervisor yang tidak bersahabat tanpa alasan, lingkungan kerja, kurangnya pengakuan, kurangnya kontrol, kurangnya rasa aman dalam bekerja, kurangnya dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja, ancaman atau perilaku intimidasi dari atasan ataupun rekan kerja. Mengurangi tingkat stres merupakan upaya yang lebih tepat dilakukan dibandingkan membuat karyawan beradaptasi. Menurut Admi, Tzischinsky, Epstein, Herer, dan Lavie (2008), shift kerja didefinisikan sebagai perputaran delapan jam pergeseran jadwal kerja, termasuk shift pagi, sore, dan malam. Perusahaan jasa yang memberikan pelayanan pada pelanggan, seringkali memiliki jam kerja yang lebih panjang untuk memenuhi tuntutan pelanggan. Sehingga jam kerja dibagi ke dalam beberapa shift. Kondisi ini menuntut karyawan bekerja dalam shift tertentu secara terus-menerus dalam periode tertentu. Bekerja pada shift sore – malam atau pada jam yang tidak biasa memiliki pengaruh pada kesehatan fisik dan stres kerja akibat kurangnya waktu untuk bersosialisasi bagi karyawan (Kroemer, 2009). Kurangnya waktu untuk sosialisasi ini disebabkan waktu luang karyawan, berbeda dengan waktu luang orang lain pada umumnya. Selvi, Özdemir, Özdemir, Beşiroğlu, dan Aydin (2010), membuktikan bahwa shift kerja menjadi faktor risiko potensial untuk meningkatnya morbiditas dan mengurangi kualitas hidup antara perawat. Menurut van Mark, et al. (2006), shift kerja memberikan pengaruh terutama pada fungsi fisiologis tubuh manusia ketika ritme dari circardian mengalami gangguan. Kemudian Akbar, et al. (2005), mengatakan bahwa kerja shift dapat bertindak sebagai stresor oksidatif dan dapat menyebabkan gangguan medis. Penuaan dan obesitas pada pekerja shift membuat mereka lebih sensitif terhadap efek berbahaya. Peningkatan stres bisa menurunkan produktivitas seseorang, sementara peningkatan kepuasan kerja mempengaruhi peningkatan produktivitas (Halkos & Dimitrios, 2010; Harris, Artis, Waltres, & Licata, (2006); Wangenheim, et al., 2007). Meskipun begitu, penelitian lain menunjukkan bahwa sebuah sistem manajemen yang baik, yang memperhatikan kepuasan dan wellbeing karyawan, pada akhirnya dapat mendukung organisasi dalam mencapai target-target utamanya (Snipes, Oswald, LaTour, & Armenakis, 2005). Mengingat semakin banyaknya pekerjaan yang dijalankan dengan shift kerja lebih dari satu shift serta penelitian yang menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi tingkat stress karyawan.
16
INASEA, Vol. 14 No.1, April 2013: 15-21
Paperr ini akan membahas m peengembangaan model pengukuran mengenai m appakah stres karyawan k sebaggai dampak dari shift keerja serta beeban kerja dapat d ditangggulangi olehh fasilitas maanajemen yang diterima karryawan.
METOD DE Untuk meencapai tujuuan yaitu penngembangan model penggukuran, metode yang digunakan d adalaah penelurusaan teori dan penelitian teerdahulu untu uk menyusunn alat ukur yang diharapk kan dapat membberi gambaraan mengenaii apakah streess karyawan n sebagai daampak dari shift kerja serrta beban kerja dapat ditangggulangi olehh fasilitas maanajemen yan ng diterima oleh o karyawaan. Hasil pennelusuran digunakan unntuk mengem mbangkan kerangka k pikkir yang selanjutnya nya sebagai acuan untukk menyusun alat a ukur. dijadiikan dasar penyusun konnstruk variabbel dan akhirn Alat ukur u yang diisusun menggunakan skaala Likert 5. Berikut adalah a keranngka pikir mengenai m strres kerja sebbagai dampaak dari kond disi kerja termaasuk shift keerja serta faasilitas manaj ajemen yang dianggap dapat d menannggulangi strress yang timbuul. Kerangkaa pikir disusun atas konstruk variabeel yang diguunakan dan digambarkan n sebagai berikkut (Gambar 1):
Gam mbar 1 Kerang gka pikir
Stress keerja diukur dari d beban kerja k yang dirasakan d terrmasuk di ddalamnya lam ma kerja, perassaan subjektiif terhadap kondisi k kebissingan tempaat kerja, keppuasan atas ppengaturan shift kerja serta persepsi tenntang kesehaatan diri (Ism mar, Amri, Sostrosumihaardjo, 2011). Fasilitas maanajemen diukuur dari perseepsi karyawaan terhadap dukungan sosial dari attasan kepadaa bawahan, pelatihan karyawan dalam menyeelesaikan pekkerjaan (Eiseenberger et al., yang diberikan, kemampuan k a 2002; Ojo & Olaniya, 2008).
