SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI Benny Rachman, I Wayan Rusastra, dan Ketut Kariyasa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Lift of fertilizer subsidy and liberalization of fertilizer distribution channel make fertilizer market became more competitive indicated by fertilizer price referring to market mechanism. The study aims to analyze marketing system of rice seed and fertilizer. The results revealed that restructuring rice seed industry is necessary through increasing roles of private rice seed producers. The government needs to monitor fertilizer price periodically to assure that market mechanism well goes on. Key words : distribution, price dynamics, marketing
PENDAHULUAN Pengembangan pertanian erat terkait dengan aspek kebijakan sarana produksi, diantaranya kebijakan pengadaan dan distribusi benih dan pupuk serta dukungan pembiayaan usahatani, baik kredit program bersubsidi maupun kredit komersial. Pada saat ini pengadaan dan distribusi benih padi masih didominasi oleh PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani, dan hanya sebagian kecil benih diproduksi oleh penangkar swasta lokal. Tumbuhnya penangkar swasta yang memproduksi benih tak berlabel dengan kualitas cukup memadai dan harga relatif murah mengindikasikan besarnya potensi permintaan akan benih padi. Umumnya penangkar swasta lokal tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti pengeringan, gudang dan alat pengujian. Kecenderungan meningkatnya permintaan benih padi yang bermutu di tingkat petani, dan volume benih padi yang diproduksi oleh penangkar swasta lokal menyebabkan pasar benih padi semakin kompetitif. Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan pasar benih, mekanisme pasar pupuk juga mengalami penyesuaian. Dalam upaya menciptakan peningkatan efisiensi dalam tataniaga pupuk, pemerintah menerapkan paket kebijaksanaan Desember 1998 yang meliputi : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan dan perkebunan, (2) menghapus secara penuh subsidi pupuk, dan (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru. Kebijakan sistem perpupukan ini,
204
khususnya penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi pupuk membawa perubahan besar dalam distribusi pupuk dan tingginya persaingan di semua lini dalam pemasaran pupuk, sehingga harga pupuk mengacu pada mekanisme pasar. Penyesuaian kebijakan pemerintah di bidang input pertanian, tidak hanya menyangkut aspek perbenihan dan pupuk, namun juga menyentuh aspek pembiayaan usahatani. Sebagai salah satu unsur pelancar, pembiayaan usahatani merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang dipandang relevan dalam mendukung petani yang tergolong petani berlahan sempit dengan modal terbatas. Sumber pembiayaan usahatani yang tersedia di pedesaan meliputi, kredit program bersubsidi, kredit bank komersial, dan kredit informal. Adanya penghapusan kebijakan fasilitas KLBI untuk usahatani (KUT), maka mulai musim tanam 2000/2001 petani tidak lagi menerima kredit program bersubsidi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah pada periode yang sama melaksanakan program pemberdayaan petani melalui pemberian bantuan kredit ketahanan pangan (KKP) dan proyek ketahanan pangan (PKP). Bantuan ini merupakan modal kelompok tani untuk mengembangkan permodalan yang dikelola sendiri. Komponen dana bantuan mencakup pembelian sarana produksi dan pengembangan usaha dan modal kelompok. Namun demikian, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka program tersebut hanya mampu menyentuh sebagian kecil petani sehingga pengaruhnya terhadap pemberdayaan petani belum optimal.
Atas dasar latar belakang dan permasalahan tersebut, kajian ini bertujuan untuk mempelajari keragaan pasar input pertanian (benih padi, pupuk, dan pembiayaan usahatani). Secara spesifik, kajian difokuskan pada : (1) sistem distribusi dan pemasaran benih padi dan pupuk, (2) dinamika harga benih padi dan pupuk, dan (3) keragaan pembiayaan usahatani METODOLOGI Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan d tujuh kabupaten yang tersebar di lima provinsi, yaitu Majalengka, Indramayu, (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan sistem usahatani padi menurut teknologi produksi. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan air dan kehandalan sarana irigasi. Pengumpulan data dan informasi pasar input pertanian di pedesaan dilakukan secara berkala dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur, meliputi kelembagaan pasar benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Kelembagaan pasar benih padi dan pupuk, terutama menyangkut aspek pengadaan dan distribusi dan dinamika harga. Sedangkan pembiayaan usahatani, khususnya menyangkut aspek keragaan sumber-sumber pembiayaan untuk kegiatan usahatani. Penggalian informasi kunci lainnya dilakukan secara berlapis mulai dari tingkat lokal desa, kabupaten dan provinsi. Sampel responden diantaranya tokoh formal dan informal, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang eceran, dan penggilingan beras (RMU). Pendekatan Analisis Dalam penelitian ini, pendekatan analisis deskriptif-kualitatif digunakan untuk menelaah sistem kelembagaan pasar input pertanian, khususnya benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Analisis secara mendalam akan difokuskan pada beberapa aspek sebagai berikut: sistem pengadaan dan distribusi, dinamika harga, dan keragaan sumber-sumber pembiayaan
usahatani. Di samping itu, ketiga aspek utama tersebut dianalisis seiring dengan adanya penyesuaian kebijakan pemerintah. KELEMBAGAAN PASAR BENIH PADI Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Dalam suatu sistem produksi pertanian baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen apabila benih tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients (petani dan konsumen lainnya). Untuk menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tinggi harus dimulai dengan penanaman benih bermutu, yaitu benih yang menampakkan sifat-sifat unggul dari varietas yang diwakilinya. Kemurnian suatu varietas secara berangsur-angsur bisa hilang karena tercampur benih varietas lain. Secara fisik terjadi penyerbukan yang tidak dikehendaki sehingga identitasnya berubah. Identitas suatu varietas dapat hilang karena genetic shift, yaitu perubahan sifat genetis pada varietas tertentu karena pengaruh lingkungan atau varietas tersebut memiliki nama yang berbeda-beda. Dalam sistem pengadaan dan distribusi, mutu suatu benih dapat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) sistem produksi, (2) pengolahan hasil, (3) penyimpanan hasil, dan (4) penanganan selama distribusi benih (Gambar 1). Dibanding dengan sistem perbenihan padi yang diperbanyak dan disebarkan dengan sistem sertifikasi secara ketat, beberapa komoditas palawija dan hortikultura masih relatif tertinggal. Walaupun sistem perbenihan padi relatif lebih maju, namun secara keseluruhan petani padi yang menggunakan benih berlabel sekitar 30-40 persen, sisanya merupakan benih produksi sendiri yang dipilih dari hasil panen sebelumnya (PSE, 2000). Pengolahan dan penyimpanan benih dikalangan petani relatif sama dengan cara penanganan hasil untuk kon-
205
Subsistem produksi
Subsistem distribusi
Mutu benih
Subsistem pengolahan
Subsistem penyimpanan
Gambar 1. Faktor-faktor Penentu Kualitas Benih Suatu Komoditas Pertanian
sumsi, sehingga kualitasnya diragukan. Penyebaran benih berlabel umumnya melalui program intensifikasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Peranan perusahaan pembina dalam menentukan kualitas benih unggul berlabel cukup besar. Pengawasan dan pembinaan yang lebih intensif terhadap perusahaan ini perlu dilakukan untuk menjamin kualitas benih berlabel yang digunakan petani. Di sisi lain, jalinan arus benih antar lapang dan musim (JABALSIM) yang berlangsung saat ini masih terbatas untuk palawija khususnya kedelai. Kinerja industri perbenihan nasional dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) pangsa pasar benih didominasi oleh padi, (2) benih unggul bersertifikat dikontrol oleh pemerintah melalui subsidi harga, (3) Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) bertanggung jawab dalam pengawasan mutu benih, dan PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani merupakan pemasok terbesar kebutuhan benih nasional, (4) eksistensi pasar benih padi masih lemah, karena sebagian besar (60–70%) petani memproduksi benih sendiri untuk keperluan usahataninya, dan (5) persepsi petani terhadap penggunaan benih bersertifikat merupakan faktor dominan yang mempengaruhi pengembangan sistem perbenihan nasional. Belum meluasnya penggunaan benih bersertifikat sebagai akibat terbatasnya kapasitas produksi dari PT SHS dan PT Pertani, sehingga diharapkan peranan swasta dalam memasok benih bersertifikat semakin meningkat. Peran swasta perlu terus dikembangkan guna menun-
206
jang pengembangan sistem perbenihan nasional. Peranan pemulia tanaman (Breeder) akan semakin penting dalam menciptakan varietasvarietas unggul baru sesuai dengan permintaan pasar, yang mempertimbangkan aspek produktivitas, kualitas, dan selera konsumen. Alur produksi benih, dimulai dengan galur yang telah dilepas menjadi varietas unggul baru, secara otomatis menjadi benih penjenis (breeder seed/BS) yang merupakan hasil temuan pemulia. Benih tersebut kemudian diperbanyak dengan sistem sertifikasi yang menghasilkan benih dasar (foundation seed/FS) atau benih pokok (stock seed/SS) dan seterusnya benih tersebut diperbanyak untuk menghasilkan benih sebar (extension seed/ES). Benih sebar inilah yang digunakan petani dalam proses produksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun komersial. Sistem pengadaan dan distribusi benih meliputi berbagai aspek yang saling terkait dan mencakup berbagai kegiatan yang dimulai dari inovasi penemuan jenis/varietas unggul baru sampai dengan diadopsinya benih unggul tersebut oleh petani. Upaya mendukung kelancaran sistem pengadaan dan distribusi benih diperlukan berbagai upaya peningkatkan dan pengembangan secara kontinu, yaitu mulai dari penelitian dan pengembangan varietas, penilaian dan pelepasan varietas, serta produksi, pengolahan dan distribusi benih, pengawasan mutu dan sertifikasi benih, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang
melibatkan institusi pemerintah, semi pemerintah/BUMN, koperasi dan swasta. Penciptaan varietas unggul baru melalui proses penelitian dan pengembangan merupakan tahap awal dari upaya penyediaan bibit unggul yang kebutuhannya berkembang secara dinamis, baik dari segi jumlah, potensi dari produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan. Penilaian dan pelepasan varietas merupakan proses selanjutnya dari segi perbenihan, sebelum benih dapat diproduksi dan diproses serta didistribusikan ke petani pengguna. Proses penilaian dan pelepasan varietas ini memerlukan kelembagaan, pengaturan dan prosedur yang dapat menjamin tersedianya benih bermutu bagi petani dan pengguna lainnya. Dalam pengawasan mutu, Balai Pengawasan dan Serifikasi Benih (BPSB) merupakan lembaga pemerintah yang diberi mandat pengawasan benih yang beredar di pasaran. Kinerja BPSB, baik dari aspek kualitas dan intensitas pengawasan maupun dari jangkauan dan kapasitas pelayanannya, merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kelembagaan perbenihan secara keseluruhan. Mekanisme pengendalian mutu yang secara resmi diterapkan di Indonesia adalah melalui sertifikasi benih. Standar yang diterapkan dalam sertifikasi benih adalah: (1) pengendalian mutu dalam produksi benih otentik (breeder seed/BS) yang terdiri dari kelayakan varietas yaitu distinct, uniform and stable (DUS) dan variety maintenance untuk menjamin kontinuitas pasokan benih sumber untuk perbanyakan benih lebih lanjut, (2) pengendalian mutu dalam produksi benih bersertifikat (FS, SS, dan ES) yang meliputi penyimpanan benih sumber, verifikasi sumber benih, inspeksi lapangan, pengambilan contoh, pengujian mutu dan pemasangan label, (3) penentuan standar mutu, dan (4) pengawasan mutu selama pemasaran. Sanksi dalam bentuk stop selling order dapat direkomendasikan oleh BPSB apabila contoh benih yang diambil dilapangan selama pemasaran tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Pada Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat sistem pengadaan dan distribusi benih yang berlaku di lima provinsi penelitian (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan). Dalam sistem pengadaan dan distribusi benih secara formal tampak bahwa varietas unggul yang baru dilepas (BS)
yang dihasilkan oleh Puslitbang/Balai Komoditas, diteruskan oleh Direktorat Benih untuk disebarkan ke Balai Benih Induk (BBI) yang selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan FS. Benih FS tersebut kemudian diperbanyak oleh BUMN (PT SHS dan PT Pertani), Penangkar Swasta, dan Balai Benih Utama (BBU) yang masing-masing memproduksi SS atau ES. Kecuali di BBU, benih jenis SS tersebut selanjutnya diperbanyak menjadi benih jenis ES. Dari penangkar swasta benih jenis ES ini langsung disebarkan ke petani, sedangkan dari PT SHS dan PT Pertani disebarkan ke daerah melalui penyalur yang telah ditunjuk. Sementara dari BBU benih SS diteruskan ke BPP yang sekarang di beberapa wilayah sudah satu atap dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Di tingkat BPP, benih SS ini diperbanyak menjadi benih ES yang selanjutnya diteruskan kepada petani. Sementara pada sistem pengadaan dan distribusi benih yang terdapat di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BBI, seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, Puslitbang Komoditas pun melalui Balai-Balai komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke Puslitbang/Balai Komoditas yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES. Tampak bahwa pada sistem tersebut benih yang dijual ke petani oleh penangkar swasta umumnya merupakan jenis benih SS, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat , dan Sulawesi Selatan jenis benih yang diproduksi penangkar swasta pada umumnya ES. Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respons pasar benih. Para penangkar lokal/petani penangkar benih untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat dua jenis benih yang dihasilkan oleh penangkar lokal, yaitu benih SS yang bahan bakunya (benih jenis FS) bersumber dari BBI dan benih jenis ES yang bahan bakunya (benih jenis SS) bersumber dari BBU atau dari BPP (dinas pertanian kabupaten setempat). Pada beberapa wilayah selain BPP (dinas pertanian kabupaten) memberikan benih
207
208
209
kepada penangkar lokal, sekaligus juga melakukan pembinaan dan bimbingan dalam upaya mendapatkan produksi benih dengan mutu yang tinggi. Sementara itu, untuk kasus Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, penangkar lokal pada umumnya hanya memproduksi benih jenis ES. Benih yang ditanam petani di semua lokasi penelitian pada MH umumnya benih berlabel, akan tetapi pada MK I atau MK II hampir sebagian besar petani menggunakan benih tidak berlabel. Benih jenis ini pada umumnya berasal dari hasil panen sebelumnya, pertukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel hanya berjalan efektif pada MH dan sebaliknya kurang efektif pada MK. Ketersediaan dan Kebutuhan Benih Hasil kajian di lima provinsi studi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan) secara umum menunjukkan bahwa ketersediaan benih baik dari aspek kuantitas dan kualitas masih perlu ditingkatkan. PT SHS dan PT Pertani sebagai produsen benih utama hanya mampu berproduksi sekitar 40-60 persen Dari aspek kualitas, banyak petani yang mengeluh dan mempertanyakan jaminan daya tumbuh dan produktivitas benih berlabel. Kurangnya respon petani terhadap benih berlabel ES tercermin dari banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri, khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH. Umumnya petani membeli benih berlabel hanya sekali dalam setahun, yaitu pada MH, sedangkan pada MK I dan MK II petani menggunakan benih produksi sendiri. Rendahnya kualitas benih berlabel tidak terlepas dari adanya proyek-proyek pemerintah yang bersifat dadakan (diadakan pada tahun berjalan) yang membutuhkan benih dalam jumlah yang cukup besar, sementara lahan milik PT SHS dan PT Pertani tidak mencukupi, sehingga kekurangannya harus didatangkan dari pertanaman padi petani yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi, bukan untuk benih. Benih yang diproduksi dari hasil panen padi untuk konsumsi mutunya tidak akan jauh berbeda dari benih produksi petani sendiri yang bersumber dari hasil seleksi panen sebelumnya.
210
Petani cukup respon terhadap kualitas benih, hal ini dapat dicermati pada petani padi di kabupaten Kediri dan Ngawi (Jawa Timur) dan kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Petani cukup responss memakai benih padi jenis SS, padahal dari segi harga benih padi jenis ini tentunya lebih mahal dari jenis ES. Menurut petani, benih padi jenis SS memiliki kualitas, daya tumbuh serta kemurnian varietas yang tinggi. Di samping itu, tinggi pertanaman padi relatif homogen, dan hasil panen dapat dipilih untuk benih musim berikutnya (MK) yang kualitasnya setara dengan benih jenis ES. Tingginya respon petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah terhadap penggunaan benih padi jenis SS dapat dipandang sebagai fenomena positif maupun negatif. Segi positifnya, petani sangat respon terhadap kualitas benih yang akan ditanamnya, sementara segi negatifnya adalah dapat menghambat penyebaran penggunaan benih ES, mengingat sampai saat ini PT SHS dan PT Pertani hanya mampu memasok sekitar 40-60 persen benih ES, dan sisanya diharapkan dari pihak swasta. Sementara itu pihak swasta lebih tertarik memproduksi benih jenis SS, karena respon pasar terhadap permintaan jenis benih ini cukup tinggi. Respon petani terhadap benih SS perlu diantisipasi secara bijaksana. Dengan demikian, upaya pemerintah dalam meningkatkan penggunaan benih berlabel perlu disertai dengan perbaikan mutu benih jenis ES, sehingga penggunaan benih padi jenis SS di tingkat petani dapat dikurangi. Penemuan varietas unggul baru yang mempunyai daya hasil tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia terkesan mengalami stagnasi. Kondisi ini di samping disebabkan oleh semakin berkurangnya dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian dan penemuan suatu varietas, juga karena kurangnya penghargaan pemerintah terhadap para breeder, seperti tidak adanya kejelasan akan property right (hak paten) akan penemuan suatu varietas baru. Penghargaan dan pengakuan akan hak paten yang telah dilakukan oleh beberapa negara telah memicu terjadinya persaingan sehat dalam melakukan inovasi dan penelitian antar sesama breeder, sehingga terjadi percepatan penciptaan varietas unggul baru dengan mutu yang lebih baik. Belajar dari pengalaman beberapa negara yang sukses dalam menciptakan varietas baru, maka sebaiknya ada kejelasan akan hak paten
seorang breeder dalam penemuan varietas unggul baru.
delapan jenis varietas yang diminati petani. Dari delapan varietas tersebut, terdapat lima varietas yang diadopsi cukup luas oleh petani, yaitu Ciliwung (70,2%), Sintanero (9,7%), IR-64 (5,6%), Way Apu Buru (4,9%), IR-42 (4,4%), dan Memberamo (2,0%). Sisanya 3,2 persen adalah varietas IR-66 dan Ciherang.
