Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 – 7 Mei 2009
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN UNTUK MENGURANGI DEFISIENSI INFRASTRUKTUR JALAN MENUJU JALAN BERKESELAMATAN Dr. Ir. Agus Taufik Mulyono, M.T. Dosen Jurusan Teknik Sipil & Lingkungan FT-UGM Peneliti Senior dan Sekretaris Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM Wakil Sekjen DPP MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) Ketua Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi (FSTPT) Email :
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Keselamatan infrastruktur jalan dapat diartikan sebagai upaya dalam menanggulangi kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road crash) , yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi, namun disebabkan banyak faktor, antara lain: (1) kondisi alam (cuaca); (2) desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal, jarak pandang pengemudi); (3) kondisi kerusakan perkerasan; (4) harmonisasi rambu, marka, sinyal dan fasilitas pelengkap lainnya terhadap fungsi jalan; (5) pengaruh budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan bahkan kebijakan lokal yang berlaku dapat secara tidak langsung memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya. Kondisi tersebut sangat menuntut kerjasama yang serius antar pihak penyelenggara, pengatur dan penegak aturan di jalan raya, sehingga diperlukan kesepahaman upaya dalam mengurangi terjadinya kecelakaaan dalam bentuk sistem manajemen keselamatan untuk mengurangi defisiensi infrastruktur jalan menuju jalan yang berkeselamatan. Jalan berkeselamatan adalah jalan yang memberikan rasa aman, nyaman, mantap dan selamat karena mempertimbangkan: (1) forgiving road; (2) self explaining road; dan (3) self regulating road. Sistem Manajemen Keselamatan Infrastruktur Jalan, selanjutnya disingkat SMKIJ dikembangkan dengan pendekatan PDCA (plan-do-check-action) dari TQM (total quality management), sehingga merupakan suatu proses yang sistematis, eksplisit dan menyeluruh untuk mengelola resiko-resiko keselamatan akibat defisiensi infrastruktur jalan pada semua tahap pembangunannya. SMKIJ dapat menjamin bahwa: (1) aspek keselamatan infrastruktur jalan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan perencanaan, perancangan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya; (2) sistem basis data kecelakaan akibat defisiensi infrastruktur jalan terorganisasi dengan baik untuk bahan monitoring dan evaluasi perbaikan kinerja keselamatannya. Kata kunci: defisiensi, infrastruktur, jalan, keselamatan, manajemen
1.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Pembangunan infrastruktur jalan memiliki nilai yang sangat strategis dalam mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi wilayah dan negara. Namun demikian dibalik manfaat besar yang diperoleh, ternyata muncul beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur jalan, antara lain: (1) kecelakaan lalu lintas kendaraan akibat defisiensi keselamatan infrastruktur jalan; dan (2) polusi dan kebisingan yang dirasakan oleh pemanfaat jalan akibat kemacetan yang berkepanjangan. Setiap tahun diperkirakan rata-rata hampir 36.000 nyawa melayang di jalan raya atau hampir 30 menit terjadi 1 (satu) orang mati akibat kecelakaan di jalan raya. Dengan angka itu, Indonesia menempati peringkat ke-2 negara di ASEAN setelah Kamboja yang memiliki jumlah kecelakaan paling tinggi. Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil survai ADB (2005) yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-7 dari sepuluh negara ASEAN dalam perencanaan dan perancangan jalan berkeselamatan. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan jalan raya di Indonesia masih belum cukup mendapatkan perhatian yang serius dalam penanganan dan pencegahannya. Keselamatan jalan berhubungan erat dengan tingkat kapasitas dan investasi yang dilakukan oleh pengelola (penyelenggara) jalan. Pertumbuhan lalu lintas yang tinggi harus diimbangi pengelolaan prasarana jalan yang memadai dengan investasi (teknis maupun non teknis) yang setara. Jika tidak dilakukan, maka kondisi jaringan jalan menjadi tidak efisien dan rawan kecelakaan. Meskipun telah muncul kesadaran mengenai keselamatan jalan, seringkali kesempatan untuk mengintergrasikan keselamatan jalan dalam tahap awal perencanaan jalan dan pembangunan fisiknya sering terlewatkan.
