PAPER CRITICAL REVIEW : SISTEM MULTIAGENT PADA WIRELESS SENSOR NETWORK Oleh : Seno Adi Putra (33213009) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung Email :
[email protected]
I. Pendahuluan Saat ini perkembangan teknologi sensor semakin pesat, dengan pengembangan kapabilitas tidak hanya pada aspek pengindraan dan signal acquisition, namun memiliki kapabilitas dalam melakukan komputasi dan komunikasi dengan perangkat lainnya. Sensor ini dinamakan sebagai Wireless Sensor Network (WSN) yang juga memanfaatkan teknologi internet sebagai media komunikasinya. WSN memiliki beberapak karakteristik : alokasi energi dan bandwidth terbatas, unattended ad hoc deployment, cakupan skala luas, high noise dan fault rate, lingkungan yang dinamis dan tak menentu, serta memberikan dampak pada pengembangan aplikasi yang variatif seperti structural monitoring, bio-habitat monitoring, industrial monitoring, disaster management, military surveillence, dan building security. Karakteristik ini memberikan tantangan bagi pengembangan WSN selanjutnya. Paper ini menjelaskan critical review tentang beberapa paper terkait dengan implementasi multiagent system pada WSN yang dapat dijadikan state of the art penelitian. Paper ini dibagi ke dalam sub bab : (2) Teori multiagent system; (3) Analisis perbandingan framework pengembangan Sistem Multiagent; (4) Analisis perbandingan arsitektur sistem mobile agent pada WSN; (5) Analisis Perbandingan Mobile Agent Platform pada WSN; (6) Analisis perbandingan metode Mobile Agent Itinerary Planning di WSN; dan (7) Analisis perbandingan contoh aplikasi WSN berbasis multiagent yang sudah dikembangkan. Berdasarkan [6], untuk mendisain WSN berbasis mobile agent dengan efisiensi tinggi, terdapat 4 katageori isu yang perlu dikaji, yaitu isu arsitektur, isu itinerary planning, isu middleware design, dan isu hardware Design. II. Teori Multiagent System Menurut [8], Agent adalah sistem komputer yang memiliki kapabilitas melakukan aksi yang otonom di lingkungan tertentu untuk mencapai tujuan yang didelegasikan kepadanya. Agent yang intelligent memiliki perilaku reaktif, proaktif, dan sosial. Sistem reaktif adalah sistem yang memelihara interaksi yang sedang berjalan dengan lingkungannya dan memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi. Sistem reaktif adalah sistem yang menjaga keberlangsungan interaksinya dengan lingkungannya dan merespon perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Proaktif (goal directed behaviour) berarti agent menghasilkan dan berusaha untuk mencapai goal, tidak hanya didorong oleh event, namun punya inisiatif dan mengenali opportunity. Kemampuan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan agent lain (dapat juga manusia) melalui kerja sama, koordinasi, dan negosiasi. Istilah umumnya adalah kemampuan untuk berkomunikasi. Propertiproperti agent lainnya adalah mobility, veracity (ketelitian), benevolence (dapat bekerja sama), rationality, dan learning/Adaption. Sejalan dengan sistem komputer yang semakin komplek, diperlukan abstraksi dan metafora yang lebih powerful untuk menjelaskan operasi sistem komputer. Penjelasan low level menjadi tidak praktis. Intentionalstance adalah salah satu bentuk abstraksi itu. Intentional notion adalah bentuk tool abstraksi yang memberikan kenyamanan dan cara yang familiar untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi perliku sistem komplek. Pengembangan terpenting dalam komputasi adalah berbasis pada abtraksi baru, yaitu abstraksi prosedural, tipe data abstrak, dan obyek-obyek. Menurut Daniel Dennett istilah intentional system mendeskripsikan entitas-entitas yang perilakunya dapat diidentifikasi oleh metode pengatributan belief, desire, dan rational acumen. Agent, sebagai intentional system, merepresentasikan abstraksi powerful lebih lanjut. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
1
Arsitektur Belief, Desire, Intention (BDI) adalah arsitektur agent yang populer. Salah satu arsitektur BDI yang terkenal adalah Procedural Reasoning System (PRS). Arsitektur ini digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Arsitektur PRS menurut [9] Pada sistem PRS, belief merepresentasikan informasi yang dimiliki agent terkait dengan lingkungannya. Desire merepresentasikan tugas-tugas yang diberikan kepada agent sesuai dengan obyektif atau tujuan yang harus dicapainya. Intention merepresentasikan desire yang agent komitmen lakukan. Plan menentukan beberapa daftar aksi-aksi yang dapat dilakukan agent untuk mendukung intention-nya. Empat struktur data ini dikelola oleh intrepeter agent yang bertanggung jawab dalam memperbaharui belief dari hasil observasi lingkungan, menghasilkan desire baru (pekerjaan) sebagai dasar belief baru, dan memilih beberapa set pekerjaan yang harus dilakukan sebagai intention-nya. Selanjutnya intrepeter memilih aksi yang harus dilakukan. Sistem Multiagent adalah sistem yang terdiri dari agent-agent yang berinteraksi satu sama lain untuk melakukan kerja sama, koordinasi, dan negosiasi. Kerja sama adalah bekerja secara bersama-sama untuk meraih goal bersama, biasanya didorong oleh pernyataan bahwa “tidak ada satu agent yang bisa mencapai goalnya sendirian” atau “Kerja sama akan menghasilkan hasil yang lebih baik (misalnya, proses berjalan cepat)”. Koordinasi adalah mengelola ketergantungan antar aktifitas, sebagai contoh, jika agent ingin menggunakan resource yang tidak di-share, maka perlu dilakukan koordinasi. Beberapa alasan agent perlu koordinasi adalah : (1) tujuan agent (goal) dapat menyebabkan konflik di antara aksi-aksi agent, (2) dalam mencapai tujuan, agent dapat saling ketergantungan antar satu agent dengan agent lainnya, (3) agent memiliki kapabilitas dan pengetahuan berbeda, (4) tujuan agent dapat tercapai dengan cepat jika agent berbeda pekerjaan dan kapabilitas bekerja sama secara terkoordinir. Negosiasi adalah kemampuan untuk mencapai persetujuan terkait dengan kepentingan umum, biasanya melibatkan offer dan counter-offer, dengan kompromi-kompromi yang dibuat oleh partisipan-partisipan. Teknik koordinasi penting untuk alokasi pekerjaan dan sumber daya di antara agent dan penentuan struktur organisasi adalah protokol contact net. Pendekatan ini berdasarkan struktur terdesentralisasi di mana agent-agent berperan dalam dua peran, yaitu manajer dan kontraktor. Dasar pemikiran dari bentuk koordinasi ini adalah jika sebuah agent tidak dapat menyelesaikan masalah yang diberikan kepadanya menggunakan sumber daya lokalnya, maka dilakukan dekomposisi masalah ke dalam sub-masalah dan mencoba mencari agent lain yang dapat menyelesaikan sub masalah tersebut. Secara umum penyelesaian sub masalah ini terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) pengumuman kontrak oleh agent manajer, (2) pengiriman penawaran oleh agent kontraktor sebagai respon pengumuman kontrak, dan (3) evaluasi penawaran yang telah dikirim oleh kontraktor dan menentukan agent kontraktor yang akan dipercaya untuk menyelesaikan sub masalah. Gambaran umum tiga tahap ini diilustrasikan pada Gambar 2 berikut ini.
