Majalah Civitas | Maret 2013
1
"Sir, my concern is not whether God is in our side. My greatest concern is to be on God's side. For God is always right."
2
Majalah Civitas | Maret 2013
Abraham Lincoln (1809-1865)
Editorial
S
oekarno pernah dengan yakin mengatakan, meski orang tua dikumpulkan sampai ribuan, ternyata kekuatannya tak lebih dahsyat dibanding sepuluh pemuda. Seribu orang tua menurutnya dapat membuat Semeru tercerabut hingga ke akar paling dalam. Namun pemuda, meski jumlahnya sepuluh saja, sudah dapat membuat dunia terguncang hebat.
Bangsa yang dulu menjajah Indonesia dengan bengis itu, takut pada pemuda bumiputra. Mereka merasa ciut nyali untuk mempertahankan koloninya di nusantara jika pemuda Indonesia dibiarkan bebas bergerak. Ya, krisis-krisis masa silam pernah melahirkan api yang hebat di dada para pemuda Indonesia. Mereka menuntut sekaligus berani melakukan perubahan. Mereka bergerak, mengatur siasat penuh hasrat merdeka, demi membebaskan negerinya dari hegemoni kolonialis. Jika Boedi Oetomo dijadikan pangkal rekam jejak gerakan pemuda, kita akan menemukan rantai yang hingga kini terus memanjang. Salah satu fragmennya menyimpan aksi pemuda-pemuda nekat di Rengasdengklok yang haus proklamasi. Di fragmen lain melekat kisah pemuda dalam pelumpuhan Orde Baru. Rantai yang paling dekat dengan masa kini, diwarnai aksi bakar diri seorang mahasiswa yang muak dengan krisis bangsanya.
Rentetan peristiwa sejak gagasan negeri ini lahir di kepala para pemuda, hingga andil generasi belia dalam pelumpuhan rezim otoriter, adalah gambar hidup yang mengingatkan kita. Bahwa kaum muda, sosoknya begitu penting bagi kejayaan suatu bangsa. Soe Hok Gie pernah mengungkap, “Sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik, atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa?” Sekarang tidak perlu menunggu era krisis untuk memancing tanggung jawab. Membawa pergerakan masa lalu ke situasi kini mungkin terlalu ekstrem atau justru menggentarkan mental. Misi pergerakan pemuda sekarang bukan lagi memerdekakan negeri, melainkan bagaimana membawa bangsa ini terbang ke level dunia. Perjuangan pergerakan lewat konferensi global, perjuangan melawan antikorupsi, perjuangan mengharumkan nama bangsa, adalah warna pemuda masa kini. Aksi turun ke jalan dan kegarangan pemuda dalam membela rakyat lemah juga masih dapat disaksikan mata. Akankah semangat itu hilang nyalanya? Akankah kondisi sekarang, yang dihiasi berbagai teknologi canggih, membuat pemuda terlena dari tanggung jawab yang menempel di pundak? Hanya di dalam jiwa-jiwa mudalah kita dapat menemukan jawabannya.
Majalah Civitas | Maret 2013
3
Ilustrasi: Internet
Soekarno sendiri pernah muda. Di usia yang ke-28 ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dengan tujuan Indonesia merdeka. Belanda yang tidak ingin visi itu tercapai akhirnya membuat Soekarno harus merasakan dinginnya sel Sukamiskin. Aktivis muda lain pun banyak yang diasingkan oleh Belanda.
DAFTAR ISI Vol.12/Tahun 7/Maret 2013 3 EDITORIAL
KAMPUS 59 Berebut KPP Idaman 62 Berharap Komunitas Lawak Berdenyut Lagi 66 Simalakama Penambahan Kuota 69 Menyelisik Kegiatan Pascawisuda
6 LENTERA
JALAN-JALAN 27 Dieng, Hipnotis Bumi Seribu Dewa
BUDAYA 32 Pantun, Budaya Lisan yang Mulai Tenggelam
KESEHATAN 34 Rhesus, Tak Kalah Penting dari ABO MOTIF 36 Tantang Adrenalin dengan Airsoft Gun
SATIRE 39 95 106 Pedang Ketidakadilan OBROLAN BENGKEL 40 Menciptakan Diri Sendiri 46 Tentang Sudut Pandang
LIPUTAN UTAMA 10 Pemuda di Lintas Waktu 16 Mesin Waktu Pergerakan Pemuda 20 Redefinisi Pemuda 22 Babak Baru Suara Lantang Pemuda
WAWANCARA 44 Denny Indrayana 96 Arief Didu 102 Kunokini
POLITIK 50 Di Balik Berita-Berita Politik
SASTRA 54 Alegori Soal Nyali
SELIDIK 73 Ketika Mahasiswa Kecanduan Gawai
OPINI 79 Menanti Hadirnya Generasi Antikorupsi 87 Lapar dan Revolusi 98 Menolak Lupa
PSIKOLOGI 83 Hati-Hati Sindrom Patah Hati
ENGLISH CORNER 90 Do I Really Need English?
EKONOMI 92 Menanti Regulasi LCGC
110 BIDIK
Pemimpin Umum Tri Hadi Putra Sekretaris Umum Novia Fatma Ratwindayanti Bendahara Umum Salsabila Ummu Syahidah Pemimpin Redaksi Sarah Khaerunisa Sekretaris Redaksi Ericha Utami Putri Redaktur Pelaksana Media Cetak Tendi Aristo Redaktur Pelaksana Media Siber Nadia Rizqi Cahyani Redaktur Bahasa Rizki Saputri Kepala Penelitian dan Pengembangan Muamaroh Husnantiya Manajer Produksi Tyas Tri Mur Wahyu Setyo Rini Staf Produksi Grandis Pradana Muhammad Manajer Desain Grafis Annisa Fitriana Staf Desain Grafis Luthfian Hanif Fauzi Nomor Telepon: 085755572372 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
Redaksi Penyunting Rizki Saputri Sarah Khaerunisa Layouter Annisa Fitriana Nadia Rizqi Cahyani Reporter Annisa Fitriana Ericha Utami Putri Grandis Pradana Muhammad Luthfian Hanif Fauzi Muamaroh Husnantiya Nadia Rizqi Cahyani Novia Fatma Ratwindayanti Rizki Saputri Salsabila Ummu Syahidah Sarah Khaerunisa Tendi Aristo Tri Hadi Putra Tyas Tri Mur Wahyu Setyo Rini Kontributor Dhani Kharismawan Prakoso Indra Pratama Jiwo Damar Anarkie Shahfira Alif Asmia Yussi Mirati Ilustrator Tri Hadi Putra Fotografer Nadia Rizqi Cahyani
Foto: Dok. Media Center STAN
Susunan
Lentera
Bicara tentang
“Aku peduli.... “Tapi masa depan bangsaku, semua itu bukan yang paling penting untukku. Banyak uang, hidup senang, posisi cemerlang. Semua itu jauh lebih penting dari keadilan, integritas, dan moral. “Masih ada harapan negaraku dapat menjunjung tinggi moral dan kelakuan, tapi lihat saja, itu tak akan bertahan. Nafsu lebih dinomorsatukan. Bahwa nantinya anak cucu kita akan mengekor kebobrokan pendahulunya. Zaman tak berubah.
6
Majalah Civitas | Februari 2013 Maret 2013
“Aku susah percaya, Indonesia akan tetap jaya. Memandang ke depan aku melihat, degradasi moral melanda anak muda, radikalisme di mana-mana, korupsi merongrong membudaya, video mesum lumrah biasa. “Susah dikatakan lagi memang, bahwa masih ada yang peduli akan bangsa ini. Sudah jelas sekali, generasi ini hancur tak sisakan harapan walau di bumi khayali. Sungguh sedih dan konyol kalau kita pikir, kita bisa menjadikan dunia ini lebih baik.” ***
Foto: Dok. Media Center STAN
Bangsa
Lentera
A
lkisah, ada sebuah bangsa yang sangat terkenal dengan keramahannya. Gemah ripah loh jinawi, kabarnya. Kata orang, negara itu adalah zamrud khatulistiwa—hutan menghijau sepelupuk mata, si gagah sang paruparu dunia. Siapa yang tak kenal ia? Negara berjuluk nusantara. Indonesia. Negara itu sering dikenal sebagai bangsa kaya budaya, warisannya adalah salah satu harta yang tak ternilai, tak tergantikan. Karenanya Indonesia menjadi negara besar yang disegani di kancah internasional. Identitasnya jelas. Indonesia bukan tanah saja atau air saja. Indonesia adalah tanah air, bumi pertiwi. Pemudanya (dahulu) dengan bangga menyebutnya tanah tumpah darah. Sayang, yang tak jelas adalah keadaannya. Bangsa itu sepertinya sedang nelangsa dalam titik nadirnya. Kemajuan hanya sebagai hiasan kampanye para pemimpin yang sedang haus kekuasaan. Kemajuan? Bahkan predikat Indonesia sebagai negara berkembang pun tak kunjung naik peringkat kelasnya. Radar media selalu saja dapat menemukan satu per satu kemerosotan dan kegagalan bangsa itu. Memang tak ada yang bisa disangkal. Hingga masyarakatnya sendiri pun jenuh dengan perbincangan di ranah politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Melihat lebih jauh ke dalam, akan mudah ditemukan betapa pejabat-pejabatnya semakin banyak terjerat kasus korupsi. Terbelalak mata melihat pemuda yang moralnya tercabik-cabik. Mengerut dahi menyaksikan drama perebutan kekuasaan politik. Tersengal napas merasakan biaya pendidikan yang mencekik. Kemiskinan, degradasi moral, pendidikan mahal, dan tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, menjadikan bangsa itu terlihat kian terpuruk.
Akan tetapi, seakan tidak ada yang peduli. Pejabatnya sibuk dengan kepentingankepentingan partainya. Wakil rakyatnya sibuk dengan fasilitas ruang kerja. Malang, pemudanya pun sibuk dengan pencarian gawai dan tempat kongko terbaru. Pun dengan budaya. Perkembangan zaman membuat warisan budaya Indonesia terabai dan terasing. Pemuda Indonesia yang seharusnya berada di garda paling depan untuk melestarikannya, kian terseret arus budaya luar. Mereka baru sibuk ketika budayanya diklaim putra orang. Bahkan menjadi sangat sibuk, seperti tidak ada permasalahan lain saja. Perjuangan layaknya era Reformasi? Ah, lupakan. Demonstrasi masuk televisi saja sudah sangat prestasi. Nasionalisme menipis, patriotisme terkikis. Bahkan pemuda yang seharusnya menjadi poros semangat, inovasi, serta pengubah keadaan bangsa, banyak yang sudah putus asa. Medali-medali olimpiade dengan gagah terkalung di leher putra-putri Indonesia. Tapi sudah, seakan berhenti di situ saja. Tak ada dukungan lagi untuk pendidikan dan riset-riset mereka selanjutnya. Akhirnya, permata-permata hebat Indonesia banyak yang memilih lari darinya demi mencari arti sebuah apresiasi, yang ironisnya malah mereka dapatkan di lain negeri. Salahkah jika pemuda-pemuda gemilang pengharum nama bangsa itu pergi—karena merasa tak lagi dihargai? Mantan atlet nasional dan pahlawan zaman kemerdekaan pun hidup sengsara. Sengsara di negara yang pernah mereka harumkan namanya. Itulah Indonesia, ia sedang mengalami krisis yang membahayakan. Tanyakan saja Pancasila. Kini, apa gerangan kabarnya? ***
Majalah Civitas | Maret 2013
7
Lentera Diperlukan perbaikan agar Indonesia tetap menjadi bangsa yang mengagumkan. Normatif, tapi memang hanya itu jalannya. Dua kemungkinan dipertaruhkan: baik dan buruk, berhasil dan gagal. Semuanya akan sangat bergantung pada apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan—juga apa yang tidak dilakukan—oleh bangsa itu sendiri. Yang paling dasar, ia bergantung pada paradigma. Mungkin perlu diselami lagi apa yang pernah Albert Einstein katakan, bahwa kegilaan adalah mengharapkan hasil yang berbeda dengan cara yang sama dan dilakukan berulang-ulang. Bangsa itu biasa melakukan hal yang sama berulang-ulang, membingkaikan paradigma yang sama berkali-kali. Dapatkah membuat korupsi musnah? Jawabnya: susah. Ketika ditanya, bisakah Indonesia naik kelas menjadi negara maju? Jawabannya: ragu. Bangsa itu terbiasa berpikir negatif dan pesimistis dengan menanamkan jawaban “tidak bisa dan tidak mungkin bisa” pada setiap pertanyaan retoris. Kenapa tak dibiasakan berpikir positif dan optimistis, atau mencoba hal yang tidak gila menurut Einstein sehingga hasilnya bisa sama sekali beda?
Mengubah paradigma memang bukan pekerjaan mudah, tapi menyerah pada keadaan bukanlah jalan pilihan. Jika Indonesia berada pada lingkup pemikiran yang sempit, ia tidak akan pernah melangkah. Tidak seharusnya Indonesia menyerah pada keadaan, apalagi tampil sebagai pecundang. Indonesia punya tokoh sekelas Anies Baswedan yang selalu memperjuangkan pendidikan, Mario Teguh dengan motivasi yang mengingatkan pada kebaikan, Ebiet G. Ade dengan lagunya yang penuh pemaknaan, Dahlan Iskan dengan kesederhanaan yang mencoba keluar dari kebiasaan, juga Asma Nadia dengan tulisannya yang halus sekaligus tajam. Orang-orang seperti mereka masih ada. Mereka mencoba memberikan asa bagi bangsanya dengan kemampuan masingmasing. Lalu, di mana posisi yang lain? Tak perlu Bung Karno bangkit dari kuburnya dan kembali berkata, “Aku butuh sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia!” Seharusnya bangsa itu kini bangkit berdiri, memercayai bahwa ia menyimpan banyak potensi. Setiap pemudanya bisa angkat suara, berteriak dengan lantang, “Aku butuh sembilan pemuda untuk membantuku mengguncangkan dunia!” Mereka butuh menghidupkan kembali orasi ilmiah, gerak perjuangan, prestasi, keberanian, kejujuran, kebangkitan, dan kesantunan bangsa.
Foto: rootfun.net
8
Majalah Civitas | Maret 2013
Lentera Mereka juga perlu mengubah paradigma. Mereka bukanlah generasi penerus, melainkan generasi pemutus—pemutus kebobrokan. Bahwa korupsi bisa dimusnahkan, sangat bisa diwujudkan. Bahwa Indonesia beragam memang benar, tapi tetap bisa satu dalam perbedaan. Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu; tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Bangsa itu harus berani mengucap, “Indonesia pasti akan naik kelas menjadi negara maju! Pasti! Bahkan tidak lama lagi!” Diiringi dengan kesungguhan diri untuk berbenah, percayalah, Indonesia akan berubah. *** “Kita bisa menjadikan dunia ini lebih baik. Sungguh sedih dan konyol kalau kita pikir, generasi ini hancur tak sisakan harapan walau di bumi khayali. Sudah jelas sekali, bahwa masih ada yang peduli akan bangsa ini. “Susah dikatakan lagi memang, video mesum lumrah biasa, korupsi merongrong membudaya, radikalisme di mana-mana, degradasi moral melanda anak muda. “Memandang ke depan aku melihat, Indonesia akan tetap jaya. Aku susah percaya bahwa zaman tak berubah, bahwa nantinya anak cucu kita akan mengekor kebobrokan pendahulunya. Nafsu lebih dinomorsatukan, tapi lihat saja, itu tak akan bertahan. “Masih ada harapan negaraku dapat menjunjung tinggi moral dan kelakuan. Moral, integritas, dan keadilan. Semua itu jauh lebih penting dari posisi cemerlang, hidup senang, dan banyak uang. Karena semua itu bukan yang paling penting untukku. Yang paling penting adalah masa depan bangsaku. “Dan aku peduli.”
Foto: Dok. Media Center STAN
Majalah Civitas | Maret 2013
9
Liputan Utama
Menyusuri jalan-jalan sempit, meninggalkan lorong-lorong yang mengimpit, mengawal langkah ke dinamika yang lebih ekspansif. Engkaulah sang pengawal kelahiran revolusi. Bangkitmu adalah bangkitnya peradaban, mundurmu adalah mundurnya kehidupan. Dan kini, kalaupun dalam tiap detik kau terus menggenggam ponsel, menyandang kamera, atau menyumpal telinga dengan nada-nada, semoga kau tak lupa pada wangi kertas dan hitamnya tinta pena. Dan semoga orbit larimu tidak berputar sebatas itu saja. Karena pemuda, engkaulah jantung pergerakan dunia.
10
Majalah Civitas | Maret 2013
Liputan Utama
Pemuda
di Lintas
“
Waktu
Dia memiliki peta Eropa dengan negara dan provinsinya. Dia menemukan bahwa tiada yang lebih menarik dibandingkan geografi dan urusan militer, dia dipenuhi dengan semangat untuk mendominasi, dia lihai menilai kondisi. (Giacomo de Languschi, tentang pemimpin Kesultanan Turki era 1451—1481 M)
Majalah Civitas | Maret 2013
“ 11
Liputan Utama
P
ena sejarah tak pernah letih mencatat apa yang ditinggalkan masa. Dari situ kita tahu, bahwa pemuda tak pernah absen dalam berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Nama mereka terukir dengan segala prestasi dan sumbangsih, cermin bahwa betapa jiwa-jiwa muda mampu melahirkan deretan revolusi. Dalam setiap zaman, pemuda-pemuda dilahirkan dengan menghadapi masalah yang berbeda. Para pemuda ini dituntut untuk menyelesaikan berbagai macam problem kehidupan dengan gaya masing-masing. Mengangkat senjata pun akan mereka lakukan jika memang diperlukan. Salah satunya adalah pemuda kelahiran 1432 M. Usianya 23 tahun ketika kota itu ada di dalam genggaman tangannya. Kota dengan tiga perempat wilayah yang berbatasan dengan laut, kota dengan pelabuhan paling sibuk, sehingga julukan The Gates of The East and West tersemat padanya. Posisinya strategis, terletak di sebelah barat Selat Bosphorus yang memisahkan Benua Asia dan Eropa. Bentengbenteng kokoh yang mengelilingi kota ini menjadi pemandangan menarik dan pertahanan apik.
bersenang-senang menikmati indahnya masa remaja, Mehmed II, namanya, sudah memikirkan berbagai macam cara untuk mewujudkan impian ayahnya, menaklukkan Konstantinopel. Berbagai macam strategi perang disusun untuk menghancurkan tembok-tembok megah Konstantinopel. Sampai akhirnya kota itu takluk di tangannya pada tanggal 29 Mei 1453, setelah melalui pertempuran selama kurang lebih tiga bulan. Eropa memberinya gelar The Grand Turk Mehmet dan pasukannya memberi gelar Abu Al Khair. Al Fatih, yang berarti Sang Pembebas, juga tersemat pada namanya, sehingga dalam perjalanannya, ia lebih dikenal dengan julukan Muhammad Al Fatih. Muhammad Sang Pembebas.
Empat tahun ia habiskan untuk belajar dan terus belajar guna memperbaiki kesalahan, sebelum melakukan penaklukan yang kedua.
Struktur tembok dibangun dua lapis dengan dua tingkatan, diperkuat dengan parit sedalam 10 meter di depannya. Julukan The City with Perfect Defense pun diberikan padanya. Orangorang menyebutnya Konstantinopel, kota yang diinginkan dunia. Bahkan Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte, menyebutnya sebagai kota yang layak menjadi ibu kota dunia. Sang penakluk Konstantinopel menjadi yatim ketika berusia 19 tahun. Mau tidak mau ia harus menggantikan posisi ayahnya sebagai sultan (sebutan untuk pemimpin negara pada saat itu) karena kedua kakaknya meninggal ketika ia berumur 6 tahun. Saat beranjak ke usia di mana kita masih
12
Majalah Civitas | Maret 2013
Kerja keras dan tekad merupakan kunci meraih kesuksesan, itulah yang dipegang teguh oleh Mehmed II. Penyerangan pertama yang berlangsung selama 22 hari—dan akhirnya gagal— tak menciutkan keberaniannya.
Bukan waktu sebentar yang diperlukannya untuk memulihkan kekuatan. Empat tahun ia habiskan untuk belajar dan terus belajar guna memperbaiki kesalahan, sebelum melakukan penaklukan yang kedua. Baginya, memperbaiki suatu kesalahan tidak cukup hanya sekejap mata. Selama itu dia bersabar mencukupi ilmunya agar ia tidak mengulang kegagalannya. Walhasil, penyerangan kedua yang berlangsung selama tiga bulan dapat meraih kemenangan. Konstantinopel takluk di tangannya. Kini, Konstantinopel alias Istanbul, menjadi daerah terluas di negara Turki yang menjadi jantung bagi kehidupan masyarakatnya. ***
Liputan Utama Adapun kami anak sekarang Mari berjerih berbanting tulang Menjaga kemegahan janganlah hilang Supaya lepas ke padang yang bebas Di belahan bumi sendiri, pemuda kita tak kalah berani. Salah satunya adalah pejuang kemerdekaan yang gemar membuat sajak-sajak bernapaskan nasionalisme. Melalui karyanya, ia coba salurkan semangat kemerdekaan kepada para pemuda Indonesia.
Muhammad Yamin
Dia jugalah yang merumuskan teks Sumpah Pemuda. Ia abai dengan tentara Belanda yang mengawasi di luar sana, sebab rasa cinta tanah air yang ada di dalam dirinya sudah mendarah daging. Ia adalah Mohammad Yamin, pemuda kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai seorang penyair, aktivis organisasi pemuda, dan pejuang kemerdekaan. Yamin aktif dalam organisasi kepemudaan sejak usia 23 tahun. Organisasi pertama yang diikutinya adalah Jong Sumatranen Bond, yang mengantarkannya pada pertemuan besar pemuda dari seluruh wilayah Indonesia, yaitu Kongres Pemuda II.
sejak kecil. Mungkin ia sedikit terinspirasi dengan perkataan Benjamin Franklin, “Jika Anda tidak ingin dilupakan segera setelah berkalang tanah nantinya, tulislah sesuatu yang layak dibaca, atau lakukan sesuatu yang layak ditulis.” Novel pertamanya yang bergenre remaja kontemporer, Mint Chocolate Chips, terbit ketika dia berumur 14 tahun. Dari sanalah pemikiranpemikiran cerdas seorang Alanda lahir. Ia mulai mendirikan organisasi, mengikuti ajang kepemudaan tingkat dunia, hingga membuat konferensi bagi pemuda Indonesia untuk menyuarakan pendapatnya. Menjadi penggagas The Cure for Tomorrow di tahun 2008, ia kemudian juga memprakarsai terselenggaranya konferensi pemuda Indonesia, Indonesian Youth Conference (IYC), yang merupakan proyeknya setelah mengikuti ajang Global Changemakers di London tahun 2009. Di IYC, Alanda mengajak pemuda dari seluruh Indonesia untuk menyuarakan aspirasinya. Tujuan IYC adalah untuk berbagi pemikiran seputar isu di tanah air dan meyakinkan masyarakat bahwa suara anak muda harus didengar. Acara ini terdiri dari dua bagian: forum dan festival. Dalam forum yang diselenggarakannya, IYC mengundang 66 anak muda yang terpilih mewakili 33 provinsi di seluruh Indonesia untuk
Pendidikan Barat tak lantas membuatnya lupa tanah air. Seperti dikutip dari buku biografi Mohammad Yamin terbitan Balai Pustaka, “Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentahmentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.” Sementara itu, sekitar setengah abad berlalu, seperti mengikuti jejak Yamin, nama Alanda Kariza muncul berbalut semangat juang dengan konteks kekinian. Gadis yang sekarang berusia 21 tahun ini memiliki hobi menulis
Majalah Civitas | Maret 2013
13
Liputan Utama
Foto: Festival #IYC 2011
Ngobrolin Ide atau Ngode merupakan salah satu program rutin di luar IYC yang diselenggarakan oleh Sinergi Muda. Program yang berkonsep diskusi publik ini bertujuan mengembangkan wawasan anak muda akan isu-isu hangat di sekitarnya sebagai bekal menghadapi dunia luar dan masa depan, sehingga pemuda diharap dapat berpikir lebih kritis. Program yang diadakan satu kali dalam satu bulan ini tidak dipungut biaya dan terbuka untuk umum. Baru dua kali diadakan, program ini memanen antusiasme yang besar dari para anak muda. mengikuti serangkaian lokakarya dan karantina. Para perwakilan tersebut juga harus mengadakan proyek yang berfungsi untuk mengatasi berbagai permasalahan di daerahnya masing-masing. Sementara itu, Festival IYC berlangsung selama satu hari, diramaikan oleh seminar dengan pembicara-pembicara yang menggugah, pertunjukan musik dan budaya, serta pameran komunitas anak muda. Kesuksesan IYC pertama yang dihelat tahun 2010 membuat Alanda memutuskan untuk menyelenggarakannya tiap tahun. IYC pun kian berkembang. Salah satu “anak” pergerakannya adalah Sinergi Muda yang baru berdiri dan diresmikan pada 16 September 2012 di Comma Indonesia. Pada awalnya, Sinergi Muda dibentuk sebagai wadah hukum bagi acara IYC. Namun seiring berjalannya waktu, Sinergi Muda juga menyelenggarakan acara-acara kepemudaan lain dengan tujuan memberdayakan potensi anak muda agar dapat berkontribusi secara positif bagi Indonesia. “Namanya juga sinergi kan, jadi ya tujuannya bagaimana menyinergikan dari anak muda ke anak muda, dari kita (Sinergi Muda) ke komunitas,” papar Anna Aprita Diyanti, Manajer Relasi Media Sinergi Muda, kepada Civitas saat ditemui di Taman Langsat, Jakarta Selatan.
14
Majalah Civitas | Maret 2013
Selain IYC, masih banyak lagi konferensi yang digalang oleh berbagai aktivis untuk melakukan perubahan yang lebih baik di Indonesia. Sebut saja Young On Top, Youthcare, Indonesian Future Leaders, dan Digital Nation Movement. Komunitas pemuda yang berbasis kesamaan minat dan hobi pun juga menjamur. Menanggapi hal ini, Faldo Maldini, Ketua BEM Universitas Indonesia tahun 2012 yang juga pernah mengikuti Student Energy Summit 2011 di Vancouver, Kanada, menyatakan pendapatnya kepada Civitas, “Hal itu (konferensi, diskusi, dan rapat) sebenarnya tidak menjadi masalah, asal
‘Pemuda seperti apa? Seberapa banyak anak muda di Indonesia hari ini, sementara Indonesia masih gini-gini saja?’ yang dilakukan adalah hal positif. Sama saja dengan kegiatan rapat dan diskusi pemikiran, menurut saya, jika memandang konferensi, tapi (tetap) titik tekannya adalah apa yang dilakukan pasca hal itu dilakukan. Sayang sekali jika tidak diaplikasikan di dunia nyata dengan kerja konkret.”
Liputan Utama
Menurut Faldo, peran pemuda dalam menghadapi isu-isu dalam negeri seperti politik, pendidikan, sosial, dan sebagainya, sudah mulai terlihat eksistensinya walaupun masih belum optimal. “Kita lihatlah, berapa (jumlah) organisasi kepemudaan hingga hari ini? Namun apa hasilnya? Masih banyak yang tidak berakar kuat pada halhal mendasar. Menurut saya, hal ini karena (kita) masih belum satu visi,” papar Faldo. Jika ditarik garis lurus, pemuda memang selalu memiliki senjata untuk mengawal perjuangannya. Zaman dahulu, mungkin senjatanya adalah senjata secara harfiah, serta pasukan yang terlatih untuk memenangkan perang dan mempertahankan kehidupan. Tantangan yang dihadapi pemuda Indonesia dulu lebih kepada bagaimana melawan penjajahan fisik. Namun, saat ini tantangan yang dihadapi pemuda sudah semakin meluas.
Usman Hamid. Foto: analisapublik.com
Usman Hamid, Campaign Director sebuah jejaring petisi Change.org, dalam acara Digital Nation Movement 2013 menjelaskan bahwa senjata pemuda zaman sekarang adalah apa yang banyak
dimilikinya; racikan yang tepat antara gawai elektronik, internet, dan pemikirannya, yang sangat bisa digunakan untuk mengawal adanya perubahan. Di sisi lain, Puan Maharani dalam artikelnya yang berjudul Patriotisme Pemuda menyebutkan bahwa keberhasilan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan para pemuda dalam berkiprah di bidang keahliannya masing-masing. Dengan kata lain, untuk saat ini, pengertian senjata adalah keahlian para pemuda di berbagai bidang yang digelutinya. Dari masa ke masa, pemuda selalu melakukan perannya sebagai agen perubahan. Pertanyaannya, apakah generasi kita ini juga mampu mengemban gelar agent of change tersebut dengan apik, atau malah merasa kecil untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik? Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali kita sendiri. “Entahlah, ada yang salah dengan kita, pemuda, termasuk saya, hari ini. Mari merenung. Jika merenungnya telah selesai, mari sebarkan hasil renungan kita kepada orang lain dan ajak lakukan perubahan yang sama,” ungkap Faldo. Menjadi agen perubahan, menjadi pemuda yang benar-benar pemuda memang tak gampang. Mengabdikan diri untuk itu, berarti bersedia berkorban waktu untuk tak lagi banyak karaoke, tak lagi sering kongko bersama teman, menonton konser, atau bersenang-senang, seperti yang Alanda pernah alami di masa SMA-nya, ketika ia terkesan dikucilkan dari pergaulan teman-teman SMA karena tenggelam dalam kesibukan proyekproyek perubahan garapannya. Dalam kondisi seperti apa pun kita sekarang, tak ada salahnya untuk meresapi apa yang pernah Dalai Lama XIV katakan, “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito.”
[Nadia Rizki Cahyani]
Majalah Civitas | Maret 2013
15
Foto dan Ilustrasi Liput: Internet
“Sebuah bangsa membutuhkan pemuda, semua orang tahu itu. But, the next question is, ‘Pemuda seperti apa? Seberapa banyak anak muda di Indonesia hari ini, sementara Indonesia masih ginigini saja?’ Mungkin memang ada yang hilang dari pemuda hari ini. The most simple thing for me is, spirit to make a change,” imbuhnya.
Liputan Utama
Mesin Waktu
Pergerakan Pemuda Reformasi 1998 menuntut mundurnya presiden Soeharto. Foto: lintasberita.co.id.
“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” (Soekarno)
P
eristiwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu tanpa syarat karena jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menjadi momentum penting bagi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Segera setelah peristiwa ini, golongan pemuda mengambil inisiatif untuk mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam benak pemuda timbul kekhawatiran. Jika pemerintah tidak segera mengambil momen ini, Indonesia akan kehilangan kesempatan memerdekakan diri. Sementara di sisi lain, Soekarno tak yakin. Apakah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di momen ini akan menguntungkan? Mungkin benaknya berkata demikian. Soekarno dan golongan tua lainnya kukuh mempertahankan pendapat bahwa kemerdekaan dapat ditempuh tanpa adanya pertumpahan darah. Dengan senjata yang dimiliki, posisi Jepang
16
Majalah Civitas | Maret 2013
masih lebih kuat dibanding kondisi para pemuda saat itu. Menurut mereka, proklamasi akan lebih aman jika menempuh langkah koordinasi dengan pihak Jepang. Pertimbangan lain adalah akan diselenggarakannya rapat persiapan kemerdekaan RI keesokan harinya. Di lain pihak, para pemuda yakin kemerdekaan harus segera diproklamasikan dengan usaha bangsa sendiri, tanpa bantuan dari pihak asing mana pun. Begitu tulis seorang jurnalis, Alwi Shahab, dalam artikel “Menjelang Proklamasi” yang diterbitkan oleh Republika pada Agustus 2002 lalu. Dalam pertemuan 15 Agustus malam itu, perdebatan tak terelakkan. Wikana, utusan gerakan pemuda yang melobi Soekarno, mengancam akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta jika proklamasi tak dikumandangkan esok hari. Ancaman tersebut tak cukup membuat Soekarno luluh. Ia bahkan membalasnya dengan kemarahan, “Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga!”
Liputan Utama Upaya golongan pemuda tak berhenti sampai di situ. Setelah sahur, tertanggal 16 Agustus 1945, terjadilah penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta yang kini kita kenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Siapakah para pemuda revolusioner yang berperan dalam rangkaian proses tersebut? Cerita berawal dari sebuah bangunan Belanda mewah, Hotel Schomper I di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Setelah pendudukan Jepang, lebih dari seratus pemuda menjalani penggemblengan di gedung ini, di mana lima puluh di antaranya tinggal di asrama. “Sebenarnya, asrama ini dimaksudkan sebagai pusat pendidikan politik untuk menggembleng pemuda-pemuda Indonesia demi kepentingan Jepang. Akan tetapi, secara diam-diam asrama ini digunakan oleh pemuda sebagai markas gerakan menegakkan semangat nasionalisme.” Begitu yang tertulis dalam Ensiklopedi Jakarta: Budaya dan Warisan Sejarah. Alwi Shahab dalam artikel lainnya, “Gedung Menteng 31”, menyebutkan di antara pemuda tersebut adalah Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, B.M. Diah, Asmara Hadi, A.M. Hanafi, Wikana, dan Pandu Kartawiguna. Mereka digembleng oleh para senior seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Amir Syarifudin, Ahmad Subardjo, Sunario, Muwardi, Ki Hajar Dewantara, dan Sanusi Pane. Kisah perjuangan para pemuda ini juga diabadikan oleh Anak Marhaen Hanafi dalam buku Menteng 31, Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45: Membangun Jembatan Dua Angkatan. Terlepas dari kontroversi yang muncul sesudah masa kemerdekaan, bahwa sebagian nama di atas kemudian diduga terlibat dalam kasus Gerakan 30 September/PKI, kumpulan pemuda inilah yang berperan penting dalam kronologi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Secara sederhana seperti yang dikutip dalam laman Demos Indonesia milik Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, bahkan aliran behavioral dalam sejarah politik pernah berkomentar dengan nada berkelakar, “Soekarno dan Hatta tidak
akan pernah memproklamasikan kemerdekaan seandainya mereka tidak diculik dan disimpan di Rengasdengklok oleh para pemuda saat itu.” Dari Primordial Hingga Komunitas Suka-Suka Pergerakan Pemuda Peran gerakan pemuda Indonesia memperjuangkan kemerdekaan terbaca dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, sebuah pergerakan awal yang berfokus pada dunia pendidikan. Pada awal mula berdirinya, organisasi ini merupakan organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan. Namun pada perkembangannya, organisasi tersebut berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional. Boedi Oetomo membawa angin segar bagi kaum Bumiputera saat pemerintah Hindia Belanda melakukan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pada kongres pertamanya, tertanggal 5 Oktober 1908, organisasi yang didirikan oleh pelajar sekolah kedokteran STOVIA ini merumuskan fokus organisasi pada bidang pengajaran dan menyatakan diri tidak mengadakan kegiatan politik. Akan tetapi, memanasnya semangat nasionalisme membuat Boedi Oetomo mulai turut ambil bagian dalam dunia politik. Perubahan fokus ini justru menjadi salah satu faktor kemunduran Boedi Oetomo, selain penyebab lain yang berasal dari internal organisasi. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda yang disusun oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto tertulis bahwa prinsip organisasi yang saat itu telah memiliki empat puluh cabang tersebut juga mulai tergerus dengan hadirnya Sarekat Islam dan Indische Partij. Sarekat Islam, yang mulanya bernama Sarekat Dagang Islam, merupakan perkumpulan pedagang dengan landasan kesamaan hubungan spiritual agama dan kepentingan perdagangan, yang kemudian berkembang menjadi gerakan rakyat yang pertama dan sebenarnya di Indonesia.