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 131
Agus Taufik Mulyono
Secara umum, keselamatan infrastruktur jalan dapat diartikan sebagai upaya dalam menanggulangi kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road crash) , yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi, namun disebabkan pula oleh banyak faktor, antara lain: (1) kondisi alam (cuaca); (2) desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal); (3) jarak pandang pengemudi; (3) kondisi kerusakan perkerasan; (4) kelengkapan rambu atau petunjuk jalan; (5) pengaruh budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan bahkan peraturan / kebijakan lokal yang berlaku dapat secara tidak langsung memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya, misalnya penetapan lokasi sekolah dasar di tepi jalan arteri. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko dan potensi kecelakaan melibatkan banyak pihak yang masing – masing memiliki wewenang serta kepentingan sektoral yang berbeda, misalnya: Ditjen Perhubungan Darat, Ditjen Bina Marga, POLRI, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan lembaga non pemerintah serta organisasi masyarakat. Penanganan defisiensi infrastruktur keselamatan jalan raya di Indonesia dilakukan oleh 2 (dua) lembaga pemerintah, yaitu Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat. Sebagai pihak penyelenggara dan pengelola jalan, Ditjen Bina Marga memiliki wewenang dan tanggung jawab pokok dalam; (1) perencanaan dan desain jalan berkeselamatan; dan (2) perbaikan lokasi rawan kecelakaan. Sedangkan Ditjen Perhubungan Darat memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan harmonisasi rambu atau petunjuk keselamatan jalan terhadap fungsi jalan. Kedua lembaga pemerintah tersebut dalam prakteknya di lapangan belum terintegrasi secara optimal, misalnya: (1) sering dijumpai tidak adanya rambu batasan kecepatan pada tikungan jalan yang disesuaikan dengan fungsi jalan; (2) keterlambatan penanganan rambu dan marka pada permukaan perkerasan baru maupun jalan yang rusak secara struktural; (3) tidak adanya pendisiplinan terhadap papan reklame atau bangunan utilitas yang mengganggu jarak pandang; dan (4) tidak ada batasan terhadap jumlah dan jarak antar jalan akses yang bermuara di jalan utama serta didukung minimnya rambu atau papan petunjuk. Kondisi tersebut menggambarkan jalan berkeselamatan harus memenuhi 3 (tiga) aspek penting untuk meminimalkan defisiensinya, yaitu: (1) a forgiving road environment; (2) a self-explaining road; dan (3) a self-regulating road. Upaya penting yang harus segera dilakukan untuk mencapai jalan berkeselamatan terutama pada jalan eksisting yang melayani lalu lintas kendaraan adalah penyusunan sistem manajemen keselamatan infrastruktur jalan yang dirancang berdasarkan: (1) penyimpangan geometrik dan jarak pandang; (2) kondisi kerusakan perkerasan; dan (3) ketidakharmonisan rambu dan fungsi jalan. Konsep sistem manajemen tersebut harus mudah dipahami dan dapat diimplementasikan dengan tepat di lapangan sehingga mempercepat solusinya serta dapat mengintegrasikan kepentingan beberapa pihak yang terlibat dalam menciptakan jalan berkeselamatan.
2.
STUDI PUSTAKA
Faktor penyebab kecelakaan berkendaraan Kecelakaan lalulintas secara statistik dapat dikatakan sebagai peristiwa yang jarang terjadi. Di negara-negara maju, kecelakaan baru terjadi sekali dalam 80.000 kilometer jarak yang ditempuh oleh rata-rata pengemudi. Namun apabila dilihat dari agregasi jumlah dan dampak yang ditimbulkannya secara ekonomi dan kemanusiaan, penanganan tuntas atas kecelakaan lalulintas dipandang menjadi suatu hal yang sangat krusial. WHO (World Health Organisation) mencatat kurang lebih 1,2 juta nyawa melayang dan 39 juta orang terluka tiap tahunnya karena kecelakaan lalulintas dan memasukkan kecelakaan lalulintas dalam 10 besar penyebab kematian manusia. Selain itu, kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat mencapai 2% hingga 3% PDRB suatu negara. Upaya-upaya untuk meneliti faktor-faktor penyebab kecelakaan lalulintas mulai gencar dilakukan pada awal tahun 1970-an. Di Amerika Serikat, NHTSA (National Highway and Transportation Safety Administration) mendanai penelitian lapangan yang dilakukan oleh Treat, et al. (1977) atas 2000 lebih kasus kecelakaan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan faktor kesalahan manusia (selaku pengguna jalan) secara mandiri bertanggung jawab terhadap hampir 50% kejadian. Apabila digabung dengan kedua faktor lainnya, maka faktor manusia dipersalahkan pada lebih dari 95% kasus. Faktor jalan dan lingkungan secara mandiri bertanggung jawab terhadap lebih dari 42% kejadian. Jika dilihat interaksi antara faktor manusia dan infrastruktur jalan dapat dipersalahkan pada hampir 35% kasus. Kesimpulan ini tampaknya secara konsisten diperoleh pula dari penelitian-penelitian di negara lain. Penelitian mendalam di Inggris tahun 1970-an