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
2
Gambar 2. Fase-fase pada protokol contract net III. Analisis Perbandingan Framework Pengembangan Sistem Multiagent Saat ini bahasa komunikasi agent yang banyak digunakan dan dipelajari adalah FIFA (Foundation for Intelligent Physical Agents ) ACL (Agent Communication Language). Saat ini FIFA dikembangkan sebagai standar aktifitas IEEE, bernama FIPA-IEEE. Beberapa kelompok kerja melakukan pekerjaan pada area agent dan interoperabilitas web service, komunikasi manusia-agent, mobile agent, dan peer-to-peer agent pengembara. FIPA menurut [9] secara umum memiliki kesuksesan sebagai berikut: 1. Set spesifikasi standar yang mendukung komunikasi antar agent dan layanan-layanan middleware kunci. 2. Arsitektur abstrak yang menyediakan tampilan luas terhadap standar-standar FIPA2000. Arsitektur ini melengkapi Java Community Project bernama Java Agent Service (JAS) (JSR82). 3. Bahasa komunikasi agent yang dispesifikasi secara baik bernama FIPA ACL. JADE (Java Agent Development Environtment) merupakan agent platform yang mengikut standar FIPA. JADE menerapkan spesifikasi manajemen agent secara lengkap sebagaimana di definisikan oleh FIPA seperti Agent management System (AMS), Directory Facilitator (DF), Message Transport Service (MTS), Agent Communication Channel (ACC). JADE juga menerapkan FIPA Agent Communication Stack mulai dari FIPA ACL untuk struktur pesannya, FIPA SL untuk ekspresi konten pesan, ditambah dukungan untuk interaksi FIPA dan protokol transport. JADE juga mendefinisikan komponen-komponen di luar yang didefinisikan FIPA seperti terdistribusi, fault tolerant, arsitektur kontainer, arsitektur service internal, persistent message delivery, semantic framework, mekanisme keamanan, mobilitas agent, interaksi web service, antarmuka grafis, dan sebagainya. Beberapa agent framework telah dikembangkan untuk lingkungan desktop. Seiring dengan perkembangan teknologi mobile phone, banyak pengembangan framework serupa untuk diterapkan di lingkungan yang serba memiliki keterbatasan misalnya Java ME CLDC. Jadi saat ini, framework agent dibagi ke dalam kedua kategori, yaitu untuk lingkungan desktop dan lingkungan CLDC. Salah satu lingungan CLDC yang cukup terkenal adalah Agent Factory Micro Edition (AFME). Contoh framework yang serupa adalah JADE LEAP, 3APL-M, SAGE LITE, dan CourgaarME. JADE LEAP, CougaarME, MicroFIPA-OS, dan SAGE Lite merupakan framework pengembangan teknologi agent, namun berbeda dengan AFME, framework tersebut tidak reflective (kemampuan melakukan penalaran tentang dirinya) dan tidak menggunakan bahasa pemrograman abstrak yang berbasis pada teori agent rasional. 3APL-M dengan AFME memiliki kesamaan di mana keduanya memiliki kapabilitas penalaran, namun 3APL-M tidak memiliki komponen jaringan [10] sedangkan AFME memiliki komponen tersebut melalui message transport service. Ukuran kode program AFME relatif kecil dibandingkan dengan framework lainnya di mana infrastruktur intinya berukuran hanya 77 Kb. Menurut eksperimen yang dilakukan [10], diperoleh bahwa AFME waktu eksekusinya daripada 3APLM, namun demikian 3APL-M memiliki fitur-fitur yang tidak didukung AFME di mana 3 APL-M menggabungkan prolog engine di dalamnya. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
3
IV. Analisis Perbandingan Arsitektur Sistem Mobile Agent pada WSN Berdasarkan paper [1] dideskripsikan survey tentang aplikasi-aplikasi mobile agent di WSN beserta isu-isu penelitian terkait dengan pengembangannya. Paper ini mendeskripsikan aplikasi-aplikasi dan arsitektur penyebaran data berbasis mobile agent di WSN. Paper ini juga menjelaskan fungsionalitas disain agent ke dalam empat komponen, yaitu arsitektur, itinerary planning, middleware system design, dan agent cooperation. Hal penting dari paper [1] adalah penjelasan secara umum, namun jelas dan mudah dipahami, tentang aplikasi-aplikasi yang menerapkan mobile agent seperti visual sensor network dan target tracking. Pada bagian pendahuluan, paper ini menjelaskan secara singkat dan jelas dua pradigma penyebaran data pada WSN, yaitu berbasis client-server dan berbasis mobile agent. Menurut paper [1], paradigma client-server merupakan metode tradisional penyebaran data di WSN. Kemunculan event me-trigger node-node sumber di sekitarnya untuk mengumpulkan dan mengirim data ke sink sendiri-sendiri. Jumlah aliran data umumnya sama dengan jumlah node-node sumber sehingga menyebabkan konsumsi bandwidth dan energi yang cukup tinggi. Pendekatan ini menyebabkan ketidakseimbangan konsumsi energi di jaringan karena node-node yang lebih dekat dengan sink akan mengirim lebih banyak data, yaitu data miliknya maupun data yang dititipkan dari node lain. Paradigma client-server, menurut [1], pada WSN ditunjukkan pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Arsitektur client-server pada WSN menurut [1] Lebih lanjut paper [1] mendeskripsikan pendekatan berbasis mobile agent sebagai alternatif pendekatan arsitektur dari WSN. Pada pendekatan ini sink node mengirimkan mobile agent ke area target untuk mengunjungi node satu per satu, data-data sensor dikurangi dan dikumpulkan oleh agent, dan selanjutnya sesuai dengan instruksi mobile agent, data-data tersebut dikirim kembali ke sink. Pendekatan ini menghasilkan satu aliran lalu lintas data daripada banyak aliran lalu lintas data. Gambar 4 berikut mendeskripsikan pendekatan arsitektur WSN berbasis mobile agent menurut [1].
Gambar 4. Arsitektur mobile agent pada WSN menurut [1] Khusus penjelasan arsitektur mobile agent, paper [1] secara jelas mendeskripsikan tantang dua tipe arsitektur WSN berbasis mobile agent, yaitu : Architecture in Hierarchical Sensor Network dan Architecture in Flat Sensor Network. Pada architecture in Hierarchical Sensor Network peran atau kapabilitas setiap node tidak sama. Sensor disegmentasi dalam bentuk cluster sehingga metode diseminasi data terdiri dari : 1. Intra-cluster : Setiap cluster head memberangkatkan mobile agent yang akan mengunjungi semua anggota cluster satu per satu untuk menghimpun dan melakukan aggregasi data. Setelah mobile agent kembali ke cluster head-nya, mobile agent ini akan mengirimkan data yang sudah diaggregasi ke sink node. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
4
2. Inter-cluster : Metode ini tidak melibatkan operasi mobile agent di dalam cluster, melainkan mobile agent bermigrasi di antara cluster head dan processing center. Architecture in Flat Sensor Network dibagi ke dalam dua pendekatan arsitektur, yaitu Mobile AgentBased Distributed Sensor Network (MADSN) dan Mobile Agent-Based WSN (MAWSN). MADSN merupakan paradigma berbasis agent pertama yang bisa diadopsi baik hierichcal dan Flat WSN. Pada paradigma ini sink memberangkatkan beberapa mobile agent untuk secara langsung mengumpulkan data di area target. Node-node sumber diasumsikan dekat dengan sink. Namun, metode ini menyebabkan overhead yang besar ketika mengirimkan kode-kode mobile dari sink ke sensor node setiap saat. Pada MAWSN, dimungkinkan dilakukan pengurangan redudancy informasi di level : 1. Node. Data mentah, yang dihasilkan oleh masing-masing sensor node, dikurangi oleh child agent. Lalu, hanya informasi relevan yang dikirim ke sink. 2. Child agent. Ketika node-node saling berdekatan, maka pengukuran node-node tersebut akan menampilkan tingkat korelasi yang tinggi. Jadi, perlu dilakukan aggregasi data untuk mengurangi redudancy data sensor dari satu event tunggal ketika child agent mengunjungi node-node sumber yang mendeteksi event tersebut. 3. Mother Agent. Setelah agent-agent anak kembali ke mother agent, mother agent selanjutnya mengurangi redudancy yang terjadi di data yang terkumpul oleh berbagai child agent. Menurut [1] MADSN dan MAWSN diilustrasikan dengan Gambar 5 berikut ini.