Selanjutnya, keragaan penggunaan varietas dominan di lima provinsi penelitian pada MH 2001/02 disajikan dalam Tabel 1. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Kediri sekitar 64 persen, kemudian varietas Memberamo dan Way Apo Buru masing-masing 20 persen dan 10 persen, dan sisanya 5,7 persen varietas lainnya, seperti Cisadane dan Widas. Di Kabupaten Ngawi luas tanam padi varietas IR64 mencapai 70 persen, dan hanya 27 persen merupakan padi varietas Way Apu Buru, dan sisanya tiga persen varietas lainnya. Demikian juga di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah luas tanam padi varietas IR-64 sekitar 75 persen dari total luas pertanaman padi. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Majalengka dan Indramayu, Jawa Barat masing-masing mencapai 50 persen dan 24 persen.
Setiap musim, jenis varietas dominan yang ditanam petani mengalami perubahan. Untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, pada MH petani umumnya menanam padi varietas IR-64, dan jarang petani yang menanam padi varietas Memberamo dan Way Apu Buru dengan pertimbangan mudah rebah. karena perakarannya kurang kuat untuk menopang jumlah malai yang relatif banyak. Di samping itu, pemupukan yang tidak berimbang, dimana petani cenderung berlebih dalam menggunakan pupuk Urea dan ZA, juga menjadi faktor pertimbangan memilih varietas IR-64.
Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dimana luas pertanaman padi didominasi oleh varietas PB-42 dan Cisokan masing-masing 35 persen dan 25 persen. Kedua varietas ini memang sesuai dengan selera masyarakat setempat yang senang dengan nasi pera (low glutenous). Sedangkan luas pertanaman varietas IR-64 hanya sekitar 10 persen, dan hasilnya sebagian besar dipasarkan ke luar wilayah Sumatera Barat. Varietas lainnya yang ditanam masyarakat setempat, seperti Digul, IR-70, Semeru, dan Cirata. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, total volume penjualan benih padi selama periode Januari-Juli 2002 tercatat 2,1 juta kg yang terdiri dari
Dinamika Harga Benih Keragaan harga benih di lima provinsi penelitian pada MH 2000/01 dan MH 2001/02 disajikan pada Tabel 2. Pada MH 2000/01 harga benih jenis ES di Kabupaten Kediri berkisar Rp 2.500 – Rp 2.950/kg dan pada MH 2001/02 berkisar Rp 2.800-Rp 3.000/kg, atau terjadi peningkatan harga benih 1,7 – 12,0 persen per tahun. Sementara itu, harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp 3.500 – Rp 4.000/kg, atau sekitar Rp 700 – Rp 1.000/kg lebih mahal dari benih ES. Harga benih ES di Klaten-Jawa Tengah pada MH 2000/01 berkisar Rp 2.575 – Rp 2.725/kg dan pada MH 2001/02
Tabel 1. Jenis Varietas Padi Dominan yang Ditanam Petani di Lima Provinsi Penelitian, MH 2001/2002
Provinsi/kabupaten Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu Kabupaten Majalengka Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam Provinsi Sulsel Kabupaten Sidrap
Varietas (%) W. A. CisoBuru kan
Ciliwung
Sintanero
Lainnya
10,0 27,0
-
-
5,7 3,0
-
5,0
-
-
10,0
-
-
38,4 30,0
-
-
37,1 20,0
35,0
-
25,0
-
-
-
30,0
4,4
2,0
-
4,9
70,0
9,7
3,2
IR-64
IR/PB-42
Memberamo
64,3 70,0
-
20,0 -
-
75,0
-
10,0
24,5 50,0
-
10,0 5,6
Sumber : Data primer
211
Tabel 2. Harga Benih SS dan ES di Lima Provinsi Penelitian
Provinsi/kabupaten Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu Kabupaten Majalengka Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam Provinsi Sulsel Kabupaten Sidrap
MH 00/01 (ES)
Harga benih jenis (Rp/Kg) MH 01/02 SS ES
Perkembangan harga ES (%/th)
2500-2950 -
3500-4000 -
2800 - 3000 2800
1,7-12,0 -
2575-2725
3000-3200
2800 - 3000
8,7-10,0
-
-
2850
-
2650
-
2900
9,4
3300-3400
-
3400 -3500
1,5-2,9
2650-2800
-
2850-3000
7,1-7,5
Sumber : Data primer
meningkat menjadi Rp 2.800 – Rp 3.000/kg atau mengalami peningkatan sebesar 8,7 – 10,0 persen. Harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp 3.000 – Rp 3.200/kg. Selisih harga benih SS dengan ES yang relatif kecil tentunya akan berdampak pada permintaan benih jenis SS yang semakin meningkat. Gambaran yang sama, harga benih padi jenis ES yang diterima petani di Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Indramayu dan Majalengka), sekitar Rp 2650 pada MH 2000/01 dan Rp 2.850 – RP 2.900/kg pada MH 2001/02. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, harga benih padi ES nampak relatif sama dengan harga yang diterima petani di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kondisi ini dimungkinkan oleh keadaan infrastruktur yang relatif sama sehingga ketersediaan dan arus barang berjalan dengan baik. Sementara itu, harga benih ES eceran di Kabupaten Agam, Sumatera Barat relatif tinggi, baik pada MH 2000/01 maupun MH 2001/02 dibanding wilayah lainnya. Struktur Pasar, Tataniaga dan Marjin Pemasaran Struktur pasar benih secara umum dicirikan oleh: (1) pangsa pasarnya terkonsentrasi pada dua BUMN, yaitu PT SHS dan PT Pertani, (2) terdiferensiasi dari segi kualitas, jenis varietas, dan tingkatan jenis benih (SS dan ES), (3) tidak adanya hambatan masuk keluar pasar, dan (4) informasi harga benih menurut jenis dan kualitas relatif mudah diperoleh. Pangsa pro-
212
duksi benih dari PT SHS, PT Pertani, dan Penangkar swasta/lokal di lima provinsi penelitian disajikan pada Tabel 3. Di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur pangsa pasar PT SHS masing-masing 35 persen dan 44 persen, PT Pertani masing-masing 15 persen dan 22 persen, sedangkan penangkar swasta/lokal masing-masing 50 persen dan 33 persen. Di Kabupaten Kediri peranan penangkar swasta/lokal cukup besar, karena di kabupaten ini kebanyakan petani terutama MH menanam benih padi jenis SS yang umumnya hanya diproduksi oleh penangkar swasta/lokal. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sekitar 55 persen pangsa pasar benih dikuasai oleh penangkar swasta/lokal, karena di wilayah ini pun petani lebih respon menggunakan benih padi jenis SS. Di Majalengka dan Indramayu Provinsi Jawa Barat, pangsa pasar benih dari PT SHS dan PT Pertani mencapai 36,5 persen dan 19,5 persen, sedangkan pangsa pasar dari penangkar swasta sekitar 44 persen. Gambaran berbeda untuk Kabupaten Agam, Sumatera Barat, di mana pangsa pasar dari PT SHS mencapai 70 persen, diikuti pangsa PT Pertani 20 persen, penangkar swasta lokal hanya 10 persen. Demikian pula di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, peran BUMN, tampak dominan dalam pemasaran benih, sebaliknya, peran non-BUMN relatif kecil. Produsen benih non-BUMN di kedua kabupaten tersebut adalah PP. Kerja asal Klaten, BBI dan kelompok tani binaan dinas pertanian.
