SISTEM PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH (Studi Komparatif Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2102 Dengan Fatwa Syaikh Sholih AlMunajjid No 170594 Dalam Kitab fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: Ida Handayani NIM 11100043100024
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
ABSTRAK IDA HANDAYANI, NIM: 1110043100024 Sistem Penjualan Langusng Berjenjang Syariah (Studi Komparatif Fatwa No 83 DSN/MUI/VI/2012 dengan fatwa Syaik Shalih Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Slam As-Sual Wa Al-Jawab) Kerjasama dalam aktifitas perekonomian sangat beragam bentuknya, salah satunya yaitu sistem Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) atau biasa disebut dengan Multi Level Marketing (MLM) sistem penjualan seperti ini bertujuan untuk mempercepat jalur pemasaran sehingga dapat mengurangi pengeluaran biaya untuk promosi ataupun iklan. Perkembangan bisnis MLM kini diramaikan pula dengan hadirnya MLM yang berbasis syariah. Bagi kalangan muslim, mereka akan lebih cenderung memilih untuk melakukan kegiatan bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah Islam. Apalagi di tengah masih merebaknya kontroversi tentang bisnis ini. Oleh karena itu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan juga seorang ulama bernama Syaikh Shalih al-Munajjid menetapkan sebuah fatwa tentang penjualan langsung berjenjang yang berbasiskan syariah, terdapat perbedaan dalam cara menetapkan fatwa diantara keduanya. Untuk itu, penulis mengangkat penelitian mengenai sistem penjualan langsung berjenjang syariah. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dan analisis yang digunakan adalah analisis data komparatif dengan cara membandingkan kedua fatwa terkait permasalahan ini. Dengan rumusan masalah untuk mengetahui konsep dan akad yang terdapat dalam sistem penjualan langsung berjenjang syariah serta mencari persamaan dan perbedaan antara kedua fatwa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang menggunakan teknik studi kepustakaan (library research). Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan beberapa temuan, diantaranya adalah mengetahui bahwa dalam sisitem penjualan langsung berjenjang syariah terdapat dua pendapat, yang pertama DSN-MUI menyetarakan Penjualan langsung berjenjang dengan akad tijarah, sedangkan menurut Syaikh Shalih al-Munajjid menyetarakan dengan akad wakalah serta beberapa ketentuan di dalamnya.
Kata Kunci
: Penjualan Langsung Berjenjang, PLBS, MLM, MLM Syariah.
Pembimbing : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1969-2013
iv
KATA PENGANTAR “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu akan cinta-Mu, cinta orang yang mencintaiMu, dan cinta perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada cinta-Mu” (Do‟a Rasulullah) Puji dan syukur tiada hentinya penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuknya, juga memberikan kesabaran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya. Alhamdulillahirabbil „âlamîn berkat rahmat dan karunia Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini, dan tentunya juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan oleh banyak pihak. Tiada kata yang dapat penulis ungkapkan kecuali ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. selaku ketua prodi PMH dan Ibu Siti Hanna selaku Sektetaris Prodi PMH. 3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag. yang telah memberikan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
v
4. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang telah memebrikan ilmu yang sangant bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT. 6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan utama dan staf karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skripsi dan kelancaran administrasi. 7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Didi Supriyadi dan Umi Nurjannah yang tiada hentinya untuk selalu mencurahkan doa serta nasihatnya pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta adik-adik tercinta Indra, Indri dan Hafidz yang telah mendoakan dan menjadi motivasi bagi penulis. 8. Kepada pengurus dan sahabat Bidik Misi 2010, terima kasih telah menjadi bagian dari cerita penulis. Kebersamaan dan perjuangan kita adalah pengalaman yang sangat berharga dan takkan pernah terlupakan. 9. Sahabat dan rekan PMH angkatan 2010, yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. 10. Rekan Qur’an Learning Center Bintaro dan seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu
vi
persatu, terimakasih banyak semoga Allah selalu membalas kebaikan tersebut dengan balasan yang berlipat ganda, Amiin. Dengan selesainya karya tulis ini, besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca umumnya. Jakarta, 04 Juli 2015 Ida Handayani
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR.. ..................................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar belakang masalah ......................................................
1
B. Pembatasan dan perumusan masalah .................................
5
C. Tujuan dan manfaat penelitian ...........................................
6
D. Studi review (kajian terdahulu) ..........................................
7
E. Metode penelitian ...............................................................
8
F. Teknik penulisan skripsi ....................................................
9
G. Sistematika penulisan .........................................................
10
TINJAUAN UMUM AKAD JUAL BELI DAN WAKALAH SERTA SISTEM PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH ...............................................................................
11
A. Jual Beli .............................................................................
11
1) Pengertian Jual Beli......................................................
11
2) Dasar Hukum Jual Beli ................................................
12
3) Syarat Dan Rukun Jual Beli .........................................
14
4) Bentuk-Bentuk Jual Beli ..............................................
16
viii
B. Wakalah .............................................................................
18
1) Pengertian wakalah ......................................................
18
2) Dasar hukum wakalah ..................................................
19
3) Rukun dan syarat wakalah ...........................................
20
C. Sistem penjualan langsung berjenjang 1) Pemasaran ....................................................................
22
2) Sistem penjualan langsung berjenjang .........................
24
3) Konsep penjualan langsung berjenjnag ........................
25
4) Kriteria penjualan langsung berjenjang syariah ...........
26
5) Prinsip dan orientasi penjualan langsung berjenjang syariah
BAB III
......................................................................................
30
ISI FATWA DAN KEDUDUKAN FATWA ........................
34
A. Isi fatwa .............................................................................
34
1) Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 .................................
34
2) Fatwa Syaikkh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa al-Jawab ...............
37
B. Kedudukan fatwa .............................................................
43
1) Fatwa kolektif...............................................................
46
2) Fatwa individu ..............................................................
47
3) Fatwa tarjih...................................................................
50
ix
BAB IV
ANALISIS
KOMPARATIF
FATWA
NO
83
DSN/MUI/VI/2012 DAN FATWA SYAIKH SHALIH ALMUNAJJID NO 170594 DALAM KITAB FATWA AL-ISLAM AS-SUAL WA AL-JAWAB ..................................................
52
A. Perbandingan Antara Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam
Kitab
Fatwa
Al-Islam
As-Sual
Wa
Al-
Jawab…………………………………………………….
52
B. Analisis Komparatif Fatwa No 83 DSN/MUI/VI/2012 dan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab ..........................
53
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................
59
A. Kesimpulan ........................................................................
59
B. Saran ...................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
61
BAB V
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis secara literal dapat diartikan sebagai suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain.1 Secara etimologis, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.2 Bisnis biasanya berkaitan erat dengan kegiatan marketing pada perdagangan. Dalam hal perdagangan, para ekonomi barat berpendapat bahwa prinsip ekonomi perdagangan adalah pengorbanan sekecil-kecilnya dengan keuntungan yang sebesar-besarnya. Istilah bisnis sudah sangat familiar dalam masyarakat kita. Keidupan manusia seakan tidak pernah lepas dari kata bisnis. Secara semantik kata ini memiliki beberapa konotasi makna seperti usaha, perdagangan, perusahaan, tugas, urusan, usaha dagang dan sebagainya. Secara teknis bisnis bisa dimaknai sebagai semua aktifitas yang dilakukan seseorang dan organisasi yang memproduksi barang dan jasa dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan mendapat imbalan pembayaran yang disebut dengan harga sering disebut dengan bisnis.3 Berbicara bisnis dalam era globalisasi yang ditandai dengan persaingan yang amat ketat, sangat relevan jika diingat nilai-nilai moral dan etika yang sering kali diabaikan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat juga menjadi semakin menyadari betapa pentingnya sektor bisnis bagi kemajuan ekonomi dan perkembangan bangsa. Tetapi masyarakat juga semakin peka dan tanggap akan 1
Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami, (Bandung: CV. Alfabeta, 2003), h. 90. Wikipedia, Bisnis. http://id.wikipedia.org/wiki/bisnis. diunduh pada 23 Desember 2014 pada 22.15 WIB 3 Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 85. 2
1
2
berbagai hal yang dianggap menjurus kepada praktek bisnis yang tidak wajar dan tidak etis. Sikap ini menarik, karena menunjukan bahwa masyarakat mengharapkan suatu kegiatan bisnis yang semakin maju tetapi tetap etis, paling tidak dengan mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mengindahkan kepentingan dan kesejahteraan semua pihak. Para pelaku bisnis juga semakin menyadari bahwa dalam persaingan bisnis yang semakin ramai serta bangkitnya kesadaran masyarakat akan kegiatan bisnis yang baik, langkah kearah sukses bisnis yang baik semakin ditentukan oleh berbagai faktor yang non ekonomis menejerial. Salah satu faktor tersebut adalah aspek manusiawi, aspek etis.4 Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan. Disamping itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah, Islam tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi. Namun demikian, Islam juga tidak menghendaki pemeluknya menjadi mesin ekonomi yang melahirkan budaya materialisme. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beragam manusia tidak mungkin sendirian, ia harus bekerja sama dengan orang lain, antara individu dengan individu lain dan antara produsen dengan konsumen. Salah satu bentuk kerjasama yang dikembangkan dewasa ini adalah sistem penjualan langsung berjenjang atau sering disebut Multi Level Marketing (MLM). Salah satu langkah yang ditempuh untuk meraih sukses di bidang bisnis yaitu melalui sistem Multi Level Markeing (MLM) atau sistem penjualan langsung brjenjang. Multi Level Markeing merupakan salah satu strategi atau cara pemasaran dalam bisnis di era modern dengan melalui jaringan distribusi yang 4
Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, (Tangerang Selatan;LPSI, 2013), h. 4
3
dibangun secara permanen dengan mempromosikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran, oleh karena itu Multi Level Marketing adalah salah satu konsep penyaluran barang (produk dan jasa) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh keuntungan dalam garis kemitraannya.5 Dengan kata lain, MLM merupakan metode pemasaran barang atau jasa dengan sistem penjulan langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi dan bonus dari hasil penjualan barang atau jasa yang dilakukan sendiri dan anggota jaringan dalam kelompoknya.6 Sistem duplikasi pada sistem pemasaran MLM inilah yang menjadikan perkembangan pada bisnis tersebut. Sistem pemasaran dan penjualan dengan Multi Level Marketing semakin marak. Banyak produk yang dipasarkan dengan sistem ini, bahkan sebagian produk bisa diperoleh dengan harga yang lebih murah dengan menjadi member pada lembaga yang menerapkan sistem ini sehingga masyarakat yang membutuhkan suatu produk tersebut tertarik untuk menjadi anggotanya atau dalam beberapa prakteknya, banyak point dan bonus yang dijanjikan bagi para anggota sehingga mereka bersemangat memasarkan produk tersebut untuk mengejar poin dan bonus tersebut dan terkadang ada yang berniat gabung demi mendapatkan bonus, bukan karena butuh kepada produk yang dijual.7 Akhir-akhir ini, perkembangan bisnis MLM diramaikan pula dengan hadirnya MLM berbasis syariah. Keberadaan MLM syariah di tanah air menjadi 5
Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah. h. 7. Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah, (Tangerang: Amal Actual, 2005), h.17. 7 http://www.voa-islam.com/islamia/tsaqofah/2010/12/06/12129/MLM-dalam pandanganIslam/, diakses pada Minggu, 22 Maret 2015, pukul17.38 WIB. 6
4
penting artinya, mengingat mayoritas jumlah penduduk negara kita adalah muslim. Bagi kalangan muslim puritan, mereka akan lebih cenderung memilih untuk melakukan kegiatan bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah Islam. Apalagi di tengah masih merebaknya kontroversi tentang bisnis ini.8 Beberapa perusahaan MLM bahkan telah memberikan perusahaannya dengan label syariah. Oleh karena banyaknya perusahaan MLM yang berkembang, maka Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait MLM tersebut, yang tertera dalam fatwa No 75/DSN MUI/VI/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dan dijelaskan secara khusus dalam fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) jasa perjalanan umrah. Selain dari fatwa DSN MUI tersebut, terdapat pula fatwa yang menjelaskan tentang MLM yang berbasis syariah yaitu terdapat dalam
fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab
(Tanya Jawab Soal Islam) No 170594 yang dijelaskan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid9. Kedua fatwa tersebut sama-sama memberikan penjelasan tentang kriteria MLM yang berbasis syariah. Namun, yang membedakan isi kedua fatwa tersebut yaitu pada persyaratan anggota MLM. Fatwa DSN-MUI mensyaratkan harus membayar sejumlah uang atau membayar objek akad untuk menjadi anggota MLM, hal ini tertera dalam ketentuan khusus (bagi musta’jir) fatwa terkait yang terdapat pada poin 1.b, sub poin c “anggota wajib membayar harga (ujrah) objek akad”. Sedangkan dalam fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab No 170594 yang dijelaskan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid, tidak disyaratkan untuk membayar sejumlah uang maupun membayar objek akad untuk menjadi anggota.
8 9
Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah,h. 19. http://www.islamqa.info, diakses pada 28 Februari 2015, pukul 10.32 WIB
5
Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (Studi Komparatif Fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 Dengan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, agar pembahasan lebih terfokus sesuai dengan judul skripsi yang penulis kemukakan maka penulis memberikan batasan masalah mengenai Pejualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) atau MLM syariah terkait dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab No 170594 yang dikemukakan oleh Syaikh Sholih Al-Munajjid. Hal ini diharapkan agar identifikasi masalah tidak menyimpang dari pokok bahasan. Adapun perumusan yang dimaksud oleh penulis dalam skripsi adalah : 1. Bagaimana konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) menurut fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dan dalam fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid ? 2. Bagaimana pandangan lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis ulama Indonesia dan fatwa Syaikh Shalih al-Munajjid No 170594 dalam kitab fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab terhadap akad dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah? 3. Bagaimana perbandingan antara fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk menjelaskan konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) yang terdapat dalam fatwa No 83DSN/MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid. b. Untuk menjelaskan pandangan lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Syaikh Shalih al-Munajjid No 170594 dalam kitab fatwa Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab terhadap akad dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah. c. Untuk membandingkan sisi persamaan dan perbedaan antara fatwa No 83DSN/MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penulisan skripsi ini secara akademis dan secara praktis adalah: a. Secara Akademis Manfaat penulisan skripsi ini secara akademis yaitu untuk memberikan kontribusi akademis serta menambah khasanah keilmuan khususnya di bidang penjualan langsung berjenjang syariah. b. Secara Praktis Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis yaitu untuk memberikan rujukan dalam perumusan produk ekonomi syariah khususnya dibidang penjualan langsung berjenjang syariah.
7
D. Studi Review (Kajian Terdahulu) 1. Sistem Pemasaran Haji dan Umrah PT. Arminareka Perdana, ditulis oleh Handy Indra Dermawan mahsiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FDK, Menejemen Dakwah tahun 2013. Dalam pembahasan skripsinya Handy Indra Dermawan menyimpulkan bahwa Sistem pemasaran perusahaan ini berdasarkan tahapan-tahapan pemasaran yakni pada bagian segmentasi pasar hanya menggunakan 2 variabel saja, yaitu berdasarkan jenis kelamin dan penyebaran kantor perwakilan di berbagai daerah di Indonesia, lalu berdasarkan unsur-unsur pemasaran dimana pada bagian promosi, perusahaan ini menngunakan sistem referensi mudharabah yang lain dari travel-travel yang ada di Indonesia 2. Analisis Pemasaran Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Pada PT. Arminareka Perdana, ditulis oleh Ibnu Rijal Silmi mahsiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FDK, Menejemen Dakwah tahun 2013. Dalam penelitiannya Ibnu Rijal Silmi menyimpulkan bahwa adanya kesesuaian pemasaran yang dilakukan perusahaan sesuai ketentuan dalam fatwa DSNMUI No 83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah jasa perjalanan umrah yang ditandai dengan akad yang dilakukan yakni jual beli jasa, adanya ujrah bagi jamaah yang berhasil merekrut jamaah lainnya dan juga tidak memberikan iming-iming imbalan yang besar bila jamaah tidak menjalankan hak usaha kemitraannya. Selain itu, juga adanya ketidak sesuaian operasional yang dibuktikan dengan adanya beberapa agen yang tidak memberikan informasi adanya solusi bagi jamaah yang kurang mampu dan hanya mementingkan sisi perekrutannya saja.
8
Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, pada kedua skripsi diatas mereka lebih menitikberatkan penelitiannya pada sisitem pemasaran dalam rangka meningkatkan jumlah jamaah. Sedangkan dalam skripsi ini penulis berusaha menguraikan serta menjelaskan akad-akad yang terkandung dalam konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) yang dikeluarkan oleh Dewan Syaiah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Syaikh Shalih Al-Munajjid. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis untuk sampai pada rumusan yang tepat dalam penelitian ini adalah: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif10. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah meted atau cara yang dipergunkan di dalam penelitian hukum yang dilakukan. 2. Sumber data a. Sumber data primer, yakni fatwa DSN-MUI No 83/DSN-MUI/VII/2012 dan fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab No 170594. b. Data Sekunder, yakni buku-buku terkait dengan penulisan skripsi ini disertai wawancara dengan pakar terkait pembahasan skripsi. c. Data Tersier, yakni berupa artikel, koran, jurnal, kamus dan ensiklopedia yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet-11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13.
9
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data penulisan akan menggunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study), yakni menelusuri buku-buku dan literatur yang terkait dengan permasalahan, baik yang berkaitan dengan peraturan dalam konteks keislaman maupun pandangan para pakar hukum Islam. 4. Teknik Analisis Data Analisis yang dilakukan adalah analisis data komparatif.11 Analisis komparatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara kedua fatwa yang mengkaji tentang permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, dalam hal ini yaitu DSN-MUI No 83/DSN-MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Sholih AlMunajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab. F. Teknik Penulisan Skripsi Pada setiap tulisan atau karangan ilmiah, terdapat suatu hal yang penting sebagai pedoman atau sistem rujukan dalam dasar tulisan ilmiah. Metode penulisan penelitian (teknik penulisan) ini mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Adapun terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an merujuk kepada AlQur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departement Agama Republik Indonesia Tahun 2009, dengan pengecualian sebagai berikut:
11
Penelitian komparatif dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum yang bersifat deskriptif dan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Prenada Media Group, 2008), h. 132.
10
1. Dalam daftar kepustakaan, Al-Qur’an dicantumkan dalam urutan paling atas, hal ini untuk menghormati bahwa ayat Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang harus dimuliakan. 2. Terjemahan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist diketik dalam satu spasi, baik yang kurang maupun yang lebih dari enam baris, serta disebutkan surat dan nomor ayatnya pada akhir ayat dengan mencantumkan footnote. G. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab, dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Lebih jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode
penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan teoritis mengenai akad jual beli dan wakalah serta sistem penjualan langsung berjenjang. Bab III membahas tentang isi fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al Munajjid No 170594 serta kedudukan fatwa. Bab IV membahas sisi persamaan dan peredaan kedua fatwa serta analisis komparasi fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 dengan fatwa Syaikh Shalih Al Munajjid No 170594. Bab V penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG JUAL BELI DAN WAKALAH SERTA SISTEM PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG A. Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Jual beli dalam istilah fiqih secara etimologi bisa disebut dengan al-bai‟, al-Tijarah dan al-Mubadalah1 yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba‟ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira‟ (beli).2 Dengan demikian, kata al-bai‟ (jual) dan asy-syira‟ (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama.3 Secara terminologi yang dimaksud dengan jual beli yaitu menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.4 Dapat dipahami bahwa dalam transaksi jual beli ada dua belah pihak yang terlibat, transaksi terjadi pada benda atau harta yang membawa pada kemaslahatan bagi kedua belah pihak, harta yang diperjualbelikan itu halal, dan kedua belah pihak mempunyai hak atas kepemilikannya untuk selamanya. Selain itu, inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang 1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 67. Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 111. 3 Supian dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 123. 4 Idris Ahmad, Fiqh Asy-Syafi‟iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), h. 67. 2
11
12
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak. Pihak yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan dan disepakati secara syara‟ sesuai dengan ketetapan hukum. Maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.5 Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedagkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunanya menurut syara‟. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tidak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara‟.6 2. Dasar Hukum Jual Beli Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW. terdapat sejumlah ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang jual beli, salah satunya dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
5
Sohari Sahrani dan Su‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h. 66. 6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 69.
13
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba7 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.8 Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu9 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275) Dalam sebuah Hadits:
Artinya : “Dari sahabat Rafi‟ bin Khadij ia menuturkan: dikatakan (kepada Rasulullah SAW), “Wahai Rasulullah! Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “hasil pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim, dan di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani). Kaidah Fiqih
“hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan akan keharamannya”.11 7
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. 8 Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. 9 Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. 10 Ahmad No 16814, At-Thabrani No 4411, dan Al-Hakim No 2158. Lihat, Maktabah Syamilah, Versi 2. 11 Ahmad ibn Syaikh Muhammad Ar-Razaq, Syarah Al-Qawa‟id Al-fiqhiyyah, (Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H/ 1989 M), h. 381. Juz 1.
14
Para ulama juga telah menyepakati bahwa perniagaan adalah pekerjaan yang dibolehkan dan kesepakatan ini telah menjadi suatu bagian dari syari‟at Islam yang telah diketahui oleh setiap orang. Sebagai salah satu buktinya, setiap ulama yang menuliskan kitab fiqih atau kitab hadits, mereka senantiasa mengkhususkan satu bab untuk membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan perniagaan. Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah boleh, selama tidak menyelisihi syari‟at. Walau demikian, syari‟at Islam menggariskan beberapa prinsip dasar yang bertujuan mengarahkan hubungan mereka tersebut, agar hubungan mereka berlangsung di atas prinsip-prinsip yang luhur nan suci dan agar tidak terjadi ketimpangan serta hanyut oleh bisikan hawa nafsu, sifat tamak, ambisi untuk menguasai dan bisikan setan. Dan agar setiap pemilik hak mendapatkan haknya secara utuh tanpa dikurangi sedikitpun.12 3. Rukun dan Syarat Jual Beli Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikataan sah oleh syara‟. Dalam
menentukan rukun jual beli
terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha / tarâdhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu
12
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi, (Bogor: Darul Ilmi Publishing: 2012), h. 63.
15
merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melaui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta‟a¯thi).13 Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu: a. Muta‟aqidain (dua orang yang berakad) b. Sighat (lafal ijab dan qabul) c. Ada barang yang dibeli d. Ada nilai tukar pengganti barang Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli. Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut: 1. Syarat orang yang berakad a. Berakal. b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. 2. Syarat yang terkait dengan ijab qabul a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
13
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 115.
16
b. Qabul sesuai dengan ijab. c. Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis. 3. Syarat barang yang diperjualbelikan a. Barang itu ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat utnuk manusia. c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh di jualbelikan. d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsug. 4. Syarat-syarat nilai tukar a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan atau kartu kredit. c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (almuqâyadhah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara‟, seperti babi dan khamr, karena kedua jenis ini tidak bernilai dalam syara‟. 4. Bentuk-Bentuk Jual Beli a. Jual beli yang shahih Suatu jual beli dikaakan jual beli yang shahih apabila jual beli itu disyari‟atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik
17
orang lain, tidak tergantung pada khiyar lagi. Jual beli seperti ini dikatakan sebagai jual beli yang shahih. b. Jual beli yang bathil Jual beli daikatakan bathil apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak teerpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyari‟atkan, seperti jual beli barang yang diharamkan syara‟. Jenis-jenis jual beli yang bathil diantaranya: 1) Jual beli sesuatu yang tidak ada. 2) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. 3) Jual beli yang mengandug unsur penipuan. 4) Jual beli benda-benda najis, seperti babi, khamr, bangkai dan darah, karena semuanya itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta. 5) Jual beli al-„arbun yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjajian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan kepada penjual menjadi hibah bagi penjual. 6) Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut. Karena merupakan hak bersama umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan.
18
c. Jual beli yang fasid 1) Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat. 2) Menjual barang yang ghaib dan tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli berlangsung. 3) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen. B. Wakalah 1. Pengertian Wakalah Wakalah secara etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.14 Sedangkan secara terminologi wakalah adalah pemberi kewenangan/kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar‟i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.15 Perwakilan sah dilakukan pada permasalahan jual beli, perkawinan, thalaq, memberi, dan menggadai suatu barang yang berhubungan dengan muamalah.16
Definisi wakalah menurut beberapa pendapat, diantaranya: menurut Hashbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa wakalah adalah “akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).”17 Sayyid Sabiq mengatakan bahwa wakalah adalah
14
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
182. 15
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 171. Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi‟i, (Jakarta: Widjaya, 1969), cet. I, h. 67. 17 Hasbi ash Shiddeqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang), 1974, h. 90. 16
19
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.18 Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah mendifinisikan bahwa wakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.19 2. Dasar Hukum wakalah Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 19:
Artinya : dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekalikali menceritakan halmu kepada seorangpun. (QS. Al-Kahfi: 19)
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, (Beirut :Daar Al-Fikr, 1984), h. 72. Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 179. 19
20
Hadits Nabi
Artinya : Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq." (HR. Abu Dawud)20 3. Rukun dan Syarat Wakalah Adapun rukun dan syarat-syarat berwakil menurut madzhab Syafi‟i dalam buku muamalat karya Helmi Karim dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Muwakil, orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya, disyaratkan: 1) Harus seorang pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuai yang ia wakilkan. 2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan lain sebagainya. b. Wakil, disyaratkan bahwa wakil sah melakukan apa yang diwakilkan kepadanya, tak ubahnya orang yang berwakil pula, disyaratkan: 1) Cakap hukum 2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya 3) Wakil adalah orang yang diberi amanat
20
Abu Daud Sulaiman ibn As‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar Al-Kitab Al-„Arabi, tt), Juz 3. h. 350.
21
c. Muwakil fiih, sesuatu yang diwakilkan, disyaratkan: 1) Menerima penggantian, artinya boleh diwakilkan kepada orang lain dalam pengerjaannya. 2) Dimiliki oleh orang yang berwakil itu 3) Diketahui dengan jelas d. Sighat, berarti lafal wakil yaitu ucapan dari orang yang berwakil yang menyatakan bahwa ia rela berwakil.21
Dapat penulis simpulkan bahwa wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menyebabkan wakalah itu batal dan berakhir. Pertama, ketika salah satu pihak yang berwakalah itu wafat atau gila. Kedua, apabila maksud yang terkandung dalam wakalah itu sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut. Ketiga, diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang menerima kuasa dan berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak pemberi kuasa atas sesuatu obyek yang dikuasakan.22 Adapun berakhirnya akad wakalah yaitu karena adanya pelanggaran aturan dalam berwakalah, dalam berwakalah contohnya dalam hal agen penjual sebagai wakil penjual merangkap sebagai pembeli dalam transaksi yang sama/ dalam waktu yang bersamaan, kedudukan agen sebagai wakil gugur, selanjutnya agen berkedudukan sebagai pembeli.23
21
Helmi Karim, , Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993), h. 445. Helmi Karim, , Fiqh Muamalah, h. 20. 23 Lihat, ketentuan mengenai agen dan mekanisme perdagangan dalam Fatwa No 82/DSN/MUI/VII/2011. 22
22
C. Pemasaran dan Sistem Sistem Penjualan Langsung Berjenjang 1. Pemasaran
Menurut Indriyo, pemasaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengusahakan produk yang dipasarkan itu dapat diterima dan disenangi oleh pasar.24 Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Philip Kolter yang menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.25
Menurut American Marketing Association dalam Bukhari Alma, pemasaran diartikan sebagai proses merencanakan konsepsi, harga, promosi dan distribusi ide, menciptakan peluang yang memuaskan individu dan sesuai dengan tujuan organisasi.26 Pengertian ini hampir sama dengan kegiatan distribusi, sehingga belum menunjukan asas-asas pemasaran, terutama dalam menentukan barang atau jasa yang akan dihasilkan.
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran baik dari pengertian sempit maupun luas secara keseluruhan memiliki tujuan yang sama yaitu membuat pasar/konsumen tetap loyal terhadap produk perusahaan
24
Indriyo Gitosudarmo, Manajemen Pemasaran (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995),
h.1. 25
Philip Kolter, Manajemen Pemasaran, Edisi millenium I, (Jakarta: Pehallindo, 2002), h.
9. 26
3.
Bukhari Alma, Manajemen dan Pemasaran Jasa, cet.IV, (Bandung: Alfabeta, 2002), h.
23
dalam jangka waktu panjang agar tercipta suatu siklus hubungan yang kontinyu dan harmonis antara perusahaan dan pansa pasarnya.27
2. Sistem Penjualan Langsung Berjenjang/Multi Level Marketing Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) atau sering disebut Multi Level Marketing (MLM) adalah salah satu cabang dari Direct Selling28 (DS). Penjualan langsung berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.29 Secara bahasa (etimologi), Multi Level Marketing berasal dari bahasa Inggris yang merupakan penggalan dari kata “multilevel” dan “marketing”. Dalam kamus Inggris-Indonesia yang disusun oleh John M.Echols, multilevel berati bersusun-susun atau bertingkat-tingkat30 dan marketing berarti pemasaran, perdagangan atau belanja.31 Secara istilah (terminologi) menurut Peter J. Cholthier Multi Level Marketing adalah suatu cara atau metode menjual barang secara langsung kepada pelanggan melalui jaringan yang dikembangkan oleh para distributor lepas yang memperkenalkan para distributor berikutnya, pendapatan dihasilkan
27
Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, (Tangerang Selatan: Sedaun Publishing, 2013), h. 57 28 Penjualan produk atau jasa tanpa menggunakan kios atau toko eceran, distributor, jasa pialang, pemborong atau setiap bentuk perantara dagang lain. Lihat Norman A Hart, Dkk. Terj. Anthony Than dan Agustinus Subekti, Kamus Marketing, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h. 68. 29 Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Bandung: PT Mizan Pustaka2006), h.139. 30 John M. Echols danHasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), Cet- 4.h. 33. 31 John M. Echols Dan HasanSadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia Dictionary.h. 373.
24
terdiri dari laba eceran dan laba grosir ditambah pembayaran-pembayaran berdasarkan penjualan total kelompok yang dibentuk oleh sebuah distributor.32 David Roller mendefinisikan Multi Level Marketing adalah sistem melalui mana sebuah induk perusahaan mendistribusikan barang atau jasanya lewat suatu jaringan orang-orang bisnis yang independen, dan orang-orang tersebut
kemudian
mensponsori
orang
lain
lagi
untuk
membantu
mendistribusikan barang atau jasanya.33 Berbeda dengan bentuk penjualan lainnya, pada Multi Level Marketing seorang distributor tidak hanya berusaha memasarkan dan menjual produk kepada konsumen secara eceran, tapi juga mencari distributor untuk memasarkan barang atau jasa tertentu kepada oran lain. Distributor pada Multi Level Marketing melatih distributor dibawahnya untuk mencari dan melatih orang lain. Mereka tidak hanya mendapatkan komisi penjualan, tetapi juga mendapat bonus ketika distributor dalam kelompok penjualannya berhasil menjual.34 Sistem ini memiiki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sistem pemasaran lain, diantara ciri-ciri khusus terssebut adalah terdapatnya banyak jenjang atau level, melakukan perekrutan anggota baru, penjualan produk, terdapat sistem pelatihan, serta adanya komisi/bonus untuk tiap jenjangnya. Dalam sistem ini, calon distributor semacam membeli hak untuk merekrut 32
Peter J. Cholthier, Multi Level Marketing A Practical Guide To Succesfulnetwork Selling, MeraihUangDenganMulti Level Marketing, PedomanPraktisMenuju Network Selling Yang Sukses, terjemahan T. Hermaya, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet-4, h. 33. 33 David Roller, How To Make Big Money InMulti Level Marketing, Menjadi Kaya DenganMulti Level Marketing, terjemahan waskito, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet-2, h. 3. 34 Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, h.59.
25
anggota baru, menjual produk dan mendapatkan kompensasi dari hasil penjualan mereka sendiri maupun dari hasil penjualan anggota yang direkrut (downline) di dalam organisasi jaringannya.35 3. Konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) Penjualan Langsung Berjenjang syariah (syariah direct selling, al-taswiq al-syabaki, al-taswiq al-harami, al-taswiq al-thabaqi, atau atl-taswiq al-tijari) atau dikenal dengan MLM syariah yaitu metode penjualan barang atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota (mitra usaha) yang bekerja atas dasar imbalan (komisi dan/atau bonus) berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap, metode penjualan barang atau jasa tesebut dijalankan berdasarkan akad dan prinsip syariah.36 Dengan demikian, sistem bisnis konvensional yang berkembang saat ini dicuci, dimodifikasi, dan disesuaikan dengan syariah. Aspek-aspek haram dan syubhat dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syariah yang berlandaskan tauhid, akhlak dan hukum muamalah.37 Tidak mengherankan jika visi misi MLM konvensional akan berbeda total dengan MLM syariah. Visi misi MLM syariah tentu saja tidak hanya fokus pada keuntungan materi semata, tapi keuntungan dunia dan akhirat orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pelaku MLM syariah juga berbeda dalam hal
35
Kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, (Tangerang: Amal Actual, 2005), h.18. Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah 37 Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, h. 65. 36
26
motivasi dan niat, orientasi, produk, sistem pengolahan, pengawasan, dan sebagainya.38 Dalam MLM syariah, misalnya ada yang disebut Dewan Pengawas Syariah, sebuah lembaga yang memungkinkan untuk mengawasi pengelolaan suatu usaha syariah. Lembaga ini secara tidak langsung berfungsi sebagai internal audit and surveillance system untuk memfilter bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan agama Islam pada suatu usaha syariah.39 4. Kriteria MLM syariah Pada prinsipnya, apakah suatu usaha MLM halal atau haram, tidak bisa dipukul rata. Tidak ditentukan oleh masuk tidaknya perusahaan dengan konsep penjualan langsung dalam keanggotaan APLI,40 juga tidak dimonopoli oleh pengakuan sepihak sebagai perusahaan MLM syariah atau konvensional. Melainkan tergantung sejauh mana usaha ini mempraktikan bisnisnya di lapangan, lalu dikaji sesuai syariah atau tidak. Berikut ini adalah beberapa poin panduan yang dapat kita gunakan untuk menilai apakah sebuah usaha MLM sesuai syariah atau tidak, halal atau tidak.41 a. Business Plan -
Tidak menjanjikan kaya mendadak, atau menjanjikan untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah.
38
Kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, h. 86. Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, h. 66. 40 Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), saat ini APLI adalah satu-satunya organisasi yang menaungi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri penjualan langsung di indonesia, tergabung dalam World Federation of Direct Selling Association (WFSDA). Lihat, kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, h. 87 41 Kuswara,Mengenal MLM Syari‟ah, h. 112. 39
27
-
Tidak mengarahkan distributornya pada materialisme, atau gaya hidup yang mendorong pada kemubadziran.
-
Tidak ada unsur skema piramida42, dimana hanya yang berada pada levellevel puncak saja yang diuntungkan, sedangkan pada level-level bawah mengalami kerugian.
-
Biaya pendaftaran tidak terlalu tinggi, biaya pendaftaran dapat diumpamakan sebagai ganti biaya starterkit atau kartu anggota yang harganya relatif tidak terlalu mahal.
-
Adanya transaparansi sistem, yaitu semua sistem yang berkaitan dapat diketahui secara transparan dalam batas-batas tertntu. Berapa bonus dan komisi yang didapat dijelaskan darimana diperolehnya sesuai aturan yang ada.
-
Bonus jelas nisbahnya sejak awal, bentuknya bisa berupa perjanjian mengenai tata cara pembagian dan mekanisme penerimaan bonus setiap distributor.
b. Produk -
Ada transaksi riil (delivery of good of services) atas barang atau jasa yang diperjual belikan.
-
Barang dan jasa diupayakan kebutuhan pokok, bukan barang mewah yang mendorong pada konsumerisme dan pemborosan.
42
Skema Piramida adalah sistem (ilegal) dimana banyak orang yang berada pada lapisan terbawah dari piramida membayar sejumlah uang kepada sejumlah orang yang berada di lapisan piramida teratas. Setiap anggota baru membeli peluang untuk naik kelapisan teratas dan mendapat keuntungan dari orang lain yang bergabung kemudian. Sebagai contoh, untuk menjadi anggota Anda mungkin harus membayar mulai dari jumlah yang kecil hingga jutaan rupiah, http://www.apli.or.id/skema-piramida/, diakses pada: Minggu, 19 April 2015, 18:46 WIB.
28
-
Terdapat produk yang dijual, baik berupa jasa atau barang kebutuhan pokok.
-
Barang dan jasa yang diperjual belikan jelas kehalalannya, lebih baik lagi jika dibuktikan dengan hasil penelitian dari pihak yang berwenng.
-
Tidak ada excesive mark up (kenaikan biaya yang belebihan) atas harga produk yang diperjual belikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.
-
Memiliki jaminan dikembalikan (buy back guarante), sebagai bagian dari layanan kepada konsumen, sehingga konsumen dapat mengembalikan jika barang yang terlanjur dibeli ternyata tidak berkualitas atau rusak.
-
Lebih afdhal jika barang atau jasa yang dijual diproduksi oleh saudara yang seiman.
c. Perusahaan -
Perusahaannya memiliki track record yang baik, bukan perusahaan misterius yang menimbulkan kontroversi, atau punya hubungan dengan misi agama non muslim.
-
Sistem keuangannya bersinergi dalam sistem keuangan syariah. Mulai dari permodalan, transaksi maupun kegiatan keuangan lainnya.
d. Support system -
Mengajarkan kejujuran dalam bisnis, tidak mengajarkan kebohongan atau menutupi cela produk pada prospek atau mengelabuinya agar mengikuti bisnis yang ditawarkan.
29
-
Harus ada pergeseran paradigma tentang orientasi dan image sukses. Sukses tidak diukur lewat dimilikinya sejumlah materi, tetapi ada yang lebih dariitu, yaitu kesuksesan dalam hal intelektual, emosional, dan spiritual.
e. Sistem pengawasan -
Adanya dewan pengawas syariah yang melakukan monitoring dan pengawasan secara terus menerus baik atas kehalalan produk, adilnya sistem pembagian bonus dan sistem, Islami-nya corporate culture yang dibangun, dan orientasi sukses yang ditumbuhkan
-
Dilakukannya finansial audit tahunan oleh pihak luar (akuntan publik) yang dengannya diharapkan pengurus MLM syariah akan tertib laporan dan anggota (member) bisa melihat jalannya perusahaan tepatnya bergabung secara transaparan dari waktu ke waktu.
f. Bagian dari agent of development -
Diutamakan ada pengambilan barang dan jasa produksi pengusaha menengah kecil dan koperasi sebagai wujud kepedulian pemberdayaan usaha kecil.
-
Semaksimal mungkin diutamakan produksi dari saudara seiman.
-
Diupayakan mengutamakan produk buatan anak bangsa agar hemat devisa dan menggiatkan ekspor.
30
5. Prinsip dan Orientasi MLM Syariah a. Prinsip MLM Syariah Seperti halnya unsur niat menjadi titik awal pelaksanaan bisnis yang terdiri dari beberapa poin sebagaimana disebutkan di atas, MLM Islami juga berpegang teguh pada prinsip-prinsip muamalah Islamiyah. Terdapat tiga prinsip umum yang tercantum dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 282.
31
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu‟amalahmu itu), kecuali jika mu‟amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 282) 1) Prinsip Pertanggungjawaban Prinsip pertanggungjawaban merupakan konsep yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi masyarakat muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khaliq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, manusia dibebani amanah oleh Allah untuk menjalankan
32
fungsi kekhalifahannya. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah. 2) Prinsip keadilan Jika ditafsirkan lebih lanjut dari ayat 282 surat Al-Baqarah tersebutmengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja meupakan nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Hal ini bertarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupan. 3) Prinsip kebenaran Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. b. Orientasi MLM Syariah Dalam MLM syariah, orientasi bisnis yang dilakukan tidak sematamata bersifat duniawi atau hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat materi semata, tapi ada yang jauh lebih besar dari hal tersebut, yaitu orientasi akhirat. Perusahaan MLM syariah adalah bisnis yang harus berorientasi pada pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat bagi para pelakunya.43
Selain berorientasi pada profit sebagaimana usaha bisnis MLM lainnya, MLM Islami juga memiliki tujuan non materi yang berorientasi 43
Kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, (Tangerang: Amal Actual, 2005), h. 123
33
memberikan kontribusi dalam mengangkat perekonomian masyarakat, khususnya dalam hal memperluas jaringan lapangan kerja serta membantu menghimpun produk-produk berkualitas milik anak bangsa dan membangun wirausaha dikalangan generasi muda putus sekolah dengan pelatihanpelatihan yang diberikan MLM Islami untuk berwirausaha sehingga mereka dapat menciptakan/membangun lapangan kerja bagi dirinya dan orang lain. MLM Islami tidak melupakan tujuan ukhrowi sehingga faktor zakat dan benefit lainnya non-materi seperti pertumbuhan, keberlangsungan dan keberkahan juga menjadi ciri khas MLM Islami.44
44
Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, (Tangerang Selatan: Sedaun Publishing, 2013), h. 9.
BAB III ISI DAN KEDUDUKAN FATWA A. Isi Fatwa 1. Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan No 83/DSN/MUI/VI/2012 yang ditetapkan pada tanggal 06 Juni 2012/ 16 Rajab 1433 H, tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) –dalam hal ini objek akad adalah jasa perjalanan umrah–. Alasan penulis memiliih fatwa ini karena isi fatwa ini telah dikhususkan dari persyaratan akad hingga persyaratan bagi pelaku akad. Latar belakang munculnya fatwa ini dikarenakan adanya persoalan di masyarakat, banyak masyarakat kita yang menjadi korban praktik money game, praktek MLM yang tidak sehat, praktek MLM yang berorientasi pada transaksi illegal, transaksi yang tidak rill, tidak fair, dan di dalamnya ada unsur penipuan, kebohongan, serta investasi palsu. Artinya, ada suatu keresahan di masyarakat. Di sisi lain, keluarnya fatwa ini, dikarenakan secara kelembagaan memang ada lembaga yang meminta fatwa tersebut. Karena fatwa itu sendiri artinya jawaban atas pertanyaan dari perorangan, pemerintah maupun masyarakan pada umumnya.1 Mereka meminta DSN MUI untuk bagaimana membangun suatu sistem MLM yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.2
1
Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB. 2 http://mysharing.co/cermat-memilih-mlm-syariah . diakses pada 02 Juni 2015 pada 10.44 WIB.
34
35
Isi dari fatwa tersebut yaiu tentang ketentuan akad dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dengan mengatur seluruh bagian baik dari segi akad maupun syarat bagi pelaku akad. Dalam hal ini penulis lebih menyoroti isi fatwa tentang ketentuan khusus mengenai anggota yang tercantum dalam poin C fatwa terkait yang berbunyi “anggota wajib membayar harga (ujrah) objek akad”. Berdasarkan firman Allah SWT. dalam kitab-Nya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu3 Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)
Artinya: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al-Qashash: 26)
Artinya: penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72) 3
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
36
Selain firman Allah SWT. diterangkan pula dalam sebuah hadits:
Artinya: Dirirwayatkan dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Artinya: “dari Abi Sa‟id Radhiyallahu „anhu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “barang siapa mempekerjakan pekerja, berikanlah upahnya.” („Abd al-Razzaq)
Adapun dijelaskan dalam sebuah qaidah fiqih
“pada dasarnya segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan, sampai ada dalil yang mengharamkan”.
Apa saja yang menjadi perantara (media) terhadap perbutan haram, maka haram pula hukumnya”
Dipertegas pula oleh qaul ulama, sebagaimana berikut:
“boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfat yang dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat (kitab al-muhadzdzab, juz 1 kitab al-ijarah h. 394)
37
“masyarakat memerlukan adanya ju‟alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mngembalikan budak yang hilang, hewan yang hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti initidak sah dilakukan dengan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya), perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembal. Sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karen itu, kondisi kebutuhan masyarakat tersebut mendorong dibolehkannya akad ju‟alah meskipun (bentuk dan pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas. (Ibnu Qudamah dalam al-mughni, VIII/323)
2. Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab Sebelum meguraikan isi fatwa, penulis memaparkan secara singkat biografi mufti (Syaikh Shalih al-Munajjid). Beliau lahir pada 30 Dzulhijjah 1380 H, nama lengkap beliau yaitu Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Beliau menyelesaikan jenjang pendidikannya di kota Riyadh dari SD hingga SMA, kemudian beliau melanjutkan pendidikan S1 di kota Zhahran, di bidang menejemen industri. Meskipun begitu beliau banyak belajar ilmu agama dari seorang ulama bernama Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menimba ilmu melalui jawaban-jawaban atas pertanyaannya. Komunikasi antara beliau dengan Ibnu Baz berjalan selama 15 tahun. Ibn Baz lah yang mendorong beliau untuk mengajar di bangku kuliah formal. Ibn Baz juga mengirimkan surat kepada kantor dakwah di kota Dammam agar menjadikan beliau sebagai pemateri berbagai ceramah umum, khutbah jum‟at dan kajian intensif yang
38
diadakan oleh kantor dakwah. Dengan sebab Ibn Baz beliau menjadi imam masjid dan khatib di masjid Umar bin Abdul Aziz di kota Khabar dan sebagai dosen ilmu keagamaan. Beliau adalah orang yang sangat semangat dalam berdakwah melalui kajian kitab dan ceramah umum yang beliau sampaikan di masjid beliau.4 Beliau juga sebagai pendiri situs IslamQA.info yang menyediakan
jawaban
atas
pertanyaan-perytanyaan
seputar
masalah
keagamaan. Isi fatwa ini adalah tentang penjualan langsung berjenjang dengan syarat keanggotaan gratis. Fatwa ini dikeluarkan oleh Syaikh Sholih AlMunajjid atas pertanyaan dari seorang pengusaha yang menjalankan bisnis dengan sistem penjualan langsung berjenjang (dalam hal ini tidak disebutkan nama pemohon fatwa maupun tanggal dikeluarkannya fatwa) dengan tujuan meminimalisir biaya periklanan, selain itu juga dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat umum maupun ibu rumah tangga dengan menjalankan bisnis dirumah. Diantara isi fatwa tersebut yaitu:5
.1 Orang yang ingin memasarkan produk tidak disyaratkan membeli barang tersebut atau menyerahkan sejumlah uang untuk menjadi anggota.