Majalah Civitas | Maret 2013
17
Liputan Utama Sementara itu, Indische Partij adalah organisasi yang bergerak di bidang politik serta mempropagandakan nasionalisme Hindia pada saat yang bersamaan. Tentu saja, Boedi Oetomo harus menelan kenyataan pahit. Selama prinsip netralitas-agama dan aktivitas nonpolitik yang dipegangnya hanya dipertahankan dengan sifat yang pasif, organisasi tersebut tidak dapat diharapkan pengaruhnya untuk semakin meluas. Boedi Oetomo pun kemudian bubar dengan adanya fusi ke Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935. Setelah bubarnya Boedi Oetomo, lahirlah beberapa organisasi kepemudaan yang digawangi oleh kaum pelajar maupun pemuda daerah. Organisasi kepemudaan tersebut antara lain Tri Koro Darmo (1915)—yang kemudian berubah menjadi Jong Java, lalu ada juga Jong Sumatranen Bond (1917), serta Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1925). Indonesia Muda (1930) dan beberapa organisasi pemuda daerah lainnya juga turut mewarnai gerak-gerak pemuda di era sebelum proklamasi.
Bahkan, gerakan mahasiswa akan semakin menguat jika sistem politik yang berlaku bersifat otoriter. Pergerakan pemuda yang awalnya primordial pun perlahan mulai menunjukkan persatuan bernapaskan nasionalisme dengan diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta pada 30 April—2 Mei 1926. Jong Java sebagai pemrakarsa berusaha mewujudkan perkumpulan pemuda menjadi satu federasi. Setelah kongres terselenggara, terbentuklah Jong Indonesia pada 31 Agustus 1926—yang kemudian berubah menjadi Pemuda Indonesia untuk anggota laki-laki dan Putri Indonesia untuk anggota perempuan.
18
Majalah Civitas | Maret 2013
Sebagai tindak lanjut dari kongres ini, terselenggaralah Kongres Pemuda Indonesia II yang menghasilkan rumusan Sumpah Pemuda, ikrar yang mengawali gerakan pemuda secara nasional. Pertemuan ini berlanjut pada Kongres Pemuda Indonesia III di Yogyakarta pada 15 Juli 1938 yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk gabungan organisasi kepemudaan yang kemudian menjadi Persatuan Pemuda Indonesia (Perpindo). Gerakan muda generasi berikutnya terjadi dengan adanya aksi mahasiswa pada masa pemerintahan Soekarno. Akbar Tandjung, dalam tulisan risetnya yang berjudul “Fakta Gerakan Kaum Muda” mengemukakan bahwa gerakan mahasiswa selalu muncul ketika sistem politik yang ada tidak berjalan dengan semestinya. Artinya, sebuah gerakan mahasiswa lahir dari situasi politik yang tidak menguntungkan, sehingga mereka menuntut kembali perannya dalam interaksi politik nasional. Bahkan, gerakan mahasiswa akan semakin menguat jika sistem politik yang berlaku bersifat otoriter. Kondisi itulah yang membuat gerakan mahasiswa 1966 dikatakan sebagai pembuka sejarah baru pada bangsa ini. Gerakan mahasiswa 1966 menjadi koreksi terhadap penyelewengan pemerintah saat itu. Perjuangan gerakan pendahulunya yang mendengungkan semangat kebangsaan dan nasionalisme mulai menyimpang dengan adanya Partai Komunis Indonesia yang hendak mengubah ideologi Indonesia menjadi komunis. Aksi mahasiswa pun diwujudkan dalam bentuk Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura): bubarkan PKI, turunkan harga karena kondisi perekonomian sangat merosot, dan bubarkan Kabinet Seratus Menteri. Propaganda Nasionalisme, Agama, dan Komunis (Nasakom) yang diusung Soekarno menjadikan kehidupan mahasiswa didominasi ideologi. Adanya haluan kiri yang menyusup di tingkat mahasiswa lewat Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), membuat gerakan mahasiswa antikomunis semakin solid. Maka, lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
Liputan Utama secara terang-terangan menentang PKI beserta afiliasinya. Usai pemerintahan Soekarno, kehidupan perekonomian menjadi prioritas Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun langkah itu terhambat saat krisis ekonomi melanda. Masih dalam tulisan yang sama, “Fakta Gerakan Kaum Muda”, Akbar Tandjung menulis, “Kejatuhan ekonomi yang bermula terjadi di kawasan Asia berubah menjadi krisis politik, krisis kepemimpinan, dan berujung pada krisis multidimensi. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang telah berlangsung lama.” Pemuda pun kembali memainkan perannya sebagai korektor penguasa. Langkah mahasiswa mendengungkan reformasi berhasil dengan mundurnya Soeharto di tahun 1998, walaupun keberhasilan itu harus ditempuh dengan melewati dua peristiwa tragis dalam tataran sejarah aksi pergerakan mahasiswa Orde Baru: Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974 dan Tragedi Trisakti 1998. Satu dasawarsa sesudah gerakan reformasi, kuantitas gerakan pemuda semakin berkembang dengan karakteristik, latar belakang, dan tujuan yang lebih beragam. Jika pada era kebangkitan nasional kita mengenal Kongres Pemuda Indonesia, saat ini Indonesia mempunyai Indonesian Youth Conference (IYC) yang digagas oleh Alanda Kariza pada tahun 2010. Saat itu, usia Alanda masih 18 tahun.
Selain IYC, gerakan pemuda kontemporer juga diramaikan dengan adanya Young on Top, Forum Indonesia Muda, Indonesian Future Leader, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Komunitas 1001 Buku, Indonesia Menyala, Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Indonesia, Komunitas Jendela, Indonesia Mengajar, Skholatanpabatas, Card to Post, Komunitas Pecinta Kertas, Gerakan Diet Kantung Plastik, Transformasi Hijau, Indonesia Bercerita, Indonesia Berkebun, Kopi Keliling, Save Street Child, Suara Pemuda Anti Korupsi (Speak), dan lain-lain. Menurut data yang disajikan Kementerian Pemuda dan Olahraga, jumlah organisasi kepemudaan hingga tahun 2009 tercatat mencapai 229 pergerakan. Ratusan organisasi tersebut terhimpun dalam wadah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), kepelajaran, kemahasiswaan, berbasis agama, berdiri sendiri, dan sayap partai. Perbedaan zaman memang membuat napas pergerakan pemuda menjadi begitu beragam. Namun, semangat pergerakan pemuda di setiap dimensi sejatinya senada, sebab mereka yang bekerja nyata selalu menginginkan perubahan. Perubahan tersebut bukan sekadar perubahan tanpa makna, melainkan perubahan yang menggandeng perbaikan bangsanya. [Salsabila Ummu Syahidah]
IYC merupakan ide yang dipilih Alanda untuk menjalankan tugas membuat proyek setelah ia terpilih menjadi salah satu wakil Indonesia dalam Global Changemaker, sebuah jaringan global aktivis muda, yang diselenggarakan di London pada tahun 2009. IYC menjadi wadah bagi para pemuda untuk saling mengetahui passion dan cara mewujudkan aksinya. “Lebih ngebuka mereka kalau sebenarnya changing the world can be fun,” terang Anna Aprita Diyanti, Manajer Relasi Media Sinergi Muda—organisasi yang kini menjadi payung IYC.
Majalah Civitas | Maret 2013
19
lustrasi: Internet
Liputan Utama
Redefinisi Pemuda
M
unculnya berbagai organisasi dan pergerakan yang mengatasnamakan pemuda dengan berbagai latar belakang dan tujuannya membuat kita perlu mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai sosok pemuda dalam gerakan pemuda. Maesy Angelina, peneliti independen untuk isu anak muda, menuliskan tiga kemungkinan jawaban untuk pertanyaaan ini dalam makalahnya yang berjudul Siapakah “Anak Muda” dalam Gerakan Anak Muda? Dalam pandangannya, organisasi pemuda bisa berbentuk gerakan apa pun asal aktor utamanya adalah anak muda, isu-isu gerakannya secara khusus memengaruhi anak muda, ataupun gerakannya menjadikan pendekatan youth friendly sebagai ciri utamanya. Jika gerakan pemuda membahas isu yang secara khusus memengaruhi pemuda, hampir semua isu berpengaruh pada kehidupan pemuda, mulai dari keterlibatan mereka dalam isu lingkungan hidup hingga masalah HIV/AIDS. Pertanyaan akan lebih berkembang jika kita dihadapkan pada gerakan pemuda bercirikan youth friendly. Pendekatan universal seperti
20
Majalah Civitas | Maret 2013
“Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young.” (Henry Ford) apakah yang ramah untuk semua pemuda? Mengingat beragamnya karakteristik pemuda, pertanyaan mengenai gerakan pemuda ini masih perlu ditambah dengan pengertian universal mengenai siapakah sang pemuda. Faldo Maldini, Ketua BEM Universitas Indonesia 2012, mengemukakan bahwa sederhananya organisasi pemuda adalah organisasi yang berisikan sekelompok orang yang masih terdefinisikan sebagai pemuda. Namun, seiring perkembangan zaman, definisi organisasi pemuda pun semakin meluas. Saat ini banyak pemuda yang berkumpul tidak hanya untuk membentuk organisasi kepemudaan, tetapi juga komunitaskomunitas tak terikat berlandaskan hobi dan kesukaan. Masih dalam pandangan Faldo, upaya untuk melibatkan pemuda perlu pendekatan universal dengan menyentuh hal-hal yang bersifat perubahan sesuai kesukaan. “Pemuda itu punya gairah, semangat, dan mimpi. Namun terkadang tidak tepat letaknya,” jelas Faldo. Pentingnya peran pemuda dalam sebuah negara membuat Indonesia memberikan payung dan
Liputan Utama jaminan hukum melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Dalam pidato sambutan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-84 (28 Oktober 2012), mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, mengimbau berbagai elemen dan unsur kepemudaan serta berbagai Organisasi Kepemudaan (OKP) untuk mempersiapkan diri terhadap pelaksaan UU Kepemudaan. UU tersebut mulai diberlakukan secara penuh pada tahun 2013. Negara menegaskan pentingnya peran pemuda dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Di situ disebutkan bahwa proses perencanaan dan kegiatan pembangunan harus melibatkan pemuda. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 memberikan defenisi pemuda sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, yang berusia antara 16 sampai 30 tahun. Dalam kacamata sosiolog, pemuda merupakan anggota masyarakat berusia produktif yang secara sadar mengambil peran dalam konteks memajukan kehidupan diri dan masyarakat. Lain lagi jika dilihat dalam perspektif politik, pemuda merupakan individu atau komunitas warga negara yang terus-menerus menempa diri tanpa mengenal batas waktu. Mereka mengaktualisasikan segenap potensinya untuk menjadi pemimpin di masa depan (Penyajian Data Informasi Kemenpora Tahun 2009). Batasan usia menurut undang-undang ini nampaknya menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Sinergi Muda dengan Indonesian Youth Conference-nya menetapkan pemuda berusia 15— 24 tahun sebagai peserta maupun anggotanya. Lain lagi dengan batasan usia yang diterapkan oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Organisasi yang berdiri sejak 10 Juni 1972 ini memberikan batas usia anggota antara 18 hingga 40 tahun. Bagaimana dengan anggota yang telah berusia lebih dari batas? IYC menyebut alumninya sesuai tahun angkatan ia menghadiri forum. Sementara itu, Hipmi menerapkan dua jenis anggota untuk membedakan dari segi usia: Anggota Biasa dan
Anggota Luar Biasa. Status Anggota Luar Biasa diberikan bagi anggota yang telah melewati usia 40 tahun. Masalah dihadapi oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tentang batasan usia ini. Ketua Umum KNPI, Taufan E.N. Rotorasiko mengungkapkan akan menggugat UndangUndang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini disebabkan batasan usia pemuda yang disebutkan dalam undang-undang tersebut sulit diterapkan di berbagai daerah. “Kami bukan mau melanggar, tapi faktanya memang kepengurusan KNPI berusia di atas 30 tahun,” jelasnya. Jackson Kumaat, Ketua KNPI Provinsi Sulawesi Utara, dalam tulisan “Perlunya Merevisi UndangUndang Kepemudaan” yang dimuat dalam politik. kompasiana.com mengaku bahwa dirinya dilantik pada usia 34 tahun. “Regenerasi pemimpin di organisasi kepemudaan di bawah KNPI memang banyak kendala. Di antaranya adalah sistem organisasi yang belum berjalan maksimal dan metode pelatihan untuk membentuk kader-kader muda,” terangnya dalam artikel tersebut. Jackson berharap kondisi ini akan lebih baik di masa depan. Dirinya pun rela tak ikut aktif lagi di KNPI jika memang kondisi sosial-budaya menginginkannya. Mengenai definisi pemuda, Faldo memilih untuk tidak memandangnya dari segi usia. “Menurut Undang-Undang Kepemudaan, memang batas usia pemuda antara 16 sampai 30 tahun. Namun bagi saya tidak, karena menjadi pemuda bukan hanya sebatas usia. Ini tentang gairah, hasrat, dan semangat untuk menciptakan perubahan,” pungkasnya. Pemuda, khususnya pemuda Indonesia, telah melalui sejarah panjang pergerakan untuk menumpas tirani dan memperjuangkan apa yang menjadi tuntutan pada masanya. Jangan sampai pergerakan pemuda justru menjadi terhambat karena batasan usia. [Salsabila Ummu Syahidah] Majalah Civitas | Maret 2013
21
Liputan Utama
Babak Baru Suara Lantang Pemuda “Bukankah tidak ada yang lebih suci bagi seorang pemuda daripada membela kepentingan bangsanya?” (Pramoedya Ananta Toer)
A
bu Bakar Ali, Ahmad Jazuli, Atmo Sukarto, Faridan M. Noto, I Dewa Nyoman Oka, Wardhani, Sabirin, dan Supadi. Jajaran nama tersebut diabadikan sebagai nama beberapa ruas jalan di kawasan Kotabaru, Yogyakarta. Mereka adalah pemuda yang gugur dalam Pertempuran Kotabaru Yogyakarta pada 7 Oktober 1945. Dalam peristiwa bersejarah ini, 21 pejuang tewas demi mengukuhkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Kemudian, 53 tahun berselang, meletuslah tragedi Mei 1998. Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka adalah pemuda yang menjadi korban dalam peristiwa bersejarah pada Mei 1998. Keempat pemuda yang kala itu masih berstatus mahasiswa Universitas Trisakti, gugur demi mewujudkan reformasi. Mereka yang gugur pada Tragedi Trisakti ini terekam dalam sejarah, mendapat gelar Pahlawan Reformasi serta dianugerahi Bintang Jasa Pratama. Setelah peristiwa yang berhasil meruntuhkan Orde Baru tersebut, 13 tahun kemudian muncul Sondang Hutagalung yang juga meregang nyawa
22
Majalah Civitas | Maret 2013
kala menunaikan aksinya. Ketika masih berstatus mahasiswa Universitas Bung Karno dan aktif di berbagai organisasi pergerakan mahasiswa, ia melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara pada Desember 2011 sebagai bentuk kekecewaan atas pemerintahan SBY-Boediono yang dianggapnya gagal. Kala itu ia masih menjabat sebagai Ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Pemuda Indonesia Kini “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka) Waktu terus berlari, roda zaman terus berputar, aksi-aksi pemuda kian beragam. Bermacam organisasi, komunitas, dan konferensi pemuda pun bermunculan. Setiap zaman punya ciri masing-masing, pun dengan zaman pemuda masa kini. Faldo Maldini, Ketua BEM Universitas Indonesia 2012 yang juga anggota Global Changemakers, berpendapat bahwa karakteristik yang membedakan gerakan pemuda dulu dan sekarang adalah hal yang diperjuangkan.
Liputan Utama
“Jika dulu yang diperjuangkan (pemuda) adalah kebebasan dari tirani, hari ini bagaimana mengisi kemerdekaan,” ungkap Faldo. Gerakan pemuda puluhan tahun silam, bisa jadi bertujuan mewujudkan kemerdekaan bangsa ini, mengukuhkan eksistensi bangsa di mata dunia. Gerakan pemuda belasan tahun silam, bisa jadi bertujuan membangun peradaban yang baik bagi bangsa Indonesia yang tengah berkembang. Lantas, gerakan pemuda saat ini merupakan gerakan perubahan, demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik di segala bidang dan mengembalikan eksistensinya di ranah internasional. Sebutlah tim pelajar Indonesia yang berhasil menyabet tujuh medali dan empat penghargaan khusus dalam International Conference of Young Scientist pada April 2012 lalu. Kemudian, siapa yang tak kenal Rio Haryanto, pembalap muda Indonesia yang baru-baru ini mendapatkan Super Licence Formula 1? Merambah ke Hollywood, ada Andre Surya sang ahli special effect yang telah sukses menyelipkan namanya dalam credit title film-film box office seperti Iron Man, Transformer, dan Star Trek. Aksi pemuda di dalam negeri pun tak kalah cerah. Sebut saja sederetan nama pengusaha muda
macam Hamzah Izzulhaq, Elang Gumilang, dan Hendy Setiono yang telah merintis bisnis sejak masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Mereka hanyalah beberapa dari sekian banyak pemuda sukses lainnya di negeri ini. Di sisi lain, beragam komunitas dan gerakan pemuda pun mulai bermunculan, seperti Indonesia Mengajar, Pencerah Nusantara, Forum Indonesia Muda, dan Indonesian Future Leaders. Konferensi pemuda belakangan ini sering dihelat, beberapa di antaranya adalah Congress of Indonesian Youth dan Indonesian Youth Conference. Tak ketinggalan, ada pula Change. org Indonesia yang meniupkan angin perubahan melalui dunia maya. Pemuda dan Karakternya Seruan perubahan demi Indonesia yang lebih baik kian menggema di kalangan pemuda. Setiap pemuda, seperti manusia pada umumnya, memiliki karakternya masing-masing. Pilihanpilihan hidup yang mereka buat tentunya tak sama antara satu dan lainnya. “Banyak yang harus dipenuhi pemuda. Segala sifat baik dan positif harus dimiliki pemuda. Namun, seringkali hal-hal yang baik itu terlupa jika dipraktikkan, padahal teorinya tahu banget.
Majalah Civitas | Maret 2013
23
Liputan Utama Semangat adalah inti dan bahan bakar yang bisa mendorong semua sifat baik itu muncul. Ya, lagi saya tekankan, semangat untuk membuat perubahan,” papar Faldo. Dewasa ini, sebagian orang membagi pemuda dalam dua kelompok besar, pemuda aktif dan apatis. Bila berada di lingkungan kampus, maka akan muncul istilah mahasiswa aktif dan apatis. Namun, sesungguhnya definisi aktif dan apatis ini masih bias. Aktif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti giat (bekerja, berusaha), lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran, dinamis atau bertenaga, serta mampu beraksi dan bereaksi. Istilah tersebut dalam dunia pemuda sering disandingkan dengan apatis, yang dalam KBBI berarti acuh tidak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh.
Kebalikan dengan pemuda aktif, pemuda apatis cenderung tak mau tahu tentang perubahan. Ari Pratiwi, Dosen Psikologi Universitas Brawijaya memiliki pandangan sendiri tentang pemuda aktif dan apatis. Pemuda aktif menurutnya adalah pemuda yang aktif melakukan perubahan, baik dalam skala kecil maupun besar. Mereka berusaha mencari celah dan peluang untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Lebih lanjut Ari menyatakan, aktif dapat dikategorikan dalam dua kelompok lagi, aktif yang positif dan negatif. Aktif-negatif terlihat ketika pemuda melakukan aksinya dengan cara yang salah. Apatis, sesuai definisinya, akhirnya merujuk pada sosok pemuda yang cenderung tak peduli pada lingkungannya. Kebalikan dengan pemuda aktif, pemuda apatis cenderung tak mau tahu tentang perubahan.
24
Majalah Civitas | Maret 2013
“Kebanyakan, yang apatis tidak bersedia berubah. Kalau toh ada perubahan, mereka bilang percuma,” tutur Ari. Bicara tentang apatis, sifat ini dapat terbentuk setidaknya karena beberapa hal. Bisa jadi, seorang pemuda memilih menjadi apatis dengan latar belakang kekecewaan. Bukan tak mungkin dulunya ia seorang pemuda yang aktif, tetapi lingkungan tempat ia berjuang dan yang ia perjuangkan justru tak bersahabat. “Akhirnya, bisa jadi, secara psikologis menjadi tak termotivasi lagi. Jadinya apatis. Pikirnya percuma saja, yang dibela tidak kunjung bergerak. Yang diprotes justru menghukum, bukannya berubah,” terang Ari. Ada kalanya pemuda tak memilih untuk menjadi apatis. Ia menjadi apatis hanya karena belum ada kesempatan untuk aktif. Dalam hal ini, lingkungan pembentuk karakterlah yang berpengaruh. Bisa jadi, sejak kecil ia tak dibiasakan aktif, tak terbiasa mengungkapan perasaannya dan tak diajarkan untuk peka terhadap lingkungannya. Ari menambahkan, “Lingkungan yang baik juga diharapakan dapat membentuk seseorang peka terhadap lingkungan itu sendiri.” Melengkapi paparan Ari, Faldo mengungkapkan bahwa setiap pemuda pada hakikatnya mempunyai gairah, semangat, dan mimpi. Namun, terkadang tidak tepat letaknya. Guna mendorong pemuda untuk bergerak, pendekatan universal yang bisa digunakan adalah menyentuh hal-hal yang bersifat perubahan, sesuai dengan minat masing-masing. Pemuda dan Aksinya “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan sloganslogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)
Liputan Utama
Itulah aksi mahasiswa, pemuda. Terkadang, aksi mahasiswa berubah ricuh karena provokasi oknum tertentu. Tak ayal, beberapa aksi mahasiswa pun berubah menjadi anarki. Sebutlah beberapa peristiwa seperti tragedi di Universitas Pamulang pada Oktober 2012 atau unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM pada Maret 2012 oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin. Namun, lagi-lagi, itulah aksi mahasiswa, pemuda. Aksi mahasiswa yang berujung anarki tersebut merupakan salah satu contoh bentuk keaktifan yang negatif, yakni pemuda yang berusaha untuk aktif, tetapi dengan cara yang salah. Berbeda dengan para mahasiswa yang turun langsung ke TKP, di dunia maya pemuda-pemuda lain pun turut beraksi. Berbagai komentar tentang
peristiwa tersebut beredar di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Ada komentar yang mendukung aksi, mengecam objek unjuk rasa, membela salah satu pihak, dan beragam komentar lain tentang pihak-pihak yang terlibat. Masih bicara ranah dunia maya, kini telah muncul petisi-petisi atas berbagai peristiwa, yang ditandatangani secara elektronik melalui Change.org. Gerakan melaui dunia maya dan media-media sosial ini ternyata banyak pula yang membuahkan hasil. Salah satunya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memutuskan penyerahan kasus korupsi simulator SIM ke KPK, setelah adanya desakan dari media sosial. Keduanya merupakan aksi pemuda, hanya saja berbeda bentuk dan media. Faldo yang juga seorang aktivis kampus, menilai bahwa aksi mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi, masih efektif guna mewujudkan perubahan. Ia pun tak mempermasalahkan bila di sisi lain ada pemuda yang lebih memilih untuk aktif melalui dunia maya, asal keduanya tidak saling menjatuhkan. Selain pergerakan di dunia maya, masih ada kelompok pemuda lain yang menyuarakan
Majalah Civitas | Maret 2013
25
Foto Liput: Internet
Beberapa waktu lalu, di Jakarta sempat heboh penggusuran PKL di sepanjang stasiun Jakarta. Kala itu mahasiswa UI bersama LSM turun tangan membantu para pedagang. Pro dan kontra muncul atas aksi tersebut. Apalagi ketika mahasiswa memblokade Stasiun Pondok Cina, suara-suara yang tak suka kian bermunculan.
Liputan Utama perubahan melalui buku atau tulisan-tulisan di media massa. Sebut saja Pandji Pragiwaksono yang menulis Nasionalisme dan Berani Mengubah, atau Alanda Kariza dengan Dream Catcher-nya. Bicara tentang suara-suara yang tampil melalui beragam media ini, ada keterkaitan lagi antara pemuda aktif dan apatis. Di dunia maya, misalnya. Pemuda yang aktif di media sosial, tetapi hanya rajin mengkritik tanpa memunculkan solusi, bisa saja disebut apatis, sebab ia hanya bersuara tanpa bergerak. “Kalau kicauannya berbobot dan kemudian bisa menggerakkan atau menginspirasi orang lain untuk berbuat sesuatu, ya bisa disebut aktif,” tutur Ari. Pemuda dan Pilihannya “Ada dua tipe pemuda, pemuda yang menuntut perubahan atau pemuda yang berani melakukan perubahan.” (Pandji Pragiwaksono) Ridwan Kamil, arsitek Indonesia yang eksis di ranah internasional, pernah menyebutkan empat tipe pemuda masa kini. Menurut Ketua Bandung Creativity City Forum ini, keempat tipe tersebut adalah pemuda yang pintar tetapi tidak peduli, pemuda yang tidak pintar tetapi peduli, pemuda yang tidak pintar dan tidak peduli, serta pemuda yang pintar dan peduli.
“ 26
Pembagian tersebut secara umum sebenarnya dapat dilihat dalam lingkup kampus. Ada beragam tipe mahasiswa dengan kecenderungannya masing-masing. Di antara mereka ada yang berorientasi studi, sibuk berorganisasi sosialpolitik, tekun merintis bisnis, eksis dalam komunitas unik-menarik, gemar berolahraga, hobi bermain game, bahkan ada pula yang tampak menganut hedonisme atau terlihat tak aktif di mana pun. Lepas dari hal tersebut, perubahan memang tak membutuhkan hipokrisi dan slogan-slogan. Di atas telah disebutkan anak-anak muda yang namanya pernah eksis di berbagai kancah, pemuda yang eksis di bidangnya masing-masing. Mereka semua adalah pemuda yang bergerak secara nyata. Mereka yang bersuara tanpa bertindak, jarang sekali namanya yang dikenang zaman. Pada dasarnya, setiap pemuda memiliki pilihan hidupnya sendiri. Pemuda bebas memilih dengan sikap apa mereka ingin bertumbuh: aktif atau apatis, positif atau negatif. Yang perlu diingat, di pundak pemuda banyak bersandar tanggung jawab moral, dan itu perlu disikapi secara ideal. [Ericha Utami Putri]
Pemuda bebas memilih dengan sikap apa mereka ingin bertumbuh: aktif atau apatis, positif atau negatif.
Majalah Civitas | Maret 2013
“
Jalan-Jalan
Dieng, Hipnotis Bumi Seribu Dewa Dingin dan hangat melebur di Dieng, dataran tinggi cantik kaya pesona. Di sana, dengan mudah kita akan menemukan wisata ekstrem kawah vulkanik hingga hipnotis atmosfernya yang eksotik.
Candi Arjuna. Foto: nationalgeographic.co.id
Majalah Civitas | Maret 2013
27
Jalan-Jalan
S
elain menyandang julukan Kecantikan Ajaib Pulau Jawa, Dataran Tinggi Dieng juga lekat dengan sebutan Bumi Kayangan. Kata Dieng merupakan gabungan dua kata dari bahasa Sansekerta, Di ‘tempat’ dan Hyang ‘dewa’. Itulah sebabnya mengapa ia terkenal sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
1
2
Di Dieng, pelan-pelan tubuh Anda akan tunduk pada suhu dingin karena Anda berada ada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Dieng bukanlah dataran tinggi biasa. Ia berasal dari kawah raksasa gunung api yang sudah mati sejak berabad-abad silam. Tak heran, rupa lanskapnya yang tinggi terlihat mirip sekali dengan mulut kawah raksasa—dengan gununggunung kecil yang melingkar menjadi pagarnya. Anda akan mengangguk setuju dengan kalimat tadi jika melihat langsung lanskap Dieng dari sebuah tempat persinggahan di Jalan Gardu Pandang Tieng. Tempat persinggahan itu biasa digunakan untuk rehat sejenak sambil merasakan embusan angin yang bertiup. Di tempat persinggahan itu juga, pandangan Anda akan dibiarkan bebas sebatas garis horizon. Mau menyaksikan sunrise? Tentu saja tak masalah. Saat perjalanan memasuki Wonosobo menuju Dieng, safari wisata Anda sebenarnya sudah dimulai. Kanan dan kiri yang Anda lalui adalah punggung-punggung bukit yang memukau dengan pola sengkedan rapi jali. Bukit-bukit tersebut merupakan perkebunan penduduk setempat—penduduk dengan keramahan dan kehangatan yang akan membuat Anda betah. Coba saja singgah, maka Anda akan dijamu dengan ramah.
Telaga Warna. Foto: nationalgeograaphic.co.id
28
Majalah Civitas | Maret 2013
3 Atmosfer Dieng yang dingin dan masyarakatnya yang hangat memang membuat para pengunjung kerasan berada di sana. “Di sini tempatnya enggak kalah sama tempat wisata lain. Pemandangannya? Jangan ditanya,” ujar Selamet, salah satu pengunjung yang juga merupakan masyarakat sekitar, saat berbincang dengan reporter Civitas. Liuk jalanan aspal makin menanjak, memamerkan pemandangan yang terjalin dengan udara yang makin dingin. Setiap sudut jalan menuju Dieng adalah perhentian foto yang sangat keren. Tahan terus kamera Anda karena keajaiban Dieng yang sesungguhnya ada di puncak bukit. Lokasi Dieng yang nyaris berada di puncak gunung ini akan membawa Anda ke relaksasi yang
Jalan-Jalan
Telaga Warna. Foto: nationalgeograaphic.co.id
sebenarnya. Kedamaian dan ketenangannya akan menghipnotis Anda untuk berlibur lebih lama. Ditambah lagi, Dieng punya banyak lokasi wisata yang jaraknya berdekatan. Seharian Anda habiskan untuk menjamah satu per satu tempatnya pun tak akan cukup memuaskan. Dari Wonosobo menuju Dieng sangat mudah, hanya butuh sekitar satu jam perjalanan hingga sampai di Tugu Kawasan Dieng Plateau. Selanjutnya, selamat mencicipi kawasan wisata! Tempat-tempat berikut bisa menjadi pilihan lokasi bagi wisata Dieng Anda. Telaga Warna
Airnya tenang berwarna hijau tosca, sedangkan bibir danaunya berwarna ungu—akibat dari kandungan belerang di dalamnya. Jika berjalan sedikit ke sebelah Telaga Warna, Anda akan menemukan telaga lain. Telaga Pangilon namanya. Memiliki air sejernih kaca, telaga ini akan memantulkan apa pun yang berada di atasnya. Anda hanya perlu membayar tiket masuk seharga Rp6.000,00 untuk bisa masuk ke kawasan ini.
“Setiap sudut jalan menuju Dieng adalah perhentian foto yang sangat keren.”
Sebelum sampai ke Telaga Warna, Anda akan diajak berburu keindahan lewat jalan setapak yang naik turun di tengah rimbunan pohon pinus. Setelah itu, Anda baru diizinkan untuk merasakan sihir Telaga Warna.
Selain elok, kompleks telaga ini juga sarat nuansa mistis. Terdapat sejumlah gua untuk tempat bertapa, salah satu yang paling terkenal adalah Gua Semar.
Bau kemenyan menyeruak di sana. Beberapa pengunjung lewat sambil menaburi bunga di sudut-sudut gua. Sayangnya, tidak sembarangan orang diizinkan untuk masuk ke dalam gua. Hal ini menjawab mengapa mulut gua berjeruji besi.
Majalah Civitas | Maret 2013
29
Jalan-Jalan 4
6
5
Candi Arjuna
Kawah Sikidang Menggunakan motor, Kawah Sikidang hanya berjarak tempuh selama 5 menit dari kawasan Dieng Plateau. Di sini Anda akan memijakkan kaki di atas tanah berwarna putih kekuningan akibat tercampur belerang kawah vulkanik. Penasaran, pengunjung biasanya akan berlombalomba menuju tepi kawah. Bau belerang di sini lumayan menyengat. Jelas saja, Kawah Sikidang adalah sisa dari kawah raksasa yang dulu pernah aktif. Walaupun sisa, Kawah Sikidang ini masih aktif. Tak heran jika dari kejauhan Anda sudah bisa mendengar gemuruhnya yang sesekali mengentak. Dengan tiket masuk Rp10.000,00 Anda sudah dibolehkan memasuki dua objek sekaligus, Kawah Sikidang dan Candi Arjuna.
30
Majalah Civitas | Maret 2013
Ada beberapa kompleks candi purba di Dieng, salah satunya adalah kompleks Candi Arjuna. Ia dikelilingi oleh gunung-gunung yang teduh, menjadikannya pilihan wisata yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Situs purbakala ini masih utuh, meski beberapa bagian tubuhnya mulai lepas. Konon, Candi Arjuna adalah candi Hindu tertua di Pulau Jawa. Beragam kenang-kenangan bisa Anda bawa pulang. Mulai dari kerajinan tangan, makanan, hingga si cantik Edelweiss yang bisa Anda bungkus dengan 10.000 rupiah untuk satu potnya. Letih bermain-main, singgahlah ke warungwarung di seputar Wonosobo. Ada mi ongklok yang terkenal, makanan khas yang wajib dicoba jika Anda berwisata ke sini. Mi ongklok adalah mi yang disajikan dengan sayuran dan bumbu-bumbu khas. Kuah kentalnya yang gurih akan semakin lengkap dengan sate sapi yang menjadi pasangannya. Dengan 15.000 rupiah per porsi, lidah Anda akan meminta untuk makan mi ongklok lagi jika mampir ke sini lain kali.