dan 1980-an juga berkesimpulan bahwa faktor manusia memegang peranan penting dan mendominasi dalam kecelakaan di jalan raya, walaupun hal ini tidak terlepas dari bagaimana respon manusia dapat mengatasi interaksinya dengan kondisi infrastruktur jalan (Sabey, 1999; Roberts & Tuner, 2008). Penelitian sejenis Treat, et al. (1977) juga dilakukan di Australia (Austroads, 2002) yang menyimpulkan faktor manusia masih dominan sebagai penyebab kecelakaan, namun lebih lanjut ditemukan fakta bahwa kelalaian manusia lebih disebabkan oleh lepas kendali interaksi antara manusia – infrastruktur jalan (24% kasus), manusia – kendaraaan (4% kasus) serta infrastruktur jalan – kendaraan (4% kasus). Penurunan proporsi interaksi faktor manusia dengan kondisi infrastruktur jalan dari 35% kasus (di Amerika) menjadi 24% kasus (di Australia) lebih disebabkan adanya perbaikan defisiensi keselamatan jalan melalui revisi desain geometrik dan lingkungan jalan serta kampanye jalan
I - 132
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sistem Manajemen Keselamatan untuk Mengurangi Defisiensi Infrastruktur Jalan Menuju Jalan Berkeselamatan
berkeselamatan. Hasil penelitian yang telah mendominasi bahwa kesalahan utama terletak pada faktor manusia (pengguna jalan) sepertinya tidak dapat ditolak dan segera menjadi pandangan umum. Berdasarkan kesimpulan ini, fokus utama penanganan kecelakaan lalulintas pada masa yang lalu ditujukan untuk mengubah perilaku mengemudi melalui publikasi, kampanye dan training-training mengemudi (Sabey, 1999, Evans, 1991). Hasil penelitian yang lebih baru tidak hanya memfokuskan pada kesalahan manusia sebagai faktor utama penyebab kecelakaan lalulintas. Pemikiran ini lebih didasari bahwa kesalahan manusia lebih banyak dipicu oleh kondisi sistem lalulintas dan jalan raya yang pada saat-saat tertentu tidak dapat diantisipasi oleh pengguna jalan. Sebagai contoh, penelitian di Universitas Leeds tahun 1989 (Carsten, 1989) atas kecelakaan di daerah perkotaan mengkategorikan lebih jauh faktor kesalahan manusia yang dipicu oleh keterbatasan jarak pandang ketika mengemudikan kendaraan (hampir 30% dari 45% kasus karena faktor manusia). Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh Reason (1990) yang menyimpulkan bahwa kesalahan yang terjadi lebih banyak bersifat ketidaksengajaan dan kealpaan, bukan pelanggaran. Kesalahan-kesalahan yang kerap berakibat fatal ini dipicu oleh lingkungan berkendaraan yang ’kejam’ dan sangat tidak pemaaf atas terjadinya kesalahan. Dalam kasus beberapa ruas jalan luar kota, kenyataan tersebut juga secara konsisten dijumpai. Meski secara statistik, jalan jarang disalahkan sebagai faktor penyebab, berbagai analisis atas lokasi kejadian kecelakaan menunjukkan bahwa kesalahan manusia lebih banyak terjadi pada tipe-tipe geometri jalan tertentu. Bahkan dalam kasus kecepatan tinggi yang sering dianggap sebagai penyebab langsung terjadinya kecelakaan didapati kenyataan bahwa kecepatan tersebut dipicu secara jelas oleh tipe-tipe lokasi tertentu (Weller, et al., 2006). OECD (1999) telah sampai pada kesimpulan bahwa sistem jaringan jalan luar kota itu sendiri memiliki karakteristik inheren yang secara signifikan berkontribusi terhadap tingginya resiko dan angka kecelakaan. Berkaitan dengan hal tersebut Rasmussen (1987) menyimpulkan bahwa dalam meningkatkan keselamatan maka sudut pandang yang lebih bermanfaat adalah dengan menggambarkan kesalahan-kesalahan manusia sebagai kejadian ketidaksesuaian antara manusia dengan mesin kendaraan atau manusia dengan tugasnya. Apabila ketidaksesuaian ini sering terjadi atau terjadi secara sistematik, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kesalahan desain jalan. Lebih jauh dikatakan, analisis atas laporan kecelakaan mengesankan bahwa aksi manusia dikategorikan sebagai kesalahan karena perbuatan itu dilakukan di dalam lingkungan yang ’tidak ramah’ atau ’kejam’. Sebagai lingkungan yang ’tidak ramah’ karena hampir tidak pernah tersedia kemungkinan bagi seseorang untuk memperbaiki efek dari kekurangsesuaian kinerjanya sebelum dia menerima akibat yang tidak diinginkan (Rasmussen, 1987). Berdasarkan sudut pandang ini, maka masalah keselamatan lalulintas bukan lagi masalah kesalahan pengemudi ataupun pengguna jalan, namun lebih pada kesalahan sistem lalulintas (termasuk infrastruktur jalan) yang memicu terjadinya kesalahan-kesalahan manusia. Hal tersebut juga didukung hasil penelitian Mulyono, et al.(2008) menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar kini berada pada pundak para penyelenggara jalan (perencana sistem jalan raya dan pengatur sistem lalulintas) yang harus mampu menciptakan indikator kuantitatif dalam monitoring dan evaluasi beberapa defisisensi keselamatan akibat penyimpangan standar teknis (geometrik, perkerasan dan harmonisasi rambu, marka dan sinyal) sehingga dapat menetapkan kategori potensi kecelakaan pada lokasi jalan tertentu.