HASIL DAN D PEM MBAHASA AN Kerangkaa pikir yang diajukan meemerlukan peengujian lebih lanjut berrupa pengujiaan model serta pengujian korelasi antarr variabel. Peengujian dapat dilakukann terhadap daata yang diku umpulkan
Skala a Pengukuran n Shift Kerja … (Ho Hwi Chie; Ch Rida Zura raida)
17
dengan alat ukur. Alat ukur ini berupa kuesioner atau daftar pertanyaan yang disusun berdasarkan teori serta penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya. Kuesioner yang disusun menggunakan skala interval untuk menangkap kecenderungan persepsi responden terhadap kondisi yang ditanyakan. Penyusunan konstruk variabel atas variabel yang digunakan dalam kerangka pikir dapat dilihat pada gambar berikut. Untuk pengukuran persepsi kesehatan, digunakan SF- quality life scale, dan untuk beban kerja digunakan skala pengukuran kualitatif yang mengacu pada Visual Audio Cognitive Psycomotor (VACP) scale (Gambar 2). Kedua skala ini digunakan cukup luas dan memiliki realibilitas alat ukur yang baik. Dependen
Persepsi Kesehatan diri
Kepuasan shift kerja
Beban Kerja
Independen
‐ Persepsi kesehatan secara umum rasa sakit di tubuh ‐ persepi terhadap vitalitas tubuh ‐ persepsi terhadap kemampuan sosial (SF‐Quality of Life Scale)
‐ Fleksibilitas ‐ Kehidupan Sosial
Fasilitas Manajemen
‐ Dukungan sosial ‐ Kemampuan karyawan ‐ Kesempatan pelaithan
VACP scales : ‐ Audio ‐ Visual ‐ Cognitive ‐ Psychomotor
Gambar 2 Konstruk variable
SF-36 merupakan kuesioner standar yang dikembangkan dari sebuah set kuesioner yang digunakan di US Medical Outcomes Study di pertengahan tahun 80an (Ware and Sherbourne, 1992). SF-36 ini menjadi salah satu alat yang digunakan secara luas untuk mengukur kesehatan yang berkaitan dengan kualitas hidup berdasarkan persepsi diri mengenai status kesehatan dan fungsi tubuhnya. Self-reported health measure ini mengenalkan elemen subjektif menjadi pengukuran status kesehatan. Alat ini memberikan gambaran kesehatan diri berdasarkan ‘consumer-center’ view of health yang menekankan pengukuran terhdap kualitas hidup atau wellbeing. Hasil penelitian yang sudah dilakukan menggunakan SF-36, menunjukkan bahwa nilai SF36 ini meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan keluarga (pada sebagian skala) dan hal ini lebih berpengaruh terhadap pria dibandingkan terhadap perempuan. Hasil penilaian kondisi kesehatan seseorang yang bekerja juga lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Kuesioner SF-36 ini terdiri dari 36 item tes (Gambar 3) yang mengukur kesehatan fisik dan mental yang berkaitan dengan delapan aspek kesehatan, yaitu: (1) fungsi fisik; (2) keterbatasan diri terhadap kesehatan fisik; (3) rasa sakit yang dirasakan tubuh; (4) persepsi kesehatan diri secara umum; (5) vitalitas (berhubungan dengan energi dan rasa lelah); (6) fungsi sosial; (7) keterbatasan diri terhadap kesehatan emosi; (8) persepsi kesehatan mental secara umum.
18
INASEA, Vol. 14 No.1, April 2013: 15-21
Interpretasi hasil SF-36 ini diambil dari nilai rata-rata seseorang dalam grup tertentu misalnya berdasarkan kelompok umur, berdasarkan kelompok kerja (contoh yang bekerja dan tidak bekerja). Hasil nilai keseluruhan tidak dapat dibandingkan antar kelompok tetapi perbandingan antara skala (misalnya fungsi fisik dengan lainnya) dapat diperbandingkan. Contohnya perbedaan yang terjadi antar salah satu skala dari delapan kelompok pengukuran dibandingkan antara kelompok yang bekerja dengan kelompok yang tidak bekerja.
Gambar 3 Ringkasan pengukuran pada SF-36
Beban kerja diukur dari jumlah dan kualitas usaha yang diperlukan untuk melaksanakan tugas, dan pada VACP scale, pengukuran melibatkan penggunaan persepsi, cognitive, dan proses motorik. Berbagai teori menyatakan bahwa beban kerja kognitif ataupun fisik akan bertambah ketika karyawan harus mengerjakan beberapa tugas sekaligus sehingga akan berdampak terhadap kinerjanya (Booher, 2003).