Tabel 3. Pangsa Produksi Benih Padi Berlabel dari PT SHS, PT. Pertani dan Penangkar Swasta di Lima Provinsi Penelitian, 2002
PT. SHS
Pangsa (%) PT. Pertani
Penangkar swasta
Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Kabupaten Ngawi
35,0 44,5
15,0 22,2
50,0 33,3
Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten
30,0
15,0
55,0
Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu
38,0
19,0
43,0
35,0
20,0
45,0
70,0
20,0
10,0
50,0
30,0
20,0
Provinsi/kabupaten
Kabupaten Majalengka Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten Sidrap Sumber : Data primer
Lahan PT. SHS
PT. SHS
Lahan petani mitra PT. SHS
Distributor
Sub Distributor/ Agen
Kios/Pengecer
Petani
Gambar 4. Saluran Tataniaga Benih Padi PT SHS
Saluran tataniaga benih padi, kasus pada PT SHS disajikan pada Gambar 4. Dalam memproduksi benih, PT SHS melakukannya di lahan sendiri atau bekerja sama/bermitra dengan petani di lokasi terpilih. Pemilihan lokasi dan petani mitra secara formal harus melibatkan dan disetujui oleh BPSB. Dalam kerja sama ini
PT SHS menyediakan benih jenis SS dan sekaligus melakukan pembinaan dan pengawasan, sedangkan petani menyediakan lahan, sarana produksi dan tenaga kerja. Harga jual hasil yang diterima petani biasanya 10 persen di atas harga gabah yang berlaku di pasar. Setelah jadi benih jenis ES, kemudian benih ini diteruskan ke distributor yang telah ditunjuk. Masing-masing distributor mempunyai agen/ subdistributor yang berkedudukan di tingkat kecamatan. Dari agen ini, selanjutnya didistribusikan ke kios-kios/pengecer. Petani sebagai konsumen benih pada umumnya membeli benih dari kios/pengecer. Dalam pemasaran benih, keuntungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi dalam melakukan penjualan benih di Kabupaten Kediri dan Ngawi masing-masing Rp 75/kg dan Rp 50/Kg (Tabel 4). Besarnya marjin keuntungan PT SHS ini sekitar 2,5–2,7 persen terhadap harga eceran untuk kasus Kabupaten Kediri dan 1,9 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi atau sekitar 3,1 persen terhadap biaya produksi benih untuk kasus Kabupaten Kediri dan 2,0 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi. Sementara itu marjin keuntungan yang diperoleh distributor, subdistributor, dan pengecer di Kabupaten Kediri berturut-turut Rp 75/kg; Rp 125/kg; dan Rp 100–Rp 150/kg. Sedangkan di Kabupaten Ngawi marjin keuntungan para pelaku pasar masing-masing Rp 100/kg; Rp 100/kg; dan Rp 150/kg.
213
Tabel 4. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Provinsi Jawa Timur, 2002
Keterangan Kabupaten Kediri Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) Persen thp harga eceran (%) Persen thp harga PT SHS (%) Kabupaten Ngawi Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) Persen thp harga eceran (%) Persen thp harga PT SHS (%)
PT. SHS
Distibutor besar
Agen/subdistributor
Kios/ pengecer
Petani
2425 75 (475)* 2,5-2,7 (16-17)* 3,1 (19,6)*
2500 75 2,5-2,7 3,1
2575 125 4,2-4,5 5,2
2700 100-150 3,5-5,0 4,1-6,2
2800-3000 -
2450 50 (450) 1,9 (16,7) 2,0 (18,4)
2500 100 3,7 4,1
2600 100 3,7 4,1
2700 150 5,6 6,1
2850 -
Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/Kg
Tabel 5. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2002 Keterangan Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) Persen thp harga eceran (%) Persen thp harga PT SHS (%)
PT. SHS 2400 100 (500)* 3,45 (17,24)* 4,17 (20,83)*
Distibutor besar 2500 100 3,45
Agen/subdistributor 2600 100 3,45
4,17
4,17
Kios/pengecer
Petani
2700 200 6,90
2900 -
8,33
-
Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg
Sementara itu, hasil kajian di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa marjin keuntungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi, distributor, dan agen sebesar Rp 100/kg benih yang diperdagangkan atau sekitar 3,4 persen terhadap harga eceran atau 4,2 persen terhadap biaya produksi benih. Sedangkan marjin keuntungan yang diperoleh para pengecer dua kali dari para pelaku lainnya (Rp 200/kg). Marjin keuntungan tingkat pengecer relatif tinggi, namun volume benih yang dijual sangat kecil (Tabel 5). Keragaan marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku tataniaga benih padi di dua kabupaten-Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa marjin keuntungan yang diperoleh PT SHS dalam memproduksi benih untuk tujuan penjualan di Kabupaten Indramayu adalah sebesar Rp 68/kg atau masing-masing 2,8 persen terhadap harga eceran dan 2,4 persen terhadap harga pokok produksi. Besarnya marjin keuntungan yang diperoleh distributor, subdistributor dan pengecer berturut-turut 3,5 persen; 4,5 persen; dan 5,3 persen terhadap harga eceran
214
atau berturut-turut 3,1 persen; 3,9 persen; dan 4,6 persen terhadap harga pokok produksi. Sementara itu, besarnya marjin keuntungan PT SHS untuk penjualan wilayah Kabupaten Majalengka Rp 60/kg atau setara 2,4 persen terhadap harga pokok produksi atau 2,1 persen terhadap harga eceran. Di kabupaten ini marjin keuntungan yang diperoleh distributor dan subdistributor sekitar 3,1-3,4 persen terhadap harga eceran dan 3,7-4,1 persen terhadap harga pokok produksi. Sedangkan marjin keuntungan pengecer hampir dua kali lipat dari marjin keuntungan distributor atau subdistributor. Sementara itu marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku bisnis benih padi di Provinsi Sumatera Barat cukup bervariasi dibanding pada kasus Provinsi Lainnya (Tabel 7). Marjin keuntungan terbesar diterima oleh PT SHS tanpa subsidi sebesar Rp 385/Kg, diikuti kios/pengecer dan distributor masing-masing Rp 350/kg dan Rp 250/kg, dan terakhir adalah agen sebesar Rp 150/kg. Gambaran ini menunjukkan bahwa tanpa pemberian subsidi PT SHS sudah mampu memperoleh keuntungan dalam produksi benih.
Tabel 6. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat, 2002 PT. SHS
Distibutor besar
Agen/subdistributor
Kios/ pengecer
Petani
2457
2525
2610
2720
2850
Marjin keuntungan (Rp/kg)
68 (468)
85
110
130
-
Persen thp harga eceran (%)
2,4 (16,4)
3,1
3,9
4,6
-
Persen thp harga PT SHS (%)
2,8 (19,0)
3.5
4,5
5,3
-
2450
2510
2600
2700
2900
Marjin keuntungan (Rp/kg)
60 (460)
90
100
200
-
Persen thp harga eceran (%)
2,1 (15,9)
3,1
3,4
6,9
-
Persen thp harga PT SHS (%)
2,4 (15,7)
3,7
4,1
8,2
-
Keterangan Kabupaten Indramayu Harga Benih (Rp/kg)
Kabupaten Majalengka Harga Benih (Rp/kg)
Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg
Tabel 7. Marjin Keuntungan Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 2002 Keterangan Harga benih (Rp/kg)
PT. SHS 2315
Distibutor besar 2700
Agen/subdistributor 2950
Kios/ pengecer 3100
Petani 3450
Marjin keuntungan (Rp/kg)
385 (785)*
250
150
350
-
Persen thp harga eceran
11,16 (22,75)*
7,25
4,35
10,14
-
Persen thp harga PT SHS
16,63 (33,91)*
10,80
6,48
15,12
-
Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg
Tabel 8. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, 2002
2453
Distibutor besar 2600
Agen/subdistributor -
Kios/ pengecer 2750
2850-3000
57 (457)*
150
-
100-250
-
Persen thp harga eceran (%)
1,9-2,0
5,6-5,3
-
3,5-8,3
-
Persen thp harga PT SHS (%)
2,2 (18,0)*
5,9
-
3,9-9,8
-
Keterangan Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg)
PT. SHS
Petani
(15-16)* Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg
Di Kabupaten Sidrap biaya pokok benih PT SHS adalah sebesar Rp 2.453/kg (Tabel 8). Harga jual di loko pabrik adalah Rp 2.600/kg, sedangkan harga di pedagang penyalur atau distributor adalah sebesar Rp 2.750/kg, sementara itu harga jual oleh pedagang pengecer mencapai Rp 2.850-Rp 3.000 per kg. Dengan demikian marjin keuntungan distributor dan pengecer masing-masing sebesar Rp 150/kg
dan Rp 100-Rp 250/kg. Marjin yang diterima distributor dan pengecer nampak tidak berbeda dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Perbedaannya adalah dari pelaku tataniaga benih, dimana di Sidrap tidak terdapat subdistributor, dikarenakan Sidrap merupakan wilayah kerja PT SHS, sehingga distributor skala besar langsung menyalurkan ke pengecer.