Jalan-Jalan Banyak penginapan murah meriah yang bisa Anda temukan di Jalan Raya Dieng. Harganya mulai dari 50.000 rupiah sampai ratusan ribu rupiah. Berlibur ke Dieng dapat ditempuh lewat perjalanan darat, laut, maupun udara. Dari Jakarta, Terminal Kampung Rambutan bisa jadi titik awal perjalanan 12 jam menuju Wonosobo. Agar hemat, bis ekonomi sore bisa jadi alternatif, tarifnya Rp70.000,oo per kepala. Dengan perjalanan malam, rasa bosan di jalan dapat dialihkan dengan istirahat tidur malam. Sesampainya di Wonosobo, jalan menuju kawasan Dieng Plateau sangat mudah. Jalannya lurus saja dan beberapa jalan sudah dibuat satu arah. Meski plang penunjuk arah sudah cukup memandu, jangan segan untuk bertanya. Tertarik? Yuk berangkat!
Keterangan Foto: 1. Salah satu bukit perkebunan penduduk 2. Cuaca dingin memunculkan gaya berpakaian yang unik dari para penduduknya. 3. Lansekap Dieng dipagari gunung. 4. Pasar Induk Wonosobo. Perekonomian masyarakat hiruk pikuk di sini. 5. Tugu Kawasan Dieng Plateu 6. Pemandangan dari Gardu Pandang Foto: Dok. Media Center STAN
[Tendi Aristo]
rnet
k. Foto: Inte
Mie Ongklo
Kawah
Sikidan
g. Foto
: sukaja
lan.net
Telag
tio
to: na
n. Fo
gilo a Pan
Majalah Civitas | Maret 2013
.co.id
aphic
ogra nalge
31
Budaya
H.M Ali Ahmad -melayuonline.com
Pantun, Budaya
F
Lisan yang Mulai Tenggelam Buat apa berkain batik Kalau tidak berselendang Buat apa berwajah cantik Kalau tidak bersembahyang
amilier dengan susunan empat baris kalimat di atas? Berbicara mengenai sastra Indonesia, tak lengkap rasanya bila tak menyinggung pantun. Warisan budaya leluhur ini ternyata tak hanya dimiliki oleh orang Melayu. Toraja misalnya, juga memiliki londe yang mirip sekali dengan pantun. Asal kata pantun sendiri memiliki banyak versi. Menurut Dr. R. Brandstetter, ahli perbandingan bahasa asal Swiss, pantun berasal dari akar kata tun yang terdapat dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Pampanga, tuntun memiliki makna teratur. Dalam bahasa Tagalog, tonton berarti bercakap menurut aturan tertentu. Bahasa Jawa Kuno melingkup beberapa turunan kata tun: tuntun ‘benang’, atuntun ‘teratur’, dan matuntun ‘memimpin’. Dalam bahasa Toba, pantun berarti kesopanan atau kehormatan. Sementara itu, masyarakat Batak menyebut pantun sebagai umpama. Dalam bahasa Melayu, pantun berarti quatrain, sajak berbaris empat dengan rima a-b-a-b. Namun, dalam bahasa Sunda, pantun berarti cerita panjang yang bersajak dan diiringi oleh musik. Syair berlarik a-b-a-b dalam masyarakat Sunda lebih dikenal sebagai paparikan. Di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur pun, istilah paparikan lebih umum dipakai ketimbang pantun.
32
Majalah Civitas | Maret 2013
Dahulu, pantun digunakan oleh nenek moyang Melayu sebagai sarana menyampaikan sesuatu secara lisan. Hal-hal yang disampaikan melalui pantun bisa berupa nasihat maupun sekadar ungkapan kepada teman sebaya mengenai percintaan dan lelucon. Luasnya ruang lingkup pantun menjadikannya bisa digunakan dalam suasana formal maupun informal. Oleh masyarakat Jawa Timur, pantun atau paparikan sering dipakai dalam pementasan ludruk1). Luasnya pemakaian pantun di Indonesia membuat pembahasan pantun tak pernah ada habisnya. Dahulu, pantun diucapkan langsung dalam percakapan, tidak ditulis seperti yang umum dipelajari di bangku pendidikan sekarang. Keberadaanya sebagai jenis sastra lisan membuat referensi mengenai asal mula pantun sulit ditemukan. Yang paling mudah ditelusuri jejaknya adalah pantun Melayu. Saat menyaksikan upacara adat Melayu, rasanya kurang paripurna jika tak dilengkapi dengan berbalas pantun. Dalam upacara pernikahan Minangkabau misalnya. Ketika keluarga wanita menjemput calon pengantin pria, atau dikenal dengan proses manjapuik marapulai, kedua keluarga mempelai akan mengadakan acara sambah-manyambah. Inti acara sambah-manyambah adalah penyampaian maksud kedatangan dari pihak wanita, yakni menjemput calon mempelai pria. Masing-masing keluarga akan menunjuk juru bicara yang dianggap mahir dalam bersikap
Budaya dan bertutur yang baik karena semua dialog dalam sambah-manyambah harus disampaikan dalam kalimat yang terjalin indah, penuh dengan petatah-petitih (pantun) dalam dialek Minangkabau. Bagi masyarakat Betawi, hal semacam ini dikenal dengan tradisi palang pintu. Pantun Kini: Estetika Tanpa Nilai Kehidupan Seiring perkembangan zaman, kebiasaan berpantun kini mulai ditinggalkan. Penggunaan sampiran dalam pantun dianggap tidak lagi efektif dalam menyampaikan pesan karena tidak langsung tepat ke sasaran. Padahal, menurut salah satu maestro pantun, H.M. Ali Ahmad, penggunaan pantun dalam percakapan dapat menurunkan emosi antarlawan bicara. “Kalau suatu pendapat dikiaskan dengan pantun, orang tidak akan menanggapinya secara emosional. Karena orang berpikir bunyi pantunnya bagus, imbauannya juga bagus. Sehingga tak ada argumen yang terlalu emosional,” jelasnya. Masih menurut Ali, sesungguhnya pantun Melayu dapat mencerminkan pengetahuan si pembuat pantun akan alam sekitarnya. Pantun bukanlah permainan kata bersajak a-b-a-b semata, ia juga mengandung nilai-nilai sosial dan budaya. Sampiran juga tidak hanya soal pilihan kata yang berakhiran senada dengan isi, tetapi juga bermakna bila berdiri sendiri. Sampiran bisa jadi isi, isi bisa jadi sampiran. Sebagai contoh, kalimat “Burung pelikan burung cendrawasih, cukup sekian dan terima kasih” menurut Ali bukanlah sebuah pantun.
nasional yang hanya sebatas pada irama a-b-a-b, tanpa sentuhan nilai kehidupan, menjadikan pantun yang kini tercipta terasa hambar.
“Dahulu pantun diucapkan langsung dalam percakapan...” Langkah awal pengembalian citra pantun jelas dimulai dari bidang pendidikan. Banyak orang yang merasa kesulitan saat berpantun. Hal ini lumrah terjadi kepada siapa saja yang belum terbiasa dalam membuat pantun, terutama secara spontan. Melalui pendidikan, generasi muda tidak hanya dikenalkan mengenai apa itu pantun, tetapi juga cara membuat pantun yang benar. Selain itu, diperlukan juga pemaknaan ulang pantun sebagai warisan leluhur. Pantun memang tak perlu melulu berisi nasihat yang menggurui, tetapi setidaknya ia bukan kata-kata kosong tanpa makna. Pembuatan sampiran pun sebaiknya tidak hanya mementingkan irama semata, tetapi juga mengunggulkan pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. [Tyas T.M.W.S.R.] Vokabuler 1) Ludruk: Kesenian rakyat Jawa Timur berbentuk sandiwara yang dipertontonkan dengan menari dan menyanyi.
“Menurut hemat saya, walaupun mempunyai kesamaan bunyi pada bagian akhirnya, hal tersebut bukan pantun, hanya sekadar permainan kata,” jelasnya seperti yang dikutip dalam MelayuOnline. Sastra Melayu ini kini sekadar memenuhi nilai estetika, tanpa mengandung nilai-nilai kehidupan yang menjadi ciri khas pantun pada awalnya. Definisi pantun dalam kurikulum pendidikan
Majalah Civitas | Maret 2013
33
Kesehatan
Rhesus, Tak Kalah Penting dari ABO “Apa golongan darah Anda?” “D-negatif.” Jika Anda menjawab demikian, jangan heran kalau si penanya mengerutkan dahinya.
P
enggolongan darah yang dikenal oleh sebagian besar orang adalah penggolongan darah dengan sistem ABO yang ditemukan oleh Karl Landsteiner. Sistem tersebut memperkenalkan kita pada golongan darah A, B, AB, dan O. Namun ternyata, selain penggolongan darah dengan sistem tersebut, masih banyak sistem penggolongan darah lain yang jarang masyarakat ketahui. Penggolongan darah tersebut antara lain penggolongan darah dengan sistem MNS, Scianna, Colton, dan satu yang lumayan masyhur adalah sistem penggolongan darah Rhesus (Rh). Rhesus darah, yang terdiri dari Rhesus positif dan negatif, sebenarnya juga sangat penting diketahui untuk mengantisipasi segala kemungkinan di kemudian hari. Karena ternyata, ada hal fatal yang diakibatkan oleh ketidaksesuaian Rhesus.
Apa Itu Rhesus? Rhesus adalah protein (antigen) yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Sistem Rhesus ini dikenal sejak Levine dan Stetson, pada tahun 1939, melaporkan adanya reaksi transfusi dalam serum darah seorang ibu, setelah dirinya mendapat transfusi darah dari suaminya yang sama-sama bergolongan darah O. Reaksi transfusi tersebut ternyata berakibat fatal bagi janin yang dikandungnya, sebuah kelainan klinis yang dikenal dengan istilah Hemolytic Disease of the Newborn (HDN). Kemudian, pada tahun 1940, Landsteiner dan Wiener melakukan riset dengan menggunakan darah Kera Rhesus (Macaca mulatta), yang akhirnya menjadi nama pada sistem penggolongan darah ini. Kera Rhesus merupakan salah satu spesies kera yang banyak dijumpai di India dan Cina. Mereka yang memiliki faktor protein Rhesus (antigen-D) dalam permukaan sel darah merahnya disebut memiliki Rhesus positif (disebut juga D+), sedangkan yang tidak memiliki faktor protein ini disebut Rhesus negatif (D-).
34
Majalah Civitas | Maret 2013
Kesehatan Perlukah Mengetahui Rhesus Darah? Mengenali Rhesus darah sangatlah penting, khususnya bagi orang-orang yang memiliki Rhesus negatif. Di dunia ini, hanya sedikit orang yang memiliki Rhesus negatif. Persentase jumlah pemilik Rhesus negatif berbeda-beda antarkelompok ras. Pada ras kulit putih (seperti warga Eropa, Amerika, dan Australia), jumlah pemilik Rhesus negatif adalah sekitar 15—18 persen. Sedangkan pada Ras Asia, persentase pemilik Rhesus negatif jauh lebih kecil. Di Indonesia contohnya. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2010, hanya kurang dari satu persen penduduk atau sekitar 1,2 juta orang yang memiliki Rhesus negatif. Karena persentasenya sangat kecil, jumlah pendonor pun amat langka sehingga bila memerlukan donor darah akan cukup sulit. “Satu di antara seratus orang Indonesia memiliki golongan darah dengan Rhesus negatif.” Demikian dijelaskan Lici Murniati dari Presidium Rhesus Negatif Indonesia. Pemilik Rhesus negatif tidak boleh ditransfusi dengan darah Rhesus positif. Ini disebabkan oleh sistem pertahanan tubuh reseptor (penerima donor) akan menganggap darah dari donor— dengan Rhesus positif tersebut—sebagai benda asing yang perlu dilawan seperti virus atau bakteri. Sebagai bentuk perlawanan, tubuh reseptor akan memproduksi anti-Rhesus. Saat transfusi pertama, kadar anti-Rhesus masih rendah sehingga relatif tak menimbulkan masalah serius. Namun pada tranfusi kedua, akibatnya bisa fatal karena antiRhesus akan mencapai kadar yang tinggi.
"Di dunia ini, hanya sedikit orang yang memiliki Rhesus negatif."
Anti-Rhesus ini akan menyerang dan memecah selsel darah merah dari donor, sehingga ginjal harus bekerja keras mengeluarkan sisa pemecahan sel-sel darah merah itu. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan tujuan transfusi darah tak tercapai, tetapi malah memperparah kondisi reseptor itu sendiri. Jenis Rhesus juga perlu diperhatikan oleh calon ayah dan ibu, karena perbedaan Rhesus nantinya akan berpengaruh pada sang bayi. Perbedaan Rhesus tersebut ternyata dapat menimbulkan hal yang serius. Ayah Rh+
Ayah Rh-
Ibu Rh+
Janin Rh+ Tidak bermasalah
Janin Rh+ Tidak bermasalah
Ibu Rh-
Janin Rh+ Akan timbul masalah karena beda dengan ibu
Janin RhTidak bermasalah
Tabel perpaduan Rhesus ayah dan ibu tersebut menunjukkan kondisi Rhesus yang terjadi pada si janin. Perlu diperhatikan, saat ayah memiliki Rhesus positif dan ibu memiliki Rhesus negatif, janin akan memiliki Rhesus positif. Hal tersebut sangat berbahaya karena Rhesus yang dimiliki oleh janin berbeda dengan Rhesus sang ibu. Tubuh sang ibu akan meresponsnya dengan membentuk antibodi/anti-Rhesus yang akan mengancam janin. Akibatnya, kematian di dalam rahim bisa terjadi pada janin tersebut. Jika sudah lahir pun, bayi tersebut akan terganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Karena itu, informasi mengenai Rhesus sangatlah penting, terutama untuk orang-orang yang memiliki Rhesus negatif. Jadi, apa Rhesus Anda? [Luthfian Hanif F.]
Majalah Civitas | Maret 2013
35
Motif
Tantang Adrenalin dengan
Airsoft Gun
Oleh: Indra Pratama*
STAN Airsoft and Tactical Combat Community (Satcom) Foto: Dok. Media Center STAN
Menjadi penembak ahli tak harus berteman dengan senapan asli. Jika perizinan kepemilikan terasa sulit, airsoft gun dapat menjadi solusi bagi para penggemar senjata api. Apalagi jika bergabung dengan komunitas yang memiliki kesamaan hobi, kemampuan berstrategi dapat diasah hingga ketangkasan terus bertambah.
36
S
TAN Airsoft and Tactical Combat Community (Satcom) adalah organisasi yang menaungi mahasiswa dan alumni STAN yang memiliki hobi bermain airsoft gun. Sesuai dengan namanya, organisasi ini berfokus pada seluruh permainan airsoft gun—war game dan tembak reaksi— termasuk eksplorasi strategi. Satcom dibentuk atas tindak lanjut dari diskusi siber di jejaring sosial Facebook dalam grup Mahasiswa Akuntansi STAN 2010. Dari obrolan di dunia maya tersebut, mahasiswa yang samasama tertarik pada airsoft gun akhirnya melakukan kopi darat perdana (08/09/2012) di Taman CD yang dihadiri oleh 24 orang. Pertemuan tersebut melahirkan organisasi STAN Kokang Club (SKC) yang—seiring waktu dan atas saran para anggotanya— berubah nama menjadi STAN Airsoft and Tactical Combat Community. Hingga kini, sebanyak 31 mahasiswa sudah tercatat sebagai anggota Satcom.
Majalah Civitas | Maret 2013
Motif Mengenal Airsoft Gun Airsoft gun merupakan mainan yang berupa replika senjata api.
sebagai mainan daripada airsoft gun bertenaga AEG dan gas. Tipe tersebut sebenarnya sering kita mainkan saat kecil, di mana kita menyebutnya sebagai pistol-pistolan. Melatih Kepribadian
“Permainan ini awalnya dimulai di Jepang pada tahun 1970-an, saat kepemilikan senjata api sangat sulit didapatkan dan bahkan menjadi tidak mungkin karena ketatnya peraturan.”
Untuk menindaklanjuti tujuan-tujuan tersebut, diadakanlah pertemuan rutin Satcom setiap hari Jumat dan Sabtu. Pertemuan hari Jumat diagendakan untuk ajang kongko, Airsoft
Para pencinta senjata api akhirnya menemukan cara legal untuk memuaskan hobi, yakni melalui airsoft gun. Sekarang, hobi ini sudah menjalar ke seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Selain menjadi wadah untuk menyalurkan hobi airsoft gun, Satcom juga merupakan sarana olahraga yang dapat melatih kemampuan kepemimpinan dan strategi. Satcom pun dapat menjadi media penjalin silaturahmi dan memperluas koneksi dengan sesama maupun selain mahasiswa STAN.
Airsoft gun yang bertenaga spring serta berbahan dasar plastik ABS dan sejenisnya lebih dianggap
c
Permasalahan peraturan perizinan mengenai airsoft gun hingga kini masih berlarut-larut. Karena itu, Satcom sampai saat ini hanya membolehkan para anggotanya menggunakan airsoft gun tipe spring dan berbahan dasar plastik ABS (acrylonitrile butadiene styrene) dan sejenisnya.
to: nsc.s
Karena pada dasarnya airsoft gun bukanlah senjata yang dapat mematikan orang, para airsofter menyebut airsoft gun bukan sebagai senjata, melainkan unit. Airsoft gun hanya mainan yang dibuat untuk memuaskan hobi. Amunisi yang digunakan adalah peluru plastik berbentuk bulat yang biasa disebut ball bearing (BB).
gun. Fo
Airsoft gun biasanya berukuran sama dengan senjata api asli. Berdasarkan tenaga penggerak, airsoft gun dibagi menjadi tiga jenis utama: spring yang bertenaga pegas, Automatic Electric Airsoft Gun (AEG) yang ditenagai oleh motor/dinamo elektrik, serta airsoft gun yang menggunakan gas bertekanan tinggi sebagai sumber tenaga.
kumpul kangen, latihan tactical, dan bongkar-bongkar unit. Pertemuan ini diadakan pukul 19.00 WIB dan bertempat di Plasa Mahasiswa atau Student Center. Latihan tactical biasanya diadakan di area parkir Student Center dan dipandu oleh pelatih. Hari Sabtu merupakan jadwal untuk war game yang dimulai dari pukul 09.00 WIB. Untuk war game alias perang-perangan, Satcom menerapkan beberapa peraturan dasar keamanan. Setiap airsofter yang memasuki lapangan permainan wajib menggunakan sarung tangan dan google (kacamata khusus). Airsofter dilarang menembakkan unit kepada hewan maupun orang yang tidak memakai
Majalah Civitas | Maret 2013
37
Motif pelindung atau yang berada di luar lapangan. Kecepatan tembak tiap unit pun dibatasi, maksimal 350 fps (feet per second). Skenario permainan ada bermacam-macam jenis. Yang sering dimainkan oleh Satcom adalah skenario death match, di mana para airsofter dibagi menjadi dua tim yang akan saling menyerang. Setiap terkena tembakan, airsofter harus keluar dari lapangan permainan selama 20 detik, setelah itu baru boleh masuk kembali ke lapangan. Airsofter yang sudah tertembak lebih dari tiga kali tidak dapat melanjutkan aksi. Pemenang permainan ini adalah tim yang terakhir bertahan. Permainan dengan airsoft gun adalah olahraga yang menyehatkan. Dipenuhi taktik dan strategi, war game tentunya dapat menjadi pemicu adrenalin tersendiri bagi para pegiatnya.
“Dalam permainan ini, airsofter juga diajarkan untuk menjadi pribadi yang jujur..” memimpin para pemainnya, sebab setiap tim harus menunjuk seorang ketua yang bertugas mengoordinasi dan mengarahkan pasukannya demi merebut kemenangan. Jika Anda ingin bergabung dengan Satcom, silakan hubungi 087774198558 (Indra), 089667420811 (Fachmi), atau 08997415237 (Erlang). *) Penulis adalah Ketua STAN Airsoft and Tactical Combat Community
Dalam permainan ini, airsofter juga diajarkan untuk menjadi pribadi yang jujur karena tidak ada detektor apa pun yang dapat menandakan apakah seorang airsofter terkena tembak atau tidak, sehingga dibutuhkan kejujuran untuk mengetahuinya.
Foto: Dok. Media Center STAN
Anggota Satcom dilatih untuk menjadi cerdas, cermat, dan cepat tanggap dalam permainan ini. War game juga dapat mengasah kemampuan
38
Majalah Civitas | Maret 2013
Satire
Majalah Civitas | Maret 2013
39
Obrolan Bengkel
Menciptakan Diri Sendiri
Teman saya tadi hanya tersenyum, dia mengira saya bercanda, sebuah candaan yang tidak lucu tentu saja. Padahal saya sedang benar-benar serius, dengan sebuah pesan yang benar-benar ingin saya sampaikan, bahwa setiap orang adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Di kuliah lainnya, saya ngobrol lagi dengan teman yang berbeda. Mencoba menganalisis, mengapa si A bisa memiliki sikap begini dan begini, si B begitu dan begitu. Lingkungan tumbuh, latar belakang pendidikan, suku, keluarga, teman bermain, hingga cuaca dan iklim, bahkan pemenang pertandingan sepak bola dini hari tadi, ternyata bisa menjadi alasan yang disebut-sebut dapat memengaruhi perilaku hidup seseorang. Ada yang hari ini marah-marah karena sepatunya hilang, ada yang merasa menjadi orang paling sengsara karena kuliah mendadak dibatalkan, ada pula yang mengeluh seharian karena tim favoritnya gagal menjuarai liga.
“Don’t let ‘em say you ‘aint beautiful.” (Eminem, Beautiful)
S
aya pernah berbincang dengan seorang teman di tengah perkuliahan, tentang mata kuliah Kapita Selekta Pengembangan Kepribadian yang sedang dijalani beberapa spesialisasi di Kampus STAN. Salah seorang seorang dosen mata kuliah tersebut memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk membuat buku tentang life planning. “Jika ada dosen yang memintamu untuk menulis sebuah buku tentang dirimu, kamu akan menulis apa?” tanyanya ketika itu. Saya katakan bahwa saya akan menulis buku berjudul Create Yourself.
“Bukunya hanya akan diisi dengan kertas-kertas kosong, tanpa tulisan sedikit pun, sehingga pemilik bukunya bisa menulis sendiri isinya,” jelas saya panjang lebar. “Kan ‘create yourself’,” kata saya lagi.
40
Majalah Civitas | Maret 2013
Mungkin memang demikian. Bersikap reaktif, mengeluh, dan menyalah-nyalahkan keadaan, bagi kebanyakan orang, jauh lebih gampang ketimbang mengambil tanggung jawab bagi diri sendiri. Namun saya rasa, di situlah perbedaan jalan antara pemenang dan pecundang.
“... di situlah perbedaan jalan antara pemenang dan pecundang.” Kisah Nyai Eroh dari Pasirkadu, Tasikmalaya, Jawa Barat, mungkin bisa menjadi pelajaran. Wanita ini mendapat penghargaan Kalpataru pada 1988 atas usahanya “melubangi” bukit cadas sepanjang 45 meter untuk mengalirkan air ke sawahnya. Ia melakukan hal itu sendirian, pada usia 50 tahun, dengan hanya menggunakan linggis. Menurut berbagai sumber yang saya baca, sebelum akhirnya beberapa warga turut membantu, awalnya Nyai Eroh sempat dicemooh warga atas “ide gila” itu. Namun, para pemenang
Obrolan Bengkel memang seperti ini. Mereka sadar betul bahwa merekalah tuhan bagi diri mereka sendiri, bukan alam, bukan cemoohan. Coba kita lihat diri kita. Seberapa sering kita menyalahkan batu yang menyandung kaki, sementara tak sekali pun kita berusaha menyingkirkan batu itu dari jalanan? Berapa banyak umpatan yang sudah kita keluarkan saat hujan turun membasahi badan, padahal kita sendiri yang lupa menyediakan payung? Mencelacela hujan, seolah kita lebih tahu daripada Tuhan. Sering kali dalam banyak kejadian kita mengambil posisi sebagai korban atau objek, padahal kita bisa saja memilih posisi subjek. Hal-hal semacam ini, menurut Sean Covey, merupakan bagian dari kebiasaan tidak efektif seseorang.
Saya tidak mengatakan bahwa memilih jalan proaktif terhadap segala hal menjadikan diri kita sebagai penanggung jawab utama dan mengabaikan hambatan-hambatan di luar sana adalah hal yang mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa.
Kita hanya perlu memulainya dari pikiran. Sebagaimana seorang penulis Skotlandia, Samuel Smiles (1812—1904) mengatakan, bahwa saat kita menanamkan pemikiran, kita akan menuai perbuatan; saat kita menanamkan perbuatan, kita akan menuai kebiasaan; saat kita menanamkan kebiasaan, kita akan menuai “Jika perasaan karakter. Jadi bukannya, kita adalah sebuah “Bisa sih, tapi kok susah,” melainkan, “Susah sih, tapi televisi yang bisa bisa kok.”
memutar banyak genre film, pastilah kita sendiri yang memegang remote control-nya.”
Cara-cara bersikap dan berpikir reaktif ini akan membentuk diri kita menjadi pribadi yang kehidupannya sebagian besar dipengaruhi—ditentukan lebih tepatnya— oleh lingkungan, orang lain, komentar, dan semua hal yang sejatinya tak pernah bisa dikendalikan oleh diri sendiri. Sebagaimana Aristoteles menyampaikan, “You are what you repeatedly do.” Saya teringat peristiwa tanya jawab di kelas. Saat itu teman saya membisikkan satu jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh dosen. Teman saya ini tidak mau menjawab langsung pertanyaan itu karena khawatir jawabannya salah, dan dia tidak siap menerima komentar dari teman-teman terhadap jawabannya yang salah itu. Teman saya ini, telah menjadikan komentar orang lain sebagai ketakutannya, sebagai tuhan yang memengaruhi perasaan dan tindakan-tindakannya. Hari itu, dia merasa telah melakukan hal yang benar karena jawaban yang ia pikirkan nyatanya memang salah. Dia merasa menang atas pilihannya, tapi sebenarnya, dia telah kalah.
Perubahan kecil dari pikiran itu, jika disikapi secara kontinu akan membawa efek besar bagi diri kita. Bayangkan sebuah pesawat akan terbang dari bandara di New York menuju Tel Aviv. Jika dilakukan perubahan satu derajat saja ke utara, pesawat itu akan tiba di Moskow ketimbang Tel Aviv. Maka, mulai hari ini dan seterusnya, marilah bersikap sebagai tuhan bagi diri kita sendiri, tuhan yang menentukan bagaimana kita akan menjalani hari dan perasaan apa yang akan kita rasakan. Karena kita yang bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri, kita yang menjadi aktor utama dalam drama kehidupan kita sendiri, mengapa harus membiarkan hal-hal lain mengintervensi? Jika perasaan kita adalah sebuah televisi yang bisa memutar banyak genre film, pastikanlah kita sendiri yang memegang remote control-nya. Seperti Abraham Lincoln pernah mengatakan, “Manusia, bahagia atau tidak, adalah tergantung pilihannya sendiri.” Sesederhana itu. [Tri Hadi Putra]
Majalah Civitas | Maret 2013
41
Wawancara Bicara mengenai wajah hukum di Indonesia sulit terlepas dari tindak korupsi. Bukan hanya masyarakat, penegak hukum pun tak jarang terlibat dalam kasus yang menjadi musuh besar bagi kemajuan bangsa tersebut.
U
sai acara Speak Anniversary yang diadakan di Kampus STAN pada 15 Desember 2012 lalu, reporter Civitas sempat berbincang dengan Denny Indrayana yang menjadi narasumber pada acara tersebut. Denny yang merupakan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI memaparkan pandangannya mengenai dunia hukum di Indonesia. Apa komentar seorang Denny tentang praktik hitam di dunia penegakan hukum Indonesia? Apa pula alasan Denny mengeluarkan statement yang sempat membuat beberapa advokat gerah? Berikut petikan wawancaranya. Di masyarakat sering muncul persepsi bahwa hukum dibuat hanya untuk formalitas tanpa dilaksanakan secara benar. Menurut Anda, apa hakikat fungsi hukum yang diciptakan manusia? Hukum itu aturan, sarana prasarana, dan budaya. Aturan dan sarana prasarananya ini enggak bisa terpisah. Aturannya sudah bagus, (tetapi) sarana prasarananya enggak memadai, (atau) budaya hukumnya belum tumbuh, enggak akan bisa jalan.
Foto: www.medanmagazine.com
Sejenak Menyorot
Hukum 42
Majalah Civitas | Maret 2013
Wawancara (Misal) aturannya tidak boleh ada narkoba di dalam lapas dan rutan. Ternyata sarananya, alat deteksi narkobanya, enggak ada. Apalagi pegawainya tidak memadai. Di Banjarmasin itu (tahanannya) dua ribu (orang), yang jaga sembilan. (Apakah itu) cukup? Kondisi lain, sarana prasarana enggak ada, regulasinya enggak ada, tapi budaya sudah tumbuh. (Contohnya) budaya jujur, berani jujur itu hebat. (Kalau) regulasi (korupsi) enggak ada dan sarana prasarananya minim sekali pun, tetapi budaya untuk jujur itu ada, korupsi juga enggak akan terjadi. Jadi, membangun budaya antikorupsi, membangun budaya taat hukum, tidak kalah penting dengan membangun aturan. Dengan membuat aturan, apakah (semua masalah) selesai? Bikin undang-undang antikorupsi, (apakah) korupsi selesai? Enggak. Bikin perda three in one, (apakah masalah) selesai? Enggak, enggak cukup. Akan muncul joki, akan muncul macam-macam. Bikin perda (nomor polisi) genapganjil, enggak cukup juga kalau budaya hukumnya enggak memadai. Akan ada macam-macam pelanggaran nantinya; orang nembak nomor, ganti nomor, atau yang lain. Jadi, aturan hanya salah satu (unsur) saja, perlu dilengkapi dengan sarana prasarana, perlu dilengkapi dengan budaya hukum yang baik. Mengenai hukum dan peraturan yang disusun oleh lembaga legislatif, yang rentan dengan kepentingan politik di dalamnya, bagaimana aspirasi masyarakat bisa masuk dalam proses penyusunan itu? Aturannya sih mengatakan begitu, wajib ada partisipasi masyarakat. Itu diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Tetapi agar prosesnya ini mengeluarkan output (yang) bagus, input-nya juga harus dilihat. Apa input untuk mengeluarkan output yang baik? Input-nya adalah eksekutif yang baik dan legislatif yang baik. Hasil proses legislasi output yang tidak baik juga dipengaruhi oleh input. Kalau UU, input-nya ya pemilihan presidennya harus bagus, pemilihan
anggota DPR-nya harus bagus, partai politiknya harus bagus, (sehingga) rakyat dapat memilih partai politik yang bagus. Jadi, proses input-nya ini juga harus kita benahi. Mekanismenya adalah partisipasi publik, proses yang transparan, proses yang deliberatif1). Diskusi di dalam itu, itulah mekanisme yang harus kita benahi. Proses politik harus kita benahi. Proses pemilu harus kita benahi. Pendidikan politik masyarakat harus juga kita tingkatkan, agar masyarakat— pada saat memilih—tidak lagi milih siapa yang ngasih amplop paling banyak, siapa yang iklan kampanyenya paling banyak. Kalau kita memilih hanya berdasarkan itu, kita bisa salah pilih. Bisa jadi yang terpilih (adalah) orang yang paling banyak korupsinya, yang paling banyak duitnya. Yang paling penting, pilihlah berdasarkan rekam jejaknya. Siapa sih calon ini? Dia dulu kerjanya di mana? Apa yang dia lakukan? Siapa dia? Anggota legislatif di daerah saya ini, bagaimana rekam jejaknya? Rekam jejak antikorupsi, rekam jejak anti pelanggaran HAM, rekam jejak anti perusakan lingkungan, anti kekerasan dalam rumah tangga, anti penggelapan pajak, dan seterusnya, itu dilihat. Input-nya bagus, makanismenya kita benahi, baru kita bisa bicara output yang bagus. Kalau sekarang output-nya dianggap tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat, yang salah tidak hanya di output, tetapi juga di mekanisme dan input. Seluruh proses biasanya begitu, (dilihat dari) input-nya, mekanismenya, serta output-nya. Jadi, pandangan kita ke depan adalah membenahi input politik kita agar pada saat “dimasak” menghasilkan “makanan” yang nyaman untuk dimakan. Kalau bikin ayam panggang, ayamnya dipotong tidak dengan (mengucapkan) bismillah, kemudian dimasaknya sudah agak layu, yang memasak enggak bisa masak ayam panggang, jadinya ayam yang enggak bisa dimakan. Jadi, “ayam” yang tidak bisa dimakan ini harus kita lihat dari bagaimana cara memasaknya dan apa bahan mentahnya.
Majalah Civitas | Maret 2013
43
Wawancara Terkait proses hukum, apa tanggapan Anda mengenai seorang pengacara yang bekerja sama dengan pengacara pihak lawan untuk memperpanjang proses pengadilan, demi mendapatkan honor lebih?
dibela terus, uangnya diterima juga. Pokoknya maju tak gentar bela yang bayar. Segala strategi dilakukan untuk menyerang KPK dan membela kliennya, walaupun buktinya sudah jelas. Itu yang saya kritisi, bukan profesi advokatnya.
Ya, itu banyak. Advokat macam-macam modusnya. Semua yang bisa mereka transaksikan akan ditransaksikan untuk uang. Advokat main di dua kaki, di klien dapat (honor), di lawan dapat (honor), bisa. Polisi bisa jual SP3, hakim bisa jualan vonis, kurator bisa jualan kepailitan, dan seterusnya. Jadi modusnya bermacam-macam dan biasanya itu masuk korupsi semua karena transaksinya paling banyak dengan uang.
Kalau (kalimatnya) dipotong hanya sepenggal, jadi problematik. “Advokat koruptor adalah koruptor” dianggap menghina profesi advokat, menganggap orang tidak boleh dibela, menganggap advokat sama dengan kliennya, melarang advokat terima honor. Saya enggak bicara itu. Saya sedang bicara advokat yang melakukan malapraktik.