(a) (b) Gambar 5. Arsitektur berbasis mobile agent pada flat sensor network menurut [1]: a) MSDSN; b) MAWSN Penjelasan tentang itinerary planning pada [1] tidak terlalu detil yang hanya menjelaskan pembagian tipe mobile agent, yaitu static planning, dynamic planning, dan hybrid planning. Itinerari planning mencakup dua isu yang harus diselesaikan oleh sink dan mobil agent secara otonom, yaitu pemilihan set node-node sumber yang akan dikunjungi oleh mobile agent dan penentuan urutan kunjungan ke sumber-sumber dengan mempertimbangkan efisiensi energi. Pada static planning, Agent itinerari ditentukan sepenuhnya oleh sink node sebelum agent diberangkatkan. Dispatcher menggunakan informasi network global terkini dan mendapatkan jalur agent efisien sebelum mobile agent dikirim. Ada dua pendekatan static planning, yaitu local closest first (LCF) dan global closest first (GCF). Misalkan LCF dan GCF berjalan pada sensor node yang sama yang dekat dengan dispatcher, lalu LCF mencari node berikutnya dengan jarak terpendek dengan node yang saat ini berjalan, sedangkan GCF mencari node berikutnya yang dekat dengan dispatcher. Algoritma genetik dapat digunakan untuk mobile agent itinerary planning dimana setiap node tidak dikunjungi berulang-ulang dalam satu putaran. Meskipun optimasi global akan diperoleh, namun penggunaan algoritma ini bukan solusi yang ringan untuk sensor node yang memiliki energi terbatas. Pada dynamic planning dimungkinkan setiap mobile agent menentukan node berikutnya untuk dikunjungi pada setiap titik pemberhentian di jalur migrasinya. Rute agent dinamis harus memperhatikan trade-off antara biaya migrasi dan keakuratan migrasi. Pendekatan Dynamic planning mencari sensor node yang memiliki sisa energi yang terbesar membutuhkan konsumsi energi paling sedikit untuk migrasi agent, dan menyediakan informasi yang lengkap atau akurat. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
5
Pada Hybrid Planning, pemilihan set kunjungan node sumber adalah statik, sedangkan keputusan urutan kunjungan node sumber adalah dinamis. Pada Hybrid Planning diperkenalkan kosep Mobile Agent-Based Directed Diffusion (MADD) di mana jika sumber di area target mendeteksi event yang diharapkan, sumber-sumber tersebut mengirim paket-paket exploratory ke sink. Berdasarkan paket-paket ini sink secara statistik memilih sumber-sumber yang akan dikunjungi oleh mobile agent, lalu mobile agent secara otonom memutuskan urutan kunjungan ke sumber. Paper [1] sangat membantu para peneliti yang ingin memulai penelitiannya di bidang mobile agent di WSN. Salah satu kelemahan paper ini adalah tidak terlalu membahas secara rinci tentang middleware system design dan agent cooperation sehingga perlu pendalaman paper lain. Pada paper[6] dijelaskan lebih rinci tentang Multiple MA-based WSN. Jika dibandingkan dnegan paper [1], konsep arsitektur yang ditawarkan sama, yaitu konsep MADSN. Paper[6] juga mendeskripsikan tiga tipe data fusion pattern, yaitu conventional pattern, single MA-based pattern, dan multiple MA-based pattern. Pada WSN yang konvensional, data yang dikumpulkan oleh sensor ditransmisikan dari sensor ke sink. Konsep ini sama dengan konsep client-server yang diajukan pada paper[1]. Pattern arsitektur yang kedua adalah berbasis single mobile agent di mana hanya satu mobile agent saja yang dikirimkan ke setiap sensor node. Terakhir, pattern yang dideskripsikan adalah Multiple mobile agent di mana pattern menurut paper[1] dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu MADSN dan MAWSN. Paper[6] lebih lanjut lagi mendeskripsikan tiga isu-isu kritis dari implementasi WSN yang tidak dijelaskan dalam paper[1], yaitu delay scalability, potential route efficiency, dan traffic load balancing. Pattern pertama berpotensi untuk terciptanya isu traffic load di mana pada jaringan WSN dimungkinkan akan terjadi banjir data, khususnya jika setiap saat sensor harus mengirim data ke sink. Pattern kedua berpotensi menyebabkan delay di mana semakin bertambah skalabilitas jaringan WSN maka akan semakin lama mobile agent bermigrasi. Pattern ketiga adalah salah satu solusi terbaik dalam mengimplementasikan mobile agent, namun demikian pattern ini juga berpotensi untuk terjadinya potential route inefficiency karena jika tidak dikelola dengan baik maka mobile agent akan melakukan rute perjalanan yang membuang energi besar. Sama halnya paper [1], paper[6] juga mendeskripsikan isu-isu penting dalam mendisain mobile agent yang efisien, yaitu isu arsitektur, isu itinerary planning, isu disain middleware, dan isu disain hardware. Keempat kategori isu ini dapat menjadi inspirasi bagi peneliti untuk memfokuskan penelitiannya di masing-masing kategori ini. V. Analisis Perbandingan Mobile Agent Platform pada WSN Menurut paper [2], mobile agent adalah entitas piranti lunak yang me-enkapsulasi perilaku dinamis dan punya kemampuan untuk bermigrasi dari satu node komputasi ke node lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas terdistribusi. mobile agent dapat mendukung pemrograman WSN pada tingkat aplikasi, middleware, dan network. mobile agent didukung oleh Mobile Agent System (MAS) yang menyediakan API untuk mengembangkan aplikasi berbasis agent, agent server yang mengeksekusi agent-agent dengan menyediakan layanan dasar seperti migrasi, komunikasi, dan pengaksesan sumber daya node. Paper [2] melakukan perbandingan contoh mobile agent Agilla, ActorNet, MAPS, dan AFME dan membantu peneliti di WSN dalam mempertimbangkan penggunaan middleware platform. Agilla[2] adalah middleware berbasis agent yang dikembangkan di atas TinyOS dan mendukung multipe agent pada setiap node-nya. Agilla menyediakan dua sumber daya fundamental pada setiap node-nya, yaitu tuplespace yang merepresentasikan ruang memory yang di-share di mana data terstruktur (tuple) disimpan dan diambil, memungkinkan agent bertukar informasi secara decouple (Tuplespace dapat diakses secara remote); dan neighbour List yang mendaftarkan alamatalamat node tetangga dalam satu hop. Neighbour List diperlukan jika sebuah agent harus bermigrasi. Pada Agilla, agent-agent dapat bermigrasi membawa kode dan state-nya, namun tidak membawa tuple-nya yang disimpan di tuplespace.