215
PT SHS Sidrap sebagai kantor wilayah, mempunyai distributor untuk wilayah Sidrap sebanyak 20 buah, sehingga dalam satu kabupaten hanya ada satu-dua distributor. Khusus untuk Sidrap terdapat juga penyalur Koperasi PT SHS untuk mengantisipasi penyalur atau pengecer yang tidak bisa menjangkau kelompok tani. Jumlah distributor untuk Sulawesi Selatan dirasakan masih kurang, sehingga direncanakan untuk menambah 20 distributor. Menurut PT SHS, harga jual benih produsen swasta lebih rendah karena alat pengolahan benih swasta relatif sederhana sehingga biaya pokok lebih murah, tetapi dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan benih produksi PT SHS. Beberapa persepsi petani terhadap benih padi dapat disarikan sebagai berikut : (1) harga benih bersertifikat dipandang terlalu mahal dibandingkan produksi benih oleh petani (Rp 3.000/kg vs Rp 1.250/kg); (2) harga yang dipandang moderat dan sesuai dengan daya beli petani adalah sekitar Rp 2.000–Rp 2.500/kg; (3) pedagang menyalurkan berdasarkan pesanan, karena khawatir akan risiko mati-label (kadaluwarsa); (4) masih lemahnya daya kreativitas para pedagang dalam penyaluran benih bersertifikat kepada petani melalui mediasi PPL; (5) daya tahan benih bersertifikat sekitar enam bulan, sedangkan pola tanam di Sidrap hanya dua kali dalam setahun dan relatif bersamaan untuk semua wilayah kecamatan. KELEMBAGAAN PASAR PUPUK Sistem Pengadaan Pupuk Keberadaan industri pupuk di dalam negeri memiliki peranan sangat strategis dalam menunjang program pembangunan perekonomian Indonesia. Secara nasional keberadaan industri pupuk mampu memberikan andil yang cukup besar tidak saja bagi perkembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan, namun juga memberikan dampak bagi perkembangan di sektor perkebunan, industri kimia dan bidang jasa lain. Pengadaan pupuk untuk subsektor tanaman pangan dilakukan oleh PT Pusri dengan produsen dalam negeri lain yang tergabung dalam satu Holding Company. Lima produsen pupuk dalam negeri yaitu, PT Pusri, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, dengan kapasitas produksi keseluruhan pada
216
tahun 1998 sebesar 5,75 juta ton pupuk. Khusus untuk produsen Urea AAF (Aceh Asean Fertilizer) produk yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan ekspor bagi negara negara ASEAN. Pada tahun yang sama, PT. Petrokimia Gresik memproduksi SP-36 dan ZA masingmasing berjumlah 1 juta ton dan 660 ribu ton. Sampai dengan tahun 1998 importir pupuk untuk kebutuhan subsektor tanaman pangan hanya melakukan distribusi sampai ke pelabuhan utama. Penyaluran pupuk sampai ke lini III dan IV tetap dilakukan oleh PT Pusri. Berbagai permasalahan yang terjadi pada saat itu adalah : (a) adanya aliran pupuk subsidi ke nonsubsidi (subsektor tanaman ke subsektor perkebunan), (b) adanya ekspor pupuk (urea) akibat perbedaan harga antara pasar dalam negeri dan luar negeri, (c) tingginya harga pupuk impor (KCL, TSP, dan ZA) karena melemahnya nilai rupiah. Permasalahan di atas menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk pada musim tanam MH 1998/99 dan MH 2000/2001. Kondisi ini juga mendorong semakin berkembangnya produksi pupuk alternatif dan juga pupuk palsu (Rachman et al., 2001). Hilangnya pupuk di lapangan dan beredarnya pupuk palsu serta harga pupuk dan pestisida yang dirasakan mahal oleh sebagian besar petani merupakan fenomena klasik yang sering muncul dalam penyediaan pupuk dilapangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penghapusan subsidi pupuk (Desember 1998). Harga eceran tertinggi KUT untuk pupuk urea naik dari Rp 450/kg menjadi Rp 1.115/kg (kenaikan 147%). SP-36 dari Rp 675 menjadi Rp 1.600/kg (kenaikkan 137%), KCL Rp 1.650/kg (sebelum kebijaksanaan Desember 1998, tidak ditetapkan harganya), untuk pupuk ZA naik dari Rp 506/kg menjadi Rp 1.000/kg (kenaikkan 98%). Kenaikan harga yang tinggi tersebut sebagai dampak dari dihapuskannya subsidi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Dengan diterapkannya kebijaksanaan pencabutan subsidi dan pembebasan tataniaga pupuk sejak 1 Desember 1998, diharapkan kelangkaan pupuk, keterlambatan pasokan, dan keterbatasan jangkauan wilayah dapat diatasi. Kebijakan tersebut juga membuka peluang bagi kalangan industri pupuk skala kecil menengah dan koperasi (IKMK) untuk semakin memacu daya saing dengan produsen pupuk skala
besar. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya kebutuhan pupuk dalam negeri sekitar 4,6 persen per tahun (PT Pusri, 2000). Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh IKMK dengan beredarnya berbagai jenis pupuk di pasaran. Pada tahun 1998 jumlah IKMK yang memproduksi pupuk tercatat 257 unit dengan jumlah 299 merk, sementara pada akhir tahun 1999 tercatat 324 unit IKMK yang menghasilkan 646 merk pupuk, berupa aneka pupuk alternatif mulai dari bentuk cair, powder, granul hingga tablet. Dengan demikian, selama tahun 2000 terjadi tambahan jumlah IKMK pupuk sebesar 67 unit atau meningkat 26 persen, sedangkan jumlah merk yang beredar bertambah menjadi 347 macam atau meningkat 61 persen. Sistem Distribusi Pupuk Sejak diterapkannya kebijaksanaan penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya distribusi/pemasaran pupuk pada bulan Desember 1998, PT Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk melainkan dapat dilakukan oleh distributor swasta. Namun demikian, pupuk yang disalurkan untuk KUT (hingga MH 1999/2000) masih tetap melalui sistem lama, yaitu dari Lini I sampai Lini III oleh PT Pusri dan dari Lini III ke Lini IV oleh KUD penyalur dan LSM (NGOs). Dihapuskannya subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi memberi dampak positif terhadap jalur tataniaga pupuk, dimana pedagang besar (wholesale) dapat langsung membeli pupuk di Lini II. Kondisi ini juga menciptakan iklim kondusif terhadap pasar pupuk, dengan terjadi persaingan yang sehat antar pelaku bisnis pupuk, sehingga harga pupuk ditentukan oleh mekanisme pasar. Sistem tataniaga pupuk sebelum dan setelah kebijaksanaan disajikan pada Gambar 5 dan 6. Dibebaskannya tataniaga pupuk, maka tidak ada lagi perbedaan harga antar subsektor tanaman pangan dan nontanaman pangan. Persaingan harga di Lini III dipengaruhi oleh kekuatan modal masing-masing penyalur. Penyalur swasta yang memiliki modal relatif besar dapat membeli pupuk di Lini II dan III atau di Gudang pabrik non-Pusri, sehingga bisa memperoleh harga beli dan harga jual yang lebih murah. Kebijaksanaan sistem tataniaga ini membuka peluang berkembangnya penyalur dan
kios-kios swasta hingga ke tingkat pedesaan. Dampak positif dari kebijaksanaan ini terlihat dari tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup di kios-kios (Lini IV). Saat ini kios besar membeli pupuk dari PT Pusri di Lini II dan III dengan harga yang relatif lebih murah. Tingginya persaingan di semua Lini dalam pemasaran pupuk, menyebabkan harga pupuk bergeser pada keseimbangan pasar. Kondisi ini memberikan dampak positif bagi petani antara lain: (a) pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani, dan jarang terjadi kelangkaan pupuk, (b) harga pupuk relatif stabil, dan (c) berkembangnya kios-kios pengecer pupuk dengan harga kompetitif. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan tersebut: (a) dengan mahalnya harga pupuk, membawa konsekuensi munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun diragukan kualitasnya, (c) menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCL, dan ZA oleh petani karena harganya relatif mahal, dan (d) pasar pupuk yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang mampu membeli pupuk di lini I dan II, serta bebas menyalurkan pupuk ke daerah yang bukan wilayah kerjanya. Sejalan dengan perkembangannya, pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan ke tingkat kabupaten. Sebelumnya produsen pupuk hanya bertanggung jawab hingga pemasaran di lini II (pemasokan di tingkat provinsi). Saat ini, pembelian pupuk oleh umum di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan pembelian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I (pabrik) dan lini II (distributor provinsi) ditetapkan atas usulan ‘Tim Interdep’ yang terdiri dari; pengusaha (produsen), Deptan, Depperindag, Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop, dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Tugas Tim Interdep adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor pertanian. Untuk distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pupuk yang dirasakan mahal oleh petani, maka pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan subsidi transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200 per kg.
217
Kios kecil 1
Importir Lini IV KUD penyalur
PT. PUSRI Lini I
Kios besar Lini II
Lini III
Produsen lain
Penyalur swasta
Petani pangan
Kios kecil 2
Petani nonpangan
Gambar 5. Jalur Distribusi Pupuk Sebelum Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi
Importir
PT. PUSRI Lini I
Produsen lain
Lini IV KUD penyalur
Perdagang swasta
Lini II
Lini III
Kios besar
Kios kecil 1
Petani pangan
Penyalur swasta
Kios kecil 2
Petani nonpangan
Gambar 6. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi (Desember 1998)
Seiring dengan itu, pada tahun 2001 diprogramkan kegiatan pengembangan Unit Usaha Pelayanan Saprodi. Sebagai rintisan awal dilaksanakan di delapan provinsi yaitu; Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTB, dan Sulsel. Kegiatan tersebut di-
218
arahkan agar unit-unit usaha pelayanan saprodi mampu menjadi unit usaha yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan. Demikian pula, alokasi kegiatan difokuskan untuk daerahdaerah yang memiliki keterbatasan dalam hal jasa pelayanan saprodi (remote area), sehingga
diharapkan dapat membantu kelancaran penyediaan pupuk. Penanggungjawab distribusi pupuk untuk wilayah Aceh, Sumut, dan Riau adalah PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Untuk wilayah Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jateng, DI. Yogyakarta, Bali, Kalbar, Sultra, Sulteng, Sulut, NTB, NTT, dan Irja adalah PT Pusri. Khusus untuk wilayah Jawa Barat yang bertanggungjawab adalah PT Pupuk Kujang dan PT Pusri. Sedangkan untuk wilayah Jawa Timur penanggung jawab adalah PT Petro Kimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Penanggung-jawab distribusi pupuk untuk Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan Sulsel adalah PT Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Distribusi pupuk yang ditetapkan Tim Interdep tahun 2001, disajikan pada Gambar 7.
Tim Interdep
saran Pupuk Kabupaten) menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari PT Pusri/Perwakilan Pemasaran dari perusahaan pupuk. Implementasi dari dari kebijakan distribusi pupuk tersebut menyebabkan berubahnya rantai pemasaran pupuk (Gambar 8). Namun demikian, implementasi kebijakan sistem rayonisasi dalam penyaluran pupuk masih belum jelas efektivitasnya dan cenderung menyebabkan terjadinya misalokasi penyaluran pupuk antar wilayah, bahkan diduga sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya ketidakstabilan distribusi pupuk. Dinamika Harga Pupuk Selama kurun waktu MH 98/99 sampai MH 00/01 di lima provinsi kajian yaitu, Jabar, Jateng, Jatim, sulsel dan Sumbar, mekanisme
Produsen Urea
PT. Perkebunan Nusantara
PUSRI Unit Niaga
Lini II
Petani Lini III
Instansi terkait
Distributor kabupaten
Pengecer
Gambar 7. Jalur Distribusi Pupuk yang Ditetapkan Tim Interdep, April 2000
Berlakunya kebijakan rayonisasi penyaluran pupuk mengharuskan penebusan pupuk dilakukan pada Lini III, meskipun DO tetap dikeluarkan pada PPD lini II (Provinsi). Implikasinya ketersediaan pupuk antar PPK (Pema-
pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan pupuk senantiasa tersedia di tingkat petani (PSE-DAI, 2001). Harga pupuk Urea dan SP-36 relatif stabil bahkan sedikit mengalami penurunan masing-masing sekitar 20-25 persen dan 10-15
219
Pabrik pupuk
Importir KCL, ZA
Pabrik ZA, SP36 Gresik
Pedagang besar swasta
Lini II
Agen/wholesale
Lini III
Koperta/KUD
Retailer
Petani
Gambar 8. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan April 2001.
persen. Pada periode tersebut harga Urea di tingkat petani, berkisar Rp 980-Rp1.100 per kg, sementara SP-36 Rp 1.600/kg, KCL Rp 1.800/kg dan ZA pada harga Rp 1.100/kg. Penurunan harga pupuk tertinggi terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sedangkan penurunan terendah terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Fenomena ini dikarenakan tingginya persaingan pasar di semua Lini dalam pemasaran pupuk, sehingga harga pupuk bergerak pada keseimbangan pasar (Tabel 9). Memasuki musim tanam MK-1 2002 (tepatnya pada periode pemupukan bulan AprilMei) terjadi kenaikan harga pupuk (Urea) yang cukup tajam di tingkat petani dengan kisaran harga Rp 1.300 – Rp 1.400 per kg. Hasil kajian di lima provinsi studi melalui pengamatan secara berlapis mulai dari tingkat desa hingga provinsi menyimpulkan bahwa ketersediaan pupuk di tingkat petani tergolong memadai, dalam arti petani mudah memperoleh pupuk, namun dengan harga relatif diatas harga normal. Peningkatan harga ini bukan dikarenakan
220
oleh adanya kelangkaan pupuk dipasaran atau kurangnya pasokan pupuk, tetapi disebabkan oleh adanya kebijakan internal PT Pusri, dimana distributor diwajibkan untuk melakukan pembelian pupuk Urea, KCL, dan SP-36 dengan perbandingan 5:1:1, dan kebijakan ini efektif berlaku mulai April 2002. Persyaratan ini diberlakukan pada saat pembelian pupuk di Gudang Pusri (Lini III). Kebijakan paket penjualan ini juga diterapkan oleh distributor ke subdistributor dengan perbandingan yang bervariasi antar wilayah. Permasalahan di tingkat petani adalah rendahnya daya serap dalam penggunaan pupuk KCL dan SP-36, sehingga penyaluran kedua jenis pupuk tersebut mengalami hambatan. Sebagian dari para pedagang/distributor menurunkan harga jual KCL sampai dibawah harga penebusan. Untuk menutupi kerugian tersebut, para pedagang memperhitungkan dalam penjualan Urea, sehingga terjadi peningkatan harga Urea mulai dari tingkat distributor sampai pengecer. Sebagai ilustrasi, untuk pembelian
Tabel 9. Rata-Rata Harga Eceran Pupuk periode MH 1998/1999 – MK 2002
Uraian Majalengka, Jabar Urea SP-36 KCL ZA Indramayu, Jabar Urea SP-36 KCL ZA Klaten, Jateng Urea SP-36 KCL ZA Kediri, Jatim Urea SP-36 KCL ZA Ngawi, Jatim a. Urea b. SP-36 c. KCL d. ZA Agam, Sumbar Urea SP-36 KCL ZA Sidrap, Sulsel Urea SP-36 KCL ZA
MH 98/99
MK 1999
MH 99/00
1.200 1.700 1.900 1.000
1.000 1.700 1.800 1.000
1.050 1.400 1.500 1.000
Harga Pupuk (Rp/kg) MH MK 00/01 2000 1.000 1.400 1.500 1.000
MK 2001
MH 01/02
MK 2002
1.150 1.500 1.600 1.100
1.200 1.600 1.800 1.100
1.200 1.600 1.800 1.100
1.400 1.600 1.600 1.200
1.150 1.550 1.600 1.100
1.100 1.550 1.700 1.100
1.200 1.600 1.700 1.100
1.300 1.600 1.600 1.150
1.100 1.700 1.900 920
930 1.520 1.800 860
945 1.350 1.450 900
1.050 1.350 1.500 950
1.050 1.400 1.600 1.000
1.200 1.600 1.800 1.100
1.200 1.600 1.800 1.100
1.300 1.600 1.700 1.150
1.150 1.800 2.000 1.000
1.080 1.600 1.900 1.000
980 1.500 1.900 960
1.000 1.500 1.800 960
1.050 1.500 1.700 1.000
1.200 1.600 1.800 1.050
1.200 1.600 1.800 1.050
1.400 1.600 1.600 1.100
1.100 1.600 1.700 1.100
1.200 1.600 1.800 1.100
1.200 1.600 1.800 1.100
1.350 1.600 1.800 1.150
1.300 1.800 2.100 1.100
1.100 1.600 1.750 1.100
960 1.480 1.340 900
1.000 1.400 1.500 950
1.050 1.500 1.500 1.000
1.250 1.800 1.900 1.300
1.250 1.700 1.900 1.300
1.400 1.600 1.700 1.300
1.100 1.600 1.800 1.100
1.000 1.540 1.700 1.000
1.050 1.450 1.500 1.050
1.050 1.500 1.500 1.000
1.100 1.500 1.500 1.050
1.200 1.800 2.000 1.150
1.200 1.800 2.000 1.150
1.350 1.700 1.800 1.200
Sumber : CASERD – DAI, 2002
KCL sebesar 10 ton (tiap pembelian 50 ton Urea) pedagang mengalami kerugian sebesar Rp 200/kg. Untuk menutupi kerugian sebesar Rp 2 juta, maka pedagang berupaya meningkatkan harga Urea sekitar Rp 40/kg dari harga jual normal pada setiap level pemasaran. Dengan jalur distribusi pupuk yang berlaku saat ini, maka harga urea di tingkat pengecer/petani cenderung mengalami kenaikan sekitar 15-20 persen. Suatu kenaikan yang fantastis dan sangat memberatkan petani bilamana dikaitkan dengan kondisi petani yang semakin memprihatinkan.
pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap telah menyebabkan tingkat penggunaan pupuk Urea berlebih di tingkat petani, dan diduga telah memicu terjadinya peningkatan harga pupuk Urea secara signifikan. Umumnya petani menggunakan pupuk Urea antara 500 - 700 kg per ha, sementara untuk pupuk KCL dan SP-36 banyak petani yang tidak menggunakan. Dosis anjuran penggunaan pupuk Urea, KCL dan SP36 per hektar yaitu, 300 : 100 : 100. Kebiasaan petani yang menggunakan pupuk Urea secara berlebih telah menyebabkan petani tidak berproduksi pada tingkat yang optimal.
Adanya pemikiran petani bahwa pupuk Urea merupakan pupuk utama, sedangkan jenis
Untuk kasus Kabupaten Kediri dan Provinsi Jawa Timur, apabila petani mengurangi
221
Tabel 10. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)
Keterangan I. Modal Sendiri II. Kredit 1. Program Bersubsidi a. KUT b. PKP c. KKP 2. Formal a. Bank Komersial b. Koperasi c. Pegadaian 3. Informal a. Pedagang Saprodi b. Tetangga c. RMU d. Pedagang Hasil Pertanian e. Pelepas Uang f. Lumbung Desa
MH 00/01 65,0 35,0
Suku bunga (%/th)
Suku bunga (%/th) 8
Ngawi MH 01/02 65,0 35,0
8
6,5 6,0 0,0
10,5 10,5 10,5
0,0 0,0 0,0
10,5 10,5 10,5
0,0 0,0 6,3
10,5 10,5 10,5
5,0 2,0 2,0
32 40 30
3,8 0,0 1,3
32 40 30
20,3 0,0 1,3
32 40 30
0,0 0,0 0,0 3,5 7,8 2,2
40 40 120 40
0,0 0,0 1,4 1,3 0,3 2,2
40 40 120 40
0,0 7,5 1,3 0,0 0,0 0,0
0 40 120 40
penggunaan pupuk Urea sebesar 150 kg per ha, maka permintaan akan pupuk urea di Kabupaten Kediri dan provinsi Jawa Timur masingmasing berkurang sebesar 8,7 ribu ton dan 250,4 ribu ton per tahun. Pengurangan penggunaan pupuk Urea tersebut dapat digunakan untuk membeli pupuk KCL dan SP-36, sehingga diharapkan terjadi peningkatan penggunaan kedua jenis pupuk masing-masing 51 kg dan 61 kg per hektar. Pola yang mengarah kepada penggunaan pupuk secara berimbang ini (tanpa mengubah besarnya alokasi biaya pupuk) tentunya akan berpengaruh positif terhadap tingkat produksi padi yang dihasilkan petani. KELEMBAGAAN KREDIT FORMAL DAN INFORMAL Ketersediaan modal yang memadai merupakan salah satu unsur pelancar dalam kegiatan usahatani. Sumber pembiayaan petani dalam mengelola usahataninya dapat berasal dari modal petani sendiri (hasil panen sebelumnnya, tabungan, pendapatan di luar usahatani, kiriman dari anggota keluarga, dan lain sebagainya) dan
222
Kediri Suku MH bunga 01/02 (%/th) 8 89,7 10,3
kredit atau pinjaman. Secara umum sumber pembiayaan petani dari kredit dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (1) kredit program bersubsidi dari pemerintah, (2) kredit formal, dan (3) kredit informal. Berikut akan dibahas keragaan partisipasi petani contoh dalam memanfaatkan sumber-sumber perkreditan yang merupakan hasil kajian di tujuh kabupaten. Pada MH 2000/01 tercatat 65 persen petani contoh di Kabupaten Kediri-Jawa Timur membiayai usahatani padinya dengan menggunakan modal sendiri. Sisanya 35,5 persen petani memanfaatkan jasa perkreditan, yang terdiri dari: kredit program bersubsidi (12,5%); kredit formal (7,0%), dan kredit informal (13,5%) (Tabel 10). Sedangkan pada MH 2001/02 jumlah petani contoh yang menggunakan modal sendiri dalam membiayai usahataninya meningkat, yaitu menjadi 89,7 persen. Bagi petani yang meminjam modal dari pedagang hasil pertanian/tengkulak, sebagai ikatannya petani diwajibkan menjual hasil produksinya ke pedagang/tengkulak tersebut dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan harga pasar yang berlaku. Sementara bagi petani yang memanfaatkan jasa perkredit-
Tabel 11. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani) Keterangan I. Modal Sendiri II. Kredit 1. Program Bersubsidi a. KUT b. PKP c. KKP 2. Formal a. Bank Komersial b. Koperasi c. Pegadaian 3. Informal a. Pedagang Saprodi b. Tetangga c. RMU d. Pedagang Hasil Pertanian e. Pelepas Uang f. Lumbung Desa
MH 00/01 70,0 30,0
Suku bunga (%) 8
MH 01/02
Suku bunga
90,0 10,0
8
10,0 0,0 0,0
10,5 10,5 10,5
2,5 0,0 0,0
10,5 10,5 10,5
5,0 4,0 0,0
24 30 30
3,8 2,5 1,2
24 30 30
0,0 0,0 0,0 5,0 6,0 0,0
40 120 -
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
40 120 -
an Bank Komersial yaitu BRI dan BPR harus membayar bunga masing-masing 2,6 persen dan 3,0 persen per bulan ditambah biaya administrasi sebesar Rp 30.000 – Rp 50.000. Sumber pembiayaan tradisional yang masih dimanfaatkan petani di Desa Mojokerep, Kediri, tercatat 2,2 persen petani memanfaatkan lumbung desa sebagai sumber pembiayaan usahataninya. Sementara itu, keragaan dan partisipasi petani di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam memanfaatkan jasa perkreditan disajikan pada Tabel 11. Pada MH 2000/01 sekitar 70 persen petani membiayai usahatani padinya menggunakan modal sendiri, dan pada MH 2001/02 meningkat menjadi 90 persen. Sebaliknya jumlah petani yang memanfaatkan jasa perkreditan mengalami penurunan, yaitu dari 30 persen menjadi 10 persen. Penurunan ini terjadi pada semua jenis kredit, baik pada jenis kredit program bersubsidi dari pemerintah, formal, maupun informal. Hasil kajian di dua kabupaten di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa sebanyak 65 persen petani di Kabupaten Majalengka pada MH 2000/01 sumber permodalan dalam pembiayaan usahatani berasal dari modal sendiri, dan 35 persen petani memanfaatkan jasa
perkreditan (Tabel 12). Pada musim tersebut sebanyak 15 persen petani yang mendapatkan kredit program bersubsidi dari pemerintah, baik dalam bentuk KUT maupun PKP. Di kabupaten ini, sebanyak 12,5 persen petani yang memanfaatkan jasa perkreditan informal, dan hanya 7,5 persen petani yang memanfaatkan jasa perkreditan formal. Pada MH 2001/02 proporsi petani relatif tidak banyak berubah. Sama halnya dengan di Kabupaten Kediri, kredit informal dalam bentuk lumbung desa di kabupaten ini cukup berjalan dengan baik, terbukti sekitar 4,5–5,0 persen petani yang memanfaatkan jasa jenis kredit informal. Pada MH 2001/02, hampir 97,5 persen petani di Kabupaten Indramayu dalam mengelola usahataninya menggunakan modal sendiri, dan hanya sekitar 2,5 persen petani yang memanfaatkan jasa perkreditan KUT (Tabel 12). Petani di kabupaten ini tampaknya belum tertarik untuk memanfaatkan kredit formal. Alasan klasik petani kurang tertarik pada kredit formal adalah : (1) prosesnya terlalu birokratis, sehingga butuh waktu yang cukup lama, (2) perlu jaminan (agunan), (3) biaya adminsitrasi yang harus ditanggung cukup besar. Sementara alasan petani mengapa tidak memanfaatkan jasa kredit informal, karena bunganya relatif
223
Tabel 12. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)
Keterangan I. Modal Sendiri II. Kredit 1. Program Bersubsidi a. KUT b. PKP c. KKP 2. Formal a. Bank Komersial b. Koperasi c. Pegadaian 3. Informal a. Pedagang Saprodi b. Tetangga c. RMU d. Pedagang Hasil Pertanian e. Pelepas Uang f. Lumbung Desa
MH 00/01 65,0 35,0
Suku bunga (%/th)
Suku bunga (%/th) 8
Ngawi MH 01/02 97,5 2,5
8
10,0 5,0 0,0
10,5 10,5 10,5
2,5 1,3 2,5
10,5 10,5 10,5
2,5 0,0 0,0
10,5 10,5 10,5
2,5 2,5 2,5
24 40 25
6,3 0,0 2,5
24 40 25
0,0 0,0 0,0
24 25
0,0 0,0 2,5 0,0 0,0 12,5
40 40 25
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,5
40 40 25
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
40 40 25
tinggi bisa mencapai 40 persen per tahun, sedangkan belum adanya jaminan hasil yang memadai. Partisipasi petani terhadap jasa kredit di Kabupaten Agam, Sumatera Barat senada dengan terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dimana peningkatan yang cukup tinggi jumlah petani yang menggunakan modal sendiri dalam membiayai usahatani pada MH 2001/02 dibanding pada MH 2000/01. Di kabupaten tersebut jumlah petani yang menggunakan modal sendiri tercatat 60 persen pada MH 2000/01 dan pada MH 2001/02 menjadi 81 persen, sementara, sehingga pada MH 2002 jumlah petani yang memanfaatkan jasa perkreditan hanya 19,0 persen petani (Tabel 13). Dari jenis jasa perkreditan yang ada, petani di Kabupaten Agam cenderung memilih jenis kredit informal. Petani yang menggunakan kredit informal berkisar 8,9–25 persen, sedangkan yang menggunakan kredit formal berkisar 0–1,3 persen. Kondisi yang terjadi di Kabuapten SidrapSulawesi Selatan agak berbeda dengan enam kabupaten contoh lainnya. Di kabupaten ini
224
Kediri Suku MH bunga 01/02 (%/th) 8 75,4 24,6
jumlah petani yang memanfaatkan kredit dan menggunakan modal sendiri dalam membiayai kegiatan usahatani masing-masing tercatat 50 persen dan 50 persen (Tabel 14). Khusus untuk pembiayaan yang berasal dari kredit, petani tampaknya lebih menyukai kredit jenis informal terutama dari pedagang saprodi dan RMU, dan disusul kredit program bersubsidi (KUT), dan relatif kurang pada kredit formal. Petani yang memanfaatkan kredit informal melalui pedagang saprodi biasanya diwajibkan membayar setelah panen (yarnen) dengan tingkat bunga berkisar Rp 5.000 – Rp 10.000 per 50 kg pupuk yang dipinjam, dan jika menunggak akan dikenakan bunga dua kali lipat. Sedangkan petani yang menggunakan jasa perkreditan informal melalui RMU, biasanya ada ikatan untuk menjual hasil produksinya ke RMU dengan tingkat harga lebih murah dari harga pasar yang berlaku. Secara implisit selisih harga pasar yang berlaku dengan harga yang diterima petani tersebut merupakan jumlah bunga yang harus ditanggungnya. Perbedaan harga yang diterima petani tersebut bervariasi sesuai dengan jumlah pinjaman dan jumlah produk yang dihasilkan.
Tabel 13. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani) Keterangan
MH 00/01
I. Modal Sendiri
60,0
II. Kredit
40,0
Suku bunga (%) 8
MH 01/02
Suku bunga
81,0
8
19,0
1. Program Bersubsidi a. KUT
10,0
10,5
7,6
10,5
b. PKP
5,0
10,5
1,3
10,5
c. KKP
0,0
10,5
0,0
10,5
a. Bank Komersial
0,0
-
1,3
32
b. Koperasi
0,0
-
0,0
36
c. Pegadaian
0,0
-
0,0
-
a. Pedagang Saprodi
10,0
50
1,3
50
b. Tetangga
0,0
0
3,8
0
c. RMU
15,0
50
2,5
50
d. Pedagang Hasil Pertanian
0,0
50
1,3
50
e. Pelepas Uang
0,0
-
0,0
-
f. Lumbung Desa
0,0
-
0,0
-
2. Formal
3. Informal
Tabel 14. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani) Keterangan
MH 00/01
I. Modal Sendiri
50,0
II. Kredit
50,0
Suku bunga (%) 8
MH 01/02
Suku bunga
98,7
8
1,3
1. Program Bersubsidi a. KUT
20,0
10,5
1,3
10,5
b. PKP
0,0
10,5
0,0
10,5
c. KKP
0,0
10,5
0,0
10,5
a. Bank Komersial
5,0
24
0,0
24
b. Koperasi
1,0
32
0,0
32
c. Pegadaian
0,0
-
0,0
-
a. Pedagang Saprodi
12,0
50
0,0
50
b. Tetangga
0,0
-
0,0
-
2. Formal
3. Informal
c. RMU
12,0
50
0,0
50
d. Pedagang Hasil Pertanian
0,0
-
0,0
-
e. Pelepas Uang
0,0
-
0,0
-
f. Lumbung Desa
0,0
-
0,0
-
225
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN 1. Peningkatan kinerja industri benih dengan sasaran output benih padi bersertifikat label biru (benih ES) perlu terus diupayakan melalui pemantapan beberapa aspek: (a) perbaikan pelaksanaan sertifikasi, sehingga petani mendapatkan benih padi ES berkualitas sesuai dengan standar yang berlaku, dan (b) program restrukturisasi industri benih perlu terus diupayakan melalui peningkatan peran penangkaran swasta sehingga industri benih semakin kompetitif, dan (c) ketersediaan dana dan fasilitas yang memadai guna menunjang terobosan teknologi benih dalam upaya mengatasi gejala stagnasi inovasi teknologi lembaga penelitian, dan (d) adanya kejelasan ‘hak patent’ bagi para breeder dalam menemukan suatu varietas baru. 2. Mekanisme pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan ketersediaannya memadai dengan harga yang kompetitif di tingkat petani. Guna terus mendukung mekanisme pasar pupuk bekerja baik perlu difasilitasi dengan beberapa instrument sebagai berikut: (a) perbaikan sistem sertifikasi sehingga petani terhindar dari pemanfaatan pupuk palsu, (b) peningkatan efisiensi dan daya saing industri pupuk dalam negeri perlu terus diupayakan agar mampu berkompentisi dengan pupuk impor, dan (c) kontrol yang ketat dari pemerintah dalam rangka antisipasi mencegah terjadinya kartel yang dibentuk oleh penyalur-penyalur swasta. 3. Sumber pembiayaan informal banyak dimanfaatkan petani dalam upaya mengatasi
226
masalah pembiayaan usahatani. Salah satu sumber pembiayaan dalam membiayai kegiatan usahataninya berasal dari lumbung desa. Keberadaan lumbung desa tidak hanya mengandung nilai sosial dalam komunitas setempat, namun juga mengandung unsur manfaat ekonomi, sekaligus mampu menunjang ketahanan pangan bagi masyarakat setempat. Pengembangan dan pemberdayaan lumbung desa dapat merupakan salah satu alternatif untuk mendukung perekonomian daerah, khususnya sumber permodalan petani. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., dan Kariyasa, K. 2000. Perumusan Kebijaksanaan Harga Gabah dan Pupuk Dalam Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Sudaryanto, Tahlim. 2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konservasi Lahan. LPEM – FEUI). PT Pusri. 2000. Perkembangan Industri Pupuk di Indonesia. PSE. 2000. Dampak penghapusan Subsidi Benih Terhadap Usahatani Dan Usaha Perbenihan Serta Implikasinya Bagi Pengembangan Industri Perbenihan Padi Nasional. PSE–DAI. 2001. Kelembagaan Pasar Input-Output Pertanian. Rachman Benny, Saptana, Supena, dan I Wayan Rusastra. 2001. Situasi Pasar Sarana Produksi dan Gabah Serta Kemampuan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
BBU
SS
BBP
SS ES
Puslitbang Komoditas
BS
Ditjen Benih
BS
BBI
FS
Penangkar swasta
ES
Petani
ES
Keterangan : BS = breeder seed FS = foundation seed SS = stock seed ES = extension seed BBI = Balai Benih Induk BBU = Balai Benih Utama BBP = Balai Benih Pembantu
PT. SHS PT. Pertani
SS
Gambar 2. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Padi Secara Formal
ES
Penyalur
BBU
BPP
SS
SS
ES
SS
Puslitbang komoditas
Ditjen Benih
BS
BS
BBI
FS
Petani penangkar
SS/ES
BS
Kebun percobaan
Petani
SS/ES
FS
Penangkar swasta
BUMN PT. SHS PT. Pertani
SS/ES
ES
Dsitributor
SS/ES
Keterangan : BS = breeder seed FS = foundation seed SS = stock seed ES = extension seed BBI = Balai Benih Induk BBU = Balai Benih Utama BBP = Balai Benih Pembantu
Gambar 3. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Padi Aktual di Lapangan
Penyalur
Petani menyimpan benih sendiri Pertukaran benih antar petani Petani membeli benih dari pasar lokal