Skala Pengukuran Shift Kerja … (Ho Hwi Chie; Rida Zuraida)
19
Berbagai teori menyatakan bahwa apa yang diterima seseorang diproses secara berbeda mengacu pada beberapa persepsi serta dimensi kognitif (seperti visual, atau audio, modality, dan lain-lain). Multiple resources theory menyatakan bahwa orang memiliki memisahkan resources yang dimiliki dalam menerima suatu rangsangan, dan setiap resources memiliki keterbatasan kapasitas yang bisa jadi digunakan melebihi kapasitasnya. Seseorang dapat bekerja dengan baik secara tereus menerus dengan sedikit atau tanpa interferensi selama berbagai tugas yang dikerjakan menggunakan berbagai resources yang dimiliki atau resources yang sama tetapi cara yang berbeda. Yang terjadi, jika seseorang harus mengerjakan dua tugas secara terus menerus dengan resources yang sama dan cara yang sama (coding), efek negatif akan mempengaruhi kinerjanya. Sehingga kelebihan beban bisa terjadi pada single resources (visual, auditory, cognitive, atau psychomotor) atau kombinasi dari keempat resources tersebut (Horrey and Wickens, 2005). Keempat resources sebagai skala dalam VACP ini menggunakan skala pengukuran 0.0 s.d 7.0 untuk setiap beban yang dirasakan. Berikut adalah deskripsi pengukuran dengan menggunakan VACP (Tabel 1): Tabel 1 Deskripsi Skala pada VACP Analysis (Yee, Nguyen, Green, Oberholtzer, & Miller, 2007)
Hasil skala VACP dan SF-36 serta deskripsi diri mengenai persepsi dampak shift kerja terhadap kepuasan kerjanya kemudian dapat digunakan untuk mempetakan kondisi stress karyawan serta dihitung korelasi antar ketiganya serta korelasi dengan fasilitas manajemen yang diterima oleh seorang karyawan. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan antara fasilitas manajemen dengan kondisi stress yang dialami oleh karyawan berdasarkan kondisi beban kerja, shift kerja yang dialami, serta persepsi terhadap kesehatan diri.
PENUTUP Sistem circadian yang mengatur tubuh untuk bekerja atau beraktivitas di siang hari (ergotrophic phase) dan beristirahat dan mengumpulkan energi kembali di malam hari (throtopic
20
INASEA, Vol. 14 No.1, April 2013: 15-21
phase) menjadikan karyawan yang mendapat shift malam atau harus bekerja di malam hari beresiko mengalami peningkatan stress. Selain karena beban kerja, ada aspek sosial dan psikologi yang harus diterima karyawan, serta dampak terhadap kondisi kesehatannya. Stressor tersebut pada dasarnya dapat dikendalikan ataupun dikurangi jika karyawan memperoleh dukungan dari prusahaan tempatnya bekerja. Dukungan berupa fasilitas manajemen ini berupa dukungan atasan bawahan, dan dukungan pemberian pelatihan untuk meningkatkan keahlian atau skill yang diperlukan serta keahlian karyawan itu sendiri. Pengembangan model pengukuran ini yaitu mengenai apakah stres karyawan sebagai dampak dari shift kerja serta beban kerja dapat ditanggulangi oleh fasilitas manajemen yang diterima karyawan, selanjutnya perlu diterapkan untuk diuji realibilitas dan validitasnya, serta dperlu diukur seberapa besar korelasi antar variabel tersebut. Diharapkan dapat memberikan gambaran seberapa besar manajemen dapat membantu mengurangi stressor yang terjadi pada karyawan akibat shift kerja, beban kerja serta kondisi kesehatan yang dialami karyawan.
DAFTAR PUSTAKA Eisenberger, R., Stinglhamber, F., Vandenberghe, C., Sucharski, I. L., & Rhoades, L. (2002). Perceived supervisor support: Contributions to perceived organizational support and employee retention. Journal of Applied Psychology, 87, 565–573. Horrey, W. J. and Wickens, C. D. (2005). Multiple resource modeling of taskinterference in vehicle control hazard awareness and in-vehicle task performance. Proceedings of the Second International Driving Symposium on Human Factors in Driving Assessment, Training, and Vehicle Design, Iowa City, Iowa: University of Iowa. Kroemer, K. H. (2009). Fitting the Human, Introduction to Ergonomics. Florida: CRC Press. Lerman, D. C., & Vorndran, C. M. (2002). On the status of knowledge for using punishment: implications for treating behaviour disorders. Journal of Applied Behavior Analysis, 35 (4), 431 – 464. Ismar, R. Amri, Z., dan Sostrosumihardjo, D. (2011). Stres kerja dan berbagai faktor yang berhubungan pada pekerja call center PT X di Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia, 61 (1), Januari 2011. Snipes, R. L., Oswald, S. L., LaTour, M., & Armenakis, A. A. (2005). The effects of specific job satisfaction facets on customer perceptions of service quality: an employee-level analysis. Journal of Business Research, 58 (10), 1330 – 1339. Van Mark, A., Spallek, M., Kessel, R., and Brinkmann, E. (2006). Shift work and pathological conditions. Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 1, 25. Wangenheim, F. V., Evanschitzky, H., & Wunderlich, M. (2007). Does the employee–customer satisfaction link hold for all employee groups? Journal of Business Research, 60, 690 – 697.
Skala Pengukuran Shift Kerja … (Ho Hwi Chie; Rida Zuraida)
21