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
6
ActorNet[2] adalah platform berbasis agent yang secara spesifik dirancang untuk sensor node berbasis Mica2/TinyOS. Untuk menangani kesulitan pada migrasi kode dan interoperabilitas yang disebabkan oleh coupling yang ketat antara aplikasi dengan arsitektur-arsitektur sensor node, ActorNet menerbitkan service seperti virtual memory, context switching, dan multitasking. Fitur ini efektif mendukung pemrograman agent dengan menyediakan lingkungan komputasi yang seragam untuk semua agent, tanpa memperhatikan perbedaan piranti lunak dan piranti keras. MAPS[2] merupakan framework inovasi berbasis Java yang dikembangkan di atas teknologi Sun Spot untuk memfasilitasi pemrograman berorientasi agent di aplikasi WSN. MAPS dirancang berdasarkan kebutuhan : 1. Component-based lightweight agent server architecture untuk mencegah model kerja sama dan concurency yang berat 2. Lightweight agent architecture untuk mengeksekusi dan memigrasi agent secara efisien 3. Core service yang minimal seperti migrasi agent, penamaan agent, komunikasi agent, pengaksesan sumber daya sensor dan node (sensor, actuator, flash memory, dan radio) 4. Plug-in based architecture extension 5. Bahasa Java untuk mendefinisikan perilaku mobile agent. MAPS menurut paper[7] biasa diinteroperasikan dengan JADE framework. JADE-MAPS gateway telah dikembangkan untuk memungkinkan agent-agent JADE berinteraksi dengan agentagent MAPS. Meskipun JADE dan MAPS menggunakan platform Java, keduanya menggunakan metode komunikasi yang berbeda. JADE mengirim pesan berdasarkan standar FIPA menggunakan spesifikasi Agent Communication Language (ACL), sedangkan MAPS membuat komunikasi pesannya sendiri berbasis event. Oleh sebab itu JADE-MAPS gateway memfasilitasi pertukaran pesan antara agent-agent MAPS dengan JADE. Platform inter komunikasi MAPS dengan JADE memungkinkan pengembangan lebih lanjut aplikasi terdistribusi berbasis WSN di mana JADE digunakan pada base station/koordinator/host dan MAPS diletakkan pada sensor node. AFME menurut [2] merupakan agent paltform yang merujuk pada J2ME MIDP ringan open source dan menerapkan Agent Factory Framework yang ada. AFME ditujukan untuk sistem wireless pervasive sehingga secara spesifik AFME tidak dirancang untuk WSN. Namun, karena dukungan J2ME kepada platform sensor Sun Spot, AFME dapat diadopsi untuk pengembangan aplikasi WSN berbasis agent. AFME berbasis pada pradigma Believe-Desire-Intention di mana di dalamnya agent-agent mengikuti siklus sense-deliberate-act. AFME mendeskripsikan agent melalui mixed declarative/imperative programming model bernama Agent Factory Agent Programming Language (AFAPL), berbasis formalisme logik belief dan commitment. AFAPL digunakan untuk me-encode perilaku agent dengan menentukan aturan-aturan yang mendefinisikan kondisi-kondisi dimana komitmen diadopsi. Secara umum perbandingan platform middleware yang dijelaskan di paper[2] ditunjukkan pada Tabel I berikut ini. Tabel I Perbandingan Mobile Agent Platform Menurut [2]
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
7
Berdasarkan eksperimen yang dideskripsikan di [2], dihasilkan AFME menunjukkan kinerja yang lebih baik dariada MAPS dengan diukur waktu komunikasi agent dihitung untuk dua agent yang berjalan di node berbeda dan mengukur waktu migrasi agent. Pada komunikasi agent, keduanya berkomunikasi seperti client-server. Kelemahan paper [2] adalah tidak fokus pada obyek penelitian tentang multiagent sehingga implementasi sistem multiagent dengan menggunakan AFME tidak tergali secara lebih terperinci. Konsentrasi penjelasan paper ini lebih banyak pada perbandingan platform. Sebagai pembanding paper [2], paper[3] mendeskripsikan MASPOT, mobile agent system for Sun SPOT. Paper ini mendeskripsikan lebih detil daripada paper[2] terkait dengan implementasi mobile agent pada WSN berbasis Sun SPOT. Paper ini juga lebih fokus membahas mobile agent pada platform Sun SPOT. MASPOT menyediakan solusi terkait dengan isu kebutuhan akan reprogramming jaringan dan penghematan konsumsi energi. MASPOT merupakan mobile agent berbasis Java yang mendukung migrasi kode. Paper ini mendeskripsikan eksperimen untuk mengevaluasi jumlah energi yang dihabiskan selama migrasi kode, yaitu hanya menghabiskan 0.03% dari baterai sensor node. Selain itu, MASPOT hanya menggunakan 1.5% saja alokasi Flash memory dari node Sun SPOT. Paper [3] menjelaskan secara jelas tentang aspek-aspek utama dari Sun SPOT dan SQUAWK Platform, arsitektur umum MASPOT, deskripsi rinci dari implementasi dari mobile agent, inter-agent communication service, khususnya deskripsi komunikasi antar base station dan mobile agent. Terakhir, paper ini menjelaskan evaluasi dari biaya, dalam hal energi, dari migrasi agent. Hasil eksperimen, menurut [3], yang ditunjukkan pada Tabel II dan III menunjukkan bawa penerapan migrasi isolation (weak) lebih baik dalam hal konsumsi energi daripada penerapan migrasi kuat. Tabel II Hasil Penelitian [3] tentang Biaya Migrasi Agent
Tabel III Hasil Penelitian [3] Tentang Presentase Mean dari Baterai yang Digunakan Per Migrasi (Kapasitas Baterai : 720 mA)
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
8
Sehingga disimpulkan MASPOT yang menerapkan migrasi kuat mengkonsumsi 50% lebih baterai daripada menerapkan migrasi isolasi. Hal yang menarik dari paper [3] adalah dijelaskannya perbedaan dengan platform lain seperti MAPS dan AFME yang tidak mendukung migrasi yang kuat, dengan kata lain isolate (weak) migration, di mana kedua platform ini hanya mendukung migrasi state obyek atau data, bukan kode. Konsekuensinya, jika ingin menerapkan platform mobile agent di MAPS dan AFME, kode-kode agent yang melakukan tugas spesifik harus diinstall terlebih dahulu di sensor node. Berbeda dengan MASPOT, yang menurut [3] memungkinkan migrasi kode agent sehingga berdampak pada tidak hanya penghematan energi, namun juga adanya penghematan pada sumber daya memory. Namun demikian paper ini tidak membandingkan MASPOT dengan platform MAPS atau AFME. Kelemahan paper [3] adalah tidak dideskripsikan mekanisme migrasi kode program dalam bentuk algoritma atau sequence diagram seperti yang dijelaskan dalam paper [2]n dan menyelesaikan isu-isu CLDC yang tidak mendukung introspeksi kode program dan pencegahan loading secara dinamis obyek-obyek asing. Model agent seperti paradigma BDI yang merupakan domain menarik dalam sistem multiagent juga tidak dideskripsikan. Selain itu, contoh aplikasi terkait dengan mekanisme perpindahan mobile agent yang digunakan dalam evaluasi migrasi agent juga tidak tergambarkan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan riset terkait dengan implementasi konsep multiagent, yaitu pradigma BDI dan konsep multiagent lain seperti cooperation , negotiation, dan coordination. VI. Analisis Perbandingan Metode Mobile Agent Itinerary Planning di WSN Salah satu isu penting yang harus dipertimbangkan dalam merancang sistem multiagent pada WSN adalah itinerary. Itinerary adalah rute yang dilalui selama migrasi mobile agent. Pada paper [5] dideskripsikan secara singkat tentang teknik-teknik itinerary untuk mobile agent di WSN, seperti Local Closest First (LCF), Global Closest First (GCF), Genetic Algorithm (GA), Near-Optimal Itinerary Design (NOID), dan Tree-Based Itinerary Design (TBID). Paper ini melakukan perbandingan antar teknik-teknik tersebut terkait dengan data aggregation cost, response time, dan estimated network lifetime. Paper[6] membahas hal yang sama, namun dengan penekanan pada multiple mobile agent itinerary planning (MIP), bukan pada single mobile agent itinerary planning (SIP). Pada paper ini dijelaskan pembagian masalah MIP ke dalam empat bagian, yaitu pemilihan visiting central location (VCL) untuk setiap mobile agent, penentuan node-node sumber setiap mobile agent, penentuan urutan kunjungan ke sumber, dan iterative framework. Paper [5] membahas secara singkat tentang algoritma NOID yang mengadopsi metodemetode yang biasanya diterapkan pada masalah mendisain jaringan, bernama Esau-Williams (E-W) heuristic untuk masalah Constrained Minimum Spanning Tree (CMST) pada reqirement spesifik WSN. Algoritma ini tidak hanya menyarankan jumlah mobile agent yang digunakan untuk meminimasi biaya aggregation secara keseluruhan, namun algoritma ini juga mengkonstruksi near-optimal itinerary untuk setiap mobile agent. Secara spesifik, NOID membuat mobile agent menjadi lebih berat ketika mengunjungi sensor node tanpa kembali lagi ke PE untuk mengirim data yang dikumpulkannya. Oleh sebab itu, NOID membatasi jumlah migrasi yang dilakukan oleh individu mobile agent pada tiap kunjungan ke sensor node, dengan cara melakukan pekerjaan paralel dari beberapa mobile agent yang saling bekerja sama. Paper[6] secara ringkas mendeskripsikan riset-riset teori terkait dengan MIP yang menjadi dasar bagi penelitian di itinerary planning. Secara matematika masalah MIP dimodelkan. Didefinisikan sebuah WSN, S = {S0, S1, ...., Sn-1}, dengan graph G=(V,E), terdiri dari set n verticle, |V| = n, di mana setiap vertek i є [0, 1, ....., n-1] pada V berhubungan dengan sensor node si, i є [0, 1, ....., n-1], dan setiap edge lpq pada E berhubungan dengan wireless link antara sensor sp dengan sensor sq. Sensor so adalah sink yang mengirim keluar dan menerima mobile agent. Pada WSN terdapat m node sumber S’, di mana S’ subset dari S, dimana S’ ≠ S. Untuk merepresentasikan biaya transmisi wireless link, setiap edge lpq diberi nilai sebuah link cost cpq, p,q є [0, 1, ..., n-1], di mana dapat berupa sebuah fungsi power loss dari transmisi signal Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
9
pada wireless link lpq atau matrik lain bergantung pada disain algoritma. Diberikan matrik cost C = {cpq || lpq є E}, masalah MIP mensyaratkan set k new-optimal itinerary, I = {I0, I1, ...., Ik-1} sehingga total biaya semua itinerary di I diminimasi. Jadi dalam satu interval tugas mobile agent, total biaya pada semua itinerary, menurut [6], dapat dihitung dengan persamaan : Ctotal = ∑
∑|
|
∑
+
,
, є [0, 1, … . , − 1]
(1)
Dimana |Ii| adalah jumlah node yang dikunjungi mobile agent ke-i pada itinerary Ii, dir adalah jumlah data yang oleh mobile agent ke-i berhasil dikumpulkan dari node sumber ke-i yang telah dikunjungi pada itinerary Ii, dan L adalah ukuran awal dari mobile agent, atau panjang kode program inti, dan cpq adalah biaya yang dihabiskan pada jalur lpq yang dilalui mobile agent ke-i pada hop ke-j di itinerary ke Ii, di mana node sp seharusnya node ke-j yang dikunjungi dan sq adalah node ke j+1 yang harus dikunjungi. Ketika r = 0, node ke-0 berarti sink s0, dan hope ke-0 berarti link dari sink s0 ke node pertama, sedangkan hop terakhir dari itinerary adalah link dari node terakhir ke sink. Pada LCF, setiap mobile agent memulai rutenya dari sink, pada paper [5] istilahnya Processing Element (PE), dan mencari tujuan sensor node selanjutnya dengan jarak terpendek dengan dirinya saat ini. Pada algoritma GCF, mobile agent juga memulai itinerari-nya dari PE dan memilih sensor node yang paling dekat dengan pusat area surveillence yang nantinya akan dijadikan tujuan berikutnya. Paper [6] mendeskripsikan solusi centre location-based MIP (CL-MIP) di mana ide utamanya adalah mempertimbangkan solusi MIP sebagai versi iteratif dari SIP yang terdiri dari empat tahap, yaitu pemilihan VCL untuk sebuah MA, pengelompokkan node sumber, MA routing, dan iterasi SIP. Paper [6] selanjutnya membahas persfektif alternatif pada pengelompokkan node sumber, bernama angle gap-based MIP (AG-MIP) yang tidak dibahas dalam paper [5]. Ide utama dari AG-MIP adalah berbasis pada kriteria dimana node sumber yang memberikan informasi paling relevan diletakkan pada arah yang sama dengan sink. Oleh sebab itu metode pengelompokkan node sumber disebut sebagai direction oriented. Paper ini juga membahas singkat tentang balance minimum spanning tree MIP (BST-MIP). Kontribusi utama dari BST-MIP adalah metode ini menganalisis dampak kritis posisi geografis dari node sumber ketika melakukan pengelompokannya, lalu mengevaluasi pendekatan minimum spanning tree (MST). Algoritma ini menjadi generik dan dapat diterapkan di berbagai aplikasi sensor node. Namun, baik CL-MIP, AG-MIP, dan BST-MIP menggunakan skema empat langkah sebagaimana dijelaskan di atas. Paper [5] dan [6] juga membahas GA untuk mobile agent itinerary planning dimana memastikan bahwa setiap node tidak dikunjungi berulang-ulang dalam satu putaran. Algoritma ini memberikan kinerja yang lebih baik daripada LCF dan GCF. Namun demikian, GA mengkonsumsi waktu komputasi yang cukup lama karena algoritma ini memulai eksekusinya dengan vektor solusi yang random yang memerlukan waktu relatif lama. Meskipun optimasi global akan diperoleh, namun penggunaan algoritma ini bukan solusi yang ringan untuk sensor node yang memiliki energi terbatas dan sensor node yang ditujukan untuk aplikasi target location and tracking. Pada bagian akhir di Paper [6] dilakukan perbandingan antar algoritma-algoritma di atas. Perbandingan yang dilakukan meliputi dampak kuantitas node-node sumber terhadap biaya energi, durasi pekerjaan, dan kinerja keseluruhan atau dikenal dengan energi-delay product (EDP = energy x delay). Perbandingan ini juga membandingkan antara SIP dengan metode LCF dengan MIP. Hasil simulasi menunjukkan bahwa algoritma BST-MIP memberikan kinerja yang terbaik ketika jumlah node sumber bertambah dan LCF memberikan kinerja yang buruk. Hasil simulasi selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 6 berikut ini.