Penegakan hukum itu masih salah satu yang harus kita bersihkan dengan cara-cara yang lebih intens dan lebih efektif karena salah satu yang paling merusak adalah korupsi di bidang penegakan hukum. Seluruh profesi penegakan hukum harus dibersihkan, tidak hanya advokat. Kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepaniteraan, kenotarisan, atau profesi lain yang terkait, itu semua bisa menjadi bagian dari praktik mafia peradilan. Selama penegak hukum kita masih transaksional, selama penegakan hukum kita masih koruptif, selama mafia peradilan masih parah, memang hukum makin berjarak dengan keadilan. Kita harus melakukan dua langkah, pencegahan dan penindakan. Pencegahannya, dibangun sistem antikorupsi di masing-masing profesi itu: penegakan kode etik, penegakan sistem antikorupsi, hukuman disiplin, dan lain-lain. Di bidang penindakan, kalau masih ada yang melakukan ya ditangkap, diadili, dihukum yang berat. Beberapa waktu lalu Anda pernah mengeluarkan statement yang membuat kalangan advokat gerah, yakni “advokat koruptor adalah koruptor”. Sebenarnya apa maksud kalimat tersebut? Advokat koruptor adalah koruptor, yaitu yang membela secara membabi buta, menghalalkan segala cara, dan tanpa malu menerima uang hasil korupsi. Udah tau dia (klien) korupsi, tapi tetap
44
Majalah Civitas | Maret 2013
Dan ini bukan statement saya yang pertama. Sejak tahun 2000, waktu saya kuliah, saya bikin Indonesian Corrupt Monitoring (ICM). Itu sudah bicara praktik mafia hukum, advokat yang korup, jaksa yang korup, politisi yang korup, bukan menghina profesinya. Tetapi kemudian dipelintirkan menyerang profesi, padahal saya sedang bicara semangat antimafia peradilan. Di kampanye yang lain ada yang bilang politisi busuk misalnya. Itu bukan berarti kita menolak profesi politisi. Kita butuh politisi yang baik. Saat bilang politikus yang busuk, yang sedang kita sasar adalah politikus yang korupsi, politikus yang melanggar HAM, politikus yang punya background kekerasan dalam rumah tangga, politikus yang merusak lingkungan, dan seterusnya. Jadi, terkadang dalam hal korupsi kita harus (bicara) dengan bahasa yang tegas dan lugas. Disuruh minta maaf, saya minta maaf kepada advokat bersih. Saya bilang, saya minta maaf kalau menimbulkan kesalahpahaman. Tapi permintaan maaf saya kepada advokat bersih, kepada advokat hitam saya enggak minta maaf. Artinya, itu (advokat hitam) yang harus kita lawan, supaya memperjelas. Itu adalah strategi untuk memperjelas bahwa yang kita harus lawan sama-sama adalah advokat yang tidak bersih. Memang, di tengah suasana semacam ini kita harus siap dengan serangan balik. KPK dihantam, statement begitu pun dihantam. Memperdebat remisi terhadap terpidana korupsi digugat, UU KPK diuji di MK berkali-kali, 17—18 kali. Itu risiko
Wawancara dan itu hanya bagian kecil saja. Itu tantangantantangan dalam konsistensi pemberantasan korupsi. Apa pendapat Anda mengenai orang yang melanggar peraturan-peraturan sederhana, seperti menyerobot lampu merah misalnya? Korupsi itu paling sederhana bentuknya adalah kebohongan. Makanya, jujur itu hebat, sangat mendasar dan sangat penting. Orang yang punya kebiasaan berbohong akan punya bibit unggul untuk korupsi. Orang yang bolos, titip tanda tangan (untuk) absen kuliah, itu punya potensi untuk menjadi koruptor. Mahasiswa yang tergoda nyontek untuk dapat nilai baik, punya potensi untuk menjadi koruptor. Jujur itu kata kuncinya. Jujur itu memang hebat, sangat hebat. Melanggar lampu merah, menyuap saat hendak bikin KTP, nembak SIM, itu semua adalah bibit-bibit korupsi. Siapa pun harus mulai dengan hal-hal basic. Kita semua harus menanam benih-benih kejujuran dan memberantas benih jamur kebohongan.
Kalau bicara duta antikorupsi, sebenarnya sekarang di masing-masing unit kerja itu ada orang-orang yang ingin ada perubahan. Tapi tidak jarang yang tidak tersambung, tidak terkoneksi dengan baik. Kalau di level pimpinan banyak, di KPK apalagi. Kalau di Kementerian Keuangan, Bu Sri Mulyani. Pak Agus sekarang juga oke. Ditjen Pajak, sekarang banyak perubahan-perubahan. Kalau di Kementerian Hukum dan HAM, kita dorong betul untuk membangun komunikasi horizontal dan vertikal dengan teman-teman sejawat dan atasan. Kemudian konsisten, bukan menjadi pengikut arus. Kalau ternyata arusnya ngasih (kesempatan) buat korupsi, bertahan. Jadilah champion perubahan di situ. Ada risikonya? Hadapi. [Ericha/Muamaroh/Tyas] Vokabuler Deliberatif: menimbang-nimbang, konsultasi. Demokrasi bersifat deliberatif jika kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik.
1)
Apa pesan Anda untuk mahasiswa STAN yang lingkungan kerjanya nanti sangat rentan dengan budaya-budaya korupsi? Sekarang memang tantangan untuk memberantas korupsi itu bisa jadi ada di lingkungan kerja. Maka, pertama, bangun jaringan dengan teman-teman yang sepaham. Artinya, bangun juga jaringan komunikasi kerja. Kedua, identifikasi pimpinan yang sepaham, kemudian minta agar kebijakan-kebijakan antikorupsi yang dikedepankan. Bangun sistem perlindungan pelapor. Di lingkungan kerja itu sekarang ada perlindungan bagi pelapor, kalau ada penyimpangan bisa dilaporkan. Intinya, sistem yang lebih kondusif bagi antikorupsi yang harus dibangun, tapi enggak mungkin (melakukannya) sendirian. Dan kalau posisinya di bawah, kita harus punya cantolan ke atasan.
Majalah Civitas | Maret 2013
45
Foto: Dok. Media Center STAN
Obrolan Bengkel
Sudut Pandang
Tentang
Coba kaulihat timur dari selatan dan pandang juga ia dari barat sana. Bergeser lagi, arahkan matamu padanya dari utara. Timur selamanya timur, tapi ia bisa tampak berbeda jika dilihat dari setiap titik lintang dan bujur. Satu hal yang sama bisa jadi terdefinisi begitu rupa, bergantung dari mana, kapan, dan sebagai apa kita memandangnya.
B
ertahun-tahun menjadi pedestrian membuat saya sensitif akan hak-hak pejalan kaki, terutama jika di jalan raya atau di jalan biasa saja yang cukup ramai dilintasi kendaraan bermotor. Saya sadar untuk selalu jalan di sebelah kiri, mepet-mepet takut diserempet.
Atau ketika ingin menyebrang jalan lebar. Tangan sudah direntang, berharap diberi kesempatan untuk ke seberang, tapi seringnya motor dan mobil tetap melaju kencang—mengabaikan saya yang ingin mencapai seberang. Untuk menghibur diri, saya cuma bisa berkata, “Sabar kawan, jalanan memang kejam.”
Yang paling ampuh membuat saya misuh-misuh adalah ketika hujan atau jalanan becek. Berjalan sudah hati-hati, menghindar kubangan di sana sini, tapi tak jarang ada kendaraan bermotor yang melintas sembarangan sambil menciprat air kubangan.
Sesekali saya juga menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Saya akan merasa berstatus lebih tinggi dari seorang pejalan kaki jika di posisi ini. Meski begitu, tak berkurang juga rasa sensi terhadap pengendara motor dan mobil—yang sering mengirim nyaringnya suara klakson kepada
46
Majalah Civitas | Maret 2013
Obrolan Bengkel pengendara sepeda. Selain kaget, saya merasa jadi pengguna jalan paling lelet. Menjadi penumpang kendaraan umum, saya kerap kesal kepada pengendara motor yang suka menyerobot. Salip sana salip sini, membuat sopir kendaraan umum—yang sayangnya kebanyakan ugal-ugalan—sering berhenti mendadak. Pada akhirnya, penumpang yang tidak nyaman karena harus terguncang-guncang. Giliran saya menjadi pengendara motor, saya sendiri sering tidak sabar pada pejalan-pejalan kaki yang berjalan memagar. Berjalan memagar di sini maksudnya beberapa pejalan kaki melintas bersama dengan formasi berderet ke samping hingga memakan cukup banyak ruas jalan— tentunya ini terjadi di jalan yang tidak memiliki trotoar. Pada akhirnya, klakson yang saya suruh bersuara untuk menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya jalan raya milik bersama.
mereka mengetem sembarangan membuat jalan yang sudah semrawut semakin tak keruan. Belum lagi kebiasaan berhenti sembarangan demi menaikkan atau menurunkan penumpang, membuat saya enggan melaju di belakang mereka. Meski harus menyalip sedemikian rupa, saya selalu berusaha mendahului kendaraan umum karena tidak mau ikut-ikutan berhenti mendadak ketika ia berhenti semaunya. Kala hujan turun, saya sebagai pejalan kaki atau pengendara motor sering iri pada orang yang bisa terus melaju santai di dalam mobil tanpa kebasahan. Ketika saya yang di dalam mobil, jarang sekali saya peduli pada orang yang kehujanan.
“Ini menandakan, salah satu cara untuk bisa memahami orang lain adalah dengan mencoba memosisikan diri sebagai orang tersebut, mencoba berpikir dengan sudut pandangnya, untuk bisa mengerti apa yang ia rasa.”
Ketika ada orang ingin menyeberang, saya yang di atas motor sering menangkap gelagat keraguan pada mereka. Saya sudah mengurangi kecepatan dan berusaha memberi kesempatan, tapi mereka tak kunjung melintasi jalan. Kalau sudah begitu, dengan sedikit menggerutu, saya pun terus melanjutkan perjalanan. Ketika ada pengendara sepeda, saya dan motor selalu ingin mendahului mereka. Tidak mungkin juga saya mengekor di belakang sepeda, terlalu lama tentunya. Demi memberi tahu yang di atas sepeda bahwa saya ingin mendahuluinya, klaksonlah yang berbicara. Memang membuat kaget, tapi itu saya lakukan karena tak mau pengendara sepeda kena serempet.
Masih sebagai pengendara motor, saya sering sewot kepada sopir kendaraan umum. Kebiasaan
palang dibuka.
Dalam posisi apa pun— entah pejalan kaki entah pengguna kendaraan bermotor—saya sering geregetan jika hendak melintasi jalur kereta karena sering harus terjebak di belakang palang jalan kereta api. Lebih-lebih jika sedang diburu waktu, kereta yang melintas cepat terasa begitu lambat. Giliran saya yang di atas kereta, saya biasa saja melihat orangorang yang bergerombol di luar sana, menunggu ***
Tulisan di atas terinspirasi dari blog seorang kawan di fadshaka.multiply.com. Ada salah satu artikelnya yang berjudul Perspektif, singkat, tetapi begitu menggelitik dan mampu membuka mata akan esensi sebuah sudut pandang. Bukan hal yang mengherankan ketika pemerintah menuai banyak kritikan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Bagaimana tidak, jumlah penduduknya banyak dan isi kepalanya tidak selalu sama. Sebagian ada yang bisa memahami maksud pemerintah, yang lainnya belum tentu. Majalah Civitas | Maret 2013
47
Obrolan Bengkel Ada pula oknum-oknum yang selalu sinis, gemar mencari celah-celah kesalahan di setiap kebijakan. Di lain hal, sering kali kita terjebak dalam emosi ketika menghadapi orang yang berseberangan, baik dalam hal pikiran maupun perilaku. Aneh adalah satu kata yang mampu mendefinisikan apa yang tidak sejalan dengan pikiran kita. Padahal, keterjadian setiap peristiwa memiliki alasan, dan pengetahuan manusia akan alasanalasan tersebut sangat terbatas. Tak heran jika prasangka begitu banyak terserak dalam kisah kehidupan manusia. Seperti ketika saya menjadi pengguna jalan dengan posisi yang berbeda-beda. Saat menjadi pejalan kaki, saya sering berpandangan negatif pada pengendara motor atau mobil yang tampak lebih berkuasa dari seorang pedestrian. Namun, ketika posisi diganti, saya menjadi tahu alasan di balik tindakan pengendara yang terkesan semenamena, seperti yang saya paparkan di atas. Begitu pun saat saya menjadi pengendara motor atau mobil. Seharusnya saya tahu kenapa banyak orang yang ragu ketika ingin menyeberang jalan. Kebanyakan sudah pesimis di awal, takut tidak diberi kesempatan untuk menyeberang. Pada akhirnya sering terjadi tunggu-menunggu antara
48
Majalah Civitas | Maret 2013
motor atau mobil dengan penyeberang, yang berakhir dengan gerutuan di masing-masing pihak. Kalau sudah pernah merasakan berada di kedua posisi itu—pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor—seharusnya bukan pikiran negatif yang timbul ketika keduanya berpapasan, melainkan sikap saling memaklumi serta menghargai hak dan kewajiban masing-masing. Sering kita dengar ungkapan, “Coba kamu jadi aku,” atau, “Kamu enggak ngerasain sendiri sih,” yang kerap diucap oleh orang yang merasa tidak dipahami. Ini menandakan, salah satu cara untuk bisa memahami orang lain adalah dengan mencoba memosisikan diri sebagai orang tersebut, mencoba berpikir dengan sudut pandangnya, untuk bisa mengerti apa yang ia rasa. Mengerti dan memahami menjadi begitu penting dalam ranah sosial karena semua orang memiliki sudut pandang sendiri terhadap suatu hal. Jika salah dalam menilai, bisa-bisa kita menganggap kawan menjadi lawan, ataupun sebaliknya. Ketika seseorang menganggap A sebagai suatu masalah, bukan tak mungkin yang lain menyikapinya sebagai suatu berkah. Seperti dilema gelas yang
Obrolan Bengkel separuhnya berisi air. Ia seharusnya disebut gelas setengah kosong atau gelas setengah isi? Tidak ada jawaban mutlak di sini, semua bergantung dengan perspektif seperti apa kita memandang. Saya teringat sebuah lelucon di kalangan mahasiswa yang bercerita tentang angka 75. Ketika SD, mendapat nilai 75 merupakan hal yang begitu nista bagi kita karena kita merasa menjadi murid paling bodoh sedunia.
banyak hal yang tidak kita mengerti di sana, sebab pengetahuan manusia tidak dapat menggapai wilayah perspektif-Nya. Ketika sudah mengerti esensi sebuah sudut pandang, tak pantas rasanya jika kita melontarkan kalimat, “Tuhan tidak adil.” Itu, bagi saya, seperti mendeklarasikan diri sebagai orang yang paling sok tahu. Keadilan di mata manusia saja bisa berbeda-beda, apa lagi keadilan versi Sang Pencipta?
“... sebab pengetahuan manusia tidak dapat menggapai wilayah perspektif-Nya.”
Beralih ke masa SMP, kita hanya akan menganggap nilai tersebut sebagai akibat dari kekurangtelitian atau ketidakmaksimalan dalam belajar, tidak lagi sebagai hal yang harus disikapi dengan penyesalan begitu mendalam.
Beda lagi pandangan terhadap angka 75 itu, ketika kita sudah berada di zona putih abu-abu. Mendapat nilai 75, meski dirasa pas-pasan, tetap bisa membuat kita tersenyum karena setidaknya bisa terhindar dari remedi.
Yang saya tahu, Tuhan selalu menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Seberat-berat musibah yang menimpa, seperihperih takdir yang diberi, selalu ada hikmah yang bisa dicerna. Jika tidak bisa menemukan juga, coba lihat dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin saja, jawaban yang kita harap akan terlihat dari sana. [Sarah Khaerunisa]
Dan ketika sudah menjadi mahasiswa, mendapat nilai 75 justru bisa membuat kita menangis terharu saking bersyukurnya. Angkanya sama-sama 75, tetapi memiliki makna yang berbeda di setiap masa. Dari situ kita dapat memahami, bahwasanya pandangan terhadap suatu hal bisa berubah juga dengan variabel waktu. Pandangan kita sekarang seperti ini, di masa depan belum tentu akan selalu sama. Faktor kondisi dan kedewasaan diri mungkin banyak mengambil peran dalam hal ini. Yang saya bicarakan di atas baru sudut pandang antarmanusia. Belum sudut pandang antara manusia dengan makhluk lain, seperti binatang misalnya, yang jika dibahas tentu akan menguak frekuensi pemahaman yang lebih beragam. Terlebih jika kita mencoba mengkaji sudut pandang makhluk dengan penciptanya. Akan ada
Majalah Civitas | Maret 2013
49
Politik
Di Di Balik Balik Berita-Berita Berita-Berita Politik Politik
Belajar dari peristiwa People Power di Filipina (1986), Peristiwa Mei Hitam (Black May) di Thailand (1992), dan Reformasi di Indonesia (1998), kala itu, media yang memiliki pengaruh besar dalam menjatuhkan rezim otoriter, mampu memunculkan anggapan bahwa semakin independen peran pers di suatu negara, semakin besar pula kontribusi positifnya dalam perubahan politik di negara tersebut. Benarkah demikian?
F
.reedom of the Press
Kebebasan pers, sejatinya bukanlah produk asli Indonesia, melainkan sebuah adopsi dari konstitusi Amerika yang berisi pelarangan bagi Kongres untuk menciptakan undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Sebagaimana dikatakan Toby Mendel, salah seorang konsultan lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, dalam sebuah seminar tentang Human Rights and Freedom of the Press di Oxford pada 2000 silam, kebebasan yang semacam itu bahkan tidak terdapat di Inggris dan negara maju lainnya. Kondisi kebebasan di jagat media semacam ini tentu merupakan sebuah anugerah tersendiri, baik bagi pewarta maupun masyarakat. Ada
50
Majalah Civitas | Maret 2013
keterjaminan profesi dan kemudahan akses informasi yang lebih akurat, bebas, terbuka, dan variatif—meskipun tak selamanya demikian. Terlebih jika dihubungkan dengan dunia politik yang sarat kepentingan dan keberpihakan. Sirikit Syah, pendiri Media Watch, pernah menyampaikan sebuah contoh permainan media di dunia politik era Gus Dur dalam buku Rambu-Rambu Jurnalistik. Saat itu, ada kelompok yang menamakan diri mereka Front Pembela Kebenaran (FPK) yang menyatakan diri mendukung Presiden Wahid hingga 2004. Seperti solidaritas yang terjadi di kalangan ulama dan santri pada umumnya, para pendukung yang terdiri dari ribuan orang ini menyatakan akan berangkat ke Jakarta dengan tujuan yang jelas
Politik mereka katakan, yakni istigasah (berdoa) dan mendukung presiden mereka. Media mulai memelintir isu, menebar kecemasan di berbagai tempat, seolah akan ada kerusuhan besar-besaran dari massa pro Gus Dur ini. Seorang warga Betawi yang diwawancarai mengatakan, “Massa pro Gus Dur jangan sombong, jangan arogan, jangan macam-macam di rumah orang. Kami akan hadapi.” Kemudian, diwawancarailah lagi 2—3 orang yang merasa cemas. Di akhir sesi berita, narator menyampaikan seperti yang dilaporkan oleh reporternya di Jakarta, “Sebagian rakyat lain mengatakan tidak cemas dan tidak terpengaruh.” “Jurnalis televisi itu,” ujar Sirikit, “memiliki fakta bahwa ada orang yang terpengaruh dan ada yang tidak. Namun dipilihlah tiga narasumber yang terpengaruh. Berapa banyak rakyat yang tidak cemas, tidak panik, dan tidak terpengaruh, yang tidak terakomodasi suaranya?” kritisnya. Ada peran politik yang dimainkan media. Susan Pharr, pengamat politik media Jepang menyampaikan demikian. Peran-peran itu saling berlawanan. Ada yang melihat media sebagai pononton (spectator), penjaga (watchdog), pelayan (servant), dan penipu (trickster). Susan menjelaskan secara khusus poin tentang peran media sebagai penipu, di mana kata trickster di sini tidak ia pandang sebagai sesuatu yang negatif saja, tetapi juga secara netral dapat berarti positif. Hal ini disebabkan ia tak hanya menyoroti adanya keberpihakan pers pada satu entitas tertentu, tetapi juga karena pers, acap kali berusaha memenuhi loyalitas mereka kepada stakeholder (pembaca) yang beragam. Namun, kesimpulan ini datang dari kondisi pers di Barat, yang dilihat Susan sebagai pers yang hanya memiliki hubungan partisi formal dengan entitas-entitas politik yang ada. Keadaan tersebut berbeda dengan pers di kawasan Asia Tenggara yang dalam pandangan literaturnya, sering kali memiliki hubungan rumit dengan praktisi-praktisi politik yang ada; entah sebagai pemilik atau yang lainnya.
Lantas, bagaimana jika pers, dalam keberpihakannya, melakukan pemberitaanpemberitaan tidak objektif, tidak seimbang, dan merugikan pihak-pihak tertentu?
“Media mulai memelintir isu, menebar kecemasan di berbagai tempat, seolah akan ada kerusuhan besarbesaran ....”
Kita melihat kekuasaan pers yang begitu luas, yang menjadikan pers terlihat selalu benar. Hal ini bisa dilihat setidaknya dalam dua kasus; perseteruan antara Tommy Winata versus Tempo pada tahun 2009 dan antara Jawa Pos dan Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) pada tahun 2000. Dua kasus ini sama-sama tentang pencemaran nama baik, yang semuanya juga berakhir dengan kemenangan media di tingkat opini publik. Apakah pers tidak pernah kalah? Meskipun terlihat demikian, sebenarnya tidak juga. Pernah ada catatan di mana pers dikalahkan dalam proses peradilan. Seperti yang terjadi antara Z.A. Maulani melawan Sriwijaya Post dan Jendral Panglima TNI Endriartono Sutarto melawan Washington Post. Untuk kasus Z.A. Maulani versus Sriwijaya Post, Sriwijaya Post dikalahkan dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp200 juta rupiah. Penyelesaian kasus Endriartono Sutarto lebih sederhana. Washington Post kembali menginvestigasi pemberitaan yang disomasi, dan mereka memang menemukan kesalahan, sehingga redaksi Washington Post hanya perlu melakukan koreksi berita dan mengirimkan surat pemberitahuan kepada Endriartono Sutarto.
Majalah Civitas | Maret 2013
51
Politik Kebebasan pers yang seperti inilah yang bisa menjadi semacam euforia bagi para pewarta. Di sisi lain, yakni sisi objek berita, hal ini sangat bisa menjadi momok. Mengutip perkataan Thomas Jefferson, salah seorang Presiden Amerika, keberadaan freedom of the press lebih bisa mendatangkan manfaat ketimbang risiko yang muncul akibat ketidakberadaannya. Tentang Bahasa Dalam pers, ada bahasa politik dan ada politik bahasa. Bahasa politik misalnya perombakan kabinet, reformasi, koalisi, lengser, dan sejenisnya. Berbeda dengan politik bahasa, yang gunanya untuk menghaluskan atau mengeraskan suatu makna.
Lebih lanjut, Robert Fisk memiliki pendapat tentang hal ini. Ia secara khusus menyoroti bahasa-bahasa media dalam berita Timur Tengah. Menurutnya, wilayah Palestina yang dijajah Israel sering diucapkan dengan kalimat disputed land (wilayah sengketa), padahal tempat tersebut lebih tepat diucapkan sebagai colony (wilayah jajahan). Bahkan belakangan, media Barat menyebutnya settlement (wilayah hunian).
“Bahasa Fisk juga menyebutkan politik misalnya ketidaktepatan penggunaan perombakan kabinet, istilah fence (pagar) yang reformasi, koalisi, merujuk pada tembok di Yerusalem—yang lengser, dan sejenisnya. lebih tinggi daripada Berbeda dengan politik Tembok Berlin itu—untuk bahasa, yang digunakan menggantikan kata wall. untuk menghaluskan atau “Dengan menyebut fence, mengeraskan suatu seolah-olah itu (memang) makna.” bangunan yang ramah dan memang diperlukan untuk menjaga keamanan rumah kita,” jelas
Dalam Orde Baru, saat media masih belum dibebaskan, bahasa digunakan untuk menghaluskan. Misalnya kata desa tertinggal digunakan untuk memperhalus kata desa miskin, rawan pangan untuk kelaparan, dan diamankan untuk pengamanan— meskipun diamankan tak selalu berarti benar-benar aman; bisa pulang tapi babak Ilustrasi: Internet belur, misalnya.
Fisk.
Di Era Reformasi, yang terjadi adalah kebalikannya. Untuk tujuan-tujuan politik, media menggunakan bahasa untuk mengeraskan makna. Salah satu surat kabar menulis “Bila Mega Kalah, Banjir Darah” untuk judul berita utamanya. Contoh lainnya adalah CNN yang pernah diganjar larangan meliput di Iran, karena frasa teknologi nuklir yang diucapkan Ahmadinejad dalam bahasa Persia berubah menjadi senjata nuklir saat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Ironisnya, UU tentang kebebasan pers tidak diiringi dengan UU Perlindungan Privasi. Hanya pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) yang baru dikeluarkan KPI di tahun 2004 ada pasal mengenai perlindungan privasi, termasuk bagi figur publik.
52
Majalah Civitas | Maret 2013
Sering kali media menggunakan politik bahasa ini untuk memperjuangkan kepentingannya, terutama saat terjadi gugatan terhadap media di jalur hukum. Hal ini menjadi semacam ultimatum kepada pihak-pihak yang mencoba membawa masalah media ke muka persidangan.
Terkait hal ini, Sirikit Syah menjelaskan dua kasus di luar negeri yang bisa dijadikan rujukan. Yang pertama adalah kasus Naomi Campbell yang menang di peradilan atas gugatannya terhadap
Politik tabloid Inggris yang mengekspos kehidupan pribadinya sebagai pecandu alkohol. Kasus kedua menceritakan seorang Kanselir Jerman yang memperkarakan dan memenangi proses hukum atas pers yang mengusik kehidupan pribadinya— terkait rambut palsu dan istri keduanya.
Kasus majalah Playboy edisi Indonesia yang terbit di tahun 2006 adalah contohnya. Pada awal-awal kemunculan Playboy, beberapa ormas menolaknya dengan berbagai reaksi, mulai dari demonstrasi, perusakan kantor redaksi, hingga pengajuan perkara Playboy ke meja hijau.
“Ini membuktikan,” ujar Sirikit, “bahwa hukum di luar negeri tidak terpengaruh oleh media.”
Proses pengadilan berjalan dengan mendengarkan pendapat dari beberapa saksi ahli, di antaranya perwakilan pers, seni, pendidikan, dan keagamaan. Saat itu, sidang memutuskan bahwa Playboy bukanlah majalah porno dan dianggap tidak melanggar kesusilaan.
“Tidak ada yang boleh memiliki kekuasaan mutlak di dunia ini, terutama entitas dengan kekuasaan seperti pers,” ujar Sirikit Syah lagi. Ia berpendapat bahwa kekuatan hukumlah yang harusnya mengendalikan pers, bukan malah hukum yang ikut terpengaruh oleh opini yang dibangun oleh media. Pembaca Bijak Di antara kebingungan akan berita-berita politik yang rawan keberpihakan, ke mana masyarakat akan menentukan pilihan dan kepada media yang mana masyarakat harus meletakkan kepercayaan? Erick Tohir, dalam buku Pers Indonesia di Mata Saya memberikan penjelasan bahwa pada akhirnya, pasarlah yang menentukan. Ia mengacu pada titik tekan bahwa pers sejatinya adalah urusan bisnis dan pembaca adalah konsumen yang mengharapkan berita paling akurat.
Namun cerita tak selesai di sini. Playboy memang sempat terbit beberapa kali, tetapi akhirnya berhenti juga. Kekuatan konsumen media lebih ampuh untuk “memberedel” Playboy ketimbang putusan pengadilan. Maka, di tengah semua kegamangan sikap publik yang sering dibelok-belokkan media, sesungguhnya masyarakat yang menjadi konsumen media itulah kunci utamanya. Seperti diutarakan oleh Arthur Hays Zulberger, bahwa seiring dengan adanya surat kabar yang bertanggung jawab, mestilah ada pembaca yang bertanggung jawab. [Tri Hadi Putra]
Jika ada pers yang beritanya memihak, tidak cover both side (berimbang), dan tidak objektif, masyarakat akan tanggap dan tahu, sehingga pers yang demikian biasanya akan segera ditinggalkan. Tak ada pembaca, tak ada iklan, tak ada proses bisnis. Pers tersebut akan mati.
“
Maka, di tengah semua kegamangan sikap publik yang sering dibelokbelokkan media, sesungguhnya masyarakat yang menjadi konsumen media itulah kunci utama.
”
Majalah Civitas | Maret 2013
53
Sastra “Ia, sang pengelana sejati, pada akhirnya selalu kembali pulang, sejauh apa pun perjalanan dilalui.”
Alegori Soal
Nyali
Tetapi pasrah itu entah di mana sembunyinya, sehingga sampai saat ini, ia tak juga dapat menemukannya. Ia ajeg dalam kekukuhan hatinya. Perubahan, gerak, perubahan, tidak pernah berhenti.
R
asanya seperti mencabuti satu per satu cendawan yang tumbuh di hutan beledu. Lelah. Sia-sia. Bahkan melihat dirinya saja aku sudah langsung payah menyerah. Berharap suatu saat aku bisa menyuruhnya berhenti merajut asa di negeri orang-orang yang tak tahu diri— yang julukan itu ia beri sendiri. Aku tak sampai hati melihat perjuangannya yang kadang robek, yang coba ia tambal sulam berulang-ulang, mengutuhkan kembali semangat juang yang usang, sebelum ia memutuskan untuk pasrah.
54
Majalah Civitas | Maret 2013
Ya Tuhan, kalau lewat diri ini hatinya dapat luluh, izinkan aku mencarikannya harapan di tempat yang lasuh. Di tempat ini. Atau di gurun, di kaki gunung, di pulau seberang, di desa terpencil, di padang rumput, di mana saja, asal jangan di sana. Di tempat yang kaya namun ia sendiri berkata tempat itu negerinya orang-orang yang takut mati sengsara. Negeri orang-orang tak tahu diri. Atau biarlah ia di sini. Tak apa umpama orang-orang di negeri itu menghujatnya pengkhianat karena mencari makan di negeri bekas penjajah. Asal ia lebih dihargai, asal peluhnya membawa arti yang lebih, makna yang lebih bermakna. Dunia tidak sebatas negeri itu saja kan? Bunga-bunga lambat berwarna musim itu, mengingatkan kita akan warna-warna arkais1) dalam
Sastra hujan bisu. Kala langit sudah mulai magenta, aku menghampirinya. “Waar denk je aan?2)” tanyaku pada ia, yang kerut dahinya menggambarkan kerumitan ngarai kontemplasinya3). Ia terkejut sedikit sebelum akhirnya menengok ke arahku, mengurva senyum, lalu mencium tanganku khidmat. “Sengaja mengikutiku?” tanyanya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tepat di depannya berdiri gagah gedung yang ia pandangi sejak tadi, gedung yang hampir tiap hari ia kunjungi dengan tas terselempang dan buku-buku terengkuh lengan. “Dulu di sini, Hatta pernah bersekolah,” ujarnya.
“ ‘Mana yang lebih sering dipikirkan oleh pemuda yang usianya
Aku tersenyum, maju selangkah untuk menyejajarinya, “Posisimu ada di sampingku, Schat4).” “Seluruh senja yang kuhidu mendongengkan cerita tentang kesetiaan dan jalan pulang. Setelah semua ini selesai, aku rasa tak perlu berlelah-lelah menipu hati. Aku akan pulang. Ke Indonesia. Segera.” Pembicaraan hanya sampai di titik itu, titik di mana kemengertian dan ketidakmengertianku—atas apa yang hendak ia raih—menggumpal.
telah berkepala dua, janur kuning atau
Di meja belajarnya, aku menemukan buku terbuka. Halaman sekian, paragraf sekian, tergarisbawahi dengan acak-acakan. Tipikal lelaki.
bendera
Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan karena itu ia tidak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.*)
kuning?’ “
“Hatta?” “Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden Indonesia. Dia bersekolah di sini, negara yang waktu itu tengah menjajah negerinya.” Matanya sayu. Dan demi terus membersamai kata-katanya yang bagai penawar rindu, aku diam memperhatikan. “Apakah dia pengkhianat?” lanjutnya lagi. “Tentu saja tidak. Melalui pertemuan-pertemuan tingkat dunia, ia gelontorkan dengan gamblang seluruh orasinya tentang cita-cita Indonesia merdeka. Di sini, ia ganti bambu runcing dengan pena. Keberaniannya adalah cambuk. Ia tetap ada untuk negerinya, walau jasadnya jauh di Eropa.”
Potongan pidato purba itukah salah satu yang membuatnya ikut merasakan setajam-tajam duri penjajahan? Sehingga bekasnya ia rasakan sampai kini, berpuluh tahun lamanya setelah negeri itu merdeka. Membuatnya memilih bergerak walaupun kepayahan, karena ia tak cukup tega melihat negeri-orang-orang-tak-tahu-diri itu tenggelam. Oh, klise nian. “Mana yang lebih sering dipikirkan oleh pemuda yang usianya telah berkepala dua, janur kuning atau bendera kuning?”
“Lalu?” “Lalu?” ulangnya ragu. “Lalu? Lalu …, di mana posisiku sekarang? Hanya pemuda yang ingin keren-kerenan sekolah di luar negeri?”
*)
Pidato Hatta di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 8 Desember 1942, dalam memperingati pecahnya Perang Pasifik. Pidato yang menggemparkan karena tidak lewat sensor pihak Jepang yang saat itu sedang menjajah Indonesia.
Majalah Civitas | Maret 2013
55
Sastra Aku pernah mencuri dengar percakapan itu, pertanyaan yang menggertak rungu5). Teman-temannya tertawa, seakan ia sedang menceritakan sesuatu paling lawak sedunia. Padahal kalau mereka peka, mereka dapat membaca kelakuannya yang sedang menyisipkan satire sedingin pecahan es di Himalaya. Aku ingat ketika ia kecil berkata, “Serpih perbuatan baik apa saja yang telah aku kumpulkan dan perbuatan jahat apa saja yang telah aku lakukan, saat di bendera itu tertulis namaku, Ibu?” Ia menunjuk bendera kuning di pagar rumah tetangga. Di antara gelak tawa teman-temannya, ada satu yang bertanya, “Berkata begitu, karena Hatta berikrar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka? Dan kau mau berikrar begitu juga? Dih. Sadarlah, Boy. Market value kalian jauh. Ibarat makanan, beliau tahu, kau ampasnya.” Tawa itu buncah kembali. Satu orang menepuknepuk pundaknya. Ia sedang menahan kesal, tapi juga tak kuasa menahan tawa. “Hei, kenapa kau suka sekali dengan Bung Hatta?” “Karena ia tidak berdansa.” Di balik pintu, aku tak percaya kalau alasannya sesederhana itu. ***
“Kalau Ibu memilih di sini?” “Aku akan merindui Ibu dalam sempat maupun penat, di setiap saat, tak peduli jiwa sedang menguat atau pun rengat6). Dariku, Ibu akan tetap memiliki bakti dan hormat.” Dan tetap tak menggoyah tekadmu untuk mengorak sila7), kan, Nak? Berbulan-bulan setelah ia berkata ingin pulang, ia benar-benar membungkus baju dan bukubukunya untuk dibawa ke negeri itu. “Bukankah kehidupan akan lebih baik di sini? Kehidupan yang menghidupkan—di mana perjuangan terbalas dengan kepuasan dan prestasi yang akan kauraih hari demi hari. Bukan malah menumpuk kekecewaan yang bikin frustrasi. “Apa katamu tentang orang-orang tak tahu diri? Di sana banjir, dan ketika surut, orang-orang tak kapok untuk membuang lagi sampahnya ke sungai. Udaranya bau anyir, tapi tetap, mulutmulut mereka tak henti melontarkan caci maki terhadap apa pun, sampai mungkin telinga kita bisa ikut busuk mendengarnya. “Di sana orang hanya bisa mengutuk. Dan lihatlah apa yang terjadi pada mereka yang membagi cahaya? Dibungkam? Diterungku8)? Disingkirkan? Dibuang? Dihancurkan? Demi Tuhan, apa yang membuatmu harus kembali?!”
“Ibu tahu kenapa pemimpin yang adil doanya tak akan tertolak?”
Gumpalan ketidakmengertian itu mendominasi, hingga tak sadar suaraku makin meninggi.
Aku meletakkan kerajinan kruistik yang sedang kukerjakan, kemudian menggeleng lemah atas pertanyaannya. Demi terus membersamai katakatanya yang bagai nyanyian para ningrat, aku diam memperhatikan. Ia membalasnya dengan senyuman paling hangat.
“Aku tak akan melepas gelar mahasiswa jika hanya menjadi mahapatung, Bu. Aku tidak mau ikut-ikutan menjadi pemuda dari rahim ibu pertiwi dengan nyali yang teretardasi9), nyali yang tak pernah berakselerasi.
“Kewajibanku tunai, aku akan segera pulang. Pulang ke Indonesia. Maaf, tidak melibatkan Ibu dalam keputusan ini. Ibu ikut atau tetap di sini?”
56
Majalah Civitas | Maret 2013
“Bukankah itu yang menyebabkan orang-orang baik disingkirkan—nyali-nyali yang mengerdil tak berani melawan tirani? Maka itu harus ada yang berjuang menyingkirkan orang-orang jahat. Apa pun pengorbanannya, tak peduli rapal kutukan yang digenderangkan dalam pagi-petangnya.
Sastra “Biarkanlah, sekali lagi, orang-orang jahat bertekuk lutut di hadapan orang-orang baik. Seperti dahulu, saat pendahulu kita berdarahdarah mengudeta zaman kegelapan.” Bola matanya membulat, menghunjamku lamat-lamat.
“Teringat ucapannya dulu tentang nyali-nyali yang teretardasi dan mengerdil, yang setelah direnungi, banyak kebenaran frasa yang mulai menampakkan diri.”
“Memang semua ini sialan, tapi percayalah Ibu, aku punya cukup alasan. Aku telanjur jatuh cinta pada negeri itu, Bu. Negeri yang bobrok-bobroknya telah sempurna Ibu ungkapkan, walaupun Ibu luput mengungkap satu hal.” “Apa?” “Harapan. Sebelum benar-benar tenggelam, negeri itu masih punya harapan, Bu. Walau nyala harapan itu kecil dan lemah, ia tetaplah harapan yang menghidupkan. Yang kita butuhkan adalah nyali untuk meniup bara harapan itu, agar jadi api yang nyata menyala. Menerangkan!” Ia mengalihkan matanya dariku, memandang ke depan, dengan air muka ragu yang perlahan berubah yakin. Terbakar. Membakar. “Dan aku telah menawarkan nyaliku.” Aku hanya bisa menggerutu dalam hening. Tak ada lagi kata yang dapat menjadi alternatif hilir dari segala cerita ini. Ia menatapku untuk meyakinkan orasinya barusan, walau tetap tanpa rona. Tanpa berani menyingkap hijab hati, bahwa di situlah ia gali ceruk berisi carut-marut perasaan. Ode10) yang kau lantunkan tak pernah kumengerti, Nak. Kabut kiasannya terlalu pekat kelabu. Mungkin karena ia adalah pengelana sejati, dan aku hanya seorang ibu yang ingin anaknya nyaman setiap bangun pagi. Ia, sang pengelana sejati, pada akhirnya selalu kembali pulang, sejauh apa pun perjalanan dilalui. ***
Sekian tahun kemudian, dalam hari yang aku tak pernah menghitungnya, telepon rumah mengamuk berdering semenjak pagi. Menanyakannya. Menanyakan mengapa ia berani mengungkap kebobrokan yang sudah bagai sarang likat11) terunyam penuh hipokrisi12). Kataklisme13) yang selalu mengalami reinkarnasi. Konspirasi di atas konspirasi, di atas konspirasi. Integral, berpangkat tak hingga. Memusingkan. Sehingga titik kebenaran yang hanya seujung jarum itu, tentu saja bukan main sulitnya ditemukan. Sama seperti halnya ia yang susah menemukan pasrah. “Negeri kita pincang tercabik kemunafikan! Kaki-kaki penyokongnya laknat! Merekalah pengkhianat konstitusi!” Itulah orasinya yang terakhir kudengar. Kali ini orasinya tidak hanya bergaung di hadapanku. Ia berorasi di hadapan ratusan juta masyarakat dengan tangan mengepal, di depan telinga-telinga asing yang sedang mencari celah agar kukunya dapat mencengkeram abisal, di antara “serigalaserigala” lapar utusan begundal. Seluruh media memberitakannya, memutar rekamannya berulang-ulang, mengulas cara bicaranya yang mencerminkan cara bicara para pemimpin besar dunia yang pernah ada. Mereka juga memamerkan atraksi-atraksi para tokoh yang merah mendongkol, bereaksi atas seru-pekiknya yang begitu keras menghantam, sangat dalam bercokol.
Majalah Civitas | Maret 2013
57
Sastra Ibu yang normal ingin yang terbaik untuk anaknya. Dan mungkin, anak yang baik tak hanya ingin yang terbaik untuk orang tuanya, tetapi juga untuk tanah yang membesarkannya. Teringat ucapannya dulu tentang nyali-nyali yang teretardasi dan mengerdil, yang setelah direnungi, banyak kebenaran frasa yang mulai menampakkan diri. Karena inilah nyaliku, nyali anak bangsa yang kini menjadi seorang ibu, nyali yang menciut berkali-kali lipat bahkan sejak dudukku di bangku sekolah dengan putih abu-abu. Ketakutan terhadap hal-hal seperti ini. Kecondongan pada hal yang menyenangkan. Mungkin akulah salah satu penyulut kebangkrutan generasi, yang merengkuh harap pun tak cukup nyali. Untungnya, pengerdilan nyali ini bukan penyakit yang diturunkan. Sehingga ia, keturunanku, dapat memilih sebebas-bebasnya, tetap terkungkung oleh kerangkeng ketakutan atau menggemukkan keberanian di jalur kebenaran. Oh, klise nian. Tetapi, mungkin, negeri itu memang butuh hal-hal klise. Bunga-bunga lambat berwarna musim ini, mengingatkan kita akan warna-warna arkais dalam hujan afeksi14). Dan sejak itu, sejak amukan dering telepon dimulai saat pagi di hari yang aku tak mengingatnya, aku tak lagi pernah berani berharap untuk melihatnya dalam keadaan waras dan bernyawa. Pasti banyak orang-orang yang ingin memadamkan semangatnya, memupuskan nyalinya, mengaburkan namanya, membunuh jasadnya, memusnahkan jiwanya. Pasti banyak. Dan aku tak sampai hati, berharap untuk melihatnya dalam keadaan waras dan bernyawa. Tak pernah berani. Tak pernah. Sampai hari ini tiba. “Ibu lupa ya? Walau nyala harapan itu kecil dan
58
Majalah Civitas | Maret 2013
lemah, ia tetaplah harapan yang menghidupkan. Tinggal seberapa besar nyali kita untuk memperjuangkannya.” [Rizki Saputri] Vokabuler 1) Arkais: berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno; tua 2) Waar denk je aan? : (Bahasa Belanda) Apa yang sedang kaupikirkan? 3) Kontemplasi: renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh 4) Schat: (Bahasa Belanda) Harta karun, tetapi juga biasa digunakan untuk panggilan sayang. 5) Rungu: pendengaran 6) Rengat: retak bergaris hampir pecah 7) Orak sila: bangkit berdiri dan pergi 8) Terungku: penjara; bui 9) Retardasi: perlambatan pembaharuan 10) Ode: sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, atau peristiwa yang dimuliakan 11) Likat: keruh 12) Hipokrisi: kemunafikan 13) Kataklisme: huru-hara hebat; perubahan sosiopolitik yang membawat malapetaka 14) Afeksi: rasa kasih sayang; perasaan dan emosi yang lunak
Kampus
Berebut KPP Idaman
Penetapan lokasi Praktik Studi Lapangan/Praktik Kerja Lapangan (PSL/PKL) menempuh jalan panjang. Sejak PSL/PKL menjadi agenda musim semester akhir, menentukan lokasi KPP adalah yang paling “diributkan”. Pasalnya, sebagian mahasiswa harus mengalah dan rela untuk dipindah dari KPP idamannya.
Majalah Civitas | Maret 2013
59
Kampus
“
Kami ini kan perempuan, Mas. Masa iya enggak ada laki-laki yang bisa dipindah? Apa enggak malu tuh mereka, kami mengalah demi laki-laki?” adu Sharlita Aurora Tampubolon asal Medan kepada Tim Peduli Pajak (TPP). Alasan demi alasan ia lontarkan lantaran lokasi PKL-nya akan digeser dari pilihannya semula, KPP Pratama Medan Kota.
Walaupun tim sukses spesialisasi mengurus pemetaan lokasi PSL/PKL, keputusan final tetap dikeluarkan oleh Sekretariat.
Lain lagi dengan Muhammad Setia Hadi, mahasiswa Akuntansi asal Palembang yang sempat masuk dalam daftar mahasiswa yang tidak mendapat lokasi PSL. Menurutnya, daftar tersebut dirilis oleh Persatuan Solidaritas Akuntansi (PSAK) tanpa pemberitahuan awal.
Guna memetakan kebutuhan lokasi PSL/ PKL, PSAK dan TPP melakukan survei. TPP melakukannya secara langsung kepada mahasiswa Pajak lewat formulir Pengajuan dan Pendaftaran Praktik Kerja Lapangan. Sementara itu, PSAK justru mendapatkan gambaran minat mahasiswanya melalui survei yang dilakukan oleh organisasi daerah (organda).
“PSAK mengklaim bahwa sebelum merilis daftar tersebut sudah menghubungi namanama mahasiswa yang datanya berubah dan mendapatkan persetujuan dari mereka, tetapi saya tidak pernah dihubungi sama sekali oleh PSAK,” ujar Hadi. Sharlita dan Hadi adalah sebagian mahasiswa yang sempat dibuat kecewa karena rekonsiliasi data oleh TPP dan PSAK berujung pada pindahmemindah lokasi PSL/PKL. Meski kedua tim sukses sudah berupaya mengatur porsi yang adil untuk mahasiswanya, tidak semua keinginan peserta dapat terakomodasi sehingga harus ada yang rela melepas lokasi incarannya. Keputusan Final di Lembaga Persiapan menjelang PSL/PKL sudah digadanggadang Sekretariat STAN sejak awal semester V. Sejumlah persiapan digagas agar eksekusinya bisa lebih matang, salah satunya adalah pembentukan tim sukses spesialisasi. Staf Pengembangan Bidang Pembantu Akuntan yang juga merupakan Person in Charge PKL Spesialisasi Pajak, Fahrizal Ali Adkha, menjelaskan bahwa tenaga pegawai Sekretariat untuk mengakomodasi pemetaan lokasi tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa PKL yang membludak tahun ini. Tim sukses spesialisasi sebagai perpanjangan tangan Sekretariat diharap dapat melicinkan kegiatan menjelang pelaksanaan PSL/ PKL yang dijadwalkan Juni mendatang.
60
Majalah Civitas | Maret 2013
“Ini cuma ngeraba—kira-kira pemetaan awalnya saja. Kalau untuk keputusan, nanti urusan Lembaga,” terang Fahriz saat ditemui Civitas. Survei Pemetaan Lokasi
“Kami dari PSAK sudah ngumpulin data dari organda. Kita tahu masalahnya apa saja, (kemudian) kita lapor ke Sekre,” terang Hamzah Pradana Putra Hidayat, Ketua PSAK. Survei peminatan lokasi PKL mahasiswa Pajak yang dilakukan TPP pada November 2012 silam menunjukkan sejumlah kecenderungan kepada beberapa KPP. Dengan berbagai alasan, KPP di
Kampus kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan Yogyakarta menjadi incaran banyak mahasiswa. KPP Yogyakarta misalnya. Lebih dari 40 mahasiswa Pajak memilih KPP tersebut sebagai lokasi PKL, padahal rata-rata kuota per instansi hanya sepuluh orang.
Mengenai pembatasan kuota per instansi, berbagai aspek menjadi pertimbangan untuk kebijakan tersebut. Salah satunya, menurut Fahriz, adalah dari segi efektivitas. Kuota berlebih dalam satu KPP dikhawatirkan membuat tujuan PSL/PKL tidak tercapai.
“Yang kami lihat di situ, hampir semua yang milih di KPP Yogya bedomisili di Yogya,” jelas Adrian Septiadi Putra, Ketua TPP.
“Kalau misalnya ada (mahasiswa) yang enggak dapat tempat duduk, atau akhirnya duduk-duduk saja, itu malah sia-sia. Padahal PKL ini kan ada tujuannya,” terang Fahriz.
Hal senada juga disampaikan oleh Fahriz, “Biasanya tinggal masalah tempat tinggal. Ada yang jumlah anak di daerahnya banyak, tapi KPPnya cuma beberapa.” Kuota per Instansi Ditambah Berbeda dengan mahasiswa Pajak yang hanya dapat melaksanakan PKL di KPP, lokasi PSL mahasiswa Akuntansi lebih beragam, sebut saja BPK, Pemda, Pemprov, BPKP, KPP, DPPKAD, dan Dispenda. Meski begitu, hasil survei mengatakan bahwa KPP tetap mendominasi pilihan mahasiswa Akuntansi. Hal tersebut mengharuskan adanya penjatahan kuota untuk dua spesialisasi dalam satu KPP.
Karena jumlah mahasiswa yang banyak, hasil rekonsiliasi data PSAK dan TPP belum dapat memenuhi semua kebutuhan lokasi PSL/PKL mahasiswa. Permintaan penambahan kuota dan permohonan izin ke KPP terus digencarkan hingga akhirnya Sekretariat menyetujui penambahan kuota per instansi. “Dari pengalaman beberapa kali, jumlah yang cukup efektif itu seharusnnya enggak lebih dari delapan. Karena tahun ini angkatannya luar biasa banyak, hampir dua kalinya yang kemarin, maka range-nya ditambah jadi sepuluh,” ungkap Fahriz. Kebijakan penambahan kuota itu membuat ketidakpastian lokasi PSL/PKL mahasiswa berakhir. Kedua tim sukses akhirnya dapat mengakomodasi protes demi protes yang bermunculan. Meski sempat panik dengan alternatif lokasi PKL yang di luar bayangannya, Sharlita yang sudah berulang kali melakukan mediasi dengan TPP dapat bernafas lega setelah adanya penambahan kuota. Ia akhirnya dapat melaksanakan PKL di KPP Medan Petisah. “Enggak apalah, yang penting masih dekat dari rumah,” ungkapnya Sementara itu, meski sedikit kecewa, Hadi tetap berlapang dada dengan pemindahan dirinya ke KPP Pratama Tangerang Barat setelah sebelumnya memilih Pemkab Tangerang sebagai lokasi PSL. “Menurut saya semua tim sukses spesialisasi sudah berusaha secara maksimal dalam mengurus pemetaan lokasi PKL,” ujarnya. [Novia/Sarah/Tendi]
Formulir survey lokasi oleh TPP
Majalah Civitas | Maret 2013
61
Kampus
Berharap Komunitas Lawak Berdenyut Lagi
Lomba Stand Up Comedy (SUC) pertama di STAN Desember lalu disambut meriah. Dibilang hal baru tidak juga, karena komunitas yang menawarkan komedi semacam ini pernah hidup, meski hanya seumur jagung.
Puluhan baris kursi penonton telah diisi oleh para penikmat komedi tunggal. Walau dihadapkan pada penonton dengan selera komedi beragam, nyatanya para comic berhasil menghadirkan antusiasme dan ledakan tawa dalam malam final Mortal Combat, Sabtu (1/12/2012) lalu.
62
Majalah Civitas | Maret 2013
Mortal Combat malam itu mendatangkan Ketua Stand Up Comedy BTS (Bintaro Tangerang Serpong), Liongky Nugraha, sebagai juri. Sepanjang malam Open Mic2), Liongky langsung merasakan iklim menarik di STAN. Mulanya Liongky ragu. Ia sempat menyimpulkan bahwa selera komedi di STAN, kampus yang menurutnya masih awam, belum banyak beradaptasi dengan genre komedi semacam ini. Apa yang kemudian disaksikan oleh Liongky ternyata mampu mematahkan kesimpulannya semula.
Ilustrasi: Internet
M
alam itu, lampu Gedung J Kampus STAN sengaja dipadamkan. Di dalamnya terdapat panggung tersorot cahaya kuning. Jadilah suasana temaram keemasan kental di penjuru ruangan, tempat di mana lomba komedi tunggal siap menelurkan comic-comic1) baru.
Kampus
Foto: Dok. Media Center STAN
UIN. Kemudian menyusul komunitas kedua, STAN Stand Up Comedy (STAN SUC). Baru setelah itu ada komunitas Stand Up Comedy Untirta. Komunitas komedi tunggal kampus ini lahir pada pertengahan November 2011 lalu. Berawal dari kesamaan hobi, para penggagasnya kemudian mengadakan kopi darat hingga terbentuklah STAN SUC. Meski pada awal terbentuknya baru beranggotakan lima orang, komunitas kecil ini sudah sering Open Mic. Sayang, saat itu peminatnya masih sedikit.
Liongky Nugraha Setelah para finalis bergantian atraksi, ia lalu berkomentar, “Selera mereka cukup unik. Mereka akan tertawa keras dengan materi yang jujur, bahkan materi yang menceritakan tentang kesusahan mereka.” Dalam wawancara singkat dengan reporter Civitas, comic berparas oriental ini terkesan dengan respons penonton malam itu. Mereka bisa tertawa lepas dengan sederhana meskipun lelucon yang dilontarkan komedian justru karena kesialan dirinya sendiri—tipikal penonton yang menurutnya tidak menuntut orang untuk mencoba menjadi lucu. “The funniest comedian is the one that is not joking. Mereka yang paling lucu adalah mereka yang enggak bercanda. Dan itu terbukti di STAN,” ujar Liongky malam itu. Di antara barisan penonton yang tertawa, rupanya turut hadir Ketua Komunitas STAN Stand Up Comedy, Fajar Kurniawan. Dialah salah satu yang masih bertahan di komunitas pertama komedi tunggal kampus.
STAN sempat memiliki komunitas komedi tunggal, bahkan komunitas ini terhitung dalam tiga komunitas pionir di kampuskampus sekitar. Fajar menceritakan, yang
pertama lahir adalah komunitas Stand Up Comedy
“Dulu, 2011, stand up comedy belum se-booming sekarang. Orang-orang masih menganggap ini semacam komunitas sebentar doang, numpang tenar,” tutur Fajar. Di masa-masa pesimis itu pula generasi comic baru tak kunjung muncul. Dengan banyak pertimbangan, di usia yang masih seumur jagung, akhirnya STAN SUC vakum pada Mei 2012. “Untuk penonton sih ada. Cuma enggak ada generasi (baru) comic. Ya, comic-nya itu-itu saja. Kalau lama-lama kita begitu terus, kan materinya lama-lama habis, semacam enggak ada pembaruan,” Fajar menjelaskan. Agar nadi komunitasnya terus berdenyut, dulu Fajar dan comic lainnya rutin menggelar Open Mic seminggu sekali setiap Selasa malam. Bertempat di Plasa Mahasiswa, mereka menggelar panggung Open Mic secara swadaya dengan meminjam alat dari STAN Music Community. Supaya lelucon tetap segar, dulunya komunitas ini juga punya agenda Comedy Body, kegiatan yang bertujuan untuk saling berbagi bahan lawakan. Di situ, para anggota saling memberi masukan ketika seseorang di antara mereka menampilkan leluconnya. Menyaksikan penampilan para comic baru malam itu, semangat Fajar kembali terlecut untuk menggarap lagi komunitas komedi tunggal kampus yang sempat aktif. Ia menandai potensi dari setiap finalis yang tampil. STAN SUC yang sempat bernapas dua semester itu pun seperti menemukan potensi untuk dihidupkan kembali. Majalah Civitas | Maret 2013
63
Kampus
Ilustrasi: Internet
“STAN sempat memiliki komunitas komedi tunggal, bahkan komunitas ini terhitung dalam tiga komunitas pionir di kampus-kampus sekitar.”
“Mereka enggak buta stand up (comedy), sudah tahu dasarnya, sudah tahu arahnya. Penonton juga sudah tahu bagaimana cara menanggapinya. Kayaknya potensial,” Fajar optimis. Antusiasme penonton pada Mortal Combat yang sebesar itu adalah bukti bahwa segalanya belum terlambat. Ancang-ancang sudah dibuat Fajar dan anggota komunitas yang tersisa. “Memang dalam waktu dekat kami mau buat lagi. Tempatnya belum tahu. Saya pengin sih, karena ini hobi. Hobinya pun hobi murah. Kita enggak perlu keluar uang, tinggal omongan saja.” Workshop Stand Up Comedy sudah direncanakan Fajar dan teman-teman. Maksudnya tak lain adalah untuk memfasilitasi para penggelut komedi tunggal kampus, agar menjadi comic yang matang dan layak tampil di panggung. “Buat penonton bisa jadi hiburan alternatif. Mungkin STAN minim hiburan, lebih banyak acara yang edukatif,” ujar comic yang pernah menyabet juara favorit dalam Jakarta International Fringe Festival di Kemang, November lalu ini. Dari kacamata Liongky, ada potensi besar yang dapat kembali digarap oleh STAN SUC. Setelah menjadi juri dalam kompetisi komedi tunggal
64
Majalah Civitas | Maret 2013
malam itu, ia melihat adanya kelayakan komediankomedian tunggal baru. Penampilan para finalis Mortal Combat malam itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Liongky menyarankan agar STAN SUC dibangunkan dari istirahatnya. “Anak STAN punya modal, intelektualitasnya sudah ada. Daya pengamatannya lebih luas. Mungkin juga ditunjang karena memang pintar. Jadi gue expect banget untuk STAN aktif lagi UKM Stand Up (Comedy)-nya,” ujar Liongky yakin. STAN SUC bukan tak ada penggemar. Di setiap pagelaran Open Mic, penontonnya selalu ada. Namun sayang, eksistensi STAN SUC perlahan dirasa hilang. Harin misalnya, salah satu penonton Open Mic saat STAN SUC menggelarnya pada masamasa awal komunitas itu berdiri. Telah lama ia mengikuti perkembangan genre komedi ini, baik dari televisi maupun komunitas seperti Stand Up Comedy BTS. Perempuan berkerudung ini mengaku ada untungnya jika komunitas STAN SUC dikembangkan. “Membuat mahasiswa jadi kritis dalam berpikir, meskipun penyampaiannya dalam bentuk lawakan,” ujarnya.
Kampus “Kami masih ragu masalah (regenerasi) comic. Kita cuma lingkup kampus, yang kalau enggak ada comic house-nya, comic asli dari tempat itu, juga susah (untuk berkembang),” ungkap Fajar. Fajar dan para comic STAN SUC yang ada kini mencoba menyusun kerangka komunitasnya kembali. Sasarannya sudah kelihatan, mengumpulkan para comic baru untuk kemudian membuat nama STAN SUC mengudara lagi. [Tendi Aristo]
Foto: Dok. Media Center STAN
Vokabuler 1) Comic: Sebutan untuk pelawak tunggal. 2) Open Mic: Istilah untuk pertunjukan komedi tunggal.
Penampilan Jordan Prasetya, Juara Stand Up Comedy Mortal Combat
Juara satu Mortal Combat, Jordan Prasetya, pun dulunya adalah salah satu yang menunggununggu Open Mic STAN SUC. Jordan mengikuti perkembangannya, meski baru sekali menonton. Setelah dinobatkan sebagai juara pada malam final Mortal Combat, ia berkeinginan menjadi bagian dari STAN SUC.
“Merintis komunitas berbasis hobi memang gampanggampang susah. Kelangsungan komunitas nantinya akan bertahan pada yang semangatnya masih ada.”
“Kalau STAN SUC ini sudah mulai aktif lagi, enggak usah diajak segala juga kayaknya gue mau gabung deh,” ujar comic yang populer dengan kelakar Kambing Sarmili ini.
Majalah Civitas | Maret 2013
65
Kampus
Simalakama Penambahan Kuota Hasil rekonsiliasi penempatan lokasi PSL/PKL antara TPP dan PSAK sempat tidak berjodoh. Manuver kebijakan Sekretariat STAN berupa penambahan kuota mengharuskan perombakan sebagian hasil pemetaan. Namun jika kuota tak ditambah, ada mahasiswa yang tidak kebagian lokasi PSL/PKL.
J
umlah mahasiswa yang dapat melaksanakan PSL/PKL dalam satu Kantor Pelayan Pajak (KPP) telah dijatah dan dipetakan. Jika pada tahun sebelumnya kuota satu instansi KPP adalah delapan mahasiswa, tahun ini—di mana jumlah mahasiswa peserta PSL/PKL lebih banyak—harus dilakukan penambahan kuota agar lokasi PSL/PKL dapat mencukupi. Penambahan kuota menyebabkan tim sukses spesialisasi Pajak dan Akuntansi serta organisasi daerah (organda) harus merombak beberapa hasil pemetaan. Pihak Sekretariat sudah mempersiapkan alternatif jika proses rekonsiliasi tidak juga menemukan titik terang.
“Kalau beberapa tempat tidak visible buat PKL, ya nanti saya switch sendiri anak-anaknya. Tapi kita enggak semena-mena juga. Kita langsung hubungi anaknya,” terang Fahrizal Ali Adkha, Staf Pengembangan Bidang Pembantu Akuntan yang merupakan Person in Charge PKL spesialisasi Pajak. Beberapa langkah mediasi coba dilakukan berbagai pihak. Persatuan Solidaritas Akuntansi (PSAK) selaku tim sukses PSL spesialisasi Akuntansi mendirikan posko untuk melayani mahasiswa Akuntansi yang tidak mendapatkan lokasi PSL. Posko tersebut menawarkan daftar lokasi PSL yang masih kosong untuk diisi oleh mahasiswa yang belum mendapat lokasi. Lain dengan PSAK, Tim Peduli Pajak (TPP) yang merupakan tim sukses spesialisasi Pajak justru melakukan konsultasi langsung dengan mahasiswa terkait. Lokasi yang diajukan oleh TPP merupakan tempat yang memiliki jarak terdekat dengan domisili mahasiswa.
66
Majalah Civitas | Maret 2013
Foto: Dok. Media Center STAN
“Kami jelasin permasalahannya. Kalau dia enggak puas, kami hubungi secara langsung,” ujar Ketua TPP, Adrian Septiadi Putra. Banyak Pertimbangan Fahriz menerangkan bahwa dalam menentukan jumlah kuota yang efektif perlu pertimbangan yang bijak. Selain untuk mengakomodasi semua kebutuhan mahasiswa, kuota per instansi ditentukan agar PSL/PKL dapat terlaksana dengan efektif.
Kampus “Misal KPP-nya di KPP Gambir, terus ada lima belas orang (mahasiswa) dan kita tidak batasin. Lalu jumlah pegawai, jumlah pekerjaan di sana, (dan) segala macam tidak disesuaikan. Nanti mubazir mereka di sana,” jelas Fahriz.
berapa lama, sebelum atau setelah (PSL/PKL), segala macam. Itu kan butuh cukup peraturanlah istilahnya,” imbuh Fahriz.
Pembengkakan jumlah mahasiswa PSL/PKL tahun ini menuntut adanya perubahan kuota untuk satu KPP. Oleh karena itu, Sekretariat menambah jumlah kuota, dari delapan menjadi sepuluh.
Sinkronisasi dilakukan PSAK dan TPP menyoal jumlah kuota yang baru. Sebagai perantara mahasiswa dan PSAK, tim organda pun harus melakukan pemetaan ulang mahasiswa asal daerahnya.
Pemetaan Ulang
“Kalau KPP (kuotanya) harus sepuluh. Cuma kita enggak sinkron dengan TPP, ada yang (kuotanya) sebelas, dua belas,” ujar Hamzah Pradana Putra Hidayat, Ketua PSAK. Penetapan kuota yang harus segera diisi oleh mahasiswa mengakibatkan adanya pindahmemindah mahasiswa demi mencukupi kuota yang baru. “Kalau kurang, orang-orang akan dipindah,” lanjut Hamzah.
“Penambahan kuota menyebabkan tim sukses spesialisasi Pajak dan Akuntansi serta organisasi daerah (organda) harus merombak beberapa hasil pemetaan.”
Fahriz menjelaskan, “Kita enggak bisa nge-judge, ‘Oh, KPP ini harus delapan. Oh, KPP ini harus tujuh, harus sepuluh (mahasiswa).’ Itu customizenya terlalu banyak. Makanya tadi saya bilang harus sepuluh.” Dalam wawancara dengan Civitas, Fahriz memaparkan tujuan penetapan jumlah kuota yang baru tersebut juga untuk mempermudah administrasi dan biaya pelaksanaan PSL/PKL. “Uang saku kalian (dan) segala macam itu kan ada standarnya juga. Kira-kira nanti dibayar
Berkaitan dengan ini, organda Forum Silaturahmi Mahasiswa Madura (Forsimma) yang hanya beranggota sembilan orang mahasiswa ikut merasakan dampaknya. Sebelumnya, dengan komposisi lima mahasiswa Pajak, dua mahasiswa Akuntansi, dan dua mahasiswa Kebendaharaan Negara, Forsimma sudah menentukan ketujuh mahasiswa Pajak dan Akuntansi untuk mengisi satu KPP, yakni KPP Pratama Pamekasan. “Saat kuota masih delapan (orang), kami agak kesulitan mencari satu orang tambahan, tapi kemudian satu orang terakhir bisa diatasi,” tutur Raden Gigih Garuda, ketua Forsimma. Ketika kuota ditambah menjadi sepuluh orang, organda asal Madura ini harus mencari mahasiswa lagi untuk menomboki jumlah mahasiswanya yang sedikit. Mereka pun menyambangi TPP dan PSAK.
Majalah Civitas | Maret 2013
67
Kampus TPP menawarkan Forsimma untuk memindahkan kedelapan mahasiswa yang direncanakan PSL/PKL di KPP Pratama Pamekasan ke KPP di Surabaya dengan penambahan dua orang mahasiswa asal organda lainnya. Namun Forsimma memutuskan untuk tetap memilih melaksanakan PSL/PKL di Madura. Dari dua orang mahasiswa tambahan tadi, hanya satu yang akhirnya ditarik ke Madura, sementara yang lain memilih lokasi di Bekasi.
kuota. Organda dengan jumlah anggota sekitar 130 mahasiswa dari semua spesialisasi ini memiliki sekitar 50 mahasiswa Pajak dan 60—70 mahasiswa Akuntansi. Jumlah sebanyak itu rupanya timpang dengan jumlah KPP yang tersedia untuk pelaksanaan PSL/PKL di Yogyakarta. “Yogya terdiri dari satu Kantor Provinsi, lima Kantor Kabupaten, dan lima KPP, sehingga total ada sebelas tempat,” terang Shibghotullah Syubanur Robbani, Ketua Kamy.
Menjelang jadwal pengumpulan database, pihak TPP mengonfirmasi bahwa mahasiswa yang ditarik ke Madura tersebut harus dikembalikan lagi ke Surabaya karena faktor kesehatan. Meski demikian, “... kuota per instansi Raden mengatakan ada jaminan dari TPP kalau ditentukan agar PSL/ kedelapan mahasiswa PKL dapat terlaksana Forsimma tetap dapat melaksanakan PSL/PKL di dengan efektif.” Madura. Raden kembali lega meski pengumuman resmi dari Sekretariat belum dirilis. “Jadi intinya kami semacam di-PHP-in (diberikan harapan palsu),” keluhnya. “Sudah nasib organda yang memiliki jumlah anggota sedikit.” Adrian menjelaskan tentang keharusan pengisian instansi tunggal dalam satu provinsi. “Kalau organda sedikit (anggotanya), mereka kan (mengisi) KPP saja. Nah, itu yang kami terusin biar mereka bisa PKL di tempat yang mereka mau,” ujarnya. Raden sempat kecewa terhadap minimnya koordinasi dari PSAK. Menurutnya, koordinasi yang terjalin sebatas pemberitahuan. “Undangan yang diberikan PSAK tidak diberikan secara personal. Hanya diumumkan lewat Facebook, meskipun setelahnya ada perbaikan dengan adanya jarkom dari PJ (Penanggung Jawab) PKL,” tutur Raden. Di sisi lain, Kamy (Keluarga Mahasiswa Yogyakarta) adalah salah satu organisasi yang diuntungkan dengan adanya penambahan
68
Majalah Civitas | Maret 2013
Untuk mengatasi hal tersebut, Kamy menggunakan sistem prioritas untuk menetapkan mahasiswa yang berhak memilih KPP di Yogyakarta. Prioritas pertama adalah mahasiswa dengan jarak domisili terdekat dengan KPP. Prioritas kedua, mahasiswa merupakan pengurus aktif organda Kamy yang berjenis kelamin perempuan. Sisanya harus mengisi KPP di luar Yogyakarta. “Untuk Akuntansi kita maksimalkan pada Pemda, BPK, dan BPKP. Untuk KPP, kita tetapkan maksimal dua orang anak Akuntansi untuk setiap KPP,” ujar Shibgotullah. Perubahan jumlah kuota rupanya menjadi angin segar bagi Kamy. Dengan bertambahnya kuota menjadi sepuluh orang, beberapa anggota yang semula ditempatkan di KPP luar Yogyakarta bisa kembali untuk menempati KPP di daerah asalnya. Jika tidak ada perubahan lagi, Fahriz meyakinkan pemetaan lokasi PSL/PKL sudah sesuai jalur. Kemudian ia menegaskan bahwa ujung dari keputusan tetap ada di pihak Sekretariat. “Kalau memang ada yang enggak pas, kayak PKL tahun lalu, akhirnya saya yang memutuskan,” pungkas Fahriz. [Grandis/Novia/Tendi]
Foto: Dok. Media Center STAN
Kampus
Menyelisik
Kegiatan
Alumni
Sejak diwisuda pada 12 Oktober 2012, hingga kini alumni STAN 2012 masih menunggu kejelasan nasib dan pengumuman terkait penempatan dan pengangkatan CPNS. Tim Sukses STAN 2012 sudah mengadakan pertemuan dengan pihak Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, tetapi ketetapan mengenai lulusan STAN 2012 belum juga dikeluarkan oleh pihak terkait. Masa tunggu yang tidak sebentar boleh jadi merupakan ladang bagi para alumni untuk memperoleh banyak pengalaman baru.