.2
4
Aris, http://ustadzaris.com/sekilas-tentang-syaikh-muhammad-shalih-al-munajjid. diakses pada Sabtu, 06/06/2015 pada 19.44 WIB. 5 Fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid No 170594, Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa AlJawab.
39
Barang yang dijual benar-benar dijual karena orang yang membeli itu tertarik, bukan karena ia ingin menjadi anggota MLM.
.3 Orang yang menawarkan produk mendapatkan upah atau bonus tanpa diberikan syarat yang menghalangi ia untuk mendapatkannya.
.4
Orang yang memasarkan produk mendapatkan upah atau bonus dengan kadar yang sudah ditentukan. Seperti misalnya, jika seseorang berhasil menjual produk, maka ia akan mendapatkan 40.000. Ini jika yang memasarkan produk satu orang. Jika yang memasarkan lebih dari satu, semisal Zaid menunjukkan pada Muhammad, lalu Muhammad menunjukkan pada Sa‟ad, lalu Sa‟ad akhirnya membeli; maka masing-masing mereka tadi mendapatkan bonus yang sama atau berbeda-beda sesuai kesepakatan. Adapun dalil yang digunakan oleh Syaikh Shalikh al-Munajjid dalam menetapkan fatwa antara lain yaitu pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatwa Al-kubra 405/5.
40
Syaikh Islam Ibn Taimiyah Rahimahullah berkata tentang perserikatan atau kerjasama antara 2 pelelang. Sesungguhnya Imam Ahmad telah mengabil dalil atas kebolehhan kerjasama tersebut dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang mengambil pakaian untuk dijual kemudia ia menyerahkannya kepada orang lain untuk dijual, kemudian hasil dari penjualan itu dibagi dua. Dan pendapat yang mensahkan bahwasanya jual beli lelang seperti kedudukan dagangannya pendagang da seluruh sewaan orang yang bekerja sama dan dari siapa diantara mereka agar meminta wakil, namun tidak ada wakil atas wakil, dan tempat terjadinnya perbedaan pendapat yaitu pada kerjasama pelelangan yang didalamnya terdapat akad, maka adapun Dan apabila setiap orang menjual dari apa yang diambilnya dan tidak memberi pada yang lain dan keduanya bekerjasama di dalam suatu usaha, itu boleh menurut dua pendapat yang paling jelas, dan adapun dengan pemberianya merupakan hal yang lebih dalam sewa menyewa sesuai dengan pekerjaan. Maka apabila mereka sepakat atas perkara yang disyaratkan baginya maka boleh hukumnya.
Syaikh Shalih al-Munajjid mengambil pendapat dari Ibnu Taimiyah dan mengkategorikan akad penjualan langsung berjenjang termasuk ke dalam akad jual beli (Tijarah) dan wakalah. Akad dalam penjualan langsung dapat dikategorikan ke dalam akad jual beli apabila orang pertama menjual barang kepada orang kedua kemudian orang kedua menjualnya lagi kepada yang lain, dalam posisi tersebut orang pertama dapat memperoleh keuntungan dari orang 6
Fatwa Syaikh Shalih al-Munajjid No 170594
41
terakhir yang menjualkannya, maka akad tersebut boleh. Namun ketika dikategorikan sebagai akad wakalah, dimana orang pertama mewakilkan penjualan kepada orang kedua , kemudian orang keduan mewakilkannya lagi kepada orang berikutnya, itu dilarang karena dalam akad wakalah tidak boleh ada perwakilan atas perwakilan. Selain pendapat diatas juga terdapat pendapat Abdurrahman bin Shalih al-Athrom:
Dari Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom berkata: telah mentarjih Syaikh Ibn As-Sa‟di menguatkan kebolehan kerjasama apabila orang itu mengetahui keadaan mereka (orang yang diajak bekerjasama), apabila tidak mengetahuinya maka tidak diperbolehkan. Karena orang itu tidak bisa mewakili semua orang, hanya saja orang-orang itu dapat mewakili salah satu diantaranya. Dibolehkannya kerjasama tersebut secara mutlak. Karena Syaikh Islam pernah menyebutkan bahwa kerjasama mereka itu termasuk kedalam Syirkah Abdan, dan adapun syirkah „abdan itu disyari‟atkan sebagaimana yang tertera dalam hadits Abdullah bin Mas‟ud, berkata: aku berserikat
42
dengan Sa‟ad dan Amar pada hari perang Badar dengan apa yang kami dapatkan tapi aku dan Amar tidak menerima mendatangkan apapun (tanpa modal), Kemudian Sa‟ad datang lagi bersama dua lelaki dan Rasul menetapkan kepada mereka atas demikian itu. Imam Ahmad berkata “Rasulullah SAW berserikat diantara mereka.” Berdasarkan pendapat ini yang menyatakan bahwa boleh adanya perwakilan atas perwakilan, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Mas‟ud, bahwasanya beliau melakukan kerjasama bersama Sa‟ad dan Umar pada hari badar (dalam hal wakalah) kemudian Rasulullah SAW diam tanda menyetujui hal tersebut.
Selain itu Abdurrahman bin Shalih al-Athrom juga menjelaskan syarat perwakilan atas perwakilan, bahwasanya perwakilan atas perwakilan tersebut dibolehkan apabila mereka saling mengetahui deretan perwakilannya dan apabila tidak saling mengetahui maka hukumnya tidak boleh. Pendapat ini dijelaskan dalam kitab Al-wasathah al-tijariyah al-muamalat al-maliyah: 313.
Mengambil pendapat dari Prof. Hasanuddin AF, MA, bahwasanya ikhtilaf ulama dalam beberapa permasalahan, salah satunya dalam persoalan muamalat akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda tergantung dari sisi mana ulama tersebut memandang suatu persoalan, dengan catatan tidak melanggar syariat-syariat yang berlaku dalam hukum Islam.7
B. Kedudukan Fatwa
7
Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB.
43
Berbicara tentang urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat Islam, tidak terlepas dari seberapa jauh kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur‟an dan Al-Hadits pada dasarnya masih bersifat global, sehingga memerlukan perincian secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah saw. masih perlu ada penjabaran secara mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, sepanjang masalah itu bersifat zhanni. Sedangkan masalah-masalah dalil yang bersifat qhat‟i ada dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama bahwa dalil-da lil qhat‟i tidak perlu penjelasan secara merinci dan mendetail. Adapun pendapat kedua menyatakan dalil-dalil yang qhat‟i pun masih perlu ada penjabaran dan analisis mendalam sepanjang tidak keluar dari penafsiran dan takwil-takwil yang telah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan kaidah yang berlaku. Alasan-alasan tersebut dapat dipahami, sebab pada umumnya umat belum mengetahui secara mendalam tentang isi yang terkandungdalam pernyataan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Oleh karena itu, dalam konteks ini betapa pentingnya kehadiran fatwa keagamaan (terutama masalah fiqhiyyah) yang konkret dan bertanggung jawab.8 Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam hukum Islam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syar‟iyyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin 8
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 27.
44
berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash agama telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Fatwa sebagai instrumen untuk menetapkan suatu hukum sangat penting posisinya dalam memberikan legitimasi dalam legalitas suatu transaksi ekonomi. Hal ini terjadi karena fatwa yang menjadi salah satu alternatif dalam memecah kebekuarn perkembangan hukum Islam, dapat dijadikan instrumen untuk menjawab setiap kejadian baru yang belum tercover dalam nash-nash syar‟i ataupun dalam pendapat para ulama terdahulu. Padahal legalitas atau kepastian hukum dari aktifitas perekonomian tersebut merupakan suatu yang sangat penting, terutama bagi orang muslim, karena apapun aktifitas yang dilakukan oleh seorang muslim senantiasa harus sesuai dengan kaidah-kaidah syara‟.9 Adapun pengertian fatwa keagamaan menurut bahasa adalah jawaban suatu kejadian (memberikan jawaban tegas terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat).10 Pada hakikatnya fatwa keagamaan merupakan hasil keputusan para ahli agama Islam dan ilmu pengetahuan umum (yang berkaitan dengan keagamaan) dalam memberikan, mengeluarkan dan mengambil keputusan hukum secara bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkritan terhadap umat manusia (khususnya umat Islam) dalam hal pemahaman, penalaran ajaran-ajaran Islam, dan bagaimana aplikasinya.11 Para ahli fikih (fuqaha) telah banyak mengarang dan menulis tentang fatwa-fatwa 9
keagamaan
dalam
bentuk
dan
corak-corak
dari
pelbagai
Maruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Elsas Jakarta, Depok: 2008),h. 281. Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h. 7 11 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h.27. 10
45
pendapat/mazhab. Perbedaan pada masa kurun waktu juga mempengaruhi adanya persepsi dalam mengangkat suatu fatwa yang aktual dan bertanggung jawab.12 Jika fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syariat nan suci yang diketahuinya.13 Seorang tidak boleh berbicara masalah agama tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟raf ayat 33, sebagaimana berikut:
Artinya: Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A‟raf: 33) Dari satu sisi bentuk fatwa kontemporer pada abad modern ini dapat dibedakan kepada dua bentuk berdasarkan asal-usul lahirnya fatwa itu. Dua bentuk itu yaitu fatwa kolektif (al-fatwa al-jama‟i) dan fatwa individu (al-fatwa al-fardi).
1. Fatwa kolektif(Al-Fatwa Al-Jama’i) 12
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h.11. Al-Fatwa Asy-Syar Fi Al-Masa il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Fatwa-Fatwa Terkini 2, edisi Indonesia, terjemahan Hanif Yahya dan Amir Khamzah Fahrudin. (Darul Haq: Jakarta, 2007). h. 192 13
46
Adapun yang dimaksud dengan fatwa kolektif adalah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang lain (ijtihad jama‟i), tim atau panitia yang sengaja dibentuk. Pada lazimnya fatwa kolektif ini dihasilkan melalui suatu diskusi dalam lembaga ilmiah yang terdiri atas para personal yang memiliki kemampua tinggi dalam bidang fikih (pemahaman problema keagamaan) dan berbagai ilmu lainnya sebagai penunjang arti syarat-syarat yang harus dimiliki oleh orang-orang yang akan berijtihad. Dalam pengertian lain fatwa kolektif yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggung jawab bersama, atau ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dan hasil-hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan mujtahid lain. Jadi, ijma‟ sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan hasil ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh para sahabat ketika memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya, baik dari Al-Qur‟an maupun Sunnah.14 Metode ijtihad jama‟i ini mendapat legitimasi dari Al-Qur‟an, Sunnah Rasulullah, praktek para sahabat dan tabi‟in. Pada zaman rasul sering sahabat dikumpulkan oleh rasul dan dimintai pendapatnya tentang sesuatu masalah. Bahkan hampir setiap peperangan rasul senantiasa mengumpulkan para sahabat untuk dilakukan pemiliihan strategi yang paling pas. Tradisi untuk melakukan
14
47
ijtihad kolektif ini juga dilestarikan oleh para sahabat dan tabi‟in setelah rasul wafat.15 Pada masa sekarang ijtihad jama‟i dilakukan melalui forum-forum yang khusus diadakan oleh organisasi keagamaan baik tingkat nasional maupun internasional. Pada tingkat internasional dikenal Majma‟ Al-Buhust AlIslamiyah, Majma‟ Al-Fiqh Al-Islami, dan sebagainya. Sedangkan dalam tingkat nasional dikenal dengan komisi fatwa MUI, Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyyah, lembaga hisab persis, dan sebagainya.16 2. Fatwa perorangan (Al-Fatwa Al-Fardi) Fatwa perorangan (al-fatwa al-fardi) ialah hasil penelitian dan pemahamn individu terhadap dalil dan hujjah yang akan dijadikan dasar berpijak dalam perumusan suatu fatwa. Para ulama Islam pada umumnya mengakui bahwa hasil ijtihad individu yang menghasilkan fatwa secara individu pula, lebih bnayak memberi warna terhadap fatwa kolektif. Fatwa perorangan biasanya dilandasi studi yang lebih mendalam terhadap suatu masalah yang akan dikeluarkan fatwanya, sehingga para ulama berasumsi bahwa pada hakikatnya fatwa kolektif itu diawali dengan kegiatan perorangan. Sebelum muncul ijtihad jama‟i, fatwa dikeluarkan oleh ulama secara perorangan. Tradisi ini berlangsung lama semenjak awal Islam, karena persoalan ifta‟ dalam Islam adalah sebuah tanggung jawab, bukan seremonial semata. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ditemukan berbagai 15
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: elSAS: 2008), h. 43. Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 43.
16
48
kumpulan fatwa yang disusun dan ditulis oleh ulama secara perorangan yang mempunyai kualitas yang mumpuni. Seperti halnya di belahan dunia Islam, di Indonesia praktik pemberian fatwa secara individual telah berlangsung cukup lama. Sirajuddin Abbas, misalnya, membahas dalam koleksi fatwanya tiga pertanyaan yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer seperti bunga bank, lotere, dan seni, sedangkan sisanya menjawab berbagai persoalan tauhid, ibadah, dan mu‟amalah.17 karena perubahan kondisi dan paradigma pengetahuan (al-nuẓ um alma„rifiyyah) menjadi pengaruh terhadap pandangan bahwa ijtihad kolektif (ijtihad jama„i) menjadi sesuatu yang dipertimbangkan secara serius. Dunia senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus.Pada periode sebelum ijtihad jama„i berkembang, persoalan-persoalan global belumlah kompleks seperti ini. Namun ketika ditemukan sains dan teknologi, persoalan menjadi lebih rumit dan kompleks, baik yang terkait dengan persoalan lingkungan, medis, hak asasi manusia, ekonomi, politik, dan lainnya. Dalam perspektif fikih Islam, persoalan ini tidak cukup dipecahkan secara individual oleh para ulama, namun mesti melibatkan banyak pakar dalam perspektif yang berbeda. Mengingat wataknya, jenis ijtihad ini, karenanya adalah satu perkembangan baru dalam hukum Islam, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
17
Rusli, “Tipologi Fatwa di Era Modern”, Hunafa, Jurnal Studi Islamika, Vol. 8. No. 2, (Desember 2011), h. 279.