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
10
(a)
(b)
(c) Gambar 6. Hasil simulasi pengujian algoritma MIP menurut [6]: (a) dampak kuantitas node-node sumber terhadap biaya energi; (b) dampak kuantitas node-node sumber terhadap delay; (c) dampak kuantitas node-node sumber terhadap EDP Berbeda dengan paper[6], Paper[5] memfokuskan pada pengembangan algoritma NOID ke dalam TBID yang memperbaiki mekanisme dalam penentuan itinerary mobile agent dengan biaya yang lebih rendah. Secara spesifik, pengujian dilakukan berdasarkan formula akurat tentang total energi yang dihabiskan selama migrasi agent. Pada dasarnya, algoritma ini menentukan spanning tree dalam jaringan, menghitung urutan lintasan tree yang efisien (itinerary), dan memasukkan itinerary ini ke dalam mobile agent. TBID mengasumsikan model aggregasi umum di mana data setelah aggregasi tidak memiliki ukuran yang tetap. Di sini TBID lebih memperhatikan kepada fakta bahwa beban data dari mobile agent akan senantiasa bertambah selama agent-agent ini mengunjungi sensor node sesuai dengan itinerary-nya. Jadi TBID selalu memilih jalur yang biayanya rendah pada setiap hop terakhir itinerary-nya, di mana dipertimbangkan bahwa konsumsi energi ketika trafik data yang bertambah cukup besar. Lebih lanjut lagi, pertimbangan mempartisi sensor node pada multiple itenerary akan mengurangi beban maksimum yang harus dipikul oleh setiap mobile agent selama itinerary-nya. Selain pertimbangan hemat konsumsi energi selama proses itinerary setiap mobile agent, paper[5] juga mendeskripsikan algoritma TBID yang memberikan solusi terbaik terhadap waktu delay mobile agent ketika berangkat dari PE dan kembali lagi ke PE (round-trip time). Simulasi ditunjukkan untuk mengkonfirmasi bahwa metode yang diusulkan menghasilkan itinerary dengan konsumsi energi secara keseluruhan yang lebih rendah dan delay yang rendah daripada metode heuristic lainnya. Gambar 7 berikut ini adalah hasil simulasi yang dideskripsikan pada [5] terkait kinerja algoritma itinerary planning.
Gambar 7. Hasil simulasi pengujian algoritma itinerary planning menurut [5]: a) dampak biaya terhadap jumlah sensor node; b) dampak waktu respon terhadap jumlah sensor node Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
11
Secara umum paper [5] dan [6] memberikan inisiasi pengetahuan yang baik dalam mempertimbangkan alternatif algoritma yang digunakan untuk menyelesaikan isu di itinerary planning. Namun, paper tersebut hanya mendeskripsikan simulasi saja, belum masuk ke tataran eksperimen dengan menggunakan platform tertentu. Untuk itu, diperlukan kajian atau penelitian lain yang melakukan eksperimen langsung ke platform WSN spesifik. Selain itu metode optimasi terkait itinerary planning yang lainnya perlu dieksplorasi lebih lanjut. VII. Analisis Perbandingan Contoh Aplikasi WSN Berbasis Multiagent yang Sudah Dikembangkan Paper [4] mendeskripsikan tentang implementasi sistem multiagent pada sensor node pada studi kasus kilang minyak. Lingkungan di kilang minyak merupakan lingkungan yang penuh tantangan untuk komunikasi wireless. Struktur metal yang sangat tebal dan operasi mesin yang non stop menyebabkan tingkat noise yang tinggi yang dapat mengganggu kinerja WSN dan kualitas data yang terkumpul dari transmiter sehingga menghasilkan outlier. Berdasarkan [4], arsitektur sistem multiagent yang digunakan bertopologi hierarchical multiagent system (HMAS) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8 berikut ini.
Gambar 8. Ilustrasi arsitektur HMAS menurut [4] Topologi HMAS digunakan untuk monitoring dan kontrol di wireless sensor and actuator network (WSAN) yang di dalamnya melibatkan beberapa agent yang bertanggung jawab dalam monitoring dan agent lainnya bertanggung jawab melakukan close-loop control, melalui port DAC yang tersedia. Agent-agent ini dikoordinasi oleh master agent atau mother agent. Master agent berperan dalam pengelolaan agent-agent di bawahnya dan memonitor status komunikasi antara node lokal dengan WSAN sync atau gateway. Agent ini bertangung jawab dalam mengkoordinir agent-agent di bawahnya dalam mencapai goal yang diinginkan. Agent yang berada pada layer terendah digunakan sebagai antarmuka secara langsung, secara terdistribusi, dengan sensor. Agentagent ini melakukan query (pra proses) terhadap data-data yang dikumpulkan dari lingkungan dan melakukan ekstraksi informasi yang berguna dari data-data ini sebagaimana diperintahkan oleh master agent yang menjadi atasannya. Paper[4] mendeskripsikan skenario pengujian yang melibatkan 12 sensor node yang dipasang di area water treatment dan sink diletakkan pada portable office yang terhubung dengan komputer server Linux. Pada server ini, sebuah dispatcher software memproses paket-paket yang diterima WSN dan mengirimkan setiap paket melalui koneksi TCP/IP melalui GINSENG middleware yang berjalan pada remote PC yang disimpan di ruang pegendali kilang minyak. WSN yang digunakan adalah Crossbow’s TelosB (TPR2400). Perangkat ini adalah IEEE 802.15.4compliant dan terdiri dari delapan 12-bit ADC port dan dua 12-bit ADC lainnya untuk memonitor internal thremistor dan tegangan baterei. WSN ini juga terdiri dari dua tranduser cahaya dan tranduser kelembapan dan temperatur on board yang terkoneksi dengan 14 bit ADC port. Arsitektur WSN yang diuji coba berdasarkan [4] ditunjukkan pada Gambar 9 berikut. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
12
Gambar 9. Topologi logik WSN pada kilang minyak menurut penelitian [4] Salah satu isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam WSN adalah outlier. Ketika digunakan untuk memonitoring lingkungan, khususnya lingkungan industri, WSN dapat digunakan untuk melakukan deteksi dan klasifikasi suatu event atau bahkan WSN ini diintegrasikan dengan sistem kontrol tertentu. Oleh sebab itu, diperlukan realibilitas dan jaminan kualitas informasi yang diterima WSN. Untuk menghindari pengiriman data yang tidak akurat ke base station, diperlukan implementasi analisis data secara real time yang dilakukan di setiap sensor node. Paper [4] mendeskripsikan tentang metodologi dilakukannya deteksi dan akomodasi outlier. Karena kondisi lingkungan yang keras dan tidak menentu, sensor node dapat tidak berfungsi dengan baik, menghasilkan data yang tidak akurat ke base station. Selain itu, keterbatasan sumber daya seperti pemrosesan yang terbatas, penyimpanan data yang terbatas, bandwidth yang terbatas, dan otonomi dapat juga menyebabkan ketidakakuratan data mentah yang dibaca oleh sensor node. Inilah dikenal dengan outlier di mana sensor node membaca data yang menyimpang dari pola data yang biasanya dibaca. Kemungkinan besar sumber outlier ini berasal dari noise, data error yang disebabkan karena kegagalan hardware, atau serangan malicious. Paper[4] mendeskripsikan secara jelas tentang teknik-teknik mendeteksi oulier, khususnya yang cocok diimplementasikan di WSN. Paper ini juga menjelaskan secara umum teknik-teknik yang biasa digunakan. Sebagian besar teknik-teknik tersebut membutuhkan kapasitas memory yang besar untuk penyimpanan data dan memerlukan konsumsi energi yang cukup besar. Selain itu teknikteknik tersebut menyebabkan overhead pada komunikasi dan tidak mendukung kapabilitas komputasi terdistribusi. Oleh sebab itu, paper ini ditujukan untuk memperkenalkan teknik mendeteksi outlier secara real-time lokal dan teknik mengakomodasi skema-skema yang dapat diterapkan berupa kode program di mana kode tersebut ditanam di sensor node, dapat menjalankan thread otonom yang kooperatif, dan diimplementasikan dalam bentuk mobile agent. Teknik-teknik yang dideskripsikan pada paper [4] terkait dengan deteksi outlier dan akomodasinya dikategorikan ke dalam pendekatan statistical-based, nearest-neighbour-based, clustering-based, classification-based, dan spectral-decomposition-based. Lebih lanjut dijelaskan pada paper ini tentang statistical-based yang dibagi ke dalam dua metode, yaitu parametik dan nonparametrik. Kedua metode ini menitik beratkan kepada distribusi probabilitas untuk melakukan karakteristik data set atau time seri ketika melakukan evaluasi sampel data mentah secara statistik. Metode nearest-neighbour menitik beratkan pada matrik-matrik yang meghitung jarak antara obyek-obyek atau sample-sample dengan interpretasi geometrik. Eucledian norm dan Mahalanobis distance adalah pilihan umum yang banyak digunakan untuk atribut yang univariate dan multivariate. Pada teknik berbasis clustering, data set dikelompokkan ke dalam cluster yang memiliki atribut yang sama. Sebuah obyek dapat dikatakan sebagai outlier jika obyek tersebut berada di luar cluster yang ditentukan. Metode berbasis classification menitik beratkan pada teknik machine learning yang mencoba memahami dataset yang tersedia. Kelemahan teknik ini adalah secara komputasi terlalu komplek untuk diterapkan secara real time di sensor node. Terakhir, pendekatan spectral-decomposition yang menitik beratkan pada analisis komponen-komponen dasar untuk mengidentifikasi mode-mode normal dari perilaku dataset. Pendekatan ini menghasilkan kompleksitas komputasi yang tinggi. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
13
Paper[4] sangat membatu menginisiasi para peneliti yang ingin megetahui teknik-teknik yang dapat dipertimbangkan dalam mendeteksi outlier dan akomodasinya. Paper ini mengusulkan teknik lain yang dapat diimplementasikan secara real time lokal, yang berasumsi frekuensi sampling tinggi sehingga algoritma harus dibuat seefisien mungkin. Lebih lanjut lagi, karena pembacaan sensor dapat digunakan untuk pengambilan keputusan, maka sample yang diidentifikasi sebagai outlier tidak dihapus. Namun demikian, paper ini lebih memfokuskan kepada pencegahan ketidakakuratan data pada data-data time seri sementara. Pendekatan yang diusulkan pada paper[4] adalah pendekatan statistika univariate yang diterapkan pada sensor yang melakukan penginderaan terbatas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa variabel lingkungan tunggal diobservasi melalui pembacaan sensor dan digunakan untuk menentukan batasan threshold untuk operasi kontrol. Penyimpangan dari batasan ini akan diindikasikan sebagai oulier. Metodologi ini biasanya diterapkan dalam bentuk grafik Shewhart control. Batas atas (Δu) dan batas bawah (Δl) pada grafik Shewhart adalah garis kritis untuk meminimasi nilai false outlier dan missed detection. Gambar 10 berikut ini menunjukkan grafik Shewhart menurut [4].
Gambar 10. Ilustrasi grafik Shewhart menurut [4] Teori hipotesis statistik dapat digunakan untuk memprediksi suatu nilai false outer dan missed detection. Misalkan variabel monitoring z, yang memiliki deviasi dari titik tengahnya, ź, adalah additive error dan nilai z mengikuti distribusi Gaussian N(ź, σ2) dengan standar deviasi σ; lalu probabilitas P di mana z berada dalam interval yang ditentukan dihitung berdasarkan : P{z < (ź - cα/2 σ)} = P{z > (ź + c α/2 σ)} = P{(ź - cα/2 σ) ≤ z ≤ (ź + cα/2 σ)} = 1 – α
(1) (2)
di mana cα/2 adalah standard normal deviation dan α adalah tingkat signifikansi dimana menentukan tingkat tradeoff antara nilai false outlier dan missed detection. Beberapa nilai yang umum digunakan pada standard normal deviation meliputi cα/2 = {1.0; 1.5; 3.0}. Pada kasus standard normal deviation cα/2 = 1.5, probabilitas P{(ź - cα/2 σ) ≤ z ≤ (ź + cα/2 σ)} adalah 86.64% Paper[4] menyinggung sedikit tentang metode-metode berbasis incorporation sample seperti cumulative sum control chart dan exponentially weigthed moving average control chart. Meskipun paper ini tidak membahas lebih rinci terkait dua metode ini, namun memberikan inisiasi kepada pembacanya untuk mengeksplorasi metode tersebut dan memilihnya dengan tepat sesuai dengan kebutuhan. Inti dari eksperimen yang dideskripsikan pada paper [4] adalah ingin mendeteksi outlier. Eksperimen ini mengevaluasi kinerja terkait dengan pembacaan data dari flow rate dan static pressure transmitter yang dipasang pada ADC port dari beberapa node dan mengirimkan data tersebut ke base station. Hasil eksperimen ditunjukkan pada Gambar 11 berikut ini. Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
14
Gambar 11. Deteksi dan akomodasi outlier pada transmiter flow dan pressure menurut penelitian [4] . Outlier direpresentasikan dengan titik berwarna merah dan berdasarkan mekanisme akomodasi yang diterapkan, titik-titik ini diganti dengan first-order prediction based pada regresi linear dari dataset yang disampling. Garis berwarna biru adalah data time seri yang dikirim ke sink. Dari eksperimen ini disimpulkan bahwa implementasi real-time outlier detection dan accommodation framework membuktikan kelayakan dan efektifitas yang memberikan kontribusi secara meyakinkan pada perbaikan kualitas data yang dikirim ke sink. Data-data yang memperkuat pembuktian ini juga ditampilkan dalam paper [4]. Sebagai pembanding pada aplikasi WSN yang menerapkan konsep agent, paper [7] mendeskripsikan salah satu aplikasi menarik bernama body sensor network (BSN). Di antara domain WSN, BSN meliputi sensor psikologis wireless yang dapat ditempel pada tubuh manusia untuk tujuan medis maupun non medis, dan secara khusus, melalui BSN dimungkinkan adanya pengawasan yang berkelanjutan, real time, terhadap makhluk hidup yang dipasang BSN. Aplikasi BSN dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi atau pencegahan dini penyakit (misalnya serangan jantung, parkinson, diabetes, dsb), alat bantu untuk kaum lanjut usia, e-Sport, e-Entertainment, rehabilitasi pasca trauma operasi, deteksi pergerakan dan gerak tubuh, pengenalan kognitif dan emosional untuk interaksi sosial, alat bantu medis ketika terjadi bencana alam, dan e-Factory. Paper [7] memperkenalkan pemrosesan sinyal berorientasi MAPS dalam lingkungan sensor node yang ditujukan untuk monitoring aktifitas manusia secara real time. Sistem ini sanggup mengenali postur tubuh (misalnya berbaring, duduk, dan diam) dan adanya pergerakan (misalnya berjalan) dari makhluk hidup yang dipasang BSN. Lebih lanjut lagi, paper ini juga menggambarkan arsitektur sistem, ditunjukkan pada Gambar 12, yang menerapkan satu entitas untuk koordinator (menggunakan PC/Smartphone) dengan Java dan JADE, serta dua sensor node yang diimplementasikan dengan MAPS.
Gambar 12. Arsitektur sistem monitoring aktifitas berbasis agent menurut [7] Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
15
Sisi kordinator, agent JADE, terdiri dari beberapa modul koordinator berbasis Java yang dikembangkan dalam konteks SPINE framework. Secara khusus, koordinator digunakan untuk aplikasi user, yaitu aplikasi pendeteksi aktifitas real-time, yang mengirimkan perintah ke sensor node dan bertanggung jawab dalam menangkap pesan dan event-event di level bawahnya. Agent koordinator JADE juga mengintegrasikan logik khusus untuk sinkronisasi dua sensor. Aplikasi pendeteksian aktifitas yang dijalankan oleh agent JADE melakukan klasifikasi mengunakan algoritma Neighbor K-Nearest yang dapat mengidentifikasi postur dan gerakan. Dua sensor node di bawahnya juga mengunakan platform Java Sun SPOT dan masing-masing ditempatkan pada pinggang dan paha atas pasien yang akan dimonitor. MAPS diimplementasikan di sensor nodes dan mendukung eksekusi Agent Sensor Pinggang dan Agent Sensor Paha, yang perilakunya dibuat model melalui siklus berikut ini: 1. pengaktifan sensor akselerometer 3 sumbu berdasarkan sampel waktu yang diberikan. 2. penghitungan fitur-fitur spesifik (fungsi mean pada semua sumbu akselerometer dan fungsi max dan min pada sumbu X akselerometer untuk Agent Sensor Pinggang dan max pada sumbu X akselerometer untuk Agen Sensor Paha untuk setiap data mentah yang dihasilkan. 3. fitur agregasi dan transmisi data ke koordinator 4. kembali ke langkah 1 Paper [7] selanjutnya menjelaskan bahwa kinerja sistem cukup baik sehingga disimpulkan bahwa MAPS cocok diterapkan untuk mendukung aplikasi BSN yang efisien. Lebih jauh lagi, tingkat akurasi deteksi juga baik apabila dibandingkan dengan hasil lain di dalam literatur yang juga mengimplementasikan lebih dari dua sensor pada tubuh manusia guna mendeteksi aktifitas yang dilakukan. Paper [4] dan [7] memberikan insirasi bagi pengembangan multiagent untuk melakukan tugas spesifik di WSN. Beberapa properti agent seperti cooporation (agent yang melaksanakan fungsi berbeda saling bekerja sama mencapai untuk tujuannya), coordination (dalam satu sensor node, agent dikoordinir oleh master agent), veracity (keakuratan), benevolence (agent yang membantu ketika diminta), rationality, dan learning/Adaption (agent melakukan penyesuaian/akomodasi terhadap outlier yang terdeteksi atau klasifikasi data) sudah diterapkan. Paper [4] cukup jelas membahas, meski tidak terlalu rinci, metode-metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengakomodasi outlier. Metode yang diusulkan dalam paper ini, yaitu univariate statistical approach, dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan mobile agent, yang mejadi antarmuka langsung dengan sensor, yang melakukan proses ekstraksi informasi dari data-data yang dihasilkan dari sensor. Sedangkan metode klasifikasi Neighbor K-Nearest pada paper [7] tidak dideskripsikan sehingga diperlukan tinjauan paper lain. Salah satu kekurangan dari penelitian yang dideskripsikan di paper [4] dan [7] adalah tidak mengoptimalkan pembahasan mengenai konsep multiagent seperti negotiation atau mekanisme komunikasi standar agent seperti FIPA atau mengimplementasikan model mixed declarative/imperative programming bernama Agent Factory Agent Programming Language (AFAPL), berbasis formalisme logik belief dan commitment sebagaimana yang dijelaskan di [2]. Selain itu, model arsitektur sistem WSN masih berupa client server, belum menerapkan konsep mobile agent atau migrasi agent. Penelitian yang dilakukan menggunakan agent lokal yang ditanam di sensor node dan data yang dikirim berbasis message payload. Hal ini dimaklumi mengingat fokus kajian dari paper[4] adalah lebih ke pendeteksian dan akomodasi outlier dan paper[7] lebih membahas ke MAPS. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan penelitian implementasi konsep multiagent secara lebih luas di WSN, salah satunya mempertimbangkan platform AFME atau MASPOT.
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
16
DAFTAR PUSTAKA 1. Min Chen, Sergio Gonzalez, and Victor C. M. Leung. “Application and Design Issues For Mobile Agent in Wireless Sensor Networks”. University of British Columbia. IEEE Wireless Communication, December 2007 2. Stefano Galzarano , Francesco Aielo, Alesio Carbone, Giancarlo Fortino. Java-Based Mobile Agent Platform for Wireless Network Sensor. the International Multiconference on Computer Science and Information Technology pp. 165–172. 2010 3. Ramon Lopes and Flavio Assis. “MASPOT: A Mobile Agent System for Sun SPOT”. LaSiD Distributed Systems Laboratory DCC - Department of Computer Science UFBA - Federal University of Bahia. Salvador, Brazil. Tenth International Symposium on Autonomous Decentralized Systems. 2011 4. Paulo Gil, Amâncio Santos, and Alberto Cardoso. “Dealing With Outliers in Wireless Sensor Networks: An Oil Refinery Application”. IEEE transactions on control systems technology.2013 5. Charalampos Konstantopoulos, Aristides Mpitziopoulos, Damianos Gavalas, and Grammati Pantziou. “Effective Determination of Mobile Agent Itineraries for Data Aggregation on Sensor Networks”. IEEE Transactions On Knowledge And Data Engineering, Vol. 22, No. 12, December 2010. 6. X. Wang, M. Chen, T.Kwon, H.C. Chao, Multiple Mobile Agents Itinerary Planning in Wireles Sensor Network : Survey and Evaluation, IET Communications, 2010, www.ietdl.org. 7. Giancarlo Fortino, Stefano Galzarano, Raffaele Gravina, Antonio Guerrieri. “Agent-based Development of Wireless Sensor Network Applications”, DEIS – University of Calabria. 2010. 8. Wooldridge, Michael. Introduction to MultiAgent System. John Wiley and Sons LTD. 2002 9. Bellefemine Fabio, Giovanni Caire, Dominic Greenwood. Chapter 2 Agent Technology Overview. Developing MultiAgent System with JADE. John Wiley and Sons LTD. 2007. 10. Conor Muldoon, Geogory M. P. O’here, Rem W. Collier, Michaerl J. O’Grady. Toward Pervasive Intteligence : Reflection on The Evolution of Agent Factory Framework. Springer Science and Business Media, LC. 2009.
Sistem Multiagent Pada Wireless Sensor Network
17