Majalah Civitas | Maret 2013
69
Foto: ubaya.ac.id
Pascawisuda
Kampus
S
ejak wisuda pada Oktober 2012 lalu hingga berita ini ditulis, pengumuman terkait penempatan dan pengangkatan CPNS untuk alumni STAN 2012 tak kunjung terdengar kabarnya. Padahal jika menengok lulusan sebelumnya, alumni STAN 2011 sudah melaksanakan psikotes pada 10 Desember 2011, dua bulan pascawisuda. Masa tunggu alumni STAN 2012 yang lebih lama dibanding masa tunggu alumni STAN 2011 menyebabkan mereka menjadi “pengangguran” selama hampir empat bulan. Berdasarkan hasil survei Civitas, diketahui bahwa alumni yang berkegiatan di luar rumah lebih banyak daripada alumni yang sekadar menikmati masa tunggu di kampung halaman. Sebanyak 127 alumni STAN 2012 yang mengisi kuesioner menjadi objek uji petik Civitas. Seluruh responden tersebut terdiri dari 59,06% mahasiswa Akuntansi, 15,75% mahasiswa Pajak, 12,6% mahasiswa Kebendaharaan Negara, 6,3% mahasiswa Kepabeanan dan Cukai, 3,15% mahasiswa Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, serta 3,15% mahasiswa Pajak Bumi dan Bangunan. Ketika ditanya mengenai persiapan sebelum proses pengangkatan CPNS, mayoritas responden menyatakan telah melakukan persiapan dengan belajar, baik materi psikotes, materi kuliah, maupun peraturan-peraturan terkait. Ada juga responden yang mengaku tidak mempersiapkan apa-apa untuk hal tersebut. Magang Jadi Pilihan Favorit Selain persiapan untuk pengangkatan dan penempatan CPNS, berbagai kegiatan dilakukan responden untuk memanfaatkan masa tunggu. Dari 127 responden, 81,1% mengaku melakukan
70
Majalah Civitas | Maret 2013
kegiatan dan sisanya menyatakan menganggur. Angka tersebut merefleksikan bahwa sebagian besar alumni STAN 2012 tetap produktif selama menunggu pengumuman. Bentuk kegiatan yang paling banyak dilakoni responden adalah bermagang di KAP/KPP/ Perusahaan, yakni sebanyak 37,8%. Responden lain memanfaatkan masa tunggu dengan menjalankan bisnis pribadi (9,45%) atau mengikuti kursus (7,87%). Sisanya memilih untuk melakukan kegiatan lain seperti mengajar, menekuni hobi, menulis, memperdalam ilmu agama, kuliah program ekstensi, atau pergi berlibur. Menjadi magang di KAP, KPP, maupun lembaga lain menjadi pilihan tertinggi di antara banyaknya kegiatan yang bisa dilakukan oleh para alumni. Menambah pengalaman dan relasi menjadi alasan dominan para responden yang bermagang. Raica Alleindo merupakan alumni STAN 2012 yang bermagang di salah satu KAP big-four, Siddharta & Widjaja (KPMG). Ia menyatakan bahwa setelah wisuda, dirinya sudah memulai kegiatan dengan mencari kontak, menghubungi orang-orang terkait, mengirim CV, serta mendaftar di KAP dan berbagai tempat kerja lain.
“Menjadi magang di KAP, KPP, maupun lembaga lain menjadi pilihan tertinggi di antara banyaknya kegiatan yang bisa dilakukan oleh para alumni.”
Kampus “Pengin melakukan aktivitas yang berguna, biar selalu fokus dan tanggung jawab, termasuk tampil profesional dan keren. Selain itu, pengin cari pengalaman kerja profesional dan lingkungan kerja internasional, cari relasi dan kenalan yang banyak, juga (menjalin) interaksi dan hubungan dengan orang lain,” papar Raica.
“CV itu jangan cuma ambil template standar; nama, alamat, kuliah di mana, hitam putih lagi, sama sekali enggak eye-cathcing ....” Alumni lainnya, Ari Wibowo, kini menjadi pegawai honorer pelaksana di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Ari menyatakan dirinya sudah mulai bekerja sejak awal November 2012. Ia mengaku mendapatkan informasi lowongan di LPDP dari kakak tingkatnya yang telah bekerja di tempat tersebut.
sama sekali enggak eye-cathcing dan enggak ada nilai kreativitas dan nilai lebihnya. Terus, pengalaman organisasi dan keahlian itu sangat penting,” terangnya. Di antara banyak alumni yang berkegiatan di kantor sebagai magang, Azizah Nur Hayati, lulusan spesialisasi Akuntansi dengan predikat terpuji, memilih untuk berkegiatan di rumah. “Kalau misalkan sekarang ngambil magang, besok kan (ketika) kerja ngerasain yang kayak gitu. Jadi penginnya yang enggak samalah kegiatannya, mending cari yang lain. Karena kebetulan ibu juga lagi enggak sehat, jadi kata orang tua jangan jauhjauh, di rumah saja,” ungkap Azizah. Sementara itu, Wawan Hadi, alumni STAN 2012 yang hobi “bermain” sekuritas sejak kuliah mengatakan, ”Saya kemarin ikut pelatihan selama sebulan dan ikut ujian untuk mengambil lisensi
“Ada tesnya juga, tertulis (psikotes) dan tes wawancara. Alhamdulillah dinyatakan diterima. Alhamdulillah sekarang sudah bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan bisa dikatakan saya sudah mandiri,” tutur Ari. Raica berpendapat bahwa untuk memperoleh tempat bermagang, seseorang harus memiliki kelebihan untuk ditawarkan, punya niat yang besar, berani mengambil tindakan, serta pantang menyerah. Ia mengaku IP-nya tidak mencapai cumlaude, tetapi ia membuat CV sebagus mungkin agar tetap dilirik head hunter atau bagian HRD perusahaan yang bonafide. “CV itu jangan cuma ambil template standar; nama, alamat, kuliah di mana, hitam putih lagi,
Wakil Perantara Perdagangan Efek (WPPE), dan alhamdulillah lulus. Lisensi ini bisa digunakan untuk bekerja di perusahaan sekuritas. Saya juga menggunakan waktu untuk melakukan trading saham.” Menurut Wawan, dirinya memang sudah lama tertarik untuk berinvestasi di pasar modal dan sudah belajar mengenai seluk-beluknya selama
Majalah Civitas | Maret 2013
71
Foto: Dok. Media Center STAN
Kampus
beberapa bulan. Ia bahkan telah melakukan simulasi trading sebagai sarana latihannya. Siap Mengabdi pada Negeri Walaupun sudah mempunyai kegiatan masing-masing selama masa tunggu, alumni STAN 2012 tetap berkomitmen untuk menjadi PNS. Apakah kegiatan masa tunggu dilanjutkan atau tidak, hal itu bergantung pada jenis kegiatan yang digeluti. Mengenai hal tersebut, Civitas memperoleh hasil survei yang beda tipis. Sebanyak 72 responden (56,69%) mengaku tidak akan melanjutkan kegiatan tersebut dan 55 responden (43,31%) berkata sebaliknya. Artinya, hampir separuh responden menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan kegiatan masa tunggu meski nantinya sudah berkarier sebagai PNS. “Kalau lanjut atau tidaknya, ada alasan lain. Saya bersyukur dan senang kok di STAN, dan siap mengabdi ke negara,” ungkap Raica.
72
Majalah Civitas | Maret 2013
Di sisi lain, Wawan menyatakan bahwa sejauh ini ia nyaman dengan kegiatan trading sahamnya. Walaupun begitu, ia tetap ingin menjadi PNS karena trading saham masih bisa dilakukan meski dirinya nanti sudah bekerja sebagai PNS. [Novia/Tendi]
Foto: Dok. Media Center STAN
Selidik
Ketika Mahasiswa Kecanduan
Gawai
Agent of Change, sebuah titel berat yang digadang oleh mahasiswa. Di era kemerdekaan—walaupun bukan hanya mahasiswa—pemuda menjadi bagian penting dalam peristiwa proklamasi. Bahkan di tahun 1998, mahasiswa menjadi ujung tombak penggulingan rezim yang mengatasnamakan kekuasaan untuk berlaku semena-mena. Namun saat ini, dengan kekritisan yang mulai terdegradasi, apakah mahasiswa masih layak dikatakan sebagai agen perubahan?
Majalah Civitas | Maret 2013
73
Selidik
D
i jalanan, suara-suara mahasiswa yang mengkritisi kebijakan pemerintah tak seramai dahulu. Kini lebih banyak mahasiswa—yang ketika memiliki waktu luang— tampak asyik memainkan gawai yang dimilikinya dibandingkan mereka yang tampak sedang berdiskusi. Sebagaimana yang dikutip dari Wikipedia berbahasa Indonesia, gawai atau acang merupakan terjemahan dari gadget yang berarti suatu peranti atau instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis spesifik yang bermanfaat, yang umumnya dikaitkan terhadap sesuatu yang baru. Gawai dirancang secara berbeda dan lebih canggih dibandingkan teknologi normal yang ada pada saat penciptaannya. Atas dasar ketertarikan terhadap kebiasaan pemuda masa kini—khususnya kalangan mahasiswa—terhadap gawai, Selidik akan menyelisik seberapa tergantungkah mahasiswa dengan gawai berupa ponsel, laptop, dan televisi. Hal-hal yang ditelusuri terkait dengan kepemilikan gawai dan intensitas pemakaiannya. Metode yang dipakai adalah metode survei siber dengan responden merupakan pengguna internet, khususnya kalangan mahasiswa. Survei dilaksanakan selama delapan hari, terhitung sejak Kamis (03/01/2013) hingga 10 Januari 2013. Selama masa survei itu terkumpul data yang berasal dari 179 responden. Ada pun dari total tersebut, sebanyak 126 orang atau 70,39% merupakan mahasiswa STAN, sedangkan sisanya berasal dari
74
Majalah Civitas | Maret 2013
universitas yang beragam, yakni ITB, UGM, UI, UNY, IPB, dan lain-lain. Dalam survei kali ini Selidik memisahkan antara ponsel dan ponsel pintar dengan alasan perbedaan fungsi di antara keduanya. Ponsel didefinisikan sebagai gawai yang hanya biasa digunakan untuk keperluan komunikasi; ponsel pintar didefinisikan sebagai peranti yang selain digunakan untuk keperluan komunikasi, juga digunakan untuk keperluan hiburan, multimedia, dan perkantoran. Dominasi Peranti Komunikasi Bagaimanakah kepemilikan gawai di kalangan mahasiswa? Tingkat kepemilikan ini dapat mencerminkan gawai mana yang dianggap paling penting bagi kalangan mahasiswa. Dari hasil survei Selidik, sebanyak 169 responden (94,4%) memiliki laptop atau tablet. Kepemilikan ponsel dan ponsel pintar tidak sebanyak laptop karena keduanya merupakan alat komunikasi sehingga biasanya responden hanya memiliki salah satunya saja. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa orang responden memiliki keduanya. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang memiliki telepon seluler, yakni sejumlah 122 orang (68%) dan yang memiliki ponsel pintar sebanyak 100 orang (55,9%)—yang jika ditotal adalah sebanyak 222 unit, padahal total responden hanya 179 orang.
Selidik Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kepemilikan gawai paling banyak ada pada peranti komunikasi. Sementara itu, kuantitas kepemilikan televisi adalah yang paling rendah di antara gawaigawai yang lain, yakni sebanyak 91 responden. Gawai yang paling sering digunakan oleh mahasiswa pun sesuai dengan kepemilikannya. Sebanyak 53% mahasiswa paling sering menggunakan peranti komunikasi, dengan rincian 29% responden pengguna ponsel pintar dan 24% responden pengguna ponsel biasa. Sedangkan 47% responden mengaku paling sering menggunakan laptop. Ini berarti gawai yang paling sering digunakan oleh mahasiswa adalah perangkat komunikasi, sesuai dengan persentase kepemilikan alat komunikasi yang memang paling dominan di kalangan mahasiswa. Kepemilikan gawai dan pola penggunaanya ini turut memengaruhi gaya hidup mahasiswa. Salah satu perubahan gaya hidup yang diakibatkan oleh keberadaan gawai-gawai berlayar tersebut adalah dalam hal komunikasi. Seperti berita yang dikutip dari hidayatullah. com, di Singapura, sebuah survei atas enam ratus mahasiswa universitas dan politeknik menyimpulkan bahwa 88% dari mahasiswa tersebut lebih suka berkomunikasi menggunakan teknologi. Kecenderungan lain yang terjadi saat ini adalah sulit melepaskan diri dari gawai di tangan atau sulit untuk rehat berinteraksi dengan komputer.
Kini, ungkapan bahwa teknologi mendekatkan manusia, tidak selamanya benar. Teknologi mungkin memang mendekatkan yang jauh, tetapi kebanyakan justru menjauhkan yang dekat. Awalnya, alasan penggunaan gawai-gawai ini adalah untuk mempermudah seseorang dalam pengerjaan tugas-tugas tertentu. Namun setelah perkembangan zaman membuat gawai-gawai tersebut disuntik dengan fitur-fitur hiburan yang multifungsi, akhirnya banyak peranti yang malah menjadi semacam candu bagi pemiliknya. Penggunaan gawai masih dirasa sehat ketika tidak melebihi batas kewajaran, atau masih sesuai dengan tujuan utama penciptaan gawai tersebut; ponsel digunakan sebagai sarana komunikasi, laptop untuk membantu pengerjaan tugas, dan televisi sebagai sarana hiburan ringan. Ketika Selidik menanyakan alasan penggunaan gawai tersebut, mayoritas responden menjawabnya sebagai sarana komunikasi (44,13%). Yang bertujuan menggunakan gawai untuk hiburan dan mengisi waktu luang berturutturut sebanyak 26,8 % dan 10,6%. Sisanya, responden yang menggunakan peranti berteknologi sebagai sarana mengerjakan tugas,
Majalah Civitas | Maret 2013
75
Selidik mengikuti tren gaya hidup, atau untuk urusan organisasi, masing-masing persentasenya di bawah sepuluh persen. Hal ini berarti tujuan penggunaan gawai masih bisa dipandang normal karena sesuai dengan gawai yang paling banyak dimiliki—yakni ponsel dan ponsel pintar—yang memang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kemudian, gawai manakah yang paling penting bagi mahasiswa? Sebanyak 118 responden menjawab alat komunikasi. Jumlah tersebut terdiri dari 63 responden yang menjawab ponsel dan 55 responden yang beranggapan bahwa
interaksi mahasiswa saat ini. Dahulu, mahasiswa lebih suka memanfaatkan waktu luang mereka dengan membaca atau berdiskusi. Saat ini, ketika memiliki waktu luang, mayoritas mahasiswa lebih suka memainkan gawai yang mereka miliki. Hal yang dilakukan bermacam-macam: berselancar di dunia maya, memainkan permainan di ponsel, mendengarkan musik, mengirim SMS, atau bahkan hanya sekadar memainkan live wallpaper pada ponsel agar terlihat sedang melakukan sesuatu. Ketika Selidik melakukan survei terhadap kebiasaan mahasiswa saat sedang menunggu,
ponsel pintar merupakan perkakas paling penting bagi mereka. Sisanya, sebanyak 61 responden, menjawab laptop sebagai peranti paling penting.
Perubahan Gaya Hidup Jika satu dekade lalu mahasiswa harus ke warnet untuk mengerjakan tugas, kini mahasiswa tak perlu bersusah-susah keluar dari kediamannya. Pun untuk berkomunikasi dengan keluarga, kawan, atau kolega, mahasiswa tak perlu repot-repot pergi ke warung telepon. Namun, kemudahan yang tercipta karena adanya teknologi ini juga mengubah gaya hidup dan pola interaksi mahasiswa. Keberadaan peranti komunikasi sangat berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan
76
Majalah Civitas | Maret 2013
mayoritas mahasiswa mengaku bahwa mereka biasa memanfaatkan fitur multimedia pada gawai mereka. Kegiatan yang dilakukan semisal mendengarkan musik, bermain games, berselancar di dunia maya, ataupun chatting dengan teman. Sebanyak 49 responden (27%) biasa membaca saat sedang menunggu, baik dengan sarana buku maupun e-book. Sisanya memilih untuk diam (2%), iseng (8%), atau melakukan hal lain (9%). Begitu pula dengan jumlah mahasiswa yang memilih untuk mengobrol dengan orang yang ditemui saat menunggu, hanya sebanyak enam belas orang atau 9% yang melakukan hal ini.
Selidik Hasil survei ini menunjukkan bahwa kini mahasiswa cenderung lebih apatis terhadap orang lain di sekitar—ketika sedang menunggu— karena kepemilikan gawai-gawai tersebut. Kini mahasiswa lebih suka mendengarkan musik melalui earphone, memainkan permainan di ponsel, berselancar di dunia maya, atau pun berbalas pesan singkat, dibanding berinteraksi atau berkenalan dengan orang-orang di sekitarnya. Candu Gawai Selidik mencoba menganalisis seberapa dekat mahasiswa dengan gawai yang dimilikinya, baik itu berupa perangkat komunikasi, laptop, maupun televisi. Relevansi antara kedekatan responden dengan gawainya ditunjukkan dengan frekuensi pemakaian. Semakin sering responden menggunakan peranti teknologinya, semakin dekat responden tersebut dengan gawai, sehingga semakin tinggi pula peluang untuk terjangkit candu gawai. Sebanyak 68 responden (38%) menyatakan bahwa mereka jarang menggunakan perangkat komunikasi. Artinya, penggunaan hanya seperlunya saja ketika ada telepon maupun pesan singkat. Sebanyak 60 orang responden (34%) menjawab sering, 49 orang sangat sering, dan hanya 2 responden yang menjawab hampir tidak pernah menggunakan ponsel.
Frekuensi penggunaan yang sering ini nantinya sangat berpengaruh pada perubahan pola interaksi mahasiswa. Ketika seseorang terlalu sering menggunakan ponselnya, kecenderungan untuk mengabaikan orang-orang yang ada di sekitarnya pun semakin besar. Fenomena ini sering kita jumpai pada beberapa orang yang sedang duduk bersama tetapi masingmasing malah asyik berbalas pesan singkat, bertelepon, atau memanfaatkan fasilitas internet di ponsel mereka—seolah ada jarak baru yang terbentang karena keberadaan peranti tersebut. Tingkat kecanduan yang tinggi juga terjadi dalam penggunaan laptop per minggu. Untuk penggunaan laptop dalam satu minggu, sebanyak 70% responden menyatakan sangat sering atau hampir setiap hari menggunakan laptop. Hanya satu orang responden yang menyatakan hampir tidak pernah menggunakan laptop dalam satu minggu. Hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas mahasiswa yang rata-rata memang membutuhkan laptop untuk mengerjakan tugas. Meski begitu, bukan tidak mungkin penggunaan laptop hanya untuk bersenang-senang semisal menonton film, berselancar di dunia maya, atau bermain games. Di sisi lain, tingkat ketergantungan mahasiswa terhadap televisi tergolong rendah. Dalam satu minggu, 63 responden sering menonton
Majalah Civitas | Maret 2013
77
Selidik
“.....mereka yang terlalu sering menggunakan gawai akan menderita masalah yang sama dengan pencandu lainnya seperti kurang tidur, mengabaikan pekerjaan utama, serta gagal dalam melaksanakan prioritas yang telah dibuatnya.” televisi, 63 yang lain jarang, 34 responden hampir tidak pernah, dan hanya 19 responden yang menyatakan sangat sering menonton televisi. Dari hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa mahasiswa lebih sering menggunakan laptop dan ponsel ketimbang televisi. Lebih lanjut, terdapat beberapa gejala dari kecanduan gawai, khususnya ponsel dan laptop, seperti yang disadur dari tierneylab.blogs.nytimes.com. Laman tersebut menyebutkan, tandatanda kecanduan gawai di antaranya lebih mengutamakan tampilan visual dalam teks atau gambar dalam berinteraksi dibandingkan dengan bertemu muka, harus selalu membawa gawai ketika bepergian dan sering tidak fokus di jalan karena gawai tersebut, tidak dapat menahan diri dari internet, lebih memilih gawai dibanding berbincang bersama keluarga atau teman-teman, serta tidak dapat berhenti mengakses gawainya meskipun dalam kondisi yang membutuhkan konsentrasi tinggi seperti berkendara. Tingkat candu gawai pada mahasiswa dapat dianalisis dari pertanyaan Selidik mengenai reaksi responden ketika lupa membawa gawai yang paling penting bagi responden. Sebanyak 84 responden (47%) menyatakan bahwa mereka tidak terpengaruh ketika lupa membawa gawai. Sementara itu, 64 responden (34%) merasa waswas dan sisanya sebanyak 26 orang menjawab lain-lain. Kecanduan gawai memang tidak tampak seperti kelainan yang lain seperti kecanduan narkoba atau minuman keras. Dampaknya pun tidak sesignifikan kecanduan psikotropika. Namun, kecanduan gawai juga memiliki dampak negatif. Ho Kok Yuen, Direktur Klinik Penanggulangan Rasa Sakit
78
Majalah Civitas | Maret 2013
di Rumah Sakit Raffles, bahkan menyamakan kecanduan perangkat teknologi dengan kecanduan narkoba, yang juga memerlukan pengobatan. Seperti yang dikutip dari dailymail.co.uk, Kimberly Young, Direktur The Center For Internet Addiction, menyatakan bahwa mereka yang terlalu sering menggunakan gawai akan menderita masalah yang sama dengan pencandu lainnya seperti kurang tidur, mengabaikan pekerjaan utama, serta gagal dalam melaksanakan prioritas yang telah dibuatnya. Ada pun yang dimaksud dengan pencandu lainnya antara lain pencandu rokok, pencandu narkotika, dan pencandu games. Mahasiswa seyogianya benar-benar melakukan tugasnya sebagai agent of change. Ketika di tempat lain mayoritas mahasiswanya benar-benar melakukan tugas sebagai mahasiswa—tenggelam dalam buku-buku dan tugas maupun turut bergelora bersama sebuah gerakan perubahan, sungguh nista jika kita hanya “terjebak” dalam kesenangan dan kemudahan yang dilahirkan oleh gawai berlayar. Ini bukan berarti gawai harus dihindari. Namun, penggunaan gawai sebaiknya dibatasi sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai kewajibankewajiban yang lain terabaikan karena kita terlalu asyik dalam menggunakan gawai.
[Muamaroh Husnantiya]
Opini
Menanti Hadirnya Generasi Antikorupsi
Oleh: Jiwo Damar Anarkie*
Majalah Civitas | Maret 2013
79
Foto: Dok. FLAC Indonesia
Memberantas korupsi hari ini tidak harus mengernyitkan dahi dan menyusahkan hati. Kita bisa membuatnya lebih menyenangkan, sesuai passion kita.
Opini
S
ejak beberapa bulan lalu saya terpukau dengan tulisan David C. McClelland, penulis buku The Achieving Society. Buku ini bercerita tentang kekuatan sebuah cerita dan dongeng yang beredar di Inggris dan Spanyol— yang ternyata memiliki pengaruh terhadap hasil perang Inggris melawan Spanyol pada tahun 1889. Mengapa ini bisa terjadi?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rakyat Inggris sejak dulu telah membiasakan anak-anak mereka untuk membaca cerita dan dongeng bertemakan petualangan, perjuangan, dan heroisme. Sementara di Spanyol, kita akan menemukan para orang tua dan penerbit buku membiasakan anak-anak mereka pada kisah-kisah kemewahan dan hiburan. Hasilnya? Inggris memenangi perang tersebut. McClelland berpendapat bahwa pembiasaan cerita sejak kecil itulah yang pada akhirnya mengembangkan n-Ach (need for achievement) rakyat Inggris untuk memiliki semangat dan kondisi psikologis yang sama dengan cerita dan dongeng yang beredar di sana. Sementara itu, karakter rakyat Spanyol dikonstruksikan untuk lebih menyukai pesta dan kisah percintaan sehingga cenderung menjadi pecundang perang. Cerita dan dongeng yang dibiasakan sejak kecil secara tidak sadar membentuk karakter bangsa. Inilah sebabnya mengapa rakyat Inggris sangat berambisi mengalahkan Spanyol di tahun 1889. Bahkan, sampai sekarang pun Inggris tetap berambisi menjadi pemimpin Uni Eropa. Hal yang sama terjadi jika kita menganalisis cerita rakyat Amerika yang sejak dulu beredar. Cerita dan dongeng di Amerika kebanyakan bertemakan sosok kepahlawanan dan kepemimpinan. Kita bisa lihat cerita tentang Batman, Robin, Superman, The Avenger, dan para superhero lainnya beredar luas di sana. Jadi, jangan heran kalau hingga hari ini Amerika selalu berambisi menjadi pemimpin dan pahlawan dunia. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Indonesia yang kini masih terbelenggu jeratan korupsi?
80
Majalah Civitas | Maret 2013
Sampai sekarang Indonesia belum membiasakan generasi mudanya untuk mengenal cerita dan dongeng yang berkisah akan kejujuran, kemandirian, keberanian, maupun tanggung jawab. Yang ada justru kisah-kisah sinetron ABG yang penuh lika-liku kegalauan. Hasilnya? Pemberantasan korupsi terasa jalan di tempat! Kegagalan kita dalam memberantas korupsi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap pembentukan karakter antikorupsi sejak dini. Hal yang perlu digarisbawahi adalah perilaku korupsi sebenarnya muncul dari hal-hal kecil—yang terlatih dan dibiasakan sejak dini. Ketika menjelang ujian misalnya, masih banyak siswa yang melakukan kecurangan hanya karena ingin lulus ujian. Bisa juga karena mereka ingin mendapatkan imbalan dengan syarat nilai tinggi harus mereka dapatkan. Saya mengambil apa yang dikatakan William Glasser dalam The Quality School Teacher, A Companion Volume to The Quality School bahwa dikotomi pendidikan hari ini dipahami sebagai konsep gagal dan berhasil. Konsep tersebut membuat orang berorientasi pada hasil atau materi, bukan esensi pada proses untuk melakukannya. Yang lebih parah, paradigma demikian cenderung membuat anakanak berpikir bahwa cara apa pun bisa digunakan guna mendapat hasil yang diinginkan. Secara sosiologis, anak-anak sedang memasuki apa yang dikatakan Herbert Mead dalam “Social Behaviorism” sebagai tahap meniru dan bertindak (play stage dan game stage). Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi lewat pendidikan kepada anak-anak adalah pilihan yang tepat. Melahirkan kader antikorupsi jauh lebih efektif dilakukan pada anak-anak usia dini berkisar 5—12 tahun karena pada saat itulah fase pembentukan diri dimulai. Pada masa tersebut, anak-anak berada dalam masa pertumbuhan diri dan pembentukan pemikiran serta menuju pembentukan karakter. Jika anak-anak dibiasakan
Opini untuk bertindak jujur sejak dini, nilai-nilai itu akan tertanam hingga mereka dewasa nanti. Setidaknya ada dua hal penting jika kita berbicara bagaimana menginternalisasi nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak. Pertama, nilai-nilai antikorupsi sebagai grand theory harus dibuat mudah untuk dicerna anak-anak. Nilai-nilai antikorupsi ini diturunkan ke dalam subnilai yang lekat dengan kehidupan sehari-hari seperti jujur, berani, mandiri, tanggung jawab, dan lain sebagainya. Kedua, internalisasi nilai antikorupsi berkenaan dengan metode atau cara yang digunakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut. Lewat Models of Teaching and Learning; Where Do They Come From and How Are They Used In Models of Teaching, Bruce R. Joyce dan Marsha Weil menuliskan bahwa pemilihan metode pengajaran harus tepat. Hal itu dibutuhkan untuk membantu peserta didik dalam mempelajari informasi, ideide, dan keterampilan akademis; mengembangkan keterampilan sosial dan nilai-nilai; mengerti diri mereka dan lingkungannya.
“Mendongengkan cerita moralitas menyediakan anakanak suatu model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat meniru untuk bertindak kemudian membiasakan.” Metode paling efektif untuk menginternalisasi nilai dan membentuk karakter anak-anak adalah melalui dongeng. Penelitian Michele Borba yang didokumentasikan dalam Building Moral Intelligence: The Seven Essential Virtues menunjukkan adanya perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan moral anak sebelum dan setelah mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng. Hasil analisis Borba menunjukkan dongeng memberikan sumbangan 34% terhadap
perkembangan kecerdasan moral anakanak. Dongeng menyebabkan mereka dapat memetakan pengalaman secara mental serta dapat melihat gambaran di dalam kepala mereka. Mendongengkan cerita moralitas menyediakan anak-anak suatu model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat meniru untuk bertindak kemudian membiasakan. Selain mendongeng sebagai metode utama, bisa juga dilakukan metode menyenangkan lainnya seperti bernyanyi, bermain, atau menari sebagai pemecah suasana jika terjadi kejenuhan. Semuanya dikemas dalam tema (nilai) antikorupsi, seperti lagu-lagu atau yelyel berlirik kejujuran. Hal ini dilakukan agar anak-anak terbiasa dengan nilai-nilai antikorupsi. Metode di atas juga dapat menjadi jembatan untuk dapat akrab dengan anak-anak. Akrab di sini menjadi penting karena dapat membuat peserta didik merasa nyaman sehingga berkorelasi lurus dengan penerimaan nilai-nilai yang diajarkan. Bruce R. Joyce dan Marsha Weil mengungkapkan, “Metode yang tepat adalah hal utama agar peserta didik merasa nyaman. Di situlah mereka dapat dengan mudah mencerna apa yang diajarkan.” Jelas bahwa mendongeng, menyanyi, meneriakkan yel-yel, atau hal menyenangkan lainnya tidak dipandang sebagai permainan belaka. Hal-hal tersebut juga dapat menginternalisasikan nilai-nilai, terutama nilai antikorupsi. Upaya pendidikan antikorupsi sejak dini sebenarnya sudah dilakukan Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Indonesia, organisasi anak muda yang memiliki kepedulian melahirkan generasi antikorupsi di kalangan anak-anak dan pemuda. Apa yang telah dibahas di atas adalah bentuk program utama FLAC Indonesia, yaitu Laskar Antikorupsi. Program tersebut menggunakan media pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak dengan cara yang menyenangkan seperti mendongeng, bermain, Majalah Civitas | Maret 2013
81
Opini
“ ... bahwa korupsi tidak hanya terkait anggaran, tetapi juga melingkupi halhal kecil di lingkungan sehari-hari.” bernyanyi, berjoget, dan meneriakkan yel-yel atau jargon. Semuanya dilakukan untuk melahirkan generasi masa datang Indonesia yang jujur dan bersih. Permasalahan melawan korupsi hari ini adalah tinggal bagaimana kita membangun kepedulian masyarakat, yang tadinya acuh tak acuh menjadi peduli, yang apatis menjadi berkontribusi. Kita juga perlu mengubah paradigma masyarakat bahwa korupsi tidak hanya terkait anggaran, tetapi juga melingkupi hal-hal kecil di lingkungan sehari-hari. Untuk mengubah paradigma tersebut, kita harus memulai sejak dini dan membiasakannya bukan hanya di sekolah, melainkan juga di rumah dan lingkungan sekitar. Maka dari itu, bangsa ini harus optimis akan lahirnya bangsa Indonesia yang jujur dan bebas korupsi. Seperti rakyat Amerika dan Inggris lewat cerita dan dongeng heroiknya, generasi muda Indonesia juga harus terbiasa untuk menjadi pejuang antikorupsi, atau bahkan tidak sempat berpikir apa itu korupsi.
Jiwo Damar Anarkie adalah seorang pemuda antikorupsi yang saat ini dikenal sebagai pendiri sekaligus Presiden FLAC (Future Leader for AntiCorruption) Indonesia. Dia pernah aktif dalam beberapa organisasi pemuda seperti Ketua Umum Ikatan Siswa Penjelajah Alam SMA Negeri 1 Bekasi dan Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2011. Saat ini, Jiwo adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang mengambil studi Perbandingan Politik. Penikmat kopi dan pencinta pendidikan ini telah dianugerahi beberapa penghargaan seperti Beasiswa PPSDMS Nurul Fikri tahun 2010—2012, Youth Educator Award tahun 2012, dan salah satu Mahasiswa Berprestasi FISIP UI. Jiwo terpilih sebagai delegasi Indonesia dan mewakili FLAC Indonesia untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan sekaligus mendongeng di The 3rd Global Youth AntiCorruption Forum dan The 15th International Anti-Corruption Conference 2012 di Brasilia, Brasil, awal November 2012. Di sini, Jiwo ingin menyampaikan pesan bahwa pemberantasan korupsi masih dianggap suatu hal yang bersifat sukarela, bukan kewajiban. Tugas pejuang antikorupsi hari ini adalah mengubah paradigma itu menjadi “memberantas korupsi hari ini tidak harus mengernyitkan dahi dan menyusahkan hati, kita bisa membuatnya lebih menyenangkan, sesuai passion kita”. Untuk berinteraksi lebih dekat, Jiwo dapat dihubungi melalui:
[email protected] | @jiwos | +62 856 9485 4259 Info lebih lengkap mengenai FLAC Indonesia dapat dilihat di www.flacindonesia.org, www. facebook.com/flac.indonesia, akun Twitter @flac_indonesia, dan www.youtube.com/ FLACIndonesia.
*) Penulis adalah Presiden Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Indonesia.
82
Majalah Civitas | Maret 2013
Psikologi
Hati-hati Sindrom
Patah Hati
Masih ingat novel Ayat-Ayat Cinta, buah tinta emas karangan Habiburrahman ElShirazy? Tersebut di dalamnya salah satu karakter wanita yang memiliki perasaan cinta begitu mendalam kepada sang tokoh utama. Ialah Maria Girgis, yang jatuh sakit tak sadarkan diri setelah patah hati karena mengetahui tambatan hatinya sudah menikah dengan gadis lain.
“
Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan getaran-getaran cinta,” ujar seorang dokter mendeskripsikan penyakit yang dialami Maria.
Benarkah dampak patah hati sedemikian hebatnya hingga dapat membuat seseorang kehilangan kesadaran? Dan benarkah pernyataan dokter di dalam novel tersebut, yang mengatakan tidak ada obat yang mujarab untuk patah hati selain “getaran cinta”? *** Urusan patah hati sering dianggap persoalan remeh yang menyangkut emosional seseorang saja, padahal ia bisa merambat hebat hingga menyebabkan gangguan fisik pada manusia. Di dunia medis, patah hati tidak hanya menyoal putus atau penolakan cinta. Trauma kehilangan orang yang dicintai, kesedihan yang mendalam akan peristiwa tertentu, atau stres berlebihan karena suatu perpisahan merupakan sebab-sebab yang menjadi modus timbulnya rasa patah hati.
Majalah Civitas | Maret 2013
83
Psikologi Tak berlebihan jika gambar jantung yang retak atau terbelah menjadi simbol bagi kondisi patah hati. Faktanya, tak hanya memengaruhi psikis manusia, patah hati ternyata juga bisa berdampak pada fisik seseorang sebab ia merupakan gejala emosional yang berpotensi menimbulkan kelainan pada jantung. Menurut penelitian, patah hati dalam kasus ekstrem bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom patah hati (broken heart syndrome), begitu istilah yang akrab bagi lidah Indonesia untuk penyakit yang menyerang otot jantung ini. Di dunia medis, ia pertama kali ditemukan oleh peneliti Jepang pada awal tahun 1990-an dan dikenal sebagai stress cardiomyopathy atau takotsubo cardiomyopathy. Kini, penyakit tersebut juga dikenal dengan istilah apical ballooning syndrome atau sindrom penggelembungan apeks (puncak) jantung.
juga bisa menjadi pencetus kelainan ini. Stres fisik seperti serangan asma, infeksi, kecelakaan mobil, operasi berskala besar, atau keterlibatan dalam suatu bencana alam yang dahsyat pun dapat memicu timbulnya sindrom patah hati. Penderita sindrom ini mengalami nyeri dada atau “merasa” mengalami serangan jantung secara tiba-tiba. Gejalanya sendiri disebabkan oleh reaksi jantung terhadap munculnya hormon stres atau kortisol ketika si penderita dihadapkan pada situasi yang tertekan. Gejala serangan jantung bisa juga disebabkan oleh peningkatan kadar hormon adrenalin dan noradrenalin dalam tubuh—yang tercetus karena adanya stres fisik dan psikis berat. Lebih dari 75% kasus, kadar noradrenalin penderita sindrom patah hati mengalami peningkatan yang jumlahnya jauh lebih tinggi daripada kadar penderita serangan jantung.
Di dunia medis, patah hati tidak hanya menyoal putus atau penolakan cinta.
Kata takotsubo dalam bahasa Jepang merujuk pada perangkap yang digunakan para nelayan untuk menangkap cumi-cumi. Penyakit kelainan jantung ini diberi nama demikian karena bentuk jantung para penderita menggelembung dan menyerupai perangkap cumi-cumi. Dalam terminologi medis, takotsubo cardiomyopathy diartikan sebagai kondisi sementara di mana otot jantung penderita tibatiba melemah dan ventrikel kirinya mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Tidak seperti jenis-jenis cardiomyopathy yang lain, takotsubo cardiomyopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak bersifat genetis atau tidak dapat diwariskan. Dipicu Stres Berat Sekitar tiga perempat dari orang yang didiagnosis terkena sindrom patah hati terbukti telah mengalami stres emosional yang signifikan sebelum mengalami kelainan otot jantung. Selain trauma patah hati, penyakit berat nonkardiak, di mana masalah primer tidak terletak pada jantung,
84
Majalah Civitas | Maret 2013
Peningkatan kadar noradrenalin yang berlebihan dapat memicu terjadinya spasme (kejang), yakni pengecilan diameter pembuluh nadi jantung yang dapat mengganggu pasokan aliran darah ke otot jantung. Hal ini pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerusakan otot jantung. Noradrenalin yang berlebihan juga bersifat toksik terhadap otot jantung. Bukan Serangan Jantung Keluhan, evaluasi hasil ekokardiografi (EKG), dan peningkatan kadar enzim jantung penderita sindrom patah hati tampak sesuai dengan manifestasi klinis penderita serangan jantung. Akan tetapi, jika penderita menjalani pemeriksaan angiografi koroner (kateterisasi jantung), ia tidak akan menunjukkan kelainan ataupun penyempitan pada pembuluh koronernya (pembuluh nadi jantung). Hasil pemeriksaan justru memperlihatkan pembesaran pada bagian puncak ventrikel kiri jantung yang disertai dengan penurunan kekuatan pompa. Bagian dasar jantung sendiri tetap normal
Psikologi sehingga bentuk jantung akan menggelembung seperti perangkap cumi-cumi. Hingga kini masih belum ada penjelasan memuaskan mengapa hanya bagian puncak ventrikel kiri jantung yang mengalami gangguan paling berat karena kelainan ini. Hipotesis yang paling mungkin adalah, tidak seperti bagian lain di jantung, bagian puncak jantung tidak memiliki tiga lapisan—endokardium, miokardium, dan epikardium—sehingga ia lebih tipis dan kurang elastis. Keadaan tersebut memudahkan penderita mengalami iskemia, yakni suatu kondisi di mana suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah. Hal ini diduga menjadi alasan utama bagi sensitivitas bagian puncak jantung terhadap peningkatan kadar hormon adrenalin dan noradrenalin. Meski memiliki gejala yang mirip dengan serangan jantung, yakni nyeri di dada dan sesak napas, sindrom patah hati sendiri secara klinis berbeda dengan serangan jantung. Sebagian pendapat memandang sindrom patah hati merupakan satu bentuk serangan jantung yang “berhenti” dengan sendirinya, sehingga tidak merusak otot jantung secara permanen. Pendapat lain mengatakan fenomena klinis ini tidak memiliki hubungan dengan arteri jantung dan hanya bermasalah dengan otot jantung. “Serangan jantung yang dipicu oleh stres biasanya hanya terjadi pada orang yang sudah memiliki sejarah penyakit jantung,” jelas Profesor Peter Weissberg dari British Heart Foundation, Tingkat kesembuhan para penderita sindrom patah hati lebih cepat daripada penderita serangan jantung. Ia hanya bersifat sementara dan kesembuhan total bisa tercapai dalam waktu dua minggu—jika diobati dengan cepat dan tepat.
layaknya pasien yang mengalami serangan jantung seperti aspirin, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors, beta blockers, atau obat diuretik, hingga penderita pulih. Biasanya penderita juga akan menjalani pemeriksaan ekokardiografi (EKG) rutin untuk mengamati perubahan bentuk jantung. Dalam waktu beberapa hari, ventrikel kiri jantung penderita akan kembali normal. Tim peneliti dari Miriam Hospital dan Universitas Brown, Rhode Island, Amerika Serikat, melakukan riset terhadap tujuh puluh pasien rumah sakit yang diduga menderita sindrom patah hati. Penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam American Journal of Cardiology sejak tahun 2004 hingga 2008. Menurut mereka, sindrom patah hati sangat mungkin untuk disembuhkan. Selama mendapatkan perawatan sepenuhnya dalam waktu 48 jam pertama, pasien akan pulih seperti sediakala dan jarang sekali yang berakibat fatal. Meski begitu, komplikasi yang mematikan dapat timbul akibat sindrom patah hati ini. Menurut Bambang Budiono, Kepala Heart and Vascular Center Rumah Sakit Awal Bros Makassar, komplikasi berat yang diketahui adalah pembengkakan paru-paru, kelainan irama jantung ganas, shock kardiogenik, disfungsi katup mitral1), pembekuan darah, stroke, hingga kematian. Bagaimana pun, sindrom patah hati perlu diwaspadai. Sering kali keluhan penderita diabaikan karena kelainan ini dianggap sekadar respons psikologis wajar akibat kehilangan pasangan hidup atau orang yang amat dikasihi. Padahal, bukan tidak mungkin bahwa penanganan yang tidak cepat dan tepat dapat mengantar penderita pada masalah yang lebih serius, bahkan fatal.
Waspada Komplikasi
Hindari Terjebak Masa Lalu dan Cemas akan Masa Depan
Seperti yang dikutip dari laman resmi British Heart Foundation, tidak ada obat yang spesifik untuk sindrom patah hati. Untuk pertolongan pertama, penderita akan diberi alat bantu pernapasan. Selanjutnya ia akan menerima pengobatan
Seperti yang telah diungkap di atas, trauma patah hati biasanya timbul karena peristiwa masa lampau yang membuat jiwa begitu terguncang. Tidak sedikit orang yang secara tidak sadar kesulitan untuk melepaskan belenggu masa lalu Majalah Civitas | Maret 2013
85
Psikologi yang suram hingga ia terus larut dalam kesedihan mendalam. Ada pula yang mengalami kecemasan tingkat tinggi akan sesuatu yang belum terjadi. Ini juga dapat menjadi penyebab timbulnya sindrom patah hati karena perilaku tersebut dapat memicu stres psikis maupun fisik. Jika setuju pada ungkapan “lebih baik mencegah daripada mengobati”, kita perlu mengetahui langkah apa saja yang dapat dilakukan agar terhindar dari sindrom patah hati ini. Menyadari bahwa sedang menjalani hidup di masa kini—bukan masa lalu maupun masa yang akan datang—dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih rasional dan bijaksana dalam menghadapi kenyataan. Masa lalu yang kelam hendaknya dijadikan pelajaran untuk mendewasakan diri. Dengan begitu, seseorang akan lebih siap untuk menghadapi masa depan yang masih menjadi misteri.
[Sarah Khaerunisa]
Foto: Dok. Media Center STAN
Vokabuler 1) Katup mitral: katup jantung yang memisahkan serambi kiri dan bilik kiri
86
Majalah Civitas | Maret 2013
Opini
Lapar &
Revolusi Oleh: Yussi Mirati*
“
Tidak seharusnya Bapak hanya melakukan metode ini. Oke, kalau Bapak bilang kami sudah mahasiswa dan bisa belajar sendiri. Iya, itu memang benar, tapi bukankah peran Bapak sebagai dosen juga harus membimbing, tidak melepas tangan dengan nyuruh kami presentasi? “Bahkan dari enam presentasi yang sudah ada, Bapak enggak pernah turun tangan ketika ada
‘kemelut’, atau minimal meluruskan. Kita ini masih masalah principal, yang mana harus mantap. Kalau enggak mantap, seterusnya bakal sulit. “Gila aja kalau kita yang presentasi tanpa ada andil dari Bapak. Iya kalau kita sudah benar, kalau salah?” Frontal? Total. ***
Majalah Civitas | Maret 2013
87
Opini Ya, apa yang dituliskan di atas adalah kejadian nyata—tidak fiktif—dan sayalah pelakunya. Kejadian itu terjadi ketika saya menapaki semester dua di STAN. Saya masih ingat sekali dengan dosen yang pernah saya kritik itu. Maaf ya, Pak, saya tidak pernah bermaksud sefrontal itu. Kejadian ini berawal dari rasa “muak” akan metode kuliah yang hanya mengandalkan presentasi saja, sedangkan Pak Dosen hanya duduk manis di kursinya. Padahal mata kuliah itu lumayan sesuatu— Akuntansi Dasar II. Dan yah, saya memang kurang berjodoh dengan mata kuliah yang satu itu. Ditambah lagi kondisi saya yang ketika kuliah bersejarah itu sedang tidak fit—sakit mag yang tiga hari belum sembuh, tiga hari makan tetapi selalu dimuntahkan lagi, karbohidrat hanya dari air gula, dan mata berkunangkunang karena kurang glukosa.
Sejurus kemudian, bagai ada yang menekan tombol switch, mood saya setelah makan itu jadi baik-baik saja. Saya lupa dengan semua keabsurdan mata kuliah Akuntansi Dasar II dan kawan-kawannya. Kejadian itu mengingatkan saya dengan headline yang pernah saya baca di Koran Jakarta Post ketika SMA dulu. Kalau tidak salah ingat, beritanya tentang Mesir dan Hosni Mubarak yang waktu itu sedang didemo ribuan orang. Pendemo itu menentang rezim Mubarak dengan melakukan orasi dan aksinya di Tahrir Square. Mereka berdemo hingga berhari-hari dan kian waktu lontaran orasi kian ganas. Setelah empat atau lima hari, perlawanan memuncak.
“Revolusi itu bisa dihentikan jika dihubungkan dengan urusan perut.”
Nah, dalam kondisi lapar itulah, entah bagaimana kenekatan itu muncul. Dengan dorongan bete, lapar, dan tidak mengerti kenapa tidak ada yang berusaha ngomong ke Sang Dosen untuk meluruskan diskusi, saya pun berkoar-koar di hadapan dosen tersebut. Teman-teman sekelas langsung senyap, mungkin berdoa agar tidak ada yang di-DO gara-gara saya. Saya, waktu itu, tidak peduli dengan semua akibat yang akan saya—dan mungkin teman sekelas lainnya—terima nantinya. Itu urusan nanti. Bodo amatlah. Alhamdulillah, dosen itu menerima dengan lapang dada dan segera mengganti metode kuliah. Kuliah menegangkan itu selesai dan saya merasa amat sangat—sangat lapar waktu itu. Dengan sigap, saya langsung berjalan ke depan Bintaro untuk makan bersama teman. Dua piring langsung tandas, hitung-hitung rapel makan tiga hari lalu. Porsi kuli, kuli ayu.
88
Majalah Civitas | Maret 2013
Dan tahukah apa strategi pihak Hosni Mubarak? Mereka menyuruh tukang jualan makanan mangkal di Tahrir Square. Mereka menyuruh para penjual untuk menggratiskan makanannya. Biaya jualan mereka, semua ditanggung oleh pihak Hosni.
Hasilnya? Kerumunan itu makin menipis dan bubar dengan sendirinya. See? Revolusi itu bisa dihentikan jika dihubungkan dengan urusan perut. Dulu, kata tentor les zaman SD, awalnya tidak ada yang setuju dengan PKI. Ketika itu bahan pangan diblokir dan musim kurang bersahabat. Banyak masyarakat yang pada saat itu mau tak mau mengonsumsi bekatul atau pun bulgur (makanan kuda). Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus tetap survive dalam keadaan kekurangan bahan makanan. Akan tetapi, voila! Sekonyong-konyong PKI muncul dan membagikan beras kepada warga, dengan syarat mereka harus mau menandatangani kertas kosong. Beberapa orang mau tanda tangan, beralasan bahwa sekadar tanda tangan saja bisa dapat beras gratis. Effort sedikit; hasil lumayan, mungkin itu pikir mereka. Beberapa orang ada juga yang menolak untuk
Opini tanda tangan dengan alasan takut pada efek ke depannya—dan itu terbukti. Orang yang dulunya menandatangani kertas kosong yang diberikan PKI ternyata direkrut secara sepihak oleh PKI. Kertas kosong yang tak lagi kosong itulah yang menjadi bukti otentiknya. Beberapa saat kemudian, terjadilah “pembersihan” anggota PKI. Apa yang terjadi pada mereka? Kaget? Tentu saja. Bagaimana tidak, dengan tiba-tiba mereka menjadi target “pembersihan” itu. Padahal, secara de facto mereka tidak pernah terlibat aktivitas PKI. Walhasil, banyak yang ditangkap oleh pemerintah namun mereka tidak tahumenahu mengenai alasan penangkapannya. Tibatiba saja mereka ditangkap dan tidak sedikit yang diasingkan. Memang urusan perut ini terlihat sepele, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda, efeknya bisa masif. Disadari atau tidak, ketika dalam keadaan kenyang, rasanya hampir semua keadaan baik-baik saja, adem-ayem kalau kata orang Jawa. Kalau sudah kenyang, biasanya orang mudah terlena dengan keadaan dan cenderung cepat mengantuk. Namun ketika lapar, revolusi sangat mungkin terjadi, dan rasa-rasanya lebih agresif, bahkan untuk beberapa kasus menyebabkan seseorang lebih kreatif.
Tantangan hidup mahasiswa saat ini bukanlah rezim pemerintahan, bukan keterbatasan sarana dan prasarana hidup. Justru tantangannya adalah semua hal sudah tersedia, terfasilitasi—tinggal tunjuk saja. Keadaan sudah lebih baik, lebih mudah, lebih praktis. Lihat saja berapa banyak acara besutan televisi yang mengundang mahasiswa. Mulai dari acara talkshow, komedi, sampai acara hore-hore lainnya. Seolah-olah, kurang afdal kalau acara itu tidak ditonton oleh mahasiswa. Bagi mahasiswa, mungkin akan merasa tidak keren jika tidak mengikuti acara tersebut. Kemudian berkelebat di ingatan saya tentang celetukan seorang teman, “Kita ini lebih mudah bertahan di keadaan sulit daripada ketika keadaan sudah sebegitu nyaman dan mudah.” Ya, begitulah. *) Penulis adalah mahasiswi 3-J Spesialisasi Pajak.
Disadari atau tidak, ketika dalam keadaan kenyang, rasanya hampir semua keadaan baik-baik saja, adem-ayem ....
“
“
Yang sedikit saya khawatirkan adalah, ketika mahasiswa sudah terbuai dengan berbagai macam jajanan serta mengakarnya budaya kongko dan makan-makan, mereka menjadi lebih woles (santai). Seolah-olah tidak ada yang perlu diperbaiki, tidak ada yang perlu dikritisi. Padahal kenyataan tidak seindah itu.
Majalah Civitas | Maret 2013
89
English Corner
By Dani Kharismawan Prakoso*
T
he title above might represent most of our question nowadays—about the need, not only to learn, but also to master English as our second language. Since the era of colonialism, we have begun to realize the importance of learning and understanding other language, based on the fact that almost all knowledge about politic, technology, science, medicine, and education were provided in Dutch. And today, we are facing quite the same problem with different level of complexity. Now, more than half of century since our independence day had passed by, all aspects of knowlegde have grown advance. Politics, economics, science, and other aspects have been more complex. And other aspects that might not appear to be a big matter in the early 1990’s, have shown their great impacts today, like the existence of International Accounting Standard, environmental problem disclosure, and even down to entertainment industry that produce our favorite movies and songs. We live by the fact that our country is not in the possession of being capable to provide all knowledge that we need. In the other word, nowadays, we need more than just Bahasa Indonesia to access all information and knowledge related to our study, career, social interaction, and even hobby.
90
Majalah Civitas | Maret 2013
English Corner Since the early usage of English as International Language with more than 30% of the world’s nations using it as national language and more than 70% of all nations embedded it in their educational curriculum, English have been well known. It’s connecting people all over the world. Today, almost all of books, songs, movies, articles, and information in the internet are provided in English. If we go abroad, all international airports will require us to know English when they check our passports and visas. Moreover, many job applications of international and national entities today, put English as one of their requirements. And even more, we can create a wider connection if we are capable of interacting in English with people all over the world. By mastering English, we can go beyond the boundaries to reach our dreams. We will see that the world is a lot smaller and people in other country are not so different, especially today when the chance of working or study abroad is widely open and very tempting. Mastering English in a simple way means that we are able to speak in it, to understand when it comes to read or listen to it, and imply it in daily life. In more complex way, we are required to be able to write it, to study its literature, and to learn the manner and dictions in writing or speaking in English.
With so many dictions that English has and its different level of complexity, we can almost tell someone’s intelligence through their choice of word in speaking or writing and the way they arrange every word. “If you dare to dream big, then live big,” it is a saying which means that if we want to reach big accomplishments in life, then we have to be brave to do more effort than people normally do. We’re required to learn and master anything needed to reach that goal. Since people can’t master all knowledge, then we have to smartly choose what is useful for us. Here, English provide us the key to access all of knowledge that we require. The trick is how to be able to motivate ourself and erase our hesitancy to keep moving forward in reaching our future. Well, at the end of this article, with a new point of view that is brought to you, ask yourself one question once again, “Do I really need English?” Then the answer should be a yes.
*) The Writer is President of STAN English Club 2012/2013.
Ilustrasi: Internet
“Here, English provide us the key to access all of knowledge that we require.”
Majalah Civitas | Maret 2013
91
Ekonomi
Foto: otomotif.nett
Menanti Regulasi LCGC
D
unia bisnis otomotif Indonesia mulai menunjukkan geliat sejak dicanangkannya program mobil murah ramah lingkungan alias low cost and green car (LCGC) oleh Kementerian Perindustrian. Program ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendukung konversi bahan bakar minyak (BBM) ke jenis energi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, dengan konsep harga murah, pemerintah berharap LCGC dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Regulasi insentif LCGC telah melalui proses panjang. Kemenperin sempat meyakinkan bahwa payung hukum LCGC selesai diproses akhir Desember 2012. Hal tersebut menjadi harapan palsu karena hingga berita ini ditulis, regulasi mobil murah yang akan dituang dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersebut masih menunggu tanda tangan Presiden RI.
92
Majalah Civitas | Maret 2013
Menurut Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat, pembahasan peraturan LCGC begitu alot karena harus membahas beberapa hal yang bersifat detail. Salah satunya adalah usulan Kemenperin tentang pengurangan tarif PPnBM untuk LCGC, baik yang di bawah maupun di atas 1.000 cc. Pembebasan bea masuk dan klasifikasi kendaraan turut menjadi agenda pembahasan yang rumit. Polemik juga sempat berkembang saat awal kemunculan wacana LCGC. Banyak pihak mengklaim kehadiran mobil murah akan memperparah kemacetan dan meningkatkan subsidi BBM pemerintah. Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menilai LCGC bertolak belakang dengan rencana pengembangan transportasi monorel dan rencana pemerintah Jakarta tentang penambahan armada bus Transjakarta. Menanggapi hal
Foto: Internet
Ekonomi Pro kontra mewarnai wacana kebijakan industri mobil murah dan ramah lingkungan, khususnya di antara pengamat transportasi dan industri di Indonesia. Konsep mobil murah seakan menggiring masyarakat untuk bersikap konsumtif—yang berimbas pada peningkatan volume kendaraan di jalanan dan konsumsi BBM nasional. Apakah pandangan tersebut benar atau tidak, belum dapat dipastikan. Pasalnya, sejak dicanangkan pada 2011 lalu, regulasi insentif mobil murah tersebut hingga kini belum terdengar ketuk palunya.
ini, Hidayat tidak setuju jika mobil murah dan ramah lingkungan dianggap akan memperparah kemacetan di Jakarta. Menurutnya, mobil murah berkonsep LCGC disediakan tidak untuk masyarakat Jakarta saja, tetapi untuk seluruh warga Indonesia.
Pemerintah membebaskan bea masuk untuk mesin, perakitan, serta komponen mobil berbasis LCGC. Fasilitas itu diberikan untuk merangsang pembangunan dan pengembangan mobil LCGC di dalam negeri, baik di sektor permesinan, perakitan, maupun komponen.
Segudang Insentif untuk LCGC
Insentif juga disediakan pemerintah bagi industri yang mau memproduksi kendaraan ramah lingkungan berbasis LCGC dalam bentuk pemberian potongan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 10%.
Selain LCGC, ada pula program pemerintah yang mengusung konsep mobil murah, yakni mobil nasional (mobnas). Jika LCGC dapat diikuti oleh investor asing, program mobnas mensyaratkan pemain lokal dalam pelaksanaannya. LCGC sebagai program sandingan mobnas dianggap membuat pemerintah menganaktirikan produsen mobnas. Hal tersebut disebabkan insentif yang diberikan pemerintah kepada pengembangan LCGC dinilai lebih dapat dinikmati produsen asing ketimbang produsen lokal.
“Pokoknya ada pengurangan. Kalau misalnya dia awalnya 10%, kan kalau dikurangi 10% jadinya 0% dan yang 20% jadi 10%. Jadi dilihat saja kondisi sekarang, PPnBM per kelasnya berapa, terus dikurangi nantinya,” jelas Pelaksana Teknis Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro, yang diberitakan oleh finance.detik.com.
Terkait hal tersebut, pemerintah menyikapinya dengan merancang aturan-aturan ketat. Beberapa persyaratan harus dipenuhi produsen agar memperoleh fasilitas insentif LCGC.
Fuad Rahmany selaku Direktur Jenderal Pajak mengakui pembebasan bea masuk dapat menyebabkan penurunan pajak di sektor-sektor tersebut. Namun menurutnya tidak masalah. Majalah Civitas | Maret 2013
93
Ekonomi “Mobil yang diproduksi adalah mobil ramah lingkungan dengan harga jual tidak lebih dari Rp100 juta.”
Dari catatan Kemenperin yang dilansir laman Seputar Indonesia, pengembangan LCGC telah menyebabkan peningkatan investasi berupa perluasan dan pembangunan pabrik baru dengan total investasi sebesar USD2,2 miliar. Untuk industri perakitan, angkanya mencapai USD2,3 miliar. Hingga kini industri komponen dan perakitan sudah menyerap 25.000 tenaga kerja.
Keuntungan negara bukan dari perpajakan, melainkan dari pertumbuhan industri itu sendiri yang akan menyerap tenaga kerja.
Duet Astra, Toyota dan Daihatsu, masing-masing telah memiliki produk yang masuk dalam program LCGC, yakni Toyota Agya dan Daihatsu Ayla. Keduanya sudah diproduksi di pabrik Daihatsu di Karawang dan siap dirilis ke pasar saat regulasi LCGC resmi disahkan pemerintah.
Untuk mendapatkan insentif-insentif LCGC, tiap pabrikan mobil yang ikut serta harus memenuhi beberapa syarat. Mobil yang diproduksi adalah mobil ramah lingkungan dengan harga jual tidak lebih dari Rp100 juta. Setiap bodi, mesin, dan transmisi mobil harus dibuat di dalam negeri di mana komponen lokal yang digunakan pada tahun pertama minimal 40%, tahun ketiga 60%, dan tahun kelima 80%. Selain itu, kapasitas mesin yang diperbolehkan antara 1.000 cc hingga 1.200 cc dengan efisiensi minimal 22 km/liter (mesin 1.000 cc) dan 20 km/liter (mesin 1.200 cc). Berdasarkan penjelasan Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT), Budi Darmadi, rancangan regulasi LCGC mewajibkan semua LCGC menggunakan spesifikasi standar mesin untuk konsumsi bensin dengan research octane number (RON) minimal 92. Dengan kata lain, rancangan peraturan menegaskan LCGC harus minum pertamax. Langkah ini dilakukan pemerintah untuk mendorong peralihan konsumsi bahan bakar dari premium ke bahan bakar nonsubsidi. Budi menjelaskan bahwa konsumen tidak ikut terikat oleh ketetapan ini. Menurutnya, konsumen tidak dapat dipaksakan untuk menggunakan bahan bakar jenis tertentu. Yang harus ditekankan, semua LCGC wajib memiliki spesifikasi standar mesin dengan RON 92 ke atas. Sambutan Baik Para Investor Pihak investor menyambut baik perumusan program LCGC. Hidayat menyatakan, pihak asing yang sudah berkomitmen untuk berinvestasi antara lain Daihatsu, Suzuki, Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Nissan.
94
Majalah Civitas | Maret 2013
“Produksi sudah berjalan sejak Desember (2012), tetapi jumlahnya masih sedikit untuk percobaan. Stok mulai ada, setiap bulan produksi, tinggal menunggu regulasi keluar saja,” terang Johnny Darmawan, Presiden Direktur PT Astra Toyota Motor, yang dikutip dari laman otomotif.kompas. com. Di bawah payung LCGC, Daihatsu Ayla kemungkinan bisa dijual hanya seharga Rp70 juta untuk tipe terendah dan Rp100 juta untuk tipe tertinggi.
“... jika birokrasi yang berbelit terus diterapkan, kepercayaan investor bisa pudar.” Sudirman M. Rusdi selaku Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) 2013—2016 sempat kecewa lantaran regulasi LCGC tak kunjung terbit. Menurutnya, jika birokrasi yang berbelit terus diterapkan, kepercayaan investor bisa pudar. Ia mengaku akan terus melakukan lobi-lobi ke semua instansi terkait bersama rekan-rekannya di Gaikindo hingga LCGC disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. [Annisa Fitriana]
Satire
Wawancara
Setelah bermodal nekat mengikuti Open Mic—pertunjukan stand up comedy—pertama di Comedy Cafe Jakarta pada Juli 2011 lalu, perlahan nama Arief Didu makin berkibar di ranah hiburan stand up comedy (SUC) Indonesia. Lelaki yang juga menggeluti dunia desain grafis ini kini sudah masuk dalam jajaran comic populer tanah air.
T
awaran demi tawaran untuk tampil di televisi mulai bermunculan sejak kebolehan melawaknya ia pamerkan di layar kaca. Belakangan, laki-laki berbadan tambun ini menerima tawaran bermain di film layar lebar Making Money.
Bagaimana optimisme Arief terhadap stand up comedy, genre komedi yang pada awal kemunculannya sempat dipandang sebelah mata? Apa pula yang membuat ia yakin bahwa komedi tunggal ini bisa diaplikasikan di dunia kerja? Berikut petikan wawancara reporter Civitas dengan Arief Didu dalam kesempatan acara Mortal Combat di STAN, Sabtu, 1 Desember 2012. Bagaimana perasaan tampil perdana di STAN? Senang aja, makin banyak tempat yang bisa nyelenggarain SUC. Artinya, gue semakin banyak teman. (SUC) ini semakin bisa diterima, terlihat semakin banyak peminatnya. Bagaimana melihat masa depan stand up comedy? Kita terhitung baru, ya. Bulan Juli kemarin itu baru setahun dan kayaknya masih panjang ke depannya. Mungkin, di awalnya ada beberapa orang yang dibilang agak pesimis (dengan SUC).
96
Majalah Civitas | Maret 2013
Secara kultur, SUC sepertinya terlihat tidak bisa masuk ke kultur kita. Terlebih karena banyaknya komedi-komedi konvensional. Tapi ini kembali lagi, ini proses. Di bidang seni mana pun semuanya proses, enggak beda. Misal, jenis musik. Mungkin kita dulu cuma kenal jenis keroncong, sekarang ada jaz. Butuh proses. Kalau masa depannya (SUC) cukup menjanjikan sih. Makin banyak tempat, makin banyak orang yang bisa jadi penikmat SUC sendiri. Dan makin ke sini makin banyak teman-teman comic. Banyak yang menjadikan SUC (sebagai)
Foto: Dok. Media Center STAN
Arief Didu: Jujur, Ini Nagih!
Wawancara sumber penghidupan mereka. Banyak yang akhirnya menjadikan comic (sebagai) profesi mereka karena cukup menjanjikan. Apa yang bikin Bang Arief banting setir jadi comic? Gue baru terjun di SUC seumuran dengan berkembangnya SUC di Indonesia. Awalnya, gue juga bingung SUC itu apa. Akhirnya gue cari tahu SUC itu apa. Ternyata, basic dari SUC ini yang bikin gue nyaman. Di bidang seni, justru di SUC inilah gue bisa menyuarakan apa yang gue rasa, apa yang gue pikir. Minimal gue dapat media buat curhatlah. Gue bisa curhat, gue bisa dapat kompensasasi. Semakin digeluti semakin menarik seni SUC ini. Dari mana sih datangnya ide untuk melucu? Konsep dasar SUC kan lebih kepada cerita diri si comic, keseharian comic, apa yang dia alami, apa yang dia rasa. Yang menarik gini, banyak rekanrekan comic bilang—ini menurut pengakuan mereka sendiri malah—jalan hidup yang mereka jalani yang lucu. Jadi kalau ditanya sumbernya, ya jalan hidup itu. Sebenarnya gini. Kami cuma pengin cerita, ini yang kami rasa, yang kami alami. Kalau memang enggak ada solusinya, ya minimal kita ketawain bareng deh. Biasanya, setelah kami bawain (SUC) di stage, ternyata hal yang kami sampein itu bukan kami doang yang ngalamin. Yang ngerasain bukan kami doang. Buktinya kita bisa ketawa bareng kok. Simpelnya, (respons) si audiensnya gini, “Oh iya, iya! Gue juga! Gue juga!” Nah, outputnya ketawa. Oh, ternyata ada orang lain yang ngerasain yang sama dengan gue. Bagaimana kalau lawakan comic ternyata enggak lucu di atas panggung? Ini bagian dari proses. Enggak beda dari bidang seni lain. Tinggal dilihat prosesnya aja, karena semua comic ngalamin itu. Pasti. Ada beberapa yang kita sebut talented, tapi itu kasus khususlah.
Yang menariknya gini, banyak teman-teman comic yang ngerasa dia enggak lucu. Tapi karena dia ikutin prosesnya, belajar, cari tahu, pada akhirnya dia bisa. Menurut gue pribadi, ilmu SUC ini ilmu yang bisa dipelajari karena gue sudah lihat buktinya. Ini (bikin) nagih. Jujur, ini nagih! Semua comic mengakui ini. Begitu lu naik (ke) stage, terserah apa pun tampilan awal lu, akhirnya lu punya media untuk curhat. Dan ini nagih, besok pasti mau naik lagi. Next, punya mimpi program/karya seperti comic lainnya? Gue belum terpikir ya. Gue belum nuntasin proses belajar gue. Di luar negeri sudah lama ada SUC, pada akhirnya comic-comic (di sana) malah keseringan (berkarya) di luar (dunia) SUC. (Ada) yang main film, presenter, buat buku. Gue sendiri belum tahu arahnya dan ke mana. Cuma pengin sih, karena kembangan dari SUC ini banyak banget. Bisa ke mana aja, (terutama) program dan acara. Kalau boleh sombong, kemarin (gue) sudah main di (film) Making Money, kemarin diajak main sitkom. Nah, yang menarik itu, ternyata (SUC) bisa di-aplikasiin ke mana saja. Ada tren sekarang, beberapa perusahaan meng-hire praktisi SUC, dalam hal ini comiccomic, untuk sharing mengenai ilmu SUC. Biar bisa diaplikasikan ke strategi bisnis mereka. Contohnya di marketing, atau presentasi, atau seminar, itu bisa pake formatnya SUC biar lebih menarik. Jadi, (SUC) banyak peluangnya. Terakhir, apa yang mau disampaikan untuk mahasiswa STAN? Terima kasih sudah ngadain acara ini (Mortal Combat). Maunya enggak berhenti di sini ya. Maunya lanjut, mengingat gue senang banget karena tiketnya sold out. Dengan kata lain, antusiasnya ada. Jadi, bisa teruslah, bisa lanjut. Ya mungkin saja (SUC) bisa dipakai (di) bidang kerjaan anak-anak STAN. [Tendi Aristo]
Majalah Civitas | Maret 2013
97
Opini
Menolak
Lupa
Oleh : Shahfira Alif Asmia*
“Semangat perubahan. Semangat untuk mengubah Indonesia menjadi yang lebih baik. Semangat menolak lupa. Gegap gempita ‘Hidup Mahasiswa!’ yang mendenyut nadi, yang ketika SMA saya cita-citakan keberadaan denyut itu. Membungkam para pengkhianat konstitusi, menciptakan ide-ide dan menuangkannya ke dalam tulisan ilmiah. Masuk ke forum-forum, berderak dalam gerak-gerak. Akhirnya saya menemukan semangat itu lagi.”
I
tu tulisan di Tumblr seorang kawan tentang betapa ia menemukan dirinya yang telah hilang sejak lama. Ia menulis tepat sepulangnya ia dari sebuah perhelatan pergerakan dengan fokus people power, sebuah kegiatan yang sangat cukup untuk memantik kembali semangatnya dan secara tak langsung ikut menyulut bara semangat saya, yang beberapa saat terakhir memang sedang bergemuruh. Ini tentang ingatan yang tiba-tiba muncul kembali. Bahwa ternyata kita dulu pernah sangat merdeka menjadi manusia. Bebas bermimpi dengan segenap cita bahwa kita akan menjadi orang-orang yang terdepan dalam perbaikan bangsa, orang-orang yang tergerak untuk memajukan Indonesia. Menciptakan perubahan, menggelorakan peradaban. Seperti halnya Saputri yang terkenang betapa ia pernah jaya ketika SMA, saya pun merasa demikian. Merasa bahwa, “Kayaknya aku dulu waktu SMA lebih dari sekarang deh.” Hal yang memalukan, menyadari bahwa ternyata tak banyak perkembangan yang terjadi dalam diri, tetapi justru sebuah kemunduran yang didapati.
98
Majalah Civitas | Maret 2013
Selama dua tahun belakangan saya terus-menerus menyalahkan sistem pembelajaran di kampus yang tak memberikan banyak insentif kepada mahasiswanya untuk berkembang. Tidak banyak dukungan yang digelontorkan untuk menajamkan pemikiran dan mendorong kemajuan mahasiswa. Yang diwariskan justru sebuah tirani kepasrahan yang menjadikan mahasiswa tak mau banyak bergerak. Takut salah, takut kenapa-kenapa, takut DO. Dan, parahnya, selama dua tahun itu saya pun ikut tergerus arus kepasrahan yang sama. Saya sempat sangat khawatir terhadap hati yang kufur nikmat lantaran terus-menerus tak bisa mensyukuri dan memaksimalkan potensi diri ketika berada di kampus ini. Semakin saya mempertanyakan semua ini, semakin banyak yang berkata, “Udah deh Saf, lu itu di STAN. Kampus kita memang begini. Udah deh, terima aja kenyataan.” Tentu tidak mudah melupakan bahwa saya dulu pernah lebih jaya dari ini. Saat ini, di usia dua puluh dan hampir lulus kuliah ini, seharusnya saya berkali lipat lebih jaya daripada masa SMA. Tapi kenapa justru—seolah—mundur begini?
Opini
untuk membandingkan diri. Lebih banyak mana prestasi kita—semasa kuliah atau justru semasa sekolah? Dan nyatanya, mengagumkan. Meski banyak yang “memarahi” saya dan tidak suka dengan pemikiran saya bahwa kita harusnya tidak menjadi anak penurut yang duduk manis, ternyata mereka yang berkata demikian hampir semuanya mengakui bahwa mereka dulu pernah lebih jaya, lebih merdeka.
Di masa kuliah ini, tidak ada Pimnas. Tak ada PKM. Tak ada persaingan memperebutkan beasiswa yang bisa menjadi insentif untuk bergerak. Belajar? Kan sudah ada kisi-kisi, jadi tak perlu belajar setiap hari. Dosen pun menilai dengan sistem pukul rata, meski hanya sebagian kecil yang melakukannya.
Coba tanyakan pada diri sendiri dan kepada teman-teman di kelas, kos, organisasi, atau bahkan teman mengaji. Siapa kita dahulu? Lulusan terbaik di SMA? Juara Olimpiade? Pemenang berbagai LKTI? Jurnalis terbaik di sekolah? Ketua OSIS? Best Speaker English Debate? Ketua KIR? Ketua Rohis? Siswa pertukaran pelajar ke luar negeri? Lalu, jika dahulu kita menjadi orang-orang dengan segudang prestasi, kini, siapa kita?
Ada banyak sekali alasan bagi kita untuk tidur sepanjang hari dan kuliah dengan setengah hati. Tapi, apakah alasan-alasan itu layak untuk mengkhianati potensi diri sendiri? Apakah mereka pantas membuat kita melupakan uang puluhan juta rupiah yang dikucurkan pemerintah demi kuliah kita yang gratis ini?
Agaknya sekarang kita terlalu terlena dengan keberadaan kita di pinggiran ibu kota yang—mau tak mau—dimanjakan oleh berbagai suguhan menariknya. Waktu kita mungkin lebih banyak tersita untuk jalan-jalan ke Bintaro Plaza, jajan ke 7-Eleven, karaoke di Happy Puppy, belanja di Blok M, atau aktivitas menyenangkan lainnya. Sayangnya, dengan aktivitas itu, kita tergiring untuk melupakan potensi kita. Sudah berapa kali prestasi yang kita ukir selama menjadi mahasiswa? Mungkin kita bisa menengok kembali sejenak
Andai kita mau lebih jernih melihat potensi kemahasiswaan kita, niscaya kita akan terpantik untuk terus memperdalam potensi diri. Andai kita mau menengok lebih dalam, sebenarnya ada banyak wadah bagi kita untuk terus melanjutkan kiprah dalam prestasi. STAN Olympic Team (SOT) misalnya, yang rajin memasok medali dari berbagai perlombaan bergengsi tingkat nasional. Sungguh, kawankawan kita di SOT menjadi lawan yang amat sulit ditumbangkan oleh kompetitor dari kampus lain. Pun dengan elemen kampus lainnya, seperti UKM di bidang olahraga yang terus-menerus Majalah Civitas | Maret 2013
99
Opini “Mari menolak lupa! Mari ingat kembali siapa diri kita dan apa saja yang seharusnya bisa kita perbuat untuk perbaikan bangsa.” menggelontorkan prestasi ke kantong-kantong almamater STAN. Wadah-wadah prestisius ini pun nyata-nyata didukung oleh Lembaga, baik dari segi moril maupun materiil.
“Kita ini dibiayai rakyat. Dari rakyat! Bukan dari negara! Aku yang anak pajak, paham siapa saja yang ditarik pajak. Mereka-mereka yang tak mampu pun ditarik pajak.”
Melihat kenyataan yang ada, kini terangbenderang sudah “kebutaan” saya selama dua tahun di sini. Kita tak bisa berkilah, ternyata kampus menyediakan paket lengkap untuk mengasah kemampuan diri.
Kita bisa duduk manis di Gedung I yang dingin dengan kursi yang empuk karena rakyat. Kita bisa dapat uang rapel ratusan ribu rupiah karena rakyat. Kita bisa baca buku-buku akuntansi di perpustakaan karena rakyat.
Saya sadar, dua tahun lamanya saya menyalahkan kampus. Padahal, kampus sama sekali tak salah. Yang salah adalah saya, yang amat sangat pelupa. Lupa bahwa saya sesungguhnya dikaruniai potensi dari yang Mahakuasa. Lupa bahwa kampus menyediakan seabrek fasilitas dan dukungan yang kita butuhkan.
Karena rakyat, karena rakyat.
Kita dididik untuk menjadi seorang pejuang negara yang sudah disiapkan dengan jelas spesifikasinya, sudah gamblang gambarannya. Keterlaluan jika kita masih saja tak tahu harus ngapain nantinya. Karena kita akan menjadi orang-orang yang berjuang di garda terdepan untuk melindungi bangsa, orang-orang yang terpilih untuk menyelamatkan uang rakyat, sadarkah betapa berat amanah yang akan kita emban? Lantas, sudah berapa banyak bekal yang sudah kita persiapkan? Sudah berapa banyak rasa manja dan tak peduli yang sudah mampu kita kikis dari dalam diri? Ketika menulis ini, mahasiswa di kampus sana sedang ramai sekali meneriakkan suara kencangkencang sambil menghantam langit dengan kepalan tangan. Mereka membuat brigade dan maju ke barisan paling depan, demi membela pedagang stasiun yang nasibnya dipermainkan. Saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan yang sama-sama merasa jauh lebih bersuara ketika SMA, sama-sama menyayangkan potensi diri yang menganggur begitu saja.
100
Majalah Civitas | Maret 2013
Kalau rakyat disakiti, kalau mereka dikhianati, seharusnya kita yang maju di barisan paling depan. Seharusnya teriakan kita yang paling lantang. Akan tetapi, jangankan berteriak lantang, yang selalu ditangkis dengan alasan, “Tabu, kita kan mahasiswa kedinasan,” aksi simpatik mendukung KPK—yang berjuang demi rakyat— saja partisipannya tak sebanyak yang diharapkan. Ajang diskusi yang diadakan elemen kampus juga sepi peminat. Jangankan aksi, sekadar diskusi, sekadar obrolan santai tentang seperti apa itu rakyat, sudahkah ia menjadi topik utama obrolan kita sehari-hari? Saputri pernah bertukar cerita dengan saya tentang kisah runtuhnya Isbania. Dahulu, ada seseorang yang dikirim untuk memata-matai Isbania. Tugasnya hanya mendengar dan menyaksikan bagaimana orang-orang di sana mengobrol. Ya, hanya untuk mengetahui seperti apa obrolan masyarakat di sana. Sebab, dari obrolan inilah akan ditarik kesimpulan tentang bagaimana obsesi masyarakat Isbania saat itu. Ketika sang intelijen sedang berjalan untuk mencari informasi, ia bertemu dengan seorang bocah Isbania yang sedang menangis. Dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa ia menangis. Si bocah menjawab bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu anak panah, ia bisa mendapatkan dua burung sekaligus. Namun pada
Opini hari itu, sekali melepaskan satu anak panah, ia hanya mendapatkan seekor burung. Mendengar jawaban seperti itu, mata-mata tadi mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum Isbania saat itu masih terfokus pada perjuangan. Buktinya, bocah yang masih polos itu melatih diri untuk memanah dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa para orang tua di Isbania masih terobsesi akan perjuangan, dan obsesi tersebut menular kepada anak-anak mereka. Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat untuk melihat bagaimana kaum Isbania mengobrol. Ia datangi tempattempat berkumpulnya mereka. Ternyata ada kesamaan pada semua tempat dalam hal obrolan. Semuanya sedang memperbincangkan budak perempuan yang cantik, suara wanita yang merdu, rumah yang bagus, dan hal-hal materialistis lainnya. Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum poskota.co.id Isbania sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata dari Barat itu dengan penuh semangat. Sesampai di negerinya, berbagai rencana untuk menaklukkan Isbania—negeri yang sudah delapan abad berjaya—mulai disusun. Dan akhirnya kita semua mengetahui bahwa— semenjak saat itu sampai sekarang—negeri itu bukan lagi negeri Isbania, melainkan negeri Spanyol yang sudah dijajah Barat sebelumnya. Begitu dahsyat bukan arti sebuah obrolan? Ia bisa menjadi cermin karakteristik suatu masyarakat. Lewat obrolan, kita bisa menilai apa saja yang memenuhi otak-otak suatu kaum. Dan siapa menyangka jika obrolan sehari-hari ternyata berhubungan dengan kejayaan suatu bangsa? Saya tahu, mahasiswa STAN itu orang-orang yang sangat mencintai bangsanya, pernah jaya, pernah sangat merdeka dalam pemikiran. Maka
dari itu, saya hanya ingin mengingatkan kita pada potensi yang pernah kita miliki namun terenggut oleh kata berjudul lupa; pada cita-cita dan mimpimimpi yang pernah kita deklarasikan namun hilang ditelan lupa; pada semangat perbaikan dan pekik perjuangan yang pernah terpatri namun dikikis oleh lupa. Yang paling penting, kita harus menyadari bahwa kita adalah pemuda, lengkap dengan semangat yang menggelegak di dalam dada, asa yang bertumbuh menggelora, dan cita-cita yang terikrar dengan segenap jiwa. Ingatkan diri kita, tak perlu kita menjadi tua sebelum waktunya hanya karena kita tak ingat potensi diri, lupa siapa kita, lupa pada karunia Allah yang diberikan kepada kita. Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang? Mari menolak lupa! Mari ingat kembali siapa diri kita dan apa saja yang seharusnya bisa kita perbuat untuk perbaikan bangsa. Kita pernah menciptakan mimpimimpi itu dan kita akan terus-menerus mengingatnya dalam hati, dalam pemikiran, dalam perbuatan. Hal paling nyata yang bisa kita lakukan adalah mengasah potensi kita; melipatgandakan prestasi kita. Atau, mari mulai dengan hal yang amat sangat sederhana, yaitu dengan mengubah obrolan kita; obrolan terkait perjuangan, obrolan tentang rakyat yang kita bela, obrolan mengenai betapa inginnya kita berbakti kepada bangsa. Lewat obrolan itu, kita akan menemukan kembali siapa diri kita dan seperti apa perjuangan kita untuk mengabdi pada bangsa ini.
*) Penulis adalah Menteri PPSDM BEM STAN 2012/2013.
Majalah Civitas | Maret 2013
101
Wawancara
Instrumen Kuno Rasa Kini
Kunokini
Foto: Dok. Media Center STAN
ala
Dibentuk pada tahun 2003, Kunokini memperkenalkan diri sebagai grup musik yang mengombinasikan musik Indonesia dan instrumen musik tradisional dengan alunan nada kontemporer bernapaskan masa lalu. Secara bahasa, kuno berarti old fashioned dan antik. Sementara, kini berarti hari ini atau keadaan sekarang. Sejak pertama kemunculannya, Kunokini telah menghipnotis penikmat musik Indonesia, terutama para pemuda, dengan memberi pesan yang kental dengan nasionalisme dan cinta tanah air. Berikut ini adalah petikan wawancara Civitas dengan dua personel Kunokini, Adhi Bhisma W. (Bhismo) dan Astari Achiel (Bebi), usai acara Artistict, Minggu (16/12/2012). Bagaimana perasaan setelah tampil perdana di STAN? Bhismo: Tadi di panggung itu rasanya ... Duar! Duar! Gimana ya, anak-anaknya asyik banget. Seru banget.
102
Majalah Civitas | Maret 2013
Bebi:
Energi yang dikeluarin sama anak-anak itu positif gitu, jadi kita mainnya enak banget.
Terbayang enggak sebelumnya kalau suasananya akan seperti ini? Bhismo: Enggak, karena waktu lihat kampus kalian, terstruktur sekali gitu. Wah ini kayaknya serius, formal. Kayak apa ya nanti jadinya? Tau-taunya, ba! Kecele sih. Bebi:
Menggila anak-anaknya. Dan menurut gue ini penonton paling gila. Mau yang ngerti apa enggak ngerti, (tetap) goyang.
Konsep musik apa yang diusung oleh Kunokini? Bhismo: Yang diusung sebenarnya cinta kepada
Wawancara Indonesia. Cinta kepada Indonesia itu bisa dari berbagai hal. Yang kita cintai itu dari kebudayannya, yaitu musik.
Tahun kemarin Kunokini telah mengeluarkan album Reinkarnasi dengan sampul bergambar Buto Cakil. Apa makna di balik itu?
Tapi kita juga masukin unsur tariannya, kain-kainnya. Kayak ini nih, yang gue pakai ini celana gelembong asli dari Padang. Bebi pakai tenun Toraja, tapi sudah agak modern jadi warnanya hijau terang. Tapi intinya itu di musiknya, di alat-alatnya, yang nanti bisa nular ke banyak hal setelah dari situ.
Bhismo: Maksudnya Reinkarnasi itu alat-alat sudah tua dan usang, enggak ada yang pernah ngurusin, enggak pernah ada yang suka, kita reinkarnasikan atau hidupkan lagi, kita kasih nyawa lagi, bareng-bareng. Mereka (instrumen itu) ngasih musik, kita promosi.
Bebi:
Tujuan besarnya, kita pengin ngedorong nyebarin virus kalau sebenarnya beberapa hal dari Indonesia, contohnya tradisi dan kebudayaan, itu bisa bikin kalian kaya. Apa pun itu, dari musik, kain, pokoknya segala macam industri bisa bikin lu kaya.
Bhismo: Kita pengin nyebarinnya nanti ke seluruh dunia, harus, biar Indonesia bisa dipandang bagus, baik, dan keren banget budayanya. Kita pengin nyebarin virus ke seluruh dunia karena kita bangsa yang hebat, menurut gue. Pas Soekarno megang kita tuh hebat banget. Jadi harusnya banyak SoekarnoSoekarno lain yang lahir.
Bebi:
Bhismo: Buto Cakil adalah karakter yang dibuat oleh Hamengkubuwono untuk wayang kulit Jawa. Itu karakter dari Indonesia asli.
Buto Cakil ditemani oleh empat raksasa: warna hitam, merah, kuning, dan putih. Itu adalah hawa nafsu manusia, yang kita pikir itu adalah cerminan masyarakat Indonesia, pemerintah kita, kita sendiri.
Kita mengikuti hawa nafsu (yang) empat itu. Merah itu (melambangkan) hawa nafsu angkara murka, yang hitam itu keserakahan, yang putih unsur kebaikan, dan kuning itu nafsu seks.
Nah di cerita pewayangan itu, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan hawa nafsu itu dan mengendalikannya. Sebenarnya bukan dihilangkan ya, karena memang itu jadi satu kesempurnaan manusia, tapi bagaimana caranya kita mengendalikan hawa nafsu itu.
Jadi, si Buto Cakil ini (lambang) bagaimana cara mengendalikan (hawa nafsu) supaya lebih harmoni dan lebih bagus. Kayak kita sebagai kusir yang mengendalikan empat kuda, kita yang mengendalikan, bukan si kudanya yang mengendalikan kita.
Pernah terpikir untuk ganti konsep enggak? Bhismo: Enggak, kalau buat nambahin sih enggak apa-apa. Bebi:
Atau menempelkan. Kayak tadi ada lagu Gundul Pacul, itu biasanya ada brass section.
Bhismo: Brass section itu terompet, saksofon, trombon, sama bass player, biasanya. Kalau ganti (konsep) enggak mungkin. Kita justru pengin nambahin alat dan instrumen-instrumen Indonesia yang lainnya, yang (ada) petiknya, yang ada basnya. Apa inspirasi Kunokini dalam bermusik? Bhismo: Inspirasi dan aspirasi ya visi dan misi kita.
Jadi, kegiatan manusia kuno di masa kini. Alatnya yang kuno, yang lainnya masa kini.
Majalah Civitas | Maret 2013
103
Wawancara Kunokini bisa eksis dan solid dalam jangka waktu yang lama, bagaimana mewujudkannya? Bebi:
Wah, proses panjang itu, berat. Apa ya, kayak orang pacaran.
Bhismo: Kayak orang pacaran, tapi kita bersepuluh, bersebelas, berdua belas. Bebi:
Lepas, balik, lepas, ganti orang baru. Sebenarnya yang dari awal tuh gue sama Bhismo. Dari 2003 itu ya dayungnya ganti-gantian saja. Jadi, ada penumpang lagi masuk, tiba-tiba keluar. Wah, kapalnya miring!
Bhismo: Terus air masuk, ada badai, duar! Kapalnya hancur berantakan, tambal lagi dikit-dikit, memang kayak gitu. Kalau belum ada yang tetap bisa menggerakkan roda ini (untuk) berputar, itu enggak bakal jalan. Kalau enggak ada yang dayung, ini kapal enggak bakal sampai ke tujuan yang kita mau.
Siapa pun bisa keluar masuk, tapi harus ada satu atau dua orang yang tetap megang di jalurnya dan dia mau untuk membakar kompornya, mendorong semuanya untuk maju, lari kalau perlu.
Kunokini kan sering tampil di luar negeri, bagaimana ceritanya? Bhismo: Pertama kali kita ke Australia, itu (tahun) 2008 karena kita minta grant, kayak beasiswa gitu dari AII (Australian Indonesia Institute).
104
Jadi (AII) itu institusi Australia-Indonesia yang ngurusin tentang exchange kebudayaan, musik, agama, buku, tentang apa pun. Mereka ngasih grant. Jadi kita nge-apply, bikin proposal ke mereka, di sana kita dapat undangan dari Gang Festival. Kita juga enggak ngerti sebenarnya.
Majalah Civitas | Maret 2013
Tiba-tiba dapat undangan saja. “Lu mau enggak datang (ke Gang Festival)?” Ya sudah, karena kita butuh uang, kita datang.
Pemerintah lu yang tercinta itu enggak ngasih uang sama sekali, (padahal) kita sudah bikin proposal segala macam. Ini harusnya ada perubahan sedikitlah.
Bebi:
Sebenarnya sih itu banyak proses. Kita mencoba dan mencoba terus. Kalau kita sendiri sudah pol-polan, tapi pemerintahnya enggak ngedukung. Kayak lu di rumah nih, lu udah pol-polan sekolahnya, tapi finansial orang tua lu enggak ngedukung misalnya. Akhirnya lu berusaha sendiri dong.
Bhismo: Enggak, (itu) masih mending, man. (Ini) finansial orang tuanya mendukung, tapi orang tuanya enggak mendukung, itu yang terjadi di Indonesia. Apa saja target-target yang ingin dicapai? Bhismo: Banyak. Kita pengin keliling Indonesia, belajar semua alat-alat musik dan kebudayaannya. Terus kita mau bikin Kunokini Foundation di mana itu bisa ngasih pendidikan tentang alat musik, tentang tari, dan apa pun yang berhubungan dengan kebudayaan. Banyak ya, pengin konser internasional, pengin tiap tahun bikin konser tunggal, sama pengin ngeluarin album terus tiap tahunnya. Bebi:
Sama ini, kalau gue pengin bikin alat musik Indonesia. Kalau bisa yang di-packaging bagus, di-branding oke, dan mahal. Itu belum ada. Kebetulan gue anak desain dan mau ngambil S-2 (jurusan) Musik.
Terakhir, apa pesan untuk mahasiswa STAN? Bhismo: Pesan-pesan gue khusus buat anakanak STAN nih ya. Semoga kalian
Wawancara bisa ngerubah pola pikir, rasa hati, keberanian. Supaya lu bisa tahu, lebih banyak mendengar daripada ngomong, apa yang lagi kita butuhkan sebenarnya dan bagaimana cara mengelola kekayaan alam kita yang signifikan itu. Dari kita untuk kita, man.
Kalau lu baca UUD 1945, itu semuanya bagus, dari kita untuk kita doang adanya. Sedangkan sekarang yang terjadi tuh enggak kayak gitu.
Bebi :
Kalau gue, coba lihat sekitar kalian, tradisi (dan) budaya. Gue cuma pengin bilang, budaya dan tradisi Indonesia itu bisa bikin kalian kaya, kaya dengan maksud apa pun: kaya dengan materi, kaya dengan mental, semuanya.
Lu sebenarnya bisa belajar dari sesuatu yang dekat, enggak perlu jauh-jauh. Dulu itu Malaysia datang ke sini buat nyari guru. Sekarang orang Indonesia belajar ke Malaysia. Dulu maskapai penerbangan di mana-mana nyari pilot di Indonesia. Sekarang, lu mau jadi pilot, harus ke luar negeri. Ngapain lu harus jauh-jauh, padahal di sekitar lu bisa bikin kaya?
Foto: Dok. Media Center STAN
[Ericha/Nadia/Novia]
Majalah Civitas | Maret 2013
105
Satire
Pedang Ketidakadilan
106
Majalah Civitas | Maret 2013
Tak mudah mengatakan apa itu keadilan, tetapi tentang ketidakadilan, orang dapat mengenalinya seketika. (Goenawan Mohammad)
Satire
S
enja itu, 7 Desember 2011 silam, seorang mahasiswa berlari ke depan Istana Negara. Sekujur tubuhnya dilalap api.
Ia sengaja membakar diri. Orang-orang berdebat tentang cara kematiannya. Sebagian berkomentar bahwa tindakan itu adalah pemberani. Sebagian lagi berkata bahwa itu tindakan tak bernyali. Pengecut, sia-sia, dan tak akan mengubah apa-apa. Mahasiswa Universitas Bung Karno itu bernama Sondang, nama yang langsung lenyap tak sampai sebulan. Kemudian, tak lama setelah kejadian itu, kekasihnya menemukan sebuah tulisan dalam buku yang pernah ia pinjamkan kepada Sondang. “Terkutuklah buat ketidakadilan, terkutuklah buat ketidakpedulian, terkutuklah buat kemiskinan, terkutuklah buat rasa sakit dan sedih, terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi.” *** Salah satu kepiluan yang pernah disaksikan oleh tanah Gaza adalah sebuah peristiwa di tahun 2003. Rachel Corrie rebah diamuk alat berat Israel. Gadis relawan asal Amerika Serikat itu sedang berlari, mencoba menghentikan alat berat yang hendak merobohkan rumah-rumah warga. Ia tetap berdiri tegak walau alat-alat berat itu semakin mengintimidasinya. Berdirinya ia melambangkan keberanian: perlawanan pada ketidakadilan dan penjajahan. Waktu seakan melambat. Orang-orang di sekitar Corrie mulai berteriak, melambaikan tangan, cemas karena di dekat tempat Corrie berdiri ada buldoser yang perlahan merangkak. Dan seperti tak peduli, buldoser itu tetap merangkak, melindas tubuh Corrie. Berkali-kali, hingga luluh lantak. *** Rasa frustrasi membuat Mohamed Bouazizi nekat membakar dirinya di depan gedung parlemen. Ia adalah lulusan perguruan tinggi di Tunisia yang bekerja menjadi pedagang kaki
Majalah Civitas | Maret 2013
107
Satire “ ‘ ... terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi.’ ” lima. Pengangguran intelektual memang tinggi di daerah itu.
sesuatu yang orang-orang anggap mustahil: kesejahteraan buruh.
Bukan, ia membakar diri bukan karena ia malu sebagai lulusan perguruan tinggi yang hanya jadi tukang sayuran. Dari berita, dari ketikan jari orang-orang, kita tahu bahwa ia membakar diri setelah gerobak dagangannya—sumber kehidupannya—digusur oleh petugas keamanan Tunisia.
Perjuangannya mentok. Petisi-petisi tak diindahkan; demonstran yang ia pimpin sering kali mengalami keraguan akut. Mereka takut.
Ia terjebak dalam pemerintahan yang korup, dirampas hak-haknya, dipermalukan pula di muka umum. Kekecewaan terhadap rezim penguasa itu kemudian terakumulasi dalam diri Bouazizi. Akumulasi kekecewaan Bouazizi membuat dunia mengenal istilah Arab Spring. Kekecewaan itu menyulut revolusi, sehingga dunia Arab mengalami musim semi. Menyulut dengan cara apa? Dengan cara mengantarkan Bouazizi menggenapi bulan Desember 2010 hari ke-17, dengan membakar diri. *** Pada suatu musim dingin di tahun 1969, seseorang bernama Chun Tae-il menulis di buku hariannya. Ia adalah seorang buruh pabrik garmen di Seoul yang merasa prihatin atas nasib buruh yang terinjak-injak. “Aku benci zaman ini, di mana manusia telah menjadi komoditas, ketika kepribadian orang dan kebutuhan dasarnya diabaikan, di mana tidak ada lagi harapan. Saya benci kemanusiaan yang menghinakan diri menjadi komoditas hanya untuk dapat hidup.” Lama ditindas, ia akhirnya memberontak. Ia mendirikan Society of Fools, paguyuban orangorang dungu, yang menjadi simbol bagi banyak hal. Dungu karena sudah lama ditindas dan tak melawan. Dungu karena memperjuangkan
108
Majalah Civitas | Maret 2013
Pada tanggal 13 November 1970, ketika demonstrasi malah membuat para buruh terdesak dikejar petugas sana-sini, ia berujar pada rekanrekannya, “Sepertinya salah seorang dari kita harus mati!” Seakan hanya itulah satu-satunya cara untuk membuat para petinggi zalim di sana trenyuh, orang itu kemudian benar-benar membakar dirinya sambil meneriakkan “Stop eksploitasi buruh!” dan pekik perlawanan lainnya. Ajalnya ditutup dengan pesan, “Jangan biarkan kematianku sia-sia!” Ya Tuhan, ketidakadilan itu telah membunuh mereka. *** Menelusuri lorong-lorong waktu, banyak hikmah tercecer berebut minta ditemukan. Di antaranya agar kita mengerti, bahwa terkadang tidak hanya usia atau bom nuklir, tetapi pedang bernama ketidakadilan juga dapat membunuh manusia. Mulanya adalah sebuah teguran halus dari ibu karena saya mulai jarang pulang. Kuliah, kesibukan di bengkel (sebutan para anggota untuk basecamp Media Center STAN), dan segenap kegiatan kampus entah kenapa tidak selengang yang diprediksi ketika tingkat dua dulu. Bahasa ibu dalam menegur sangat halus berselimut canda, sehingga kalau tidak berusaha peka, saya tidak akan menangkap terjemahan gamblang kalimat itu: “Kamu tidak adil terhadap keluargamu, Nduk.”
Satire Pikiran pun terbang ke mana-mana. Saya takut durhaka, mengingat akibat dari ketidakadilan di berbagai belahan bumi tidak ada yang bahagia. Keadilan itu begitu sulit dirumuskan. Bahkan Aristoteles sampai membagi keadilan menjadi beberapa; keadilan distributif, keadilan komutatif, dan seterusnya. Namun, kenapa begitu mudah mendeteksi ketidakadilan? Mungkin karena akibat dari ketidakadilan itu menyakitkan. Ya, empat kisah di atas rasanya cukup menjadi contoh. Maka dari itu, kita yang berhati seringkali menempatkan diri sebagai oposisi ketidakadilan, walau taruhannya adalah mati remuk seperti Rachel Corrie; menjadi yang paling keras menjerit ketika bertemu ketimpangan, walau taruhannya pembungkaman seumur hidup. Meski tak memungkiri, ada juga yang memilih untuk tak peduli. Tapi biarlah yang tak peduli menjadi tetap tak peduli sampai hati mereka terketuk sendiri. Petarung keadilan saja kadang cepat dilupakan, apalagi mereka yang memilih menjadi pecundang zaman. Lagi pula, pejuang yang melawan ketidakadilan konon katanya tak pernah habis merantai barisan. Di sisi lain, tahukah yang lebih membahayakan daripada menjadi yang “tak peduli”? Adalah ketika tanpa sadar, seseorang menjadi pelaku ketidakadilan. Atau jangan-jangan, kita sendiri pernah menjadi penebas pedang ketidakadilan itu? Tak adil pada orang tua, menempatkan mereka di prioritas ke sekian. Tak adil pada teman kelompok penugasan, membiarkan mereka bekerja sendirian, mengerjakan bagian kita, menanggung tanggung jawab kita. Tak adil pada kawan organisasi, membiarkan mereka melakukan tugas yang tidak semestinya. Atau, mungkin ketidakadilan itu dilakukan dengan cara yang lebih mudah lagi: abaikan saja pekerjaan kita sehingga beban kita berkurang—walaupun tanpa sadar, sebenarnya kita telah memindahkan beban itu ke pundak teman.
Kita sering mengabaikan sesuatu yang harusnya kita jawab dan kita perhatikan. Kenapa ketidakadilan mudah dideteksi? Karena ia erat dengan kezaliman. Dan kezaliman mungkin sesederhana ketika kita diminta memberikan pendapat, tetapi kita bungkam. Rasa terbunuh akibat ketidakadilan mungkin akan sama seperti kita yang merasa diperlakukan tak adil ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tak manusiawi, atau ketika dosen tak juga transparan terkait nilai kita. Ketidakadilan itu rasanya sama seperti ..., ah, saya yakin, di sekian tahun usia kita, kita punya cerita sendiri mengenai ketidakadilan yang kita alami. Melakukan ketidakadilan itu memang sangat mudah. Asyik. Namun dengan begitu, kita telah membuat orang terkait di sekitar kita merasa terbunuh—terbunuh perasaannya, terbunuh karakternya, terbunuh kreativitasnya, terbunuh waktu yang dimilikinya.
“Mungkin teramat benar perkataan Umar bin Khathab dulu, bahwa keadilan adalah surga orang yang dizalimi, dan neraka bagi yang menzalimi.” Mungkin mereka memang tidak sampai membakar diri—belum. Namun tegakah kita melihat mereka yang terzalimi? Setidaknya, kalau terlalu egois untuk merasa tak tega, bayangkan saja kalau kita yang mengalami. Tak bisa juga? Mungkin teramat benar perkataan Umar bin Khaththab dulu, bahwa keadilan adalah surga orang yang dizalimi, dan neraka bagi yang menzalimi. Sehingga, untuk mendefinisikan hakikat ketidakadilan, saya rasa hanya tinggal membalik premis-premis itu saja. [Rizki Saputri]
Majalah Civitas | Maret 2013
109
110
Majalah Civitas | Maret 2013
Foto: Aksi 9.12 oleh BEM se-UI
Himpun sejuta langkah, lawan korupsi!
Maka kami melantangkan suara Untuk usut tuntas kasus Century tanpa hati yang jeri Guna tumbangkan budak-budak Hambalang sampai terjengkang Agar terkelim jari-jari penyeleweng simulator SIM
Bidik
Majalah Civitas | Maret 2013
111
112
Majalah Civitas | Maret 2013