49
Faktor-faktor yang menyebabkan untuk melakukan ijtihad jama‟i dari pada ijtihad fardhi antara lain:18 a) Perkembangan modernisasi dalam segala segi kehidupan. Masalahmasalah kontemporer ini tidak memadai jika diselesaikan dengan ijtihad perorangan. Mau tidak mau diperlukan musyawarah dan tukar pendapat dari para pakar dari berbagai disiplin ilmu. b) Perkembangan
spesialisasi
ilmu
pngertahuan.
Dewasa
ini
ilmu
pengetahuan lebih spesifik dibahas dan dipelajari. Spesialisai bahasa arab, fiqh dan ushul fiqh dan berbagai disiplin ilmu yang lebih khusus menyebabkan seorang ilmuwan tidak lagi dapat menguasai ilmu pengetahuan yang menyeluruh sebagaimana halnya ulama terdahulu. Dalam memecahkan suatu persoalan, sering diperlukan informasi dan pemikiran dari berbagai ilmuwan yang bidangnya terkait dengan persoalan tersebut.
3. Fatwa Tarjih Pada prinsipnya fatwa yang berbenutk tarjih ini adalah fatwa kolektif yang dihasilkan oleh sekelompok orang atau suatu tim yang memilah-milah dan menyeleksi hujjah dari berbagai pihak atau berbagai mazhab, kemudian ditetapkan yang paling kuat argumentasinya. Jadi, bidang tugas fatwa ini
18
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 44.
50
ialah melakukan penelaahan dan membandingkan, kemudian memilih alasan yang lebih kuat. Mengambil atau memilih dari sejumlah pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya disebut ittiba‟, oleh ulama fikih dianggap suatu aktifitas yang dihargai. Sebaliknya pengambilan pendapat pada orang lain, tanpa meneliti dalilnya, menurut al-Qardhawi merupakan taklid buta. Taklid buta ini sangat dicela dalam aspek lingkup ijtihad. Disamping itu, jika pendapat yang diambil itu diketahui beserta dalilnya, tetapi pendapat itu kurang logis maka tetap berpegang kepadanya merupakan tindakan yang bodoh. Pendapat yang harus dipegang secara taklid hanyalah dalil qath‟i dalam Al-Qur‟an dan sunnah Rasul yang shahih dan absah. Ijtihad yang sering diserukan oleh para pakar mujtahid kontemporer ialah mengadakan kajian perbandingan (studi komparatif) diantara berbagai pendapat tersebut, kemudian diteliti kembali semua dalil nash dan dalil ijtihad yang dijadikan pijakan pendapat itu, akhirnya dapat dipilih fatwa yang dipandang kuat yang hujjah-nya sesuai dengan tolak ukur yang dipergunakan dalam mentarjih.19 Terkait dengan kedudukan fatwa kolektif dan fatwa individu sudah barang tentu fatwa yang secara kolektif lebih menjamin kesesuaiannya untuk kemaslahatan umat, sedangkan fatwa perorangan yang tentunya akan berbeda dengan pandangan beberapa orang, dari berbagai sisi juga dapat dilihat jika dilakukan secara kolektif hasilnya akan lebih mumpuni, lebih
19
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h. 140.
51
memandang dari segala sudut dan aspek. dalam ushul fiqih sendiri, sebuah fatwa tidak mengikat bagi pemohon fatwa, artinya dapat dijalankan maupunn tidak.20
20
Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB.
BAB IV ANALISI KOMPARASI FATWA NO 83/DSN/MUI/VI/2012 DENGAN FATWA SYAIKH SHOLIH AL-MUNAJJID NO 170594 DALAM KITAB FATWA AL-ISLAM AS-SUAL WA AL-JAWAB TENTANG PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH 1. Perbandingan fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid a. Sisi Persamaan 1) kedua fatwa tersebut (fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid) sama-sama menjelaskan tentang ketentuan dalam aktifitas Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS). 2) Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid, keduanya termasuk kedalam jenis fatwa kontemporer. b. Sisi Perbedaan 1) Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 mewajibkan anggota dalam sistem penjualan lansung berjenjang syariah untuk membayar objek akad, sedangkan yang dijelaskan dalam fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid tidak mensyaratkan anggotanya untuk membayar sejumlah uang maupun membeli objek akad untuk menjadi anggota. 2) Dalil-dalil yang digunakan dalam fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 lebih lengkap dari Al-Qur’an, Hadits Nabi hingga Qaul Ulama, sedangkan dali-dalil yang digunakan dalam fatwa Syaikh Shalih Al-Muanjjid lebih
52
53
sedikit yaitu hanya mengambil dari Hadits Nabi dan pendapat ulama terdahulu. 3) Metode ijtihad yang digunakan dalam fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 adalah metode ijtihad jama‟i, sedangkan dalam fatwa Syaikh Shalih AlMunajjid menggunakan metode ijtihad fardhi. 4) Dalam fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dijelaskan bahwa akad yang terkandung dalam sistem PLBS adalah akad jual beli barang/jasa, sedagkan dalam fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid dijelaskan bahwa akad yang terkandung dalam sistem PLBS adalah akad wakalah. 2. Analisis Komparasi Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid Tentang Sistem Penjualan Langsung Berjenjag Syariah Segala bentuk dalam aktifitas perekonomian pada dasarnya adalah dibolehkan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah fiqih:
“hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan akan keharamannya”.1 Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dengan syarat anggota wajib membayar ujrah objek akad yang dijelaskakn dalam fatwa No 83DSN/MUI/VI/2012 dapat dikategorikan sebagai akad jual beli, sehingga dalam prakteknya anggota diwajibkan membayar objek akad. Penyetaraan aktifitas penjualan langsung berjenjang syariah tersebut dapat diaktakan sesuai dengan
1
Ahmad ibn Syaikh Muhammad Ar-Razaq, Syarah Al-Qawa‟id Al-fiqhiyyah, (Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H/ 1989 M), h. 381. Juz 1.
54
prinsip-prinsip muamalat dalam Islam, karena pada dasarnya tidak menyalahi prinsip syariat apabila semua syarat-syarat dalam muamalat itu terpenuhi, tidak adanya unsur maisir, gharar maupun riba.2 Selain fatwa tersebut di atas, fatwa dari Syaikh Shalih Al-Munajjid tentang persyaratan dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dijelaskan bahwa anggota tidak disyaratkan membeli objek akad maupun memberikan sejumlah uang untuk menjadi anggota, karena dalam hal ini Syaikh Shalih Al-Munajjid meyetarakan aktifitas dalam sistem penjualan langsung berjenjang ke dalam akad wakalah (perwakilan yang dilakukan dalam aktifitas jual beli), sehingga tidak ada pembayaran apapun untuk mensahkan keanggotaan. Karena konsep penjualan berjenjang yang ditandai dengan banyaknya anggota penyalur atau distributor dalam suatu jaringannya, maka apabila diberlakukan iuran keanggotaan dapat dikatakan bahwa perkara tersebut adalah satu pelanggaran dalam prisip ekonomi Islam khususnya dalam prinsip wakalah, karena kedudukan anggota yaitu sebagai wakil bukan sebagai pembeli. Pendapat pertama yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al-Munajjid yang juga mengutip pendapat Syaikh Islam Ibn Taimiyah menyatakan bahwa tidak ada perwakilan atas perwakilan3 (
), artinya seorang wakil tidak
dapat mewakilkan kepada yang lain dalam satu pekerjaan yang sama. Selain mengutip pendapat tersebut, Syaikh Shalih Al-Munajjid juga mengutip pendapat Shalih Al-Athrom yang menjelaskan bahwa diperbolehkannya perwakilan atas 2
Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB. 3 Al-Imam Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim ibn Taimiyah, Al-Fatawa Al-Kubra, (Damaskus: Daar Al-Kitab), Juz, 61408 H/ 1987M, h. 404. Lihat, Maktabah Syamilah V.2.
55
perwakilan dengan syarat masing-masing anggota saling mengetahui satu sama lain. Dapat disimpulkan bahwa Syaikh Shalih Al-Munajjid lebih cenderung menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah berdasarkan pendapat yang kedua yang dijelaskan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom. Isi fatwa yang dikeuarkan oleh Syaik Shalih al-Munajjid dinilai kaku dan terkesan mempersempit ruang gerak berpikir logis. Karena pemberdayaan akal dibatasi dan difungsikan hanya sekedar mengikuti, maka produk pemikiran yang dihasilkan cenderung mengikat. Sementara lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, dinilai terlalu berani dan bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut lembaga tersebut kegiatan penjualan langsung berjenjang termasuk kedalam kategori jual beli dengan menggunakan akad ijarah maushufah fi dzimmah4 dalam hal anggota memperoleh objek akad, dan akad ju‟alah dalam rangka penjualan langsung berjenjang. Akad ini tepat digunakan untuk penjualan berupa jasa (perjalanan haji dan umrah) termasuk aset tidak berwujud namun manfaatnya bisa digunakan atau dirasakan. Hal ini sesuai dengan esensi dari Akad Ijarah itu sendiri, yaitu Ba'i Al-Manaafi'/Jual Beli Manfaat. Kemudian manfaat barang yang akan digunakan atau dirasakan pun tidak ada pada saat akad ijarah dilaksanakan,
4
ljarah Maushufah fi al-Dzimmah adalah ijarah atas jasa (mu 'jar) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas dan kualitasnya; lihat Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012
56
manfaat baru bisa digunakan atau dirasakan pada saat menerima objek akad (hari keberangkatan perjalanan umroh atau Maushufah fi al-Dzimmah). Terkait dalil yang digunakan dalam kedua fatwa tersebut, lembaga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memang cukup luas, mulai dari AlQur’an, Sunnah dan juga Qaul Ulama. Dalam hal isi fatwa DSN MUI mewajibkan musta‟jir untuk membayar ujrah akad karena DSN MUI menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad jual beli, oleh karena itu tidak ada salahnya anggota diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaannya, sedangkan Syaikh Shalih al-Munajjid melarang adanya pembayaran atau penyerahan sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaan, karena Syaik Shalih al-Munajjid lebih cenderung menyetarakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah. Sebagaimana dalam fatwanya Syaik Shalih al-Munajjid memberikan dua pendapat terkait akad wakalah yang aplikasikan dalam sistem penjualan langsung berjenjang, pendapat pertama yaitu pendapat dari ibnu taimiyah yang melarang adanya perwakilan atas perwakilan, sedangkan menurut pendapat kedua yang dikemukakan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom yang membolehkan perwakilan atas perwakilan dengan syarat mereka saling menegetahui satu sama lain antara orangorang yang berakad dan mengetahui bentuk pekerjaan serta perusahaannya, apabila salah satu anggota tidak mengetahui anggota yang lain maka hukumnya dilarang perwakilan atas perwakilan tersebut. Merujuk pada apa yang ditulis oleh DR. Ahmad Sudirman Abbas MA, Mengenai salah satu kaedah dalam penyelesaian Masail Fiqhiyah tentang
57
bersikap moderat terhadap kelompok tekstualis (literalis) dan kelompok kontekstualis. Dalam hal ini isi fatwa dari Syaikh Sholih al-Munajjid cenderung berada dalam kelompok tekstualis yakni lebih bersandar pada ketentuan nash seusai dengan bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut di luar teks ayat tersebut, sehingga faktor-faktor lain tidak dijadikan perhatian oleh mufti ini. Sedangkan lembaga fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) termasuk dalam kelompok kontekstualis yakni lebih berani dalam menginterpretasikan produk hukum nash, dalam hal ayat-ayat yang bersifat umum, dan cenderung mempertimbangkan kondisi kemanusiaan yang dijadikan sebagai subjek perhatian utama dalam rangka mencari jawaban dalam persoalan yang timbul. Perbedaan sudut pandang kedua isi fatwa tersebut melahirkan penilaian yang kontroversi. Dalam hal cara penetapan fatwa yang dilakukan oeh individu dan kelompok menurut penulis, jika melihat produk ekonomi dan keuangan yang terus berkembang secara cepat ini, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam berfatwa. Pertama, dari sisi persyaratan bagi orang yang akan berfatwa dibidang ekonomi, tentunya pengetahuan tentang ilmu ekonomi menjadi salah satu persyaratannya. Kedua, secara teknis, demi mencapai idealisme dalam berfatwa, maka fatwa kolektif merupakan cara atau formulasi yang cukup efektif dalam perkembangan masalah-masalah kontemporer. Dengan alasan, permasalahan kotemporer yang cukup variatif dan komplikatif disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia, sehingga hal tersebut termasuk kategori permasalahan kontemporer yang tidak cukup untuk dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Namun tidak menutup kemungkinan
58
bagi seorang alim ulama untuk menetapkan sebuah fatwa selama ia juga memiliki komptensi dalam hal yang dijadikan permasalahan. Mengambil pendapat dari Ma’ruf Amin bahwa tidak semua aktifitas perekonomian yang didasarkan pada prinsip saling rela secara otomatis dianggap sah oleh ajaran islam. Prinsip saling rela ini harus sesuai dengan kaidah ajaran islam. Sehingga tetap dianggap tidak sah aktifitas pererkonomian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menyatakan saling rela terhadap yang dilarang oleh ajaran islam. Sebab saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (al-ridha maknun li al-„aqdi wa laisa sababan li al-billi). Dalam hal ini, acuan dalam menentukan halal dan haram dalam aktifitas perekonomian adalah dalil-dalil keagamaan (nushush syar‟iyyah), bukan adanya saling rela. Bagaimanapun sikap saling rela tidak bisa menjadi alasan dibolehkannya katifitas perekonomian yang asalnya dilarang oleh syari’at. Kontroversi dua pendapat yang memiliki argumen dan saling mengklaim kebenaran masing-masing, hendaknya dihadapi dengan sikap bijaksana tanpa menampakkan kecenderungan salah satu pihak. Kebijaksanaan itu akan tampak wujudnya apabila dalil ‘maslahat’ dari sisi ukhrawi dan atau duniawi diseimbangkan.5
5
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Bayu Kencana, 2003), h. 129.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis, dapat penulis simpulkan bahwa: 1. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah (PLBS)/Multi Level Marketing (MLM) berbasiskan syariah yaitu sistem penjualan barang atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota (mitra usaha) yang bekerja atas dasar imbalan (komisi dan/atau bonus) berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap, yang mendasarkan sistem operasionalnya pada prinsip-prinsip syariah dengan menghilangkan aspek syubhat yang berlandaskan kepada tauhid, akhlak dan hukum muamalat. 2. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah (PLBS) dapat dikategorikan kedalam dua bentuk akad. Pertama, menurut isi fatwa Dewan Syariah Nasional, yaitu akad jual beli (termasuk kedalam salah satu akad tijarah). Dalam hal jual beli ini, sisitem penjualan langsung berjenjang syariah dengan syarat adanya registrasi pembayaran tanda keanggotaan dianggap sah karena ini adalaha akad jual beli sehingga anggota harus melakukan pembelian terhadap objek akad. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid, yaitu akad wakalah, sehingga semua jenis pembayaran maupun pembelian produk sebagai syarat keanggotaan itu dilarang, karena dalam prakteknya dapat dikatakan sebagai praktek perwakilan atas perwakilan. 3.
Terkait perbadingan kedua fatwa tersebut ditandai dengan adanya perbedaan syarat dan ketentuan aggota pelaksana akad antara wajib membayar objek
59
60
akad dan tidak disyaratkan sama sekali untuk membeli objek akad maupun membayar sejumlah uang untuk mendaftar, selain itu juga terdapat bentuk ijtihad yang berbeda dari kedua fatwa diantaranya yaitu bentuk ijtihad secara kolektif dan ijtihad secara individu. B. Saran-Saran 1. Untuk masyarakat pada umumnya diharapkan agar lebih selektif dalam menjalankan aktifitas perekonomian, tidak hanya melihat pada sisi keuntungan secara finansial saja namun hendaknya juga berhati-hati agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya maupun sistemnya. 2. Untuk para praktisi diharapkan fawa ini menjadi salah satu rujukan agar dalam mengeluarkan fatwa hendaknya disesuaikan dengan kaidah-kaidah ushul dan prinsip-prinsip syariah dan juga hendaknya memperhatikan rambu-rambu atau metodologi dalam menetapkan fatwa yang juga melihat dari berbagai aspek khususnya bagi kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ahmad Sudirman, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Bayu Kencana, 2003. Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969. Alma, Buchari, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami, Bandung: CV. Alfabeta, 2003. Amin, Maruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas Jakarta, Depok: 2008. Ar-Razaq, Ahmad ibn Syaikh Muhammad, Syarah Al-Qawa’id Al-fiqhiyyah, Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H/ 1989 M, Juz 1. Ash-Shiddeqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 As-Sajastani, Abu Daud Sulaiman ibn As’ats, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar AlKitab Al-‘Arabi, tt, Juz 3. Badri, Muhammad Arifin bin, Sifat Perniagaan Nabi, Bogor: Darul Ilmi Publishing: 2012. Castrawijaya, Cecep, Etika Bisnis MLM Syariah, Tangerang Selatan;LPSI, 2013. Cholthier, Peter J, Multi Level Marketing A Practical Guide To Succesfulnetwork Selling, Meraih Uang Dengan Multi Level Marketing, Pedoman Praktis Menuju Network Selling Yang Sukses, terjemahan T. Hermaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Echols, John M dan Sadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Fatah, Rohadi Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Gitosudarmo, Indriyo, Manajemen Pemasaran, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Hart, Norman A, Dkk. Terj. Anthony Than dan Agustinus Subekti, Kamus Marketing, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
59
60
http://id.wikipedia.org/wiki/bisnis. diunduh pada 23 Desember 2014 pada 22.15 WIB. http://mysharing.co/cermat-memilih-mlm-syariah. diakses pada 02 Juni 2015 pada 10.44 WIB http://ustadzaris.com/sekilas-tentang-syaikh-muhammad-shalih-al-munajjid. diakses pada Sabtu, 06/06/2015 pada 19.44 WIB http://www.apli.or.id/skema-piramida/, diakses pada: Minggu, 19 April 2015, 18:46 WIB. http://www.islamqa.info, diakses pada 28 Februari 2015, pukul 10.32 WIB http://www.voa-islam.com/islamia/tsaqofah/2010/12/06/12129/MLM-dalam pandangan-Islam/, diakses pada Minggu, 22 Maret 2015, pukul17.38 WIB. Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993. Kartajaya, Hermawan dan Sula, Muhammad Syakir, Syariah Marketing, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006. Kolter, Philip, Manajemen Pemasaran, Edisi millenium I, Jakarta: Pehallindo, 2002. Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah, Tangerang: Amal Actual, 2005. Lathif, Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media Group, 2008. Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011. Roller, David, How To Make Big Money InMulti Level Marketing, Menjadi Kaya DenganMulti Level Marketing, terjemahan waskito, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
61
Rusli, “Tipologi Fatwa di Era Modern”, Hunafa, Jurnal Studi Islamika, Vol. 8. No. 2, Desember 2011. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, jilid III, Beirut :Daar Al-Fikr, 1984. Sahrani, Sohari dan Abdullah, Su’fah, Fikih Muamalah, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet-11. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Supian dan Karman, M, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Rosda Karya, 2004. Taimiyah, Al-Imam Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim ibn, Al-Fatawa AlKubra, Damaskus: Daar Al-Kitab, Juz 6, 1408 H/ 1987M. Yahya, Hanif dan Fahrudin, Amir Khamzah, Fatwa-Fatwa Terkini 2, edisi Indonesia, Darul Haq: Jakarta, 2007
~K~~
DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI National Sharia Board - Indonesian Council of Ulama Sekretariat : JI. Dempo No. 19 Pegangsaan - Jakarta Pusat 10320 Telp.: (021) 3904146 Fax.: (021) 31903288
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NO : 831DSN-MUIM/2012 Tentang
PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG JASA PERJALANAN
Dewan Syariah NasionalMenimbang
SYARIAH
UMRAH
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) setelah
a. bahwa masyarakat memerlukan penjelasan lebih rinei tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) Jasa Perjalanan Umrah; b. bahwa lembaga bisnis syariah memerlukan pedoman yang jelas dalam melaksanakan operasional PLBS Jasa Perjalanan Umrah; e. bahwa agar mendapatkan pedoman syariah yang jelas mengenai praktek PLBS Jasa Perjalanan Umrah, maka DSN-MUI memandang perlu untuk menetapkan Fatwa tentang PLBS Jasa Perjalanan Umrah.
Mengingat
1. Firman Allah S.W.t. antara lain: a.
QS. AI-Maidah [5]: 90: 0. ~
~
J~o.~(
0.
cY~!i.J
J
JY
~~(
J
J~J~
0,
."
II' 0
.LJ~
Jo
~
J.:;J/
II LJ\ \ ~'T~ .JI \'.1 L'
rs:w
~Y
J..,
~
-
~-0-~ ~~I P ""
""....:
"Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. " b. QS. al-Baqarah [2]: 278: ° '~Y'r..•• ~
o.J
0.
",.
~<-u•. 0.
I ~)I '.
,...
cY~'-'.. ""
",.
~ 1°J~' 11 1 ~~I1 ~'T-: °.JI \'.1L' J.JJ jAJ y J.. ..- ~-
"Hai orang yang berimanl Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman."
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
c.
2
QS. al-Nisa' [4]: 29:
~~~ 0j.J ::,\~~~W~ ~ rki,;.f
~ \~T ;;~\ LJ~
\~li
,
...~~I):; , . "Hai orang yang berimanl.Ianganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian.... " d.
QS. al-Ma'idah [5]: 1: J.
J.....
CI
4'
... ~~~ \~)i I~T
k
;;..u\ ~~
"Hai orang yang berimanl Penuhilah akad-akad itu ... ". e.
QS. al-Qashash [28]: 26:
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. ,,, f.
QS. Yusuf [12]: 72: ~
.~j
...,G'I);.; ~
",.,.,,-"
..•.•
J..>-... ...,~b,. ~) ""..
//
0
..:lLJ\ ..•.•
,..
..•.•
tl~ iliJ I~l:i o}",..
,,-
itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." "Penyeru-penyeru
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain: a. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar:
(nit:
..:......I.;l.I~.) '~I.r-'JI.r-i :yWI 'r~'J1
:yt;Q1
Diriwayatkan dari Ibnu 'Umar r.a, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. " (HR. Ibnu Majah) b.
Hadis Nabi riwayat 'Abd al-Razzaq dari Sa'id: ".....
~
:Jl:i
'"
J. ~
~
"'''
tL) ~
;;,
JlI ~
,
'r)\....J1~
/.,..,
:;
~I
0i ~
""
"-
JlI ~~
,/
,
H.;lj)i -¥- 01).)
c.'\ : ..:......I.;l.\~.)'A'f/r Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
~
~
:;)
-;1/
~~;.,.f ;: ~i~ I;.,.f ;1:'1 ,..
~o}.".'l'I)oliW\ Y4
'y~1
~~\
-----------
-~--
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
3
"Dari Abi Sa'id radhiyallah 'anhu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya." (HR. 'Abd al-Razzaq). c.
Hadis Nabi riwayat dari 'Ann bin 'Auf al-Muzani:
~rll~ illlJ.?~ji o~
~i~ ~;.ilJy- j..•. ...
~
"
""
""
°i ~~ i? ,•., ~
~
J
I '.. ;~
I'
",.
~J~
l? ($.i..;;ll 4>.-.f""i).~:;-;-
,Clf- J;-.i
;)~I)
~ ~~
I~
'"
Ji j\; "',;
:~
1il1Jy).:.r ..?~Lo:yL:lI 'i~fyl
rS) ,~Il?
~
~
~L'~ c...........rJ,"
4fl~
~....
~~I
J~
'II ~', ".,t;. ~Y~I\ :j' ~
r~ t1.? ~~
J;-.i '} ~~
-;:,
.C(';"
:y!.:5JI!4,;.;....
(\ "Y" : Diriwayatkan dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perdamaian
boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. "(H.R al- Tirmidzi) d.
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan riwayat Malik dari Yahya: ".
~I~
".
: yL:l1 'i~fyl JI
.:.r ..u--i
:y\£Jlj oIJ)J
...:/1
0,....
'1) ~~ '1 0i
...:/1
tL) ~
~
:/I
;p...
illI ~
~I
:II
~
jr-'~ 01
4,;.;.... l? ..::....oL..::J1 01 ;;.)~.:.r 4>.-Lo 011 4>.-.f""i)
,n-n :
~~I
~)
,o}.~ ~Lo
-
.r
l? ~
(~ .:.r .!.llLoJ
'u"~
"Rasulullah s.a. w. menetapkan: Tidak boleh membahayakanlmerugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya}." (HR. Ibnu Majah) e.
Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah: ,,:/I
$I
'.' ~I~~' ~ ~" ~ r- J .:
:Y4 ,t~1
;p,
:/I
illl
". ,.,
.•.
\'-.illl j r-'.J " ~.'~.j\; 0"" .l-f ~ i ~ 0.
r..s""'"',
:y!.:5Jlj~
l? ~
4>.-.f""i)!;JI
(iYAf :~J.;I..I rS) ,~;, ~
-S~I
~~I
1:) ~~I
~ ~~
2-
~~)
/
dari Abi Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah s.a.w. melarang jual beli hashah dan jual beli yang mengandung gharar, " (HR. Muslim). Diriwayatkan
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
f.
4
Hadis Nabi riwayat al-Bukhari:
·Pl
i ~r£J ~
'J->.-l:.=ll .yo 0 ~L.
~I ~
: yL,l1 ,YI
J~~ 0f~
~I
i
~I
,j (,»\>..)I ....". J""i)
: y\.:SJI / ~
('1 HA : ~..l..:ll ~J
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa "Rasulullah s.a.w. melarang (untuk) melakukan najsy (penawaran palsu)." (HR. al-Bukhari). g.
Hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi dari Hakim bin Hizam: ~~ ..• .illl J~~ ~
,
-rL 1 ~
~I ~-
-: j' ~f ~ t·
1.5/ /
J. ~
Ci ~ » Jl! ,~\
"
d~
"
Jl!rly..
d-
~ o= / .( ~ ~.-.,.jl -: .It..;. -'I~~II/ ~·l~I~~ o; c..s:: .r:r ~. .« ~~ ~
tj (,>~.rll ....". J""i) ~J
"
""
ct
~L.
~I.?
""...
~
'"
,j ~k-L. : yL,l1 ,t~1
",
..-: ~
~
J..
'!~I
: y\.:SJI ,~
(\ \ or
:~..l..:ll
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata: Saya menemui Rasulullah s.a.w., lalu berkata: Seorang laki-laki datang kepadaku meminta agar saya menjual suatu barang yang tidak ada pada saya, saya akan membelikan untuknya di pasar, kemudian saya menjualnya kepada orang tersebut. Rasulullah saw. menjawab: "Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu," (HR. al-Tirmidzi). h.
Hadis Nabi riwayat dari Hakim bin Hizam: •.•
~;: I.5Pl ~
~
~
J1
$I
•••
4" :~
.illl J~~
0' " " :Jl! rlj>-
,~/ : .' /-.:/~··II~~ '---'-r--" ;. 'J~ ~~ ~ 1::'- r~
~/ ~
: yL,l1 ,~I
~
~
C. 1 ~
..11
J-P
.:.r
~I
;;,! 01Z,$l~
/J_/ ~~I_~ 2
J;-
.;/,a.~f
,o~,j...u--i....". J""i)
: y\.:SJI
~..l..:ll ~ J 'rL)
C/
J. ~
11j>- J.I ~
~
(. \ tvvv "Diriwayatkan bahwa hakim bin Hizam berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah saw: Aku membeli beberapa .barang; apa yang halal dan yang haram saya lakukan? Rasulullah saw bersabda: "Jika engkau membeli sesuatu, jangan engkau menjualnya kecuali setelah engkau terima/kuasai (taqabudh)." (HR. Ahmad) i.
Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa'id al-Khudri:
J.:. ~I-... .•.y~I :;;.
';"-:
,/
d L..G01 ~ :;;
"
".
:fI
.
• , I:~< ., '':./ ~l~ ,-/::'11 C;.r". ~ _.~ lfi \ /'.T' : - ~
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
ti!
illl ~~
t
0
Z,$.):b:JI~
-" '/I /
if" ~
".
{}"
~I ~ ......•
1::'- I"y1 r-~I~"/~ 1/-
~I
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
:,t scl):; ~
J,,,,...
J
~
~ I::~~ /.
//
L:JL \o""lj ~ y ...
~
".
""
/1J
I~
J.
••••
0
..•
.'.
8 I~
''''''
J
I~!~/~(.' '/0. J.~)
~~) ~
"..:;.
"."
""
J
0...
0
""
I
0
I
0
// 0\":11 /L 1/-/ / r i ~fi
.:;.
..-:....,.
...
...
".
tJ rs:.r~
c?- ~ -r, tr)~
",
~
i//'
J....-...
!II
1;.. t.tJ ~1~i5'
"'"
J
..•
I
JA I)W 2.W)1
11-'"
".
:
J........
0
~
I~W <.31~
5
J
""
"
•.•
...
..-
I:~. L:JI ~ : J!".
J """.
Jt..r c?- ~.b:-tr'j I~W
~~L r-c) ~ illl ~:s?1
J
d
,to
....
//
((,fo)I.>.) 1 01))) ~ ;) Iy;.ol)t,;.:,.b:-~~ 4fI ~I~;t~) JL;) ~ ". , "Sekelompok sahabat Nabi s.a.w. rneliniasi salah satu ""
kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: 'Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat me-ruqyah (menjampi)?' Para sahabat menjawab: 'Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.' Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi s.a.w. Beliau tertawa dan bersabda, "Bagaimana kalian tahu bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian." (HR. Bukhari). 3. Kaidah fikih; antara lain: •.•
o~~I)
.~fdl
~
..-
J::;
~
J
0
J~ ~
J...-
0
;G..l1yl :~~I ~ ~~I (i.
-i
: if'.r--U )\kJI)
"Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya. " -.1.\
')~JW.
Cr- i~1
'/{',,~
,/,
'iD->-)'1 ~
(t"
)):J)'9
h n .:Jlll
~'ri·/}~·}}/~·_I\ }!~ e::~J~
'~.rll ~I
"l:::>-l)b
-y
:V)ft.
"Segala mudarat (bahaya, kerugian) harus dihindarkan sedapat mungkin. " .b ,,, •• t 'i)LJI
)b :. ,r">\AJI 'if'.r--U )\kJ1) o~~I)
(" , . o" " C ,.1.!l>-
)y\s. .1.!l>-) y"lJ
.A.....? .A.....?
~jI; ~~\
:<J=Lu) ~
,"
"Segala mudarat (bahaya, kerugian) harus dihilangkan. "
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
-v
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
o
,;lkll) o~'il .k;l>-) fli
'Jor.-JI)
",
~
(T
'V
"Mencegah mafsadah (kerusakan) daripada mengambil kemaslahatan. " J..ulrl it;'il
t~ tj i~ (T ,~/T
'"
,..
Jj\
~
J
-Q
).:l :0~LAlI
o" " C ,.k;l>lebih
~>
0
~LW\
,T J, ,T •• i 'r~1
:J:,W) ~
-W! -W!
0
~~\
6
.Jr-~
diutamakan
r\;" ~ r\;J\ J~<.S~fL. -
'il ~Iyi)
,.."....wI ~I
.Jb :
"Apa saja yang menjadi perantara (media) perbuatan haram, maka haram pula hukumnya" ",.,
;;J
J.
terhadap
'"
.t-?~~8~
-¥
'r~1
<.::J)ft!
C
0i'I,,;
0
~~~
~8\
- L
"Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at). "
:.s:~\) I)
i~1
)).:l)
",Oi0""
:.s:~\)~~ 0
.1~~ U
..-
J
0
0
J
0 ..•••
:JkJ\ ~ o~\
(1 i ~ O.:lLlI
r~
'il d.1;
- L
C.r-
"Kaidah yang berlaku dalam akad adalah merujuk pada substansinya bukan pada lafadznya. " 4. Keputusan
Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor: tanggal 20 Maret 2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang.
73IMPPIKep/3/2000
5. Keputusan
Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 289IMPPIKep/10/2001 BAB VITI Pasal22 mengenai Ijin Usaha Penjualan Berjenjang.
6. Peraturan
Menteri
Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung.
32/M-DAGIPER/8/2008
Memperhatikan
1. Pendapat para ulama; antara lain: a. Kitab al-Muhadzdzab,
~d\ j~
juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
J~i.;,.GJ\ 0\1)
~d\
... ~~\
0i ~) ~~\I1Js- ~\
~
jt.;.
Js- ~~t.;.yl ~ j~
t:li ,~~\I1J~~GJtS-
.~d\ Js- ~~t.;. yl~ "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manJaat yang dibolehkan ... karena keperluan terhadap marfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
7
b. Pendapat Ibnu Qudarnah dalam al-Mughni, VIIII323 : 1if'
./oj.
~~
0~ ~ ~I
"
/J.
//0;;'"..
J
J
0
.•.
"", o
/J
~~I
O~'"
~j ,;!.U~;;-j 4J~lj J.? \II "',.",.
0
/
~:tt
0i ...
",;ii...:
//"
Pi ~li~ J! ~~I
"0;;',,,
J~y.x
.••
~ o~G,.'jl J~
~I; ~~Ij
",
0~ ,(~Q..I)~~
t~ :;~ ~~j /.
'~
;?'
//
",,,
""
/
~;~
J!
.j:.JI ;J~ " ~ ,
,
t:"
"Masyarakat memerlukan adanya ju 'alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan yang hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan dengan akad ijarah (sewalpengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali. Sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kondisi kebutuhan masyarakat tersebut mendorong dibolehkannya akad ju 'alah meskipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas." c. Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' Muhadzdzab, XV/449 :
:'i ~ ~~ //.
,...
JS-
,:;
J
I)
uPY-
i~ ~
al-
,,00
rr}=JI...;'j
~,..,
Syarh
j~
,4JQI ~
,,'"
"Akad ju 'alah dibolehkan ..., yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui." d. Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II124 : ,,;
•••
'I
4J
J.~~-:II "'L' I,," J.T'.) r..r ... 0""
~
0"''''
II J.T' "L
l>.<J
J
~
'. ·"1_11 ~ .~ T'-' (/ ,...
//
J~
~
:,f ;.;.: ~ Js. ~~ w,Y::;::;
",..
j~1 ...
...
~
J/
-'.<1' OJ L>.-
4JUt>.<.J.)
II'
"...
J1-: ...
I)
.1,"
rl~) ~j ","'..-
.oj. :,f ;::J ,..-...
11'"
"Ju 'alah boleh dilakukan oleh dua pihak, pihak ja 'if (pihak
pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj'ullah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama) ... , (ju 'alah) adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu. " e. Kitab AI-Ma 'ayir al-Syar'iyyah
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
.'
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
..-.
••••
I~~
",
Q~
j:~~ :- ; ~I
o~j
,..;
...•. ""
-
~
'"
A
......•. ".
J
to
""..-:
-r.:
.o::.il 0, ~b- •. ~ 0r- ~ H. <..I.•. ..•. ~....
Ji t.:~i~' 9~
0~ ....
J
(I,;"
.y
0\ Ji
(j~
"..
~
I:·_o ..\.., .
". ...
J
0
.~jG:.'jl
0t
N
0
1;)
•••
~(~ II . °::'11 ~
0
~4
;...y.if .J.)~I
Q
0
2
0...
•
I~::~ 0
••••
"" .••.•...
0
::;"
.••
;u~i .•...
0
,,-
0
~
..•
l::-o"W 4S~i .J <
////
r""' II ,~'L,ajl .
•..•
.J
".
I~
~I
..-0
~ 0r-
i( ,0. ::'11-: 0, ~o'" .r-' ) ~ 0:! .: 0
0: ~I
~WI
•
-:0, ,_0~I\
y "
"?"
'"
~','
".
< //
"·-II'I:i4.,. -: ~I:~II !r""'.J ,
,0. ::'11(j~G'_ (jt .
1\
,<
.
.•.
ill ,Cj.:JI (5:0 ~
...•
,;
'-U;'::/I '.0 '. 0 .J~),
t:' o
.J~I)
•..•
,;
....
C',' ~~
...
0
•.•
0
1°.::.il"
, ~
).J
0
//.....:
4.l j~
0
,;-. ~.J
...•.
~JL
~~:hIl;.j '4:~~j
.•.
~~I
J1
}o
""r
!'"
. ...LI u
a.:.....,~1
° ""
r~1
J
2
j~
o~ilI':..t...f 1;-.. o::.il t; ) f ~....,..... 'ir"'" ~ ~ r".....-
-:0, ,_0~il
0:!
J
~,. . \J
;'0. UI 0' 0.// /,,:. ~~)
0
"'....
r;
~,
<: ° _II~I r; ~ .:
~p
//...
J.
10.::IIJ°t::'~~-"-'~ Y" ,
" .r ~
0\
~:J ~~
0t::.aJ
/~
0
...\>-(1110.~::-
0..-
~
...:.>~(.-il. .js,''-:--'fi i!'~'~' .r' rY' -
0 "
'"
~
...".......
oj
Jo
0
~I}I
(h
.•......
'"
~I ;,:,.(1;::0 : ~i ..b < ...•.
0
Q
2~ 01 !~~~
I~~
8
/~I
0
~jG:.'jl ~
~
rl;'~
(3/2) ~.J
o.J'.>..~I) o}.:>..~1 ~
if?1
;ylll <.:..>L..... ;..ll4....o,.1)1) ~~I
.(•.•.• ~~I
"Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh meminta pihak yang berjanji untuk menyewa (nasabah) agar membayar uang muka kepada LKS sebagai jaminan keseriusan dalam menunaikan janji dan memenuhi kewajibannya. dengan syarat dana tersebut hanya boleh dipotong (diambil) oleh LKS =ketika ingkar janji-- sebesar pengganti kerugian riil. Status dana tersebut boleh hanya merupakan titipan murni pada LKS yang harus dijaga sehingga tidak boleh digunakan, dan boleh juga dijadikan sebagai modal investasi dengan syarat nasabah memberikan izin kepada LKS untuk menginvestasikannya dengan akad mudharabah. Ketika akad sewa me1?)lewa (ijarah) dilaksanakan, LKS dan Nasabah boleh menyepakati bahwa dana tersebut menjadi cieilan ujrah. " f. Kitab Al-Ma 'ayir al-Syar'iyyah
~J
:
~~y (~~) ~~ ~
~lJI ~
4.J~
•••
,..,
•••..•••..•
~ ~~ril ~~I :bi ~ JU;'j1 ~ ~ ,
,.,
,Jj"»j 4.l ~ ""
:;;."...
~
~I
o~
'Of.:"! //"
I~~j r/I
~ ~
° tl
)
J.
.....
~
.....
..:.tW 0~1 ~lh :; ...•
,...
-/
••..
". ,,;
'"
"."
'"
0......
0.
'" J.,...
'~I JI rl ~ ~ //"
~ ~j
2.(;
~j
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
is-i~
/."
0
~WI
...\>-j:JI //
//""
r--=- ~~ il cr"'''.11 f' <5 ~\o ..~\\
0/.
"""'
""
~lJ
~I;'j
' .. ~
~~
'"
""
//
U)"
of.
..... 0
j~
I:.~IIJ~'I ~,,,,; i ~II'.::.'i '\'O;! tk..',a..0: l l ~.J...lj '~.r . ~~r ..
-:° Cc;. t\' 'I '/O~ '~U'. ,0 .: UY" u~.?~) :F
Ji
~jG:.)'1 ~
-/
r-~L<>' il 1':.~I,tl ~~ "",.-
//
J.'
tJ~~;,.
~I ~
••",,"
r-G:..:lli
,
..bA
~
? ~ ;s:/.
~j
~1;-.
,...
0
~tJI
,-------
--------
-------- -----
83 PLBS Jasa Perjaianan Umrah
.(y')\....,)l1 4"lLl.I<.;A.•..••..•... ;..JJ ~I)I)
~,f
;;""""~I
9
.J.)L,a.l1
"Manfaat (layanan) boleh dijadikan obyek ijarah maushufah fi al-dzimmah dengan syarat manfaat tersebut dapat dijelaskan spesifikasinya secara terukur (tidakjahalah) agar terhindar dari sengketa. Manfaat dimaksud tidak mesti telah menjadi milik pihak yang menyewakan pada saat akad; kedua belah pihak hanya bersepakat untuk menyerahkan manfaat/layanan pada waktu yang telah disepakati. Manfaat yang dijadikan obyek .ijarah maushufah fi al-dzimmah tersebut harus sudah dimiliki oleh pemberi sewa (jasa/layanan); dan ia mampu untuk memenuhi atau menyerahkannya kepada penyewa pada waktu yang telah disepakati. Ujrah tidak mesti dibayar di awal apabila lafadz akad ijarah tersebut tidak menggunakan lafadz salam atau salaf. Jika pemberi sewa (jasa/layanan) menyerahkan obyek ijarahnya tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, maka musta 'jir berhak untuk menolaknya, dan musta'jir berhak pula meminta pemberi sewa untuk menyerahkan obyek ijarah yang sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati." g. Kitab AI-Ma 'ayir al-Syar'iyyah :
'.. if
,.
/
,,0
·i
~'-!·C·:I'
"
,.
//
,.
"..
'.~~!' ~)
'"
.~I
:,f ~) :,f ~)t.:J~~ Jt1.:.
jz '"
/
"
o}>:-)l1 ,j o?~1
::'
4"lLl.I uL-.....;..JJ ~I)I)
~"}
;;""""~I ~
,
~~
~
~I:::· H~
Js-:,f ~:b-IJ~; .1~\1 •.•
~.J
~
~
""
/r;!f-
2/2/5
t~i
u~;
"·"1'
'.'1'.
...\A.otJu Of-)
"'''
(';~~ ~? ~I ~:J jf j~J
/0
J.
00
4:.;~-:1I>-~'-! , .•.• ,
)
..-
e
•• ~
J.
.JL".t1I) .~Jb:.~1 o.Lo
,.rJI
,f .J.JL,a.l1~~
~I
0
""
d'
;;}>:-)II) .C'-:"')\....,)l1
Dengan (disepakati) akad ijarah, maka upah (ujrah/sewa) wajib dibayarkan. Akan tetapi, ujrah tersebut hanya berhak dimiliki oleh pemberi sewa setelah penyewa menggunakan atau dapat menggunakan manfaat (layanan/jasa) dimaksud, tidak berhak hanya dengan disepakatinya akad. Upah ijarah boleh dibayar sekaligus setelah akad, atau dibayar bertahap selama masa ijarah, baik dilakukan selama masa sewa, lebih lambat atau lebih cepat. h. Kitab Al-Ma 'ayir al-Syar'iyyah :
e .;~; :i "..
",
/. 'IJ
ill ~.ill "
,..
~.J
,.rJI
"
•.•
0
}
4j~~1
OJb:.)1I ~
"..
"'''.''
.JL".t1I) .~:~~
/.
/
0
J
'"
0
~t jf ;'-~I Js-J~::~-:\I ~I~
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
,/'..-
~:li.:JI a:';?-: II Ci~ 1~1 '"
J~\
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
-JUI
..:.;L..........rJl
;;"';"'1)1)~\9.1 ~
\1
if' )~L.,dl <..f'l>....;. I
0)>.-1
10
(112/8) .('Y~'il
"Jika jasa yang dijadikan obyek akad ijarah maushufah fi aldzimmah rusak, maka akadnya tidak gugur (infisakh) dengan sendirinya, tetapi penyedia jasa ('ajir) wajib menggantinya dengan jasa yang sejenis."
2. Fatwa DSN-MUI Pembiayaan Ijarah;
Nomor:
09IDSN-MUI/2000
3. Fatwa DSN-MUI Nomor: 621DSN-MUI/2007 Ju'alah; dan
tentang
tentang Akad
4. Fatwa DSN-MUI Nomor: 75IDSN-MUI/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS);
MEMUTUSKAN Menetapkan
Fatwa tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariab Jasa Perjalanan Umrab
Pertama
Ketentuan Umum Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan: 1. Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (syariah direct selling, al-taswiq al-syabaki, al-taswiq al-harami, al-taswiq althabaqi, atau al-taswiq al-tijari) --selanjutnya disingkat PLBS- adalah network marketing; yaitu metode penjualan jasa tertentu --dalam hal ini jasa perjalanan umrah-- melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota (mitra usaha) yang bekerja atas dasar imbalan (komisi dan/atau bonus) berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap; metode penjualan jasa tersebut dijalankan berdasarkan akad dan prinsip syariah; 2. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau pelayanan untuk dimanfaatkan konsumen (anggota); 3. Jasa Perjalanan Umrah adalah jasa penyelenggaraan dan pelayanan ibadah umrah yang meliputi antara lain berupa bimbingan manasik, visa, tiket pesawat, akomodasi (hotel dan catering), muthawwif, ziarah, dan pengurusan administrasi di bandara (handling airport); 4. Perusahaan adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melaksanakan kegiatan usaha perdagangan jasa perjalanan umrah dengan sistem penjualan langsung
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
11
berdasarkan akad dan prinsip syariah yang memenuhi semua persyaratan administratif sesuai peraturan dan perundangundangan yang berlaku; 5. Anggota (mitra usaha) PLBS adalah anggota PLBS yang terdaftar di perusahaan sebagai peserta (musta 'jir dan 'amil); 6. ljarah Maushufah fi al-Dzimmah adalah ijarah atas jasa (mu 'jar) --dalam hal ini jasa perjalanan umrah-- yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas dan kualitasnya; 7. Ju 'alah adalah janji atau komitmen (iltizam) perusahaan untuk memberikan imbalan (rewardl'iwadh/ju'l) tertentu kepada anggota ('amil) atas pencapaian hasil (prestasi/natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan (obyek akad Ju'alah); 8. Imbalan Ju 'alah dalam PLBS adalah komisi dan/atau bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota; 9. Prestasi anggota/mitra PLBS adalah prestasi pemasaran atas paket perjalanan umrah dan perekrutan serta pembinaan anggota/m itra; 10. Rekrutmen adalah strategi perekrutan keanggotaan baru PLBS yang dilakukan oleh anggota yang telah terdaftar sebelumnya; 11. Pembinaan adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan maupun anggota PLBS untuk memelihara dan menjaga komitmen anggota lainnya agar menjalankan bisnis dengan metode penjualan langsung; 12. Money Game dalam PLB Jasa Perjalanan Umrah adalah penjualan dengan pola berjenjang atas program perjalanan umrah yang ditandai dengan: a) program perjalanan umrah yang dijual hanya kamufiase, antara lain berupa kualitas pelayanan tidak sesuai dengan harga, dan tidak bisa repeat order (memesan kembali secara langsung); b) menjanjikan keuntungan sangat besar dalam waktu singkat; c) lebih menekankan pada perekrutan, bukan pada penjualan; dan d) bonus dibayar bila hanya ada perekrutan; 13. Muqamarah dalam PLBS adalah praktek pemasaran jasa yang penjelasan informasi mengenai jasa tersebut melebihi kualitas atau kuantitas yang sebenamya dengan harapan akan diperoleh keuntungan sebesar-besarnya yang bersifat untung-untungan;
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
12
14. Maysir adalah setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi atau untung-untungan; 15. Gharar adalah ketidakpastianlketidakjelasan dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya; 16. Ighra' adalah suatu promosi yang dilakukan oleh perusahaanlagen dengan janji memberikan suatu keuntungan (berupa bonus/komisi) yang berlebihan yang menjadi daya tarik luar biasa sehingga menjadikan seseorang lalai terhadap kewajibannya demi memperoleh bonus/komisi atau keuntungan yang dijanjikan; 17. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak; 18. Dharar adalah tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian pihak lain; 19. Zhulm adalah sesuatu yang mengandung unsur ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan merugikan pihak lain; 20. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat; 21. Ghisysy adalah salah satu bentuk tadlis; yaitu tindakan menjelaskanlmemaparkan keunggulanlkeistimewaan obyek akad (barang ataujasa) serta menyembunyikan kecacatannya; 22. Talbis adalah menyembunyikan kecacatan dengan cara menampakkan kelebihan-kelebihan (idzhar al-bathil fi shurah al-haqq); 23. Jahalah adalah ketidakjelasan dalam suatu akad, baik mengenai obyek akad, kualitas atau kuantitas (shifat)-nya, harganya (tsaman), maupun mengenai waktu penyerahannya; 24. Syubhat adalah sesuatu yang kedudukan hukumnya tidak jelas dari segi halal-haramnya; dan 25. Kilman adalah tindakan menyembunyikan dengan sengaja suatu informasi mengenai obyek akad yang semestinya diketahui pihak lain dalam akad. Kedua
Ketentnan Hukum
PLBS Jasa Perjalanan Umrah diperbolehkan dengan syarat " mengikuti akad-akad dan semua ketentuan dalam fatwa ini. Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
13
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
Ketiga
Ketentuan Akad PLBS
Umrah menggunakan akad Ijarah Maushufahfi al-Dzimmah dalam rangka anggota memperoleh Jasa Perjalanan Umrah dari perusahaan, dan akad Ju 'alah dalam rangka penjualan langsung berjenjang (al-Taswiq al-Syabaki). Keempat
Jasa
Perjalanan
Ketentuan Khusus 1. Ketentuan Akad Ijarah Maushufahfi
al-Dzimmab
La. Ketentuan mengenai Perusahaan (Mu'jir) a. Perusahaan telah memenuhi semua apek legalitas formal dari pihak otoritas; b. Perusahaan wajib memilikikemampuan untuk menyerahkan obyek akad, yakni memberangkatkan anggota untuk melaksanakan umrah; kemampuan tersebut meliputi kemampuan permodalan, kemampuan manajerial, dan kemampuan operasional; c. Perusahaan wajib menyerahkan obyek akad, yakni memberangkatkan anggota untuk melaksanakan umrah, pada waktu dan program umrah sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad jika syarat-syaratnya telah dipenuhi; d. Perusahaan
berhak memperoleh
pendapatan
berupa
ujrah.
Lb. Ketentuan mengenai Anggota (Musta'jir) a. Anggota harus cakap hukum, beragama Islam, dan memiliki niat (rencana) untuk melakukan umrah; b. Anggota hanya boleh terdaftar pada satu titik atau satu kali dalam satu program paket perjalanan umrah yang sarna danlatau dalam satu program pemasaran umrah, untuk menghindari money game; c. Anggota wajib membayar harga (ujrah) obyek akad; d. Peserta berhak mendapatkan fasilitas/obyek akad apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. Lc, Ketentuan mengenai Obyek Akad (Mu'jar) a. Obyek akad yang berupa Jasa Perjalanan Umrah harus jelas rinciannya pada saat akad, antara lain bimbingan manasik, visa, akomodasi, transportasi (pesawat terbang dan transportasi di tanah suci), catering, muthawwif, ziarah, dan pengurusan di bandara (handling airport); b. Obyek akad harus dipastikan waktu penyerahannya (pelaksanaan perjalanan umrah) pada saat akad;
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
14
c. Obyek akad harus menjadi tujuan akad (muqtadhal ghayah al-'aqd) bagi anggota (untuk menghindari gharar yang berupa mukhalafat al-maqshud). 1.d. Ketentuan mengenai Harga (Ujrah) a. Besaran harga jasa perjalanan umrah harus dijelaskan secara pasti sejak calon anggota mendaftarkan diri sebagai peserta pada perusahaan; b. Harga jasa perjalanan umrah boleh diperjanjikan dalam akad sebagai sesuatu yang bisa berubah jika terjadi perubahaan harga yang nyata atas komponen paket jasa perjalanan umrah; dan perubahan harga tersebut harus disepakati oleh para pihak; c. Harga jasa perjalanan umrah boleh diserahkan seluruhnya kepada perusahaan pada saat akad (tunai) atau sesuai kesepakatan; d. Harga jasa perjalanan umrah tidak boleh dinaikkan secara berlebihan (excessive mark-up) yang merugikan anggota karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat jasa yang diperoleh; e. Apabila perusahaan memperoleh potongan harga jasa perjalanan umrah, maka hasillmanfaat potongan tersebut dikembalikan kepada para anggota, kecuali disepakati lain dalam akad. Le, Ketentuan mengenai Pendaftaran dan Uang Muka a. Perusahaan, dalam pendaftaran, hanya dibolehkan mengenakan biaya untuk mengganti hal-hal yang terkait dengan administrasi pendaftaran, seperti tanda anggota, formulir, biaya cetak buku panduan, dan lain-lain; b. Dalam hal harga obyek akad tidak dibayar tunai (lunas) pada saat akad, anggota (calon jamaah umrah) boleh diminta membayar uang muka dan uang muka ini merupakan bagian dari harga obyek akad; c. Uang muka sebagaimana dimaksud dalam huruf b harus digunakan perusahaan untuk mewujudkan obyek akad; dan dari uang muka tersebut dalam jumlah yang wajar dapat diakui oleh perusahaan sebagai ujrah; d. Uang muka harus dibukukan secara terpisah sehingga jelas antara jumlah dana milik anggota dengan jumlah ujrah yang diterima oleh perusahaan. 1.f. Ketentuan Pembatalan a. Perusahaan atau anggota tidak boleh membatalkan akad ijarah mausufah fi al-dzimmah tanpa udzur syar 'i;
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
15
b. Apabila terjadi pembatalan dari pihak perusahaan atas ijarah mausufah fi al-dzimmah berdasarkan udzur syar'i, maka semua harga obyek akad yang telah diserahkan kepada perusahaan wajib dikembalikan kepada anggota; c. Apabila terjadi pembatalan dari pihak anggota atas ijarah mausufah fi al-dzimmah berdasarkan udzur syar 'i, maka semua harga obyek akad yang telah diserahkan kepada perusahaan wajib dikembalikan kepada anggota setelah dikurangi biaya-biaya nyata yang wajar; d. Apabila anggota membatalkan ijarah mausufah fi aldzimmah tanpa udzur syar'i, maka tidak ada pengembalian harga obyek akad kepada anggota, dan anggota yang bersangkutan tidak boleh lagi menjadi anggota PLBS Jasa Perjalanan Umrah. 2. Ketentuan Akad Ju'alah 2.a. Ketentuan mengenai Perusahaan (Ja'i/) a. Perusahaan sebagai ja'il wajib memenuhi syarat-syarat legalitas formal, termasuk Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) dari pihak otoritas; b. Perusahaan wajib memiliki pedoman pelaksanaan pemasaran dan mekanisme pengawasan yang sesuai dengan syariah; c. Perusahaan wajib menyebutkan/menjelaskan risikorisiko yang mungkin akan dialami oleh peserta, termasuk dalam hal anggota tidak mampu menambah uang muka dan/atau tidak mendapatkan imbalan karena tidak berhasil merekrut anggota/mitra lainnya; d. Perusahaan wajib membayar imbalan yang dijanjikan kepada anggota ('ami/), jika anggota mencapai prestasi (menyelesaikan hasil pekeIjaaninatijahlobyek akad) yang telah disepakati; e. Perusahaan wajib membuat akun setiap anggota secara tersendiri untuk membukukan imbalan berikut sumbemya yang diterima oleh anggota sebelum obyek akad ijarah maushufah fi al-dzimmah diwujudkan untuk diserahterimkan kepada anggota. 2.b. Ketentuan mengenai Anggota ('Ami/) a. Anggota harus cakap hukum, beragama Islam, dan mampu melakukan perekrutan dan pembinaan anggota serta memiliki niat (rencana) untuk melakukan umrah; b.
Anggota wajib melakukan obyek akad dengan sungguhsungguh serta mematuhi s~mua pedoman pelaksanaan pemasaran dan mekanisme yang sesuai dengan syariah;
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
c.
16
Anggota berhak memperoleh imbalan ju 'alah apabila hasil dari pekerjaan obyek akadju 'alah terpenuhi.
2.c. Ketentuan mengenai Obyek Akad Ju'alah a. Objek akad ju 'alah (mahal al- 'aqd) harus jelas, yaitu pekerjaan yang berupa rekrut calon anggota dan pembinaan; anggota yang berhasil direkrut dan dibina merupakan natijah; b. Jumlah anggotaimitra level bawah (down-line) dan yang dibina oleh mitra level atas (up-line) harus dibatasi sesuai kebutuhan dan kewajaran untuk umrah; c. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, dan lain-lain. 2.d. Ketentuan mengenai Imbalan (Ju'l) a. Imbalan ju 'alah (reward/tiwadh/rju'Iy harus ditentukan besarannya oleh ja'il dan diketahui oleh anggota pada saat pendaftaran; b. Imbalan ju 'alah yang diberikan kepada anggota harus berasal dari komponen biaya paket perjalanan umrah yang telah diakui dan dibukukan sebagai pendapatan perusahaan danlatau dari kekayaan perusahaan; c. Imbalan ju 'alah harus digunakan seluruhnya atau disisihkan sebagiannya untuk biaya keberangkatan umrah, guna menghindari penyimpangan tujuan mengikuti PLBS, yaitu melaksanakan umrah (bukan bertujuan untuk mendapatkan imbalan semata); d. Imbalanju 'alah yang dijanjikan oleh perusahaan kepada anggota tidak menimbulkan ighra '; e. Sistem pembagian imbalan ju'alah bagi anggota pada setiap peringkatllevel harus mengacu pada prinsip keadilan dan menghindari unsur eksploitasi; f. Imbalan ju 'alah yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, baik besaran maupun bentuknya, harus berdasarkan pada hasil prestasi yang dilakukan anggota sebagaimana tertuang dalam akad; g. Tidak boleh ada imbalan ju 'alah secara pasif yang diperoleh anggota secara regular tanpa melakukan pembinaan danlatau prestasi.
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
Kelima
17
Ketentuan mengenai Jaringan dan Penyelenggaraan
1. Penyelenggaraan PLBS Jasa Perjalanan Umrah harus terhindar dari muqamarah, gharar, maysir, riba, dharar, zhulm, money game, ighra', jahalah, tadlis, gisysy, talbis, kitman, dan syubhat; 2. Jika pemberangkatan umrah ditunda karena kelalaian perusahaan, maka anggotaimitra dapat membatalkan akad ijarah atas Jasa Perjalanan Umrah; dan dana (harga jasa perjalanan umrah) milik anggota yang telah dibayarkan kepada perusahaan wajib dikembalikan oleh perusahaan kepada anggota; 3. Tidak boleh ada biaya untuk meningkatkan level (naik peringkat) pada saat akad; 4. Dalam hal anggota tidak mampu lagi menambah dana untuk membayar kekurangan biaya umrah danlatau yang bersangkutan gagal merekrut mitra lainnya dalam jangka waktu yang disepakati para pihak, sehingga tidak berhasil mendapatkan dana yang cukup untuk melunasi biaya perjalanan umrah, maka perusahaan wajib mengembalikan komponen biaya paket jasa perjalanan umrah dari dana milik anggotaimitra tersebut setelah dikurangi biaya yang nyata. Keenam
Ketentuan Mekanisme
1. Calon anggota melakukan pendaftaran untuk menjadi anggota kepada Perusahaan; 2. Calon anggota wajib menyerahkan uang muka ijarah maushufah fi al-dzimmah sebesar jumlah yang sesuai dengan kesepakatanlperaturan yang berlaku; 3. Perusahaan sudah berhak mendapatkan ujrah berdasarkan akad ijarah maushufah fi al-dzimmah sejak akad dilakukan, untuk mewujudkan paket perjalanan umrah (obyek akad ijarah maushufahfi al-dzimmah); 4. Anggota wajib memasarkan produkjasa perjalanan umrah, serta melakukan rekrutmen dan pembinaan kepada anggota berjenjang lainnya; 5. Anggota memperoleh imbalan ju 'alah (ju'l) dari perusahaan karena melakukan perekrutan dan pembinaan dengan akad ju'alah;
6. Anggota memperoleh paket jasa perjalanan umrah perusahaan dengan akad ijarah maushufah fi al-dzimmah. Ketujuh
dari
Ketentuan Penutup
1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai syariah melalui musyawarah mufakat. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan, perselisihan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia
r
83 PLBS Jasa Perjalanan Umrah
18
diselesaikan secara bertahap melalui mediasi, arbitrase, danlatau peradilan sesuai dengan kesepakatan danlatau peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari temyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempumakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di
Jakarta
Pada Tanggal
16 Rajab 1433 H 06 Juni 2012 M
DEW AN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Ketua, ..•.••.
DR. K.H.M.A:.
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia