SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER
1.
Latar Belakang. Dari sejumlah pendapat sarjana tentang teori tujuan pemidanaan modern baik
dipandang dari sudut atau meliputi usaha prevensi, koreksi, maupun kedamaian dalam masyarakat, oleh Rancangan KUHP Nasional tujuan pemidanaan tersebut telah dirangkum yaitu : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, b. mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat, c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam ayat berikutnya dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Khusus terhadap pidana mati, sejalan dengan semakin ditinggalkannya pidana mati di negara-negara maju, memang tujuan pemidanaan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap penjatuhan pidana mati. Negara Belanda sebagai sumber hukum pidana di Indonesia, juga telah meninggalkan pidana mati, namun kita justru memperbanyak undang-undang yang di dalamnya tercantum pidana mati. Oleh karenanya apabila pidana mati tidak diterapkan lagi maka tujuan pemidanaan yang sudah dianut secara menyeluruh di seluruh negara sebagaimana tercantum dalam Rancangan KUHP Nasional tersebut akan menjadi berarti. Tujuan pemidanaan tersebut juga kurang dapat diterapkan dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer. Pidana tambahan tersebut justru dirasakan lebih berat dari pada pidana pokok
berupa perampasan kemerdekaan. Para prajurit yang dipecat
2 melakukan upaya banding, kasasi, PK, grasi, bahkan grasi ke-2, hanya untuk berharap tidak dipecat dari dinas TNI. Memang karena pada prinsipnya pemecatan itu bukanlah pidana melainkan tindakan administartif maka dapat diterima logika apabila tujuan pemidanaan tersebut tidak .. tidak sejalan dengan pemecatan dari dinas militer. Bagi seorang prajurit yang dipecat, tidak mungkin lagi baginya untuk memperbaiki diri agar dapat diterima di masyarakat militer. Di satu sisi kewenangan pemecatan tersebut adalah merupakan kewenangan pejabat administrasi dalam hal ini oleh Presiden untuk yang berpangkat Kolonel ke atas dan untuk yang berpangkat Letkol ke bawah oleh panglima TNI atau Kas Angkatan. Di sisi lain menjadi kewenangan hakim walaupun pada akhirnya putusan tersebut diikuti secara administrasi. Oleh karena adanya duplikasi kewenangan tersebut, dalam prakteknya sering terjadi benturan dimana keputusan kesatuan yang melakukan PDTH telah mendahului putusan, sedangkan keputusan tersebut didasarkan atas perbuatan tindak pidana yang justru adalah juga sebagai dasar dilakukannya pemeriksaan di pengadilan. Sistem penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebagai sub sistem dalam penjatuhan pidana pada lingkungan peradilan militer memang diakui sebagai suatu kekhususan atau khas hukum pidana militer, namun apabila dalam prakteknya justru menimbulkan kesemrautan maka hal tersebut menjadi bertentangan dengan asas yang berlaku dalam sisitem pemidanaan pada umumnya. Apabila dalam sisitem pemidanaan pada umumnya dikenal jenis-jenis pidana berupa pidana pokok dan dan pidana tambahan dan bentuk-bentuk pidana dari masing-masing jenis pidana tersebut, maka hal tersebut seluruhnya dikenal sebagai pemidanaan yang menjadi kewenangan hakim, sedangkan dalam hukum pidana militer dikenal pidana tambahan pemecatan dari dinas militer yang walaupun dikenal sebagai khasnya militer, namun dari segi kewenangan pada prinsipnya hal tersebut adalah kewenangan pejabat administrasi.
Pasal
59 PP No. 6 tahun 1990 tentang Administrasi Prajurit ABRI mengatakan, Prajurit ABRI diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas keprajuritan karena : a. menganut ideologi, pandangan atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila ;
3 b. melakukan tindakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan negara dan bangsa ;
c. dijatuhi... c. dijatuhi hukuman tambahan diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas keprajuritan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ; d. dikenakan hukuman pidana yang lebih berat dari hukuman penjara 3 bulan dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang ia tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas keprajuritan; e. diketahui kemudian bahwa untuk dapat diterima menjadi prajurit ABRI, yang bersangkutan telah dengan sengaja memberikan ketengan palsu, tidak benar atau tidak lengkap; f. mempunyai tabiat yang nyata-nyata merugikan atau dapat merugikan disiplin keprajuritan atau ABRI. Alasan butir a merupakan alasan politis dan juga ada melekat unsur diskresi (kebijakan), sedangkan alasan butir c dan d sudah jelas kaitannya dengan pasal 26 dan 35 KUHPM, namun untuk alasan sesuai butir b, e dan f bukankah untuk membuktikanya harus melalui pemeriksaan di persidangan baik karena melakukan tindak pidana umum maupun tindak pidana militer ? Mengenai butir f tersebut menurut pasal 62 UU No.34 tahun 2004 tentang TNI : (1) Prajurit diberhentikan dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat dan /atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI, (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan KehormatanPerwira, (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
4 Jika kita melihat bunyi UU TNI tersebut justru tidak ditentukan alasan lain sebagai alasan pemberhentian dengan tidak hormat, mungkin akan diuraikan dalam Peraturan Pemerintah dimaksud.
2.
Jenis dan Bentuk Pemidanaan/Penjatuhan Pidana pada Peradilan Militer. Pidana dan pemidanaan bukan hanya berkaitan erat dengan hukum pidana, tetapi
bahkan menjadi masalah inti hukum pidana. Dari terjemahan bebas mengenai batasan hukum ... hukum pidana menurut Pompe, hukum pidana itu merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan sanksi apa yang diterima oleh si pelaku tersebut. Istilah
pidana sering diartikan sama dengan hukuman, padahal istilah hukuman
pengertiannya lebih luas dari sekedar pemidanaan dalam hubungannya dengan hukum pidana. Seorang ayah menghukum anaknya yang nakal, seorang guru menghukum muridnya yang tidak membuat PR, dll. Pidana ataupun hukuman memberi pengertian yang umum berupa sanksi yang menderitakan seseorang. Mengenai jenis dan bentuk pemidanaan yaitu seperti halnya yang ditentukan secara limitatif oleh pasal 10 KUHP adalah termasuk di dalamnya pengecualian atau penambahan oleh pasal 6 KUHPM, penyimpangan-penyimpangan lain oleh Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tentang Psikotropika, Tentang Narkotika, dll. Pasal 10 KUHP berbunyi, Pidana terdiri dari: a. pidana pokok : 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; 4) pidana denda;
5 5) pidana tutupan; b. pidana tambahan : 1) pencabutan hak-hak tertentu; 2) perampasan barang-barang tertentu; 3) pengumuman putusan hakim. Pasal 6 KUHPM menentukan jenis-jenis pidana : (1) pidana utama (pokok) : (a) pidana mati; (b) pidana penjara ; (c) pidana kurungan ; (d) pidana tutupan (UU No. 20 tahun 1946); (2) pidana ... (2) pidana-pidana tambahan : (a) pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata ; (b) penurunan pangkat ; (c) pencabutan hak-hak yang disebutkan pada pasal 35 (1) ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP. Selain sanksi-sanksi di atas dalam dunia modern telah banyak pula diperkenalkan jenis sanksi lain berupa pembinaan yaitu tindakan (maatregel) sebagai pengganti pidana atau merupakan alternatif lain di samping pidana yang diatur di luar pasal 10 KUHP. Lahirnya sanksi-sanksi lain berupa tindakan (maatregel) pasal 10 KUHP tersebut diatur antara lain
oleh Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-undang tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tentang Psikotropika, Tentang Narkotika, dll. Jenis-jenis sanksi tindakan tersebut antara lain :
6 (a)
Pada UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, selain
dikenakan sanksi pidana penjara dan denda, maka dikenakan lagi sanksi tindakan seperti : pembayaran keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruhnya atau sebagian dari perusahaan, perbaikan akibat tindak pidana, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan menempatkan perusahaan di bawah pengampuan.
(b)
Pada UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, selain dikenakan sanksi pidana
pokok berupa mati, penjara, denda ; pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha, maka dikenakan sanksi tindakan berupa perintah memasukkan ke Panti Rehabilitasi, demikian pula masih banyak jenis-jenis sanksi tindakan yang ditentukan oleh undangundang. Di Indonesia sekarang ini dikenal pula hukuman administartif berupa hukuman disiplin bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer dari yang ringan bahkan sampai yang paling berat yaitu pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS ataupun Militer. Berlakunya pasal 10 KUHP seperti halnya berlakunya Bab I s/d IX KUHP dalam penerapannya terhadap KUHPM adalah didasarkan pasal 1 KUHPM. Artinya untuk penerapan ... penerapan KUHPM berlaku Bab I s/d IX KUHP kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan undang-undang. Dengan demikian prinsip-prinsip umum atau asas-asas yang terdapat dalam KUHP seharusnya tetap diberlakukan terhadap penerapan KUHPM.
3.
Cara Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan dari Dinas Militer. Pasal 26 (1) KUHPM menentukan “Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, selain daripada yang ditentukan pasal 39, dapat dijatuhkan oleh hakim berbarengan dengan setiap putusan penjatuhan
7 pidana mati atau pidana penjara kepada seseorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan dipandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer” Pasal 39 KUHPM : “Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kecuali yang ditentukan dalampasal 67 KUHP, tidak boleh dijatuhkan lainnya, selain daripada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata” Pasal 67 KUHP : “Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana-pidana lainnya selain daripada pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya dan pengumuman keputusan hakim” Dilihat dari hubungan antara pasal 39 KUHPM dengan pasal 67 KUHP tersebut, maka pasal 39 KUHPM telah memperluas pasal 67 KUHP tersebut dengan membolehkan berbarengan dengan penjatuhan pidana mati atau penjara seumur hidup adalah pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata. Beberapa pokok-pokok yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan ini yaitu antara lain : a. Apabila diperbandingkan dengan ketentuan pasal 35 (1) ke-1 dan ke -2 KUHP dengan pasal 26 KUHPM maka pada pasal 35 KUHP harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 36 dan 38 KUHP dimana ditentukan bahwa pencabutan hak memegang jabatan atau hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata hanya boleh dalam hal-hal
pemidanaan
karena
kejahatan-kejahatan tertentu saja dan hakim harus menentukan ... menentukan lamanya pencabutan itu berlaku. Sedangkan dalam KUHPM hal-hal tersebut disimpangi yaitu penjatuhan pemecatan tersebut tidak hanya karena kejahatan tertentu saja, melainkan setiap kejahatan dan tidak diharuskan menentukan lamanya pencabutan, yang berarti dapat berlaku seumur hidup. Di dalam ayat (2) pasal 35 KUHP disebutkan, Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
8 Sebagaimana pemecatan atau skorsing dari jabatan dilakukan oleh pejabat administrasi, di Indonesia terhadap PNS dilakukan oleh Menteri atau Ketua Lembaga yang mengangkat melalui BKN. Bagi Gol IV b ke atas dilakukan oleh Presiden atas usul Menteri atau Ketua Lembaga tersebut. Namun berdasarkan Peraturan Disiplin PNS, seorang PNS yang dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana tertentu dengan ancaman atau telah dijatuhi pidana penjara tertentu dapat diproses secara administarsi untuk dipecat oleh Menteri atau Ketua Lembaga yang mengangkat. Oleh karena itu hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk masuk angkatan bersenjata tidak berarti mencabut jabatan militer itu sendiri. Dalam hal ini pemahamannya bahwa mencabut jabatan militer itu adalah kewenangan pejabat administrasi.
b. Pasal 26 KUHPM dalam rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata secara berbarengan dengan pidana utama, justru tidak memperbedakan pidana penjara seumur hidup dengan pidana penjara sementara. Artinya baik berbarengan dengan pidana penjara seumur hidup ataupun dengan pidana penjara sementara (misalnya 3 tahun) hakim militer berhak menjatuhkan pidana pemecatan tersebut. Dalam hal ini tidak ditentukan batas maksimum
dari
(pidana
utama)
pidana
penjara
tersebut
untuk
dapat
dibarengkan/digabungkan dengan pidana tambahan pemecatan tersebut. Dalam prakteknya penjatuhan pidana pemecatan tersebut dalam amar putusan tidak diikuti dengan kalimat pilihan apakah dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki angkatan Bersenjata. Kemudian tidak ada batasan atau ukuran berapa lamanya pidana utama (pidana ... (pidana penjara) yang dijatuhkan untuk dibarengkan dengan penjatuhan pidana tambahan pemecatan tersebut. Pendapat umum bahwa apabila melebihi 3 (tiga) bulan penjara sebagai ukuran atau batas sifat yang relatif ringan dari tindak pidana yang dilakukan. Kemudian kami juga belum mendapat dasar sebutan pidana utama yang dalam prakteknya disebut pidana pokok.
9 c. Pidana tambahan tersebut dapat dijatuhkan oleh hakim militer bukan saja atas dasar kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam KUHPM. Tetapi juga atas dasar kejahatankejahatan baik umum maupun militer yang diancam dengan pidana mati atau penjara. Dalam rangka koneksitas hakim sipil tidak dapat menjatuhkan pidana pemecatan tersebut, karena pedomannya adalah KUHP, dan apabila dipandang perlu dilakukan pemecatan dilalui secara administrasi.
d. Pandangan hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan
oleh terdakwa
berdasarkan penilaian tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer harus tercakup atau tersirat suatu makna, bahwa apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan, maka kehadiran terpidana nantinya dalam masyarakat militer setelah ia selesai menjalani pidananya, akan menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat militer.
4.
Beberapa Teknis Penilaian tentang Tidak Layaknya Terdakwa Dipertahankan Sebagai
Seorang Militer. a.
Militer yang walaupun baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan justru
sedemikian ringan sifatnya namun perbuatan terdakwa membawa dampak yang sangat luas bagi pembinaan disiplin prajurit lain di kesatuannya, contoh : beberapa prajurit secara bersama-sama berhasil mengajak sejumlah prajurit lainnya di Yon Satpur tertentu untuk meninggalkan kesatuan (eksodus)sehingga sejumlah ratusan prajurit kompak melakukan THTI walaupun hanya beberapa hari. b.
Melakukan tindak pidana yang ancamannya di bawah 5 tahun misalnya desersi,
namun sampai bertahun lamanya meninggalkan kesatuan. c. Ancaman ... c.
Ancaman pidananya di atas ukuran tertentu misalnya 5 tahun dan di bawah 15
tahun, namun berdampak sangat negatif
baik bagi masyarakat umum maupun
masarakat militer. d.
Diancam pidana penjara 15 tahun ke atas.
10 e.
Pernah dihukum atau berulang kali.
f.
Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah atau pimpinan
TNI yang sedang memerangi suatu tindak pidana, misalnya narkoba. g.
Berpedoman pada kebijakan yang sudah berlangsung lama misalnya tindakan
asusila terhadap anggota keluarga besar TNI. h. dll.
5.
Beberapa
kendala/hambatan
dalam
musyawarah
hakim
sehubungan
dengan
penjatuhan pemecatan. a.
Telah diterbitkan Skep PDTH,
b.
Telah diupacarakan pelepasan di kesatuan ;
padahal dalam pembuktiannya tidak didukung alat bukti yang kuat, atau ancaman pidananya relatif ringan, misalnya hanya hasil tes urin terdakwa di laboratorium swasta dengan dakwaan “secara tanpa hak memiliki psikotropika/narkotika”.
6.
Beberapa Pemikiran tentang Sistem Penjatuhan Pidana Pemecatan yang Ideal. Sebagaimana halnya yang menjadi latar belakang penulisan ini bahwa kewenangan
pemecatan dari dinas militer adalah menjadi kewenangan hakim militer maupun pejabat administrasi TNI sehingga duplikasi tersebut sering membawa kesemrautan dalam sisitem pemidanaan dalam hukum pidana militer, maka pada bagian ini kami mencoba menguraikan beberapa pemikiran untuk menjadi bahan peninjauan ulang sistem tersebut : a.
Sebagaimana halnya pasal 35 (2) KUHP mengatakan, Hakim tidak berwenang
memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu, maka walaupun soal pemecatan dari dinas militer diatur secara khusus dalam pasal 26 dan pasal 35 KUHPM, namun oleh karena pada prinsipnya pemecatan itu adalah kewenangan pejabat administrasi ...
11 administrasi atau menjadi wilayah hukum administrasi sebagaimana juga hukum itu dianut dalam ketentuan-ketentuan tentang administrasi prajurit, maka tidak heran apabila terjadi penyimpangan hukum administrasi.
b.
Sebenarnya
sisitim
pemidanaan
kita
memang
seharusnya
menganut
kemandirian dan menghormati masing-masing kewenangan hukum, dalam hal ini hukum administrasi dan hukum pidana. Kita melihat UU Grasi No. 22 tahun 2002 telah membatasi putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun, sedangkan terhadap pidana tambahan tidak diperkenankan untuk dimohonkan grasi, itupun karena tidak secara tegas ditentukan tentang larangan permohonan grasi untuk pidana tambahan maka terdakwa mencoba memohonkannya dengan tujuan hanya untuk menunda-nunda pemecatannya.
c.
Kami tidak berkeinginan mengatakan pasal 26 dan pasal 35 KUHPM untuk
dicabut, melainkan apabila hal itu masih dianggap perlu sebagai khas hukum pidana militer maka hukum administrasi kiranya tidak mengganggu sisitem pemidanaan. Apabila pengadilan diberi kewenangan menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, hukum administrasi harus menunggu putusan tersebut sampai berkekuatan hukum tetap. Tidak terjadi lagi seorang prajurit yang baru mengajukan upaya hukum banding, terdakwa tersebut sudah tidak lagi berada di kesatuan karena oleh kesatuan sudah dilakukan PDTH bahkan sebelum terdakwa dilakukan penyidikan. Artinya hukum administrasi sudah mengambil alih sebelum dilakukan proses hukum pidana.
d.
Atau apabila hukum administrasi dianggap lebih efektif, maka pasal 26 dan 35
KUHPM perlu ditinjau ulang, karena hal ini juga menjadikan sistem peradilan militer menjadi efektif. Bahkan kita dapat mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Seorang prajurit yang sudah dilakukan PDTH, di pengadilan tidak perlu lagi
12 dijatuhi
pemecatan,
sehingga
yang
diupayakan
banding
hanya
pidana
pokok/perampasan kemerdekaan. Biasanya ... Biasanya untuk kasus-kasus yang tidak diancam dengan pidana minimum atau maksimum pidana penjara 15 tahun ke atas, namun oleh kesatuan secara administrasi telah dilakukan PDTH, maka seorang hakim militer biasanya tidak menjatuhkan pidana badan yang berat apalagi mengingat prajurit tersebut sudah dipecat, yang notabene hukuman pecat adalah justru sangat berat bagi seorang terdakwa, tetapi kesatuan menginginkan pengadilan menjatuhkan pidana tambahan lagi dalam putusannya. Akibatnya terdakwa mengajukan banding atas pecatnya tersebut. Apabila pengadilan tidak memecatnya lagi, sedangkan pidana badan sudah habis/hampir habis dijalani selama ditahan, maka yang ada hanya proses administrsasi. Apabila Pengadilan Tata Usaha Militer sudah berjalan maka hal itulah yang menjadi kewenangannya. Terhadap permohonan kasasipun sebenarnya alasan terdakwa pada umumnya bukanlah sebagaimana yang ditentukan pasal 239 UU No. 31 tahun 1997, melainkan hanya untuk tidak dipecat, demikian pula apabila permohonan kasasi ditolak, terdakwa melanjutkan upayanya melalui PK bahkan grasi.
e.
Beberapa dampak ketidak efektifan pemecatan oleh pengadilan yang terhadap
terdakwa sebelumnya sudah dilakukan PDTH dari kesatuan : 1)
Terdakwa sambil menunggu putusan karena melakukan upaya hukum
berada di dalam tahanan militer, hal tersebut menjadi beban bagi lembaga penahanan, demikian pula bagi yang penahanannya habis harusnya dikembalikan ke kesatuan namun tidak diterima karena terdakwa sudah tidak punya gaji; sedangkan untuk dilimpahkan kepada Rutan tidak diterima karena putusan belum BHT yang menentukan terdakwa dipecat. 2)
Terdakwa harus menunggu di rumah atau tempat tinggal (di luar
asrama) sehingga pengadilan mengalami kesulitan untuk memanggilnya apabila putusan tingkat banding /kasasi/PK atau grasi turun.
13 7.
Kesimpulan dan Saran.
a. Kesimpulan ...
a.
Kesimpulan. (1) Dalam penjatuhan pidana pemecatan dari dinas militer pada prinsipnya merupakan kewenangan dan penerapan hukum administrasi, sehingga pada saat diberikan kewenangan kepada hakim dalam prakteknya terjadi benturanbenturan, terlebih lagi tindakan administrasi sering mendahului putusan pengadilan. (2) Apabila pemecatan tersebut ingin tetap dipertahankan juga menjadi kewenangan hakim, maka oleh pejabat administrasi putusan hakim harus tetap ditunggu sampai in kracht untuk selanjutnya diproses secara administrasi. (3) Apabila pada Pengadilan (pidana) tidak ada kewenangan pemecatan maka hal tersebut akan menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Militer.
b.
Saran. (1) Disarankan kepada pimpinan TNI agar dalam memutuskan sanksi administrasi terhadap putusan pemecatan dari dinas militer tetap menunggu putusan sampai berkekuatan hukum tetap. (2) Disarankan kepada pembuat undang-undang agar dalam pembuatan undang-undang tidak terjadi duplikasi kewenangan hukum pidana dengan kewenangan administrasi.
14
Medan, 17 Juli 2006 Penulis