Interaksi antara manusia, kendaraan dan lingkungan jalan Pengguna jalan dengan berbagai bentuk dan sifatnya menggunakan jalan untuk keperluan yang berbeda-beda. Pengguna jalan dapat berupa pejalan kaki, pengguna sepeda, penumpang ataupun pengendara kendaraan. Namun demikian terdapat kelompok pengguna yang secara aktif mempengaruhi tingkat keselamatan melalui aktivitas yang mereka lakukan. Kelompok ini adalah seluruh pengguna jalan, kecuali penumpang. Pengemudi salah satu pengguna aktif yang perlu mendapat perhatian dan pemahamam khusus, mengingat secara statistik aktivitas mereka merupakan faktor yang sangat signifikan berperan dalam kecelakaan di jalan raya. Fuller (2000) mengilustrasikan secara statis bahwa setiap saat aktivitas mengemudi mengharuskan seorang pengemudi untuk memenuhi suatu tuntutan yang secara simultan diberikan oleh faktor-faktor lingkungan (kondisi fisik jalan, adhesi permukaan, visibilitas), pengguna jalan lain (yang kemungkinan berpotensi untuk berinteraksi), kendaraan (sistem informasi, karakteristik operasional dan pengendalian), dan posisi jalan serta kecepatan berkendaraan. Untuk memenuhi tuntutan ini secara efektif dan selamat, seorang pengemudi mengandalkan kapabilitasnya yang dimanifestasikan sebagai kinerja. Faktor kemampuan biologis seseorang (seperti batas-batas stimulus1, kecepatan pengolahan informasi, waktu reaksi, dan kemampuan visual yang batas-batasnya secara sistematis bervariasi dalam fungsi umur), pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman membawanya pada tingkat kompetensi tertentu. Perlu disadari bahwa tingkat kompetensi ini tidak setiap saat dapat dioperasikan mengingat adanya pengaruh dari berbagai hal seperti lelah dan kantuk, emosi, tekanan, gangguan, obat-obatan, dan sebagainya yang dikelompokkan sebagai faktor manusia. Pendapat Fuller (2000) ini disajikan dalam Gambar 1. 1
Batas-batas stimulus (stimulus thresholds) adalah jumlah energi minimum dalam suatu rangsangan yang diperlukan untuk mendeteksi keberadaan rangsangan tersebut. Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 133
Agus Taufik Mulyono
Jika kinerja (K) melebihi tuntutan (T) mengemudi, maka pengemudi dapat berkendara dengan selamat, demikian pula sebaliknya akan terjadi tabrakan karena kehilangan kendali. Kondisi berbahaya ini kadang dapat dihindari jika pengguna jalan lain melakukan aksi defensif atau bermanuver menghindar sehingga secara efektif mengubah tingkat tuntutan mengemudi pada saat-saat yang kritis. Gambaran tersebut dalam kerangka yang statis, apa yang terjadi jika dimensi waktu diperhitungkan. Apa dan siapa yang sesungguhnya mengendalikan perilaku pengemudi sepanjang waktu selama dia berkendara. Untuk menjawabnya, diajukan suatu hipotesis (Fuller, 2000) bahwa dalam sebagian besar waktunya, pengemudi mengendalikan kendaraannya sedemikian rupa sehingga dia dapat mencapai tujuantujuan mobilitas dan perjalanannya sembari memastikan bahwa tingkat kesulitan mengemudi yang harus diatasinya tetap berada dalam batas-batas yang dapat diterimanya. KESELAMATAN
Faktor-faktor biologis Pendidikan & pelatihan
Pengalaman
Aksi imbangan oleh pihak-pihak lain
K
Kompetensi
Faktor manusia KINERJA (K) TUNTUTAN MENGEMUDI (T)
K>T PENGENDALIAN
Lingkungan
Posisi jalan & trayektori
Kecepatan
Pengguna jalan lainnya Kendaraan
Sumber: Fuller (2000) Gambar 1. Model antarmuka tuntutan (T) mengemudi – kinerja (K)
Psikologi beban kerja dan keselamatan jalan Konsep beban kerja telah memiliki sejarah yang cukup panjang dalam bidang psikologi. Aplikasinya dalam konteks mengemudikan kendaraan telah melahirkan suatu konsep evaluasi keselamatan jalan berbasis psikologi. Beban kerja secara sederhana diartikan sebagai ”jumlah reaksi atas kebutuhan untuk memenuhi tuntutan” (de Waard, 1996). Terkait dengan keselamatan lalulintas, terdapat paling tidak tiga macam beban kerja yang relevan, yaitu: (1) beban kerja visual; (2) beban kerja mental; dan (3) beban kerja fisik. Sedangkan dalam mengemudi, aspek beban visual dianggap sebagai beban kerja yang terpenting. Secara umum, berbagai tingkatan tuntutan kerja akan menyebabkan perbedaan tingkat kinerja dan beban kerja. Pada kondisi tuntutan kerja yang tinggi, beban kerja juga bergerak meninggi. Penambahan tuntutan kerja berikutnya tidak dapat diimbangi oleh penambahan usaha-usaha (kinerja) untuk memenuhinya karena beban kerja sudah tinggi. Kondisi beban kerja yang tinggi apabila dipikul terlalu lama akan mengakibatkan efek-efek yang negatif. Kinerja seseorang akan berada pada level terbaiknya pada saat tuntutan kerja bersifat medium. Pada kondisi ini beban kerja berada pada level rendah. Pengemudi tidak pasif dalam mentoleransi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh berbagai tingkatan tuntutan kerja, namun sebaliknya cukup aktif dalam mengatur dirinya sehingga memperoleh beban kerja yang dianggap sesuai. Hal ini terutama dilakukan dengan mengurangi kecepatan berkendaraan di jalan raya. Implikasi utama dari model beban kerja dan adaptasi beban terhadap aspek keselamatan jalan (terutama jalan luar kota) adalah nilai tuntutan kerja objektif yang dapat diubah dengan mengubah laju kecepatan kendaraan. Interaksi terus menerus antara tuntutan kerja dan kapabilitas pengemudi (atau sumber daya yang tersedia di sisi pengemudi) dapat berujung pada keselamatan mengemudi selama nilai kapabilitas melebihi tuntutan. Desain jalan yang tepat dapat dibedakan dari desain jalan yang buruk berdasarkan perubahan nilai beban kerja yang dialami pengemudi (Fuller, 2005) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Pada jalan dengan desain baik, beban kerja lebih kurang memiliki nilai yang sama, baik pada bagian tangen maupun kurva (tikungan). Inkonsistensi desain, atau pendeteksian karakteristik tikungan yang terlambat dilakukan oleh pengemudi (ketiadaan isyarat, sulit memperhatikan) akan mengakibatkan penurunan kecepatan yang terlambat dan mendadak, serta naiknya nilai beban kerja yang tiba-tiba.
3.
KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Upaya pemikiran terkini menuju penanganan keselamatan jalan secara multisektoral dan komprehensif di Indonesia Keselamatan jalan sangat terkait dengan besar kecil resiko pengguna jalan untuk mengalami kecelakaan lalulintas. Besar kecilnya resiko ini pada umumnya dapat diketahui dari statistik kecelakaan lalulintas dari waktu ke waktu. Dengan semakin majunya kajian-kajian tentang kecelakaan lalulintas, maka dapat dipahami bahwa kecelakaan I - 134
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sistem Manajemen Keselamatan untuk Mengurangi Defisiensi Infrastruktur Jalan Menuju Jalan Berkeselamatan
terjadi karena adanya satu defisiensi atau lebih dari sistem kendaraan, jalan dan lingkungan serta manusia yang saling berinteraksi. Anggapan bahwa kecelakaan adalah sebuah takdir yang tidak dapat diintervensi kejadiannya menjadi tidak mutlak lagi. Upaya menekan resiko kecelakaan umumnya melalui pengendalian ketiga sistem tersebut secara maksimal sehingga dapat selalu bekerja dalam kinerja keselamatan yang tinggi. Dengan demikian, kecelakaan yang benar-benar murni (true accident) hanya terjadi setelah seluruh upaya telah dilakukan untuk memastikan setiap sistem tersebut berada pada kondisi yang baik.
Beban kerja pengemudi
Beban kerja pengemudi Stasion [m]
Stasion [m]
Kecepatan
Kecepatan Awal kurva
Akhir kurva
Stasion [m]
1/R
Awal kurva
Akhir kurva
Stasion [m]
1/R Desain jalan yang baik
Stasion [m]
Stasion [m]
Desain jalan yang buruk
Sumber : Fuller (2005) Gambar 2. Hipotesis perbedaan kecepatan dan beban kerja antara desain jalan yang baik dan buruk Berkenaan dengan hal tersebut, Asian Development Bank (ADB, 2004) telah mengidentifikasi adanya 14 aspek yang dapat diintervensi untuk mengurangi angka dan resiko kecelakaan (Gambar 3). Secara operasional, aspek-aspek ini dikelompokkan ke dalam lima pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan 5-E, yaitu: (1) penciptaan rekayasa (Engineering); (2) pendidikan (Education); (3) penegakan hukum (Enforcement); (4) penggalakan dan penggalangan (Encouragement); dan (5) kesiapan tanggap darurat (Emergency preparedness). Keterlibatan kegiatan keselamatan oleh para stakeholder mendorong koordinasi dan komunikasi lintas sektor untuk ditingkatkan lagi sehingga sasaran dan kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien yang dapat diintegrasikan antar lembaga dan atau departemen di Indonesia. Berdasarkan gambaran yang diberikan oleh ADB (Gambar 3), maka penyelenggara jalan (dalam hal ini Ditjen Bina Marga) memiliki peran pendukung dan peran utama (leading sector). Dalam perannya sebagai leading sector, Ditjen Bina Marga perlu berupaya untuk menciptakan kondisi jalan dan lingkungannya yang ”berkeselamatan”. Hal ini dapat ditempuh melalui integrasi aspek keselamatan dalam perencanaan, desain, dan pembangunan jalan, serta perbaikan-perbaikan lokasi-lokasi jalan rawan kecelakaan. Namun untuk dapat berperan aktif dalam aspek-aspek ini, dukungan basis data kecelakaan dan riset-riset yang berkenaan dengan peran infrastruktur dalam mencegah (preventif) dan mengurangi resiko kecelakaan (protektif) mutlak diperlukan. Integrasi aspek keselamatan dalam pengadaan dan operasi prasarana jalan didasarkan pada dua prinsip filosofis, yaitu menciptakan lingkungan jalan yang senantiasa mampu “menjelaskan keadaannya pada penggunanya” (a selfexplaining road) dan lingkungan jalan yang “mengasihi” nyawa penggunanya (a forgiving road environment). Prinsip pertama menekankan pentingnya lingkungan jalan didesain dan diperlengkapi dengan berbagai perlengkapan jalan yang selalu dapat diandalkan dan dipahami oleh penggunanya, sehingga situasi yang berbahaya dapat dicegah kemunculannya. Sementara itu, prinsip kedua mengakui bahwa situasi dan kondisi berbahaya tetap mungkin terjadi sebagai akibat dari kegagalan sistem manusia. Dalam situasi ini, lingkungan jalan diharapkan masih dapat memberikan peluang yang besar bagi pengguna jalan yang terlibat untuk tidak cedera terlalu parah ataupun terenggut nyawanya. Kedua prinsip ini jelas menempatkan pengguna jalan sebagai titik pusat dalam kebijakan pengembangan infrastruktur jalan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepadanya.
Kerangka acuan logis penyusunan sistem manajemen keselamatan infrastruktur jalan Aspek keselamatan perlu mendapat perhatian yang serius pada setiap tahap pembangunan jalan, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengoperasian, hingga pemeliharaan dan evaluasi pasca proyek. Tahap-tahap pembangunan jalan itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah siklus yang kompleks, mencakup jaringan jalan yang luas, melibatkan pemanfaatan berbagai macam sumber daya dan berbagai unit dan pihak baik internal maupun eksternal Ditjen Bina Marga, dan berbagai keahlian, baik teknis maupun administratif. Dengan demikian, pengarusutamakan aspek keselamatan di sepanjang siklus pembangunan jalan memerlukan tidak hanya sekedar manajemen, melainkan sebuah sistem manajemen yang dapat menjamin aspek ini diperhatikan pada setiap Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 135
Agus Taufik Mulyono
tahapannya secara sistematis dan berkesinambungan. Untuk itu, pemikiran ini merekomendasikan sebuah sistem manajemen untuk mengawal integrasi aspek keselamatan sepanjang tahap pembangunan jalan yang disebut sebagai Sistem Manajemen Keselamatan Infrastruktur Jalan (SMKIJ). Sistem ini bukan sebuah kotak hitam yang akan menjawab semua tantangan. Berbagai hal lain yang memiliki andil dalam mensukseskan implementasi sistem tersebut adalah adanya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian terhadap permasalahan kritis keselamatan jalan, fungsi dan arah kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan jalan saat ini, sistem manajemen pembangunan jalan yang telah dijalankan, keberadaan dan pelaksanaan norma-standar-pedoman-manual pembinaan jalan, koordinasi dan pembagian wewenang antar dinas pembina jalan, dan berbagai hal yang terkait dengan otonomi dan kemandirian daerah.
Polisi lalulintas dan penegakan hukum Perhitungan biaya kecelakaan lalulintas
Pertolongan pertama bagi korban kecelakaan
Standar keselamatan kendaraan
Koordinasi & manajemen keselamatan jalan
Kecelakaan lalulintas (crashes) dan faktor-faktor penyebabnya interaksi manusia
interaksi
Kecelakaan lalulintas
Sistem data kecelakaan lalulintas Perencanaan & desain jalan berkeselamatan
Perbaikan lokasi rawan kecelakaa
interaksi
jalan & lingkungan
Prinsip pendekatan 5E: Engineering Education Enforcement Encouragement Emergency Preparednesss
Pendidikan keselamatan jalan untuk anak Pelatihan & pengujian pengemudi
Asuransi keselamatan jalan
Kampanye & sosialisasi keselamatan jalan
Aspek-aspek yang memerlukan Peran Utama Penyelenggara Jalan
Peraturan lalulintas
Riset keselamatan jalan
Aspek-aspek yang memerlukan PERAN AKTIF Penyelenggara Jalan
Sumber : Ditjen Bina Marga (2007); ADB (2004) Gambar 3. Identifikasi peran penyelenggara jalan dalam intervensi keselamatan lalulintas Dengan demikian SMKIJ adalah suatu proses yang sistematis, eksplisit dan menyeluruh untuk mengelola resikoresiko keselamatan infrastruktur jalan pada semua tahap pembangunan infrastruktur jalan. SMKIJ berfungsi untuk: (1) menjamin bahwa aspek keselamatan infrastruktur jalan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang terkait dengan perencanaan, perancangan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur jalan dan jaringan jalan; (2) membantu dan mengarahkan penyelenggara jalan dalam menerapkan dan mencapai berbagai strategi, kebijakan, sasaran, standar, prosedur dan keahlian, yang konsisten untuk memperbaiki kinerja keselamatan infrastruktur jaringan jalan; (3) memastikan bahwa implementasi prosedur manajemen keselamatan infrastruktur jalan dapat dilaksanakan secara konsisten dan efisien; (4) menjamin terdokumentasinya dan terkelolanya resiko-resiko keselamatan infrastruktur jalan; (5) menjamin kebutuhan akan pengetahuan dan keahlian keselamatan infrastruktur jalan dapat didokumentasikan dan dikelola dengan baik; (6) menjamin pengukuran, evaluasi, audit, dan tinjauan manajemen dan perbaikan keselamatan infrastruktur jalan dapat dilaksanakan secara sistematis; dan (7) menjamin dapat meningkatkan kualitas keselamatan infrastruktur jalan dan menurunkan angka dan resiko kecelakaan yang fatal bagi seluruh pengguna jalan. Prosedur umum proses-proses sistem manajemen keselamatan infrastruktur jalan tersebut dapat dikembangkan dengan pendekatan PDCA (plando-check-action) dari Total Quality Management (TQM), sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4. SMKIJ memiliki 4 (empat) tahapan, yaitu : Tahapan Input, untuk melakukan pengkajian masalah dan penyusunan kebijakan strategis keselamatan, khususnya tentang pemetaan isu-isu strategis penyelenggaraan jalan yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan jalan; Tahapan Proses, untuk: (1) menetapkan sasaran dan menyusun NSPM (norma-standar-pedoman-manual) manajemen keselamatan dalam penyelenggaraan jalan; (2) menyusun rencana 5 (lima) tahunan program strategis keselamatan dalam penyelenggaraan jalan; dan (3) mengimplementasikan program strategis keselamatan dalam penyelenggaraan jalan; Tahapan Output, untuk mencapai kondisi jalan berkeselamatan dengan 3 (tiga) prinsip penting, yaitu: forgiving road, self explaining road dan self regulating road; dan
I - 136
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sistem Manajemen Keselamatan untuk Mengurangi Defisiensi Infrastruktur Jalan Menuju Jalan Berkeselamatan
Tahapan Outcome, untuk mencapai reduksi tingkat keparahan dengan melakukan: (1) perbaikan sistem manajemen keselamatan infrastruktur jalan; dan (2) reduksi tingkat keparahan korban kecelakaan dan jumlah tabrakan pada titik dan jaringan yang diperbaiki.
4.
KESIMPULAN
Jalan berkeselamatan adalah jalan yang memberikan rasa aman, nyaman, mantap dan selamat karena mempertimbangkan : (1) forgiving road; (2) self explaining road; dan (3) self regulating road. Sistem Manajemen Keselamatan Infrastruktur Jalan, selanjutnya disingkat SMKIJ dikembangkan dengan pendekatan PDCA (plan-docheck-action) dari TQM (total quality management), sehingga merupakan suatu proses yang sistematis, eksplisit dan menyeluruh untuk mengelola resiko-resiko keselamatan akibat defisiensi infrastruktur jalan pada semua tahap pembangunannya. SMKIJ dapat menjamin bahwa: (1) aspek keselamatan infrastruktur jalan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan perencanaan, perancangan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya; (2) sistem basis data kecelakaan akibat defisiensi infrastruktur jalan terorganisasi dengan baik untuk bahan monitoring dan evaluasi perbaikan kinerja keselamatannya.
5.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ir. Dannis Sumadilaga, M.Eng.Sc.(Direktur Bintek, Ditjen Bina Marga, Dep.PU) dan Ir. Jani Agustin, MSc (Kasubdit Teknik Lingkungan, Direktorat Bintek, Ditjen Bina Marga, Dep. PU) yang telah memberikan kesempatan banyak dalam melakukan kajian sistem manajemen keselamatan infrastruktur jalan, para pakar Ditjen Bina Marga (Ir. Haris Batubara, M.Eng.Sc., Ir. Taufik Widjoyono, M.Eng.Sc, Dr. Max Antameng, Dr. Didik Rujito, Ir. Palgunadi,M.Eng.Sc.) serta Prof. Dr. Harnen Sulistio, Prof. Dr. Ofyar Tamin, Prof. Dr. Wimpy Santosa, Prof. Dr. Siti Malkhamah, Dr. Heru Sutomo, Dr. Tri Tjahyono, Dr. Ade Syafrudin, Berlian Kushari, ST., M.Sc.
DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank (ADB) (2004). Road Safety guidelines for the Asian and Pacific region, Executive Summary. Asian Development Bank (ADB) (2005). ADB-asean regional road safety program: road safety in Indonesia. Country Report. Austroads (2002). Road safety audit. 2nd edition, Austroads Publication. Carsten, Oliver, et al, (1989). Urban accidents: why do they happen?, UK: AA Foundation for Road Safety Research, Basingstoke. de Waard, D (1996). The Measurement of driver’s mental workload. The Netherlands: The Traffic Research Center VSC, University of Groningen. Ditjen Bina Marga (2007) “Development of management system and road safety guidelines in road development phases+. Laporan Akhir. dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Evans, L. (1991) Traffic safety and the driver. Van Nostrand Reinhold, New York Fuller, R. (2000) “The task-capability interface model of the driving process”. Recherche Transports Sécurité, 66, 47-59. Fuller, R.. (2005) “Towards a general theory of driver behaviour”. Accident Analysis and Prevention, 37 (3), 461472. Mulyono, A. T., Kushari B., Agustin J., (2008). Monitoring and evaluating infrastructure safety deficiencies towards integrated road safety improvement in Indonesia, Proceedings. 2008 Australasian Road Safety Research, Policing and Education Conference, ISBN 1 876346 56 6. OECD (1999). Safety strategy for rural roads, Paris: Organization for Economic Co-operation and Development Rasmussen, J, 1987, “The definition of human error and a taxonomy for technical system design”, dalam New Technology and Human Error, Chicester: John Wiley & Sons. Reason, J.T., (1990) Human error, Cambridge University Press Roberts, P., Turner B., (2008) Engineering responses to fatigue, Proceedings, 2008 Australasian Road Safety Research, Policing and Education Conference. ISBN 1 876346 56 6. Sabey, B. (1999) Road safety: back to the future. AA Foundation for Road Safety Research, Basingstoke Treat, J.R., Tumbas, N.S., McDonald, S.T., Shinar, D., Hume, R.D., Meyer, R.E. (1977) Tri-level study of the causes of traffic accidents, volume I: casual factor tabulations and assessment, Final Report No. DOT-HS034-3-534. Washington: NTHSA.
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 137
I - 138
Indikator Pencapaian
Potensi resiko defisiensi dan Hazard Keselamatan
Penanganan Titik Rawan Kecelakaan Penanganan Jaringan Rawan Kecelakaan Penanganan Objek Pengganggu Sisi Jalan Penanganan Keselamatan pada zona pekerjaan jalan Harmonisasi Marka, Sinyal, Rambu terhadap fungsi Jalan
• • • •
SDM (auditor, inspektor) Pedoman standar teknis Pedoman monitoring & evaluasi Regulasi teknis
Penyiapan sumber daya:
1) 2) 3) 4) 5)
• Evaluasi Dampak Keselamatan Jalan • Inspeksi & Audit Keselamatan Jalan :
Implementasi program-program strategi keselamatan dalam penyelenggaraan jalan:
Evaluasi Pencapaian Sasaran
Pelaporan implementasi
• • • • •
Penyusunan skala prioritas solusi masalah keselamatan dalam penyelenggaraan jalan
Kegiatan yang diprioritaskan Target yang akan dicapai Implementasi indikator pencapaian Unit Pelaksana Tata kala implementasi
Penetapan program strategis keselamatan jalan dalam penyelenggaraan jalan:
Gambar 4. Sistem Manajemen Keselamatan Infrastruktur Jalan
PROSES (3) Implementasi Program Strategis Keselamatan dalam Penyelenggaraan Jalan
Monitoring (pengawasan) implementasi
PROSES (2) Penyusunan Rencana Pro-gram Strategis Keselamatan dalam Penyelenggaraan Jalan
Perancangan Penanganan Jalan Eksisting Perencanaan & Perancangan Jalan Baru Implementasi Pembangunan Fisik
Penetapan sasaran /target keselamatan dalam penyelenggaraan jalan:
OUTPUT : Pencapaian Kondisi Jalan Berkesalamatan
• • •
• indikator & kriteria pencapaian • tata kala & tata kelola • sumber pendanaan
Penetapan sasaran /target keselamatan dalam penyelenggaraan jalan:
INPUT : Kebijakan Strategis Keselamatan Jalan
Penetapan kebijakan strategis keamanan dan keselamatan jalan terhadap penyelengaraan infrastruktur jalan: • Pengurangan defisiensi keselamatan jalan eksisting • Kelayakan aspek keselamatan pada Perencanaan • Pengurangan risiko defisiensi keselamatan pada perancangan • Peningkatan Laik Fungsi pada hasil pelaksanaan
• Forgiving road • Self explaining road • Self regulating road
OUTCOME : Pencapaian Reduksi Tingkat Keparahan
Reduksi tingkat keparahan korban kecelakaan & jumlah tabrakan pada titik dan jaringan yang diperbaiki
Perbaikan Sistem Manajemen Keselamatan Jalan
Pemetaan isu-isu strategis keselamatan: • Basis Data Potensi Rawan Kecelakaan • Basis Data Infrastruktur Jalan (IRMS-BMS) • Riset – riset Keselamatan Infrastruktur Jalan • Pemeliharaan dan Perbaikan Teknis Jalan • Perencanaan dan pembangunan infrastruktur jalan • Koordinasi dengan sektor lain
PROSES (1) Penetapan sasaran & Penyusunan NSPM Manajemen Keselamatan dalam Penyelenggaraan Jalan
Agus Taufik Mulyono
Weller, G., Schlag, B., Gatti, G., Jorna, R., van de Leur, M. (2006). Human factors in road design – state of the art and empirical evidence. Road Infrastructure Safety Protection – Core Research and Development for Road Safety in Europe; Increasing Safety and Reliability of Secondary Roads for a Sustainable Surface Transport (RIPCORD-ISEREST).
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta