SISTEMATIKA AL-QUR`AN (Mengungkap Rahasia Susunan Surat dalam Al-Qur`an) Oleh : Muh. Syuhada Subir, S.HI., MA. Abstrak susunan surat al-Qur`an khususnya dalam mushaf Utsmani tidak sistmatis dan bersifat kacau, yang disebabkan adanya interfensi sahabat dalam penyusunan surat-surat al-Qur`an pada saat kodifikasi al-Qur`an, sehingga perlu dikaji dan disusun ulang sesuai dengan kronologi turunnya al-Quran tidaklah tepat. Karena bila dikaji lebih dalam, terdapat keselarasan, hubungan, dan kesatuan yang padu antara ayat dengan ayat dalam satu surat maupun antara surat dengan surat setelahnya, meski secara sekilas terkesan tidak sistematis. Dan Al-Qur’an berisikan surat-surat yang memuat suatu materi, tema, dan penutup yang terangkai dalam satu kesatuan yang utuh yang menegaskan bahwa alQur`an secara metodologis selaku kitab yang tidak dapat terbantahkan lagi akan susunan surat-suratnya yang sistematis dan berdasarkan pada perencanaan yang sangat matang dari Authornya. Serta tidak akan pernah tertandingi oleh kitab manapun baik dari sisi sastra maupun sisi logis dan sisi lainnya. Keyword: Sistematika, Surat, Al-Qur’an
A. PENDAHULUAN Sistematika al-Qur`an merupakan salah satu sub bahasan dalan rana Ulum al-Qur`an. Bila dilihat dari segi bahasa, kata sistematika berarti urutan atau susunan, yang jika degabung dengan kata al-Qur`an, maka sistematika al-Qur`an membahas tentang urutan atau susunan ayat-ayat maupun surat-surat dalam alQur`an. Susunan surat-surat al-Qur`an yang sampai kepada kita saat ini, meskipun mayoritas umat Islam meyakini bahwa urutan atau susunan surat dalam mushaf utsmânî bersifat tauqîfî1, namun masih terdapat pertanyaan apakah memang benar urutan dan susunan surat dalam mushaf utsmânî benar-benar tauqîfî atau merupakan usaha para sahabat pada masa kodifikasi al-Qur`an. Pertanyaan dan sanggahansanggahan tersebut dilontarkan para pemerhati al-Qur`an dari golongan Islamolog Barat dan sebagian kecil sarjana Muslim sendiri. Dan untuk menjawab pertanyaan, sanggahan maupun tuduhan tersebut terhadap tata urutan atau susunan al-Qur`an, para ulama dan ahli tafsir era modern kontemporer berusaha untuk menjawab persoalan tersebut melalui ilmu munasabah al-Qur`an yang pada perkembangannya menjadi sebuah teori dalam menafsirkan alQur`an yang mengungkap sisi kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat ataupun surat dengan yang lainnya, dan rahasia urutan atau susunan surat-surat al-Qur`an. Dalam mengungkap rahasia susunan surat dalalm al-Qur`an yang sekilas terkesan kacau dan tidak sistematis, terlebih dahulu perlu dibahas tentang pandangan-pandangan para pemerhati dan pengkaji al-Qur`an baik dari kelompok sarjana Muslim maupun sarjana orientalis, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan bahwa ayat-ayat maupun surat-surat dalam al-Qur`an adalah merupakan satu kesatuan yang padu, yaitu ilmu munasabah.
B. KONTROVERSI SISTEMATIKA AL-QUR`AN Secara umum umat Islam telah bersepakat bahwa dalam hal penetapan tata letak susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur`ân bersifat tauqîfî dan berdasarkan 1
Tauqîfî adalah berdasarkan ketetapan langsung dari Rasulullah saw.
perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw, karena ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasul-lah yang menetapkan langsung tempat masing-masing ayat dan surat. Akan tetapi pandangan mereka terpecah ketika berhadapan dengan susunan surat yang terdapat dalam mushaf utsmânî. Dalam hal penetapan susunan surat-surat, paling tidak terdapat tiga pendapat, yaitu: Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa susunan surat-surat dalam mushaf utsmani (yang sampai pada kita saat ini) adalah bersifat tauqîfî. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah-lah yang menetapkan langsung susunan masing-masing ayat dan surat. dimana Rasulullah meminta kepada beberapa sahabat tertentu ketika turun wahyu al-Qur`ân, untuk mencatatnya dan menyuruhnya untuk menempatkan surat atau ayat tersebut sesuai dengan petunjuk Nabi dan atas bimbingan Jibril. Pendapat seperti ini dikemukakan misalnya oleh Abu Bakr al-Anbari (2712
328 H) , Abu Ja'far al-Nahhas (w. 338 H.)3, al-Karmani (w. 502 H.)4, al-Thaibiy (w. 742), al-Suyuthi (w. 911 H.). 2
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Qasim bin Muhammad atau Abu Bakar bin alAnbari l-Baghdadi. Ia dikenal sebgai ulama yang produktif dalam menelurkan beberapa karya, terutama di bidang Qirâ'ât. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia pernah menyatakan, "Allah menurunkan alQur`ân secara keseluruhan ke langit dunia, kemudian menurunkannya berangsur-angsur selama dua puluh tahun lebih. Surat-surat al-Quran turun secara kasuistik, sedangkan ayat turun sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang, Jibril memberhentikan bacaan Nabi pada akhir ayat dan surat. Dengan demikian susunan surat sama dengan susunan ayat dan huruf, semuanya dari Nabi. Siapa yang mendahulukan atau mengakhirkannya, berarti telah merusak tatanan al-Qur`ân. Lihat keterangan ini dalam; Abu Bakr alKhathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, (Beirut: Dâr el-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), juz III, h. 181-182. lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Muassasah al-Kutub alTsaqâfiyyah, 1996), juz I, h. 176 3 Ia adalah Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Ismail al-Mishri. Ia dikenal di kalangan ulama tafsir dan adab (sastra). Lahir dan wafat di Mesir. Semasa hidupnya, ia banyak menghasilkan karya, di antaranya: Tafsîr al-Qur'ân, I'râb al-Qur'ân, Syarh Abyât Sîbawaih, Nâsikh al-Qur'ân wa Mansûkhuh, Syarh al-Mu'allaqât al-Sab', dan sebagainya. Pandangannya mengenai ketauqifian susunan mushaf diuangkapkan dalam sebuah pernyataan, "yang benar, adalah penyusunan surat-surat sesuai dengan urutan ini adalah bersumber dari Rasul. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Wailah bin alAsqa': "Nabi Saw bersabda, "Aku diberi tujuh surat panjang (al-sab' al-thiwâl) seperti Taurat. Dan sebagai ganti Zabur, aku diberi surat-surat yang terdiri dari ratusan ayat (mi'în), dan surat-surat yang mengandung beberapa kisah yang diulang-ulang (al-matsânî), sebanding dengan injil, dan aku diberi kelebihan berupa surat-surat pendek (al-mufassal). Lihat keterangan ini dalam: al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân..., juz I, h. 178; Abu Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1391 H), juz I, h. 258 4 Bernama lengkap Abu al-Qasim Burhan al-Din Mahmud bin Hamzah bin Nasr al-Karmani alSyafi'i. ia juga dikenal dengan julukan Tâj al-Qurrâ' (mahkota para ahli Qirâ'ât). Pandangannya mengenai susunan mushaf yang tauqifi adalah sebagaimana berikut, "Urutan surat seperti ini adalah dari Allah sejak diturunkannya al-Qur`ân ke al-Lauh al-Mahfûzh. Selain itu, Nabi juga senantiasa menyetor hafalannya kepada Jibril setiap tahun. Pada tahun wafatnya, Nabi menyetor dua kali, sedangkan ayat yang terakhir turun adalah Q.S. al-Baqarah: 281. Kemudian Jibril menyuruh meletakkannya di antara ayat riba dan hutang. Lihat Mahmûd bin Hamzah al-Karmânî, al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur`ân limâ Fîhî
Pendapat kedua, hampir serupa dengan kelompok pertama, hanya saja kelompok kedua ini selain mengakui ketauqifian sebagian susunan surat al-Qur`ân, juga menganggap sebagaian susunan surat al-Qur`ân bersifat ijtihadi yang dilakukan oleh para sahabat. Pendapat ini didukung oleh al-Qâdî Abû Muhammad Ibn 'Atiyah, al-Baihaqî, dan al-Hafîdz Ibn Hajar. Ibn 'Atiyah berasumsi bahwa sebagaian besar susunan surat al-Qur`ân telah ditetapkan pada masa Nabi, seperti letak al-sab'u altiwal, hawâmîm, dan al-mufassâl. Sedangkan surat-surat selain kelompok tersebut diserahkan urusan penyusunan letaknya kepada umat setelah era Nabi. Demikian pula dengan Ibn Hajar berpandangan sama dengan Ibn 'Atiyah dengan berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abû Daud dari sahabat Aus al-Tsaqâfî berukut ini
Sedangkan al-Baihaqî menilai bahwa susunan surat-surat al-Qur`ân telah ditetapkan pada masa Nabi, kecuali surat al-Anfâl dan al-Taubah (al-Barâ`ah). Urutan kedua surat ini tidak tauqîfî, karena penempatan seperti yang ada dalam mushaf Utsmânî ini adalah murni ijtihad Utsman bin 'Affân yang kemudian disetujui oleh para sahabat lain sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Aahmad dan perawi lainnya dari Ibn 'Abbâs. Al-Suyûtî mencatat bahwa alasan penganut pendapat ini adalah berdasarkan riwayat tentang dialog antara Ibnu 'Abbâs dan Utsman bin 'Affân. Saat itu Ibnu Abbâs bertanya kepada Utsman, "apa yang melatarbelakangimu mengurutkan surat al-Anfâl yang termasuk al-Matsânî, dengan surat al-Barâ'ah yang tergolong surat mi'în, tanpa memisahakan keduanya dengan basmalah?" "Rasulullah, ketika turun beberapa ayat kepadanya, selalu memanggil beberapa sahabat untuk mencatat ayat tersebut, kemudian menyuruhnya untuk menempatkannya setelah surat-surat min al-Hujjah wa al-Bayân, (t.tp.: Dâr al-Fadîlah, t.th.), h. 68; lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm alQur`ân, juz I, h. 177
tertentu. Surat al-Anfâl termasuk surat yang pertama turun di Madinah, sedangkan surat Barâ'ah termasuk yang terakhir turun. Namun, keduanya memiliki isi yang mirip. Sebelum wafat, Rasul tak pernah menjelaskan bahwa Barâ`ah adalah bagian dari al-Anfâl. Karena itulah, aku menyertaan keduanya dan tidak menuliskan basamalah serta aku tempatkan di tujuh surat panjang." jawab Utsman. Hanya saja setelah dilakukan penelitian sanad riwayat tersebut kurang akurat, mengingat di dalamya terdapat satu rawi yang majhûl al-hâl, yaitu Yazid al-Farisi.5 Pendapat ketiga merupakan negasi dari kedua pendapat tersebut. Pendapat ini cenderung menyatakan bahwa seluruh susunan surat dalam mushaf al-Qur`ân adalah bersifat ijtihâdi dan bukan tauqîfî. Pendapat ini diketahui muncul dari beberapa ulama besar seperti Malik bin Anâs (w. 179 H.), al-Qâdhi Abu Bakar alBâqillâni (w. 403 H.), Abu al-Husain Ahmad bin Fâris (w. 395 H.). Pendapat ketiga ini berpedoman pada dalil rasio dengan melihat fenomena perbedaan penulisan dan urutan mushaf di masa sahabat. Banyak mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf versi Utsman bin 'Affân. Misalnya adalah, mushaf Ali bin Abi Thalib (w. 40 H.) yang mengurutkan surat-suratnya berdasarkan kronologi turunnya surat (tartîb nuzûli). Kemudian ada juga mushaf lain seperti Mushaf Ibnu Mas'ud, Mushaf Ubay bin Ka'b, mushaf Ibnu 'Abbâs, dsb. Jika seandainya urutan tersebut adalah tauqîfî, niscaya tidak akan terjadi perbedaan susunan mushaf di kalangan sahabat, karena generasi inilah generasi yang langsung menyaksikan dan mengetahui dinamika kehidupan masa Nabi.6 Tampaknya, pendapat yang ketiga inilah yang banyak menuai kontroversi dan paling menarik untuk dikaji. Berangkat dari pendapat ini pula lah, para orientalis islamolog Barat banyak meneliti dan mengkritisi al-Qur`ân. Mereka berpendapat bahwa susunan surat dalam mushaf sekarang (mushaf utsmani) susunannya kacau dan tidak sistematis, karena menurut mereka bahwa dalam pengaturan tata letak dan urutan surat-surat al-Qur`an terdapat intervensi para sahabat yang sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menyusun urutan surat-surat
5
al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1996), juz I, h. 172. 6 al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân,……… h. 18, dan Muhammad Abdul 'Azhim alZurqâni, Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Kairo: Dâr el-Hadîth, 2001), juz I, h. 297-298
dalam al-Qur`an. Sehingga mereka berasumsi perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap tata letak dan urutan surat-surat al-Qur`ân tersebut. Asumsi akan adanya kesalahan karena intervensi para sahabat ini dilontarkan semisal ‘Âbid al-Jâbirî, Luis Jardeh dan Papa Qanawati (kedua nama terakhir ini merupakan
tokoh
orientalis)7.
Bahkan
Yûsuf
Râsyid,
dalam
papernya-
dipublikasikan dalam Majalah al-Azhar di Kairo pada bulan Ramadân tahun 1370 H/1950 M, edisi ke-22-yang bertajuk ”Rattibû al-Qur`ân al-Karîm Kamâ Anzalahu Allâh”, menghimbau kepada umat Islam, khususnya kepada para ulama agar melakukan penataan ulang terhadap susunan surat-surat al-Qur`ân dengan berpedoman kepada kronologi urutan turunnya, yang dimulai dari surat al-’Alaq, alQalam, al-Muzammil, al-Mudatstsir, al-Fâtihah, dan seterusnya sampai pada surat yang paling terakhir turun yaitu surat al-Nasr. Ia berasumsi bahwa tata letak susunan surat-surat dalam mushaf Utsmâni merupkan susunan yang bersifat kacau dan dapat mengacaukan pikiran serta menghilangkan signifikansi proses penurunan al-Qur`ân. Hal ini karena tata letak seperti itu dipandang tidak sinkron dengan prinsip tasyri’ yang graduatif, serta merusak tatanan kesistematisan dan kebersinambungan pemikiran yang disebabkan adanya benturan antara konsep dan pokok yang dikemukakan oleh surat Makkiyah dan surat Madaniyah yang diletakkan secara tidak beraturan. Selanjutnya Yûsuf Râsyid mengibaratkan hal ini dengan keadaan seorang yang sedang mempelajari Ilmu Nahw, yang kemudian dipaksa untuk beralih ke materi tentang huruf-huruf abjad, lalu beralih lagi ke materi Balâghah, dan demikian seterusnya terjadi peralihan yang secara spontan dari materi ke materi yang lainnya.8 Muhammad Salim Muhsin mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat ketiga ini karena beberapa alasan, yaitu: pertama, banyaknya riwayat sahih yang menjelaskan bahwa urutan mushaf adalah tauqîfi dari Rasul. Kedua, Zaid bin Tsabit, sebagai ketua komite penulis wahyu pada masa kekhalifahan Utsman bin 'Affân mengetahui dan belajar langsung tentang urutan mushaf ini dari Rasul. Ia juga menyaksikan proses peneyetoran hafalan Nabi kepada Jibril untuk yang 7
Mengenai tuduhan yang dilontarkan dua orientalis tentang adanya intervensi sahabat terhadap al-Qur`ân dapat dilihat dalam Anwar al-Jundi, al-Islâm fî Wajh al-Tagrîb, (Kairo: Dâr al-I’tisâm, t.th.), h. 348 8 Muhammad Abdullah Dirâz, al-Naqd al-Fannî Li al-Masyru’ Tartîb al-Qur`ân al-Karîm, Hasba Nuzûlihi; Taqrîr Marfu’ Ilâ Idârah al-Jâmi’ al-Azhar, dalam Hassâd Qalam, h. 45.
terakhir kalinya. Sedangkan alasana terakhir adalah karena mushaf-mushaf tersebut di atas ditulis sebelum setoran hafalan Nabi kepada Jibril untuk yang terakhir kalinya, sehingga belum ada ketetapan urutan tersebut secara keseluruhan dari Nabi.9 Sedangkan di antara tokoh-tokoh Orientalis lainnya semisal Theodor Noldeke dalam bukunya Geschichtedekorans yang diterbitkan oleh Gottingen pada tahun 186010, banyak mengemukakan kritik formatif terhadap susunan mushaf saat ini dengan pendekatan sejarah dan susastra modern. Kritik tersebut awalnya ditujukan kepada beberapa riwayat yang ada dalam kitab-kitab Hadits, sejarah , seperti Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Tabari, dan sebagainya, dan juga buku yang berkaitan dengan Asbâb al-nuzûl. Secara umum, kritik ini mencakup tigal hal, yaitu11 : Pertama, pegaya bahasa (uslûb al-lughah) surat berikut karakteristik dan cara penyampaiannya, kedua, perbedaan versi dalam sejarah perkembangan dakwah Nabi dan ketiga, sikap Nabi terhadap kaum Yahudi, Nasrani dan Paganis Arab. Terkait dengan kritikan pertama, pendapat Nôldeke sebagaimana yang dikutip oleh Watt, dari bukunya, Hartwig Hirschfed, New Researches into the Composition and Exegesis of the Koran, bahwa gaya penyampaian bahasa al-Qur`ân terbagi menjadi konfirmatori, deklamatori, naratif, deskriptif atau legislatif. Hal ini karena ia berasumsi bahwa dalam penelitian al-Qur`ân, seharusnya masalah Qirâ'ah lah yang banyak diperhatikan, bukan masalah surahnya.12 Dari kritik tersebut kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai periodisasi surat. Dalam hal ini, Noldeke, sebagaimana akademik Muslim, membagi surat al-Qur`ân menjadi Makkiyah dan Madaniyyah. Hanya saja, Noldeke dan umumnya orientalis lainnya, membagi lagi klasifikasi Makkiyah menjadi tiga periode, yaitu periode pertama, tengah dan akhir. Periode Makkiyah pertama adalah memiliki karakteristik khusus terdiri dari surat-surat pendek, berirama sama dan penuh dengan kiasan (amtsâl). Biasanya 9
Muhammad Salim Muhsin, Târîkh al-Qur'ân al-Karîm, h. 72 buku ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul Târîkh al-Qur`ân oleh George Tâmir dan diterbitkan di Beirut 2004 oleh percetakan Huqûq al-Nasyr Mahfdzah Li Mu`assasah Kunrad Adnawur. Lihat: Theodor Noldeke, Târîkh al-Qur`ân, terj. George Tâmir (Beirut: Huqûq alNasyr Mahfdzah Li Mu`assasah Kunrad Adnawur, 2004), cet. ke-2 11 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, terj. Kamâl Jâdullah, (t.tp.: al-Dâr al-‘Âlamiyah Li al-Kutub wa al-Nasyr, t.th.), h. 117-118 12 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, h. 98. 10
muncul kata-kata sumpah di awal surat13. Sedangkan periode ke dua ditandai dengan cerita-cerita Nabi dan umat terdahulu, banyaknya ilustrasi alam dan sejarah14, dimulai dengan ajaran akidah, surat-surat yang relatif lebih panjang, terdapat banyak ayat yang diawali dengan kata "qul", dan munculnya kata "al-Rahmân" sebagai salah satu nama atau sifat Allah. Adapun periode ke tiga memiliki ciri khas tidak lagi banyak menyebut kata "al-Rahmân", namun cerita-cerita umat terdahulu semakin banyak sehingga terkesan membosankan, dan terlalu banyak ayat-ayat futuristik. Hanya saja kriteria ini dibantah oleh Islamolog Barat yang lainnya, yaitu Richard Bell. Menurutnya kesimpulan ini terlalu terburu-buru, dan patut direvew (dikaji ulang). Karena apakah mungkin al-Qur`ân menggunakan kata tersebut hanya pada periode tertentu saja, sedangkan pada periode-periode yang lainnya tidak lagi dipakai. Tetapi memang tidak ada catatan resmi, baik dari-al-Qur`ân maupun hadis megnenai periode pemakaian kata ini. Kesimpulan ini juga dibantah karena ternyata terbukti kata tersebut masih dipakai pada periode Madinah, bahkan jauh setelah hijrah, tepatnya pada saat perjanjian Hudaibiyyah. 15 Orientalis lain yang tertarik pada kajian al-Qur`ân adalah Gustav Weil. Ia adalah sosok islmolog Barat yang tertarik pada kehidupan Nabi Muhammad. Ia juga sempat menulis buku yangberjudul Historische-kritische Einleitung in den Koran, 1843. Ia memiliki gagasan yang mirip dengan Noldeke mengenai periodisasi alQur`ân ke dalam Makkiyah awal, tengah, dan akhir, serta Madaniyyah. Hanya saja dalam susunannya, ia banyak berbeda dengan Noldeke. Berikutnya adalah Rêgis Blachêre, ia juga memiliki susunan kronologi surat al-Qur`ân yang berbeda, meskipun model klasifikasinya sama dengan yang lain. Selain ketiga tokoh diatas, Richard Bell termasuk salah seorang Islamolog yang sangat giat dalam mengkaji al-Qur`ân. Hasil kajiannya ini di tuangkan dalam karyanya Intoduction to the Quran (1953) yang kemudian disempurnakan lagi oleh W. M. Watt. Bell dalam mengurutkan surat al-Qur`ân, merujuk pada Nôldeke. Ia berkesimpulan bahwa wahyu yang orisinal dari Tuhan adalah berupa ayat-ayat saja.
13
Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 118-119 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran,… h. 96 15 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran,… h. 97; lihat juga Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 121. 14
Sedangkan surat dan susunannya dalam Mushaf adalah hasil konstruksi yang dilakukan Nabi saw. sendiri melalui bimbingan dari Tuhan. Meski demikian, menurut Bell, Nabi juga melakukan beberapa perubahan beberapa susunan, seperti menyusun sebuah surat yang terdiri dari beberapa ayat yang turun secara terpisah, menaskh, menyesuaikan rima (saj’), dan sebagainya.16 Dalam hal ini, Bell melihat adanya beberapa ayat yang tidak sesuai jika dilihat dari segi kebahasaannya. Dengan memperhatikan uslûb ayat, ia membuat kesimpulan bahwa di akhir surat al-Zumar terdapat ayat yang terisolasi. Menurutnya, ayat 75 ini seharusnya berada tepat setelah ayat 69. Asumsi ini didasarkan pada kandungan ayat yang menceritakan suasana pada yaum al-hisâb. Namun sebelumnya, pada ayat 69-70 telah ada ketetapan pasti mengenai nasib setiap orang di akhirat. Orang-orang kafir masuk neraka, dan orang-orang yang bertakwa, akan masuk surga. Melihat kandungan ayat dan gaya bahasanya ini, Bell berkesimpulan bahwa nabi melakukan perubahan susunan melalui isolasi ayat 75 yang seharusnya berada pada posisi lima ayat lebih awal. Perubahan susunan berdasarkan uslûb ayat ini terlihat pada kritik Bell bahwa ayat 69 s.d. 74 adalah Madaniyyah. Sedangkan surat ini, tertulis sebagai surat Makkiyah.17 Dari kajian yang dilakukan oleh para pacinta studi al-Qur`ân, khususnya dari komunitas akademik non-Muslim, dalam menentukan susunan surat al-Qur`ân, mereka menggunakan pendekatan sejarah atau fenomena masyarakat Arab saat alQur`ân turun dan pendekatan teks, baik itu dari segi gaya bahasanya (uslûb) ataupun tema-tema yang dibawa. C. RAHASIA SUSUNAN SURAT AL-QUR`AN Jika dilakukan perenungan secara mendalam setiap ayat-ayat al-Qur`an serta dielaborasi maknanya, maka akan ditemukan bahwa antara ayat-ayat dan surat-surat al-Qur`an sebelum dan setelahnya terdapat korelasi positif yang menunjukkan bahwa ayat-ayat dan surat-surat al-Qur`an menjadi satu kesatuan yang padu, yang sekaligus mengkounter pandangan yang menyatakan bahwa sistematika susunan surat-surat dalam mushaf Utsmâni bersifat kacau.
16
Lebih lanjut, lihat W. M. Watt., Richard Bell, Pengantar Quran, h. 74-78 Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah alQur`ân, (Jakarta: alvabet, 2005), cet. I, h. 134 17
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan ilmu munasabah yang pada perkembangannya saat ini menjadi sebuah teori yang dikenal dengan al-Wahdah alMaudhu’iyyah li al-Qur`an (kesatuan tema-tema al-Qur`an). Ilmu munasabah ini membahas seputar adanya korelasi (hubungan) antara surat dengan surat, antara nama surat dengan kandungannya, antara himpunan ayat-ayat dalam surat yang sama, antara ayat dengan ayat dan hubungan antara satu dengan lainnya, serta antara kalimah dengan kalimah. Sebagai contoh akan adanya hubungan yang kokoh antara ayat-ayat alQur`an baik anatara ayat dalam surat itu sendiri ataupun antara ayat dalam satu surat dengan surat yang lainnya, yaitu hubungan antara ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah yang menempati urutan surat nomor 2 setelah surat al-Fatihah. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian kedua dari tiga bagian isi surat alBaqarah sangat terkait erat dengan paragraf pertama surat al-Fatihah, yaitu hubungan antara firman-Nya: ‚
‛ (al-Fatihah [1]:2), dengan firman-Nya pada
bagian kedua isi surat al-Baqarah: ‚
‛ (al-Baqarah [2]:172)
yang memerintahkan untuk selalu bersyukur kepada Allah18, kemudian pada paragraf sebelum paragraf terakhir dari surat al-Fatihah terdapat firman Allah: ‚ ‛ (al-Fatihah [1]:5). Sedangkan bagian pertama dari pada tiga bagian isi surat al-Baqarah diawali dengan tekanan al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah lewat firman-Nya: ‚
‛ (al-Baqarah
[2]:21); dan diakhiri dengan pernyataan bahwa diantara umat manusia terdapat kelompok yang enggan untuk bertauhid bahkan cenderung menyekutukan Allah melalui firman-Nya: ‚
‛ (al-Baqarah [2]:165)19. Dalam
paragraf yang lain yaitu pada paragraf terakhir surat al-Fatihah disinggung masalah permohonan petunjuk mengenai jalan lurus yang diridhai oleh Allah melalui firman-Nya: ‚
‛ (al-Fatihah [1]: 6). Sedangkan pada bagian awal
surat al-Baqarah dengan tegas menyatakan keberadaan al-Qur’an selaku kitab 18 19
Sa‘id Hawwa, Al-Asas fi al-Tafsir, (Kairo: Dar al-Salam, 1419 H/1999 M), jilid I, h. 55 Sa‘id Hawwa, Al-Asas fi al-Tafsir, jilid I, h. 54-55
berbasis petunjuk yang dimohon tersebut melaui firman-Nya: ‚ ‛ (al-Baqarah [2]:2)20. Hal tersebut menunjukkan bahwa barang siapa yang membutuhkan petunjuk untuk menjalani jalan Allah, maka hendaklah dia mencarinya dalam kitab Allah yaitu al-Qur`an yang memang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia umumnya, dan orang-orang yang bertakwa khususnya. Demikian pula dengan surat al-Baqarah dengan surat-surat yang datang setelahnya terdapat korelasi yang sangat kokoh jika ditelaah secara mendalam setiap ayat yang terdapat dalam surat-surat al-Qur`an tersebut. Penelaahan secara mendalam ini pulalah yang menghantar Sa’id Hawa-seorang ulama, mufassir modern yang konsen dalam mengkaji al-Qur`an-sampai pada kesimpulan bahwa alQur’an memiliki kesatuan, keserasian, dan keutuhan, baik dalam satu atau kumpulan kelompok ayat, dalam satu surat, dalam bagian kumpulan kelompok surat, maupun dalam al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, dan mengatakan bahwa surat al-Fatihah merupakan pengantar atau pendahuluan bagi al-Qur’an secara keseluruhan dan surat al-Baqarah selaku batang tubuh yang menjabarkan isi kandungan surat al-Fatihah. Selain sebagai batang tubuh yang menjabarkan isi kandungan surat al-Fatihah, surat al-Baqarah juga menjadi mihwar (acuan) surat-surat yang datang setelahnya yang menjabarkan dan merinci secara detail pembahasan-pembahasan yang ada dalam batang tubuh (alBaqarah).21 Terungkapnya rahasia susunan surat-surat al-Qur`an yang demikian itu, ‘Abd Allah Diraz menegaskan bahwa surat-surat al-Qur’an tampak begitu unik, tersusun dengan tatanan yang sistematis, berdasarkan pada perencanan yang matang dari Authornya. Al-Qur’an berisikan surat-surat yang memuat suatu materi, tema, dan penutup. Al-Qur’an terangkai dalam rangkaian satu kesatuan utuh. Hal ini semakin menegaskan al-Qur’an selaku kitab yang -tak terbantahkan- secara metodologis, tidak akan pernah mampu untuk ditandingi oleh kitab manapun, baik
Sa‘id Hawwa, Al-Asas fi al-Tafsir, jilid I, h. 50. Lihat juga Muhammad ‘Abd Allah Diraz, Hashshad Qalam, (Kuwait: Dar Al-Qalam, 1424 H/2004 M), h. 111 21 Sa‘id Hawwa, Al-Asas fi al-Tafsir, jilid I, h. 35 20
dari sisi susastra maupun sisi lainnya. Kesatuan al-Qur’an yang logis dan sastrawi itu adalah mukjizat di atas mukjizat.22 Inilah sekilas pandangan dan rahasia dibalik susunan surat al-Qur`an yang terdapat dalam mushaf utsmani yang masih dipertanyakan oleh sebagian kalangan akan ketauqifian susunan surat-suratnya.
D. Penutup Pandangan ilmuan dari kalangan Orientalis yang berpendapat bahwa susunan surat al-Qur`an khususnya dalam mushaf Utsmani tidak sistmatis dan bersifat kacau, yang disebabkan adanya interfensi sahabat dalam penyusunan suratsurat al-Qur`an pada saat kodifikasi al-Qur`an, sehingga perlu dikaji dan disusun ulang sesuai dengan kronologi turunnya al-Quran tidaklah tepat. Karena bila dikaji lebih dalam, terdapat keselarasan, hubungan, dan kesatuan yang padu antara ayat dengan ayat dalam satu surat maupun antara surat dengan surat setelahnya, meski secara sekilas terkesan tidak sistematis. Dan Al-Qur’an berisikan surat-surat yang memuat suatu materi, tema, dan penutup yang terangkai dalam satu kesatuan yang utuh yang menegaskan bahwa al-Qur`an secara metodologis selaku kitab yang tidak dapat terbantahkan lagi akan susunan surat-suratnya yang sistematis dan berdasarkan pada perencanaan yang sangat matang dari Authornya. Serta tidak akan pernah tertandingi oleh kitab manapun baik dari sisi sastra maupun sisi logis dan sisi lainnya.
Muhammad ‘Abd Allah Diraz, Madkhal Ila al-Qur’an (Kuwait: Dar Al-Qalam, 1404 H/1984 M), h.129-131. 22
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, terj. Kamâl Jâdullah, t.tp.: al-Dâr al-‘Âlamiyah Li al-Kutub wa al-Nasyr, t.th. Abu Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1391 H Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, Beirut: Dâr el-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1996 Anwar al-Jundi, al-Islâm fî Wajh al-Tagrîb, Kairo: Dâr al-I’tisâm, t.th. Mahmûd bin Hamzah al-Karmânî, al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur`ân limâ Fîhî min al-Hujjah wa al-Bayân, t.tp.: Dâr al-Fadîlah, t.th Muhammad ‘Abd Allah Diraz, Hashshad Qalam, Kuwait: Dar Al-Qalam, 1424 H/2004 M ------------- Madkhal Ila al-Qur’an Kuwait: Dar Al-Qalam, 1404 H/1984 M Muhammad Abdul 'Azhim al-Zurqâni, Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Kairo: Dâr el-Hadîth, 2001 Muhammad Abdullah Dirâz, al-Naqd al-Fannî Li al-Masyru’ Tartîb al-Qur`ân alKarîm, Hasba Nuzûlihi; Taqrîr Marfu’ Ilâ Idârah al-Jâmi’ al-Azhar, dalam Hassâd Qalam Muhammad Salim Muhsin, Târîkh al-Qur'ân al-Karîm Sa‘id Hawwa, Al-Asas fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Salam, 1419 H/1999 M Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`ân, Jakarta: alvabet, 2005 Theodor Noldeke, Târîkh al-Qur`ân, terj. George Tâmir Beirut: Mahfdzah Li Mu`assasah Kunrad Adnawur, 2004
Huqûq al-Nasyr
W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, terj. Lillian D . Tedjasudhana, Jaakarta : INIS, 1998